Professional Documents
Culture Documents
Disusun oleh :
Erika
0706291243
Jurusan Ilmu Hubungan Internasional
Page | 1
BAB I
PENDAHULUAN
3
K. J. Holsti, International Politics, a Framework of Analysis. (New Jersey: Prentice Hall, 1967), hal. 291.
4
Ibid, hal. 298.
Page | 5
menurut Holsti.5
5
Ibid, hal. 303.
Page | 6
BAB II
PEMBAHASAN
Negara 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998
Jerman 1522 1652 1199 1502 1277 1083 1096 960 841 802
Spanyol 34 34 24 39 33 34 36 30 58 81
Finlandia 11 14 19 15 15 12 12 13 14 14
Swedia 66 60 50 45 62 84 46 40 45 49
Inggris 250 267 267 216 210 253 246 258 285 402
6
Leticia Delgado Godoy, Immigration in Europe: Realities and Policies. http://www.ipp.csic.es/doctrab2/
dt-0218e.pdf, diakses pada 6 Desember 2009, pukul 08.25.
7
Jumlah imigran dalam ribuan jiwa. Sumber: Eurostat Yearbook 2001, dapat diakses pula melalui Ibid.
Page | 7
2.2. Imigrasi di Perancis
Sejak dahulu kala, dimulai dari zaman Romawi, Perancis merupakan negara tujuan
imigrasi dari negara-negara koloni dan merupakan negara yang menjadi tempat integrasi
berbagai populasi berbeda.8 Dengan demikian, imigrasi merupakan hal yang lumrah bagi
Perancis dan telah terjadi sejak waktu yang lama. Selain itu, Perancis merupakan salah satu
negara yang terbilang maju di kawasan Eropa bagian barat, sehingga wajarlah jika Perancis
seringkali menjadi tujuan utama bagi para migran. Kebanyakan pendatang di Perancis adalah
para penduduk negara-negara di Afrika bagian utara, seperti Algeria, Mesir, Libya, Moroko,
Tunisia, Mauritania, dan Sahara Barat. Total imigran di Prancis saat ini adalah sekitar 11%
dari total populasi. Dari 11% tersebut, sebanyak 31% berasal dari Algeria, Moroko, dan
Tunisia.9 Pada tahun 2004, sebuah survey dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang
mendorong imigran ke Prancis. Hasillnya didominasi oleh family reunification yang disusul
oleh alasan untuk mencari pekerjaan.
Pada awalnya, imigrasi belum menjadi masalah krusial di Perancis. Bahkan ada
masa di mana Perancis justru membuka wilayahnya untuk para imigran, seperti yang terjadi
selepas Perang Dunia II dan pada awal tahun 1990-an, ketika Perancis mengalami
kekurangan tenaga kerja. Pada saat itu, Perancis pun menerapkan berbagai kebijakan yang
ramah terhadap para imigran, yang akan dijelaskan pada subbab berikutnya. Akan tetapi
seiring dengan meningkatnya arus imigrasi dalam jumlah yang signifikan di Perancis, warga
Perancis semakin kesulitan mendapatkan pekerjaan karena harus berebut lapangan pekerjaan
dengan para imigran. Hal ini menimbulkan kebencian pada diri warga Perancis, yang
semakin diperparah dengan timbulnya perasaan xenophobia pada para imigran. Kebencian
dari masyarakat Perancis terhadap para imigran ini kemudian memaksa pemerintah Perancis
untuk mengambil langkah yang tegas untuk membatasi masuknya imigran di Perancis. Inilah
yang kemudian mendorong Perancis untuk mengeluarkan berbagai kebijakan yang restriktif
terhadap para imigran, yang kemudian akan dijelaskan pada subbab berikutnya.
8
Jean-Claude Pecker, Immigration in France. http://www.iheu.org/node/377, diakses pada 14 Oktober 2009,
pukul 13.00.
9
Patrice de Beer, France's Immigration Politics. http://www.opendemocracy.net/globalization-
institutions_government/france_immigration_4338.jsp, diakses pada 5 Oktober 2009, pukul 13.00.
Page | 8
2.3. Kebijakan Imigrasi Perancis Periode 2007 hingga Sekarang
Sejak tahun 2007, terjadi perubahan yang cukup signifikan dalam kebijakan imigrasi
Perancis. Sejak Perancis dipimpin oleh Presiden Nicholas Sarkozy, Perancis tampak semakin
“garang” dengan para imigran. Kebijakan imigrasi Perancis pun menjadi sangat ketat, di
mana terdapat beberapa poin yang mengindikasikan bahwa jumlah imigran di Perancis—baik
untuk imigran lama maupun untuk imigran yang baru akan masuk ke Perancis—haruslah
dikurangi. Pemerintah Perancis, misalnya, menerapkan kebijakan pemulangan para ilegal
imigran dengan target yang tinggi setiap tahunnya. Selain pemulangan para imigran gelap,
pemerintah juga menetapkan kebijakan untuk langsung memulangkan para imigran yang
terbukti melakukan tindak kriminal apapun. Pemulangan imigran berlangsung dengan
kesadaran dari imigran itu sendiri maupun atas paksaan negara. Pemerintah dalam hal ini
melakukan tindakan persuasif bagi mereka yang memutuskan untuk pulang ke tanah air
mereka dengan kesadaran sendiri, seperti misalnya dengan menawarkan sejumlah uang untuk
membantu mereka.10 Lebih lanjut lagi, para imigran yang dipulangkan tersebut ternyata juga
ditarik pajak pendapatan walaupun mereka bukanlah imigran yang memiliki izin tinggal. 11
Kebijakan pemulangan para imigran ini dilakukan pemerintah Perancis dengan
serius. Pada tahun 2008, terdapat 26.000 imigran ilegal yang dipulangkan dari Perancis.12
Pemerintah Perancis juga mengakui bahwa mereka telah mengadakan kerja sama dengan
negara-negara Afrika yang merupakan asal imigran terbesar di Prancis dalam rangka
menanggulangi masalah imigran gelap. 13 Kebijakan Perancis untuk memulangkan para
imigran tersebut diterapkan karena Perancis khawatir peningkatan jumlah imigran tidak
diikuti dengan integrasi yang baik di Perancis.
Selain aturan pemulangan imigran (return directive), kebijakan imigrasi Prancis
yang semakin restriktif juga ditunjukkan dengan semakin selektifnya pemberian status
10
French Immigration Minister Wants To Pay Immigrants To Leave. http://www.workpermit.com/news/
2007-06-01/france/immigration_minister_pay_immigrants_leave.htm, diakses pada 5 Oktober 2009, pukul
13.00 WIB.
11
Internet French Property. France's Tough New Immigration Policies. http://www.french-property.com/
newsletter/2008/5/1/france-immigration/, diakses pada 5 Oktober 2009, pukul 13.00 WIB
12
Reuters. Immigration Minister Exceeds Expulsion Target. http://www.france24.com/en/20090114-
immigration-minister-exceeds-immigrant-expulsion-target-, diakses pada 5 Oktober 2009, pukul 13.00 WIB.
13
Ibid.
Page | 9
kewarganegaraan bagi para imigran. Bahkan, Nicholas Sarkozy pernah menyatakan bahwa ia
hanya menginginkan imigran skilled workers untuk tinggal di wilayahnya. 14 Selain itu,
kebijakan imigrasi Perancis yang semakin restriktif antara lain ditunjukkan melalui adanya
tes bahasa Prancis dan pengetahuan mengenai nilai-nilai Prancis dalam rangka mendapatkan
izin tinggal bagi para imigran. Apabila si imigran tidak dapat lulus dari tes tersebut, maka
mereka harus kembali ke negara asal dan mengambil pelajaran mengenai Prancis di negara
asal masing-masing. Pada umumnya, tes ini dilakukan untuk para imigran yang ingin
bergabung dengan keluarganya yang telah berada di Perancis (family reunification). Bahkan,
untuk membuktikan ikatan keluarga, pemerintah Perancis mewajibkan perlu diadakannya tes
genetik. Kebijakan imigrasi Perancis menunjukkan bahwa Perancis mencoba untuk
melakukan homogenisasi masyarakatnya dengan menggunakan kekuasaannya sebagai
pemerintah.15
14
Henry Samuel, Sarkozy unveils new laws to expel foreign workers. http://www.telegraph.co.uk/news/
worldnews/europe/france/1509901/Sarkozy-unveils-new-laws-to-expel-foreign-workers.html, diakses pada 5
Oktober 2009, pukul 13.00.
15
Francis Fukuyama, Identity and Migration. http://www.prospectmagazine.co.uk/2007/02/
identityandmigration/, diakses pada 5 Oktober 2009, pukul 13.00.
16
Elizabeth Collett, The EU Immigration Pact—From Hague to Stochkholm, via Paris. http://www.epc.eu/
TEWN/pdf/304970248_EU%20Immigration%20Pact.pdf, diakses pada 10 Desember 2009, pukul 08.39.
Page | 10
sebenarnya perjanjian imigrasi Uni Eropa ini berangkat dari pernyataan yang diakui
negara-negara Uni Eropa, yaitu bahwa “the European Union ... does not have the resources to
decently receive all the migrants who hope to find a better life here”.17 Pernyataan inilah
yang kemudian menjadi dasar berbagai kebijakan imigrasi Uni Eropa yang mulai ketat dan
restriktif sejak masa kepemimpinan Sarkozy. Adapun dalam makalah ini, aturan-aturan
imigrasi yang restriktif dari Uni Eropa tersebut kemudian dibagi menjadi dua aturan yang
paling gencar dipromosikan Uni Eropa dalam EU Immigration Pact, yaitu kebijakan
pengembalian langsung (return directive) dan kebijakan skema Kartu Biru (Blue Card
scheme).
17
Euractiv, The European Pact on Immigration and Asylum. http://www.euractiv.com/en/socialeurope/
european-pact-immigration-asylum/article-175489, diakses pada 7 Desember 2009, pukul 08.42.
18
Ibid.
19
BBC, Q&A: EU Immigration policy. http://news.bbc.co.uk/2/hi/7667169.stm, diakses pada 4 Desember 2007,
pukul 08.44.
Page | 11
campur tangan pemerintah negara masing-masing. Lebih lanjut lagi, aturan mengenai tata
cara pendeportasian kemudian diserahkan kepada pemerintah negara masing-masing. Aturan
return directive ini berlaku di setiap negara anggota Uni Eropa, kecuali Irlandia dan Inggris.
Irlandia dan Inggris tidak setuju dengan aturan ini karena menurut mereka, kebijakan
pengembalian langsung ini tidak akan membuat proses pengembalian seluruh imigran ilegal
menjadi lebih mudah.20
2.4.2. Kebijakan Uni Eropa mengenai Skema Kartu Biru (Blue Card Scheme)
Kebijakan imigrasi Uni Eropa dalam EU Immigration Pact yang juga banyak
mendapatkan kritik adalah rencana penggunaan Skema Kartu Biru (Blue Card Scheme) untuk
mengatur masuknya tenaga kerja di Eropa. Penggunaan Skema Kartu Biru sendiri sebenarnya
belum dilegalkan dalam EU Immigration Pact, akan tetapi kebijakan ini termasuk kebijakan
yang paling dipromosikan oleh Uni Eropa. Adapun, kebijakan Skema Kartu Biru ini dibuat
dengan mengambil contoh dari kebijakan Green Card di Amerika Serikat untuk menarik
masuknya tenaga kerja ahli dalam Uni Eropa, seperti misalnya tenaga kerja insinyur dan
tenaga kerja kesehatan. 21 Kartu Biru ini kemudian akan memberikan pemegangnya
kemudahan bertempat tinggal di dalam wilayah negara-negara Uni Eropa, juga kemudahan
untuk membawa serta anggota keluarganya untuk tinggal di wilayah Eropa. Kartu Biru ini
juga akan memberikan, untuk kondisi tertentu, kemudahan untuk berpindah dan tinggal di
negara kedua Uni Eropa, setelah tinggal menetap secara legal di negara pertama.
20
Ibid.
21
Ibid.
Page | 12
ketat dalam pengaturan arus imigrasi.22 Sejak masa kampanyenya pada tahun 2007, Sarkozy
juga terus menyatakan niatnya untuk menghasilkan European Pact on Immigration and
Asylum yang bertujuan untuk mengintegrasikan kebijakan imigrasi negara-negara Uni Eropa,
dan untuk membentuk pandangan Uni Eropa yang sama terhadap masalah imigrasi, baik yang
legal maupun yang ilegal. 23 Menurut pemerintah Perancis, imigrasi Uni Eropa butuh
upaya-upaya „pembersihan‟ (immigration policy in Europe is in need of some
‘house-keeping’24), karena itu tidaklah mengherankan jika dalam masa kepemimpinannya,
Perancis cenderung memfokuskan Uni Eropa pada masalah pengaturan imigrasi, terbukti
dengan dihasilkannya berbagai kebijakan-kebijakan dalam EU Immigration Pact pada masa
kepemimpinan Sarkozy.
Dominannya Perancis dalam pembentukan kebijakan imigrasi UE dalam EU
Immigration Pact antara lain terlihat dari pemilihan bahasa dan kata-kata dalam perjanjian
tersebut yang lebih didominasi oleh istilah-istilah Perancis, seperti misalnya penggunaan
istilah ‘immigration choisie‟, yang berarti imigrasi khusus; ataupun penggunaan istilah
„co-développement‟, yang dimaksudkan pada penggabungan imigrasi dan pembangunan.
Penggunaan istilah-istilah dalam bahasa Perancis itu menunjukkan bahwa sebenarnya EU
Immigration Pact lebih ditujukan untuk masyarakat Perancis.
Dominannya Perancis dalam pembentukan kebijakan imigrasi Uni Eropa juga
terlihat dalam EU Immigration Pact yang seolah lebih merefleksikan persepsi Perancis
tentang imigran yang cenderung garang dan restriktif terhadap imigrasi. Karena itu tidaklah
heran jika kebijakan imigrasi Uni Eropa dalam EU Immigration Pact cenderung mendapat
kritik dari negara-negara asal imigran seperti negara-negara Afrika, ataupun dari dalam
negara Uni Eropa sendiri seperti dari Spanyol yang cenderung terbuka terhadap masuknya
imigran untuk kepentingan ekonominya. Dua kebijakan imigrasi dalam EU Immigration Pact
yang telah dibahas pada subbab sebelumnya, kebijakan return directive dan kebijakan blue
card scheme, merupakan dua kebijakan yang jelas menunjukkan besarnya dominasi Perancis
22
Hal ini disampaikan Brice Hortefeux, Menteri Imigrasi Perancis di depan Parlemen Perancis pada 23 Januari
2008. Lihat France Hopeful on EU Immigration Deal, dapat diakses secara online melalui
http://www.euractiv.com/en/opinion/france-hopeful-on-eu-immigration-deal/article-171541, diakses pada 5
Desember 2009, pukul 08.46.
23
Euractiv, loc.cit.
24
Elizabeth Collett, loc.cit.
Page | 13
dalam pembentukan EU Immigration Pact. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, sejak
tahun 2008, Perancis sudah memberlakukan aturan return directive pada imigran-imigrannya,
baik imigran legal maupun ilegal. Kebijakan ini diterapkan bahkan sebelum aturan return
directive dalam EU Immigration Pact disahkan, sehingga pembuatan kebijakan Uni Eropa
mengenai return directive ini terkesan lebih ditujukan untuk melegitimasi tindakan Perancis
tersebut. Adapun, legitimasi ini menjadi mudah dilakukan karena dominannya peran Sarkozy
dalam pembuatan kebijakan imigrasi Uni Eropa.
Terwakilkannya kepentingan Perancis dalam EU Immigration Pact juga terlihat
dalam kebijakan blue card scheme, di mana kebijakan ini lebih bertujuan untuk menjaring
masuknya tenaga kerja ahli dengan memberikan berbagai insentif seperti ijin tinggal dan
berbagai kemudahan lain. Perlu diingat, walaupun pertumbuhan ekonomi Perancis relatif
stabil, akan tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian besar negara Uni Eropa, termasuk
Perancis sedang mengalami kekurangan tenaga kerja dikarenakan rendahnya tingkat
kesuburan di Perancis. Hal inilah yang mendorong dibutuhkannya tenaga kerja ahli dari luar
wilayah negara-negara Uni Eropa. Keinginan mendapatkan tenaga kerja ahli ini mendorong
Perancis gencar mempromosikan blue card scheme dalam masa kepemimpinan, untuk
kepentingan perekonomiannya sendiri.
Page | 15
BAB III
KESIMPULAN
Sebagai salah satu bentuk integrasi regional, Uni Eropa terkenal dengan kebijakan
“Four Freedoms”-nya, di mana melalui kebijakan itu, negara-negara Uni Eropa mengakui
adanya kebebasan berpindah untuk modal, barang, jasa, dan manusia dari dan ke wilayah
negara-negara anggota Uni Eropa. Adapun ternyata kebebasan yang terakhir, yaitu kebebasan
berpindah untuk manusia, kemudian mendatangkan masalah sendiri bagi Uni Eropa berupa
melonjaknya angka imigrasi yang masuk ke wilayah Uni Eropa. Hal ini melahirkan urgensi
bagi Uni Eropa untuk membuat suatu kebijakan imigrasi untuk mengontrol dan membatasi
arus imigran yang masuk ke negara-negara Uni Eropa. Urgensi ini kemudian berhasil
terwujud melalui pembentukan EU Immigration Pact pada masa kepemimpinan Perancis.
Pada masa kepemimpinan Perancis, dengan Nicholas Sarkozy sebagai Presidennya,
stance Uni Eropa terhadap imigran mengalami perubahan. Pada awalnya, Uni Eropa
cenderung longgar pada imigran, namun di masa kepemimpinan Sarkozy, Uni Eropa justru
terlihat garang pada imigran. Hal ini ditunjukkan dengan kebijakan return directive dan
kebijakan blue card scheme pada EU Immigration Pact. Walaupun kedua kebijakan tersebut
belum resmi dijalankan, kedua kebijakan tersebut mengisyaratkan niat Uni Eropa untuk mulai
melakukan kontrol dan memberikan batasan ketat pada imigrasi di wilayahnya. Berubahnya
stance Uni Eropa tersebut tidak lepas dari peran Perancis sebagai pemimpin Uni Eropa kala
itu, terutama dari peran Sarkozy sebagai Presidennya. Sarkozy merupakan pihak yang
cenderung tidak suka dengan kehadiran imigran. Hal ini ditunjukkan dengan berbagai
kebijakan imigrasi di Perancis yang lebih ketat dibanding kebijakan imigrasi negara Uni
Eropa lainnya. Ketidaksukaan Sarkozy pada imigran inilah yang kemudian berperan besar
dalam pembentukan kebijakan imigrasi Uni Eropa, di mana kebijakan-kebijakan EU
Immigration Pact ini seolah lebih mengakomodir kepentingan Perancis dan negara-negara
Uni Eropa lain yang ketat pada imigran, dan kurang mengakomodir kepentingan negara Uni
Eropa yang terbuka pada kehadiran imigran seperti Spanyol dan negara Uni Eropa lainnya.
Page | 16
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Buku:
Bali, Sita. 2001.“Migration and Refugees”, dalam Brian White, et al. (eds), Issues in World
Politics (2nd Edition, London: Palgrave/Macmillan
Holsti, K. J. 1967. International Politics, a Framework of Analysis. New Jersey: Prentice
Hall.
Sumber Internet:
http://www.iheu.org/node/377
http://www.opendemocracy.net/globalization-
institutions_government/france_immigration_4338.jsp
http://www.workpermit.com/news/2007-06-01/france/immigration_minister_pay_immigrant
s_leave.htm
http://www.french-property.com/ newsletter/2008/5/1/france-immigration/
http://www.france24.com/en/20090114-
immigration-minister-exceeds-immigrant-expulsion-target-
http://www.telegraph.co.uk/news/worldnews/europe/france/1509901/Sarkozy-unveils-new-la
ws-to-expel-foreign-workers.html
http://www.prospectmagazine.co.uk/2007/02/ identityandmigration/
http://www.euractiv.com/en/socialeurope/ european-pact-immigration-asylum/article-175489
http://news.bbc.co.uk/2/hi/7667169.stm
http://www.euractiv.com/en/opinion/france-hopeful-on-eu-immigration-deal/article-171541
Sumber jurnal:
http://www.ipp.csic.es/doctrab2/ dt-0218e.pdf
http://www.epc.eu/ TEWN/pdf/304970248_EU%20Immigration%20Pact.pdf
Page | 17