You are on page 1of 10

Etik Psikolog dan Ilmuwan Psikologi

ETIKA PENELITIAN

Etika menurut Wiramihardja (2007) mencakup empat pengertian, yaitu sebagai berikut:
“1) sistem-sistem nilai kebiasaan yang penting dalam kehidupan kelompok khusus manusia
yang digambarkan sebagai etika kelompok ini; 2) etika digunakan pada satu di antara sistem-
sistem khusus tersebut, yaitu “moralitas” yang melibatkan makna dari kebenaran dan
kesalahan; 3) etika dalam sistem moralitas itu sendiri mengacu pada prinsip-prinsip moral
aktual; 4) etika adalah suatu daerah dalam filsafat yang memperbincangkan telaahan etika
dalam pengertian-pengertian lain”. Kali ini yang akan di bahas adalah mengenai etika
penelitian, utamanya etika penelitian dalam penelitian psikologi. Etika penelitian sendiri
menurut Palestin (2006) lebih mengacu pada penerapan prinsip-prinsip etis dalam ranah
penelitian. Pernyataan ini sesuai dengan pengertian etika yang telah disebutkan sebelumnya,
dimana etika penelitian merupakan perwujudan sistem-sistem nilai kebiasaan yang penting
bagi para peneliti. Sedangkan dalam Ketetapan Majelis Wali Amanat UI (2005), etika
penelitian ialah pedoman etika yang berlaku untuk setiap kegiatan penelitian, termasuk
perilaku peneliti. Jadi, seorang peneliti dalam melakukan penelitian haruslah mengikuti etika
yang melingkupi penelitian itu sendiri, baik jika penelitian itu memiliki resiko yang besar
maupun tidak ada sama sekali.

Pokok bahasan dalam tulisan ini adalah etika penelitian psikologi, sehingga acuan
utama yang akan digunakan adalah Kode Etik Psikologi Indonesia, sedangkan Kode Etik
APA dan acuan lainnya digunakan sebagai pelengkap. Pasal-pasal dalam Kode Etik Psikologi
Indonesia yang berkaitan dengan etika penelitian ialah Pasal 7 tentang pelaksanaan kegiatan
sesuai batas keahlian/kewenangan, Pasal 8 tentang sikap profesional dan perlakuan terhadap
pemakai jasa atau klien, Pasal 12 tentang kerahasiaan data dan hasil pemeriksaan, Pasal 14
tentang pernyataan, dan Pasal 15 tentang penghargaan terhadap karya cipta pihak lain dan
pemanfaatan karya cipta pihak lain (HIMPSI, 2004). Sedangkan dalam Kode Etik APA,
penelitian dibahas tersendiri dalam bagian Penelitian dan Publikasi. Bagian ini berisi tentang
persetujuan institusi, informed consent dalam penelitian, informed consent untuk perekaman
suara dan gambar selama penelitian, partisipasi klien, mahasiswa, dan asisten peneliti,
pengecualian pemberian informed consent, penawaran penghargaan bagi partisipan
penelitian, penyembunyian tujuan (deception) penelitian, debriefing, perawatan dan
penggunaan hewan dalam penelitian, pelaporan hasil penelitian, plagiarisme, kredit publikasi,
duplikasi dari data yang telah dipublikasikan sebelumnya, berbagi data penelitian sebagai
sarana untuk melakukan verifikasi, reviewers (APA, tanpa tahun).

Pedoman Pelaksanaan Kode Etik Psikologi Indonesia Pasal 7 tentang pelaksanaan


kegiatan sesuai batas keahlian/kewenangan (HIMPSI, 2004)

Berikut ini akan disajikan kutipan penjelasan pasal 7 yang berkaitan dengan penelitian:
7.1.b) “Ilmuwan Psikologi dan Psikolog memberikan jasa, mengajar, dan mengadakan
penelitian hanya dalam batasan kompetensi mereka berdasarkan pendidikan, pelatihan,
pengalaman yang diperoleh dalam rangka bimbingan keahlian maupun pengalaman yang
diperoleh secara profesional.”

7.1.c) “Ilmuwan Psikologi dan Psikolog memberikan jasa, mengajar, dan mengadakan
penelitian dalam bidang baru atau menggunakan teknik baru hanya sesudah melakukan studi,
pelatihan, supervisi, dan atau konsultasi dengan pihak-pihak yang memang memiliki
kemampuan dalam bidang atau teknik tersebut.”

7.1.d) “Di dalam bidang-bidang baru di mana tidak terdapat standar yang secara umum sudah
diakui untuk pelatihan awal, Ilmuwan Psikologi dan Psikolog tetap harus melakukan langkah-
langkah untuk memastikan kemampuannya. Kepastian tersebut meliputi kemampuan dalam
pekerjaan mereka dan melindungi pasien, klien, mahasiswa, peserta penelitian, dan orang-
orang atau pihak lain dari kerugian yang mungkin timbul.

7.2.2.a) “Dalam terapan keahlian di bidang penelitian, Ilmuwan Psikologi dan psikolog
menyusun rencana penelitian secara rinci, sehingga dapat dipahami oleh pihak lain yang
berkepentingan dengan kegiatan penelitian tersebut. Ilmuwan Psikologi dan psikolog yang
membuat penelitian membuat desain, melaksanakan, dan melaporkan hasilnya yang disusun
sesuai dengan standar atau kompetensi ilmiah dan etik riset. Rancangan riset ini juga
dimaksudkan untuk menghindari salah tafsir atau kesalahpahaman lainnya,”

7.2.2,b) “Dalam merancang riset, Ilmuwan Psikologi dan Psikolog memperhatikan etika.
Kalau etiknya tidak jelas, atau ternyata belum ada untuk keperluan tersebut, dapat dilakukan
upaya lain, seperti berkonsultasi dengan pihak-pihak yang kompeten dan berwenang,
misalnya badan-badan resmi pemerintah atau swasta, organisasi profesi lain, komite khusus,
kelompok sejawat yang seminat dalam bidang tertentu, atau mekanisme lainnya.”

7.2.2.c) “Ilmuwan Psikologi dan Psikolog bertanggung jawab dalam hal langkah-langkah
yang diperlukan untuk memberi perlindungan terhadap hak dan kesejahteraan peserta
penelitian, atau pihak lain yang mungkin terkena dampak pelaksanaan riset, termasuk
kesejahteraan hewan yang digunakan dalam penelitian. Ilmuwan Psikologi dan Psikolog
melakukan penelitian secara kompeten, sesuai kemampuan dan kewenangannya, dan
memperhatikan harkat martabat serta kesejahteraan pihak-pihak yang dilibatkan dalam
penelitiannya.”

7.2.2.d) “Ilmuwan Psikologi dan Psikolog bertanggungjawab atas etika ketika melakukan
penelitian yang dilakukannya atau yang dilakukan pihak lain di bawah bimbingannya. Dalam
hal penelitian tersebut dilakukan bersama rekan peneliti dan asistennya, Ilmuwan Psikologi
dan Psikolog menyadari bahwa izin untuk melakukan kegiatan oleh rekan peneliti dan asisten
harus sesuai dengan batas kemampuan dan kewenangannya, berdasarkan yang telah
dipelajarinya.”

7.2.2.e) “Konsultasi dengan kolega yang lebih ahli di bidang penelitian yang dilakukannya
merupakan bagian dari proses dalam implementasi riset, terutama untuk hal-hal yang
sekiranya terpengaruh dengan wilayah penelitian yang sedang dilakukannya.”

7.2.2.f) “ Dalam melakukan riset, Ilmuwan Psikologi dan Psikolog harus memenuhi aturan
hokum dan ketentuan yang berlaku dalam hubungan sebagai warga negara, baik dalam
perencanaan maupun pelaksanaannya. Izin penelitian dari instansi terkait dan dari wilayah
yang menjadi lokasi penelitian harus diperoleh sesuai dengan aturan yang berlaku, sejalan
dengan aturan profesional yang harus diikutinya, terutama dalam kaitan dengan pelibatan
orang atau hewan yang dihunakan dalam penelitian. Selain izin penelitian, persetujuan dari
badan setempat untuk melakukan riset juga harus diperoleh Ilmuwan Psikologi dan Psikolog,
dengan memberikan informasi akurat tentang riset yang tertuang dalam proposal dan protocol
penelitian.”

7.2.2.g) “Ilmuwan Psikologi dan Psikolog harus membuat perjanjian dengan pihak yang
dilibatkan, yang dilakukan sebelum riset, melalui penjelasan tentang macam kegiatan riset
dan tanggung jawab masing-masing pihak. Dikecualikan dari ketentuan ini adalah macam
penelitian yang tidak memerlukan identitas yang jelas, seperti survei anonimus dan
pengamatan alamiah. Keterusterangan kepada pihak yang terlibat atau dilibatkan harus
dilakukan. Ilmuwan Psikologi dan Psikolog sama sekali tidak boleh menipu atau menutupi,
yang kalau saja calon/peserta itu tahu dapat mempengaruhi niatnya untuk ikut serta dalam
penelitian tersebut, misalnya kemungkinan mengalami cedera fisik, rasa tidak
mengenyangkan, atau pengalaman emosional yang tidak disukai. Penjelasan tersebut harus
diberikan sedini mungkin, dalam bentuk uraian tentang maksud dan tujuan riset, prosedur,
proses yang akan dijalani, agar calon/peserta dapat mengambil kesimpulan dari risettersebut
dan memahami kaitannya dengan dirinya.”
7.2.2.h) “Dalam pelaksanaan riset tertentu diperlukan ‘informed consent’ yang dinyatakan
secara formal. Selain tertulis, ilmuwan Psikologi dan Psikolog menjelaskan secara lisan agar
dapat dipahami dengan benar. Dalam menyampaikan penjelasan tersebut, baik lisan maupun
tertulis, digunakan bahasa atau istilah yang dipahami oleh peserta riset. Pernyataan
persetujuan itu didokumentasikan sesuai keperluannya. Dalam hal peserta riset tidak bisa
membuat informed consent secara legal, Ilmuwan Psikologi dan Psikolog setidaknya
melakukan upaya pemberian penjelasan, mendapatkan persetujuan, dan mendapatkan izin
dari pihak yang berwenang mewakili peserta riset, atau menggantinya dengan bentuk lain
(formal) jika memang ada pengganti consent yang diatur menurut hukum. Informed consent
tidak diperlukan untuk penelitian yang menggunakan kuesioner anonoim, pengamatan
alamiah, dan sejenisnya. Meskipun demikian setidaknya Ilmuwan Psikologi dan Psikolog
berusaha mengikuti aturan yang berlaku dan mengkonsultasikannya dengan badan yang
berwenang, atau membicarakannya dengan kolega.”

7.2.2.i) “Ilmuwan Psikologi dan Psikolog menguraikan tentang riset yang akan dilakukannya
kepada peserta riset dengan menggunakan bahasa dan istilah yang bisa dipahami calon
peserta/peserta penelitian. Termasuk dalam uraian ini adalah asas kesediaan yang
menyatakan bahwa kesertaan dalam penelitian bersifat sukarela, sehingga memungkinkan
untuk mengundurkan diri atau menolak dilibatkan. Dalam hal ini kepada calon/peserta
penelitian dijelaskan faktor-faktor yang signifikan, yang mungkin terjadi dan bisa
mempengaruhi keputusan mereka untuk ikut atau tidak, baik sejak awal maupun ketika
penelitian berlangsung. Faktor-faktor tersebut adalah kemungkinan adanya resiko,
ketidaknyamanan, efek merugikan, atau keterbatasan dalam menjaga kerahasiaan. Lamanya
keterlibatan, terutama untuk riset yang dilakukan dalam jangka panjang termasuk dalam
uraian yang harus dijelaskan kepada peserta riset. Asas kesediaan yang harus dipenuhi dalam
pelibatan peserta riset adalah ketentuan untuk tidak membujuk atau memberikan pancingan
dalam upaya menarik minat agar peserta mau dilibatkan. Ilmuwan Psikologi dan Psikolog
tidak memberikan imbalan dalam bentuk uang atau ainnya yang bisa ditafsirkan sebagai
keterpaksaan. Penjelasan kepada peserta riset tentang studi yang dilakukan merupakan
peluang kepada peserta untuk mendapatkan informasi yang benar tentang situasi, hasil, dan
kesimpulan penelitian. Dalam hal ini Ilmuwan Psikologi dan Psikolog perlu memperhatikan
agar tidak terjadi pemahaman konsep yang keliru dari peserta. Ilmuwan Psikologi dan
Psikolog tidak melakukan riset yang menggunakan cara-cara yang dapat dianggap sebagai
kecurangan atau bersifat mengelabui, kecuali hal itu memang diperlukan untuk kepentingan
pengembangan ilmu, baik untuk kepentingan pendidikan atau kepentingan ilmiah lainnya,
yang tidak mungkin dilakukan tanpa cara tersebut.”
7.2.2.j) “Pada pelaksanaan riset yang melibatkan mahasiswa atau orang yang dibimbingnya,
Ilmuwan Psikologi dan Psikolog melakukan sesuatu yang diperlukan untuk melindungi
kesertaan yang bersifat mengikat. Untuk riset yang berlangsung lama dan mengambil waktu,
seperti mengikuti pelatihan terlebih dulu, Ilmuwan Psikologi dan psikolog harus memberikan
pilihan kepada mahasiswa atau orang yang dibimbingnya agar dapat tetap melakukan
kegiatannya dan memperoleh biaya hidup yang diperlukannya.”

7.2.2.k) “Apabila dalam pelaksanaan riset dilakukan pengambilan rekaman, baik audio
maupun visual, Ilmuwan Psikologi dan Psikolog perlu mendapatkan izin dari peserta riset
sebelum memfilmkan atau merekam dalam bentuk apapun. Ketentuan ini dikecualikan untuk
hal-hal yang sifatnya alamiah atau diambil di lokasi ublik yang terbuka, dengan tetap
menghiraukan kaidah dan etika untuk tidak sampai memunculkan identitas tertentu atau
khusus yang bisa dikenali.”

7.2.2.l) “Dalam hal pemanfaatan dan penyebarannya, sehubungan dengan publikasi hasil
penelitian, Ilmuwan Psikologi dan Psikolog menginformasikan kepada peserta riset, dengan
tujuan agar peserta riset membantunya dalam mengantisipasi berbagai kemungkinan di masa
mendatang, misalnya kemungkinan pemunculan identitas atau hasil riset untuk berbagai
kepentingan lainnya.”

7.2.2.m) “Dalam kaitan dengan upaya meminimalkan pelanggaran dalam melaksanakan


penelitian, Ilmuwan Psikologi dan Psikolog berinteraksi dengan peserta penelitian, atau pihak
lain, di lingkungan tempat pengambilan data, hanya dalam hal yang sesuai dengan rancangan
desain studi, yang konsisten dengan peran psikolog sebagai peneliti ilmiah. Apabila risetyang
dilakukan secara ilmiah menuntut tidak dibukanya informasi karena alas an kemanusiaan,
Ilmuwan Psikologi dan Psikolog bertanggung jawab untuk mencari pengukuran lain yang
bisa menurunkan atau mengurangi risiko.”

7.2.3. Penggunaan hewan dalam penelitian

7.2.3.a) “Apabila dalam penelitian yang dilakukan menggunakan hewan sebagai obyek riset,
Ilmuwan Psikologi dan Psikolog diharapkan dapat memperlakukan hewan tersebut dengan
baik. Mereka diharapkan mengikuti aturan profesional maupun aturan hokum kenegaraan
dalam mendapatkan, merawat, memanfaatkan, dan membuang hewan yang digunakan sesuai
dengan standar yang berlaku. Ilmuwan Psikologi dan Psikolog yang melakukan penelitian
denan menggunakan hewan harus sudah terlatih dan mendapat sertifikat khusus, yang
memungkinnya untuk memperlakukan hewan tersebut dengan baik. Mereka juga meyakinkan
bahwa dalam memimpin kegiatan tersebut ia telah memberikan penjelasan kepada semua
anggota tim yang terlibat, baik mengenai riset itu sendiri maupun dalam hal perawatan hewan
dan perlakuan yang baik, sebatas keperluan penelitiandan bersifat konsisten, sesuaai dengan
kemampuannya.”

7.2.3.b) “Penggunaan hewan dalam riset yang dilakukan harus disertai dengan upaya untuk
meminimalkan rasa tidak enak, sakit, infeksi, atau penyiksaan yang menimpa hewan yang
digunakan dalam penelitian. Diperlukan prosedur yang jelas untuk dapat menangani seberapa
jauh hewan itu “boleh” disakiti, atau merasa tertekan, atau privasi untuk menghindarkan
perlakuan semena-mena. Perlakuan yang menyakiti itu hanya bisa diterima sejauh memang
diperlukan untuk pembuktian ilmiah yang diperlukan untuk tujuan perkembangan
pendidikan, pengembangan ilmu, atau terapan lainnya.”

7.2.3.c) “Apabiladalam prosedur penelitian diperlukan pembedahan yang diperlukan


sesuaiprosedur dilakukan di bawah pembiusan, Ilmuwan Psikologi dan Psikolog
melakukannya dengan menggunakan metoda untuk menghilangkan rasa sakit, atau minimal
dapat mengurangi rasa sakitnya selama ataupun sesudahnya. Seandainya harus mengakhiri
hidup hewan tersebut maka harus dilakukan dalam waktu yang sangat cepat, dengan upaya
untuk meminimalkan rasa sakit, dan sejalan dengan prosedur yang bisa di terima menurut
aturan dan hukum. Dalam hal ini Ilmuwan Psikologi dan Psikolog bekerjasama dengan pihak
yang berwenang (dokter hewan).”

Kode Etik Psikologi Indonesia Pasal 8 tentang sikap profesional dan perlakuan
terhadap pemakai jasa atau klien (HIMPSI, 2004)

Dalam memberikan jasa psikologi termasuk didalamnya penelitian Ilmuwan Psikologi dan
psikolog berkewajiban untuk, antara lain: mengutamakan dasar-dasar profesional (sikap yang
diambil berlandaskan penilaian ilmiah dan profesional, mempertahankan dan meningkatkan
keahlian,, menghargai hak orang lain, menyadari perlakuan atau tindakan yang dilakukan
terhadap pemakai jasa, pengutamaan obyektivitas, kejujuran, dan sikap yang menjunjung
tinggi integritas serta norma-norma keahliannya, termasuk menyadari konsekuensi
tindakannya), serta memberikan jasa kepada semua pihak yang membutuhkan.

Kode Etik Psikologi Indonesia Pasal 12 tentang kerahasiaan data dan hasil
pemeriksaan (HIMPSI, 2004)

Ilmuwan Psikologi dan Psikolog wajib memegang teguh rahasia yang menyangkut klien atau
pemakai jasa psikologi dalam hubungan dengan pelaksanaan kegiatannya. Misalnya:
ilmuwan Psikologi dan Psikolog tidak saling berbagi untuk hal-hal yang seharusnya menjadi
rahasia peserta riset, kecuali dengan izin yang bersangkutan atau pada situasi dimana
kerahasiaan itu memang tidak mungkin ditutupi.
Kode Etik Psikologi Indonesia Pasal 14 tentang pernyataan (HIMPSI, 2004)

Pasal ini berkaitan dengan pemberian pernyataan dan keterangan/penjelasan ilmiah kepada
masyarakat umum melalui berbagai jalur media baik lisan maupun tertulis, serta publikasi
keahlian dari Ilmuwan Psikologi maupun Psikolog. Hal-hal yang terdapat dalam penjelasan
pasal ini yang berkaitan dengan etika penelitian, antara lain sebagai berikut:

14.1.h) “Dalam membuat pernyataan yang menyangkut laporan hasil pekerjaannya, Ilmuwan
Psikologi dan Psikolog tidak mengarang atau merekayasa data atau memalsukan hasil
penelitiannya dalam publikasi mengenai penelitian itu. Apabila Ilmuwan Psikologi dan
Psikolog menemukan data yang tidak signifikan dalam publikasiyang telah dikeluarkannya,
mereka harus mengambil langkah-langkah yang bertanggung jawab untuk membuat ralat
terhadap kesalahan yang dilakukan, seperti koreksi, erratum, atau hal lain sehubungan
dengan publikasi yang telah dilakukan.”

14.2.a) “Dalam penggandaan publikasi data, Ilmuwan Psikologi dan Psikolog tidak boleh
menerbitkan data yang sebelumnya telah diterbitkan sebagai data orisinil. Ketentuan ini tidak
menghalangi penerbitan data kembali yang disertai penjelasan tentang penerbitan ulang
tersebut.”

14.2.b) “Setelah hasil penelitian, Ilmuwan Psikologi dan Psikolog tidak boleh
menyembunyikan data yang menjadi dasar kesimpulan mereka untuk kepentingan profesional
lainnya yang juga berkompeten, yang memerlukannya sebagai data tambahan yang
menguatkan pembuktiannya dengan melakukan analisis ulang, atau memakai data tersebut
sebagai landasan pekerjaannya. Dalam hal ini kerahasiaan peserta riset tetap harus dilindungi.
Adanya hak legal pemilik data juga harus tetap diperhatikan.”

Pedoman Pelaksanaan Kode Etik Psikologi Indonesia Pasal 15 tentang penghargaan


terhadap karya cipta pihak lain dan pemanfaatan karya cipta pihak lain (HIMPSI,
2004)

a) “Ilmuwan Psikologi dan Psikolog wajib menghargai karya cipta pihak lain sesuai dengan
undang-undang dan peraturan yang berlaku. Mereka tidak boleh melakukan plagiarism.
Penyajian bagian atau elemen substansial dari pekerjaan atau data orang lain tidak boleh
disampaikan sebagai miliknya, bahkan jika pekerjaan atau sumber data lain itu sesekali
disebutkan.”

b) “Ilmuwan Psikologi dan Psikolog tidak dibenarkan untuk mengutip, menyadur hasil karya
orang lain tanpa mencantumkan sumbernya. Kredit publikasi yang diperoleh Ilmuwan
Psikologi dan Psikolog harus dapat dipertanggung jawabkan. Kredit kepengarangan hanya
diperoleh untuk pekerjaan yang benar-benar telah dikemukakan atau untuk pekerjaan di mana
mereka telah ikut berpartisipasi. Kepengarangan dasar dan kredit publikasi lainnya benar-
benar mencerminkan kontribusi ilmiah atau relatif dari keterlibatan individual, tanpa melihat
status relatif mereka. Kepemilikan atas suatu posisi institusional, seperti kepala bagian atau
sebagai pimpinan lembaga, tidak seharusnya membenarkan pencantuman nama yang
mendapatkan kredit kepengarangan. Kontribusi minor dalam penelitian atau pada penulisan
yang dipublikasikan harus diakui dengan benar, seperti pada catatan kaki atau pada kata
pengantar. Mahasiswa atau orang yang dibimbing tetap harus didaftar sebagai pengarang
dasar kalau publikasi itu merupakan karyanya. Artikel yang dibuat banyak pengarang yang
secara substansial disusun berdasarkan disertasi atau tesis mahasiswa tetap harus
mencantumkan nama mahasiswa tersebut.”

c) “Ilmuwan Psikologi dan Psikolog tidak dibenarkan menggandakan, memodifikasi,


memproduksi, menggunakan baik sebagian maupun selurah karya orang lain tanpa
mendapatkan izin dari pemegang hak cipta.”

Hal-hal lain yang dibahas pada kode etik APA, tetapi tidak dijelaskan lebih lanjut pada
kode etik HIMPSI adalah sebagai berikut:
a.Isi dari informed consent ialah “1) tujuan, termasuk durasi, dan prosedur penelitian, jika
dalam penelitian eksperimen prosedur yang dimaksud juga mencakup perlakuan apa yang
akan di peroleh oleh grup kontrol, penjelasan tentang pemisahan kelompok, treatmen lain
jika individu tidak ingin berpartisipasi atau mengundurkan diri; 2) hak partisipan untuk
menolak berpartisipasi dan mengundurkan diri dari penelitian ketika penelitian sedang
berjalan; 3) konsekuensi yang di peroleh oleh partisipan jika ia mengundurkan diri; 4)
faktor-faktor yang mungkin mempengaruhi keinginan mereka untuk menjadi partisipan,
seperti resiko dan ketidaknyamanan; 5) keuntungan yang di peroleh; 6) batasan
kerahasasiaan; 7) insentif atas keikutsertaan; siapa yang bisa dihubungi jika terdapat
pertanyaan penelitian dan hak-hak partisipan” (APA, tanpa tahun).
b.Pemberian debriefing bagi partisipan, dimana peneliti menyediakan kesempatan bagi
partisipan untuk memperoleh panjelasan mengenai prosedur yang telah dijalani, hasil
serta kesimpulan dari penelitian, serta memperbaiki berbagai kesalahpahaman yang
terjadi pada partisipan, peneliti juga bertanggungjawab untuk meredakan berbagai efek
buruk yang mengenai partisipan (APA, tanpa tahun).

Hal-hal lain yang perlu dijelaskan lebih lanjut ialah tentang plagiarism. Plagiarisme
dalam Ketetapan Majelis Wali Amanat UI (2005) ialah tindakan peneliti yang kalimat, kata,
data, atau ide orang lain dengan implikasi sebagai miliknya tanpa menyebutkan sumbernya.
Tindakan yang termasuk plagiarisme ialah sebagai berikut: “mengakui bahwa karya orang
lain sebagai karya peneliti, menggunakan kata atau ide dari orang lain tanpa menyebutkan
sumbernya, tidak menggunakan tanda kuotasi (“”), memberikan informasi yang tidak benar
tentang sumber, merubah kata tetapimenggunakan struktur kalimat dari sumber tanpa
penyebutan sumber, menggunakan begitu banyak kata atau ide dari sumber sehingga
membuatnya menjadi lebih dominan dalam karya peneliti, tetapi tidak menyebutkan
sumbernya” (www.plagiarism.org, tanpa tahun).

Etika penelitian dapat digolongkan menjadi dua tipe, yakni tipe menyebutkan sumber
atau tipe tidak menyebutkan sumber (www.plagiarism.org, tanpa tahun). Tipe menyebutkan
sumber terdiri atas sebagai berikut: 1) menyebutkan penulis, tapi menolak untuk
menyebutkan sumber secara lengkap (the forgotten footnote); 2) penulis tidak mencantumkan
sumber secara akurat sehingga sukar untuk ditemukan kembali (the misinformer); 3) penulis
menuliskan sumber, tetapi tidak memberika tanda kuotasi (“”) pada bagian yang di tulis kata
per kata atau yang mendekati seperti itu (the too-perfect pharaprase); 4) penulis mengikuti
seluruh aturan, tetapi dalam karya tersebut sama sekali tidak terdapat hasil pemikirannya
sendiri (the resourceful citer); 5) penulis mengikuti aturan untuk sebagian penulisan, di sisi
lain ia juga mengutip tetapi tidak mencantumkan sumbernya, sehingga di duga ia yang
mengeluarkan pernyataan tersebut (the perfect crime). Sedangkan tipe tidak menyebutkan
sumber terdiri atas: 1) penulis menulis kata per kata dari suatu sumber, dan di akui sebagai
karyanya (the ghost writer); 2) penulis mengkopi secara langsung serta signifikan dari suatu
sumbertanpa perubahan (the photocopy); 3) penulis mencoba untuk menyamarkan plagiatnya
dengan mengutip dari beberapa sumber, kemudian mengubah posisi kalimatnya sehimgga
menjai cocok satu sama lain tetapi masih tetap mempertahankan frase aslinya (the potluck
paper); 4) penulis menggunakan hal-hal penting dari sumber tetapi di lain pihak ia mengganti
penampilannya dengan mengubah kata kunci dan frase-frase (the poor disguise); 5) penulis
mengutip secara tidak langsung dari berbagai sumber yang berbeda, kemudian mencocok-
cocokkannya satu sama lain (the labor of lazyness); 6) penulis “meminjam” dari karya
miliknya yang telah dipublikasi lebih dulu (the self-stealer) (www.plagiarism.org, tanpa
tahun).

Etika penelitian sebagai pedoman peneliti dalam melakukan suatu penelitian


merupakan hal yang perlu untuk diperhatikan dan dipatuhi. Meski tiap-tiap profesi maupun
universitas mungkin memiliki etika penelitian yang berbeda, secara umum tetap saja
memiliki persamaan satu sama lain. Persamaan itu mungkin terletak pada kehendak untuk
melindungi peneliti, partisipan, serta berbagai pihak lain yang terkait penelitian tersebut.

Daftar Pustaka

APA. 2009. Ethical Principles of Psychologists and Code of Conduct 2002, (Online),
(www.apa.org, diakses 20 April 2009).
Ketetapan Majelis Wali Amanat Universitas Indonesia No.007/TAP/MWA-UI/2005 tentang
Etika Penelitian Bagi Setiap Sivitas Universitas Indonesia. (Online), (www.
webdev.ui.ac.id/download/files/mwa/2005, diakses 20 April 2009).
Palestin, B. 2006. Prinsip-prinsip Etika Penelitian, (Online),
(http://bondanriset.blogspot.com/2006/10/prinsip-prinsip-etika-penelitian.html, diakses
20 April 2009).
HIMPSI. 2004. Kode Etik Psikologi Indonesia Pedoman Pelaksanaan Kode Etik Psikologi
Indonesia. Jakarta: Himpunan Psikologi Indonesia.
Wiramihardja, S. A. 2007. Pengantar Filsafat. Bandung: Refika Aditama.
www.plagiarism.org/learning_center/what_is_plagiarism.html. Tanpa Tahun. What is
Plagiarism?,(Online), (diakses 20 April 2009).
www.plagiarism.org/learning_center/types_of_plagiarism.html. Tanpa Tahun. Types of
Plagiarism,(Online), (diakses 20 April 2009).

You might also like