You are on page 1of 139

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang Masalah

Tuban sebagai salah satu Kabupaten tertua (714 tahun) di Propinsi

Jawa Timur memiliki berbagai keeksotisan tradisi lokal. Letak geografisnya

yang tepat di garis pantai utara Pulau Jawa dan dikelilingi oleh perbukitan

kapur, dan menurut Ernawan (2001), tanah di Tuban didominasi oleh jenis

Mediteran merah sebagai barrier geografis menghasilkan salah satu

minuman yang terkenal dengan nama tuak (toak: bahasa Jawa-Tuban).

Minuman tersebut diproduksi dari getah pohon siwalan1 yang memang

banyak terdapat di Kabupaten Tuban.

Toak atau dalam bahasa Indonesia disebut dengan tuak adalah

minuman tradisional hasil fermentasi2 dari nira pohon siwalan (Borassus

sundaicus), seperti yang dijelaskan oleh Ristiarini dkk.(2000:1):

“Nira siwalan is the liquid by-product of naturally fermented of Siwalan


(Borassus sundaicus) has high sugar content with essential
micronutrients that is ideal in condition and composition for microbial
growth”.

“Nira Siwalan adalah cairan yang dihasilkan oleh fermentasi alami dari
siwalan (Borassus sundaicus) mempunyai kadar gula tinggi dan
micronutrien essensial yang sangat ideal dalam hal kondisi dan komposisi
untuk pertumbuhan mikroba”

Toak sebagai hasil fermentasi memiliki sifat asam dan mengandung alkohol

dengan kadar bergantung proses fermentasinya.

Di Tuban terdapat tradisi minum tuak bersama yang dikenal dengan

nama nitik dan kemudian menjadi ikon bagi kabupaten Tuban. Nitik adalah

1 Siwalan, oleh masyarakat Tuban disebut dengan Bogor


2 Proses pengolahan yang menggunakan peranan mikroorganisme (jasad renik), sehingga
dihasilkan produk-produk yang dikehendaki

1
tradisi minum toak bersama di suatu tempat yang sudah ditentukan dan

konsisten. Para penikmat toak disebut dengan beduak. Toak, beduak dan

tradisi nitik adalah tiga hal yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain dan

selalu menghiasi beberapa sudut kabupaten Tuban setiap harinya.

Tradisi ini tetap eksis hingga sekarang, walaupun tradisi nitik

kontradiktif dengan ajaran agama yang dianut mayoritas penduduk Tuban,

yaitu Islam. Menurut Departemen Agama Pemkab Tuban (2003), penganut

Islam sebanyak 1. 050.766 jiwa dari jumlah penduduk sebesar 1.076.205

jiwa.

Agama Islam selalu mengajarkan dan menuntun semua umatnya agar

tidak mengkonsumsi minuman keras yang memabukan. Pelarangan tersebut

nampak pada kitab suci Al Qur’an surat Al Maidah ayat 91 yang

menyebutkan bahwa minuman keras akan menjerumuskan umat Islam ke

dalam permusuhan dan perang3.

Berdasarkan cerita masyarakat yang dituturkan oleh informan

penulis, Katiman (57), orang Tuban dahulu adalah orang yang suka

bermalas-malasan dan gemar mabuk minuman tradisional yang disebut toak.

Para Sunan penyebar ajaran Islam-pun harus bekerja keras memutar otak

agar bisa menyebarkan ajaran Islam dengan mudah. Para Sunan melakukan

macam cara dalam mensyi’arkan agama Islam, misal melalui wayang kulit,

Tayuban, slametan sedekah bumi. Cara penyebaran agama Islam tersebut

dilaksanakan secara kontinum sehingga menjadi tradisi yang turun temurun

3 Terjemahan surat Al Maidah ayat 91


“Sesungguhnya setan itu benar-benar hendak menjerumuskan kamu ke dalam permusuhan
dan saling membenci antara sesamamu melalui minuman keras dan judi itu, dan
menghalang-halangi kamu dari mengingat Allah dan mengerjakan Shalat. Maukah kamu
berhenti?” (QS Al-Maidah:91).

2
antar generasi. Namun demikian, cara-cara tersebut tidak bisa

menghilangkan nitik dan toak dari kehidupan masyarakat Tuban.

Toak telah menjadi bagian (sub sistem) dari sistem budaya

masyarakat Tuban. Pada umumnya peminum toak berasal dari kalangan

pekerja berat seperti petani, kuli bangunan, tukang becak dan nelayan. Toak

yang mengandung alkohol dapat menghangatkan tubuh secara keseluruhan,

dan lebih cepat menghangatkan dibandingkan dengan minuman-minuman

penghangat lainnya (teh panas, jahe panas), yang panasnya hanya terasa

sesaat di daerah tenggorokan sampai lambung saja. Sementara itu, panas

yang dihasilkan oleh alkohol akan lebih merata di tubuh. Alkohol bisa

masuk ke pembuluh darah dan mengalir ke seluruh tubuh dan menghasilkan

energi panas.

Pekerja-pekerja berat merasa badannya lemas atau kurang bertenaga

saat lupa meminum toak sebelum bekerja. Hampir setiap hari mereka

menyisihkan uang sebesar Rp. 1000,- untuk membeli segelas toak. Gelas

yang mereka pakai untuk mewadahi toak bukan dibuat dari kaca atau plastik,

namun gelas tradisional terbuat dari batang pohon bambu yang dipotong

hingga menjadi sebuah wadah dan diberi nama centhak (lihat lampiran

gambar 26).

Selain sebagai sarana pemuas hasrat untuk minum toak, tradisi nitik

juga menjadi ajang pertemuan yang kontinum bagi sesama beduak di Tuban.

Tali pertemanan antar beduak ini biasa disebut bolo ngombe dalam istilah

lokal. Biasanya bolo ngombe ini terbentuk karena frekuensi bertemu antar

beduak yang cukup tinggi saat nitik di tempat yang sama dan pada penjual

3
toak yang sama. Bolo ngombe menjadi semacam komunitas non formal yang

memiliki pranata-pranata yang implisit di dalamnya, seperti misal saat salah

satu beduak diganggu oleh orang lain, maka beduak-beduak lain yang ada

dalam satu kelompok bolo ngombe akan membantu tanpa harus diperintah.

Gambar 1.1 Nitik di salah satu tempat di Kecamatan Tuban

Nitik juga bisa dijadikan ajang pencarian mata pencaharian bagi

segolongan orang. Para mandor bangunan yang diberi tugas oleh majikannya

membangun rumah dan mencari tukang-tukang sebagai anak buah, akan

mengambil tukang-tukang tersebut dari bolo ngombe sendiri. Jadi dalam hal

ini nitik mempunyai fungsi yang terkandung di dalamnya dan tidak terlihat

langsung saat kita hanya melihat kegiatannya. Nitik sebagai sebuah fakta

yang jelas terjadi di Kabupeten Tuban, menjadi suatu entry point bagi

kemungkinan-kemungkinan baru interpretasi makna-makna yang ada di

dalamnya.

Inilah yang mungkin sedikit berbeda dengan budaya minum di

budaya lain seperti di Amerika Serikat yang menyediakan minuman-

4
minuman keras seperti bir, whisky atau vodka di bar dan restoran. Misal, film

Myseri, Alaska (1999)4 yang berlatar belakang kondisi lingkungan Alaska

dengan cuaca yang santa dingin, sehingga akan membuat orang sering

meminum whisky sebagai penghangat. Dengan demikian, minum minuman

keras bagi mereka hanya sekedar upaya untuk meninggikan suhu badan

karena suhu udara sangat rendah disana. Kegiatan minum seperti itu hanya

dilakukan sesuai kebutuhan tubuh mereka, tanpa ada ikatan sosial yang

terbentuk.

Nitik menjadi ikon positif yang sekaligus menjadi ikon negatif bagi

masyarakat Tuban. Toak sebagai ikon positif adalah penilaian dari sebagian

orang bahwa nitik adalah ajang “temu guyub” tanpa mengganggu komunitas

lainnya. Namun, sebagian masyarakat lainnya masih menganggap nitik

sebagai ikon negatif. Khususnya masyarakat dari latar belakang agama yang

kuat5, nitik dianggap sebagai kebiasaan yang kurang berguna bahkan

cenderung menyimpan potensi berbahaya karena minuman yang diminum

sangat memabukkan dan menyebabkan berbagai macam hal yang tidak

diinginkan bersama.

Reaksi keras terhadap julukan Kabupaten Tuban sebagai kota toak

pernah disampaikan KH Asnawi, Amir, penasehat Majelis Ulama Indonesia

(MUI) Tuban dalam artikel wawancaranya yang berjudul ”Digugat,

Penyebutan Tuban Sebagai Kota Tuak” (www.jawapos.com, 2008). Beliau

4 Dalam salah satu scene yang menceritakan tokoh utama Mike sedang duduk minum di
sebuah bar di wilayah Myseri, Alaska. Seorang teman Mike yang berjuluk Big Al
menghampirinya dan bertanya “hi, Mickey apa yang kamu lakukan disini, bukankah kamu
punya rumah?”, kemudian Mike menjawab “Rumahku tidak sehangat Whiskey ini Al”
5 Pernyataan ini didapatkan penulis saat mewawancarai beberapa santri di pondok pesantren
Al-Falah, Kecamatan Semanding

5
menyatakan bahwa Tuban dijadikan salah satu pusat penyebaran agama

Islam oleh para aulia sejak ratusan tahun lalu. "Karena itu, sangat tidak pas

penyebutan Kota Tuak," tandas mantan Ketua MUI Tuban ini.

Terlepas dari berbagai pro dan kontra, berbagai macam keperluan

dan kepentingan dibawa dan dibicarakan dalam nitik, sehingga tradisi ini

tidak lagi menjadi ajang untuk sekedar membeli se-centhak toak. Makna dan

fungsi yang terkandung di dalamnya akan lebih dalam dan kompleks bila

mau diteliti lebih lanjut. Makna dan fungsi yang kompleks di balik nitik

inilah yang membuat penelitian ini menjadi sangat penting dalam perspektif

antropologis, karena menurut Saifuddin (2005:23), antropologi menekankan

pada analisis masyarakat dan kebudayaan.

Toak sebagai materi utama dalam nitik dapat mencerminkan tujuh

unsur universal budaya seperti yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat

(1986:218). Toak dapat mewakili beberapa unsur, yaitu kesenian karena toak

adalah bagian dari seni kuliner tradisional. Unsur kedua adalah sistem

pengetahuan karena dalam pembuatan toak diperlukan berbagai macam

metode hasil local genius masyarakat yang diturunkan antar generasi.

Unsur ketiga adalah sistem mata pencaharian karena pembuatan toak

dapat dijadikan mata pencaharian dengan menjualnya ke beberapa tempat

nitik. Kelompok-kelompok bolo ngombe juga bisa mewakili organisasi

sosial. Unsur terakhir adalah sistem religi, karena toak jelas dilarang oleh

agama Islam yang dianut oleh sebagian besar penduduk Tuban bahkan oleh

sang beduak sendiri6, namun tetap saja dikonsumsi hampir setiap hari.

6 Selama penelitian, penulis mencatat bahwa semua beduak yang termasuk dalam bolo
ngombe yang diteliti oleh penulis memeluk Agama Islam

6
Jenis hubungan yang terjadi diantara para beduak, beserta efek yang

terjadi di dalam hubungan tersebut juga menjadi hal menarik untuk diteliti

leih dalam. Analisa yang mungkin untuk dilakukan adalah menggunakan

analisa fungsional, jaringan sosial dan jaringan komunikasi.

Untuk informasi, Penelitian yang menyangkut nitik sangat jarang

dilakukan selama ini, bahkan tidak terdapat arsip resmi dari pemerintah

Kabupaten Tuban mengenai industri pembuatan toak tradisional, karena

memang selama ini toak dibuat secara home industry yang tidak memiliki

izin resmi dari Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Penulisan skripsi

ini diharap bisa membuka cakrawala baru pengetahuan mengenai nitik, toak,

beduak dan segala macam makna yang dapat digali dalam tradisi nitik.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian penulis diatas, maka dapat diambil rumusan

masalah sebagai berikut:

Mengapa ikatan sosial (social bond) dapat terbentuk dalam tradisi nitik?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui:

1. Apa sajakah faktor pembentuk ikatan sosial dalam tradisi nitik.

2. Proses pembentukan jaringan sosial yang berawal dari ikatan sosial

pada tradisi nitik

3. Mengetahui faktor apa saja yang mempengaruhi kelangsungan tradisi

nitik sampai saat ini

4. Penelitian ini juga dikembangkan untuk mengetahui fungsi tradisi

7
nitik yang berhubungan dengan Pilkadal (Pemilihan Kepala Daerah

Langsung), kerjasama antar beduak dalam bidang pertanian, upaya-

upaya beduak untuk melakukan aktualisasi diri dan kelompok, serta

bentuk kegiatan untuk saling berbagi tentang masalah pribadi

maupun kelompok.

1.4 Kerangka Pemikiran

Karya etnografi ini sebenarnya berangkat karena ketertarikan penulis

pada ikatan sosial yang terjadi pada kumpulan bolo ngombe dalam tradisi

nitik. Durkin (1999:1) menyatakan, teori mengenai ikatan sosial (social

bond) dalam ilmu sosial pertama dicetuskan oleh Travis Hirschi pada tahun

1969,

“We are moral beings to the extent we are social beings…the sosial
bond essentially refers to connection between the individual and the
society. This theory posits that deviance occurs when the social bond is
weak or lacking” (Durkin,1999:2).

“Kita adalah makhluk bermoral (bagi diri sendiri), pada tingkatan lebih
luas kita adalah makhluk sosial…teori ikatan sosial merujuk pada
hubungan antara individu dan masyarakat. Teori ini menerima
kenyataan bahwa (individu) penyimpang muncul saat ikatan sosial
lemah atau kurang” (Durkin, 1999:2)

Masih menurut Hischi (Durkin, 1999:2), ikatan sosial memiliki empat

elemen utama yang harus dipenuhi. Elemen pertama adalah kasih sayang

(attachments), elemen kedua adalah komitmen (commitment), elemen ketiga

adalah keterlibatan (involvement), akhirnya elemen keempat adalah

keyakinan (belief).

Ketertarikan peneliti tidak sebatas ikatan sosial saja, melainkan

bagaimana sebuah ikatan sosial tersebut berlanjut menjadi sebuah jaringan

8
sosial. Penulis menggunakan metode analisis jaringan sosial yang diusulkan

oleh J.A. Barnes (Koentjaraningrat, 1990:157), yang kemudian

disempurnakan oleh A. Wolfe (Koentjaraningrat 1990:158) dengan

memisahkan jaringan sosial menjadi dua jenis yaitu, jaringan sosial total

(unlimited social network) dan jaringan sosial bagian (limited social

network).

Awalnya, secara sederhana definisi jaringan sosial menurut Ritzer &

Goodman (2007:382), adalah pola objektif yang menghubungkan anggota

masyarakat (individual dan kolektivitas), namun definisi tersebut

berkembang seiring dengan perkembangan pemikiran dengan yang

menuntut aplikasi realistis dari teori jaringan konvesional. Aplikasi tersebut

bisa berbentuk peta maupun model jaringan sosial yang terdiri dari simpul

dan garis-garis yang berhubungan satu sama lain.

Menurut definisi dari kamus Wikipedia online, jaringan sosial adalah

suatu struktur sosial yang dibentuk dari simpul-simpul (yang umumnya

adalah individu atau organisasi) yang diikat dengan satu atau lebih tipe relasi

spesifik seperti nilai, visi, ide, teman, keturunan

(www.wikipedia.org/wiki/jaringan_sosial, 2008). Dalam kajian yang paling

sederhana, suatu jaringan sosial digambarkan sebagai peta dari semua ikatan

yang relevan antar simpul yang dikaji. Jaringan tersebut dapat pula

digunakan untuk menentukan modal sosial aktor individu. Konsep ini sering

digambarkan dalam diagram jaringan sosial yang mewujudkan simpul

sebagai titik dan ikatan sebagai garis penghubungnya.

Nitik sendiri sebenarnya juga bisa dianalisis menggunakan anilisis

9
jaringan komunikasi. Rogers dan Kincaid (1983:82) menjelaskan bahwa

analisis ini adalah metode penelitian untuk mengidentifikasi struktur

komunikasi dalam suatu sistem, dimana data-data yang terkait dengan alur

komunikasi dianalisa dengan menggunakan tipe-tipe hubungan interpersonal

sebagai unit analisis. Sebuah jaringan komunikasi terdiri dari interkoneksi

antar individu yang dihubungkan oleh pola alur komunikasi.

Menurut Rogers dan Kincaid (1981:76), Pertanyaan yang sering muncul

di benak para ilmuwan sosial adalah ”apakah efek dari komunikasi?” atau

”apakah yang diperbuat manusia dengan komunikasi?”. Maka dari itu,

Analisis jaringan komunikasi berupaya memberikan penjelasan lebih dalam

tentang efek selanjutnya dari komunikasi. Penjelasan ini disebut dimensi

kedua pada efek dari komunikasi yaitu:

”Further, communication network analysis has a particular


advantage in allowing investigators to determine a ‘second
dimension’ of communication effects: the distribution of the
consequences of human communication among the members of clique
or system, including the consensus or agreement that emerges among
the individuals in a network.” (Rogers & Kincaid, 1981)

“Analisis jaringan komunikasi mempunyai keuntungan tersediri dalam


mengijinkan peneliti untuk menentukan sebuah dimensi kedua dari
efek komunikasi: distribusi dari segala konsekuensi komunikasi
manusia diantara angota clique atau sistem, termasuk konsensus atau
persetujuan yang muncul diantara individu-individu dalam suatu
jaringan.” (Rogers & Kincaid, 1981)

Dalam analisis jaringan komunikasi terdapat prosedur penelitian yang

dinamakan identifying clique. Clique diartikan sebagai subsistem dimana

elemen-elemen di dalamnya saling berinteraksi lebih sering dan frekuentif

daripada anggota-anggota lain dalam suatu sistem komunikasi. Clique dapat

dikaitkan dengan kumpulan bolo ngombe yang terdiri dari para beduak

dengan intensitas pertemuan yang cukup sering. Dengan mengidentifikasi

10
bolo ngombe sebagai clique, maka penulis dengan mudah menelaah jaringan

sosial yang terbentuk diantara para beduak.

Sementara itu penulis juga berupaya menganalisis tradisi nitik

menggunakan teori-teori fungsional, kajian dengan menggunakan teori

fungsional menjelaskan bahwa eksplanasi fungsional dari suatu gejala

menempatkan eksplanandum dalam suatu sistem interaktif pada suatu proses

perubahan yang terkontrol atau ekuilibrium dinamik. Fungsionalisme

menjelaskan hadirnya gambaran dan ciri efek yang berguna pada sistem

seperti yang diungkapkan oleh Saifuddin (2005:156).

Salah seorang sarjana Antropologi yang bernama M. E. Spiro pernah

mendapatkan bahwa di dalam karangan ilmiah terdapat tiga cara pemakaian

kata fungsi, pertama pemakaian yang menerangkan fungsi itu sebagai

hubungan guna antara sesuatu hal dengan tujuan tertentu (misalnya ballpoint

digunakan untuk menulis diatas suatu media penulisan).

Kedua adalah pemakaian yang menerangkan fungsi sebagai kaitan

korelasi antara satu hal dengan hal yang lain (apabila nilai dari hal A

berubah, maka nilai dari hal lain yang dipengaruhi oleh hal A juga ikut

berubah). Ketiga adalah pemakaian yang menerangkan hubungan yang

terjadi antara satu hal dengan hal yang lain dalam suatu sistem dan

menyebabkan perubahan di berbagai bagian lain, bisa saja menyebabkan

perubahan pada semua sistem.

Aliran pemikiran mengenai masalah fungsi dari unsur-unsur

kebudayaan guna kehidupan suatu masyarakat yang mulai populer semenjak

hadirnya karya etnografi seorang antropolog besar yang bernama Bronislaw

11
Malinowski mengenai penduduk di kepulauan Trobriand ini lazim disebut

aliran fungsionalisme. Dalam aliran tersebut ada berbagai pendapat dari

berbagai sarjana antropologi mengenai apa sebenarnya fungsi dasar dari

unsur-unsur kebudayaan manusia.

Pendapat Malinowski (Koentjaraningrat, 1986: 229) mengenai aliran

fungsionalisme ini adalah berbagai unsur kebudayaan yang ada dalam

masyarakat manusia berfungsi untuk memuaskan suatu rangkaian hasrat

naluri akan kebutuhan hidup dari makhluk manusia (basic human needs).

Dengan demikian, unsur mata pencaharian berfungsi untuk memenuhi hasrat

kebutuhan manusia akan uang sebagai alat tukar kebutuhan mereka dalam

kehidupan.

Menurut Koentjaraningrat (1986:224), para ahli antropologi biasanya

memakai istilah holistik untuk menggambarkan metode tinjauan yang

mendekati kebudayaan sebagai suatu kesatuan yang terintegrasi. Dalam

penjabaran penulis nanti dapat dilihat bahwa masing-masing dari unsur

tradisi nitik saling terkait satu sama lain.

Kajian ini, mampu menghadirkan fungsi-fungsi yang tersembunyi dalam

budaya lokal masyarakat, termasuk pada tradisi nitik. Penulis memang

bertujuan mengungkap beberapa fungsi yang ada dalam tradisi nitik, yang

selama ini mungkin tidak banyak digali. Fungsi yang mungkin diungkap

adalah fungsi-fungsi yang menguntungkan bagi para beduak sendiri.

Ketergantungan tubuh pekerja keras akan minuman penambah energi,

menunjukkan bahwa kebudayaan (beserta seluruh unsurnya) dan organisasi

sosial merupakan respons terhadap kebutuhan biologis dan psikologis,

12
kebutuhan ini dapat dipenuhi oleh beberapa respons kebudayaan yang

berbeda-beda seperti yang dijelaskan oleh Malinowski (Saifuddin,

2005:168). Kajian Malinowski ini bisa menjelaskan bagaimana budaya

membentuk ”dirinya” sedemikian rupa, agar mampu mampu menjadi

pelindung dan alat pertahanan hidup bagi para penganutnya.

Toak sebagai bagian dari budaya menjadi suatu kebutuhan tersendiri

bagi komunitas beduak yang tidak bisa lepas darinya. Toak dianggap sebagai

suplemen bagi para beduak membantu mereka untuk tetap beraktifitas

dengan nyaman tanpa ada gangguan lemah, letih atau lesu. Apabila mereka

(para beduak) yang sebagian besar adalah para pekerja keras tidak meminum

toak dan merasa badannya pegal, maka akan berpengaruh negatif pada

pekerjaan mereka. Berarti kajian ini bisa mengungkap bagaimana tradisi

nitik yang notabene merupakan ajang berkumpul minum toak tetap bisa eksis

dan merupakan awal pembentuk ikatan sosial diantara para beduak.

Teori interaksional simbolik penulis gunakan untuk menganalisa

fungsi dan kontinuitas dibalik interaksi yang terjadi antar aktor-aktor sosial

yang ada di dalam tradisi nitik, sehingga bisa diketahui faktor-faktor yang

membuat nitik masih eksis hingga sekarang. Rumusan yang paling ekonomis

dari asumsi interaksionis datang dari karya Herbert Blumer (Craib,1985:112)

yaitu Manusia bertindak terhadap sesuatu atas dasar makna-makna yang

dimiliki benda-benda itu bagi mereka, Makna-makna itu merupakan hasil

dari interaksi sosial dalam masyarakat manusia, makna-makna

dimodifikasikan dan ditangani melalui suatu proses panafsiran yang

digunakan oleh setiap individu dalam keterlibatannya dengan tanda-tanda

13
yang dihadapinya.

Mead (Ritzer dan Goodman, 2004:291) menjelaskan bahwa teoritisi

interaksional simbolik cenderung menyetujui pentingnya penyebab dari

interaksi sosial dan kontinuitas dari interaksi tersebut. Teori ini memusatkan

perhatian pada tindakan dan interaksi manusia, bukan pada proses mental

yang terisolasi. Teori ini digunakan untuk menjelaskan bagaimana

kontinuitas hubungan yang tidak hanya terjadi di luar area nitik, karena

hubungan-hubungan yang terjadi diantara para beduak jauh lebih dalam

daripada sekilas pandang saat mereka sedang nitik. Hal itu akan menjelaskan

bagiamana nitik berfungsi dari segi sosial.

Studi Interaksional Simbolik akan lebih mudah dimengerti dan

digunakan saat kita menoleh sedikit pada ide-ide mengenai unit tindakan

Talcott Parson dalam Craib (1985:110), hal tersebut melibatkan seperangkat

asumsi mengenai aktor sosial. Parson membuat beberapa pilihan antara

tujuan-tujuan dan cara-cara untuk mencapai tujuan itu dalam situasi baik

mengenai objek fisik maupun sosial termasuk norma-norma dan nilai

kultural.

Proses pelembagaan (institusionalisasi) mencakup pelaku-pelaku

(actors) yang menyesuaikan tindakan-tindakan mereka dalam interaksi

sosial. Antar individu memberikan kepuasan timbal balik dan kalau hal

tersebut berhasil, tindakan tadi berkembang menjadi suatu pola mengenai

status-status peranan suatu struktur peranan dalam suatu komunitas kecil

atau besar.

Melihat makna dalam suatu interaksi sosial menurut Ryle (Geertz,

14
1992:11), agak menyesatkan seperti usaha pemecahan sandi atau kritik

terhadap sastra. Spradley (1995:120), telah mngingatkan kita, para

etnografer maupun calon etnografer tentang pentingnya pemaknaan pada

budaya. Masyarakat dimana saja menata hidup mereka dalam kaitannya

dengan makna dari berbagai hal.

Simbol, interaksi, tradisi dan makna di dalamnya adalah bagian dari

budaya masyarakat. Kebudayaan merupakan seperangkat sistem

pengetahuan yang digunakan oleh penggunanya sebagai alat untuk

menginterpretasi alam (Suparlan, 2003: 85), sedangkan Crapo (2002:24),

menjelaskan bahwa:

“… adjusment of ways of life to different habitats, it is assumed that culture is


an adaptive mechanism, and that those custom that improve a society’s ability
to adapt to its environment are the ones that are most likely to survive”.

“… pembelajaran mengenai cara menyesuaikan diri di lingkungan yang


berbeda, hal tersebut mengasumsikan bahwa bahwa kebudayaan merupakan
hasil mekanisme adaptasi, dan kebiasaan beradaptasi tersebut menimbulkan
kemampuan bagi masyarakat untuk beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya
yang merupakan syarat utama untuk bisa bertahan hidup”

Tiada masyarakat yang lepas dari kebudayaan, masyarakat dan

kebudayaan eksis karena satu alasan, yaitu memberi manusia fasilitas untuk

memenuhi kebutuhan hidupnya seperti yang dijabarkan Lenski dan Lenski

(1978:34). Menurut Koentjaraningrat (1986:136) kebudayaan memiliki tujuh

unsur universal yaitu sistem religi, bahasa, sistem pengetahuan, sistem

teknologi, organisasi sosial dan kekerabatan, sistem mata pencaharian dan

kesenian. Budaya sendiri terimplementasikan dalam tiga wujud menurut

Koentjaraningrat (1994:15) wujud pertama adalah sistem ide atau gagasan,

wujud kedua adalah perilaku dan wujud ketiga adalah hasil fisik budaya.

Wujud pertama dari kebudayaan yaitu sestem ide atau gagasan biasa

15
disebut sebagai blue print budaya. Konsep mengenai nilai, moral, pranata

suatu budaya tercetak dalam sistem kognisi masyarakat sebagai hasil

interpretasi terhadap alam lingkungannya. Manusia mulai berpikir untuk

mamanfaatkan alam sekitarnya untuk kepentingannya, pikiran-pikiran

tersebut mulai tercetak dan terkonsep sistematis serta tersusun logis untuk

diterapkan dalam rangka mencukupi kebutuhannya.

Wujud kedua adalah perilaku, wujud ini merupakan tindak lanjut dari

wujud pertama kebudayaan, sistem ide atau gagasan. Wujud kedua ini

kelakuan yang terpola dari masyarakat itu sendiri. Wujud ketiga adalah hasil

fisik budaya, yaitu hasil yang terabstraksi oleh pancaindera kita termasuk

toak dan centhak.

Bagi para beduak, kumpul bersama bolo ngombe adalah suatu

kepuasan yang tidak bisa diukur dengan materi. Menurut penjabaran dari

Mulder (1984: 52), individualitas bisa dianggap sebagai sikap yang

membahayakan, bahkan dianggap berdosa dalam masyarakat Jawa. Niels

Mulder mencoba menjelaskan bahwa masyarakat Jawa sangat menghargai

relasi sosial dan mengenyampingkan individualitas.

Tradisi nitik yang dianggap turut menjaga hubungan antar individu

tetap dikembangkan dan dipertahankan walaupun berada dalam gelombang

modernisasi yang menerpa Indonesia. Merujuk pada Mulder (1984:35),

Modern adalah suatu sikap, cara berpikir menghadapi dinamisasi dunia.

Modern tidak berarti merubah keadaan tradisional, melainkan pembukaan

dimensi-dimensi hidup baru.

16
I.5. Metode penelitian

I.5.1 Teknik Pengumpulan Data

Penelitian yang akan dilakukan penulis di Kabupaten Tuban

mencakup dua metode utama yaitu observasi dan interview untuk

menghasilkan data kualitatif. Penelitian ini bertujuan utama membentuk

karya tulis etnografi tentang tradisi nitik di kabupaten Tuban. Etnografi,

menurut Spradley (1978:3) merupakan pekerjaan mendeskripsikan suatu

kebudayaan dengan hasil akhir memahami suatu pandangan hidup dari sudut

pandang penduduk asli.

Salah satu pendekatan yang lazim digunakan dalam penelitian

etnografi adalah pendekatan holistik. Menurut Garna (Bestari, 2004:5),

pendekatan holistik melihat keterkaitan dari keseluruhan bagian-bagian dan

menganggap masyarakat adalah suatu sistem yang terbentuk dari bagian

yang satu sama lainnya saling berkait, tiap bagian tidak dapat berdiri sendiri

sepenuhnya dan tidak dapat diteliti secara terpisah. Keberadaan seseorang

harus dilihat dalam hubungannya dengan bagian-bagian lain di lingkup

hubungan masyarakat. Oleh karena itu, menurut Spradley (1995:3),

penelitian etnografi melibatkan peneliti pada pembelajaran mengenai dunia

orang yang telah belajar melihat, mendengar, berbicara, berpikir dan

bertindak dengan cara-cara yang berbeda. Tidak hanya mempelajari

masyarakat, namun etnografi berarti belajar dari masyarakat.

Karya Etnografi memiliki beberapa tahapan yang harus dilalui oleh

peneliti. Tahapan ini berbeda dengan tahapan yang ada di ilmu-ilmu sosial

17
yang lain. Penelitian etnografi menuntut arus balik yang konstan dari satu

tahap ke tahap yang lain. Menurut Spradley (1995:119), Kelima tahapan

dalam penelitian etnografi ini dapat dilakukan dalam waktu yang bersamaan

dan terdiri dari:

Pertama, memilih masalah. Spradley (1995:119), Permasalahan ini

didasarkan kepada teori kebudayaan umum dan cenderung mirip dengan

teori interaksi simbolik. Dalam hal ini, penulis memilih Tradisi nitik sebagai

pangkal pembentuk ikatan sosial diantara para beduak di Kabupaten Tuban.

Kedua, mengumpulkan data kebudayaan. Dalam tahapan kedua ini,

penulis mengajukan beberapa pertanyaan deskriptif kepada para informan

yang penulis wawancarai di lapangan. Pertanyaan deskriptif yang penulis

ajukan semisal bagaimana alur tradisi nitik, bagaimana proses pembuatan

toak, bagaimana para beduak bisa akrab satu sama lain, bagaimana cara

memilih tempat yang tepat untuk nitik dan pertanyaan deskriptif lainnya

yang bisa dilihat di dalam lampiran.

Ketiga, Menganalisis data kebudayaan. Berdasarkan tulisan Spradley

(1995:119), Tahapan ini meliputi pemeriksaan ulang catatan lapangan untuk

mancari makna dan keterkaitan simbol yang ada dalam sebuah kebudayaan.

Dalam tahapan ini, penulis menganalisa kertas kerja dan berbagai catatan

lapangan lainnya kemudian berusaha menganalisis menggunakan teori-teori

yang berkaitan dengan topik penelitian.

Keempat, Memformulasikan hipotesis etnografis. Di dalam benak

penulis sudah terbentuk suatu hipotesa sederhana bahwa intensitas

pertemuan para beduak dalam tradisi nitik, membuat suatu ikatan sosial

18
(social bond) diantara beduak dan seterusnya membentuk jaringan sosial

(social network) yang terimplementasi dalam berbagai sektor kehidupan

seperti sosial, politik ekonomi dan sektor-sektor lainnya. Sesuai dengan

penjelasan dari Tan (Koentjaraningrat ed., 1991: 25), bahwa suatu hipotesa

bisa diperoleh dari tiga sumber, yang pertama adalah pengalaman,

pengamatan dan dugaan si peneliti sendiri. Sumber kedua adalah hasil dari

penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya, dan yang ketiga adalah

berasal dari teori-teori yang sudah terbentuk.

Kelima, menuliskan etnografi. Dalam tahapan ini penulis mencoba

menuliskan data dan temuan apa saja yang ditemui di lapangan ke dalam

karya etnografi ini dan berusaha menganalisa dengan teori yang tepat

sehingga menghasilkan suatu pemahaman yang kongkrit mengenai tradisi

nitik. Sehingga apabila analisa yang dibuat penulis tidak sesuai dengan

hipotesa awal, maka penulis akan mengubahnya sesuai dengan data yang

telah didapat.

I.5.1. Lokasi Penelitian

Pemilihan lokasi ini dilakukan secara purposive. Penelitian ini

berlokasi di beberapa tempat nitik di Kecamatan Semanding dan Kecamatan

Tuban, Kabupaten Tuban, Jawa Timur. Pemilihan lokasi ini sengaja

dilakukan karena kecamatan Semanding merupakan kecamatan tenpat

tinggal dari penulis, sehingga cukup mengenal daerahnya. Di kecamatan

Semanding banyak terdapat kelompok-kelompok nitik yang kebanyakan

terdiri dari komunitas petani desa.

19
Sedangkan pemilihan lokasi penelitian di kecamatan Tuban agar

penulis mengetahui varian tradisi nitik di Tuban dan juga sebagai

pembanding dengan tradisi nitik yang terdapat di Kecamatan Semanding,.

Tradisi nitik di Kecamatan Tuban banyak diikuti oleh beduak-beduak non-

petani, biasanya nelayan, tukang becak atau kuli bangunan.

Menurut keterangan informan penulis, Sutiyono (37), kebanyakan

nitik di kecamatan Tuban yang biasanya diikuti oleh kalangan non-petani

dibuat hanya untuk mabuk-mabukan dan kurang mengetahui makna toak

sebagai minuman untuk menambah energi dan obat bagi tubuh warisan luhur

nenek moyang.

I.5.2. Teknik Penentuan Informan

Informan merupakan sumber informasi untuk penulis, maka penulis

harus berhati-hati dalam memilih informan yang akan diwawancarai. Penulis

memilih informan berdasarkan beberapa kriteria yang telah ditentukan.

Penulis memperjelas batasan kriteria pemilihan informan

menggunakan kriteria yang ditawarkan oleh Spradley (1995:61-70), pertama

adalah Enkulturasi penuh, keterlibatan langsung, suasana budaya yang tidak

dikenal, cukup waktu dan non analitik. Merujuk pada kriteria pertama, yaitu

enkulturasi penuh, penulis memilih Karmidji (52) (lihat lampiran gambar 2),

seorang penjual toak yang sudah bertahun-tahun melakukan pekerjaannya,

juga ada Warsito (46) (lihat lampiran gambar 5), Tasiran (lihat lampiran

gambar 4) dan Taji (48) (lihat lampiran gambar 6).

Semasa mudanya, dia adalah petani yang juga beduak dan pada saat

20
masa tuanya, Karmidji tidak lagi bertani di sawah, melainkan aktif dalam

menjual toak semenjak tahun 1996. Karmidji biasa berjualan toak di sebuah

gubuk pinggir sawah di desa Ngino (lihat lampiran gambar 13), Kecamatan

Semanding, Kabupaten Tuban pada sore hari sekitar pukul 15.00. Informan

pangkal penulis adalah Sutiyono (37) (lihat lampiran gambar 1), seorang

pegawai swasta yang tinggal di desa Sumurgung, Kecamatan Semanding.

Alasan penulis memilih Sutiyono (37) karena dia adalah orang yang

hapal mengenai seluk beluk Kabupaten Tuban dan merupakan beduak

semenjak umur 20 tahun. Hampir setiap hari Sutiyono harus pergi

berkeliling Tuban untuk mencari sepeda bekas untuk dijual kembali di pasar

dagang sepeda Tuban, sehingga dia bergaul dengan banyak orang dan tahu

banyak mengenai kondisi Kecamatan Semanding dan Kecamatan Tuban

pada umumnya. Dari Sutiyono inilah, penulis tahu letak-letak tempat nitik

baik di desa maupun di daerah perkotaan dan juga berkenalan dengan para

beduak maupun penjual yang dikenal oleh Sutiyono seperti Karmidji,

Warsito, Jarno.

Kriteria kedua adalah keterlibatan langsung. Kriteria ini merujuk

pada para informan yang pernah atau secara intens mengikuti tradisi nitik,

seperti Jarno (47) (lihat lampiran gambar 3), yang sudah menjadi beduak

semenjak umur 20 tahun, dan sampai sekarang hampir setiap hari minum

toak di tempat nitik Karmidji di Desa Ngino, Kecamatan Semanding dan

telah mencoba toak dari seluruh penjuru Tuban. Dengan pengalamannya

yang begitu panjang dan intens, maka penulis merasa tepat memilih Jarno

menjadi salah satu informan untuk karya etnografi ini.

21
Kriteria Ketiga, Suasana budaya yang tidak dikenal. Peneliti yang

menampakkan pengetahuannya tentang budaya informan cenderung

dianggap sombong dan sia-sia dalam melakukan penelitian. Penulis dengan

sengaja memberitahu kepada para penjual toak, bahwa keikutsertaan penulis

dalam nitik dalam rangka meneliti ikatan sosial para beduak, dan juga ikut

memperkenalkan nama tradisi nitik keluar wilayah Tuban. Karena menurut

Spradley (1995:49), menyampaikan pemberitahuan tujuan penulisan

merupakan salah satu etika penulisan sebuah karya etnogtafi. Penulis secara

eksplisit memberitahukan kepada mereka bahwa tradisi nitik dan toak

bukanlah hal yang familiar bagi penulis, karena walaupun orang Tuban,

penulis tidak pernah ikut langsung dalam kegiatan nitik ataupun meminum

toak.

Kriteria keempat adalah cukup waktu. Penulis berusaha

memperhatikan kondisi serta jadwal keseharian dari informan tersebut.

Kondisi informan akan mempengaruhi data yang mereka berikan. Informan

yang sibuk dengan hal yang mereka kerjakan cenderung memecah

konsentrasinya untuk menjawab pertayaan peneliti sekaligus mengerjakan

pekerjaannya.

Seperti yang penulis lakukan saat mewawancarai Karmidji (52),

penjual toak di Kecamatan Semanding saat berjualan toak. Karmidji lebih

tenang dan jelas saat menuturkan satu demi satu keterangan mengenai nitik

pada saat dia menunggu pembeli datang padanya, disaat kami hanya berdua

saja. Warsito (46) (lihat lampiran gambar 5), yang juga merupakan penjual

toak di desa Genaharjo di Kecamatan Semanding juga lebih lepas saat

22
memberikan informasi pada penulis tentang nitik saat dia berada di

rumahnya seusai berjualan toak, pada saat wawancarapun penulis

memastikan Warsito dan Karmidji (penjual selalu ikut minum saat

berjualan) tidak dalam kondisi mabuk dengan cara bertanya langsung.

Kriteria kelima menurut adalah non analitik. Informan non analitik

selalu menjawab pertanyaan yang diberikan oleh peneliti dengan bahasa dan

pengetahuan yang dimilikinya selama dia tinggal dalam lingkungan

budayanya, tanpa ada unsur analisis subyektif dari sang informan ataupun

dari orang lain di sekitarnya.

Informan yang penulis wawancarai seperti Warsito, Karmidji,

Kardji, Jarno, Parman menggunakan bahasa Jawa Ngoko Alus dan kasar

dengan dialek Tubanan yang kental. Mereka menggunakan pengetahuan

yang diberikan turun temurun oleh nenek moyang mereka dan pengetahuan

yang terabstraksi dari kehidupan mereka sehari-hari. Hanya Sutiyono yang

menggunakan bahasa Indonesia saat diwawancarai.

Pengetahuan mereka tentang nitik, toak dan tambul adalah

pengetahuan yang sudah mereka dapatkan semenjak mereka tumbuh dewasa

di kampung halaman masing-masing seperti Karmidji yang mengaku sudah

sekitar 30 tahun mengkonsumsi toak sampai menjadi penjual toak sekarang,

padahal umur Karmidji sekarang sudah 52 tahun, berarti dia mulai

mengkonsumsi toak sekitar umur 22 tahun.

I.5.3 Strategi Pengumpulan Informasi

Penulis melakukan riset lapangan mengenai tradisi nitik dengan

23
melakukan metode observasi/pengamatan dan wawancara dengan informan.

Observasi berdasarkan definisi dari Bestari (2004:3), adalah suatu strategi

pengumpulan data melalui pengamatan inderawi dengan melakukan

dokumentasi terhadap gejala yang ada pada objek penelitian secara langsung

pada lokasi penelitian. Implementasi di lapangan, penulis terjun langsung ke

kegiatan nitik pada beberapa tempat di Kabupaten Tuban dan melihat secara

langsung bagaimana kegiatan tersebut berlangsung dan mendokumentasikan

lewat media fotografi atau catatan lapangan.

Sudikan (2001:59) menyarankan dalam kegiatan observasi diperlukan

pendekatan antropologi visual, yaitu penggunaan alat bantu dokumentasi

seperti kamera untuk mengambil foto pada obyek yang sesuai dengan tema

yang diteliti dan berkaitan dengan latar belakang etnografisnya.

Penulis juga berusaha melakukan jenis pendekatan observer as

participant seperti yang diungkapkan oleh Jimenez (Bautista ed. 1988), yaitu

penulis tidak sepenuhnya terlibat dalam kegiatan nitik. Namun dalam

penelitian, penulis mengungkapkan identitas penulis sebagai seorang yang

sedang melakukan penelitian nitik. Penulis tidak sepenuhnya mengikuti

tradisi nitik setiap hari dan bergaul penuh dengan para beduak.

Penulis juga tidak meminum toak, karena alasan agama yang dipeluk

oleh penulis tidak memperbolehkan untuk meminum munuman yang

mengandung alkohol, yang kedua penulis juga tidak menyukai rasa dan

aroma toak. Walaupun tidak mengikuti penuh, tetapi penulis tetap

melakukan pencatatan-pencatan etnografis seperti yang disarankan oleh

Spradley (1995:181), yaitu membuat catatan etnografis.

24
“The Observer As Participant...the former does not conceal the fact
that he is conducting a field study but, as much as possible, avoids
direct participation in group or community activities. This type of role
is usually utilized in one-visit interview and in process documentation
researches.” Jimenez (Bautista ed., 1988:108)

“Peneliti sebagai partisipan…peneliti-peneliti terdahulu tidak


menyembunyikan identitas asli sebagai seseorang yang sedang
melakukan penelitian lapangan, tetapi sebisa mungkin menghindari
partisipasi langsung dalam suatu kelompok atau komunitas. Tipe
seperti ini biasanya memanfaatkan penuh wawancara dalam sekali
kunjungan dan di dalam proses penelitian dokumentasinya.” Jimenez
(Bautista ed., 1988:108)

Penulis akan menurunkan tingkat partisipasi apabila keadaan tidak

memungkinkan seperti saat penulis sakit, atau berhubungan dengan ambang

batas alkohol yang diminum oleh manusia.

Strategi lain yang penulis lakukan adalah wawancara. Menurut

Bestari (2004:4), wawancara adalah proses memperoleh keterangan

berkenaan dengan riset dengan cara tanya jawab secara langsung berhadapan

atau lewat madia komunikasi seperti telephone antara peneliti dan informan.

Wawancara dilakukan bertujuan:

“(1) mencari kebenaran fakta, (2) memperkuat kepercayaan tentang kedaan


fakta, (3) mencari keterangan tentang kegiatan tertentu, (4) mencari
keterangan tentang kasus tertentu, (5) mencari keterangan tentang seluk
beluk kebudayaan masyarakat yang diteliti” Bestari (2004:4).

Sevilla (1992:71) menuliskan bahwa salah satu ciri terpenting dalam

riset adalah komunikasi langsung antara peneliti dengan informan yang telah

ditentukan. Salah satu bentuk komunikasi antara peneliti dan informan

adalah melalui wawancara. Bentuk wawancara yang akan dipakai penulis

adalah wawancara mendalam (indepth interview) dan tidak terstruktur

(unstructured interview) karena bukan berbentuk kuisioner dalam analisa

data kuantitatif yang menggunakan wawancara terstruktur (structured

interview). Jenis wawancara ini cenderung menggali secara detail dan dalam

25
tentang sebuah fenomena budaya dari keterangan yang diberikan informan

berkaitan dengan imitasi, identifikasi, internalisasi dan sosialisasi tradisi

nitik di kalangan masyarakat Tuban. Indepth interview diharapkan mampu

menghasilkan kajian etnografis yang layak dijadikan acuan valid dalam

dunia pendidikan.

Menurut Sudikan (2001:64), untuk memfokuskan wawancara

diperlukan catatan daftar pokok pertanyaan yang disebut pedoman

wawancara (interview guide). Wawancara akan berlangsung efektif tanpa

ada banyak bias dari tujuan asli peneliti dan menghindarkan peneliti lupa

pada pertanyaan yang akan disampaikan kepada informan.

Penulis mencari beberapa data lain dari penelitian lain yang memiliki

relevansi dengan penelitian ini. Untuk tujuan tersebut, penulis berencana

untuk aktif mencari di jurnal penelitian melalui internet ataupun dalam

bentuk buku. Penulis juga tidak lupa untuk mencari artikel di koran, web-

site, blog, majalah yang dapat membantu penulis untuk membuat karya

etnografi dengan memperhatikan aturan penulisan ilmiah agar terhindar dari

plagiatisme.

Bagan 1.1 Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data7

Web site

Buku Dikumpulkan

Artikel koran
7 Bagan ini diambil dari karya tulis ilmiah berjudul “Pijat Fisoterapi Arthritis Sebagai
Solusi Low Back Pain di Kalangan Nelayan” karya Darundiyo Pandupitoyo. Karya Tulis ini
dibuat dalam rangka pemilihan Mahasiswa Berprestasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Airlangga 2006.

26
Filtrasi Data

Observasi
Ketegorisasi dan Analisis

Wawancara

I.5.4. Teknik Analisis

Menurut Setyoputro (2006:23), perlu dikemukakan bahwa analisis

data dilakukan dalam suatu proses. Analisa data mulai dilakukan sejak

pengumpulan data dilakukan dan dikerjakan secara intensif, yaitu sesudah

meninggalkan lokasi penelitian Data yang didapatkan dari penelitian akan

dianalisis menggunakan acuan teoritik yang mempu nyai relevansi dengan

permasalahan yang dibahas.

Demi mendukung penulisan karya etnografi yang baik, penulis

menggunakan fokus penelitian etnografi yang disarankan oleh James

Spradley dalam bukunya yang berjudul Metode Etnografi. Memang terkesan

rumit dan kompleks, namun fokus ini mempermudah seorang etnografer

dalam mengungkap makna dan tema budaya yangssedag ditelitinya. Alur

penelitian seperti yang penulis terapkan ini memang tidak mudah, namun

setelah semua tahap selesai dilakukan, maka semuanya akan menjadi mudah.

Karya etnografi yang baik harus memperhatikan fokus penelitian etnografis.

Spradley (1995:181) menggambarkan tata urutan fokus peneltian etnografis

sebagai berikut;

Bagan 1.2. Fokus Dalam Penelitian Lapangan

12. Menulis etnografi

27
11. Menemukan tema-tema budaya

10. Membuat analisis komponen

9. Mengajukan pertanyaan kontras

8. Membuat analisis taksonomik

7. Mengajukan pertanyaan struktural

6. Membuat analisis domain

5. Melakukan analisis wawancara etnografis

4. Mengajukan pertanyaan deskriptif

3. Membuat catatan etnografis

2. Melakukan wawancara terhadap informan

1. Menetapkan seorang informan

Sumber: Spradley: (1995:181)

Untuk tahapan pertama hingga ketiga sudah penulis uraikan pada sub

bab 1.5 metode Penelitian. Penulis akan mencoba menguraikan point

keempat sampai dengan point keduabelas, karena berhubungan dengan

tahap-tahap analisa data.

Point keempat adalah mengajukan pertanyaan deskriptif. Penulis

mengajukan pertanyaan dasar mengenai tradisi nitik semisal berapa harga

toak se-centhaknya? Atau bagaimana uraian kegiatan tradisi nitik? dan

pertanyaan-pertanyaan lain yang memancing jawaban deskriptif dari

informan, sehingga penulis mampu menguraikan data dengan jelas.

Melakukan analisis wawancara etnografis (Spradley,1995:117),

28
Istilah tercakup (X)

Analisis adalah pemaknaan penulis yang coba ditelaah menggunakan teori-

teori yang bersangkutan semisal dengan menelaah penyebab terbentuknya

ikatan sosial di kalangan beduak, lebih dalam lagi teori interaksional

simbolik coba menjelaskan bagiamana kontinuitas hubungan antara para

beduak setelah tradisi nitik. Analisis yang dilakukan berdasarkan informasi

atau data yang didapat penulis dari wawancara dengan informan yang ada di

lapangan. Penulis banyak mendapat istilah-istilah lokal maupun pengertian-

pengertian baru yang dimasukkan ke dalam catatan etnografis.

Berikutnya membuat analisis domain. Dalam tahapan ini penulis

menggunakan kertas kerja domain agar mengetahui domain-domain dari

istilah lokal yang baisa digunakan dalam tradisi nitik. Misal Pada salah satu

kertas kerja penulis mendapatkan satu istilah pencakup yaitu ”bolo ngombe”

atau dalam bahasa Indonesia disebut teman minum. Istilah tercakup nampak

pada identifikasi terhadap istilah ”bolo ngombe”. Yang diidentifikasikan

sebagai teman yang sering ikut minum bersama dalam satu tempat nitik,

selain ikut dalam satu tempat nitik, dia juga harus sering berbicara dan

ngobrol dengannya, memiliki kesamaan dalam berbagai hal seperti

pandangan mengenai fakta atau fenomena yang dihadapi dan banyak istilah

tercakup lainnya.

Contoh Kertas Kerja 1.1. Kertas Kerja Analisis Domain

hubungan antara x dan y

29
Istilah pencakup (Y)

Kertas kerja domain berisi hubungan diantara istilah pencakup (yang

biasa disimbolkan dengan huruf y) dan istilah tercakup (yang biasa

disimbolkan dengan huruf x). Memahami istilah pencakup dan tercakup

seperti memahami hiponim dan hipernim dalam pelajaran bahasa Indonesia.

Analoginya, hiponimnya adalah bunga dan hipernimnya bisa saja mawar,

melati, anggrek atau tulip. Hiponim mewakili istilah pencakup (y) dan

hipernim mewakili istilah tercakup (x).

Satu hubungan antara x dan y disebut dengan satu subset, dan jenis

hubungan antara x dan y disebut dengan kerangka subtitusi. Semisal

hubungan x adalah salah satu definisi y, atau x adalah salah satu jenis dari y.

Analisis ini berguna untuk mengungkap istilah-istilah tersembunyi dari

masyarakat lokal yang membantu dalam melakukan pencarian tema budaya.

Langkah berikutnya adalah mengajukan pertanyaan struktural

(Spradley, 1995:157), Pertanyaan struktural biasanya bersifat mengurai

konten atau prosedural kegiatan secara periferal. Semisal “dalam kegiatan

nitik terdapat tambul sebagai makanan pelengkap minum toak, apa saja jenis

tambul itu?”

Penulis mengajukan pertanyaan struktural berjenis pembuktian.

Kebanyakan pertanyaan struktural yang muncul pada kertas kerja domain

30
seperti apa benar salah satu akibat orang mabuk itu gampang emosi? Atau

apa benarkah bolo ngombe dapat dijadikan ajang mencari teman?.

Tahapan selanjutnya adalah Membuat analisis taksonomik. Dengan

mengkategorisasikan jenis-jenis pekerjaan yang banyak ikut dalam tradisi

nitik. Pembuatan analisis taksonomik dengan memilih salah satu domain

yang dominan. Dari domain tersebut, penulis melanjutkan dengan mencari

subset-subset lain dengan kesamaan kerangka subtitusi. Penulis melihat data

transkrip wawancara dan melihat kembali hasil jawaban dari pertanyaan

struktural yang diajukan penulis kepada beberapa informan.

Beberapa domain yang telah terkumpul untuk kemudian dicari

domain yang lebih besar atau inklusif untuk mencakup kesemua domain

diatas. Pemaparan dari analisis taksonomik ini lebih mudah dilihat bila

dituliskan dalam sebuah kertas kerja analisis taksonomik yang penulis buat

seperti yang ditunjukan dalam tabel di bawah ini;

Contoh Kertas Kerja 1.2 Kertas Kerja Analisis Taksonomik

Domain Istilah tercakup

Domain yang (Diwakili dengan

Lebih Besar Penulisan Istilah

Pencakup)
Istilah tercakup
Istilah tercakup
Domain Istilah tercakup

(Diwakili dengan

31
Penulisan Istilah

Pencakup)
Istilah tercakup
Istilah tercakup

Istilah tercakup

Domain Istilah tercakup

(Diwakili dengan

Penulisan Istilah

Pencakup)
Istilah tercakup
Istilah tercakup
Kemungkinan lain yang tidak tercakup dalam satu domain

Dalam pengisian kertas kerja analisis taksonomik, kita hanya perlu

mengisikan domain-domain kecil yang bisa disatukan akibat kesamaan

kerangka subtitusi. Penulisan domain-domain kecil ini bisa diwakilkan pada

istilah pencakup pada masing-masing domain. Kolom besar paling kiri diisi

dengan domain inklusif yang ditemukan, dan sebelah kanannya disusul oleh

domain yang tercakup dalam domain besar. Pada baris paling kanan diisi

dengan istilah-istilah tercakup. Terkadang terdapat istilah dalam baris yang

tidak diawali dengan istilah pencakup, karena istilah tersebut berdiri sendiri.

Analisis ini berguna memahami berbagai macam taksonomi istilah rakyat

32
Setelah analisis taksonomik, tahapan berikutnya adalah mengajukan

pertanyaan kontras. Penulis mengajukan beberapa pertanyaan kontras untuk

mencari perbedaan dalam satu rangkaian kontras yang sama dimana di

dalamnya terkandung domain-domain dalam kategori besar. Dalam tahapan

ini penulis menyajikan media kertas kerja analisis taksonomik yang

bertuliskan istilah-istilah rakyat yang tercakup dalam domain-domain dalam

kategori besar.

Penulis mengintruksikan informan, Sutiyono (37), agar melihat

semua istilah dalam domain-domain yang tersedia. Setelah itu penulis

mengajukan beberapa pertanyaan kontras dengan jenis pertanyaan perbedaan

diadik. Tahapan ini bertujuan mengetahui terdapat fungsi lain yang belum

terungkap selama mengadakan penelitian. Berdasarkan wawancara ini juga,

penulis menanyakan beberapa perbedaan lagi dalam satu dimensi kontras.

Selanjutnya membuat analisis komponen. Tahapan ini, merupakan

suatu pencarian sistematik berbagai atribut (komponen makna) yang

berhubungan dengan simbol-simbol budaya, penulis menghubungkan

rangkaian kontras yang mengandung fungsi tradisi nitik dan dimensi kontras

yang terdiri atas konsep-konsep masyarakat lokal mengenai tradisi nitik guna

menemukan kesamaan diantara rangakaian kontras dan mempermudah

menemukan pola budaya. Aplikasi dari analisis komponen ini dapat dilihat

dalam kertas kerja paradigma (analisis komponen) seperti di bawah ini;

Contoh Kertas Kerja 1.3 Kerta Kerja Paradigma (Analisis


Komponen)
Dimensi Kontras

33
Rangkaian
Kontras

Setelah analisis komponen selesai, maka langkah selanjutnya adalah

menemukan tema-tema budaya. Tahapan ini bertujuan untuk memahami

sifat dasar tema-tema daam sistem budaya. Penulis menggunakan strategi

identifikasi tema budaya dengan mencari kemiripan di antara berbagai

dimensi kontras sebagaimana ditulis oleh Spradley (1995:266).

Langkah terakhir adalah menulis etnografi. Dengan melakukan alur

penelitian maju pada fokus penelitian etnografi seperti diatas, maka peneliti

mengungkap sumber pengetahuan tersembunyi dari masyarakat lokal.

Penulis mengungkap bagaimana ikatan sosial yang terbentuk dari

pertemanan saat minum toak bersama nampak pada domain alasan nitik

untuk pergaulan sosial (lihat gambar 1.1) dapat terbentuk dalam tradisi nitik

dan berlanjut sampai kepada jaringan sosial yang kontinum karena fungsi-

fungsi lain yang menyertainya. Makna dan fungsi ini nampak apabila kita

memakai pendekatan yang tepat, yaitu memulai dengan menjalin rapor yang

baik dengan informan seperti yang disarankan oleh Spradley (1995:86),

34
penulis terus menjalin hubungan baik dengan semua informan pada saat

penelitian.

Dalam Spradley (1995:47), penjalinan rapor yang baik dijalankan

sesuai beberapa prinsip etika yang dikenal dengan Principle of Proffesional

Responsibility yang diperkenalkan oleh the Council of the American

Anthropological Association pada tahun 1971. Etika pertama adalah dengan

mempertimbangkan informan terlebih dahulu, prinsip ini menganggap

bahwa bila terjadi konflik kepentingan, maka tugas seorang etnografer yang

mewawancarainya untuk melindungi hak-hak mereka. sejauh penelitian

mengenai tradisi nitik ini berlangsung, tidak ada konflik pada tingkat

keterlibatan informan.

”Dalam peneitian, tanggung jawab seorang ahli Antropologi adalah


terhadap pihak-pihak yang dipelajarinya jika terjadi konflik
kepentingan, individu-individu ini harus dikedepankan terlebih dahulu.
Ahli Antropologi harus melakukan segala sesuatu dalam kekuasaannya
untuk melindungi kesejahteraan fisik, sosial dan psikologi mereka
dengan menghormati martabat serta privasi mereka.” (Principles of
Professional Responsibility, 1971, par.1)

Prinsip kedua adalah mengamankan hak-hak, kepentingan dan

sensitivitas informan. Menyampaikan tujuan penelitian, penulis selalu

mengungkapkan pada semua informan sebelum wawancara dimulai bahwa

tujuan akhir penelitian ini adalah penulisan skripsi sarjana strata 1

Universitas Airlangga, juga dalam rangka ikut serta melestarikan serta

mempopulerkan tradisi masyarakat Tuban.

Prinsip ketiga adalah Melindungi privasi informan, penulis selalu

mengawali wawancara dengan menanyakan nama, umur dan variabel data

diri lainnya, namun penulis juga tidak lupa menanyakan apakah data diri

tersebut boleh ditulis dengan benar di dalam proses penulisan skripsi.

35
Sampai pada tahap akhir penulisan, semua informan bersedia disebutkan

data diri aslinya karena menurut mereka peminum toak adalah “gelar” yang

wajar dan bukanlah hal yang melanggar tata susila.

Prinsip ketiga adalah tidak mengeksploitasi informan. Menurut

Principles of Professional Responsibility par.1.d. (Spradley, 1995: , seorang

etnografer dilarang mengeksploitasi informan demi kepentingan pribadi,

maka balas jasa yang seimbang harus diberkan atas nama jasa yang mereka

berikan. Maka dari itu, penulis memberikan uang bagi para beduak yang

memintanya saat diambil gambarnya8. Prinsip terakhir adalah memberikan

laporan kepada informan, penulis berjanji untuk memberikan salinan skripsi

ini kepada informan pangkal, Sutiyono dan beberapa informan seperti

Karmidji dan Taji.

Dengan bertindak berdasarkan prinsip-prinsip etika diatas, penulis

berhasil mendapatkan respons positif dari para informan berupa

keramahtamahan, kejujuran dan kepercayan. Suasana pada setiap wawancara

yang dilakukan penulis dengan beberapa informan sangatlah menyenangkan

dengan atmosfer kekeluargaan yang begitu kental. Masyarakat Tuban yang

penulis kenal selama ini memang sangatlah terbuka dan ramah terhadap

siapapun yang datang pada mereka dengan niat baik dan ketulusan.

Dari wawancara-wawancara yang dilakukan oleh penulis tersebut,

terungkaplah beragam pengetahuan para informan mengenai fungsi-fungsi

8 Kejadian tersebut, penulis alami saat penulis mewawancarai salah seorang beduak dan
mengambil gambar dengan kamera digital di saat para beduak tersebut nitik di Kelurahan
Latsari. Sang informan yang berasal dari kelangan nelayan tersebut mengucapkan kalimat
yang berbunyi “mas, mari difoto, ditakon-takoni yo ditinggali piro-piro ngono to. Laute
sepi” yang berarti “mas, setelah difoto, ditanya-tanya, ya (saya) diberi uang. Lautnya lagi
sepi (tangkapan)”. Akhirnya, penulis menyerahkan sejumlah uang untuk sang nelayan.

36
dalam nitik yang selama ini belum diketahui oleh masyarakat yang tidak

pernah terjun langsung di dalamnya. Pada saat mengikuti langsung ritual

tradisi nitik di beberapa tempat, penulis banyak mendalami makna tanda dan

simbol yang ada dan hidup diantara interaksi para beduak. Sehingga

penjalinan hubungan baik dengan informan menjadi salah satu faktor

penting bagi etnografer demi keberhasilan suatu penelitian.

Bahwa untuk menganalisa fenomena ini. Pendekatan kualitatif

memungkinkan penulis untuk menggali data lebih dalam dari informan

dengan mengadakan observasi (pengamatan) dan indepth interview

(wawancara mendalam).

BAB II
KABUPATEN TUBAN:
SEJARAH DAN PROFIL DAERAH

II.1 Kondisi Geografis Tuban

37
Menurut Ernawan (2001:61) Sebenarnya pembentukan kawasan

Tuban telah dimulai sejak zaman miosen dengan adanya sedimentasi atau

pengendapan batuan gamping karst di dalam lingkungan laut. Sedimentasi

batuan gamping ini kemudian terangkat ke permukaan laut oleh gaya

endogen pada zaman Pliosen.

Sedimentasi batu gamping yang terangkat tersebut kemudian berubah

menjadi daratan antiklinal. Selanjutnya pada zaman Plestosen berlangsung

kegiatan vulkanis dan gerak tektonis yang dapat menyebabkan pembentukan

sesar normal dan sesar geser. Arah sesar menuju utara-selatan dan timur-

barat. Pada zaman Holosen terjadi pelapukan serta erosi batuan karst dan

berubah menjadi daratan aluvial, dan proses pelapukan tersebut masih terjadi

hingga sekarang.

Kabupaten Tuban merupakan salah satu kota tua di jalur pantai utara.

Berada pada posisi koordinat 111°30-112°35 bujur timur dan 6 40-7 18

lintang selatan. Secara administratif daerah ini tergabung di dalam Provinsi

Jawa Timur. Tuban berbatasan langsung dengan Kabupaten Lamongan di

sebelah timur, Kabupaten Bojonegoro di sebelah selatan, Kabupaten

Rembang di sebelah barat, sedangkan di sebelah utara berbatasan langsung

dengan laut Jawa.

Luas wilayah Tuban adalah 1.893,94 km² (183.994,562 Ha) daratan

dan luas lautan sebesar 22.608 km² dengan panjang pantai 65 km

membentang dari arah timur kecamatan Palang sampai ke barat kecamatan

Bancar. Berdasarkan karakteristik fisik,wilayah kabupaten Tuban termasuk

pada ketinggian 0-500 meter diatas permukaan laut dan terbagi menjadi

38
empat kawasan, yaitu kawasan pantai: terletak di bagian utara dan

merupakan kawasan yang potensial untuk budidaya kelautan dan

pengembangan industri.

Kawasan gugusan pegunungan kapur: terletak di bagian tengah yang

mengandung bahan tambang galian C (sebagian adalah batu kapur) dan

potensial untuk bahan semen. Daerah aliran sungai bengawan Solo: terletak

di bagian tenggara yang potensial untuk pengembangan wilayah pertanian.

Wilayah dengan lahan pertanian yang subur: terletak di bagian selatan dan

potensial untuk pengembangan pertanian.

Pola penggunaan lahan di Kabupaten Tuban termasuk kategori pola

lahan kering dengan luasan sawah kurang dari 50% luas daratan yang ada.

Luas lahan ini dapat dibedakan atas dua jenis, yaitu lahan sawah (wetland)

dengan total luas wilayah sebesar 55.476.729 km² dan lahan kering

(dryland) seluas 128.517,833 km². adapaun pola tata guna lahan di

kabupaten Tuban berdasarkan kondisi sekarang dapat dirinci sebagai berikut:

a) Sawah : 54.860,53 Ha
b) Tegal : 59.014,00 Ha
c) Hutan : 47.160,88 Ha
d) Pemukiman : 30.537,77 Ha
e) Lain-lain : 2.421,38 Ha
Ditinjau dari aspek perencanaan tataruang wilayah, Kabupaten Tuban

dibagi dalamlima Sauan Wilayah Pengembangan (SWP) Kabupaten Tuban,

seperti yang tercantum dalam tabel berikut ini.

Tabel 2.1 Satuan Wilayah Perencanaan (SWP) Kabupaten Tuban dan


orientasi pembangunannya SWP Daerah Orientasi Pengembangan

39
I Kecamatan Tuban, Merakurak, Daerah Pertanian,perikananm
Jenu, Semanding,Kerek Palang Industri besar dan kecil,
dan Montong. pendidikan dan pariwisata serta
kehutanan.
II Kecamatan Tambakboyo dan Daerah perikanan, pertanian,
Bancar industri, pariwisata dan
kehutanan.
III Kecamatan Jatirogo dan Daerah pertanian, perkebunan,
Kenduruan pertambangan, peternakan,
kehutanan, industri kecil dan
pariwisata
IV Kecamatan Singgahan,Parengan, Daerah pertanian, pertambangan,
Bangilan dan Senori peternakan, kehutanan, industri
kecil, pariwisata dan budidaya
perikanan.
V Kecamatan rengel, Soko, Daerah pertanian, tanaman
Plumpang dan Widang pangan, perikanan, pertambangan,
pendidikan, pariwisata, industri
dan kehutanan.
Sumber: BPS Kabupaten Tuban 2003

II.2 Iklim dan Hidrografi

Potensi sebuah wilayah secara alami ditentukan oleh faktor letak dan

juga iklim wilayah tersebut, khususnya faktor iklim menjadi sangat

menentukan terhadap pembagian karakter wilayah dan pengembangan

potensi pertanian yang ada. Perbedaan iklim berpengaruh pada perbedaan

curah hujan dan macam produk yang dapat dihasilkan suatu wilayah.

Berdasarkan hasil perhitungan curah hujan di Kabupaten Tuban (dengan

memperhitungkan bulan basah dan bulan kering sepanjang tahun dalam

rentang waktu 1996-2001 yang dilakukan oleh Balai Pengkajian Teknologi

Pertanian Jawa Timur, wilayah Tuban dikategorisasikan dalam beberapa

iklim, yaitu:

1) Ikim sangat kering: Meliputi 12 Kecamatan, yaitu Kecamatan

Widang, Palang, Semanding, Tuban, Merakurak, Jenu, Kerek,

40
Montong, Tambakboyo, Bancar, Jatirogo dan Kenduruan

2) Iklim Kering: meliputi Kecamatan Plumpang, Bangilan dan

Senori.

3) Iklim agak kering: meliputi Kecamatan Soko dan Parengan

4) Iklim cukup basah: terdapat di Kecamatan Singgahan.

Dari keseluruhan wilayah Tuban, 94, 73% diantaranya (kurang lebih

174.298,06 Ha) merupakan kawasan beriklim kering (dengan variasi kering

sampai sangat kering). Sedangkan sisanya 5,27% merupakan kawasan yang

cukup basah. Kondisi ini sekilas memberikan kita gambaran iklim dan curah

hujan tidak mendukung potensi hasil pertanian Kabupaten Tuban.

Ditinjau dari segi geografis tanah, secara umum ada tiga tipe tanah

yang terdapat di wilayah Kabupaten Tuban, ketiga tipe tanah tersebut beserta

keterangan wilayahnya yaitu, pertama, Mediteranian merah kuning: berasal

dari endapan batu kapur di daerah bukit sampai gunung.area tersebut

mencakup hampir 3,8% luas wilayah Tuban, antara lain wilayah perbatasan

Semanding, montong, Kerek, Palang, Jenu, sebagian Tambakboyo, Widang,

Plumpang dan Merakurak. Kedua, Alluvial yang berasal dari endapan di

daerah cekungan, mencakup 34% luas wilayah Tuban. Daerah-daerah tipe

tanah ini antara lain Tambakboyo, Bancar, Tuban, Palang, Soko, Parengan,

Singgahan, Senori dan Bangilan. Ketiga, Gramusol yang berasal dari

endapan daerah yang bergelombang. Mencakup 5% wilayah Tuban, jenis

tanah ini terdapat di sebagian wilayah Bancar, Jatirogo dan Senori.

Kondisi batuan berupa batu kapur sehingga banyak terdapat aliran

sungai bawah tanah yang dapat dieksploitasi untuk keperluan industri dan

41
pertanian. Faktor yang dapat mendukung berjalannya pertanian dan

perikanan di Kabupaten Tuban adalah terdapatnya 15 (lima belas) aliran

sungai yang melewati Tuban dan mampu mengairi areal pertanian seluas

13.881 Ha. Dua diantara sungai-sungai tersebut meyang memiliki alira

terpanjang adalah sungai Bengawan Solo dan Kali Kening masing-masing

60 km, dengan areal irigasi seluas 5.430 Ha dan 2.522 Ha, serta ditambah

dengan adanya bangunan air meliputi 19 waduk, 37 bendungan, 41 saluran

pembuangan dan 242 saluran sadapan air. Sehingga kebutuhan air untuk

keperluan pertanian dan perikanan dapat terpenuhi dengan baik.

II.3 Sejarah Umum Kabupaten Tuban


Tuban Berasal dari kata metu banyu (bahasa Jawa) yang artinya

keluar air, yaitu nama yang diberikan oleh Raden Aryo Dandang Wacana

(seorang Bupati) pada saat pembukaan hutan pada awal abad ke-15 M.

Papringan yang secara tidak terduga keluar sumber air. Sumber air ini sangat

sejuk dan meskipun terletak di tepian pantai utara pulau Jawa, mata air

tersebut tidaklah terasa asin dilidah, tidak seperti kota pantai lainnya

(Soeparmo, 1971).

Tuban merupakan daerah perbukitan dan hutan. Bagian utara kota

Tuban merupakan daerah pantai dan bagian selatan merupakan daerah

daerah lembah sungai Bengawan Solo. Antara kedua tempat tersebut

terdapat terdapat daerah perbukitan kapur Kendeng utara yang kurang subur.

Pada daerah perbukitan ini banyak terdapat goa-goa kapur. Daerah yang

subur sangat sedikit yaitu di daerah lembah Sungai Bengawan Solo dan di

daerah pantai utara, dekat aliran sungai Klero. Oleh karena itu Tuban bukan

42
daerah penghasil beras, tetapi merupakan daerah penghasil non-beras seperti

jagung, ketela pohon, kacang dan Siwalan.

Toak yang merupakan hasil dari pohon siwalan adalah minuman

tradisional masyarakat Tuban yang sudah ada semenjak zaman dahulu,

sumber tertua yang bisa didapat oleh penulis adalah cerita mengenai adanya

beduak-beduak Tuban yang disadarkan oleh Sunan Bonang dan Sunan

Kalijaga dan menjadi murid dari pesantren Sunan Bonang. Cerita ini sudah

menjadi cerita turun temurun dan banyak dituliskan di buku-buku cerita

seperti ditemukan di buku kisah Wali Songo (1996:17).

Toak sudah ada sebelum bangsa-bangsa asing masuk di Nusantara,

bahkan sebelum Belanda menginjakkan kakinya di Tuban. Pada zaman

penjajahan Belanda, Tuban dan Lasem (sekarang merupakan bagian dari

Kabupaten Rembang) merupakan wilayah yang memiliki hutan jati yang

sangat luas (Sedyawati dkk. 1992: 47).

Teluk Tuban mempunyai kedalaman yang ideal bagi perahu-perahu

besar sehingga sangat aman dan baik untuk transportasi laut. Selain itu juga

cukup luas sehingga dapat menampung perahu besar maupun perahu kecil

dalamjumlah yang banyak (Veth 1957 dalam Sedyowati dkk. 1992). Pada

abad ke-16 Tuban juga dikenal sebagai salah satu pusat industri kapal (kayu)

untuk keperluan militer di Kawasan Asia Tenggara (Sedyawati dalam

Sedyawati dkk. 1992). Tetapi pada saat perang Diponegoro galangan kapal

tersebut terbakar, sehingga terjadi kemunduran dalam pembuatan kapal.

Tuban telah dikenal sebagai pusat pemukiman pantai dan pelabuhan

sejak pertengahan abad ke-11 (Schrieke 1916 dalam Sedyawati dkk 1992).

43
Hal ini dibuktikan dengan ditemukan empat prasasti di sekitar Tuban.

Mengacu pada empat prasasti tersebut, Tuban merupakan kota pelabuhan

dan kota pertahanan militer, yaitu pada masa kerajaan Singosari maupun

masa pemerintahan Majapahit.

Selain itu Tuban juga merupakan pusat perdagangan Nusantara

semenjak abad ke-11. Pada abad ini Tuban telah banyak dikunjungi oleh

pedagang dari Arab, Persia dan China, selain itu juga oleh orang-orang di

sekitar Nusantara (Meilink-Roelofsz 1962 dan Poesponegoro 1984 dalam

Sedyawati dkk 1992). Pada zaman pemerintahan Prabu Airlangga (1019-

1041), orang-orang asing yang berdagang berasal dari India utara, India

Selatan, Birma, Kamboja dan kerajaan Campa (Casparis 1958 dalam

Sedyawati dkk 1992). Sedangkan memasuki abad ke-16 orang-orang Eropa,

terutama Portugis dan Belanda masuk ke Tuban (Tjiptoatmodjo 1983 dalam

Sedyawati dkk 1992). Hal ini menunjukkan sikap yang terbuka masyarakat

Tuban terhadap kelompok-kelompok masyarakat asing.

Selain kota Tuban di pantai utara Jawa terdapat juga kota pantai

seperti Jepara, Gresik, Jaratan dan Surabaya. Kota-kota tersebut menjadi

partner atau sebaliknya pesaing kota Tuban dalam hal perdagangan.

Menjelang abad ke-17 kota-kota tersebut makin berkembang. Perkembangan

kota-kota pantai semakin cepat sesudah terjadinya penyebaran agama Islam

(Rutz dalam Sedyawati dkk 1992). Sesudah Malaka diduduki Portugis pada

awal abad ke-16, kota-kota Islam di pantai Jawa dan Sumatera semakin

tumbuh. Setelah VOC masuk ke Nusantara pada awal abad ke-17, maka

terjadi perubahan-perubahan dalam tata ekonomi dan terjadinya liberalisasi

44
ekonomi. Hal demikian juga terjadi di Tuban (Rutz 1989 dalam Sedyawati

dkk. 1992).

Tuban merupakan salah satu dari empat kota besar di Jawa yang

tidak mempunyai tembok kota (Mills 1970 dalam Sedyawati dkk 1992).

Kondisi tersebut ditemukan pada awal abad ke-15, tapi sekitar abad ke-17

Kota Tuban sudah dikelilingi oleh tembok kota. Hal tersebut menunjukkan

bahwa Tuban telah berkembang menjadi kota pemukiman, terlebih lagi

menjadi pusat kekuatan ekonomi dan politik.

Di lain pihak tembok kota tersebut juga merupakan indikasi bahwa

kota Tuban merupakan gerbang masuknya kekuatan-kekuatan luar

(Sedyawati dkk. 1992). Tuban sebagai kota yang dikelilingi tembok juga

menandakan bahwa Tuban sebagai kota aristokrat, yaitu keadaan yang mirip

dengan lingkungan keraton, dengan penguasa yang dikelilingi para

bangsawan dan masing-masing dilayani oleh sejumlah budak. Sifat

aristokrat ini mulai mendominasi semenjak abad ke-15 dari bupati ke bupati9

(Sedyawati dkk 1992).

9 Pada zaman kekuasaan Majapahit (permulaan abad ke XV), di Tuban berkuasa para
Bupati, yaitu berturut-turut Aryo Pandukung, Aryo Bungah, Aryo Dandang Miring, Aryo
Dandang Wacono, Aryo Ronggolawe, Aryo Sirolawe, Aryo Wenang, Aryo Leno dan Aryo
Dikoro. Bupati-bupati tersebut memerintah semenjak tahun 1200 sampai datangnya Islam di
Kota Tuban. Bupati yang memerintah selanjutnya berturut-turut adalah Aryo Tejo, Raden
Aryo Wilotikto, Kyai Ageng Ngraseh, Kyai Ageng Gegilang, Kyai Ageng Batabang, Raden
Aryo Balewot, Pangeran Sekartanjung, Pangeran Ngangsar, Pangeran Haryo Parmalat,
Pangeran Haryo Salampe, Pangeran Dalem, Pangeran Pojok, Pangeran Anom Pangeran
Sujokopuro, Aryo Balabar, Pangeran Sujono Putro, Pangeran Judonegoro, Raden Aryo
Surodiningrat, Raden Aryo Diposono, Kyai Reksonegoro, Kyai Purwonegoro, Kyai Lieder
Surodinegoro,Raden Suryoadinegoro, Pangeran Citrasoma VI, Pangeran Citrasoma VII,
Pangeran Citrasoma VIII, Raden Tumenggung panji Citrasoma IX, Raden Mas Somobroto,
Raden Adipati Arya Kusumodigdo, Raden Tumenggung Pringgowonoto, R.A.A.
Pringgodigdo Kusumodiningrat, R.M.A.A. Kusumodibroto, RT. Sudiman Hadiatmoko, RM.
Mustain, R. Sundari, R. Istomo, M. Widagdo, R. Soeparmo, R.M. Irchamni, H.
Moch.Masdoeki, Soerati Moersam, Djoewahiri Martoprawiro, Sjoekoer Soetomo,
H.Hindarto dan yang terakhir dan sampai sekarang masih terus memimpin masyarakat
Tuban adalah Haeny Relawaty Rini Widyastuti.

45
Sisa-sisa peninggalan masa lalu saat sekarang masih dapat

ditemui,misalnya watu gilang, pendopo Kabupaten, makam Sunan Bonang,

makam Ronggolawe, masjid Jamik dan klentheng Kong Hu Cu yang

semuanya terletak di wilayah Kuterejo dan Kajongan. Di desa Kebonsari

terdapat makam Sunan bejagung dan Benteng Kumbakarna. Sunan Bonang

adalah putra dari Sunan Ampel yang wafat pada tahun 1486. Ibu dan kanan

Sunan Bonang adalah KI Ageng Manilo dan Nyai Ageng Manyuro, serta

murid-murid Sunan Bonang juga dimakamkan di Tuban.

Sedangkan Maulana Iskhak yaitu kakak Sunan Ampel yang wafat

tahun 1460, dimakamkan di desa Gesik Harjo, Kecamatan Palang. Di

kecamatan Semanding terdapat makam Pangeran Penghulu, Kebayan Tuhu

dan Kyai Sudimoro. Sedangkan di desa Ngepon terdapat makam Kyai

Ngepon yang merupakan utusan Raden Brawijaya dari Majapahit

(Soeparmo, 1971).

Barang-barang peninggalan yang terdapat di wilayah Tuban antara

lain: keramik Chian dan Belanda (dari abad ke-18) serta batu granit (dari

luar Jawa) di desa Bancar. Pecahan keramik dari abad ke-10 sampai sampai

abad ke-14) di dukuh Bagong dan keramik China dari abad ke-12 ditemukan

di situs sawah Gong. Sedangkan pecahan keramik China dari Dinasti Ming

ditemukan di sepanjang pantai Sedayu Lawas sampai Banjarwati

(Karangbeling)

Jalan darat merupakan transportasi utama yang menghubungkan

pusat-pusat pemukiman sejak zaman dahulu. Di Wilayah ini juga ditemukan

jalan yang dahulu disebut sebagai jalan Daendels yang menghubungkan kota

46
Tuban dengan Lasem. Pada keadaan sekarang jaringan jalan sudah sangat

berkembang dengan menempatkan alun-alun sebagai titik pusat kota. Pola

tata ruang kota Tuban menunjukkan sebuah tatanan masyarakat yang

berorientasi pada aktivitas perdagangan.

II.4 Kabupaten Tuban Saat Ini

Kabupaten Tuban sekarang terbagi dalam 19 kecamatan, 311 desa,

dan 17 kelurahan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2004

dapat diketahui bahwa jumlah penduduk laki-laki 535.655 orang dan

penduduk perempuan berjumlah 548.728 jiwa atau secara keseluruhan

mencapai 1.084.383 jiwa. Tingkat kepadatan penduduk mencapai 589 orang

untuk setiap 1 km2.

Tuban menjadi kota heterogen yang diisi oleh masyarakat

multietnis dengan berbagai latar belakang. Dengan bertambah majunya

perkembangan kota, Tuban menjadi hunian serta tempat tinggal masyarakat

luar kota yang hendak mencari penghidupan di Tuban, karena Zafrullah

(2004:3), Tuban sekarang memiliki keunggulan yang multikompleks

dibanding daerah lain seperti (1) tersedia pelabuhan laut; (2) memiliki

kawasan industri; (3) memiliki kawasan pariwisata seperti Goa Akbar,

Kelenteng10 terbesar di kawasan Asia Tenggara, Kwan Sing Bio, Masjid

Agung peninggalan para Wali, wisata religi seperti makam Sunan Bonang,

Syekh Siti Jenar, Ibrahim Asmaraqondi (4) memiliki potensi minyak bumi

dan gas alam yang menopang Blok Cepu. Dengan ditemukannya potensi

10 Tempat ibadah Agama Kong Hu Cu

47
minyak, maka banyak investor baik penenaman modal asing (PMA),

maupun Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) yang berebut

mendirikan pabrik pengolahan minyak di Tuban.

Sampai sekarang yang sudah mendirikan pabrik pengolahan

minyak adalah Trans Petrochina Petroleum Industies (TPPI) dan dalam

jangka waktu dekat ini Pertamina juga akan membangun pengolahan

minyak dan gas bumi di Tuban. Potensi ekonomi yang telah berkembang di

Kabupaten Tuban antara lain : tanaman pangan, hortikultura, perkebunan,

perikanan, peternakan, kayu pertukangan dan kayu bakar, industri

pengolahan besar dan sedang, industri kecil dan kerajinan rumah tangga,

perdagangan, hotel, dan restoran, serta hasil tambang, seperti pasir kwarsa,

tanah liat, batu kapur, dan batu dolomite.

Tuban juga bisa dikatakan sebagai kota Wali, selain memang

tempat penyebaran Islam oleh para Wali, Tuban juga memiliki beberapa

pesantren dan ulama-ulama terkenal. Mungkin yang paling populer adalah

pondok pesantren Langitan, Widang yang dipimpin oleh Kyai Haji

Abdullah Faqih. Pengaruh para ulama ini begitu mengakar di Tuban,

sehingga Tuban juga menjadi basis yang kuat bagi partai-partai berlatar

belakang Islam.

Etnis yang paling dominan di Tuban adalah suku Jawa, namun ada

beberapa suku bangsa lain yang menetap dan berkelompok di tempat-tempat

khusus di Tuban, seperti masyarakat etnis China yang banyak bertempat

tinggal di Kelurahan Karangsari dan etnis arab yang banyak berdomisili di

Kelurahan Kutorejo. Tidak ada data yang pasti mengenai jumlah dari

48
masing-masing mereka, namun sampai sekarang belum pernah ada kasus

perang antar etnis akibat kesenjangan antara kelompok minoritas maupun

mayoritas.

Menurut Kusumawati (2007:7), Kohesivitas sosial yang tampak

terlihat di kota Tuban diantara keberagaman etnis merupakan fenomena

yang menarik untuk dikaji dan diteliti karena secara sosiohistoris, Tuban

salah satu kota yang terletak di pesisir pantai utara Jawa yang pada jaman

dahulu merupakan kota bandar kuno yang memainkan peranannya di bidang

perdagangan sutra dan rempah-rempah.

Sebagai kota pelabuhan maka kota Tuban adalah pusat interaksi

masyarakat dari berbagai macam kelompok sosial, baik karena perbedaan

ras, etnik, agama, bahasa maupun profesi. Kehadiran etnis Tionghoa ke kota

Tuban pada berabad-abad lampau juga memiliki banyak peranan yang

sangat berarti bagi kota Tuban. Di samping karena kedekatan secara

historis, penguasa pada masa itu cenderung ramah terhadap pendatang asing

dengan cara menguasai bahasa asing dan memberikan perlindungan

keamanan terhadap pendatang yang hendak tinggal di dalamnya.

Tuban bagian utara merupakan daerah yang berbatasan langsung

dengan pantai utara Jawa. Daerah ini banyak ditempati oleh nelayan laut

turun temurun, khususnya daerah Kingking. Kehidupan nelayan laut Tuban

hampir sama dengan kehidupan nelayan laut Indonesia pada umumya,

kempung nelayan mereka terkesan kotor dan kumuh. Tingkat pendidikan

juga tergolong rendah karena yang terpenting bagi mereka anak laki-laki

ataupun perempuan dipersiapkan untuk membantu kinerja ayahnya sebagai

49
nelayan. Anak laki-laki membantu melaut ayahnya dan anak perempuan

membantu ibunya untuk mengolah hasil tengkapan ayahnya.

Menurut Gardjito dkk. (2004:99), untuk bisa mendapatkan hasil

tangkapan yang baik, mereka harus ke tengah laut sejauh 2-3 jam perjalanan

dengan perahu bermotor tempel dan mereka biasa pulang menggunakan

layar memanfaatkan angin laut yang memakan waktu kurang lebih sama

dengan waktu keberangkatan. Kalau mereka berangkat pagi jam 24.00 WIB

maka sampai di lokasi sekitar jam 03.00 pagi, sedangkan operasi

penangkapan memakan waktu sekitar 3 jam.

Wilayah selatan Tuban banyak memiliki sawah dan areal

pertanaman, sehingga daerah selatan memiliki banyak petani sawah maupun

ladang. Sampai sekarang masih banyak ditemui sawah dan kebun milik

petani yang masih natural, sehingga Tuban mampu menghadirkan kesejukan

bagi mata orang-orang kota yang penuh kesibukan.

Kehidupan di Tuban bagian selatan masih terkesan tradisional dan

belum banyak tersentuh modernisasi, penggunaan dokar (kendaraan beroda

dua yang ditarik dengan kuda) dan cikar (kendaraan beroda dua yang ditarik

menggunakan tenaga dua sapi), masih banyak ditemui di Tuban selatan.

Penggembalaan sapi, kambing juga menjadi pemandangan yang umum, dan

hal tersebut tidak ditemukan di Tuban utara. Para wanita tua masih setia

menggunakan kebaya tradisional dan laki-laki masih saja menghisap rokok

klobot (rokok yang pembungkusnya terbuat dari kulit jagung), yang dibuat

dengan tangan mereka sendiri.

50
II.5 Produksi Pertanian dan Perikanan

II.5.1 Pertanian

Bidang pertanian dan perikanan merupakan andalan Kabupaten

Tuban. Meskipun hampir seluruh wilayah Kebupaten Tuban beriklim kering,

tetapi dengan dukungan sumber air mampu memenuhi kebutuhan pengairan

lahan, maka lahan pertanian di Tuban tergolong Produktif. Jenis tanaman

yang banyak ditanam dan diusahakan di lahan pertanian Kabupaten Tuban

antara lain padi dan jagung merupakan bahan makanan pokok masyarakat

Tuban sehingga mendapat areal tanam yang lebih luas dibanding tanaman

lain.

Tahun 2003, luas lahan tanam padi sebesar 71.651 Ha dengan

produksi diatas tiga juta kuintal selama tahun tersebut. Sedangkan tanaman

jagung mendapat aral tanam seluas 81.817 Ha dengan produksi mencapai 2,8

juta kuintal/tahun. Tahun 2004 diketahui jagung yang ditanam untuk

produksi tahun 2005 mencapai 7000 pohon. Jumlah produksi komoditas ini

diperkirakan dapat memenuhi kebutuhan bahan pangan pokok masyarakat

Tuban. Kedua adalah ubi jalar, ubi kayu dan kacang tanah. Jenis tanaman ini

juga banyak diusahakan di daerah Tuban. Meskipun tidak di semua wilayah,

kacang tanah dari Tuban diketahui memiliki varietas yang khas dengan sifat

mampu hidup dan bereproduksi di tanah yang beragam. Perlu diketahui

bahwa tidak semua varietas kacang tanah dapat hidup pada tanah yang

mengandung garam. Kabupaten Tuban merupakan pemasok bahan baku

utama pasa perusahaan makanan kacang tanah dalam kemasan yang terdapat

di daerah Pati. Ketiga adalah Siwalan. Masyarakat Tuban dengan tradisi

51
minum tuak dan makan daging biawak. Tuak dan biawak biasanya disajikan

secara bersamaan dan masyarakat biasa mengkonsumsinya di pinggir-

pinggir jalan secara bersama-sama atau yang biasa disebut nitik.

Tuak adalah sejenis minuman fermentasi dari cairan buah siwalan.

buah ini dapat diperoleh dengan mudah di Kabupaten Tuban. Luas wilayah

yang ditanami pohon siwalan seluas 1.128 Ha dan tersebar di 7 kecamatan.

Tahun 2003 jumlah produksi buah siwalan di Kabupaten Tuban mencapai 5

juta kilogram lebih. Hasil sebesar ini dapat memenuhi kebutuhan masyarakat

Tuban,sehingga budaya minum tuak tetap dapat berlangsung.

Keempat adalah Mangga. Salah satu jenis buah yang banyak ditemui

di Kabupaten Tuban. Pohon mangga banyak ditanam di pekarangan dan

tanah penduduk di hampir semua kecamatan. Produksi buah mangga pada

tiap batang pohon di Tuban tergolong banyak. Jenis mangga yang banyak

ditanam adalah varietas mangga manalagi. Pada tahun 2003 jumlah pohon

mangga di Kabupaten Tuban sekitar 495.246 pohon dengan produksi 72.293

kuintal per tahun.

Kelima adalah Sayur. Jenis tanah di wilayah Tuban yang banyak

terdiri atas kapur ditambah dengan letaknya yang dekat dengan laut

menyebabkan produksi sayuran di Tuban rendah. Sayuran yang banyak

ditanam antara lain cabe, terong, kangkung dan tomat.produksi setiap

komoditas selama tahun 2003 tercatat berkisar antara 20.000 sampai 50.000

kuintal.

Tabel 2.2 Data Komoditas, Luas Lahan dan Produksi Pertanian di


Kabupaten Tuban tahun 2003

No Komoditas Luas Lahan Produksi Rata-rata

52
produksi
Tanaman tahun 2003
Kw/Ha
1 Padi 71.661 3.807.875 53,46
2 Jagung 81.817 2.810.607 33,52
3 Ubi Kayu 8.812 1.108.695 141,94
4 Ubi jalar 640 70.646 112,80
5 Kacang Tanah 29.116 351.289 12,33
6 Kelapa 12.357 134.588,70 0,023/th
7 Siwalan 1.128 5.184.925 7.211
8 Sawo 7.803 2.614
9 Mangga 494.246 72.293
10 Duku 220 67
11 Terong 689 52.584
12 Cabe 4.161 124.830
13 Kangkung 318 37.050
Sumber: BPS Kabupaten Tuban 2003

Meninjau dari prospek Kabupaten Tuban dalam beberapa waktu yang

akan datang, bidang pertanian mempunyai potensi besar dalam

pembangunan daerah ini. Disamping potensi perekonomian, ketahanan dan

kecukupan pangan juga termasuk potensi budaya masyarakat Tuban.

II.5.2 Perikanan

Bidang perikanan merupakan salah satu tulang punggung

perokonomian masyarakat Tuban. Posisi Tuban yang membujur sepanjang

pantai utara dan didukung latar belakang sejarah Tuban sebagai kota

pelabuhan menjadikan perikanan sebagai sandaran mata pencaharian

masyarakatnya. Meskipun demikian produksi perikanan kabupaten Tuban

juga berasal dari perikanan darat yang dikelola masyarakat di beberapa

wilayah Kabupaten Tuban.

II.5.2.1 Perikanan Laut

53
Didukung oleh luas lautan yang dimiliki., produksi perikanan laut

Kabupaten Tuban sangat menonjol sepanjang tahun 2003, tercatat produksi

perikanan laut mencapai 9.384,4 ton.

Sebagian besar hasil tangkapan ikan merupakan komoditas

berpotensi eksport atau mempunyai nilai ekonomis penting seperti teri,

tongkol, udang, tengiri, cumi-cumi, bawal, rajungan dan layur.

II.5.2.2 Perikanan Darat

Usaha perikanan yang dikelola masyarakat Tuban dapat dibedakan

atas beberapa sub sektor perikanan, yaitu perairan umum sungai, rawa,

waduk, tambak kolam dan sawah. Jenis-jenis perikanan ini tidak dikelola di

semua wilayah kabupaten Tuban. Faktor jenis lahan dan ketersediaan

sumber air merupakan faktor utama saat ini.

Dalam hal jumlah produksi perikanan darat masih jauh lebih sedikit

dibandingkan perikanan laut, hal ini dikarenakan umumnya tinngkat

pengusahaan perikanan darat sebagai usaha sampingan dengan jenis ikan

ekonomi rendah dengan tujuan untuk konsumsi peningkatan gizi masyarakat

di daerah yang kurang sejahtera dan padat penduduknya. Total produksi

prikanan Kabupaten Tuban sepanjang tahun 2003 adalah sebesar 5.642 ton

yang berasal dari perairan umum seperti sungai, rawa dan waduk sebesar

1.890,8 ton, tambak sebesar 716,8 ton, kolam 104, 81 ton, sawah sebesar

2.930,06 ton.

Produksi perikanan darat yang berasal dari kolam dan sawah

sebagian besar berasal dari Kecamatan Widang, Plumpang dan Rengel yang

54
terletak di dekat Sungai Bengawan Solo sedangkan produksi perikanan darat

dari tambak air payau berasal dari kecamatan Palang, Jenu dan Tambakboyo

yang terletak di pinggir pantai laut Jawa. Kebanyakan pemilik tambak

adalah orang-orang kaya di daerahnya, sehingga yang bisa menikmati hasil

tambak hanya segelintir orang yang memiliki tambak, sedangkan sisanya

hanyalah pekerja tambak yang jumlahnya justru lebih besar dari jumlah

pemilik tambak.

Seperti data yang penulis temukan di kawasan Plumpang yang

menyebutkan bahwa satu pemilik tambak rata-rata mempunyai 5 sampai 6

orang petani tambak. ”nek aku karo wong liyane sing duwe tambak roto-

roto nduwe anak buah limo nganti enem ngono mas” atau ”kalau saya dan

pemilik tambak yang lain rata-rata mempunyai pekerja tambak sebanyak

lima sampai enam orang”. Jenis ikan tangkapan dari perairan umum antara

lain ikan tawes, gabus, mujair, lele sedangkan jenis ikan yang dihasilkan

oleh perikanan darat yang berasal dari hasil budidaya ditunjukkan pada tabel

berikut ini.

Tabel 2.3 Produksi Budidaya Tambak / Air Payau berdasarkan


jenius Komoditi di Kabupaten Tuban.
No Jenis Ikan Volume (kg)
1 Bandeng 164.692
2 Udang Windu 450.187
3 Udang lain 11.812
4 Mujair 64.432
5 Ikan lain 25.667
Jumlah 716.790
Sumber: BPS kab. Tuban, 2003

Tabel 2.4 Produksi Budidaya Sawah Berdasarkan Jenis Komoditi di


Kabupaten Tuban Tahun 2003
No Jenis Ikan Volume (kg)

55
1 Bandeng 1.020.194
2 Tawes 847.006
3 Tombro 580.406
4 Mujair 304.112
5 Nila 27.852
6 Ikan lain 180.490
Jumlah 2.930.490
Sumber: BPS kab. Tuban, 2003

Kebijakan dan arah pembangunan Kabupaten Tuban diharapkan

dapat mendukung potensi Kebupaten Tuban, baik pertanian dan perikanan.

Pengaturan tataguna lahan secara tepat dapat menjamin kelangsungan

produksi pertanian dan perikanan darat yang telah ada. Pembangunan

pelabuhan ikan dan pariwisata juga diharapkan dapat memacu pertumbuhan

perekonomian dan pencapaian peningkatan produksi perikanan serta

pertumbuhan daerah.

II.6 Pembuatan Toak

Memasuki kota Tuban dari arah timur, atau lewat kota Babat,

pengunjung akan disuguhi pemadangan khas, yaitu banyaknya penjual

minuman tradisional Tuak yang banyak di jajakan di sepanjang jalan (di

daerah lain, seperti Sulawesi dan Indonesia timur lainnya termasuk di Papua,

biasa disebut dengan Saguer). Selain tuak yang bisa membuat peminumnya

mabuk karena berkadar alkohol tinggi, juga terdapat Legen yang berasa

manis segara tanpa harus takut mabuk saat meminumnya.

Minuman tradisional ini dihasilkan dari pohon Siwalan yang banyak

tumbuh di wilayah Tuban, selain dibuat minuman, buah Siwalan juga dijual

buah mudanya yang memiliki rasa khas layaknya kelapa muda, buah ini

56
bahkan banyak dijajakan sampai kota Jakarta. Memasuki Kota Tuban,

gerombolan penggemar mainuman tradisonal ini banyak ditemui, mereka

banyak bergerombol di tempat kerumunan orang, seperti di pangkalan ojek,

becak, terminal, dll. Ciri khas lain dari minuman ini adalah cara minumnya

yang menggunakan gelas dari batang bambu, dengan tutup dari bahan triplek

atau papan kayu. Dahulu, penjualnya juga menggunakan wadah dari batang

bambu yang dipikulnya (Ongkek), tapi kini mereka sudah banyak

menggunakan jerigen plastik. Tambul adalah camilan pendamping disaat

minum tuak, Tambul bisa berupa daging puyuh goreng, kacang goreng, dan

beberapa makanan kecil lainnya.

II.6.1 Siwalan

Siwalan (Borassus Sundaicus) atau Bogor dalam bahasa Jawa-

Tuban, juga dikenal dengan nama lontar atau tal adalah sejenis palma yang

tumbuh di Asia Selatan dan Asia Tenggara. Di banyak daerah, pohon ini

juga dikenal dengan nama-nama yang mirip seperti lonta (Min), ental

( Sunda., Jawa., Bali.), taal (Md.), dun tal (Sas), jun tal (Sumbawa), tala

(Sulsel), lontara (Toraja), lontoir (Ambon). Juga manggita, manggitu

(Sumba) dan tua (Timor).

57
Gambar 2.1 Jajaran Pohon Siwalan (tengah, berjajar empat)

Pohon palma yang kokoh kuat, berbatang tunggal dengan tinggi 15-

30 m dan diameter batang sekitar 60 cm. Sendiri atau kebanyakan

berkelompok, berdekat-dekatan. daun-daun besar, terkumpul di ujung batang

membentuk tajuk yang membulat. Helaian daun serupa kipas bundar,

berdiameter hingga 1,5 m, bercangap sampai berbagi menjari; dengan taju

anak daun selebar 5-7 cm, sisi bawahnya keputihan oleh karena lapisan lilin.

Tangkai daun mencapai panjang 1 m, dengan pelepah yang lebar dan hitam

di bagian atasnya; sisi tangkai dengan deretan duri yang berujung dua.

Pohon ini terutama tumbuh di daerah-daerah kering. Di Indonesia,

siwalan terutama tumbuh di bagian timur pulau Jawa, Madura, Bali, Nusa

Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. Siwalan dapat hidup hingga

umur 100 tahun atau lebih, dan mulai berbuah pada usia sekitar 20 tahun.

Karangan bunga dalam tongkol, 20-30 cm dengan tangkai sekitar 50

cm. Buah-buah bergerombol dalam tandan, hingga sekitar 20 butir, bulat

peluru berdiameter 7 - 20 cm, hitam kecoklatan kulitnya dan kuning daging

buahnya bila tua. Berbiji tiga butir dengan tempurung yang tebal dan keras.

Daunnya digunakan sebagai bahan kerajinan dan media penulisan naskah

lontar. Barang-barang kerajinan yang dibuat dari daun lontar antara lain

58
adalah kipas, tikar, topi, aneka keranjang, tenunan untuk pakaian dan

sasando, alat musik tradisional di Timor.

Sejenis serat yang baik juga dapat dihasilkan dengan mengolah

tangkai dan pelepah daun. Serat ini pada masa silam cukup banyak

digunakan di Sulawesi Selatan untuk menganyam tali atau membuat

songkok, semacam tutup kepala setempat. Kayu dari batang lontar bagian

luar bermutu baik, berat, keras dan berwarna kehitaman. Kayu ini kerap

digunakan orang sebagai bahan bangunan atau untuk membuat perkakas dan

barang kerajinan.

Dari karangan bunganya (terutama tongkol bunga betina) disadap

orang nira lontar. Nira ini dapat dimasak menjadi gula atau difermentasi

menjadi tuak, semacam minuman beralkohol buatan rakyat. Buahnya

berbentuk bulat dengan diameter antara 8 sampai 15 cm berkulit hitam

dengan ujung dan pangkalnya berwarna hijau. Buah siwalan juga bisa

dikonsumsi, terutama yang muda. Biji yang masih muda itu masih lunak,

demikian pula batoknya, bening lunak dan berair (sebenarnya adalah

endosperma cair) di tengahnya. Rasanya mirip buah enau, namun lebih enak.

Biji yang lunak ini kerap diperdagangkan di tepi jalan sebagai “buah

siwalan”(nungu, bahasa Tamil). Daging buah yang tua, yang kekuningan dan

berserat, dapat dimakan segar ataupun dimasak terlebih dahulu. Cairan

kekuningan darinya diambil pula untuk dijadikan campuran penganan.

Tabel 2.5 Taksonomi Ilmiah Siwalan

59
Siwalan
(Borassus Sundaisus)

Kerajaan:
Plantae

Divisio:
Angiospermae

Kelas:
Monocotyledoneae

Ordo:
Arecales

Famili:
Arecaceae (sin.
Palmae)

Genus:
Borassus

Spesies:
B. Sundaicus

II.6.2 Cara Pembuatan Toak

Bahan-bahan yang dibutuhkan untuk pembuatan toak antara lain

Babakan (kulit dari pohon juwet yang dikelupas lalu dikeringkan

sampai kandungan airnya habis). bahan lain yang tidak kalah penting

adalah Wolo (bunga dari pohon Siwalan yang masih melekat di

pohonnya dalam keadaan segar/tidak kering. Sedangkan alat-Alat yang

dibutuhkan, pertama adalah Bethek (potongan batang bambu yang

panjangnya 60 cm yang berguna mewadahi tetesan nira siwalan).

Kedua, Gathik (dua belah bambu yang tebal sepanjang 60 cm yang

disatukan kedua pengkalnya menggunakan tali pengikat dan menjadi

sebuah penjepit). Ketiga, Glathi/ Pisau. Alat yang terakhir adalah daun

60
lontar sebagai alat penyaring.

Gambar 2.2 Tasiran, seorang


penjual toak
sedang sedang memasukkan
toak segar yang baru saja diambil dari pohon siwalan dan siap untuk dijual

II.6.2.1 Proses Pembuatan Toak

Pagi jam 07.00 WIB, penghasil toak memanjat pohon Siwalan

membawa serta bethek dan babakan. Diatas pohon, penghasil toak

menemukan wolo, yaitu bunga pohon siwalan yang biasanya

mempunyai jari-jari panjang berjumlah enam. Wolo tersebut kemudian

dijepit dengan gathik berkali-kali agar keluar banyak nira dari dalam

wolo. Proses penjepitan ini sama fungsinya dengan memeras, karena

penjepitan bertujuan mendorong nira berkumpul di ujung jari-jari

wolo. Setelah dijepit berkali-kali, jari-jari wolo yang kebanyakan

berjumlah enam, dipotong atau di-deres semua pada ujungnya.

Kemudian jari-jari wolo dibagi menjadi dua dan dimasukkan ke

dalam dua bethek yang sudah dibawa oleh penghasil toak. Masing-

61
masing bethek sudah dimasuki babakan yang berguna untuk merubah

nira menjadi toak dan memberikan rasa khas. Satu bethek mewadahi

tiga jari-jari wolo yang sudah diiris ujungnya dan mengeluarkan nira

setetes demi setetes. Tahap terakhir adalah menutup bethek dengan

daun lontar agar tidak dimasuki serangga atau air hujan.

Setelah selesai semua proses diatas pohon, penghasil toak turun

dan membiarkan bethek diatas selama 10 jam. Sekitar pukul 17.00

WIB, sang penghasil toak naik kembali keatas pohon dan mengambil

bethek yang sudah penu terisi dengan toak yang langsung siap

dipasarkan. Pada musim Patiwolo (musim dimana wolo sudah habis

diiris) bersamaan dengan musim penghujan, toak mulai langka dan bisa

dijual dengan harga dua kali lipat.

Selain toak, pohon siwalan juga bisa menghasilkan legen.

Masyarakat Tuban sering menyebutnya dengan toak muda. Pembuatan

legen hampir tak jauh beda dengan cara pembuatan toak.

Perbedaannya, apabila toak di dalam bethek dimasukkan babakan, maka

legen tidak dimasukkan babakan Idalam bethek-nya. Jika toak dibiarkan

sehari semalam, tidak akan berubah rasa (tetap), karena rasa toak adalah

pahit. Sedangkan legen jika dibiarkan selama sehari semalam, maka akan

mengalami perubahan (berubah rasa), karena mula - mula rasa legen adalah

manis, tapi jika dibiarkan terlalu lama, maka rasa legen akan menjadi pahit

karena hasil fermentasi.

62
BAB III
TRADISI NITIK, TOAK, BEDUAK DAN BOLO
NGOMBE

III.1 Toak dan Nitik

Tradisi minum toak bersama atau nitik yang merupakan warisan

budaya kuno, masih terlihat di beberapa tempat di Kabupaten Tuban.

Menurut Gardjito dkk. (2004:95), Tradisi minum toak bersama di pinggir

jalan ini mungkin saja cikal bakal kedai minum saat sekarang. Berkumpul

sambil membicarakan isu yang sedang hangat nampak kental diwariskan

pada tradisi ini. Pelanggan yang sebagian besar adalah kaum pria berbaur

untuk ngerumpi mengitari penjual toak beserta tambulnya (makanan

63
penyerta).

Seorang pembeli tidak hanya datang untuk minum toak atau makan

tambul saja, namun ngerumpi-nya menjadi suguhan yang tidak kalah

penting, meski hanya duduk beralaskan tanah. Seorang penjual toak hanya

berbekal empat bonjor, yaitu wadah toak yang terbuat dari potongan bambu

sepanjang hampir 1 meter penuh berisi toak. Keempat bonjor tersebut diikat

pada sebatang kayu untuk dipikul, dua di depan dan yang lainnya di

belakang. Bonjor yang dipikul ini kemudian disebut dengan ongkek. Namun

karena zaman sudah bertambah maju, penggunaan ongkek sudah semakin

berkurang karena banyak penjual yang menggunakan jerigen sebagai

penggantinya.

Padahal wadah bambu memberikan rasa yang khas pada toak di

dalamnya. Sang penjual berangkat dari rumah membawa beberapa liter toak

dan mengambil spot tertentu di pinggir jalan atau di bawah pohon rindang.

Sebuah bungkusan kain kemudan dibuka dan digelar langsung di tanah.

Centhak yang berupa potongan ruas bambu sepanjang 10-20 cm sebagai alat

minum layaknya cangkir atau gelas diletakkan di tanah.

Di daerah Semanding, nitik biasanya sudah ada pada pukul 06.30

WIB dan sore harinya pada pukul 16.00 WIB, sedangkan di Kecamatan

Tuban nitik biasanya ditemukan sekitar pukul 17.00 WIB atau bahkan

malam hari pukul 19.00 WIB (lihat lampiran gambar 30). Hal ini, menurut

Tasiran, karena hampir semua penjual toak yang ada di Kecamatan Tuban

berasal dari desa-desa yang ada di Semanding yang cukup jauh dari

Kecamatan Tuban. Dia mencontohkan temannya Wari yang biasa berjualan

64
di Kelurahan Kebonsari pukul 19.00 WIB, berasal dari Desa Kowang,

Kecamatan Semanding seperti dirinya.

Penjual umumnya hanya membawa 6-8 buah centhak yang kalau

perlu dipakai secara bergantian dianatara para pembeli. Bungkusan lain

dibuka dan terlihatlah beberapa bungkusan kecil dari daun pisang ikut

dijajakan bersama dengan toak, inilah yang disebut tambul atau makanan

penyerta. Tambul bisa berupa makanan olahan diantaranya daging biawak11,

katak, belut dan siput (bekicot), namun juga sering juga berupa kacang-

kacangan yang disangrai.

III.1.1 Menikmati Toak Unggulan

Menurut Sutiyono (37), Bagi beduak jenis ini, toak yang dijajakan di

pinggir jalan dianggap kurang berkualitas karena ada bau tidak sedap, rasa

kecut yang berlebihan serta tempat minum yang kurang memadai. Deskripsi

toak bagus menurut mereka harus mempunyai rasa yang ”bersih”, artinya

tidak ada bau lain selain khas toak siwalan, tidak kecut dan berasa sedikit

manis.

Rasa sedikit pahit juga diperbolehkan dan tentu saja alkoholnya juga

terasa. Menurut Gardjito dkk. (2004:94), kadar alkohol dalam toak

diperkirakan 2 - 4%, dan tergolong tinggi untuk golongan minuman

fermentasi alami. Kualitas toak seperti ini tidak bisa dijumpai di sembarang

11 Biawak, oleh masyarakat Tuban biasa disebut Nyambik

65
tempat. Penulis, dengan diantar Sutiyono (37), masuk ke dalam Desa Ngino

(lihat lampiran gambar 39), Kecamatan Semanding, yang hanya

menampakkan rumpun bambu dan siwalan di atas hamparan tanah yang

luas.

Di beberapa tempat agak berjauhan, terlihat beberapa gubuk serupa

yang berpagar cukup rapi. Waktu menunjukkan pukul 15.00 WIB, seseorang

yang baru turun dari pohon siwalan dengan membawa tiga bethek (wadah

tempat menampung tetesan nira pohon siwalan yang terbuat dari potongan

ruas bambu sepanjang 50 – 60 cm), penuh berisi toak segar menyapa penulis

”monggo mas, mlebet” atau ”mari mas, masuk (rumah)” ujarnya dengan

ramah. Setelah berkenalan, penulis mengetahui dia bernama Karmidji (52).

Disitu terlihat dua jerigen berisi 20 liter berwarna biru yang hampir

penuh terisi dengan toak. Saat itu, penulis melihat ada 8 pohon siwalan yang

sudah di-deres (cara mengambil nira dengan cara memotong ujung jari-jari

bunga pohon siwalan) dan 3 lainnya masih kecil yang umurnya berkisar 3

tahun, menurut keterangan dari Karmidji (52). Dari 8 pohon siwalan ini,

setiap hari dapat dihasilkan 60-80 liter toak pada musim kemarau. Pada saat

musim penghujan, nira yang dihasilkan sangatlah sedikit. Sedangkan

menurut Sutiyono (37), toak milik Karmidji menjadi favorit di kalangan

beduak baik di Kecamatan Semanding maupun diluar kecamatan.

“Toaknya lik Kar ini sudah kaloka (terkenal) dimana-mana mas, dicarii
sama orang-orang dari luar Semanding segala kok. Katanya orang-orang
itu, toaknya lik Kar jos gandos (enak sekali) dan istimewa sekali.”

Setelah penulis bertanya pada Sutiyono (37), ternyata memang ada

bedanya antara toak buatan Karmidji dengan toak lain, yaitu terasa tidak

66
kecut, tidak terlalu pahit, sedikit masid dan alkoholnya terasa. Tidak ada

rahasia yang disembunyikan dari toak yang dihasilkan, yang jelas sejauh

pengamatan penulis, toak tersebut segar dari pohon langsung tanpa ada

pengenceran. Kalau penulis amati, mungkin rahasia perbedaannya dengan

toak lain adalah sang istri penjual yang dengan rajin mencuci bethek yang

digunakan untuk menampung tetesan nira dari pohon siwalan. Pencucian

hanya menggunakan sabut dan air bersih, namun setelah dicuci, bethek harus

segera dibilas dengan air mendidih. Sang istri mengatakan pada penulis

bahwa air panas membuat bethek cepat kering.

Penjual toak seperti Karmidji ini memproduksi sendiri toaknnya,

berbeda dengan pedagang toak yang menjual toak dengan cara membelinya

terlebih dahulu dari pembuat toak. Pedagang toak yang memproduksi sendiri

toaknya tidak pernah menghitung secara detail mengenai berapa rupiah

harga jual toak per centhak-nya bila dikonversikan dari total biaya produksi

toak secara keseluruhan.

Pedagang toak tradisional yang memproduksi sendiri toaknya hanya

menghitung tenaga yang dia keluarkan untuk memproduksi toak dan itupun

dihitung tidak dihitung dalam jumlah yang besar karena tenaga bisa dipakai

secara gratis. Pada saat penulis bertanya apakah tidak ada takaran khusus

biaya produksi yang dipatok untuk menghitung berapa untung yang harus

didapatkan natinya, Karmidji (52), sang pedagang tidak tahu harus

menjawab apa, seperti penuturannya berikut ini;

”Nek kulo nggih mboten nate ngitung kringet kulo mas...lha yoknopo
carane ngitung kringet lha wong niku barang gratis sing medhal saking
awak kulo. Nek wonteno itungane nggih paling kulo itung limang repes

67
mawon ha ha”

”Kalau saya tidak pernah menghitung keringat (tenaga) saya


mas...bagaimana caranya mengihtung keringat, khan itu barang gratis
yang keluar dari badan saya. Kalaupun ada cara menghitungnya, paling
saya Cuma hitung lima rupiah saja ha ha”

III.1.2 Alur Tradisi Nitik

Seperti biasa pukul 16.00 WIB, setiap harinya seusai memanen

toaknya dari pohon siwalan, Karmidji (52), menggunakan sepeda kayuh

kunonya dengan muatan 2 jerigen biru besar isi masing-masing 20 liter dan

beberapa centhak yang terikat di kemudi sepeda tersebut. Ditambah lagi

dengan tas anyaman berwarna kuning yang berisi beberapa bungkus

makanan siap saji berupa nasi jagung (lihat lampiran gambar 27) dan lauk

pauk. Karmidji (52), penjual toak yang sudah malang melintang dalam

tradisi nitik. Mulai dari masa mudanya yang hanya menjadi penikmat toak

sampai kini ia menjadi penjual toak yang cukup terkenal di Kecamatan

Semanding.

Setelah mengayuh sepeda sejauh dua kilometer, dia berhenti di

sebuah pohon rindang di pinggiran sawah Desa Ngino dengan gubug kecil di

bawahnya. Karmidji menatap sekitarnya dari atas ke bawah, kiri ke kanan.

Setelah selesai menatap area sekelilingnya, dia menurunkan dua curigen

besar toak dan muatan-muatan lainnya ke tanah. Ditatanya dua jerigen toak,

centhak dan tambul menjadi satu saling berdekatan. Kemudian dia

mengambil sapu lidi dari balik batu besar yang ada tidak jauh dari tempatnya

berdiri, tidak tahu dari mana dia bisa tahu terdapat sapu lidi di balik batu

tersebut. Namun setelah penulis bertanya, ternyata sapu lidi itu ternyata

68
milikya sendiru yang ia simpan di balik batu besar.

Dengan sapu lidi tersebut, dia menyapu permukaan tanah yang

dipenuhi oleh guguran daun pohon asam Jawa yang menurutnya

mengganggu pandangan dan kenyamanan. Kurang lebih sekitar lima menit

dia menyapu datanglah seseorang laki-laki setengah baya menghampirinya

dan berkata ”lek, toake” atau ”lek, minta toaknya” sembari duduk di dekat

tempat dua curigen toak diletakkan, sejurus kemudian Karmidji tersenyum

dan berjalan ke arah dua curigen toak sembari berkata ”heh, mari ko ndi ae

Di, kok wis suwe ra ngetok blas” atau ”eh, dari mana saja Di, kok sudah

lama tidak kelihatan”.

Gambar 3.1 Nitik di tempat Karmidji. Nampak beberapa beduak mengelilingi


sang penjual Karmidji (duduk jongkok, kedua dari kiri)

Karmidji lalu menuangkan toak yang ada di dalam curigennya ke

69
dalam centhak dan memberikannya kepada pria yang baru datang tadi. ”aku

mari dayoh nang Rembang telung ndino pisan nulung bateh mantu anake”

atau ”saya baru pergi memenuhi undangan di Rembang tiga hari skaligus

membantu saudara sepupu menikahkan anaknya”. Setelah itu munculah

serentetan bahan pembicaraan lain yang semakin lama bertambah seru.

Tidak lama dari datangnya pria pertama tadi, mulai berdatangan pria-

pria lain dengan kebanyakan menggunakan sepeda kayuh. Pria-pria ini

langsung memesan toak dan menikmati tambul yang disediakan oleh sang

penjual. Tanpa rasa curiga, sang penjual membiarkan orang-orang tersebut

mengambil tambul langsung dari tas anyamannya.

Gambar 3.2 Bungkusan Nasi Jagung yang hanya tersisa empat bungkus di dalam
tas anyaman milik Karmidji

Setelah lama penulis perhatikan, tambul-tambul yang disajikan

terbagi menjadi dua macam makanan yaitu makanan kecil seperti kacang-

70
kacangan dan yang kedua adalah makanan berat seperti nasi jagung beserta

daun pisang dengan lauk yang dibungkus terpisah. Lauknyapun bukanlah

lauk sembarangan yang mudah kita temukan di warung, depot atau restoran

dimana banyak menyediakan ayam atau daging sapi. Sang penjual

menyediakan lauk seperti katak, bekicot (siput sawah), anjing atau nyambik.

Dengan lahap pria-pria tersebut menyantap tambul dengan meminum

toak yang sudah tersedia di depan mereka. Pria-pria yang disebut beduak

tersebut bercanda ria, bicara dan berkomunikasi satu sama lain membuat

suasana yang tadinya sepi menjadi ramai tidak mau kalah dengan para

pembelinya, sang penjualpun menlemparkan guyonan-guyonan segar yang

membuat suasana menjadi semakin ramai.

Saat penelitian, penulis malah sempat diajak bercanda oleh si penjual

toak, ”mas, bocah lanang kuwi ojo wedi-wedi ngombe toak. Engkok ndak

dadi banci koyok sing nang ngebom iku lho, sing ngomong hayoo kene tak

kempite (sambil menirukan gaya waria)” atau ”mas, anak laki-laki jangan

takut untu minum toak. Kalau takut nanti akan jadi banci seperti yang ada di

pantai Bom (pantai yang biasa dibuat pekerja seks komersial waria mangkal

mencari pelanggan), yang biasanya ngomong ayoo sini kujepit”.

Guyonan tersebut disambut tawa kompak dari seluruh beduak yang

sedang menikmati tambul sore itu, dan penulis hanya bisa tersenyum-

senyum simpul mendengar guyonan dari sang penjual toak. Perbincangan

diantara mereka berkisar antara kehidupan sehari-hari, namun terkadang

juga mereka menyentuh perbincangan problematika yang sedang hangat

dibicarakan di kalangan masyarakat seperti saat penulis ikut duduk bersama

71
mereka waktu nitik pada 18 Januari 2008, para beduak tersebut

membicarakan kondisi mantan presiden Republik Indonesia yang sedang

dirawat di Rumah Sakit.

Salah satu dari mulai berbicara mengenai kondisi Soeharto yang

semakin gawat, ”yo ngono kae nek wong ra tau puas karo duit, matine angel

digandoli karo setan terus” atau ”ya begitu itu kalau orang tidak pernah puas

dengan uang, meninggalnyapun sulit dipegangi oleh setan terus.”

Komentar itupun langsung ditimpali oleh teman lainnya, ”asline

ngono sing doyan dhuwit iku dudu pak Hartone, tapi anak-anake iku sing

serakahe amit-amit” atau ”sejatinya bukan pak Harto yang suka pada uang,

tapi anak-anaknya pak Harto yang serakahnya keterlaluan”. Sejurus

kemudian pernyataan tersebut ditimpali legi oleh teman beduak yang lain,

”yo mugo-mugo, ndang diparingi waras terus ndang disidang ben ngerti

kabeh salahe opo, terus matine yo enak” atau ”semoga saja cepat diberi

kesembuhan lalu bisa menjalani sidang, biar semua tahu salahnya apa, lalu

matinya jadi enak.”

Pembicaraan tersebut semakin menghangat dari menit ke menit dan

berlanjut dengan topik-topik lain yang tidak kalah seru dan mendapatkan

antusiasme seru dari semua kalangan beduak di tempat nitik sampai tidak

terasa waktu sudah menunjukkan pukul 17.30 dan matahari sudah perlahan

tenggelam di ufuk barat menimbulkan sinar kemerahan di langit Tuban.

Beduak yang tersisa tiggal dua orang dan merekapun sudah bergegas pulang,

karena saat surup (matahari tenggelam) diyakini oleh mereka sebagai tempat

malapetaka dan setan bergentayangan mencari mangsa.

72
III.2 Fakor-Faktor yang Mempengaruhi Jumlah Beduak dalam Nitik

Tidak sulit mendapatkan toak di kabupaten Tuban, begitu pula

tidaklah sulit menjumpai tradisi nitik disana. Kumpulan orang-orang dalam

nitik, ingin meluangkan waktunya untuk minum toak bersama ada setiap

pagi dan sore setiap harinya. Nitik adalah jenis kumpulan bersama yang tidak

terorganisir secara struktural berdasar pada prinsip jual beli, para anggotanya

biasanya berkumpul dan terikat karena rasa toak yang disajikan oleh

penjualnya. Berdasarkan wawancara penulis (P) dengan Sutiyono (S),

terdapat beberapa hal yang mempengaruhi banyak atau sedikitnya jumlah

beduak dalam nitik. Berikut cuplikan wawancara penulis dengan Sutiyono;

P: Mas, sebenarnya apa saja yang mempengaruhi banyak atau tidaknya


jumlah beduak dalam nitik?

S: Ya, ada beberapa hal memang. Pertama mungkin rasa toaknya, kedua
tambulnya enak, ketiga pelayanan dari penjual yang memuaskan,
mencakup bakule bares (penjual ramah) atau mempunyai anak yang
cantik ha..ha, keempat tempatnya nyaman dan mudah dijangkau,
kelima mudah atau tidaknya dihutang terlebih dahulu pembayarannya.

Rasa toak yang disajikan berpengaruh pada banyaknya jumlah

anggota nitik pada setiap lokasi. Semakin enak rasa toak yang diproduksi

oleh penjual, maka semakin banyak orang yang datang untuk minum toak

bersama. Rasa toak dipengaruhi juga oleh beberapa hal termasuk keadaan

geografis tanah tempat pohon siwalan tumbuh lalu teknik pengolahan dari

sang pembuat toak. Menurut Sutiyono, semakin kering atau kurangnya

73
kandungan air dalam tanah, maka semakin enak rasa getah siwalan yang

akan dibuat menjadi toak nantinya.

Faktor kedua adalah jenis tambul atau makanan pendamping yang

disajikan oleh penjual. Makanan pendamping biasanya berupa nasi bungkus,

makanan ringan atau bahkan sang penjual membawa nasi sebakul lengkap

dengan lauk dan peralatan makan seperti sendok, garpu dan piring. Khusus

untuk tambul ini, penulis banyak melihat di kumpulan-kumpulan nitik

terdapat beberapa menu yang menurut sebagian masyarakat dianggap

sebagai makanan yang tidak layak atau haram untuk dikonsumsi seperti sate

daging anjing, siput (bekicot), ular, menthok, namun banyak juga yang

menggunakan menu lain yang seperti umumnya dimakan oleh masyarakat

seperti belut dan katak.

Kebanyakan dari lauk tersebut diolah menggunakan santan dan

diperas kuahnya sehingga menghasilkan citarasa bumbu yang sangat pekat

dilidah. Ditambah lagi dengan selera masyarakat Tuban yang menyukai

masakan pedas dan asin, sehingga jarang ditemui tambul yang tidak terasa

pedas dan tidak asin.

Tambul biasa dijual dengan harga yang bervariasi berdasar pada

jenis lauknya, bila lauknya hanya siput, katak, belut rata-rata dijual dengan

harga Rp. 3000,- per bungkus, sedangkan yang berisi makanan ringan seperti

kacang atau keripik dijual dengan harga Rp.500 per bungkus. Nasi yang

dijadikan tambul kebanyakan adalah nasi jagung yang dibungkus oleh daun

pisang, namun ada juga beberapa pedagang toak yang masih menggunakan

nasi beras biasa yang dibungkus daun jati atau pisang.

74
Dari pengamatan penulis mengenai jenis-jenis menu yang

ditawarkan oleh penjual toak banyak yang mendekati makanan yang

diharamkan atau dolarang oleh sebagian masyarakat, penulis berpikir apakah

hal tersebut disengaja dimakan sebagai simbol perlawanan bagi aturan yang

melarangnya atau hanya karena karena menu-menu tersebutlah yang bisa

dijangkau oleh para beduak yang berkumpul, atau mungkin terdapat suatu

alasan khusus mengapa mereka memilih menu-menu tersebut.

Gambar 3.3 Nampak


Sugeng (51), Seorang Beduak di Kelurahan Latsari, Kecamatan Tuban Memegang Tambul
untuk Dimakan

Saat penulis mewawancarai beberapa informan, beberapa dari

75
mereka menyebutkan satu garis besar yang sama mengenai pemilihan menu-

menu tersebut. Ada satu hal yang sangat substansial bagi mereka disamping

alasan-alasan yang penulis tanyakan pada paragraf diatas. Hal substansial

tersebut ternyata berhubungan dengan kebugaran tubuh para beduak.

Mereka berpendapat bahwa belut, ular, bekicot adalah sumber

makanan yang penuh dengan gizi (walaupun mereka tidak menyebutkan

kandungan gizi apa yang ada di dalam makanan tersebut) dan mampu

mengangkat semangat mereka setelah mengkonsumsinya. Efek tersebut akan

bertambah optimal saat makanan tersebut diminum bersama dengan toak,

seperti keterangan dari informan penulis yang bernama, Kardji (53);

”Lek masalah milih kodok kalian bekecot niku nggih mboten perkoro
nantang agami mas...nanging nek mboten mangan welut lan bekecot
krosone mboten eco. Toak niku lagi kroso grenyenge nek dipangan
kalian tambul, lha tambule niku nggih bekecot nopo welut utawi kodok.
Niku wau gizine dhuwur mas, awak langsung enak terus keroso anget
ting awak”.

”Kalau masalah memilih katak dan siput bukan karena mau menentang
agama mas...tetapi kalau tidak makan belut dan siput terasa tidak enak
(badan). Toak itu baru terasa efeknya kalau dimakan bersama tambul, lalu
tambulnya itu ya siput atau belut atau katak. Makanan itu gizinya tinggi
mas, badan langsung terasa enak terus tarasa hangat”.

Pemilihan menu makanan untuk tambul ini patut kita anggap sebagai

bagian dari local wisdom masyarakat. Karena bila ditilik kembali ekosistem

pertanian di Tuban, katak dan siput merupakan pengganggu pertanian

terutama kacang. Siput memakan dedaunan dari tumbuhan kacang dan katak

selalu menginjak-nginjak tumbuhan tersebut, dan yang lebih menyakitkan

lagi bagi para petani kacang adalah pupulasi kedua hewan tersebut

bertambah banyak dari hari ke hari. Karena kedua hewan tersebut

mengganggu kegiatan pertanian dan ”kebetulan” jumlah populasinya

76
banyak, maka para beduak memanfaatkannya sebagai bahan makanan

pendamping toak seperti yang diutarakan Margono (46), salah seorang

beduak yang nitik di tempat Karmidji:

”Kodok kalian bekecot niku ngganggu ok mas, nanging daginge nggih


eco nek dipangan. Terus jumlahe nggih kathah ting sabin lan tegalan
niku, dadi nggih mboten nopo-nopo sekalian mbantu ngresiki sabin”

”Katak dan siput itu mengganggu mas, tetapi dagingnya enak kalau
dimakan. Terus jumlahnya banyak di sawah dan tegal itu, jadi ya tidak
apa-apa sekalian dengan membantu membersihkan sawah”

Faktor ketiga yang membuat kegiatan nitik menjadi ramai adalah

keramahan sang penjual di tengah-tengah para beduak. Selain menyediakan

toak dengan citarasa yang nikmat, tugasnya juga mengajak para beduak

untuk bersenda gurau, melontarkan joke-joke segar dan tema yang sedang

fresh saat ini. Penjual harus pandai memancing tema obrolan yang nantinya

aka direspons oleh para beduak.

Tema obrolan bisa berbagai macam hal dari kegiatan sehari-hari

sampai pada tema nasional, semisal terakhir saat penulis melakukan

observasi lapangan, mereka (sang penjual dan para beduak) sedang

membicarakan masalah pencalonan wakil presiden Jusuf Kalla sebagai calon

presiden dalam pemilihan umum 2009 nanti. Berikut adalah petikan

pertanyaan pancingan dari sang penjual, Karmidji;

”Lek, lha koe mileh sopo ngene ki? SBY wis ora enthos merintah
negoro, regane bensin munggah terus. Amien Rais yo wis ra ono
ambune meneh. Lha opo kudu mileh Kalla toh? Wong lha iku podo ae
karo presidene...omong thok”

”Lek (panggilan untuk orang yang lebih muda), kamu ingin milih siapa?
SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) sudah tidak bisa mengurus negara,
harganya bensin naik terus. Amien Rais sudah tidak ada kabarnya lagi.
Apa harus memilih Kalla (Jusuf Kalla)? Dia juga sama saja dengan
presidennya (SBY)...Cuma bisa bicara saja”

Dari pertanyaan simpel tersebut, akhirnya muncul respons dari

77
beberapa beduak yang hadir, ada yang berkomentar serius namun ada juga

yang bercanda. Hal tersebut yang membuat kegiatan nitik menjadi hangat

dan disukai.

Jadi dalam hal ini sang penjual mempunyai peran yang sentral agar

para pembeli betah berlama-berlama di tempatnya dan terus meminum

toaknya hingga beberapa centhak. Penjual memakai wawasannya untuk

menciptakan bahan-bahan pembicaraan yang dapat mengundang tanya dan

diskusi kecil antara para beduak. Bila suasana antar beduak terbangun

kondusif, maka para beduak lama akan mengajak orang lain di luar

kelompoknya untuk ikut nitik di tempat tersebut.

Keempat adalah lokasi nitik, pemilihan lokasi yang tepat seperti di

bawah pohon rindang, atau di pinggiran jalan yang teduh semakin

memantapkan niat seseorang untuk minum toak bersama. Pohon-pohon tua

rindang yang berada di kuburan biasanya menjadi sasaran yang empuk bagi

para penjual toak untuk memasarkan produknya. selain itu penjual juga

mempertimbangkan mudahnya tempat tersebut dijangkau oleh beduak, maka

dari itu berdasarkan observasi penulis, kebanyakan tempat nitik berdekatan

atau dilalui akses jalan aspal yang mudah dijangkau.

Hal ini karena pengaruh cuaca di daerah Kabupaten Tuban yang

panas karena merupakan kota pantai dengan curah hujan yang rendah.

Panasnya cuaca di Tuban membuat para beduak memilih tempat yang

sekiranya teduh untuk berlindung dari terik sinar matahari. Tempat lain yang

bisa dipilih oleh penjual adalah tempat permanen dengan membuka warung

toak sendiri. Warung-warung toak banyak tersebar di daerah pedesaan

78
Tuban dan sedikit di daerah perkotaannya.

Kelima, yang tidak kalah pentingnya adalah mudahnya para beduak

menghutang terlebih dahulu dalam membayar toak yang sudah diminum.

Hal ini dibenarkan oleh Karmidji, penjual toak saat ditanya oleh penulis

apakah banyak beduak yang berhutang padanya saat selesai minum.

”Lha inggih to mas, wong tani, kuli iku lak dhuwite ra ono. Dadi yo
mbayare ngenteni panen utowo ngenteni nek ono dhuwit ngono wae.
Tapi yo ono pegawai sing mbayare ulanan dipasno karo bayarane nang
kantor kae”

”Iya mas, petani, kuli (bangunan) itu khan tidak punya uang. Jadi
membayarnya menunggu saat panen atau menunggu kalau ada uang.
Namun, juga ada pegawai yang membayar dengan sistem bulanan,
disesuaikan dengan gaji yang dia terima dari kantor”

Kemudian muncul pertanyaan di benak penulis, bagaimana bila

orang-orang yang menghutang tersebut lupa membayarnya. Karmidji

menjawab bahwa apabila mereka lupa membayar toak yang sudah diminum

akan diingatkan dengan bahasa halus atau dengan geguyonan (lelucon).

Apabila belum juga bayar dan tiba-tiba menghilang. maka, kata karmidji,

sebaiknya direlakan saja. ”Ben dipek dewe mas dosane”, ”biar diambil

sendiri dosanya mas” ujarnya sambil tersenyum.

III.3 Anti Individualitas dalam Masyarakat Jawa pada Bolo ngombe

Social bond tidak begitu nampak pada perilaku keseharian mereka,

namun ikatan tersebut akan nampak apabila terjadi sesuatu yang

membahayakan pada salah satu anggota bolo ngombe. Semisal salah satu

bolo ngombe yang bekerja sebagai petani terlibat konflik dengan petani lain,

maka beduak lain yang masuk dalam satu ikatan bolo ngombe akan

membantu tanpa diminta sekalipun.

79
Namun, tidak selamanya rasa kesetiakawanan tersebut muncul dalam

hal-hal yang sifatnya negatif seperti konflik dan tawuran, banyak kegiatan

positif yang melibatkan sesama bolo ngombe semisal saat salah satu beduak

sedang membangun rumah atau merenovasi, maka tidak segan-segan semua

anggota bolo ngombe turun untuk membantu walaupun harus berkorban

waktu dan tenaga tanpa dibayar sepeserpun seperti yang diungkap oleh

Jumhuri (46);

”Nek tiyang sakmondo kulo kalian tiyang-tiyang mriki mboten ngantos


direwangi gelutan. Ting mriki niku adem ayem tentrem ok mas, paling-
paling nggih konco omben niki tumut mbantu ngrabuk nopo mbajak
sabin. Nggihpun sakmestine toh mbantu bolo ngombe dewe yo toh?”

”Kalau orang seusia saya dan orang-orang disini (di kalangan bolo
ngombe) tidak sampai bantu membantu dalam berkelahi. Disini aman
dan damai mas, biasanya teman minum ini turut membantu memupuk
sawah dan membajak sawah. Ya sudah semestinya membantu teman
minum sendiri ya khan?”

Ikatan sosial tersebut memang tidak pernah ditulis dalam buku atau

kitab, tidak juga didaftarkan ke notaris sebagai sebuah lembaga. Ikatan sosial

tersebut kasat mata dan tidak berbentuk, namun ikatan tersebut akan nampak

sebagai perasaan kebersamaan dan saling memiliki diantara orang-orang satu

group (bolo ngombe) dan terdapat simpati, empati dan imitasi diantara

mereka. Ikatan ini bukanlah sebuah bentuk yang ada hanya di saat nitik

dilaksanakan, namun ikatan ini berlanjut sampai diluar nitik dan menjadikan

suatu tatanan tersendiri bagi para anggota bolo ngombe. Banyak pranata-

pranata implisit yang ada di dalam pergaulan bolo ngombe seperti

pernyataan dari Sukiman (46);

“Lek wonten bolo kesusahan nggih kulo lan konco-konco niki langsung

80
turun tangan, mboten sisah dikengken mpun bidal tur mboten usah
dibayar. Lha nek wonten bolo kesusahan nanging kulo mboten mbantu,
nggih kulo langsung disingkriaken kalian bolo sekalian”.

“Kalau ada teman kesusahan ya saya dan teman-teman ini langsung


turun tangan (membantu), tidak usah disuruh sudah berangkat dan tidak
usah dibayar. Kalau ada teman kesusahan namun saya tidak mau
membantu, ya saya yang disingkirkan oleh teman-teman sekalian”.

Dalam pernyataan salah satu informan penulis ini, maka bisa ditarik

kesimpulan awal bahwa terdapat suatu pranata implisit yang mengatur

secara tidak langsung. Pranata ini berkaitan dengan rasa kepekaan terhadap

sesama bolo ngombe yang “harus ada” walaupun sebenarnya “tidak harus

ada”. Perasaan tersebut timbul akibat rasa “sungkan” yang biasa ada dalam

budaya masyarakat Jawa. Pranata implisit inilah yang membuat ikatan sosial

diantara mereka menjadi semakin kuat dari hari ke hari.

Jelas bahwa sikap individualis harus betul-betul dijauhkan dari dalam

diri para beduak tersebut, karena apabila sikap tersebut muncul maka

otomatis dirinya yang akan tersingkir dari pergaulan. Beberapa kasus yang

penulis ketahui mengenai kepekaan sosial diantara beduak ini adalah pada

saat salah satu beduak yang bernama Jarno (47), merenovasi genteng

rumahnya yang sering bocor apabila musim hujan tiba. Pada saat mengikuti

nitik, Jarno bersenda gurau dengan bolo ngombe lainnya dan sedikit saja

menyelipkan cerita bahwa dia mau merenovasi atap rumahnya yang sering

bocor terkena hujan.

“He...aku iki minggu apene mbenekno gentheng omah sing bocor nek
wayah udan. Lha aku wis tuku genthenge, karek masang sok minggu
tapi ra ono sing mbantu lha wong aku neng ngomah ijen karo ibune
bocah bocah kae”

”He...saya ini minggu mau membetulkan atap rumah yang sering bocor
kalau menhadapi musim penghujan. Saya sudah membeli gentengnya,
tinggal pasang besok minggu tapi tidak ada yang membantu karena saya
di rumah hanya tinggal berdua dengan istri”

81
Bentuk keluh kesah Jarno tersebut langsung mendapat tanggapan dari salah

seorang beduak yang ada di tempat tersebut.

“Yo gampang engko tak bantu Lik Jar, aku soale wis ora wayahe icir
jagung. Lik Di engko tak jake wong omahe parek kene ae ok. Mboh nek
Jan iki gelem mbantu po ra? Wong awake koyok rempeyek ngene ha ha”

“Ya nanti akan saya bantu Lik Jar, saya sedang tidak ada kegiatan
menyemai benih jagung. Lik Di (nama seseorang beduak yang tidak
hadir saat itu) nanti akan saya ajak, soalnya rumahnya dekat dengan sini.
Saya tidak tahu apakah Jan (nama seorang beduak yang duduk di
sampingnya) mau membantu apa tidak? Badannya kayak rempeyek
(mekanan sejenis keripik) gitu ha ha”

Dari dialog tersebut kita dapat mengetahui sejauh mana kepekaan diantara

para beduak tersebut. Jarno hanya mengutarakan keluh kesahnya saja, lalu

beduak lain dengan sigap mau membantu tanpa ada iming-iming bonus uang

sebagai imbal balik membantu merenovasi rumah.

Akhirnya pada hari minggunya, penulis mendatangi kediaman Jarno

yang terletak di Desa Penambangan, Kecamatan Semanding dan sangat

terkejut karena yang datang membantu tidak hanya satu atau dua orang

seperti yang nampak pada dialog diatas, melainkan belasan orang

membantu. Ternyata semua bolo ngombe yang tergabung dalam kegiatan

nitik tersebut hampir semuanya hadir dan ikut membantu renovasi atap

rumah Jarno.

Penulis melihat istri Jarno sebagai tuan rumah yang terbantu hanya

menyediakan dua teko teh serta beberapa nasi jagung yang dibungkus

beserta lauk di dalamnya. Penulis bertanya pada istri Jarno apakah suguhan

ini tidak kurang bagi mereka yang telah bekerja keras membantunya

merenovasi atap rumah, apakah tidak diperlukan uang untuk biaya

membantu. Sang istri berkata bahwa hal tersebut sudah lumrah di dalam

82
masyarakat desa tersebut, bila membantu satu sama lain tidak usah

memberikan uang sebagai balas jasanya.

Masih ada contoh lagi mengenai efek positif nitik pada beduak

maupun penjualnya. Karena tradisi nitik ini berdasar pada kegiatan jual beli,

maka efek ini terkait dengan mata pencaharian yang tercipta akibat rutinitas

nitik. Efek yang penulis maksudkan adalah semua peluang yang berkaitan

dengan peningkatan kesejahteraan baik dari beduak maupun sang penjual

dari segi finansial. Contoh kasus tersebut adalah terciptanya sebuah peluang

kerja pertukangan dari seorang mandor yang mencari seorang tukang

tambahan untuk sebuah proyek dan bisa ditebak bahwa sang mandor lebih

memilih untuk mencari tukang tambahannya dari bolo ngombe-nya sendiri.

Faktor kedekatan dan kepercayaan membuat sang mandor lebih

memilih untuk mencari tukang dari teman nitiknya sendiri seperti dalam

pernyataan sang mandor yang bernama Wargo (45) (lihat lampiran gambar

20) yang biasa nitik di tempat Warsito, saat penulis memberikan satu

pertanyaan mengenai mengapa dia memilih tukang tambahan dari teman

nitiknya sendiri.

”Saben dinten ketemu toh mas dadi yo enak mileh tukange teko bolo
dhewe mas. Wis percoyo wae, lha wong koyok dulur dhewe. Nek wis
cedak ngene kan enak ora kathek sirik-sirikan”

”Setiap hari ketemu kok mas, jadi ya enak memilih tukang dari kawan
sendiri mas. Sudah percaya mas, soalnya sudah seperti saudara sendiri.
Kalau sudah dekat begini khan enak, tidak usah curiga”

Apabila ditilik lebih dalam, maka para petani atau tukang yang mengatakan

jika tidak meminum toak dalam sehari maka akan terasa pegal linu di badan

mereka, maka tentu saja mereka tidak akan produktif dalam bekerja jika

tidak minum toak sebelum berangkat kerja. Jika mereka tidak optimal dalam

83
menjalankan pekerjaan mereka, maka penghasilan mereka juga tidak bisa

maksimal dan ini berpengaruh pada kehidupan keluarga mereka.

Seperti yang telah penulis jelaskan sebelumnya bahwa sebenarnya

nitik adalah kegiatan jual beli, jadi efek ekonomis juga terasa bagi sang

penjual toak. Satu centhak toak dihargai Rp. 500 – Rp. 700 dan rata-rata

untuk pedagang toak besar bisa mengumpulkan 25 beduak selama dia

menggelar kegiatan nitik. Satu bungkus tambul dijual dengan harga Rp.

300,-untuk jenis tambul kacang-kacangan, jenis kerupuk, atau sebungkus

nasi jagung.

Tambul dengan jenis daging-dagingan seperti bekicot, belut, biawak

bisanya dihargai Rp.3000,-. Rata-rata setiap beduak menghabiskan dua

centhak setiap nitik dan sebungkus tambul isi daging atau hanya tiga

bungkus tambul kacang-kacangan. Berarti bila dihitung rata-rata per beduak

menghabiskan biaya kurang lebih Rp. 4000,- untuk beduak yang

mengkonsumsi toak dan tambul isi daging, dan Rp. 1900,- untuk beduak

dengan tambul isi kacang-kacangan sekali datang.

Berdasarkan wawancara penulis dengan penjual toak yang langsung

memroduksi sendiri toaknya, biaya produksi untuk satu centhak toak tidak

diketahui, jadi anggap saja laba bersih untuk satu centhak toak adalah

Rp.450. Sedangkan untuk penjual yang biasa membeli toaknya dari para

penghasil toak, maka satu centhaknya dihitung Rp.100 oleh sang penjual dan

dijual lagi sebesar Rp. 500, jadi untung Rp.400. Biaya produksi untuk satu

bungkus tambul kacang-kacangan rata-rata adalah Rp.150 per bungkus

berarti penjual bisa meraup laba bersih Rp.150 per bungkusnya dan biaya

84
produksi tambul isi daging kurang lebih Rp.2000, berarti laba bersihnya

Rp.1000.

Karena banyaknya kegiatan nitik di Tuban dan banyak pula beduak

yang ikut di dalamnya, maka nitik menjadi sebuah komunitas potensial yang

ditilik dari jumlah massa. Banyaknya jumlah beduak dan ikatan sosial yang

mereka miliki menjadikan mereka lahan basah bagi seseorang atau

organisasi yang menginginkan dukungan bagi tujuan khusus seperti politik

misalnya. Pada saat mendekati Pemilu nasional atau Pilkada Kabupaten

Tuban, komunitas beduak selalu disisipi beberapa orang untuk mengarahkan

afiliasi komunitas tersebut pada partai atau calon bupati tertentu.

Para pelaku politik betul-betul menyadari bahwa bolo ngombe

bukanlah sebuah komunitas yang bisa dianggap remeh begitu saja. Nitik dan

toak sebagai ikon Kabupaten Tuban sering dijadikan media kampanye bagi

calon bupati tertentu yang ingin image-nya merakyat, karena sebagian besar

nitik diikuti oleh rakyat kecil dari golongan menengah. Menurut Paul Conn,

pengertian politik adalah segala usaha yang dilakukan individu maupun

komunitas untuk mengambil maupun mempertahankan kekuasaan.

Jadi pada intinya kegiatan berpolitik tidak hanya dilakukan oleh

partai ataupun para calon pemimpin, melainkan oleh semua pihak yang

menginginkan eksistensinya langgeng. Dalam banyak hal nitik dipakai

sebagai bagian dari slogan-slogan kepartaian, para calon bupati ataupun

hanya sebagai kata yang mendasari suau kalimat dalam sebuah spanduk.

Penulis pernah menemukan salah satu spanduk yang berbunyi ”wong toakan

ae iso lungguh bareng, mosok pimipinane gak iso” atau dalam bahasa

85
Indonesia berati orang minum toak saja bisa duduk bersama dengan damai,

masa pemimpinnya tidak bisa damai.

Spanduk tersebut berasal dari Ikatan Masyarakat Peduli Tuban yang

menyindir masalah amuk massa yang terjadi di Tuban awal tahun 2006

akibat perselisihan dua calon bupati Haeny Relawati dan Noor Nahar. Massa

mengamuk dan membakar pendopo Kabupaten Tuban serta properti pribadi

yang dimiliki oleh Bupati Tuban sebelumnya yang juga salah satu dari

kedua calon Bupati yaitu Haeny Relawati, massa mengamuk karena menilai

Haeny melakukan penggelembungan suara pada saat Pilkada berlangsung.

Karena berdasarkan observasi sebagian besar beduak adalah pekerja

kasar, sehingga para politisi menganggap mudah untuk menggiring suara

para beduak. Biasanya para aktor politik mengirim para utusannya untuk

berkumpul bersama para beduak pada kegiatan nitik atau sengaja mendekati

salah seorang beduak dan juga sang penjual untuk mempromosikan

partainya. Pendekatannya dalam berbagai cara, beberapa diantaranya yang

penulis (P) ketahui dari hasil interview dengan informan penulis,

Sutiyono(S). Berikut nukilan wawancara penulis dengan Sutiyono;

P: Apakah arena nitik yang terdiri dari beduak-beduak ini pernah


dimanfaatkan oleh orang atau partai politik demi memperoleh jabatan

S: Oh ya mas, apalagi sistem pemilihannya langsung kayak sekarang


ini. Mereka pasti gerilya menarik simpati pemilih, termasuk ke dalam
nitik segala

P: Sampeyan mengatakan mereka gerilya, mereka itu siapa?

S: Ya orang-orang partai, kalau ndak gitu yang utusannya para calon


pejabat itu mas

P: Bagaimana cara mereka menarik simpati para beduak?

S: Bisa bermacam-macam sebenarnya mas, mungkin dengan mentraktir


mereka minum toak dan makan tambul sepuasnya, istilah kami itu

86
sampek sak mblendhinge (sekenyangnya). Membagi- bagikan
barang gratisan seperti kaos, topi. Cara yang lain adalah dengan
membayar khusus pada sang penjual untuk mempromosikan
seseorang atau partai kepada para beduak. namun cara yang paling
ampuh adalah dengan membagikan mereka (para beduak) uang.

Cara pertama adalah mentraktir para beduak minum dan makan

tambul sepuasnya, dengan begitu pada beduak ini akan bersimpati dan besar

harapan untuk memilih sang pentraktir dalam ajang pemilihan tertentu. Cara

kedua adalah dengan membagikan kaos gratis kepada setiap beduak yang

ada dalam nitik, namun bisa saja diganti dengan kalender atau topi.

Cara ketiga yang lebih efektif adalah dengan memberi sejumlah uang

pada sang penjual dan menyuruhnya agar mau mempromosikan partai atau

calon bupatinya. Para aktor politik daerah mampu membaca bahwa peran

penjual dalam memanajemen pembicaraan tak ubahnya seperti seorang

playmaker sepakbola memainkan ritme permainan timnya.

Cara keempat adalah dengan langsung membagi-bagikan uang tunai

kepada para beduak yang berada di tempat nitik atau yang sering kita kenal

dengan istilah money politic. Strategi tersebut dilakukan untuk membuat

kesan positif partai atau calon bupati di benak para beduak. Menurut

Katiman (53), dia pernah diberi uang tunai oleh para utusan partai pada saat

minum toak di sekitar desa Sumurgung sejumlah Rp. 50.000,- dan itu

diberikan ke seluruh beduak yang sedang melakukan nitik.

Tidak jarang para beduak mengambil keuntungan dengan menerima

lebih dari satu kali pemberian, semisal mereka mendapat jatah bagi-bagi

uang dari calon bupati A dan sehari kemudian mendapat lagi jatah bagi-bagi

uang dari calon bupati B. Hal tersebut penulis temukan saat mewawancarai

87
Sunardi (50), salah satu bolo ngombe dari Katiman.

Sunardi menjelaskan bahwa dia pernah nitik di daerah Karangsari,

Kecamatan Tuban pada saat gencar-gencarnya calon bupati melakukan

kampanye pemilihan kepala daerah langsung. Pada saat itu, para beduak

diberi uang sejumlah Rp.30.000,- beserta kaos bergambar calon bupati dan

wakil bupati lengkap dengan nomor urut pilihannya, oleh seseorang yang

mengaku sebagai utusan bupati X, uang itu diberikan secara cuma – cuma

dengan syarat pada saat nanti saat hari H pemilihan, Sunardi dan beduak lain

harus memilih calon bupati X sebagai bupati Tuban periode selanjutnya.

”Wayah ngombe toak nang Karangsari ndisik, aku diwenehi dhuwik


telung puluh ewu mas. Nek aku yo gelem-gelem ae no. Jaman yahmene
sopo sing ra gelem dhuwik gratis, tapi yo kon mileh...dadi Bupati”

”Saat minum toak di Karangsari, saya diberi uang tiga puluh ribu
rupiah (Rp. 30.000,-) mas. Kalau saya mau saja diberi uang. Zaman ini,
siapa yang tidak mau uang gratis, tapi ya disuruh memilih...jadi
Bupati.”

Hari berikutnya dia mencoba nitik di tempat yang sama, ternyata hari

itu dia dan bolo ngombenya didatangi oleh seseorang yang mengaku utusan

dari bupati XX dan membagikan uang sejumlah Rp. 50.000,- dan kaos

gambar calon bupati dan calon wakil bupati, diberikan dengan syarat yang

sama yaitu memilih sang calon bupati pada saat hari H pemilihan

diselenggarakan.

Berarti hanya dalam dua hari saja, para beduak di Karangsari

tersebut mendapatkan uang sejumlah Rp.80.000,- ditambah lagi dengan dua

kaos calon bupati. Raihan tersebut lebih dari pendapatan mereka selama tiga

heri bekerja sebagai tukang becak yang rata-rata hanya bisa mendapatkan

Rp. 20.000,- per harinya. Seperti yang diungkapkan salah seorang tukang

88
becak yang berada di sekitar kawasan Karang Indah, Sarko (40),

”Tukang becak kene iki yo ra mesti mes entuke, tapi paling gak yo iso
nggowo muleh dhuwit rong puluh ewu ngono sak dinane.”

”Tukang becak disini pendapatannya tidak pasti mas, tetapi paling


tidak bisa membawa pulang uang dua puluh ribu seharinya.”

Jelas, nitik dapat dijadikan alat politik bagi kader partai atau aktor politik

yang ingin mencalonkan diri memegang tampuk jabatan tinggi di Tuban.

Pemanfaatan tersebut bukan hanya datang dari oknum luar bolo ngombe.

Apabila salah satu beduak yang kebetulan ingin mencalonkan diri sebagai

kepala desa misal, dapat dengan mudah mempengaruhi teman-teman

minumnya untuk memilih sang calon kepala desa tersebut.

beduak yang kebetulan merupakan bromocorah atau jagoan

kampung, akan memanfaatkan nitik sebagai alat untuk menguatkan

posisinya serta sebagai alat aktualisasi diri. Dengan sering datang nitik, maka

dirinya akan dicap sebagai orang yang kuat minum dan menjadi kebanggaan

tersendiri apabila seseorang kuat minum toak lebih dari yang lain. Saat

penulis wawancarai, Karmidji mengutarakan bahwa, dahulu pernah ada

jagoan kampung yang bernama Bakar. Dia menjadi pelanggan setia

Karmidji, setiap hari tidak pernah absen datang minum toak di tempat

Karmidji berjualan. Setiap datang dia bisa menghabiskan 5-6 centhak.

”Ceriose Bakar, pas tak takoni kowe kok kuat ngombe toakku saben
dino le? Trus dijawab lha wong aku iki sing mbaurekso nang kene kok
lek Kar, mosok ra ngombe Toak. Terus nek didelok wong-wong lak
ilang digdoyoku.”

”Katanya Bakar, waktu saya tanya kamu kok kuat minum toak saya
setiap hari le (panggilan untuk yang dimudakan)? Lalu dijawab olehnya
saya ini yang menguasai daerah ini lek Kar, masa tidak minum toak.
Terus kalau dlihat orang-orang bisa hilang wibawaku.”

Walau bisa digunakan untuk menunjukkan kejantanan, Toak ternyata

89
bisa dipakai untuk menambah energi pada tubuh. Dari wawancara dan

observasi penulis selama penelitian berlangsung, mengungkap bahwa toak

dianggap oleh para beduak sebagai minuman suplemen penambah daya agar

mereka giat bekerja setiap harinya. Beberapa tempat nitik di Kecamatan

Semanding seperti yang dijumpai di tempat Desa Genaharjo, Kecamatan

Semanding milik Warsito (55) atau di Desa Kowang (lihat lampiran gambar

40), Kecamatan Semanding milik Tasiran (42), tersedia pagi sebelum para

petani maupun pekerja lainnya berangkat bekerja, sekitar pukul 06.30 WIB

dan tersedia lagi saat mereka pulang bekerja sore hari sekitar pukul 17.00

WIB.

Bagi para beduak, minum toak merupakan salah satu usaha mereka

menjaga kebugaran dan meningkatkan stamina tubuh saat bekerja dan

setelah pulang kerja. Jadi, mereka pasti akan sempatkan mampir nitik untuk

minum minimal satu centhak toak dan sebungkus tambul. Berikut adalah

cuplikan wawancara penulis (P) dengan salah seorang beduak yang bekerja

sebagai petani di Desa Panambangan, Kecamatan Semanding bernama Jito

(J) (43) (lihat lampiran gambar 17) yang biasa nitik di tempat Warsito;

P: Nopo Pak Jito rutin nek ngunjuk toak?(apa Pak Jito rutin minum
toak?)

J: Oo..nggih rutin mas meh saben dinten mboten nate absen (oo..ya
rutin mas, hampir setiap hari tidak pernah absen)

P: Kok sampek mben dinten niku yo’nopo pak? (kok sampai setiap hari
pak?)

J: Nggih nek mboten ngoten kulo mboten saget kerjo mas, lha wong
nek mboten ngombe toak niku awak kula rasane loro sedanten kok
(ya, kalau tidak begitu (minum toak setiap hari), saya tidak bisa kerja
mas, karena kalau tidak minum toak, rasanya badan saya sakit
semua)

P: Terus nek mari ngunjuk toak? (terus, setelah minum toak?)

90
J: Nggih pun ilang cekot-cekot ting awak niku mas, tambah greng
awak niki. Toak niku lak ”noto awak” toh ha ha ha (ya hilang rasa
pegel linu di badan mas, tambah fit badan ini. Toak itu khan ”noto
awak” atau menata tubuh ha ha ha)

tanggapan seperti itu juga penulis (P) dapatkan dalam wawancara dengan

Imam (I) (49), seorang tukang becak yang biasa nitik di Latsari, Kecamatan

Tuban;

P: Pak, saben dinten ngombe toak mboten? (pak, apakah setiap hari
minum toak?)

I: Nggih meh mben dinten mas (iya, hampir setiap hari mas)

P: Nek mboten ngombe toak sedinten rasane yok nopo pak? (kalau
tidak minum toak sehari saja, rasanya bagaimana pak?)

I: Rasane nggih mboten enak kabeh ting awak, trus mboten kiat
ngontel becak mas. (rasanya tidak enak semua di badan, akhirnya
tidak kuat mengayuh becak mas)

Terdapat beberapa perbedaan yang nampak antara nitik yang ada di

Kecamatan Tuban yang merupakan ibukota kabupaten dan Kecamatan

Semanding yang didominasi oleh daerah pedesaan. Di Kecamatan

Semanding, semua anggota nitik lama dianggap sebagai bolo ngombe dan

punya keterikatan kuat di dalamnya. Di Kecamatan Tuban, tidak semua

beduak lama dianggap sebagai bolo ngombe bila tidak terlalu akrab, banyak

beduak lama maupun baru yang hanya datang untuk minum dan

bersosialisasi seadanya, setelah itu langsung pulang atau pergi ke tujuan

masing-masing. Seperti penuturan Sugeng (51) yang biasa nitik di tempat

Taji, Kelurahan Latsari, Kecamatan Tuban;

”Nek wong kecamatan kota kuwi akeh sing sibuk dhewe-dhewe, dadi

91
yo ra sempat ngumpul suwe nang kene. Paling-paling sing ngumpul iki
yo sing gaweane ra mesti koyo tukang mbecak, wong laut, tukang
ngono kuwi leh”

”Kalau orang orang kecamatan kota (Kecamatan Tuban) banyak yang


sibuk sendiri-sendiri, jadi tidak ada sempat berkumpul dengan kami
lama disini. Paling yang sering dan lama berkumpul disini adalah
orang-orang yang pekerjaannya tidak pasti seperti tukang becak,
nelayan, tukang”

Terkadang malah dijumpai, beberapa tempat nitik di Kecamatan Tuban

terbentuk beberapa kelompok bolo ngombe yang bergerombol mengambil

tempat masing-masing. Hal tersebut tidak terjadi pada tradisi nitik di desa-

desa kecamatan Semanding.

Menurut pengakuan Tasiran (42) yang sorenya berjualan di

Kelurahan Kebonsari, Kecamatan Tuban (lihat lampiran gambar 22), para

penjual toak yang ada di Kecamatan Tuban lebih ”pelit” dibandingkan

dengan yang ada di Semanding. Istilah ”pelit” merujuk pada keengganan

para penjual toak di Kecamatan Tuban untuk memberikan hutang toak

kepada para beduak yang minum di tempatnya. Sebanyak apa yang diambil,

sebanyak itulah yang dibayar oleh sang beduak saat itu juga. Hal ini berlaku

hampir pada semua beduak, hanya yang sudah kenal akrab saja yang bisa

berhutang toak pada sang penjual. Berikut penuturan Tasiran mengenai hal

tersebut;

”Aku yo plaur mas, nek kudu ngutangi wong sakmene akehe. Soale sing
rutin teko mrene kuwi paling wong limo enem iku wae yo ra tak utangi
ok mas, liyane yo gonta ganti ra kenal, mari ngombe yo langsung
mbayar nang aku piro-piro ae. Soale ndisik akeh sing ngentit pas tak
utangi. Nek nang ndeso lak akeh sing bolo dhewe, wonge lak yo iku-iku
wae leh”

”Saya enggan kalau harus memberi hutang (toak) pada sekian banyak
orang. Karena yang rutin kesini paling Cuma lima sampai enam orang
saja, jumlah itu juga tidak saya beri hutang minum. Sisanya berganti-
ganti tanpa ada yang saya kenali. Setelah selesai minum (toak) ya
langsung bayar berapapun habisnya, karena dulu banyak yang lari
setelah saya hutangi. Kalau jualan di desa banyak teman sendiri yang
minum di tempat saya, orangnya ya itu-itu saja.

92
Menurut Sutiyono, memang nitik di daerah pedesaan memang suasananya

lebih akrab dan mudah untuk berhutang pada sang penjual apabila dua atau

tiga kali datang nitik.

Di daerah pedesaan, komposisi beduak di satu tempat nitik tidaklah

mudah berubah, ditambah lagi latar belakang beduak kebanyakan berasal

dari petani sawah. Bahkan di tempat nitik milik Warsito, semua beduak yang

minum di tempatnya adalah petani yang rumahnya saling berdekatan

walaupun ada yang berlainan desa, sehingga hampir setiap hari tidak ada

perubahan komposisi beduak yang minum di tempatnya dan bertambah

akrab dari hari ke hari.

Petani-petani selalu butuh energi ekstra untuk menggarap sawahnya,

sehingga setiap hari datang ke tempat Warsito. Menurut Warsito sendiri,

dirinya hafal setiap beduak yang datang ke tempatnya dan tahu dimana

rumah masing-masing beduak. Hal tersebut menyebabkan mudahnya sang

penjual untuk menghutangkan toaknya pada para beduak, selain rasa

kepercayaan terhadap sesama yang memang banyak dimiliki oleh

masyarakat pedesaan Jawa.

93
BAB IV
FUNGSI DAN TEMA BUDAYA PADA
TRADISI NITIK

Berikut ini, akan penulis jabarkan beberapa fungsi dari tradisi nitik

yang terimplementasikan pada bidang ekonomi, politik, tubuh dan pergaulan

sosial. Dalam sebuah karya tulis etnografi seperti skripsi ini, perlu dilakukan

analisa secara bertahap yang melibatkan analisis wawancara etnografis,

domain, taksonomik, dan analisis komponen sesuai dengan metode etnografi

yang disarankan oleh James Spradley, sehingga dapat ditemukan tema

budaya pada tradisi nitik.

IV.1 Fungsi Tradisi Nitik

Dalam Fokus penelitian etnografis seperti yang dianjurkan oleh Spradley

(1995:181), penulis harus melakukan 12 tahapan demi menghasilkan karya

tulis etnografi yang baik. Semakin ke dalam, penulis semakin banyak

menemukan hal-hal implisit dalam tradisi nitik, termasuk fungsi-fungsi dan

tema budaya yang ada di dalamnya. Tahapan analisis penulis mulai dari

94
tahap mengajukan pertanyaan deskriptif.

Pengajuan pertanyaan deskriptif lebih bersifat pertanyaan besar yang

butuh pendefinisian agar dasar permasalahan diketahui dengan jelas.

Pengajuan pertanyaan deskriptif dimulai penulis dengan menanyakan

pertanyaan seperti cuplikan wawancara penulis (P) dan Sutiyono (S);

P:Mas yang namanya tradisi nitik itu apa toh?

S:Tradisi nitik itu adalah berkumpulnya para beduak untuk minum toak
bersama di tempat-tempat dimana sang penjual biasa berjualan seperti
di pinggir jalan, di warung atau bawah pohon besar?

P:Menurut sampeyan apa yang membuat tradisi nitik berbeda dengan


kegiatan jual beli lainnya?

S:Tradisi Nitik merupakan warisan budaya leluhur, diturunkan dari


generasi ke generasi, pembuatan materi utamanya yaitu toak. Bila
kegiatan jual beli lain, pembeli bisa berubah-ubah setiap harinya.
Namun bila tradisi nitik, pembelinya relatif tetap setiap harinya
karena terikat oleh toak yang mereka minum...istilahnya itu ya seperti
ketagihan tapi bukan seperti ketagihan narkoba. Mereka merasa tidak
semangat bila bekerja, bila satu hari saja tidak minum toak.

P:Mungkin ada lagi yang lebih unik bila dipandang dari pembelinya
mas?

S:Oh ya mas, para beduak yang ada dalam satu tradisi nitik itu
mempunyai ikatan yang cukup dalam. Diluar nitik mereka bantu
membantu dalam berbagai hal, kumpulan yang sudah mempunyai
ikatan tersebut biasa disebut bolo ngombe...

Dari keterangan tersebut, penulis langsung mengajukan pertanyan-

pertanyaan lain berkisar nitik dan istilah lokal yang ada di dalamnya. Misal

penulis bertanya kepada beberapa orang beduak tentang apa yang disebut

dengan toak, dan ternyata jawaban dari setiap beduak berbeda-beda.

Jawaban yang berhasil terkumpul dari pertanyaan ”Apa itu toak?”, adalah;

1. ombenan teko wit siwalan (Karmidji)

2. ombenan gawe nyegerno awak (Margono)

3. Noto awak (Jito)

95
Istilah tercakup (X) Istilah pencakup (Y)

4. Deresane Bogor (Jarno)

5. Ombenane wong Tuban (Tiknar)

Penulis terus mengajukan pertanyaan-pertanyaan lainnya dengan

jawaban yang variatif pula pada setiap pertanyaannya. Termasuk yang

diidentifikasikan sebagai bolo ngombe bagi para beduak adalah;

1. teman yang sering ikut minum bersama dalam satu tempat nitik,

2. selain ikut dalam satu tempat nitik, dia juga harus sering berbicara

dan ngobrol dengannya,

3. teman minum yang memiliki kesamaan dalam berbagai hal seperti

pandangan mengenai fakta atau fenomena yang dihadapi

Tahapan selanjutnya, hasil wawancara mengenai istilah-istilah lokal tadi

langsung penulis masukkan ke dalam kertas kerja analisis domain penulis

menggunakan kertas kerja domain agar mengetahui domain-domain dari

istilah lokal yang bisa digunakan dalam tradisi nitik. Contoh, pada salah satu

kertas kerja penulis mendapatkan satu istilah pencakup yaitu ”tempat nitik”.

Istilah tercakup yang nampak pada identifikasi terhadap istilah ”tempat

nitik.”

Kertas Kerja 4.1 Analisis Domain Tempat nitik

1. Di bawah pohon besar dan tua

2. Dimanapun, yang penting dingin x merupakan tempat untuk y Nitik

3. Di pinggir jalan besar

4. Di dalam suatu bangunan

96
Nitik demi pergaulan sosial

Banyak sekali kertas kerja yang berhasil diisi oleh penulis selama

penelitian di Tuban, semua mengupas mengenai istilah maupun pengetahuan

lokal para beduak tentang tradisi nitik. Namun dari kesemuanya, yang paling

dominan atau paling banyak didapatkan penulis adalah fungsi nitik yang

ditinjau dari berbagai aspak, misal;

Kertas Kerja 4.2 Analisis Domain Nitik Untuk Alasan Pergaulan Sosial

-agar banyak teman

-agar punya teman

-agar mempunyai teman saat butuh pertolongan

-agar mempunyai teman

seprofesi

-agar punya teman dengan perasaan

senasib sepenanggungan

ternyata menurut para beduak, nitik memiliki fungsi-fungsi khusus yang

bagi orang-orang yang tidak menikmatinya langsung, tidaklah terlihat

dengan jelas. Fungsi-fungsi nitik yang terungkap selama penelitian etnografi

ini meliputi fungsi nitik untuk tubuh seperti yang telah penulis paparkan

dalam kertas kerja berikut;

Kertas Kerja 4.3 Analisis Domain Nitik Untuk Alasan Fisik

(X) (Y)

97
Nitik untuk alasan ekonomi

menghangatkan tubuh x alasan untuk y

Agar giat bekerja nitik untuk tubuh

Agar tidak mudah sakit

Atau penjelasan para beduak mengenai fungsi-fungsi yang berkaitan

dengan pencarian uang atau alasan ekonomi. Mereka (para beduak) bisa

memanfaatkan nitik sebagai ajang pencarian uang, karena di dalamnya

mereka bisa mencari pekerjaan lewat orang-orang yang sudah dikenal akrab.

Mereka juga bisa menawarkan dagangan mereka di dalamnya, atau apabila

ditilik lagi sebenarnya nitik sendiri adalah lahan pekerjaan bagi sang penjual

toak. Berikut pemaparan para beduak yang sudah disalin ke dalam kertas

kerja yang berkaitan dengan fungsi nitik untuk alasan ekonomi;

Kertas Kerja 4.4 Analisis Domain Nitik Untuk Alasan Ekonomi

(X) (Y)

*agar bertemu dengan orang

yang bisa menawarkan pekerjaan

*menawarkan barang dagangan di tempat nitik

*dari sang penjual toak, nitik sendiri merupakan mata

Pencaharian

Setelah analisis domain, penulis diwajibkan mengajukan pertanyaan

struktural pada informan (Spradley, 1995:117). Pertanyaan struktural

biasanya bersifat mengurai konten atau prosedural kegiatan secara periferal.

Penulis mengajukan pertanyaan struktural berjenis pembuktian. Kebanyakan

98
pertanyaan struktural yang muncul pada kertas kerja domain seperti ”apakah

benar nitik dapat dijadikan ajang mencari teman?.”

Semua infroman menjawab bisa. Jawaban ini mengindikasikan tradisi

nitik mempunyai fungsi sosial di dalamnya dan tidak diragukan lagi

keberadaannya walaupun tersembunyi di balik anggapan negatif masyarakat

bahwa nitik hanyalah tempat berkumpulnya pemabuk dan pembuat onar.

Potensi massa yang ada di dalam nitik bisa berguna bagi berbagai kalangan

dan berbagai kepentingan.

Sesama anggota bolo ngombe saling bantu membantu apabila terjadi

masalah atau saat dibutuhkan tenaganya tanpa harap pamrih. Fungsi inilah

yang dikatakan Malinowski (Koentjaraningrat 1980:167) sebagai fungsi

sosial pada suatu adat, pranata sosial atau unsur kebudayaan pada tingkat

abstraksi pertama mengenai pangaruh atau efeknya terhadap tingkah laku

manusia dan pranata sosial lain dalam masyarakat. Tingkat abstraksi pertama

fungsi sosial dari suatu adat atau tradisi memungkinkan mencetak sebuah

pranata sosial dan tingkah laku manusia di dalamnya, tinggal bagaimana

tradisi itu menginginkannya. Nitik membuktikan bahwa kemungkinan

tersebut ada dengan membentuk suatu ikatan emosional diantara para

beduak dengan pranata-pranata implisit di dalamnya yang mengatur tingkah

laku para beduak.

Tahapan selanjutnya adalah membuat analisis taksonomik. Dengan

mengkategorisasikan jenis-jenis pekerjaan yang banyak ikut dalam tradisi

nitik. Pembuatan analisis taksonomik dengan memilih salah satu domain

yang dominan, yaitu domain fungsi nitik semisal Dari subset ini, penulis

99
melanjutkan dengan mencari subset-subset lain dengan kesamaan kerangka

subtitusi yaitu x merupakan alasan untuk y. Penulis melihat data transkip

wawancara dan melihat kembali hasil jawaban dari pertanyaan struktural

yang diajukan penulis kepada beberapa informan.

Beberapa domain tersebut dikumpulkan dan dicari domain yang lebih

besar atau inklusif untuk mencakup kesemua domain diatas. Setelah

mempelajari lebih lanjut, akhirnya penulis memilih domain ”fungsi nitik”

untuk mencakup keseluruhan domain yang tergabung dalam satu kerangka

subtitusi yang sama. Karena beberapa domain mengenai fungsi nitik masih

terpisah berdasarkan kategori fungsinya masing-masing, yaitu dalam domain

alasan nitik bagi tubuh, nitik untuk alasan ekonomi, nitik untuk alasan

pergaulan sosial.

Tujuan dari tahap ini, mengetahui struktur internal dari domain yang

besar sehingga penulis bisa lebih mudah memaparkan serta menganalisa

setiap unsur dalam tradisi nitik ini. Kita bisa mengetahui struktur internal

dari fungsi nitik seperti kita mengetahui struktur tubuh ikan saat kita

mengulitinya terdapat duri, daging, lambung. Begitu pula dengan fungsi

nitik yang mempunyai struktur pembentuk di dalamnya sehingga kita

mampu melihat bagaimana struktur tersebut terbangun dan mengetahui jelas

kemana arah fungsi ini berlanjut;

100
Kertas Kerja 4.5 Analisis Taksonomik

Fungsi- Alasan nitik Penghangat tubuh

Fungsi Nitik untuk tubuh


Agar giat bekerja
Agar tidak mudah sakit
Alasan nitik agar banyak teman ngobrol

untuk pergaulan

sosial
agar punya teman akrab
agar mempunyai teman saat butuh

pertolongan

agar mempunyai teman seprofesi

agar punya teman dengan perasaan

senasib sepenanggungan

Alasan nitik agar bertemu dengan orang yang bisa

untuk bidang menawarkan pekerjaan

ekonomi
menawarkan barang dagangan di

tempat nitik

101
dari sang penjual toak, nitik sendiri
merupakan mata pencaharian
Fungsi hiburan, saat mendengar lelucon-lelucon dari sang
penjual yang sering membuat kangen

Setelah analisis taksonomik, tahapan berikutnya adalah mengajukan

pertanyaan kontras. Penulis mengajukan beberapa pertanyaan kontras untuk

mencari perbedaan dalam satu rangkaian kontras yang sama dimana di

dalamnya terkandung domain-domain dalam kategori besar ”fungsi-fungsi

nitik”. Dalam tahapan ini penulis menyajikan media kertas kerja analisis

taksonomikk yang bertuliskan istilah-istilah rakyat yang tercakup dalam

domain-domain dalam kategori besar ”fungsi-fungsi nitik”. Penulis

mengintruksikan informan, Sutiyono (37), agar melihat semua istilah dalam

domain-domain yang tersedia. Setelah itu penulis mengajukan beberapa

pertanyaan kontras dengan jenis pertanyaan perbedaan diadik seperti

Penulis : Dapatkah anda melihat semua istilah ini benar adanya seperti
yang saya tulis?, tolong diteliti lagi mas.....

Sutiyono : Ehm...semuanya sudah benar mas, tetapi ada satu yang belum
anda tuliskan dalam tabel ini. Yaitu fungsi dimana salah
seorang beduak memakai nitik untuk mencari pendukung dan
mencari sebuah status dalam masyarakat demi sebuah posisi
yang disegani.

Penulis : (Penulis dengan cepat menuliskan fungsi tersebut ke dalam


kertas kerja analisis taksonomik), lalu apakah anda bisa
menjelaskan perbedaan fungsi ini dengan fungsi-fungsi lain
dalam kertas ini?

Sutiyono : Dalam fungsi ini, beduak tersebut tidak seperti yang


sampeyan tulis dalam fungsi sosial yang memang kebanyakan
memang ingin mencari teman dan bergaul dengan orang lain,
atau membutuhkan bantuan yang sifatnya timbal balik. dalam
fungsi yang baru saja saya katakan tadi, beduak tersebut jelas
memiliki maksud tersembunyi seperti beduak yang
mencalonkan diri sebagai anggota (DPRD) atau lurah, bahkan
bila ingin dianggap sebagai bromocorah harus sering-sering
minum toak dan dilihat banyak orang.

Dari wawancara ini, penulis mengetahui terdapat fungsi lain yang belum

102
terungkap selama mengadakan penelitian. Fungsi ini akhirnya penulis

masukkan dalam ”domain nitik untuk alasan aktualisasi diri”. Seperti yang

dikatakan oleh Dr. Abraham Maslow dalam konsep piramida hierarkhi

kebutuhan manusia (1998, www.performance-unlimited.com/samain.htm),

bahwa aktualisasi diri (self actualization) menjadi pemuncak piramida;

"A musician must make music, an artist must paint, a poet must
write, if he is to be at peace with himself. What a man can be, he
must be. This is the need we may call self-actualization...It refers to
man's desire for fulfillment, namely to the tendency for him to
become actually in what he is potentially: to become everything that
one is capable of becoming ..." (Maslow, 1998: www.performance
unlimited.com/samain.htm)

“Seorang musisi harus membuat musik, seorang seniman (lukis) harus


membuat lukisan, pengarang haruslah menulis apabila dia ingin
menemukan kedamaian dalam dirinya. Apa yang manusia mau, dia
harus menjadikannya nyata. Inilah suatu (tahap) kebutuhan yang kita
sebut sebagai aktualisasi diri…yang merujuk pada hasrat manusia
untuk mengisi atas nama tendensi menjadi seperti potensi yang ia
punyai: untuk menjadi apa saja yang mungkin ia jadi.” (Maslow, 1998
www.performance unlimited.com/samain.htm)

Jadi, penulis mencoba untuk menambahkannya dalam kertas kerja

analisis taksonomik, karena masuknya fungsi baru yang penulis masukkan

dalam kategori fungsi aktualisasi diri. Pemaparan dalam kertas kerja baru

dapat dilihat di bawah ini;

103
Kertas Kerja 4.6 Analisis Taksonomik Tambahan Domain

Fungsi- alasan nitik untuk Penghangat tubuh

Fungsi Nitik tubuh


Agar giat bekerja
Agar tidak mudah sakit
Alasan nitik agar banyak teman ngobrol

untuk pergaulan

sosial
agar punya teman akrab
agar mempunyai teman saat butuh

pertolongan

agar mempunyai teman seprofesi

agar punya teman dengan perasaan

senasib sepenanggungan

Alasan nitik agar bertemu dengan orang yang bisa

untuk bidang menawarkan pekerjaan

ekonomi
menawarkan barang dagangan di

tempat nitik
dari sang penjual toak, nitik sendiri

104
merupakan mata pencaharian
untuk menjaring massa
Nitik untuk

alasan aktualisasi
agar dianggap sebagai jagoan
diri
Fungsi hiburan, saat mendengar lelucon-lelucon dari sang
penjual yang sering membuat kangen
Berdasarkan wawancara ini juga, penulis menanyakan beberapa

perbedaan lagi dalam satu dimensi kontras.

Penulis :Seperti apa perbedaan fungsi agar banyak teman dan


mempunyai teman saat butuh pertolongan?

Sutiyono:Ada beberapa beduak yang memang hanya ingin menambah


teman ngobrol, tapi terkadang ada beduak nakal yang hanya
ingin mencari konco gelut (teman berkelahi) saja saat ingin
tawuran.

Sejauh penelitian penulis, nitik dimanfaatkan oleh tiga unsur yaitu

para beduak, sang penjual dan pihak luar. Beduak memanfaatkan demi

pergaulan sosial, ekonomi dan kebutuhan tubuhnya akan toak. Sang penjual

yang kesemuanya adalah peminum toak juga memanfaatkan untuk

kebutuhan tubuh dan ekonomi. Pihak luar non beduak biasanya

memanfaatkan untuk tujuan-tujuan tertentu semisal saat pemilihan kepala

daerah, Bupati, Kepala Desa, Camat dsb.

Membuat analisis komponen. Tahapan ini, merupakan suatu pencarian

sistematik berbagai atribut (komponen makna) yang berhubungan dengan

simbol-simbol budaya, penulis menghubungkan rangkaian kontras yang

mengandung fungsi tradisi nitik dan dimensi kontras yang terdiri atas

konsep-konsep masyarakat lokal mengenai tradisi nitik.

Konsep-konsep masyarakat tentang fungsi nitik diambil dari hasil

wawancara mengenai cara pandang mereka pada fungsi tradisi nitik seperti

105
misalnya; nitik yang sering dimanfaatkan oleh orang luar, nitik yang berguna

sak teruse atau jangka panjang, nitik yang gunane mung dhiluk atau jangka

pendek, nitik yang gunane gawe bolo ngombe atau fungsi internal, nitik yang

gunane menjobo atau fungsi eksternal, nitik dilihat dari apike gawe beduak

atau kegunaan positif bagi beduak Aplikasi dari analisis komponen ini dapat

dilihat dalam kertas kerja paradigma (analisis komponen) seperti di bawah

ini;

Kertas Kerja Paradigma 4.7 (Analisis Komponen)

Dimensi Kontras
Rangkaian
Kontras
Kegunaan Jangka pendek Pemanfaatan Jangka panjang Fungsi Fungsi internal
positif bagi beduak oleh eksternal kelompok
beduak pihak luar
Sosial Ya Ya Tidak Ya Tidak Ya

Tubuh Ya Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak

Politik Ya Ya Ya Tidak Ya Tidak

Ekonomi Ya Ya Tidak Ya Tidak Ya

Dari kertas kerja diatas dapat kita lihat alasan-alasan nitik yang

tergabung dalam rangkaian kontras bertemu dengan dimensi kontras yang

merupakan kumpulan dari konsepsi beduak mengenai fungsi tradisi nitik.

Dari analisis komponen, kita dapat mengetahui kesesuaian tradisi nitik

pada tingkat abstraksi kedua fungsi sosial dari Malinowski

(Koentjaraningrat, 1980:160), yang memaparkan bahwa fungsi sosial dari

106
suatu adat, pranata sosial atau unsur kebudayaan berpengaruh pada suatu

adat atau pranata lain untuk mencapai maksudnya, seperti yang

dikonsepsikan oleh warga masyarakat yang bersangkutan. Tradisi nitik

ternyata mempunyai pengaruh keluar sampai pada pranata lainnya seperti

yang terungkap dalam wawancara yang penulis tuang pada diagram

taksonomik dan kertas kerja paradigma. Misal fungsi politik yang

menyentuh perilaku serta pranata politik dalam hal money politic dalam

bentuk pemberian uang, pemberian cinderamata, pentraktiran minum untuk

para beduak.

Setelah analisis komponen selesai, maka langkah selanjutnya adalah

menemukan tema-tema budaya. Tahapan ini bertujuan untuk memahami

sifat dasar tema-tema dalam sistem budaya. Penulis menggunakan strategi

identifikasi tema budaya dengan mencari kemiripan di antara berbagai

dimensi kontras sebagaimana ditulis oleh Spradley (1995:266).

Sebelumnya penulis telah menyebutkan bagaimana dimensi kontras yang

berhubungan dengan fungsi-fungsi tradisi nitik pada lingkungan beduak

menegaskan tema-tema yang mungkin mengenai nitik sebagai sebuah tradisi

dengan fungsi-fungsi implisit yang dapat dimanfaatkan oleh kalangan

internal beduak sebagai salah satu bentuk strategi adaptasi dalam hidup,

sehingga masih eksis hingga sekarang.

Tahapan ini sesuai dengan tingkat abstraksi fungsi sosial Malinowski

yang ketiga, yaitu mengenai pengaruh suatu adat, tradisi atau pranata

terhadap kebutuhan mutlak untuk berlangsungnya secara terintegrasi dari

suatu sistem sosial tertentu. Nitik menjadi salah satu strategi adaptasi bagi

107
para beduak untuk survive, yang dalam hal ini adalah menjalankan rutinitas

pekerjaan mereka sehari-hari dengan lancar tanpa gangguan kesehatan

berarti. Nitik juga merupakan bagian dari alat integrasi bagi para beduak dan

alat utama pembentuk ikatan sosial diantara mereka.

Akhirnya kita harus mengakui pendapat dari Malinowski dalam bukunya

yang berjudul A Scientific Theory of Culture and Other Essays

(Koentjaraningrat, 1980:171), bahwa segala aktivitas budaya sebenarnya

bermaksud memuaskan suat rangkaian dari sejumlah kebutuhan naluri

makhluk manusia yang berhubungan dengan seluruh kehidupannya.

Pendapat ini oleh Koentjaraningrat kemudian disebut sebagai tingkat

abstraksi fungsi sosial yang keempat.

Jadi, dari rangkaian fokus penelitian yang telah diuraikan penulis diatas

dapat dilihat bahwa tradisi nitik mempunyai beberapa fungsi yang

membuatnya masih eksis di Tuban. Dianalisis dari kajian interaksional

simbolik, fungsi-fungsi nitik membuat interaksi antar para beduak terus

berlanjut diluar area nitik, hubungan-hubungan yang terjadi antara aktor

sosial (beduak) adalah salah satu efek dari asas timbal balik dan peranan

mereka sebagai anggota bolo ngombe, kalau tindakan tersebut berhasil,

maka akan berkembang menjadi suatu pola dalam komunitas yang berbentuk

jaringan sosial.

108
BAB V
FAKTOR PEMBENTUK IKATAN SOSIAL
(SOCIAL BOND) DAN
JARINGAN SOSIAL (SOCIAL NETWORK) PADA
TRADISI NITIK

V.1 Elemen Pembentuk Ikatan Sosial (Social Bond)

Dalam kajian teoritik mengenai ikatan sosial dari Travis Hirschi

(Durkin, 1999:2), manusia dianggap sebagai makhluk sosial yang senantiasa

butuh untuk bergaul dan mengikat pertemanan dengan manusia lain. Kajian

ini sesuai dengan kumpulan bolo ngombe yang terikat satu sama lain dalam

berbagai hal. Sebuah ikatan sosial, menurut Hirschi (Durkin, 1999:2), dapat

terjadi apabila memenuhi empat elemen utama. Penulis akan mencoba

menguraikan satu persatu dari keempat elemen tersebut sehingga bisa

dipakai untuk menganalisa faktor pembentuk ikatan sosial (social bond)

dalam tradisi nitik.

Elemen pertama dari sebuah ikatan sosial adalah kasih sayang

(attachment), elemen ini menjelaskan mengenai hubungan-hubungan yang

terjadi antar anggota sehingga menyerupai hubungan keluarga.

”Attachment involves the degree to which the individual has


affectional or emotional ties to these people, identifies with them, and
cares about their expectations…individual with strong attachments are

109
less likely to engage in deviant behaviour” (Hirschi in Durkin, 1999:2-
3)

“Kasih sayang meliputi tingkat dimana individu mempunyai ikatan


afeksi ataupun emosional kepada anggota lain, menyatu dengan
mereka, dan peduli pada keinginan mereka...individu yang memiliki
kasih sayang terkuat tidak akan dimasukkan dalam kategori orang-
orang berperilaku menyimpang” (Hirschi in Durkin, 1999:2-3)

Elemen ini nampak pada kumpulan beduak yang sering bertemu saat

nitik. Seperti yang sudah penulis kutip dalam wawancara dengan Jarno (47)

yang pada saat itu sedang berkeluh kesah tentang kurangnya tenaga untuk

memperbaiki atap rumahnya, dan seketika itu juga mendapatkan respons

positif dari teman-temannya dalam satu bolo ngombe. Hari minggunya,

Jarno mendapatkan bantuan gratis dari bolo ngombenya walaupun datang

dari luar desanya. Dasar pemikiran masyarakat Jawa memang

mengedepankan relasi sosial dan mengenyampingkan individualitas.

Menurut penjabaran dari Mulder (1984: 52), individualitas bisa dianggap

sebagai sikap yang membahayakan, bahkan dianggap berdosa dalam

masyarakat Jawa.

Elemen pertama pembentuk ikatan sosial ini memang merupakan

sejenis pranata tersembunyi yang ada dan menaungi sekelompok bolo

ngombe tanpa ada persetujuan formal atau dibuatkan peraturan khusus

tentangnya. Kasih sayang memang mutlak terdapat dalam kumpulan bolo

ngombe, namun kasih sayang ini bisa diartikan lain oleh sekelompok beduak

yang ”nakal” dengan menganggap bahwa kasih sayang adalah memberikan

kesedian membantu dalam pertengkaran antar geng atau kelompok.

Menurut Sutiyono (37), kebanyakan yang senang bertengkar dan

melibatkan bolo ngombenya adalah kelompok beduak anak muda baik di

110
Kecamatan Semanding dan Kecamatan Tuban. Masih menurut keterangan

Sutiyono (37), saat ada pagelaran Orkes dangdut, anak-anak muda pasti

datang dengan membawa toak atau sudah minum toak dalam jumlah banyak

sebelum berangkat ke arena Orkes dangdut. Gunanya agar mereka tidak

terasa lelah saat berjoged dan bergoyang tanpa ada rasa malu sedikitpun.

Namun efek sampingnya adalah saat terjadi friksi seperti ”bersenggolan”

dengan orang lain ataupun dendam lama, maka pertengkaran besar langsung

terjadi karena pikiran mereka sudah dikuasai oleh alkohol dari toak.

Pertengkaran besar tersebut bisanya melibatkan bolo ngombe masing-

masing.

Dalam pertanian, kasih sayang bisa diartikan saling membantu bila

ada yang kesulitan alat pertanian, atau butuh bantuan menggarap sawah.

Namun, menurut keterangan Sutiyono (37), seiring dengan krisis moneter

yang berkelanjutan ini saling membantu menggarap sawah sudah mulai

hilang dan cenderung dikomersilkan walau dengan bolo ngombe sendiri.

Masih sering ditemui antar petani bolo ngombe saling meminjamkan alat

pertanian seperti bajak, cangkul atau bahkan meminjam bibit jagung atau

padi terlebih dahulu kemudian nanti dikembalikan.

Elemen kedua dari ikatan sosial adalah komitmen (commitment),

yang merujuk pada jumlah (aggregate) investasi waktu, energi, dan

penghasilan yang digunakan untuk mencapai tujuan bersama. Komitmen

pada anggota bolo ngombe memang tidak bisa terindikasi dengan jelas

seperti penelitian Durkin mengenai ikatan sosial diantara kelompok

pemabuk di sekolah (1999), dimana dia memberi indikasi komitmen dengan

111
nilai Grade Point Average (GPA). Komitmen para beduak dalam satu bolo

ngombe tidak nampak namun menjadi tata aturan yang ditaati oleh

semuanya.

Semisal komitmen agar tidak mabuk berat saat nitik, karena menurut

keterangan Karmidji, para beduak tidak akan suka apabila salah satu

kawannya terlalu banyak minum dan mabuk berat. Bila hal tersebut terjadi,

maka yang bersangkutan segera diusir atau pulang dengan dinaikkan becak.

Memegang teguh komitmen juga merupakan alat agar tidak dikucilkan

dalam pergaulan dalam kelompok, seperti pendapat dari Durkin (1999:3),

yang menyatakan bahwa individu dengan komitmen kuat tidak akan

mempermalukan diri di depan kelompoknya dan masuk ke dalam golongan

orang berperilaku menyimpang.

Contoh lain, masih berdasarkan keterangan Karmidji, adalah

komitmen yang menyatakan bahwa harus ada kepedulian pada sesama

beduak dalam bentuk apapun. Apabila salah satu beduak mempunyai acara

seperti hajatan atau pesta perkawinan untuk putra-putrinya, maka semua

bolo ngombe harus datang walau tidak ada undangan formal, hanya lewat

pengumuman singkat saat nitik. Bila, terdapat salah satu beduak tidak mau

mengorbankan waktunya untuk datang ke tempat acara tersebut, maka bisa

dipastikan dia akan mendapatkan sindiran dari beberapa beduak saat nitik

pada hari berikutnya.

Elemen ketiga dari ikatan sosial adalah keterlibatan (involvement).

Elemen ini terdiri dari jumlah berapa waktu yang dihabiskan seorang

anggota untuk terlibat dalam kegiatan yang bersangkutan dengan anggota

112
kelompok, baik kegiatan rutin maupun yang bersifat insidentil. Para beduak

hampir setiap hari meluangkan waktunya untuk meminum toak, bukan untuk

sekedar menjaga kebugaran tubuh dengan toak, namun juga bertemu dengan

beduak-beduak lainnya.

Keterlibatan lain juga bisa ditampakkan pada aktivitas diluar nitik

seperti pada kasus Jarno yang membutuhkan tenaga untuk memperbaiki

atapnya. Keterlibatan beduak dalam acara yang digelar salah satu beduak

juga penting, karena apabila ada salah satu beduak yang tidak ikut dengan

alasan yang kurang jelas maka akan dikucilkan dan dimasukkan pada

golongan orang yang berperilaku menyimpang dari kelompok;

“According to social bond theory, individuals who spend their time


involved in conventional pursuits simply do not have enough time
available to engage in deviant behaviour” (Durkin, 1999:3).

“Berdasarkan teori ikatan sosial, individu yang menghabiskan waktunya


untuk terlibat dalam kegiatan inti biasanya tidak mempunyai banyak
waktu yang tersedia untuk masuk dalam golongan orang berperilaku
menyimpang” (Durkin, 1999:3).

Akhirnya, elemen keempat ikatan sosial adalah keyakinan (belief).

Semua beduak yang penulis wawancarai beragama Islam, namun mereka

tetap saja meminum toak dalam keseharian mereka. Bukan berarti keyakinan

mereka terhadap ajaran Islam tidaklah kuat, namun mereka tidak pernah

punya anggapan bahwa toak adalah minuman keras yang memabukkan.

Toak bagi petani dan tukang becak Tuban dianggap sebagai suplemen yang

siap membantu kinerja mereka sehari-hari dalam mencari uang, walaupun,

tidak dipungkiri bahwa ada beberapa beduak yang memanfaatkan toak

sebagai minuman untuk mabuk dan melupakan masalah.

113
Dalam pemikiran para beduak, toak bukanlah minuman haram

(kategori Islam), karena mereka sendiri tidak pernah mabuk dibuatnya dan

mereka tidak pernah tahu bahwa terdapat alkohol di dalamnya. Hal tersebut

terungkap pada cuplikan wawancara penulis dengan salah satu beduak

bernama Sukiman (46);

Penulis : Nopo mboten nate mendem toh pak? (apa tidak pernah mabuk
pak?)

Sukiman: Nggih mboten nate mas (ya, tidak pernah mas)

Penulis : Njenengan mboten wedi diseneni ustadz, lha wong seneng


ngombe toak? (anda tidak takut dimarahi ustadz, karena suka
minum toak?)

Sukiman:Wedi nopo mas, lha wong mboten ngombe bir mawon


kok, toak niku amung digawe nyegerke awak mpun ngantos
mendem (takut apa mas, khan saya tidak minum bir kok, toak
hanya untuk menyegarkan tubuh, tidak sampai mabuk).

Teman-teman Sukiman sesama beduak turut setuju pada Sukiman,

saat penulis wawancarai. Hal ini menunjukkan bahwa toak tidak pernah

dianggap sebagai minuman untuk memabukkan diri, tapi sebagai penyegar

badan atau suplemen sebelum dan sesudah bekerja seharian penuh. Karena

keyakinan ini didasari pada kecintaan dan ketergantungan pada toak serta

didukung oleh jumlah beduak yang banyak membuat tradisi ini sulit untuk

dihapuskan.

V.2 Analisis Jaringan Sosial Pada Tradisi Nitik

Untuk melihat jaringan sosial yang terbentuk diantara para beduak

dalam tradisi nitik, maka penulis mencoba menganalisanya menggunakan

analisis jaringan sosial sesuai pendapat J. A. Barnes, seorang guru besar

114
Antropologi Cambridge University. Barnes (Koentjaraningrat, 1980:159),

mengungkapkan bahwa jaringan sosial tidak bersifat egosentrik, yaitu bahwa

peneliti tidak perlu mempelajari jaringan sosial dari semua individu dalam

suatu masyarakat atau kelompok. Jaringan sosial, menurut Barnes yang

kemudian disempurnakan oleh A.W. Wolfe (Koentjaraningrat, 1980:158),

dibagi menjadi dua yaitu unlimited social network atau jaringan sosial total,

yang berarti keseluruhan jaringan sosial yang mungkin menjadi saluran dari

segala kegiatan sosial seorang individu (Alpha) dalam hidupnya.tipe kedua

adalah limited social network atau jaringan sosial terbatas, yang berarti suatu

bidang tertentu dalam jaringan sosial total seorang individu. Kumpulan bolo

ngombe dalam nitik, adalah tipe jaringan sosial terbatas, karena kumpulan

bolo ngombe merupakan salah satu bentuk jaringan sosial dari total jaringan

sosial seorang individu (beduak) selama hidupnya.

Demi mendapatkan analisis terbaik, maka penulis menggunakan

bantuan piranti lunak (software) analisis jaringan sosial yang bernama

”Netdraw.exe”. Penulis memasukkan beberapa nama dari berdasarkan

daerah asal masing-masing beduak yang tergabung dalam satu bolo ngombe.

Penulis membuktikan bahwa jaringan sosial telah terbentuk hanya dari

sebuah pertemuan rutin dan ketergantungan pada minuman tradisional yang

menjadi penyokong energi sehari-hari mereka.

Para beduak yang tergabung dalam satu bolo ngombe berarti beduak

yang nitik pada tempat yang sama. Dalam analisis jaringan sosial kali ini,

penulis mencoba memvisualisasikan dua tempat nitik beserta jaringan bolo

ngombenya di Kecamatan Semanding dan dua tempat nitik beserta jaringan

115
bolo ngombenya di Kecamatan Tuban. Jaringan sosial yang terbentuk tidak

dibatasi oleh daerah desa, kecamatan, agama atau afiliasi politik. Dalam

kumpulan bolo ngombe yang terpenting adalah kepedulian terhadap sesama

sesuai dengan yang dikatakan oleh Margono (46), bahwa para beduak akan

membantu beduak lain saat ada masalah tanpa diminta sekalipun.

Penulis menggunakan metode visualisasi jaringan sosial sesuai

dengan yang diusulkan oleh JA. Barnes (Koentjaraningrat,1990: 157),

dimana bagan-bagan yang dikembangkan olehnya memudahkan analisis

jaringan sosial yang terdiri dari titik-titik yang menggambarkan individu,

dan garis-garis yang menyambungkan titik-titik yang menggambarkan

interaksi antar individu. Menurut Koentjaraningrat (1990:157), analisis

jaringan sosial yang disarankan oleh JA. Barnes ini memang sesuai untuk

menganalisa kelompok sosial yang tidak resmi seperti bolo ngombe dalam

tradisi nitik.

Titik yang menggambarkan informan disebut alpha (∝), sama dengan

ego dalam bagan silsilah kekerabatan yang dipakai untuk menggambarkan

informan. Model jaringan sosial ini, menggunakan teknologi software

Netdraw yang memang khusus dirancang utuk membuat model jaringan

sosial berikut dengan cara menganalisanya. Di bawah ini adalah visualisasi

jaringan bolo ngombe tempat nitik dengan penjual Karmidji;

116
Model 5.1 Jaringan Sosial Bolo ngombe Nitik dengan Penjual
Karmidji, Desa Ngino, Kec. Semanding

117
Bagan diatas diambil dari persepsi orang alpha (∝) yaitu Karmidji,

yang merupakan penjual yang biasa berjualan di Desa Ngino, Kecamatan

Semanding. Karmidji memiliki 25 bolo ngombe dan tersebar di lima desa di

Kecamatan Semanding. Beduak yang berhubungan dengan Jarno disebut

dengan alter, garis yang menghubungkan Jarno (alpha) dengan beduak lain

(alter) dinamakan adjacent. Hubungan interaksi antara alpha dengan alter

oleh Bartes (Koentjaraningrat 1990:157) disebut dengan zone.

Suatu zone dapat dibagi menjadi tiga untuk menggambarkan

118
interaksinya. Jenis pertama, yaitu first order zones apabila hubungan

interaksi antara alpha dan alter bersifat langsung dan yang kedua yaitu

second order zones atau hubungan interaksi melalui alter. Jenis terakhir

adalah third order zones yaitu hubungan interaksi melalui dua alter. Jenis

dari visualisasi jaringan sosial yang penulis tampilkan adalah first order

zones, dimana hubungan interaksi antara alpha dan alter-alter lainnya

bersifat langsung tanpa perantara. Hubungan yang bersifat langsung ini

menambah kedekatan diantara mereka.

Dalam bagan tersebut penulis membuktikan bahwa jaringan sosial

yang dimiliki seorang beduak (alpha) bisa menembus batas regional (sampai

keluar desa) yang beberapa desa diantaranya berjarak jauh dari Desa Ngino.

Jarak antara Penambangan dan Bektiharjo kurang lebih 5 km, jarak antara

Penambangan dan Genaharjo sekitar 7 km, Penambangan dengan Ngino 13

km, Desa Kowang dengan Penambangan 6 km.

Dalam model jaringan sosial diatas, penulis mengelompokkan

beduak sesuai dengan desa asal mereka. Ngasipan (lihat lampiran gambar

15), Jarno, Surawi, Sentot (lihat lampiran gambar 15), Sukoco, Manto,

Lawar, Karwi merupakan beduak yang berasal dari Desa Penambangan.

Sedangkan Karjan, Mulyo, Pariman, Sujono berasal dari Desa Kowang,

Kecamatan Semanding. Margono, Imam, Jumhuri, Gatot berasal dari Desa

Genaharjo, Kecamatan Semanding. Karmidji, Taryono, Sukri, Warman

berasal dari Desa Ngino, Kecamatan Semanding. Rantap, Jauhari dan

Sokheh (lihat lampiran gambar 14) berasal dari Desa Bektiharjo, Kecamatan

Semanding.

119
Contoh visualisasi jaringan sosial lain adalah bolo ngombe dalam

nitik dengan penjual Taji (48) yang biasa mangkal di Kelurahan Latsari,

Kecamatan Tuban (lihat lampiran gambar 7). Berdasarkan hasil wawancara

dengan Taji, beduak yang benar-benar bisa dianggap sebagai bolo ngombe

hanya sedikit dari jumlah keseluruhan beduak yang minum di tempatnya.

Banyak beduak yang hanya datang karena ingin minum, setelah itu pergi.

Beduak seperti ini tidak bisa merasakan ikatan sosial dengan yang lainnya,

karena tidak mempunyai elemen ketiga dari ikatan sosial yaitu keterlibatan

(involvement).

Menurut keterangan Taji (48), beduak yang ada di kecamatan kota

(Kecamatan Tuban) bukan hanya datang dari pedesaan dengan pekerjaan

petani, namun lebih beragam seperti tukang becak, kuli bangunan, pegawai

swasta maupun negeri dan jenis pekerjaan lainnya, kesibukan mereka

masing-masing membuat tidak bisa meluangkan waktu untuk nitik setiap

hari di tempat Taji. Mereka hanya datang apabila sedang ingin minum toak

saja, setelah itu mereka kembali bekerja atau pulang ke rumah.

Masih menurut Taji, terkadang pada saat-saat tertentu dirinya

mengundang sindir12 untuk menghibur para beduak yang minum di

tempatnya. Biasanya satu sindir hanya ditemani oleh seorang laki-laki yang

membawakan tape yang memutar kaset-kaset tayuban, sang sindir ”siap

tempur” dengan membawa pakaian tradisional Jawa berupa kebaya, jarik,

dan tidak lupa selendang panjang dengan warna mencolok yang selama ini

menjadi ciri khas para sindir Tuban. Selain mendapat upah dari Taji,

12 Sindir adalah julukan bagi penari dalam seni Tayuban di Tuban, biasanya juga disebut
sebagai ledhek, karena Tayuban sendiri bisa disebut sebagai ledhekan

120
biasanya sindir juga mendapat sawer13 dari para beduak yang menikmati

tariannya. Bagi Taji, dengan hadirnya sindir, banyak beduak yang datang ke

tempatnya untuk minum toak sambil menikmati tarian sang sindir.

Bolo ngombe yang dapat diidentifikasi oleh Taji di dalam tempat

nitiknya adalah Teguh (lihat lampiran gambar 12), Sugeng, Wandono,

Sukiman, Kasrun, Imam, Joko, Jalal, Wargo (berbeda dengan Wargo yang

biasa nitik di tempat Warsito) dan Ismu (lihat lampiran gambar 8).

Kesepuluh beduak inilah yang hampir setiap hari nitik di tempat Taji, karena

Imam, Joko, Jalal, Kasrun (lihat lampiran gambar 12), Wargo dan Sukiman

(lihat lampiran gambar 11) adalah tukang becak dan Wandono (lihat

lampiran gambar 8), Sugeng, Teguh adalah kuli lepas bidang bangunan,

sedangkan Ismu adalah nelayan. Ketiga jenis pekerjaan yang dimiliki oleh

kesepuluh orang tersebut memang jenis pekerjaan berat yang membutuhkan

suplemen setiap harinya, karenanya mereka membutuhkan toak. Seperti

yang diungkapkan oleh Jalal (44), tukang becak yang biasa mangkal di

depan Sekolah Dasar Negeri (SDN) Latsari III ini, merasa pegal dan lemas

bila tidak minum toak sehari.

Berikut adalah visualisasi dari jaringan sosial yang ada di kalangan

para beduak di tempat nitik Taji, Kelurahan Latsari, Kecamatan Tuban;

Model 5.2 Jaringan Sosial Pada Bolo ngombe Nitik dengan


Penjual Taji di Kelurahan Latsari, Kecamatan Tuban

13 Sawer adalah pemberian uang bagi penari atau entertainer lain di panggung dari para
penonton atau partisipan yang diajak naik dengan cara-cara tertentu dan bersifat informal
diluar kesepakatan kerja.

121
122
Penulis meyajikan model analisis jaringan sosial yang lebih lengkap

pada model kedua ini. Model ini diambil dari kumpulan bolo ngombe yang

ada di Kelurahan Latsari, Kecamatan Tuban, tepatnya mereka yang biasa

nitik di penjual toak bernama Taji. Dari beberapa orang yang datang untuk

minum di tempat Taji, hanya sembilan orang yang mempunyai ikatan erat.

Kelompok ini terdiri dari Jalal, Kasrun, Murjito yang berasal dari Kelurahan

Doromukti, Kacamatan Tuban. Wargo dan Ismu yang berasal dari

Kelurahan Kutorejo, Kecamatan Tuban. Joko, Sugeng, Teguh, Wandono

yang berasal dari Kelurahan Latsari sendiri. Menurut keterangan dari Teguh

(35), mereka bersembilan sering main adu burung dara, adu ayam jago dan

memancing bersama-sama. Kalaupun ada masalah, pasti akan saling

membantu satu sama lain.

Gambar 5.1 Nitik di Kelurahan


Latsari, Kecamatan Tuban dengan
Penjual Taji.

123
Nampak Murjito (bertopi abu-abu bergaris putih) dan Kasrun (bertopi coklat)

Dalam visualisasi jaringan sosial di Kecamatan Latsari ini, penulis

menggambarkan dengan jelas hubungan antara alpha (Sugeng) dengan alter-

alter lainnya, namun di samping itu model ini menunjukkan hubungan alter

dengan alter lainnya. Jadi, akan tampak lebih kompleks, arah panah dalam

adjacent memiliki dua arah, menggambarkan kedua alter yang dituju

maupun berasal saling mengenal satu sama lain.

Walaupun dua penulis menyajikan visualisasi jaringan sosial yang

berbeda, namun sebenarnya kedua jenis jaringan sosial ini tetap sama. Para

ahli Antropologi menyebut clique, kelompok teman atau geng bukan sebagai

group melainkan quasi group atau kelompok semu. Bolo ngombe, seperti

yang telah penulis utarakan dalam kerangka teori, termasuk dalam golongan

clique. Karena bolo ngombe bukan seperti kelompok teman biasa, namun

mempunyai hubungan yang lebih dalam seperti keluarga.

Menurut Koentjaraningrat (1990:161), para ahli Antropologi

beranggapan serius bahwa semua bentuk kelompok semu didasarkan pada

principle of reciprocity atau asas timbal balik. Maka dari itu, keempat

elemen dalam sebuah ikatan sosial tidak akan bekerja bila tidak ada timbal

balik di dalamnya. Jarak antar dsa atau kelurahan yang jauh tidak akan

menjadi halangan bila hubungan pertemanan didasari asas timbal balik

(resiprositas) dan masing-masing merasa diuntungkan.

Contoh apabila beduak A dibantu oleh beduak B dalam menghadapi

masalah, maka pada saat beduak B membutuhkan bantuan beduak A harus

mempunyai inisiatif membantu tanpa diminta. Seperti dalam pengakuan

124
Gatot (52) yang ikut membantu Pariman (48) saat dia mempunyai hajat

menikahkan anak perempuannya. Hal tersebut dilakukan karena selain

elemen attachments dalam diri Gatot, juga karena dua minggu sebelumnya

Pariman membantu Gatot mengantarkan anaknya untuk khitanan.

Jaringan sosial yang terbentuk juga berfungsi sebagai alat pemersatu

dan penurun tensi ketegangan akibat kompetisi di dalam suatu masyarakat,

bisa saja tanpa jaringan sosial yang kuat sesama petani berkompetisi secara

tidak sehat. Hal tersebut nampak pada tulisan dari Paputungan (2001:25),

bahwa jaringan-jaringan sosial informal juga merupakan sumber dukungan

yang penting bagi penurunan ketegangan dan meningkatkan kompetensi

serta kemampuan pengendalian seseorang dalam kelompok.

125
BAB VI
ANALISIS JARINGAN KOMUNIKASI PADA
TRADISI NITIK

Sabtu, 17 januari 2008, penulis mengadakan penelitian di kampung

nelayan Karangsari, Tuban. Penulis melihat bahwa sebagian besar anak

nelayan sudah diberi pemahaman tentang minum toak semenjak usia remaja.

Berdasarkan hasil pengamatan penulis pada makalah Karya tulis Ilmiah

penulis bidang sosial yang berjudul ”Kursus Pijat Fisioterapi Arthitis di

Kampung Nelayan Karangsari Tuban”, kesadaran nelayan akan pendidikan

anaknya masih sangat rendah karena faktor ekonomi dan pendidikan orang

tua. Maka dari itu kebanyakan anak laki-laki nelayan biasanya putus sekolah

setelah tamat Sekolah Menengah Pertama dan ikut ayahnya melaut,

sedangkan yang perempuan membantu sang ibu mengolah hasil tangkapan

ayahnya.

Menurut Pandupitoyo (2005:17), Para nelayan dewasa biasanya

mengkonsumsi toak sebelum berangkat melaut untuk menghangatkan

badannya. Kondisi di laut dengan angin yang begitu kencang dengan dibalut

pakaian yang sangat minimal, membuat mereka butuh penghangat tubuh.

Jadi semenjak usia SMA (Sekolah Menengah Pertama), para ”calon

126
nelayan” ini melihat para seniornya meminum toak sebagai salah satu

senjata dalam melaut. Apa yang mereka lihat ini merupakan pembelajaran

secara tidak langsung tentang bagaimana cara ”menghadapi” laut yang baik.

Pada saat mereka tumbuh dewasa dan jam terbang melaut mereka semakin

banyak, maka hasil pembelajaran akan mereka lakukan dengan meminum

toak sebelum berangkat melaut. Menurut Everett Rogers, analisis jaringan

komunikasi merepresentasikan pengaruh potensial pada perilaku suatu

komunitas, dan pada kebalikannya bagaimana perilaku tersebut

mempengaruhi sistem yang lebih besar.

Rogers (1981:87), mencontohkan dalam bukunya bahwa salah satu

contoh kasus yang menunjukkan pentingnya jaringan komunikasi adalah

penelitian dari Alexander (Rogers, 1981:87):

”...friendship cliques on student drinking behavior in an English high


school. Most of each case of a nondrinking member of a drinking clique
(or of a drinker in an otherwise nondrinking clique), the deviant from
the clique norm was less connected (sociometrically) than were the
non-deviant individuals.”

“…hubungan-hubungan clique dalam komunitas siswa yang suka


meminum alkohol di sebuah sekolah menengah atas Inggris.
Kebanyakan dari kasus siswa yang tidak meminum alkohol (atau
peminum alkohol yang tidak masuk dalam clique peminum), merupakan
deviant dari norma-norma clique adalah mereka yang paling sedikit
mendapat perhatian daripada individu non deviant”

Contoh kasus yang diteliti oleh Alexander ini mirip dengan yang terjadi di

sebagian komunitas anak muda kampung nelayan Karangsari, Kabupaten

Tuban. Anak-anak nelayan yang beranjak dewasa diajak oleh teman-

temannya yang lain untuk meminum toak bersama.

Apabila sang anak menolaknya, maka dia akan mendapatkan sangsi

sosial berupa ejekan atau hinaan bahkan diasingkan. Sangsi sosial yang

diberikan kepada anak tersebut terungkap saat penulis mewawancarai

127
seorang anak nelayan yang setiap hari membantu ayahnya untuk melaut

bernama Yanto (20). Kebiasaannya menenggak toak sebelum melaut bukan

hanya dipengaruhi oleh kebutuhan fisiknya dalam menghadapi angin laut,

melainkan juga karena pengaruh lingkungan sosial tempat tinggalnya.

“Aku pertamane dikik ra doyan toak mas, lha wong jek umur nem belas
taun. Tapi nek ra ngombe ki engkok ndak kademen ning tengah segoro,
lha nek onok toak lak isit anget awak iki. Terus sakliyane iku yo dipekso
karo cah-cah kuwi ok. Nek ra ngombe disemoni jirene banci, trus nek ra
melok gumbul nitik ra oleh bolo karo bakal dicing”

“Waktu pertama dulu saya tidak suka minum toak, masih umur enam
belas (16) tahun. Namun kalau saya tidak minum toak, saya akan
kedinginan di tengah laut, kalau meminumnya (toak) pasti badan jadi
hangat. Terus selain itu juga dipaksa oleh anak-anak lain, kalau tidak
minum toak akan disoraki banci, lalu kalau tidak ikut kumpul nitik tidak
mendapat teman dan akan disingkirkan”

Pada bagian ini, analisa jaringan komunikasi sangatlah penting untuk

mengatahui bahwa suatu jaringan mempunyai efek pada perilaku suatu

kelompok.

Definisi sebuah clique adalah subsistem dimana elemen-elemen di

dalamnya saling berinteraksi lebih sering dan frekuentif daripada anggota-

anggota lain dalam suatu sistem komunikasi. Clique dalam yang dimaksud

dalam studi etnografi nitik ini adalah bolo ngombe yang merupakan

kumpulan dari para beduak yang melakukan rutinitas minum toak pada satu

pedagang yang sama. Para beduak yang tergabung dalam satu bolo ngombe

ini, relatif sering bertemu dalam tradisi nitik. Mereka sering bertemu karena

ketergantungan mereka terhadap toak.

Penelitian penulis pada Desa Genaharjo, Kecamatan Semanding

memperlihatkan bahwa petani-petani yang tidak suka minum dan tidak ikut

dalam kegiatan nitik mendapatkan perhatian maupun teman sebanyak petani

128
yang sering mengikuti nitik. Para petani yang sering mengikuti nitik terbukti

memiliki jaringan komunikasi yang luas, bahkan sampai keluar desanya.

Jaringan mereka yang luas membuat beberapa urusan yang tampak sulit,

menjadi lebih mudah karena kerjasama antar petani. Kerjasama tersebut

terbukti dalam pernyataan Kardji (53):

“Aku ndikik tau kurang tenogo gae nggarap sawah mas, tapi terus
dibantu karo wong-wong bolo ngombe sing gawene ngombe nang
Karmidji, soale aku dewe yo nyanggong nang kono meh saben sore
mari muleh kerjo. Gratis ra katek mbayar opo-opo”

“Saya dulu pernah mengalami kekurangan tenaga untuk menggarap


sawah mas, lal kemudian dibantu oleh orang-orang (petani-petani) yang
tergabung dalam bolo ngombe yang biasanya minum di Karmidji
(penjual toak), karena saya sendiri biasa minum disana hampir setiap
sore sepulang kerja. Gratis tidak bayar”

Sedangkan menurut Sutiyono, petani-petani yang tidak suka nitik, kurang

mendapatkan teman atau perhatian dari petani lain karena kurangnya

intensitas dalam berkumpul setiap harinya.

Intensitas pertemuan hampir setiap hari membuat ikatan sosial di

kalangan para petani beduak menjadi semakin kuat. Setiap bertemu mereka

berbagi cerita, pengalaman dan tertawa bersama seperti terlepas beban

mereka sehari-hari. Kerukunan inilah yang membuat persahabatan diantara

mereka menjadi kental, sehingga terkesan seperti saudara sendiri. Saat satu

beduak membutuhkan bantuan, maka beduak lain siap membantu tanpa

mengharapkan imbalan apapun.

Komunikasi yang mereka lakukan setiap hari juga membuka

kemungkinan adanya lahan-lahan pekerjaan baru atau informasi baru yang

belum mereka ketahui sebelumnya. Semisal saat penulis menemukan bahwa

tanah sawah milik salah satu beduak yang bernama Sentot (47) merupakan

129
tanah yang baru ia beli dengan harga murah dari orang Beji (Kecamatan

Jenu, Kab. Tuban) dari informasi Jarno (47) yang notabene merupakan bolo

ngombe Sentot di tempat Karmidji.

Petani lain yang tidak suka minum, tentu tidak memiliki kesempatan

untuk sering-sering bertemu dengan petani-petani lain, karena berdasarkan

informasi dari Sutiyono, kebanyakan petani di desa-desa Kecamatan

Semanding dan sekitarnya suka meminum toak karena pekerjaan mereka

yang tergolong berat, maka mereka membutuhkan semacam suplemen

penambah tenaga agar lebih kuat dalam bekerja. Petani lain apabila pagi tiba

langsung berangkat ke sawah tanpa mampir dulu di tempat minum toak,

siang hari bekerja di sawah dan sore hari menjelang maghrib pulang menuju

langsung ke rumah juga tanpa mengunjungi tempat minum toak.

Sedangkan kebiasaan petani beduak kebanyakan adalah pagi sekitar

pukul 06.30 WIB mereka berangkat menuju ke sawah masing-masing,

namun sebelum itu mereka mampir ke tempat minum toak untuk meminum

se-centhak toak dan sebungkus tambul kacang-kacangan, karena umumnya

mereka sudah sarapan semenjak beragkat dari rumah. Siang hari mereka

bekerja dan sekitar pukul 16.30 WIB mereka berhenti bekerja dan menuju ke

tempat minum toak untuk melepas lelah dan bertemu dengan kawan-kawan

sepekerjaan. Disitu mereka bersenda gurau, berbicara serius dan bersantai

sambil menikmati toak dan tambul daging-dagingan.

Kegiatan seperti ini rutin dilakukan oleh para petani beduak sehingga

mereka bisa membentuk sebuah ikatan sosial yang berujung pada jaringan

sosial. Jaringan sosial yang terbentuk bahkan bisa sampai keluar dari desa

130
ataupun kelompok bolo ngombe mereka. Karena apabila toak yang disajikan

nikmat, maka beduak yang datang bukan hanya dari desa setempat,

melainkan dari luar desa atau bahkan dari daerah Kecamatan kota (sebutan

untuk Kecamatan Tuban).

Perilaku yang didapatkan seorang petani dari kalangan bolo ngombe

oleh anggota bolo ngombe yang lain tentu saja berbeda dengan perlakuan

petani bukan anggota bolo ngombe oleh petani anggota bolo ngombe.

Perbedaan perilaku ini merupakan efek dari komunikasi yang sering

dipertanyakan oleh para peneliti ilmu sosial. Perbedaan ini pula yang

menentukan sikap setiap individu petani nantinya. Kita bisa melihat

bagaimana sikap dan perlakuan petani beduak waktu diminta tolong

membantu petani yang “kurang dikenal” karena tidak pernah berkumpul di

tempat minum toak. Seperti pengakuan dari Margono;

“Kulo nek dijaluki tani liyo mbantu nggarap sabine, nggih kulo regani
mas. Tapi nek bolo ngombe dhewe ngeten niki nggih mboten penak
umpamane menehi regi”

“Saya kalau diminta tolong petani lain untuk menggarap sawahnya,


pasti akan saya pasang tarif mas. Tapi kalau bolo ngombe sendiri yang
minta tolong, saya tidak enak kalau memberi harga.”

Perlakuan lain juga didapat oleh pateni beduak namun tidak sama tempat

minum toaknya atau bisa dikatakan tidak dalam satu kelompok bolo

nogmbe. Perilaku-perilaku individu ini jelas sekali dipengaruhi oleh jaringan

komunikasi mereka, sehingga mempengaruhi pola pikir serta tindakan

mereka terhadap orang lain maupun lingkungan.

Beberapa penelitian mengenai jaringan komunikasi dari Alexander

(1964) tentang clique peminum alkohol di SMU Inggris, penelitian dari

Laumann dan Pappi (1973) tentang 51 komunitas di Jerman, Hurt dan Preiss

131
(1978) mengenai keberhasilan akademik diantara anak-anak usia sekolah,

Alba (1978) mengenai toleransi diantara keberagaman etnik, mengerucut

pada satu kesimpulan bahwa perilaku dari individu merupakan bagian dan

hasil dari fungsi jaringan komunikasi dimana individu tersebut merupakan

anggota.

132
BAB VII
KESIMPULAN

VII.1 Kesimpulan

Tradisi nitik atau tradisi minum toak bersama benar-benar sudah

mendarah daging dan turun temurun dilakukan di Kabupaten Tuban. Hingga

hari inipun, tradisi ini tidak dianggap sebagai tradisi usang yang harus

ditinggalkan begitu saja. Antusiasme generasi muda juga tidak kalah dengan

yang tua, apapun alasan mereka mengikutinya. Toak yang menjadi materi

utama nitik adalah minuman tradisional yang dibuat dari fermentasi alami

pada nira siwalan.

Minuman ini menghasilkan kadar alkohol alami dan tergolong

memabukkan bagi siapapun yang meminumnya. Menurut Gardjito dkk.

(2004:94), kadar alkohol di dalam toak diperkirakan mencapai 2 – 4% dan

termasuk tinggi untuk golongan minuman tradisional fermentasi alami.

Banyak orang yang suka memium toak dengan disertai oleh banyak alasan

seperti untuk menghangatkan badan, untuk obat, sampai pada untuk mabuk

melupakan masalah.

Penikmat rutin toak disebut dengan beduak. Biasanya beduak-

beduak hampir setiap hari menikmati toak, karena sudah menjadi bagian dari

kebutuhan hidup mereka. Toak, oleh beberapa orang pekerja berat seperti

tukang becak, petani, kuli bangunan atau nelayan sebagai suplemen energi

atau semacam minuman berenergi yang membantu memberikan energi

133
tambahan dalam aktifitas mereka sehari-hari.

Banyak hasil wawancara penulis dengan para beduak yang

menyebutkan bahwa, apabila mereka (para beduak) tidak minum toak

sebelum atau sesudah bekerja, maka badan mereka akan lemas dan tidak

bertenaga. Khususnya para petani yang pagi harus berangkat ke sawah dan

baru pulang sore hari. Akhirnya, tempat nitik di pedesaan tidak kalah

ramainya dengan tempat nitik di kota (Kecamatan Tuban).

Ketergantungan mereka akan toak membuat mereka datang setiap

hari dan bertemu dengan orang yang sama-sama ingin menikmati toak.

Pertemuan rutin dengan orang yang sama pada satu tempat nitik, duduk,

berbincang santai dan bersenda gurau membuat para beduak tersebut akrab

dan menjalin tali pertemanan, hingga akhirnya terbentuklah ikatan sosial

(social bond). Kumpulan beduak dalam satu tradisi nitik yang sering

bertemu dan lebih sering berkomunikasi serta memiliki ikatan sosial satu

sama lain disebut dengan dengan bolo ngombe.

Terbentuknya ikatan sosial ini bukanlah dalam waktu singkat tanpa

melalui proses. Ikatan sosial ini terbentuk melalui suatu proses dan

faktor/elemen yang mendukung pembentukannya. Menurut Hirschi (Durkin,

1999:2), terdapat empat elemen pendukung dari sebuah ikatan sosial.

Elemen pertama adalah kasih sayang (attachments). Elemen dimiliki oleh

para beduak, karena mereka saling membantu satu sama lain bila dibutuhkan

tanpa pamrih. Bantuan yang diberikan bisa berupa tenaga, barang maupun

uang. Hubungan antar beduak ini berkembang seperti hubungan dengan

keluarga sendiri.

134
Elemen kedua adalah komitmen (commitment). Elemen ini menjadi

penting, karena komitmen diantara para beduak tidak pernah dideklarasikan

atau ditulis dalam peraturan khusus. Komitmen mereka hanya ada di otak

masing-masing dan sudah menjadi komitmen turun temurun sejak nenek

moyang mereka. Komitmen kecil contohnya dilarang mabuk pada saat nitik,

atau asas timbal balik diantara para beduak dalam bantu membantu.

Komitmen seperti itu menjadi konvensi bersama tanpa harus ditulis, namun

harus dipatuhi, karena apabila dilanggar akan menerima sangsi sosial berupa

pengucilan.

Elemen ketiga adalah keterlibatan (involvement), elemen ini meliputi

kesediaan para beduak untuk tetap rutin melakukan nitik di tempat yang

sama dan bertemu dengan bolo ngombe yang lain, atau kesediaan beduak

untuk datang pada kegiatan-kegiatan yang bersangkutan dengan para beduak

lain dalam satu bolo ngombe. Seperti acara pernikahan salah satu anggota

keluarga beduak harus dihadiri oleh beduak-beduak lain. Apabila tidak hadir

dengan alasan yang kurang jelas, maka sangsi sosial berupa pengucilan atau

para beduak lain tidak akan mengahadiri setiap acara yang dibuatnya.

Elemen keempat adalah keyakinan (belief). Elemen ini bersangkutan

dengan keyakinan dasar yang dianut oleh para beduak (semua informan

yang diwawancarai oleh penulis beragama Islam). Memang bila, ditilik dari

ajaran Agama Islam, toak adalah minuman keras yang haram untuk

dikonsumsi. Namun, para beduak yang beragama Islam menganggap toak

sebagai minuman penyegar badan dan penambah energi agar mereka bisa

bekerja maksimal, bukan untuk memabukkan diri. Jadi, mereka tidak pernah

135
menganggap toak haram dan tidak pernah menyadari alkohol yang

terkandung di dalamnya. Keyakinan ini semakin kuat karena didukung oleh

penikmat toak yang jumlahnya banyak dan memiliki keyakinan yang sama.

Terlihat bahwa bolo ngombe telah memenuhi empat elemen

pembentuk ikatan sosial, apakah berhenti sampai disini saja? tidak, dari

ikatan sosial yang semakin kuat dari ke hari, kemudian terbentuklah jaringan

sosial quasi group atau kelompok semu. Penulis berhasil mengetahui bahwa

ikatan sosial mampu membentuk sebuah jaringan sosial kuat yang

menembus batas wilayah. Dari dari model jaringan sosial 4.1 (hal.111) dan

4.2 (hal.114) dapat diketahui bahwa jaringan bolo ngombe yang diukur dari

satu alpha menembus batas wilayah desa.

Ikatan sosial yang membentuk jaringan sosial adalah faktor pertama

yang membuat nitik sulit untuk dihapus dari Kabupaten Tuban dan tetap

eksis hingga sekarang. Faktor kedua adalah beberapa fungsi yang ada di

dalamnya memberikan keuntungan tersendiri bagi para pengikutnya

(beduak) atau bahkan bagi orang yang berada diluar bolo ngombe sekalipun.

Setelah menjalankan penelitian dan menerapkan fokus penelitian

etnografi seperti yang disarankan oleh Spradley (1995:181), penulis

menganalisa beberapa data wawancara dan mendapati empat fungsi utama

nitik. Fungsi sosial, yaitu kegunaan nitik untuk mencari teman, mencari

teman senasib sepenanggungan, mencari teman yang bisa membela apabila

suatu saat terkena masalah, mencari teman berbagi masalah.

Fungsi ekonomi, yaitu kegunaan nitik untuk mencari pekerjaan

kepada sesama beduak, menjual barang dagangan dalam nitik, nitik adalah

136
sumber penghasilan bagi penjual. Fungsi untuk tubuh, yaitu kegunaan nitik

(dalam hal ini adalah toaknya) untuk menjaga kebugaran tubuh, menambah

energi saat bekerja.

Fungsi politik, yaitu kegunaan nitik untuk menunjukkan eksistensi ke

masyarakat luar bahwa yang bersangkutatan kuat minum toak, pemanafaatan

nitik oleh oknum diluar bolo ngombe yang menjadi kandidat dalam

pemilihan calon kepala daerah baik Lurah, Camat maupun Bupati untuk

memperoleh suara dengan mentraktir atau memberi hadiah pada para

beduak.

Faktor yang ketiga adalah, keyakinan para beduak yang menganggap

bahwa toak bukanlah minuman yang haram untuk dikonsumsi dan tidak

diminum dengan sengaja untuk memabukkan diri. Toak hanya mereka

anggap sebagai minuman penambah energi dalam bekerja. Karena

keyakinan inilah, toak masih bisa bertahan sampai sekarang. Keyakinan

yang didasari pada kecintaan dan ketergantungan pada toak serta didukung

dengan jumlah beduak yang banyak, membuat tradisi ini sulit untuk

dihapuskan.

Tujuan akhir dari fokus penelitian etnografi adalah pencarian tema

budaya. Pencarian tema budaya bertujuan untuk memahami sifat dasar tema-

tema dalam sistem budaya. Penulis menegaskan tema-tema yang mungkin

mengenai nitik sebagai sebuah tradisi minum toak bersama dengan fungsi-

fungsi implisit yang dapat dimanfaatkan oleh pengikutnya (beduak) sebagai

salah satu bentuk strategi adaptasi dalam hidup, sehingga masih eksis hingga

sekarang.

137
VII.2 Saran

Penulis sadar bahwa penelitian etnografi mengenai tradisi nitik

Tuban masih sangat kurang di dunia Antropologi, padahal masih banyak

yang bisa diungkap mengenai tradisi nitik, toak, beduak dan bolo ngombe.

Di bidang Antropologi Ekonomi misalnya bisa dilihat bagaimana strategi

penjualan toak oleh para penjual agar paling banyak mempunyai anggota

nitik, atau dari bidang antropologi pariwisata dalam melihat toak dan nitik

sebagai ikon masyarakat Tuban yang bisa menghasilkan pendapatan bagi

masyarakat sekitar dengan menjualnya kepada wisatawan.

Maka, penulis berharap generasi Antropologi selanjutnya mencoba

untuk melakukan penelitian di Kabupaten Tuban untuk meneliti mengenai

keberadaan tradisi nitik, beduak, toak dan bolo ngombe. Apabila kita mampu

menemukan rumusan maupun hipotesis yang tepat mengenai nitik, tentunya

akan bisa digunakan dalam menganalisa jenis tradisi atau kelompok sejenis

di tempat lain.

karena telah melalui semua proses, maka penulis menyarankan agar

Antropolog maupun calon antropolog Indonesia untuk mempertimbangkan

penggunaan metode etnografi yang disarankan oleh James Spradley dalam

bukunya yang berjudul Metode Etnografi dalam penelitian-penelitian

mengenai kebudayaan masyarakat. Memang pada awalnya, penggunaan

fokus penelitian etnografi James Spradley terlihat sangat rumit, namun

setelah kita lakukan 12 tahapan di dalamnya, penulis yakin semuanya akan

berjalan mudah dan lancar.

138
Kurangnya penggunaan alat bantu seperti software juga menjadi

keprihatinan tersendiri bagi penulis, karena banyak karya skripsi mengenai

jaringan sosial tidak mencantumkan model jaringan sosialnya atau hanya

menggunakan gambar manual yang tentu saja lebih rumit. Apabila hasil

gambar manual tersebut dimasukkan ke dalam komputer, maka hasilnya

akan tampak kurang maksimal. Untuk mempermudah seorang peneliti

menganalisa suatu fenomena jaringan sosial, penulis menyarankan agar

seyogyanya menggunakan program Netdraw.exe yang bisa di-download

gratis dari internet dan bisa digunakan untuk memetakan data anggota

jaringan sosial menjadi sebuah model jaringan secara otomatis.

139

You might also like