You are on page 1of 151

Diajeng

><

Ndoro Kakung
:: lelaki wangi
pandan ::
LAJANG

Lelaki yang baik jidatnya udah ada


tempelannya: sold out. Yang tersedia tinggal
remah-remah, yang ndak mutu, ndesit,
katro.
Ups. Itu bukan kata saya, loh. Itu kata
seorang teman perempuan saya. Lajang.
Umurnya thirty something. Smart and
charming.
Kami berjumpa di sebuah kedai kopi di
jantung Ibu Kota pada sebuah malam.
Setelah ngobrol ngalor-ngidul, wetan-kulon,
topik pembicaraan kami sampai ke tema-
tema kosmopolitan. Salah satunya ya itu
tadi, soal relasi Mars dan Venus.
Awalnya saya bertanya kenapa dia masih
lajang. Padahal dengan semua yang diraih
dan dimilikinya sekarang, mestinya dia ndak
susah cari pasangan.
Eh, dia malah nyerocos, ngerasani kaum
adam yang katanya kebanyakan nggombal
doang. “Laki-laki zaman sekarang itu cuma
mau nyari duit dan seks dari perempuan,
Mas,” katanya.
Ups. Tuduhan yang gegabah pikir saya. Tapi,
saya biarkan dia curhat dulu. Saya malah
jadi penasaran ingin tahu pandangannya
lebih jauh.
“Bagaimana sampean bisa sampai

menyimpulkan begitu, Jeng?”


“Ah, Mas ini kura-kura dalam perahu. Mana

ada lelaki yang mau ndeketin perempuan


hanya untuk ngobrol, diskusi, atau apa itu
kata sampean, pencerahan? Ndak ada Mas.
Itu cuma ada di negeri dongeng. Ngimpi,
Mas. Laki-laki itu ya maunya cuma ini, ini,
atau ini,” katanya sambil menunjuk
dompetnya yang bersimbol huruf LV, dada,
dan bagian bawah perutnya.
Saya melengos pura-pura ndak lihat. Untung
kedai itu agak remang-remang sehingga
wajah saya yang mungkin sudah berubah
ungu ndak kelihatan. Tiba-tiba saya ingat
seleb-seleb perempuan yang nikah, cerai,
nikah lagi, cerai lagi itu.
“Ah, ini pasti gara-gara sampean sering

dikecewakan laki-laki yo, Jeng?”


“Asem, ki!” umpatnya sambil melempar

serbet.
Marlboro mentol hijaunya dijentikkan ke
asbak. Hmm, wangi Chanel menyergap
hidung saya. Ah, rupanya dia belum pernah
berubah. Sayup-sayup saya mendengar
speaker di pojok atas meja kami
mengalunkan suara Asti Asmodiwati.
Lagunya Satu Jam Saja.
“Padahal kan ndak semua laki-laki gombal,

Jeng,” saya menyoba menetralisir


pesonanya.
“Memang, Mas. Saya tahu itu. Tapi, laki-laki

yang baik itu cepet laku, ya seperti sampean


ini.”
Halah. Modyar aku.
“Mas kan tahu, jumlah perempuan itu lebih

banyak dari laki-laki. Untuk nyari satu saja,


kompetisinya ketat, Mas. Kami ini, para
femina, harus berebut sesuatu yang
jumlahnya kian menipis. Siapa cepat, dia
dapat. Yang telat silakan gigit jari. Saya
termasuk yang sampai sekarang gigit jari,”
katanya.
“Mosok segitunya sih, Jeng?”

“Ealah sampean kok ndak percaya sih, Mas.

Dan, ini yang menarik Mas, saya kok


biasanya ngerasa cocok, nyambung gitu,
kalau bertemu pria-pria yang umurnya jauh
di atas saya. Yang sebaya itu ndak ada yang
mutu. Kebanyakan ndak tahu apa yang
mereka mau. Repot, kan? Dia aja ndak tahu
apa yang dia mau, apalagi saya. Males, Mas.
Saya pernah nyoba deket-deket dengan
cowok sepantaran, eh lah kok malah jadi
baby sitting. Aku ogah, Mas. Aku kan
pengennya laki-laki yang bisa ngemong,
bukan sebaliknya. Saya kan juga pengen
disayang-sayang, Mas. Dipeluk-peluk.
Dimanja gitu …, ” katanya sambil tersenyum
memamerkan deretan giginya yang putih.
Halah, modyar maneh aku. Blaik!
“Pantes, sampean banyak bergaul dengan

bapak-bapak dan om-om itu ya, Jeng?”


Dia ngakak. Bibirnya yang merah
menyeruput gelas berisi jus jeruk di meja.
Bekas lipstik terlihat menempel di sedotan
plastik itu. Saya tergoda ingin mengelapnya.
Tiba-tiba handphone-nya berdering. Masih
nada yang sama ketika saya mengenalnya
dulu.
“Halooow, Mas. Apa kabar? Baru landing?

Oh, sudah dijemput … Blablabla … “


Saya mengalihkan perhatian dengan
membaca majalah. Lima menit kemudian
dia meletakkan telepon. Matanya terlihat
basah. Saya ndak perlu bertanya apa yang
terjadi.”
“Pulang yuk, Mas. Tolong anterin saya cari

taksi dong,” ajaknya tiba-tiba sambil


ringkes-ringkes tas, mematikan Marlboro
mentol hijau kesepuluh yang baru setengah
diisapnya.
Saya tersenyum dan berdiri. Sayup-sayup
saya mendengar suara The Beatles dari
speaker di atas meja kami, “The long and
winding road … “
PRADA

Bayangkanlah Anne Hathaway dibungkus


Prada. Kulit langsat. Hidung mbangir. Bibir
merah merekah. Dada padat.
Malam itu saya akhirnya mengantarkan
sosok yang dalam imaji saya adalah Anne
Hathaway mencari taksi beberapa meter
dari kedai kopi tempat kami bertemu.
Jalanan sepi. Sedikit gelap. Kawan
perempuan saya itu berkali-kali melirik arloji
Bvlgari yang melingkar di tangannya.
Sesekali dia menarik dan menengok
handphone Nokia merah hati dari tas tangan
Prada maroon, barangkali ada SMS yang
masuk tapi tak terdengar bunyinya.
“Ada yang ditunggu, Jeng?” saya berbasa-

basi memecahkan keheningan di antara


kami.
“Ah, enggak Mas,” jawabnya singkat. Tapi

saya tahu matanya sangat gelisah.


Setelah hampir setengah jam, yang kami
tunggu tak lewat juga. Saya menawarkan
diri mengantarnya pulang naik gerobak
butut hitam itu.
“Ndak keberatan kan, Jeng. Lagi pula ini
sudah malam. Sampean kelihatan capek.”
Sejenak dia terlihat agak ragu. Matanya
melirik arloji lagi. “Boleh deh, Mas. Tapi,
ndak apa-apa kan, Mas? Nanti simboke
nyari-nyari?”
Saya cuma tersenyum lalu mengandeng
tangannya ke tempat parkir. Anjrit, masih
halus dan lembut seperti dulu. Ah, pasti dia
pasti masih rajin memakai pelembut kulit
yang sama dengan ketika saya pertama kali
mengenalnya.
“Masih di tempat yang dulu, kan?” saya

memastikan arah ketika kami sudah


bergerak keluar tempat parkir.
Ia mengangguk.
“Kok betah sih, Jeng?”

Lagi-lagi ia tersenyum. “Mau pindah ke


mana lagi, Mas? Saya nyaman di sana. Ndak
ada tetangga yang usil, resek. Lagian deket
dari mana-mana.”
Saya masih ingat betul apartemennya di
lantai 9 itu. Tipe studio. Dindingnya hijau
mint. Desain interior minimalis. Tak banyak
perabot di dalamnya. Ada satu sofa kulit
besar di tengah, TV Sony plasma layar lebar,
satu set stereo Nakamichi, poster-poster film
ukuran raksasa di tembok kiri dan kanan.
Saya terbayang ke masa-masa ketika kami
dulu sering melewatkan waktu berdua di
sofa itu, berdua saja, ditemani botol-botol
Foster’s dingin dan kacang Bali
kesukaannya. Tak banyak yang kami
lakukan selain nonton TV, memutar DVD,
atau sekadar ngobrol ngalor-ngidul. Ia
perempuan betah bercerita apa saja,
bahkan sampai menjelang subuh.
“Kapan terakhir ke apartemenku ya, Mas?

Rasanya tiga, empat, atau lima tahun ya?”


ia tiba-tiba bertanya dan membuyarkan
lamunan saya.
“Yah, sekitar itulah.”

“Ndak ada yang berubah kok, Mas. Masih

sama semua seperti ketika kamu terakhir


pergi pagi-pagi dan ndak pernah menelepon
lagi.”
Ups. Saya merasa seperti ada sebuah upper
cut menghajar ulu hati.
“Koleksi Prada sudah bertambah belum?”

tanya saya mencoba menutupi kerisauan.


“Lumayan, Mas. Kebetulan Minggu lalu ada

yang ngajakin ke Milan. Jadi ya gitu deh,


belanja, Mas. Saya beli baju, belt, sepatu,
dan tas,”
“Pasti warna maroon semuanya?”

“Ah si Mas, masih inget aja favoritku,”

katanya sambil mencubit lengan.


Saya meringis. “Koleksi cowok nambah juga,
Jeng?”
“Ah, kamyu, Mas.”

Kali ini cubitannya makin keras. Adoh, perih,


rek!
“Jeles yo, Mas? Don’t be. You are still the

best, Mas.”
Halah. Ndobos banget.
Dia ngakak. Lampu merah menyala. Saya
ngerem pelan-pelan. Tiba-tiba bibirnya yang
hangat itu menyentuh pipi kiri saya. Begitu
mendadak. Saya kaget. Lirak-lirik spion kiri-
kanan dan belakang, menengok keluar.
“Kenapa Mas? Takut? Atau ada yang

berubah, Mas?” tanyanya sambil tersenyum.


Kali ini saya merasa ada sebuah jab
menghantam dagu. Telak!
“Ah, enggak. Cuma … itu tadi untuk apa,

Jeng?”
Dia nyengir.
“For the old time sake, Mas. Untuk semua

yang pernah Mas berikan. Juga pertemanan


ini.”
“Halah. Old time? Dulu itu cuma abadi di

masa lalu, Jeng. But thanks anyway.”


Ia melemparkan pandangannya keluar
jendela. Jalan Jenderal Sudirman jam segini
tentu saja sudah kian sepi. Hanya satu dua
kendaraan melaju kencang. Satu dua
pejalan kaki di trotoar. Dari radio butut itu
terdengar suara Phil Collins menyanyikan
sebuah tembang lawas, Why Can’t it Wait
’till Morning.
“So, how’s your life, Mas? Gimana Mbakyu

dan anak-anak?” ia mendadak bertanya


tanpa melihat wajah saya.
“Apik, Jeng. Apik. Saya kan seperti sopir bus

Transjakarta itu. Setiap hari melakukan


pekerjaan yang sama, melewati rute yang
sudah ditentukan, jam yang telah teratur,
penumpangnya saja yang beda-beda.”
Dia ngakak. “I like the way you describe it.
Ah, kamyu ndak berubah, Mas. Kalau kamu
sopir, jadi siapa kernet dan
penumpangnya?”
“Hei, kamu ndak pernah naik busway ya,

Jeng? Ndak ada kernet di sana. Yang ada


penumpang, orang yang kita temui setiap
hari. Berganti-ganti. Dengan kelakuan
macem-macem. Ada yang baik, ada yang
aneh.”
“Wah, analogi kamu menarik, Mas. Itu yang

membuat kamu selalu berbeda. That’s why I


like you so much since we first met.”
“Haiyah, ngrayu.”

Saya acak-acak rambutnya yang hitam


sebahu itu. Ia ngelendot manja di bahu kiri
saya. Ah ….
Untung, atau sialnya, apartemennya tak
jauh. Rasanya baru semenit kami berjalan,
tiba-tiba sudah sampai di gerbang.
Satpamnya membuka portal dan memberi
hormat. Wajahnya menunjukkan keheranan,
seperti mau mengatakan, “Wah, pa kabar,
Mas. Lama tak ke sini.” Saya melambaikan
tangan kepadanya.
“Here we are, Jeng.”

Ia tak bereaksi. Kepalanya masih menyandar


di bahu kiri saya. Matanya setengah
terpejam.
“Mas, stay with me, please,” pintanya pelan.

Modyar, aku!
RUANG
Hati yang luka. Jiwa yang kosong.
Ke mana harus berlabuh.
Sedang daun-daun kering pun terbawa
angin …
Saya pernah membaca bait-bait itu di buku
harian kawan perempuan saya itu, bertahun
yang lalu. Ia memamerkannya ketika kami
sama-sama sedang keranjingan belajar
menulis puisi.
Saya lupa kenapa waktu itu kami seperti itu.
Mungkin gara-gara kami baru saja
menyaksikan sebuah pertunjukkan baca
puisi di Taman Ismail Marzuki. Atau
barangkali setelah kami menonton DVD
lawas, Dead Poets Society untuk yang
kesepuluh kalinya. Entah. Saya tak ingat.
Malam itu, anehnya, saya tiba-tiba ingat
puisi itu ketika dia meminta saya
menemaninya tinggal sejenak di
apartemennya. Saya tahu hatinya sedang
terluka. Karena itu, ia pasti membutuhkan
seseorang untuk berbincang ― seperti
biasanya dulu. Tapi, menuruti permintaanya
cuma akan membuat persoalan kian rumit.
Saya ndak mau memanfaatkan kesempatan.
Sesaat, saya tertegun dalam bimbang. Saat
itulah,handphone-nya menjerit nyaring.
Sebuah SMS masuk. Ia kaget. Aha, saved by
the bell.
Dengan malas-malasan, dia merogoh tas,
meraba-raba barang yang dicarinya.
Ketemu. Ia membacanya sekilas.
“Shit! Ayo, Mas. Kita jalan lagi aja,” ajaknya
sambil mengangkat kepalanya yang dari
tadi nyender di bahu kiri saya.
Jalan? Oke. Tanpa bertanya, saya masukkan
gigi transmisi dan menginjak pedal gas
perlahan. Fiuh. Saya menghela napas lega
terlepas dari dilema itu.
Di pintu depan, satpam yang tadi membuka
portal terlihat bingung ketika kami ternyata
keluar lagi tanpa sempat turun dari mobil.
Saya tahu dari wajahnya yang nyengir wagu.
Ah, biarlah. Itu urusan dia, bukan urusan
saya.
“ Ke mana, Jeng?”
Ke mana sajalah. Terserah, Mas. Pokoknya

pergi dari sini. Cepetan, Mas.”


Pergi? Wah, gawat nih, saya membatin.
Terus terang mata saya mulai tak bisa diajak
kompromi. Menyetir dalam keadaan
mengantuk itu berbahaya. Dua kali saya
pernah kecelakaan gara-gara tertidur
sewaktu menyopir.
Last time, saya menghajar pantat truk yang
sedang berhenti di dekat Slipi Jaya, lima
tahun yang lalu. Hidung mobil ringsek.
Untunglah safety belt bekerja dengan
semestinya sehingga saya terhindar dari
cedera yang lebih serius.
Malam ini saya ndak mau mengulang
insiden itu. Apalagi dengan seorang
perempuan di kursi sebelah ini. Bisa panjang
urusannya.
Tapi, bagaimana saya bisa menolak?
Pesonanya begitu kuat. Saya bahkan
membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk
melupakannya. Itu pun dengan susah payah.
Berjuang melawan godaan untuk
meneleponnya, terutama di saat-saat saya
tengah meranggas seperti pepohonan di
musim kemarau, sungguh melelahkan.
“Eh, gimana kalau saya antar ke rumah
mami aja, Jeng?” saya mencoba menawar.
Ibunya memang tinggal di pinggir Jakarta.
Tapi, daripada berjalan tak tentu arah,
mengantar ke rumah ibunya jelas pilihan
terbaik saat ini.
Dia terlihat berpikir sebentar. “Bolehlah,
Mas. Masih ingat jalan ke sana, kan?”
Saya mengangguk dan segera menghela
kencang si hitam membelah jalanan Jakarta
yang menyepi menuju ke selatan.
Di dalam mobil, ditikam sepisau sepi, kami
tenggelam dalam lamunan masing-masing.
Tapi, tak lama. Sebentar kemudian, saya
lihat dia mengambil handphone dan
menghubungi seseorang. Terdengar nada
sambung …
“Halo Mas, aku belum sampai di apartemen
nih. Masih ketemu klien. Belum tahu sampai
jam berapa. Malam ini Mas nggak usah
dateng deh. Besok aja. Iya … iya … Nggak,
nggak, nggak apa-apa kok … Oke, Mas. CU.
Miss you too.”
Klik. Ia menutup telepon dan
menghembuskan napas panjang seolah
melepas beban.
Laki-laki kok suka gitu ya, Mas,” tiba-tiba ia

bicara begitu saja.


“ Maksudnya?”
Ya gitu deh. Suka ngotot kalau punya lagi

ada mau. Padahal kan kita kadang lagi


nggak mood. Nggak sreg ketemu. Tapi,
dianya keukeuh. Mas suka ngerasa gitu
nggak?”
Ya kadang-kadang,” jawab saya sekenanya

sambil menyalakan radio. Ah, ada Noe Letto.


Suaranya yang jernih mengalun lirih …
Di daun yang ikut mengalir lembut,
terbawa sungai ke ujung mata
Dan aku mulai takut terbawa cinta,
menghirup rindu yang sesakkan dada
Jalanku hampa dan kusentuh dia,
terasa hangat oh di dalam hati
Kupegang erat dan kuhalangi waktu,
tak urung jua kulihatnya pergi …
Dia membungkuk, mencari-cari sesuatu di
panel radio butut itu. “Kalau buat
ngencengin suara yang mana sih, Mas?”
“ Itu tuh, yang bulet gede, sebelah kanan.”
Aku gedein ya. Soalnya aku seneng lagu ini.

Kamu suka nggak, Mas?’


“ Yah, gitu deh. Kenapa kamu suka?”
“Karena aku jadi inget kamu kalau denger
lagu ini, Mas.”
Gubraks!
Eh, kalau kamu apa, Mas? Lagu apa yang

mengingatkanmu padaku?”
Lately, Stevie Wonder,” jawab saya

sekenanya.
Ia ngakak.
“Ih, boong banget. Hehehe … Itu mestinya
lagu ‘kebangsaan’ pacar-pacarku dulu yang
selalu kuduakan dan akhirnya kutinggal
pergi. Kamu kan bukan pacarku Mas, kamu
lebih dari itu, dan yang ninggalin aku tuh
kamu. Bukan sebaliknya.”
Ups. Wrong answer. Padahal saya tadi jawab
asal-asalan. Lah kok tafsirnya lain. Tapi,
sudah telanjur. Pantang mundur. Jadi saya
cuma mringis.
Kenapa kamu jadi inget saya setiap

mendengar lagu ini, Jeng?”


Ya iyalah. Dengerin aja liriknya, terutama

bagian ini Mas …


…kau datang dan pergi oh begitu saja
smua kutrima apa adanya
mata terpejam dan hati menggumam
di ruang rindu kita bertemu …”
Ah, suaranya masih semerdu dulu. Suara
yang pernah menyihir saya selama
bertahun-tahun. Suaranya itu pula yang
sering menggoda saya di saat-saat saya
meranggas di musim panas. Rasanya sudah
berabad-abad saya tak mendengarnya
bernyanyi.
Aku juga suka meremin mata saat kangen

dan pengen ketemu kamu, Mas. Sayang, aku


cuma bisa menemuimu di ruang rindu …”
Saya pura-pura tak mendengar. Mata saya
tengah mencari-cari rumah dua tingkat
bercat putih dan berpagar besi hitam di
perumahan elit itu. Ah itu dia.
Kita sudah sampai, Jeng. Rumah mami

masih yang ini, kan?”


Oh iya. Ah, senengnya diantar si Mas....”

katanya dengan manja. “Mau turun nggak,


Mas?”
“Nggak usahlah, Jeng. Paling mami juga dah
tidur. Ndak enak membangunkan dia hanya
untuk pamit.”
“Ya udah, tapi lain kali kamu harus ketemu
mami lo, Mas. Dia masih sering nanyain
kamu tuh. Kamu kan masih punya utang.
Inget nggak? Kamu dulu pernah janji mau
bawain CD Billie Holiday buat mami. Tapi,
Mas nggak pernah dateng lagi. Kalau besok
dia tahu malam ini kamu anterin aku, mami
pasti marah karena nggak dibangunin.”
Wadoh, iya saya lupa. Eh, nganu … bilang

saja saya buru-buru. Udah malem. Jadi ndak


sempet pamit. Lain kali deh, saya janji.”
Bener ya. Soalnya kasihan mami. Dia sering

kesepian sejak papi nggak ada. Apalagi


kamu juga nggak pernah ke sini lagi buat
ngajak ngobrol mami. Padahal cuma kamu
Mas yang bisa membuat mami tertawa dan
nggak sedih lagi karena ingat papi.”
Glek. Saya menelan ludah.
“Iya, iya … kapan-kapan saya pasti ke sini
lagi. Saya juga kangen lasagna buatan mami
kok. Enak banget soalnya, kejunya lebih
nendang dibanding bikinan The Spaghetti
House.”
Halah, gombal. Kamu tuh ya Mas, ndak

berubah dari dulu. Tapi, gombalmu itu juga


Mas, yang bikin mami suka kamu. Mungkin
karena mami nggak punya anak laki-laki.”
I know,” jawab saya sambil nyengir. “Ya

sudah, sana masuk. I call you tomorrow.”


“Iya deh, Mas. Thanks ya,” katanya sambil
tersenyum, senyum paling mendebarkan
hati saya sejak bertemu tadi sore.
Ia memeluk dan mencium pipi saya sekilas,
lalu keluar. Sekilas saya melihat satpam
penjaga rumah maminya itu siap
membukakan pintu pagar.
“Bye, Mas. Ati-ati ya …”
“Oke. Daag … “

Malam itu, setelah saya meninggalkannya di


pagar depan rumah ibunya, saya merasa
seperti baru saja memindahkan Gunung
Merapi ke Laut Jawa. Saya hirup napas
dalam-dalam, lalu membuangnya pelan-
pelan. Di radio, Freddie Mercury
bersenandung …
When you’re feelin’ down and your
resistance is low
Light another cigarette and let yourself go
This is your life
Don’t play hard to get
It’s a free world
All you have to do is fall in love
Play the game everybody play the game of
love …
Saya ikuti nasihatnya. Mematikan AC, lalu
membuka jendela. Saya nyalakan sebatang
Marlboro Light yang masih tersisa di
kantong tadi. Malam terasa kian gelap dan
sunyi …
HOME

There’s no place like home. Itu sebabnya


ada ungkapan home sweet home. Tapi, saya
baru benar-benar merasakannya malam itu,
setelah mengantarkannya pulang ke rumah
ibunya.
Yeah, I am finally home … after all of those
jumpin’ around feelin’.
Saya mendapati rumah dalam keadaan
gelap. Anak-anak dan ibunya pasti sudah
dari tadi terlelap. Saya lirik arloji. Hm, sudah
hampir pagi. Pelan-pelan saya membuka
garasi dan pintu rumah biar ndak membuat
mereka terbangun.
Benar saja. Di dalam kamar, saya lihat anak-
anak sudah tidur dengan gaya masing-
masing. Si sulung, seperti biasa, bergaya
bebas. Ranjangnya berantakan. Bantalnya di
mana, gulingnya ke mana, dia sendiri
telentang ndak keruan.
Si bungsu, juga seperti biasanya, tidur
dalam posisi yang tak pernah berubah,
nyaris tak bergerak. Saya menduga ini pasti
turunan ibunya. Hanya perutnya yang naik
turun saja yang menunjukkan bahwa dia
masih bernapas. Mungkin memang begitu
beda anak perempuan dan anak laki-laki
kalau tidur.
Tapi, bagaimana pun gayanya, saya selalu
merasa bagaikan mandi air dingin di siang
yang panas setiap kali melihat mereka tidur.
Benar-benar menyegarkan.
Mungkin benar nasihat ayah dan ibu saya
dulu. “Menikahlah, Nak. Segeralah punya
anak. Anak-anak itu di atas segalanya,”
begitu selalu mereka memberi wejangan.
Saya membuktikannya sekarang. Anak-anak
memang obat paling manjur untuk semua
rasa lelah, kesal, stres, dan semua gejala
psikosomatis lain. Merekalah penawar lapar
dan dahaga saya dalam kehidupan. Saya
selalu menikmati saat-saat seperti ini,
menatap mereka tidur. Pelan-pelan saya
cium kening mereka satu per satu.
Being home is relieving indeed.
Ah, saya jadi ingat Diajeng, teman
perempuan saya itu. Apakah dia juga sudah
tidur? Nyenyakkah tidurnya setelah saya
tinggal pulang?
Dulu memang ada masa-masanya ketika dia
sulit tidur. Dan, kalau sudah seperti itu,
biasanya saya harus siap-siap jadi korban,
menjadi tempat sampah buat semua uneg-
uneg yang ada di kepalanya, sekaligus
teman menjelang ia masuk ke gerbang
mimpi.
Mula-mula hanya sekadar pesan pendek,
lama-lama berubah menjadi percakapan
panjang. Biasanya itu terjadi kalau layar
telepon genggamnya sudah tak mampu lagi
menampung ketergesaan dan
ketidaksabarannya, atau saya agak ogah-
ogahan mengetik teks balasan.
Suatu malam, misalnya, dia mengirim SMS
berisi pertanyaan semacam ini, “Mas,
kenapa sih dulu menikah?”
Saya yang masih di tengah jalan, dalam
keadaan letih, lemah, dan lesu setelah
seharian melayani perintah ndoro-ndoro
juragan di pabrik, tentu saja setengah ogah-
ogahan melayani pertanyaan itu. Siapa juga
yang masih cukup energi buat menjawab
pertanyaan “kelas berat” macam itu.
Memangnya saya masih ingat alasan
menikah?
Tapi, saya toh ndak tega juga untuk tak
segera membalas SMS itu. Masalahnya, apa
yang harus saya tulis?
Seorang teman pernah memberi nasihat
begini. Kalau kau mendapatkan pertanyaan
yang susah dijawab atau tak ingin kau
jawab, lebih baik kau balik bertanya kenapa
dia menanyakan pertanyaan itu. Aha,
sekarang mungkin saat yang tepat untuk
memakai nasihat itu.
Kenapa sih, nanya itu, Jeng?” saya balik

bertanya.
Dia langsung membalas, “Pengen tau aja,
Mas.”
Saya diam dan tak membalasnya. Eh, pesan
pendeknya masuk lagi. “Jadi kenapa, Mas?
Answer it, please.”
Halah, ngeyel.
Saya pun menjawab sekenanya. “Wah, saya
lupa, Jeng. Sudah lama sih.”
Apa yang saya dapat? Handphone saya
langsung berdering. Saya lihat layar
monitornya, ehm, “Diajeng calling”.
Halo … Ada apa, Jeng?” tanya saya pura-

pura bego.
Halah, pakai nanya. Si Mas nggak asyik sih.

Lah wong ditanya kok jawabnya asal-asalan


… Bla-bla … “
Begitulah dia, selalu bertanya apa saja. Tapi,
begitu dijawab asal-asalan, pasti langsung
menelepon. Kapan saja, di mana saja.
Kadang-kadang memang merepotkan, tapi
saya susah menolaknya. Soalnya saya ndak
selalu punya alasan tepat.
Apalagi dia bukan tipe perempuan yang
mudah menyerah begitu saja. Selalu saja
ada celah buat bertanya. Kalau jawaban
saya ndak memuaskan, pasti dia akan kejar
terus. Kadang saya heran, kok ya ada
perempuan yang selalu penasaran,
bertanya-tanya, ingin tahu banyak hal?
Pernah saya bertanya mengapa dia sering
menanyakan ini dan itu. Eh, dia menjawab,
“Karena aku ndak tahu dan aku tahu Mas
punya jawabannya.”
Gemblung! Punya hobi kok bertanya. Apa
ndak ada pekerjaan lain? Dia cuma nyengir,
memamerkan wajahnya yang polos.
Tapi, dari situlah saya kemudian tahu bahwa
dia tipe orang yang selalu ingin tahu.
Seseorang yang selalu bertanya-tanya ―
seseorang yang gelisah. Dan, dia butuh
seseorang yang bisa diajak ngomong,
minimal menenangkan kegelisahannya.
Kali lain dia pernah bertanya, dan lagi-lagi
membuat saya pusing memikirkan
jawabannya. Misalnya dia bertanya begini,
“Kenapa sih Mas, kamu ndak mau
meninggalkan Mbakyu dan menikahi aku
saja? Memangnya dia bisa membuatmu
tertawa … seperti yang selalu kulakukan?”

“Mungkin dia memang jarang membuat saya


tertawa, tapi dia tak pernah membuat saya
menangis, Jeng,” jawab saya setengah
jengkel, setengah males, sedikit ketus.
Skak mat. Tampaknya dia menyadari
kesalahannya. Sejak itu dia tak pernah
bertanya-tanya lagi tentang istri saya,
apalagi membanding-bandingkan dengan
dirinya. Tapi hobinya mengajak saya diskusi
ndak pernah berhenti, malah kian menjadi.
Well, suka ndak suka, kadang-kadang saya
memang menikmati acara ngobrol
dengannya. Nyaris selalu ada waktu buat
dia. Kapan saja. Di mana saja.
Saya merasa mendapatkan sparing partner
yang menyenangkan. It’s about sharing. It’s
about being a man.
Pertanyaannya membuat saya berpikir. Otak
saya berputar lebih kencang ketimbang
roda-roda mobil balap Formula 1 yang
tengah bersicepat di Sepang. Dia membuat
saya hidup, bahkan membuat hidup saya
jadi lebih hidup lagi. Saya sering merasa jadi
laki-laki sejati.
Saya penasaran. Bagaimana dia bisa jadi
seperti itu?
Pertanyaan itu baru terjawab kemudian
ketika akhirnya saya bertemu ibunya di
rumahnya yang asri, beberapa tahun silam.
Mam, ini kenalin si Mas, temen baruku.

Mami pasti suka, deh. Orangnya asyik lo,


Mam,” begitu dia memperkenalkan saya
kepada ibunya sambil menarik tangan saya.
Saya jengah dan misuh-misuh dalam hati,
“Asyik dari Hong Kong.”
Ibunya berumur hampir enam puluh waktu
itu. Seorang perempuan Jawa dari Solo. Tapi,
sudah lama sekali meninggalkan kampung
halamannya karena mengikuti suaminya,
seorang pengusaha macam-macam, yang
kerap berpindah-pindah kota.
Paras maminya mengingatkan saya pada
Citra Dewi, bintang film Tiga Dara. Meski
sudah memasuki usia lanjut, saya berani
bertaruh, waktu muda dulu ibunya pasti
secantik putri-putri keraton itu.
Pembawaannya lemah lembut, hangat,
ramah, dan sabar. Dan, ini yang penting,
maminya pintar memasak. Jari-jari ajaibnya
mampu menyulap apa saja menjadi
masakan yang menggoyang lidah. Setiap
kali saya datang, mami menyuguhkan
masakan baru.
Ia sering mengajak saya berbicara dalam
bahasa Jawa kromo inggil ― sesuatu yang
kadang membuat saya malu karena ndak
mampu mengimbanginya. Bahasa Jawa saya
belepotan. Akhirnya, supaya ndak terlalu
kelihatan ngawur dan wagu, saya sengaja
memakai bahasa Indonesia. Netral dan
aman.
Yang membuat saya heran, ibunya suka
musik jazz. Koleksinya CD dan piringan
hitamnya lumayan banyak, rapi tersusun di
sebuah lemari besar di ruang keluarga. Saya
sampai terperangah dibuatnya. Dari swing
sampai acid jazz. Dari Glenn Miller Big Band
hingga Fourplay. Dari Duke Ellington sampai
Ella Fitzgerald. Lengkap deh, pokoknya.
Kalau sudah diajak ngobrol soal jazz di
pinggir kolam renang berukuran Olimpiade
di bagian belakang rumahnya, wah bisa-bisa
sehari semalam pun ndak cukup. Maminya
itu hapal betul album-album jazz, nama-
nama musisinya, termasuk kehidupan
pribadi, juga gosip-gosip mereka.
Tapi air cucuran atap rupanya tak jatuh ke
pelimbahan. Kedua anak perempuannya,
terutama Diajeng, si bungsu itu, sama sekali
tak suka jazz. “Ndak mudeng,” katanya. Dia
lebih suka pop, yang manis-manis, juga para
penyanyi Idol itu. Belakangan ia tergila-gila
pada Beyonce.
Dari maminya jugalah sedikit demi sedikit
saya tahu perihal keluarga dan sosok
Diajeng. Dia bungsu dari dua bersaudara
perempuan semua. Kakaknya dokter bedah
tulang yang bermukim di Jerman bersama
suaminya yang dokter juga. Saya pernah
bertemu mereka sekali di bandar udara
Frankfurt ketika kebetulan mendapat tugas
kantor ke Swedia. Mami menitipkan sambal
teri kering buatan sendiri untuk anak
sulungnya itu.
Saya sempat bingung mesti memanggil
kakaknya itu apa, mbak atau dek? Usianya
jelas di bawah saya, tapi saya kan temen
adeknya. Akhirnya saya panggil namanya
saja. Toh dia oke-oke saja.
Papinya dari Italia, tapi kemudian menjadi
warga negara Indonesia setelah menikah
dengan maminya. Waktu Diajeng masih
kanak-kanak dulu, papinya selalu
menyebutnya faccia d’angelo. Wajah
malaikat. Julukan itu membuat saya teringat
tokoh Lucia Carmine dalam novel The Sands
of Time karya Sidney Sheldon.
Papinya sangat sayang padanya. Semua
yang dia inginkan, sang ayah memenuhinya.
Berapa pun ongkosnya, bagaimana pun
sulitnya. Dia tak pernah ditolak.
Hubungan mereka sangat dekat. Ke mana
pun sang ayah pergi, hal pertama yang
dilakukan begitu sampai di hotel adalah
menelepon anak bungsunya. Begitu juga
sebaliknya.
Papinyalah pusat kehidupan perempuan
berwajah malaikat itu. Di matanya, papinya
adalah lelaki paling tampan sedunia. Pekerja
keras yang mencintai keluarga. Itu
sebabnya, dunia seolah berhenti baginya
ketika papi meninggal karena serangan
jantung. Ia kehilangan bukan saja seorang
ayah, melainkan figur, sandaran, pusat
perhatian, pendeknya hampir segalanya.
Saya ndak tahu mengapa ibunya merasa
cocok dengan saya dan mau menceritakan
semua tentang keluarganya, bahkan meski
saya tak bertanya. Mungkin karena saya dari
Yogya, mungkin karena saya juga berbahasa
Jawa, bisa jadi karena dia ingin
menjodohkan saya dengan anak bungsunya,
barangkali oleh sebab lain. Saya ndak tahu
dan ndak mau menduga-duga.
Sepekan saja saya ndak ke rumahnya, dia
pasti menyuruh anaknya menelepon atau
mengirim SMS untuk meminta saya ke
datang menjenguk. Alasannya macam-
macam, karena mau menunjukkan CD jazz
koleksi barunya kek, baru saja memasak
lasagna kesukaan saya kek, atau lantaran
mau ngajak ngobrol saja.
SMS-nya biasanya singkat, padat, jelas.
“Mami nyari kamu, Mas.”
Itu artinya saya harus ke rumah ibunya di
pinggir selatan Jakarta itu, mengarungi
kemacetan. Terus terang saya tak selalu
mampu menolak permintaannya untuk
berkunjung. Selain karena segan, keluarga
itu memang membuat saya nyaman. Setiap
kali ke datang, rasanya saya pulang ke
rumah.
Lama-lama saya merasa tempat tinggal
mereka adalah rumah ketiga saya, setelah
rumah orangtua saya di Yogya dan rumah
yang saya tempati bersama anak dan istri
sekarang.
Sampai suatu ketika akhirnya teman
perempuan saya itu punya apartemen
sendiri. Dan segalanya tak pernah sama lagi

DAUN

Daun-daun kenangan berdesah sedih dalam


gelap ― Longfellow.
Saya bangun ketika rumah sudah sepi.
Anak-anak pasti sudah berangkat ke sekolah
diantar ibunya sejam yang lalu.
Angin merayap pelan melalui jendela
mengelus badan. Saya menengok keluar
dan melihat daun-daun rontok satu-satu di
halaman. Kemarau tampaknya sebentar lagi
datang.
Setengah mengantuk, agak keliyengan, saya
ke dapur, mencari-cari toples kopi dan gula.
Ah, rasanya tak perlu. Saya lihat ada
secangkir kopi hangat masih mengepul di
meja. Istri saya tadi pasti sempat
membuatkan sebelum pergi. Ritual setiap
pagi.
Saya memang suka kopi. Rasanya ada yang
kurang jika bangun pagi dan tak menyesap
cairan hitam berkafein itu. Biasanya saya
menikmatinya menjelang mandi. Baru
setelah itu berangkat ke pabrik.
Tapi, saya ndak pernah minum kopi lebih
dari dua cangkir sehari. Saya pernah baca di
sebuah majalah kesehatan, minum kopi
terlalu banyak tak baik buat perut, juga
kesehatan. Saya kira segala yang “terlalu”
memang tak pernah baik.
Nah, perempuan berwajah malaikat itu
bukan hanya suka, ia keranjingan kopi. Ia
bisa minum bergelas-gelas kopi dalam
sehari hanya untuk menemani acara
mengisap Marlboro mentolnya itu. Saya
ingat, dia pernah mengatakan sesuatu
tentang kopi dan percakapan.
Good communication is as stimulating as

black coffee, Mas,” katanya mengutip Anne


Morrow Lindbergh sambil mengaduk
secangkir kopi Irlandia di kedai langganan
kami itu.
Ini pertemuan kami yang kesekian di tempat
yang sama ― tempat favoritnya. Hampir
semua pelayannya hapal kami berdua,
termasuk apa yang selalu kami pesan. Saya
pernah mengusulkan kedai lain. Ia menolak.
Enakan di sini, Mas. Tempatnya cozy,”

katanya sambil memeluk pinggang saya


dengan manja.
Kalau sudah begini, saya biasanya nyerah.
Percuma pula berdebat, ngotot
membawanya ke tempat lain dengan risiko
bertemu kawan-kawan saya di pabrik yang
terkenal sebagai petualang-petualang kedai
di Jakarta itu.
“Ndak heran kalau komunikasi itu begitu
menggairahkan seperti kopi hitam, lah wong
kamu aja maunya ngajak ngobrol saya terus
ya, Jeng.”
Ia tergelak. “Ah, si Mas … “
Sebetulnya bukan kopi yang membuat aku

bergairah, tapi kamu, Mas.”


Halah. “Saya ini apalah, Jeng. Lah wong
ndesit, kuper, pemalu, kayak gini kok
menggairahkan. Kamu mengada-ada, ah …

Lagi-lagi ia tergelak. “Jangan minder gitu ah,
Mas. Kamu itu ndak sadar ya? Atau kamu
sebetulnya pura-pura aja? Kamu tuh punya
sesuatu yang nggak setiap laki-laki punya.
Kamu punya sesuatu yang dibutuhkan
perempuan. Kata-kata yang menyejukkan
dan hati yang meneduhkan. Kamu sabar,
mau mendengarkan keluhan. Perempuan
butuh laki-laki seperti itu, Mas. Aku berani
taruhan, pacarmu dulu pasti banyak ya,
Mas?”
Banyak dari Hong Kong? Aku baru punya

pacar setelah kerja di Jakarta. Pacar satu-


satunya itu ya yang sekarang jadi istriku.
Aku pemalu, ndak punya keberanian
mendekati gadis-gadis. Apalagi
meminangnya … ”
“Huuu … boong banget. Dengan pesona dan
gombalmu yang kek gini, kamu pasti
gampang menaklukan setiap perempuan
yang kesepian di Jakarta ini, Mas,” katanya
sambil mencolek ujung hidung saya dengan
jarinya yang lentik.
Eh, saya kasih tahu ya, Jeng. Saya tuh

bukan penakluk perempuan. Saya juga


bukan orang yang sengaja datang ke Jakarta
buat nyari perempuan. Saya cuma mau
kerja, nyari duit, biar saya bisa menghidupi
keluarga. Biar saya bisa menyisihkan sedikit
uang untuk ibu di Yogya sana. Itu saja,
Jeng.”
Loh, loh, kok marah sih, Mas? Aku kan ndak

bermaksud menyinggung egomu. Maaf deh,


Mas,” katanya dengan wajah memelas.
Saya lihat ada setitik kristal bening di ujung
matanya. Saya trenyuh, ndak tega.
Kita jalan-jalan saja yuk, Jeng,” ajak saya

untuk mengubah suasana.


Ia mengangguk, dan mulai tersenyum lagi.
Speaker di kedai itu memperdengarkan
suara Phil Collins, One more night. Just give
me one more night …
Pagi itu, saya terkenang potongan-potongan
hari yang pernah kami lalui bersama-sama.
Ada saat-saat yang menyenangkan, banyak
pula yang mengesalkan. Adegan-adegan itu
berputar ulang dengan cepat seperti film
dokumenter bikinan Michael Moore.
Saya menduga dia belum bangun pagi ini di
rumah maminya. Setelah melewatkan reuni
pertama kami sejak empat atau lima tahun
yang lalu itu tadi malam, ia pasti tidur
panjang. Maminya pasti juga ndak tega
membangunkan anak bungsunya itu. Mami
sosok yang terlalu baik, terlalu penuh
pengertian.
Saya menimbang-nimbang apakah perlu
meneleponnya sekarang, sekadar bertanya
sudah bangun atau belum. Atau haruskah
saya menelepon maminya untuk minta maaf
karena tadi malam tak sempat bertemu?
Dalam bimbang itulah, handphone saya
berbunyi. Aha, sebuah kebetulan. Saya lihat
layar, Diajeng calling.
“ Halo, Jeng … “
“ Pagi Mas, ini Mami … “
Ups. Mami? Rasanya sudah berabad yang
lalu sejak terakhir saya mendengar suaranya
lewat telepon. Ada apa? Mendadak saya
seperti kesetrum listrik ribuan watt. Syaraf
saya menegang. Peluh menitik satu-satu …
WAKTU
Kepada waktu yang mengapung antara ada
dan tiada. Antara pagi, siang, dan malam.
Adakah luka yang terhapus?
Apa kabar, Mas?” tanya Mami di seberang

sana.
Saya tergagap. “Eh, eng … baik … baik,
Mam. Mami sendiri gimana kabarnya? Saya
kira tadi Diajeng yang menelepon.”
“Ah, dia sudah pergi dari tadi, Mas. Ndak
tahu dijemput siapa tadi. Tapi, sebelum
pergi, dia sempat cerita. Katanya Mas yang
mengantarnya semalam ya? Kok Mami ndak
dikasih tahu?
Iya, Mam. Maaf. Tadi malam saya buru-

buru. Lagi pula sudah terlalu malam. Mami


pasti sudah tidur.”
Iya sih, Mami kecapekan sehabis pengajian

di rumah tetangga. Tapi, lain kali mampirlah


ke rumah, Mas. Sudah lama Mami ndak lihat
kamu. Nanti Mami masakin deh makanan
kesukaanmu. Sampean pengen apa, Mas?
Lasagna? Gudeg?”
“ Ah, Mami. Gampang, Mam. Lain kali saya
pasti mampir. Belakangan ini saya lagi
banyak kerjaan. Ndak sempat ke mana-
mana. Siang jadi malam, malam jadi siang.
Ternyata susah cari duit di Jakarta ya, Mam.”
Mami tahu kok, Mas. Mami juga lihat di TV,

baca koran. Banyak berita seru. Mas pasti


sibuk.”
“Ah enggak, Mam. Biasa saja, Mam. Kerja
rutin tiap hari. Eh, tapi Mam, ngomong-
omong gimana Mami bisa pakai telepon
Diajeng? Katanya dia pergi?” tanya saya
mencoba mengalihkan perhatian Mami.
“Halah, Mas. Kayak kamu ndak tahu
Diajengmu saja. Pelupanya kan dari dulu
ndak ilang-ilang. Dia bawa telepon yang
satunya. Yang ini ada di tempat tidurnya.
Waktu Mami beresin kamarnya, Mami lihat
telepon ini di bawah bantal. Gara-gara dia
cerita diantar Mas pulang, eh iseng-iseng
Mami cari nomor teleponmu. Pasti dia
menyimpan. Eh, bener. Mami kehilangan
nomormu. Sudah ganti ya, Mas?”
Saya merasa berdebar ketika mami
menyebut “Diajengmu”. Tapi, buru-buru
saya menepis debaran itu.
Iya, Mam. Telepon saya yang dulu hilang.

Saya terus ganti nomor sekalian.”


“Oh, pantes. Setiap kali Mami telepon
bunyinya tulalit. Ya sudah, Mas. Mami
sekarang sudah tahu nomor teleponmu. Lain
kali kalau Mami butuh kamu, Mami pasti
telepon. Tadi Mami cuma mau nanya kamu
soal Diajeng … “
Mami tak menyelesaikan kalimatnya. Saya
penasaran. “Diajeng kenapa, Mam?”
Saya mendengar Mami menghela napas.
Hening sesaat.
Ah, sudahlah Mas. Gadis zaman sekarang

mungkin memang beda. Lain dari zaman


Mami muda dulu.”
“ Maksud Mami?”
Yah … begitulah, Mas. Wis ndak usah

dipikir, Mas. Mungkin Mami yang mesti tahu


diri.”
Saya merasa Mami menyembunyikan
sesuatu, tapi enggan menceritakannya.
Saya ndak mau bertanya lebih lanjut. Bukan
urusan saya.
Tapi, tunggu. Eh, kok sepertinya Mami
terisak? Menahan tangis? Saya rapatkan
telepon ke telinga.
“ Mam … Mami masih di situ?”
Hening lagi.
“ Mam, Mami ndak apa-apa kan?”
“Mas tahu siapa saja teman-teman Diajeng?”
tanya Mami tiba-tiba.
“ Eeeeng … Ndak tahu, Mam.”
Ada apa Mami bertanya tentang teman-
teman Diajeng, saya membatin?
“Sudah lama saya ndak ketemu dia dan baru
tadi malam kami jalan bareng lagi, Mam.
Teman-temannya yang dulu saya kenal pasti
sudah berganti dan saya tak mengenalnya
lagi. Memangnya kenapa, Mam?”
Belakangan ini Mami merasa ada yang

aneh. Diajeng jarang pulang ke rumah Mami.


Dulu, meski dia tinggal di apartemen, setiap
Sabtu pasti ke sini. Sekarang ndak pernah
lagi. Baru setelah Mami telepon, Diajeng
mau pulang. Itu pun setelah Mami pakai
nangis-nangis. Maklumlah Mas, Mami kan
sekarang sendirian. Mami suka kesepian
kalau Diajeng jarang ke sini.”
“Lah itu kan biasa, Mam. Diajeng kan
memang suka begitu. Dari dulu senengnya
menclok sana, menclok sini. Tergantung
hatinya. Hari ini di Jakarta, besok tahu-tahu
sudah di Bali. Besoknya lagi sudah di
Singapura. Terus suka lupa kalau masih ada
Mami. Tapi, Mami ndak usah khawatir deh.
Paling cuma sebentar dia pergi.”
“Yang ini lain, Mas. Mami merasa ndak enak.

Rasanya dia kumat lagi, Mas. Seperti dulu.”


Wadoh, ndak beres ini. Tapi apa?.
“Ya sudah gini aja Mam, nanti saya coba
telepon dia. Siapa tahu dia ndak kenapa-
kenapa. Mungkin lagi ada janji dengan
teman-temannya. Mami tenang saja, ndak
usah mikir apa-apa. Gimana, Mam?”
Iyalah Mas, moga-moga ndak ada apa-apa.

Tapi, bener ya Mas, tolongin Mami. Cuma


Mas yang bisa nolong.”
“ Iya Mam, iya. Sampai nanti ya, Mam.”
“ Suwun, Mas.”
Klik. Telepon ditutup.
Ugh, lega rasanya. Tapi, kepala saya
mendadak pening. Terlalu banyak beban
yang mesti saya tanggung. Terlalu banyak
yang mesti saya simpan di depan Mami.
Dan, susah benar rasanya berterus terang.
Ah, sampai kapan saya mesti menyepak
rahasia itu jauh-jauh ke sudut ingatan?
Setengah cangkir kopi sisa tadi langsung
saya tenggak habis untuk mengusir
keruwetan pikiran. Saya nyalakan TV. Berita
pagi. Di layar muncul seorang Jenderal Polisi
yang tengah diwawancara. Ah, pasti tentang
tragedi cicak lawan buaya itu.
Saya ndak peduli. Saya punya tragedi
sendiri. Sebuah tragedi yang kemudian
mengubah pandangan saya tentang
perempuan, laki-laki, dan perkawinan, dulu,
sepuluh lalu .…
HUJAN

Matahari kian tinggi. Sinarnya menyilaukan


mata. Sudah lebih dari sepekan Jakarta tak
disiram hujan. Kemarau mungkin memenuhi
janjinya mulai bulan ini.
Saya berkemas dalam gegas. Setumpuk
pekerjaan pasti sudah menunggu di pabrik.
Sebelum berangkat, saya menaruh satu set
mobil-mobilan Hot Wheel dan satu boneka
Barbie yang saya beli kemarin di atas meja
belajar anak-anak.
Tadi malam saya lupa memberi tahu
mereka. Lagi pula percuma membangunkan
mereka hanya untuk sesuatu yang bisa
ditunda itu. Mereka pasti kaget jika sepulang
sekolah nanti melihat kado itu di meja
belajar masing-masing karena tak ada yang
ulang tahun hari ini.
Saya tersenyum memikirkan kejutan yang
bakal mereka temukan itu. Sudah sejak
beberapa hari yang lalu saya memang
berniat membelikan mereka sesuatu.
Kenaikan kelas memang masih sebulan lagi,
tapi tak ada salahnya juga memberi hadiah
sekarang. Mereka toh pasti naik kelas.
Seandainya nanti setelah menerima rapor
mereka minta kado lagi, yah tinggal nyari
lagi. Apa susahnya?
Pikiran saya mulai tenang begitu
mengenangkan anak-anak dan melupakan
telepon Mami tadi. Tak terasa mereka sudah
beranjak besar. Dan, semakin pintar. Hampir
setiap hari saya mendapatkan kejutan baru
dari kepintaran mereka.
Seminggu yang lalu, si bungsu akhirnya bisa
naik sepeda sendiri setelah berbulan-bulan
jatuh bangun naik sepeda roda empatnya
itu. Kakinya sampai lecet-lecet. Dia
berteriak-teriak kegirangan sambil
memanggil saya karena mau memamerkan
kemampuannya mengayuh sepeda tanpa
bantuan dua roda kecil lagi.
Si sulung juga makin pandai memetik gitar.
Tiga hari yang lalu ia menunjukkan
kemahirannya memainkan sebuah lagu
klasik Beethoven, Fur Elise. Saya tahu jari-
jarinya kapalan hanya karena dia berusaha
keras memegang senar. Tapi, dia tersenyum
girang begitu saya memberinya tepuk
tangan dan tawa lebar.
Saya terpana menyaksikan semua itu. Saya
seperti melihat ada keajaiban turun dari
langit. Ibunya, seperti biasa, cuma
tersenyum melihat ketakjuban saya.
“Makanya, punya anak sering-sering
diperhatiin, dong,” komentarnya singkat.
Saya nyengir. Merasa bersalah.
Rasa bersalah itulah yang membuat saya
harus menebusnya dalam bentuk hadiah-
hadiah kecil. Saya berharap hadiah itu bisa
menjadi semacam pengganti perhatian saya
yang sangat, bahkan teramat sangat,
kurang. Padahal saya tahu, anak-anak pasti
semakin membutuhkan perhatian lebih
besar dari saya, ayahnya.
Diajeng dulu juga sering bermaksud
memberi saya hadiah setiap kali merasa
bersalah atau melakukan kesalahan yang
membuat saya marah. Korek api Zippo,
dompet Lacoste, ikat pinggang Bvlgari,
sepatu Adidas, T-shirt Versace, dan entah
apa lagi. Tak semuanya saya ingat.
Saya tak pernah mau menerimanya. Setiap
kali ia memberikan, setiap kali itu pulalah
saya kembalikan. Barang-barang itu
akhirnya ditumpuk begitu saja di almari kecil
di pojok ruang tengah apartemennya.
Semuanya masih dibungkus rapi.
Siapa tahu kamu berubah pikiran, Mas,”

katanya.
Saya diam saja. Bukan itu yang saya
butuhkan.
Satu-satunya hadiah yang pernah saya
terima darinya justru bukan sebuah benda.
Dia memberikannya pada sebuah malam
yang lembab, ketika Jakarta diguyur hujan
lebat, enam bulan setelah kami pertama kali
berkenalan, kira-kira sepuluh tahun yang
lalu.
Waktu itu, kami baru saja pulang dari
nonton sebuah konser musik kamar di
Gedung Kesenian. Tepatnya saya bekerja,
dia menemani. Semula saya agak segan
membawanya, tapi dia ngotot ikut.
“Aku pengen melihat Mas bekerja,” begitu
alasannya. Padahal saya tahu dia bakal
tersiksa mendengarkan sesuatu yang tak dia
sukai selama dua jam pertunjukan itu.
Anehnya, di dalam mobil hitam butut yang
membawa kami pulang, dia malah senyum-
senyum sendiri.
“Kok mesam-mesem. Ada apa sih, Jeng?’
tanya saya penasaran.
Aku seneng Mas, bisa ikut kamu malam ini,”

katanya memecah kebisuan.


“ Lalu?”
Aku jadi tahu bagaimana pekerjaanmu,

Mas.”
“ Ada yang aneh?”
“ Nggak. Aku kagum aja.”
“ Kagum? Kok bisa? Rasanya biasa saja.”
Buat kamu mungkin biasa Mas, tapi ini

sesuatu yang baru buatku.”


Kalau begitu, kamu mesti sering-sering ikut

saya kerja.”
“Pastinya, Mas. Kalau lihat kamu kerja, aku
jadi inget Papi. Dia mirip kamu. Pekerja
keras. Sayang kamu ndak sempat kenal ya,
Mas.”
“ Kamu dekat sama Papi ya?’
“ Banget. Dalam hidupku cuma ada Papi.”
“ Lah, Mami kan masih ada.”
“ Iya sih, tapi kan aku nggak begitu deket.”
Pantes kamu suka saya, karena kayak Papi

ya?”
“Huuu .. ge-er,” katanya sambil meninju
lengan kiri saya. Eh, kita cari makan dulu
yuk, Mas. Aku laper.”
“ Boleh. Di mana?”
Terserah Mas, saja. Makanannya sih ndak

penting, Mas. Yang penting aku bisa makan


sama kamu.”
Haiyah. Ngopo sih, kowe, Jeng? Lah wong

cuma mau makan saja kok pake ngrayu.


Wagu, ah.”
Dia tergelak.
Kami akhirnya makan di dekat Taman
Menteng, persisnya di depan Keris Gallery.
Saya tahu, di sana ada banyak tempat
makan dan buka sampai malam. Ada nasi
goreng gila, sate Padang, dim sum, bakso,
juga aneka minuman dingin. Jumat malam
begini pasti lagi ramai-ramainya.
Saya memesan sate Padang. Diajeng minta
sepiring dim sum. Kami makan dengan
lahap malam itu, diselingi dengan obrolan
ringan. Satu dua pengamen berhenti
menyela obrolan, minta izin menyanyikan
lagu-lagu andalan mereka.
Chrisye dong, Mas. Selamat Jalan Kekasih.

Bisa nggak?” teriak Diajeng ke salah satu


pengamen.
Haiyah, lagumu itu lo, Jeng. Jadul ...,” saya

mencibir.
Ah, biarin,” tukasnya sambil mencubit

pinggang saya.
Sayang, kami tak bisa lama-lama menikmati
makan malam di Menteng. Pengamen itu
juga tak sempat menyelesaikan lagu yang
dia minta. Gerimis mendadak jatuh satu-
satu. Kami buru-buru membayar makanan
dan pergi.
Gerimis lama-lama kian deras, menjadi
hujan. Ia mengajak pulang langsung ke
apartemennya. Di dalam mobil, ia
bersenandung pelan, meneruskan lagu yang
tak sempat diselesaikan pengamen tadi.
Tangan kanannya menggengam lembut
tangan kiri saya.
Resah rintik hujan yang tak henti menemani
Sunyinya malam ini sejak dirimu jauh dari
pelukan …
Saya tersenyum. Suaranya enak juga. Dia
rebahkan kepalanya ke bahu kiri saya.
Wangi rambutnya membuat saya nyaman.
Dia terus bernyanyi bahkan ketika kami
masuk ke dalam apartemennya dengan
lengan memeluk pinggang saya.
Jangan kau risaukan air mata yang jatuh
membasahiku
Harusnya kau mengerti, sungguh besar
artimu bagi diriku
Selamat jalan kekasih …
Pelukan di pinggang. Desah di telinga.
Aroma tubuhnya. Mendadak saya terhanyut
dalam pesonanya, seperti tersihir. Dan,
semuanya terjadi begitu saja. Tanpa
rencana.
Malam itu, di tengah hujan yang menggila,
untuk pertama kalinya saya tidur dengan
perempuan yang bukan istri saya.
GELOMBANG

Perempuan berhubungan seks karena cinta


dan komitmen ― atau imbalan. Laki-laki
melakukannya bila ada kesempatan.
Kami sudah tak sempat memikirkan lagi
perbedaan antara perempuan dan laki-laki
itu ketika sudah sama-sama berguling di
atas ranjang empuk berlapis sprei lembut.
Napasnya memburu. Debar jantungnya
bertalu-talu.
Saya bisa merasakan kehangatan tubuhnya
yang menindih, tangannya yang menyusur
ke bawah, dan gesekan halus pinggulnya.
Dalam sekejap, kami menyatu dalam satu
gerak, saling mengisi relung-relung kosong.
Kami menari bersama. Melangkah
berbarengan. Inci demi inci, detail demi
detail.
Saya seperti sampan kecil di tengah
samudera. Dia gelombang yang
menghantam dari kiri dan kanan. Dari atas
dan bawah. Kadang naik, kadang menukik.
Saya terombang-ambing dalam sensasi yang
mendebarkan. Lebur dalam deburnya.
Dia kuda liar yang lepas di hamparan
savana. Surainya melambai membelai angin.
Ekornya mengelus rumput. Kami berpacu
melawan kabut. Basah dalam peluh.
Sampai akhirnya badai itu datang, meledak
indah begitu kencang. Kami terlontar
menembus awan. Lalu terhempas ke bawah.
Pasrah.
Selanjutnya hening. Ning.
Malam itu, saya baru tahu betapa
dahsyatnya magma seorang perempuan
yang bertahun-tahun terbenam dalam
kesunyian yang panjang.
Paginya, mata saya melek ketika dia masih
meringkuk dalam selimut. Dia terlihat lelah.
Saya kelaparan. Tapi, mau makan apa di
tempat yang asing begini? Mau
membangunkan dia kok ndak tega. Diam
saja kok perut keroncongan.
Saya berdiri, berjingkat, hendak mencari
dapur. Ah, itu dia di sebelah kamar mandi.
Dapurnya bergaya seperti bar. Meski tak
terlalu besar, kira-kira 3×3 meter, tapi
tertata rapi dan bersih.
Di bagian belakangnya ada sebuah lemari
kayu menempel di dinding warna kuning
gading. Di sebelahnya ada toaster, lemari es
tiga pintu, dan kompor gas Ariston.
Di depan kompor inilah, dibatasi tembok
yang berfungsi sebagai meja, ada tiga
bangku bulat berkaki besi agak tinggi. Orang
yang mau makan tak perlu ke mana-mana,
cukup duduk di sini.
Lemari kayu itu berisi aneka bumbu, pisau,
sendok, dan garpu. Saya buka lemari es.
Aha, ada beberapa enam butir telor, keju,
beberapa batang sosis, beberapa lembar
daging sapi asap, dan beberapa kaleng
minuman. Saya lihat di atas meja makan
ada satu plastik roti tawar. Lumayan buat
sarapan.
Tapi sarapan apa? Ah, ndak usah yang
rumit-rumit. Telor dan daging asap bisa jadi
omelet. Roti-roti itu bisa dipanggang. Sosis
tinggal digoreng. Kurang apa lagi?
Dalam sekejap, saya menyelesaikan sebuah
maha karya ala chef hotel berbintang pagi
itu. Diajeng bangun pas saya menuangkan
orange juice ke dalam gelas. Tubuhnya
dibungkus kaos singlet dan hot pant putih.
Serasi sekali. Begitu melihat saya di dapur,
Diajeng mengucek-ucek mata seolah tak
percaya.
Nggak salah nih? Mas masak? Wah …

hebat,” katanya sambil bertepuk tangan.


“ Ah, biasa aja, Jeng,” jawab saya.
Dia langsung memeluk saya dari belakang
dan menggigit kuping. “Adow!” saya
mengaduh.
Belajar masak dari mana, Mas?” ia

keheranan.
“ Kehidupan,” jawab saya singkat.
Halah. Dia ngakak.
Rupanya dia juga kelaparan setelah
semalaman bertarung dalam kenikmatan. Ia
langsung memenuhi piringnya dengan
omelet daging asap, sosis, dan setangkap
roti panggang isi keju buatan saya.
Dilahapnya semua makanan. Sesuap demi
sesuap. Sesendok demi sesendok. Lama-
lama habis juga.Wah, rakus bener. Saya
cuma kebagian sedikit. Apes! Tapi bukan itu
yang penting. Ia melahap sarapannya sambil
menggoda. Matanya menatap saya terus,
sesekali mengerling, dan kakinya tak henti
menyusuri paha saya. Senyumnya nakal.
Saya mendelik.
“Kalau dari dulu aku tahu kamu pinter
masak, mestinya aku ndak perlu susah-
susah nyari kafe tiap pagi. Mending kamu
tinggal di sini aja sekalian, Mas.”
Huuu … maumu. Enak di kamu, ndak enak

di aku, Jeng.”
“Kamu mengingatkanku pada almarhum Papi
deh, Mas. Dia juga senang memasak. Papi
juga yang ngajarin Mami jadi pinter masak
seperti sekarang,” katanya ringan.
I see … Kamu sendiri pasti ndak suka masak

ya, Jeng?”
“ Ndak perlu kujawab kan, Mas,” jawabnya
sambil nyengir.
“ Sudah saya duga.”
Lagi-lagi dia tergelak. “Eh, Mas tahu nggak?”
tanyanya tiba-tiba.
“ Apa?”
“You’re great last night. I should thank you
for doing that.”
Saya tersipu. “Terima kasih, Jeng. Kamu juga
… luar biasa. Belajar dari mana?”
“ Kehidupan.”
Gundulmu, Jeng …” saya misuh sambil

melempar serbet ke mukanya.


Dia ngakak sampai keluar air mata.
Mendadak handphone saya berbunyi. “Home
calling.”
Modyar, aku!
BATU

Masa depan merupakan tanah liat. Bisa


dibentuk dari hari ke hari. Masa lalu adalah
batu padas. Tak bisa diapa-apakan – Sidney
Sheldon
Halo, Yah. Ayah di mana?” terdengar suara

anak saya di ujung telepon.”


Deg, hati saya berdebar.
“ Eng, eh … Ayah di kantor. Ada apa, Nak?”
Pulangnya masih lama nggak? Nanti sore

kita jadi berenang, kan?”


Jadi dong, tunggu ya. Sebentar lagi ayah

pulang.”
“ Ya udah. Cepetan ya. Daag … Ayah.”
“ Daag…”
Saya menutup telepon. Ugh, lega rasanya.
Saya kira ibunya yang menelepon. Kalau dia
yang menelepon, pasti lebih susah
menjawabnya.
“ Siapa, Mas? Anakmu?” tanya Diajeng
ringan.
Iya. Nggak apa-apa kok, Jeng. Dia cuma

mau menagih janjiku mengajaknya


berenang nanti sore.”
“ Wah, kamu bapak yang baik ya, Mas.”
“ Tapi bukan suami yang baik.”
Ups. Maaf. Biasanya kalian berenang di

mana sih?”
“ Di kolam renang dekat rumah.”
Ah, aku jadi pengen berenang. Eh, mandi

yuk, Mas!” ajaknya.


Kamu duluan deh. Saya masih mau beresin

piring, sendok, garpu.”


“ Nggak ah. Sama-sama dong, Mas.”
Halah. Manja!
Saya tak kuasa menolak. Dia sudah menarik
tangan saya, mengajak ke kamar mandi.
Pagi itu, kami mengulang lagi asyiknya
berselancar meniti buih kenikmatan seperti
tadi malam – sesuatu yang saya tahu pasti
bukan yang pertama dan terakhir untuk
kami.
Dalam perjalanan ke pabrik, saya kembali
terkenang setiap detail kejadian tujuh tahun
yang lalu itu. Saya ingat betul bagaimana
dia begitu bahagia pagi itu. Saya ndak tahu
apakah dia sering mendapatkan perasaan
yang sama sebelum bertemu saya. Ah, saya
ndak peduli.
Saya lebih peduli tentang keadaan dan di
mana dia sekarang. Setelah maminya
menelepon sambil terisak tadi pagi karena
Diajeng tiba-tiba pergi entah ke mana, saya
terpaksa memutar otak ke mana mesti
mulai mencarinya. Saya sudah tak
mengenal teman-temannya yang sekarang.
Setelah berpisah tiga tahun silam, kontak
kami terputus. Begitu juga hubungan
dengan satu dua teman dekatnya.
Iseng-iseng saya nyalakan radio, siapa tahu
ada pengumuman orang hilang. Tapi bukan
pengumuman yang terdengar, melainkan
suara Bams Samsons yang tengah
menyanyikan Kisah yang tak Sempurna.
Aku memang tak berhati besar untuk
memahami artimu di sana
Aku memang tak berlapang dada untuk
menyadari kau bukan milikku lagi
Dengar … dengarkan aku … aku akan
bertahan sampai kapan pun
Sampai kapan pun …
Maafkan aku, yang tak sempurna ‘tuk dirimu
Usailah sudah kisah yang tak sempurna
untuk kita kenang …
Asem tenan ki. Lagu kok nyindir. Saya ganti
saluran. Tapi, tak ada apa-apa. Ya sudah.
Que sera sera …
Di pabrik, resepsionis menyambut saya di
lobi dengan selembar kertas di tangan.
Tadi ada telepon, Mas. Cewek. Dia titip

pesen ini,” katanya sambil menyerahkan


kertas itu.
“ Oh. Makasih, ya.”
Saya ambil kertas itu lalu saya baca
pesannya. Pendek saja. Kutunggu nanti sore
di tempat senja memerah dan kabut turun.
Pesan itu tak bernama. Tapi, saya tahu siapa
yang meninggalkannya.
Tempat di mana senja memerah dan kabut
turun itu hanya ada satu dalam kamus saya
dan dia: Melrimba Garden di Puncak. Kami
memang sering menghabiskan waktu di
sana, sekadar makan siang atau leyeh-leyeh
sampai sore. Dalam sebulan bisa tiga atau
empat kali kami ke sana.
Melrimba Garden berada di Jalan Raya
Puncak, kilometer 87. Dari arah Jakarta,
lokasinya ada di sisi kiri jalan, persis di
bawah restoran Rindu Alam yang mashyur
itu. Taman yang luasnya sekitar tiga hektare
dihiasi oleh aneka kembang dan pucuk-
pucuk pinus di atas hamparan rumput. Di
sebelah kirinya ada sebuah Factory Outlet
dan orang berjualan kembang. Di sebelah
kanannya ada sebuah play ground lengkap
dengan mainan anak-anak, seperti ayunan
dan jungkat-jungkit.
Di dalam taman itu juga ada sebuah
restoran, Melrimba Kitchen. Bangunannya
berbentuk persegi panjang dua tingkat
warna putih dengan atap cokelat. Struktur
bangunan dengan desain minimalis dan
terbuka itu ditopang oleh dinding beton dan
tiang kayu jati.
Ia selalu memilih meja paling ujung di lantai
dua yang menghadap ke taman.
Soalnya aku suka pemandangan di bawah

sana itu, Mas,” jawabnya sambil menunjuk


kebun teh di kejauhan ketika saya tanya
mengapa ia selalu memilih tempat di pojok.
Bila kami datang siang menjelang sore, ia
selalu memesan menu yang sama.
Poffertjass, main coursekakap steam dan
tom yam goong, dan penutupnya blueberry
ice cream pancake.
Saya lebih suka fettuccine mushroom cream
dan bandrek hangat. Ia sering
mentertawakan kombinasi pesanan saya
yang dianggapnya aneh itu.
“Fettucine kok campur bandrek sih, Mas?
Nggak nyambung tau …” katanya sambil
terkekeh.
Saya cuma nyengir, menyadari kendesitan
saya. “Biarin ah, yang penting bisa masuk
perut. Dingin-dingin begini paling enak
minum bandrek, Jeng.”
Nggak mau nyoba ginger mint tea-nya,

Mas? Enak lo, Mas.”


“ Nanti saja.”
Ya sudah, terserah Mas mau pesen apa

deh,” katanya sambil ngelendot di lengan


saya.
Pelayanan yang sedang mencatat pesanan
kami terpaksa membuang muka. Saya
merasa ndak enak. Tapi, Diajeng cuek saja.
Meski kami berbeda dalam selera makan,
kami sama-sama menyukai pemandangan
alam terbuka seperti di Puncak. Itu
sebabnya kami menjadi semacam
pelanggan tetap Merlimba. Kami bisa
menghabiskan waktu berjam-jam di sana
hanya untuk menyaksikan kabut turun yang
perlahan turun dan menyentuh pucuk-pucuk
teh di perkebunan yang terbentang di
bawah.
Ketika terakhir kami makan di sana,
matahari sedang menuju peraduan. Senja
sebentar lagi datang. Langit merah saga. Ia
terpana. “Wah, gila … Bagus banget ya,
Mas,” komentarnya.
Ambil kamera Jeng, ambil kamera,” saya

buru-buru mengingatkannya untuk


merekam momen itu.
Ia tersentak dan segera mengambil kamera
Leica di tasnya. Dalam sekejap ia sudah
menjepret belasan adegan kala sang surya
tenggelam. Saya melihat dia seperti anak
kecil yang baru mendapatkan mainan baru.
Mulutnya tak henti-hentinya berdecak
kagum.
Sini Mas, sini. Aku mau foto kamu,” dia

menarik tangan saya.


Saya menurut dan bergaya. “Ya, ya … di situ
aja,” katanya. Wis jan, wagu tenan.
Ia terkekeh lalu memeluk saya dari
belakang. Kepalanya bersandar di bahu
saya. Angin berdesir-desir dingin. Kabut
perlahan turun di kejauhan. Saya mencium
wangi cemara.
Mendadak kami terdiam dalam keheningan
yang aneh. Mistis. Ia memejamkan matanya.
Napasnya mengembus kuping saya. Saya
kegelian dan menggelinjang pelan. Ia malah
semakin mengetatkan pelukannya.
Sssttt …. Diem deh, Mas. Diem. Rasain

deh,” katanya.
Saya menurut dan mencoba ikut merasakan
suasana yang dia rasakan. Hening. Tak ada
apa-apa. Hanya terdengar suara angin yang
berdesir pelan. Dingin.
Di atas sana, langit yang memerah dan
kabut yang turun membuat sore itu
menjelma seperti puisi-puisi T.S. Elliot,
sederhana, lembut, dan syahdu.
Di tempat senja memerah dan kabut turun
itulah, Diajeng meminta saya ke sana sore
nanti.
Sejenak saya ragu. Apakah dia sedang
berusaha membawa kembali kenangan
masa lalu? Rebound? Rasanya mustahil.
Masa lalu itu batu padas. Tak bisa diapa-
apakan.
ANGIN

Izinkan mentari pagi menghangatkan hatimu


di masa muda
Dan biarkan angin siang yang lembut
mendinginkan gairahmu ― Arthur Rimbaud
Saya sedang dalam bimbang, menimbang-
nimbang, antara berangkat ke Melrimba
Garden untuk memenuhi permintaan
Diajeng atau melupakannya sama sekali,
ketika mendadak saya teringat handphone
saya.
Saya cari kantong tak ada. Di tas juga tak
ada. Alamak, pasti tertinggal di rumah. Saya
tadi memang meninggalkannya di dekat
televisi karena baterainya harus diisi ulang.
Dan telepon itu dalam keadaan off ketika
saya tinggal. Pantas Diajeng menelepon ke
pabrik dan meninggalkan pesan singkat itu
di resepsionis.
Tanpa handphone itu bisa apa saya. Padahal
nomor barunya ada di phonebook. Dan
sialnya saya belum hapal. Tanpa
handphone, saya seperti orang buta
kehilangan tongkat.
Handphone dan Internet adalah dua anak
ajaib dari seorang ibu bernama teknologi.
Merekalah yang menyatukan kami. Lewat
SMS dan email kami merenda obrolan,
bertukar amarah, juga kerinduan.
Dulu, hampir setiap menit dia mengirim
SMS. Sekadar menyapa atau menanyakan
apakah saya sudah makan. Dan, hampir
setiap hari dia mengirim email. Salah satu
email yang masih saya simpan dalam inbox
membuat saya selalu terkenang masa-masa
pertama kami melewatkan awal yang manis
itu. Email itu merupakan jawaban email saya
sebelumnya yang isinya ucapan terima
kasih kepadanya setelah dia mentraktir saya
di sebuah kafe.
From: diajeng@hotmail.com
To: mas@hotmail.com
Subject: oh la la?
Date: Sun, 05 Nov 2000 12:06:05 GMT
Hi adorably beautiful,
Pertanyaan pertama, kenapa email malam
minggu itu berjudul Oh La La Cafe? Lha
wong kita nggak pernah ke sana sama sekali
toh? Ayo, kamu ke sana sama siapa? Sama
perempuan lain ya? Oh lala! Dasar playboy!
(gejala posesif, maklum namanya juga baru
jadian … hihihi …)
Kemarin itu kita bukan di Oh La La, Masku
sayang … tapi di Cemara Cafe. Itu tuh yang
ada galerinya. Ih, Mas ngelamun ya? Kali ini
kumaafkan deh, tapi lain kali nggak. Awas
ya, ntar kucubit pinggangmu.
Eh, aku membalas ini di kantor lho. Yup, hari
ini hari Minggu dan aku di kantor. Bekerja,
tentu saja. Berusaha bekerja, tepatnya. Aku
malas betul menyusun budget pameran
minggu depan. Kalau deadline-nya bukan
Senin besok, mending aku melingker di
kasur sama kamu, Mas. Hehehe …
Oh ya Mas, aku baru saja pulang dari
menonton pertunjukkan David Glass
Ensemble. Terus terang, rada terpaksa juga
aku menontonnya. Nggak enak sama teman-
teman yang mengajak, itu alasan tepatnya.
Dan kangen juga sama anak-anak yang ikut
boyongan ke Jakarta itu untuk pentas.
Rasanya sudah lama sekali aku tak ketemu
mereka.
Betul juga, celetukan muncul dari sana-sini,
“Lho kok baru nongol nih? Ke mana aja?”
tanya anak-anak. Aku sih mesam-mesem
aja, Mas. Masa mesti jujur sih kalau aku
memang lebih banyak melewatkan waktu
bersamamu.
Sebagai ratu ngeles, langsung membanjirlah
alasan dari mulutku (yang tengah
merindukan mulutmu… hehehe. tapi detik
ini sedang kusibukkan dengan Marlboro
Menthol. Bukan analogi yang tepat dengan
yang aku rindukan, memang. tapi,
lumayanlah, hehehe).
Ya udah, aku jawab aja, “Banyak kerjaan nih
di kantor…” Nggak sepenuhnya salah,
bukan? Kan mereka nggak perlu tahu kalau
aku baru jadian dan lagi seru-serunya
melewatkan waktu bersama dengan Masku,
sang tambatan hati. Ahai …
Lantas, karena aku malas betul untuk
langsung kembali ke kantor, aku ngeloyor
dulu ke Pasaraya. Dasar perempuan, aku
mampir ke salon untuk menata rambut yang
mulai jatuh di bahu menjadi ala Bella
Saphira dan belanja-belanja baju baru.
Konsumtif betul, bukan? Hehehe.
Menarik juga ternyata berada di kantor
sendirian. Aku bisa punya ruang untuk
menangis sedikit… bukan, aku tidak
menangis karena sedih, nggak tau apa…
mixed emotion jadi istilah yang tepat, yang
sepertinya akan kerap muncul dalam
benakku. Karena toh, seperti aku tulis dalam
email malam mingguan, ternyata rasa sakit
bisa juga dinikmati, sangat bisa.
Kilatan-kilatan kepingan gambar seperti
berseliweran di depan mataku sekarang.
Semburan air shower yang memercik ke
muka kita berdua. Suara kamu di daun
telingaku. Tekanan jari jemarimu di atas
tanganku yang kamu genggam di atas meja
Croissant de France. Suara tawaku sendiri
yang terekam di dalam memori HP
Motorolamu selama bermenit-menit.
Perbincangan dan perdebatan kita soal
chemistry dan force of nature.
Aku juga masih terngiang betul pada
suaramu saat berbincang ringan soal apa
yang diperbuat Nicholas Cage dan
pasangannya sepanjang film Wild at Heart
setelah kita melakukannya untuk pertama
kali di apartemenku itu. Gemuruh degup
jantung yang berdebar-debar saat kita
sama-sama berbaring di atas tempat tidur
masing-masing, ketika kilometer demi
kilometer memisahkan kita. Suara tuts
keyboard yang tak sabar menautkan kata
dalam body text email. Bau asap rokok yang
merebak di udara saat ini. Suara HP-ku yang
mengingatkan pada dunia nyata ketika kita
tengah berdua. Kegamangan yang meruap
saat kita berdua sepakat bahwa ‘what we
are doing is basically an affair’.
Aku pun belum lupa sosok beruang kecil
yang memeluk angka 9 pemberianmu itu.
Bantal-bantal Hazara Cafe yang menyangga
tubuh kita. SMS demi SMS yang muncul di
layar sempit Siemens M35. Kepahitan dan
rasa sakit yang kini terasa menyesakkan…
Do you know what kind of person I want to
become when I was a kid? I just want to be a
person who is able to be honest to oneself. I
don’t want to lie to myself, that’s all …
Aku tidak tahu bagaimana ini semua akan …
berakhir. Cepat atau lambat, hal tersebut
akan datang, bukan? Namun di atas
segalanya, aku tak sedikit pun menyesalkan
apa yang sudah kita lakukan bersama, Mas.
Aku mensyukurinya dan akan
menyimpannya baik-baik dalam lembaran
hidupku, lembaran yang mungkin cuma kita
yang perlu tahu bahwa ini pernah sungguh-
sungguh ada.
Waduh, hari Minggu kok malah jadi
sentimentil ya … Hehehe. Sorry ah!
Udah. Mau kerja lagi. Mesti back to work nih
… Bye, Mas!
Diajeng
“manchester united big fan”
Siang ini, saya kembali teringat email itu.
Lengkap sampai ke titik dan komanya. Di
luar pabrik, angin membawa hawa panas
Jakarta yang membakar apa saja. Saya
tercenung panjang. Sudah sampaikah
Diajeng di Melrimba?
LONELY

Hanya angin yang tahu betapa sepinya


padang-padang ilalang. Hanya angin yang
bisa merasakan perasaan kesepian
sebatang pohon yang nyaris tumbang di
tengah hutan …
Saya memutuskan lebih baik segera bekerja
daripada dilanda kebimbangan. Matahari
sudah cukup tinggi. Banyak pekerjaan
menanti. Saya memang harus ke Melrimba
dan menemui Diajeng. Tapi, itu bisa nanti.
Toh perjalanan ke sana ndak sampai dua
jam. Saya bisa sampai menjelang sore.
Sekarang pun dia pasti belum sampai di
sana.
Saya naik ke lantai dua, menuju ruangan
saya di pojokan. Komputer sudah menyala,
langsung mengakses Internet dan email.
Saya tergoda membuka kembali surat-surat
lama yang tersimpan di arsip. Surat-surat
dari Diajeng.
Dulu kami memang sering berdiskusi lewat
email tentang apa saja, termasuk hubungan
kami. Saya sering mengungkapkan
kegelisahan saya tentang hubungan ini.
Begitu juga dia.
Tapi, kemudian, biasanya kami saling
menguatkan. Begitu seterusnya. Dengan
cara itulah kami bertahan. Sampai kemudian
saya pergi begitu saja dari apartemennya
pagi itu. Dan tak pernah kembali lagi.
Demi masa lalu itulah, saya buka satu per
satu surat-surat di inbox. Salah satunya
berisi cerita ketika dia merasa terluka. Sakit.
Tapi, dia tetap menikmatinya.
From: diajeng@hotmail.com
To: mas@hotmail.com
Subject: I don’t want what I haven’t got ― a
title of Sinead o’ Connor’s second album
Date: Thu, 23 Nov 2000 17:56:08 -0000
Dear my beloved,
Here I am, sitting in my cornered cubicle.
Lots of works are waiting to be
accomplished. I still have a design to go, yet
it’s an easy one.
So, again my love, here I am, smoking my
pain in and out. Gosh, it sure is lonely here
without you. You are right, it feels nice to
have someone that you care to be around.
And you are right, it feels like shit if you are
the one being left behind. But, like I said to
you before you leave me, it’s not the first
one and it surely won’t be the last.
So, I said to myself just now, why worry
then? I’ll get used to it somehow, I suppose.
But, why this loneliness hurts so much now?
I don’t know, my love.
You tell me.
Well, I guess, I can’t really separate what I
felt right now from a piece of our phone
conversation on your way back home. About
runaway bride, remember? I believe that
you remember.
I guess that sort of things just won’t slip
away that easy from our minds, right? Well, I
don’t really know you, but I know me. It has
not gone away from my mind, up until now.
My love, I have a confession to make. There
was one thing that one of my friend and I
discussed very seriously on our last meeting,
that I haven’t let you know about that.
Remember what I said about at least I now
know what I want and what I will be looking
for in my next step of life? Remember that I
am actually an ordinary girl who still needs
to feel safe and secure and I feel really good
knowing that?
She asked me, what will I do after that, after
I have found out what I am looking for? What
will I do when the need keeps growing and
growing. It hurts real bad when you know
what you want but you just can’t have it, she
said.
Yup, she is right. It hurts. It hurts me now.
My love, do you have any idea how much I
want you?
Diajeng
“want to be Sinead O’ Connor”
Saya tutup email itu dan menghembuskan
napas panjang. Saya nyalakan sebatang
Marlboro Light satu-satunya yang masih
tersisa di kotak. MP3 player yang saya
pasang tadi mengalunkan bait-bait lagu
lawas The Police, So Lonely.
Well someone told me yesterday
That when you throw your love away
You act as if you don’t care
You look as if you’re going somewhere
But I just can’t convince myself
I couldn’t live with no one else
And I can only play that part
And sit and nurse my broken heart
So lonely
So lonely
So lonely
So lonely …
KENANGAN

Gambar-gambar kenangan itu hidup lagi


Menari di atas pentas hati. Tapi ia lekas
pergi …
Membuka-buka kembali email-email lama
Diajeng sama seperti kita membalikkan
album foto masa lalu. Setiap surat seolah
potret lama yang mengingatkan saya pada
kenangan yang tak mungkin terulang lagi.
Benar kata orang, dulu cuma abadi di masa
lalu. Dan tak bisa diapa-apakan.
Ada kenangan yang menyenangkan. Tak
sedikit yang menyakitkan. Saya pun paham
dan bisa menyesap kegetiran yang sama
dengan yang Diajeng rasakan dan bicarakan
dengan teman perempuannya itu.
It hurts real bad when you know what you
want but you just can’t have it. Saya tahu,
Jeng. Been there. Done that.
Siang ini, tujuh tahun kemudian, di pabrik
yang mulai berdenyut, saya menikmati
setiap lembar kenangan dari email-email
yang pernah Diajeng kirim. Well, kenangan
memang mengasyikkan untuk diulang-
ulang, seperti halnya kita juga masih suka
memutar lagu-lagu kelas “melodi memori”
itu.
Buruh-buruh pabrik mulai hilir mudik di
depan meja saya. Satu dua menyapa ramah.
Saya balas seperlunya. Saya mendadak
merasa sibuk sekali dan ndak sempat
melayani beberapa kawan yang sepertinya
ingin ngajak ngobrol. Maaf, lain kali saja
sobat. Many things to do.
Salah satu surat yang menarik untuk saya
baca lagi dikirim tak lama setelah kami
bertengkar. Pemicunya masih yang itu-itu
saja. Dia merasa berjuang sendiri untuk
mempertahankan hubungan, sedangkan
saya justru tenang-tenang saja.
Seperti biasa, dia langsung mengirim lusinan
SMS berisi protes. Saya balas seperlunya
karena pada dasarnya saya memang ndak
suka membaca, apalagi mengetikkan
kalimat-kalimat di layar handphone yang
cuma seuprit itu. Mata saya mestinya sudah
harus memakai kacamata +1.
Untunglah, pertengkaran itu ndak berlarut-
larut. Kemarahan Diajeng reda dengan
sendirinya. Yang penting saya mesti sabar
mendengarkan. Bukankah setiap lelaki
memang harus siap jadi tong sampah untuk
menampung setiap muntahan ocehan
perempuan?
Kesabaran saya membuahkan hasil. Tak
lama setelah SMS-SMS yang seolah
bersicepat melawan angin itu, Diajeng
menulis email. Kali ini ndak terlalu panjang.
Tumben.
From: diajeng@hotmail.com
To: mas@hotmail.com
Subject: thin rope
Date: 26 Nov 2000 21:15:46 -0000
Dear Masku,
Our fingers were so busy last night typing
words on that tiny keypads (mine were
busier than yours, as always, hehehe) …
And those feelings were true. I hate it when
you consider our relationship as a game. I
know that we have our misunderstandings
that night. It is just… there was so much
truth in that song.
I suddenly realize that actually I am so
fucking helpless if this relationship turns out
to be a game. There is simply nothing for me
to hold on to. There is simply not enough
proof to make me believe that this
relationship is for real, there are only words
and a few of observable behavior but still
they were done in such a restricted area. I
lost my balance that night. I felt like there is
no safety net that will catch me when
everything fall down, I will simply hit the
ground. I was so scared and so disturbed
that night.
So I guess we both are somewhere up there
in the air, walking on our thin ropes. But
well, what do we have at the ends of our
balancing stick anyway?
Come to think of it, they are simply
ourselves in both ends. Mine consists of my
certainty and my doubt, both simply alive in
our mind only. In other words, those were
assumptions… I-assume-that-you-are-the-
right-one-for me and I-assume-that-you-are-
not-the-right-one-for-me.
Which is the right one for me? I can’t tell
which is the real one, what is the one I will
have in the future- while I am still busy with
this balancing struggle…
But well dear …
Do we have to worry about that?
For that specific issue… isn’t God still the
only one who knows what’s right for us? Isn’t
God the only one who can show us which is
the right one for us, in His own way?
Well, I say,
I am going to throw away that balancing
stick of mine and just walk on my thin rope
called life. I might just fall, I might not. I
know God will take good care of me, no
matter what. I know He will be my safety net
when everything else fails.
Diajeng
“lagi pengen meluk masnya”
Fiuh. Rasanya lega betul mendapat kiriman
email seperti itu. Ibarat panas setahun yang
terhapus oleh hujan sehari.
Hari-hari berikutnya, Diajeng pulih seperti
sedia kala. Kecuali kalau dia lagi kumat
iseng atau gilanya. Seperti hari itu …
KINKY

Sejarah bisa dimulai dari sebuah


ketidaksengajaan. Hanya butuh satu menit
untuk membuatnya.
Tak selamanya Diajeng mengirim email
berisi rasa cemasnya, ketakutan, atau
kekangenannya pada saya. Sering kali ia
juga menulis sesuatu yang remeh temeh
atau sebaliknya justru serius. Ia misalnya
pernah bertanya, “Mas tahu nggak, butir-
butir Pancasila itu apa aja sih?“
Halah. Apa sih? Mosok butir-butir Pancasila
ditanyakan? Siapa yang hapal? Lagi pula
ketika dia mengirim email waktu itu saya
sedang ditunggu-tunggu para bos yang ingin
segera tahu hasil proyek yang tengah saya
kerjakan. Tapi, Diajeng mendesak, minta
emailnya segera dibalas saat itu juga.
Terpaksa saya telepon. Ketika saya tanya
mengapa ia menanyakan butir-butir
Pancasila dan bukan butir-butir pasir di laut,
ia langsung menelepon saya. Sambil ngakak
ia menjawab, “Iseng aja, Mas. Abis, Masnya
nggak nelepon-nelepon sih …”
Kali lain ia mengajak saya mengulas film
yang baru saja kami tonton. Pernah juga ia
mengirim email tentang sesuatu yang
sangat lain daripada sebelumnya. Sesuatu
yang berbeda. A kinky one.
Email itu dia tulis tak lama setelah
menonton film Million Dollar Hotel. Ia
memang menonton sendirian. Saya tak bisa
menemani karena ada tugas dari pabrik
yang tak bisa ditinggal. Ia nyaris ngamuk
waktu itu karena saya menolak ajakannya.
Soalnya sudah berhari-hari kami tak
bertemu. Dan ia begitu menginginkan saya
saat itu. Tapi setelah saya beri alasan
karena ada tugas dari pabrik, barulah ia
mengerti dan mau berangkat ke bioskop
sendiri. Tentu saja tetap dengan wajah
cemberut.
Nah, email itu menunjukkan betapa iseng
dan gilanya dia.
From: diajeng@hotmail.com
To: mas@hotmail.com
Subject: kinky one
Date: 02 Dec 2000 22:46:56 -0000

Dear my beloved,
I wanna tell you a story – a kinky one. Kamu
jangan mikir yang enggak-enggak dulu ya,
Mas, hehehe … Mau tahu nggak?
Well, gini ceritanya. Waktu itu film sudah
diputar setengahnya. Mulai bosan, aku
melihat ke kiri dan ke kanan. Uh, di balkon
ini semuanya berpasang-pasangan. Cuma
aku aja yang sendirian, sebel … Lantas aku
jadi terkenang-kenang pada gemuruh
keinginan yang sama-sama kita rasakan.
Ya sudah, aku cuma bisa menarik napas.
Panjang. Betul-betul panjang. Sambil
meluruskan kaki yang menjuntai ke kursi
depanku (kurang ajar betul aku ya? kalau ini
bioskop 21, mungkin aku sudah diusir
keluar), aku menengadah ke langit-langit
bioskop. Terlihat burai blok-blok sinar
menyembur keluar dari ruang proyektor.
Cahayanya bergerak-gerak sesuai dengan
adegan yang berganti-ganti. Aku jadi ingat
khayalan kita tentang apa yang bisa kita
lakukan di ruang proyektor.
Mataku berkeliling. Sebenarnya tentu
menarik kalau kita ‘melakukannya’ di ruang
preview bioskop ya. Kita tinggal pilih kursi
yang mana saja kan? Begitu pikiran macam
itu terlintas, langsunglah nafsu menyergap.
Waduh, keinginan itu sudah mendesak-
desak keluar semenjak aku membuka
lembar-lembar buku di QB.
Ya sudahlah. Aku menyerah. So I put my
black jacket on my lap to cover the most
intimate part of my feminity. I unzipped my
pant and excited myself, wishing it was your
finger inside me. Picturing you pumping me,
I reached my peak somewhere around the
end of the movie.
So, when Tom Tom ran on the attic in the
slow motion and waved her lover goodbye, I
was gasping and biting my lips trying not to
produce any sounds. When Tom Tom finally
jumped, my body was trembling hard. Just
before the credit title was shown, I zipped
myself back.
I lit my cigarette up while walking out of the
cinema. Quite dramatic, isn’t it, Mas?
Hahaha …
Saya tergelak panjang sambil misuh-misuh
bila ingat email itu. Diajeng memang punya
selera humor yang luar biasa. That’s why I
like … err … love her so much.
Dia memang perempuan yang luar biasa. Ia
dari jenis yang suka berterus terang,
spontan, dan apa adanya. Kalau ngomong
ndak pakai tedeng aling-aling. Saya kadang
suka malu sendiri kalau mendengar. Well,
mungkin sudah bawaan dia sejak lahir. Saya
bisa apa? Padahal saya tak pernah
menyangka dia seperti itu bahkan sejak
pertama bertemu.
Saya pertama kali berjumpa dengannya di
pabrik tujuh tahun silam. Pada sebuah pagi
yang dingin di bulan April. Saat saya hendak
mandi. Waktu itu saya masih rookie di
pabrik ini. Lagi giat-giatnya bekerja. Hampir
24 jam per hari, 7 hari sepekan, 30 hari
dalam sebulan, saya ada di pabrik. Bahkan
tak jarang saya menginap di pabrik pada
hari-hari tertentu. Biasanya menjelang akhir
pekan.
Para bos suka meledek, kuda pacu yang
baik memang harus diberi banyak beban.
Saya cuma bisa nyengir mendengarnya.
Tapi, terus terang saya memang menyukai
pekerjaan ― dan bekerja ― di pabrik ini. Jadi
saya ndak pernah merasa keberatan apalagi
menolak setiap pekerjaan yang para bos
berikan.
Suatu pagi, saya terbangun ketika pabrik
sedang memutar kencang mesin-mesin
produksinya. Semua komputer di meja
sudah menyala. Begitu juga pendingin-
pendingin ruangan.
Saya membuka mata dengan segan. Malas
tepatnya. Tadi malam saya memang
bergadang dan baru menjelang subuh
memejamkan mata. Ada satu tugas yang
mesti saya selesaikan pagi itu juga.
Dengan mata setengah terpejam, langkah
gontai, saya ke kamar mandi sambil
menenteng sabun, handuk, sikat gigi, dan
odol. Seperti biasa, saya cuma memakai
sarung dan kaos oblong – “seragam
kebangsaan” saya setiap kali tidur di pabrik.
Tangan saya sedang terulur hendak
membuka pintu kamar mandi ketika
mendadak saya seperti melihat ada sesosok
bayangan dari arah dalam yang mau keluar.
Begitu tiba-tiba. Tangan saya nyaris
menyentuh dadanya. Seorang perempuan!
“ Hei, awas!” perempuan itu berteriak kaget.
“Oh, maaf. Kirain ndak ada orang,” seru saya
tak kalah kaget.
Saya mundur. Sedikit kikuk. “Eh, Anda
siapa?” tanya saya heran. Rasanya baru kali
ini saya melihat dia. Karyawan baru?
Dia tersenyum. Busyet. Matanya itu lo,
Bung!
Sori, Pak. Eh, Mas. Saya karyawan magang.

Baru masuk hari ini,” jawabnya.


“ Oh,” hanya itu yang keluar dari mulut saya.
“ Kenalkan, saya Diajeng … “
Saya tergagap. “Ah, eh, salam kenal
kembali. Saya mau mandi.”
“Iya, iya … Saya tahu, Mas,” dia terkekeh.
“Saya panggil ‘Mas’ aja ya? Boleh, kan?”
Dalam hati saya misuh-misuh. Asyu. Pagi-
pagi kok sudah ada perempuan cantik di
pabrik. Bidadari dari mana? Wangi betul
tubuhnya.
Begitulah saya bertemu dia pertama kali.
Hanya semenit. Tidak lebih.
Saya tak pernah menyangka, yang satu
menit itu akan membawa saya bertamasya
ke masa-masa yang belum pernah saya
bayangkan sebelumnya. Bersama Diajeng.
BERLIAN

Hujan mengamuk. Sesekali garis kilat


menyambar dan memecahkan tirai hujan
menjadi air terjun berlian yang berkilauan.
Matahari bersembunyi di pojok kegelapan …
Hawa dingin pagi hari yang tak tertahankan
membuat saya mandi cepat-cepat. Lagi pula
saya harus segera menyelesaikan pekerjaan
yang tinggal beberapa bagian lagi. Sebentar
lagi para bos datang dan menagih
semuanya. Bisa gawat urusannya kalau saya
melanggar waktu yang sudah mereka
tetapkan.
Hampir tengah hari ketika saya
membubuhkan titik terakhir sebagai
penutup pekerjaan. Tinggal kirim via
jaringan. Beres. Saya melirik jam di dinding.
Hm, waktunya makan. Tapi, makan apa
yang enak buat siang-siang yang mendung
begini?
Mendadak telepon di meja berdering
berbarengan saat saya hendak angkat
pantat dari kursi.
Siapa, sih? Bos? Ada tugas yang terlewat?
Halo …” saya jawab telepon dengan

waswas.
“Siang, Mas. Ini Diajeng. Kita bertemu tadi
pagi di depan pintu kamar mandi. Masih
ingat, kan?”
Diajeng? Busyet. Bidadari cantik itu?
“Wah … ya tentu saja masing ingat dong,
Jeng. Ada apa?”
“ Ah, enggak … Sibuk?”
Nggak juga. Baru aja selesai. Sekarang mau

makan dulu. Kamu sudah makan?”


Kebetulan dong. Aku juga belum makan.

Bareng yuk, Mas!” ajaknya ringan.


“ Boleh. Kita ketemu di lobi ya.”
“ Sip.”
Ada apa tiba-tiba Diajeng menelepon?
Bukankah baru tadi kami berkenalan dengan
cara yang aneh? Ah, saya tak mau berandai-
andai, apalagi bersyakwasangka. Mungkin
saja dia cuma mengenal saya di pabrik ini.
Dia toh karyawan magang. Apa salahnya?
Ketika bertemu di lobi itulah saya baru
sempat memperhatikan lebih dekat dan
detail seperti apa sosok Diajeng. Hm, lebih
segar ketimbang tadi pagi. Rambutnya yang
hitam dan panjang dibiarkannya lepas
terurai.
Berbeda dari umumnya buruh di pabrik
saya, ia memakai setelan yang serasi.
Celana jins tiga perempat biru tua dan blus
kembang-kembang biru muda. Sepatu
ketsnya biru pula. Sportif sekali. Saya
sempat menangkap wangi parfum Bvlgari
yang menguar ketika dia membalikkan
badannya.
Dengan penampilan seperti itu, Diajeng
seperti berlian di antara kerikil para buruh di
pabrik saya.
Saya mengajak Diajeng makan di kedai
dekat pabrik. Itu tempat makan yang nyaris
tak pernah dikunjungi lagi oleh para buruh.
“Bosan,” kata mereka. “Menunya itu-itu
melulu.”
Sebaliknya, saya memang jarang makan di
sana. Pekerjaan membuat saya lebih sering
makan jauh dari pabrik. Lagi pula, masakan
si empunya kedai cocok di lidah saya. Rasa
masakan rumah.
Sering makan di sini, Mas?” tanya Diajeng

setelah kami duduk di dekat jendela.


Jarang, Jeng. Saya lebih sering di luar

pabrik. Cuma akhir pekan seperti sekarang


saja saya biasa makan di sini.”
Aku juga baru sekali kok, Mas. Kemarin-

kemarin aku makan di tempat lain.”


Loh, memangnya kamu sudah berapa lama

kerja di sini?”
“ Hampir sebulan.”
“ Sebulan? Kok saya baru lihat hari ini?”
“Ah, Masnya sibuk terus sih. Mas nggak
pernah merhatiin aku pula,” katanya sambil
nyengir lucu. “Padahal aku sudah sering
lihat Mas loh. Mas sering tidur di sofa merah
lantai dua itu kan?”
Kali ini saya yang gantian nyengir.
Kok sering tidur di pabrik sih, Mas? Rumah

Mas jauh?”
Nggak juga, Jeng. Masalahnya, pada malam-

malam menjelang akhir minggu saya


memang terpaksa menginap karena
pekerjaan yang ndak bisa ditinggal.”
Wah, kasihan yang ditinggal di rumah

dong,” candanya sambil melirik cincin di jari


manis kanan saya.
“ Yah, risiko pekerjaan, Jeng.”
“ Istrimu pasti orang yang sabar ya, Mas?’
“ Karena itu saya memilihnya, Jeng.”
Mosok Mbakyu nggak pernah protes karena

Mas sering tidur di pabrik?”


Awalnya iya. Lama-lama jadi terbiasa dan

ndak protes lagi.”


Ah, kalau aku punya suami kayak kamu

Mas, pasti kularang menginap di pabrik.


Nggak sehat kan, Mas?”
“ Hehehe … Untung aku bukan suamimu.”
Huuuu … “ dia mencibir. “Anak-anakmu

nggak nyari bapaknya, Mas?”


“Saya kan ndak setiap hari tidur di pabrik,
Jeng. Lagi pula saya selalu menyediakan
waktu dua hari penuh buat anak-anak waktu
libur akhir pekan kok. Saya berusaha jadi
bapak yang baik buat mereka.”
“ I see … Anakmu berapa sih, Mas?”
Olala, rupanya saya sedang diinterogasi.
Dua. Eh, kamu kok bisa nyasar ke pabrik ini

sih? Gimana ceritanya?” tanya saya


mengalihkan pembicaraan.
“ Wah … panjang, Mas.”
Saya punya waktu seharian kok untuk

mendengarkan.”
Ia tersenyum. “Ah, si Mas bisa aja … “
Diajeng lalu bercerita bahwa dia baru saja
lulus kuliah. Ia mengambil program master
di bidang desain dari sebuah universitas luar
negeri. Sebetulnya ia bisa saja langsung
bekerja di perusahaan teman papinya.
“Tapi, aku mau nyari pengalaman dulu di
tempat lain. Kebetulan aku punya teman
yang bercerita ada lowongan buat karyawan
magang di pabrik kamu. Jadilah aku ke sini
dan bertemu kamu, Mas.”
Oh, gitu. Terus kenapa tadi menelepon saya

dan mengajak makan, Jeng?”


Idih curiga ya? Memangnya saya ndak boleh

ngajak makan Mas? Ada yang marah?”


“Bukan, bukan … Jangan salah sangka. Saya
cuma merasa aneh saja,” jawab saya sedikit
tak enak.
“Habisnya, teman-temanmu sibuk sendiri-
sendiri sih. Sudah hampir sebulan aku di
pabrikmu tapi nggak ada yang punya waktu
buat ngobrol. Padahal kan aku mesti tanya
ini itu. Aku pengen tahu banyak soal proses
kerja di pabrikmu. Kebetulan kita ketemu
tadi pagi. Aku terus mikir, siapa tahu Mas
bisa jadi tempat aku bertanya.”
Oh, maaf. Maafkan juga teman-temanku.

Mereka memang jarang punya waktu buat


ngobrol, meskipun hanya sebentar. Maklum
kerja di pabrik. Okelah, kamu bisa bertanya
apa saja ke saya. Moga-moga saya bisa
bantu.”
Nah, gitu dong. Makasih sebelumnya ya,

Mas,” katanya sambil tersenyum lebar


memamerkan sebaris giginya yang putih,
bersih, terawat, dan teratur.
Begitulah. Makan siang itu sebuah awal.
Pada siang-siang berikutnya kami sering
makan berdua. Kalau tak di kedai yang
sama, ya di tempat makan yang agak jauh
dari pabrik. Kalau kebetulan saya di luar
pabrik, Diajeng sering meminta bertemu di
tempat yang kebetulan dekat dengan posisi
terakhir saya. Pokoknya asal bisa makan
bareng.
Hazara Cafe di Kebon Sirih, Kafe Cemara di
Jalan Cemara, Menteng, atau Penang Bistro
di Kebayoran Baru, sekadar menyebut
contoh kedai yang rutin kami datangi. Kalau
malam, kami sering makan di Muara Karang
atau Pecenongan. Diajeng memang tergila-
gila sea food dan chinese food. Karena
tergolong aphrodisiac? Saya ndak peduli.
Soalnya bukan makanannya benar yang dia
nikmati.
Terus terang, aku suka ngobrol dengan

kamu, Mas. Kamu juga membuatku nyaman.


Being with you is so relaxing. Indeed,”
begitu alasannya.
“Saya juga menikmati obrolan kamu kok,
Jeng. Kamu pintar,” jawab saya jujur.
Ah, gombal. Kamu tuh yang pintar, Mas.

Diajak ngobrol apa aja pasti nyambung.”


Tapi, kadang-kadang saya jadi merasa
terganggu karena harus sering-sering
makan siang atau sekadar menemaninya
ngobrol di waktu jeda. Saya merasa terikat.
Padahal saya masih harus beredar di tempat
lain. Tapi, saya tak kuasa menolak
permintaannya. Atau lebih tepat pesonanya.
Pesonanya memang menyihir saya. Saya
seperti kucing yang berubah jadi tikus. Ia
bisa menaklukkan alasan apa pun yang saya
ajukan sebagai basa-basi untuk menolak
ajakannya. Rayuan, bujukan, dan godaan
memang salah satu keahliannya. Celakanya,
lama-lama saya menikmati sihirnya.
Diajeng perempuan yang terbuka. Apa
adanya. Gaya bicaranya spontan. Ekspresif.
Ia bisa bercerita tentang apa saja. Kalau
sedang bercerita, tangannya ikut bergerak-
gerak, persis orang main drama. Kadang
matanya mendelik, kadang muram,
mengikuti apa yang diceritakannya. Belum
pernah saya bertemu perempuan sehidup
dia.
Gara-gara sering bertemu, ke mana-mana
selalu berdua, lama-lama kami jadi dekat.
Dan, semakin dekat saja. Tanpa terasa kami
seolah menjadi dua orang sahabat lama
yang saling membutuhkan, saling berbagi,
dan saling mencari kalau salah satu tak ada.
Benar juga kata tetua-tetua saya dulu:
Witing tresno jalaran kulino.
Sampai suatu ketika, kedekatan kami mulai
memicu kasak-kusuk di pabrik. Hingga suatu
pagi para bos memanggil saya.
BOS

Selalu ada kejutan di balik setiap tikungan


kehidupan. Kita tak pernah tahu apa
gerangan yang menunggu di sana …
Ruangan para bos terletak di belakang
pabrik, terpisah dari bangunan utama.
Luasnya sekitar dua puluh meter persegi,
cukup lapang untuk menampung para bos
yang cuma dua orang, satu perempuan dan
satu laki-laki. Bagian luar ruangan mereka
berwarna putih. Bersih. Kami, para buruh,
menjulukinya White House.
Dinding dalamnya yang tak disemen juga
dicat putih. Foto-foto mereka dalam
pelbagai ukuran tertempel di dinding kiri
dan kanan – di antara lemari kayu berisi
ratusan buku dan lemari kaca berisi piala,
plakat, dan benda-benda memorabilia
lainnya – menyerupai pameran simbol
kesuksesan atau narsisme mereka. Ada foto
bos sedang bersalaman dengan presiden
dan menteri-menteri, bos merangkul
seorang pejuang Afganistan, bos menerima
penghargaan dari seorang utusan Bank
Dunia, bos di atas kapal pesiar seorang
taipan, dan banyak lagi.
Di dinding belakang terdapat dua jendela
lebar dengan gorden kain broken white
tanpa corak. Di tengah ruangan ada dua
meja besar dengan masing-masing satu
komputer di atasnya. Dari perangkat kerja
yang tersambung oleh sebuah sistem
jaringan itulah para bos memantau proses
kerja para buruh.
Para bos biasanya duduk di atas kursi kulit
bersandaran tinggi. Bila sedang duduk dan
bekerja, telinga mereka nyaris selalu
tertempel di gagang telepon. Entah dengan
siapa saja mereka bicara hampir seharian
lewat alat komunikasi jarak jauh itu. Kadang
saya merasa ada sesuatu yang aneh di
antara mereka. Mengapa mereka justru
jarang terlihat saling bercakap-cakap meski
berada dalam satu ruangan?
Ah, embuhlah. Saya ndak mau ambil pusing
urusan orang. Apalagi orang-orang seperti
dua bos saya itu. Mereka boleh dikatakan
legenda-legenda hidup di bidangnya. Meski
usia dua orang itu belum lima puluh tahun,
kaki mereka sudah melanglang nyaris ke
seluruh pojok dunia. Mereka bertemu
dengan bermacam-macam orang dari
pelbagai kalangan. Tugas dan pekerjaan di
industri yang mereka tekuni selama
bertahun-tahun telah memahat pengalaman
mereka. Banyak orang mengakui karya
mereka nyaris tiada tanding.
Saya menaruh hormat pada mereka. Ibarat
dalam jagad persilatan, mereka sepasang
pendekar dunia kangouw. Bu Kek Siansu. Eh,
atau mungkin Sepasang Pendekar
Rajawali keturunan Pendekar Super Sakti
dari Pulau Es karya Asmaraman S. Kho Ping
Ho itu, Suma Kian Bu dan Suma Kian Lee. Di
depan mereka, saya seperti anak kemarin
sore tanpa ilmu apa pun. Tidak punya
ginkang, tidak juga iwekang. Jadi saya harus
menjura dalam-dalam.
Ke ruangan para dewa itulah kaki saya
menuju pagi itu, beberapa menit setelah
sekretaris bos memberitahu bahwa saya
dipanggil dengan pesan, “Segera!”
Sindrom anak buah yang selalu curiga
membuat benak saya penuh prasangka. Ada
apa mereka memanggil? Adakah kesalahan
yang telah saya lakukan? Ada pekerjaan
yang belum beres? Atau ada sesuatu yang
menyangkut urusan pribadi.
Hari-hari ini pabrik saya memang dipenuhi
oleh banyak rumor dan gosip. Salah satunya
tentang kedekatan saya dan Diajeng.
Beberapa di antara mereka berkomentar
langsung ke saya. Sebagian lagi hanya
berani menyindir-nyindir.
Masih laku juga, Mas? Bagi rahasianya dong

…”
Wah, kayaknya ceria terus nih, sekarang …


Hati-hati, Mas. Cewek zaman sekarang

galak, hihihi …”
Kalau sudah bosen, bilang-bilang ya, Mas

…”
“Nggak takut sama yang di rumah, Mas? Aku
juga perempuan, bisa ikut merasakan
sakitnya dikhianati …”
“ Ingat anak-anak, Mas…”
Saya cuma bisa senyum kecut dan tak
memedulikan mereka. Percuma menanggapi
ocehan yang saya anggap sarkastis dan
pedas itu. Mereka tahu apa. Mereka pasti
tak paham bahwa kedekatan saya dan
Diajeng tak lebih dari kedekatan seorang
guru dan murid. Diajeng bertanya, saya
menjawab. Technically speaking, saya tak
melakukan sesuatu yang lebih jauh dari
sekadar duduk berdekatan.
Memang Diajenglah yang nyaris setiap pagi
meletakkan makanan kecil, sekadar
kudapan, di meja saya. Beberapa potong
semar mendem, arem-arem, bolu gulung,
atau brownies. “Semuanya buatan mami,”
katanya. “Buat sarapan, Mas. Tadi malam
nglembur lagi, kan?”
Tapi, ya cuma itu saja. Tidak lebih.
Memang Diajeng jugalah yang hampir selalu
mengingatkan saya kapan harus menemui
orang-orang di luar kantor itu, kapan saya
mesti makan siang, atau sekadar memberi
tahu ada pameran lukisan di Kemang,
pembacaan puisi di Gedung Kesenian, atau
peragaan busana di JCC. Kadang kami
nonton bersama karena dia memang suka
puisi, lukisan, juga trend busana. Kadang
saya berangkat sendiri sebab pekerjaan
mengharuskan demikian dan Diajeng punya
acara lain.
Mungkin karena perhatian-perhatian kecil
Diajeng secara khusus ke saya itulah para
buruh bergunjing atau mungkin iri hati. Tapi,
saya bisa apa? Saya toh tak perlu menjelas-
jelaskan pada setiap orang bahwa hubungan
kami tak lebih sekadar teman.
Well, saya justru lebih memikirkan panggilan
para bos yang mendadak. Apakah mereka
juga mau menanyakan soal hubungan saya
dan Diajeng? Wah, kalau iya, jelas ndak
bener. Ndak bisa bos mencampuri urusan
pribadi buruh-buruhnya. Saya harus
melawan. Bila perlu sampai titik darah
penghabisan. Ini prinsip, Bung!
Begitu sampai di depan ruangan mereka,
agak ragu-ragu saya mengetuk pintu.
Tok, tok, tok …
“ Masuk, masuk … pintunya nggak dikunci.”
Suara bos perempuan.
Saya membuka pintu dan masuk ruangan.
“Pagi Bu, Pak,” saya menyapa mereka
ringan.
“Wah … pagi, Mas. Sudah saya tunggu dari
tadi. Ayo, silakan duduk. Mau minum apa?”
tanya bos perempuan sambil berdiri dari
kursinya.
Ah, keramahan yang alami.
Bos laki-laki ikut berdiri dan tersenyum
lebar. “Makin seger saja sampean, Mas,”
katanya.
“Halah, seger apa sih, Pak? Lah wong kurus
kering begini kok dibilang seger. Eh, ndak
usah repot-repot, Bu. Saya baru saja ngopi
tadi di meja.”
“ Bener nih?”
Iya, Pak. Saya mau cepat-cepat saja.

Banyak kerjaan sudah menumpuk dan


menunggu. Kalau telat nanti sampean
marah,” jawab saya setengah bercanda.
“Haiyah, sampean memang paling bisa,
Mas,” kata bos perempuan sambil
tersenyum.
Wah, ini tak seperti yang saya bayangkan
semula. Tak ada tanda-tanda mereka akan
bertanya sesuatu yang serius. Atau pribadi.
Mereka justru terlihat santai. Tak
menunjukkan mau marah atau bersikap
layaknya atasan kepada bawahan. Alarm
kecurigaan saya matikan.
Ngomong-ngomong, ada apa sih, bos?

Kenapa saya dipanggil?”


Mereka tertawa. Saya terpana. Asyem ki.
Lah kok malah semakin riang?
Anak muda selalu nggak sabar rupanya.

Nggak ada apa-apa, Mas. Nggak ada yang


serius kok. Satu-satunya yang serius ya
cuma ini, Mas,” jawab bos laki-laki sambil
mengangsurkan sepucuk amplop putih ke
saya.
Jantung saya berdebar. “Apa ini?” tanya
saya.
“ Itu isinya SK promosi untuk sampean, Mas.
Kenaikan pangkat.”
Promosi? Kenaikan pangkat? Kok bisa?”

saya setengah tak percaya.


Bos laki-lakilah yang kemudian
menerangkan semuanya. Mereka
menganggap saya telah bekerja begitu
keras, lebih keras dibanding buruh-buruh
lain. Hasil kerja saya pun ternyata jauh lebih
tinggi dari yang mereka targetnya semula.
Singkat kata, pabrik untung. Mereka senang.
Dan, saya layak mendapatkan imbalan.
Ndak percuma sampean sering begadang di

pabrik, Mas,” kata bos perempuan.


Ah, ini semua kan juga berkat sampean

berdua bos. Berkat bimbingan sampean juga


saya bisa begini. Buat saya, ini amanah.”
Ya sudah, Mas. Moga-moga tahun depan

sampean bekerja lebih keras lagi. Lebih


produktif. Saya juga ingin tahun depan
sampean mendapatkan lagi amplop yang
sama,” kata bos laki-laki.
“ Moga-moga, Bos,” jawab saya takzim.
Saya kaget sebenarnya. Aneh, bos sama
sekali tak menyebut satu kata pun soal
Diajeng. Bahkan tentang kedekatan kami.
Begitu keluar dari ruangan, setelah
mendapatkan kejutan yang menyenangkan
itu, kaki saya terasa ringan sekali. Setiap
kali kali melangkah rasanya seperti
melayang. Terbang. Hati saya seolah
dipenuhi bunga warna-warni cerah. Buyar
sudah segala prasangka. Punah sudah
semua rasa curiga.
Setengah berlari saya mencari Diajeng. Dia
layak menjadi orang yang pertama kali
mendengar kabar menggembirakan ini.
Saya menemukan Diajeng sedang duduk di
belakang meja kerjanya. Saya acung-
acungkan amplop itu di depan wajahnya
yang terbengong-bengong melihat saya
cengengesan.
“ Apa sih, Mas?” tanyanya kebingungan.
Buka deh, baca saja sendiri,” jawab saya

sambil memberikan amplop itu.


Ia segera menyobek amplop itu perlahan,
mengeluarkan isinya, lalu membacanya.
Sebentar kemudian parasnya berseri.
Senyumnya mengembang.
Wah, selamat. Kamu hebat, Mas. Ayo, kita

harus merayakannya,” katanya senang.


“ Pasti. Kamu yang atur ya.”
“ Beres. Jemput aku nanti jam 8?”
“ Sip.”
Saya ingat, malam itu kami nyaris batal
merayakan sukses kecil itu. Bos memberi
tugas mendadak. Saya harus ke Gedung
Kesenian menonton konser musik kamar.
Diajeng sempat merengut, tapi setangkai
mawar merah berhasil
menaklukkan hatinya.
Dan, sepulang dari Gedung Kesenian,
setelah jajan di depan Keris Gallery,
Menteng, sehabis hujan yang menggila,
perayaan yang tertunda itu akhirnya jadi
juga kami lakukan diapartemennya ― untuk
pertama kalinya setelah enam bulan kami
berkenalan. Sebuah kejutan di balik
tikungan kehidupan saya yang akan
mengubah segalanya …
CEMARA

Di bawah bukit-bukit yang kering. Di tengah


pucuk-pucuk cemara mendesau. Pada
dasarnya kita semua adalah pelaku,
sekaligus saksi setiap peristiwa. Kita beraksi
dalam lakon yang berubah setiap hari.
Kita bertarung. Terluka. Berpeluh. Menangis
dan tertawa. Kita menjadi bagian dari
sejarah peradaban. Dan, sejarah bukanlah
sebuah kreasi show business.
Sejarah terukir di jalanan, di dalam keraton,
di balik gedung parlemen, di lapangan, juga
di atas ranjang.
Lalu apakah itu marijuana, warna-warni
psikedelik, kliyeng-kliyeng yang hangat,
seks yang longgar? Sebuah pemberontakan
atau kerusuhan yang bergairah?
Saya merenung-renungkan kembali petikan
percakapan saya dan Diajeng itu dalam
perjalanan menuju Merlimba Garden, tempat
senja memerah dan kabut turun. Saya agak-
agak antara lupa dan ingat kenapa kami
tiba-tiba bercakap soal hidup, takdir,
sejarah, juga karma.
Mungkin setelah Diajeng membaca novel
James Redfield, Celestine Prophecy. Mungkin
setelah kami bercinta penuh gairah
semalaman di apartemennya. Mungkin juga
setelah … Ah, entah. Saya tak bisa
mengingatnya. Terlalu banyak waktu yang
telah kami lewatkan bersama. Terlalu
banyak kenangan yang abadi di masa lalu …
Diajeng adalah hamparan laut luas tak
bertepi. Bercakap dengannya itu tak ada
habisnya. Kami bisa bercakap tentang apa
saja bila bertemu sambil menyesap
bercangkir-cangkir kopi hangat di sebuah
kedai. Kami bisa melakukan kegiatan apa
saja yang buat orang lain mungkin tak ada
artinya. Menghitung jumlah bintang di atas
The Peak, memandang takjub bulir-bulir
gerimis yang membasahi kaca jendela
sebuah hotel di Carita, menanti embun jatuh
dari ujung dauh teh di Puncak.
Mengingat keping-keping keintiman masa
lalu seperti itu membuat saya seperti
menelan biji duku. Pahit. Barangkali ini yang
disebut orang sebagai kesedihan yang
mengasyikkan itu.
Saya berusaha membuang kenangan lama
itu ke arah jalan tol Jagorawi yang lempang.
Tumben, sore-sore begini lalu lintasnya agak
sepi. Saya langsung menginjak pedal gas
lebih dalam. Tapi, di lajur sebelah kanan
saya, seekor Jaguar perak metalik seri X-
Type ternyata lari lebih kencang ketimbang
gerobak Jepang saya yang sudah layak
masuk museum itu. Asyu!
Ah, biarin. Yang penting saya tetap bisa
segera sampai di Merlimba Garden di
Puncak sebelum matahari terbenam.
Diajeng pasti sudah sampai di sana. Seperti
biasa, ia pasti sudah menunggu dalam
kesabaran yang belum pernah tertandingi
perempuan mana pun dalam kehidupan
saya.
Saya ingat, Diajeng memang sering
menunggu saya dalam malam-malam yang
panjang berteman kesepian. Seperti ketika
saya mendapat tugas ke Swedia, menghadiri
undangan sebuah perusahaan telepon
genggam. Kalau sudah begitu, biasanya
Diajeng mengirim e-mail seperti ini.
To: mas@hotmail.com
From: diajeng@hotmail.com
Subject: kangen cemara
Belahan jiwa,
Hari ini tepat sepekan kamu berada
di Stockholm. Aku nggak tahu kamu lagi
ngapain ketika membuka e-mail ini, Mas.
Yang jelas aku makin kesepian di sini.
Perasaanku tak menentu. Ada kekangenan
sekaligus kekesalan di hati.
Kangen karena ternyata sebenarnya aku
mulai menginginkan kehadiranmu di
dekatku, Mas. Kesal karena kamu nggak
pulang-pulang. Padahal urusan sudah beres,
kan? Jadi kenapa kamu masih di situ? Asyik
sama gadis-gadis bule ya? Huh!
Belahan jiwa,
Asal kamu tahu saja, aku getting insane
belakangan ini. Setiap hari aku cuma
memandangi frame berisi foto kita berdua
yang sedang berpelukan dan kupajang di
atas komputer. Kamu tentu masih ingat kan
Mas, bagaimana kita membuat foto itu?
Waktu itu, kalau nggak salah ingat, kita abis
jalan-jalan dan kehujanan sampai basah
kuyup. Tiba-tiba kamu punya ide gila untuk
bikin foto berdua dalam keadaan basah
kuyup. Berhubung kita lagi di Pasaraya,
kamu langsung menyeretku ke bilik foto di
basement itu.
Kamu bilang, kamu mau mewujudkan
rencanaku yang belum kesampaian saat itu:
bikin foto berdua. Uh, asal kamu tahu aja
Mas, aku kan malu sebenernya ketika itu.
Apalagi waktu mbak-mbak yang jaga bilik
foto itu mesem-mesem ngliat tingkah kamu
yang maunya pelukan terus.
Sampai sekarang aku masih suka senyum-
senyum sendiri kalau ingat kejadian itu.
Kamu emang gila kadang-kadang. Tapi
harus kuakui, foto itu jadi unik. Bajumu
basah kuyup kayak tikus kecebur got. Dan,
posemu itu loh, hehehe… aku nggak bisa
membayangkan apakah kamu mau
melakukannya lagi sekarang.
Hahaha …. Kamu pasti membaca e-mail ini
sambil cemberut sebel dan dalam hati kamu
bilang, “Awas kalau ketemu di Jakarta nanti
ya ….”
Belahan jiwa,
Selain ngliatin foto, kamu tahu apa yang
selalu aku lakukan dua hari terakhir ini? Aku
selalu membuka lemari dan mencari baju-
bajumu yang tertinggal di apartemenku.
Kuambil satu per satu, lalu kuciumi.
Termasuk underwear-mu, hehehe …
Kucari-cari adakah bau tubuhmu yang masih
tertinggal di sela-sela kain itu. Gila memang,
tapi asal kamu tahu aja, itu cara manjur
untuk mengobati kerinduanku padamu.
(Uuuuh, pasti kamu ngetawain deh caraku
ini. Kamu emang nggak sayang aku sih, Mas
… Huh!)
Tapi, memang itulah yang bisa kulakukan
saat ini ketika kamu nggak ada. Kadang-
kadang nyesel juga aku nggak menerima
ajakanmu buat ikut saja sekalian ke Swedia.
Ah, seandainya saja urusan pameranku di
Jakarta beres, aku pasti nggak mikir dua kali
deh. Tapi kan kamu tahu sendiri, banyak
urusan yang mesti diselesaikan di sini.
Eh, mami udah nggak ngambek lagi tuh.
Tadi, pagi mami mampir ke sini bawain
spagheti carbonara buatannya sendiri. Dia
bilang masakannya itu sebenarnya buat
arisan di rumah. Tapi, karena kebanyakan,
sisanya dikasih ke aku.
Mamiku baik ya, Mas? Biar ngambek,
ternyata masih juga inget sama aku yang
lagi kesepian ditinggal belahan jiwanya,
hehehe ….
Anyway, enak juga loh rasanya. Kamu mesti
coba juga sekali-sekali. Mami juga sempet
nanyain kenapa kamu nggak pulang-pulang.
Katanya, dia udah nunggu oleh-oleh dari
kamu.
Belahan jiwa,
Waktu nulis e-mail ini, aku sempet nglirik
kalender. And you know what? Hari ini
tanggal 18 November. Yes, our great day.
Uh, kamu pasti lupa deh. Buktinya nggak
nelpon aku hari ini. Aku jadi inget, bertahun-
tahun yang lalu kita biasanya merayakan
hari ini cuma berdua di Cafe Cemara 6: that
historical place for us.
Seperti biasa kamu selalu memesankan aku
cappucino dan tiramisu kegemaranku. Lalu
kita ngobrol ngalor-ngidul nggak ada
juntrungannya sembari cekikikan berdua
sampai malem. Uh, I really miss that time …
Kapan kita terakhir melakukannya ya? Dua
atau tiga tahun yang lalu? Uh, rasanya udah
berabad-abad kita nggak ke sana lagi ya?
Tempat itu masih ada kan, say?
Belahan jiwa,
Aku merasa banyak hal yang nggak kita
lakukan lagi belakangan ini. Saat-saat
berdua, pelukan-pelukan, mesra-mesraan,
gigitan di telinga, atau adu hidung kesukaan
kita itu. Tapi, kamu terlalu sibuk akhir-akhir
ini, Mas. Pergi mulu. Huh, sebel!
Kamu sering melupakan apa yang
seharusnya kita lakukan untuk kita sendiri.
Kamu merasa gitu juga nggak sih?
Pokoknya, kalau kamu pulang nanti, kita
akan mengubah semuanya ini. Kita harus
memperhatikan diri kita lagi. Kita harus
meluangkan waktu buat kita sendiri. Awas
ya kalau nggak …
Sweet kisses
Diajeng, yang lagi kangen Cemara, bukan
kamu, weeeek …
Saya tersenyum mengenangkan surat itu.
Surat itu hanya satu di antara surat lain
yang hampir tiap hari masuk ke inbox.
Untunglah, Scandic Hotel di seberang
Central Station, Stockholm, tempat saya
menginap memang menyediakan akses
internet super kencang sehingga saya
gampang membuka dan membalas e-
mail Diajeng.
Tapi, biasanya saja tak pernah
membalasnya. Kesibukan membuat laporan
membuat mata saya tak sanggup terbuka
lebih lama di depan komputer. Setelah
membaca surat, saya langsung berangkat
ke peraduan. Tidur. Jadilah Diajeng yang
uring-uringan sendiri karena merasa tak
diperhatikan.
Apakah sekarang Diajeng juga sedang
merasa tak diperhatikan karena sudah
menunggu terlalu lama di Merlimba? Sudah
berapa batang rokok yang dihabiskannya?
Saya tak tahu.
Yang jelas, pucuk pinus dan cemara di
taman itu sudah mulai terlihat. Jalan
menikung. Jarak semakin dekat. Kabut mulai
turun. Jantung saya berdegup semakin
kencang, tak sabar bertemu Diajeng …

KABUT
Malam seperti itu, hujan sering turun
Ada kabut tipis dalam gelap, tumbuh dari
udara panas
Kulit terasa lekat
Tapi hujan telah menunjukkan janjinya,
untuk datang
Kaki-kaki telah bergegas
Orang mencari tempat dan atap ― Fred de
Silva
Bukan cuma hujan yang menepati janji. Di
Puncak, kabut justru nyaris tak pernah
ingkar janji untuk datang di senja hari.
Seperti sore itu, beberapa puluh meter
menjelang Melrimba Garden, kabut mulai
membungkus jalanan, lalu perlahan turun
seperti kelambu putih menutup ranjang.
Saya menginjak rem, mengoper gigi, lalu
belok kiri menuju pintu gerbang taman.
Seorang petugas parkir menyambut ramah.
Senyumnya mengembang seraya tangannya
mengangsurkan selembar karcis.
“Lurus saja, Pak,” katanya. Tangannya

menunjuk ke sebidang lahan kosong persis


di depan Melrimba Kitchen, tempat makan
favorit Diajeng.
Saya celingukan seperti rusa masuk
kampung, mencari-cari sosok Diajeng atau
paling tidak mobil merah hadiah ulang tahun
dari papinya itu di tempat parkir. Tapi, tak
ada. Saya lihat halaman parkir di sebelah
kanan taman juga kosong. Jangan-jangan
Diajeng tak jadi datang?
Aneh. Seaneh gerimis yang mendadak jatuh.
Saya segera meninggikan kerah baju dan
berlari kecil menuju Melrimba Kitchen.
Seorang pelayan bergegas menyambut di
pintu. “Berapa orang, Pak?” ia bertanya
dengan ramah.
“Sendiri. Eh, sebetulnya saya ada janji

dengan seorang teman. Saya ndak tahu


apakah dia sudah datang atau belum?”
jawab saya sambil mencari-cari sosok
Diajeng.
“Dari tadi belum ada tamu lain tuh, Pak.

Barangkali Bapak mau menunggu sambil


pesan minum dulu?”
“Iya deh,” jawab saya seraya menuju meja di

pojok, tempat favorit Diajeng. “Saya minta


kopi, Mbak.”
Mbak pelayan itu mengangguk dan berlalu.
Asyem tenan. Dalam hati saya mengutuk
diri saya sendiri yang kelupaan
membawa handphone. Beginilah nasib
orang zaman sekarang yang sudah begitu
tergantung pada handphone.
Tanpahandphone, saya ndak bisa
mengontak Diajeng. Saya ndak tahu apakah
dia masih on the way atau membatalkan
janji. Di mana dia sekarang?
Jarang-jarang Diajeng datang terlambat atau
ingkar janji. Biasanya justru saya justru yang
datang telat kalau kami rendevouz di suatu
tempat.
Di luar, gerimis berubah menjadi hujan. Ah,
saya jadi ingat kumpulan cerita pendek
Nugroho Notosusanto, Hujan Kepagian,
tentang mereka yang bertempur dan tewas
untuk tanah airnya, dalam usia begitu muda.
Mereka ibarat hujan yang jatuh terlalu pagi
mungkin, karena cuaca terlalu buruk.
Sesungguhnya memang tak banyak orang
tahu betapa cuaca bisa jadi buruk. Kita juga
ndak tahu bahwa kita bisa nangis, bisa
kecewa, bisa marah, bisa terluka atau lebih
dari itu ― bukan karena soal-soal biasa.
Memang tak selalu orang tahu pasti apakah
cuaca akan membaik atau justru memburuk.
Kita hanya bisa meramal, seperti nyanyian
Bob Dylan itu. You don’t need a weatherman
to know which way the wind blows …
Pelayan datang membawakan secangkir
kopi. “Silakan, Pak,” katanya ramah sambil
meletakkan cangkir di meja.
“Terima kasih, ya,” jawab saya seperlunya.

Sambil menunggu Diajeng datang, saya


menyesap kopi perlahan. Hmmm, nikmat
betul kopi panas di tengah hujan yang
mendinginkan suasana ini. Air hujan
menghapus kabut. Tapi, matahari tak
nampak juga. Sudah kesorean rupanya.
Saya mengingat-ingat pesan Diajeng
tadi. Kutunggu di tempat senja memerah
dan kabut turun. Apakah saya salah tempat?
Rasanya mustahil. Tak ada lagi tempat
seperti itu dalam kamus kami berdua selain
di Merlimba Garden. Apakah saya salah
tebak?
Sedetik berubah jadi semenit. Menit-menit
berlalu. Tak terasa sudah hampir sejam saya
menunggu. Pelayan datang lagi, “Sudah
mau pesan makan, Pak?”
“Eh, belum. Nanti saja, sebentar lagi,” jawab

saya.
Saya mulai kehilangan kesabaran. Resah.
Berkali-kali saya melihat ke arah pintu
gerbang. Satu dua mobil masuk. Tapi, bukan
Diajeng. Lama-lama saya nyerah.
Kalau begini caranya, mending saya balik
kucing saja. Pulang. Bodo amat dengan
Diajeng. Bukan saya yang butuh, tapi dia.
Saya memang sudah berjanji pada maminya
untuk mencari dan menyampaikan
pesannya. Tapi, kalau ndak ketemu seperti
ini, ya nanti bilang saja ke mami apa
adanya.
Saya sudah hendak berdiri ketika tiba-tiba
seorang pelayan datang dengan tergesa.
Setengah berlari. “Maaf Pak … Bapak
menunggu Diajeng, ya?”
Saya kaget bin heran. “Iya, kok tahu?”
“Anu Pak, ada telepon untuk Bapak. Katanya

dari Diajeng,” katanya sedikit tergagap.


“Oh ya?” jawab saya ndak kalah heran.

“Iya, Pak. Silakan Pak, pakai teleponnya di

dekat kasir. Mari saya antar,” jawab pelayan


itu seraya membalikkan badan.
Saya mengikutinya dari belakang. Saya
bertanya-tanya dalam hati. “Di mana
Diajeng. Kenapa dia telepon? Kenapa …”
Ah, saya ndak berani menduga-duga …
BINTANG
… And yet with neither love nor hate,
Those stars like some snow-white
Minerva’s snow-white marble eyes
Without the gift of sight … [Robert Frost]
Saya segera menuju ke telepon di sebelah
kasir dengan sedikit tergopoh. Begitu
sampai, saya langsung mengangkat gagang
telepon.
“Kamu di mana, Jeng? Saya sudah nunggu

kamu sejam lebih. Kalau … “


“Mas,” Diajeng memotong pertanyaan saya.

“Aku nggak punya waktu banyak. Tolong


dengarkan aku dulu ya, Mas. Please.”
“Oke,” jawab saya pendek.

“Sebelumnya aku minta maaf, Mas. Aku

nggak jadi ke Melrimba. Aku tahu kamu


pasti marah. Tapi, tolong dengarkan aku
dulu. Aku sekarang di bandara. Sebentar lagi
pesawatku berangkat.”
“Di bandara? Ngapain? Kamu mau ke

mana?” tanya saya penuh rasa heran.


“Aku mau ke Milan, diajak Om. Mendadak

memang. I am so sorry for that. But do you


remember that calling? Malam itu lo Mas,
waktu kamu mengantarku pulang ke rumah
mami? Itu telepon dari Om. Akhirnya aku
nggak bisa menolak ajakannya. Aku harus,
Mas. Ini impianku sejak dulu. Aku nggak
tahu sampai kapan di sana, mungkin malah
nggak balik lagi ke Jakarta. Kamu ngerti kan,
Mas?”
“Sik, sik, sik … ” saya menyela. “Om?

Impian? Kamu ngomong apa sih? Mami kan


…“
Mendadak telepon Diajeng putus. “Halo …
halo … halo … ” saya mencoba memanggil.
Tak ada sahutan. Cuma ada suara tut … tut
… tut … Saya pencet-pencet telepon itu, tapi
ndak nyambung juga. Saya tunggu sebentar,
siapa tahu Diajeng mengulang teleponnya.
Lima menit berlalu, telepon tak berdering
juga. Kenapa? Akhirnya saya kembali ke
meja.
“Teleponnya sudah, Pak?” tanya mbak

penjaga kasir dengan ramah.


“Sudah, Mbak. Putus tadi,” jawab saya.

“Biarin deh, mungkin nanti dia menelepon


lagi.”
Dalam hati saya misuh-misuh. Diamput.
Asyem. Semprul. Diajeng ki maunya apa
sih? Sudah jauh-jauh ke sini, eh dia malah ke
bandara. Mau ke Milan pula. Ngapain gitu lo?
Terus yang dia maksud om itu siapa?
Seingat saya, Diajeng ndak punya om.
Papinya bungsu dari tiga bersaudara. Satu-
satunya adik maminya ada di Solo. Apa dia
yang mengajak Diajeng ke Milan? Ah,
embuhlah.
Ciloko tenan ini. Saya ndak bisa menelepon
Diajeng pula. Sepertinya dia tadi memakai
telepon umum. Saya
ingat handphone Diajeng juga memang di
rumah maminya. Terus piye iki?
Ah, sudahlah. Terserah Diajeng. Saya
memutuskan menunggu barang setengah
atau sejam lagi. Siapa tahu Diajeng
menelepon lagi. Toh dia hapal luar kepala
nomor telepon Merlimba.
Daripada menunggu dalam bengong, saya
pesan makan saja. Perut saya mulai
keroncongan, belum diisi sejak siang tadi.
Sambil makan pelan-pelan, otak saya
berpikir keras. Saya mulai merasa ada
sesuatu yang ndak beres. Dulu, jarang-
jarang Diajeng pergi mendadak seperti ini.
Biasanya jauh-jauh hari dia sudah memberi
tahu saya.
Ah, waktu mungkin memang telah
mengubah segalanya. Banyak yang saya
ndak tahu lagi tentang Diajeng sejak kami
berpisah dulu. Pantas saja, maminya
terdengar seperti agak khawatir juga ketika
tadi pagi menelepon saya di rumah. Entah,
saya ndak tahu apa yang sesungguhnya
terjadi.
Tak terasa, satu jam berlalu. Makanan di
piring sudah tandas pindah ke perut.
Diajeng ternyata tak kunjung menelepon.
Mungkin dia sudah terbang. Jadi ngapain
saya berlama-lama di sini?
Saya segera membayar dan beranjak
meninggalkan Melrimba. Dewi malam mulai
menunjukkan kedatangannya lewat angin
yang dingin. Kabut dan gerimis sudah pergi.
Jalanan agak sepi.
Saya jalankan mobil pelan-pelan menyusuri
tikungan-tikungan jalanan yang menurun.
Pohon-pohon teh berjejeran di kiri dan kanan
jalan. Warung-warung, juga penjaga vila
yang mengedip-ngedipkan sentolop di
tangan tanda ada kamar yang kosong,
berlalu di belakang. Pikiran saya melayang
ke mana-mana, mengikuti tikungan
kehidupan yang telah saya lalui selama ini,
bersama Diajeng.
Rasanya baru kemarin saya bertemu dia.
Rasanya baru tadi saya merasakan harum
tubuhnya. Rasanya baru lima menit yang
lalu saya mendengar tawanya. Ah, padahal
sudah berapa lama saya tak berjumpa
dengannya sampai akhirnya kemarin malam
dia menelepon dan kami bertemu di sebuah
kedai kopi di jantung kota. Lima, enam, atau
tujuh tahun yang lalu?
Saya ingat, malam-malam begini di Puncak
bertahun yang lalu, Diajeng sering mengajak
saya berjalan kaki menyusuri jalan-jalan di
sekitar vila langganan kami itu. Vila bercat
hijau itu kecil saja. Desainnya sangat moi
indie, mirip rumah-rumah sinyo Belanda
tempo doeloe. Halaman depannya
dihampari rumput dan pinus.
Kalau sedang berjalan-jalan seperti itu,
Diajeng pasti minta digandeng atau dipeluk,
lalu lama-lama ngelendot di bahu saya.
“Soalnya aku seneng kalau ada kamu di
sebelahku, Mas. Hangat,” begitu alasannya
waktu itu.
Saya cuma mesem. Di atas, langit
benderang. Bintang-bintang berjejeran tak
beraturan.
“Mas, bener nggak sih, kata orang bintang

itu sebetulnya sudah lama mati, mungkin


bertahun-tahun yang lalu? Hanya karena
jaraknya begitu jauh, sinar terakhirnya baru
sampai dan terlihat oleh mata kita
sekarang,” tiba-tiba Diajeng bertanya sambil
menengadahkan dagunya yang lancip.
“Begitulah, Jeng,” jawab saya sekenanya.

“Bintang mungkin sebuah perlambang,


bahwa yang telah mati pun bisa tetap
terlihat indah dari kejauhan, bahkan setelah
berabad-abad kemudian. Eh, tahu ndak,
Jeng? Bintang sering jadi inspirasi para
penyair dan pujangga lo.”
“Oh ya? Misalnya siapa, Mas?’

“Misalnya Robert Frost. Dia pernah menulis

sebuah puisi, judulnya Stars. Di antara bait-


bait puisinya, Frost menyebut tentang
bintang.”
“Kamu ingat kata-katanya, Mas?”

“Tentu.”

Saya lalu membacakan puisi Frost, diambil


dari kumpulan sajak A boy’s Will.
How countlessly they congregate
O’er our tumultuous snow,
Which flows in shapes as tall as trees
When wintry winds do blow!
As if with keenness for our fate,
Our faltering few steps on
To white rest, and a place of rest
Invisible at dawn,
And yet with neither love nor hate,
Those stars like some snow-white
Minerva’s snow-white marble eyes
Without the gift of sight…
Diajeng mendengarkan saya membaca sajak
dengan mata tak berkedip dan mulut
melongo.
“Wah … kamu romantis sekali deh, Mas,”

katanya sambil memeluk pinggang saya


erat-erat.
“Halah. Romantis opo seh?” jawab saya

sambil mengacak-acak rambut Diajeng.


Dia tergelak. Tiba-tiba wajahnya berubah.
“Tapi, sampai kapan kita begini terus, Mas?

Kenapa kita harus bersembunyi dalam


gelap, seperti tikus yang menghindari
kucing? Aku kan nggak mau seperti bintang
yang harus mati dulu supaya sinarnya bisa
kamu kenang? Aku nggak mau seperti
bintang yang cuma menarik di kejauhan.
Aku pengen di dekatmu, Mas. Bisakah kau
tinggalkan mbakyu demi aku?” tanya
Diajeng.
Saya lihat bibirnya bergetar. Ups. Sepertinya
perang bubat bakal dimulai lagi nih. Di mana
ada pemadam kebakaran?
“Kenapa kamu menanyakan itu, Jeng?” saya

balik bertanya untuk meredakan


ketegangan.
“Jawab saja, Mas. Kamu jangan mengelak.”

Aha, rupanya Diajeng menangkap sinyal


keengganan saya untuk menjawab.
Kuldesak. Ibarat petinju, saya terpojok di
ujung ring.
“Ya bagaimana lagi, Jeng,” jawab saya masih

ogah-ogahan. “Kamu tahu benar kan,


situasinya? Mas kan ndak mungkin
meninggalkan mbakyu dan anak-anak.
Sudahlah, Jeng. Mas kan sudah sering
bilang, nanti saja kita pikirkan bagaimana
sebaiknya.”
“Ah, kamu,” kata Diajeng sambil mencubit

pinggang saya.
Untung cuma cubitan. Saya ndak sanggup
membayangkan seandainya Diajeng
melanjutkan pertanyaan soal itu terus dan
mengejar jawaban tanpa lelah, seperti
biasanya. Perang bubat mungkin benar-
benar akan meletus.
Saya menghela napas panjang, lalu
memeluknya erat-erat. Kami meneruskan
jalan pulang menuju vila kecil di bawah bukit
itu dalam keheningan yang panjang. Entah
apa yang dipikirkannya. Pikiran saya sendiri
melayang tak keruan.
Sekarang saya sudah agak lupa jalan
menuju vila itu. Sejak meninggalkan
Melrimba tadi mata saya mencari-cari
belokan menuju vila itu. Tapi, ndak
menemukannya. Mungkinkah sudah
terlewat?
Ah, biarlah. Untuk apa diingat-ingat lagi.
Diajeng toh sudah tak ada di sini dan entah
kapan dia pulang lagi. Mungkin juga Diajeng
tak akan pernah kembali. Saya ndak mau
terlalu larut memikirkannya lagi. Que sera,
sera. Whatever will be, will be.
Di atas, tak ada bintang seperti yang pernah
kami lihat dulu. Langit tertutup mendung.
Jakarta masih sejam lagi, masih cukup
panjang jalan menuju pulang. Di depan,
masih ada banyak tikungan yang mesti saya
lewati. We never know what tomorrow
brings.
Selamat jalan, Jeng …
HOPE
One look at love and you may see
It weaves a web over mystery,
All ravelled threads can rend apart
For hope has a place in the lover’s heart.
Hope has a place in a lover’s heart … [Enya]
Malam yang murung di pabrik yang sepi.
Para buruh sudah pulang sejak tadi. Tinggal
satu-dua orang yang masih bertahan
menyelesaikan pekerjaan. Sayup-sayup
terdengar suara Enya menyanyikan Hope
Has A Place yang nglangut itu dari pemutar
CD milik seorang teman di pabrik. Ugh, hati
saya ikut nglangut. Kosong.
Sudah tiga hari berlalu sejak Diajeng
terbang ke Milan. Rasanya sudah bertahun-
tahun. Saya masih belum mengerti juga
bersama siapa dan mengapa ia mendadak
pergi. Terlalu banyak yang saya ndak tahu.
Saya sampai pecas ndahe memikirkan
kelebatan bayangan demi bayangan hidup
yang bersicepat melawan waktu. Seperti
hubungan saya dan Diajeng dulu.
Berawal dari yang biasa-biasa saja, sampai
kemudian kami terjebak dalam pusaran
hubungan yang kian rumit. Sebetulnya saya
bukan tak menyadarinya. Begitu pula
Diajeng. Tapi, mungkin kami terlalu bebal
atau justru keasyikan menikmati sesuatu
yang sebetulnya kurang patut kami lakukan.
Pernah saya mendiskusikannya dengan
Diajeng soal kelanjutan hubungan kami.
Seperti biasa, kami melakukannya di sebuah
kedai kopi yang cozy di jantung Jakarta.
Saya mau mengajaknya berpikir lebih jernih
untuk tak melanjutkan hubungan yang kian
lama kian susah saya kendalikan.
“We did start something, Jeng. So, sooner or

later, we have to finish it,” saya membuka


percakapan, straight to the point.
“Makanya, Mas. Don’t start what you cannot

finish,” jawab Diajeng enteng.


“Asyem, bukan aku yang memulai,” jawab

saya ndak mau kalah.


“Ok. The question is: how? How are we going

to finish it, Mas?”


“That is up to us. Apa pun yang kita pilih,

sebaik-baiknya, merupakan kesepakatan


dari saya dan kamu.”
“Memangnya kita punya pilihan, Mas?”

“Cuma dua: kalah atau menang. Kamu atau


Mbakyu. Well, memilih itu hal biasa dalam
hidup bukan?”
“Aku nggak tahu, Mas. Toh semua pilihan

dan kemungkinan itu punya


kebolehjadiannya sendiri.”
“Masalahnya Jeng, kekalahan terbesar terjadi

apabila kita harus mengorbankan apa yang


paling kita cintai dalam hidup. Saya tahu
kamu sayang saya Jeng, dan percayalah,
saya pun sayang sekali sama kamu. Namun,
the real thing is, yang paling kita cintai
adalah pasangan, nama baik, atau hidup
kita masing-masing. Pertanyaan terbesar
yang harus kita jawab adalah apakah kita
bersedia untuk masuk ke pertaruhan
terbesar, yakni meletakkan kepingan-
kepingan berharga itu di atas meja
kehidupan?
Sekarang mari kita berhitung soal risiko.
Ketika saya mempertaruhkan Mbakyu, risiko
terbesar yang mesti saya tanggung adalah
perceraian. Sedangkan kamu mungkin ndak
punya konsekuensi yang kamu harus
tanggung. Rasanya sulit bagi diri saya
menemukan apa saja yang kamu cintai
dalam hidup kemudian diletakkannya dalam
skala prioritas. Suka ndak suka, harus
diakui, saya menanggung risiko yang amat
jauh lebih besar.
Marilah kita bermain asumsi. Ini
pertanyaannya: bagaimana seorang istri
sekaligus ibu akan bereaksi ketika
mengetahui bahwa suaminya terlibat affair
dengan teman kantornya yang jauh lebih
muda?”
Diajeng diam saja. Sepertinya tengah
berpikir keras. Sesaat kemudian, dengan
suaranya yang melodius, dia bicara.
“Mas, mungkin kita memang tak perlu

mengalami pertaruhan kelas berat seperti


yang kamu gambarkan itu. Bisa saja, sampai
kita mati nanti, baik Mbakyu dan anakmu
tidak akan pernah tahu soal hubungan kita.
Kemungkinan ini ada dan harus
dipertimbangkan, dan aku rasa kita berdua
cukup cerdas dan tidak bodoh untuk
menjaga hal tersebut.
Sebaliknya, bisa pula Mbakyu tahu dan
ternyata tak ambil pusing tentang hubungan
kita ini. Mungkin, kan? Atau, bisa jadi kita
ternyata mampu menjalani dua kehidupan
ini dengan seimbang dan teramat baik. Bisa
juga. Bisa jadi hubungan kita justru mampu
membawa kita dalam satu titik equilibrium
dari our good and evil side. Bisa jadi.
Sebaliknya, bisa saja kita bertengkar hebat,
saling membanting telpon, pintu, dan entah
apa lagi, lalu hubungan kita pun hancur
berantakan. Semuanya punya kemungkinan
dan ketidakmungkinannya masing-masing,
Mas.
One thing you should know. Sebenarnya,
yang ingin aku sampaikan itu sederhana
sekali. Di tengah-tengah segala kalkulasi
yang selama ini aku paparkan dan aku
perkirakan, aku kepingin kamu tahu bahwa
aku tuh punya lho sisi sentimentil yang
sangat emosional. Ketika sisi itu berkuasa,
segala urusan bisa berjalan dengan sangat
tidak sistematis dan di luar kerangka logis,
Mas.
Satu hal aja deh, ngapain sih pakai nangis di
kantor? Kenapa coba? Nangis? Di kantor?
Dan nggak kerja? Ngapain juga sih aku
begitu? Apa perlunya coba? Namun, ya
harus diakui, aku punya sisi itu. Sekalipun
kita sudah melakukan ’semuanya’ dalam
waktu kurang dari 6 bulan, sisi kacau balau
ini rasanya belum termasuk ‘paket instan’
itu deh.
Jadi, kalau sekarang kamu bertanya, apakah
aku ingin mengakhiri semuanya sekarang?
Wah, sebenarnya yang aku mau kasih tahu
ke kamu adalah … hehehe, aku … aku lagi
kangen sekali nih sama kamu … dan maaf
ya, aku menyatakannya dengan rada-rada
cengeng dan kacau balau… hehehe, jadi
malu … “
Saya cuma bisa geleng-geleng kepala
mendengar jawaban, err … isi hati Diajeng.
Rupanya dia sudah ndak bisa dibelokkan lagi
ke mana-mana. Satu kata, satu hati, satu
keinginan: hidup bersama saya.
Mengenangkan kembali percakapan itu dan
kenyataan bahwa Diajeng sudah terbang ke
Milan membuat saya seperti terlempar
dalam pusaran hidup yang paradoksal.
Benarkah Diajeng benar-benar pernah
punya harapan bakal hidup selamanya di
samping saya? Adakah harapan itu masih
tersimpan rapi di sudut hatinya?
Sayup-sayup saya mendengar Enya
bersenandung lirih, Hope Has A Place …
One look at love and you may see
It weaves a web over mystery,
All ravelled threads can rend apart
For hope has a place in the lover’s heart.
Hope has a place in a lover’s heart
Whispering world, a sigh of sighs,
The ebb and the flow of the ocean tides.
One breath, one word may end or may start
A hope in a place of the lover’s heart.
Hope has a place in a lover’s heart.
Look to love you may dream,
And if it should leave then give it wings.
But if such a love is meant to be;
Hope is home, and the heart is free
Under the heavens we journey far,
On roads of life we’re the wanderers,
So let love rise, so let love depart,
Let hope have a place in the lover’s heart.
Hope has a place in a lover’s heart.
Look to love and you may dream,
And if it should leave then give it wings.
But if such a love is meant to be;
Hope is home, and the heart is free.
Hope is home, and the heart is free …

You might also like