Professional Documents
Culture Documents
><
Ndoro Kakung
:: lelaki wangi
pandan ::
LAJANG
serbet.
Marlboro mentol hijaunya dijentikkan ke
asbak. Hmm, wangi Chanel menyergap
hidung saya. Ah, rupanya dia belum pernah
berubah. Sayup-sayup saya mendengar
speaker di pojok atas meja kami
mengalunkan suara Asti Asmodiwati.
Lagunya Satu Jam Saja.
“Padahal kan ndak semua laki-laki gombal,
best, Mas.”
Halah. Ndobos banget.
Dia ngakak. Lampu merah menyala. Saya
ngerem pelan-pelan. Tiba-tiba bibirnya yang
hangat itu menyentuh pipi kiri saya. Begitu
mendadak. Saya kaget. Lirak-lirik spion kiri-
kanan dan belakang, menengok keluar.
“Kenapa Mas? Takut? Atau ada yang
Jeng?”
Dia nyengir.
“For the old time sake, Mas. Untuk semua
Modyar, aku!
RUANG
Hati yang luka. Jiwa yang kosong.
Ke mana harus berlabuh.
Sedang daun-daun kering pun terbawa
angin …
Saya pernah membaca bait-bait itu di buku
harian kawan perempuan saya itu, bertahun
yang lalu. Ia memamerkannya ketika kami
sama-sama sedang keranjingan belajar
menulis puisi.
Saya lupa kenapa waktu itu kami seperti itu.
Mungkin gara-gara kami baru saja
menyaksikan sebuah pertunjukkan baca
puisi di Taman Ismail Marzuki. Atau
barangkali setelah kami menonton DVD
lawas, Dead Poets Society untuk yang
kesepuluh kalinya. Entah. Saya tak ingat.
Malam itu, anehnya, saya tiba-tiba ingat
puisi itu ketika dia meminta saya
menemaninya tinggal sejenak di
apartemennya. Saya tahu hatinya sedang
terluka. Karena itu, ia pasti membutuhkan
seseorang untuk berbincang ― seperti
biasanya dulu. Tapi, menuruti permintaanya
cuma akan membuat persoalan kian rumit.
Saya ndak mau memanfaatkan kesempatan.
Sesaat, saya tertegun dalam bimbang. Saat
itulah,handphone-nya menjerit nyaring.
Sebuah SMS masuk. Ia kaget. Aha, saved by
the bell.
Dengan malas-malasan, dia merogoh tas,
meraba-raba barang yang dicarinya.
Ketemu. Ia membacanya sekilas.
“Shit! Ayo, Mas. Kita jalan lagi aja,” ajaknya
sambil mengangkat kepalanya yang dari
tadi nyender di bahu kiri saya.
Jalan? Oke. Tanpa bertanya, saya masukkan
gigi transmisi dan menginjak pedal gas
perlahan. Fiuh. Saya menghela napas lega
terlepas dari dilema itu.
Di pintu depan, satpam yang tadi membuka
portal terlihat bingung ketika kami ternyata
keluar lagi tanpa sempat turun dari mobil.
Saya tahu dari wajahnya yang nyengir wagu.
Ah, biarlah. Itu urusan dia, bukan urusan
saya.
“ Ke mana, Jeng?”
Ke mana sajalah. Terserah, Mas. Pokoknya
“
mengingatkanmu padaku?”
Lately, Stevie Wonder,” jawab saya
“
sekenanya.
Ia ngakak.
“Ih, boong banget. Hehehe … Itu mestinya
lagu ‘kebangsaan’ pacar-pacarku dulu yang
selalu kuduakan dan akhirnya kutinggal
pergi. Kamu kan bukan pacarku Mas, kamu
lebih dari itu, dan yang ninggalin aku tuh
kamu. Bukan sebaliknya.”
Ups. Wrong answer. Padahal saya tadi jawab
asal-asalan. Lah kok tafsirnya lain. Tapi,
sudah telanjur. Pantang mundur. Jadi saya
cuma mringis.
Kenapa kamu jadi inget saya setiap
“
bertanya.
Dia langsung membalas, “Pengen tau aja,
Mas.”
Saya diam dan tak membalasnya. Eh, pesan
pendeknya masuk lagi. “Jadi kenapa, Mas?
Answer it, please.”
Halah, ngeyel.
Saya pun menjawab sekenanya. “Wah, saya
lupa, Jeng. Sudah lama sih.”
Apa yang saya dapat? Handphone saya
langsung berdering. Saya lihat layar
monitornya, ehm, “Diajeng calling”.
Halo … Ada apa, Jeng?” tanya saya pura-
“
pura bego.
Halah, pakai nanya. Si Mas nggak asyik sih.
“
sana.
Saya tergagap. “Eh, eng … baik … baik,
Mam. Mami sendiri gimana kabarnya? Saya
kira tadi Diajeng yang menelepon.”
“Ah, dia sudah pergi dari tadi, Mas. Ndak
tahu dijemput siapa tadi. Tapi, sebelum
pergi, dia sempat cerita. Katanya Mas yang
mengantarnya semalam ya? Kok Mami ndak
dikasih tahu?
Iya, Mam. Maaf. Tadi malam saya buru-
“
katanya.
Saya diam saja. Bukan itu yang saya
butuhkan.
Satu-satunya hadiah yang pernah saya
terima darinya justru bukan sebuah benda.
Dia memberikannya pada sebuah malam
yang lembab, ketika Jakarta diguyur hujan
lebat, enam bulan setelah kami pertama kali
berkenalan, kira-kira sepuluh tahun yang
lalu.
Waktu itu, kami baru saja pulang dari
nonton sebuah konser musik kamar di
Gedung Kesenian. Tepatnya saya bekerja,
dia menemani. Semula saya agak segan
membawanya, tapi dia ngotot ikut.
“Aku pengen melihat Mas bekerja,” begitu
alasannya. Padahal saya tahu dia bakal
tersiksa mendengarkan sesuatu yang tak dia
sukai selama dua jam pertunjukan itu.
Anehnya, di dalam mobil hitam butut yang
membawa kami pulang, dia malah senyum-
senyum sendiri.
“Kok mesam-mesem. Ada apa sih, Jeng?’
tanya saya penasaran.
Aku seneng Mas, bisa ikut kamu malam ini,”
“
Mas.”
“ Ada yang aneh?”
“ Nggak. Aku kagum aja.”
“ Kagum? Kok bisa? Rasanya biasa saja.”
Buat kamu mungkin biasa Mas, tapi ini
“
saya kerja.”
“Pastinya, Mas. Kalau lihat kamu kerja, aku
jadi inget Papi. Dia mirip kamu. Pekerja
keras. Sayang kamu ndak sempat kenal ya,
Mas.”
“ Kamu dekat sama Papi ya?’
“ Banget. Dalam hidupku cuma ada Papi.”
“ Lah, Mami kan masih ada.”
“ Iya sih, tapi kan aku nggak begitu deket.”
Pantes kamu suka saya, karena kayak Papi
“
ya?”
“Huuu .. ge-er,” katanya sambil meninju
lengan kiri saya. Eh, kita cari makan dulu
yuk, Mas. Aku laper.”
“ Boleh. Di mana?”
Terserah Mas, saja. Makanannya sih ndak
“
mencibir.
Ah, biarin,” tukasnya sambil mencubit
“
pinggang saya.
Sayang, kami tak bisa lama-lama menikmati
makan malam di Menteng. Pengamen itu
juga tak sempat menyelesaikan lagu yang
dia minta. Gerimis mendadak jatuh satu-
satu. Kami buru-buru membayar makanan
dan pergi.
Gerimis lama-lama kian deras, menjadi
hujan. Ia mengajak pulang langsung ke
apartemennya. Di dalam mobil, ia
bersenandung pelan, meneruskan lagu yang
tak sempat diselesaikan pengamen tadi.
Tangan kanannya menggengam lembut
tangan kiri saya.
Resah rintik hujan yang tak henti menemani
Sunyinya malam ini sejak dirimu jauh dari
pelukan …
Saya tersenyum. Suaranya enak juga. Dia
rebahkan kepalanya ke bahu kiri saya.
Wangi rambutnya membuat saya nyaman.
Dia terus bernyanyi bahkan ketika kami
masuk ke dalam apartemennya dengan
lengan memeluk pinggang saya.
Jangan kau risaukan air mata yang jatuh
membasahiku
Harusnya kau mengerti, sungguh besar
artimu bagi diriku
Selamat jalan kekasih …
Pelukan di pinggang. Desah di telinga.
Aroma tubuhnya. Mendadak saya terhanyut
dalam pesonanya, seperti tersihir. Dan,
semuanya terjadi begitu saja. Tanpa
rencana.
Malam itu, di tengah hujan yang menggila,
untuk pertama kalinya saya tidur dengan
perempuan yang bukan istri saya.
GELOMBANG
keheranan.
“ Kehidupan,” jawab saya singkat.
Halah. Dia ngakak.
Rupanya dia juga kelaparan setelah
semalaman bertarung dalam kenikmatan. Ia
langsung memenuhi piringnya dengan
omelet daging asap, sosis, dan setangkap
roti panggang isi keju buatan saya.
Dilahapnya semua makanan. Sesuap demi
sesuap. Sesendok demi sesendok. Lama-
lama habis juga.Wah, rakus bener. Saya
cuma kebagian sedikit. Apes! Tapi bukan itu
yang penting. Ia melahap sarapannya sambil
menggoda. Matanya menatap saya terus,
sesekali mengerling, dan kakinya tak henti
menyusuri paha saya. Senyumnya nakal.
Saya mendelik.
“Kalau dari dulu aku tahu kamu pinter
masak, mestinya aku ndak perlu susah-
susah nyari kafe tiap pagi. Mending kamu
tinggal di sini aja sekalian, Mas.”
Huuu … maumu. Enak di kamu, ndak enak
“
di aku, Jeng.”
“Kamu mengingatkanku pada almarhum Papi
deh, Mas. Dia juga senang memasak. Papi
juga yang ngajarin Mami jadi pinter masak
seperti sekarang,” katanya ringan.
I see … Kamu sendiri pasti ndak suka masak
“
ya, Jeng?”
“ Ndak perlu kujawab kan, Mas,” jawabnya
sambil nyengir.
“ Sudah saya duga.”
Lagi-lagi dia tergelak. “Eh, Mas tahu nggak?”
tanyanya tiba-tiba.
“ Apa?”
“You’re great last night. I should thank you
for doing that.”
Saya tersipu. “Terima kasih, Jeng. Kamu juga
… luar biasa. Belajar dari mana?”
“ Kehidupan.”
Gundulmu, Jeng …” saya misuh sambil
“
pulang.”
“ Ya udah. Cepetan ya. Daag … Ayah.”
“ Daag…”
Saya menutup telepon. Ugh, lega rasanya.
Saya kira ibunya yang menelepon. Kalau dia
yang menelepon, pasti lebih susah
menjawabnya.
“ Siapa, Mas? Anakmu?” tanya Diajeng
ringan.
Iya. Nggak apa-apa kok, Jeng. Dia cuma
“
mana sih?”
“ Di kolam renang dekat rumah.”
Ah, aku jadi pengen berenang. Eh, mandi
“
deh,” katanya.
Saya menurut dan mencoba ikut merasakan
suasana yang dia rasakan. Hening. Tak ada
apa-apa. Hanya terdengar suara angin yang
berdesir pelan. Dingin.
Di atas sana, langit yang memerah dan
kabut yang turun membuat sore itu
menjelma seperti puisi-puisi T.S. Elliot,
sederhana, lembut, dan syahdu.
Di tempat senja memerah dan kabut turun
itulah, Diajeng meminta saya ke sana sore
nanti.
Sejenak saya ragu. Apakah dia sedang
berusaha membawa kembali kenangan
masa lalu? Rebound? Rasanya mustahil.
Masa lalu itu batu padas. Tak bisa diapa-
apakan.
ANGIN
Dear my beloved,
I wanna tell you a story – a kinky one. Kamu
jangan mikir yang enggak-enggak dulu ya,
Mas, hehehe … Mau tahu nggak?
Well, gini ceritanya. Waktu itu film sudah
diputar setengahnya. Mulai bosan, aku
melihat ke kiri dan ke kanan. Uh, di balkon
ini semuanya berpasang-pasangan. Cuma
aku aja yang sendirian, sebel … Lantas aku
jadi terkenang-kenang pada gemuruh
keinginan yang sama-sama kita rasakan.
Ya sudah, aku cuma bisa menarik napas.
Panjang. Betul-betul panjang. Sambil
meluruskan kaki yang menjuntai ke kursi
depanku (kurang ajar betul aku ya? kalau ini
bioskop 21, mungkin aku sudah diusir
keluar), aku menengadah ke langit-langit
bioskop. Terlihat burai blok-blok sinar
menyembur keluar dari ruang proyektor.
Cahayanya bergerak-gerak sesuai dengan
adegan yang berganti-ganti. Aku jadi ingat
khayalan kita tentang apa yang bisa kita
lakukan di ruang proyektor.
Mataku berkeliling. Sebenarnya tentu
menarik kalau kita ‘melakukannya’ di ruang
preview bioskop ya. Kita tinggal pilih kursi
yang mana saja kan? Begitu pikiran macam
itu terlintas, langsunglah nafsu menyergap.
Waduh, keinginan itu sudah mendesak-
desak keluar semenjak aku membuka
lembar-lembar buku di QB.
Ya sudahlah. Aku menyerah. So I put my
black jacket on my lap to cover the most
intimate part of my feminity. I unzipped my
pant and excited myself, wishing it was your
finger inside me. Picturing you pumping me,
I reached my peak somewhere around the
end of the movie.
So, when Tom Tom ran on the attic in the
slow motion and waved her lover goodbye, I
was gasping and biting my lips trying not to
produce any sounds. When Tom Tom finally
jumped, my body was trembling hard. Just
before the credit title was shown, I zipped
myself back.
I lit my cigarette up while walking out of the
cinema. Quite dramatic, isn’t it, Mas?
Hahaha …
Saya tergelak panjang sambil misuh-misuh
bila ingat email itu. Diajeng memang punya
selera humor yang luar biasa. That’s why I
like … err … love her so much.
Dia memang perempuan yang luar biasa. Ia
dari jenis yang suka berterus terang,
spontan, dan apa adanya. Kalau ngomong
ndak pakai tedeng aling-aling. Saya kadang
suka malu sendiri kalau mendengar. Well,
mungkin sudah bawaan dia sejak lahir. Saya
bisa apa? Padahal saya tak pernah
menyangka dia seperti itu bahkan sejak
pertama bertemu.
Saya pertama kali berjumpa dengannya di
pabrik tujuh tahun silam. Pada sebuah pagi
yang dingin di bulan April. Saat saya hendak
mandi. Waktu itu saya masih rookie di
pabrik ini. Lagi giat-giatnya bekerja. Hampir
24 jam per hari, 7 hari sepekan, 30 hari
dalam sebulan, saya ada di pabrik. Bahkan
tak jarang saya menginap di pabrik pada
hari-hari tertentu. Biasanya menjelang akhir
pekan.
Para bos suka meledek, kuda pacu yang
baik memang harus diberi banyak beban.
Saya cuma bisa nyengir mendengarnya.
Tapi, terus terang saya memang menyukai
pekerjaan ― dan bekerja ― di pabrik ini. Jadi
saya ndak pernah merasa keberatan apalagi
menolak setiap pekerjaan yang para bos
berikan.
Suatu pagi, saya terbangun ketika pabrik
sedang memutar kencang mesin-mesin
produksinya. Semua komputer di meja
sudah menyala. Begitu juga pendingin-
pendingin ruangan.
Saya membuka mata dengan segan. Malas
tepatnya. Tadi malam saya memang
bergadang dan baru menjelang subuh
memejamkan mata. Ada satu tugas yang
mesti saya selesaikan pagi itu juga.
Dengan mata setengah terpejam, langkah
gontai, saya ke kamar mandi sambil
menenteng sabun, handuk, sikat gigi, dan
odol. Seperti biasa, saya cuma memakai
sarung dan kaos oblong – “seragam
kebangsaan” saya setiap kali tidur di pabrik.
Tangan saya sedang terulur hendak
membuka pintu kamar mandi ketika
mendadak saya seperti melihat ada sesosok
bayangan dari arah dalam yang mau keluar.
Begitu tiba-tiba. Tangan saya nyaris
menyentuh dadanya. Seorang perempuan!
“ Hei, awas!” perempuan itu berteriak kaget.
“Oh, maaf. Kirain ndak ada orang,” seru saya
tak kalah kaget.
Saya mundur. Sedikit kikuk. “Eh, Anda
siapa?” tanya saya heran. Rasanya baru kali
ini saya melihat dia. Karyawan baru?
Dia tersenyum. Busyet. Matanya itu lo,
Bung!
Sori, Pak. Eh, Mas. Saya karyawan magang.
“
waswas.
“Siang, Mas. Ini Diajeng. Kita bertemu tadi
pagi di depan pintu kamar mandi. Masih
ingat, kan?”
Diajeng? Busyet. Bidadari cantik itu?
“Wah … ya tentu saja masing ingat dong,
Jeng. Ada apa?”
“ Ah, enggak … Sibuk?”
Nggak juga. Baru aja selesai. Sekarang mau
“
kerja di sini?”
“ Hampir sebulan.”
“ Sebulan? Kok saya baru lihat hari ini?”
“Ah, Masnya sibuk terus sih. Mas nggak
pernah merhatiin aku pula,” katanya sambil
nyengir lucu. “Padahal aku sudah sering
lihat Mas loh. Mas sering tidur di sofa merah
lantai dua itu kan?”
Kali ini saya yang gantian nyengir.
Kok sering tidur di pabrik sih, Mas? Rumah
“
Mas jauh?”
Nggak juga, Jeng. Masalahnya, pada malam-
“
mendengarkan.”
Ia tersenyum. “Ah, si Mas bisa aja … “
Diajeng lalu bercerita bahwa dia baru saja
lulus kuliah. Ia mengambil program master
di bidang desain dari sebuah universitas luar
negeri. Sebetulnya ia bisa saja langsung
bekerja di perusahaan teman papinya.
“Tapi, aku mau nyari pengalaman dulu di
tempat lain. Kebetulan aku punya teman
yang bercerita ada lowongan buat karyawan
magang di pabrik kamu. Jadilah aku ke sini
dan bertemu kamu, Mas.”
Oh, gitu. Terus kenapa tadi menelepon saya
“
…”
Wah, kayaknya ceria terus nih, sekarang …
“
”
Hati-hati, Mas. Cewek zaman sekarang
“
galak, hihihi …”
Kalau sudah bosen, bilang-bilang ya, Mas
“
…”
“Nggak takut sama yang di rumah, Mas? Aku
juga perempuan, bisa ikut merasakan
sakitnya dikhianati …”
“ Ingat anak-anak, Mas…”
Saya cuma bisa senyum kecut dan tak
memedulikan mereka. Percuma menanggapi
ocehan yang saya anggap sarkastis dan
pedas itu. Mereka tahu apa. Mereka pasti
tak paham bahwa kedekatan saya dan
Diajeng tak lebih dari kedekatan seorang
guru dan murid. Diajeng bertanya, saya
menjawab. Technically speaking, saya tak
melakukan sesuatu yang lebih jauh dari
sekadar duduk berdekatan.
Memang Diajenglah yang nyaris setiap pagi
meletakkan makanan kecil, sekadar
kudapan, di meja saya. Beberapa potong
semar mendem, arem-arem, bolu gulung,
atau brownies. “Semuanya buatan mami,”
katanya. “Buat sarapan, Mas. Tadi malam
nglembur lagi, kan?”
Tapi, ya cuma itu saja. Tidak lebih.
Memang Diajeng jugalah yang hampir selalu
mengingatkan saya kapan harus menemui
orang-orang di luar kantor itu, kapan saya
mesti makan siang, atau sekadar memberi
tahu ada pameran lukisan di Kemang,
pembacaan puisi di Gedung Kesenian, atau
peragaan busana di JCC. Kadang kami
nonton bersama karena dia memang suka
puisi, lukisan, juga trend busana. Kadang
saya berangkat sendiri sebab pekerjaan
mengharuskan demikian dan Diajeng punya
acara lain.
Mungkin karena perhatian-perhatian kecil
Diajeng secara khusus ke saya itulah para
buruh bergunjing atau mungkin iri hati. Tapi,
saya bisa apa? Saya toh tak perlu menjelas-
jelaskan pada setiap orang bahwa hubungan
kami tak lebih sekadar teman.
Well, saya justru lebih memikirkan panggilan
para bos yang mendadak. Apakah mereka
juga mau menanyakan soal hubungan saya
dan Diajeng? Wah, kalau iya, jelas ndak
bener. Ndak bisa bos mencampuri urusan
pribadi buruh-buruhnya. Saya harus
melawan. Bila perlu sampai titik darah
penghabisan. Ini prinsip, Bung!
Begitu sampai di depan ruangan mereka,
agak ragu-ragu saya mengetuk pintu.
Tok, tok, tok …
“ Masuk, masuk … pintunya nggak dikunci.”
Suara bos perempuan.
Saya membuka pintu dan masuk ruangan.
“Pagi Bu, Pak,” saya menyapa mereka
ringan.
“Wah … pagi, Mas. Sudah saya tunggu dari
tadi. Ayo, silakan duduk. Mau minum apa?”
tanya bos perempuan sambil berdiri dari
kursinya.
Ah, keramahan yang alami.
Bos laki-laki ikut berdiri dan tersenyum
lebar. “Makin seger saja sampean, Mas,”
katanya.
“Halah, seger apa sih, Pak? Lah wong kurus
kering begini kok dibilang seger. Eh, ndak
usah repot-repot, Bu. Saya baru saja ngopi
tadi di meja.”
“ Bener nih?”
Iya, Pak. Saya mau cepat-cepat saja.
“
KABUT
Malam seperti itu, hujan sering turun
Ada kabut tipis dalam gelap, tumbuh dari
udara panas
Kulit terasa lekat
Tapi hujan telah menunjukkan janjinya,
untuk datang
Kaki-kaki telah bergegas
Orang mencari tempat dan atap ― Fred de
Silva
Bukan cuma hujan yang menepati janji. Di
Puncak, kabut justru nyaris tak pernah
ingkar janji untuk datang di senja hari.
Seperti sore itu, beberapa puluh meter
menjelang Melrimba Garden, kabut mulai
membungkus jalanan, lalu perlahan turun
seperti kelambu putih menutup ranjang.
Saya menginjak rem, mengoper gigi, lalu
belok kiri menuju pintu gerbang taman.
Seorang petugas parkir menyambut ramah.
Senyumnya mengembang seraya tangannya
mengangsurkan selembar karcis.
“Lurus saja, Pak,” katanya. Tangannya
saya.
Saya mulai kehilangan kesabaran. Resah.
Berkali-kali saya melihat ke arah pintu
gerbang. Satu dua mobil masuk. Tapi, bukan
Diajeng. Lama-lama saya nyerah.
Kalau begini caranya, mending saya balik
kucing saja. Pulang. Bodo amat dengan
Diajeng. Bukan saya yang butuh, tapi dia.
Saya memang sudah berjanji pada maminya
untuk mencari dan menyampaikan
pesannya. Tapi, kalau ndak ketemu seperti
ini, ya nanti bilang saja ke mami apa
adanya.
Saya sudah hendak berdiri ketika tiba-tiba
seorang pelayan datang dengan tergesa.
Setengah berlari. “Maaf Pak … Bapak
menunggu Diajeng, ya?”
Saya kaget bin heran. “Iya, kok tahu?”
“Anu Pak, ada telepon untuk Bapak. Katanya
“Tentu.”
pinggang saya.
Untung cuma cubitan. Saya ndak sanggup
membayangkan seandainya Diajeng
melanjutkan pertanyaan soal itu terus dan
mengejar jawaban tanpa lelah, seperti
biasanya. Perang bubat mungkin benar-
benar akan meletus.
Saya menghela napas panjang, lalu
memeluknya erat-erat. Kami meneruskan
jalan pulang menuju vila kecil di bawah bukit
itu dalam keheningan yang panjang. Entah
apa yang dipikirkannya. Pikiran saya sendiri
melayang tak keruan.
Sekarang saya sudah agak lupa jalan
menuju vila itu. Sejak meninggalkan
Melrimba tadi mata saya mencari-cari
belokan menuju vila itu. Tapi, ndak
menemukannya. Mungkinkah sudah
terlewat?
Ah, biarlah. Untuk apa diingat-ingat lagi.
Diajeng toh sudah tak ada di sini dan entah
kapan dia pulang lagi. Mungkin juga Diajeng
tak akan pernah kembali. Saya ndak mau
terlalu larut memikirkannya lagi. Que sera,
sera. Whatever will be, will be.
Di atas, tak ada bintang seperti yang pernah
kami lihat dulu. Langit tertutup mendung.
Jakarta masih sejam lagi, masih cukup
panjang jalan menuju pulang. Di depan,
masih ada banyak tikungan yang mesti saya
lewati. We never know what tomorrow
brings.
Selamat jalan, Jeng …
HOPE
One look at love and you may see
It weaves a web over mystery,
All ravelled threads can rend apart
For hope has a place in the lover’s heart.
Hope has a place in a lover’s heart … [Enya]
Malam yang murung di pabrik yang sepi.
Para buruh sudah pulang sejak tadi. Tinggal
satu-dua orang yang masih bertahan
menyelesaikan pekerjaan. Sayup-sayup
terdengar suara Enya menyanyikan Hope
Has A Place yang nglangut itu dari pemutar
CD milik seorang teman di pabrik. Ugh, hati
saya ikut nglangut. Kosong.
Sudah tiga hari berlalu sejak Diajeng
terbang ke Milan. Rasanya sudah bertahun-
tahun. Saya masih belum mengerti juga
bersama siapa dan mengapa ia mendadak
pergi. Terlalu banyak yang saya ndak tahu.
Saya sampai pecas ndahe memikirkan
kelebatan bayangan demi bayangan hidup
yang bersicepat melawan waktu. Seperti
hubungan saya dan Diajeng dulu.
Berawal dari yang biasa-biasa saja, sampai
kemudian kami terjebak dalam pusaran
hubungan yang kian rumit. Sebetulnya saya
bukan tak menyadarinya. Begitu pula
Diajeng. Tapi, mungkin kami terlalu bebal
atau justru keasyikan menikmati sesuatu
yang sebetulnya kurang patut kami lakukan.
Pernah saya mendiskusikannya dengan
Diajeng soal kelanjutan hubungan kami.
Seperti biasa, kami melakukannya di sebuah
kedai kopi yang cozy di jantung Jakarta.
Saya mau mengajaknya berpikir lebih jernih
untuk tak melanjutkan hubungan yang kian
lama kian susah saya kendalikan.
“We did start something, Jeng. So, sooner or