You are on page 1of 9

MENGGAGAS PENDIDIKAN INTEGRATIF

Dan Optimalisasi Negara Dalam Penyelenggaraan Pendidikan


Menuju Generasi Shaleh – Muslih

Oleh
Muhammad Ismail Yusanto

Mukadimmah

Diakui atau tidak, sistem pendidikan yang berjalan di Indonesia saat ini adalah
sistem pendidikan yang sekular-materialistik. Sistem semacam ini terbukti telah gagal
menghantarkan manusia menjadi sosok pribadi yang utuh, yakni seorang Abidu al-Shalih
yang muslih, generasi yang cerdas, peduli bangsa dan kelak mampu menjadi pemimpin
yang ideal. Hal ini disebabkan oleh dua hal. Pertama, paradigma pendidikan yang
keliru, dimana dalam sistem sekuler, asas penyelenggara pendidikan juga sekuler. Tujuan
pendidikan yang ditetapkan juga adalah buah dari paham sekuler tadi, yakni sekedar
membentuk manusia-manusia yang berpaham materialistik dan serba individualistik
Kedua, kelemahan fungsional pada tiga unsur pelaksana pendidikan, yaitu (1)
kelemahan pada lembaga pendidikan formal yang tercermin dari kacaunya kurikulum
serta tidak berfungsinya guru dan lingkungan sekolah/kampus sebagai medium
pendidikan sebagaimana mestinya, (2) kehidupan keluarga yang tidak mendukung, dan
(3) keadaan masyarakat yang tidak kondusif .
Oleh karena itu, penyelesaian problem pendidikan yang mendasar harus pula
dilakukan secara mendasar, dan itu hanya dapat diujudkan melalui perbaikan yang
menyeluruh yang diawali dari perubahan paradigma pendidikan sekuler menjadi
paradigma Islam. Sementara pada tataran derivatnya, kelemahan ketiga faktor di atas
diselesaikan dengan cara memperbaiki strategi fungsionalnya sesuai dengan arahan
Islam.

Gambaran Sistem Pendidikan Islam


1. Tujuan Pendidikan Islam

Tujuan pendidikan adalah suatu kondisi ideal dari obyek didik yang akan dicapai,
ke mana seluruh kegiatan dalam sistem pendidikan diarahkan. Maka sebagaimana
pengertiannya, pendidikan Islam yang merupakan upaya sadar yang terstruktur,
terprogram dan sistematis bertujuan untuk membentuk manusia yang (1)
berkepribadian Islam, (2) menguasai tsaqofah Islam, (3) menguasai ilmu kehidupan
(sainsteknologi dan keahlian) yang memadai.

1
a. Membentuk Kepribadian Islam (Syakhshiyyah Islamiyyah).
Tujuan pertama ini merupakan konsekuensi keimanan seorang muslim, yakni
sebagai seorang muslim ia harus memegang erat identitas kemuslimannya dalam
seluruh aktivitas hidupnya. Identitas ini menjadi kepribadian yang tampak pada pola
berpikir (aqliyah) dan pola bersikapnya (nafsiyah) yang dilandaskan pada ajaran
Islam.
Pada prinsipnya terdapat tiga langkah dalam metode pembentukan dan
pengembangan kepribadian Islam dalam diri seseorang sebagaimana yang pernah
diterapkan Rasulullah SAW. Pertama, menanamkan aqidah Islam kepada yang
bersangkutan dengan metode yang tepat, yakni yang sesuai dengan kategori aqidah
sebagai aqidah aqliyyah (aqidah yang keyakinannya dicapai dengan melalui proses
berfikir). Kedua, mengajaknya bertekad bulat untuk senantiasa menegakkan
bangunan cara berpikir dan berperilaku di atas fondasi ajaran Islam semata. Ketiga,
mengembangkan kepribadiannya dengan cara membakar semangatnya untuk
bersungguh-sungguh dalam mengisi pemikirannya dengan tsaqofah Islamiyyah dan
mengamalkannya dan memperjuangkannya dalam seluruh aspek kehidupannya
sebagai ujud ketaatan kepada Allah SWT.
Pendidikan, melalui berbagai pendekatan, harus menjadi media untuk
memberikan dasar pembentukan, peningkatan, pemantapan dan pematangan
kepribadian anak didik. Semua komponen yang terlibat dalam kegiatan pendidikan
termasuk semua kegiatan yang dilakukan maupun interaksi diantara komponen di atas
harus diarahkan bagi tercapainya tujuan yang pertama ini.

b. Menguasai Tsaqofah Islam.


Tujuan kedua ini menjadi konsekuensi (lanjutan) kemusliman seseorang. Islam
mendorong setiap muslim untuk menjadi manusia yang berilmu dengan cara men-
taklif-nya (memberi beban hukum) kewajiban menuntut ilmu. Imam Al-Ghazali
dalam Ihya Ulumuddin, membagi ilmu dalam dua kategori dilihat dari sisi kewajiban
menuntutnya. Pertama, ilmu yang dikategorikan sebagai fardlu a’in, yakni ilmu yang
wajib dipelajari oleh setiap individu muslim. Ilmu yang termasuk dalam golongan ini
adalah ilmu-ilmu tsaqafah Islam, yakni pemikiran, ide dan hukum-hukum (fiqh)
Islam, Bahasa Arab, Sirah Nabawiyah, Al-Qur’an, Al-Hadits dan sebagainya. Kedua,
adalah ilmu yang dikategorikan sebagai fardlu kifayah, yaitu ilmu yang wajib
dipelajari oleh sebagian dari umat Islam. Ilmu yang termasuk dalam golongan ini

2
adalah sains dan teknologi serta berbagai keahlian, seperti kedokteran, pertanian,
teknik dan sebagainya yang sangat diperlukan bagi kemajuan material masyarakat.
Berkaitan dengan Bahasa Arab sebagai bagian dari tsaqafah Islam, Rasulullah
SAW telah menjadikan bahasa ini sebagai bahasa umat Islam yang dipakai dalam
kehidupan sehari-hari, termasuk dalam pendidikan. Karenanya, setiap muslim,
termasuk yang bukan Arab sekalipun, wajib mempelajari Bahasa Arab. Imam Syafi’i
dalam kitab Al-Risalah Fi ‘Ilmi Ushul menyatakan, “Allah SWT mewajibkan seluruh
umat untuk mempelajari lisan Arab dengan tekun dan sungguh-sungguh agar dapat
memahami kandungan Al-Qur’an dan untuk beribadah”.
Dorongan kuat agar setiap muslim mempelajari tsaqofah Islamiyyah disamping
sains dan teknologi, membuktikan bahwa Islam membentengi manusia dengan
menjadikan aqidah Islam sebagai satu-satunya asas bagi kehidupan seorang muslim,
termasuk dalam tata cara berpikir, berkehendak, sehingga setiap tindakannya terlebih
dulu diukurnya dengan standar ajaran Islam. Hanya dengan itu setiap muslim
memiliki pijakan yang sangat kuat untuk maju sesuai dengan arahan Islam.

c. Menguasai Ilmu Kehidupan (Iptek dan keahlian).


Kewajiban untuk menguasai ilmu kehidupan (iptek dan keahlian) diperlukan agar
umat Islam dapat meraih kemajuan material sehingga dapat menjalankan fungsinya
sebagai khalifah Allah SWT dengan baik di muka bumi ini. Dorongan Islam untuk
menguasai ilmu kehidupan juga dapat dimengerti dari pengkajian terhadap hakikat
ilmu pengetahuan itu sendiri. Pada hakikatnya ilmu pengetahuan terdiri atas dua hal,
yakni pengetahuan yang dapat mengembangkan akal pikiran manusia-sehingga dapat
menentukan suatu tindakan (aksi) tertentu-dan pengetahuan mengenai perbuatan itu
sendiri. Berkaitan dengan akal, Allah telah memuliakan manusia dengan akalnya.
Akal akan membimbing manusia ke jalan yang benar.
Sementara, dalam banyak ayat Allah SWT juga menyerukan untuk menggunakan
akalnya dan memanfaatkannya supaya dapat memikirkan dan merenungkan ciptaan
Allah sehingga bisa didapat sains dan aplikasinya berupa teknologi. Dari situlah akan
membuahkan tambahan keimanan kepada Allah SWT, terhadap keesaanNya,
kekuasaanNya dan keagunganNya. Disinilah pentingnya akal manusia, dimana
melalui proses berpikirnya akan mampu menghantarkan manusia pada keimanan.

3
2. Unsur Pelaksana Pendidikan

Berdasarkan pengorganisasian, proses pendidikan bisa dibagi menjadi dua, yakni


secara formal di sekolah dan secara nonformal di luar sekolah atau lingkungan, yakni
keluarga dan masyarakat.

a. Pendidikan di sekolah

Pendidikan di sekolah pada dasarnya merupakan proses pendidikan yang


diorganisasikan secara formal berdasarkan struktur hierarkhis dan kronologis, dari
jenjang taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi.
Selain mengacu pada tujuan pendidikan yang diterapkan secara berjenjang,
berlangsungnya proses pendidikan di sekolah sangat bergantung pada keberadaan
sub-sistem-sub-sistem lain yang terdiri atas: anak didik; manajemen penyelenggaraan
sekolah; struktur dan jadwal waktu kegiatan belajar-mengajar; materi bahan
pengajaran yang diatur dalam seperangkat sistem yang sistematis atau yang disebut
sebagai kurikulum; tenaga pendidik/pengajar dan pelaksana yang bertanggung jawab
atas terselenggaranya kegiatan pendidikan; alat bantu belajar (buku teks, papan tulis,
laboratorium, dan audiovisual); teknologi yang terdiri dari perangkat lunak (strategi
dan taktik pengajaran) serta perangkat keras (peralatan pendidikan); fasilitas atau
kampus beserta perlengkapannya; kendali mutu yang bersumber atas target
pencapaian tujuan; penelitian untuk pengembangan kegiatan pendidikan; dan biaya
pendidikan guna melancarkan kelangsungan proses pendidikan.
Berdasarkan sirah Rasul dan tarikh Daulah Khilafah, pendidikan formal dapat
dideskripsikan sebagai berikut:
•Kurikulum pendidikan, mata ajaran, dan metodologi pendidikan disusun berdasarkan
pada Aqidah Islam.
•Tujuan penyelenggaraan pendidikan Islam merupakan penjabaran dari tujuan
pendidikan Islam yang disesuaikan dengan jenjang pendidikan.
•Sejalan dengan tujuan pendidikannya, waktu belajar untuk ilmu-ilmu Islam
(tsaqofah Islamiyyah) diberikan dengan proporsi yang disesuaikan dengan
pengajaran ilmu-ilmu kehidupan (iptek dan keahlian).
• Pelajaran ilmu-ilmu kehidupan (iptek dan keahlian) dibedakan dari pelajaran guna
membentuk syakhsiyyah Islamiyah dan tsaqofah Islamiyyah. Materi untuk
membentuk syakhsiyyah Islamiyah mulai diberikan di tingkat dasar sebagai materi
pengenalan dan kemudian meningkat pada materi pembentukan dan peningkatan

4
setelah usia anak didik menginjak baligh (dewasa). Sementara materi tsaqofah
Islamiyyah dan pelajaran ilmu-ilmu kehidupan diajarkan secara bertingkat dari mulai
tingkat dasar hingga pendidikan tinggi.
•Bahasa Arab menjadi bahasa pengantar di seluruh jenjang pendidikan, baik negeri
maupun swasta.
•Materi pelajaran yang bermuatan pemikiran, ide dan hukum yang bertentangan
dengan Islam, seperti ideologi sosialis/komunis atau liberal/kapitalis, aqidah ahli
kitab dan lainnya termasuk sejarah asing, bahasa maupun sastra asing dan lainnya,
hanya diberikan pada tingkat pendidikan tinggi yang tujuannya hanya untuk
pengetahuan, bukan untuk diyakini dan diamalkan.
•Pendidikan di sekolah tidak membatasi usia. Yang ada hanyalah batas usia wajib
belajar bagi anak-anak, yakni mulai umur 7 tahun berdasar pada hadits:
“Perintahkanlah anak-anak mengerjakan shalat di kala mereka berusia 7 tahun dan
pukullah mereka apabila meninggalkan shalat pada usia 10 tahun, dan pisahkanlah
tempat tidur mereka (pada usia tersebut pula)”. (HR. Al Hakim dan Abu Dawud dari
Abdullah bin Amr bin Ash)
•Penyelenggaraan kegiatan olah raga dilangsungkan secra terpisah bagi murid laki-laki
dan perempuan.
•Pendidikan diselenggarakan oleh negara secara gratis atau murah. Swasta bisa
menyelanggarakan pendidikan asal visi, misi dan sistem pendidikan yang
dikembangkan tidak keluar dari ajaran Islam.

b. Pendidikan di keluarga
Keluarga merupakan tempat pendidikan yang pertama dan utama. Pembinaan
kepribadian, penguasaan dasar-dasar tsaqafah Islam dilakukan melalui pendidikan
dan pengalaman hidup sehari-hari dan dipengaruhi oleh sumber belajar yang ada di
keluarga, utamanya orang tua. Keluarga ideal berperan menjadi wadah pertama
pembinaan keislaman dan sekaligus membentenginya dari pengaruh-pengaruh negatif
yang berasal dari luar. Dalam dakwahpun, sebelum kepada masyarakat luas, seorang
muslim diperintahkan untuk berdakwah terlebih dulu kepada anggota keluarga dan
kerabat dekatnya.

c. Pendidikan di tengah masyarakat


Hampir sama dengan pendidikan di keluarga, pendidikan di tengah masyarakat
juga merupakan proses pendidikan sepanjang hayat, khususnya berkenaan dengan
praktek kehidupan sehari-hari yang dipengaruhi oleh sumber belajar yang ada di

5
masyarakat, yakni tetangga, teman pergaulan, lingkungan serta sistem nilai yang
berjalan.
Dalam sistem Islam, masyarakat merupakan salah satu elemen penting
penyangga tegaknya sistem selain ketaqwaan individu serta keberadaan negara
sebagai pelaksana syariat Islam. Masyarakat berperan mengawasi anggota
masyarakat lain dan penguasa dalam pelaksanaan syariat Islam. Masyarakat Islam
terbentuk dari individu-individu yang dipengaruhi oleh perasaan, pemikiran, dan
peraturan yang mengikat mereka sehingga menjadi masyarakat yang solid. Lebih dari
itu, masyarakat Islam memiliki kepekaan indera, bagaikan pekanya anggota tubuh
terhadap sentuhan benda asing. Tubuh yang hidup akan turut merasakan sakit saat
anggota tubuh lain terluka, kemudian ia bereaksi dan berusaha melawan rasa sakit
tersebut hingga lenyap. Dari sinilah maka amar ma’ruf nahi munkar menjadi
bagian yang paling esensial yang sekaligus membedakan masyarakat Islam dengan
masyarakat lainnya.
Ketaqwaan individu masyarakat disamping ditentukan oleh upaya pribadi, juga
sangat dipengaruhi oleh interaksi dengan anggota masyarakat lain dan nilai-nilai yang
berkembang di tengah masyarakat. Dalam masyarakat Islam, seseorang yang berbuat
maksiyat tidak akan berani melakukan secara terang-terangan, atau bahkan tidak
berani melakukan sama sekali. Kalaupun ada yang tergoda untuk berbuatan maksiyat,
ia akan terdorong segera bertobat atas kekhilafannya dan kembali kepada kebenaran.
Kisah Ma’iz Aslami dan Al Ghomidiyah radliyallahu anhuma yang langsung
menghadap Rasulullah SAW untuk meminta hukuman sesaat setelah berzina,
merupakan contoh nyata gambaran dari ketinggian ketaqwaan individu dalam
masyarakat Islam.

3. Asas Pendidikan
Islam mewajibkan setiap muslim untuk memegang teguh ajaran Islam dan
menjadikannya sebagai dasar dalam berfikir dan berbuat, asas dalam hubungan antar
sesama manusia, asas bagi aturan masyarakat dan asas dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara, termasuk dalam menyusun sistem pendidikan.
Penetapan aqidah Islam sebagai asas pendidikan tidaklah berarti bahwa setiap ilmu
pengetahuan harus bersumber dari aqidah Islam, karena memang tidak semua ilmu
pengetahuan terlahir dari aqidah Islam. Yang dimaksud dengan menjadikan aqidah
Islam sebagai asas atau dasar dari ilmu pengetahuan adalah dengan menjadikan
aqidah Islam sebagai standar penilaian. Dengan kata lain, aqidah Islam difungsikan
sebagai aqidah atau tolok ukur pemikiran dan perbuatan.

6
Al-Qur’an sendiri memuat pemikiran dan keyakinan dari berbagai agama dan
golongan di masa Nabi SAW. Islam tidak melarang mempelajari segala macam
pemikiran sekalipun bertentangan dengan aqidah Islam, asal diserta koreksi dengan
hujjah yang kuat untuk menumbangkan pendapat yang salah itu. Ilmu tentang
pendapat-pendapat yang bertentangan dengan Islam tentu bukan sebagai suatu
pengetahuan yang utama, melainkan semata-mata dipelajari untuk pengetahuan,
menjelaskan kekeliruannya serta memberikan jawaban yang tepat. Yang dilarang
adalah mengambil pemikiran-pemikiran yang salah itu sebagai pegangan hidup.

4. Struktur Kurikulum
Kurikulum pendidikan Islam disekolah dijabarkan dalam tiga komponen utama,
yakni: (1) Pembentukan Syakhsiyyah Islamiyyah (Kepribadian Islami), (2) Tsaqofah
Islam dan (3) Ilmu Kehidupan (Iptek dan Keahlian).

JENJANG
PENDIDIKAN TK SD SMP SMU PT
KOMPONEN
MATERI
Syakhsiyyah
Islamiyyah Dasar- Pembentukan &
dasar Pematangan
5
4
Tsaqofah Islam 3
2
1
5
Ilmu 4
Kehidupan 3
2
1

Tabel Struktur dan Performa Komponen Kurikulum

Sebagaimana yang tercermin dalam Tabel diatas, selain muatan penunjang proses
pembentukan syaksiyyah Islamiyah yang secara terus menerus diberikan pada tingkat
TK – SD dan SMP – SMU – PT, muatan Tsaqofah Islam dan Ilmu Kehidupan (Iptek
dan Keahlian) diberikan secara bertingkat sesuai dengan daya serap dan tingkat
kemampuan anak didik berdasarkan jenjang pendidikannya masing-masing.
Pada tingkat dasar atau menjelang usia baligh (TK dan SD), susunan struktur
kurikulum sedapat mungkin bersifat mendasar, umum, berpadu dan merata bagi
semua anak didik yang mengikutinya. Yang termasuk dalam materi dasar ini antara

7
lain: pengenalan Al-Qur’an dari segi hafalan dan bacaan; prinsip-prinsip agama;
membaca; menulis dan menghitung; prinsip bahasa Arab; menulis halus; sirah Rasul
dan Khulafaur Rasyidin serta berlatih berenang dan menunggang kuda.

5. Dana, Sarana dan Prasarana


Berdasarkan sirah Nabi SAW dan tarikh Daulah Khilafah sebagaimana
disarikan oleh Al-Baghdadi (1996) dalam buku Sistem Pendidikan Di Masa Khilafah
Islam, negara memberikan pelayanan pendidikan cuma-cuma (bebas biaya) dan
kesempatan seluas-luasnya bagi seluruh warga untuk melanjutkan pendidikan ke
jenjang lebih tinggi dengan fasilitas (sarana dan prasarana) sebaik mungkin.
Kesejahteraan dan gaji para pendidik sangat diperhatikan. Dana pendidikan
ditanggung negara yang diambil dari baitul maal. Sistem pendidikan bebas biaya
dilakukan oleh para sahabat (ijma) termasuk pemberian gaji yang sangat memuaskan
kepadfa para pengajar yang diambil dari baitul maal.

Kendala
Model pendidikan seperti itu jelas hanya dapat diterapkan oleh negara karena
negaralah yang memiliki seluruh otoritas yang diperlukan bagi penyelenggaraan
pendidikan yang bermutu, termasuk penyediaan dana yang mencukupi, sarana,
prasarana yang memadai dan sumberdaya manusia yang bermutu. Dalam membangun
model pendidikan sebagaimana yang dikehendaki Islam saat ini tentu saja akan
menghadapi kendala utama, yakni belum diterapkannya bangunan sistem Islam secara
menyeluruh dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Upaya
Mengingat kendala di atas, maka tahap pertama bisa ditempuh aksi individual
atau kelompok yang dibenarkan oleh hukum syara dan memenuhi persyaratan sebagai
lembaga pendidikan Islam, dari mulai asas kurikulumnya hingga operasionalisasi
pendidikan keseharian. Tahap berikutnya, secara simultan bersamaan dengan tahap
pertama tadi harus diperjuangkan tegaknya sistem pendidikan Islami oleh negara
sebagai bagian dari sistem Islam dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Tahap pertama perlu dilakukan untuk memenuhi kebutuhan pendidikan bermutu bagi
anak-anak islam sekarang ini, yang diharapkan bisa menjadi fondasi penting bagi
pembentukan kapribadian Islam dalam dirinya dalam rangka tumbuhnya tunas-tunas
Islam yang amat diperlukan bagi dakwah. Tapi kegiatan ini tidak boleh melupakan
agenda besarnya, yakni perjuagan penegakan kehidupan Islam yang didalamnya

8
seluruh aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara, termasuk dibidang
pendidikan, diatur dengan syariah. Hanya dengan cara itu saja, kerahmatan syariah
dapat benar diujudkan. Insya Allah.

- Jurubicara Hizbut Tahrir Indonesia, Ketua Yayasan Insantama Cendekia penyelenggara SDIT
Insantama Bogor dan Ketua Yayasan Hamfara penyelenggara STEI (Sekolah Tinggi Ekonomi
Islam) Hamfara Jogjakarta. Penulis Buku Menggagas Pendidikan Islami

You might also like