You are on page 1of 27

Artikel

Selasa, 03 Pebruari 2009


Bank Asi (Air Susu Ibu)
Kategori: Umum (1601 kali dibaca)

Bank Asi (Air Susu Ibu)

Apa yang Anda pikirkan melihat seorang bayi prematur baru dilahirkan, sementara sang ibu tak dapat
menyusui bayinya karena kondisi khusus? Di negara-negara seperti Australia, Inggris, Kanada, Amerika
dan Brazil, masalah ini dijawab dengan hadirnya bank ASI, yaitu suatu sarana yang dibuat untuk menolong
bayi-bayi yang tak terpenuhi kebutuhannya akan ASI. Di tempat ini, para ibu dapat menyumbangkan air
susunya untuk diberikan pada bayi-bayi yang membutuhkan.

Marea Ryan, bidan dan direktur dari Australian Mothers Milk Bank (AMMB) mengatakan, ide ini
sebetulnya tidaklah baru, karena sejak ratusan tahun yang lalu telah banyak bayi yang disusui oleh ibu yang
bukan ibu kandungnya. “Air susu ibu memang sempurna dan bermanfaat untuk membangun sistem
pertahanan tubuh bayi serta melawan infeksi,” katanya. “Oleh sebab itu, sudah sejak dulu bayi yang sakit
diberikan air susu dari ibu lain yang sehat. Sayangnya, hal itu berhenti di tahun 70-an, saat virus HIV/AID
datang. Baru setelah perkembangan teknologi meningkat dan teknik pasturisasi serta proses uji ASI
semakin baik, muncullah bank ASI yang menyatakan kalau susu dari hasil donor aman untuk dikonsumsi.”

Bagaimana Prosesnya?
Di Australia, ibu yang ingin menyumbangkan air susunya harus mendaftarkan diri dulu ke bank ASI.
Setelah melalui tes kesehatan dan telah dipastikan tak ada infeksi yang bisa ditularkan ibu penyumbang
melalui air susunya ke bayi, air susu diperah lalu dibekukan. Tak ada jumlah minimal berapa mililiter air
susu yang harus disumbangkan. Bayi prematur biasanya minum susu kurang dari 20 ml, jadi sesedikit
apapun susu yang disumbang, diterima oleh bank. Bank lalu mengumpulkan susu perahan tersebut,
melakukan proses pasturisasi dan mengetes kembali keamanannya untuk dikonsumsi. Susu kemudian
kembali dibekukan dan didistribusikan ke berbagai rumah sakit untuk diberikan pada bayi-bayi yang
membutuhkan.

Amankah?
Pemilihan dan proses pengetesan air susu ibu sama dengan proses yang dilakukan bank darah. Hal ini
sukses dilakukan sebuah bank ASI di Inggris, karena selama 30 tahun beroperasi, belum pernah ada kasus
bayi tertular infeksi melalui air susu dari ibu penyumbang. Ibu yang ingin menyumbangkan air susunya
dituntut prima kesehatannya, tidak merokok, tidak menggunakan obat-obatan, tidak mengonsumsi alkohol.
Mereka juga tak boleh mengonsumsi kafein, dan harus melalui tes yang menyatakan mereka bebas HIV
dan hepatitis B. “Proses pasturisasi akan menghancurkan bakteri. Setelah itu, air susu akan diuji lagi untuk
diketahui apakah masih ada bakteri sebelum kembali dibekukan,” kata Marea. “Jika masih ditemukan sisa
bakteri di dalamnya, maka susu tersebut akan dibuang.”

Bagaimana di Indonesia?
Dr. Jeanne Purnawati, Ketua POKDI ASI PK St. Carolus Jakarta juga sangat mendukung adanya bank ASI.
“Tujuan bank ASI sangat bagus dan mulia. Unicef dan WHO pun sangat mendukung adanya bank ini,”
katanya. Dr. Jeanne mengatakan, klinik Laktasi Carolus juga pernah melakukan praktek seperti yang
dilakukan bank ASI, dengan berbekal berbagai literatur mengenai bank ASI di luar negeri serta pernyataan
setuju dari 5 pemuka agama di Indonesia. Tapi nyatanya, praktek tersebut hanya dapat berjalan selama 3
tahun. “Kami memutuskan untuk menghentikannya, karena saat itu kami hanya mampu melakukan tes
kesehatan dan wawancara untuk calon ibu penyumbang. Tak ada screening dan teknik pasturisasi canggih
seperti yang dilakukan bank ASI di luar negeri. Oleh sebab itu, kami tak dapat menjamin air susu
sumbangan ibu 100% aman.”

Memang sepertinya alternatif yang sangat bagus untuk bayi dan ibu ini masih jauh dari jangkauan negara
kita. Karena seperti kata Dr. Jeanne lagi, butuh proses yang panjang dan biaya sangat mahal untuk
mengadakannya. Dr. Yusfa Rasyid dari RS YPK Jakarta juga mengeluarkan pernyataan yang sama. “Bank
ASI adalah isu yang besar dan luar biasa. Oleh sebab itu, banyak ‘PR’ yang harus dilakukan terlebih
dahulu di Indonesia sebelum bisa sampai ke sana.”
(Motherandbaby online)
Bank Asi Dalam Pandangan Syariat Islam

Bank Asi Dalam Pandangan Syariat Islam


Zahrul Bawady

Sesungguhnya Allah Swt telah memuliakan manusia dan membedakannya dari segala
jenis hewan. Dan sungguh kenikmatan yang Allah berikan tidak terkira bagi manusia.

Diantara kenikmatan tersebut ialah nikmat gizi yang Allah berikan ketika kita masih kecil
yaitu melalui menyusui dan karena sebab penyusuan itu berkaitan pula dengan hukum
hukum agama. Bahkan orang yang menyusui kita di dalam Alquran disebut dengan kata
kata ibu( Surat Annisa Ayat 23)

Karena menyusui merupakan hal yang esensial bagi manusia, maka sebagian orang
berpikir cara agar semua orang dengan segala aktivitas dapat menyesui tanpa
mengganggu kinerja kerjanya. Maka tercetuslah ide untuk mendirikan bank asi.

karena pentingnya masalah ini maka saya meencoba menulis permasalahan bank asi
dalam tinjauan agama Islam dengan mengikuti panduan yang ditulis oleh Profesor. Dr.
Muhammad Hilmi Sayid Isa; seorang ulama besar dalam bidang perbandingan Madzhab
dan dosen Universitas Alazhar Cairo dengan judulnya “ Hukm Insya’ Bunuuk Allaban”
Pendahuluan
Gagasan untuk mendirikan bank asi telah berkembang di Eropa kira-kira lima puluh
tahun yang lalu. Dan itu terjadi setelah adanya bank darah. Mereka melakukannya dengan
mengumpulkan asi dari wanita dan membelinya kemudian asi tersebut dicampur di dalam
satu tempat untuk menunggu orang yang membeli dari mereka.
Pemikiran ini sekarang mulai menggerogoti umat Islam bahkan sebagian masyarakat di
negara-negara mayoritas Islam telah menggaungkannya karena ikut
ikutan ala eropa.
Hukum Jual Beli Asi
Asi manusia adalah bagian mengalir dari anggota tubuhnya, dan tidak diragukan lagi itu
merupakan karunia Allah bagi manusia dimana dengan adanya asi tersebut seorang bayi
dapat memperoleh gizi. Dan asi tersebut merupakan sesuatu hal yang urgen di dalam
kehidupan mereka( baca: bayi). Karena pentingnya asi tersebut untuk pertumbuhan maka
sebagian orang memenuhi kebutuhan tersebut dengan membeli asi pada orang lain. Jual
beli asi manusia itu sendiri di dalam fiqih Islam merupakan cabang hukum yang berbeda
pendapat para ulama di dalamnya. Ada dua pendapat ulama tentang hal tersebut.
Pertama, tidak boleh menjualnya. Ini merupakan pendapat ulama madzhab Hanafi kecuali
Abu Yusuf( berkenaan dengan susu seorang budak), salah satu pendapat yang lemah pada
madzhab Syafi’I dan juga kata sebagian ulama Hanbali.
Kedua, pendapat yang mengatakan dibolehkan jual beli asi manusia. Dan ini merupakan
pendapat Abu Yusuf( pada susu seorang budak) , Maliki dan Syafi’I, Khirqi dari
madzhab Hanbali, Ibnu Hamid, dikuatkan juga oleh Ibnu Qudamah dan juga madzhab
Ibnu Hazm.
Sebab Timbulnya Khilaf
Menurut Ibn Rusyd, sebab timbulnya perselisihan pendapat ulama di dalam hal tersebut
adalah pada boleh tidaknya menjual asi manusia yang telah diperah. Karena proses
pengambilan asi tersebut melalui perahan. Imam Malik dan Imam Syafi’I
membolehkannya sedangkan Abu Hanifah tidak membolehkannya. Alasan mereka yang
membolehkannya adalah karena asi itu halal untuk diminum maka boleh menjualnya
seperti susu sapi dan sejenisnya. Sedangkan Abu Hanifah memandang bahwa asi itu
dihalalkan karena Dharurah bagi bayi dan dasar hukum dari asi itu sendiri adalah haram
karena dia disamakan seperti daging manusia. Maka karena daging manusia tidak boleh
memakannya maka tidak boleh menjualnya.
Dalil Pendapat Yang Membolehkan Jual Beli Susu Manusia
Mereka mengemukakan argument logika yang banyak di dalam masalah ini. Diantaranya,
asi manusia bukanlah harta benda maka tidak boleh menjualnya. Dan dalil bahwasannya
asi tersebut bukan harta benda adalah tidak dibolehkan bagi kita mengambil mamfaat
(Intifa’) dengan asi tersebut. Asi tersebut dibolehkan karena dharurat saja kepada anak
bayi karena mereka tidak bisa memperoleh gizi dengan cara lain. Dan apa yang tidak
dibolehkan mengambil manfaat kecuali dharurah tidaklah dianggap bagian harta seperti
babi dan narkotika. Selain itu asi tersebut juga tidak dijual di pasar karena tidak dianggap
bagian dari harta.
Pendapat ini ditentang oleh pihak kedua. Mereka mengatakan: Bahwa asi itu suci dan
bisa diambil manfaat sehingga boleh menjualnya seperti susu kambing. Adapun sebab
tidak dijualnya asi tersebut di pasaran bukanlah landasan barang tersebut tidak boleh
dijual karena ada juga barang yang tidak ada di pasaran dan boleh jual beli barang
tersebut.
Kelompok pertama juga beralasan bahwa asi tersebut merupakan bagian dari manusia
dan manusia beserta seluruh organnya adalah terhormat maka menjual jual beli asi tadi
dapat menjatuhkan derajat kemuliaan manusia.
Kembali ditentang oleh pihak kedua. Ibnu Qudamah berkata bahwa seluruh tubuh
manusia dapat dijual seperti bolehnya menjual budak. Sedangkan yang tidak boleh
menjualnya adalah orang merdeka dan diharamkan pula menjual anggota tubuh yang
sudah terpotong karena tidak bermamfaat.
Kasaai dari kelompok pertama menentang bantahan tersebut, beliau berkata bahwa
manusia tidak halal kecuali budak dan budak tidak halal kecuali hidup sedangkan asi itu
bukanlah sesuatu yang hidup maka tidak boleh dujual.
Pendapat kelompok pertama mengatakan bahwa susu manusia itu adalah restan(sisa) dari
manusia maka tidak boleh menjualnya seperti air mata, keringat dan ingus.
Pendapat ini ditentang denagn mengatakan bahwa mengkiyaskan asi dengan keringat
adalah tidak tepat karena keringat, ingus dan air mata tidak bermamfaat. Hal ini seperti
keringat kambing yang tidak boleh kita menjualnya, sedangkan susunya tetap boleh.
Selanjutnya kelompok pertama mengatkan bahwa daging manusia tidak boleh untuk
dimakan maka tidak boleh menjual asinya seperti susu keledai betina.
Pendapat ini ditolak oleh pihak kedua, mereka kembali mengatakan bahwa ini adalah
qiyas yang tidak sesuai karena asi manusia suci sedangkan susu keledai najis
Kelompok pertama kembali beralasan bahwasannya dengan adanya proses menyusui tadi
diharamkan bagi kita untuk menikahi saudara sesusuan dan ibu susu. Maka pada proses
jual beli asi ini akan membuka peluang terjadinya perkawinan yang tidak dibenarkan
secara syariat karena asi tadi dicampur sehinnga kita tidak mengetahui asi siapa saja yang
diminum oleh bayi.
Dalil Pendapat Yang Kedua
Golongan kedua yang membolehkan menjual asi manusia berpegang kepada Alquran,
Hadits dan logika.
Dalil Alquran yaitu firman Allah pada surat Albaqarah ayat 275 yaitu, “ Allah telah
menghalalkan jual beli” Ayat tersebut menurut Ibnu Hazm mengisyaratkan bahwa
seorang wanita memerah asinya dan mengumpulkannya di dalam suatu bejana kemudian
diminumkan pada bayi dan ini adalah milik wanita yang diberikan kepada bayi dan sesuai
landasan hukum, apa saja yang boleh kepemilikannya berpindah kepada orang lain maka
boleh dilakukan jual beli.
Sedangkan di dalam hadits juga terdapat suatu dalil yang diriwayatkan oleh Bukhari dan
Abu Daud dari Ibn Abbas, beliau berkata, aku melihat Rasulullah duduk di suatu sudut
maka beliau mengangkat pandangan ke langit kemudian tersenyum lalu bersabda, “ Allah
Swt. Melaknat golongan yahudi karena tiga perkara. Sesungguhnya Allah mengharamkan
kepada mereka lemak namun mereka menjualnya dan memakan hasil penjualannya, dan
Allah jika mengharamkan suatu kaum untu memakan sesuatu maka Allah mengharamkan
pula memakan harta yang diperoleh darinya.
Mawardi berkata bahwa apa yang tidak diharamkan memakannya maka tidak diharamkan
memakan hasil penjualannya, oleh karena itu asi manusia boleh dimakan maka otomatis
boleh dijual maka tidaklah haram hasil penjualannya.
Pendapat ini ditentang oleh kelompok pertama. Mereka mengatakan bahwa asi manusia
juga dilarang meminumnya, tetapi karena dharurah dibolehkan.
Buktinya, jikaseorang bayi telah kuat dengan tidak meminum asi maka tidak boleh lagi ia
meminumnya. Mengambil manfaat dari asi juga haram. Bahkan sebagian mereka
melarang orang yang terkena penyakit kabur menggunakannya dan sebagian yang lain
membolehkannya jika diketahui itu adalah obat. Dan asijuga tidak dianggap barang yang
berharga,dia sama seperti bangkai, yang menjadi gizi hanya ketika darurat saja, dan
bukanlah suatu harta yang diperbolehkan menjualnya.
Kemudian mereka juga mengatakan bahwa setiap yang suci itu belum tentu dapat dijual.
Seperti air, ia tidak boleh dijual kecuali sudah kita olah dan jaga.
Golongan kedua mengatakan bahwa asi itu adalah gizi bagi manusia maka boleh dijual
seperti beras.
Abu Yusuf mengatakan bahwa boleh menjual asi dari budak karena budak itu-pun sah
untuk dilakukan akad jual beli maka asi yang merupakan bagiannya pun sah untuk dijual
beli.
Madzhab Yang Dipilih
Setelah kita melihat kedua madzhab di atas kita menyadari bahwa dalil yang dilontarkan
oleh kedua golongan tersebut tidak pernah berjalan mulus. Selalu saja ada bantahan
bantahan. Tetapi kita dapat menangkap pendapat mana yang dalilnya lebih kuat. Penulis
sendiri cenderung kepada pendapat yang mengatakan bahwa tidak boleh menjual asi
manusia(pendapat pertama) karena asi itu adalah bagian dari manusia dan manusia
beserta anggota tubuhnya adalah mulia dan tidak boleh ada jual beli padanya. Selain itu
menjual asi manusia juga dapat membawa kepada kemudaratan, yaitu susahnya mengatur
perkawinan karena sangat banyak saudara sesusuan yang diharamkan menikahi mereka.
Ibu susu tidak mengetahui siapa saja yang meminum susunya dan sebaliknya sang bayi
juga tidak tahu susu siapa saja yang telah ia minum karena di dalam operasional bank asi
itu sendiri tidak dapat ditentukan antara penjual dan pembeli asi maka tersebarlah
pernikahan pernikahan yang tidak sesuai dengan syariat padahal Allah sendiri tidak
menyukai adanya kerusakan dan penyelewengan dan menutup pintu kemunkaran itu lebih
diutamakan daripada mengerjakan suatu kebaikan. Wallahu a’lam.
Hukum Mendirikan Bank Asi
Setelah kita memperhatikan pembahasan yang lalu, dimana kita menganggap bahwa
pendapat yang lebih kuat yaitu pendapat yang tidak membolehkan menjual asi manusia.
Maka dengan sendirinya kita dapat mengatakan bahwa mendirikan bank yang
mengumpulkan asi wanita ke dalam satu wadah yang dicampur antara satu dengan
lainnya adalah haram. Ini dikarenakan asi tersebut berasal dari anggota tubuh manusia
dan manusia beserta seluruh tubuhnya dimuliakan maka tidak boleh menjadikan bagian
tubuhnya itu sebagai barang jual beli.
Selain itu kita juga melihat efek yang buruk dari pendirian bank asi ini, karena akan
membawa bahaya kepada kita semua, mulai dari bahaya fisik atau rusaknya hubungan
darah antara manusia yang dikarenakan bank susu tersebut tidak bisa mengontrol sejauh
mana pembelian dan penjualan susu tersebut.
Karlany berkata bahwa di dalam pembolehan menjual susu manusia itu ada kemunkaran
karena bisa menimbulkan rusaknya pernikahan yang disebabkan kawinnya orang
sesusuan dan hal tersebut tidak dapat diketahui jika antara lelaki dan wanita meminum asi
yang dijual bank asi tersebut. Namun, ada juga yang berpendapat bahwa menjual asi
tersebut membawa manfaat bagi manusia yaitu tercukupinya gizi bagi bayi karena kita
melihat bahwa banyak bayi yang tidak memperoleh asi yang cukup baik karena
kesibukan sang ibu ataupun karena penyakit yang diderita ibu tersebut. Tetapi pendapat
tersebut dapat ditolak karena kemudaratan yang ditimbulkan lebih besar dari manfaatnya
yaitu terjadinya percampuran nasab. Padahal Islam menganjurkan kepada manusia untuk
selalu menjaga nasabnya. Kaidah ushul juga menyebutkan bahwa jika berseberangan
antara kemudaratan dan kemashlahatan maka diutamakan menolak kemudaratan.
Seorang manusia dibenarkan untuk mengerjakan ibadah yang memberatkan sesuai
dengan apa yang mudah bagi dia, namun syariat Islam tidak pernah membenarkan
seseorang mendahulukan kemunkaran apalagi yang merupakan dosa besar.
Ibnu Sayuti di dalam kitab Asybah Wa Nadhaair menyebutkan bahwa di dalam kaidah
disebutkan bahwa diantara prinsip dasar Islam adalah “dharaarun la yazaal bidh dharaari”
kemudaratan itu tidak dapat tertolak dengan kemudaratan pula bahkan akan menambah
masalah. Kaitannya dengan pembahasan kita yaitu, ketiadaan asi bagi seorang bayi
adalah suatu kemudaratan, maka memberi asi bayi dengan asi yang dijual di bank asi
adalah kemudaratan pula. Maka apa yang tersisa dari bertemunya kemudaratan kecuali
kemudaratan. Karena Fiqih bukanlah pelajaran fisika dimana bila bertemu dua kutub
yang sama akan menghasilkan hasil yang berbeda. Maka penulis sependapat dengan
perkataan Ibn Kataany yang mengatakan bahwa hendaknya kita melihat mana yang lebih
besar manfaatnya daripada kerusakannya.
Sebagian Ulama Kontemporer Membolehkan Bank Asi.
Kami akui bahwasannya sebagian ulama kontemporer membolehkan bank asi ini. Mereka
beralasan:
- Bahwa kata kata ridha’( menyusui) di dalam bahasa Arab bermakna menghisap puting
payudara dan meminum asinya. Maka oleh karena itu meminum asi bukan melalui
menghisap payudara bukanlah disebut menyusui maka efek dari penyusuan model ini
tidak membawa pengaruh apa apa di dalam hukum nasab nantinya.
- Yaitu alasan yang dikemukakan oleh beberapa madzhab dimana mereka memberi
ketentuan berapa kali penyusuan terhadap seseorang sehingga antara bayi dan ibu susu
memilki ikatan yang diharamkan nikah, mereka mengatakan bahwa jika si bayi hanya
menyususi kurang dari lima kali susuan maka tidaklah membawa pengaruh di dalam
hubungan darah.
Kedua pendapat diatas dapat dijawab
- Bahwa makna ridhaa’ lebih luas dari apa yang telah disebutkan tadi, makna menyusui
adalah meminum air asi bagaimanapun caranya. Kasaany berkata, bahwa kata kata
ridhaa’ tidak terbatas pada menyusui melalui payudara saja, bahkan orang arab berkata, “
yatiimun radhii’un” seorang anak yatim meminum susu. Walaupun yang diminum itu
adalah susu sapi atau kambing.
Alawis di dalam badaai’i shanaai’i mengatakan bahwa seorang perempuan dikatakan
menyusui jika ia memiliki anak susuan. Menyusui menurut bahasa ialah menghisap
payudara. Sedangkan menurut syariat ialah seorang bayi menyampaikan asi dari
payudara wanita kemulutnya atau kehidungnya(melalui selang). Jadi yang dikehendaki
oleh syariat ialah bukan pada cara meminumnya tetapi hasil dari minuman tersebut.
- Hukum syariat ditetapkan oleh syariat, bukan melalui makna bahasa. Maka tidak ada
bedanya antara cara bayi meminum susu tersebut, yang perlu diketahui adlah susu
tersebut akan masuk ke wadah penyimpanan makanan pada tubuh bayi dan akan menjadi
gizi bagi bayi tersebut dan kemudian akan menghasilkan pertumbuhan pada bayi.
Maka dari keterangan diatas kita mempertanyakan kembali hukumnya menyusui dengan
cara seperti dituangkan obat kedalam hidung atau ke dalam mulut baik melalui infuse
atau lainnya. Ulama ada dua pandangan di dalama hal ini.
1. Hukum ini dikembalikian, apakah haramnya menyusui itu hanya dengan menghisap
payudara saja? Maka ada dua pendapat ulama:
a. Tetap akan mengharamkan pernikahan dengan ibu susu atau saudara sesusuan. Dan ini
adalah pendapat jumhur ulama seperti Hanafi, pendapat kuat di dalam madzhab Maliki,
Syafi’I dan pendapat yang kuat pada Hanbali serta sependapat juga imam Tsaury
b. Penyusuan model ini tidak mengharamkan pernikahan, dan ini pendapat sebagian
penganut madzhab maliki dan juga salah satu pendapat lemah pada madzhab Hanbali dan
juga madzhab Dhahiri
Ibn Rusyd berkata bahwa pangkal permasalahnnya adalah pada keadaan asi jika
disalurkan melalui model infuse atau suntik apakah ia akan sampai ke kerongkongan bayi
atau tidak.
Dalil Kedua Pendapat Diatas
Dalil pendapat pertama:
Pemegang pendapat pertama berdalil dengan sunnah dan logika
Dalil sunnah: Riwayat Abu daud dan daar Kuthny dari Ibnu Mas’ud bahwasannya
Rasulullah Saw. Bersabda," tidak disebut menyusui kecuali apa yang dapat
menumbuhkan tulang dan daging dikarenakan penyusuan tersebut”.
Hadits diatas menunjukkan kepada kita bahwa penyusuan yang dapat
mengharamkan pernikahan adalah apa yang denagn susuan tersebut dapat
menumbuhkan daging atau tulang. Jadi pada masalah infuse atau sunti tadi tentu
hal ini terjadi. Namun hadit diatas menurut para ulama adalah hadits yang lemah
karena ada perawinya yang tidak dikenal.
Pada riwayat lain, diriwayatkan oleh bukhari dan Muslim dan lainnya dari Aisyah
bahwa nabi masuk ke rumah Aisyah dan disitu ada lelaki lain sedang berada di dekat
Aisyah, maka berobahlah rona wajah rasul karean tidak senang melihat kejadian
tersebut. Lalu Aisyah berkata bahwa dia( baca: lelaki tersebut) adalah saudaraku.
Maka rasul bersabda,” lihatlah apa hubungan persaudaraan kalian karena penyusuan
itu dibolehkan karena kelaparan
Dari hadits di atas sangat jelas bahwa menyusui yang dapat mengharamkan
pernikahan adalah susuan yang dapat menghasilkan pertumbuhan dengan cara apapun
dia.
Adapun dali secara logika yaitu walaupun menggunakan metode penyuntikan dan
infus, asi tersebut akan tetap berefek seperti jika menghisap langsung maka
keadaan seperti itu adalah haram.
Dalil Pendapat Kedua
Kelompok pendapat kedua yang menagtakan bahwa metode melalui penyuntikan atau
infuse tidak menyebabkan haramnya pernikahan adalah dalil Quran, sunnah, Atsar
dan logika.
Dalil quran( surat Annisa ayat 23) ibn Hazm berkata mengenai ayat tersebut, bahwa
Allah Swt dan rasul tidak mengharamkan pernikaha kecuali karean adanya
penyusuan dan penyusan itu hanya terjadi bila bayi menghisap langsung dari
payudara perempuan.
Pendapat Ibn Hazm dapat dibantah, bahwa yang dikehendaki oelh syariat bukanlah
cara meminumnya namun hasilnya maka proses demikian tetap akan mengharamkan
pernikahan.
- Dalil dari Atsar adalah apa yang diriwayatkan oleh Abdur Razak dari Ibnu Juraij
berkata: “Atha ditanyai tentang jika asi disuntikkan atau melalui infuse apakah
diharamkan menikahiny? Atha menjawab,” aku tidak pernah mendengar itu
diharamkan.
- Dalil logikanya ialah asi yang disuntikkan itu seumpama asi yang masuk melalui
luka maka tidak diharamkan pernikahan karenanya.
Pendapat ini dapat kita bantah, jika asi yang masuk melalui infuse atau suntik itu bisa
menjadi gizi bagi bayi dan dapat menjadi pembantu pertumbuhannya, namun jika
melalui luka masuknya itu tidak dapat terjadi. Maka menyamakan asi masuk melalui
luka dan melalui suntik tadi adalah qiyas yang tidak tepat.
Pendapat yang kuat
Setelah kita melihat dalil yang diajukan kedua madzhab di atas maka kita bisa
menimbang pendapat mana yang lebih kuat argumentnya, maka menurut kami
pendapat yang pertama yang mengatakan bahwa pemberian asi melalui infuse itu
dapat mengharamkan perkawinan dan itu adlah madzhab jumhur. Karena menyusui
itu sendiri tidak di teliti melalui bahasa namun melalui syariat dan syariat
menjelaskan bahwa yang menjadi sebab asi itu haram bukan pada cara menyusuinya
namun pada hasil dari menyusui tersebut yaitu pertumbuhan pada bayi. Adapun
hukum melalui alat yang disambungkan melalui infuse yang disambungkan ke mulut
sama saja dengan apa yang disambungkanke hidung dan hukumnya juga sebagimana
telah kami sebutkan diatas
Sedangkan bagi mereka yang berpendapat bahwa susuan itu dilihat kadarnya maka ini
terbantahkan karena sangatlah sulit untuk meneliti hal tersebut.karena di dalam
konteks bank asi ini asi telah bercampur dan kita tidak mengetahui berapa persentase
asi seseorang di dalm asi yang dibeli tersebut.maka tidak ada pembatasan susuan pada
masalah ini.
Kemudaratan Yang Disebabkan Pendirian Bank Asi
Pendirian bank asi sebagaimana penulis sebutkan akan membawa akibat yang tidak
baik dan berbahaya bagi kita dan juga umat Islam. Di bawah ini penulis akan
menyebut beberapa kemudaratan yang sangat menonjol dari proses bank asi
1. Pendirian bank asi merupakan pintu dosa, baik itu kepada penjual atau pembeli.
2. Bank asi mengumpulkan asi dari berbagai jenis golongan sehingga sangat mungkin
berakibat fatal terhadap bayi yang meminum asi tersebut, karena pertumbuhan bayi
juga ditentukan oleh kualitas asi yang dikonsumsi maka rasulullah Saw menganjurkan
agar manusia tidak menyusui pada orang yang lemah pemikirannya(idiot) karena
akan membawa pengaruh pada dirinya.
Selain itu bank asi juga mencampur antara asi dari orang Islam ataupun kafir, dari
orang yang baik atau buruk akhlaknya sehingga mengakibatkan terjadinya pewarisan
mental yang tidak baik pada bayi.
Di dalam masalah ini Ibnu Qudamah di dalam kitab Mughni halaman 346 jilid 11
menyebutkan, Abu Abdullah memakruhkan seorang bayi menyusui asi wanita
musyrik atau wanita yang bermaksiat. Umar Ibn Khattab dan Umar Bin Abdul Aziz
berkata bahwa penyusuan itu akan membawa pengaruh, maka janganlah menyusui
dari orang yahudi, nasrani dan penzina dan juga tidak dari golongan dzimmy karena
asi dari pelaku maksiat dapat saja mendorong bayi tersebut untuk melakukan maksiat
di kemudian hari. dan menyusui dari orang musyrik bisa saja membawa kita
cenderung kepada agamanya.
3. Timbulnya penyakit. Merupakan hal yang sangat masuk akal jika wanita yang
diambil asinya oleh bank asi merupakan wanita yang tidak sehat dan mengidap
penyakit tertentu bahkan bisa saja penyakit yang kronis. Hal ini akan mengakibatkan
bayi yang meminum asinya akan tertular juga penyakit tersebut. Bahkan kadang kala
penyakit tersebut tidak dapat diobati dengan kecanggihan ilmu kedokteran sekarang.
Seperti penyakit HIV-AIDS misalnya dan pakar kedokteran juga telah mengingatkan
bahwa penyakit ini bisa menular melalui konsumsi asi yang tidak baik atau terlebih
dahulu tertular.
4. Bercampurnya keturunan yang menagkibatkan rusaknya perkawinan dan lahirnya
generasi yang lemah melalui perkawinan tersebut. Karena ditakutkan nanti seorang
lelaki akan mengawini wanita yang merupakan saudara sesusuannya namun mereka
tidak menyadarinya karena bank susu ini.
5. Menguji kemulian perempuan. Otoritas gender yang saat ini kita dengar sangat
keras bergaung akan semakin terhina jika proses bank asi ini berjalan. Betapa tidak,
di dalam proses pembelian asi oleh bank asi, pekerja akan memerah asi dari wanita
seperti mereka memerah susu binatang. Apakah ini suatu kehormatan???
6. Menjual aurat tanpa dharurat. Tidak diragukan lagi bahwa di dalam proses
pembelian asi para pekerja akan melihat aurat perempuan yang menjual asinya dan
pekerja ini biasanya lelaki. Apakah ini tidak memalukan? Bagaimana bisa perempuan
tidak bisa menjaga mahkotanya?
7. Menyia-nyiakan karunia asi yang telah diberikan oleh Allah
8. Mengambil asi melalui alat alat tertentu adalah membahayakan bagi seorang
wanita dan ini dapat menghilangkan hormon asi tersebut sehingga asi itu nantinya
tidak bisa dimamfaatkan lagi. Wallahu a’lam
Demikianlah risalah singkat ini penulis paparkan, moga dicatat sebagi amal bagi
penulis dan dapat bermamfaat bagi kita semua baik di dunia dan di akhirat. Hanya
kepada Allah penulis memohon petunjuk dan ampunannya atas kesalahan yang
mungkin saja penulis lakukan di dalm menyelesaikan risalah ini. Kritik dan saran
membangun sangat penulis harapkan agar tercipta ukhwah dan saling nasehat
menasehati diantara kita.

1. Pendapat Yang Membolehkan

Ulama besar semacam Dr. Yusuf Al-Qaradawi tidak menjumpai alasan untuk melarang
diadakannya semacam “bank susu.” Asalkan bertujuan untuk mewujudkan maslahat
syar’iyah yang kuat dan untuk memenuhi keperluan yang wajib dipenuhi.

Beliau cenderung mengatakan bahwa bank air susu ibu bertujuan baik dan mulia,
didukung oleh Islam untuk memberikan pertolongan kepada semua yang lemah, apa pun
sebab kelemahannya. Lebih-lebih bila yang bersangkutan adalah bayi yang baru
dilahirkan yang tidak mempunyai daya dan kekuatan.

Beliau juga mengatakan bahwa para wanita yang menyumbangkan sebagian air susunya
untuk makanan golongan anak-anak lemah ini akan mendapatkan pahala dari Allah, dan
terpuji di sisi manusia. Bahkan sebenarnya wanita itu boleh menjual air susunya, bukan
sekedar menyumbangkannya. Sebab di masa nabi, para wanita yang menyusui bayi
melakukannya karena faktor mata pencaharian. Sehingga hukumnya memang
diperbolehkan untuk menjual air susu.

Bahkan Al-Qaradawi memandang bahwa institusiyang bergerak dalam bidang


pengumpulan ‘air susu’ itu yang mensterilkan serta memeliharanya agar dapat dinikmati
oleh bayi-bayi atau anak-anak patut mendapatkan ucapan terima kasih dan mudah-
mudahan memperoleh pahala.

Selain Al-Qaradawi, yang menghalalkan bank susu adalah Al-Ustadz Asy-Syeikh


Ahmad Ash-Shirbasi, ulama besar Al-Azhar Mesir. Beliau menyatakan bahwa
hubungan mahram yang diakibatkan karena penyusuan itu harus melibatkan saksi dua
orang laki-laki. Atau satu orang laki-laki dan dua orang saksi wanita sebagai ganti dari
satu saksi laki-laki.

Bila tidak ada saksi atas penyusuan tersebut, maka penyusuan itu tidak mengakibatkan
hubungan kemahraman antara ibu yang menyusui dengan anak bayi tersebut.
2. Yang Tidak Membenarkan Bank Susu

Di antara ulama kontemporer yang tidak membenarkan adanya bank air susu adalah Dr.
Wahbah Az-Zuhayli dan juga Majma’ Fiqih Islami. Dalam kitab Fatawa Mua`sirah,
beliau menyebutkan bahwa mewujudkan institusi bank susu tidak dibolehkan dari segi
syariah.

Demikian juga dengan Majma’ Fiqih Al-Islamimelalui Badan Muktamar Islam yang
diadakan di Jeddah pada tanggal 22 – 28 Disember 1985/ 10 – 16 Rabiul Akhir 1406.
Lembaga inidalam keputusannya (qarar) menentang keberadaan bank air susu ibu di
seluruh negara Islam serta mengharamkan pengambilan susu dari bank tersebut.

Perdebatan Dari Segi Dalil

Ternyata perbedaan pendapat dari dua kelompok ulama ini terjadi di seputar syarat dari
penyusuan yang mengakibatkan kemahraman. Setidaknya ada dua syarat penyusuan yang
diperdebatkan. Pertama, apakah disyaratkan terjadinya penghisapan atas puting susu ibu?
Kedua, apakah harus ada saksi penyusuan?

1. Haruskah Lewat Menghisap Puting Susu?

Kalangan yang membolehkan bank susu mengatakan bahwa bayi yang diberi minum air
susu dari bank susu, tidak akan menjadi mahram bagi para wanita yang air susunya ada di
bank itu. Sebab kalau sekedar hanya minum air susu, tidak terjadi penyusuan. Sebab yang
namanya penyusuan harus lewat penghisapan puting susu ibu.

Mereka berdalil dengan fatwaIbnu Hazm, di mana beliau mengatakan bahwa sifat
penyusuan haruslah dengan cara menghisap puting susu wanita yang menyusui dengan
mulutnya.

Dalam fatwanya, Ibnu Hazm mengatakan bahwa bayi yang diberi minum susu seorang
wanita dengan menggunakan botol atau dituangkan ke dalam mulutnya lantas ditelannya,
atau dimakan bersama roti atau dicampur dengan makanan lain, dituangkan ke dalam
mulut, hidung, atau telinganya, atau dengan suntikan, maka yang demikian itu sama
sekali tidak mengakibatkan kemahraman

Dalilnya adalah firman Allah SWT:

‘Dan ibu-ibumu yang menyusui kamu dan saudara perempuanmu sepersusuan…‘ (QS
An-Nisa’:23)

Menurut Ibnu Hazm, proses memasukkan puting susu wanita di dalam mulut bayi harus
terjadi sebagai syarat dari penyusuan.
Sedangkan bagi mereka yang mengharamkan bank susu, tidak ada kriteria menyusu harus
dengan proses bayi menghisap puting susu. Justru yang menjadi kriteria adalah
meminumnya, bukan cara meminumnya.

Dalil yang mereka kemukakan juga tidak kalah kuatnya, yaitu hadits yang menyebutkan
bahwa kemahraman itu terjadi ketika bayi merasa kenyang.

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ


عَنْهَا قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ
اَللَّهِ اُنْظُرْنَ مَنْ
إِخْوَانُكُنَّ, فَإِنَّمَا
اَلرَّضَاعَةُ مِنْ اَلْم
َجَاعَةِ مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

Dari Aisyah ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Perhatikan saudara laki-laki
kalian, karena saudara persusuan itu akibat kenyangnya menyusu. (HR Bukhari dan
Muslim)

2. Haruskah Ada Saksi?

Hal lain yang menyebabkan perbedaan pendapat adalah masalah saksi. Sebagian ulama
mengatakan bahwa untuk terjadinya persusuan yang mengakibatkan kemahraman, maka
harus ada saksi. Seperti pendapat Ash-Sharabshi, ulama Azhar. Namun ulama lainnya
mengatakan tidak perlu ada saksi. Cukup keterangan dari wanita yang menyusui saja.

Bagi kalangan yang mewajibkan ada saksi, hubungan mahram yang diakibatkan karena
penyusuan itu harus melibatkan saksi dua orang laki-laki. Atau satu orang laki-laki dan
dua orang saksi wanita sebagai ganti dari satu saksi laki-laki.

Bila tidak ada saksi atas penyusuan tersebut, maka penyusuan itu tidak mengakibatkan
hubungan kemahraman antara ibu yang menyusui dengan anak bayi tersebut.Sehingga
tidak perlu ada yang dikhawatirkan dari bank susu ibu. Karena susu yang diminum oleh
para bayi menjadi tidak jelas susu siapa dari ibu yang mana. Dan ketidak-jelasan itu
malah membuat tidak akan terjadi hubungan kemahraman.

Dalilnya adalah bahwa sesuatu yang bersifat syak (tidak jelas, ragu-ragu, tidak ada saksi),
maka tidak mungkin ditetapkan di atasnya suatu hukum. Pendeknya, bila tidak ada
saksinya, maka tidak akan mengakibatkan kemahraman.

Sedangkan menurut ulama lainnnya, tidak perlu ada saksi dalam masalah penyusuan.
Yang penting cukuplah wanita yang menyusui bayi mengatakannya. Maka siapa pun bayi
yang minum susu dari bank susu, maka bayi itu menjadi mahram buat semua wanita yang
menyumbangkan air susunya. Dan ini akan mengacaukan hubungan kemahraman dalam
tingkat yang sangat luas.

Dari pada kacau balau, maka mereka memfatwakan bahwa bank air susu menjadi haram.
Dan kesimpulan akhirnya, masalah ini tetap menjadi titik perbedaan pendapat dari dua
kalangan yang berbeda pandangan. Wajar terjadi perbedaan ini, karena ketiadaan nash
yang secara langsung membolehkan atau mengharamkan bank susu. Nash yang ada
hanya bicara tentang hukum penyusuan, sedangkan syarat-syaratnya masih berbeda. Dan
karena berbeda dalam menetapkan syarat itulah makanya para ulama berbeda dalam
menetapkan hukumny

BANK ASI

December 17, 2009 at 8:50 am | Fikih


- Posted by Muhsin Hariyanto | Add Your Comments

BANK ASI

Akhir-akhir ini, beberapa yayasan berusaha menghimpun susu ibu-ibu yang sedang
menyusui agar bermurah hati memberikan sebagian air susunya. Kemudian susu itu
dikumpulkan dan disterilkan untuk diberikan kepada bayi-bayi prematur pada tahap
kehidupan yang rawan ini, yang kadang-kadang dapat membahayakannya bila diberi
susu selain air susu ibu (ASI).

Sudah barang tentu yayasan tersebut menghimpun air susu dari puluhan bahkan ratusan
kaum ibu, kemudian diberikan kepada berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus bayi
prematur, laki-laki dan perempuan tanpa saling mengetahui dengan jelas susu siapa dan
dikonsumsi siapa, baik pada masa sekarang maupun masa mendatang.

Hanya saja, penyusuan ini tidak terjadi secara langsung, yakni tidak langsung menghisap
dari puting susu. Maka, apakah oleh syara’ (agama) mereka ini dinilai sebagai saudara?
Dan haramkah susu dari bank susu itu meskipun ia turut andil dalam menghidupi sekian
banyak jiwa anak manusia?

Jika mubah dan halal, maka apakah alasan yang memperbolehkannya? Apakah
dipandang karena tidak menetek secara langsung? Atau karena ketidakmungkinan
memperkenalkan saudara-saudara sesusuan — yang jumlah mereka sangat sedikit —
dalam suatu masyarakat yang kompleks, artinya jumlah sedikit yang sudah membaur itu
tidak mungkin dilacak atau diidentifikasi?

Tidak diragukan lagi bahwa tujuan diadakannya bank air susu ibu sebagaimana
dipaparkan dalam pertanyaan adalah tujuan yang baik dan mulia, yang didukung oleh
Islam, untuk memberikan pertolongan kepada semua yang lemah, apa pun sebab
kelemahannya. Lebih-lebih bila yang bersangkutan adalah bayi yang lahir prematur
yang tidak mempunyai daya dan kekuatan.

Tidak disangsikan lagi bahwa perempuan yang menyumbangkan sebagian air susunya
untuk makanan golongan anak-anak lemah ini akan mendapatkan pahala dari Allah,
dan terpuji di sisi manusia. Bahkan air susunya itu boleh dibeli darinya, jika ia tak
berkenan menyumbangkannya, sebagaimana ia diperbolehkan mencari upah dengan
menyusui anak orang lain, sebagaimana nash (teks) al-Quran serta contoh riil kaum
muslim.

Juga tidak diragukan bahwa yayasan yang bergerak dalam bidang pengumpulan “air
susu” itu — yang mensterilkan serta memeliharanya agar dapat dikonsumsi oleh
bayi-bayi atau anak-anak — patut diapresiasi. Lalu, apa yang dikhawatirkan di balik
kegiatan yang mulia ini?

Yang dikhawatirkan ialah bahwa anak yang disusui (dengan air susu ibu) itu kelak akan
menjadi besar dengan izin Allah, dan akan menjadi seorang remaja di tengah-tengah
masyarakat, yang suatu ketika hendak menikah dengan salah seorang dari putri-putri
bank susu itu. Ini yang dikhawatirkan, bahwa wanita tersebut adalah saudaranya
sesusuan. Sementara itu dia tidak mengetahuinya karena memang tidak pernah tahu
siapa saja yang menyusu bersamanya dari air susu yang ditampung itu.

Lebih dari itu, dia tidak tahu siapa saja perempuan yang turut serta menyumbangkan ASI-
nya kepada bank susu tersebut, yang sudah tentu menjadi ibu susuannya. Maka haram
bagi ibu itu menikah dengannya dan haram pula ia menikah dengan putri-putri ibu
tersebut, baik putri itu sebagai anak kandung (nasab) maupun anak susuan. Demikian
pula diharamkan bagi pemuda itu menikah dengan saudara-saudara perempuan ibu
tersebut, karena mereka sebagai bibi-bibinya. Diharamkan pula baginya menikah dengan
putri dari suami ibu susuannya itu dalam perkawinannya dengan wanita lain — menurut
pendapat jumhur fuqahâ’ (para ahli fikih) – karena mereka adalah saudara-saudaranya
dari jurusan ayah, serta masih banyak masalah dan hukum lain berkenaan dengan
susuan ini.

Oleh karena itu, masalah ini sebaiknya menjadi beberapa poin, sehingga hukumnya
menjadi jelas.

Pertama, menjelaskan pengertian radhâ’ah (penyusuan) yang menjadi acuan syara’


untuk menetapkan pengharaman.

Kedua, menjelaskan kadar susuan yang menjadikan haramnya perkawinan.

Ketiga, menjelaskan hukum meragukan susuan.

Pengertian Radhâ’ah (Penyusuan)

Makna radhâ’ah (penyusuan) yang menjadi acuan syara’ dalam menetapkan


pengharaman (perkawinan), menurut jumhur (mayoritas) fuqahâ’ (para ahli fikih) —
termasuk tiga orang imam mazhab, yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan
Imam Syafi’i – ialah segala sesuatu yang sampai ke perut bayi melalui kerongkongan
atau lainnya, dengan cara menghisap atau lainnya, seperti dengan al-wajûr (yaitu
menuangkan air susu melalui mulut ke kerongkongan), bahkan mereka samakan pula
dengan jalan as-sa’ûth yaitu menuangkan air susu ke hidung (lantas kerongkongan), dan
ada pula yang berlebihan dengan menyamakannya dengan suntikan melalui dubur
(anus). Tetapi semua itu ditentang oleh Imam al-Laits bin Sa’ad, yang hidup sezaman
dengan Imam Malik. Begitu pula golongan Zhahiriyah dan salah satu riwayat dari Imam
Ahmad.

Al-Allamah Ibnu Qudamah (penulis kita al-Mughni) menyebutkan dua riwayat dari
Imam Ahmad mengenai al-wajûr dan as-sa’ûth.

Riwayat pertama, lebih dikenal sebagai riwayat dari Imam Ahmad dan sesuai dengan
pendapat jumhur ulama, bahwa pengharaman itu terjadi melalui keduanya (yakni
dengan memasukkan susu ke dalam perut baik melalui mulut maupun melalui hidung).
Adapun yang melalui mulut (al-wajûr), karena hal ini menumbuhkan daging dan
membentuk tulang, maka sama saja dengan menyusu. Sedangkan melalui hidung (as-
sa’ûth), karena merupakan jalan yang dapat membatalkan puasa, maka ia juga
menjadi jalan terjadinya pengharaman (perkawinan) karena susuan, sebagaimana
halnya melalui mulut.

Riwayat kedua, bahwa hal ini tidak menyebabkan haramnya perkawinan, karena
kedua cara ini bukan penyusuan.

Disebutkan di dalam kitab al-Mughni “Ini adalah pendapat yang dipilih Abu Bakar,
mazhab Zhahiriyah (Daud bin Ali), dan perkataan Atha’ al-Khurasani mengenai as-
sa’ûth, karena yang demikian ini bukan penyusuan, sedangkan Allah dan Rasul-Nya
hanya mengharamkan (perkawinan) karena penyusuan. Karena memasukkan susu
melalui hidung bukan penyusuan (menghisap puting susu), maka ia sama saja dengan
memasukkan susu melalui luka pada tubuh.”

Sementara itu, pengarang kitab al-Mughni sendiri menguatkan riwayat yang pertama
berdasarkan hadis Ibnu Mas’ud yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari Abdullah bin
Mas’ud:

‫حَم‬
ْ ‫ت الّل‬
َ ‫ظَم َوَأْنَب‬
ْ ‫شّد اْلَع‬
َ ‫ع ِإّل َما‬
َ ‫ضا‬
َ َ‫َل ر‬

“Tidak ada penyusuan kecuali yang membesarkan tulang dan menumbuhkan daging”

Hadis yang dijadikan hujjah (argumen) oleh pengarang kitab al-Mughni ini
sebenarnya tidak dapat dijadikan hujjah untuknya, bahkan kalau direnungkan justeru
menjadi hujjah untuk menyanggah pendapatnya. Sebab hadis ini membicarakan
penyusuan yang mengharamkan perkawinan, yaitu yang mempunyai pengaruh (bekas)
dalam pembentukan anak dengan membesarkan tulang dan menumbuhkan
dagingnya. Hal ini menafikan (tidak memperhitungkan) penyusuan yang sedikit,
yang tidak mempengaruhi pembentukan anak, seperti sekali atau dua kali isapan,
karena yang demikian itu tidak mungkin mengembangkan tulang dan menumbuhkan
daging. Maka hadis itu hanya menetapkan pengharaman (perkawinan) karena
penyusuan yang mengembangkan tulang dan menumbuhkan daging. Oleh karena itu,
pertama-tama harus ada penyusuan sebelum segala sesuatunya (yakni penyusuan itu
merupakan faktor yang utama dan dominan).
Selanjutnya pengarang al-Mughni berkata, “Karena dengan cara ini air susu dapat
sampai ke tempat yang sama — jika dilakukan melalui penyusuan – serta dapat
mengembangkan tulang dan menumbuhkan daging sebagaimana melalui penyusuan,
maka hal itu wajib disamakan dengan penyusuan dalam mengharamkan (perkawinan).
Karena hal itu juga merupakan jalan yang membatalkan puasa bagi orang yang
berpuasa, maka ia juga merupakan jalan untuk mengharamkan perkawinan sebagaimana
halnya penyusuan dengan mulut.”

Saya mengomentari pengarang kitab al-Mughni (Ibnu Qudamah rahimahullah), “Kalau


‘illah (sebab-hukum)-nya adalah karena mengembangkan tulang dan menumbuhkan
daging dengan cara apa pun, maka wajib kita mengatakan sekarang bahwa
mentransfusikan darah seorang wanita kepada seorang anak menjadikan wanita
tersebut haram kawin dengan anak itu, sebab transfusi melalui pembuluh darah ini
lebih cepat dan lebih kuat pengaruhnya daripada susu. Tetapi hukum-hukum agama
tidaklah dapat dipastikan dengan dugaan-dugaan, karena persangkaan adalah sedusta-
dusta perkataan, dan persangkaan tidak berguna sedikit pun untuk mencapai
kebenaran.”

Menurut pendapat saya, asy-Syâri’ (Pembuat Syariat, Allah) menjadikan asas


pengharamnya itu pada “keibuan yang menyusukan” sebagaimana firman Allah SWT
ketika menerangkan wanita-wanita yang diharamkan mengawininya:

“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan;


saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan;
saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-
saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang
perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-
ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri
yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah
kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu)
isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua
perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau;
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS an-Nisâ’, 4: 23)

Maksud “ibu” di dalam ayat tersebut ialah: ibu, nenek dan seterusnya ke atas. dan yang
dimaksud dengan “anak perempuan” ialah: anak perempuan, cucu perempuan dan
seterusnya ke bawah, demikian juga yang lain-lainnya. Sedang yang dimaksud dengan
“anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu”, menurut jumhur ulama, termasuk
juga anak tiri yang tidak dalam pemeliharaannya.

Adapun “keibuan” yang ditegaskan al-Quran itu tidak terbentuk semata-mata karena
diambilkan air susunya, tetapi karena menghisap puting susunya dan selalu lekat
padanya sehingga melahirkan kasih sayang si ibu dan ketergantungan si anak. Dari
keibuan ini maka muncullah persaudaraan sepersusuan. Jadi, keibuan ini merupakan
asal (pokok), sedangkan yang lain itu mengikutinya.
Dengan demikian, kita wajib berhenti pada lafal-lafal yang dipergunakan asy-Syâri’
(Pembuat Syari’ah, Allah) di sini. Sedangkan lafal-lafal yang dipergunakanNya itu
seluruhnya membicarakan irdhâ’ dan radhâ’ah (penyusuan), dan makna lafal ini
menurut bahasa al-Quran dan as-Sunnah sangat jelas dan terang, yaitu:
“memasukkan ‘puting susu’ ke mulut dan menghisapnya, bukan sekadar memberi
minum susu dengan cara apa pun”.

Pandangan Ibnu Hazm mengenai hal ini, ketika beliau berhenti pada petunjuk nash
(teks) — tidak melampaui batas-batasnya, sehingga mengenai sasaran — menurut
pendapat saya, lebih mendekati kebenaran.

Tetapi harus diingat juga, bahwa penyusuan itu tidak akan bermakna kecuali dengan
keluarnya air susu yang dikonsumsi oleh sang bayi, seberapa pun kuantitas dan
kualitasnya. Sehingga tidak tepat seandainya kita nafikan pertimbangan para ulama selain
Ibnu Hazm yang mengisyaratkan arti pentingnya ASI yang dikonsumsi oleh Sang Bayi,
di samping penyusuan pada puting wanita itu.

Dalam hal ini penulis berpendapat bahwa radha’ah itu di samping berkenaan dengan
pengisapan puting susu, juga (berkenaan) dengan pengisapan ASI oleh bayi.

BANK SUSU (2/2)


Dr. Yusuf Qardhawi

Saya kutipkan di sini beberapa poin dari perkataan beliau,


karena cukup memuaskan dan jelas dalilnya. Beliau berkata:

"Adapun sifat penyusuan yang mengharamkan (perkawinan)


hanyalah yang menyusu dengan cara menghisap tetek wanita yang
menyusui dengan mulutnya. Sedangkan orang yang diberi minum
susu seorang wanita dengan menggunakan bejana atau dituangkan
ke dalam mulutnya lantas ditelannya, dimakan bersama roti atau
dicampur dengan makanan lain, dituangkan kedalam mulut,
hidung, atau telinganya, atau dengan suntikan, maka yang
demikian itu sama sekali tidak mengharamkan (perkawinan) ,
meskipun sudah menjadi makanannya sepanjang masa.

Alasannya adalah firman Allah Azza wa Jalla: 'Dan ibu-ibumu


yang menyusui kamu dan saudara perempuanmu sepersusuan ...'
(an-Nisa':23)
Dan sabda Rasulullah saw.:

"Haram karena susuan apa yang haram karena nasab."

Maka dalam hal ini Allah dan Rasul-Nya tidak mengharamkan


nikah kecuali karena irdha' (menyusui), kecuali jika wanita
itu meletakkan susunya ke dalam mulut yang menyusu. Dikatakan
(dalam qiyas ishtilahi): ardha'athu-turdhi' uhu-irdha' an, yang
berarti menyusui. Tidaklah dinamakan radha'ah dan radha'/ridha
(menyusu) kecuali jika anak yang menyusu itu mengambil tetek
wanita yang menyusuinya dengan mulutnya, lalu menghisapnya.
Dikatakan (dalam qiyas ishtilahi, dalam ilmu sharaf): radha'a
- yardha'u/yardhi' u radha'an/ridha' an wa
radha'atan/ridha' atan. Adapun selain cara seperti itu,
sebagaimana yang saya sebutkan di atas, maka sama sekali tidak
dinamakan irdha', radha'ah, dan radha', melainkan hanya air
susu, makanan, minuman, minum, makan, menelan, suntikan,
menuangkan ke hidung, dan meneteskan, sedangkan Allah Azza wa
Jalla tidak mengharamkan perkawinan sama sekali yang
disebabkan hal-hal seperti ini.

Abu Muhammad berkata, Orang-orang berbeda pendapat mengenai


hal ini. Abul Laits bin Sa'ad berkata, 'Memasukkan air susu
perempuan melalui hidung tidak menjadikan haramnya perkawinan
(antara perempuan tersebut dengan yang dimasuki air susunya
tadi), dan tidak mengharamkan perkawinan pula jika si anak
diberi minum air susu si perempuan yang dicampur dengan obat,
karena yang demikian itu bukan penyusuan, sebab penyusuan itu
ialah yang dihisap melalui tetek. Demikianlah pendapat
al-Laits, dan ini pula pendapat kami dan pendapat Abu Sulaiman
--yakni Daud, imam Ahli Zhahir-- dan sahabat-sahabat kami,
yakni Ahli Zhahir."'

Sedangkan pada waktu menyanggah orang-orang yang berdalil


dengan hadits: "Sesungguhnya penyusuan itu hanyalah karena
lapar," Ibnu Hazm berkata:

"Sesungguhnya hadits ini adalah hujjah bagi kami, karena Nabi


saw. hanya mengharamkan perkawinan disebabkan penyusuan yang
berfungsi untuk menghilangkan kelaparan, dan beliau tidak
mengharamkan (perkawinan) dengan selain ini. Karena itu tidak
ada pengharaman (perkawinan) karena cara-cara lain untuk
menghilangkan kelaparan, seperti dengan makan, minum,
menuangkan susu lewat mulut, dan sebagainya, melainkan dengan
jalan penyusuan (menetek, yakni menghisap air susu dari tetek
dengan mulut dan menelannya), sebagaimana yang disabdakan
Rasulullah saw. (firman Allah):

"... Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah,


mereka itulah orang-orang yang zalim." (al-Baqarah: 229)2

Dengan demikian, saya melihat bahwa pendapat yang


menenteramkan hati ialah pendapat yang sejalan dengan zhahir
nash yang menyandarkan semua hukum kepada irdha' (menyusui)
dan radha'/ridha' (menyusu). Hal ini sejalan dengan hikmah
pengharaman karena penyusuan itu, yaitu adanya rasa keibuan
yang menyerupai rasa keibuan karena nasab, yang menumbuhkan
rasa kekanakan (sebagai anak), persaudaraan (sesusuan), dan
kekerabatan- kekerabatan lainnya. Maka sudah dimaklumi bahwa
tidak ada proses penyusuan melalui bank susu, yang melalui
bank susu itu hanyalah melalui cara wajar (menuangkan ke mulut
--bukan menghisap dari tetek-- dan menelannya), sebagaimana
yang dikemukakan oleh para fuqaha.

Seandainya kita terima pendapat jumhur yang tidak mensyaratkan


penyusuan dan pengisapan, niscaya terdapat alasan lain yang
menghalangi pengharaman (perkawinan) . Yaitu, kita tidak
mengetahui siapakah wanita yang disusu (air susunya diminum)
oleh anak itu? Berapa kadar air susunya yang diminum oleh anak
tersebut? Apakah sebanyak yang dapat mengenyangkan --lima kali
susuan menurut pendapat terpilih yang ditunjuki oleh hadits dan
dikuatkan oleh penalaran-- dapat menumbuhkan daging, dan
mengembangkan
tulang, sebagaimana pendapat mazhab Syafi'i dan Hambali?

Apakah air susu yang sudah dicampur dengan bermacam-macam air


susu lainnya terhukum sama dengan air susu murni? Menurut
mazhab Hanafi, sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Yusuf,
bahwa air susu seorang perempuan apabila bercampur dengan air
susu perempuan lain, maka hukumnya adalah hukum air susu yang
dominan (lebih banyak), karena pemanfaatan air susu yang tidak
dominan tidak tampak bila dibandingkan dengan yang dominan.

Seperti yang telah dikenal bahwa penyusuan yang meragukan


tidaklah menyebabkan pengharaman.

Al-Allamah Ibnu Qudamah berkata dalam al-Mughni:

"Apabila timbul keraguan tentang adanya penyusuan, atau


mengenai jumlah bilangan penyusuan yang mengharamkan, apakah
sempurna ataukah tidak, maka tidak dapat menetapkan
pengharaman, karena pada asalnya tidak ada pengharaman. Kita
tidak bisa menghilangkan sesuatu yang meyakinkan dengan
sesuatu yang meragukan, sebagaimana halnya kalau terjadi
keraguan tentang adanya talak dan bilangannya. "3

Sedangkan di dalam kitab al-Ikhtiar yang merupakan salah satu


kitab mazhab Hanafi, disebutkan:

"Seorang perempuan yang memasukkan puting susunya kedalam


mulut seorang anak, sedangkan ia tidak tahu apakah air susunya
masuk ke kerongkongan ataukah tidak, maka yang demikian itu
tidak mengharamkan pernikahan.

Demikian pula seorang anak perempuan yang disusui beberapa


penduduk kampung, dan tidak diketahui siapa saja mereka itu,
lalu ia dinikahi oleh salah seorang laki-laki penduduk kampung
(desa) tersebut, maka pernikahannya itu diperbolehkan. Karena
kebolehan nikah merupakan hukum asal yang tidak dapat
dihapuskan oleh sesuatu yang meragukan.

Dan bagi kaum wanita, janganlah mereka menyusui setiap anak


kecuali karena darurat. Jika mereka melakukannya, maka
hendaklah mereka mengingatnya atau mencatatnya, sebagai sikap
hati-hati."4

Tidaklah samar, bahwa apa yang terjadi dalam persoalan kita


ini bukanlah penyusuan yang sebenarnya. Andaikata kita terima
bahwa yang demikian sebagai penyusuan, maka hal itu adalah
karena darurat, sedangkan mengingatnya dan mencatatnya
tidaklah memungkinkan, karena bukan terhadap seseorang yang
tertentu, melainkan telah bercampur dengan yang lain.

Arahan yang perlu dikukuhkan menurut pandangan saya dalam


masalah penyusuan ini ialah mempersempit pengharaman seperti
mempersempit jatuhnya talak, meskipun untuk melapangkan kedua
masalah ini juga ada pendukungnya.

Khulashah

Saya tidak menjumpai alasan untuk melarang diadakannya semacam


"bank susu" selama bertujuan untuk mewujudkan maslahat
syar'iyah yang muktabarah (dianggap kuat); dan untuk memenuhi
kebutuhan yang wajib dipenuhi, dengan mengambil pendapat para
fuqaha yang telah saya sebutkan di muka, serta dikuatkan
dengan dalil-dalil dan argumentasi yang saya kemukakan di atas.

Kadang-kadang ada orang yang mengatakan, "Mengapa kita tidak


mengambil sikap yang lebih hati-hati dan keluar dari perbedaan
pendapat, padahal mengambil sikap hati-hati itu lebih
terpelihara dan lebih jauh dari syubhat?"

Saya jawab, bahwa apabila seseorang melakukan sesuatu untuk


dirinya sendiri, maka tidak mengapalah ia mengambil mana yang
lebih hati-hati dan lebih wara' (lebih jauh dari syubhat),
bahkan lebih dari itu boleh juga ia meninggalkan sesuatu yang
tidak terlarang karena khawatir terjatuh ke dalam sesuatu yang
terlarang.

Akan tetapi, apabila masalah itu bersangkut paut dengan


masyarakat umum dan kemaslahatan umum, maka yang lebih utama
bagi ahli fatwa ialah memberi kemudahan, bukan memberi
kesulitan, tanpa melampaui nash yang teguh dan kaidah yang
telah mantap.

Karena itu, menjadikan pemerataan ujian sebagai upaya


meringankan beban untuk menjaga kondisi masyarakat dan karena
kasihan kepada mereka. Jikalau kita bandingkan dengan
masyarakat kita sekarang khususnya, maka masyarakat sekarang
ini lebih membutuhkan kemudahan dan kasih sayang.

Hanya saja yang perlu diingat disini, bahwa memberikan


pengarahan dalam segala hal untuk mengambil yang lebih
hati-hati tanpa mengambil mana yang lebih mudah, lebih lemah
lembut, dan lebih adil, kadang-kadang membuat kita menjadikan
hukum-hukum agama itu sebagai himpunan "kehati-hatian" dan
jauh dari ruh kemudahan serta kelapangan yang menjadi tempat
berpijaknya agama Islam ini. Dari Jabir r.a. bahwa Rasulullah
saw. bersabda:

"Aku diutus dengan membawa agama yang lurus dan toleran.


"(HR al-Kharaithi)

Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw bersabda:


"Sesungguhnya kamu diutus untuk memberikan kemudahan,
tidak diutus untuk memberikan kesulitan." (HR Tirmidzi)

Manhaj (metode) yang kami pilih dalam masalah-masalah ini


ialah pertengahan dan seimbang antara golongan yang
memberat-beratkan dan yang melonggar-longgarka n:

"Dan demikian pula Kami jadikan kamu (umat Islam) umat


yang adil dan pilihan ..." (al-Baqarah: 143)

Allah memfirmankan kebenaran, dan Dia-lah yang memberi


petunjuk ke jalan yang lurus.

Catatan kaki:

1 Maksudnya, tidak ada pengaruhnya penyusuan untuk


mengharamkan perkawinan kecuali ... (Pen;.).

2 Al-Muhalla. karya Ibnu Hazm, juz 10, him. 9-11.

3 Al-Mughni ma'a asy-Syarh al-Kabir, juz 9, him. 194.

4 Al-Ikhtiar, Ibnu Maudud al-Hanafi, juz 3, hlm. 120;


dan lihat Syarah Fathul-Qadir, Ibnul Hammam, juz 3, him.2-3.

Separuh Jiwaku Pergi


oleh: Anang Hermansyah
Separuh Jiwaku Pergi
Memang indah semua
Tapi berakhir luka
Kau main hati dengan sadarmu
Kau tinggal aku

Reff:
Benar ku mencintaimu
Tapi tak begini
Kau khianati hati ini
Kau curangi aku

Kau bilang tak pernah bahagia


Selama dengan aku
Itu ucap bibirmu
Kau dustakan semua
Yang kita bina
Kau hancurkan semua

Back to Reff

Benar ku mencintaimu
Tapi tak begini
Kau khianati
Kau curangi aku
Kau dustai hati
Benar ku mencintaimu

Catatanku (Ost Buku Harian Baim) Feat Baim


oleh: Melly Goeslaw

(Melly)
Awan awan menghitam
Langit runtuhkan dunia
Saat aku tahu ternyata akhir ku tiba
(Baim)
Mengapa semua menangis
Padahal ku selalu tersenyum
Usap air matamu
Aku tak ingin ada kesedihan

Reff :
(Melly)
Burung sampaikan nada pilu
Angin terbangkan rasa sedih
Jemput bahagia diharinya
Berikan dia hidup

(Baim)
Tuhan terserah mau-Mu
Aku ikut mau-Mu Tuhan
Ku catat semua ceritaku
Dalam harianku

I'm Yours
oleh: Jason Mraz

Well you done done me and you bet I felt it


I tried to be chill but you're so hot that I melted
I felt right trough the cracks,now I'm trying to get back

Before the cool done run out I'll be giving it my bestest


And nothing's going to stop me but divine intervention
I reckon it's again my turn to win some or learn some

But I won't hesitate no more,no more


It cannot wait,I'm yours

Well up your mind and see like me


Open up your plans and damn you're free
Look into your heart and you'll find love love love love

Listen to the music of the moment people, dance and sing


We're just one big family
And it's our God-forsaken right to be loved loved loved loved
So I won't hesitate no more,no more
It cannot wait,I'm sure
There's no need to complicate,our time is short
This is our fate I'm yours

D-d-do do you,but do you,d-d-do


But do you want to come on
Scooch on over closer dear
And I will nibble your ear

I've been spending way too long checking my tongue in the mirror
And bending over backwards just to try to see it clearer
But my breath fogged up the glass
And so I drew a new face and laughed

I guess what I be saying is there ain't no better reason


To rid yourself of vanaties and just go with the seasons
It's what we aim to do,our name is our virtue

But I won't hesitate no more,no more


It cannot wait,I'm yours

(I won't hesitate)
Open up your mind and see like me
(no more,no more)
Open up your plans and damn you're free
Look into your heart and you'll find that the sky is yours
(It cannot wait,I'm sure)

so please don't,please don't,please don't


(There's no need to complicate)
There's no need to complicate
(Our time is short)
'Cause our time is short
(This is our fate)
This is,this is,this is our fate
I'm yours

More Jason Mraz


« Semua Lagu Jason Mraz
Jason Mraz
» Lihat Profil

You might also like