Professional Documents
Culture Documents
BAB I
PENDAHULUAN
Sementara itu terlebih dulu harus dilihat definisi dari hukum kewarisan. Hukum
kewarisan menurut Prof. Subekti adalah serangkaian peraturan yang mengatur
mengenai sebab-sebab perpindahan harta kekayaan manusia dari orang yang telah
meninggal dunia kepada orang yang masih hidup.
Sistem kewarisan kedua yang masuk di Indonesia adalah sistim kewarisan Islam,
yang muncul seiring dengan masukya agama Islam di Indonesia. Sistem kewarisan
Islam yang merupakan salah satu elemen penting dari syariat Islam mulai
berkembang dan diterima di Inonesia dengan perantaraan para muballig yang
senantiasa menyebarkan agama Islam. Sistem kewarisan yang ketiga adalah sistem
kewarisan menurut Hukum Perdata Barat, yang berpedoman pada Burgerlijk
Wetboek (BW) atau Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Dari ketiga sistem
hukum kewarisan di atas semuanya mempunyai karakteristik sendiri-sendiri .
Hukum Kewarisan Islam yang saat ini berlaku di Indonesia, mempunyai beberapa
mazhab atau ragam peraturan. Yang pertama adalah mazhab dari Ahlu Sunnah Wal
Jamaah, atau lebih dikenal dengan ajaran patrilineal Syafi�i, mengingat penduduk
Indonesia sebagian besar bermazhab Syafi�i. Pada mazhab ini hukum kewarisan
Islam mengambil sumber selain dari Al-Qur;an juga mengambil lewat sumber-
2
sumber Hadits Rasul. Yang kedua adalah mazhab atau aliran Prof. Hazairin, guru
besar Fakultas Hukum UI, yang terkenal dengan bukunya Hukum Kewarisan
Bilateral menurut Qur�an dan Hadits, yang membawa suatu perubahan besar dalam
bidang hukum kewarisan Islam.
Dalam bukunya, Hazairin mengemukakan beberapa teori yang berbeda dengan yang
dipunyai Ahlu Sunnah. Boleh dibilang kehadiran Hazairin merupakan suatu mazhab
baru dalam lapangan hukum kewarisan Islam. Sementara sistem ketiga yang berlaku
adalah yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam. KHI pada awalnya merupakan
suatu langkah penyatuan pendapat (jumhur) para ulama dalam suatu kongres Ulama,
yang kemudian aspirasi mereka mengenai perlunya suatu kesatuan hukum dalam
bidang hukum kewarisan Islam di Indoensia dtampung oleh pemerintah.
Pemerintah kemudian mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 1991 yang
dikenal dengan Kompilasi Hukum Islam (KHI), dimana terdapat tiga buku
didalamnya. Buku I mengenai perkawinan, buku II mengenai kewarisan dan Buku
III mengenai hibah dan wakaf. Yang menjadi pedoman disini adalah Buku II KHI
pasal 178 sampai 194.
Kalau kita bandingkan antara ajaran Hazairin dan Syafi�i, ada beberapa persaman
dan perbedaan. Persamaannya adalah kalau kita bahwa baik Hazairin dan Syafi�i
sama-saman menggunakan Al-Qur�an , terutama surat An-Nisaa ayat 7, ayat 12,
dan ayat 176. Memang ayat-ayat Al-Qur�an diatas merupakan ayat-ayat Qur�an
utama mengenai masalah kewarisan. Namun ada perbedaan yang tajam antara ajaran
Hazairin dan Syafi�i, terutama mengenai masalah ahli waris pengganti. Hazairin
mengemukakan bahwa setiap ahli waris itu ada ahli waris pengganti, dimana
berdasarkan kelompok keutamaan masing-masing. Hazairin mendasarkan
pendapatnya ini pada Al-Qur�an surat An-Nisaa ayat 33, sementara menurut
Syafi�i, Surat An-Nisaa ayat 33 hanya merupakan salah satu bagian dari ayat-
ayat mengenai hukum kekeluargaan, jadi bukan ayat mengenai hukum
kewarisan. Yang dimaksud Hazairin dengan Kelompok Keutamaan I adalah anak
dan keturunannya, Kelompok Keutamaan II adalah orangtua dan saudara,
Kelompok Keutamaan III adalah Kakek, Kelompok Keutamaan IV adalah saudara
dengan garis menyamping sampai derajat keenam. Konsep kelompok keutamaan
tidak dikenal dalam Syafi�i. Syafi�i tidak mengenal masalah penggantian ahli
waris, ataupun kelompok keutamaan, sebab Syafii membagi ahli waris itu kedalam
tiga kelompok, yaitu dzul faraid, ashabah dan dzul arham,. Dzul faraid adalah orang
yang menerima bagian tertentu, sementara ashabah adalah ahli waris yang
memperoleh bagian sisa dan dzul arham merupakan keturunan ahli waris yang
mempunyai hubungan kerabat dengan pewaris namun tidak mewarisi dalam
kedudukan dzul faraid dan ashabah.
Selain itu dalam ajaran Syafi�i juga dikenal adanya hijab menghijab. Artinya
seorang ahli waris dapat menyebabkan ahli waris lainnya terhalang menerima
bagian,. Sebagai contoh, apabila pewaris meninggalkan ahli waris seorang istri, dua
orang anak perempuan, satu orang bapak dan tiga orang saudara, maka berdasarkan
ajaran hijab menghijab ini, tiga orang saudara tidak akan mendapatkan warisan
3
karena terhijab (terhalang) oleh bapak. Kalau kita selesaikan maka istri menerima
1/8, dua orang anak perempuan 2/3 dan sisanya untuk bapak, yaitu 1- (1/8+2/3) =
1/12 bagian.
Kalau kita menganalisa mengenai hukum kewarisan bilateral Hazairin, yang
merupakan salah satu mazhab baru dalam hukum kewarisan Islam, maka pertama-
tama kita harus melihat latar belakang keilmuan Hazairin. Hazairin merupakan guru
besar Fakultas Hukum UI terutama di bidang hukum adat. Oleh karena itulah ketika
Hazairin pertama-tama mengemukakan pendapatnya mengenai hukum kewarisan
bilateral, banyak orang terutama dari kalangan Ahlu Sunnah yang bermazhab
Syafi�i menolaknya, karena mereka menganggap bahwa Hazairin itu bukan
berasal dari kalangan pesantren atau ulama, namun berani menterjemahkan Al-
Qur�an. Oleh karena itu banyak dari kalangan Ahlu Sunnah yang menolak
pendapat Hazairin. Sementara itu kalau kita perhatikan bahwa sebenarnya Hazairin
iustru menterjemahkan Al-Qur�an dari sudut ilmu hukum, sehingga pendapat
Hazairin itu merupakan pengamatan beliau dari dasar keilmuannya yaitu sudut ilmu
hukum.
Namun keanekaragaman berbagai macam segi peraturan di Indonesia ini untuk
kalangan umat Islam harus kita tanggapi dengan pikiran jernih. Adanya
keanekaragaman ini sebenarnya merupakan salah satu tanggapan mengenai ijtihad
manusia yang didapatkan dari Ar-Ra�yu (akal pikiran manusia) yang merupakan
salah satu kelebihan yang diberikan Allah kepada manusia.
Oleh karena itu sebagai umat Islam janganlah melihat pada perbedaan dari berbagai
macam pendapat di bidang hukum kewarisan Islam, namun kita lihat dari segi
persamaannya, yaitu peraturan-peraturan atau mazhab-mazhab ini merupakan salah
satu kekayaan pemikiran dari umat Islam yang semestinya harus terus
ditumbuhkembangkan. Sebagai umat Islam kita tidak boleh mengikuti secara taklid
buta suatu ajaran yang diberikan pada masa-masa lampau, namun kita harus terus
mengkajinya, karena zaman itu berubah sedemikian cepat, sehingga tidak tertutup
kemungkinan semakin bertambahnya kemajuan zaman sehingga peraturan-peraturan
yang ada sekarang mungkin saja tidak sesuai dengan keadaan dimasa lalu.
Perkembangan hukum kewarisan Islam di Indonesia dalam sejarah 58 tahun
kemerdekaan Indonesia cenderung stagnan. Namun, terobosan penting dilakukan
pada tahun 1989 ketika lahirnya UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Dalam pasal 49 undang-undang ini, ditegaskan bahwa masalah kewarisan Islam
merupakan kompetensi absolut peradilan agama. Terobosan penting lain yang pernah
dilakukan adalah ketika terbentuknya Kompilasi Hukum Islam dengan buku tentang
waris sebagai salah satu bagiannya. Namun, mengingat bahwa Kompilasi Hukum
Islam diatur dalam sebuah Instruksi Presiden, dimana derajat kekuatan mengikatnya
sangat lemah, maka pengaturannya menjadi tidak signifikan lagi, karena saat ini
Instruksi Presiden tidak lagi masuk dalam tata urutan perundang-undangan.
Di tengah-tengah era syariat Islam saat ini, sudah semestinya hukum kewarisan
Islam diatur dalam derajat yang lebih tinggi, tidak hanya sekedar dalam Instruksi
Presiden saja. Sudah saatnya, hukum kewarisan Islam diatur dalam sebuah undang-
undang tersendiri, sama seperti masalah perkawinan yang diatur dalam UU No.1
4
Tahun 1974, maupun masalah zakat yang diatur dalam UU No.38 Tahun 1999.
Mudah-mudahan, sebagai salah satu bagian penting dari hukum Islam, hukum
kewarisan Islam Indonesia dapat terus berkembang seiring perkembangan zaman dan
kesadaran penggunaan hukum kewarisan Islam, apapun mazhab yang digunakan
dapat semakin meningkat. Wallahualam bishawab.
Jika disebut suatu masyarakat itu patrilineal atau matrilineal atau bilateral, maka yang
dimaksud ialah sistem kekeluargaan dalam masyarakat itu berdasarkan sistem
keturunan yang patrilineal atau matrilineal atau bilateral.
Jika disebut sesuatu hukum kewarisan itu patrilineal atau matrilineal atau bilateral,
maka yang dimaksud ialah bahwa hukum kewarisan itu mencerminkan suatu sistem
kekeluargaan, dimana berlaku sistem keturunan yang patrilineal atau matrilineal atau
bilateral.8
perkawinan yang disebut eksogami, yaitu larangan kawin antara laki-laki dan
perempuan yang satu klan. Selanjutnya, Hazairin membawa kenyataan tentang sistem
keturunan dan ciri-cirinya itu kepada al-Qur’ân untuk menentukan bagaimana bentuk
kekeluargaan menurut al-Qur’ân.
Paling tidak, menurut Hazairin, terdapat tiga landasan teologis normatif, yang
menyatakan bahwa sistem kekeluargaan yang diinginkan al-Qur’ân adalah sistem
bilateral, antara lain: Pertama, apabila surat an-Nisâ ayat 23 dan 24 diperhatikan,
akan ditemukan adanya keizinan untuk saling kawin antara orang-orang yang
bersaudara sepupu. Fakta ini menunjukkan bahwa al-Qur’ân cenderung kepada sistem
kekeluargaan yang bilateral. Kedua, surat an-Nisâ’ ayat 11 yang menjelaskan bahwa
semua anak baik laki-laki maupun prempuan menjadi ahli waris bagi orang tuanya.
Ini merupakan sistem bilateral, karena dalam sistem patrilineal pada prinsipnya hanya
anak laki-laki yang berhak mewarisi begitu juga pada sistem matrilineal, hanya anak
perempuan yang berhak. Ketiga, surat an-Nisâ’ ayat 12 dan 176 menjadikan saudara
bagi semua jenis saudara (seayah dan seibu) sebagai ahli waris.9
Oleh karena itu, Hazairin juga menjelaskan bahwa terdapat tiga sistem kewarisan
di Indonesia, yaitu pertama, sistem kewarisan individual, yang cirinya harta warisan
dapat dibagi-bagikan pemilikannya di antara ahli waris, kedua, sistem kewarisan
kolektif, yang cirinya harta peninggalan itu diwarisi oleh sekumpulan ahli waris
(secara bersama-sama) yang merupakan semacam badan hukum, yang tidak boleh
dibagi-bagikan pemilikannya di antara ahli waris dan hanya boleh dibagikan
pemanfaatan kepada mereka, dan ketiga, sistem kewarisan mayorat, yang cirinya
hanya anak tertua pada saat meninggalnya pewaris yang berhak mewarisi harta
warisan atau sejumlah harta pokok dari suatu keluarga.10
__________________
(1935). Dengan disertasi berjudul De Rejang, memperoleh gelar doktor pada tahun
1936.
4 Ilmu ini dapat digolongkan ke dalam ilmu sosiologi dan antropologi. Baca
Al Yasa Abu Bakar, Ahli Waris Sepertalian Darah: Kajian Perbandingan Terhadap
Penalaran Hazairin dan Penalaran Fikih Mazhab (Jakarta: INIS, 1998), hlm. 16.
Dalam konteks kewarisan, ilmu ini menjelaskan tentang berbagai jenis sistem
kekeluargaan, berbagai jenis sistem garis keturunan, dan berbagai macam larangan
perkawinan.
6 Yaitu menghubungkan dirinya hanya kepada ibunya dan karena itu hanya
menjadi anggota klan ibunya itu, misalnya masyarakat Minangkabau. Ibid.
DAFTAR PUSTAKA
Siti Najma, Bisnis Syari’ah dari Nol, Mizan Publika, Bandung, 2008.
11
Syarifuddin R.A, Bisnis Halal dan Bisnis Haram, Lintas Media Jombang,
2007.
12
13
14