Professional Documents
Culture Documents
Berita itu tentu saja amat menggembirakan hati Mariamin dan ibunya yang
memang selalu berharap agar kehidupannya segera berubah. Setidak-tidaknya, ia
dapat melihat putrinya hidup bahagia.
Niat Aminuddin itu disampaikan pula kepada kedua orang tuanya. Ibunya
sama sekali tidak berkeberatan. Bagaimanapun, almarhum ayah Mariamin masih
kakak kandungnya sendiri. Maka, jika putranya kelak jadi kawin dengan
Mariamin, perkawinan itu dapatlah dianggap sebagai salah satu usaha menolong
keluarga miskin itu.
Bagi Mariamin, berita itu tentu saja sangat memukul jiwanya. Harapannya
musnah sudah. la pingsan dan jatuh sakit sampai beberapa lama. Tak terlukiskan
kekecewaan hati gadis itu.
***
Sejauh ini, studi terhadap novel Azali dan Sengsara, baru dilakukan pada
tingkat sarjana muda, sebagaimana yang tampak dari penelitian Ahmad Tohir
(UGM, 1969), Dzukifli Salleh (FSUI, 1962), dan Yacob bin Mohamed Tara (FS
Unas, 1980).
5
S utan Mahmud Syah termasuk salah seorang bangsawan yang cukup terkenal
di Padang. Penghulu yang sangat disegani dan dihormati penduduk di
6
sekitarnya itu, mempunyai putra bernama Samsulbahri, anak tunggal yang berbudi
dan berperilaku baik. Bersebelahan dengan rumah Sutan Mahmud Syah, tinggal
seorang saudagar kaya bernama Baginda Sulaiman. Putrinya, Sitti Nurbaya, juga
merupakan anak tunggal keluarga kaya-raya itu.
Baginda Sulaiman tentu saja tidak mau putri tunggalnya menjadi korban
lelaki hidung belang itu walaupun sebenarnya ia tak dapat berbuat apa-apa. Maka,
ketika ia sadar bahwa dirinya tak sanggup untuk membayar utangnya, ia pasrah
saja digiring polisi dan siap menjalani hukuman. Pada saat itulah, Sitti Nurbaya
keluar dari kamarnya dan menyatakan bersedia menjadi istri Datuk Meringgih
asalkan ayahnya tidak dipenjarakan. Suatu keputusan yang kelak akan
menceburkan Sitti Nurbaya pada penderitaan yang berkepanjangan.
Ternyata ekor perkelahian itu tak hanya sampai di situ. Ayah Samsulbahri
yang merasa malu atas tuduhan yang ditimpakan kepada anaknya, kemudian
mengusir Samsulbahri. Pemuda itu terpaksa kembali ke Jakarta. Sementara Sitti
Nurbaya, sejak ayahnya meninggal merasa dirinya telah bebas dan tidak perlu lagi
tunduk dan patuh kepada Datuk Meringgih. Sejak saat itu ia tinggal menumpang
bersama salah seorang familinya yang bernama Aminah.
Rupanya, kepala Letnan Mas yang terluka itu, cukup parah. la terpaksa
dirawat di rumah sakit. Pada saat itulah, timbul keinginan Letnan Mas untuk
berjumpa dengan ayahnya. Ternyata, pertemuan yang mengharukan antara "Si
anak yang hilang" dan ayahnya itu merupakan pertemuan terakhir sekaligus akhir
hayat kedua orang itu. Oleh karena setelah Letnan Mas menyatakan bahwa ia
Samsulbahri, ia mengembuskan napas di depan ayahnya sendiri. Adapun Sutan
Mahmud Syah, begitu tahu bahwa Samsulbahri yang dikiranya telah meninggal
beberapa tahun lamanya tiba-tiba kini tergolek kaku menjadi mayat akhirnya pun
meninggal dunia pada keesokan harinya.
***
Berbagai artikel maupun makalah yang membahas novel ini sudah banyak
ditulis oleh para pengamat sastra Indonesia, baik dalam maupun luar negeri.
Hingga kini, ulasannya masih terus banyak dilakukan, baik dalam konteks sejarah
kesusastraan Indonesia modern, maupun dalam konteks sosial dan emansipasi
wanita.
10
Di Malaysia, novel ini terbit pula dalam edisi bahasa Melayu. Pada tahun
1963 saja, di Malaysia itu, Sitti Nurbaya sudah mengalami cetak ulang ke-11.
Untuk pengajaran sastra di tingkat sekolah lanjutan, novel ini merupakan salah
satu novel wajib.
3. SALAH ASUHAN
Pengarang : Abdul Muis (1886 - 17 Juli 1959)
Penerbit : Balai Pustaka
Tahun : 1928; Cetakan XIX, 1990
merasa telah bebas dari kungkungan tradisi dan adat istiadat negerinya. Sikan,
pemikiran, dan cara hidupnya, juga sudah kebarat-baratan. Tidaklah heran jika
hubungannya dengan Corri ditafsirkan lain oleh Hanafi karena ia kini sudah
bukan lagi sebagai orang "inlander". oleh arena itu, ketika Corrie datang ke Solok
dalam rangka mengisi liburan sekolahnya, bukan main senangnya hati Hanafi. Ia
dapat berjumpa kembali dengan sahabat dekatnya.
Dokter segera memeriksa gigitan anjing gila pada tangan Hanafi. Dokter
menyarankan agar Hanafi berobat ke Betawi. Anjuran dokter itu sangat
menyenangkan hatinya. Sebab, bagaimanapun, kepergiannya ke Betawi itu
sekaligus memberi kesempatan kepadanya untuk bertemu kembali dengan Corrie.
Semua rencana Hanafi berjalar. lancar. Namun, kini justru Corrie yang
menghadapi berbagai persoalan. Tekadnya untuk menikah dengan Hanafi
mendapat antipati dari teman-teman sebangsanya. Akhirnya, dengan cara diam-
diam mereka melangsungkan pernikahan.
Sementara itu, Rapiah yang resmi dicerai lewat surat yang dikirim Hanafi,
tetap tinggal di Solok bersama anaknya, Syafei, dan ibu Hanafi.
Adapun kehidupan rumah tangga Hanafi dan Corrie tidaklah seindah yang
mereka bayangkan. Teman-teman mereka yang mengetahui perkawinan itu, mulai
menjauhi. Di satu pihak menganggap Hanafi besar kepala dan angkuh; tidak
13
Kehidupan rumah tangga mereka kini terasa bagai bara api neraka dunia.
Corrie yang semula supel dan lincah, kini menjadi nyonya yang pendiam.
Kemudian Hanafi, kembali menjadi suami yang kasar dan bengis. Bahkan, Hanafi
selalu diliputi perasaan syak wasangka dan curiga. Lebih-lebih lagi, Corrie sering
dikunjungi Tante Lien, seorang mucikari.
Puncak bara api itu pun terjadi. Tanpa diselidiki terlebih dahulu, Hanafi
telah menuduh istrinya berbuat serong. Tentu saja, Corrie tidak mau dituduh dan
diperlakukan sekehendak hati suaminya. Maka, dengan ketetapan hati, Corrie
minta diceraikan. "Sekarang kita bercerai, buat seumur hidup.... Bagiku tidak
menjadi kependngan, karena aku tidak sudi menjadi istri lagi dan habis perkara"
(hlm. 183).
Akibat tekanan batin yang berkelanjutan, Hanafi jatuh sakit. Pada saat itu
datang seorang temannya yang mengatakan tentang pandangan orang
terhadapnya. Ia sadar dan menyesal., la kembali bermaksud minta maaf kepada
Corrie dan mengajaknya rujuk kembali. la pergi ke Semarang. Namun rupanya,
pertemuannya dengan Corrie di Semarang merupakan pertemuan terakhir. Corrie
14
***
N ovel pertama Abdul Muis ini, secara tematik tidak lagi memasalahkan adat
kolct yang sering sudah tidak sejalan lagi dengan kemajuan zaman,
melainkan jelas hendak mempertanyakan kawin campur antarbangsa. Dilihac dari
perkembangannya sejak Sitti Nurbaya, tampak jelas adanya pergeseran tema;
persoalannya tidak lagi kawin adat (Marah Rusli), kawin antarsuku (Adinegoro),
tetapi kawin antarbangsa. Ternyata, persoalannya tidak sederhana; ia menyangkut
perbedaan adat-istiadat, tradisi, agama, budaya, serta sikap hidup yang tidak
gampang begitu saja ditinggalkan.
Kajian dan penelitian terhadap novel ini pernah dilakukan oleh Djajanto
Supra (FS "JI, 1969), sedangkan Pamasuk Eneste (FS UI, 1977) meneliti dalam
kaitannya dengan ekranisasi (Karya Sastra dalam Film) yang secara mendalam
membandingkannya pula jengan novel Anak Perawan di Sarong Penyamun
(1941) karya Sutan Takdir Alisjahbana, dan novel Aiheis (1949) karya Achdiat
Karta Mihardja. Peneliti lain adalah Jamil Bakar, dan kawan-kawan (Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1985) yang khusus membicarakan novel
15
ini. Adapun Sri H. Wijayanti (FS UI, 1989), membandingkan Salah Asuhan
dengan novel Malaysia, Mencari Istri.
Menurut Liang Liji (1988), Salah Asuhan sudah diterjemahkan ke dalam bahasa
Cina, dan merupakan novel terjemahan Lris di Tiongkok. Adapun menurut
Morimura Shigeru (1988), mahaguru Osaka University of Foreign Studies,
Jepang, Salah Asuhan juga sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang.
Haji Hasbullah, teman karib Haji Zakaria, termasuk seorang haji yang
kaya-raya pula. la pun mempunyai seorang anak gadis satu-satunya, bernama
Zubaedah (Edah). Zubaedah berparas cantik dan berbudi baik. Ayah Zubaedah
telah memilihkan calon suaminya, Raden Prawira, yang berpangkat manteri polisi.
Akan tetapi, suatu ketika Haji Zakaria datang kepada Haji Hasbullah, memohon
agar Zubaedah dinikahkan dengan Suria. Haji Hasbullah tak dapat menolak
permintaan teman karibnya itu. Maka, pernikahan Suria dan Zubaedah
dilaksanakan.
Perkawinan yang tanpa didasari rasa cinta sama cinta itu justru membaua
petaka bagi Zubaedah. Kesempatan bagi Suria adalah setelah ayahnya meninggal
16
dunia. la berfoya-foya dengan harta peninggalan ayahnya itu. Selama tiga tahun,
ia pun meninggalkan Zubaedah yang baru melahirkan anaknya yang pertama,
Abdulhalim.
Orang tua itu rupanya benar-benar tak tahu diri. la tetap bersikap seperti
tuan rumah layaknya. Adapun Abdulhalim dan menantunya dianggapnya sebagai
anak yang harus patuh pada orang tua, sekalipun Abdulhalim sebagai kepala
rumah tangga. "...Patutkah seorang menantu menghinakan mertuanya, patutkah
seorang perempuan berkata sekasar itu terhadapku, bekas manteri kabupaten?
Sudah salah ayahmu mengawinkan Abdulhalim dengan anak jaksa kepala itu.
Mengharapkan gelar dan paras saja. Coba diturutkan nasihatku dahulu:
dikawinkan Abdulhalim dengan anak wedana, yang telah jadi guru di Tasik itu,
tentu takkan begini jadinya" (hlm. 164).
***
N ovel Katak Hendak jadi Lembu ini, termasuk salah satu novel terbaik yang
dihasilkan Nur Sutan Iskandar. Agak mengherankap bahwa pengarang
kelahiran Sumatra Barat ini, mampu menulis novel yang begitu kuat
menghadirkan latar tempat dan latar sosial masyarakat Pasundan. Latar tempatnya
memang terjadi di daerah Jawa Barat. Hampir semua tempat di seputar jawa Barat
—Cirebon, Tasikmalaya, Sumedang, dan Bandung—berikut panorama alamnya
dilukiskan dengan amat meyakinkan. Begitu pula perilaku dan sikap para
bangsawan berikut sebutan-sebutan yang khas Sunda.
Studi mengenai karya Nur Sutan Iskandar, lihat ulasan pada ringkasan
Hulubalang Raja.
19
5. LAYAR TERKEMBANG
Suatu hari, keduanya pergi ke pasar ikan. Ketika mereka sedang asyik
melihat-lihat akuarium, mereka bertemu dengan seorang pemuda. Pertemuan itu
berlanjut dengan perkenalan. Pemuda itu bernama Yusuf, seorang Mahasiswa
Sekolah Tinggi Kedokteran di Jakarta. Ayahnya adalah Demang Munaf, tinggal di
Martapura, Sumatra Selatan.
Sejak itu, pertemuan antara Yusuf dan Maria berlangsung lebih kerap.
Sementara itu, Tuti dan ayahnya melihat hubungan kedua remaja itu tampak
sudah bukan lagi hubungan persahabatan biasa.
Tuti sendiri terus disibuki oleh berbagai kegiatannya. Dalam Kongres Putri
Sedar yang berlangsung di Jakarta, ia sempat berpidato yang isinya membicarakan
emansipasi wanita; suatu petunjuk yang memperlihatkan cita-cita Tuti untuk
memajukan kaumnya.
Kedatangan Yusuf tentu saja disambut hangat oleh Maria dan Tuti. Kedua
sejoli itu pun lalu melepas rindu masing-masing dengan berjalan-jalan di sekitar
air terjun di Dago. Dalam kesempatan itulah, Yusuf menyatakan cintanya kepada
Maria.
Pada suatu kesempntan, di saat Tuti dan Yusuf berlibur di rumah Ratna
dan Saleh di Sindanghya, di situlah mata Tuti mulai terbuka dalam memandang
kehidupan di pedesaan. Kehidupan suami-istri yang melewati hari-harinya dengan
bercocok tanam itu, ternyata juga telah mampu membimbing masyarakat
sekitarnya menjadi sadar akan pentingnya pendidikan. Keadaan tersebut benar-
benar telah menggugah alam pikiran Tuti. la menyadari bahwa kehidupan mulia;
mengabdi kepada masyarakat, tidak hanya dapat dilakukan di kota atau dalam
kegiatan-kegiatan organisasi, sebagaimana yang selama ini ia lakukan, tetapi juga
di desa atau di masyarakat mana pun, pengabdian itu dapat dilakukan.
Sejalan dengan keadaan hubungan Yusuf dan Tuti yang belakangan ini
tampak makin akrab, kondisi kesehatan Maria sendiri justru kian
mengkhawatirkan. Dokter yang merawatnya pun rupanya sudah tak dapat berbuat
lebih banyak lagi. Kemudian, setelah Maria sempat berpesan kepada Tuti dan
Yusuf agar keduanya tetap bersatu dan menjalin hubungan rumah tangga, Maria
mengembuskan napasnya yang terakhir. "Alangkah bahagianya saya di akhirat
nanti, kalau saya tahu, bahwa kakandaku berdua hidup rukun dan berkasih-
22
kasihan seperti kelihatan kepada saya dalam beberapa hari ini... Inilah permintaan
saya yang penghabisan, dan saya, saya tidak rela selama-lamanya, kalau
kakandaku masing-masing mencari peruntungan pada orang lain" (hlm. 209).
Demikianlah pesan terakhir almarhum, Maria. Lalu, sesuai dengan pesan tersebut,
Yusuf dan Tuti akhirnya tidak dapat berbuat lain, kecuali melang-sungkan
perkawinan karena cinta keduanya memang sudah tumbuh bersemi.
***
Mengenai tahun terbit novel ini, Pamusuk Eneste, Ajip Rosidi, H.B. Jassin,
dan Teeuw menyatakan bahwa novel ini terbit tahun 1936. Namun, pada cetakan
VII (1959) dan cetakan XVIII (1988) tertulis bahwa cetakan pertama tahun 1937.
Pada tahun 1963, novel ini terbit dalam edisi bahasa Melayu di Kuala
Lumpur dan hingga kini masih terus dicetak ulang.
Studi mengenai novel ini pernah dilakukan Mariam binti Hj. Ismail (1973) dan
Moh. Basir bin Haji Noor (1975) keduanya merupakan studi sarjana muda FS
Unas. Sebelum itu, Noer Islam Moenaf (FS UI, 1961) melakukan penelitian
terhadap novel itu sebagai bahan skripsi sarjananya. Adapun Somi Moh. Hatta
(FKIP UI, 1961) lebih banyak memaparkan kepujanggaan Alisjahbana secara
cukup lengkap. Hal yang juga pernah dilakukan A. H. Johns (1959), guru besar
yang kini mengajar di Australian National University.
23
6. PERTEMUAN JODOH
Beberapa bulan kemudian, Suparta yang murid Stovia itu, melalui sepucuk
surat, mengutarakan niatnya untuk memperistri Ratna. Meskipun tidak secara
tegas, Ratna menyambut baik niat Suparta. la bersedia juga menghabiskan masa
liburannya di Surnedang untuk sekaligus berkenalan secara baik-baik dengan
keJuarga pemuda itu. "Ibu Suparta termasuk golongan 'menak baheula', yaitu
orang tua turunan bangsawan yang masih berpegang teguh alam keadaan dan adat
lembaga zaman dahulu" (hlm. 29).
Sambutan ibu Suparta ternyata tidak begitu ramah. Ratna kecewa pada sikap
Nyai Raden Tedja Ningrum yang memandangnya dengan cemooh setelah tahu
bahwa Ratna turunan orang kebanyakan saja. Ibu Suparta juga bahkan sengaja
24
Dalam pada itu, selama Ratna menjadi pembantu keluarga Kornel, berbagai
cobaan harus diterimanya dengan tabah. Kehadirannya dalam keluarga itu tidak
luput dari rasa iri Jene, pembantu yang juga bekerja pada keluarga Kornel. Hingga
pada suatu ketika, Ratna dituduh mencuri perhiasan Nyonya Kornel atas fitnah
25
Jene. Ratna kemudian dibawa ke kantor polisi. Ketika para polisi yang
menjaganya lengah, Ratna melarikan diri, kemudian terjun ke sungai di sekitar
jembatan Kwitang. Beruntung, nyawanya masih dapat diselamatkan. Dalam
keadaan sekarat, ia dibawa ke rumah sakit.
dengan rurnah orang tua Ratna. Rumah itu sengaja dibangun Suparta sebagai
hadiah perkawinan bagi istrinya.
***
N ovel kedua Abdul Muis, Pertemuan Jodoh ini menurut Teeuw merupakan
roman peralihan. Bukan saja karena pengarangnya merupakan hasil
perkawinan antar-pulau, tetapi karena hampir seluruh hayatnya ia tinggal di Jawa
(Sastra Baru Indonesia 1, 1980). Pertemuan Jcdoh tidak lagi berccrita tentang
pemuda-pemudi Minangkabau, tetapi tentang pemuda bangsawan Sunda dengan
gadis Sunda keturunan orang kebanyakan, Ibu Suparta yang "menak baheula"
akhirnya kalah oleh keinginan anaknya yang tidak lagi kukuh mempertahankan
adat tradisi kemenakannya atau kebangsa-wanannya.
Studi mengenai novel ini pernah dilakukan oleh Jalal Ahmad bin Abdullah
(FS UI, 1962) dan Shaaban bin Abu (FS Unas, 1974). Menurut Shaaban novel ini
merupakan lanjutan dari Salah Asuhan. Kajian lebih mendalam dilakukan oleh K.
Karmana Mah-mud (FS UGM, 1984) dalam tesis S2-nya yang berjudul "Tinjauan
Roman Pertemuan Jodoh atau Dasar Pendekatan Strukturalisme dan Semiotik".
27
7. MENYONGSONG BADAI
Tak berapa lama kemudian, Dai dapat menyesuaikan dirinya untuk tinggal
di rumah Bu Sri. Kegembiraannya mulai pulih, apalagi setelah ia berkenalan
dengan Pramono, teman sekolahnya. Dai dan Pram mempunyai hobi yang sama:
keduanya suka pada kesegaran dan keindahan alam. Mereka sering berjalan-jalan
bersama.
Selain Pram, pemuda yang sering datang mengunjungi Dai adalah Hariadi,
teman sedesanya. Hanadi yang semula pertamanya mendapat simpati dari
penghuni pondokan Bu Sri karena kepandaiannya bergaul dan kelincahannya
28
Beberapa waktu kemudian, Dai selesai menempuh ujian akhir. Setelah lulus
ia merencanakan akan melanjutkan sekolah di Jakarta, sementara pacarnya, Pram,
akan melanjutkan sekolah di Bogor. Namun, sebelum ia mendengar hasil
ujiannya, datang kabar dari desa bahwa ayahnya sakit keras. Selain rasa khawatir
akan kesehatan ayahnya, rasa rindu kepada desa kelahirannya mendorongnya
mengambil keputusan itu.
***
S ebuah novel yang bercerita tentang wanita dan ditulis oleh pengarang wanita.
Persoalannya juga datang karena wanita. Belakangan, persoalannya juga
berhasil ditengahi oleh wanita. Maka, kloplah novel ini bercerita tentang dunia
wanita.
Novel pengarang wanita yang kini menjabat Kepaia Pusat Dokumentasi dan
Informasi Ilmiah LIP1 ini, terbit pertama kali tahun 1970 oleh penerbit
Pembangunan Jakarta. Pada tahun ituiah, novel ini memperoleh Hadiah Utama
Sayembara UNES-CO/IKAPI. Baru pada tahun 1982, novel ini diterbitkan oleh
Pustaka Jaya sebagai cetakan kedua.
Sebelum itu, Luwarsih juga telah menghasilkan dua novel, yaitu Tati
Takkan Putus Asa (Pustaka Jaya, 1957), dan Lain Sekarang Lain Esok (Pustaka
Jaya, 1973). JSIovel terakhirnya adalah Yang Muda Yang Menentukan (Grafiti
Press, 1989).
8. DI ATAS PUING-PUING
Di Yogya Arini dan Hendra bertemu kembali dengan suami, orang tua, dan
anak-anak Arini. Terjadi pembicaraan singkat. Akhirnya diputuskan agar Arini
boleh hidup bersama Hendra beserta Iwan dan Neni, sementara Ita, anak
sulungnya, tinggal bersama Hardi dan Retno.
Nasihat dari Pastor Paroki agar Arini bersabar dan meninggalkan "jalan
sesat"-nya pun tidak bisa mengubah keputusannya. Undangan pertemuan dari
mertuanya juga ditolak. la tetap pada keputusannya untuk meninggalkan Yogya
dan menempuh hidup baru di Jakarta. Hal itu dilaksanakannya segera setelah Iwan
sembuh dan Hendra berhasil memperoleh pekerjaan.
Di Jakarta "keluarga baru" Arini tidak lagi menempati kamar sempit karena
Hendra telah sanggup mengontrak rumah sederhana yang masih berdinding
bambu. Meskipun mereka hidup kekurangan, Arini merasa lebih tentram.
Perhatian-perhatian kecil dari Hendra, seperti pemberian kado ulang tahun, mulai
menumbuhkan rasa cintanya lagi. Arini mengungkapkan dalam catatan hariannya:
Pada suatu ketika Hendra mengajak Arini mengunjungi orang tua Hendra di
Semarang. Arini yang semula menolak karena merasa malu sebagai orang yang
"penuh dengan dosa", akhirnya bersedia ikut. Ternyata orang tua Hendra merestui
hubungan mereka meskipun hanya berlandaskan surat kawin catatan sipil tanpa
persetujuan gereja.
Setelah dua tahun hidup bersama, Arini dan Hendra bisa membangun rumah
sendiri. Mereka sekeluarga mulai mengecap kebahagiaan.
Sampai di sini catatan harian Arini selesai dibaca Yayuk, namun cerita
belum berakhir. Sebuah telegram sampai ke tangan Yayuk yang berisi berita
32
***
9. PELABUHAN HATI
C inta Rani yang begitu besar kepada Ramelan, seorang mahasiswa fakultas
teknik, telah membuat gadis itu rela berkorban demi mewujudkan harapan
cintanya itu. la rela membiayai kuliah kekasihnya sampai Ramelan menyelesaikan
studihya dan menjadi insinyur, la juga nekat lari dari orang tuanya, kemudian
34
Dari hasil jerih payahnya selama itu, Rani kemudian merombak rumahnya
dan menambah beberapa kamar untuk disewakan. Dari hasil menyewakan kamar-
kamar itu, kehidupan Rani mulai membaik walaupun bekas suaminya tak pernah
lagi me-ngirimkan uang untuk biaya anak-anaknya sekoiah. Anak-anaknya pun
mulai akrab dengan para penyewa kamar-kamar itu. Namun, rupanya keakraban
itu justru dilihat lain oleh para tetangganya. Gosip buruk pun berkembang hingga
sampai pula ke telinga bekas suaminya.
Rani sendiri tidak mau mempedulikan semua kabar busuk itu. Ramelan
yang mencoba menyuruh Rani untuk tidak lagi menyewakan kamar-kamarnya,
juga tidak digubris. la yakin pada jalannya sendiri yang memang tidak hendak ia
nodai.
Lebih dari dua tahun Rani menjalani kehidupan seperti itu. Sampai
akhirnya, Wastu dan Pragantha, dua mahasiswa fakultas teknik yang sudah sejak
lama tinggal di pondokan Rani, meminta Rani agar menghadiri ujian skripsi
mereka. Tentu saja Rani tidak berkeberatan. Pada hari yang ditentukan, ia datang
ke tempat kedua mahasiswa itu melangsungkan ujian akhirnya. Hasilnya adalah
mereka lulus dan berhak menyan-dang gelar insinyur.
Peristiwa itu bagi Rani, barangkali tidak lebih sebagai peristiwa biasa,
sungguhpun sebelum pulang, ia sempat berjumpa lagi dengan bekas kekasihnya
dahuiu sewaktu ia belum berhubungan dengan Ramelan. Namun, seperti juga
kejadian sehari-hari, ia kembali kepada kesibukannya mengurusi anak-anaknya.
keadaan seperti itu, bagaimanapun, hati nurani Rani tak tega melihat bekas
suaminya dalam keadaan demikian. la pun memutuskan untuk menjenguk
bekas suaminya. Saat itu juga ia berangkat bersama keempat anaknya.
Laksmi rupanya sudah menunggu di sana. Kini Rani melihat, betapa orang
yang pernah ia cintai, ayah anak-anaknya itu, hanya terbaring tak berdaya. "Aku
membaca surat Yasin yang ada di tangan kiri dan tangan kananku menggenggam
erat tangan Ramelan. Tanpa kusadari, selama ayat-ayat suci itu kubaca dengan
khusyuk, Ramelan telah berhenti bernapas" (hlm. 129).
***
N ovel karya Titis Basino ini, tampak jelas hendak mengangkat ketabahan
seorang wanita, seorang ibu dengan keempat anaknya. Dengan ketabahan
itu, ia berhasil tidak hanya menjadi kepala keluarga bagi anak-anaknya, tetapi juga
berhasil menjadi induk semang yang baik bagi mereka yang tinggal di
pondokannya. Lebih dari itu, ia juga berhasil membangun citra dirinya sebagai
wanita yang tak mudah goyah oleh cobaan apa pun. Penderitaan yang dialaminya,
telah membuatnya menjadi wanita yang matang, sekaligus menjadi ibu yang
bijaksana.
Secara keseluruhan novel ini dibangun oleh jalinan peristiwa yang lancar
dan tidak terlalu rumit. Pesan pengarangnya untuk menampilkan citra wanita
sejati, boleh dikatakan berhasil lewat penokohan yang tidak terlalu kompleks.
37
Apa yang dirasakan Hezan, dirasakan pula oleh Prapti berkenaan dengan
usul agar ayahnya mencari pengganti ibunya. "Aku malah telah berbuat lebih
jauh. Meminta ayah untuk mencari pengganti Ibu. Sampai di mana sebenarnya
cintaku pada Ibu? Mungkin cintaku terlalu besar kepada ayah, yang membuatku
melupakan Ibu" (hlm. 34).
***
Yang menarik dalam novel ini adalah adanya usaha pengarang untuk
mengangkat konflik psikologis yang terjadi pada diri para tokohnya. Pertentangan
40
batin pada diri sang ayah atau anak (Prapti) cukup menarik karena persoalannya
memang tidaklah sesederhana yang diduga.
Daftar Pustaka
Mahayana M.S, Sofyan O., Dian A. (2000). Ringkasan dan Ulasan Novel
Indonesia Modern. Jakarta : PT Gramedia.