You are on page 1of 40

1

1. AZAB DAN SENGSARA

Pengarang : Merari Siregar (13 Juni 1886-23 April 1940)


Penerbit : Balai Pustaka
Tahun : 1920; Cetakan IX, 1990

A minuddin adalah anak Baginda Diatas, seorang kepala kampung yang


terkenal kedermawanan dan kekayaannya. Masyarakat di sekitar Sipirok
amat segan dan hormat pada keluarga itu. Adapun Mariamin, yang masih punya
ikatan dengan keluarga itu, kini tergolong anak miskin. Ayah Mariamin, Sutan
Baringin almarhum, sebenainya termasuk keluarga bangsawan kaya. Namun,
Earena" semasa hidupnya terlalu boros dan serakah, ia akhirnya jaruh miskin dan
meninggal dalam keadaan demikian.

Bagi Aminuddin, kemiskinan keluarga itu tidaklah menghalanginya untuk


tetap bersahabat dengan Mariamin. Keduanya memang sudah berteman akrab
sejak kecil dan terus meningkat hingga dewasa. Tanpa terasa, benih cinta kedua
remaja itu pun tumbuh subur. Belakangan, mereka sepakat untuk hidup bersama,
membina rumah tangga. Aminuddin pun berjanji hendak rnempersunting gadis itu
jika kelak ia sudah bekerja. Janji pemuda itu akan segera dilaksanakan jika ia
sudah mendapat pekerjaan di Medan. Aminuddin segera mengirim surat kepada
kekasihnya bahwa ia akan segera membawa Mariamin ke Medan.

Berita itu tentu saja amat menggembirakan hati Mariamin dan ibunya yang
memang selalu berharap agar kehidupannya segera berubah. Setidak-tidaknya, ia
dapat melihat putrinya hidup bahagia.

Niat Aminuddin itu disampaikan pula kepada kedua orang tuanya. Ibunya
sama sekali tidak berkeberatan. Bagaimanapun, almarhum ayah Mariamin masih
kakak kandungnya sendiri. Maka, jika putranya kelak jadi kawin dengan
Mariamin, perkawinan itu dapatlah dianggap sebagai salah satu usaha menolong
keluarga miskin itu.

Namun, lain halnya pertimbangan Baginda Diatas, ayah Aminuddin.


Sebagai kepala kampung yang kaya dan disegani, ia ingin agar anaknya
2

beristrikan orang yang sederajat. Menurutnya, putranya lebih pantas kawin


dengan wanita dari keluarga kaya dan terhormat. Oleh karena itu, jika Aminuddin
kawin dengan Mariamin, perkawinan itu sama halnya dengan merendahkan
derajat dan maruibat dirinya. Itulah sebabnya, Baginda Diatas bermaksud
menggagalkan niat putranya.

Untuk tidak menyakiti hati istrinya, Baginda Diatas mengajaknya pergi ke


seorang dukun untuk melihat bagaimana nasib anaknya jika kawin dengan
Mariamin. Sebenarnya, itu hanya tipu daya Baginda Diatas. Oleh karena
sebelumnya, dukun itu sudah mendapat pesan tertentu, yaitu memberi ramalan
yang tidak menguntungkan rencana dan harapan Aminuddin. Mendengar
perkataan si dukun bahwa Aminuddin akan mengalamii nasib buruk jika kawin
dengan Mariamin, ibu Aminuddin tidak dapat berbuat apa-apa selain menerima
apa yang menurut suaminya baik bagi kehidupan anaknya.

Kedua orang tua Aminuddin akhirnya meminang seorang gadis keluarga


kaya yang menurut Baginda Diatas sederajat dengan kebangsawanan dan
kekayaannya. Aminuddin yang berada di Medan, sama sekali tidak mengetahui
apa yang telah dilakukan orang tuanya. Dengan penuh harapan, ia tetap menanti
kedatangan ayahnya yang akan membawa Mariamin.

Selepas peminangan itu, ayah Aminuddin mengirim telegram kepada


anaknya bahwa calon istrinya akan segera dibawa ke Medan. la juga minta agar
Aminuddin menjemputnya di stasiun.

Betapa sukacita Aminuddin setelah membaca telegram ayahnya. la pun


segera mempersiapkan segala sesuatunya. la membayangkan pula kerinduannya
kepada Mariamin akan segera terobati.

Namun, apa yang terjadi kemudian hanyalah kekecewaan. Ternyata,


ayahnya bukan membawa pujaan hatinya, melainkan seorang gadis yang
bermarga Siregar. Sungguhpun begitu, sebagai seorang anak, ia harus patuh pada
orang tua dan adat negerinya. Aminuddin tidak dapat berbuat apa-apa selain
menerima gadis yang dibawa ayahnya. Perkawinan pun berlangsung dengan
3

keterpaksaan yang mendalam pada diri Aminuddin. Berat hati pula ia


mengabarkannya pada Mariamin.

Bagi Mariamin, berita itu tentu saja sangat memukul jiwanya. Harapannya
musnah sudah. la pingsan dan jatuh sakit sampai beberapa lama. Tak terlukiskan
kekecewaan hati gadis itu.

Setahun setelah peristiwa itu, atas kehendak ibunya, Mariamin terpaksa


menerima lamaran Kasibun, seorang lelaki yang sebenarnya tidak diketahui asal-
usulnya. Ibunya hanya tahu, bahwa Kasibun seorang kerani yang bekerja di
Medan. Menurut pengakuan lelaki itu, ia belum beristri. Dengan harapan dapat
mengurangi penderitaan ibu-anak itu, ibu Mariamin terpaksa menjodohkan
anaknya dengan Kasibun. Belakangan diketahui bahwa lelaki itu baru saja
menceraikan istrinya hanya karena akan mengawini Mariamin.

Kasibun kemudian membawa Mariamin ke Medan. Namun rupanya,


penderitaan wanita itu belum juga berakhir. Suaminya ternyata mengidap penyakit
berbahaya yang dapat menular bila keduanya melakukan hubungan suami-istri.
Inilah sebabnya, Mariamin selalu menghindar jika suaminya ingin berhubungan
intim dengannya. Akibatnya, pertengkaran demi pertengkaran dalam kehidupan
rumah tangga itu tak dapat dihindarkan. Hal yang dirasakan Mariamin bukan
kebahagiaan, melainkan penderitaan berkepanjangan. Tak segan-segan Kasibun
menyiksanya dengan kejam.

Dalam suasana kehidupan rumah tangga yang demikian itu, secara


kebetulan, Aminuddin datang bertandang. Sebagaimana lazimnya kedatangan
tamu, Mariamin menerimanya dengan senang hati, tanpa prasangka apa pun.
Namun, bagi Kasibun, kedatangan Aminuddin itu makin mengobarkan rasa
cemburu dan amarahnya. Tanpa belas kasihan, ia menyiksa istrinya sejadi-
jadinya.

Tak kuasa menerima perlakuan kejam Kasibun, Mariamin akhirnya


mengadu dan melaporkan tindakan suaminya kepada polisi. Polisi kemudian
memutuskan bahwa Kasibun harus membayar denda dan sekaligus memutuskan
hubungan tali perkawinan dengan Mariamin.
4

Janda Mariamin akhirnya terpaksa kembali ke Siprok, kampung


halamannya. Tidak lama kemudian, penderitaan yang silih berganti menimpa
wanita itu, sempurna sudah dengan kematiannya. “azab dan sengsara dunia ini
telah tinggal di atas bumi, berkubur dengan jasad yang kasar itu”.

***

U mumnya, para pengamat sastra Indonesia menempatkan novel Azab dan


Sengsara ini sebagai novel pertama Indonesia dalam khazanah kesusastraan
Indonesia modern. Penempatan novel ini sebagai novel pertama lebih banyak
didasarkan pada anggapan bahwa kesusastraan Indonesia modern lahir tidak dari
peran berdirinya Balai Pustaka, 1917, yang cikal bakalnya berdiri tahun 1908.
Sungguhpun sebenarnya tidak sedikit novel yang terbit sebelum Balai Pustaka
berdiri, dalam hal pemakaian bahasa Melayu sekolahan, Azab dan Sengsara yang
mengawalinya. Dalam konteks itulah novel ini menempati kedudukan penting.

Tema Azab dan Sengsara sendiri yang mempermasalahkan perkawinan


dalam hubungannya dengan harkat dan martabat keluarga, bukanlah hal yang
baru. Novel-novel yang terbit di luar Balai Pustaka—yang umumnya
menggunakan bahasa Melayu rendah atau bahasa Melayu pasar juga banyak yang
bertema demikian. Novel bahasa Sunda, Baruang ka Nu Ngarora (Racun Bagi
Kaum Muda; 1914) karya D.K. Ardiwinata (1866-1947) yang diterbitkan Balai
Pustaka, juga bertema perkawinan dalam hubungan-nya dengan harkat dan
martabat keluarga. Jadi, secara tematik, novel Azab dan Sengsara, belumlah
secara tajam mempermasalahkan perkawinan dalam hubungannya dengan adat.

Sejauh ini, studi terhadap novel Azali dan Sengsara, baru dilakukan pada
tingkat sarjana muda, sebagaimana yang tampak dari penelitian Ahmad Tohir
(UGM, 1969), Dzukifli Salleh (FSUI, 1962), dan Yacob bin Mohamed Tara (FS
Unas, 1980).
5

2. SITI NUR BAYA

(Kasih Tak Sampai)

Pengarang : Marah Rusli (7 Agustus 1889-17 Januari 1968)


Penerbit : Balai Pustaka
Tahun : 1922; Cetakan XX, 1990

S utan Mahmud Syah termasuk salah seorang bangsawan yang cukup terkenal
di Padang. Penghulu yang sangat disegani dan dihormati penduduk di
6

sekitarnya itu, mempunyai putra bernama Samsulbahri, anak tunggal yang berbudi
dan berperilaku baik. Bersebelahan dengan rumah Sutan Mahmud Syah, tinggal
seorang saudagar kaya bernama Baginda Sulaiman. Putrinya, Sitti Nurbaya, juga
merupakan anak tunggal keluarga kaya-raya itu.

Sebagaimana umumnya kehidupan bertetangga, hubungan antara keluarga


Sutan Mahmud Syah dan keluarga Baginda Sulaiman, berjalan dengan baik.
Begitu pula hubungan Samsulbahri dan Sitti Nurbaya. Sejak anak-anak sampai
usia mereka menginjak remaja, persahabatan mereka makin erat. Apalagi,
keduanya belajar di sekolah yang sama. Hubungan kedua remaja itu berkembang
menjadi hubungan cinta. Perasaan tersebut baru mereka sadari ketika Samsulbahri
akan berangkat ke Jakarta untuk melanjutkan sekolahnya.

Sementara itu, Datuk Meringgih, salah seorang saudagar kaya di Padang,


berusaha untuk menjatuhkan kedudukan Baginda Sulaiman. la menganggap
Baginda Sulaiman sebagai saingannya yang harus disingkirkan, di samping rasa
iri hatinya melihat harta kekayaan ayah Sitti Nurbaya itu. "Aku sesungguhnya
tidak senang melihat perniagaan Baginda Sulaiman, makin hari makin bertambah
maju, sehingga berani ia bersaing dengan aku. Oleh sebab itu, hendaklah ia
dijatuhkan," demikian Datuk Meringgih berkata (hlm. 92). la kemudian menyuruh
anak buahnya untuk membakar dan menghancurkan bangunan, toko-toko, dan
semua harta kekayaan Baginda Sulaiman.

Akal busuk Datuk Meringgih berhasil. Baginda Sulaiman kini jatuh


miskin. Namun, sejauh itu, ia belum menyadari bahwa sesungguhnya,
kejatuhannya akibat perbuatan licik Datuk Meringgih. Oleh karena itu, tanpa
prasangka apa-apa, ia meminjam uang kepada orang yang sebenarnya akan
mencelakakan Baginda Sulaiman.

Bagi Datuk Meringgih kedatangan Baginda Sulaiman itu ibarat "Pucuk


dicinta ulam tiba", karena memang hal itulah yang diharapkannya. Rentenir kikir
yang tamak dan licik itu, kemudian meminjamkan uang kepada Baginda Sulaiman
dengan syarat harus dapat dilunasi dalam waktu tiga bulan. Pada saat yang telah
ditetapkan, Datuk Meringgih pun datang menagih janji.
7

Malang bagi Baginda Sulaiman. la tak dapat melunasi utangnya. Tentu


saja Datuk Meringgih tidak mau rugi. Tanpa belas kasihan, ia mengancam akan
memenjarakan Baginda Sulaiman jika utangnya tidak segera dilunasi, kecuali
apabila Sitti Nurbaya diserahkan untuk dijadikan istri mudanya.

Malang bagi Baginda Sulaiman. la tak dapat melunasi utangnya. Tentu


saja Datuk Meringgih tidak mau rugi. Tanpa belas kasihan, ia mengancam akan
memenjarakan Baginda Sulaiman jika utangnya tidak segera dilunasi, kecuali
apabila Sitti Nurbaya diserahkan untuk dijadikan istri mudanya.

Baginda Sulaiman tentu saja tidak mau putri tunggalnya menjadi korban
lelaki hidung belang itu walaupun sebenarnya ia tak dapat berbuat apa-apa. Maka,
ketika ia sadar bahwa dirinya tak sanggup untuk membayar utangnya, ia pasrah
saja digiring polisi dan siap menjalani hukuman. Pada saat itulah, Sitti Nurbaya
keluar dari kamarnya dan menyatakan bersedia menjadi istri Datuk Meringgih
asalkan ayahnya tidak dipenjarakan. Suatu keputusan yang kelak akan
menceburkan Sitti Nurbaya pada penderitaan yang berkepanjangan.

Samsulbahri, mendengar peristiwa yang menimpa diri kekasihnya itu


lewat surat Sitti Nurbaya, juga ikut prihatin. Cintanya kepada Sitti Nurbaya tidak
mudah begitu saja ia lupakan. Oleh karena itu, ketika liburan, ia pulang ke
Padang, dan menyempatkan diri menengok Baginda Sulaiman yang sedang sakit.
Kebetulan pula, Sitti Nurbaya pada saat yang sama sedang menjenguk ayahnya.
Tanpa sengaja, keduanya pun bertemu lalu saling menceritakan pengalaman
masing-masing.

Ketika mereka sedang asyik mengobrol, datanglah Datuk Meringgih. Sifat


Meringgih yang culas dan selalu berprasangka itu, tentu saja menyangka kedua
orang itu telah melakukan perbuatan yang tidak pantas. Samsulbahri yang merasa
tidak melakukan hal yang tidak patut, berusaha membela diri dari tuduhan keji itu.
Pertengkaran pun tak dapat dihindarkan.

Pada saat pertengkaran terjadi, ayah Sitti Nurbaya berusaha datang ke


tempat kejadian. Namun, karena kondisinya yang kurang sehat, ia jatuh dari
tangga hingga menemui ajalnya.
8

Ternyata ekor perkelahian itu tak hanya sampai di situ. Ayah Samsulbahri
yang merasa malu atas tuduhan yang ditimpakan kepada anaknya, kemudian
mengusir Samsulbahri. Pemuda itu terpaksa kembali ke Jakarta. Sementara Sitti
Nurbaya, sejak ayahnya meninggal merasa dirinya telah bebas dan tidak perlu lagi
tunduk dan patuh kepada Datuk Meringgih. Sejak saat itu ia tinggal menumpang
bersama salah seorang familinya yang bernama Aminah.

Sekali waktu, Sitti Nurbaya bermaksud menyusul kekasihnya ke Jakarta.


Namun, akibat tipu muslihat dan akal licik Datuk Meringgih yang menuduhnya
telah mencuri harta perhiasan bekas suaminya itu, Sitti Nurbaya terpaksa kembali
ke Padang. Oleh karena Sitti Nurbaya tidak bersalah, akhirnya ia bebas dari
tuduhan. Namun, Datuk Meringgih masih juga belum puas. la kemudian
menyuruh seseorang untuk meracun Sitti Nurbaya. Kali ini, perbuatannya
berhasil. Sitti Nurbaya meninggal karena keracunan.

Rupanya, berita kematian Sitti Nurbaya membuat sedih ibu Samsulbahri.


la kemudian jatuh sakit, dan tidak berapa lama kemudian meninggal dunia.

Berita kematian Sitti Nurbaya dan ibu Samsulbahri, sampai juga ke


Jakarta. Samsulbahri yang merasa amat berduka, mula-mula mencoba bunuh diri.
Beruntung, teman-nya, Arifin, dapat menggagalkan tindakan nekat Samsulbahri.
Namun, lain lagi berita yang sampai ke Padang. Di kota ini, Samsulbahri
dikabarkan telah meninggal dunia.

Sepuluh tahun berlalu. Samsulbahri kini telah menjadi serdadu kompeni


dengan pangkat letnan. la juga sekarang lebih dikenal dengan nama Letnan Mas.
Sebenarnya, ia menjadi serdadu kompeni bukan karena ia ingin mengabdi kepada
kompeni, melainkan terdorong oleh rasa frustrasinya mendengar orang-orang
yang dicintainya telah meninggal. Oleh karena itu, ia sempat bimbang juga ketika
mendapat tugas harus memimpin pasukannya memadamkan pemberontakan yang
terjadi di Padang. Bagaimanapun, ia tak dapat begitu saja melupakan tanah
leluhurnya itu. Ternyata pemberontakan yang terjadi di Padang itu didalangi oleh
Datuk Meringgih.
9

Dalam pertempuran melawan pemberontak itu, Letnan Mas sempat


mendapat perlawanan cukup sengit. Namun, akhirnya ia berhasil menumpasnya,
termasuk juga menembak Datuk Meringgih, hingga dalang pemberontak itu
tewas. Namun, Letnan Mas luka parah terkena sabetan pedang Datuk Meringgih.

Rupanya, kepala Letnan Mas yang terluka itu, cukup parah. la terpaksa
dirawat di rumah sakit. Pada saat itulah, timbul keinginan Letnan Mas untuk
berjumpa dengan ayahnya. Ternyata, pertemuan yang mengharukan antara "Si
anak yang hilang" dan ayahnya itu merupakan pertemuan terakhir sekaligus akhir
hayat kedua orang itu. Oleh karena setelah Letnan Mas menyatakan bahwa ia
Samsulbahri, ia mengembuskan napas di depan ayahnya sendiri. Adapun Sutan
Mahmud Syah, begitu tahu bahwa Samsulbahri yang dikiranya telah meninggal
beberapa tahun lamanya tiba-tiba kini tergolek kaku menjadi mayat akhirnya pun
meninggal dunia pada keesokan harinya.

***

H ampir semua kritikus sastra Indonesia menempatkan novel Sitti Nurbaya


ini. sebagai karya penting dalam sejarah kesusastraan Indonesia. Secara
tematik, seperti yang disinggung H.B. Jassin, Zuber Usman, Ajip Rosidi, Sapardi
Djoko Damono, maupun Teeuw, novel ini tidak hanya menampilkan latar sosial
lebih jelas, tetapi juga mengandung kritik yang tajam terhadap adat-istiadat dan
tradisi kolot yang membelenggu. Novel ini pula yang pertama kali menampilkan
masalah perkawinan dalam hubungannya dengan persoalan adat, yang kemudian
banyak diikuti oleh pengarang-pengarang Indonesia sesudahnya.

Pada tahun 1969, novel ini memperoleh hadiah penghargaan dari


pemerintah Indonesia sebagai hadiah tahunan yang diberikan setiap tanggal 17
Agustus—kini Hadiah Tahunan Pemerintah ini tidak dilanjutkan lagi—.

Berbagai artikel maupun makalah yang membahas novel ini sudah banyak
ditulis oleh para pengamat sastra Indonesia, baik dalam maupun luar negeri.
Hingga kini, ulasannya masih terus banyak dilakukan, baik dalam konteks sejarah
kesusastraan Indonesia modern, maupun dalam konteks sosial dan emansipasi
wanita.
10

Di Malaysia, novel ini terbit pula dalam edisi bahasa Melayu. Pada tahun
1963 saja, di Malaysia itu, Sitti Nurbaya sudah mengalami cetak ulang ke-11.
Untuk pengajaran sastra di tingkat sekolah lanjutan, novel ini merupakan salah
satu novel wajib.

Tahun 1991, TVRI menyiarkan sinetron Sitti Nurbaya dengan pemeran


utamanya Novia Kolopaking (sebagai Sitti Nurbaya) dan Gusti Randa (sebagai
Samsulbahri).

3. SALAH ASUHAN
Pengarang : Abdul Muis (1886 - 17 Juli 1959)
Penerbit : Balai Pustaka
Tahun : 1928; Cetakan XIX, 1990

H anafi adalah pemuda pribumi asal Minangkabau. Sesungguhnya, ia


termasuk orang yang sangat beruntung dapat bersekolah di Betawi sampai
tamat HBS (Hoogere Burger School). Ibunya yang sudah janda, memang berusaha
agar anaknya kelak menjadi orang pandai, melebihi sanak keluarganya yang lain.
Oleh karena itu, ia tidak segan-scgan menitipkan Hanafi pada keluarga Belanda
walaupun untuk pembiayaannya ia harus meminta bantuan mamaknya, Sutan
Batuah. Setamat HBS, Hanafi kembali ke Solok dan bekerja sebagai klerek di
kantor Asisten Residen Solok. Tak lama kemudian, ia diangkat menjadi komis
(hlm. 27).

Pendidikan dan pergaulan yang serba Belanda, memungkinkan Hanafi


berhubungan erat dengan Corrie Du Busse, gadis Indo-Perancis. Hanafi kini
11

merasa telah bebas dari kungkungan tradisi dan adat istiadat negerinya. Sikan,
pemikiran, dan cara hidupnya, juga sudah kebarat-baratan. Tidaklah heran jika
hubungannya dengan Corri ditafsirkan lain oleh Hanafi karena ia kini sudah
bukan lagi sebagai orang "inlander". oleh arena itu, ketika Corrie datang ke Solok
dalam rangka mengisi liburan sekolahnya, bukan main senangnya hati Hanafi. Ia
dapat berjumpa kembali dengan sahabat dekatnya.

Hanafi mulai merasakan tumbuhnya perasaan asmara. Sikap Corrie


terhadapnya juga dianggap sebagai "gayung bersambut kata berjawab". Maka,
betapa terkejutnya Hanafi ketika ia membaca surat dari Corrie. Corrie
mengingatkan bahwa perkawinan campuran bukan hanya tidak lazim untuk
ukuran waktu itu, tetapi juga akan mendatangkan berbagai masalah. "...Timur
tinggal Timur, Barat tinggal Barat, tak akan dapat ditimbuni jurang yang
membatasi kedua bahagian itu" (hlm. 59). Perasaan Corrie sendiri sebenarnya
mengatakan lain. Namun, mengingat dirinya yang Indo—dan dengan sendirinya
perilaku dan sikap hidupnya juga berpijak pada kebudayaan Barat— serta Hanafi
yang pribumi, yang tidak akan begitu saja dapat melepaskan akar budaya
leluhurnya.

Dalam surat Corrie selanjutnya, ia meminta agar Hanafi mau memutuskan


pertalian hubungannya itu (hlm. 61). Surat itu membuat Hanafi patah semangat. la
pun kemudian sakit. Ibunya berusaha menghibur agar anak satu-satunya itu, sehat
kembali. Di saat itu pula ibunya menyarankan agar Hanafi bersedia menikah
dengan Rapiah, anak mamaknya, Sutan Batuah. Ibunya menerangkan bahwa
segala biaya selama ia bersekolah di Betawi, tidak lain karena berkat uluran
tangan mamaknya, Sutan Batuah. Hanafi dapat mengerti dan ia menerima Rapiah
sebagai istrinya.

Kehidupan rumah tangga Hanafi dan Rapiah, rupanya tak berjalan


lempang. Hanafi tidak merasa bahagia, sungguhpun dari hasil perkawinannya
dengan Rapiah, mereka dikaruniai seorang anak laki-laki, Syafei. Lagi pula,
semua teman-temannya menjauhi dirinya. Dalam anggapan Hanafi, penyebab
semua itu tak lain adalah Rapiah. Rapiah kemudian menjadi tempat segala
12

kemarahan Hanafi. Walaupun diperlakukan begitu oleh Hanafi, Rapiah tetap


bersabar.

Suatu ketika, setelah mendamprat Rapiah, ia duduk termenung seorang diri


di kebun. Ibunya menghampiri anaknya dan berusaha menyadarkan kembali
kelakuan anaknya yang sudah lewat batas itu. Nanrtun, Hanafi justru
menanggapinya dengan cara cemooh. Di saat yang sama, tiba-tiba seekor anjing
gila menggigit tangan Hanafi.

Dokter segera memeriksa gigitan anjing gila pada tangan Hanafi. Dokter
menyarankan agar Hanafi berobat ke Betawi. Anjuran dokter itu sangat
menyenangkan hatinya. Sebab, bagaimanapun, kepergiannya ke Betawi itu
sekaligus memberi kesempatan kepadanya untuk bertemu kembali dengan Corrie.

Suatu peristiwa yang sangat kebetulan terjadi. Dalam suatu kecelakaan


yang dialami Corrie, Hanafi yang sedang berada di Betawi, justru menjadi
penolong Corrie. Pertemuan itu sangat menggembirakan keduanya. Corrie yang
sudah ditinggal ayahnya, mulai menyadari bahwa sebenarnya ia memerlukan
sahabat. Pertemuan itu telah membuat Hanafi mengambil suatu keputusan. Ia
bermaksud tetap tinggal di Betawi. Untuk itu, ia telah pula mengurus kepindahan
pekerjaannya. Setelah itu, ia mengurus surat persamaan hak sebagai bangsa Eropa.
Dengan demikian, terbukalah jalan untuk segera menceraikan Rapiah, sekaligus
meluruskan jalan baginya untuk mengawini Corrie.

Semua rencana Hanafi berjalar. lancar. Namun, kini justru Corrie yang
menghadapi berbagai persoalan. Tekadnya untuk menikah dengan Hanafi
mendapat antipati dari teman-teman sebangsanya. Akhirnya, dengan cara diam-
diam mereka melangsungkan pernikahan.

Sementara itu, Rapiah yang resmi dicerai lewat surat yang dikirim Hanafi,
tetap tinggal di Solok bersama anaknya, Syafei, dan ibu Hanafi.

Adapun kehidupan rumah tangga Hanafi dan Corrie tidaklah seindah yang
mereka bayangkan. Teman-teman mereka yang mengetahui perkawinan itu, mulai
menjauhi. Di satu pihak menganggap Hanafi besar kepala dan angkuh; tidak
13

menghargai bangsanya sendiri. Di lain pihak, ia menganggap Corrie telah


menjauhkan diri dari pergaulan dan kehidupan Barat. Jadi, keduanya tidak lagi
mempunyai status yang jelas; tidak ke Barat, tidak juga ke Timur. Inilah awal
malapetaka dalam kehidupan rumah tangga mereka.

Kehidupan rumah tangga mereka kini terasa bagai bara api neraka dunia.
Corrie yang semula supel dan lincah, kini menjadi nyonya yang pendiam.
Kemudian Hanafi, kembali menjadi suami yang kasar dan bengis. Bahkan, Hanafi
selalu diliputi perasaan syak wasangka dan curiga. Lebih-lebih lagi, Corrie sering
dikunjungi Tante Lien, seorang mucikari.

Puncak bara api itu pun terjadi. Tanpa diselidiki terlebih dahulu, Hanafi
telah menuduh istrinya berbuat serong. Tentu saja, Corrie tidak mau dituduh dan
diperlakukan sekehendak hati suaminya. Maka, dengan ketetapan hati, Corrie
minta diceraikan. "Sekarang kita bercerai, buat seumur hidup.... Bagiku tidak
menjadi kependngan, karena aku tidak sudi menjadi istri lagi dan habis perkara"
(hlm. 183).

Setelah itu, Corrie meninggalkan Betawi dan berangkat ke Semarang. la


bekerja di sebuah panti asuhan.

Segala kejadian itu membuat Hanafi menyadari bahwa sebenarnya istrinya


tidak bersalah. la menyesal dan mencoba menyusul Corrie. Namun, sia-sia. Corrie
tetap pada pendiriannya.

Perasaan berdosa makin menambah beban penderitaan Hanafi. Di tambah


lagi, teman-temannya makin menjauhi. Hanafi dipandang sebagai seorang suami
yang kejam dan tidak bertanggung jawab. Dalam keadaan demikian, barulah ia
menyesal sejadi-jadinya. la juga ingat kepada ibu, istri, dan anaknya di Solok.

Akibat tekanan batin yang berkelanjutan, Hanafi jatuh sakit. Pada saat itu
datang seorang temannya yang mengatakan tentang pandangan orang
terhadapnya. Ia sadar dan menyesal., la kembali bermaksud minta maaf kepada
Corrie dan mengajaknya rujuk kembali. la pergi ke Semarang. Namun rupanya,
pertemuannya dengan Corrie di Semarang merupakan pertemuan terakhir. Corrie
14

terserang penyakit kolera yang kronis. Sebelum mengembuskan napasnya, Corrie


bersedia memaafkan kesalahan Hanafi. Perasaan sesal dan berdosa tetap membuat
Hanafi sangat menderita. Batinnya goncang. ia jatuh sakit kembali.

Setelah sembuh, Hanafi bermaksud pulang ke kampungnya. la ingin minta


maaf kepada ibunya dan Rapiah, istrinya. Di samping itu, ia juga ingin melihat
keadaan anaknya sekarang. la berharap agar anaknya kelak tidak mengikuti jejak
ayahnya yang sesat.

Dengan kebulatan hatinya, berangkatlah Hanafi kembali ke tanah


kelahirannya.

***

N ovel pertama Abdul Muis ini, secara tematik tidak lagi memasalahkan adat
kolct yang sering sudah tidak sejalan lagi dengan kemajuan zaman,
melainkan jelas hendak mempertanyakan kawin campur antarbangsa. Dilihac dari
perkembangannya sejak Sitti Nurbaya, tampak jelas adanya pergeseran tema;
persoalannya tidak lagi kawin adat (Marah Rusli), kawin antarsuku (Adinegoro),
tetapi kawin antarbangsa. Ternyata, persoalannya tidak sederhana; ia menyangkut
perbedaan adat-istiadat, tradisi, agama, budaya, serta sikap hidup yang tidak
gampang begitu saja ditinggalkan.

Pada tahun 1969, novel ini memperoleh Hadiah Tahunan Pemerintah,


bersama tiga novel lainnya, yaitu Sitti Nurbaya, Belenggu, dan Atheis. Tahun
1972, novel ini diangkat ke layar perak oleh Asrul Sani dengan Dicky Zulkarnaen
sebagai pemeran Hanafi.

Kajian dan penelitian terhadap novel ini pernah dilakukan oleh Djajanto
Supra (FS "JI, 1969), sedangkan Pamasuk Eneste (FS UI, 1977) meneliti dalam
kaitannya dengan ekranisasi (Karya Sastra dalam Film) yang secara mendalam
membandingkannya pula jengan novel Anak Perawan di Sarong Penyamun
(1941) karya Sutan Takdir Alisjahbana, dan novel Aiheis (1949) karya Achdiat
Karta Mihardja. Peneliti lain adalah Jamil Bakar, dan kawan-kawan (Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1985) yang khusus membicarakan novel
15

ini. Adapun Sri H. Wijayanti (FS UI, 1989), membandingkan Salah Asuhan
dengan novel Malaysia, Mencari Istri.

Menurut Liang Liji (1988), Salah Asuhan sudah diterjemahkan ke dalam bahasa
Cina, dan merupakan novel terjemahan Lris di Tiongkok. Adapun menurut
Morimura Shigeru (1988), mahaguru Osaka University of Foreign Studies,
Jepang, Salah Asuhan juga sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang.

4. KATAK HENDAK JADI LEMBU


Pengarang : Nur Sutan Iskandar
Penerbit : Balai Pustaka
Tahun : 1935; Cetakan V, 1978

Z akaria adalah seorang haji yang kaya-raya. Ia mempunyai anak tunggal


bernama Suria. Sejak kecil Suria hidup berkecukupan dan selalu dimanjakan
ayahnya. Dengan didikan yang seperti itu, ia justru menjadi seorang anak yang
pongah dan sombong. Bahkan, sifat dan tabiatnya yang buruk itu terbawa sampai
masa akhir hayatnya.

Haji Hasbullah, teman karib Haji Zakaria, termasuk seorang haji yang
kaya-raya pula. la pun mempunyai seorang anak gadis satu-satunya, bernama
Zubaedah (Edah). Zubaedah berparas cantik dan berbudi baik. Ayah Zubaedah
telah memilihkan calon suaminya, Raden Prawira, yang berpangkat manteri polisi.
Akan tetapi, suatu ketika Haji Zakaria datang kepada Haji Hasbullah, memohon
agar Zubaedah dinikahkan dengan Suria. Haji Hasbullah tak dapat menolak
permintaan teman karibnya itu. Maka, pernikahan Suria dan Zubaedah
dilaksanakan.

Perkawinan yang tanpa didasari rasa cinta sama cinta itu justru membaua
petaka bagi Zubaedah. Kesempatan bagi Suria adalah setelah ayahnya meninggal
16

dunia. la berfoya-foya dengan harta peninggalan ayahnya itu. Selama tiga tahun,
ia pun meninggalkan Zubaedah yang baru melahirkan anaknya yang pertama,
Abdulhalim.

Ketika harta ayahnya telah ludes, Suria kembali pada Zubaedah. la


mengakui bahwa perbuatannya selama ini telah salah. Pada waktu itu Suria telah
bekerja sebagai juru tulis di kantor asisten di kabupaten. Penghasilannya yang
kecil selalu tak mencukupi kebutuhan keluarganya. Maka, Abdulhalim terpaksa
dibawa kakeknya dan disekolahkan di sekolah Belanda, lalu dilanjutkan ke
sekolah bergengsi di Bandung. Sementara itu, anak Suria terus bertambah. Kedua
adik Abdulhalim bernama Saleh dan Aminah. Oleh Suria, keduanya disekolahkan
di HIS. Itu semua dilakukan Suria hanya karena ia ingin dipandang dan dihomati
masyarakat. Layaknya orang mengatakan "besar pasak daripada tiang". Utang
Suria semakin bertumpuk. Untuk menutupi utang-utang suami dan biaya sekolah
anak-anaknya, Zubaedah sering berkirim surat pada ayahnya, meminta agar
dikirimi uang.

Seringkali terjadi pertengkaran mulut antara Zubaedah dan Suria.


Zubaedah tak kuat lagi menahan malu kepada para penagih yang selalu datang ke
rumahnya. Namun, Suria sendiri bersikap tak acuh menghadapi kenyataan itu.
Bahkan, ia kini ingin naik pangkat ketika didengarnya ada lowongan klerek. Hal
itu ia ceritakan kepada istrinya bahwa beberapa hari yang lalu ia mengirim
permohonan untuk mengisi lowongan itu. Ia begitu yakin atasannya akan
berusaha menolongnya. "Tak usah mengeluh juga, Edah," ujarnya, "kalau sudah
keluar surat angkatan akang jadi klerk, tentu klerk kelas 1, tak perlu kita disokong
ayah dari Rasik lagi. Dengan sekejap saja kita sudah lebih dari pada manteri polisi
yang tertua dinasnya" (hlm. 89).

Utang Suria terus menggunung. Apalagi karena Suria berani mengambil


barang-barang lelangan atasannya. Maka, untuk melunasi utang-utang itu, Suria
jadi gelap mata. la "telan" uang kas di kantornya. Perbuatannya itu diketahui oleh
atasannya. Kemudian, ketika Suria dipanggil atasannya, ia bahkan mengajukan
permohonan berhenti bekerja.
17

Rupanya, Suria telah merencanakan sebelumnya. Dalam pikirannya,


setelah berhasil menggelapkan uang kas, ia akan membawa istri dan anak-anaknya
pindah ke rumah Abdulhalim yang kini telah bekerja dan telah pula berkeluarga.
Suria mengirim surat kepada anaknya dan mengutarakan maksudnya itu. Sebagai
seorang anak yang ingin membalas budi orang tua, Abdulhalim sama sekali tak
merasa berkeberatan dengan keinginan ayahnya. Mulai saat itu, Suria tinggal di
rumah anaknya.

Orang tua itu rupanya benar-benar tak tahu diri. la tetap bersikap seperti
tuan rumah layaknya. Adapun Abdulhalim dan menantunya dianggapnya sebagai
anak yang harus patuh pada orang tua, sekalipun Abdulhalim sebagai kepala
rumah tangga. "...Patutkah seorang menantu menghinakan mertuanya, patutkah
seorang perempuan berkata sekasar itu terhadapku, bekas manteri kabupaten?
Sudah salah ayahmu mengawinkan Abdulhalim dengan anak jaksa kepala itu.
Mengharapkan gelar dan paras saja. Coba diturutkan nasihatku dahulu:
dikawinkan Abdulhalim dengan anak wedana, yang telah jadi guru di Tasik itu,
tentu takkan begini jadinya" (hlm. 164).

Tak kuasa Zubaedah melihat tingkah laku suaminya yang sering


mencampuri urusan rumah tangga anaknya. Hal itu pula yang membuat kehidupan
rumah tangga anaknya mulai sering diwarnai percekcokan. Bagi Zubaedah,
keadaan demikian sungguh membuatnya tidak enak hati. Bagaimanapun, sebagai
seorang ibu, ia ingin melihat anaknya hidup bahagia. Kebahagiaan anaknya, justru
terganggu oleh ulah Suria yang merasa bebas berbuat sekehendak hati terhadap
anaknya. la menyesalkan sikap suaminya. "Sesal Zubaedah terhadap Suria
semata-mata, dan sesal tak putus itulah yang mendatangkan penyakit kepadanya"
(hlm. 166). Tekanan batin yang mendatangkan penyakit itu pula yang
mengantarkan Zubaedah mengembuskan napasnya yang penghabisan. la
meninggal di hadapan semua kaum keluarganya.

Kematian istrinya telah membuat Suria merasa sangat malu terhadap


kelakuannya sendiri. Ia telah mengganggu ketenteraman rumah tangga anaknya. la
pula yang menyebabkan istrinya menderita hingga maut menjemputnya. Perasaan
malu yang tak tertanggungkan itu, memaksa Suria mengambil keputusan; ia pergi
18

entah ke mana. Pergi bersama kesombongan dan keangkuhannya. Menggelandang


membawa sifatnya yang tak juga berubah.

***

N ovel Katak Hendak jadi Lembu ini, termasuk salah satu novel terbaik yang
dihasilkan Nur Sutan Iskandar. Agak mengherankap bahwa pengarang
kelahiran Sumatra Barat ini, mampu menulis novel yang begitu kuat
menghadirkan latar tempat dan latar sosial masyarakat Pasundan. Latar tempatnya
memang terjadi di daerah Jawa Barat. Hampir semua tempat di seputar jawa Barat
—Cirebon, Tasikmalaya, Sumedang, dan Bandung—berikut panorama alamnya
dilukiskan dengan amat meyakinkan. Begitu pula perilaku dan sikap para
bangsawan berikut sebutan-sebutan yang khas Sunda.

Dalam hal tersebut, tersirat pengarangnya hendak melakukan kritik


terhadap priayi atau bangsawan Sunda yang terlalu membanggakan
kebangsawanannya hingga tak mau bekerja keras dan lebih suka dilayani segala
sesuatunya. Hal tersebut tampak jelas dari gambaran sosok pribadi Suria. Jadi,
dalam hal ini, Nur Sutan Iskandar tidak lagi memasalahkan kawin adat, melainkan
sikap dan perilaku bangsawan Sunda yang hanyut oleh obsesi kebangsawanannya.

Studi mengenai karya Nur Sutan Iskandar, lihat ulasan pada ringkasan
Hulubalang Raja.
19

5. LAYAR TERKEMBANG

Pengarang : S. Takdir Alisjahbana


Penerbit : Balai Pustaka
Tahun : 1937; Cetakan XVIII, 1988

T uti adalah putri sulung Raden Wiriaatmadja. la dikenal sebagai seorang


gadis yang berpendirian teguh dan aktif dalam berbagai kegiatan organisasi
wanita. Watak Tuti yang selalu serius dan cenderung pendiam, sangat berbeda
dengan adiknya, Maria. la seorang gadis yang lincah dan periang.

Suatu hari, keduanya pergi ke pasar ikan. Ketika mereka sedang asyik
melihat-lihat akuarium, mereka bertemu dengan seorang pemuda. Pertemuan itu
berlanjut dengan perkenalan. Pemuda itu bernama Yusuf, seorang Mahasiswa
Sekolah Tinggi Kedokteran di Jakarta. Ayahnya adalah Demang Munaf, tinggal di
Martapura, Sumatra Selatan.

Perkenalan yang tiba-tiba itu menjadi semakin akrab dengan diantarnya


Tuti dan Maria pulang. Bagi Yusuf, pertemuan itu ternyata berkesan cukup
mendalam. la selalu teringat kepada kedua gadis itu, dan terutama Maria. Kepada
gadis lincah inilah perhatian Yusuf lebih banyak tertumpah. Menurutnya, wajah
Maria yang cerah dan berseri-seri serta bibirnya yang selalu tersenyum itu,
memancarkan semangat hidup yang dinamis.

Esok harinya, ketika Yusuf pergi ke sekolah, tanpa disangka-sangka ia


bertemu lagi dengan Tuti dan Maria di depan Hotel Des Indes. Yusuf pun
20

kemudian dengan senang hati, menemani keduanya berjalan-jalan. Cukup hangat


mereka bercakap-cakap mengenai berbagai hal.

Sejak itu, pertemuan antara Yusuf dan Maria berlangsung lebih kerap.
Sementara itu, Tuti dan ayahnya melihat hubungan kedua remaja itu tampak
sudah bukan lagi hubungan persahabatan biasa.

Tuti sendiri terus disibuki oleh berbagai kegiatannya. Dalam Kongres Putri
Sedar yang berlangsung di Jakarta, ia sempat berpidato yang isinya membicarakan
emansipasi wanita; suatu petunjuk yang memperlihatkan cita-cita Tuti untuk
memajukan kaumnya.

Pada masa liburan, Yusuf pulang ke rumah orang tuanya di Martapura.


Sesungguhnya, ia bermaksud menghabiskan masa liburannya bersama keindahan
alam tanah leluhurnya. Namun, ternyata, ia tak dapat meaghilangkan rasa
rindunya kepada Maria. Dalam keadaan demikian, datang pula kartu pos dari
Maria yang justru membuatnya makin diserbu rindu. Berikutnya, surat Maria
datang lagi. Kali ini mengabarkan perihal perjalanannya bersama Rukamah,
saudara sepupunya yang tinggal di Bandung. Setelah membaca surat itu, Yusuf
memutuskan untuk kembali ke Jakarta, kemudian menyusul sang kekasih ke
Bandung. Setelah mendapat restu ibunya, pemuda itu pun segera meninggalkan
Martapura.

Kedatangan Yusuf tentu saja disambut hangat oleh Maria dan Tuti. Kedua
sejoli itu pun lalu melepas rindu masing-masing dengan berjalan-jalan di sekitar
air terjun di Dago. Dalam kesempatan itulah, Yusuf menyatakan cintanya kepada
Maria.

Sementara hari-hari Maria penuh dengan kehangatan bersama Yusuf, Tuti


sendiri lebih banyak menghabiskan waktunya dengan membaca buku.
Sungguhpun demikian, pikiran Tuti tidak urung diganggu oleh keinginannya
untuk merasakan kemesraan cinta. Ingat pula ia pada teman sejawatnya, Supomo.
Lelaki itu pernah mengirimkan surat cintanya kepada Tuti.
21

Ketika Maria mendadak terkena demam malaria, Tuti menjaganya dengan


sabar. Saat itulah tiba adik Supomo yang ternyata disuruh Supomo untuk meminta
jawaban Tuti perihal keinginannya untuk menjalin cinta dengannya. Sungguhpun
gadis itu sebenarnya sedang merindukan cinta kasih seseorang, Supomo
dipandangnya sebagai rukan lelaki idamannya. Maka, segera ia menulis surat
penolakannya.

Sementara itu, keadaan Maria makin bertambah parah. Kemudian


diputuskan untuk merawatnya di rumah sakit. Ternyata, menurut keterangan
dokter, Maria mengidap renyakit TBC. Dokter yang merawatnya menyarankan
agar Maria dibawa ke rumah penyakit TBC di Facet, Sindanglaya, Jawa Barat.

Perawatan terhadap Maria sudah berjalan sebulan lebih lamanya. Namun,


keadaannya tidak juga mengalami perubahan. Lebih dari pada itu, Maria mulai
merasakan kondisi kesehatan yang makin lemah. Tampaknya, ia sudah pasrah
menerima kenyataan.

Pada suatu kesempntan, di saat Tuti dan Yusuf berlibur di rumah Ratna
dan Saleh di Sindanghya, di situlah mata Tuti mulai terbuka dalam memandang
kehidupan di pedesaan. Kehidupan suami-istri yang melewati hari-harinya dengan
bercocok tanam itu, ternyata juga telah mampu membimbing masyarakat
sekitarnya menjadi sadar akan pentingnya pendidikan. Keadaan tersebut benar-
benar telah menggugah alam pikiran Tuti. la menyadari bahwa kehidupan mulia;
mengabdi kepada masyarakat, tidak hanya dapat dilakukan di kota atau dalam
kegiatan-kegiatan organisasi, sebagaimana yang selama ini ia lakukan, tetapi juga
di desa atau di masyarakat mana pun, pengabdian itu dapat dilakukan.

Sejalan dengan keadaan hubungan Yusuf dan Tuti yang belakangan ini
tampak makin akrab, kondisi kesehatan Maria sendiri justru kian
mengkhawatirkan. Dokter yang merawatnya pun rupanya sudah tak dapat berbuat
lebih banyak lagi. Kemudian, setelah Maria sempat berpesan kepada Tuti dan
Yusuf agar keduanya tetap bersatu dan menjalin hubungan rumah tangga, Maria
mengembuskan napasnya yang terakhir. "Alangkah bahagianya saya di akhirat
nanti, kalau saya tahu, bahwa kakandaku berdua hidup rukun dan berkasih-
22

kasihan seperti kelihatan kepada saya dalam beberapa hari ini... Inilah permintaan
saya yang penghabisan, dan saya, saya tidak rela selama-lamanya, kalau
kakandaku masing-masing mencari peruntungan pada orang lain" (hlm. 209).
Demikianlah pesan terakhir almarhum, Maria. Lalu, sesuai dengan pesan tersebut,
Yusuf dan Tuti akhirnya tidak dapat berbuat lain, kecuali melang-sungkan
perkawinan karena cinta keduanya memang sudah tumbuh bersemi.

***

K arya penting ketiga di antara roman-roman sebelum perang menurut


anggapan umum, ialah Layar Terkembang..." demikian tulis Teeuw (Sastra
Baru Indonesia I, 1980). Sebagian besar kritikus sastra, antara lain, Ajip Rosidi,
Zuber Usman, Amal Hamzah, H.B. Jassin, maupun Teeuw, menyebut novel Layar
Terkenibang sebagai novel bertendensi. Di antaranya juga ada yang berpendapat
bahwa sikap dan pemikiran tokoh Tuti lebih menyerupai sebagai sikap dan
pemikiran S. Takdir Alisjahbana, khususnya dalam usaha mengangkat harkat
kaum wanita (Indonesia). Tokoh Tuti yang digambarkan sebagai wanita modem
yang aktif dalam berbagai kegiatan organisasi, memang tidak sedikit melontarkan
gagasan progresif. la juga selalu merasa terpanggil untuk ikut terjun memajukan
bangsanya sendiri, khususnya kaum wanita.

Mengenai tahun terbit novel ini, Pamusuk Eneste, Ajip Rosidi, H.B. Jassin,
dan Teeuw menyatakan bahwa novel ini terbit tahun 1936. Namun, pada cetakan
VII (1959) dan cetakan XVIII (1988) tertulis bahwa cetakan pertama tahun 1937.

Pada tahun 1963, novel ini terbit dalam edisi bahasa Melayu di Kuala
Lumpur dan hingga kini masih terus dicetak ulang.

Studi mengenai novel ini pernah dilakukan Mariam binti Hj. Ismail (1973) dan
Moh. Basir bin Haji Noor (1975) keduanya merupakan studi sarjana muda FS
Unas. Sebelum itu, Noer Islam Moenaf (FS UI, 1961) melakukan penelitian
terhadap novel itu sebagai bahan skripsi sarjananya. Adapun Somi Moh. Hatta
(FKIP UI, 1961) lebih banyak memaparkan kepujanggaan Alisjahbana secara
cukup lengkap. Hal yang juga pernah dilakukan A. H. Johns (1959), guru besar
yang kini mengajar di Australian National University.
23

6. PERTEMUAN JODOH

Pengarang : Abdul Muis


Penerbit : Balai Pustaka
Tahun : 1932; Cetakan V, 1964

R atna, seorang murid Frobelkweeschool, secara tak sengaja berkenalan


dengan pemuda Suparta dalam kereta yang membawanya dari Jakarta ke
Bandung. Suparta berusaha mencarikan tempat duduk buat gadis itu, yang semula
dipenuhi barang-barang milik sepasang suami-istri Tionghoa. Di Stasiun Cimahi,
suami-istri Tionghoa itu ditahan polisi karena ditemukan membawa candu.

Perkenalan tersebut rupanya berkesan cukup dalam bagi sepasang anak


muda itu. Suparta pun berkesempatan untuk mengantarkan gadis itu sampai ke
halaman sekolahnya. Selanjutnya, mereka sepakat untuk meneruskan hubungan
lewat surat.

Beberapa bulan kemudian, Suparta yang murid Stovia itu, melalui sepucuk
surat, mengutarakan niatnya untuk memperistri Ratna. Meskipun tidak secara
tegas, Ratna menyambut baik niat Suparta. la bersedia juga menghabiskan masa
liburannya di Surnedang untuk sekaligus berkenalan secara baik-baik dengan
keJuarga pemuda itu. "Ibu Suparta termasuk golongan 'menak baheula', yaitu
orang tua turunan bangsawan yang masih berpegang teguh alam keadaan dan adat
lembaga zaman dahulu" (hlm. 29).

Sambutan ibu Suparta ternyata tidak begitu ramah. Ratna kecewa pada sikap
Nyai Raden Tedja Ningrum yang memandangnya dengan cemooh setelah tahu
bahwa Ratna turunan orang kebanyakan saja. Ibu Suparta juga bahkan sengaja
24

menyinggung-nyinggung nama gadis lain yang dianggapnya lebih pantas untuk


anaknya, yang tak lain adalah teman sekelas Ratna di Frobelkweeschool.

Ratna kemudian bertekad untuk melupakan Suparta. Berita pertunangan


Suparta dengan Nyai Raden Siti Halimah alias "Dewi Dekok" tidak membuatnya
putus asa. Namun, kemalangan lain terpaksa pula harus ia terima. Usaha
pembakaran kapur ayahnya, Tuan Atmadja, bangkrut. Akibatnya, Ratna terpaksa
memutuskan keluar dari sekolahnya.

Cobaan-cobaan itu tidak membuat Ratna patah semangat. la pun kemudian


berusaha mencari pekerjaan. Gaji yang ia terirna sebagai pelayan toko,
digunakannya untuk membiayai sekolah adiknya, Sudarma. Namun, baru empat
bulan ia bekerja, toko itu harus ditutup atas perintah pengadilan. Ratna kembali
melamar pekerjaan di kantor advokat. Namun, ia terpaksa mengurungkan niatnya
karena si advokat itu berusaha menggodanya. Dalam kebingungan, ia lewat di
depan sebuah rumah besar. Pikirannya kemudian muncul, untuk menjadi
pembantu rumah tangga. la pun menjadi pembantu Tuan dan Nyonya Kornel.

Sementara itu, Suparta yang sudah menjadi dokter berusaha mcnjumpai


Ratna kembali. la kehilangan jejak kekasihnya itu. la juga menyesalkan
ketidaksetujuan ibunya terhadap keinginannya untuk memperistri Ratna. Namun,
ketika sikap keras hati ibunya itu melunak, Suparta justru kehilangan jejak Ratna.
Berkat pertolongan direktris Frobelkweeschool, dokter muda itu memperoieh
alamat orang tua Ratna di Tagogapu. Ternyata, di rumah orang tua Ratna, Suparta
juga tak menjumpai gadis itu. Orang tua Ratna yang melihat kesungguhan Suparta
merasa tersentuh hatinya sehingga mereka rriemberitahukan alamat Ratna di
Kebon Sirih. Alangkah terkejutnya Suparta ketika mendengar bahwa Ratna sudah
berangkat ke Jakarta bersama adiknya pagi itu, sedangkan pemilik rumah tempat
Ratna menumpang tidak mengetahui tujuan kakak beradik itu ke Jakarta.

Dalam pada itu, selama Ratna menjadi pembantu keluarga Kornel, berbagai
cobaan harus diterimanya dengan tabah. Kehadirannya dalam keluarga itu tidak
luput dari rasa iri Jene, pembantu yang juga bekerja pada keluarga Kornel. Hingga
pada suatu ketika, Ratna dituduh mencuri perhiasan Nyonya Kornel atas fitnah
25

Jene. Ratna kemudian dibawa ke kantor polisi. Ketika para polisi yang
menjaganya lengah, Ratna melarikan diri, kemudian terjun ke sungai di sekitar
jembatan Kwitang. Beruntung, nyawanya masih dapat diselamatkan. Dalam
keadaan sekarat, ia dibawa ke rumah sakit.

Sangat kebetulan bahwa dokter yang merawat Ratna adalah Suparta.


Pertemuan itu tentu saja membesarkan hati kedua belah pihak. Keyakinan Suparta
bahwa Ratna tidak bersalah, ikut mempercepat kesembuhan wanita muda itu.
Untuk rnemulihkan nama baik Ratna, dokter muda itu menyiapkan seorang
pengacara terkenal untuk mendampingi gadis pujaannya di pengadilan. Sebab,
bagaimanapun, Ratna masih harus berurusan dengan penegak hukum.

Di pengadilan terbukti bahwa Ratna tidak bersalah. Pencuri perhiasan


Nyonya Kornel ternyata adalah A mat, kekasih Jene. Pembantu keluarga Kornel
yang bernama Jene itu diduga diperalat oleh kekasihnya. Pengadilan juga
memutuskan bahwa Amat bersalah dan diganjar lima tahun penjara. Sementara
itu, Jene tidak dikenakan hukuman walaupun sebenarnya harus dituntut.

Sidang pengadilan juga telah mempertemukan Ratna dengan Sudarma,


adiknya, schattcr pegadaian Purwakarto yang bertindak sebagai saksi pertama.
Lalu, atas ke-sepakatan Suparta dan Sudarma, Ratna disuruh beristirahat di sebuah
paviliun "Bidara Cina". Gadis itu tidak dii/inkan bertemu dengan sembarang
orang, kecuali Suparta yang setiap sore datang memeriksa kesehatannya. Lambat-
laun kesehatan Ratna mulai puiih. la juga mulai dapat mengingat-ingat segala
sesuatunya, termasuk hubungannya dengan Suparta.

Begitu Ratna meninggalkan tempat peristirahatannya, Suparta melamarnya.


"Dokter Suparta sendiri yang berkehendak, supaya nikah dilangsungkan hari
ini, ..." (hlm. 155). Tuan Atmadja sekeluarga berkumpul di rumah Sudarma
menyelenggarakan pesta perkawinan Ratna dengan Dokter Suparta.

Kebahagiaan pengantin baru itu bertambah lagi ketika mereka pulang ke


Tagogapu. Rumah ayah Ratna kini lebih besar dibandingkan sebelumnya.
Keadaan Tuan Atmadja sekarang sudah lebih baik lagi berkat bantuan kedua
anaknya. Kini, pengantin baru itu menempati sebuah rurnah besar, bersebelahan
26

dengan rurnah orang tua Ratna. Rumah itu sengaja dibangun Suparta sebagai
hadiah perkawinan bagi istrinya.

***

N ovel kedua Abdul Muis, Pertemuan Jodoh ini menurut Teeuw merupakan
roman peralihan. Bukan saja karena pengarangnya merupakan hasil
perkawinan antar-pulau, tetapi karena hampir seluruh hayatnya ia tinggal di Jawa
(Sastra Baru Indonesia 1, 1980). Pertemuan Jcdoh tidak lagi berccrita tentang
pemuda-pemudi Minangkabau, tetapi tentang pemuda bangsawan Sunda dengan
gadis Sunda keturunan orang kebanyakan, Ibu Suparta yang "menak baheula"
akhirnya kalah oleh keinginan anaknya yang tidak lagi kukuh mempertahankan
adat tradisi kemenakannya atau kebangsa-wanannya.

Seperti juga pada.Salah Asuhan, jalinan peristiwanya disajikan secara


meyakinkan. Perwatakan tokoh-tokoh ceritanya juga tampil meyakinkan. Tokoh-
tokoh yang tidak terpelajar, misalnya, dalam dialognya menggunakan kata-kata
bahasa Betawi. Dengan demikian, Pertemuan Jodoh boleh dikatakan merupakan
pengamatan pengarangnya terhadap lingkungan sekitarnya setelah ia lama berada
di Jawa, terutama di Bandung (Abdul Muis pernah bekerja sebagai klerek di
Departemen Buderwijs en Eredienst dan menjadi wartawan di Bandung).

Studi mengenai novel ini pernah dilakukan oleh Jalal Ahmad bin Abdullah
(FS UI, 1962) dan Shaaban bin Abu (FS Unas, 1974). Menurut Shaaban novel ini
merupakan lanjutan dari Salah Asuhan. Kajian lebih mendalam dilakukan oleh K.
Karmana Mah-mud (FS UGM, 1984) dalam tesis S2-nya yang berjudul "Tinjauan
Roman Pertemuan Jodoh atau Dasar Pendekatan Strukturalisme dan Semiotik".
27

7. MENYONGSONG BADAI

Pengarang : Luwarsih Pringgoadisuryo (1930)


Penerbit : Pustaka Jaya
Tahun : 1970; Cetakan II, 1982

T anpa merundingkannya dengan Dai (Damayanti), Dokter Mokhtar (ayah


Dai) memutuskan untuk mengirim anaknya ke tempat Bu Sri di kota. Dai
tidak bisa menerima kepntusan ayahnya ini, tetapi mau tak mau ia harus
menjalankan keputusan itu. Dai merasa dibuang dari rumahnya. la merasa
disingkirkan oleh ayahnya sendiri, orang yang selama ini menjadi ayah yang
dihormati sekaligus sahabat. "la tak dapat lagi menyelami jalan pikiran ayah.
Bertambah hari ayahnya bertambah merupakan tanda tanya baginya. Pada
beliaulah seharusnya saudara-saudaranya mencari pokok pangkal kesalahan.
Ketentraman rumah tentu akan tetap terpelihara andaikata ayah tidak beristri lagi"
(hlm. 6). la menjadi kehilangan tempat berpijak.

Di tempatnya yang baru—pondokan Bu Sri—Dai harus tinggal berempat


sekamar. Disebabkan oleh pengaruh hatinya yang sedang galau, ia memberikan
kesan yang kurang enak terhadap rekan-rekan sekamarnya. Sikapnya yang dingin
dan tak acuh menimbulkan salah paham dengan Yan, salah seorang rekan
sekamarnya, dan terjadilah pertengkaran. Berkat penanganan Bu Sri yang
bijaksana, pertengkaran itu dapat dilerai dan hubungan di antara anak pondoknya
berangsur-angsur baik, juga penuh kekeluargaan.

Tak berapa lama kemudian, Dai dapat menyesuaikan dirinya untuk tinggal
di rumah Bu Sri. Kegembiraannya mulai pulih, apalagi setelah ia berkenalan
dengan Pramono, teman sekolahnya. Dai dan Pram mempunyai hobi yang sama:
keduanya suka pada kesegaran dan keindahan alam. Mereka sering berjalan-jalan
bersama.

Selain Pram, pemuda yang sering datang mengunjungi Dai adalah Hariadi,
teman sedesanya. Hanadi yang semula pertamanya mendapat simpati dari
penghuni pondokan Bu Sri karena kepandaiannya bergaul dan kelincahannya
28

berbicara, lama-kelamaan tidak disukai oleh gadis-gadis itu setelah pemuda


tersebut berbuat kurang ajar kepada Dai. Hal tersebut makin membuat Dai
membandingkan Hariadi dengan Pramono. Pram yang dikenalnya ternyata telah
bekerja untuk membantu orang tuanya. Kenyataan ini membuat hubungan
keduanya semakin akrab.

Sementara itu, hubungan Dai dengan ayahnya masih belum membaik. la


belum dapat memaafkan ayahnya yang beristri lagi—setelah ibu Dai meninggal—
dan mengirim Dai ke tempat Bu Sri. Bu Sri berusaha menyadarkannya bahwa
ayahnya membutuhkan Istri untuk ketenangannya, untuk memelihara semangat
kerjanya, dan juga untuk kelangsungan hidupnya. Bu Sri juga menasihati Dai
bahwa tak ada gunanya membenci ibu tirinya, Bu Sam, yang dianggap mengambil
kedudukan almarhumah ibunya. "Sungguh Dai, engkau sendiri tidak akan
tertolong dengan membenci orang. Menambah beban hidupmu belaka" (hlm. 70).
Dai diminta oleh Bu Sri untuk memahami bahwa hidup bukan hanya menerima
dan memberi, tetapi "Demi kepenltingan kesempurnaan hidup kekeluargaan yang
kau diidam-idamkan itu, engkau tidak keberatan untuk lebih banyak
memberi, ..."(hlm. 72), termasuk memberi tempat dalam hidupnya untuk ibu
tirinya.

Lambat-laun timbul pengertian dalam diri Dai terhadap tindakan ayahnya. la


menyambut dengan gembira ketika ayahnya menengok ke tempat Bu Sri.
Hubungan ayah dan anak itu akhirnya dapat berbaik kembali.

Beberapa waktu kemudian, Dai selesai menempuh ujian akhir. Setelah lulus
ia merencanakan akan melanjutkan sekolah di Jakarta, sementara pacarnya, Pram,
akan melanjutkan sekolah di Bogor. Namun, sebelum ia mendengar hasil
ujiannya, datang kabar dari desa bahwa ayahnya sakit keras. Selain rasa khawatir
akan kesehatan ayahnya, rasa rindu kepada desa kelahirannya mendorongnya
mengambil keputusan itu.

Sampai di rumahnya, ia bertemu dengan Bu Sam. Rasa bencinya telah


pupus. Ia kembali ke rumahnya dengan perasaan gembira, dapat berkumpul
kembali dengan ayah dan adik-adiknya.
29

***

S ebuah novel yang bercerita tentang wanita dan ditulis oleh pengarang wanita.
Persoalannya juga datang karena wanita. Belakangan, persoalannya juga
berhasil ditengahi oleh wanita. Maka, kloplah novel ini bercerita tentang dunia
wanita.

Awalnya bermula dari dikirimnya tokoh Damayanti ke kota oleh ayahnya.


Namun/ Damayanti menganggap bahwa hal itu sebagai tindak pengusiran; bahwa
dirinya diasingkan agar berjauhan dengan ayahnya yang sebenarnya sangat ia
cintai. Kesalah-pahaman itu seolah-olah memperoleh pembenaran ketika ayahnya
menikah lagi— setelah beberapa lama ia menduda—dengan Bu Sam. Damayanti
protes. la tidak mau menerima sosok ibu tiri. Saat itu, tampil kembali Bu Sri—ibu
pondokannya yang arif dan hampir selalu berperan sebagai penengah—. Tokoh
inilah yang dapat meyakinkan Damayanti agar manjadi wanita yang bijaksana dan
berpikiran luas. Kenyataannya, Damayanti dan ibu tirinya dapat menjalin
hubungan dengan baik. Maka, pupus sudah prasangka buruk Damayanti terhadap
ayahnya dan juga ibu tirinya.

Novel pengarang wanita yang kini menjabat Kepaia Pusat Dokumentasi dan
Informasi Ilmiah LIP1 ini, terbit pertama kali tahun 1970 oleh penerbit
Pembangunan Jakarta. Pada tahun ituiah, novel ini memperoleh Hadiah Utama
Sayembara UNES-CO/IKAPI. Baru pada tahun 1982, novel ini diterbitkan oleh
Pustaka Jaya sebagai cetakan kedua.

Sebelum itu, Luwarsih juga telah menghasilkan dua novel, yaitu Tati
Takkan Putus Asa (Pustaka Jaya, 1957), dan Lain Sekarang Lain Esok (Pustaka
Jaya, 1973). JSIovel terakhirnya adalah Yang Muda Yang Menentukan (Grafiti
Press, 1989).

8. DI ATAS PUING-PUING

Pengarang : Th. Sri Rahayu Prihatmi (7 Mei 1944)


Penerbit : Pustaka Jaya
Tahun : 1978
30

Y ayuk bertemu dengan teman semasa kecilnya, Arini. Kemudian Arini


menyerahkan catatan hariannya kepada Yayuk yang berisi tragedi
kehidupannya.

Catatan harian itu dimulai dengan kegalauan Arini karena kegoncangan


dalam rumah tangganya. Kebahagiaannya bersama suami dan tiga anaknya
terganggu dengan hadirnya Retno, muhd suarninya.

Sang suami, Hardi, akhirnya memutuskan untuk memperistri Rctno dan


memohon kepada Arini agar bersedia dimadu. "Terimalah ia sebagai adikmu"
(hlm. 41), kata Hardi suatu ketika. Kedua orang tua dan bibi Arini menolak dan
berontak. la tak mau dimadu, meskipun sesungguhnya ia masih mencintai Hardi.

Pertemuan kembali Arini dengan Hendra, bekas pacarnya, yang masih


mencintainya, tetapi tidak dicintainya itu, menggodanya untuk lari dari rumah.
Mereka pun meninggalkan Yogya dengan membawa serta Neni, anak bungsu
Arini. Arini dan Hendra hidup bersama tanpa nikah di Jakarta dalam sebuah
kamar sewaan sederhana berdin-ding bambu.

Hendra tidak berhasil mendapat pekerjaan di Jakarta, sehingga Arini harus


mencari nafkah sebagai karyawan perusahaan menjahit. la sempat lupa pada
kepahitan hidup yang baru dilaluinya, sampai datang berita dari Yogya yang
memintanya agar pulang karena Iwan, anak keduanya yang dititipkan pada orang
tuanya, menderita sakit keras.

Di Yogya Arini dan Hendra bertemu kembali dengan suami, orang tua, dan
anak-anak Arini. Terjadi pembicaraan singkat. Akhirnya diputuskan agar Arini
boleh hidup bersama Hendra beserta Iwan dan Neni, sementara Ita, anak
sulungnya, tinggal bersama Hardi dan Retno.

Hendra kembali lebih dahulu untuk mencari pekerjaan. Arini menunggu


sampai Iwan seuibuh dari sakitnya. Selama penantian itu, ternyata Hardi masih
membujuk Arini agar kembaii padanya, namun Arini tetap menolak untuk
dimadu, Bahkan rayuan Hardi membuat Arini semakin membencinya.
31

"Kukira aku telah berhasil mematikan segala pertalianku dengannya lewat


jalan menyuburkan perasaan benciku padanya. Dan semakin benci pula aku..."
tulis Arini dalam catatan hariannya (hlm. 74).

Nasihat dari Pastor Paroki agar Arini bersabar dan meninggalkan "jalan
sesat"-nya pun tidak bisa mengubah keputusannya. Undangan pertemuan dari
mertuanya juga ditolak. la tetap pada keputusannya untuk meninggalkan Yogya
dan menempuh hidup baru di Jakarta. Hal itu dilaksanakannya segera setelah Iwan
sembuh dan Hendra berhasil memperoleh pekerjaan.

Di Jakarta "keluarga baru" Arini tidak lagi menempati kamar sempit karena
Hendra telah sanggup mengontrak rumah sederhana yang masih berdinding
bambu. Meskipun mereka hidup kekurangan, Arini merasa lebih tentram.
Perhatian-perhatian kecil dari Hendra, seperti pemberian kado ulang tahun, mulai
menumbuhkan rasa cintanya lagi. Arini mengungkapkan dalam catatan hariannya:

"Dan aku merasakan ketentraman rumah tangga yang sempurna ketika


duduk bersama 'suami'-ku dikelilingi anak-anak. Kupeiuki anakku sementara
'suami'-ku meletakkan tangannya di bahuku. Rambutku pun mesra menyentuh
dadanya" (hlm. 82).

Pada suatu ketika Hendra mengajak Arini mengunjungi orang tua Hendra di
Semarang. Arini yang semula menolak karena merasa malu sebagai orang yang
"penuh dengan dosa", akhirnya bersedia ikut. Ternyata orang tua Hendra merestui
hubungan mereka meskipun hanya berlandaskan surat kawin catatan sipil tanpa
persetujuan gereja.

Arini kemudian hamil dan melahirkan bayi perempuan. Meskipun ayahnya


masih tampak belum memberi maaf, Arini cukup senang ketika kedua orang
tuanya datang menjenguk.

Setelah dua tahun hidup bersama, Arini dan Hendra bisa membangun rumah
sendiri. Mereka sekeluarga mulai mengecap kebahagiaan.

Sampai di sini catatan harian Arini selesai dibaca Yayuk, namun cerita
belum berakhir. Sebuah telegram sampai ke tangan Yayuk yang berisi berita
32

kematian Hendra karena kecelakaan pesawat. Karena kesibukan keluarganya, baru


setengah tahun kemudian Yayuk bisa mengunjungi Arini. Pertemuan antara
mereka membangkitkan keharuan.

Yayuk membuka kembali catatan harian Arini. Setelah kematian Hendra,


ternyata Hardi masih juga mencoba membujuk Arini agar kembali kepadanya.
Sekali lagi Arini menolak. Nasihat bibinya juga tidak menggoyahkan
keputusannya; tidak bisa me-nerima poligami.

Dua tahun kemudian Arini mengunjungi Yayuk. la bercerita bahwa anak-


anaknya tinggal bersama nenek mereka, sedangkan ia sendiri melanjutkan usaha
menjahitnya. Kisah cerita Arini pun kembali berulang. la menjalin cinta dengan
seorang duda beranak dua. Namun, karena duda itu juga beragama Katolik,
mereka tidak mungkin menikah di gereja. Keluarga Arini juga tidak ada yang
menyetujuinya untuk menikah lagi. Akhirnya Arini harus menerima nasib hidup
"di atas puing-puing" sebagai janda dengan anak-anak yang harus tetap menjadi
tanggung jawabnya.

***

N ovel ini mendapat rekomendasi dari Dewan Juri Sayembara Mengarang


Roman Dewan Kesenian Jakarta tahun 1976 sebagai karangan yang layak
diterbitkan untuk bacaan biasa. Bentuk novel ini sebenarnya cukup rumit,
mengingat adanya catatan harian yang justru merupakan salah satu bagian penting
dalam keseluruhan cerita berbingkai itu, temanya juga sebenarnya cukup
problematik; perkawinan yang dilihat dari kaca mata agama Katolik. Walaupun
pengarangnya sendiri tampak tidak hendak melakukan kritik atas aturan
perkawinan menurut ajaran agama Katolik, terkesan pula hendak
mempertanyakannya kapan sebuah perkawinan mulai menghadapi keretakan.
Ternyata pilihan "hidup bersama" tanpa ikatan perkawinan, juga dapat
menimbulkan masalah, apalagi jika dilihat dari norma-norma kemasyarakatan.
Dalam hal inilah Teeuw (1989: 194—195) mengomentarinya sebagai tema yang
patut mendapat perhatian.
33

9. PELABUHAN HATI

Pengarang : Titis Basino P.I. (17 Januari 1939)


Penerbit : Pustaka Jaya
Tahun : 1978

C inta Rani yang begitu besar kepada Ramelan, seorang mahasiswa fakultas
teknik, telah membuat gadis itu rela berkorban demi mewujudkan harapan
cintanya itu. la rela membiayai kuliah kekasihnya sampai Ramelan menyelesaikan
studihya dan menjadi insinyur, la juga nekat lari dari orang tuanya, kemudian
34

kawin dengan Ramelan secara sederhana. Dari upahnya menerima jahitan,


semuanya dapat berjalan sesuai dengan rencana,

Masa-masa bahagia pun mereka rasakan. Ramelan kemudian bekerja di


berbagai proyek, di sarnping mengajar di beberapa perguruan -tinggi. Satu per
satu anaknya lahir; "Dua anak laki-laki yang beringas dan dua gadis manis yang
cerdik" (hlm. 8). Mereka hidup dalam curahan kebahagiaan di sebuah rumah
sederhana.

Lambat-laun penghasilan Ramelan makin meningkat. Secara pasti


kehidupan mereka tak lagi kekurangan. Bahkan sebuah rumah gedung sedang
dipersiapkan secara diam-diam, walaupun Rani sendiri mengetahui rencana itu.

Suatu hari, teman Rani, Sofia, mengundang Rani untuk datang ke


rumahnya. Tanpa sepengetahuan suaminya, Rani memenuhi undangan itu. Sofia
kemudian mengajaknya ke tingkat atas. Dari Sana, tampak ada sebuah rumah
yang sedang dibangun. Letaknya persis bersebelahan-Saat itu, tampak jelas di
hadapan mata Rani; suaminya sedang bergandengan tangan dengan seorang
wanita muda. Sebuah pcmandangan yang mem-buat Rani percaya dan tidak
percaya. Ramelan yang dahulu ditolongnya hingga menjadi insinyur, suaminya
yang sedang mempersiapkan rumah impian untuk dirinya dan keempat anaknya,
di hadapannya kini sedang bermesraan dengan perempuan lain, Inilah awal
keretakan rumah tangga mereka.

Sejak kejadian itu, Rani memutuskan untuk tinggal bersama keempat


anaknya. la tak ingin lagi bertemu dengan laki-laki yang telah mengkhianati
cintanya. Sungguhpun begitu, Ramelan sendiri masih tetap berusaha untuk
membiayai sekolah anak-anaknya.

Untuk mengisi kekosongan dan menambah biaya hidupnya sehari-hari, Rani


kembali membuka usaha jahitan. la mulai terbiasa dengan keadaannya sekarang.
Para pelanggannya pun dari hari. ke hari makin bertambah. Salah seorang
pelanggannya adalah Laksmi. Wanita cantik itu mulai akrab dengan Rani.
35

Namun, .rupanya kedukaan Rani harus kembali terulang. Ketika hendak


berbelanja keperluan jahitannya di Blok M, ia melihat Laksmi, pelanggannya itu,
sedang asyik bergandengan tangan dengan Ramelan. Maka, kesimpulan pun jatuh
sudah; Ramelan adalah laki-laki jalang yang selalu berganti-ganti wanita.
Belakangan diketahui bahwa sesungguhnya Ramelan sudah resmi menjadi suami
Laksmi. Namun, bagi Rani sendiri, peristiwa itu makin membuatnya tak lagi perlu
percaya kepada laki-laki.

Dari hasil jerih payahnya selama itu, Rani kemudian merombak rumahnya
dan menambah beberapa kamar untuk disewakan. Dari hasil menyewakan kamar-
kamar itu, kehidupan Rani mulai membaik walaupun bekas suaminya tak pernah
lagi me-ngirimkan uang untuk biaya anak-anaknya sekoiah. Anak-anaknya pun
mulai akrab dengan para penyewa kamar-kamar itu. Namun, rupanya keakraban
itu justru dilihat lain oleh para tetangganya. Gosip buruk pun berkembang hingga
sampai pula ke telinga bekas suaminya.

Rani sendiri tidak mau mempedulikan semua kabar busuk itu. Ramelan
yang mencoba menyuruh Rani untuk tidak lagi menyewakan kamar-kamarnya,
juga tidak digubris. la yakin pada jalannya sendiri yang memang tidak hendak ia
nodai.

Lebih dari dua tahun Rani menjalani kehidupan seperti itu. Sampai
akhirnya, Wastu dan Pragantha, dua mahasiswa fakultas teknik yang sudah sejak
lama tinggal di pondokan Rani, meminta Rani agar menghadiri ujian skripsi
mereka. Tentu saja Rani tidak berkeberatan. Pada hari yang ditentukan, ia datang
ke tempat kedua mahasiswa itu melangsungkan ujian akhirnya. Hasilnya adalah
mereka lulus dan berhak menyan-dang gelar insinyur.

Peristiwa itu bagi Rani, barangkali tidak lebih sebagai peristiwa biasa,
sungguhpun sebelum pulang, ia sempat berjumpa lagi dengan bekas kekasihnya
dahuiu sewaktu ia belum berhubungan dengan Ramelan. Namun, seperti juga
kejadian sehari-hari, ia kembali kepada kesibukannya mengurusi anak-anaknya.

Sore harinya, datang telepon dari Laksmi yang mengabarkan bahwa


Ramelan sakit keras dan kini sedang dirawat di rumah sakit Petamburan. Dalam
36

keadaan seperti itu, bagaimanapun, hati nurani Rani tak tega melihat bekas
suaminya dalam keadaan demikian. la pun memutuskan untuk menjenguk
bekas suaminya. Saat itu juga ia berangkat bersama keempat anaknya.

Laksmi rupanya sudah menunggu di sana. Kini Rani melihat, betapa orang
yang pernah ia cintai, ayah anak-anaknya itu, hanya terbaring tak berdaya. "Aku
membaca surat Yasin yang ada di tangan kiri dan tangan kananku menggenggam
erat tangan Ramelan. Tanpa kusadari, selama ayat-ayat suci itu kubaca dengan
khusyuk, Ramelan telah berhenti bernapas" (hlm. 129).

Ramelan telah mengakhiri hidupnya di hadapan Rani, bekas istrinya yang


tabah; Laksmi, istri mudanya yang masih menangis, dan keempat anaknya yang
memandang kosong ke arah kegelapan malam. Rani menyongsong keempat
anaknya; melangkah ke masa depan.

***

N ovel karya Titis Basino ini, tampak jelas hendak mengangkat ketabahan
seorang wanita, seorang ibu dengan keempat anaknya. Dengan ketabahan
itu, ia berhasil tidak hanya menjadi kepala keluarga bagi anak-anaknya, tetapi juga
berhasil menjadi induk semang yang baik bagi mereka yang tinggal di
pondokannya. Lebih dari itu, ia juga berhasil membangun citra dirinya sebagai
wanita yang tak mudah goyah oleh cobaan apa pun. Penderitaan yang dialaminya,
telah membuatnya menjadi wanita yang matang, sekaligus menjadi ibu yang
bijaksana.

Sebaliknya, Ramelan yang lupa pada perjuangan istrinya dan gampang


terbawa arus oleh Hmpahan kesuksesannya, akhirnya harus menghadapi
kehidupan yang pendek. Laksmi yang jauh lebih muda daripada Rani, rupanya
tidak sepenuhnya dapat memberi kebahagiaan pada diri Ramelan.

Secara keseluruhan novel ini dibangun oleh jalinan peristiwa yang lancar
dan tidak terlalu rumit. Pesan pengarangnya untuk menampilkan citra wanita
sejati, boleh dikatakan berhasil lewat penokohan yang tidak terlalu kompleks.
37

10. WANITA ITU ADALAH IBU

Pengarang : Sori Siregar (12 November 1939)


Penerbit : Balai Pustaka
Tahun : 1982

M eninggalnya Laura membuat Hezan merasa begitu sangat kehilangan


seseorang yang dicintainya. Cinta Hezan yang mendalam terhadap
istrinya itu menyebabkan ia bertekad untuk tidak mempunyai istri lagi. Dengan
hidup tetap menduda, ia merasa tidak mengkhianati cintanya kepada almarhumah.
Begitu pula ia merasa sanggup membesarkan putri tunggalnya, Prapti, tanpa perlu
mengakhiri status dudanya. Yang penting baginya, ia dapat menumpahkan kasih
sayangnya kepada putrinya seorang.
38

Sungguhpun demikian, Hezan juga tidak dapat membohongi dirinya


sendiri bahwa sesungguhnya ia begitu kesepian. Bertahun-tahun sejak istrinya
meninggal, ia merasakan kesepian itu. Namun, ia juga tidak ingin Prapti
mengetahui apa yang selama ini ia pendam dengan penuh kegelisahan.

Kesepian yang dirasakan Hezan makin terasa mengganggunya setelah


Prapti menikah dengan Tonton. Mitos untuk mempertahankan diri sebagai suami
yang setia, justru makin menggelisahkannya, apabila ia ingat kemunafikannya
selama ini. Di depan anaknya,Hezan berperan sebagai ayah yang taat beragama
dan setia mencintai almarhumah. Namun, di balik itu, Hezan mencari kepuasan
lewat perempuan-perempuan lain. Jadilah duda itu hidup seolah-olah dalam dua
dunia; sebagai ayah yang ideal di mata putrinya, dan sebagai lelaki yang butuh
kehangatan tubuh perempuan, di hadapan hati nuraninya sendiri.

Sebelum itu, Prapti sendiri pernah mengusulkan agar ayahnya menikah


lagi. Namun ternyata, Hezan sendiri menanggapinya secara lain; dengan kawin
lagi, ia khawatir hal itu justru merupakan pengkhianatan terhadap cintanya kepada
istrinya, almarhumah. "Aku sebenarnya tidak tahu, gagasan yang dikemukakan
Prapti kepadaku... Yang jelas aku terkejut dengan saran yang diajukan Prapti.
Betapa tidak. Setelah lima belas tahun mendampinginya dan membesarkannya
setelah kepergianmu, Prapti menyarankan kepadaku agar aku mencari
penggantimu" (hlm.21). Begitulah, Hezan seolah-olah hendak mengadukan
persoalannya kepada Laura, almarhumah.

Apa yang dirasakan Hezan, dirasakan pula oleh Prapti berkenaan dengan
usul agar ayahnya mencari pengganti ibunya. "Aku malah telah berbuat lebih
jauh. Meminta ayah untuk mencari pengganti Ibu. Sampai di mana sebenarnya
cintaku pada Ibu? Mungkin cintaku terlalu besar kepada ayah, yang membuatku
melupakan Ibu" (hlm. 34).

Bagi Hezan, dalam perkembangannya kemudian, persoalannya bukan lagi


pada kekhawatirannya mengkhianati cinta kepada istrinya, melainkan
kemunafikannya sendiri. Pada mulanya Hezan beranggapan bahwa tak ada artinya
perkawinannya nanti jika hanya karena hendak menghindari dosa. Karena
39

bagaimanapun juga, perkawinannya itu mesti dilandasi oleh perasaan cinta.


Padahal cintanya sudah tumpah pada Laura. "Yang jelas aku tidak akan bisa
menganggap istri baru seperti Laura. Cintaku kepada Laura tidak akan dapat
kualihkan kepadanya. Lalu, apa artinya perkawinan tanpa cinta?" (hlm. 49). Itulah
yang membuat Hezan lebih suka melakukan hubungan gelap—tanpa nikah—
daripada harus kawin, yang berarti mengalihkan cintanya dari Laura kepada
wanita yang dinikahinya.

Belakangan, munculnya Nuning, sosok wanita yang sedikit banyak


mengingatkannya kepada Laura, mulai mencairkan sikap Hezan dalam hal
keengganannya untuk menikah lagi. la mulai merasakan sesuatu yang lain, dan ia
merasa cintanya tumbuh kembali. "Cinta kita adalah cinta tua.... Aku akan
melupakan semua perasaan yang terpendam ini. Kalau kau memang telah
ditakdirkan untuk menjadi milikku, kau tidak akan pernah bisa dirampas oleh
siapa saja" (hlm. 121). Nuning pula yang kemudian ia tetapkan sebagai calon
istrinya yang baru. Sementara Prapti sendiri telah menemukan sosok ibunya pada
diri Nuning Maka, tidak ada alasan baginya untuk menolak Nuning sebagai ibu
tirinya. Apalagi, perempuan yang sudah mulai berumur itu pur. merasakan hal
yang sama: "Datanglah, datanglah sekali lagi. Aku akan membukakan pintu ini
lebar-lebar untukmu" (hlm, 123).

***

N ovel ini sebenarnya lebih banyak mengungkapkan konflik batin seorang


ayah yang merasa kesepian setelah istri tercintanya meriinggal dunia.
Bertahun-tahun ia menduda, hanya karena ingin mcncurahkan perhatian dan kasih
sayang kepada putri tunggalnya. Namun, di balik itu semua, sesungguhnya ia
telah membangun topeng kemunafikan. Di luar, duda itu mencari kchangatan
kepada perempuan lain, tanpa diketahui sedikit pun oleh putrinya. Jadi, seputar
itulah persoalan yang dikembangkan dalam novel ini.

Yang menarik dalam novel ini adalah adanya usaha pengarang untuk
mengangkat konflik psikologis yang terjadi pada diri para tokohnya. Pertentangan
40

batin pada diri sang ayah atau anak (Prapti) cukup menarik karena persoalannya
memang tidaklah sesederhana yang diduga.

Novel ini meraih Hadiah Perangsang Kreasi Sayembara Mengarang


Roman Devvan Kesenian Jakarta pada tahun 1978.

Daftar Pustaka

Mahayana M.S, Sofyan O., Dian A. (2000). Ringkasan dan Ulasan Novel
Indonesia Modern. Jakarta : PT Gramedia.

You might also like