You are on page 1of 35

BAB II

GURU DAN TUNTUTAN KOMPETENSI PROFESI

Kemerosotan pendidikan bukan diakibatkan oleh kurikulum


tetapi oleh kurangnya kemampuan profesionalisme guru
menggunakan kurikulum tersebut dalam kegiatan belajar mengajar
dan keengganan siswa belajar sungguh-sungguh karena berbagai
alasan salah satu alasannya pendekatan guru dalam memberikan
pelajaran cenderung tidak menarik. Tentu saja ada guru yang betul-
betul menguasai materi pelajaran dan menggunakan pendekatan yang
menarik dan komunikatif, tetapi jumlah mereka tidak banyak.
Kemampuan dan kualitas guru melaksanakan tugas sebagai pendidik
selalu disebut menjadi guru yang profesional atau tidak profesional.
Profesionalisme menekankan kepada penguasaan ilmu pengetahuan
khususnya materi pelajaran yang menjadi tanggungjawabnya,
kemudian kemampuan manajemen pembelajaran beserta strategi
penerapannya.

Profesionalisme bukan sekadar pengetahuan teknologi dan


manajemen tetapi harus didukung sikap responsif mampu
menyelesaikan masalah-masalah pembelajaran. Pengembangan
profesionalisme guru tentu harus lebih baik dan ideal dibanding
seorang teknisi. Guru bukan hanya memiliki keterampilan yang tinggi
dalam hal pengajaran tetapi memiliki suatu tingkah laku pedagogik
yang dipersyaratkan. GURU akan diposisikan sebagai suatu profesi,
harkat dan martabatnya sebagaimana halnya akuntan, dokter dan
pengacara. Tujuan dijadikannya guru sebagai suatu profesi adalah
sebagai bagian dari peningkatan kualitas sumberdaya manusia pada
jalur pendidikan.

Kebijakan merubah kedudukan guru hanya sekedar sebagai


pegawai menjadi seorang yang diakui menjadi pemangku jabatan

31
profesional diharapkan bakal mengangkat harkat dan wibawa guru
menjadi guru yang sejati. Peningkatan kualitas guru dengan lebih dulu
memperbaiki kualifikasinya berpendidikan S1 atau DIV merupakan
langkah-langkah strategis meningkatkan status guru menjadi
pemangku jabatan profesional. Secara konkret, program yang akan
dilaksanakan untuk mengukuhkan status profesional berbentuk
sertifikasi guru. Mereka yang direkrut menjadi guru dan yang sudah
menjadi guru secara perlahan harus memenuhi proses sertifikasi
hingga akhirnya layak untuk diberi sertifikat profesi, berhak
memangku jabatan profesi guru dan memiliki kemampuan sebagai
guru khususnya pada pendidikan dasar dan menengah.

Kompetensi Guru

Apakah yang dimaksud dengan kompetensi itu? Badan Standar


Nasional Pendidikan (BSNP) mengembangkan standar kompetensi guru
dan dosen, karena badan inilah yang memiliki kewenangan untuk
mengembangkan standar kompetensi guru dan dosen yang hasilnya
ditetapkan dengan Peraturan Menteri. Namun demikian dapat
dicermati pendapat Johnson (1974) yang mengatakan kompetensi
merupakan perilaku rasional guna mencapai tujuan yang
dipersyaratkan sesuai dengan kondisi yang diharapkan (Sanjaya,
2006:17). Menurut UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen
Pasal 1, Ayat 10, disebutkan ”Kompetensi adalah seperangkat
pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati,
dan dikuasai oleh guru atau dosen dalam melaksanakan tugas
keprofesionalan”. Kompetensi merupakan peleburan dari pengetahuan
(daya pikir), sikap (daya kalbu), dan keterampilan (daya pisik) yang
diwujudkan dalam bentuk perbuatan.

Usman (2004) membedakan kompetensi guru menjadi dua,


yaitu kompetensi pribadi dan kompetensi profesional. Kemampuan

32
pribadi meliputi (1) kemampuan mengembangkan kepribadian, (2)
kemampuan berinteraksi dan berkomunikasi, (3) kemampuan
melaksanakan bimbingan dan penyuluhan. Sedangkan kompetensi
profesional meliputi: (1) penguasaan terhadap landasan kependidikan,
dalam kompetensi ini termasuk (a) memahami tujuan pendidikan, (b)
mengetahui fungsi sekilah di masyarakat, (c) mengenal rinsip-prinsip
psikologi pendidikan; (2) menguasai bahan pengajaran, artinya guru
harus memahami dengan baik materi pelajaran yang ajarkan.
Penguasaan terhadap materi pokok yang ada pada kurikulum maupun
bahan pengayaan; (3) kemampuan menyusun program pengajaran,
mencakup kemampuan menetapkan kopetensi belajar,
mengembangkan bahan pelajaran dan mengembangkan strategi
pembelajaran; dan (4) kemampuan menyusun perangkat penilaian
hasil belajar dan proses pembelajaran. Kompetensi guru, menurut
Sanjaya (2006:17) bukan hanya kompetensi pribadi dan kompetensi
profesional, tetapi terdapat sejumlah kompetensi yang dimiliki oleh
seorang guru meliputi kompetensi pribadi, profesional, dan sosial
kemasyarakatan. Sedangkan menurut, PP No. 19 Tahun 2005 Pasal 28,
Ayat 3 dan UU No. 14 Tahun 2005 Pasal 10, Ayat 1, menyatakan
”Kompetensi pendidik sebagai agen pembelajaran pada jenjang
pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan anak usia dini
meliputi: (a) kompetensi pedagogik, (b) kompetensi kepribadian, (c)
kompetensi profesional, dan (d) kompetensi sosial.

Pengkategorian keempat kompetensi tersebut menurut


Selamet, PH (2006) telah mengundang kritik dari publik karena
keempatnya belum menampakkan sosok utuh kompetensi guru yang
profesional, lebih-lebih istilah kompetensi profesional. Guru profesional
bukanlah hanya untuk satu kompetensi saja yaitu kompetensi
profesional, tetapi guru profesional semestinya meliputi semua
kompetensi. Terlepas setuju atau tidak setuju terhadap ke empat

33
kompetensi guru tersebut, toh secara resmi mereka telah menjadi
legislasi dan regulasi yang harus ditaati, kecuali ada pihak yang
mengusulkan diadakannya yudicial review terhadap ke empat
kompetensi guru tersebut (adakah pihak yang dirugikan?). Sementara
itu, kompetensi dosen sama sekali tidak ditulis pada UU 14/2005 dan
PP 19/2005 tersebut. Ke empat kategori kompetensi tersebut masih
dapat dipakai dengan modifikasi istilah dan isinya.
Istilah kompetensi profesional menurut Slamet PH (2006)
diganti dengan kompetensi bidang studi (subject matter competency).
Istilah kompetensi kepribadian diganti dengan istilah kompetensi etika
profesi. Catatan: secara kolaboratif Direktorat Pengembangan Profesi
Guru/Pendidik pada Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan
Tenaga Kependidikan bersama Direktorat Ketenagaan pada Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi menyusun penjabaran ke empat (4)
kompetensi guru tersebut menjadi sub-sub kompetensi, indikator
esensial, dan deskriptornya untuk kepentingan penyusunan instrumen
sertifikasi guru, yang tentu saja dapat menyesuaikan diri dengan
rumusan standar kompetensi yang dikembangkan BSNP. Kompetensi
guru dan dosen berbeda. Kompetensi guru terfokus pada kemampuan
mendidik. Sementara itu, kompetensi dosen mencakup kemampuan
mendidik, meneliti, dan mengabdi pada masyarakat.
Kompetensi dan sub-kompetensi untuk guru dan dosen
berdasarkan pemikiran Slamet PH (2006) dikembangkan sebagai
berikut. Pertama, Kompetensi Bidang Studi terdiri dari Sub-
Kompetensi (1) memahami matapelajaran yang telah dipersiapkan
untuk mengajar; (2) memahami standar kompetensi dan standar isi
mata pelajaran yang tertera dalam Peraturan Menteri serta bahan ajar
yang ada dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP); (3)
memahami struktur, konsep, dan metode keilmuan yang menaungi
materi ajar; (4) memahami hubungan konsep antar matapelajaran
terkait; dan (5) menerapkan konsep-konsep keilmuan dalam kehidupan

34
sehari-hari. Kedua, Kompetensi Pedagogik terdiri dari Sub-Kompetensi
(1) berkontribusi dalam pengembangan KTSP yang terkait dengan
matapelajaran yang diajarkan; (2) mengembangkan silabus
matapelajaran berdasarkan standar kompetensi (SK) dan kompetensi
dasar (KD); (3) merencanakan rencana pelaksanaan pembelajaran
(RPP) berdasarkan silabus yang telah dikembangkan; (4) merancang
manajemen pembelajaran dan manajemen kelas; (5) melaksanakan
pembelajaran yang pro-perubahan (aktif, kreatif, inovatif,
eksperimentatif, efektif dan menyenangkan); (6) menilai hasil belajar
siswa secara otentik; (7) membimbing peserta didik dalam berbagai
aspek, misalnya: pelajaran, kepribadian, bakat, minat, dan karir; dan
(8) mengembangkan profesionalisme diri sebagai guru. Ketiga,
Kompetensi Etika Profesi terdiri dari Sub-Kompetensi (1) memahami,
menghayati, dan melaksanakan kode etik guru Indonesia; (2)
memberikan layanan pendidikan dengan sepenuh hati, profesional,
dan ekspektasi yang tinggi terhadap peserta didiknya; (3) menghargai
perbedaan latarbelakang peserta didiknya dan berkomitmen tinggi
untuk meningkatkan prestasi belajarnya; (4) menunjukkan dan
mempromosikan nilai-nilai, norma-norma, sikap, dan perilaku positif
yang mereka harapkan dari peserta didiknya; (5) memberikan
kontribusi terhadap pengembangan sekolah umumnya dan
pembelajaran khususnya; (6) menjadikan dirinya sebagai bagian
integral dari sekolah; (7) bertanggung jawab terhadap prestasinya; (8)
melaksanakan tugasnya dalam koridor peraturan perundang-undangan
yang berlaku dan dalam koridor tata pemerintahan yang baik (good
governance); (9) mengembangkan profesionalisme diri melalui
evaluasi diri, refleksi, dan pemutakhiran berbagai hal yang terkait
dengan tugasnya; dan (10) Memahami, menghayati, dan
melaksanakan landasan- landasan pendidikan: yuridis, filosofis, dan
ilmiah. Keempat, Kompetensi Sosial terdiri dari Sub-Kompetensi (1)
memahami dan menghargai perbedaan (respek) serta memiliki

35
kemampuan mengelola konflik dan benturan; (2) melaksanakan
kerjasama secara harmonis dengan kawan sejawat, kepala sekolah
dan wakil kepala sekolah, dan pihak-pihak terkait lainnya; (3)
membangun kerja tim (teamwork) yang kompak, cerdas, dinamis, dan
lincah; (4) melaksanakan komunikasi (oral, tertulis, tergambar) secara
efektif dan menyenangkan dengan seluruh warga sekolah, orangtua
peserta didik, dengan kesadaran sepenuhnya bahwa masing-masing
memiliki peran dan tanggung jawab terhadap kemajuan pembelajaran;
(5) memiliki kemampuan memahami dan menginternalisasikan
perubahan lingkungan yang berpengaruh terhadap tugasnya; (6)
memiliki kemampuan mendudukkan dirinya dalam sistem nilai yang
berlaku di masyarakat sekitarnya; dan (7) melaksanakan prinsip-
prinsip tata kelola yang baik (misalnya: partisipasi, transparansi,
akuntabilitas, penegakaan hukum, dan profesionalisme). Keempat
kompetensi tersebut tidak menekankan pada penguasaan materi
pelajaran, karena jika seorang guru telah berpendidikan S1 atau D –IV
tentu saja secara teoritik guru tersebut telah menguasai materi
pelajaran sesuai bidang studi yang menjadi tanggung jawabnya
Sedangkan kompetensi dan sub-kompetensi dosen dapat
dikembangkan sebagai berikut. Pertama, Kompetensi Bidang Studi
terdiri dari Sub-Kompetensi (1) memahami mata kuliah yang telah
dipersiapkan untuk mengajar; (2) memahami kompetensi, kurikulum,
dan materi pokok yang dikuliahkan di perguruan tingginya; (3)
memahami struktur, konsep, dan metode keilmuan yang menaungi
materi kuliah; (4) memahami hubungan konsep antar mata kuliah
terkait; (5) menerapkan konsep-konsep keilmuan dalam kehidupan
sehari-hari; dan (6) mengembangkan bidang studi yang ditekuni.
Kedua, Kompetensi Pedagogik terdiri dari Sub-Kompetensi (1)
berkontribusi dalam pengembangan kurikulum yang terkait dengan
mata kuliah yang diajarkan; (2) mengembangkan silabus mata kuliah
berdasarkan kompetensi yang telah dikembangkan; (3) merencanakan

36
rencana pelaksanaan kuliah berdasarkan silabus yang telah
dikembangkan; (4) merancang manajemen perkuliahan, manajemen
kelas dan laboratorium; (5) melaksanakan perkuliahan yang pro-
perubahan (aktif, kreatif, inovatif, eksperimentatif, efektif, menyenang-
kan, dan yang mendorong keingintahuan); (6) menilai hasil belajar
mahasiswa secara otentik; (7) membimbing mahasiswa dalam
berbagai aspek, misalnya: pendidikan, kepribadian, bakat, minat, dan
karir; (8) menulis buku teks yang sinergis secara tekstual, aktual, dan
faktual; (9) mengembangkan profesionalisme diri sebagai dosen; dan
(10) mengembangkan e-learning sebagai salah satu metode
pembelajaran. Ketiga, Kompetensi Etika Profesi terdiri dari Sub-
Kompetensi (1) memahami, menghayati, dan melaksanakan kode etik
dosen Indonesia (belum dibuat); (2) memberikan layanan pendidikan
dengan sepenuh hati, profesional, dan ekspektasi yang tinggi terhadap
mahasiswa; (3) menghargai perbedaan latarbelakang mahasiswa dan
berkomitmen tinggi untuk meningkatkan prestasi belajarnya; (4)
menunjukkan dan mempromosikan nilai-nilai, norma-norma, sikap, dan
perilaku positif yang mereka harapkan dari mahasiswanya; (5)
memberikan kontribusi terhadap pengembangan jurusan/program
studi umumnya dan perkuliahan khususnya; (6) menjadikan dirinya
sebagai bagian integral dari perguruan tingginya; (7) bertanggung
jawab terhadap prestasinya; (8) melaksanakan tugasnya dalam koridor
peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dalam koridor tata
pemerintahan yang baik (good governance); (9) mengembangkan
profesionalisme diri melalui evaluasi diri, refleksi, dan pemutakhiran
berbagai hal yang terkait dengan tugasnya; dan (10) memahami,
menghayati, dan melaksanakan landasan- landasan pendidikan:
yuridis, filosofis, dan ilmiah. Keempat, Kompetensi Sosial terdiri dari
Sub-Kompetensi (1) memahami dan menghargai perbedaan (respek)
serta memiliki kemampuan mengelola konflik dan benturan; (2)
melaksanakan kerjasama secara harmonis dengan sesama dosen,

37
ketua jurusan, dekan, rektor/ketua, dan pihak-pihak terkait lainnya; (3)
membangun kerja tim (teamwork) yang kompak, cerdas, dinamis, dan
lincah; (4) melaksanakan komunikasi (oral, tertulis, tergambar) secara
efektif dan menyenangkan dengan: warga jurusan, fakultas, dan
universitas; mahasiswa; orangtua mahasiswa; dan dengan kesadaran
sepenuhnya bahwa masing-masing memiliki peran dan tanggung
jawab terhadap kemajuan perkuliahan; (5) memiliki kemampuan
memahami dan menginter- nalisasikan perubahan lingkungan yang
berpengaruh terhadap tugasnya (ipteks, legislasi dan regulasi,
globalisasi, dan sebagainya); (6) memiliki kemampuan mendudukkan
dirinya dalam sistem nilai yang berlaku di masyarakat sekitarnya; dan
7) melaksanakan prinsip-prinsip tata kelola yang baik (misalnya:
partisipasi, transparansi, akuntabilitas, penegakaan hukum, dan
profesionalisme). Kelima, Kompetensi Penelitian terdiri dari Sub-
Kompetensi (1) memahami filsafat ilmu di bidang studiya; (2)
menguasai teori-teori (klasik dan mutakhir) bidang ilmu yang ditekuni;
(3) memahami pendekatan pengembangan ilmu yang ditekuni; (4)
memahami paradigma-paradigma dan pendekatan- pendekatan
penelitian di bidang ilmunya; (5) memahami metodologi-metodologi
penelitian di bidang ilmunya; (6) memahami metode-metode penelitian
di bidang ilmu yang ditekuni; (7) memahami alat analisis data, baik
secara kuantitatif (statistika) maupun kualitatif; (8) memahami hal-hal
aktual dan faktual di bidang ilmu yang ditekuni; (9) mempublikasikan
temuan-temuan penelitian ilmiah/artikel ilmiah pada jurnal-jurnal
tingkat lokal, nasional, dan internasional; (10) menghadiri seminar-
seminar atau pertemuan-pertemuan ilmiah lainnya dalam rangka
memutakhirkan bidang ilmu yang ditekuni; (11) selalu
mengembangkan dirinya dalam filsafat ilmu, teori-teori, paradigma
penelitian, pendekatan penelitian, metodologi penelitian, metode
penelitian, dan teknik-teknik analisis data secara kuantitatif (statistika)
dan kualitatif; (12) memahami permasalahan yang dihadapi oleh ilmu,

38
negara, dan masyarakat dalam lingkup bidang ilmu yang ditekuni; (13)
menggunakan ICT mutakhir dan canggih untuk mendukung
pengembangan ilmunya; (14) selalu bergesekan dengan nilai-nilai
progresif di bidang ilmunya melalui berbagai cara (membaca,
mengakses internet, sesrawung dengan para ilmuwan (scientists &
scholars), cendekiawan, dan teknokrat; (15) rajin melakukan penelitian
untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi oleh: ilmu
pengetahuan yang ditekuni, negara, dan masyarakat; (16) terbuka
terhadap kritik, masukan dan saran perbaikan terhadap hasil-hasil
karyanya; dan (17) membudayakan penelitian di kampusnya. Keenam,
Kompetensi pengabdian pada masyarakat terdiri dari Sub-Kompetensi
(1) memahami permasalahan yang sebenarnya dan menawarkan
solusi yang tepat untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi
oleh masyarakat; (2) menjalin kemitraan secara sinergis dengan
masyarakat dalam rangka saling memajukan dan mengembangkan;
(3) menjalin kerjasama dengan pemerintah daerah dalam rangka
untuk memajukan daerahnya; (4) menyebarluaskan ilmunya kepada
masyarakat dalam rangka ikut mencerdaskan bangsa; (5)
memfasilitasi pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah dalam
rangka menggulirkan desentralisasi dan otonomi daerah di bidang
keahliannya; (6) melakukan advokasi terhadap masyarakat tentang
pentingnya perbaikan kehidupan dan upaya-upaya yang perlu
ditempuh, sesuai dengan bidang keahlian yang ditekuni; (7)
melakukan survei masyarakat yang hasilnya dapat digunakan sebagai
bahan pertimbangan dalam menyusun program pengabdian pada
masyarakat; (8) kerjasama dengan Departemen Tenaga Kerja dan
Transmigrasi dalam rangka untuk mengurangi pengangguran; (9)
melaksanakan berbagai promosi perguruan tingginya melalui
pameran, brosur, siaran televisi, siaran radio, open house, presentasi,
news releases, seminar, dan cara-cara lain yang efektif dalam rangka
mengenalkan program-program yang ditawarkan oleh perguruan

39
tingginya; (10) kerjasama dengan pemerintah daerah dalam rangka
untuk memajukan daerahnya; (11) menyelenggarakan praktek
pengalaman lapangan yang mampu memperbaiki kondisi/situasi dan
praktek-praktek yang telah berlangsung selama ini; dan (12)
memberikan layanan terbuka kepada masyarakat melalui konsultasi
kepada dosen-dosen terkait dengan permasalahan yang dihadapi.
Memang hal yang harus diperhatikan secara sungguh-sungguh
menurut Qomari dan Sagala (2004:110) adalah bagaimana
memberikan prioritas yang tinggi kepada guru sehingga mereka dapat
memperoleh kesempatan untuk selalu meningkatkan kemampuannya
yang berkaitan dengan tugas meningkatkan kemampuan
melaksanakan tugas sebagai guru. Guru juga harus diberikan
kepercayaan, disamping untuk melaksanakan tugasnya sebagai guru,
yakni melakukan proses belajar mengajar yang baik, kepada mereka
juga perlu diberikan dorongan dan suasana yang kondusif untuk
menemukan berbagai alternatif metode dan cara mengembangkan
proses pembelajaran yang sesuai dengan kemampuan guru dan
perkembangan jaman. Agar dapat meningkatkan kemampuan dan
keterlibatannya dalam melaksanakan tugas sebagai guru, maka guru
harus mengikuti program sertifikasi agar guru dan dosen memahami,
menguasai, dan terampil menggunakan sumber-sumber belajar baru
dan menguasai kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian,
kompetensi profesional, dan kompetensi sosial sebagai bagian dari
kemampuan profesional guru.
Beberapa hal pokok dijadikan pertimbangan sertifikasi dan
profesionalisme guru dan dosen yaitu (1) kompetensi guru terfokus
pada kemampuan mendidik yaitu Kompetensi bidang studi,
Kompetensi pedagogik, Kompetensi etika Profesi, dan kompetensi
social; (2) kompetensi dosen mencakup kemampuan mendidik,
meneliti dan kemampuan mengabdi kepada masyarakat, Kompetensi
bidang studi, kompetensi pedagogik, kompetensi etika profesi,

40
kompetensi social, kompetensi penelitian, dan kompetensi pengabdian
kepada masyarakat; (3) kompetensi dan profesionalisme guru belum
sepenuhnya dipahami dan diyakini oleh guru dan dosen sebagai
bagian dari upaya peningkatan mutu pendidikan dalam arti luas; (4)
profesionalisme guru dan dosen dirancang dalam skema optimalisasi
pemberdayaan guru dan dosen; (5) kompetensi dan profesionalisme
guru dan dosen mutlak diperlukan dalam rangka meningkatkan
kualitas anak bangsa; (6) sikap profesionalisme guru adalah respons
guru terhadap dimensi-dimensi profesionalisme guru yang
memerlukan keahlian, kemahiran, kecakapan serta memenuhi standar
mutu atau anorma tertetu; (7) program pendidikan profesi diakhiri
dengan uji sertifikasi pendidik; (8) uji sertifikasi pendidikan dilakukan
melalui ujian tertulis dan ujian kinerja sesuai dengan standar
kompetensi; dan (9) sertifikasi pendidik bagi calon gru dipenuhi
sebelum yang bersangkutan diangkat menjadi guru.
Proporsi antara pengetahuan, sikap, dan keterampilan sangat
tergantung pada jenis pekerjaan. Misalnya, pekerjaan pertukangan
kayu memerlukan porsi keterampilan pisik lebih besar dari pada
pengetahuan dan sikap, pekerjaan kedokteran bedah memerlukan
porsi pengetahuan, keterampilan dan sikap secara seimbang, dan
pekerjaan sosial memerlukan porsi sikap lebih besar dari pada
pengetahuan dan keterampilan. Dengan demikian, istilah kompetensi
sangat kontekstual dan tidak universal untuk semua jenis pekerjaan.
Setiap jenis pekerjaan memerlukan porsi yang berbeda-beda antara
pengetahuan, sikap, dan keterampilannya.
Pekerjaan-pekerjaan berkerah putih, pengetahuan lebih besar
porsinya dari pada sikap dan keterampilan, dan pekerjaan berkerah
biru memerlukan porsi keterampilan pisik lebih besar dari pada
pengetahuan dan sikap. Kemampuan dasar meliputi daya pikir, daya
kalbu, dan daya raga yang diperlukan oleh peserta didik untuk terjun
di masyarakat dan untuk mengembangkan dirinya. Daya pikir terdiri

41
dari daya pikir analitis, deduktif, induktif, ilmiah, kritis, kreatif,
eksploratif, diskoveri, nalar, lateral, dan berpikir sistem (berpikir sistem
paling sulit dan jarang diajarkan; berpikir sistem adalah berpikir
membangun keberadaan hal menurut kriteria sistem dimana sistem
mempunyai ciri utuh dan benar menurut hukum-hukum ketetapan
Nya).
Daya kalbu terdiri dari daya spiritual, emosional, moral, rasa
kasih sayang, kesopanan, toleransi, kejujuran dan kebersihan, disiplin
diri, harga diri, tanggung jawab, keberanian moral, kerajian, komitmen,
estetika, dan etika. Daya raga meliputi kesehatan, kestaminaan,
ketahanan, dan keterampilan (olah raga, kejuruan, dan kesenian, baik
seni suara, seni rupa, maupun seni kriya). Sedangkan kemampuan
fungsional antara lain meliputi kemampuan memanfaatkan ilmu
pengetahuan dan teknologi serta seni dalam kehidupan, kemampuan
mengelola sumberdaya (sumberdaya manusia dan sumberdaya
selebihnya yaitu uang, bahan, alat, bekal, dsb.), kemampuan
bekerjasama, kemampuan mamanfaatkan informasi, kemampuan
menggunakan sistem dalam kehidupan, kemampuan manajerial dan
kepemimpinan, kemampuan berwirausaha, kemampuan kejuruan,
kemampuan menjaga harmoni dengan lingkungan, kemampuan
mengembangkan karir, dan kemampuan menyatukan bangsa
berdasarkan Pancasila.
Pemerintah harus berjalan bersama dalam mengaplikasi
kompetensi guru tersebut. Berangkat dari keyakinan adanya
perubahan peningkatan status guru dan apresiasi lingkungan yang
tinggi, tentunya kompetensi merupakan langkah kedua yang perlu
dicapai. Kompetensi intelektual yang merupakan berbagai perangkat
pengetahuan dalam diri individu yang diperlukan untuk menunjang
berbagai aspek unjukkerja sebagai guru profesional, dapat digali
dengan program peningkatan kualitas diri dari pemerintah. Sedangkan
kompetensi fisik dan individu, berkaitan erat dengan perangkat

42
perilaku yang berhubungan dengan kemampuan individu dalam
mewujudkan dirinya sebagai pribadi yang mandiri untuk melakukan
transformasi diri, identitas diri dan pemahaman diri.
Pada kompetensi sosial, masyarakat adalah perangkat perilaku
yang merupakan dasar bagi pemahaman diri dengan bagian yang
tidak terpisahkan dari lingkungan sosial serta tercapainya interaksi
sosial secara objektif dan efisien. Ini merupakan penghargaan guru di
masyarakat, sehingga mereka mendapatkan kepuasan diri dan
mengasilkan kerja yang nyata dan efisien, terutama dalam pendidikan
nasional. Kompetensi sosial mencakup perangkat perilaku yang
menyangkut: Kemampuan interaktif yaitu kemampuan yang
menunjang efektivitas interaksi dengan orang lain seperti
keterampilan ekspresi diri, berbicara efektif, memahami pengaruh
orang lain terhadap diri sendiri, menafsirkan motif orang lain,
mencapai rasa aman bersama orang lain; Keterampilan memecahkan
masalah kehidupan seperti mengatur waktu, uang, kehidupan
berkeluarga, memahami nilai kehidupan dan sebagainya. Sedangkan
kompetensi spiritual yaitu pemahaman, penghayatan dan pengamalan
kaidah agama dalam berbagai aspek kehidupan.
Pengembangan Standar Kompetensi Guru dan Dosen

Pengembangan standar kompetensi ditujukan untuk menjamin


mutu guru dan dosen sehingga pelayanan pendidikan dapat
ditingkatkan kualitasnya, yang pada gilirannya mutu pendidikan dapat
ditingkatkan. Standar kompetensi guru dan dosen dapat digunakan
sebagai kriteria untuk seleksi dan rekrutmen, penempatan,
pengembangan, penilaian, dan penentuan kesejahteraan. Standar
kompetensi guru dan dosen dikembangkan secara terencana, terarah,
dan berkelanjutan sesuai tuntutan perubahan, baik lokal, nasional,
regional, maupun internasional. Selain itu, standar kompetensi guru
dan dosen digunakan sebagai acuan untuk penyusunan kurikulum,

43
pedoman penyelenggaraan proses belajar mengajar, dan penilaian
pendidikan guru dan dosen, baik untuk pendidikan prajabatan maupun
pendidikan dalam jabatan.
Standar kompetensi guru dan dosen juga berfungsi sebagai
dasar dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan guru dan
dosen dalam rangka mewujudkan pendidikan nasional yang bermutu
tinggi. Komponen standar kompetensi guru terdiri dari kemampuan
dalam pengelolaan pembelajaran yaitu (1) menyusun silabus
pembelajaran; (2) menyusun rencana pembelajaran; (3) pelaksanaan
intraksi belajar mengajar; (4) penilaian prestasi belajar peserta didik;
(5) pelaksanaan tindak lanjut hasil penilaian prestasi belajar; dan (5)
pelaksanaan bimbingan belajar peserta didik.
Setelah menyusun silabus pembelajaran dan dilanjutkan dengan
rencana pembelajaran guru harus mampu (1) mendeskripsikan tujuan
dan indikator pembelajaran; (2) memilih/menentukan materi; (3)
menentukan metode/strategi pembelajaran; (4) memilih media
pembelajaran; (5) menentukan teknik penilaian; dan (6)
mengalokasikan waktu. Dalam hal pelaksanaan intraksi B-M guru
mampu (1) membuka pelajaran; (2) menggunakan metode /strategi;
(3) menggunakan alat praga/media; (4) menggunakan bahasa yang
komonukatif. Guru harus mampu memotivasi siswa dengan cara (1)
mengorganisasikan kegiatan; (2) berinteraksi dengan siswa secara
komunikatif; (3) menyimpulkan pembelajaran; (4) memberikan umpan
balik pelaksanaan penilaian; dan (5) menggunakan waktu. Bagaimana
penilaian prestasi belajar siswa, tentu saja guru harus mampu (1)
memiliki soal dengan tingkat pembeda; (2) memperbaiki soal yang
tidak valid; (3) memeriksa jawaban; (4) mengklasifikasikan hasil-hasil
ujian; (5) menyusun laporan hasil penilaian; (6) membuat interpretasi
antar soal berdasarkan hasil penilaian; (7) menentukan korelasi antar
soal berdasarkan hasil penilaian; (8) mengidentifikasi tingkat variasi

44
hasil penilaian; dan (9) kesimpulan dan hasil penilaian secara jelas dan
logis.
Dalam hal pelaksanaan tindak lanjut hasil penilaian prestasi
belajar, maka guru harus mampu (1) mengklasifikasikan kemampuan
peserta didik; (2) mengidentifikasi kebutuhan perbaikan dan
pengayaan; dan (3) mengevaluasi hasil perbaikan dan pengayaan.
Untuk pelaksanaan bimbingan belajar guru mampu (1) menyusun
program bimbingan, melaksanakan bimbingan, mengevaluasi program
bimbingan, dan menganalisis hasil evaluasi program bimbingan yang
menjadi tanggung jawabnya; (2) melaksanakan tindak lanjut program
bimbingan; (3) menunjukkan kecerdasan dalam berpikir dan bertindak;
(4) menunjukkan sikap disiplin; (5) meningkatkan kreativitas; (6)
memiliki sikap bertanggung jawab dalam melaksanakan tugas; (7)
menujukkan sikap mampu mengendalikan diri (emosi); (8)
menampilkan prilaku tidak cepat putus asa; (9) memiliki motivasi
untuk berprestasi; (14) menunjukkan sikap suka membantu; (10)
memahami perbedaan individu; (11) melakukan komunikasi yang baik
di lingkungan tempat tugasnya; (12) menguasai kelas; (13) menerima
pendapat orang lain; dan (14) menampilkan prilaku mau bekerja sama.
Indikator pengembangan diri bagi guru antara lain (1) mengikuti
perkembangan IPTEKS yang mendukung potensi melalui berbagai
kegiatan ilmiah; (2) menterjemahkan buku pelajaran/karya ilmiah; (3)
mengembangkan berbagai model pembelajaran; (4) menulis makalah,
menyusun/menulis diktat pelajaran, menulis modul pelajaran, dan
menulis kerya ilmiah populer; (5) melakukan penelitian ilmiah (action
research); (6) menemukan teknologi tepat guna; (7) membuat alat
peraga/Media dan menicptakan karya seni; (8) mengikuti pelatihan
berakreditasi; (9) mengikuti pendidikan kualifikasi; dan (10) mengikuti
kegiatan pengembangan kurikulum.
Pengembangan profesi guru memiliki indikator khusus yaitu (1)
mampu menghasilkan siswa berprestasi dan berkualitas; (2) mampu

45
menghasilkan tamatan dengan kualitas pemahaman IPTEKS yang
sesuai dengan perkembangan siswa; (3) mampu menghasilkan siswa
yang berbudi pekerti baik; dan (4) mampu membangun beerbagai
keunggulan kelas/sekolah. Selama ini dipahami ada 10 kemampuan
dasar guru (1) mengembangkan kepribadian; (2) menguasai landasan
kependidikan; (3) menguasai bahan pengajaran; (4) menyusun
program pengajaran; (5) melaksanakan program pengajaran; (6)
menilai hasil dan proses belajar mengajar yang telah dilaksanakan; (7)
menyelenggarakan program bimbingan; (8) menyelenggarakan
administrasi sekolah; (9) berintraksi dengan teman sejawat dan
masyarkat; dan (10) menyelenggarakan penelitian sederhana untuk
kepentingan pengfajaran.

Suatu kompetensi ditunjukkan oleh penampilan atau unjuk kerja


yang dapat dipertanggungjawabkan (rasional) dalam upaya mencapai
tujuan. Pekerjaan sebagai guru akan memerlukan jenis kompetensi
yang berkaitan dengan tugas dan tanggung jawab sebagai guru.
Misalnya, jenis pekerjaan kedokteran memerlukan kompetensi yang
berbeda dengan jenis pekerjaan pendidikan, jenis pekerjaan bisnis,
dan jenis pekerjaan pertanian. Guru yang memiliki kompetensi
profesional akan dapat menyelenggarakan proses pembelajaran dan
penilaian yang menyenangkan bagi siswa dan guru, sehingga dapat
mendorong tumbuhnya kreativitas belajar pada diri siswa. Guru yang
profesional mampu berinteraksi (berkomunikasi) secara efisien dan
efektif; menjalin kerja sama dengan instansi lain yang terkait dengan
pembelajaran yang akan diberikan (dalam praktek).

Dalam melaksanakan kegiatan belajar dan mengajar guru yang


profesional mampu mengembangkan media pembelajaran, memilih
dan menggunakan sumber belajar, memanfaatkan sarana dan
lingkungan belajar, mengatur program pembelajaran dan jadwal

46
akademik, memilih dan menetapkan materi kontekstual dengan
kebutuhan lapangan kerja, menerapkan strategi pembelajaran yang
lebih menekankan pada kebermaknaan hasil belajar, mengelola kelas
(classroom management), melaksanakan praktek dengan
menghubungkan dan menyesuaikan dengan tuntutan kebutuhan
lapangan kerja, mengembangkan alat dan melaksanakan evaluasi hasil
belajar secara menyeluruh (mencakup aspek kognitif, afektif,
psychomotorik serta intelektual skill), memahami karakteristik siswa,
memberi layanan bimbingan kepada siswa.

Dalam mengembangkan kemampuan profesional, guru dapat


membagi perhatian terhadap proses dan hasil belajar secara
profesional, membaca hasil penelitian dan publikasi lain yang
bermanfaat bagi pengembangan diri dan profesinya, melakukan
penelitian sederhana (action research), serta memiliki wawasan global.
Dengan demikian, guru yang kompeten adalah guru yang memiliki
pengetahuan yang cukup khususnya berkaitan dengan mata pelajaran
yang menjadi tanggung jawabnya, sikap yang jujur dan sudah menjadi
kebiasaannya untuk bekerja keras, dan keterampilan menyampaikan
materi pelajaran dengan menggunakan metode dan media pendidikan
yang tepat untuk melakukan/mengerjakan kegiatan pembelajaran.
Kemampuan guru yang demikian ini memberi gambarn bahwa tidak
semua orang bisa jadi guru, dan jabatan guru bukan lagi alternatif bagi
para sarjana non guru yang tidak dapat pekerjaan.

Guru Profesional Menerapkan Model Pembelajaran Aktif Kreatif


Efektif dan Menyenangkan (PAKEM)

Model dan proses pembelajaran menurut Sagala (2006:174)


akan menjelaskan makna kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh
pendidik selama pembelajaran belangsung. Setiap pengajar atau
pendidik akan alasan-alasan menagapa ia melakukan kegiatan dalam

47
pembelajaran dengan menentukan sikap tertentu. Rooijakkers
(2003:13) mengemukakan bilamana pengajar tidak mengetahui apa
yang sebenarnya yang terjadi dalam pikiran peserta didiknya untuk
mengerti sesuatu, kiranya diapun tidak akan dapat memberi dorongan
yang tepat kepada mereka yang sedang belajar. Para murid akan
mudah melupakan pelajaran yang diterimanya, jika pengajar tidak
memberi penjelasan yang benar dan menyenangkan (Sagala,
2006:174).
Dalam pikiran murid tidak terjadi gerak proses belajar, kalau hal
baru dalam materi pelajaran itu disajikan secara tidak jelas. Sejalan
dengan hal itu Rooijakkers (2003:15) menjelaskan bahwa keberhasilan
seorang pengajar akan terjamin, jika pengajar itu dapat mengajak
para muridnya mengerti suatu masalah melalui semua tahap proses
belajar, karena dengan cara begitu murid akan memahami hal yang
diajarkan. Dengan begitu dalam proses pembelajaran pengajar harus
dapat menggunakan model-model dan pendekatan mengajar yang
dapat menjamin pembelajaran berhasil sesuai yang direncanakan.
Model mengajar dan proses belajar dalam pembelajaran merupakan
masalah yang kompleks, karena itu bagi para guru dan tenaga
kependidikan lainnya perlu memperkaya pemahamannya yang
berkaitan dengan model mengajar. Model mengajar menurut Sagala
(2006:175) difahami sebagai kerangka konseptual yang
mendeskripsikan dan melukiskan prosedur sistematik dalam
mengorganisasikan pengalaman belajar dan pembelajaran untuk
mencapai tujuan belajar tertentu, dan berfungsi sebagai pedoman bagi
perencanaan pengajaran bagi para guru dalam melaksanakan aktivitas
pembelajaran.
Pembelajaran adalah proses interaksi antara siswa dengan
lingkungannya yang dibangun interaksi secara penuh dengan
memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada siswa untuk
berinteraksi dalam proses pembelajaran. Sedangkan belajar

48
merupakan komponen ilmu pendidikan yang berkenaan dengan tujuan
dan bahan acuan interaksi, baik yang bersifat eksplisit maupun implisit
(tersembunyi). Teori-teori yang dikembangkan dalam komponen ini
menurut Sagala (2006:11) meliputi antara lain teori tentang tujuan
pendidikan, organisasi kurikulum, isi kurikulum, dan modul-modul
pengembangan kurikulum. Kegiatan atau tingkah laku belajar terdiri
dari kegiatan psikhis dan fisis yang saling bekerjasama secara terpadu
dan komprehensif integral.
Sejalan dengan itu, belajar dapat difahami sebagai berusaha
atau berlatih supaya mendapat suatu kepandaian. Dalam
implementasinya, belajar adalah kegiatan individu memperoleh
pengetahuan, perilaku dan keterampilan dengan cara mengolah bahan
belajar. Para ahli psikologi dan guru-guru pada umumnya memandang
belajar sebagai kelakuan yang berubah, pandangan ini memisahkan
pengertian yang tegas antara pengertian proses belajar dengan
kegiatan yang seamata-mata bersifat hafalan. Belajar merupakan
kegiatan aktif siswa dalam membangun makna atau pemahaman
terhadap suatu konsep, sehingga dalam proses pembelajaran siswa
merupakan sentral kegiatan, pelaku utama dan guru hanya
menciptakan suasana yang dapat mendorong timbulnya motivasi
belajar pada siswa. Belajar merupakan tindakan dan perilaku siswa
yang kompleks, sebagai tindakan belajar hanya dialami oleh siswa
sendiri dan belajar adalah sebagai suatu proses dimana suatu
organisma berubah perilakunya sebagai akibat dari pengalaman.
Jika guru dalam pembelajaran menggunakan pendekatan PAKEM
(1) siswa menjadi aktif dan kreatif; (2) guru sebagai fasilitator; (3)
penerapan azas fleksibilitas; (4) persiapan guru matang; (5) multi
interaksi; (6) latihan dan tugas lebih intensif; (7) sumber belajar
bermacam-macam; dan (8) sudah memenfaatkan alat bantu. Untuk
menerapkan model PAKEM guru yang memenuhi persyaratan adalah
(1) guru sebagai fasilitator, pembimbing, konsultan dan kawan belajar;

49
(2) belajar di arahkan oleh siswa dan belajar secara terbuka, ketat
dengan waktu yang terbatas fleksibel sesuai keperluan; (3)
berdasarkan proyek dan masalah; (4) dunia nyata, dan refleksi prinsip
dan survei; (5) perancangan, penyelidikan, penemuan dan penciptaan
hasilnya terbuka; (6) colaboratif dan berfokus pada masyarakat; (7)
keanekaragaman yang kreatif; (8) menggunakan komputer dan
interaksi multi media pembelajaran yang dinamis sebagai peralatan
semua jenis belajar; (9) komunikasi tidak terbatas ke seluruh dunia;
dan (16) memanfaatkan pakar, penasehat, kawan sebaya dan diri
sendiri untuk menilai unjuk kerja.
Implementasi PAKEM dalam peraktek pembelajaran sangat
penting untuk sekolah adalah informasi, khusus contoh-contoh
perkembangan yang langsung dari lapangan. Sekolah-sekolah yang
sudah mengimplementasikan PAKEM tentu sekolah yang
menggunakan manajemen model MBS (berdasar potensi sekolah)
menyediakan informasi mengenai perkembangan sekolah. Guru yang
profesional pada dasarnya ditentukan oleh attitudenya yang berarti
pada tataran kematangan yang mempersyaratkan willingness dan
ability, baik secara intelektual maupun pada kondisi yang prima.
Profesionalisasi harus dipandang sebagai proses yang terus menerus.
Guru dan siswa perlu bekal yang cukup untuk memenuhi
kebutuhan manusia modern mandiri, bekerjasama, berpikir kritis,
memecahkan masalah, persaingan internasional (Globalisasi), belajar
lebih efektif/pendalaman, siswa lebih kritis, siswa menjadi lebih kreatif,
suasana dan pengalaman belajar bervariasi, meningkatkan
kematangan emosional/sosial, produktivitas siswa tinggi, dan siap
menghadapi perubahan dan berpartisipasi dalam proses perubahan.
Dalam proses pengajaran, intinya adalah belajar para siswa, kadar
tingginya kegiatan belajar banyak dipengaruhi oleh pendekatan dan
model belajar mengajar yang digunakan guru apakah sudah PAKEM
atau belum.

50
Guru Profesional Mengembangkan Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP)

Kurikulum tidak hanya sekedar mempelajari mata pelajaran,


tetapi lebih mengembangkan pikiran, menambah wawasan, serta
mengembangkan pengetahuan yang dimilikinya. Ia lebih
mempersiapkan peserta didik atau subjek belajar yang baik dalam
memecahkan masalah individualnya maupun masalah yang dihadapi
oleh lingkungannya. Karena itu kurikulum diberi konotasi sebagai
usaha sekolah untuk mempengaruhi anak agar mereka dapat belajar
dengan baik didalam kelas, di halaman sekolah, di luar lingkungan
sekolah atau semua kegiatan untuk mempengaruhi subjek belajar
sehingga menjadi pribadi yang diharapkan. Proses pengembangan
kurikuklum ialah kebutuhan untuk menspesifikasi peranan-peranan
lulusan yang harus dilaksanakan dalam bidang pekerjaan tertentu.
Pada dasarnya kurikulum dirancang dengan maksud mengembangkan
siswa agar mampu melaksanakan peranan-peranan itu. Setelah
diadakan spesifikasi peranan yang meletakkan batas-batas di sekitar
keseluruhan domain dalam kurikulum tertentu, yang memungkinkan
dilakukannya identifikasi tugas-tugas spesifik dalam lingkup peranan
tersebut (Sagala, 2006:232).

Oleh karena itu sekolah sebagai ujung tombak pelaksanaan


kurikulum dituntut dapat menjalin hubungan dengan lembaga lain
yang terkait baik lembaga pemerintah maupun swasta. Misalnya untuk
pembekalan kecakapan vokasional sekolah perlu kerja sama dengan
perusahaan, dunia industri atau lembaga pendidikan dan latihan. Pada
prinsipnya pengelolaan kurikulum pada sekolah yang menggunakan
model manajemen berbasis sekolah membagi peran dan tanggung
jawab masing-masing pelaksana pendidikan di lapangan (dinas
pendidikan, pengawas sekolah, kepala sekolah, guru, dan masyarakat)

51
yang terkait dengan pelaksanaan kurikulum, pembiayaan dan
pengembangan silabus.
Sebelum implementasi kebijakan desentralisasi pemerintahan,
beberapa sekolah di Indonesia sudah melaksanakan model Manajemen
Berbasis Sekolah (MBS) secara mandiri dan mereka mampu mengatasi
banyak masalah-masalah yang berkaitan dengan pengembangan
sekolah secara internal. Sebagian sekolah dapat disebut sebagai
pelopor, dan perkembangannya sebenarnya cukup mengesankan.
Sebagian kepala sekolah juga termasuk berani kalau kita melihat
keadaan lingkungan dan paradigma sistem manajemen pendidikan
dan birokrasi urusan pendidikan saat itu. Sagala (2006:17)
mengatakan bahwa kemampuan dan ketekunan guru dalam
memecahkan masalah belajar siswanya dengan menggunakan
langkah-langkah yang tertuang dalam rencana pembelajaran, amat
penting sebagai upaya yang dapat membantu memecahkan masalah
belajar peserta didiknya.
Inovasi-inovasi pembelajaran kreatif dapat diterapkan di kelas-
kelas oleh guru-guru melangkah menuju praktek-praktek peningkatan
kualitas. Namun masih lebih banyak kepala sekolah yang gamang
untuk menerapkan model MBS dan para gurunya melaksanakan tugas
pendidikan cenderung seperti yang sudah berlangsung selama ini yaitu
rutinitas belaka. Sekarang, di beberapa provinsi di Indonesia mulai
dapat dilihat kemampuan sebenarnya bagaimana sekolah-sekolah
tersebut mengimplementasikan model MBS karena dukungan yang
diberikan dari Pemerintah Daerah melalui Dinas Pendidikan masing-
masing amat bervariasi. Transformasi yang dilaksanakan beberapa
sekolah ada yang luar biasa dan ada yang biasa-biasa saja.
Proses penerapan model MBS tidak dapat disebut baru di
Indonesia, karena jika dilihat dari keterlibatan masyarakat
sesungguhnya sudah lama ada. Pelaksanaan manajemen
menggunakan model MBS pada sekolah-sekolah yang lebih progresif

52
sekarang dibuktikan dapat mengubah kebudayaan dan sistem supaya
pengembangannya manajemen sekolah menjadi lebih efektif dan
"sustainable". Bersamaan dalam pelaksanaan model MBS di sekolah
juga diterapkan model Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang
telah diversifikasi dari kurikulum sebelumnya. Hal ini sangat
dimungkinkan, artinya kurikulum dapat diperluas, diperdalam, dan
disesuaikan dengan keragaman kondisi dan kebutuhan baik yang
menyangkut kemampuan atau potensi siswa dan lingkungannya.
Diversifikasi kurikulum diterapkan dalam upaya untuk menampung
tingkat kecerdasan dan kecepatan siswa yang tidak sama. Oleh sebab
itu akselerasi belajar dimungkinkan untuk diterapkan, begitu pula
remidial dan pengayaan. Kurikulum berbasis kompetensi (KBK)
menurut Sagala (2006:243) adalah kurikulum yang ditujukan untuk
menciptakan tamatan yang kompeten dan cerdas dalam membangun
identitas budaya dan bangsanya.
Semua hasil pendidikan merupakan pemilikan pengetahuan dan
konsep-konsep keilmuan, nilai, sikap, dan keterampilan yang
terintegrasi, yang dapat digunakan dalam kehidupan bermasyarakat.
Implementasi KBK menuntut kemampuan sekolah untuk
mengembangkan silabus sesuai dengan kondisi dan kebutuhannya,
dan penyusunannya dapat melibatkan instansi yang relevan di daerah
setempat, misalnya instansi pemerintah, swasta, perusahaan dan
perguruan tingggi. Pengelolaan Kurikulum Berbasis Kompetensi.
Rekonseptualisasi kurikulum nasional yang diwujudkan dalam
Kurikulum Berbasis Kompentensi memiliki empat fokus utama, yaitu
(1) kejelasan kompetensi dan hasil belajar; (2) penilian berbasis kelas;
(3) kegiatan belajar Mengajar; dan (4) pengelolaan kurikulum berbasis
sekolah.
Seiring dengan implementasi Kurikulum KBK pada pendidikan
dasar dan menengah, sedikit demi sedikit telah mengkikis keraguan
dan kebingungan guru dalam mengimplementasikan kurikulum. Pada

53
awal implementasi sebagian guru pesimis mampukah ia melaksanakan
tuntutan KBK? Atau beranggapan paling hasil belajarnya ya sama
dengan kurikulum terdahulu. Anggapan itu semakin hilang seiring
dengan bertambahnya wawasan dan pemahaman guru terhadap KBK
bagi guru yang sering diskusi dan mendapat kesempatan untuk
berbagai penataran, tetapi bagi guru yang sebaliknya tentu tetap saja
membingungkan. Pemilihan model pembelajaran yang tepat akan
sangat menentukan minat dan partisipasi siswa dalam pembelajaran.
Melalui model pembelajaran yang tepat diharapkan siswa tidak
hanya dapat pengetahuan, namun juga memiliki kesan yang
mendalam tentang materi pelajaran, sehingga dapat mendorong siswa
untuk mengimplementasikan konsep nilai-nilai ekonomi dalam
kehidupan sehari-sehari. Ada tiga tantangan besar yang dihadapi guru
dalam mengimplementasikan KBK, yaitu (1) tatangan bidang
pengelolaan kurikulum (guru sebagai administrator); (2) bidang
pelaksanaan pembelajaran; dan (3) penilaian. Implementasi KBK
berimplikasi pada munculnya serangkaian tuntutan yang harus
dipenuhi oleh guru dalam menjalan tugas keprofesionalannya yaitu
mampu menganalisis, menguasai dan menginplementasikan kurikulum
dalam bentuk teori dan praktek; menguasai materi bidang studi yang
diajarkan; membuat rencana pembelajaran, memilih dan
mengembangkan materi dengan memperluas dan memperdalam
dasar-dasar pengetahuan yang lebih kuat dan mendasar, memilih dan
menggunakan metode pembelajaran yang tepat. Pada bidang
pembelajaran diharapkan guru dapat menentukan model
pembelajaran yang tepat sehingga dapat menarik minat siswa
terhadap pelajaran. Melalui model yang tepat diharapkan siswa tidak
hanya dapat pengetahuan satu konsep pengetahuan saja.
Namun juga mampu memberikan kesan yang mendalam pada
siswa, sehingga dapat mendorong siswa untuk mengimplementasikan
konsep nilai-nilai ilmu pengetahuan yang dipelajarinya dalam

54
kehidupan sehari-sehari, karena materi pelajaran tersebut sangat
relevan dengan kehidupan masyarakat sehari-hari. Dalam
perkembangannya setelah diterbitkan PP No. 19 tahun 2005 maka
implementasi KBK yang sudah diterapkan sebelumnya harus
melakukan penyesuaian berkaitan dengan standar yang telah
ditetapkan. UUSPN No. 20 tahun 2003 pasal 35 menyatakan standar
nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi
lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan,
pembiayaan, dan penilaian pendidikan yang harus ditingkatkan secara
berencana dan berkala.
Dalam menghadapi tantangan dan perubahan khususnya
penyesuaian kurikulum model KBK menjadi KTSP akan sangat
tergantung pada profesionalisme guru. Perubahan mendasar adalah
yang tadinya kurikulum menjadi tanggung jawab pemerintah, sekarang
berubah menjadi tanggung jawab sekolah yang disebut Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) adalah pengayaan dari implementasi
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dalam pembelajaran, hal ini
menuntut adanya reorientasi pembelajaran. KTSP adalah kurikulum
operasional yang disusun, dikembangkan, dan dilaksanakan oleh
setiap satuan pendidikan yang sudah siap dan mampu
mengembangkannya. Sejalan dengan konsep KTSP tersebut UUSPN
No. 20 tahun 2003 Pasal 36 ayat (1) menyatakan pengembangan
kurikulum dilakukan dengan mengacu pada standar nasional
pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional dan ayat (2)
menyatakan Kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan
dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan
pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik.
Struktur KTSP pada jenjang pendidikan dasar dan menengah
tertuang dalam standar isi yang terdapat dalam PP No. 19 tahun 2005.
Adapun muatan KTSP meliputi sejumlah mata pelajarn yang cakupan
dan kedalamannya merupakan beban belajar bagi peserta didik pada

55
satuan pendidikan. Dalam hal ini guru perlu melakukan reorientasi
terhadap perubahan dan perkembangan kurikulum. Reorientasi tidak
hanya sebatas istilah “teaching” menjadi “learning” namun harus
sampai pada operasional pelaksanaan pembelajaran sebagai
implementasi dari KTSP. Penyusunan KTSP merupakan bagian dari
kegiatan perencanaan sekolah secara tim dan kelembagaan.
Kegiatannya dapat dalam bentuk rapat pleno sekolah yang dihadiri
secara penuh oleh dewan pendidik sebelum awal semester dimulai.
Jika diperlukan dapat mengundang ahli kurikulum baik yang
sumbernya dari perguruan tinggi, pengawas, atau sejawat guru.
Implementasi proses pembelajaran harus mengacu pada
beberapa prinsip, yaitu berpusat pada siswa, belajar dengan
melakukan, mengembangakan kemampuan sosial, mengembangkan
keingintahuan, imajinasi dan fitrah ber-Tuhan, mengembangkan
ketrampilan pemecahan masalah, mengembangkan kreativitas siswa,
mengembangkan kemampuan menggunakan ilmu dan teknologi,
menumbuhkah kesadaran sebagai warga negara yang baik, belajar
sepanjang hayat, dan perpaduan kompetisi, kerjasama dan solidaritas.
Dengan demikian KTSP harus dikembangkan dengan memperhatikan
standar kompetensi dan indikator kompetensi sebagai dasar membuat
penilaian penentuan kenaikan kelas dan kelulusan.
Dalam implementasi KTSP asumsi dasar belajar adalah belajar
sebagai proses individual, proses social, menyenangkan, tak pernah
berhenti, dan membangun makna (Constructivism). Konstruktivisme
pada dasarnya merupakan sebuah teori tentang bagaimana orang
belajar. Teori Constructivism memandang seseorang sebagai makhluk
yang aktif dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan melalui interaksi
dengan lingkungannya. Di dalam konteks pembelajaran, siswa
dipandang sebagai individu yang aktif membangun pemahamannya
sendiri dan pengetahuan dunia sekitarnyanya dengan mengalami
sendiri dan merefleksikan pengalaman tersebut.

56
Proses Constructivism ini dikenal dengan istilah Pembelajaran
Aktif Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan (PAKEM). Dalam
Konstruktivisme, guru berperan sebagai fasilitator dalam proses
pembelajaran. Ia sebaiknya mengetahui tingkat kesiapan anak untuk
menerima pelajaran, termasuk memilih metode dan teknik yang tepat
dan sesuai dengan tahap perkembangan anak. Dalam kaitannya
dengan pembelajaran mata pelajaran tertentu, guru seharusnya
mengetahui hakikat mata pelajaran itu sendiri, hakikat anak, dan cara
mengajarkan mata pelajaran tersebut menurut teori yang diterapkan.
Guru yang tidak mengetahui ketiga hal tersebut di atas bagaikan tidak
mempunyai dasar dan tujuan yang jelas dalam mengajar.
Pembelajaran model PAKEM mempunyai paradigma yaitu
mengajar – pembelajaran (Teaching – Learning), penilaian – perbaikan
terus menerus (Testing – Continuous improvement), perkembangan
IPTEK, POLITIK, SOSBUD. Perkembangan ilmu pengetahuan semakin
lama semakin cepat, dan teknologi Informasi/sumber belajar sangat
beragam. Guru harus dapat memahami konsep Konstruktivisme yang
diimplementasikan pada pembelajaran model PAKEM dalam kegiatan
pembelajaran dan pengajaran. Guru juga harus mampu menarik
hubungan antara Konstruktivisme dan Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP) dalam kegiatan pembelajaran dan pengajaran.
Memberikan contoh konkret pengajaran bidang studi yang
diajarnya dengan menggunakan teori Konstruktivisme. Beberapa ciri
terpenting dari KTSP adalah (1) menganut prinsip fleksibilitas. Setiap
sekolah diberi kebebasan menambah empat jam pelajaran tambahan
per minggu, yang bisa diisi dengan apa saja baik yang wajib atau
muatan lokal. Namun fleksibilitas ini mesti diimbangi dengan potensi
sekolah masing-masing serta pemenuhan standar isi seperti digariskan
Badan Standardisasi Nasional Pendidikan (BSNP); (2) KTSP
dikembangkan melalui beberapa hal, antara lain sesuai dengan potensi
satuan pendidikan, potensi daerah, kondisi sosial budaya masyarakat

57
setempat, dan peserta didik; (3) guru kreatif dan siswa aktif. Kurikulum
2004 menghendaki guru lebih kreatif, walaupun aktivitas sebagian
guru hanya sebatas mengajarkan apa yang sudah ditetapkan dalam
kurikulum. Guru harus bisa "meyakinkan" siswa untuk memberi
feedback dalam setiap pembelajaran. KTSP menggabungkan
keduanya; (4) KTSP dikembangkan dengan menganut prinsip
diversifikasi. Dalam kurikulum ini standar isi dan standar kompetensi
lulusan yang dibuat BSNP itu dijabarkan dengan memasukkan muatan
lokal, yakni lokal provinsi, lokal kabupaten/kota, dan lokal sekolah.
Dengan demikian, sekolah akan berperan sebagai makelar kearifan
lokal, melalui KTSP diharapkan adanya keseimbangan antara
kepentingan nasional dan kepentingan daerah; (5) KTSP sejalan
dengan konsep desentralisasi pendidikan dan manajemen berbasis
sekolah (school-based management); 6) KTSP tanggap terhadap
perkembangan iptek dan seni. Inilah tantangan abad sekarang ini.
Tanpa antisipasi cerdas terhadap perkara ini, kurikulum menjadi tidak
mampu mengahadapi teknologi yang serba canggih ini. KTSP harus
berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan dan kepentingan
peserta didik dan lingkungan, relevan dengan kebutuhan dan
kehidupan, menyeluruh dan berkesinambungan, dan mestinya sejalan
dengan prinsip belajar sepanjang hayat; dan (7) KTSP beragam dan
terpadu. Walaupun sekolah diberi otonomi dalam pengembangannya.
Ada anggapan bahwa apa pun kurikulumnya, selama guru,
sekolah, dan pengembang kurikulumnya berpikiran tradisional,
kurikulum itu tidak akan berdampak besar. Dalam kurikulum 2004 atau
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), siswa dituntut lebih kreatif.
Wajar jika mereka yang belum sempat melaksanakan KBK mendapat
kesulitan dalam melaksanakan KTSP. Kegagalan kurikulum selama ini
antara lain karena penyeragaman di seluruh Indonesia, padahal
masing-masing daerah berbeda potensinya, sehingga kurikulum

58
nasional tidak operasional. Komite sekolah kini harus 'turun gunung'
bersama guru dalam mengembangkan kurikulum.
Selama ini guru patuh pada petunjuk teknis dan petunjuk
pelaksanaan yang disiapkan oleh birokrat Depdiknas dan
melaksanakan tugas lebih pada rutinitas akademis. Peluang bagi
sekolah untuk mengurus sendiri tidak hanya melalui manajemen
sekolah menggunakan model MBS memang perlu waktu lama, karena
selama ini sekolah terbiasa diatur oleh pemerintah. Aliran
konstruktivisme (Constructivism) menawarkan solusi menjadikan
suasana belajar secara 'berani' dan mendobrak kejumudan kurikulum
melalui (1) kurikulum disajikan secara utuh, menekankan konsep
besar, lalu diikuti konsep-konsep kecil. Guru berpegang pada standar
kompetensi, dan tidak terjebak oleh hal-hal kecil, atau keterampilan-
keterampilan dasar, atau kompetensi dasar. Dalam konteks KTSP,
pemahaman guru akan standar kompetensi dan standar isi adalah
sebuah niscaya; (2) kegiatan kurikuler mengandalkan sumber-sumber
data primer dan juga materi-materi buatan yang bermakna. Alam
sekitar adalah data-data primer yang memiliki potensi untuk
dibermaknakan. Dengan begitu, buku teks tidak lagi menjadi sumber
utama sebagimana terbiasa pada kurikulum tradisional. KTSP tidak
mesyaratkan adanya buku teks baru, bukunya yang ada saja sudah
memadai; (3) siswa diperlakukan sebagai 'pemikir' muda yang belajar
merumuskan teorinya sendiri. Keberanian siswa untuk bertanya dan
berdebat adalah indikator keberhasilan belajar. Ini berbeda dengan
kelas tradisional yang cenderung menempatkan siswa sebagai 'botol
kosong' untuk diisi informasi oleh guru; (4) guru mengajar secara
interaktif dan komunikatif, yakni dengan kepandaian menerjemahkan
lingkungan sekitar sehingga dapat dipahami siswa. Ini berbeda dari
guru tradisional yang cenderung berlagak didaktik dalam
menyebarkan informasi kepada siswa. Kebiasaan guru mengejar target
kurikuler sesuai dengan GBPP tidak sejalan dengan prinsip konstruktif,

59
sebab sebuah informasi belum tentu materi ajar yang bermakna
(meaningful) dan terajarkan (teachable); (5) guru mencari tahu sudut
pandang siswa untuk memahami kadar pengetahuan siswa saat ini
untuk dijadikan pijakan bagi pelajaran yang akan datang. Ini berbeda
dari kelas tradisional, di mana guru mencari jawaban yang benar untuk
memvalidasi pembelajaran siswa; (6) siswa bekerja dalam kelompok.
Berbeda dari kelas-kelas tradisional di mana siswa belajar secara
mandiri. Justru dalam kelompoklah mereka bersosialisasi dan
berkolaborasi, sehingga secara kolektif memperoleh pencerahan lewat
social reconstructivism; dan (7) penilaian pembelajaran siswa
dilakukan secara terintegrasi dalam pengajaran dan dilakukan lewat
observasi guru terhadap proses belajar siswa dalam kelompoknya dan
dengan mencermati portofolio siswa. Mekanisme ini berbeda dengan
pendidikan tradisional yang memisahkan penilaian dari pembelajaran,
dan terlembaga secara formal lewat tes.

Penilaian Hasil Belajar

Penilaian hasil belajar idealnya dapat mengungkap semua


askpek domain pembelajaran, yaitu aspek kognitif, afektif dan
psikomotor. Sebab siswa yang memiliki kemampuan kognitif baik saat
diuji dengan paper-and-pencil test belum tentu ia dapat menerapkan
dengan baik pengetahuannya dalam mengatasi permasalahan
kehidupan (Green, 1975). Penilaian hasil belajar sangat terkait dengan
tujuan yang ingin dicapai dalam proses pembelajaran. Pada umumnya
tujuan pembelajaran mengikuti pengklasifikasian hasil belajar yang
dilakukan oleh Bloom (1956), yaitu cognitive, affective dan
psychomotor. Kognitif adalah ranah yang menekankan pada
pengembangan kemampuan dan ketrampilan intelektual. Affective
adalah ranah yang berkaitan dengan pengembangan pengembangan
perasaan, sikap nilai dan emosi. Sedangkan psychomotor adalah ranah

60
yang berkaitan dengan kegiatan-kegiatan atau ketrampilan motorik
(Degeng: 2001).

Namun ketiga domain pembelajaran itu memang tidak dapat


dipaksakan pada semua mata pelajaran dalam porsi yang sama. Untuk
matapelajaran ekonomi misalnya lebih menekankan pada aspek
kognigitive dan affecfetive dibandingkan dengan aspek psychomotor
yang lebih menekankan pada ketrampilan motorik. Fakta menunjukkan
bahwa penilaian hasil belajar lebih menitik beratkan pada aspek
cognitive saja. Terbukti dengan tes-tes yang diselenggarakan
disekolah baik lisan maupun tulis lebih banyak mengarah pada
pengungkapan kemapuan aspek cognitive. Laporan hasil belajar yang
disampaikan pada orang tua siswa (buku rapor) juga hanya
melaporkan kemampuan cognitive saja. Tuntutan pada KTSP itu
penilaian harus mengarah pada kompetensi siswa, sesuai dengan
kompensi tuntutan kurikulum. Seyogyanya tidak ada persoalan bagi
sekolah karena yang diujikan adalah kompetensi dasar.

Kompentensi yang dimaksud pada kurikulum adalah kemampuan


yang dapat dilakukan peeserta didik yang mencakup pengetahuan,
ketrampilan dan perilaku. Penilaian harus mengacu pada pencapaian
standar kompetensi sisiwa. Standar kompetensi adalah batas dan arah
kemamuan yang harus dan dapat dilakukan peserta didik setelah
mengikuti proses penbelajaran suatu mata pelajaran tenrtentu
(Marpadi: 2003). Sistem penilaian yang diharapkan diterapkan untuk
mengukur hasil belajar siswa menurut kurikum 2004 adalah sistem
penilaian yang berkelanjutan. Dimana untuk mengetahui seberapa
jauh peserta didik telah memiliki kompetensi dasar maka diperlukan
suatu sistem penilaian yang menyeluruh dengan mengunakan
indikator-indikator yang dikembangkan guru secara jelas.

61
Berkelanjutan berari semua indikator harus ditagih, kemudian
hasilnya dianalisis untuk menentukan kompetensi dasar yang telah
dimiliki dan yang belum, serta untuk mengetahui kesulitan peserta
didik. Untuk itu perlu dikembangkan berbagai teknik penilaian dan
ujian, seperti: pertanyaan lisan, kuis, ulangan harian, tugas rumah,
ulangan praktek, dan pengamatan (Marpadi: 2003). Pengembangan
sistem penilaian berbasis kompetensi mencakup beberapa hal, yaitu
(1) standar kompetensi, adalah kemampuan yang harus dimiliki oleh
lulusan dalam setiap mata pelajaran. Hal ini memiliki implikasi yang
sangat signifikan dalam perencanaan, metodelogi dan pengelolaan
penilaian; (2) kompetensi dasar, adalah kemampuan minimal dalam
rangka mata pelajaran yang harus dimiliki lulusan sekolah; (3) rencana
penilaian, jadwal kegiatan penilaian dalam satu semester
dikembangkan bersamaan dengan pengembangan silabus; (4) proses
penilaian, pemilihan dan pengembangan teknik penilaiain, sistem
pencatatan dan pengelolaan proses; dan (5) proses implementasi
menggunakan berbagai teknik penilaian.

Penilaian hasil belajar dalam KTSP dapat dilakukan dengan


penilaian kelas, tes kemampuan dasar, penilaian program, dan
penilaian lainnya yang relevan. Penilaian kelas dapat dilakukan dengan
ulangan harian, ulangan umum, dan ujian akhir baik untuk
kepentingan kenaikan kelas maupun kelulusan. Mekanisme
pelaksanaan ulangan harian tentu dilakukan setelah selesai proses
pembelajaran untuk mengetahui perolehan siswa terhadap kompetensi
dasar tertentu. Ulangan harian dilakukan minimal tiga kali dalam
setiap semester berdasarkan soal yang sudah dipersiapkan guru dalam
rencana pembelajaran, selanjutnya guru dapat memberikan tugas-
tugas terstruktur yang berkaitan dengan materi pelajaran yang sedang
dibahas.

62
Tujuan penilaian yang dilakukan guru di kelas dapat di arahkan
pada empat hal (1) keeping track, yaitu untuk menelusuri agar proses
pembelajaran anak didik tetap sesuai dengan rencana; (2) checking-
up, yaitu untuk mengecek adakah kelemahan-kelemahan yang dialami
anak didik dalam proses pembelajaran; (3) finding-out, yaitu untuk
mencari dan menemukan hal-hal yang menyebabkan terjadinya
kelemahan dan kesalahan dalam proses pembelajaran; dan (4)
summing-up, yaitu untuk menyimpulkan apakah anak didik telah
mencapai kompetensi yang ditetapkan atau belum. Agar tujuan
penilaian tersebut tercapai, guru harus menggunakan berbagai
metoda dan teknik penilaian yang beragam sesuai dengan tujuan
pembelajaran dan karakteristik pengalaman belajar yang dilaluinya.

Tujuan dan pengalaman belajar tertentu mungkin cukup efektif


dinilai melalui tes tertulis (paper-pencil test), sedangkan tujuan dan
pengalaman belajar yang lain (seperti bercakap dan praktikum IPA)
akan sangat efektif dinilai dengan tes praktek (performance
assessment). Demikian juga, metoda observasi sangat efektif
digunakan untuk menilai aktivitas pembelajaran siswa dalam
kelompok, dan skala sikap (rating scale) sangat cocok untuk menilai
aspek afektif, minat dan motivasi anak didik. Oleh sebab itu, guru
hendaknya memiliki pengetahuan dan kemahiran tentang berbagai
metoda dan teknik penilaian sehingga dapat memilih dan
melaksanakan dengan tepat metoda dan teknik yang dianggap paling
sesuai dengan tujuan dan proses pembelajaran, serta pengalaman
belajar yang telah ditetapkan.

Di samping itu, tujuan utama dari penilaian berbasis kelas yang


dilakukan oleh guru adalah untuk memantau kemajuan dan
pencapaian belajar siswa sesuai dengan matriks kompetensi belajar
yang telah ditetapkan, guru atau wali kelas. Dari hasil pantauan ini

63
diharapkan guru dapat mengembangkan sistem portofolio individu
siswa (student portfolio) berisi kumpulan yang sistematis tentang
kemajuan dan hasil belajar siswa. Portofolio siswa memberikan
gambaran secara menyeluruh tentang proses dan pencapaian belajar
siswa pada kurun waktu tertentu. Portofolio siswa dapat berupa
rekaman perkembangan belajar dan psikososial anak (developmental),
catatan prestasi khusus yang dicapai siswa (showcase), catatan
menyeluruh kegiatan belajar siswa dari awal sampai akhir
(comprehensive), atau kumpulan tentang kompetensi yang telah
dikuasai anak secara kumulatif.

Portofolio ini sangat berguna baik bagi sekolah maupun bagi


orang tua serta pihak-pihak lain yang memerlukan informasi secara
rinci tentang perkembangan belajar anak dan aspek psikososialnya
sehingga mereka dapat memberikan bimbingan. Hal ini sejalan dengan
pembelajaran konstruktivisme yaitu membangun ketersambungan
antara pelajaran sebelumnya dengan pelajaran selanjutnya. Penilaian
dan pembelajaran yang demikian ini hanya mungkin jika guru
mengetahui sudut pandang siswa. Bila siswa bekerja dalam kelompok-
kelompok kecil, guru dan pengembang kurikulum pun berkolaborasi
dengan para pemangku peran dalam merumuskan model penilaian
dan pembelajaran. Jadi, siswa, guru, bahkan manajemen sekolah
mengamalkan ajaran social reconstructivism.

Hasil akhir penilaian hasil belajar siswa adalah ujian nasional


(UN) atau apapun istilahnya yang ditentukan pemerintah. Dalam
semangat desentralisasi pendidikan, UN penting demi pemetaan
kemampuan, bukan hanya penentu kelulusan siswa. Dilihat dari hak
dan otonomi guru, seharusnya biarkan sekolah menentukan kriteria
kelulusan masing-masing siswanya, yakni dengan menggabungkan
hasil UN dengan ujian sekolah masing-masing. Perlu ditegaskan ada

64
sejumlah fungsi UN, antara lain (1) diagnosis, yakni untuk mengetahui
'penyakit' yang diderita anak didik untuk menentukan resep yang
paling mujarab; (2) diferensiasi, yakni membeda-bedakan kelompok
siswa demi penentuan kebijakan yang layak ditempuh, dan (3) uji
kompetensi, yakni untuk mengetahui sejauh mana materi ajar dikuasai
siswa. Fungsi pertama dan kedua selama ini belum betul-betul
dilaksanakan dalam penyelenggaraan UN, sehingga selama ini belum
jelas langkah korektif pemerintah sebagai respons terhadap hasil UN
yang sangat beragam pada kabupaten/kota ke kota, bahkan dari
sekolah ke sekolah. Setelah penerapan KTSP maka untuk keperluan
sertifikasi, kinerja, dan bobot hasil belajar yang dicantumkan dalam
ijazah tidaklah semata-mata atas dasar penilaian UN pada jenjang
akhir sekolah, tetapi harus mencantumkan informasi lainnya yang
menjadi bagian integral dari hasil belajar peserta didik.

65

You might also like