You are on page 1of 366

A.

KELOMPOK SEJARAH

HIKAYAT SYEKH JALALUDIN

PENGANTAR
Buku Hikayat Syekh Jalaluddin disalin kembali oleh J.J. de
Hollander tahun 1857 juga seperti aslinya, yakni berbahasa Melayu
campur Minangkabau lama bertulisan Arab-Melayu. Syekh ini dikenal
dengan nama lain, yaitu Pakiah Saghir.
Hikayat ini menceritakan hal ikhwal awal gerakan PADERI hingga
datang KOMPENI WOLANDA ke Tanah Darat (Minangkabau), di
mana Syekh pengarang buku ini berperan aktif.
Berlainan dengan buku-buku sejarah yang pernah diterbitkan,
buku ini menyebutkan bahwa HAJI MISKIN kembali dari Mekah
empat tahun setelah gerakan pembenahan agama Islam dimulai.
Banyak orang beranggapan awal gerakan Paderi itu mengamalkan
paham WAHABI yang dibawa oleh haji-haji yang baru pulang Tanah
Suci Mekah, namun Syekh Jalaluddin mengatakan gerakan tersebut
menganut AJARAN SYEKH ULAKAN (SYEKH BURHANUDDIN)
yang menimba ilmu agama dari SYEKH ABDURRAUF di Singkil
Aceh.
Juga diriwayatkan ekses-ekses yang terjadi, lahirnya apa yang
dinamakan golongan Hitam dan Putih serta perselisihan antara
Tuanku Nan Tuo dengan Tuanku Nan Salapan (Harimau Nan
Salapan) dsb.
Sebagaimana lajimnya buku-buku bertulisan Arab - Melayu jaman
dulu yang tidak bertitik-koma yang tak obahnya merupakan seuntai
kalimat yang maha panjang, maka dalam menyalin buku ini dilakukan
pembenahan, yakni dijadikan kalimat-kalimat pendek, sehingga
memudahkan para pembaca ataupun peminat. Pada halaman
belakang buku ini dicantumkan pula arti atau maksud kata-kata
Minangkabau lama yang terdapat dalam buku tersebut yang masa ini
sudah jarang terdengar dalam masyarakat.

HIKAYAT SYEKH JALALUDDIN


(PAKIAH SAGHIR)

'ALAMAT
SURAT KETERANGAN DARIPADA SAYA PAKIAH SAGHIR
'ALAMAT TUANKU SAMIAK SYEKH JALALUDDIN AHMAD
KOTO TUO JUA ADANYA.
WALLAHU AL HADI 'ILA SABIILIR RASYAD.
____________________________________
SYEKH JALALUDDIN AHMAD
(PAKIH SAGHIR)

WABIHI NASTA'INN BIINAYATILLAHI WA BISMI ZAATI


SUBHAANA WATA'ALA YAPTAHUL KALAAMU BIKALIMATIL
FASIHATI YASDHURU MIN PUADIZ ZAHIYATI WAWAJHUL
MILAIHATI YUZAYANU BISHSANIZ ZANIYATI KAMISLUL
LUK ALMAKNUNATI BIJAUHARATI YATIMATA.

Yaitu cerita yang dimulai dengan perkataan yang fasihat yang terbit dari
pada hati yang suci, lagi hening lagi jernih, dituliskan dengan faal yang khalis
daripada segala ihwal, dipesertakan dengan muka yang manis, lagi dihiasi
dengan sebaik-baik mukadimah serta baik nazam dan tertib seperti intan yang
ditatah dengan lembaganya, lagi diperselakan dengan seindah-indah jauhar dan
mutiara, dikeluarkan dengan perkataan yang tidak khazib dan khianat, hanya
semata-mata khilaf dan lupa dan perkataan yang sedikit-sedikit adanya.

BAHWA inilah cerita dari pada saya Pakiah Saghir alamiat 1 Tuanku samiang2
Syekh Jalaluddin Ahmad Koto Tuo adanya.
Akan hal cerita ini peri menyatakan asal kembang ilmu syariat dan hakikat
dan asal teguh larangan dan pegangan dan asal berdiri agama Allah dan agama
Rasul Allah, daripada awalnya lalu kepada akhirnya, lalu kepada perang hitam
dan putih hingga keluar Kompeni Wolanda ke Tanah Darat ini adanya.

MAKA adalah saya Pakiah Saghir mendengar cerita daripada saya punya
bapak, sebabnya saya mengambil pegangan ilmu hakikat karena cerita itu
adalah ia setengah daripada adab dan tertib warak 3 orang mengambil petuah jua
adanya. Yakni adalah seorang aulia Allah yang kutub lagi kasaf lagi mempunyai
keramat, yaitu orang Tanah Aceh Tuan Syekh Abdurrauf orang masyhurkan.
Telah ia mengambil ilmu daripada Tuan Syekh Abdulkadir al-Jailani. Itupun ia
mengambil tempat di negeri Medinah tempat berpindah Nabi kita Muhammad
Rasul Allah Salallahu 'alaihi Wassalam. Yaitu bimbing menghafazkan ilmu syariat
dan hakikat, ialah menjadi pintu ilmu sebelah pulau Aceh ini.
Maka telah disampaikan Allah maksudnya itu, maka disuruhlah oleh Tuan
Syekh Abdul Kadir al-Jailani mengembang ilmu itu ke negeri pulau Andalas bumi
Sumatera ini.
Maka digerakkan Allah, berlayarlah ia di kapal tempurung menjelang negeri Aceh
adanya. Maka kemudian dari itu turunlah ilmu tharikat ke negeri ULAKAN kepada
aulia Allah yang mempunyai keramat lagi mempunyai derajat yang a'ali, ialah
pergantungan ilmu tahkik4 ikutan dunia akhirat oleh segala makhluk yang
sebelah tanah ini.
Maka berpindahlah tharikat ke Paninjauan lalu kepada Tuanku Damansiang Nan
Tuo sekali-sekali, serta ia memakaikan tertib majelis lagi warak seperti Tuanku
Di Ulakan jua halnya.

Maka dimasyhurkan orang pula Tuanku Nan Tuo dalam nagari Kamang. Ia
telah menghafazkan ilmu alat5 dan Tuanku Di Lambah serta Tuanku Di Puar
yang mempunyai keramat yang beroleh limpah daripada Tuanku Di Paninjauan,
orang Ampek Angkek jua adanya.
Maka ada pula Tuanku Di Tampuang di tanah Rao datang di negeri Mekah
Medinah membawa ilmu mantik dan ma'ani. Maka berpindah pulalah ilmu itu
kepada aulia Allah yang kasaf lagi keramat alamait Tuanku Nan Kecil dalam
nagari Koto Gadang adanya.
Maka ada pula Tuanku Di Sumaniak datang di negeri Aceh menghafazkan hadis
dan tafsir dan ilmu faraid. Telah masyhur ia dalam Luhak Nan Tiga ini adanya.
Adapun asal ilmu saraf ialah Tuanku Di Talang dan asal ilmu nahu yang tiga itu
ialah Tuanku Di Salayo yang sangat alamat ahlu nahat yang ada keduanya
dalam nagari Kubuang Tiga Belas adanya.
Adapun saya Pakiah Saghir adalah saya bertemu dengan Tuanku
Damansiang Nan Tuo sekali-sekali dan Tuanku Nan Keramat dalam negari Koto
Gadang pada masa umur saya kecil dan Tuanku Di Sumaniak serta saya
mengambil ilmu pula adanya.
Pihak kepada Tuanku Nan Tuo dalam nagari Koto Tuo, ialah mengambil ilmu
daripada Tuanku Di Kamang dan Tuanku Di Sumaniak dan Tuanku Di Koto
Gadang dan Tuanku Damansiang Nan Tuo sekali dan Tuanku Di Paninjauan jua.
Maka berhimpunlah ilmu mantik dan ma'ani, hadis dan tafsir dan beberapa kitab
yang besar-besar dan sekalian yang menghasilkan ilmu syariat dan hakikat
kepada Syekh kita Tuanku Nan Tuo dalam nagari Koto Tuo semuanya.
Maka telah masyhurlah kabar tuanku ulama yang kasaf menghafazkan sekalian
kitab, menghimpunkan sekalian faedah ilmu syariat dan hakikat dan menyatakan
perbedaan antara kafir dan Islam. Maka sebab itu banyaklah orang yang rindu
dendam datang ke nagari Koto Tuo mengambil ilmu menghafazkan sekalian
kitab dan memintak fatwah keputusan ilmu syariat dan hakikat.

Maka ramailah tiap-tiap dusun dan purieh 6 dalam nagari Ampek Angkek dan
sukar menghinggakan riba dan lakas, luhuk dan lahak. Maka banyaklah orang
yang jadi ulama dan alim yang kasaf dalam Luhak Nan Tiga ini, lalu ke tanah
Rao dan tiap-tiap takluk rantau dan sekalian negeri dalam pulau Aceh ini
semuanya. Itulah asal kembang ilmu dalam tanah ini adanya.

Pihak kepada kelakuan orang Agam semuanya, ialah mengerjakan zalim


aniaya, menyamun dan menyakar, melakut dan melakus, maling dan mencuri,
menyabung dan berjudi, minum tuak dan minum kilang, memakan sekalian yang
haram, merebut dan merampas, tidak berbeda halal dan haram, larangan dan
pegangan dan mau berjual orang dan jikalau ibunya dan saudaranya sekalipun
dan banyaklah orang dagang dirampasnya dan dijualnya. Itupun Tuanku Nan
Tuo mendirikan larangan dan pegangan serta Tuanku-Tuanku yang lainnya.
Maka sebab banyak orang terjual dan dirampas orang serta lama zaman, maka
sangatlah lelah payah Tuanku-Tuanku memintak orang nan terjual dan orang
nan kanai7 rampas itu. Dan banyaklah silang selisih, gaduh-gaduh, kelahi dan
bantah dan berperang-perang, tetapi tidak mengalahkan nagari adanya.

Saya Pakiah Saghir seperti demikian pula, sebab ada juga saya menurut dari
pada saya punya bapak, lagi saya dijadikan kepala bermulut 8 oleh Tuanku-
Tuanku nan tuo, berperdakwakan orang nan ditangkap orang dan orang nan
dirampas. Di mana-mana larangan itu dibinasakan orang dan serta lama zaman
berapa-berapalah orang dagang dirampas orang dan ditangkap orang. Tidak
juga boleh hilang, melainkan kembali juga hanya dan berhutang juga orang nan
menangkap dan orang nan rampas itu. Atau dialahkan kampungnya atau
diperangi nagarinya. Maka sebab itu sangatlah takut orang menangkap orang
dagang dan orang menjelang dia dan jikalau kanak-kanak yang kecil dan
perempuan dan masuk nagari yang berlawan sekalipun, tidak juga boleh cela,
binasa adanya.

Maka sempurnalah teguh larangan pegangan orang dagang dan orang


memakaikan sembahyang dan jikalau fakir yang hina sekalipun dan sentosalah
ia pergi dan datang dan perjalanannya ke kiri dan ke kanan, ke mana ke mana ia
pergi dalam Luhak Nan Tiga ini dan sekalian takluk rantau, lalu ke tanah Rao
juga adanya. Itulah asalnya orang dagang dan orang memakaikan sembahyang,
larangan alim namanya. Maka terlebih sangatlah masyhur Tuanku Nan Tuo
ulama yang pengasih lagi penyayang tempat pernaungan segala anak dagang,
ikutan segala sidang, imam syariat ahlulsunnah dan ahlul jama'ah sulthan alam
aulia Allah a'alai al-darajah walratabah fi-aldarin.

Maka dalam masa itu jua adalah saya Pakiah Saghir berhimpun dengan
Tuanku Nan Renceh dalam mesjid Koto Hambalau di nagari Canduang Koto
Laweh jua adanya. Telah saya duduk bersenang-senang menghafazkan ilmu
fikih, itupun saya telah dimasyhurkan orang pandai mempahamkan ilmu fikih
pada masa saya muda umur sekali-sekali. Maka sebab itu banyaklah orang
berhimpun-himpun kepada tempat itu mengambil ilmu menghafazkan kitab fikih
itu, karena ilmu yang terlebih dikasihi pada masa itu ialah ilmu fikih. Maka sebab
beberapa kali tamat saya mengajarkan ilmu fikih itu, mengertilah saya apa-apa
perkataan yang nyabut dalam kitab itu, yakni ialah menyucikan segala anggota
dari pada najis dan lata dan memandikan sekalian badan dari pada segala hadas
dan wajib atas Islam mendirikan rukun yang lima itu, yaitu mengikrarkan kalimat
yang dua patah serta mentasdikkan dia dan mendirikan sembahyang yang lima
pada segala waktunya dan mendatangkan zakat kepada segala fakir dan miskin
dan puasa pada bulan Ramadhan dan naik haji atas kuasa. Dan menyatakan
berjual dan membeli dan yang harus dijual dan dibeli dan menyatakan sendiri
dan bersyarikat dan menyatakan sekalian akadnya, syahnya dan batalnya dan
menyatakan membahagikan harta kepada segala warisnya dan menyatakan
nikah dan idah serta segala akadnya dan wajib nafkah atas perempuan dan atas
segala karib dan menyatakan segala hukum sahnya dan batalnya dan
menghukum antara segala manusia dengan adil dan menyuruh mereka itu
dengan berbuat baik dan menegah dari pada berbuat jahat. Inilah setengah
kenyataan perkataan yang nyabut dalam ilmu fikih adanya.

Maka sebab itu jua digerakkan Allah terbitlah dalam pikir hati saya Pakiah
Saghir, yaitu hendak mendirikan agama Allah dan agama Rasul Allah dan
membaiki tertib dan warak dan membuangkan sekalian perbuatan yang jahat
dan perangai yang keji dan berbaiki tempat dan mesjid dan sekalian pekerjaan
yang dikafani syarak pula adanya. Maka setelah itu jua mufakatlah saya dengan
Tuanku Nan Renceh hendak mendirikan pekerjaan itu. Itupun Tuanku Nan
Renceh terlebih sangat berahi dan berapa-berapa kali mufakat, beria-beria jua
sambil duduk bersenang-senang menghafazkan ilmu pada masa itu. Ia lai 9
dimashurkan orang dengan Khatib jua baharu adanya.
Maka telah lama sedikit antaranya, maka Tuanku Nan Renceh kembali
pulang kenagarinya. Telah ia menegahkan orang mengambil tuak dan meminum
dia.
Telah ada pula seorang lagi Tuanku Menanti Malin gelarnya. Iapun suka lagi
kuat lagi berani sempurna pahlawan. Mendirikan pekerjaan itu ia bersama-sama,
menegahkan orang minum tuak dan menyuruhkan orang sembahyang. Maka
sebab itu terbitlah kelahi dan bantah, tetapi tidak dengan perang, hanya semata-
mata gaduh-gaduh saja baharu. Maka dimasyhurkan oranglah seorang Tuanku
Nan Gapuak dan seorang pula Tuanku Nan Renceh sebab kecil tubuhnya.
Itupun Tuanku Nan Renceh menghimpunkan tempat mesjidnya dan membaiki
tempat, supaya nak berahi hati mendirikan agama serta ia berkekalan
menyuruhkan orang sembahyang jua adanya.
Saya Pakiah Saghir pun seperti demikian pula. Adalah saya mendirikan
jemaah berempat orang. Seorang saya dan bapak saya, seorang pula orang
lainnya serta saya punya saudara, ialah nan dimasyhurkan orang Tuanku Di
Kubu Sanang. Pada masa itu ia lai bernama Khatib jua baharu. Maka
bersungguh-sungguhlah saya menyuruhkan orang sembahyang hingga sampai
berdiri jemaah dua belas orang. Dan menyuruhkan orang menunaikan zakat
serta membahagikan kepada segala fakir dan miskin. Pada masa dahulu ada
juga orang menunaikan zakat, tetapi sedikit tidak dibahagikan antara segala fakir
dan miskin, melainkan dihimpunkan saja supaya diambil faedah barang apa-apa
maksudnya. Dan menyuruhkan orang maulud akan Nabi Salallahu alaihi
Wassalam, serta membaiki tertibnya dan tertib orang memakaikan agama Islam.
Sebab banyak-banyak terbit hujah dan bahana daripada saya, banyaklah asung
fitnah dalam nagari dan banyak pulalah bantahan mereka itu. Maka jadilah saya
dibuangkan orang dan berapa-berapa kali diserangnya saya punya madrasah.
Dan karena sangat keras bantahan mereka itu, sangatlah dhahir benar
pekerjaan agama dan banyaklah orang memakaikan agama Islam. Dan
masyhurlah pekerjaan itu kepada tiap-tiap nagari serta ia mengambil dalil akan
hukumnya. Sungguhpun ada pekerjaan seperti demikian, semuanya Tuanku Nan
Tuo juga menjadi tiang sendi adanya.

Maka sekira-kira empat tahun lamanya mendirikan agama itu, digerakkan


Allah datanglah Tuanku Haji Miskin di negeri Mekah Medinah, kemudian
sempurna hajinya. Ia mendapat ke nagari Batu Tebal, sebab, ada masa dahulu
sebelum ia pergi haji, adalah ia diam pada nagari itu, karena ia mengambil ilmu
daripada saya punya bapak masa dahulunya. Maka daripada karena banyak
mendengar kabar daripada hal pekerjaan orang Mekah Medinah, bertambah-
tambahlah berahi hati mendirikan agama Allah dan agama Rasul Allah dan
bersungguh-sungguhlah orang mendirikan sembahyang, hingga sempurna
jemaah empat puluh orang.
Maka telah lama sedikit antaranya, pulanglah Tuanku Haji Miskin ke nagari
Pandai Sikek. Dan bersungguh-sungguhlah ia mendirikan agama serta ia
berbaiki tempat adanya. Maka terlebih sangat pulalah masyhur pekerjaan
Tuanku Haji Miskin dan banyaklah orang mendirikan agama pada barangmana
nagari adanya.
Maka daripada mula-mula pulang Tuanku Haji Miskin di negeri Mekah Medinah,
hingga orang ketambuhan banyak, habis sembilan tahun Kamariah lamanya.
Kemudian maka berpindahlah Tuanku Haji Miskin kepada Luhak Lima Puluh.
Telah ia mengambil tempat di dalam mesjid Sungai Landia namanya dalam
nagari Air Terbit jua adanya serta ia bersungguh-sungguh mendirikan agama
Allah dan agama Rasul Allah.
Maka lama sedikit antaranya banyaklah asung fitnah dalam nagari itu, karena
ia hendak membinasakan pekerjaan Tuanku Haji Miskin jua maksudnya. Maka
sebab itupun Tuanku Nan Tuo berjalan menjelang Tuanku Haji Miskin akan
menolong pekerjaannya itu, supaya nak keras agama Allah dan agama Rasul
Allah serta beberapa orang mengiringi, sekira-kira empat puluh orang
banyaknya.
Maka tempo Tuanku Nan Tuo datang hampir nagari Air Terbit itu, maka
ditegahkan oranglah Tuanku masuk ke dalam nagari itu, karena sangatlah
takutnya kepada Tuanku adanya. Dan adalah masa dahulu Tuanku Nan Tuo
mengalahkan nagari Taram namanya, sebab ada Tuanku-Tuanku dalam nagari
Taram itu menyalahi ilmu Tuanku Di Ulakan jua adanya. Itulah sebab sangat
takut orang Air Terbit dimasuki nagarinya. Itupun Tuanku Nan Tuo berkeliling ke
nagari Mungo Handalas namanya. Maka berhimpunlah kesana tiap-tiap nagari
dalam ranah Lima Puluh serta Tuanku di Luhak pula adanya, ialah menolong
pekerjaan Tuanku Nan Tuo, sebab ada ia mengambil ilmu masa
dahulunya. Maka tetaplah Tuanku pada nagari itu sekira-kira empat hari
lamanya. Dan banyaklah daya dan upaya menegahkan Tuanku masuk ke nagari
Air Terbit itu jua. Maka daripada menilik sangat sukar pekerjaan itu, terbitlah
dalam pikir hati saya Pakiah Saghir, maka kata saya:
"Oh Tuanku ampunlah saya di bawah tapak kaki Tuanku. Pihak kepada
pekerjaan kita ini sangatlah kerasnya, tidak sepatutnya orang punya bicara
seperti demikian. Pikir hati saya sekarang, seboleh-bolehnya hendaklah Tuanku
maafkan, biarlah saya punya bicara".
Itupun Tuanku memaafkan pula sekarang itu jua adanya. Maka kata saya Pakiah
Saghir memohonkan ampun serta saya berdiri mendatangkan sembah seperti
adat orang Melayu jua halnya, yakni:
"Ampunlah saya kepada Penghulu-Penghulu dan Tuanku-Tuanku Imam dan
Kahtib dan segala pileh Hulubalang dalam Luhak ranah Lima Puluh ini
semuanya. Adapun Tuanku datang sekarang ke nagari ini bukan berbuat hiru
hara kejahatan, melainkan menyuruhkan kamu berbuat baik dan menagahkan
kamu berbuat jahat dan berpedamaikan kamu daripada kelahi dan bantah dan
menyusun mufakat kamu orang Lima Puluh, supaya nak senang mereka itu
semuanya, itulah halnya. Maka bagaimanalah bicara kamu, tidak sepatutnya
pekerjaan kamu seperti ini rupanya. Adakah tidak tahu kamu akan bahwa
sesungguhnya Syekh kita ini Aulia Allah Sulthan Alim namanya. Dan tidak
pulakah tahu kamu akan besar keramatnya dan bekas kerajaannya".
Maka tidak suatu jua jawab daripada mereka itu semuanya, melainkan semata-
mata gaduh-gaduh daripada sangat takut dan gementar tulang, sebab nagari
akan binasa saja hal adanya. Hanya kata berkata sama sendirinya, yaitu kata
mereka itu:
"Sekarang kini jua sebab perkataan Pakiah Saghir ini, hampirlah binasa nagari
kita ini semuanya seperti nagari Taram masa dahulunya pula halnya".
Itulah sebabnya saya dinamai orang Pakiah Saghir pula adanya. Sekarang
itupun Tuanku berdiri hendak berjalan ke nagari Air Terbit. Sekalian mereka
itupun bergendang-gendang di kiri dan di kanan serta hiru-hiru hati mereka itu
semuanya.
Setelah disampaikan Allah Tuanku hampir nagari Air Terbit, itupun keluarlah
orang nagari Air Terbit itu semuanya serta ia membawa alat persembahan,
dalamnya itu beberapa hadiah dan sedekah.
Setelah sampai mereka itu di hadapan Tuanku, sekalian mereka itupun sujud
sembahnya, ialah menyusun jari nan sepuluh, menjunjung tapak kaki Tuanku
serta ia memohonkan ampun. Maka kata seorang yang arif bijaksana:
"Oh Tuanku, ampunlah kami di bawah tapak kaki duli hadirat Tuanku. Segala
salah beribu kali ampun, segala kafir beribu kali tobat, Tuanku jua mempunyai
maaf. Apa-apa Tuanku punya hukum, kami pun suka menurut. Tidak kami
mendalih mendarit lagi. Dan jikalau mengucap kalimat yang dua patah dan
memakaikan syariat Islam sekalipun telah kami sukakan jua semuanya".
Sekarang itupun Tuanku telah memaafkan serta ia memintakkan doa kepada
Allah dan kepada Rasul Allah, itulah halnya. Ketika itu jua Tuanku pun diangkat
orang, persilaan lalu berdiri hendak berjalan serta mereka itu semuanya lagi
bersuka-suka serta bersenang.
Pihak perjalanannya, maka setelah sampai Tuanku serta mereka itu masuk ke
dalam nagari Air Terbit dan tidak melihat mereka itu apa-apa pekerjaan hiru-hara
kejahatan. Suka-sukalah hati mereka itu semuanya dan kata berkata sama
sendiri mereka itu, yaitu sebaik-baiknyalah kita membayar kaul dan nazar,
meminta doa selamat kepada Tuhan Subhana Wata'ala, serta kita menerimakan
apa-apa Tuanku punya hukum adanya.
Maka sebab itu mufakatlah segala Penghulu-Penghulu dalam nagari itu, sekira-
kira sepuluh hari lamanya. Ialah hendak memotong kerbau serta ia serta ia
menghasilkan alat jambar hidangan dan menghasilkan hadiah nafkah akan alas
tobat dan menghiasi tempat dan mesjid, lebuh dan tepian dan tempat
permedanan pula adanya.
Maka setelah sudah mufakat mereka itu dan lah hasil pekerjaan mereka itu,
maka mereka itu memotong kerbau sembilan ekor banyaknya serta mereka itu
menghimpunkan orang ranah Lima Puluh barang sekira-kira patutnya. Pada hari
itu juga mereka itu minum dan makan serta mereka itu mengantarkan hadiah
dan nafkah akan alas tobat, ialah Tuanku mengajarkan kalimat yang dua patah.
Sekalian mereka itupun mengucap semuanya, yaitu kalimah Ashadu anla illaha
illaha wa ashadu anna Muhammad Rasullulah jua adanya.
Maka setelah sempurna minum makan mereka itu dan mengucap kalimat yang
dua patah serta mentasdikkan dia, lagi suka pula mereka itu menyempurnakan
sekalian rukun Islam yang lima itu semuanya.
Ketika itu jua musyawaratlah seorang yang cerdik cendekia yang lebih cati bilang
pandai, ialah Tuan Khatib Batuah orang Limbukan yang dimasyhurkan orang
pada masa itu Angku Besar adanya, yakni kesudah-sudahan musyawarat yang
dipersembahkannya itu. Adapun Penghulu yang berlima orang serta orang nan
lima suku dalam nagari Air Terbit ini dan serta orang nan lima buah nagari yang
ada dalam pelentah Penghulu nan berlima itu:
"Sekarang kini ialah kami hitam nan tidak bakuran lai, putih nan tidak bahatak lai.
Putih, putih, putih seputih-putihnya. Itulah asalnya dapat nama hitam dan putih,
tetapi tidak dihadapkan kepada siapa-siapa yang hitam dan siapa-siapa yang
putih, hanya semata-mata mengibaratkan daripada pihak sangat bersungguh-
sungguh menurut hukum Tuanku saja hanya”.
Kemudian daripada sempurna pekerjaan seperti demikian itu, pulanglah Tuanku
Nan Tuo ke nagari Ampek Angkek.
Dari pada hal keadaannya duduk bersenang-senang, tetapi pada masa yang
sedikit hal adanya, pihak kepada saya Pakiah Saghir daripada sangat rindu hati
kepada bertambah-tambah agama serta sangat suka sebab bertambah-tambah
kaum. Itupun terbitlah dalam pikir hati saya hendak menegahkan orang
menyabung dan minum tuak juga dan sekalian pekerjaan yang tidak dihalalkan
Allah dan Rasul Allah. Itupun banyaklah kelahi dan bantah daripada satu hari
kepada suatu hari, daripada satu bulan kepada suatu bulan, hingga panjanglah
zaman dan beredar-edarlah pekerjaan itu daripada suatu tempat kepada suatu
tempat, daripada suatu nagari kepada suatu nagari yang telah ada keliling
nagari Ampek Angkek jua adanya.

Kemudian lagi pula, maka diramaikan orang pula sabung di Balai Baharu
namanya dalam nagari Hampang Gadang jua adanya. Bukan ia semata-mata
mendirikan sabung, melainkan ia mengintai kelahi dan bantah jua nan terlebih
dimaksudnya. Setelah itu maka berhimpunlah Tuanku Nan Tuo serta Tuanku-
Tuanku yang lainnya yang ada dalam nagari Ampat Angkat jua. Maka
ditegahkanlah sabung itu dan sangatlah bantahan mereka itu dan menanglah
mereka itu berkelahi sebab beribu kali ganda banyaknya. Sekarang itu jua maka
diruntuhnyalah mesjid dalam nagari Batu Taba serta madrasah saya Pakiah
Saghir dan dirampasnya sekalian isinya daripada segala kitab dan yang lain-
lainnya dari pada beberapa harta.
Dan banyaklah hujah dan gunjing mereka itu dan kata sekalian munafik
mereka itu, yakni:
"Pakiah Saghir jua nan terlebih meari-ari musuh. Inilah kesudahan
pekerjaannya".
Itulah kebanyakan kata mereka itu. Barangkali ada mulut saya tekebur sedikit
atau hati saya, tetapi kepada Allah jua kembali pekerjaan. Dan kata setengah
mereka itu:
"Kembalilah kita daripada agama ini. Dan setengahnya pula, adapun sekalian
kita ini terlalu banyak luka dan patah. Inilah banyaknya lawan kita berkelahi,
tidak jenis akan terlawan oleh kita. Mesjid kita pun lah runtuh, kawan kita pun lah
banyak munafik, apalah akan daya kita. Terlebih baiklah kita diam-diam saja".
Maka berkata pula seorang yang pahlawan pada dunia ini:
"Sangatlah kita hina sepuluh kali gandahlah hina kita pada kampung akhirat.
Maka lebih baiklah kita menghasilkan sekalian alat senjata perang".
Maka terlebih sangatlah masgul Tuanku Di Kubu Sanang melihat huru-hara
pekerjaan seperti demikian. Dan lebih pula sangatlah malu daripada segala
manusia. Lagi pula malu akan segala makhluk menjadi kualat iman. Beribu kali
gandalah malu kepada Allah Ta'ala dan sangatlah sangka waham dari pada tidak
dapat apa-apa kesudah-sudahan pekerjaan ini.
Maka kata saya Pakiah Saghir:
"Oh Tuanku, adakah tidak tuan ketahui di dalam Quran, yakni tidak sentosa akan
daya Allah, melainkan siamana yang tidak iman akan Allah hanya. Dan
bagaimanalah tuan sangat masgul dari pada huru-hara dunia ini. Maka sabarlah
tuan dari pada apa-apa hukum Allah dan daripada huru-hara daya sekalian
manusia ini. Bahwa sungguhnya setengah dari pada tanda mukmin yang pilihan,
menahan cobaan jua hal adanya.
Pihak agama kita akan runtuh, janganlah tuan rusuhkan. Dan jikalau sebelum
datar sekalian bukit ini, Insya Allah Ta'ala belum dihabiskan Allah agama ini.
Biarlah saya bicarakan jua ke kiri dan ke kanan barang mana daya, saya
dayakan jua mesjid nan runtuh. Janganlah tuan hibakan nagari akan binasa.
Inilah tandanya. Insya Allah Ta'ala dengan perang juga kita sudahi nan
patutnya".
Setelah itupun saya bicarakan jua kepada barang siapa-siapa orang nan mau
memakai agama Allah dan agama Rasul Allah.

Maka telah lama antaranya, itupun Tuanku Nan Tuo memotong kerbau dan
jawi sekira-kira dua belas ekor banyaknya. Telah ia memanggil Tuanku-Tuanku
dan Penghulu-Penghulu yang kepala-kepala yang ada keliling nagari itu dari
pada ia membicarakan pekerjaan agama jua adanya.
Maka lama sedikit antaranya adalah orang mendirikan gelanggang dalam
nagari Bukik Batabuah namanya.
Pada masa itu Tuanku Nan Tuo menghimpunkan segala Tuanku-Tuanku dan
Penghulu-Penghulu, ialah hendak menegahkan gelanggang itu, tetapi dengan
bicara saja hanya. Maka ketika berhimpun-himpun Tuanku-Tuanku dan
Penghulu-Penghulu hendak mufakat, datanglah segala Hulubalang serta orang
banyak serta ia membawa alat senjata batu dan galah dan setinggar. Itupun
Tuanku-Tuanku lari semuanya. Tidak mungkin ditolakkan, melainkan dengan
memasang bedil dan senapan.
Maka saya Pakiah Saghir berbicara sekira-kira enam orang:
"Jikalau tidak kita jadikan perang sekarang ini jua, tidaklah habis malu kita yang
terdahulu, lalu kepada anak cucu kita dan sampailah habis larangan dan
pegangan. Baiklah kita pasang jua sekarang, barangkali ia luka dan mati akan
balas mesjid kita nan runtuh".
Ketika itu saya Pakiah Saghir memasang setinggar adanya. Digerakan Allah
sampailah luka orang Bukik Batabuah lalu kepada mati dan dipotong orang pula
seorang lainnya. Dan sempurnalah jadi perang sehari itu adanya. Sebab itu
banyaklah hujah dan fitnah, dengki dan khianat dan banyaklah kasum dan
udawah. Adakalanya sama serumah dan adakalanya antara dua orang
bersaudara dan adakalanya antara anak dan bapaknya. Dan banyaklah asung
dan fitnah, gunjing dan tempalak, yakni kata setengah mereka itu:
"Pada hari ini senanglah hati Pakiah saghir. Mesjid nan binasa, madrasah nan
runtuh, inilah balasnya".
Dan kata setengah yang lain pula:
"Pakiah saghir ini kita bunuh jua nan patutnya. Bukan ia semata-mata mendirikan
agama, melainkan ia malu dari pada mesjid nan runtuh dan madrasah nan
binasa. Lagi ia melaku lakukan cerdik pandainya dan melakukan keatasannya
serta ia menghina-hinakan kita dan menghabiskan adat pusaka kita. Negari kita
binasa, inilah rupanya. Tidak kita melihat dari pada Tuanku-Tuanku nan dahulu-
dahulu, melainkan dari pada kanak-kanak yang kecil ini baharu adanya".
Maka daripada sangat keras perang itu, datanglah Tuanku-Tuanku pada tiap-
tiap nagari. Berkaum-kaum ia menjelang Tuanku Nan Tuo serta ia membawa
alat senjata perang, karena banyak musuh sepanjang jalan. Dan banyaklah
orang berhimpun-himpun dalam nagari Koto Tuo, sebab Tuanku Nan Tuo jua
nan diimamkan orang.

Maka sekira-kira empat bulan lama masanya, berhentilah perang itu dan
gelanggang pun rebah, itulah halnya. Kemudian lagi pula didirikan oranglah
gelanggang di nagari Parabek di belakang nagari Padang Luar dalam nagari
Ladang Laweh Banu Hampu jua adanya. Maka ditegahkan orang pula
gelanggang itu. Tuanku Di Padang Luar pula punya perintah. Ia meminta tolong
kepada Tuanku Nan Tuo. Itupun Tuanku berdiri serta orang banyaknya. Pada
hari itu jua perang pun jadi dan banyaklah mati dan luka sebelah menyebelah.
Tetapi segera habis perang itu, sekira-kira sepuluh hari lamanya, sebab cerdik
Tuanku Di Ladang Laweh memeliharakan nagarinya jangan binasa adanya.
Kemudian maka lama pula antaranya, adalah seorang Tuanku Tarabi orang
Koto Baharu pergi berniaga ke nagari Kamang Bukik adanya. Telah ia dirampas
orang mata benda perniagaannya. Maka daripada karena cerdik pandainya,
jadilah ia mengadukan pekerjaannya itu kepada Tuanku Nan Renceh dan
Tuanku-Tuanku tiap-tiap sidang dalam nagari Bukik itu semuanya. Yakni
katanya:
"Oh Tuanku, ampunlah saya di bawah tapak kaki Tuanku-Tuanku yang tiap-tiap
sidang dalam nagari ini semuanya. Pihak diri saya ini, ialah saya telah dirampas
orang mata benda perniagaan dalam nagari ini. Sebabnya ada saya
memakaikan sembahyang ayam saya, larangan alim namanya. Dan jikalau
masih teguh jua Tuanku-Tuanku menguatkan larangan pegangan itu, seboleh-
bolehnya sekarang ialah saya hendak meminta tolong kepada Tuanku-Tuanku
mengerjakan pekerjaan saya itu. Sungguhpun saya kehilangan mata benda
terjarah, larangan alim kan binasa nan terlebih saya rusuhkan. Tetapi jikalau ada
digerakkan Allah, kembali harta saya itu. Apa-apa Tuanku punya hukum telah
saya sukakan menurut perintah Tuanku dan suka pula saya menyuruhkan orang
nagari saya memakai agama Allah dan agama Rasul Allah, seperti Tuanku
punya kerja ini adanya".

Daripada mendengar kata seperti demikian, itupun Tuanku-Tuanku suka


mengerjakan. Sekarang itu jua menyuruh orang banyak meminta kembali harta.
Jikalau ia anggak mengembalikan, lebih baiklah kita lawan perang, supaya nak
dhahir teguh agama Allah dan agama Rasul Allah.
Maka berdirilah Tuanku-Tuanku serta orang banyak menyerang kampung orang
aniaya itu. Maka daripada sangat keras kelahi dan bantah serta banyak luka dan
patah, sampailah berperang-perang lalu kepada mati dan memunah. Maka
dimasyhurkannyalah perang itu perang agama namanya.
Maka sebab sangat keras perang itu, serta lama zaman, sangatlah banyak lawan
berkeliling dan sangatlah picik hati Tuanku Nan Renceh dan segala kaumnya,
serta picik tempat, tidak dapat keluar dan tidak beroleh tolong. Hanya dapat
tolong dari Tuanku Nan Tuo saja serta saya Pakiah Saghir sedikit-sedikit, tetapi
dengan semata-mata bicara saja dan belanja alat perang saja dan tidak pula
boleh dhahir mengantarkan barang apa-apa belanja nan kurang, melainkan
dengan lalu malam atau diupahkan. Jikalau tiada ada Allah Ta'ala menguatkan
dan tidak takut mereka itu kepada Tuanku Nan Tuo, sebab ada jua Tuanku Nan
Tuo tiang pekerjaan.
Menghabiskan mereka itu akan kaum Tuanku Nan Renceh semuanya dengan
sekira-kira memandang dhahir kelakuan perang. Tetapi kepada Allah Ta'ala
kembali pekerjaan semuanya.

Maka sekira-kira empat tahun lamanya perang itu, berdirilah Tuanku Nan Tuo
berjalan-jalan pada tiap-tiap nagari keliling tempat Tuanku Nan Renceh, ialah
mufakat hendak menghentikan perang itu. Mereka itupun suka berhenti dan suka
mereka itu menurut hukum Tuanku Nan Tuo saja dan tidak mau mereka itu
menurut hukum Tuanku Nan Renceh, karena malu mereka itu, sebab sangat
takabur mereka itu. Maka ketika itu selesailah perang itu adanya.
Maka dalam masa itu jua, adalah saya Pakiah Saghir maulid akan Nabi Sallalahu
'Alaihi Wassalam, ialah saya memanggil sekalian Tuanku-Tuanku pada tiap-tiap
nagari, supaya berjinak-jinakan mereka itu dan nak dhahir bersusun-susun
agama. Serta saya memanggil orang nan tiga buah nagari, yakni orang Salo dan
orang Magek dan orang Koto Baharu, supaya nak hampir bertolong-tolong
mereka itu dengan Tuanku Nan Renceh adanya. Lagi pula pikir hati saya,
barangkali mau mereka itu bersungguh-sungguh mendirikan agama. Sebab ada
mereka itu harap akan beroleh derajat yang a'ali pada dunia dan akhirat, karena
mereka itu adalah hina sedikit pada adatnya. Lagi ada mereka itu dikatakan
orang Tilatang kerbau nan tiga kandang namanya. Setelah itu saya bicara
pekerjaan agama dengan mereka itu pun suka jua semuanya. Maka setelah
sudah mufakat itu, beredar-edarlah Tuanku berbuat janji di mana-mana tempat
yang patut berhimpun-himpun mufakat, karena mengintai agama nak kekal jua
adanya.
Maka kemudian dari itu, berjalanlah Tuanku Nan Tuo ke nagari Magek serta
ia memanggil Tuanku Nan Renceh, supaya berperdamaikan ia daripada
pekerjaan yang terdahulu. Maka sempurnalah damai kedua pihaknya serta
sempurna mufakat pekerjaan agama. Kemudian pula diperbuat pula janji dalam
nagari Koto Baharu seperti demikian pula, yakni nagari Tuanku Tarabi nan
dirampas orang masa dahulu adanya. Maka sampailah bertemu dengan nagari
Ampek Angkek dan sentosalah jalan Tuanku Nan Renceh masuk nagari Koto
Tuo barang apa-apa maksudnya.

Kemudian dari itu mufakat segala kepala Hulubalang tiap-tiap nagari. Maka
dimalingnya kemenakan Tuanku Nan Renceh berlima orang. Itulah sebab
pekerjaan nan jadi sebesar-besar fitnah selama-lamanya. Maka dibawanya ke
nagari Bukik Batabuah. Itupun masih bertemu dengan saya Pakiah Saghir. Saya
hendak meminta kembali, Hulubalang itupun melarikan jua. Jadilah berkejar-
kejar dengan saya. Itupun tidak juga dapat, sebab ianya bersama-sama, hanya
saya dua orang saja. Sekarang itu saya menyuruh memanggil Tuanku-Tuanku
serta orang banyaknya. Tuanku-Tuanku pun rapat semuanya. Maka jadilah
diperdakwakan jua. Tidak juga dapat keluar. Sekali janji, dua kali janji, barangkali
sepuluh kali janji.
Maka pada sekali janji yang akhir datanglah Tuanku Nan Renceh serta
kaumnya. Maka dilihatnya tidak jua dapat keluar, jadilah ditangkapnya orang
Bukik Batabuah itu dua orang, lalu dibawanya ke nagarinya. Maka ditaruhnya
orang itu sekira-kira sebulan Kamariah atau lebih.
Dalam masa itu tidak boleh berhenti sedikit jua, melainkan gaduh-gaduh jua dan
diperdakwakan jua hanya. Sebab itu banyaklah orang Bukik Batabuah meminta
ampun jua kepada Tuanku Nan Tuo dan suka ia barang apa-apa Tuanku punya
hukum. Tidak ia mendalih dan mendarit lagi serta ia mau menjunjung titah Allah
dan titah Rasul Allah. Itupun Tuanku Nan Tuo mau menerimakan.
Maka sebab itu jua jadilah saya Pakiah Saghir meminta kembali orang yang
berdua itu. Tuanku Nan Renceh pun mau mengembalikan. Maka sampailah
kembali orang itu ke nagari Bukik Batabuah. Lama sedikit antaranya datanglah
kembali kemanakan Tuanku Nan Renceh berdua orang. Tuanku Nan renceh
terlalu suka mendapat kemenakannya nan berdua orang itu. Dan tinggal pulalah
tiga orang lagi. Itulah halnya.

PERANG DENGAN API


Kemudian lagi, berdirilah Tuanku Nan Tuo dan Tuanku-Tuanku yang lain-
lainnya dalam Luhak Agam serta kaum mereka itu sekira-kira delapan ratus
banyaknya. Ialah kerja menjelang perang Tuanku Haji Miskin, karena bersalahan
pekerjaan agama jua keadaannya. Maka tempo Tuanku Nan Tuo dalam nagari
Lima Puluh, maka berhimpunlah Tuanku-Tuanku dalam Luhak itu ialah mufakat
berpersuatukan hukum agama juga. Sebab itu terlebih sangatlah masyhur
agama dalam Luhak itu. Maka pulanglah Tuanku Nan Tuo serta Tuanku-Tuanku
yang lainnya dan tinggallah Tuanku Haji Miskin dalam ia kerja perang jua serta
orang Lima Puluh, lalu kepada mati Tuanku Haji Miskin. Sebab perang itu tidak
dengan bakar membakar dan tidak pula mengalahkan nagari.

Setelah lama zaman, maka telah lama pula antaranya kemudian, maka dari
pada sangat adawat dan sangat mengadu-adu sebelah menyebelah, terbit
pulalah perang dari pada Tuanku Nan Renceh sama dalam nagarinya. Tidak
berhenti siang dan malam, pagi dan petang dan jika sepenggal hari sekalipun.
Maka dari pada sekira-kira setahun lamanya digerakkan Allah datanglah
TUANKU HAJI DI SUMANIAK kepada tempat Tuanku Nan Renceh. Telah
mengajarkan perang dengan api. Itupun sampai terbakar yang hampir kampung
Tuanku Nan Renceh, yaitu nagari Durian namanya. Maka lebarlah perjalanan
Tuanku Nan Renceh ke kiri dan ke kanan. Sekarang itu jua Tuanku Di Sumaniak
sampai ke luar. Tempo ia di nagari Koto Tuo sekira-kira empat hari lamanya, di
belakang ia pulang kenagarinya.
Pihak kepada Tuanku Nan renceh telah ia bersungguh-sungguh mufakat
dengan orang Kamang dan orang Magek dan orang Salo dan orang Koto
Baharu. Saya Pakiah Saghir ada juga sama melihat pekerjaan itu.
Pada masa itu jua dihadapkan perang ke nagari Tilatang. Maka dari pada
karena sangat keras perang itu, terbakarlah taraf nagari Tilatang hampir nagari
Koto Baharu. Sebab itu sangatlah takut orang Agam semuanya dan banyaklah
tobat mereka itu dan bertolong-tolonganlah perang itu. Maka sampailah habis
nagari Tilatang dan banyaklah berpindah dalam nagari dan sukar
menghinggakan riba lakas, rampasan dan orang terbunuh dan tertawan, lalu
kepada terjual dan dijadikannya gundiknya, tetapi belum dhahir gundiknya. Tidak
yang lain-lain punya kerja itu, melainkan orang nan lima buah nagari yang ada
dalam perintah Tuanku Nan Renceh jua, yaitu nagari Kamang Bukik, lebih sekali
orang Salo, Magek, Koto Baharu nan memunah dan berjual akan balasnya
dikatakan orang Tilatang kerbau nan tiga kandang namanya, itulah halnya.

Pihak kepada orang nan berpindah ke nagari Ampek Angkek sukar pula
menghinggakan riba dan lakas, akan tetapi tidak boleh mati terbunuh teraniaya
dan jikalau orang yang hina dan tua yang daif dan kanak-kanak yang kecil
sekalipun dan sekalian mata bendanya dan jikalau seberat zarah sekalipun, tidak
jua boleh hilang, karena sangat keras hukum Tuanku Nan Tuo jua adanya, yaitu
tidak harus merampas dan menawan dan mengalahkan nagarinya. Jikalau ada
dalamnya dua puluh atau dua belas mukmin atau berempat mukmin atau
seorang mukmin sekalipun. Itulah setengah hukum yang tetap dalam kitab
Tuanku Nan Tuo jua adanya. Sebab itu jadilah kecil hati Tuanku Nan Renceh,
tetapi tidak dhahir, seolah-olahnya hukum itu membinasakan pekerjaan Tuanku
Nan Renceh jua adanya.

Maka lama pula antaranya datanglah Tuanku Nan Renceh serta orang nan
lima buah nagari yang ada dalam perintahnya, yaitu Kamang Bukik, Salo,
Magek, Koto Baharu. Telah ia meminta menghadapkan perang ke nagari Kurai,
karena orang Kurai itu sangat jahilnya dan mungkarnya. Sebab itu jadilah
Tuanku Nan Tuo memerintahkan perang itu, supaya jangan orang Kurai
dihabiskan Tuanku Nan Renceh seperti orang Tilatang pula.
Maka sebab itu tahulah Tuanku Nan Renceh akan batin pekerjaan itu. Jadilah ia
kembali pulang serta mufakat ia menghadapkan perang ketika itu jua ke nagari
orang Lima Koto. Maka segeralah terbakar taraf nagari Sungai Janiah dan
terbakar pulalah nagari Kurai pagi-pagi itu sepeninggal Tuanku Nan Renceh.
Maka sampailah habis nagari Kurai terbakar semuanya, tetapi tidak seorang jua
nan tertawan dan terbunuh. Kemudian keluar mereka itu dalam kampungnya.
Maka segeralah Tuanku Nan Tuo meminta kembali orang Kurai ke nagarinya.
Mereka itupun suka kembali serta mereka itu memotong kerbau memanggil
Tuanku Nan Tuo supaya bersenang-senang mereka itu tinggal dalam nagarinya.
Maka Tuanku Nan Tuo mengajarkan kalimah tobat. Mereka itupun mengucap dia
serta suka mereka itu menjunjung titah Allah dan titah Rasul Allah. Itupun telah
sempurnalah pekerjaan itu.

Pihak kepada perang Tuanku Nan Renceh, sampailah empat bulan lamanya
tidak jua sampai teralahkan, karena orang Padang Tarok itu sangat gagahnya.
Itupun Tuanku Nan Renceh meminta tolong kepada Tuanku Nan Tuo. Maka
daripada karena memelihara dhahir pekerjaan agama jangan binasa, jadilah
Tuanku Nan Tuo menurunkan orang Agam semuanya. Maka sampailah habis
nagari itu dan habislah perang itu. Tetapi Tuanku Nan Tuo tidak meminta apa-
apa sesuatu jua dan tidak pula meminta ketundukannya, hanya kenduri Tuanku
Nan Renceh saja.
Maka Tuanku Nan Renceh mendirikan Imam dan Kadhi, yaitu Tuanku Nan
Bungkuak orang Sungai Janiah, karena maksudnya hendak melakukan dayanya
menghabiskan orang Lima Koto jua halnya. Tidak boleh diperdamaikan, supaya
nak boleh memunah dan menawan, maka sampailah pekerjaannya itu. Dan
sukar menghinggakan riba dan lakas, orang terbunuh dan tertawan. Maka bagi
setengahnya dijualnya dan bagi setengahnya dipergundiknya. Maka dinamainya
perang itu perang sabil Allah namanya, supaya nak dhahir sah hukumnya. Maka
sebab itulah sangatlah marah Tuanku Nan Tuo kepada Tuanku Nan Renceh dan
kepada sekalian Tuanku-Tuanku. Dan bersungguh-sungguhlah Tuanku Nan Tuo
melarangkan orang terjual dan menegahkan mengalahkan nagari dan membakar
dia.

TUANKU NAN SALAPAN


Kemudian maka daripada karena sangat marah Tuanku Nan Tuo kepada
sekalian Tuanku-Tuanku, terbitlah daripada sekalian Tuanku-Tuanku itu kepada
saya Pakiah Saghir, yaitu katanya:
"Hai Pakiah Saghir, maukah engkau memotong seekor kerbau. Himpunkan kami
sekalian Tuanku-Tuanku, supaya mufakat kita semuanya di hadapan Tuanku
Nan Tuo. Jikalau apa-apa pekerjaan kami nan salah, sukalah kami tobat. Maka
apabila sampai pekerjaan itu, biarlah kami membayar beli akan beberapa harga
kerbau itu, yaitu seseorangnya kami Tuanku Di Kubu Sanang, dua Tuanku Di
Ladang Laweh, tiga Tuanku Di Padang Luar, empat Tuanku Di Galuang, lima
Tuanku Di Koto Hambalau, enam Tuanku Di Lubuak Haur, tujuh Tuanku Di
Bansa, delapan Tuanku Nan Renceh. Itulah asalnya sebab bernama TUANKU
NAN SALAPAN adanya".

Maka sebab itu jadilah saya Pakiah Saghir menyampaikan bicara itu kepada
Tuanku Nan Tuo. Maka telah mendengar Tuanku Nan Tuo akan bicara itu.
Jadilah Tuanku Nan Tuo diam-diam saja sekira-kira delapan hari lamanya.
Kemudian maka kata Tuanku Nan Tuo kepada saya: "Hai masaharah, baiklah
kita terima jua bicara yang telah engkau kabarkan masa dahulu dan potonglah di
engkau seekor kerbau dan panggil di engkau sekalian Tuanku-Tuanku dalam
Luhak ini pada hari Sabtu demi esok hari ini. Itupun saya Pakiah Saghir
bersegera memotong kerbau. Tuanku Bajungguik Perak segera memanggil
Tuanku-Tuanku. Maka sampailah berhimpun Tuanku-Tuanku pada hari Saptu itu
jua.
Setelah itu mufakatlah Tuanku-Tuanku hendak menyampaikan bicara kepada
Tuanku Nan Tuo. Maka kata Tuanku-Tuanku di hadapan Tuanku Nan Tuo yakni:
"Ampunlah kami di bawah tapak kaki hadirah Tuanku. Seboleh-bolehnya yang
lagi akan datang ini, sebaik-baiknyalah tinggal Tuanku di dalam mesjid kendiri,
tuanku mengajarkan ilmu seperti dahulu juo. Biarlah kami berjalan-jalan ke kiri
dan ke kanan menyampaikan suruh Allah dan suruh Rasul Allah, boleh-boleh
kami perangi di mana nagari yang menyalahi agamanya dalam pulau ini. Dan
kami hantarkan pula ke hadapan Tuanku akan hadiah dan sedekah serta
ketundukan siapa-siapa orang nan mau mengikut agama ini".
Maka jawab Tuanku Nan Tuo:
"Mengapa bicara kamu seperti demikian. Adakah tiada pada tiap-tiap suatu
nagari dalam luhak nan tiga ini atau lainnya dua puluh mukmin atau dua belas
mukmin atau berempat mukmin atau seorang mukmin".
Maka jawab mereka itu:
"Tidak sunyi pada nagari dalam luhak ini dan jikalau seorang mukmin sekalipun,
melainkan ada jua hanya".
Maka kata Tuanku Nan Tuo:
"Adakah harus mengalahkan nagari dan membakar dia dan padanya seorang
mukmin".
Maka jawab mereka itu:
"Tidak harus".
Maka kata Tuanku Nan Tuo:
"Bagaimanalah bicara kamu, seperti demikian juga".
Maka mereka itu diam semata-mata dari pada menjawab, tetapi hingga seketika.
Maka terbitlah jawab dari pada setengah mereka itu:
"Jikalau ada pekerjaan seperti demikian, sekarang sukalah kami berhenti dan
tobatlah kami daripada berbuat bicara yang demikian itu".
Maka kata Tuanku Nan Tuo:
"Tidak percaya aku akan bicara kamu, jikalau tidak mendatangkan kamu akan
sumpah".
Maka sebab itu sekarang mengikrarkan tiap-tiap dari pada mereka itu akan
sumpah, yakni mengata tiap-tiap seorang dari pada mereka itu:
"Demi Allah demi Rasul Allah, demi bumi dan langit, surga dan neraka,
sesungguhnya sebenarnya tidak lagi kami akan mengalahkan tiap-tiap nagari
dalam luhak ini dan membakar dia, hanya semata-mata menyuruh saja hal
adanya".
Di belakang kemudian kembali mereka itu kepada nagari seorang-seorang
dan rumah seorang-seorang.
Kata berkata sama sendiri mereka itu:
"Tiada ada hal ini melainkan bicara Pakiah Saghir jua hanya. Sekarang sebab itu
jua, pekerjaannya janganlah kita bayar harga kerbaunya dan jikalau satu kepeng
sekalipun".
Maka telah lama pula antaranya, sebab tidak sampai maksudnya dan sebab
malu dari pada sumpah itu, jadilah mufakat pula sekalian Tuanku-Tuanku. Yakni
mufakat mereka itu:
"Baiklah kita mencari Imam yang lain akan ganti Tuanku Nan Tuo, supaya boleh
kita melakukan apa-apa kehendak kita. Dan sepatutnyalah Tuanku Damansiang
kita jadikan Imam Besar, karena ia asal orang keramat juga. Lagi pula tidak
boleh Tuanku Nan Tuo akan membinasakan pekerjaannya, sebab Tuanku
Damansiang anak guru oleh Tuanku Nan Tuo".
Kemudian menyempurnakanlah mereka itu akan mufakat mereka itu dan
menamailah mereka itu akan Tuanku Damansiang Tuanku Nan Tuo pula
namanya, karena menyandar Tuan Nan Tuo punya nama. Kemudian menamai
pula mereka itu akan tiap-tiap Tuanku Nan Salapan itu dan Tuanku-Tuanku yang
lain-lain seperti demikian pula. Dan memasyhurkan mereka akan Tuanku Nan
Tuo Rahib Tuo namanya dan akan saya Pakiah Saghir Raja Kafir dan Raja Jazid
pula dinamakannya.
Tetapi sebab tekebur mereka itu dan menghinakan mereka itu akan guru
mereka itu dan menamai mereka itu akan Tuanku Nan Tuo seperti demikian,
barangkali mereka itu kafir dalam kitab Allah dan isi neraka jahanam pada
akhirat. Jika tidak tobat mereka itu wa'ali Allah tarja'u alamur.
Maka kemudian sampai mendirikan mereka itu akan Imam. Memerangi
mereka itu akan nagari Gunuang Paninjauan. Maka sampailah terbakar nagari
itu, hingga sampai Tuanku nan Tuo diam dalam nagari itu.
Membakar juga mereka itu dan berapa-berapalah rampasan dan orang mati
terbunuh dan menamai mereka itu akan perang itu perang agama namanya dan
meminta mereka itu akan ketundukannya. Supaya nak sah hukum mereka itu
perang sabil Allah namanya, tetapi tidak nyebut dalam kitab Allah perang sabil
namanya, karena nagari itu tempat Tuanku yang dimasyhurkan Tuanku Di
Paninjauan namanya, ialah yang mewaris Tuanku Di Ulakan yang mempunyai
keramat yang beroleh limpah dari pada Tuan Syekh Abdurrauf jua adanya. Dan
berapa-berapalah ulama dalamnya dan fakih-fakih dan beberapa pandito dan
sangat penyayang sekalian ahlinya kepada segala fakir dan miskin dan kepada
sekalian karim. Itulah sebabnya tidak harus mengalahkan nagari itu, dalam kitab
Tuanku Nan Tuo itulah halnya.

Kemudian maka berkekalanlah perang-perang itu antara beberapa nagari.


Maka di mana-mana nagari diam Tuanku Nan Tuo menyuruhkan orang
sembahyang. Memerangi juga mereka itu dan mengalahkan juga mereka itu.
Maka sangatlah keras pekerjaan Tuanku Nan Salapan dan sampai pulalah siar-
bakar antara sekalian nagari dalam Luhak Agam ini, lalu ke Luhak Tanah Datar
dan Luhak Ranah Lima Puluh. Dan rebut rampas dan menghabiskan harta orang
kaya-kaya dan menghinakan orang yang mali-mali dan memunah orang ulama-
ulama dan sekalian orang yang cerdik cendekia dan merampas orang bersuami
dan menikahkan orang yang tidak sukuf dan berpergundik sekalian orang
tertawan serta memashurkan mereka itu akan sekalian pekerjaan itu, yaitu inilah
kesempurnaan agama jua hal adanya.

Kemudian lama pula antaranya mufakatlah pula Tuanku-Tuanku Salapan juga


menyusun tiap-tiap nagari, lain nagari Ampat Angkat. Dan menamai mereka itu
akan nagari mereka itu Laras Nan Panjang namanya, karena menyandar mereka
itu akan nagari Pariangan Padang Panjang, hingga Tarawan Galo Gandang ke
atas Laras Nan Panjang namanya.
Adapun nagari Pariangan Padang Panjang dan orang Batipuah dan orang
Ampek Angkek Laras Koto Piliang namanya. Itulah yang mempunyai derajat
yang a'ali yang ada sebelah Luhak Agam ini. Lain orang Lima Koto Padang
Tarok. Adapun orang Lima Koto ini, sungguhpun tidak ia Laras Koto Piliang,
adalah ia mempunyai derajat yang a'ali juga, karena ia nagari yang lebih tua
sekali-sekali dalam Luhak Agam ini juga.
Tetapi Laras Koto Piliang ada juga sedikit dalam kaum Tuanku Nan Salapan dan
takut mendhahirkan menyalahi hukumnya. Dan adalah tiap-tiap nagari yang
bernama Koto Piliang dalam Luhak Nan Tiga ini tinggi derajatnya. Dan tiap-tiap
nagari yang bernama Laras Caniago adalah hina sedikit.
Maka telah sempurna mufakat mereka itu, menghadapkan mereka itu akan
perang ke nagari Ampek Angkek sekira-kira enam tahun lama masanya. Dan
menamai mereka itu akan orang Ampek Angkek hitam jua baharu adanya. Tetapi
orang Ampek Angkek bukan karena tidak memakai agama pada masa itu, hanya
semata-mata khianat saja. Dan menamai mereka itu akan diri mereka itu putih
semata-mata, tidak memelihara mereka itu akan batin pekerjaan, hanya
kebanyakan laku mereka itu putih sekira-kira dhahir saja.

Maka dalam masa itu juga digerakkan Allah datanglah Tuanku Di Budi, yaitu
Tuanku Nan Tuo dalam nagari Sungai Tarap adanya. Telah ia mempunyai bicara
memohonkan ampun kepada hariba Tuanku Nan Tuo dalam nagari Koto Tuo
adanya, yakni katanya:
"Oh Tuanku ampunlah saya di bawah tapak kaki duli hadirat Tuanku, saya punya
bapak. Sekali salah beribu kali tobat. Dari pada pihak diri Tuanku punya anak,
Tuanku jua mempunyai ampun.
Adapun diri saya ini ialah mengamalkan titah Allah dan titah Rasul Allah dan titah
Tuanku jua seperti hukum yang nyabut dalam kitab Allah yang telah Tuanku
ajarkan kepada saya dari pada masa dahulu sampai sekarang, yaitu katanya
Allah Ta'ala Adhi'u Allah waadhi'u al Rasul wa'ali alamur minkum. Lagi pula saya
menghukum antara segala manusia dengan adil dan berbuat baik kepada
mereka itu dan memperhubungkan kekasih antara dua orang bersaudara dan
berperdamaikan antara dua orang berkhasumat-khasumat dan menunjukkan hati
mereka itu. Itulah halnya pekerjaan saya ini.
Pihak kepada anak-anak Tuanku Nan Salapan, ialah saya hendak membawa ke
hadapan Tuanku, supaya meminta maaf mereka itu daripada sekalian
pekerjaannya yang tersalah serta berperdamaikan saya akan perang-perang ini,
supaya nak tinggi agama Allah dan agama Rasul Allah dan nak bersenang-
senang mereka itu sekalian manusia".
Maka jawab Tuanku Nan Tuo:
"Jikalau demikian rupanya pekerjaan, sepuluh baiknya pada hamba. Apabila lai
bersungguh-sungguh mereka itu mengikut kata Allah dan kata Rasul Allah dan
kembali mereka itu daripada segala fiil mereka itu yang telah lalu ini".
Kemudian maka telah sempurna bicara itu, berhimpunlah Tuanku-Tuanku
Nan Salapan masuk nagari Koto Tuo menjelang kepada hariba Tuanku Nan Tuo
jua, serta mereka itu membawa kerbau sekira-kira enam puluh banyaknya atau
lebih. Maka seketika berhadap mereka itu, berhalunlah mereka itu dengan
mendatangkan salam serta tertib dan majelis adab orang memuliakan gurunya.
Lagi ia memohonkan ampun meminta maaf kepada Tuanku, yakni kata mereka
itu:
"Oh Tuanku ampunlah kami di bawah tapak kaki duli hadirat Tuanku. Adapun
sekalian pekerjaan kami yang telah lalu ini, yaitu merebut dan merampas
memunah dan menikam dan sebagainyalah, sekarang seboleh-bolehnya
hendaklah Tuanku maafkan sekalian pekerjaan kami itu dan jangan Tuanku
menyebut-nyebut juga. Tidak lagi kami kembali berbuat pekerjaan itu hingga ini
ke atas dan jikalau sekejap mata sekalipun, itulah halnya".
Maka sebab itu jadilah memaafkan akan sekalian pekerjaan mereka itu yang
memberi mudharat kepada diri Tuanku dan tidak memaafkan Tuanku akan diri
orang lain-lain mereka itu yang terbunuh dan teraniaya dan nagari mereka itu
yang dirampas orang dan sebagainyalah.
Karena mengetahui Tuanku adakah maaf hati mereka itu atau tidakkah, hanya
Tuanku memberi petuah, semata-mata mengembalikan kepada hukum Allah dan
hukum Rasul Allah saja. Maka bersuka-sukalah Tuanku memberi petuah mereka
itu dengan sekalian hukum yang nyabut dalam kitab Allah dan suka-suka pulalah
mereka itu mengikut hukum Tuanku yang ada, seperti demikian itulah halnya.
Tetapi hingga seketika, barangkali di belakang lebih kepada jahatnya dan
kepada Allah jualah kembali pekerjaan dhahir dan batin wallahu yahdi man yasa
'ali syirad mustakim.
Kemudian maka kembalilah sekalian Tuanku-Tuanku kepada nagari seorang-
seorang serta dengan bersuka-suka jua, sebab telah bersuatu 10 hukum dan telah
sempurna yang dimaksud dan bersenang-senanglah orang banyak, sebab
sempurna damai dan telah putus kerja perang dan masyhurlah kabar ke kiri dan
ke kanan dari pada pihak Tuanku Nan Salapan telah sempurna damai dengan
Tuanku Nan Tuo dan telah bersuatu hukum agama. Sekalian persalahan kembali
kepada hukum Allah dan hukum Rasul Allah dan kepada kitabnya.

Kemudian maka dari pada setengah adat bagi segala manusia, ketika duduk-
duduk mereka itu bersenang-senang pada tiap-tiap tempat permedanan dan
tiap-tiap dusun dan nagari dan tiap-tiap kampung dan mesjid, banyak-banyaklah
kabar mereka itu dan runding mereka itu. Yaitu kata setengah mereka itu:
"Adapun sekalian Tuanku-Tuanku kita ini sampailah damai dan sekalian kita ini
sampailah senang. Maka betapakah pekerjaan Tuanku yang terdahulu ini,
adapun Tuanku Nan Tuo dikatanya Rahib Tua dan Pakiah Saghir dikatanya kapir
dan raja sekalian orang Ampek Angkek hitam semuanya. Sekalian kita ini
memerangi orang Ampek Angkek, mati syahid katanya. Barangkali Tuanku-
Tuanku Nan Salapan ini salah adanya. Jikalau ada ia benar, tidak ia mau
mufakat dengan Pakiah Saghir dan tidak ia mau tobat kepada Tuanku Nan Tuo,
itulah halnya.
Dan kata setengah mereka itu, jikalau ada sekalian pekerjaan Tuanku-Tuanku ini
salah, baiklah kita meminta kembali akan sekalian harta kita yang diambilnya
sebab disalahkannya atau sebab dirampasnya.
Dan kata setengah yang lain-lain mereka itu, adapun sekalian nagari kita ini
sampailah habis dan nagari Ampek Angkek tinggal selamat juga, sekarang
sekalian kita ini sampailah hina. Maka sekaliannya itu sebab celaka Tuanku Nan
Salapan jua adanya".
Maka daripada sekira-kira setahun lama masanya, sebab telah bersangatan
masyhur fitnah antara mereka itu, masuklah fitnah itu ke dalam hati Tuanku-
Tuanku Nan Salapan. Maka mufakat jua mereka itu dan berhubung-hubung
jualah bicara mereka itu. Yakni kata setengah Tuanku-Tuanku yang lebih arif
bijaksana:
"Jikalau tidak kita habiskan nagari Ampek Angkek ini atau dihutangkan dengan
beberapa kati emas dan dialahkan kitab Pakiah Saghir ini, di belakang
niscayanya besar mudharatnya kepada kita dan kebanyakan manusia hampir
hitam akhirnya.
Maka terlebih baiklah kita panggil Tuanku-Tuanku yang lebih alimnya dan yang
lebih masyhur kitabnya, yaitu Tuanku Di Batu Ladiang dan Tuanku Nan Saliah
dalam nagari Talawi, karena Tuanku nan berdua itu lebih sangat alimnya. Tidak
jenis akan terlawan oleh Pakiah Saghir. Lagi pula Tuanku Nan Saliah itu
dimasyhurkan orang membatalkan martabat menyalahi agama Tuanku Di Ulakan
jua.
Barangkali marah-marah ia kepada Tuanku Nan Tuo dan Tuanku Nan Tuo
marah-marah pula sama dia. Sebab bapak Tuanku Nan Saliah itu diperangi
Tuanku Nan Tuo dan dialahkan nagari yang dikediaminya masa dahulunya, yaitu
nagari Taram, sebab ia membatalkan martabat jua adanya".

Maka telah sempurna mufakat mereka itu. Memanggillah mereka itu akan
Tuanku nan berdua itu serta mengiringi Tuanku-Tuanku yang lainnya.
Maka tempo Tuanku Nan Saliah sampai ke dalam mesjid Tuanku Damansiang,
berhalunlah Tuanku-Tuanku dalam Luhak itu dan mengalahkan Tuanku Nan
Saliah akan sekalian Tuanku-Tuanku dengan kitabnya hingga Tuanku
Damansiang sekali pun.
Kemudian maka Tuanku Nan Saliah berjalan-jalan antara nagari hendak
menjelang tempat Tuanku Nan Tuo. Itupun Tuanku Nan Tuo menyuruh
memanggil Tuanku Nan Saliah.
Maka setelah sampai Tuanku Nan Saliah serta Tuanku-Tuanku yang
mengiringinya masuk nagari Koto Tuo dan lah bertemu ia dengan Tuanku Nan
Tuo, berhalunlah kedua pihaknya serta bersuka-suka ia dengan berjawatan
tangan, maka duduklah ia senang-senang. Hingga sedikit kemudian, maka
Tuanku Nan Saliah meminta mengeluarkan kitab semuanya kepada Tuanku Nan
Tuo serta menghimpunkan sekalian Tuanku-Tuanku yang ada dalam nagari itu.
Maka setelah hadir kitab semuanya serta sekalian Tuanku, maka bersama-
sama ia memahamkan sekalian kitab itu serta saya Pakiah Saghir. Itupun
mufakat semuanya, tidak bersalahan suatu jua adanya, jikalau sebesar zarah
sekalipun, hanya semufakat juga membenarkan petuah Tuanku Nan Tuo. Maka
tetaplah Tuanku Nan Saliah dalam nagari itu sekira-kira delapan hari atau lebih,
supaya berperdamaikan ia antara keduanya dan berpertemukan ia pada taraf
nagari hampir nagari Banu Hampu, serta ia Tuanku Nan Saliah menyuruhkan
kepada sekalian Tuanku-Tuanku dalam luhak Agam nan mengikut kitab Tuanku
Nan Tuo semuanya.

Kemudian daripada itu pulanglah Tuanku Nan Saliah beserta dengan


kemuliaannya. Maka masyhurlah kabar Tuanku Nan Saliah membenarkan kitab
Tuanku Nan Tuo pula halnya.
Maka sebab mengetahui mereka itu akan kabar Tuanku Nan Saliah seperti
demikian itu rupanya, hampir memunah mereka itu, karena sangat marah-marah
mereka itu. Tetapi Allah Ta'ala memeliharakan akan hambanya yang mukmin
sebenarnya.
Maka bersungguh-sungguh mereka itu memasang mufakat dan mencari
bicara apa-apa akan sudahnya, serta berkabar-kabar mereka itu dalam mufakat
mereka itu. Yaitu jikalau tidak kita alahkan nagari Ampek Angkek semuanya,
niscaya sangat tekeburnya kepada kita dan sekalian kita ini hina semuanya.
Barangkali Pakiah Saghir itu menjadi Raja Besar akhirnya dan sekalian kita ini
jadi rakyatnya.
Tambahnya lagi, Tuanku-Tuanku yang kepala-kepala yang sangat masyhur
alimnya telah membenarkan akan kitabnya. Maka apabila ada sampai dialahkan
nagarinya itu, baiklah kita meminta ketundukannya.
Setinggar semata-mata dan pedang semata-mata supaya dapat kita memunah
hulubalang yang kepala-kepala dan sekalian cerdik cendekia dan sekalian
ulamanya dan jikalau kanak-kanak sekalipun, karena tidak jenis akan terlawan
oleh kita sekalian ahli kitabnya.
Biarlah kita tinggalkan nagarinya sekira-kira selikur kuda bermain-main saja.

Maka sebab itu bersungguh-sungguhlah mereka itu memerangi nagari Ampek


Angkek, maka terbakarlah taraf nagari sedikit-sedikit.
Maka telah lama-lama antaranya sampailah habis nagari Ampek Angkek
semuanya dan sukarlah berhisap orang Ampek Angkek nan mati dan tertawan
dan tinggallah sebuah nagari Koto Tuo dan kampung yang sedikit, yaitu Bonjo
Cangkiang namanya.
Dan bersungguh-sungguh jua lah mereka itu memerangi keliling tempat itu siang
dan malam, pagi dan petang, tidak boleh keluar ke kiri dan ke kanan dan tidak
berhenti sedikit jua, melainkan perang-perang jua hanya.

Maka sekira-kira empat tahun lamanya, tidak juga teralahkan kampung yang
sedikit itu, terbitlah bicara setengah mereka itu:
“Jikalau tidak mati jua Pakiah Saghir ini, tidak mungkin kita mengalahkan
kampungnya dan tidak ia mau tunduk kepada kita. Barangkali di belakang
banyak-banyaklah menolak dan berbuat kampung seperti kampungnya ini dan
banyak persalahan tiap-tiap nagari, sebab banyak mereka itu sekata-sekata hati
dan tidak takut mereka itu akan dialahkan, sebab teguh tempat kediaman
mereka itu seperti kampung Pakiah Saghir ini dan hampir mereka itu melawan
kepada segala Tuanku-Tuanku dan tidak mau mereka itu menurut hukum
Tuanku-Tuanku, hanya kebanyakan mereka itu menurut pendapat Pakiah Saghir
saja, maka binasalah agama kita.
Dan terlebih baik jualah kita berperdayakannya, yakni daya itu bersungguh-
sungguh kita meminta paham bersuatukan hukum kitab Allah. Kita suruh
sampaikan kabar pekerjaan itu kepadanya. Jikalau lebih terang kitabnya, kita
sekalian menurut dia. Mudah-mudahan mau ia menurut bicara itu. Sebab itu
Pakiah Saghir itu lebih sangat bersungguh-sungguhnya menuntut keterangan
memahamkan kitab Allah, karena kesudah-sudahan keterangan kitab Allah itu
tempat kepeliharaan dirinya dan hartanya. Maka terlebih sukalah ia dibawa
kemana barangmana tempat di luar nagarinya. Ketika itu amat mudahlah kita
memunah dia”.

Maka setelah dihiaskan Allah daya itu ke dalam hati mereka itu, bersungguh-
sungguhlah mereka itu memasang bicara itu.
Pihak kepada diri saya Pakiah Saghir tidak mengetahui saya akan daya itu,
hanya semata-mata mengembalikan kepada Allah Ta'ala saja. Maka telah
sempurna daya mereka itu dan memanggil mereka itu akan saya juga.
Keluarlah saya serta Tuanku Nan Tuo dan serta beberapa orang yang
mengiringi. Ketika itu memunahlah mereka itu akan sekalian anak-anak Tuanku
Nan Tuo serta orang yang mengiringi itu, sembilan orang banyaknya dan tidak
sampai daya mereka itu kepada saya dengan tolong Tuhan Subhana Wata'ala
adanya dan tinggallah Tuanku Nan Tuo serta saya. Barangkali sebab Allah
Ta'ala meluluskan hukumnya jua, maka melepaskan Allah Ta'ala dengan
tolongnya akan hambanya yang mukmin lagi sabar lagi pilihan. Maka sampailah
Tuanku Nan Tuo pulang ke nagari Koto Tuo dan saya Pakiah Saghir juga.

Maka kemudian dari itu bersungguh-sungguh jualah saya menguatkan perang


melawan Tuanku Nan Salapan, karena lah putus ikhtiar. Tidak patut kembali
Tuanku-Tuanku itu daripada sekalian pekerjaannya yang tersalah itu, sebab
telah sangat bertambah-tambah kejahatannya dan senantiasa pekerjaan itu,
hingga sampai telah keluar Kompeni Wolanda ke Tanah Darat ini. Barangkali
orang Kompeni tahu adanya.
Maka pulanglah maklum kepada orang Kompeni semuanya.

Kemudian lagi pula bermula kesudah-sudahan sampai keterangan cerita ini,


baiknya dan jahatnya daripada pihak keduanya, yaitu adapun yang baik sebelah
Tuanku-Tuanku Paderi ialah mendirikan sembahyang dan mendatangkan zakat
dan puasa pada bulan Ramadhan dan naik haji atas kuasa dan berbaiki mesjid
dan berbaiki lebuh tepian dan memakai rupa pakaian yang halal dan
menyuruhkan orang menuntut ilmu dan berniaga.
Adapun sekalian yang jahat daripada Tuanku Paderi menyiar membakar dan
mengenyahkan orang dalam kampungnya dan memunah orang dengan tidak
hak, yaitu memunah segala ulama dan memunah orang yang berani-berani dan
memunah orang yang cerdik cendekia, sebab Bermuda(?) atau khianat dan
merebut merampas dan mengambil perempuan yang bersuami dan menikahkan
perempuan yang tidak sukuf dengan tidak ridhanya dan menawan orang dan
berjual dia dan mempergundik tawanan dan menghinakan orang yang mali-mali
dan menghinakan orang tua dan mengatakan kapir orang beriman dan mencela
dia.

Adapun sekalian yang baik daripada sebelah orang yang hitam, mengikrarkan
dirinya Islam dan menghentikan rebut-rampas dan menghentikan siar-bakar dan
menghentikan tikam bunuh, tetapi hingga mulut semata-mata. Itulah amal yang
jahat sekali-sekali. Sepuluh ganda lagi jahatnya amal sekalian orang nan hitam
ini, yaitu menyamun dan menyakar, maling dan curi, merebut dan merampas,
berjual orang, minum tuak dan minum kilang, memakan darah kerbau dan
memakan daging dengan tidak disembelih dan memakan ulat dan serangga,
memakai sekalian yang haram, menyabung dan berjudi, bergundik dan
menghisap madat dan berkhalwat dengan perempuan dengan tidak nikah dan
membinasakan mesjid dan membinasakan lebuh dan tepian dan membinasakan
larangan dan pegangan dan berputar-putar akal dan berdusta-dusta dan
menghukum antara segala manusia dengan aniaya dan meninggalkan
sembahyang dan enggan mengeluarkan zakat dan memperganda-gandakan
emas dengan tidak berniaga dan menghabis-habiskan janji antara segala
manusia dan berbuat sekalian pekerjaan yang melalaikan amal dunia dan
akhirat.
Itulah hukum yang tetap dalam kitab Tuanku Nan Tuo adanya.
WASIAT TUANKU NAN TUO
Wasiat Tuanku Nan Tuo kepada saya Pakiah Saghir sebagai lagi, bahwa
inilah suatu keterangan daripada segala ihwal diri saya.
Maka adalah tatkala hampir ajal Tuanku Nan Tuo, ialah meninggalkan petaruh
kepada saya, yaitu hendaklah engkau dirikan agama Allah dan agama Rasul
Allah dengan sebenarnya dan suruhkan di engkau akan segala manusia dengan
berbuat baik dan tegahkan di engkau akan mereka itu dengan berbuat jahat dan
hukumkan di engkau antara segala manusia dengan adil. Tuntutkan di engkau
akan balas segala anak saya yang mati masa dahulu.
Dan kini tuan-tuan orang Kompeni sudah tahu. Maka itulah besarnya
pekerjaan seperti hukum yang nyabut dalam surat keterangan ini dan diri saya
ini, nyatalah kesudah-sudahan daif manusia. Sebab itu dengan seboleh-
bolehnya permintaan saya, hendaklah tuan tolong jua saya menguatkan
pekerjaan yang dipetaruhkan Tuanku itu. Wa'ali Allah tarja'u alamurtam.-

TamaT

Keterangan.
Halaman.
1. Alamaik – alamat (nama).
2. Samiang – saja.
3. Warak – patuh pada Allah.
4. Tahkik – penetapan kebenaran dengan bukti yang sah.
5. Ilmu Alat – pengetahuan sebagai pembantu untuk mempelajari ilmu
Tauhid.

6. Parieh (purieh) – bapurieh balago, lama berlaga dengan hebatnya.


7. Kanai rampas – dirampas.
8. Kepala bermulut – juru bicara.
9. Lai – ada
10. Bersuatu – bersatu.
SYAIR PERANG KAMANG

PENGANTAR

Sejak bulan Maret 1908 setiap ternak besar yang dibantai,


diharuskan membayar pajak (belasting) sebesar 2% kepada
Pemerintah Belanda.
Peraturan pajak yang turun secara tiba-tiba itu sangat mengejutkan
masyarakat Sumatera Barat. Sebab tidaklah semua hewan yang
dibantai itu dijual untuk mencari keuntungan, tetapi ada pula untuk
merayakan Hari-Hari Besar Agama.
Menurut masyarakat sepantasnya hewan yang disembelih untuk
perayaan agama, dibebaskan dari segala macam pungutan
termasuk pajak yang baru diumumkan tersebut. Namun Pemerintah
Belanda bersikeras dan tetap memungut pajak yang sudah
ditetapkan, tidak perduli untuk apa ternak itu dibantai dengan sanksi
barang siapa yang melanggar akan ditangkap dan dipenjarakan.
Perlawanan pun terjadi, misalnya awal bulan Maret 1908
bermula di kawasan Nanggalo – Padang, kemudian menjalar ke
nagari-nagari lain seperti Lubuk Alung dengan korban 50 orang
tewas, Parit Malintang, Kayu Tanam, Batu Sangkar 45 orang
korban meninggal, Lintau – Buo yang menewaskan Kontrolir
Belanda J. Bastiaan, lalu pertengahan bulan Juni di Kamang yang
menelan korban hampir seratus orang penduduk, kemudian
berlanjut pula ke Manggopoh dengan ibu Siti-nya yang terkenal,
seterusnya pada tahun 1909 penembakan marsose Belanda di
makam Syekh Burhanudin menelan korban 45 orang anak negeri.
Dalam memadamkan pemberontakan di Sumatera Barat itu,
Pemerintah Belanda mengerahkan 1 dari 3 batalyon kavaleri
mereka dari pulau Jawa, yaitu kavaleri yang berada di Batavia.
Pengerahan tersebut amat mengkhawatirkan sementara kalangan
di kota tersebut. Mereka berpendapat, jika terjadi pula
pemberontakan di Batavia ini, sedangkan kavaleri sudah
diberangkatkan ke Sumatera, lalu dengan apa pemberontakan itu
dipadamkan.
Waktu itu koran berbahasa Belanda seperti Java Bode,
Bataviaasch Nieuwsblad dsb yang terbit Batavia, hampir setiap hari
menampilkan di halaman depannya berita Sumatera Barat yang
sedang bergejolak, demikian juga koran berbahasa Belanda De
Padangers yang terbit di kota Padang.

HAJI AHMAD MARZUKI

Haji Ahmad ini adalah anak Syekh Haji Abdul Manan seorang
tokoh agama terkemuka di kawasan itu.
Tatkala serdadu Belanda menyisir ke nagari Kamang mencari dan
menangkap Syekh yang dituduh telah membagi-bagikan jimat kebal
bertuah anti peluru, anaknya Haji Ahmad ditangkap lebih dahulu di
rumah istrinya di Kampung Tapi. Ia dipaksa Kepala Negeri dan
serdadu Belanda sebagai penunjuk jalan mencari ayahnya di
Kampung Tangah Kamang.
Usai perlawanan dengan kekalahan di pihak rakyat, Haji Ahmad
dipenjarakan selama 19 bulan di kota Padang. Setelah itu ia
dibuang ke Makasar dan mencari nafkah di sana sebagai tukang
reparasi jam. Beberapa tahun kemudian ia mendapat
pengampunan dan dipulangkan kembali ke Sumatera Barat.
SYAIR PERANG KAMANG

Nazam karangan Haji Ahmad yang disalin ini mungkin merupakan


satu-satunya buku yang berasal sumber bangsa sendiri yang
meriwayatkan perang yang mengerikan tersebut.
Sayangnya halaman terakhir buku asli yang ditemukan di
Perpustakaan Nasional Jakarta sudah tidak ada lagi.
Adapun buku asli Syair Perang Kamang ini bertulisan “huruf
melayu” berbahasa Melayu campur Minangkabau. Dalam menyalin
riwayat berbahasa Melayu – Minangkabau ini penulis lebih
mengutamakan riwayat yang menimpa negeri Kamang pada tahun
1908 itu dari pada bahasa nazam itu sendiri.
Mudah-mudahan salinan / saduran ini bermanfaat dalam
melengkapii sejarah perlawanan masyarakat Sumatera Barat
terhadap penjajahan.

Anas Nafis
SYAIR PERANG KAMANG

Dengan Bismillah hamba suratkan,


Alhamdulillah pujian ke Tuhan,
Selawat dan salam dua sejalan,
Atas Muhammad Rasul pilihan.

Sahabat nan alah pula serta,


Sekalian tabiin ikutan kita,
Di atas dunia jadi pelita,
Hingga kiamat dunia yang lata.

Amma Bakdu inilah peri,


Hamba yang hina Ahmad Marzuki,
Nazam dikarang dalam tangsi,
Akan perintang rusuhnya hati.

Hamba mengarang dagang yang papa,


Mengarang nazam jo1 air mata,
Setiap hari berhati duka,
Karena kuat syaitan mendaya.

Angin lah guncang di dalam dada,


Diri miskin tiada berharta,
Apa terkenal2 mengeluh saja,
Begitu nasib empunya nama.
Allahu Rabbi Tuhan ar-Rahman,
Mula-mula sengsara tiba di badan,
Di negeri Kamang orang namakan,
Malam Selasa petang Isnayan.

Pukul tiga malam serdadu datang,


Pikul senapan serta kelewang,
Tegak di halaman bedil dipegang,
Kemendur3 opas sudahlah terang.

Ada berdua Penghulu Kepala,


Hambapun lelap dijagakannya,
Diri terkejut jadi jaga,
Berlari ke pintu lekas segera.

Keduanya itu Penghulu Kepala,


Membuka pintu lekas segera,
Tiba di rumah kumisi4 pula,
Sudah kumisi banyaklah kata.

Rundingan banyak jadilah sudah,


Wahai Haji manalah ayah,
Kami mencari sangatlah payah,
Lah sampai kami ke Kampung Tengah.

Hamba menjawab selurus hati,


Di kampung Tengah di rumah bini,
Tuanku Mandua menghimbau hendak pergi,
Mari tunjuki sekarang kini.
Diambil baju lalu disarungkan,
Anak berpegang dari pada tangan,
Kiri dan kanan belakang hadapan,
Memegang ayah jangan berjalan.
Kemendur berkata lekas segera,
Wahailah upik tidak mengapa,
Berilah ayah pergi jo hamba5,
Saya mengaku tidak binasa.

Kemendur berkata sekarang zaman6.


Jadi menangis anak sekalian,
Kiri dan kanan belakang hadapan,
Memegang ayah jangan berjalan.

Kemendur berpikir tengah halaman,


Jadi berjalan ianya sekalian,
Soldadu mengiring dengan barisan,
Opas di belakang pula mengiringkan.

Diberilah duduk waktu itu,


Wahailah anak peganglah lampu,
Hati di dalam janganlah ragu,
Senangkan hati supaya tentu.

Anak berkata masuk sekarang,


Janganlah ayah pergi berperang,
Badan kok mati nyawa berpulang,
Di ini kampung di lebuh gadang.

Wahailah anak buah hati sayang,


Aku berjalan jangan dilarang,
Melihat ayah nyawa berpulang,
Ke negeri akhirat kampung yang lengang.

Hamba berjalan lekas segera,


Pukul tiga malam supaya nyata,
Kiri dan kanan memandang juga,
Di kampung Tengah setelah tiba.

Hamba berjalan diri seorang,


Kiri dan kanan memandang-mandang,
Didapati serdadu pegang kelewang,
Sekeliling rumah supaya terang.

Hamba lah tiba pula di sana,


Serdadu baris hamba lihatkan,
Menghindar sedikit hamba ke sana,
Ianya menghindar hamba berjalan.

Hamba lah tiba pula di sana,


Penghulu Kepala lalu berkata,
Wahai Haji Ahmad bernama,
Pergilah cahari lekas segera.

Tuan Seteneng lalu berkata,


Wahailah Haji Ahmad bernama,
Lihat ayahmu lekas segera,
Kami mencari tidak bersua.

Naik sekali ke atas rumah,


Dilihat pintu sudahlah pecah,
Sebab soldadu menghantam rumah,
Ianya berpusing mencari ayah.

Hambalah tiba di atas rumah,


Wahailah bunda manalah ayah,
Bunda menjawab tidak di rumah,
Ayahlah yang hilang takdir Allah.

Berulang-ulang bunda mencari,


Tiap-tiap bilik ia masuki,
Ke atas ke bawah ia caliki8,
Tidak bertemu sampai ke kini.

Hamba berjalan turun di tangga,


Kepada Kemendur aku berkata,
Rupanya ayah tidak di sika9,
Di nagari Bansa tempat dianya.

Tuan Seteneng lalu berkata,


Marilah cari semalam iko10,
Diri berjalan lalu segera,
Dengan soldadu berjalan semua.

Penghulu kepala lalu mengiringkan,


Bersama Haji Ahmad namakan,
Baru sebentar lalu berjalan,
Bertemu Batudung di tengah jalan.

Penghulu Kepala lalu berkata,


Kepada Batudung ialah nama,
Tangan Batudung dipegangkannya,
Ditarik ke belakang dengan segeranya.

Berjalan juga sekarang zaman,


Pergi mencari Syekh Abdulmanan,
Ayah Haji Ahmad tidaklah bukan,
Bersama mencari pergi berjalan.

Engku Syekh Abdul Manan orang yang tua,


Di dalam nagari kamang namanya,
Tempat menampung yang benar kiranya,
Itulah sebab dicari juanya.

Dan lagi pula waktu itu,


Beliau tertuduh di zaman itu,
Memberi azimat satu persatu,
Tiap-tiap orang kabarnya itu.

Azimat itu kabarnya orang,


Akan di bawa terus berperang,
Tidak telap piluru menantang,
Yaitu pitanah kepada orang gadang.

Tambah berjalan sedikit lagi,


Lalu melihat kemendur tadi,
Kepada Betudung memberang sekali,
Barangkali awak ang hindok11 di sini.

Hamba pun diam tidak berjalan,


Serdadu melingkar kiri dan kanan,
Tidaklah dapat akan dikatakan,
Berasakan hilang nyawa di badan.

Pikiran hamba waktu itu,


Tidaklah nan lain tempat mengadu,
Melainkan Allah Tuhan yang satu,
Terhindar hendaknya bahaya itu.

Baru sebentar Angku Mandur berkata,


Kepada hamba Haji Ahmad nama,
Dengan Batudung sama serta,
Jangan melawan begitu katanya.

Hamba Haji Ahmad lalu menjawab,


Tunduk kepala lalu berhadap,
Adakah boleh aku menjawab,
Sekalian tidak itulah jawab.

Keduanya orang kamu jangan menjawab,


Di muncung tidak hati menghadap,
Kedua orang itu mesti ditangkap,
Di bawa ke bui ke kamar gelap.

Batudung menjawab dengan segera,


Dengan Haji Ahmad sama serta,
Itu timbangan tuan semata,
Digantung tinggi hamba pun suka.

Ketika itu Angku Kepala berkata,


Kepada Batudung deras suara,
Mana Batudung pegawai hamba,
Marilah lekas dengan segera.

Batudung keluar ketika itu,


Ketika dilingkung oleh soldadu,
Maksudnya berjalan waktu itu,
Angku Mandur mahariak pula di situ.

Waktu itu Angku Mandur memberang,


Keras suaranya bukan kepalang,
Batudung di periksa masa sekarang,
Barangkali ada pakai kelewang.

Soldadu terus pergi kumisi,


Keliling tubuh Batudung tadi,
Kebetulan ada kelewang dicari,
Di dalam kain dia selimuti.

Haji Ahmad tercemas di sana,


Tidaklah jadi ianya berjalan,
Memandang jua kiri dan kanan,
Bak itu lah nasib masa di sana.

Maksud berjalan masa di sana,


Angku Mandur mahariak11 pula di sana,
Kepada Batudung orang namakan,
Kamu sekarang mau melawan.

Batudung berkata masa di sana,


Adakah patut hamba melawan,
Tuan raja tinggi angkatan,
Tidaklah patut kita melawan.

Tuanku Mandur lalu berkata,


Kepada soldadu pula semuanya,
Ikut olehmu dengan segeranya,
Soldadu melingkar dengan segeranya.

Tangan Batudung lalu dipegang,


Lalu diondoh12 pula ke belakang,
Angku Mandur berjalan masa sekarang,
Soldadu mengiring pada belakang.

Hamba pun diam tidak berjalan,


Senapang berbunyi hilang pikiran,
Rasokan melayang nyawa di badan,
Ayah dicari tidak kelihatan.

Bunyi senapang gegap gempita,


Batudung kena jatuh tertimpa,
Patalah kaki apalah daya,
Hilang pikiran pada seketika.

Allahu Rabbi khaliqul alam,


Bunyi senapan berdentam-dentam,
Gegap gempita rasanya alam,
Setengah mati setengah terbenam.

Setengah lari berserak-serak,


Entah ke mana badan tercampak,
Ada nan luka kaki pun rusak,
Setengah berjalan jadilah tenjak.

Umat di situ berbagai macam,


Setengah lari ke rimba dalam,
Setengah pecah tulang di dalam,
Karena soldadu datang menghantam.

Allahu Rabbi Tuhan yang menang,


Ayam berkokok hampirlah siang,
Burung berbunyi hampirlah datang,
Perang berhenti sudahlah tenang.

Takdir Allah Tuhan yang kaya,


Ayah dicari tidak bersua,
Puas mencari kiri kanannya,
Sampai bersua di satu masa.

Waktu hamba mencari ayah,


Di mana umat di situ banyak nan rebah,
Hilir dan mudik kiri kananlah,
Laki-laki perempuan tidak tentulah.

Ayah hamba itu rasa di mata,


Puas mencari tidak bersua,
Hilir dan mudik dijalani jua,
Tidak bertemu hatilah duka.

Jihat yang empat sudah dijalani,


Ujung jo puhun13 demikian lagi,
Mencari ayah kandung sendiri,
Tidaklah ayah dapat dicari.

Ketika hamba mencari ayah,


Hati di dalam sangatlah gundah,
Waktu subuh hampir terbitlah,
Setengah lima kalau tak salah.

Ya Allah Tuhan yang menang,


Ummat di situ silang bersilang,
Meminta air sedikit seorang,
Haus nan sangat bukan kepalang.

Ya Allah Tuhan yang rahman,


Menjadi juara pangkat di sanan,
Siapa meminta hemat berikan,
Seorang tidak ada berkawan.

Waktu subuh sudahlah tiba,


Tampak di situ roman jo rupa,
Waktu itu ayah bersua,
Tidaklah dapat akan dikata.

Hibanya hati bukan kepalang,


Ayah dilihat sudahlah terang,
Badan rusak nyawa berpulang,
Hati di dalam menaruh bimbang.

Hamba menangis sangatlah duka,


Diremas perut ditampar dada,
Akalpun hilang apa bicara,
Gunung nan tinggi rendah rasanya.

Dalam menangis berkata aku,


Wahai ayah mengapakan aku,
Apa kesalahan atas diriku,
Untung14 di akhirat kita bertemu.

Wahai ayahku jantung pengarang,


Ajallah mati nyatalah terang,
Ananda tinggal berhati bimbang,
Entah bak mana masa sekarang.

Ayah dipangku hendak dibawa,


Kiranya ayah sangat beratnya,
Hamba berjalan dengan segera,
Mencari kawan itu sengaja.

Ayah dibawa sama sekali,


Orang menolong beramai-ramai,
Tolan sahabat kakak dan uni,
Menjelang kampung rumah sendiri.

Dibawa ayah bersama-sama,


Menjelang kampung tempat diamnya,
Naik jenjang rumah tangga,
Ayah dibujur bersama-sama.

Ayah dibujur tidur telentang,


Kiri dan kanan orang pun datang,
Laki-laki perempuan kecil dan gadang,
Semuanya menangis berhati mamang.

Hamba pulang waktu itu,


Ditapati anak bertutup pintu,
Wahai anak bukalah pintu,
Pintu terbuka hamba pun lalu.

Di atas rumah hamba pun tiba,


Anak perempuan lalunya bertanya,
Perasaian untung dibilang pula,
Anak menangis serta ibunya.

Wahai anak buah hati sayang,


Engkau menangis ayah melarang,
Sudah takdir Tuhan yang menang,
Tidak boleh kita melarang.

Hamba kembali lekas segera,


Tidaklah banyak dapat bicara,
Ayah tinggalkan anak sementara,
Lekas kembali ayah di sini.

Jam pukul enam kiranya hari,


Hamba berjalan terus kembali,
Tempat peperangan tibalah diri,
Telah tiba hamba di peperangan tadi.

Hamba melihat kian kemari,


Kiranya orang sudahlah rami,
Penuh bersesak di pekarangan tadi,
Mahanyo15 mait yang sudah mati.

Allah Allah Tuhan yang kaya,


Banyak macamnya bekasnya pisau,
Setengah berserak geraham kepala,
Tidaklah dapat riwayat mengata.

Wahai saudara kakak dan adik,


Banyak macam hamba lihati,
Rompaklah dada tidaklah seperti,
Sampai ke punggung tidak bersisi.

Wahai saudara segala tolan,


Tidaklah cukup hamba syairkan,
Maklumlah kita dalam peperangan,
Rampok jo rebut hamba lihatkan.

Nan heran benar hamba pikiri,


Bekas peluru orang kompeni,
Dilihat di muka segadang16 menjadi,
Rompak ke punggung tidak seperti.

Sangatlah banyak ummat di situ,


Melihat mait satu per satu,
Dicampur pula dengan soldadu,
Jam pukul tujuh waktu itu.

Ya Allah Tuan Rabbani,


Hamba kirahi ummat yang mati,
Seratus lebih kurang tak jadi,
Begitu ingatan hati sendiri.

Wahai sahabat tolan saudara,


Famili juga nama di kita,
Sembilan orang tampak di mata,
Dibawa soldadu pagi harinya.

Sebelum dibawanya mait yang mati,


Air mata keluar tidak seperti,
Semacam kain di kelantang rang dobi17,
Begitu terjadi hamba lihati.

Satu persatu mait lah tentu,


Dicari pedati waktu itu,
Pembawa mait pengumpul satu,
Pekuburan panjang dibikin tentu.

Wahai saudara kakak dan adik,


Tolong doakan mait yang mati,
Jangan berbahaya di belakang hari,
Begitu pinta kepada Rabbi.

Penglihatan sudah jalan segera,


Di Kampung Tengah tibalah hamba,
Didapati orang sangatlah sesaknya,
Mencari rundingan secara benarnya.

Sesudah ayahku dikuburkan orang,


Di situ hati bertambah mamang,
Setiap hari pagi dan petang,
Entah kemana badan terlayang.

Tahun seribu tiga ratus dua puluh enam,


Situ cobaan nan sangat tajam,
Banyaklah mait orang Islam,
Waktu perang hari malam.

Sampailah ayah dikali tujuh,


Datang pula orang mengicuh,
Menjemput hamba tak boleh tangguh,
Sananlah hati makanya rusuh.

Anak berkata sambil terkejut,


Wahailah ayah jangan bergulut18,
Minum dahulu kopi menghirup,
Entah pabila ayah akan surut.

Entah pabila ayah akan pulang,


Entah ke laut merantau panjang,
Minum dahulu ayahku sayang,
Anak kan tinggal berhati mamang.

Wahailah anak buah hati hamba,


Minum dan makan tidak terkawa19,
Karena panggilan keras rasanya,
Darah pun hilang di dalam dada.

Hamba berjalan masa sekarang,


Anak menurut pada belakang,
Sampai ke lepau ke lebuh simpang,
Anak dilihat berhati goyang.

Wahailah anak jangan pergi,


Pulanglah engkau balik kembali,
Aku berjalan di hari ini,
Entah kemana badan pergi.

Anak perempuan tidaklah mau,


Biarlah kami turut soldadu,
Tidaklah guna hidup badanku,
Sama terkurung biarlah aku.

Wahai anakku serta perempuan,


Janganlah itu engkau jawabkan,
Pergilah pulang rumah berhunikan,
Pintakan saja kepada Tuhan.

Allahu Rabbi Tuhan yang menang,


Anak berbalik kembali pulang,
Jadi bercerai tolak belakang,
Situ beragak kasih dan sayang.

Aku berjalan bergegas-gegas,


Matahari terbit hari pun panas,
Sebentar tiba di gudang luas,
Aku pun masuk hati pun cemas.

Takdir Allah Tuhan yang satu.


Tuanku Laras tidak di situ,
Gudang dihuni oleh soldadu,
Apa salahnya tidak ku tahu.

Tuan sapiran21 lalu bertanya,


Wahai Haji Ahmad nama,
Luka di kening ditanyakannya,
Lihat di tuan supaya nyata.

Sekali lagi ia katakan,


Wahailah Haji hendak dengarkan,
Pergi ke tangsi segera jalan,
Pasang pelenggu opas sarasan22.

Hamba menjawab dengan segera,


Pasang pelenggu janganlah hamba,
Turut parentah hamba pun suka,
Hamba dibelenggu apalah guna.

Tidak hamba akan nak lari,


Apa gunanya pelenggu besi,
Hamba pun duduk atas kursi,
Tidak berkawan seorang diri.

Hambalah duduk pada seketika,


Tuan aspiran lalu berkata,
Kepada soldadu menyuruh menjaga,
Kabarnya banyak mau mencoba.

Datang soldadu pula kemudian,


Tidak telap di piluru ia katakan,
Arwah melayang rasa di badan,
Hilang rona terkejut iman.

Datanglah pula takdir Tuhan,


Pukul satu berbunyi datanglah hujan,
Soldadu lari ia berjalan,
Hamba pun tinggal pula di sana.

Datang soldadu pula sekarang,


Wahailah aku baik ke gudang,
Hujan pun lebat mata memandang,
Hamba pun naik pula sekarang.

Dalam beranda tegak berdiri,


Datang serdadu membawa kursi,
Hamba pun duduk hati lah sunyi,
Hujan nan lebat Allahu Rabbi.

Sersan Belanda ada kasihan,


Rokok bergiling ianya berikan,
Api pun tidak apa pikiran,
Pada soldadu dia pintakan.

Sersan itu sangatlah penyayang,


Melihat hamba berhati mamang,
Kabarlah banyak hatilah senang,
Ganti berganti kabar dibilang.

Pukul empat berbunyi sudahlah nyata,


Serdadu berbaris membawa hamba,
Di tengah baris diletakkannya,
Diri berjalan terbang rasanya.

Allah Allah Tuhan Rahman,


Di nagari Kapau ditapuang23 hujan,
Hujan nan lebat tidak bandingan,
Kain pun basah dinginlah badan.

Allah-Allah Tuhanku Rabbi,


Kaki berpijak sangatlah ngari,
Sebentar tiba di Bukittinggi,
Lalu sekali ke dalam tangsi.

Di dalam tangsi duduklah hamba,


Badanlah dingin apalah daya,
Kainlah basah sekaliannya,
Datang jaksa pula menanya.

Jaksa bertanya sangatlah garang,


Kamu ke Kamang pergi berperang,
Diri menjawab habislah tenggang,
Arwah di badan rasa terbang.

Hamba menjawab pada masa itu,


Hamba pun pulang pada hari Saptu,
Tidak nak perang maksud aku,
Sebab perempuan ada di situ.

Ada seorang pula Belanda,


Tubuhnya besar gagah rupanya,
Sebuah senapang dipegangkannya,
Kemuka aku dientakkannya.

Tetapi tidak ia lakukan,


Tidak telap di piluru ia katakan,
Allahu Rabbi Tuhan yang rahman,
Rasa melayang arwah di badan.

Angku jaksa lalu berkata,


Kepada tukang kunci Atos namanya,
Tutuplah Haji Ahmad nama,
Iapun datang lekas segera.

Wahailah Haji marilah kita,


Sebentar berjalan jadilah tiba,
Pintu tutupan dibukakannya,
Hamba pun masuk lekas segera.

Tiba di dalam duduk sekali,


Kain pun basah apalah budi,
Badan pun dingin Allahu Rabbi,
Baju dipiuh disarungkan sekali.

Didapati orang telah bertiga,


Kecek mengecek pula di sana,
Soldadu datang pada itu masa,
Mengatakan berani ialah hamba.

Segera pintu orang tutupkan,


Badanlah dingin tidak bandingan,
Kemudian nasi orang ulurkan,
Bak rasa sekam baru dimakan.

Semalam itu habislah budi,


Kainlah basah apa pengganti,
Badan pun dingin jadilah pasi25,
Batu keliling di tengah diri.

Semalam itu hati pun susah,


Badan pun dingin bersahap basah,
Dingin nan sangat bukanlah ulah,
Begitu nasib takdir Allah.

Semalam itu habislah tenggang,


Ayam berkokok hampirlah siang,
Burung berbunyi waktu datang,
Diambil uduk lalu sembahyang.

Harinya itu hari Arbaa,


Hamba dipanggil engku Jaksa,
Di kantor sipir di situ tinggal,
Ia menanya nama dan gelar.

Lain dari itu tidaklah kabar,


Pergilah kamu di mana tinggal,
Hamba berjalan opas mengantar,
Masuk tutupan ke dalam kamar.

Harinya Kamis waktu pagi,


Opas lah datang membuka kunci,
Tangan berikat pelenggu besi,
Diri keluar tangan bertali.

Opas membawa tiba di pasar,


Lalu sekali ke kantor Tuan Besar,
Tiba di situ tidaklah kabar,
Tegak di situ ada sebentar.

Tuan Besar berkata sedang menekur,


Hendaklah kamu bawa kepada kemendur,
Hamba berjalan darah berdebur,
Hamba di situ duduk menekur.

Tuan Seteneng lalu berkata,


Wahai Haji Ahmad nama,
Mengambil bedil apa sengaja,
Demikian kelewang sama serta.

Hamba menjawab berlemah kata,


Meminta ampun tunduk kepala.
Mengambil bedil tidaklah hamba,
Mengambil kelewang aku pun ia.

Seteneng berkata semasa itu,


Kabarnya keras tidaklah judu,
Mau memecah kepala aku,
Rasa melayang nyawa badanku.

Ia berkata sekali lagi,


Pergilah engkau ke dalam tangsi,
Diri berjalan tangan bertali,
Opas mengiring kanan dan kiri.

Di dalam tangsi hamba lah tiba,


Pelanggu tangan berbuka pula,
Hamba kan masuk kamar terbuka,
Perasaian untung dikabarkan pula.

Hari Jumat pagilah hari,


Situ pikiran makanya sunyi,
Melihat orang sangatlah ramai,
Tolan sahabat kakak dan adik.

Hari Saptu waktu siang,


Membukakan kunci opas lah datang,
Di hari ini engkau ke Padang,
Pelenggu besi lalu ia pasang.

Hari Saptu waktu pagi,


Opaslah datang membuka kunci,
Lalu berkata sama sekali,
Angku ke Padang di hari ini.

Pelenggu besi lalu ia pasang,


Tiga belas kami sudahlah terang,
Tangan berikat sebelah seorang,
Hela-berhela bertegang-tegang.

Setengah berempat setengah bertiga,


Keluar di tangsi berhela-hela,
Opas mengiring berdua-dua,
Pergi ke setasiun ianya membawa.

Dalam setasiun tibalah kami,


Kami di situ tegak berdiri,
Menanti tiba kereta api,
Orang melihat sangatlah rami.

Allahu Rabbi Tuhan yang kaya,


Orang melihat sangat ramainya,
Hati nan rusuh tidak terkira,
Jatuh ke perut air mata.

Sebentar kami ada menanti,


Kereta tiba naik sekali,
Wallahu ‘alam rusuhnya hati,
Entah kemana badan pergi.

Allahu Rabbi Tuhan yang menang,


Lonceng berbunyi jalan sekarang,
Kereta jalan rasa terbang,
Sebentar tiba di Padang Panjang.

Allahu Rabbi Tuhan Rahman,


Di atas kereta turunlah badan,
Serdadu menanti dengan barisan,
Kiranya diri masuk karapusan.

Kerapusan sempit tidak terkira,


Ada termuat kami bertiga,
Pukul satu berbunyi waktu tiba,
Tidak berwuduk sembahyang saja.

Kami lah sudah dari sembahyang,


Serdadu datang pegang kelewang,
Pelenggu besi lalu ia pasang,
Kami pun tegak ia membilang.

Kami berbaris pula semuanya,


Dihalaunya kami seperti kuda,
Kiri dan kanan pegang senjata,
Masuk setasiun supaya nyata.

Semuanya kami naik deresi26,


Jalan segera lonceng berbunyi,
Cepat kereta Allahu Rabbi,
Di Kayu Tanam tibalah kami.

Di Kayu Tanam setelah tiba,


Perut lah lapar sekaliannya,
Dibeli nasi segadang saja,
Air di bendar diminta pula.

Di Kayu Tanam berangkat sekali,


Kencang kereta Allahu Rabbi,
Di gudang mesiu tibalah kami,
Tiba di situ lah senja hari.

Di gudang mesiu setelah tiba,


Ke Pulau Air berangkat pula,
Kami keluar sekaliannya,
Datang soldadu dua orang Belanda.

Dibawanya kami ke dalam tangsi,


Tiba di situ duduklah kami,
Diberinya lapik bantal jerami,
Sebuah belik kan tempat nasi.

Allhu Rabbi Tuhan yang kaya,


Pukul delapan berbunyi pula,
Perut lah lapar tidak terkira,
Nasi diminta tidaklah ada.

Lalu berkata tuan sapiran,


Kamu sekarang tak dapat makan,
Perut nan lapar tidak bandingan,
Air diminta ia berikan.

Air pun dapat minum bersama,


Hauspun lepas hilang dahaga,
Opas berkata marilah kita,
Kami lah tegak dengan segera.

Opas membawa ada berdua,


Kami berjalan dengan segera,
Lapik dikepit bantal isinya,
Di pintu kamar setelah tiba.

Ke dalam kamar masuklah kami,


Dikembangkan lapik sama sekali,
Bantal nan keras Allahu Rabbi,
Kulitnya jangat isinya jerami.

Orang Air Bangis ada di sana,


Perasaian untung dikabarkan pula,
Opas pun datang lalu berkata,
Kamu nan jangan buka bicara.

Kami lah tidur pula sekalian,


Di dalam hati banyak angan-angan,
Entah di mana rasanya badan,
Dibawa lelap jadi resian.

Pukul lima berbunyi hari pun siang,


Diambil uduk lalu sembahyang,
Sudah sembahyang duduk bersenang,
Rundingan banyak berhati mamang.

Telah pukul enam kiranya hari,


Orang lah datang mengantar nasi,
Segantang susu27 ianya membagi,
Garam sedikit pemakan nasi.

Allahu Rabbi Tuhan yang kaya,


Pukul sembilan berbunyi pula,
Datanglah nasi serta maca28,
Antah dan dedak sama serta.

Nasi diambil lalu dimakan,


Antah dan dedak ia campurkan,
Baru dikunyah ngilu geraman,
Begitu nasib perasaian badan.

Diberinya bantai sekali dua hari,


Bantai tak masak keras sekali,
Di situ susah nan tanggal gigi,
Begitu untung perasaian diri.

Barang nan tua hilang akal,


Bantai keras geraman tanggal,
Duduk bermenung lalu menyadar,
Di dalam hati berapa sesal.

Diambil bantal lalu bermenung,


Setengah menggigit setengah menapuang 29,
Setengah menghibau uwai30 nan kandung,
Di dalam tangsi begitu untung.

Allah-Allah Tuhan Rabbi,


Tuan Seteneng datang sekali,
Ianya berkata suara tinggi,
Sekali jangan diberi nasi.

Sekali jangan diberi makan,


Biarlah mati dalam tutupan,
Kami menekur pula sekalian,
Rasa melayang arwah di badan.

Ianya berjalan lekas segera,


Kami pun menyangkal banyaklah kata,
Kita semuanya dimarahi bapa,
Janganlah pula masuk ke dada.

Waktu malam pukul delapan,


Lonceng berbunyi seberapa ketukan,
Mandor merentak dengan kemegahan,
Orang tangsi diam sekalian.

Ada sebulan sesudah itu,


Datang berdua pula soldadu,
Diambilnya kunci dibukanya pintu,
Ia berkata satu per satu.

Di dalam kamar keluarlah kami,


Tangan berikat pelenggu besi,
Opas mengiring kanan dan kiri,
Pegang kelewang sama sekali.

Di atas kantor setelah tiba,


Pelenggu tangan dibukakannya,
Tuan besar berkata kepada hamba,
Wahailah Haji Ahmad nama.

Kesalahan kamu banyak macamnya,


Membuat azimat mula pertama.
Memberi orang jangan telap di peluru,
Menanam di dalam pintu kaporo31.

Hamba menjawab berlemah kata,


Sekalian perkataan itu tiada,
Sekali tidak pekerjaan hamba,
Janglah tuan sak dengan sangka.

Kabarlah sudah berkata polisi,


Kamu keluar sekarang kini,
Kami pun tegak lalu berdiri,
Segera jalan sama sekali.

Tiba di luar duduk sebentar,


Situlah hati makanya gusar,
Karena kesalahan teranglah kabar,
Pikir di hati nagari tinggal.

Opas berkata kepada kami,


Kamu dipilanggu sama sekali,
Pilanggu lekat jalanlah kami,
Opas mengiring kanan dan kiri.

Ke dalam kamar masuk sekalian,


Tibalah pula kami di sana,
Banyaklah tanya kiri dan kanan,
Tanya menanya perasaian badan.

Perasaian hamba sangatlah gadang,


Pitanah banyak bukan kepalang,
Tuah azimat disebut orang,
Menanam azimat di pintu gerbang.

Sembilan belas bulan di tangsi Padang,


Tuan sekretaris sekali datang,
Menanyakan pekerjaan tiap-tiap orang,
Tempat lahir diri di minta orang.

Aku menjawab duduk bermenung,


Tempatku lahir di negeri Semenanjung,
Bundaku di situ memberi untung,
Jadi bertemu Kamang jo Candung.

Sekeretaris datang sekali lagi,


Mengatakan pindah ke negeri Betawi,
Dua puluh tiga orang sama sekali,
Hatilah rusuh apalah budi.

Di dalam tangsi kami di keluarkan,


Di pasang pelenggu pula sekalian,
Diri barangkali kambing jagalan,
Opas mengiring kiri dan kanan.

Lama di jalan ada sebentar,


Tiba di setasiun naik kereta,
Di situ hati sangatlah gusar,
Pikir di hati kampung lah tinggal.

Lonceng berbunyi jalan sekali,


Ke Teluk Bayur di bawa kami,
Tiba di situ turunlah kami,
Dalam setasiun tegak berdiri.

Sebentar tegak datanglah kabar,


Perentah datang naik ke kapal,
Salam bersalam selamat tinggal,
Selamat pergi belasan kabar.

Pukul sebelas setelah tiba,


Kapal berangkat sudahlah nyata,
Air mata terbit jatuh ke dada,
Entah mau pulang entah tiada.

Allahu rabbi Tuhan yang menang,


Kapal berjalan umpama kumbang,
Sangat cepat rasa terbang,
Entah kemana badan terlayang.

Allahu Rabbi Tuhan yang rahman,


Nazam dikarang perasaian badan,
Negeri Makasar tempat kediaman,
Sekali lagi tambah perasaian.

Tiga tahun lama badan terbuang,


Negeri Makasar supaya terang,
Tiap waktu menaruh bimbang,
Mendengar amanat menyeru pulang.

Takdir Allah Tuhan Ilahi,


Hari Selasa paginya hari,
Diambil kereta jalan sekali,
Sudah sembahyang bersimpan diri.

Sebentar berjalan jadilah tiba,


Naik ke pasar lekas segera,
Meminta nasi itu sengaja,
Sudahlah makan jalan segera.

Tempat kerja lalu dibukak,


Dilihat arloji mana yang rusak,
Supaya diganti mana yang tidak,
Diambil perkakas pula pembukak.

Lama sebentar pula seketika,


Opaslah datang kepada hamba,
Tegak berdiri lalu bicara,
Angku terpanggil sekarang ini.

Diri terkejut hatilah mamang,


Wahailah udo32 biarlah terang,
Hatiku ini supaya senang,
Opas menjawab jalan sekarang.

Diambil baju lekas segera,


Kereta angin lalu dibawa ,
Di halaman kantor setelah tiba,
Naik di kantor lekas segera.

Tuan besar berkata masa sekarang,


Kamu dipanggil ke negeri Padang,
Diri menjawab habis tenggang,
Harap dan cemas serta mamang.

Tuan besar berkata sedemikian,


Jika ada barang hendaklah simpan,
Pergi dengan opas hendak turutkan,
Di beli tali masuk ke pekan.

Diri berjalan masa sekarang,


Opas mengiring pada belakang,
Dibeli tali pengebat barang,
Hati di dalam menaruh mamang.

Barang diikat serta peti,


Opas melihat tidaklah sunyi,
Sudah bersimpan jalan sekali,
Pergi dengan opas ke kantor tadi.

Pada buku asli, halaman terakhir tidak ada.

Keterangan
1. Jo - dengan.
2. Terkenal - maksudnya “takana” - teringat.
3. Kemendur - Tuanku Mandor atau Kontrolir.
4. Kumisi - menggeledah.
5. Hamba - dalam nazam ini maksudnya “hamba wet” atau polisi dsb.

6. Zaman - masa, waktu.


7. Seteneng - maksudnya L.C. Westenenk, Kontrolir wilayah Agam.
8. Caliki - lihati.
9. Di sika (di siko) - di sini.
10. Iko - ini.

11. Mahariak - membentak.


12. Diondoh - didorong.
13. Puhun - pangkal.
14. Untung - nasib.
15. Ma nyo - mana dia, manalah.

16. Segadang - mata uang logam jaman dulu.


17. Rang dobi - tukang binatu.
18. Bergulut - terburu-buru.
19. Terkawa (takao) - mampu, telap.
20. Sapiran - aspiran (sipir penjara ?).

21. Sarasan - sersan.


22. Ditapuang - di sini dimaksud diguyur hujan.
23. Tutuplah - kurunglah.
24. Pasi - maksudnya pucat pasi.
25. Deresi - gerbong penumpang kereta api.

26. Segantang susu - takaran dari kaleng susu.


27. Maca (maco) - ikan kering kecil.
28. Manapuang - memukul, menghantam.
29. Uwai - ibu.
30. Pintu kaporo - pintu gerbang atau pintu masuk ke halaman.

31. Udo - nama panggilan, di sini maksudnya “abang atau pak polisi”.
HIKAYAT NAHKODA MUDA

BIOGRAFI PEDAGANG LADA


ASAL MINANGKABAU DI LAMPUNG
(De Biografie Van Een Minangkabausen
Peper Handelaar In De Lampongs)

Alkisah. Ini hikayat suatu cerita tatkala nenggeri Semangka akan


diduduki kompeni Wolanda dari pada permulaannya datang kepada
kesudahannya. Karena tuan petor Butter Hunnings petor di Lais
hendak mendengar kabar itu, itulah sebab maka disuratkan kabar ini.

A da suatu orang Melayu Minangkabau, Bayang nama nenggerinya.


Adapun gelar Baginda itu Nahkoda Mangkuta. Maka baginda pergi
berdagang ke tanah Jawa, lalu baginda berlayar dari pada suatu nenggeri
datang kepada suatu nenggeri, tiada terbilang nama nenggeri tanah Jawa yang
dimasuki baginda itu pergi berdagang.

Syahdan maka baginda lalu berlayar ke pulau Karimata. Adapun pulau itu
antara nenggeri Pasir dengan nenggeri Banjar. Tetapi pulau itu, banyak anak
Melayu diam berdagang dalam pulau itu, karena ada tempat orang menambang
emas pada masa jaman itu. Maka baginda berbini di sana, karena dilihat baginda
senang saja orang mencari kehidupan dalam pulau itu.
Ada barang tiga musim antaranya maka datanglah angkatan panglima
Tuasah dari nenggeri Bugis hendak mengalahkan orang di dalam pulau itu.
Sebab maka hendak dialahkannya, karena kedengaran kabarnya terlalu banyak
orang yang kaya-kaya di dalam pulau itu. Itu peranglah orang di dalam pulau itu
dengan panglima Tuasah. Ada sebulan lamanya berperang itu, alah orang di
dalam pulau itu, sebab tiada terlawan, karena terlalu banyak orang membantu
panglima itu. Maka orang di dalam nenggeri itu larilah masing-masing membawa
dirinya, ada yang lari dengan perahu, ada yang lari dengan sampan, ada yang
lari jalan kaki.
Adapun Nahkoda Mangkuta lari dengan perahu, keluar malam hari, tiada
kelihatan oleh musuh ketika baginda keluar itu. Maka baginda sampailah ke
tanah Banjar suatu nenggeri Tajau namanya. Maka iapun masuk ke dalam
nenggeri itu. Ada semusim baginda duduk di dalam nenggeri itu beranak
seorang laki-laki bernama Encik Tajau.

Syahdan ada umur tiga musim anakanda itu, maka baginda pikir seketika di
dalam hati baginda itu: Baiklah hamba pindah dari nenggeri ini, karena siapa
tahu hamba mati anak hamba lagi kecil, tiada bangsa hamba nenggeri ini, pasti
anak hamba susah sepeninggal hamba. Demikian pikir Nahkoda Mangkuta.
Syahdan maka disuruh baginda baiki perahu pada segala anak perahu.
Setelah lengkap semuanya perkakas perahu maka membeli dagangan akan
dibawa berlayar ke tanah Lampung. Maka datanglah ketika yang baik, maka
berlayar dengan isi rumah baginda.
Tiada hamba kabarkan berapa lamanya baginda berlayar itu maka sampailah
ke tanah Piabung. Adapun nenggeri itu banyak Melayu diam di sana.
Tetapi ada pangeran yang memegang nenggeri itu bergelar Pangeran
Surabawa, Sultan Bantan yang memberi gelar itu. Maka Nahkoda Mangkuta
pergi menjelang Pangeran Surabawa, maka dia berkata kepada pangeran itu
daripada permulaannya datang kepada kesudahannya tatkala baginda
meninggal pulau Karimata, semuanya dikabarkan baginda kepada pangeran itu.
Terlalu belas kasihan hatinya sebab mendengar kabar Nahkoda Mangkuta itu.
Maka kata Pangeran Surabawa: “Baiklah Nahkoda Mangkuta diam sekali disini,
jangan berlayar lagi, karena Nahkoda sudah tua. Kalau hendak mencari, banyak
pula pencarian di sini lalu ke Bantan”. Maka kata Nahkoda Mangkuta: “Baiklah
Pangeran”. Setelah sudah berkata-kata, maka Nahkoda Mangkuta pulanglah ke
perahunya membongkar muatan perahu. Setelah sudah membongkar muatan
perahu, lalu digalangkan sekali. Setelah sudah menggalang perahu, lalu
membuat rumah di Kuala Piabung itu, maka baginda berniaga. Banyak orang
Lampung dan Melayu datang membeli dagangan. Jikalau hendak pergi berkata-
kata saja, dilawan baginda berkata-kata dengan mulut manis dan muka yang
jernih dengan basa yang baik. Tiadalah ia membuat jalan yang jahat dan tiada
baginda berhati dengki kepada orang di dalam nenggeri itu. Beberapa lama
baginda diam di dalam nenggeri Piabung itu, semuanya orang suka kepada
baginda itu, sebab budinya baik kepada orang banyak.
Adapun anakanda yang bernama Tajau itupun besarlah, lalu disuruhkan
mengaji. Setelah sudah tamat ia mengaji, disuruh belajar menyurat. Sudah tahu
ia menyurat maka disuruh baginda pergi belayar ke nenggeri orang daripada
suatu nenggeri datang kepada suatu nenggeri. Tiada tersebut nama nenggeri
yang dimasukinya itu. Setelah genap tujuh tahun lamanya maka iapun pulang ke
nenggeri Piabung itu.
Adapun Nahkoda Mangkuta itu sudah ia dijadikan Datuk segala anak Melayu
serta dengan Pangeran Surabawa suka padanya. Ialah penghulu segala dagang
di dalam Piabung itu dan anak yang bernama si Tajan itu tiadalah disuruhnya
berlayar jauh-jauh lagi. Katanya: “Janganlah anakanda berlayar jauh. Baiklah
berlayar dari Lampung Piabung lalu hinggan ke nenggeri Bantan membawa lada.
Meski hinggan sekali di dalam satu musim, ada juga untung sedikit-sedikit,
karena kalau ketika belum berlayar, boleh membuat ladang, kalau ada menaruh
kawan. Adapun harga lada di dalam Piabung, kalau memberi real dahulu janji
setahun, arti setahun enam bulan, boleh enam real sebara. Kalau memberi
timbang tunai, boleh dapat tujuh real didalam sebara. Itu adat di dalam Lampung
hinggan pegangan Sultan Bantan. Kalau selamat sampai di nenggeri Bantan
dijual kepada Sultan, lada itu boleh laku dua belas real di dalam sebara. Meski
berapa banyak lada datang, Sultan juga membelinya. Syahdan Sultan menjual
kepada Kompeni Holanda dua puluh real satu bahara. Itu adat di dalam nenggeri
Bantan selama-lamanya. Jikalau Kompeni membeli sendiri kepada perwatin
ataupun nahkoda-nahkoda, tiada jadi jikalau tiada suka Sultan Bantan. Pasti
digantung hukumnya, jikalau barang siapanya yang membuat perbuatan itu,
karena lada itu didalam suka Sultan maka boleh Kompeni Holanda membeli.
Itulah adat selama-lamanya, hilang Sultan berganti Sultan, di dalam nenggeri
Bantan”.
Setelah didengarnya kata ayahanda demikian itu, tiadalah ia berlayar jauh-
jauh lagi si Tajan itu, selalu dari Piabung lalu ke nenggeri Bantan saja
pelayarannya, ada hinggan semusim lamanya. Maka digelari orang si Tajan
Nahkoda Muda. Itulah gelarnya, melainkan tiada lain kerjanya berlayar pada tiap-
tiap musim membawa lada lalu ke Bantan.

Syahdan ada empat lima musim ia berlayar itu, maka bapaknya sakit terlalu
keras. Maka dipanggilnya anakanda itu, demikian katanya Nahkoda Mangkuta
kepada anakanda Nahkoda Muda: “Hai anakku dan buah hatiku dan cahaya
mataku, melainkan pegang petaruhku, ya anakku, baik-baik! Jikalau sampai
hukum Allah kepadaku, sepeninggalku mati jangan anakku membuat utang!
Jikalau tiada modal berlayar, kayu di rimba potong, jual buat modal, ikan di laut
pancing, jualkan buat modal berlayar. Jangan anakku berani berutang kepada
raja-raja atau kepada Kompeni atau pada orang banyak. Itu pesanku, ya
anakku!”
Setelah sudah berkata-kata dengan anakanda itu, tiada berapa lama antaranya
maka Nahkoda Mangkuta itu matilah di dalam nenggeri Piabung itu.
Adapun pesan bapaknya semuanya dipegangnya oleh Nahkoda Muda.
Semuanya yang dipesankan bapaknya itu ditaruhnya di dalam hatinya, tiada ia
lupa selama-lamanya. Setelah itu ada sehinggan tiga musim lamanya Nahkoda
Mangkuta mati, maka berbinilah ia. Nahkoda Muda berbini semanda dengan
orang datang dari Semangka, anaknya oleh Nahkoda Paduka. Adapun Nahkoda
Paduka itu sudah mati meninggalkan anak perempuan seorang bernama Raden
Menteri. Itulah dikawinkan orang dengan Nahkoda Muda itu di dalam nenggeri
Piabung.
Setelah sudah kawin ada sehinggan dua musim Nahkoda Muda itu berlayar
lalu ke Semangka pergi berdagang, setelah itu maka pulang kembali ke Piabung.
Syahdan Nahkoda Muda berkata pada isterinya: “Bagaimana pikiran kita?
Jikalau lagi ada terpikir di dalam hati hendak kembali ke Semangka, hambapun
suka pula kepada nenggeri itu”. Maka kata isteri: “Hambapun terlalu suka
kembali di Semangka, karena lagi ada tanam-tanaman seperti kelapa dan lain
daripada itu peninggal orang tua hamba tinggal di Semangka”.
Setelah itu pindahlah Nahkoda Muda ke Semangka dengan segala isi
rumahnya dan isteri dalam satu perahu. Setelah sampai di Semangka membuat
rumah. Setelah itu adapun tanah Semangka terlalu banyak lada. Di dalam
Semangka itu Nahkoda Muda tiada berhenti tiap-tiap musim pergi ke Bantan
membawa lada. Syahdan maka ia beristeri pula di dalam nenggeri Bantan itu.
Adapun anaknya Nahkoda Muda itu di Semangka pada zaman itu sembilan
orang, perempuan tiga, laki-laki enam. Nama anakanda yang tua sekali Encik
Pisang namanya, sudah itu Encik Tenun namanya, kemudian yang laki-laki
Wasub namanya, seorang lagi anakanda di Bantan bernama Wasal namanya.
Kemudian anakanda di Semangka juga Bantan namanya, adiknya La’udin
namanya. Seorang lagi perempuan pula Bersih namanya dan lagi Muhammad
namanya, dan Rahudin namanya, jadi semuanya anakanda itu sepuluh orang.
Anak gundiknya ada pula tiga orang, satu laki-laki Rabu namanya, dua
perempuan, satu si Rame satu si Kamis namanya. Selama Nahkoda Muda
pindah di dalam nenggeri Semangka mangkin bertambah-tambah banyak orang
Melayu pindah ke Semangka itu.

Adapun tanah Semangka itu ada orang Abung namanya ia dibalik-balik bukit,
ada sepuluh buah kampungnya. Adapun adat orang Abung itu, kalau ada anak
bujang-bujang hendak berbini semusim lagi antaranya, maka ia mupakat anak
bujang itu samanya bujang pergi berjalan, barangkali sampai sepuluh orang
berjalan itu. Senjatanya tumbak sebatang seorang, pedang sebilah seorang,
keris satu seorang dan makanannya berjalan itu beras tiga kulak seorang. Gula
yang lebih dibawa, kalau sudah habis beras, ditumbuknya gula dengan batang
kayu yang busuk, sudah hancur itulah yang dimakannya. Sebab maka ia berjalan
itu hendak memotong kepala orang. Perjalanannya lalu ke tepi laut sampai ke
Semangka. Di dalam sebulan-bulan ada juga orang mati di dalam hutan tiada
lagi kepalanya. Pada jaman itu, jikalau orang ke ladang atau pergi mengambil
kayu, boleh orang empat lima orang maka berani berjalan ke dalam hutan, sebab
takut kepada orang Abung itu. Kalaunya dapat kepala orang, maka pulanglah ia
ke nenggerinya membawa kepala orang itu. Orang di dalam dusun itu sedia
menanti dengan tempurung kepala ditaruhnya dedak di dalam tempurung itu,
tiap jalan yang ditempuh masuk ke dalam dusun itu. Barang siapa boleh kepala
orang, pulanglah ia ke dalam dusunnya itu dengan beberapa anak gadis-gadis
menyongsongnya di luar dusun serta dengan suka-suka hatinya. Banyaklah
anak gadis-gadis hendak menerima bujang itu hendak dibuatnya laki. Barang
siapa tiada membawa kepala orang, jikalau dilihatnya tempurung berisi dedak
itu, tiada ia jadi masuk ke dalam dusunnya itu, sebab malunya melihat dedak di
dalam tempurung itu, artinya disamakan orang seperti anjing saja. Itu sebabnya
maka malu pulang ke dusunnya, barangkalinya sampai mati tiada pulang kalau
tiada membawa kepala orang. Itulah adat orang Abung di balik bukit Semangka.
Gunanya kepala orang itu, jikalau ia hendak berbini ditaruhnya emas atau
perak di dalam tempurung kepala itu, dikasihkan kepada emak bapaknya gadis
itu. Kalaunya sudah nikah kawin, maka ditaruh air tuak enau di dalam tempurung
kepala orang itu, maka diminumnyalah air tuak itu berganti-ganti gadis dengan
bujang itu. Maka sempurnalah nikahnya itu dan lagi laki-laki sungguhlah nian
orang itu. Kalau tiada seperti itu, lakunya berbini seperti adat gundik saja, tiada
seperti bini yang sebenarnya. Itulah adat orang Abung pada masa jaman dahulu
dibalik bukit Semangka.
Syahdan maka pikir didalam hati Nahkoda Muda: Jikalau tiada dialahkan
dusun orang Abung itu, niscaya datang juga celaka olehnya, dan lagi apa
sudahnya orang tiada berani berjalan satu orang selama-lamanya? Maka
Nahkoda Muda mupakat dengan Ki Ria Minjan, orang Jawa, jenang Sultan
Bantan di dalam nenggeri Lampung Semangka, akan menyerang dusun orang
Abung itu. Maka kata Ki Ria Minjan: “Baiklah, Nahkoda Muda, melainkan kita
kampungkan segala anak buah hamba serta kita memberi tahu kepada segala
pangeran di nenggeri ini”.
Adapun pangeran di dalam nenggeri Semangka itu empat buah nenggeri,
pertama pangeran Wai Ratna. Adapun nama nenggerinya Benawang namanya.
Anak buah pangeran itu ada barang dua puluh buah kampung – arti kampung;
dusun -. Dan kedua pangeran Laut Dara Santa. Adapun nama nenggeri
pangeran itu Bibu Lunguh namanya. Anak buahnya pangeran itu ada delapan
belas buah dusun. Dan ketiga pangeran Djayakusuma. Adapun nama nenggeri
Pangeran itu Padang Ratu namanya. Anak buahnya itu ada sepuluh buah
dusunnnya. Dan lagi pangeran Wai Semangka. Adapun nama nenggerinya
Semawang namanya. Banyak anak buah pangeran itu ada tiga belas buah
dusunnya. Semuanya pangeran itu disuruh panggil oleh Ki Ria Minjan serta
dengan Nahkoda Muda.
Ada lima hari antaranya maka berkumpullah segala pangeran di dalam
Semangka itu akan mencari mupakat hendak mengalahkan dusun orang Abung
itu. Maka Ki Ria Minjan kepada segala pangeran itu: “Hai pangeran, adapun
sebab maka hamba dengan Nahkoda Muda ini memanggil segala pangeran,
adapun didalam pikiran hati kami yang kedua ini baik kita alahkan dusun orang
Abung, supaya senang hati segala anak buah perwatin membuat kebun lada dan
membuat ladang, jikalau tiada tempat takut ini. Sekarang hamba dengar kabar
terlalu takut orang berjalan seorang-seorang sebab orang Abung itu. Apakah
sudahnya selama-lamanya takut kepada orang Abung?” Maka berkatalah segala
pangeran-pangeran itu: “Baiklah, Ki Ria Minjan. Sukalah kami kepada bicara itu,
tetapi kami tiada menaruh senjata seperti bedil senapang yang pada kami
senjata tumbak panjang saja, terlalu susah membawanya naik bukit turun bukit”.
Maka kata Nahkoda Muda: “Jangan pangeran susah, sebab senjata-senjata
jangan dibawa tumbak panjang, tumbak pendek saja dibawa oleh anak buah
perwatin siapa yang berjalan dengan hamba”.
Adapun pangeran-pangeran itu tiada pergi, Ki Ria Minjan tiada pergi
mengalahkan dusun Abung itu, melainkan Nahkoda Muda saja penghulu orang-
orang berjalan itu. Ada sekira-kira empat ratus orang semuanya berjalan. Orang
membawa senapang ada delapan puluh; lain daripada itu masing-masing pada
senjatanya berjalan itu.
Adapun lamanya tiga malam di dalam hutan rimba belantara. Syahdan maka
sampai di dusunnya Abung itu. Setelah sudah putus bicara maka Nahkoda Muda
berjalanlah dengan orang empat ratus itu. Tiada berapa lama antaranya hampir
dusunnya Abung itu, maka kata Nahkoda Muda pada segala anak buah
perwatin: “Jangan kamu berjalan dahulu! Biar hamba berjalan dahulu serta
dengan orang membawa senapang. Jikalah ada kedengaran senapang berbunyi,
maka kamu datang dengan lekasnya”.
Syahdan Nahkoda Muda sampai di luar dusun Abung itu – Minjang nama
dusunnya – maka Nahkoda Muda menyuruh memasang senapang ke dalam
dusun Minjang itu, lalu dimasuki orang dusun itu. Serta sampai ke dalam dusun
itu, tiada lagi bertemu dengan orangnya. Semuanya sudah lari tiada tentu
tempatnya lari itu membawa dirinya. Syahdan anak buah perwatin semuanya
masuk ke dalam dusun merampas barang yang tinggal. Maka kata Nahkoda
Muda: “Ayo kita alahkan lagi dusun yang lain-lain itu?” Maka kata orang yang
tahu pada bilangan dusun didalam nenggeri Abung: “Tiada berapa jauh lagi
antaranya dari tempat kita ini, Nahkoda Muda!” Maka berjalanlah segala mereka
itu pergi mengalahkan dusun yang lain-lain itu. Semuanya dialahkan kesepuluh
buah dusunnya. Semuanya rumah disuruh Nahkoda Muda panggang. Ada dua
bulan lamanya orang mencari orang Abung itu tiada lagi orang bertemu padanya.
Dihalau seperti orang menghalau rusa di dalam hutan. Sebab maka ia tiada
melawan, orang Abung itu, sebabnya terlalu takut mendengar bunyi senapang,
karena tiada didengarnya seumur hidupnya seperti itu daripada jaman nenek
moyangnya. Sungguh begitu banyak dusun yang kalah hanya empat orang saja
orang Abung yang mati kena senapang. Orang yang empat ratus sama-sama
Nahkoda Muda itu seorangpun tiada yang mati, melainkan luka saja seorang
tapak kakinya kena ranjau. Adapun orang Abung itu tiada lagi kedengaran
kabarnya.
Maka Nahkoda Muda serta dengan orang empat ratus itu pulang ke
Semangka. Serta sampai ke Semangka, maka segala pangeran-pangeran itu
serta dengan Ki Ria Minjan datang ke kampung Nahkoda Muda menanyakan
kabar orang Abung yang dialahkan itu. Maka Nahkoda Muda berkabar kepada
segala pangeran serta Ki Ria Minjan itu daripada permulaannya datang kepada
kesudahannya. Setelah didengar oleh segala pangeran-pangeran itu kabar
Nahkoda Muda orang Abung sudah alah dan dusunnya sudah dipanggang
semuanya, senanglah hati segala orang di dalam tanah Semangka itu. Adapun
kabar orang Abung itu lari lalu ke sebelah laut dekat Palembang. Kabarnya ada
empat lima hari segala pangeran itu bersuka-suka di dalam kampung Nahkoda
Muda itu, maka pulang ke dusunnya masing-masing serta dengan suka hatinya
sebab orang Abung tiada lagi akan menggaduh anak buah perwatin lagi.
Ada setengah musim antaranya maka Nahkoda Muda berlayar ke Bantan
membawa lada. Serta sampai ke Bantan Nahkoda Muda pergi mengadap
menteri Sultan yang tua daripada menteri yang lain-lain itu, bergelar pangeran
Kusumaningrat, yang tempat Sultan percaya pada barang suatu bicara didalam
nenggeri Bantan itu. Setelah sampai maka Nahkoda Muda duduk mengadap
pangeran itu. Setelah dilihat oleh pangeran Nahkoda Muda datang, maka ia
berkata demikian katanya: “Bila Nahkoda Muda datang? Apa yang dibawa
muatan perahu? Apa kabar di dalam Lampung Semangka?” Maka berkata
Nahkoda Muda demikian katanya: “Ya, tuanku Pangeran Kusumaningrat, tiada
apa-apa yang hamba bawa, melainkan lada yang hamba bawa, ada seratus
bahara. Itulah ada di dalam tanah Lampung Semangka. Adapun kabar dalam
Semangka tiada pula, melainkan ada suatu kabar kepada tuan. Ada orang
Abung dibalik bukit Semangka, ada sepuluh buah dusun. Adapun orang itu tiada
tentu rajanya, kepada Tuanku di dalam nenggeri Bantanpun tiada, kepada Sultan
Palembangpun tiada. Melainkan tiada lain kerjanya, kalau ada kabar ketikanya
datang ke tepi laut, tiada lagi orang berani berjalan ke dalam hutan, takut kepada
Abung itu. Kalau bertemu dengan orang, kalau boleh akalnya, lalu membunuh
orang itu, pasti dibunuhnya. Demikian lakunya, ya tuanku! Mupakatlah segala
pangeran-pangeran di dalam Semangka pergi menyerang dusun. Yang pergi
hambalah bersama-sama dengan anak buah perwatin. Tiada berapa lama orang
mengalahkannya, alah dusun itu kesepuluh dusunnya”.
Serta didengarnya pangeran Kusumaningrat kata Nahkoda Muda itu, terlalu
suka hatinya.
Serta sudah berkata-kata Nahkoda Muda bermohon pulang ke perahunya. Serta
sampai ke perahu menyuruh membongkar muatan ke darat. Setelah habis
muatan terbongkar, maka datanglah jurutulis Sultan serta jurutulis Holanda
menerima lada itu. Syahdan semuanya lada terdacing, real sudah diterima, maka
membeli dagangan akan dibawa pulang ke Semangka.
Setelah sudah membeli dagangan, maka Nahkoda Muda datang lagi kepada
pangeran Kusumaningrat mengatakan hendak pulang ke Semangka. Maka kata
pangeran: “Adapun Nahkoda Muda di dalam Semangka baik juga menolong
Sultan, karena Semangka itu terlalu jauh dari nenggeri Bantan. Kalau perwatin
atawa pangeran-pangeran hendak berselisih atawa hendak berperang sekali,
Nahkoda Muda pergi sama-sama Ki Ria Minjan membaiki, barang apa sebabnya
maka selisih. Jikalau belum ada yang mati anak buah perwatin itu, tiada
mengapa, sudahkan secara di dalam nenggeri Semangka itu, tetapi jikalau
sudah bermatian, maka jemput perwatinnya, suruh hantarkan kepada hamba ke
nenggeri Bantan ini. Maka taruh di dalam surat barang apa sebabnya. Dan lagi,
kalau ketika datang suruhan hamba serta perintah tuan Sultan pergi menjalani
kebun lada pada tiap-tiap dusun didalam Semangka, Nahkoda Muda pergi sama-
sama. Adapun bicara itu bukan bicara hamba sendiri, serta titah tuan Sultan;
hamba seperti mengatakan saja kepada Nahkoda Muda ini”.
Maka kata Nahkoda Muda: “Ya tuanku pangeran Kusumaningrat, adapun
bicara ini tiada berapa susah hamba mengerjakannya dan menjalaninya. Tetapi
di dalam pikir hati hamba, pasti perwatin tiada suka pada hamba, karena hamba
ini orang dagang, maklumlah, tuanku”.
Maka kata pangeran Kusumaningrat: “Semuanya orang di dalam nenggeri
Semangka itu orang berdagang semuanya, melainkan suka tuan Sultan
makanya boleh diam di sana. Adapun yang kudrat dan iradat dalam nenggeri
Semangka tiada lain daripada tuan Sultan yang punya dari dahulu sampai
sekarang”.
Serta didengar Nahkoda Muda kata pangeran demikian itu, tiada Nahkoda
Muda menjawab lagi, serta memohon mengatakan hendak berlayar pulang ke
Semangka. Maka pangeran Kusumaningrat memberi persalin kepada Nahkoda
Muda kain dan baju seperti adat perwatin Sultan Bantan. Maka Nahkoda Muda
pulang ke perahu lalu kepada fiscal minta cap laut tanda dari Bantan hendak
pulang ke Semangka. Setelah sudah dapat surat cap laut lalu berlayar. Tiada
berapa antaranya sampailah ke Semangka.

Ada enam bulan lamanya Nahkoda Muda sampai di Semangka maka


datanglah pencalang tuan Sultan ke Semangka dua buah haluan, disuruh Sultan
menjalani tiap-tiap dusun perwatin, menjalani kebun lada. Setelah sampai
pencalang itu maka berkatalah penghulunya yang datang itu menyuruh Ki Ria
Minjan serta dengan Nahkoda Muda sedia hendak berjalan kebun. Setelah
sudah sedia semuanya, berjalan mereka itu sama-sama. Pada tiap-tiap dusun
perwatin, demikian katanya: “Adapun Nahkoda Muda itu disuruh tuan Sultan
berjalan kebun sama-sama dengan hamba serta Ki Ria Minjan. Melainkan
jangan kamu kecil hati padanya, karena tuan Sultan yang menyuruhnya, dan
lagi, kalau ada selisih perwatin sama perwatin baik pangeran sekali, jikalau
datang Nahkoda Muda dengan Ki Ria Minjan menyelesaikannya, turut barang
apa katanya orang itu. Demikian kata tuan Sultan pada hamba, supaya tahu
segala perwatin serta dengan pangeran didalam nenggeri Semangka ini”.
Setelah didengar segala perwatin serta dengan pangeran kata penghulu itu,
semuanya mengatakan suka semuanya pada bicara itu. Ada dua bulan lama
berjalan itu maka pulang ke kampung Melayu. Pencalang itu pulang ke Bantan
serta dengan membawa lada sedikit seorang, tanda barang dari Semangka
dikasihkan kepada tuan Sultan.
Adapun kampung Melayu di Semangka mangkin bertambah-tambah ramai
orangnya, ada kira-kira lima puluh buah perahu. Segala anak Melayu di dalam
Semangka pada masa jaman itu pada tiap musim datang ke Bantan membawa
lada. Jikalau datang perahu Melayu ke Bantan, minta surat kepada Nahkoda
Muda. Demikianlah adat tiap-tiap perahu Melayu datang dari Semangka lalu ke
Bantan pada masa jaman itu.
Syahdan Nahkoda Muda mangkin bertambah banyak bicaranya pada segala
orang di dalam Semangka itu. Baik Lampung baik Jawa baik Melayu semuanya
suka kepada Nahkoda Muda itu.

Alkisah maka tersebut perkataan nenggeri Bantan berperang dengan orang


gunung Bantan. Adapun gelar penghulunya yang datang berperang itu bergelar
Ratu Bagus Buang. Adapun Ratu Bagus Buang itu terlalu berani dengan keras
hatinya, tiada terlawan oleh orang di gunung Bantan itu, semuanya takut
padanya. Barang apa katanya tiada orang berani melawan kata Ratu Bagus
Buang itu. Segala orang gunung Bantan itu datang mengiringkan Ratu Bagus
Buang menyerang nenggeri Bantan. Adapun segala nenggeri yang kecil-kecil
semuanya sudah alah oleh Ratu Bagus Buang itu. Orang di dalam nenggeri
Bantan itu lalu daripada yang dekat kepada Sultan semuanya menurut kata Ratu
Bagus Buang itu. Adapun yang lagi bertunggu orang melalukan kota tiga itu, kota
Sultan dengan kota Holanda dua buah. Adapun nama kota Sultan Gedung Intan;
nama kota Holanda satu kota Pacinan, satu kota Karang Hantu namanya. Itulah
yang lagi bertunggu orang, tetapi Sultan Bantan ditolong Kompeni dari Betawi.
Ada kira-kira dua musim berperang itu tiada berkesudahan, sebab maka
perang itu Ratu Bagus hendak mengalahkan Sultan dengan Kompeni, karena
katanya kepada orang banyak itu: “Pasti boleh alah oleh hamba nenggeri Bantan
ini. Jikalau sudah alah nenggeri ini, tiada kami susah sebab perintah Sultan
dengan perintah Holanda lagi” Itulah maka banyak orang menurut katanya, tidak
ingat kepada jalan terkena, karena Ratu Bagus Buang itu terlalu tahu membujuk
hati orang.
Setelah didengar oleh Ki Ria Minjan nenggeri Bantan itu berperang, nenggeri
itu hampir kalah kabarnya, maka Ki Ria Minjan pulang ke Bantan pergi kepada
Ratu Bagus Buang itu. Sebab ia pergi kepada Ratu Bagus Buang itu, karena
bangsanya Ki Ria itu orang gunung Bantan itu juga.
Setelah Ki Ria Minjan itu bertemu kepada Ratu Bagus Buang seraya
menyembah kepadanya maka kata Ratu Bagus Buang: “Dari mana datangnya
orang ini?” Maka kata segala hulubalang: “Inilah, tuanku, yang bergelar Ki Ria
Minjan, disuruh Sultan menjaga tanah Semangka selama ini. Sebab maka ia
datang mendapatkan tuanku, karena kedengaran kabar tuanku hendak
mengalahkan nenggeri Bantan ini”.
Maka kata Ki Ria Minjan: “Ya, tuanku Ratu Bagus Buang, junjung diatas batu
kepala patik. Tiada hamba suka lagi kepada perintah Sultan Bantan lagi”.
Maka kata Ratu Bagus Buang: “Ada anak Melayu di Semangka atau tiada?”
Maka kata Ki Ria Minjan: “Banyak, tuanku, anak Melayu di dalam nenggeri
Lampung Semangka berdagang di sana, ada kira-kira tengah tiga ratus orang
yang patut memegang senjata. Adapun penghulunya bergelar Nahkoda Muda”.
Maka kata Ratu Bagus Buang: “Jikalau demikian pergilah kamu pergi ke
Semangka jemput segala anak Melayu di Semangka itu bawa pada hamba”.
Maka kata Ki Ria Minjan: “Bagaimana, tuanku, kalau tiada hendak dia datang
menjelang tuanku dengan baik?”
Maka kata Ratu Bagus Buang: “Jikalau demikian, bawalah orang barang tengah
dua ratus sama dengan Ki Ria. Jikalau hendak dengan baik, bawa dengan bicara
yang baik pada hamba. Jikalau tiada dia hendak dengan yang baik, dengan
buruknya bawa juga pada hamba. Jikalau ia melawan, ambil kepala
penghulunya, bawa kepada hamba kemari”. Demikian kata Ratu Bagus Buang
kepada Ki Ria Minjan.

Setelah berkata-kata maka Ki Ria Minjan berlayarlah ke Semangka dengan


dua buah pencalang besar keluar dari Kuala Caringin. Setelah sampai, Ki Ria
Minjan itu singgah pada dusun pangeran Wai Ratna. Beniawang nama
dusunnya. Setelah sampai Ki Ria Minjan di sana maka ia berkata pada pangeran
itu, demikian kata Ki Ria Minjan pada pangeran Wai Ratna: “Hamba ini disuruh
Ratu Bagus Buang datang menjalani segala nenggeri Lampung Semangka ini.
Barang siapa perwatin anak pangeran-pangeran di dalam Semangka ini hendak
menurut kata Ratu Bagus Buang atawa tidak, supaya hamba dengar, karena
nenggeri Bantan pasti alah oleh Ratu Bagus Buang. Sebab maka hamba bilang
demikian pada pangeran, karena pangeran yang lebih besar ditanah Semangka
ini. Itu sebab maka hamba berkata demikian”.
Maka kata pangeran itu: “Ya, Ki Ria Minjan, jikalau tentu kalah nenggeri Bantan,
barangsiapa jadi raja didalam nenggeri Bantan itulah yang kami sembah. Jangan
Ki Ria Minjan susah pada bicara itu”.
Maka kata Ki Ria Minjan pada pangeran Wai Ratna: “Bagaimana pikir pangeran
akan hal anak Melayu hendak menurut bicara ini atawa tidak? Sebab berkata
demikian itu, karena Ratu Bagus Buang menyuruh menjemput segala anak
Melayu; jikalau hendak dengan baik, dengan baiknya hamba bawa, jikalau tiada
hendaknya datang menjelang Ratu Bagus Buang dengan baik, dengan jahatnya
hamba bawa juga. Demikian titah Ratu Bagus Buang pada hamba”.
Ada satu orang Lampung bernama Raden Sapang. Orang itu terlalu baik
hatinya pada Nahkoda Muda. Setelah didengarnya bicara itu, maka ia pergi
kepada Nahkoda Muda mengatakan Ki Ria Minjan datang disuruh Ratu Bagus
Buang hendak menjemput Nahkoda Muda itu. Setelah didengar oleh Nahkoda
Muda kabar itu, maka baginda menyuruh memanggil segala nahkoda-nahkoda di
dalam kampung Melayu itu. Setelah berkumpullah semuanya di rumah Nahkoda
Muda, maka Nahkoda Muda berkatalah kepada segala nahkoda-nahkoda itu,
demikian katanya: “Bagaimana pikir segala sanak saudara hamba akan hal Ki
Ria Minjan hendak datang menjemput kita sekalian ini disuruhkan Ratu Bagus
Buang? Jikalau kita tiada hendak menurut bicaranya, pasti kita diperanginya.
Inilah kabar Raden Sapang pada hamba. Melainkan oleh pikir segala sanak
saudara hamba dan segala nahkoda-nahkoda sekalian ini, karena Ki Ria Minjan
sudah sampai sekarang di dusun pangeran Wai Ratna mengampungkan orang
hendak datang kemari kepada kita”.
Maka kata segala nahkoda itu, ada yang berkata: “Baik kita turut bicara Ki Ria
Minjan itu”, ada yang berkata tiada hendak menurut kata Ki Ria Minjan itu. Tiada
yang tentu bicara yang akan diturutkan.
Maka berkatalah ada satu orang tua bergelar Nahkoda Malim, orangnya orang
datang dari Kampar nama nenggerinya, demikian katanya kepada segala
nahkoda yang banyak itu: “Hal segala sanak saudara hamba, jikalau begini
bicara kita, tiada boleh tentunya, melainkan kita kembalikan bicara ini kepada
Nahkoda Muda bagaimana pikirnya supaya kita dengar”.
Setelah didengar segala nahkoda yang banyak itu kata Nahkoda Malim demikian
itu maka dikembalikan orang bicara kepada Nahkoda Muda. Maka kata Nahkoda
Malim kepada Nahkoda Muda: “Bagaimana pikiran Nahkoda Muda supaya kami
mendengarnya”.
Maka kata Nahkoda Muda: “Kalau di dalam pikir hati hamba, jikalau belum alah
Sultan Bantan dan jikalau belum habis Kompeni di Betawi, belum hamba hendak
menurut kata Ratu Bagus Buang itu. Akan hal Ki Ria Minjan, jikalau ia datang
kemari, kita lawan berperang daripada kita menurut katanya, karena di dalam
pikir hamba tiada akan alah nenggeri Bantan oleh Ratu Bagus Buang meski
bagaimana beraninya dan keras hatinya itu, karena Sultan Bantan itu ditolong
Kompeni Holanda di Betawi. Itulah pikir hamba”.
Maka kata segala nahkoda yang banyak itu: “Jikalau demikian, kita sediakan
segala senjata sekalian dan kita baiki kampung semuanya akan tempat
melawan”.
Maka Nahkoda Muda menyuruh baiki perahu dua buah serta dengan alat
senjatanya dan nahkoda di dalam perahu itu akan menanti di luar kuala. Jikalau
Ki Ria Minjan ini datang dengan pencalang, perahu dua itu akan melawannya.
Syahdan orang di dalam perahu dua itu orang yang berpilih semuanya,
penghulunya bergelar Nahkoda Malim. Adapun Nahkoda itu sudah biasa
berperang dilaut melawan bajak. Itulah yang disuruhkan Nahkoda Muda.
Syahdan satu perahu kecil disuruh lalu ke Bantan, membawa satu surat kepada
kemandur menir Samberek di nenggeri Bantan mengatakan suruhan Ratu Bagus
Buang datang ke Semangka hendak mengalahkan nenggeri Semangka. Akan
hal perwatin di dalam Lampung Semangka semuanya takut kepada suruhan
Ratu Bagus Buang itu, melainkan segala anak Melayu yang belum tunduk pada
suruhan Ratu Bagus Buang itu. Itulah yang dibilang di dalam surat. Yang pergi
membawa surat itu bergelar Nahkoda Tengah serta membawa ikan dan beras
serta dengan pinang tua pekirim Nahkoda Muda kepada Sultan, kepada
Kemandur Nahkoda Muda berkirim ayam ada sedikit pula.
Serta sudah sedia muatan perahu itu lalu berlayar ke Bantan. Serta ke Bantan
surat itu dipersembahkan kepada tuan Sultan satu, kepada Kemandur satu, serta
pekirim itu dikasihkan semuanya.
Setelah didengar tuan Sultan bunyi surat itu serta dengan Kemendur menir
Samberek, maka disuruh dua buah kapal lalu ke Semangka, satu kapal tiang
tiga, satu kapal tiang dua. Orang tiga ratus soldadu Holanda dengan Bugis
datang di dalam kapal dua itu. Ada delapan hari lama surat itu dikirimkan, kapal
itu sampai di Semangka.
Adapun Ki Ria Minjan itu lagi sedang bersuka-sukaan dengan segala
perwatin dikampung pangeran Wai Ratna itu akan memberi bicara hendak
datang menyerang kampung Melayu. Syahdan kelihatan oleh orang Ki Ria
Minjan itu kapal masuk ke dalam labuhan perahu di Semangka, maka ia datang
mengatakan kepada Ki Ria itu, demikian katanya kepada mereka itu: “Ada kapal
datang, tuanku, dua kapal lalu menuju kampung Melayu. Dipikir hamba pasti
kapal datang dari Bantan, akan menjaga nenggeri Semangka ini, disuruh Sultan
dengan Kemandur Bantan rupanya”.
Setelah didengar Ki Ria Minjan kata orang itu, maka ia terkejut serta dengan
takutnya. Dengan sebentar itu juga pulang Ki Ria Minjan ke perahunya. Setelah
sampai keperahunya lalu berlayar ketika itu juga pulang ke Bantan mendapatkan
Ratu Bagus Buang itu, maka ia berkata, demikian bunyi katanya: “Ia tuanku Ratu
Bagus Buang, hamba sudah pulang dari Semangka. Akan hal bicara hamba
dengan segala perwatin, sudah berpatutan semuanya, suka menurut bicara
tuanku. Yang belum hamba bicarakan melainkan anak Melayu saja, yang belum
tentu bicara, ya tuanku. Maka datang kapal dua buah, satu kapal tiang tiga, satu
kapal tiang dua. Itulah maka hamba pulang, ya tuanku”.
Setelah didengar Ratu Bagus Buang kata Ki Ria Minjan itu (maka) diamlah
baginda, satu tiada apa katanya melainkan menyuruh berperang pada tiap-tiap
hari. Demikian laku Ratu Bagus Buang di dalam nenggeri Bantan itu.
Syahdan maka tersebut perkataan kapal yang sampai ke Semangka itu.
Setelah dilihat oleh Nahkoda Muda, maka baginda menyuruh mengampungkan
segala orang didalam kampung Melayu pergi menanti kapitan kapal itu turun
kedarat. Setelah sampai kapitan itu, Nahkoda Muda memberi hormat padanya
serta dengan nahkoda-nahkoda di dalam nenggeri Semangka itu. Syahdan maka
kapitan kapal itu bertanya kepada nahkoda: “Di mana sekarang kabarnya
suruhan Ratu Bagus Buang itu?” Maka kata Nahkoda Muda: “Ada hamba dengar
kabarnya di dalam nenggeri pangeran Wai Ratna”.
Setelah didengar oleh kapitan kabar itu, maka disuruhnya orang pergi melihat
ada dengan tiadanya. Pergi ada seratus soldadu di dalam perahu dua itu, serta
kapitan itu memberi urdi pada orang itu, demikian katanya: “Kalau ada sungguh
orangnya Ratu Bagus Buang itu di dalam nenggeri pangeran Wai Ratna itu,
segera lekas beritahu kepada hamba dan jangan kamu kembali lagi di sini. Jaga
baik-baik, jangan dikasih lepas lagi keluar dari dalam dusun itu. Nanti hamba
datang”.
Syahdan pada malam itu juga berlayarlah lalu ke nenggeri pangeran Wai
Ratna itu. Setelah sampai disana tiada kelihatan pencalang atau perahu di dalam
labuhan. Setelah dilihat oleh pangeran Wai Ratna perahu itu, maka
disuruhnyalah orang melihati. Maka pergilah orang melihati. Setelah sampai
orang itu dekat perahu itu, maka disuruhnyalah (oleh) anak perahu itu naik
perahu serta bertanyakan: “Ki Ria Minjan ada di mana sekarang?” Maka kata
orang itu: “Tiada lagi di sini sudah pergi dia ke nenggeri Bantan”.
Maka orang didalam ………………………………. pangeran Wai Ratna.
Setelah dilihat oleh pangeran itu orang itu datang, maka segera disuruh masuk
ke dalam rumah oleh pangeran itu, serta pangeran itu. Adalah seperti orang
takut rupanya seraya berkata: “Apa kerja datang kemari ini?” Maka kata orang
yang datang itu: “Hamba disuruh kapitan melihati Ki Ria Minjan; kabarnya ada di
sini”. Maka kata pangeran Wai Ratna itu: “Ada di sini dahulu, tetapi sekarang
sudah pulang ke Bantan. Maka sudah dua malam lamanya berlayar dari sini”.
Setelah sudah berkata, orang itu pulang ke perahu lalu kembali mendapatkan
kapitan di Semangka. Setelah sampai, lalu mendapatkan kapitan itu mengatakan
Ki Ria Minjan sudah pulang ke Bantan tiada lagi didalam nenggeri pangeran Wai
Ratna.
Setelah sudah didengar kapitan itu Ki Ria Minjan sudah pulang ke Bantan,
maka ia berkata kepada Nahkoda Muda menyuruh memanggil segala perwatin
serta dengan pangeran semuanya didalam nenggeri Lampung Semangka itu.
Maka berjalanlah orang pada ke dusun menyuruh segala perwatin datang ke
kampung Melayu serta dengan pangeran semuanya.
Ada sepuluh hari lamanya orang berjalan, berkampung semuanya perwatin
didalam nenggeri Semangka itu. Setelah berkampung dengan beberapa anak
buah perwatin datang sama-sama perwatinnya itu. Seperti tiada termuat didalam
kampung Melayu rupanya segala hamba Allah yang datang itu.
Maka berkatalah kapitan kapal itu kepada Nahkoda Muda, demikian katanya:
“Bilangkan kepada segala perwatin semuanya ini bagaimana pikiran perwatin
serta dengan pangeran, atawa lagi suka menurut bicara tuan Sultan dengan
bicara Kompeni, atawa tiada, supaya hamba dengar kata segala perwatin ini”.
Setelah didengar Nahkoda Muda kata kapitan demikian itu, maka baginda
berkatalah seperti kata kapitan itu.
Maka kata pangeran Wai Ratna kepada Nahkoda Muda: “Semuanya perwatin
suka kepada tuan Sultan serta tuan kemendur didalam nenggeri Bantan seperti
selama ini juga”.
Setelah didengar kapitan itu kata pangeran Wai Ratna demikian itu, maka
kata kapitan itu: “Kalau sungguh pangeran lagi suka kepada tuan Sultan serta
dengan Kompeni, apa sebab suruhan Ratu Bagus Buang itu kamu suruh masuk
ke dalam dusun kamu? Tiada pangeran tahu Ratu Bagus Buang itu musuh
Sultan dengan Kompeni sekarang? Jikalau tiada Nahkoda Muda memberi tahu
kepada tuan Sultan serta dengan tuan kemandur Bantan, sampai sekarang tuan
Sultan dengan kemandur tiada tahu suruhan Ratu Bagus Buang dalam
Semangka ini”.
Setelah didengar pangeran kata kapitan demikian itu (maka katanya): “Sebab
maka hamba tiada memberi tahu kepada tuan Sultan serta dengan tuan
kemandur, karena tiada orang akan hamba suruh pergi ke Bantan, dan lagi,
hamba takut kepada Ki Ria Minjan itu, tiadakan terlawan oleh hamba. Kapitan
tahu kepada adat segala kami perwatin di dalam Semangka ini, tiada menaruh
senjata seperti patut akan melawan musuh itu. Sebabnya adapun segala kami
didalam tanah Semangka ini seperti perempuan saja. Adapun pekerjaan kami
didalam Semangka ini disuruh tuan Sultan dengan tuan kemandur melainkan
membuat kebun lada”.
Setelah didengar kapitan itu kata pangeran demikian itu, tiadalah kapitan itu
gusar lagi. Ada kepada satu hari maka berkatalah kapitan itu kepada Nahkoda
Muda menyuruh bertanya kepada tiap-tiap perwatin kalau suka membawa lada
kepada hamba supaya hamba terima segala lada didalam nenggeri ini, dan urdi
tuan Sultan dengan tuan kemandur menyuruh menerima kepada hamba disini.
Maka dikatakan oleh Nahkoda Muda kepada tiap-tiap perwatin bicara itu. Serta
didengar oleh segala perwatin itu, semuanya perwatin suka kepada bicara itu,
maka segala perwatin menyuruh anak buahnya masing-masing membawa lada
di kampung Melayu. Sudah terkampung semuanya lada maka berdacinglah ke
kapal. Ada tiga bulan lamanya saratlah kapal dua itu. Kapal itu belum juga
pulang ke Bantan lagi menantikan kabar perang Ratu Bagus Buang juga dengan
Sultan Bantan itu. Setelah sudah alah Ratu Bagus Buang itu, tiada lagi musuh
Sultan dengan Kompeni lagi, semuanya sudah lari ke gunung, maka kemandur
berkirim surat kepada kapitan itu menyuruh pulang ke Bantan. Serta sampai,
kapal dua itu pulang ke Bantan serta dengan muatannya lada.
Setelah didengar Sultan dengan kemandur kabar kapitan itu membawa lada
terlalu banyak, sukalah hati Sultan dengan kemandur mendengar kabar itu.
Maka disuruh Sultan satu pencalang membawa real beli lada lalu ke Semangka.
Demikianlah bicara Sultan dengan kemandur menir Samberek didalam nenggeri
Bantan.
Ada setengah musim lamanya kapal itu pulang ke Bantan maka Nahkoda
Muda berlayar pula ke Bantan dengan segala perahu dagang Melayu didalam
Semangka itu membawa lada semuanya. Setelah sampai selat tanah Jawa
dengan Pulau Perca ini, maka datang angin salah, maka perahu Nahkoda Muda
pecah disana antara nenggeri Bantan dengan Caringin. Pecah perahu itu ketika
malam hari, ada pukul dua belas malam. Lada muatan perahu itu ada seratus
bahara; sedikit tiada dapat, melainkan senjata di dalam perahu itu saja yang
disuruh ambil kepada anak perahu itu. Adapun perahu nahkoda yang lain-lain itu
semuanya selamat sampai ke Bantan semuanya.
Setelah sudah Nahkoda Muda mengambil barang-barang yang dapat, maka
baginda ke Bantan dengan sampan kecil dengan anak perahu dua orang. Serta
sampai ke Bantan lalu masuk ke dalam kota mendapatkan fiskal mengatakan
perahu sudah pecah antara kuala Caringin dengan nenggeri Bantan membawa
lada seratus bahara. Setelah fiscaal mendengar kabar itu, maka dibawanyalah
Nahkoda Muda kepada kemandur mengatakan perahu sudah pecah membawa
lada ada seratus bahara. Maka kata kemandur: “Apa boleh buat, untung
Nahkoda Muda mau rugi”.
Setelah sudah berkata dengan kemandur, maka berjalan pula ke rumah
pangeran Kusumaningrat, menteri Sultan yang tua dari pada menteri yang
banyak di dalam nenggeri Bantan itu, karena pangeran itu yang memegang
bicara di dalam nenggeri Bantan itu, baik bicara dilaut atau bicara di darat,
tempat tuan Sultan percaya. Pada zaman itu Sultan tahu selamanya saja pada
barang. Sultan bicara kepada pangeran itu; demikianlah adat Sultan Bantan.
Itulah maka Nahkoda Muda pergi menjelang pangeran Kusumaningrat itu,
mengatakan perahu sudah pecah membawa lada seratus bahara.
Setelah didengar oleh pangeran kata Nahkoda Muda itu, maka kata pangeran
itu: “Apa boleh buat, untung baik dengan untung buruk datang daripada Allah.
Jangan Nahkoda Muda kurang percaya kepada Allah”. Demikianlah kata
pangeran itu, seraya pangeran berkata pula “Apa kurang Nahkoda boleh hamba
tolong”.
Maka kata Nahkoda Muda: “Itu sebab maka hamba datang kepada tuan
pangeran. Hamba minta tolong pinjam satu perahu yang boleh muat dua koyan
akan menjemput anak perahu hamba serta dengan barang-barang hamba yang
dapat”. Maka dikasihnya satu perahu serta dengan orang melayarkannya sekali.
Serta sampai perahu itu maka dimuatkan segala barang-barang yang dapat itu,
maka pulang perahu itu ke Bantan.
Adapun Nahkoda Muda itu tiada berjalan-jalan sebab sudah susah hatinya.
Maka pangeran Kusumaningrat pada satu hari pergi mengadap tuan Sultan
seraya pangeran itu berkabar kepada Sultan mengatakan: “Perahu banyak
datang dari Semangka membawa lada sama-sama Nahkoda Muda, tetapi
perahu Nahkoda Muda tiada selamat sampai ke Bantan ini, sudah pecah antara
nenggeri Bantan ini dengan kuala Caringin membawa lada seratus bahara.
Terlalu kasihan hati hamba kepada Nahkoda Muda itu”. Demikian kata pangeran
Kusumaningrat kepada Sultan.
Serta didengar Sultan kata pangeran Kusumaningrat demikian itu maka Sultan
berkata kepada pangeran Kusumaningrat itu, demikian katanya: “Jikalau
Nahkoda Muda itu kurang modal, tolong barang berapa maka sampai padanya”.
Setelah sudah pangeran itu berkata-kata dengan Sultan maka ia memohon
pulang kerumahnya. Maka disuruhnyalah satu hulubalang pergi menjemput
Nahkoda Muda itu. Serta bertemu hulubalang itu dengan baginda maka
hulubalang itu berkata demikian katanya: “Hamba ini dititahkan tuan pangeran
Kusumaningrat menjemput Nahkoda Muda”. Serta didengar oleh baginda itu kata
hulubalang demikian itu maka baginda berjalanlah dengan sebentar itu juga
sama hulubalang itu menghadap pangeran Kusumaningrat.
Setelah baginda sampai kerumah pangeran itu maka pangeran
Kusumaningrat kepada Nahkoda Muda, demikian katanya: “Jangan Nahkoda
susah hati. Kalau kurang modal tuan Sultan menolong hingga berapa Nahkoda
suka akan pembeli perahu serta dengan muatannya”.
Setelah didengar baginda kata pangeran itu maka kata baginda: “Hamba lagi
pikir dahulu, tuan pangeran!” Setelah sudah baginda pikir seketika maka baginda
berkata: “Terima kasih, tuan pangeran Kusumaningrat. Tiada hamba berani
mengambil modal raja, karena siapa tahu hamba mati anak hamba susah
sepeninggal hamba, karena anak hamba lagi belum biasa memegang modal
raja. Hamba berdagang selama ini modalkan diri jua barang berapa dapat
hamba cari”.
Setelah didengar pangeran Kusumaningrat kata Nahkoda Muda itu, maka
kata pangeran: “Tiada salah tuan Sultan dengan hamba jikalau Nahkoda Muda
tiada hendak mengambil modal raja. Tiadalah jadi raja memberi modal kepada
Nahkoda Muda itu”.
Setelah sudah berkata-kata, maka baginda pulanglah ke perahu, tiada baginda
berjalan-jalan.
Ada sebulan antaranya di dalam antara maka datang satu perahu dari
Semangka disuruh oleh isteri baginda itu membawa real akan pembeli perahu
dari Semangka itu. Serta sampai perahu itu maka dibelinyalah perahu itu
lengkap serta dengan muatannya, maka baginda pulanglah ke Semangka.
Sehari semalam pelayaran sampailah ia ke Semangka itu. Tiadalah baginda
hendak berlayar lagi melainkan perahunya saja yang disuruhkannya pergi ke
Bantan membawa lada serta dengan surat baginda itu.

Maka baginda membuat suatu rumah, panjang sepuluh, buka selapan depa.
Semuanya dinding rumah itu kayu jati semuanya. Sebab maka baginda
membuat rumah demikian itu, di dalam pikir kata baginda: “Jikalau hamba mati,
tiada anak hamba susah membuat rumah hinggan dua puluh musim sepeninggal
hamba mati. Demikianlah pikiran baginda itu.
Ada kira-kira dua musim lamanya membuat rumah itu maka sudah beberapa
belanja habis sebab membuat rumah itu tiada kurang dari seribu real.
Setelah sudah rumah itu, maka baginda berlayar pula ke Bantan. Ada tiga
musim lamanya baginda berulang-ulang ke Bantan itu membawa lada.
Syahdan maka baginda membeli perahu dua buah dibawa pulang ke Semangka
serta sampai ke Semangka perahu baginda yang dua itu satu perahu baginda
kasihkan kepada anakanda yang bernama Wasub serta dengan modalnya
seraya dengan alat senjatanya. Maka anakanda itu bergelar Nahkoda Buyung
disebut orang. Syahdan perahu yang satu lagi baginda kasihkan kepada
anakanda yang bernama Wara serta dengan modalnya dan alat senjatanya.
Maka anakanda itu bergelar Nahkoda Lela disebut orang. Adapun anakanda
yang dua itu telah pandai pada barang pekerjaan dunia ini seperti menyurat dan
berniaga, semuanya diajarkan baginda itu. Ada anakanda dua orang lagi laki-
laki, satu bernama Bantan, yang satu bernama Laudin, itu lagi baginda serahkan
mengaji dan menyurat.
Syahdan maka baginda berlayar ke Bantan serta dengan beberapa nahkoda-
nahkoda, dan anakanda Nahkoda Buyung dan Nahkoda Lela berlayar pula
sama-sama dengan satu seorang perahunya itu. Kepada ketika itu tiada berapa
lamanya berlayar itu sampailah ke Bantan semuanya perahu itu dengan
selamatnya membawak lada. Maka Nahkoda Muda pergilah kepada fiskal dan
kemandur menir Samberek di dalam nenggeri Bantan mengatakan semuanya
perahu dagang Melayu dalam nenggeri Lampung Semangka datang membawa
lada sama-sama dengan hamba. Setelah sudah kemandur mendengar demikian
itu, terlalu suka hatinya. Setelah sudah berkata-kata Nahkoda Muda itu dengan
kemandur, maka baginda pergi pula menjelang pangeran Kusumaningrat serta
dengan segala syahbandar Sultan didalam nenggeri Bantan itu semuanya,
mengatakan perahu anak Melayu semuanya datang dari Semangka membawa
lada. Maka segala mereka itu sukacitalah hatinya sebab mendengar lada banyak
datang dari Lampung Semangka itu. Setelah sudah berkata, maka Nahkoda
Muda pulanglah keperahunya. Setelah pergi pagi hari maka dibongkar segala
muatan, maka datanglah jurutulis Kompeni dengan jurutulis Sultan menerima
lada itu semuanya.
Setelah sudah diterima Sultan dengan Kompeni lada itu, syahdan maka
Sultan memanggil pangeran Kusumaningrat. Serta sampai suruhan itu kepada
pangeran seraya berkata, demikian katanya: “Ia tuanku pangeran, hamba dititah
Duli yang dipertuan menyuruh tuanku mengadap ke dalam istana Duli yang
dipertuan”.
Serta didengar pangeran itu kata suruhan demikian itu, maka pangeran itu
berjalan lalu masuk ke dalam istana tuan Sultan. Serta sampai pangeran itu ke
dalam istana maka duduk mengadap seraya menyembah, demikian sembahnya:
“Ia tuanku, hambamu datang mengadap duli tuanku, barang titah patik junjung di
atas batu kepala patik”.
Setelah didengar tuan Sultan sembah pangeran Kusumaningrat demikian itu,
maka tuan Sultanpun berkata, demikian katanya: “Adapun sebab maka hamba
memanggil pangeran, hamba hendak memanggil Nahkoda Muda ke dalam
istanaku ini, karena hamba hendak mengasihnya gelar, karena Nahkoda Muda
itu sudah banyak berjasa ke Bantan, kepada hamba dan kepada Kompeni”.
Setelah didengar pangeran Kusumaningrat titah tuan Sultan demikian itu, maka
pangeran berkata: “Apabila hamba datang membawa Nahkoda Muda mengadap
Duli tuanku?” Maka kata tuan Sultan: “Esok pagi-pagi bawa Nahkoda Muda itu
kepada hamba ke dalam istanaku ini”. Setelah sudah berkata maka pangeran itu
bermohon pulang kerumahnya.
Setelah pagi-pagi hari maka pangeran menyuruh satu orang hulubalangnya
menjemput Nahkoda Muda itu. Serta sampai hulubalang itu maka ia berkata
kepada Nahkoda Muda itu, demikian katanya: “Hamba datang kepada Nahkoda
Muda disuruh tuan pangeran Kusumaningrat menyuruh Nahkoda datang
kedalam istana baginda itu serta dengan hamba ini”.
Serta didengar Nahkoda Muda kata hulubalang itu, maka baginda berjalanlah
sama-sama dengan hulubalang itu mengadap pangeran Kusumaningrat. Serta
sampai Nahkoda Muda itu ke rumah pangeran itu, maka Nahkoda Muda berkata,
demikian katanya: “Hamba datang menjelang tuan pangeran dari karena datang
hulubalang tuan pangeran titahkan menjemput hamba”.
Serta didengar pangeran kata Nahkoda Muda itu, maka pangeran berkata:
“Sebab maka hamba memanggil Nahkoda Muda, karena hamba dititahkan tuan
Sultan membawa Nahkoda Muda mengadap Duli yang dipertuan Sultan sama-
sama dengan hamba pada hari ini”.
Serta sudah berkata-kata maka Nahkoda Muda berjalanlah sama-sama
dengan pangeran Kusumaningrat itu kedalam kota Sultan Bantan. Serta sampai
diluar pintu kota besi itu maka ia berhenti duduk, karena disitulah tempat orang
jaga. Adapun orang yang jaga disana sembilan orang pengawalnya dan
sembilan hulubalangnya berganti-ganti jaga pada tiap-tiap hari memegang
senjatanya. Disebelah pintu besi itu satu kapitan Holanda dengan empat puluh
orang soldadunya jaga disana.
Setelah dilihatnya pangeran Kusumaningrat itu datang sama dengan
Nahkoda Muda itu, maka kata segala pengawal yang jaga itu dan kapitan
Holanda itu: “Apa sebab maka tuan pangeran membawa Nahkoda kemari ini?”
Maka kata pangeran: “Sebab maka hamba datang sama-sama Nahkoda ini,
karena tuan Sultan menyuruh hamba membawa Nahkoda ini mengadap Duli
tuan Sultan”.
Setelah didengar segala pengawal yang jaga itu serta dengan kapitan itu kata
pangeran Kusumaningrat demikian itu, maka segala mereka itu tercengang-
cengang seraya berpikir di dalam hatinya: “Apa kehendak tuan Sultan kepada
Nahkoda Muda ini, karena beberapa banyak nahkoda-nahkoda yang besar dan
yang kaya ditanah Jawa ini datang ke Bantan ini, seorangpun belum hamba
melihat atau mendengar yang dipanggil tuan Sultan masuk kedalam kota ini”.
Demikian pikirnya segala pengawal yang jaga itu serta dengan kapitan Holanda
itu.
Syahdan maka kata pangeran Kusumaningrat kepada orang yang jaga itu:
“Pergilah engkau kepada Pekir Adam katakan hamba ada di luar pintu besi
sama-sama dengan Nahkoda Muda akan mengadap Duli yang dipertuan”.
Setelah didengar mereka itu kata pangeran demikian itu, maka ia berjalan
mendapatkan Pekir Adam itu mengatakan pangeran Kusumaningrat sama-sama
Nahkoda Muda ada di luar pintu besi akan mengadap Duli yang dipertuan. Maka
kata Pekir Adam itu: “Suruhlah baginda itu datang kepada tempatku ini”. Maka
hulubalang itu pulanglah mendapatkan pangeran Kusumaningrat serta dengan
Nahkoda Muda itu mengatakan Pekir Adam menyuruh pangeran serta Nahkoda
Muda datang kepada tempat Pekir Adam itu. Setelah didengar pangeran kata
hulubalang itu, maka baginda kedua itu datanglah pada tempat Pekir Adam.
Adapun tempat Pekir Adam itu ada empat puluh orang yang pandai bermain
dabus cara Arab dan memalu segala bunyi-bunyian dan yang pandai menari
cara Jawa. Jikalau Sultan hendak melihat orang bermain-main, datanglah pada
tempat Pekir Adam itu. Barang apa permainan yang suka hati Sultan melihat,
ada semuanya pada tempat itu.
Setelah sampai pangeran serta Nahkoda Muda kepada tempat Pekir Adam
itu maka kata Pekir Adam: “Apa sebabnya Nahkoda Muda ini datang sama-sama
tuan pangeran Kusumaningrat ini?” Setelah didengar baginda kata Pekir Adam
demikian itu, maka baginda berkata: “Tiada hamba tahu, ya Pekir Adam,
kehendak hati tuan Sultan menyuruh hamba membawa Nahkoda Muda ini
mengadap duli tuan Sultan kepada hari ini”.
Setelah didengar oleh Pekir Adam kata pangeran Kusumaningrat demikian itu,
maka Pekir Adam tercengang-cengang seraya berpikir di dalam hatinya: “Apa
kehendak hati tuan Sultan kepada Nahkoda Muda ini, tiada terpikir di dalam hati
Pekir Adam itu. Maka pangeran Kusumaningrat berkata kepada Pekir Adam itu
demikian katanya: “Pergilah Pekir Adam mengadap Duli yang dipertuan, katakan
hamba ada pada tempatmu ini sama-sama Nahkoda Muda akan mengadap Duli
yang dipertuan”.
Setelah didengar Pekir Adam kata pangeran itu, maka ia pergilah mengadap
Duli yang dipertuan. Setelah sampai Pekir Adam itu pada tempat segala dayang-
dayang biti-biti perwara sekalian itu, dan setelah dilihat oleh dayang-dayang itu,
Pekir Adam itu datang, maka berkatalah seorang perempuan tua yang menjaga
segala mereka itu, demikian katanya: “Apa kehendak Pekir Adam datang kemari
ini?” Maka kata Pekir Adam itu: “Ya Ibuku, sebab maka hamba datang kemari ini
mengatakan pangeran Kusumaningrat serta dengan Nahkoda Muda hendak
menjelang Duli yang dipertuan. Baginda itu ada menanti pada tempat hamba
akan menanti titah yang dipertuan”.
Setelah didengar oleh perempuan tua itu kata Pekir Adam demikian itu maka
perempuan tua itu pergilah mengadap Duli yang dipertuan. Serta sampai
perempuan tua itu maka ditanya oleh tuan Sultan: “Apa kehendakmu datang
kepadaku?” Maka sembah perempuan tua itu: “Tuanku, ampun ke bawah Duli
yang maha mulia di atas batu kepala patik. Sebab hambamu datang menjunjung
duli mengatakan tuan pangeran Kusumaningrat dengan Nahkoda Muda ada di
rumah Pekir Adam hendak datang menjelang Duli tuanku”. Setelah didengar
tuan Sultan kata perempuan tua itu, maka titah tuan Sultan: “Suruhlah pangeran
itu datang kepadaku”.
Maka perempuan tua menyembah lalu mendapatkan Pekir Adam itu mengatakan
titah tuah Sultan, menyuruh pangeran dengan Nahkoda Muda masuk mengadap
ke dalam istana. Setelah sampai perempuan tua itu kepada Pekir Adam, maka
berkata kepada Pekir Adam itu menyuruh pangeran Kusumaningrat dengan
Nahkoda Muda masuk mengadap ke dalam istana. Setelah didengar Pekir Adam
kata perempuan tua itu, maka ia pergilah mendapatkan pangeran Kusumaningrat
dengan Nahkoda Muda itu mengatakan Duli yang dipertuan menyuruh baginda
yang kedua itu masuk mengadap ke dalam istana Yang dipertuan. Setelah
didengar pangeran kata Pekir Adam itu maka berjalan kedua baginda itu masuk
ke dalam istana.
Setelah sampai pangeran Kusumaningrat serta dengan Nahkoda Muda itu
seraya menyembah dan menjunjung Duli yang dipertuan itu, maka pangeran
Kusumaningrat dengan Nahkoda Muda duduk mengadap. Maka titah tuan Sultan
kepada pangeran Kusumaningrat: “Kepada hari ini aku melekatkan gelar kepada
Nahkoda Muda ini Kyai Demang Purwasedana. Katakan olehmu kepada
pengawal yang sembilan dan kapitan Holanda yang jaga di luar pintu kotaku ini
serta dengan segala hamba rakyatku di dalam nenggeri Bantan ini”.
Setelah didengar Nahkoda Muda kata tuan Sultan demikian itu maka
Nahkoda Muda menyembah Duli yang mahamulia itu, seraya berkata: “Ampun
tuanku, janganlah hambamu diberi gelar yang lain; melainkan gelar hamba
seperti gelar sama jua yang hamba minta di bawah Duli halarat tuanku. Akan hal
perintah tuanku patik junjung di atas batu kepada patik”.
“Maka sabda Yang dipertuan: “Tiada boleh berubah lagi daripada kata hamba,
karena sudah tergerak di dalam hati hamba”, demikian kata Duli yang dipertuan.
Setelah sudah berkata maka bermohon hendak pulang. Maka tuan Sultan
menyuruh dayang memberi persalin pertama kopiah cabang dan baju sekelat
dan sarwal sekelat dan semambu satu, tumbak satu dan keris sebilah, payung
besar satu. Serta sudah persalin semuanya, maka pangeran Kusumaningrat
serta dengan Kyai Demang Purwasedana bermohonlah pulang kepada Duli yang
dipertuan.
Setelah sampai pada pintu besi itu maka pangeran berkata kepada pengawal
yang sembilan itu serta dengan kapitan kota itu: “Adapun Nahkoda Muda ini
sekarang titah tuan Sultan gelarnya: Kyai Demang Purwasedana. Katakan
kepada segala orang di dalam nenggeri Bantan ini”. Maka kata segala mereka
itu: “Baiklah tuan Pangeran boleh kami mengabarkan kepada rakyat tuanku di
dalam nenggeri Bantan ini. Setelah sudah berkata-kata maka pangeran berjalan
pulang kerumahnya.

Setelah pagi-pagi hari maka Kyai Demang Purwasedana pergilah kepada


kemandur. Serta sampai memberi tabik kepada kemandur seraya berkata: “Ya
tuan kemandur, hamba datang kepada tuan, semalam hamba dipanggil tuan
Sultan dikasih gelar seperti gelar punggawa di tanah Jawa ini. Hamba minta
kepada tuan Sultan seperti gelar lama jua, tiada boleh lagi”.
Serta didengar kemandur kata Kyai Demang Purwasedana itu maka kata
kemandur: “Kalau Sultan belum kasih gelar pada kamu, hamba memberi kamu
gelar seperti adat gelar orang Kompeni ini. Sekarang Sultan sudah mengasih
gelar sama juga seperti hamba”. Maka kemandur mengeluarkan satu senapang
bermata dua, satu pistol bermata dua. Maka kata Kyai Demang Purwasedana:
“Berapa harga bedil ini, tuan?” Maka kata kemandur: “Tiada hamba jual, hamba
kasihkan saja kepada Kyai Demang Purwasedana”.
Serta sudah berkata-kata maka ia pulang ke perahu. Setelah sampai ia ke
perahu maka datang dua orang dengan sampan kecil membawa satu tong mesiu
dengan satu tong peluru. Maka kata Kyai Demang Purwasedana: “Apa kamu
bawa ini? Dari mana datang kamu ini?” Maka kata orang itu: “Hamba disuruh
tuan kapitan dari kota tuan Sultan mengantarkan peluru dengan ini mesiu
kepada tuan Kyai Demang Purwasedana”. Maka disuruh simpan kepada anak
perahu mesiu dengan peluru itu. Maka suruhan itu pulang. Maka kata Kyai
Demang Purwasedana: “Hamba kirim tabik kepada tuan kapitan”.
Syahdan disuruh Kyai Demang panggil segala nahkoda-nahkoda yang sama-
sama datang dari Semangka itu diperahunya masing-masing. Setelah sampai
segala nahkoda itu, maka ia berkata: “Apa kehendak datuk memanggil kami
sekalian ini?” Maka kata Kyai Demang Purwasedana: “Sebab maka hamba
memanggil segala nahkoda ini, karena hamba dikasih gelar oleh Sultan dengan
Kompeni. Tiada boleh hamba minta seperti gelar lama. Adapun perbuatan ini
bukannya hamba mintaki bukannya hamba sukakan. Siapa tahu menjadi baik,
siapa tahu menjadi jahat kita”.
Maka kata segala nahkoda-nahkoda masing-masing pada katanya; ada yang
berkata baik, ada yang berkata tiada baik. Maka kata Kyai Demang
Purwasedana: “Apa boleh buat, karena raja dengan Kompeni sudah memberi
beban kepada hamba. Melainkan hamba serahkan kepada Allah; untung baik
dan untung jahat datang dari pada Allah, tiada boleh hamba salahi lagi. Sudah
adat hamba yang di bawah raja dan Kompeni; tiada boleh membawa
sekehendak hati sendiri, melainkan kehendak raja dan Kompeni jua yang
berlaku”. Setelah sudah berkata-kata itu, maka segala nahkoda itu pulang
keperahunya masing-masing serta membeli dagangan. Maka nahkoda-nahkoda
itu sedia semuanya perahunya akan berlayar ke Semangka.
Kepada satu hari Kyai Demang pergi mengadap pangeran Kusumaningrat
mengatakan hendak berlayar pulang ke Semangka serta dengan segala
nahkoda yang banyak itu. Setelah sudah berkata maka berjalan ke dalam kota
kepada kemandur mengatakan hendak pulang ke Semangka dengan segala
perahu dagang Melayu semuanya. Setelah didengar kemandur kata Kyai
Demang Purwasedana itu maka kata kemandur itu: “Baiklah Kyai Demang
Purwasedana! Jaga baik-baik, jangan dikasih perwatin berselisih samanya
perwatin. Kalau ada lada kering, jangan lama disimpan di dalam tanah Lampung
Semangka itu”. Setelah sudah berkata-kata maka pulang ke perahu lalu berlayar
semuanya ke perahu itu pulang ke Semangka. Tiada berapa lama antaranya
sampailah ke Semangka. Demikianlah pekerjaan segala dagang Melayu di
dalam Semangka pada tiap-tiap musim.

Ada tiga musim antaranya maka datang surat dari Kerui dikirimkan petor Mr.
Norris kepada Kyai Demang serta dua soldadu membawa surat itu. Adapun
bunyi surat itu mengatakan minta hantarkan soldadu serta dengan surat itu ke
Betawi kepada Mr. Garden, orang Inggris, karena tuan itu mata-mata segala
tuan-tuan di dalam Bandar Bangkahulu pada zaman itu. Maka disuruh Kyai
Demang Purwasedana hantarkan soldadu itu serta dengan surat itu ke Betawi.
Didalam bulan itu jua kedengaran kabar Bangkahulu perang dengan Perancis
itu, lalu di Kerui banyaklah orang Kerui pindah ke Semangka mengadap Kyai
Demang Purwasedana. Maka kata Kyai Demang itu: “Diamlah segala saudara
hamba sama-sama dengan hamba di dalam Semangka ini; jangan takut kepada
Perancis, tiada mengapa, karena Semangka ini pegangan Kompeni Holanda.
Jikalau sudah senang nenggeri Bangkahulu, kalau hendak pulang ke Kerui,
pulang pula, tiada mengapa”.
Syahdan ada lima bulan lamanya Perancis sudah berlayar dari Bangkahulu,
kabar orang, maka datang perahu dari Bantan suruh Sultan dengan Kemandur
mengambil lada. Maka perahu itu singgah di Semangka, minta orang yang sudah
biasa di Kerui kepada Kyai Demang Purwasedana; urdi Sultan dengan
kemandur. Setelah sudah dapat orang, perahu itu berlayarlah ke Kerui serta
dengan orang di dalam Semangka itu. Setelah dapatlah lada Kerui, oleh perahu
itu dibawa ke Bantan. Tiada berapa lama antaranya maka datang pula kompeni
Inggris ke Bangkahulu, kabar orang. Tiada lagi Sultan menyuruh perahu lagi ke
Kerui.
Ada semusim antaranya ada nahkoda dua di dalam Semangka itu, yang
seorang bergelar Nahkoda Setia, yang seorang gelar Nahkoda Dugam. Maka
nahkoda dua itu berlayar ke Bantan membawa lada. Serta sampai ia ke Bantan,
sudah ia membongkar muatannya, maka nahkoda itu membeli dagangan yang
patut dibawa ke Bangkahulu. Setelah sudah ia membeli dagangan, maka
berlayarlah ia pulang ke Semangka, Nahkoda Setia dengan Nahkoda Dugam itu,
membaiki perahunya. Serta sudah ia membuati perahunya, maka segala
dagangannya dimuatkannya kedalam perahunya.
Maka kata Kyai Demang Purwasedana: “Hendak ke mana Nahkoda Setia
dengan Nahkoda Dugam ini?” Maka kata Nahkoda dua itu: “Hamba hendak pergi
ke Bangkahulu”.
Serta didengar Kyai Demang Purwasedana kata Nahkoda itu maka katanya:
“Tiada jadi kamu ke Bangkahulu, karena larangan kompeni Holanda. Setiap
pergi ke Bangkahulu tiada boleh pasti dapat cilaka”.
Maka kata nahkoda itu: “Jangan tuan takut, tiada dapat cilaka, sebab kami ini
ada akal kami dua ini”. Maka kata Kyai Demang: “Meski ada akal kamu, tiada jua
jadi kamu pergi ke Bangkahulu”. Maka nahkoda itu diamlah. Setelah hari malam
ia berlayar jua nahkoda itu, tiada tertahan.

Ada semusim antaranya maka datang satu pencalang dari Bantan, gelar
nahkodanya Nahkoda Jamil. Serta ia sampai ke Semangka maka ia berkata
kepada Kyai Demang Purwasedana: “Minta orang tiga puluh sama-sama dengan
hamba. Hamba disuruh kemandur pergi ke Kerui melihati nenggeri itu”. Kata
Nahkoda Jamil itu.
Maka kata Kyai Demang: “Apa juga kerja pergi ke Kerui, karena kompeni Inggris
sudah ada di Bangkahulu, kabar orang”.
Maka kata Nahkoda Jamil: “Tiada mengapa, karena urdi kemandur jangan tiada
hamba lalu ke Kerui itu”. Maka berjalanlah orang tiga puluh sama-sama Nahkoda
Jamil itu.
Ada sebulan lamanya berjalan maka pulanglah ia ke Semangka, karena
didengarnya suruhan kemandur datang dari Bangkahulu lalu ke Kerui. Tiada
Nahkoda Jamil itu hendak bertemu dengan orang datang dari Bangkahulu.
Setelah sampai Nahkoda Jamil itu di Semangka, maka ia bertemu dengan
Nahkoda Setia dengan Nahkoda Dugam datang dari Bangkahulu.
Maka Nahkoda Jamil itu pulang ke Bantan tiada lagi ia bertemu dengan
kemandur menir Samberek; sudah pindah ke Semarang menjadi hidalir (Edele
Heer) di Semarang. Adapun kemandur di dalam nenggeri Bantan itu bergelar
kemandur menir Pur. Maka Nahkoda Jamil itu berkata kepada kemandur itu: “Ia
tuanku kemandur, hamba ini datang dari Kerui, disuruh tuan kemandur menir
Samberek melihat nenggeri itu. Hamba sampai di Kerui maka datanglah suruhan
kemandur dari Bangkahulu menjaga nenggeri itu”.
Serta didengar kemandur kata Nahkoda Jamil itu maka katanya: “Apa boleh
buat, kalau sudah datang orang yang punya nenggeri, di mana boleh suka hati
kita lagi didalam nenggeri orang”.
Setelah sudah ia berkata-kata itu maka Nahkoda Jamil itu pergi ke rumah
alperes si Talib. Adapun alperes si Talib itu peranakan Mangkasar jadi alperes di
dalam nenggeri Bantan itu. Maka ia bertanya kepada Nahkoda Jamil: “Apa kabar
orang di dalam Semangka?” Maka kata Nahkoda Jamil itu: “Tiada apa-apa kabar
melainkan ada Nahkoda Dugam dengan Nahkoda Setia baru datang dari
Bangkahulu itulah yang hamba lihat”. Maka kata alperes itu: “Tiada Nahkoda
kabarkan kepada kemandur kabar itu?” Maka kata Nahkoda Jamil: “Belum
hamba kabar-kabarkan kepada orang lain daripada alperes ini”.
Setelah pagi-pagi hari maka pergilah alperes itu sama-sama Nahkoda Jamil
kepada kemandur menir Pur mengatakan: “Ada satu nenggeri Semangka
namanya, nenggeri itu didalam pegangan tuan. Tiada lain kerjanya pada tiap-tiap
musim melepas perahu lalu ke Bangkahulu. Lagi kata Nahkoda Jamil ini: “Di
Semangka ada dua buah perahu baru pulang dari Bangkahulu dilepas oleh
penghulu di Semangka itu gelarnya Kyai Demang Purwasedana; tuan Sultan
dengan tuan kemandur menir Samberek memberi gelar itu. Sebab maka ia
dikasih gelar begitu ia menjaga nenggeri itu dan menjaga kalau ada perahu lalu
di Bangkahulu. Sekarang Kyai Demang itu sudah kaya. Kalau di dalam nenggeri
Semangka, tiada orang seperti Kyai Demang itu katanya”.
Maka kata kemandur: “Adakah ia datang ke Bantan ini? Kalau ia datang, boleh
hamba kasih denda kepadanya”. Maka kata Nahkoda Jamil: “Hamba tinggal
sudah membuat perahu hendak datang membawa lada ke Bantan ini”.
Setelah sudah berkata maka pulang alperes itu sama-sama Nahkoda Jamil.
Sebab maka alperes itu benci, karena dilihatnya segala orang dari Semangka
datang ke Bantan tiap musim membawa lada tiada orang peduli dan tiada orang
malu kepadanya selama jaman kemandur menir Samberek. Selama kemandur
menir Pur itu, alperes si Talib itu yang tempatnya percaya. Barang apa
kehendaknya kemandur itu dibilangnya kepada alperes itu. Terlalu kasih sayang
kemandur itu kepadanya.

Ada lima bulan antaranya maka datanglah Kyai Demang Purwasedana ke


Bantan dengan beberapa perahu Melayu datang sama-sama serta anakanda
Nahkoda Buyung dan Nahkoda Lela; anakanda si Bantan dan Laudin datang
pula ke Bantan. Ada dua belas perahu yang datang itu, semuanya sarat dengan
lada. Serta sampai semuanya perahu itu, Kyai Demang turun kedarat
mendapatkan fiskal. Serta bertemu dengan fiskal Kyai Demang itu memberi
hormat. Maka kata fiskal: “Apabila Kyai datang?” Maka kata baginda itu: “Hamba
baharu sampai, tuan fiskal. Ada dua belas perahu datang sama-sama hamba
membawa lada semuanya”. Maka kata fiskal itu: “Baiklah, Kyai Demang
Purwasedana. Marilah kita pergi kepada kemandur, karena kemandur ini
kemandur baru. Ada Kyai Demang mendapat kabar di Semangka kemandur
sudah berganti?”. Maka kata Kyai Demang: “Belum ada hamba mendapat kabar,
tuan fiskal”.
Setelah sudah berkata-kata, maka ia pergilah masuk ke dalam kota
mendapatkan kemandur itu sama-sama fiskal. Serta sampai, maka memberi
hormat kepada kemandur itu seraya fiskal berkata: “Inilah, tuan kemandur, yang
bergelar Kyai Demang Purwasedana di dalam tanah Lampung Semangka, yang
memegang urdi Kompeni serta dengan urdi Sultan mengetahui bicara di dalam
tanah Lampung Semangka”.
Serta sudah fiskal berkata, maka Kyai Demang Purwasedana berkata kepada
kemandur: “Ya tuan kemandur, hamba ini datang membawa lada, duabelas buah
perahu itu sarat dengan lada, tetapi ada hamba kabarkan kepada tuan kemandur
akan hal bicara di dalam Semangka. Ada dua buah perahu lalu ke Bangkahulu
tiada dengan setahu hamba. Orang itu ada sekarang di Semangka, sudah
pulang dari Bangkahulu”.
Maka kata kemandur: “Jangan dahulu dibilang pada hamba bicara itu, hamba
sudah pula mendengar kabar itu”.
Setelah sudah berkata-kata maka fiskal serta dengan Kyai Demang
Purwasedana memberi hormat kepada kemandur lalu pulang. Maka Kyai
Demang Purwasedana pergilah kepada pangeran Kusumaningrat mengatakan
perahu ada dua belas datang dari Semangka membawa lada sama-sama
baginda itu datangnya. Serta didengar pangeran kata Kyai Demang demikian itu
terlalu suka hati pangeran sebab mendengar lada banyak datang dari
Semangka.
Serta sudah berkata-kata maka Kyai Demang Purwasedana bermohon lalu
pulang ke perahu. Serta pagi-pagi hari maka sekalian perahu itu membongkar
muatannya. Setelah sudah berbongkar muatan maka datang jurutulis Kompeni
dengan jurutulis Sultan menerima lada itu.
Setelah sudah semuanya lada terdacing ada sebulan antaranya maka
kemandur menyuruh memanggil Kyai Demang Purwasedana. Maka datanglah
satu soldadu memanggil baginda itu. Setelah sampai ke perahu maka soldadu
itu berkata, demikian katanya: “Hamba ini, Kyai Demang Purwasedana, disuruh
tuan kemandur memanggil Kyai Demang. Disuruhnya datang sama-sama
dengan hamba.
Setelah didengar baginda kata soldadu itu maka baginda berjalan. Serta sampai
ke dalam kota, maka baginda memberi hormat. Serta dilihat kemandur Kyai
Demang itu memberi hormat, maka kemandur berkata: “Hamba menyuruh
memanggil Kyai Demang Purwasedana akan hal bicara perahu yang dua buah
lalu ke Bangkahulu itu. Tiada hamba tahu kepada orang itu melainkan hamba
tahu kepada Kyai Demang saja. Kepada bicara itu, tiada salah orang itu,
semuanya salah Kyai Demang. Mengapa tiada Kyai Demang tegah? Di dalam
pikir hamba pesti Kyai Demang menyuruh perahu itu ke Bangkahulu. Melainkan
Kyai Demang hamba denda dua ratus real sebab bicara itu”.
Serta didengar Kyai Demang kata kemandur itu, maka baginda berkata: “Ya tuan
kemandur, akan hal bicara itu, tiada hamba menyuruh perahu itu ke Bangkahulu.
Meski apa hukum tuan kemandur, hamba tanggung, jikalau hamba yang
menyuruh perahu itu”.
Maka kata kemandur: “Tiada boleh Kyai Demang Purwasedana melawan bicara
hamba ini, melainkan bawa real dua ratus kepada hamba pagi-pagi”.
Serta didengar baginda kata kemandur, maka baginda pulanglah ke perahu.

Syahdan maka disuruh baginda panggil segala nahkoda-nahkoda yang sama-


sama datang dari Semangka. Setelah datang segala nahkoda itu, maka baginda
berkata: “Adapun hamba menyuruh memanggil segala nahkoda ini, adapun
hamba dipanggil kemandur sebab bicara Nahkoda Setia dengan Nahkoda
Dugam lalu ke Bangkahulu. Kata kemandur hamba yang menyuruhnya pergi itu.
Melainkan salah hamba, kata kemandur. Hamba dapat cilaka. Sebab bicara itu
kemandur mendenda hamba dua ratus real. Melainkan apalah pikir segala
nahkoda ini, akan hal bicara itu?”
Maka kata segala nahkoda-nahkoda itu: “Adapun didalam pikir kami sekalian ini,
baik tuan pergi kepada pangeran Kusumaningrat membilangkan bicara itu,
karena kami sekalian ini tahu pada bicara itu tiada menyuruh dan tiada melepas
Nahkoda Setia dengan Nahkoda Dugam pergi ke Bangkahulu itu. Jikalau barang
apa hukum orang besar, berani kami sekalian menahannya”.
Maka kata baginda: “Tiada gunanya kita membilang bicara itu, di dalam pikir
hamba, seperti kita melawan Kompeni. Melainkan hamba bayarlah denda itu.
Sebab maka membilangkan kepada segala nahkoda-nahkoda, karena hamba
seperti teraniaya saja oleh orang besar, karena, di dalam pikir hamba, tiada
salah hamba kepada Kompeni atau kepada Sultan atau kepada segala perwatin
di dalam tanah Semangka. Melainkan hamba serahkan kepada Allah. Apa boleh
buat, sebab kelakuan Nahkoda Setia dan Nahkoda Dugam hamba dapat cilaka
ini. Jikalau mati sekali hamba, sebab kelakuan segala sanak saudara hamba di
dalam tanah Semangka, melainkan hamba menyerah juga kepada Allah”.
Maka kata segala nahkoda itu: “Jikalau tuan membayar denda itu dua ratus real,
yang tengah dua ratus segala nahkoda-nahkoda itu membayar, lima puluh real
Kyai Demang membayarnya. Itu bicara segala nahkoda-nahkoda yang sama
datang dari Semangka”.
Pada ketika itu, setelah sudah membayar denda itu, disuruh kemandur pulang
Kyai Demang Purwasedana serta dengan segala perahu dari Semangka. Maka
disuruhnyalah membawa soldadu empat dengan koperal satu dengan
perempuannya sama-sama. Sebab maka disuruhnya, akan menjaga tiang
bendera; itu bicara kemandur menir Pur kepada Sultan, dan lagi, jikalau tiada
Kompeni di Semangka, pasti tanah Semangka diambil Kompeni Inggris, kata
kemandur kepada Sultan. Adapun nama koperal Raus namanya.
Maka Kyai Demang pulanglah ke Semangka membawa Holanda lima orang
dengan perempuan satu. Serta sampai di Semangka diperbuatkan rumah.
Sekepeng tembaga tiada belanja Kompeni membuat rumah itu, semuanya
belanja Kyai Demang, dan segala Melayu di dalam Semangka itu menolong
membuat rumah itu serta dengan kampungnya seperti patut. Dan lagi bicaranya
koperal itu terlalu keras. Barang apa disuruhnya buat, jikalau lambat, maka
sudah pasti dipukulnya. Ada empat orang-orang Melayu dipukul koperal sebab
membuat rumah itu lambat sudahnya. Ada tiga bulan antaranya datang pula
Holanda selapan orang, satu surian dengan perempuan, menjadi tiga belas
orang Holanda di dalam tanah Lampung Semangka dengan dua perempuannya,
lima belas semuanya.

Ada selapan belas bulan lamanya Holanda itu di dalam Semangka itu maka
datang satu kapal Inggris dari Bangkahulu. Adapun gelar kapitan itu kapitan
Forrest. Kapal itu dua tiangnya. Serta dilihat oleh surian Holanda itu kapal itu
datang, maka ia memanggil Kyai Demang mengatakan: “Ada kapal Inggris
datang, hamba lihat benderanya di dalam teropong”, kata koperal itu.
Maka kata Kyai Demang Purwasedana: “Apa urdi kemandur kepada surian kalau
ada kapal datang ke dalam Semangka ini, baik kapal Holanda baik kapal
Inggris?”
Maka kata koperal itu: “Ada urdi kemandur pada hamba memasang bendera
saja; itulah urdi yang hamba ketahui, lain dari pada itu tiada hamba tahu”, kata
koperal itu.
Maka kata Kyai Demang: “Hamba ada dapat urdi dari pada kemandur menir
Samberek dahulu, kalau ada kapal datang, baik kapal dari mana-mana
datangnya, hamba suruh orang dengan sampan menunjukkan labuhan yang
baik, dan lagi, jikalau kapal itu memasang meriam di laut hamba membalas dari
tepi”.
Serta didengar koperal serta dengan surian itu kata Kyai Demang demikian itu,
maka ia berkata: “Hamba pikir tiada salah kata Kyai Demang itu. Baik hamba
dengan Nahkoda Buyung pergi dengan sampan melihati kapal itu”. Maka
pergilah koperal Raus dan Nahkoda Buyung dengan empat orang mengayuhkan
sampan lalu menurut kapal itu.
Serta sampai ke kapal itu maka kapitan bertanya kepada Raus: “Di mana tempat
labuhan yang baik?” Maka kata koperal itu: “Hamba tiada tahu. Inilah Nahkoda
Buyung yang tahu pada labuhan disini!”.
Maka kapitan itu bertanya kepada Nahkoda Buyung, maka Nahkoda Buyung
menunjukkan labuhan kepada kapitan itu. Serta sampai pada labuhan yang baik,
maka kapal itu menjatuhkna sauhnya.
Setelah sudah kapal itu berlabuh, maka kapita itu turun kedarat serta koperal
Holanda itu dengan Nahkoda Buyung sama-sama. Serta sampai ke darat maka
kapitan itu lalu ke dalam kampung koperal Holanda itu, serta Kyai Demang
dikabar kapitan itu ada di kampung koperal Raus. Maka baginda pergi
mendapatkan kapitan itu. Seraya baginda bertemu pada kapitan itu, maka
baginda memberi tabik pada kapitan itu serta kapitan membalas pula. Maka
kapitan itu bertanya pada koperal itu: “Siapa orang ini?” Maka kata koperal Raus:
“Inilah Kyai Demang Purwasedana, penghulu di dalam nenggeri ini, disuruh
kemandur dengan Sultan Bantan menjaga barang apa bicara di dalam
Semangka ini”.
Serta sudah berkata maka kapitan Forrest itu pulang ke kapal. Pagi hari ada
pukul selapan kapitan itu turun kedarat pergi ke rumah koperal Raus seraya
berkata kapitan itu: “Minta carikan ayam dengan itik dengan kambing”. Barang
apa kurang kapitan itu dikatakannya pada koperal dengan surian Holanda itu.
Maka kata Holanda itu: “Jangan kapitan kecil hati pada hamba, karena hamba
ini lagi baru, belum lama hamba di sini. Barang apa yang kurang hamba minta
kepada Kyai Demang saja, karena urdi semuanya Kyai Demang yang
memegang di dalam nenggeri ini. Adapun hamba menjaga tiang bendera, urdi
kemandur Pur pada hamba”.
Serta didengar kapitan itu kata Holanda demikian, maka kapitan itu menyuruh
memanggil Kyai Demang. Serta sampai suruhan kapitan itu ke rumah Kyai
Demang, seraya berkata: “Hamba disuruh kapitan dengan surian memanggil
tuan”, kata suruhan itu. Serta didengar baginda maka baginda pergilah ke rumah
surian Holanda itu; serta sampai maka baginda memberi hormat kepada kapitan
itu. Kapitan itu memberi hormat pula pada Kyai Demang seraya koperal Raus itu
berkata: “Sebab maka hamba dengan kapitan ini memanggil Kyai Demang
karena kapitan ini minta tolong pada hamba, minta carikan ayam dengan itik dan
barang apa kurangnya”.
Maka kata Kyai Demang: “Apalah kata koperal dengan surian tentangan bicara
itu?” Maka kata surian itu: “Tiada bicara hamba; kalau boleh Kyai Demang
menolong kapitan ini, tolonglah barang apa yang dapat”. Maka berkata kapitan
itu: “Kyai Demang, pada hamba! Minta carikan hamba ayam atau itik atau
kambing akan bekal hamba berlayar”.
Serta didengar Kyai Demang kata surian itu dengan koperal serta kapitan itu,
maka kata Kyai Demang: “Baiklah, kapitan! Hamba tolong, tetapi hamba minta
janji hari pagi. Kalau boleh hamba tolong, jangan kapitan suka. Kalau tiada boleh
hamba tolong, jangan pula kapitan gusar pada hamba”.
Serta sudah berkata maka kapitan itu pulang ke kapal. Maka kata Kyai Demang
kepada Surian itu: “Bagaimana pikir surian tentangan kehendak kapitan itu, atau
hamba tolong atau tidak?” Maka kata surian itu: “Tiada mengapa Kyai Demang
menolong kapitan itu, kalau boleh”.
Serta sudah berkata-kata maka Kyai Demang pulang kerumahnya seraya
menyuruh orang mencari ayam dengan itik. Serta pagi-pagi hari kapitan itu turun
kedarat lalu kerumah Kyai Demang. Barang apa kurang kapitan itu Kyai Demang
menolong mencarikannya. Ada sepuluh hari kapal itu didalam Semangka itu
maka kapitan itu berlayarlah tiada tentu pelayarannya itu.

Ada antara empat hari kapal itu berlayar, maka datang pula alperes si Talib
dari Bantan hendak lalu ke Bangkahulu. Tetapi tiada boleh sampai lagi, karena
angin sudah salah. Maka ia pergi kepada Kyai Demang seraya berkata, demikian
katanya: “Hamba ini, Kyai Demang, disuruh kemandur menir Pur pergi ke
Bangkahulu membawa beras. Adapun urdi kemandur pada hamba, kalau tiada
boleh sampai, muatan hamba tinggalkan. Kalau tiada boleh sampai di Kerui, di
Semangka ini hamba sampai, kepada Kyai Demang hamba kasihkan. Begitu urdi
kemandur pada hamba. Tiada jadi beras ini hamba bawa pulang ke Bantan
supaya Kyai Demang tahu”.
Setelah didengar baginda kata alperes si Talib demikian itu, maka baginda
menyuruh memanggil segala nahkoda di dalam Semangka itu. Setelah
berkampung semuanya, maka baginda berkata kepada segala mereka itu, ada
demikian kata baginda: “Hamba memanggil segala nahkoda-nahkoda ini, karena
alperes ini disuruh kemandur lalu ke Bangkahulu membawa beras. Adapun urdi
kemandur kepada alperes itu, kalau tiada sampai ke Bangkahulu, kalau dapat
Kerui. Tentangan muatannya dikasihkan pada petor di Kerui. Kalau tiada sampai
di Kerui, singgah di Semangka. Akan hal muatannya, dikasihkannya pada
hamba. Melainkan apalah pikir segala sanak saudara hamba akan hal bicara ini”.
Tiada boleh segala nahkoda itu menjawab kata Kyai Demang itu, karena
muatannya itu beras ada sepuluh koyan. Beras itu beras Jawa, sudah dimakan
bubuk. Maka berkatalah alperes itu: “Apalah jawab segala nahkoda ini tentangan
kata Kyai Demang itu?”
Maka berkatalah nahkoda Sempurna gelarnya, demikian katanya: “Akan hal
bicara itu, di dalam pikir hati hamba baik kita suruh coba jualkan dahulu beras itu
di dalam tiap kuala di dalam Semangka ini. Kalau boleh laku keras itu, berapa
harganya?”
Maka kata alperes si Talib: “Tentangan harga beras itu, dua belas serealnya, urdi
kemandur pada hamba”.
“Syahdan jikalau tiada laku, melainkan apalah kata Kyai Demang serta dengan
alperes?”
Serta didengar Kyai Demang kata Nahkoda Sempurna itu maka disuruh baginda
anakanda yang bergelar Nahkoda Lela itu menjualkan beras itu dengan satu
perahu muatan dua koyan. Ada dua bulan lamanya Nahkoda Lela itu menjualkan
beras itu habislah semuanya laku dibeli orang.

Ada tiga bulan lamanya alperes si Talib itu di dalam tanah Lampung
Semangka itu. Kepada ketika itu alperes si Talib mupakat dengan surian Raus
orang Holanda jaga di dalam Semangka itu membuatkan cilaka Kyai Demang.
Demikian kata alperes itu kepada surian itu: “Hamba suka diam di Semangka
ini”. Maka kata surian itu: “Apa kerja alperes di sini, karena ada Kyai Demang
yang memegang bicara di sini. Di mana boleh alperes lebih daripada Kyai
Demang, karena ia sudah biasa di dalam nenggeri ini?”
Maka kata alperes itu: “Kalau surian hendak mupakat dengan hamba, mari kita
cari bicara kalau surian suka”. Maka kata surian itu: “Bagaimana bicara alperes
bilangkan pada hamba, supaya hamba dengar”.
Maka kata alperes itu: “Surian kerja satu surat, kirimkan kepada kemandur di
Bantan. Di dalam surat itu bilangkan Kyai Demang jual lada kepada Inggris yang
singgah di sini dahulu dan surian bilangkan selama kapal Inggris itu di
Semangka ini, Kyai Demang tiada peduli lagi kepada surian. Bilang di dalam
surat itu, sebut nama hamba alperes si Talib tahu pada kelakuan Kyai Demang
itu. Surat itu kirimkan dikemudian dari pada hamba, jangan lama di belakang
hamba surat itu sampai ke Bantan, boleh kemandur bertanya pada hamba.
Jikalau sampai minta hamba terbuang Kyai Demang dari Semangka ini, boleh
hamba dengan surian menjaga nenggeri ini. Pasti kita dapat untung di sini”.
Serta didengar surian Raus kata alperes si Talib itu, maka surian itu berkatalah:
“Kalau begitu bilangan alperes, baiklah alperes lekas pulang ke Bantan, karena
ada perahu hampir berlayar ke Bantan membawa lada, hamba dengar. Boleh
surat itu hamba kirimkan pada nahkoda itu serta dengan perempuan hamba
hamba suruh membawa surat itu”, kata surian pada alperes si Talib.
Serta sudah putus bicara, alperes itu pulang ke Bantan. Ada sepuluh hari
antaranya maka berlayar pula Encik Laut ke Bantan membawa lada. Disanalah
surian Raus berkirim surat kepada kemandur serta dengan perempuan surian itu
sama-sama membawa surat di dalam perahu Nahkoda Encik Laut itu.

Syahdan ada tiga belas hari alperes itu sampai ke Bantan, maka surat itu
dihantarkan oleh perempuan surian Raus itu kepada kemandur menir Pur di
dalam nenggeri Bantan. Maka itu dibaca oleh kemandur, demikian bunyi surat
itu, mengatakan Kyai Demang menjual lada kepada orang Inggris datang dari
Bangkahulu dan lagi selama kapitan Forrest itu di Semangka. Kyai Demang tiada
peduli hamba lagi. Kalau tuan kemandur tiada percaya pada hamba, tanyakan
kepada alperes si Talib, karena si alperes itu ada di Semangka ketika itu.
Setelah sudah kemandur mendengar bunyi surat itu, maka kemandur
menyuruh memanggil alperes si Talib. Serta sampai alperes itu kemandur
bertanya kepadanya: “Apa kabar di Semangka itu? Adapun kabar yang hamba
dengar, ada kapal Inggris datang dari Bangkahulu, kapitannya bergelar kapitan
Forrest, singgah di Semangka. Hamba dengar Kyai Demang berjual lada pada
kapitan itu, dan selama kapitan itu di Semangka Kyai Demang tiada peduli lagi
kepada surian Raus dan barang apa kata kapitan itu, Kyai Demang menurut kata
kapitan itu saja”.
Maka kata kemandur: “Sebab apa maka tiada kamu bilang pada hamba selama
ini bicara itu?”
Maka kata alperes itu: “Sebab tiada hamba bilang kepada tuan kemandur
selama ini, hamba takut kalau tuan pikir hamba membuat pitenah kepada orang”.
Serta didengar kemandur kata alperes itu kemandur diamlah. Alperes itu pulang
kerumahnya.

Syahdan segala perahu pulanglah ke Semangka, Nahkoda Encik Laut pulang


pula ke Semangka. Perempuan surian Raus itu disuruh kemendur pulang ke
Semangka sama-sama di dalam perahu Encik Laut itu serta tiga orang Holanda
sama-sama di dalam perahu itu.
Ada sebulan lama Encik Laut sampai di Semangka, maka kemandur
menyuruh satu kici tiang dua datang ke Semangka. Serta dilihat Kyai Demang
kici itu datang, maka Kyai Demang pergilah ke rumah surian Raus itu. Maka Kyai
Demang bertanya kepada surian itu: “Apa namanya yang datang itu, seperti
kapal rupanya?”
Maka kata surian: “Belum hamba tahu. Siapa tahu kapal, siapa tahu bukan”.
Maka kata Kyai Demang: “Bagaimana urdi jikalau ia sampai memasang bedil?
Hamba balas atau jangan?”
Maka kata surian itu: “Jangan dibalas, seperti sama besar kita dengan orang itu.
Siapa tahu dari mana datang, kita tiada tahu padanya”.
Setelah dekat kici itu kelihatan benderanya bendera Holanda. Maka surian itu
memanggil Nahkoda Buyung pergi menyongsong lalu ke laut. Maka pergilah
surian Raus sama-sama Nahkoda Buyung dengan sampan kecil. Ada empat
orang mengayuhkan sampan itu. Serta sampai ke kici itu maka surian dengan
Nahkoda Buyung naik ke atas Kici itu serta memberi tabik kepada kapitan itu.
Syahdan maka berlabuhlah Kici. Sauhnya jatuh, meriam dipasangnyalah oleh
ganir di dalam Kici itu. Setelah sudah memasang meriam itu, maka kapitan itu
turun ke darat. Adapun Kyai Demang menanti di kuala. Setelah kapitan bertemu
dengan Kyai Demang, maka Kyai Demang memberi tabik pada kapitan itu. Maka
kapitan itu gusar kepada baginda itu, demikian katanya: “Apa sebab maka tiada
Kyai Demang membalas meriam hamba? Apa Kyai Demang lebih besar dari
pada hamba, maka tiada membalas meriam hamba?”
Maka kata baginda: “Sebab tiada hamba balas meriam kapitan, karena surian
Raus jangan dibalas jikalau ada mendengar bunyi meriam”.
Maka kapitan itu gusar jua katanya: “Apa kamu pedulikan kata surian itu?”
Syahdan tiadalah Kyai Demang berkata lagi, karena di dalam pikir baginda tiada
gunanya melawan kata kapitan itu. Setelah sudah berkata-kata maka kapitan itu
pulang ke Kici.
Pagi-pagi hari maka turun pula kapitan itu ke darat. Serta ia sampai ke darat
maka kapitan itu menyuruh memanggil segala orang di dalam kampung Melayu
semuanya. Nama orang itu disuratkannya oleh kapitan itu. Serta sudah menyurat
nama orang maka kapitan itu berkata kepada Kyai Demang, demikian katanya:
“Semuanya orang ini suruh membuat kota kayu”. Maka diukurnya tanah serta
diperbuatnya contoh kota itu panjang empat puluh, bukanya empat puluh.
Maka Kyai Demang berkata kepada kapitan itu demikian katanya: “Bagaimana
membuat kota ini? Atau segala kami di dalam kampung Melayu ini saja membuat
kota ini, atau perwatin menolong pula? Karena dalam pikir hamba, kalau Melayu
saja membuatnya, pasti lambat maka sudah kota ini”.
Setelah didengar kapitan itu kata Kyai Demang maka kapitan itu berkata:
“Adapun membuat kota ini, yang mana patut pikir Kyai Demang boleh hamba
bicarakan”.
Maka kata Kyai Demang: “Kalau dalam pikir hamba, patut perwatin menolong
pula. Adapun di dalam tanah Lampung Semangka itu ada pangeran bergelar
pangeran Wai Ratna. Itulah pangeran yang lebih besar di dalam tanah
Semangka ini. Patut kapitan berkata padanya”.
Setelah didengar kapitan itu kata Kyai Demang maka kapitan itu pergilan ke
dusun pangeran Wai Ratna sama-sama dengan Kyai Demang. Serta sampai ke
dusun pangeran itu maka kapitan itu berkata kepada pangeran itu, demikian
katanya: “Hamba ini datang kepada pangeran karena hamba disuruh kemandur
Bantan melihat tanah Semangka ini, karena tanah Semangka ini hendak
diperbuat seperti adat Bandar tanah Jawa. Tetapi sekarang hamba lihat di dalam
kampung Melayu ada tempat membuat kota. Melainkan pangeran dengan Kyai
Demang membicarakan orang membuatnya”.
Maka kata pangeran itu: “Baiklah kapitan, tetapi hamba minta janji, lima hari lagi
hamba datang melihat perbuatan kota itu”. Setelah sudah berkata maka kapitan
itu pulang sama-sama dengan Kyai Demang ke kampung Melayu.

Ada semalam antaranya maka kapitan itu memanggil Kyai Demang pergi
melihati tanda bagian tanah Kompeni Inggris dengan Kompeni Holanda. Adapun
tempat itu di Muara Tanda namanya. Syahdan maka pergilah Kyai Demang
sama-sama dengan kapitan itu, kapitan itu satu pencalang, Kyai Demang satu
pencalang ditempatnya. Pergi itu Nahkoda Buyung pergi sama-sama dengan
anakanda si Bantan pergi pula sama-sama ayah muda itu. Adapun yang tinggal
menjaga rumah Nahkoda Lela dengan Laudin.
Setelah sampai kepada tempat tanda itu, maka kapitan itu menyuruh membawa
tanda itu. Tanah Kompeni Inggris ada satu tunjuk dan tanah Inggris diambil
kapitan itu. Ada tiga malam lamanya kapitan itu serta Kyai Demang di sana maka
pulanglah ke Semangka. Adapun kapitan naik ke dalam pencalang Kyai
Demang.
Setelah dekat pada Kici itu maka kapitan itu berkata kepada Kyai Demang,
demikian katanya: “Mari kita singgah dahulu pada Kici hamba ini, kita bermain-
main barang sejam dua jam”.
Setelah didengar Kyai Demang kata kapitan itu maka kata Kyai Demang: “Baik
kapitan, hamba suka melihat bagaimana rupa di dalam Kici itu”. Setelah itu
sampailah Kyai Demang ke atas Kici itu.
Syahdan surian Raus datang menjemput Nahkoda Lela serta Laudin,
demikian katanya surian Raus itu: “Ya Nahkoda Lela, mari kita pergi ke Kici
menjemput Kyai Demang serta dengan kapitan. Bawa adik kamu sama-sama”.
Maka Nahkoda Lela serta dengan Laudin lalulah ke Kici sama-sama surian Raus
itu serta tiga orang mengayuhkan sampan itu.
Setelah sampai Nahkoda Lela ke atas Kici itu maka berkatalah surian serta
dengan kapitan itu kepada Nahkoda Lela menyuruh membuka keris. Maka kata
Nahkoda Lela: “Tiada mengapa, kapitan, hamba memakai keris. Meski di dalam
kota Bantan hamba tiada dilarang memakai keris”.
Serta didengar Kyai Demang suara Nahkoda Lela bertengkar dengan kapitan itu,
maka Kyai Demang berkata: “Kasihkan keris, tiada mengapa turut bicara kapitan
itu”.
Setelah didengar Nahkoda Lela kata ayahanda itu, dibukanya kerisnya
dikasihkan pada kawan dan keris Laudin demikian juga dikasihkannya kepada
kawan. Maka masuklah Nahkoda Lela dengan Laudin ke dalam Kici itu duduk
dekat ayahanda serta dengan kakanda Nahkoda Buyung dan adinda si Bantan
dan Laudin dan Nahkoda Lela berempat saudara itu duduk pada satu tempat
serta dengan ayahanda yang bergelar Kyai Demang Purwasedana itu duduk
sama-sama.
Syahdan maka kapitan itu berkata kepada Kyai Demang demikian katanya:
“Adapun Kyai Demang lima beranak ini tiada boleh keluar lagi daripada Kici ini,
karena urdi kemandur menir Pur menyuruh hamba menjemput Kyai Demang. Itu
kerja hamba datang ke Semangka ini”.
Setelah didengar Kyai Demang kata kapitan itu maka baginda berkata: “Baiklah,
kapitan, jangan seperti kapitan datang menjemput hamba; miski sepotong surat
saja datang kepada hamba tiada boleh hamba tahan, hamba ini di dalam
perintah kapitan selama-lamanya”.
Setelah sudah berkata-kata, maka kapitan itu turun kedarat lalu ke rumah
Kyai Demang. Setelah sampai di rumah Kyai Demang, maka kapitan itu
menyuruh soldadu mengelilingi rumah itu dengan baris. Maka kapitan itu serta
dengan surian Raus naik ke rumah. Maka segala isi rumah Kyai Demang itu
semuanya diambilnya oleh kapitan itu. Syahdan ada empat orang membawa
harta Kyai Demang itu lalu ke Kici. Adapun rumah Kyai Demang ditunggunya
oleh kapitan itu siang dan malam kapitan itu di rumah Kyai Demang. Pada
sehari-sehari memotong kerbau saja, kerjanya makan minum bersuka-sukaan
pada tiap hari di dalam kampung Kyai Demang itu.

Adapun Kyai Demang lima beranak itu dijaga soldadu dengan satu koperal
Holanda, tetapi makan minum Kyai Demang lima beranak itu datang dari rumah
saudara Kyai Demang bernama Nahkoda Derman dengan Nahkoda Sempurna;
dari sanalah datang makan minumnya Kyai Demang itu. Pada tiap-tiap hari
Nahkoda Sempurna dengan Nahkoda Derman datang menghantar makanan
Kyai Demang itu, tetapi barang apa dibawa ke Kici itu dikasih lihat pada soldadu
yang jaga itu; sudah dilihat soldadu itu, maka dikasihkan pada Kyai Demang.
Demikian pada tiap hari.
Ada pada satu hari Nahkoda Sempurna datang kepada kapitan itu membawa
sarang burung layang-layang namanya seraya Nahkoda Sempurna berkata
kepada kapitan itu, demikian katanya: “Hamba ini datang kepada kapitan
bertanyakan bagaimana Kyai Demang lima beranak itu? Di dalam pikir kapitan,
lagi boleh pulang ke Semangka ini atau tidak?”
Maka kata kapitan itu: “Apa sebab maka Nahkoda berkata begitu?”
Maka kata Nahkoda Sempurna: “Sebab tuanku hamba bertanya kepada kapitan
begitu, karena hamba ini bukan orang Semangka ini. Adapun hamba orang
Betawi, kampung Kampung Melayu, sebab maka hamba datang ke mari, sebab
menurut Kyai Demang, karena budi basanya baik pada hamba. Kalau tiada lagi
akan pulang Kyai Demang ke Semangka ini, hamba hendak pulang ke Betawi”.
Setelah didengar kapitan itu kata Nahkoda Sempurna demikian itu, maka kata
kapitan itu: “Hamba tiada tahu, siapa tahu boleh pulang Kyai Demang ke
Semangka ini, siapa tahu tiada, karena hamba dengar kabarnya Kyai Demang
terlalu besar salahnya pada Kompeni. Hamba dengar Kyai Demang berjual lada
pada Kompeni Inggris”.
Setelah didengar Nahkoda Sempurna kata kapitan itu maka Nahkoda
Sempurna diamlah. Setelah sudah berkata-kata maka Nahkoda Sempurna
pulanglah. Maka Nahkoda Sempurna lalu menghantarkan makanan Kyai
Demang lalu ke Kici serta Nahkoda Sempurna berkabar pada Kyai Demang
sebab perkataan kapitan itu. Setelah didengar Kyai Demang kata Nahkoda
Sempurna itu Kyai Demang berkatalah: “Jangan Nahkoda Sempurna susah pada
bicara itu. Tiada salah hamba pada Kompeni atau pada Sultan. Tiada salah
hamba melainkan hamba menyerah saja pada Allah subhanahu wa taa’la; meski
hamba rusak, jikalau tiada dengan salah hamba. Melainkan hamba serahkan
pada Allah”. Setelah sudah berkata-kata maka Nahkoda Sempurna pulang ke
darat.

Sepeninggal Nahkoda Sempurna itu maka berkata Nahkoda Buyung dengan


Nahkoda Lela kepada ayahanda, demikian katanya: “Ayahanda jangan banyak
pikir lagi, melainkan seboleh-bolehnya saja minta pada ayahanda: Kami yang
empat bersaudara ini tiada tertanggung lagi dan tiada tertahan lagi hati kami
diperbuat orang seperti ini. Dari pada hidup baiklah mati. Melainkan kami hendak
mengamuk Holanda ini; itu yang kami minta pada ayahanda. Seboleh-bolehnya
kami minta izin pada ayahanda”.
Setelah didengar Kyai Demang kata anakanda itu maka baginda berkata:
“Jangan anakku susah kepada bicara ini. Jikalau kita dibawa kapitan ini ke
Bantan. Sultan Bantan menolong kita; jikalau dibawanya kita ke Semarang,
hidelir Semarang menolong kita”.
Maka kata Nahkoda Lela dengan Nahkoda Buyung: “Benarlah kata ayahanda
jikalau dibawanya kita ke Bantan dan ke Betawi atau ke Semarang. Jikalau kita
dibuangnya ke pulau Damar, siapa menolong lagi? Melainkan membuat tali
Holanda kerja kami yang empat bersaudara ini, ayahanda! Siapa tahu apa
tanggungan ayahanda diperbuatnya, dan segala saudara kami di mana
dibawanya. Siapa tahu diperbuat budak oleh Holanda. Adapun harta ayahanda
sudah tentu nian tiada akan pulang lagi pada ayahanda. Adapun ayahanda siapa
tahu lagi lama hidup, siapa tahu tiada. Melainkan kami yang empat bersaudara
ini yang akan menanggung perbuatan seumur hidup. Melainkan seboleh-boleh
kami minta izin pada ayahanda; tiada nian kami hendak dibawa Holanda ini.
Baiklah mati dari pada hidup, dari menanggung percintaan seumur hidup di
dalam dunia ini”.
Serta didengar Kyai Demang kata anakanda yang empat bersaudara itu
demikian bunyinya, maka baginda diam pikir seketika. Syahdan maka baginda
berkata: “Ya anak, jikalau demikian hendak anakku, melainkan hamba serahkan
pada Allah dan rasul Allah. Tetapi jangan anakku harap pada ayahanda; tiada
ayahanda menaruh kuat kuasa lagi melawan musuh”.
Maka kata Nahkoda Lela: “Meski ada hawa ayahanda akan melawan tiada kami
menyuruh ayahanda, karena ayahanda sudah tua dan lagi, jikalau ayahanda
mati dari pada pekerjaan ini, pasti tiada keruan pikiran anakanda. Jikalau kami
yang empat bersaudara ini sampai hukum Allah atas hambanya, ada dua bicara
ayahanda membawa saudara kami yang perempuan pada sembarang tempat
ayahanda membawa, dan lagi meski ayahanda seorang hidup, orang banyak
malu jua pada ayahanda”.
Setelah didengar Kyai Demang kata anakanda itu maka cucur airmata
baginda tiada tertahan; di dalam pikir hati baginda pasti ada jua yang mati.
Jikalau tiada mati, lukapun ada juga anakanda empat bersaudara itu, karena
Holanda itu terlalu keras jaganya, di dalam pada sekali jaga selapan orang; di
haluan dua jaganya, di tengah-tengah dua orang jaga, di sebelah buritan, dekat
mengemudi, dua orang jaga, di atas kurung dua orang jaga, di sana memegang
senapang. Demikian laku Holanda menjaga Kyai Demang lima beranak itu.
Adapun di dalam kampung Kyai Demang itu satu kapitan, satu surian, dua
belas soldadu menjaga rumah Kyai Demang. Di dalam kampung Holanda satu
koperal dengan lima soldadunya. Itulah yang akan dilawan Kyai Demang anak
beranak dan saudaranya yang bergelar Nahkoda Sempurna dan Nahkoda
Derman itu.
Setelah sudah putus pikiran Kyai Demang tiadakan urung lagi akan
mengamuk itu maka kata Kyai Demang: “Pesanku Nahkoda Sempurna, jangan
ia tiada tahu pada pekerjaan ini”.
Setelah sudah berkata maka datang Nahkoda Sempurna membawa
makanan. Maka Nahkoda Buyung berkata kepada Nahkoda Sempurna demikian
katanya: “Apa kerja awak sekarang?”
Maka kata Nahkoda Sempurna: “Tiada ada kerja hamba melainkan hamba
menyuruh si Derman membuat satu perahu akan membawa makanan. Barang
dibawa kemana dibawa kamu lima orang ini, hamba suruh turutkan”.
Maka kata Nahkoda Lela: “Janganlah awak susah-susah lagi, melainkan apa
akal, mau mencari senjata yang baik, karena kami hendak mengamuk. Tiada
kami hendak dibawa oleh Holanda ini kemana-mana. Jikalau tiada boleh senjata
yang baik, barang apa akal kami empat bersaudara ini, pasti kami mengamuk
juga”.
Setelah didengar Nahkoda Sempurna kata anakanda demikian itu, maka ia
pulang ke darat. Maka Nahkoda Sempurna berkata kepada Nahkoda Derman
mengatakan: “Anak kita yang empat bersaudara itu hendak mengamuk. Kyai
Demang sudah suka pula menyuruh anakanda yang lima bersaudara itu
mengamuk. Melainkan apa akal kita memberi senjata yang baik pada orang lima
itu?”
Maka Nahkoda Derman pergilah mencari siwar. Dapatlah siwar empat bilah
yang baik. Syahdan Nahkoda Sempurna mupakatlah dengan segala sanak
saudara yang dekat pada Kyai Demang dan yang dekat pada Nahkoda
Sempurna akan mengamuk di darat menanti Kyai Demang turun ke darat kalau
sudah selamat mengamuki kici itu. Adalah orang dua belas orang yang pada
bicara itu.
Ada kira-kira pukul empat petang hari maka datang Nahkoda Derman
membawa nasi di dalam bakul. Di dalam nasi itu ditaruhnya siwar empat bilah.
Maka sampailah Nahkoda Derman ke kici itu, maka Nahkoda Lela pergilah
mengambil bakul itu. Maka kata Nahkoda Derman: “Ada siwar dalam bakul ini”.
Maka dibawa oleh Nahkoda Lela bakul itu dengan lekasnya kepada saudaranya,
maka makanlah bersaudara itu di dalam bakul itu. Adapun Holanda yang jaga itu
diam tiada berkata melihat laku orang empat bersaudara itu makan di dalam
bakul itu seperti rupa orang tiada makan empat lima hari rupanya. Sudah makan
maka bakul itu dijaga oleh empat orang bersaudara itu. Maka Nahkoda Derman
pulang ke darat.
Pada malam itu disuruh oleh Nahkoda dua orang menjaga dengan satu
sampan. Adapun perjanjian: jikalau kelihatan api, lekas jemput; tanda selamat
pekerjaan. Jikalau ada bunyi senapang dilaut, suruh mengamuk orang di darat,
jangan datang lagi ke kici; itulah perjanjian dengan Nahkoda Derman.
Adapun lama Kyai Demang lima beranak itu terkurung sudah sampai enam
hari enam malam. Sampai ke tujuh malamnya maka mengamuklah Kyai Demang
lima beranak itu ada kira-kira pukul tiga malam hari. Sebab maka menanti pukul
tiga, karena bulan lagi terang dan angin lagi salah, takut kalau tahu Holanda
yang di darat, pasti tiada boleh masuk kampung Kyai Demang. Kalaunya tahu
pasti habis isi rumah Kyai Demang dibunuhnya oleh Holanda itu.
Setelah sampai pukul tiga bulan sudah kelam, angin tepi sudah berembus,
maka sedialah Nahkoda Buyung dan Nahkoda Lela dan si Bantan dan Laudin
dengan satu seorang siwar. Adapun Kyai Demang lain tempatnya pada malam
itu, diminta kepada koperal Holanda itu. Tetapi tempat Kyai Demang itu di
sebelah kurung. Tempat itu ada lapang sedikit dan ada tumbak tergantung di
sana dua puluh batang Tumbak itu Kyai Demang yang punya, sudah diambil
oleh Holanda itu. Ada orang Holanda jaga Kyai Demang dua orang pada tempat
itu.
Maka kata Nahkoda Lela kepada adinda La’udin: “Pergi kamu menolong
bapak, kita bunuh Holanda yang dua itu”. Maka kata Laudin: “Baiklah! Hamba
coba dahulu pergi kesana dengan baik”. Maka pergilah Laudin pada tempat
ayahanda itu. Maka kata Holanda itu: “Apa kerja kamu datang ini?” Maka kata
Laudin: “Sebab maka hamba datang, hendak melihat hamba punya bapak,
kalaunya hendak sirih, karena bapak hamba ada sakit sedikit”. Serta didengar
oleh Holanda itu kata Laudin iapun diamlah. Setelah sudah berkata-kata itu
maka Laudin turun kembali mendapatkan kakanda yang tiga itu. Serta
mengambil siwar dan mengambil sirih maka ia datang mendapatkan ayahanda.
Syahdan Nahkoda Lela lalu ke haluan, Nahkoda Buyung dengan si Bantan di
tengah-tengah tempat Holanda yang banyak itu.
Ada setengah jam lamanya Nahkoda Lela di haluan maka mengamuklah di
sana. Syahdan Nahkoda Buyung dengan si Bantan mengamuk pula, dan La’udin
dengan ayahanda membunuh Holanda yang dua itu. Adapun senjata Kyai
Demang pistol Kompeni; itulah yang dipukulkannya pada Holanda yang jaga itu,
mati seorang oleh baginda.
Adapun anakanda yang empat bersaudara itu tiada berketahuan lagi melainkan
membawa kehendak hati seorang-seorang membunuh Holanda itu. Adapun Kyai
Demang mengambil tumbak yang tergantung itu, semuanya diturunkan baginda.
Ada orang tujuh orang Jawa di dalam Kici itu bilangan kelasi. Maka Kyai Demang
berkata: “Kalau kamu hendak menolong Holanda, lawanlah anak hamba itu,
jikalau tidak kamu menolong Holanda, carilah tempat kamu yang baik”. Maka
segala orang tujuh itu naik ke atas tiang kecil; tiada ia hendak menolong Holanda
melainkan diam saja ketujuh orang itu.
Ada kira-kira sejam lamanya membunuh Holanda itu maka Kyai Demang
memanggil anakanda semuanya. Demikian kata baginda: “Marilah anakku
semuanya, ayahanda hendak melihat muka anakku, dan ambil tumbak ini
sebatang seorang”. Syahdan datanglah anakanda yang tiga itu mengambil
tumbak sebatang seorang. Maka kata Kyai Demang: “Dimana Laudin?” Maka
kata Nahkoda Lela: “Laudin saya suruh sama ayahanda. Sekarang tiada kami
bertemu padanya”. Maka Kyai Demang menangis, disangka sudah mati
anakanda itu. Adapun Laudin di haluan melihat Holanda empat orang
bergantung ditali. Itulah yang dilihatnya, karena La’udin itu lagi kecil belum tahu
pada akal. Serta didengar ayahanda memanggil, maka ia datanglah pada
ayahanda dengan lekasnya. Syahdan maka semuanya Kyai Demang lima
beranak itu memegang tumbak sebatang seorang mencari Holanda yang lagi
hidup, semuanya dibunuhnya, seorangpun tiada lagi yang tinggal. Semuanya
mati serta dengan kehendak Allah Tuhan yang kaya. Adapun Kyai Demang lima
beranak itu tiada mara dan bahayanya. Allah subhana wataa’la menolong pada
hambanya yang benar.

Syahdan maka Nahkoda Lela memasang lilin, maka datang orang menjemput
dengan sampan. Maka Nahkoda Buyung hendak turun ke darat. Maka kata
ayahanda: “Jangan anakanda turun ke darat, biar hamba turun serta dengan
anakanda Nahkoda Lela. Tinggalah anakku tiga bersaudara menjaga kici ini,
karena harta kita semuanya di dalam kici ini, dan jangan anakku percaya pada
orang tujuh ini. Syahdan, jikalau belum habis kami, sekalian yang di darat mati,
jangan anakku turun ke darat, karena harta kita semuanya di dalam Kici ini”.
Syahdan maka turun Kyai Demang serta dengan anakanda Nahkoda Lela.
Serta sampai ke darat maka baginda lalu ke rumah Nahkoda Sempurna. Serta
Nahkoda Derman. Ada selapan orang sertanya. Maka Kyai Demang memanggil:
“Marilah, Nahkoda Sempurna, bunuh Holanda yang di rumah hamba itu!” Serta
didengar Nahkoda Sempurna serta Nahkoda Derman suara Kyai Demang serta
suara Nahkoda Lela, maka ia turun berjalan sama-sama masuk ke dalam
kampung Kyai Demang. Maka naiklah Nahkoda Sempurna serta Nahkoda
Derman dan Sarafuddin ke atas rumah Kyai Demang membunuh Holanda yang
di atas rumah itu, tiga orang; satu kapitan, satu surian, satu soldadu. Serta
sampai maka dibunuhnyalah Holanda yang tiga itu. Serta didengar oleh soldadu
yang jaga di bawah itu bunyi orang begaduh di atas rumah, maka ia turun
semuanya ke tanah daripada tempatnya serta dengan senapangnya. Maka
dibarisnyalah ke atas rumah Kyai Demang. Barisnya lepas maka orang banyak
serta dengan Kyai Demang dan Nahkoda Lela pergilah membunuh Holanda itu.
Mati seorang dan luka dua orang-orang yang serta dengan Kyai Demang itu.
Adapun soldadu Holanda itu matilah semuanya dan segala Melayu di dalam
Semangka ini disuruh Kyai Demang mengalahkan gedung. Syahdan dimasuki
orang gedung itu, tetapi tiada lagi orangnya, sudah lari. Lima orang Holanda
yang lepas, lalu dari pada mati semuanya, berkat tolong Allah subhanawataa’la.
Maka hari sianglah. Segala harta Kyai Demang di dalam kici itu disuruh
baginda bawa ke darat. Maka segala senjata disuruh Kyai Demang muatkan ke
dalam perahu kecil satu serta dengan barang-barang anak Melayu, tetapi tiada
berapa muatnya perahu kecil itu. Semuanya harta anak Melayu dan harta Kyai
Demang tinggal saja dan perahu segala dagang Melayu ada lima puluh buah
tinggal dikalangannya.
Syahdan Kyai Demang berkata kepada segala anak Melayu: “Didalam pikir
hamba baiklah sanak saudara tinggal di Semangka ini jua, jangan menurut
hamba, karena hamba anak beranak ini belum ada tentu akan tempat
berlindung. Siapa tahu boleh diam di tanah Kompeni Inggris, siapa tahu tidak.
Jangan segala sanak saudara hamba sengsara menurut hamba”.
Maka kata segala anak Melayu: “Tiada terlepas oleh kami tuan berjalan anak
beranak, karena tiada salah tuan kepada Kompeni atau pada Sultan melainkan
tuan teraniaya, di dalam pikir kami sekalian ini. Sedang tuan sudah banyak
kebaikan kepada Kompeni dan pada Sultan, lagi demikian tuan diperbuatnya
oleh Kompeni”.
Setelah sudah putus bicara, maka Kyai Demang membuat satu surat kepada
kemandur menir Pur, satu surat kepada Sultan, demikian bunyinya:
“Ini surat daripada Kyai Demang Purwasedana di dalam tanah Lampung
Semangka sampai kepada tuan kemandur dan tuan Sultan. Akan hal Kyai
Demang serta dengan anak Melayu di dalam Semangka, semuanya berjalan
meninggalkan tanah Semangka, daripada tiada tertanggung oleh kami sekalian
perbuatan Holanda. Siapa tahu urdi tuan atau bukan, hamba diperbuatnya
seperti anjing saja, dan segala harta hamba dirampasnya dan hamba
dikurungnya dan rumah hamba ditunggunya. Adapun di dalam pikir hamba tiada
hamba berutang kepada tuan Sultan atau kepada Kompeni, meski satu kepeng
tembaga tiada hamba berutang! Adapun di dalam Semangka ini menumpang di
tanah tuan Sultan dan Kompeni, mencari kehidupan hamba daripada sekepeng
dua kepeng tiada hamba membuat yang salah selama-lamanya. Melainkan
hamba minta ampun, tiada lagi hamba menyembah tuan lagi dan tiada hamba
mengadap Kompeni Holanda lagi. Adapun hamba dikasih kemandur menir
Samberek satu senapang matanya dua, dua pistol matanya dua; semuanya
hamba kasihkan kepada tangan Agus Jamali serta dengan kici dan segala
perahu Melayu tinggal semuanya. Melainkan hamba berjalan; sahinggan harta
yang terbawa jalan kaki, itulah yang hamba bawa berjalan. Adapun perjalanan
hamba tiada tentu akan diturut, melainkan berjalan dengan tawakal Allah.
Melainkan Allah subhanahu wata’ala yang tahu pada peruntungan hambanya”.
Surat sudah maka dikasihkan Kyai Demang pada tangan Agus Jamali, mata
Sultan. Ada tiga hari tiga malam Kyai Demang sudah mengamuk maka Kyai
Demang berjalanlah ke Kerui dengan segala anak Melayu laki-laki dan
perempuan, besar dan kecil. Ada orang empat ratus semuanya sama-sama
dengan Kyai Demang berjalan itu. Ada tiga hari lamanya berjalan sampai ke
Bengkunat, maka Kyai Demang membuat surat dikirimkan pada Doctor. Mr.
Blankin. Itu petor yang menjaga tanah Kerui pada ketika itu. Adapun bunyi surat
ini demikian katanya:
“Kyai Demang dari Semangka kirim tabik kepada petor Kerui. Adapun hamba ini
minta tolong sebolehnya. Hamba hendak lalu di Kerui. Sebab maka hamba minta
tolong, karena hamba sudah berselisih dengan Kompeni Holanda. Jikalau boleh
hamba hendak diam di bawah bendera Kompeni Inggris, Jikalau tiada boleh
hamba diam di bawah bendera Kompeni Inggris, melainkan hamba minta lalu
saja barang di mana boleh nenggeri tempat hamba diam”.
Surat itu berjalan dahulu, ada semalam maka Kyai Demang berjalan pula di
belakang surat itu. Ada tiga malam surat itu berjalan maka datanglah balas surat
itu daripada petor Kerui mengatakan: “Datanglah Kyai Demang ke Kerui, tiada
mengapa. Jikalau sampai Kyai Demang di Kerui, boleh kita mencari bicara
kepada konsil (council) dan kemandur Bangkahulu.
Serta sampai surat itu pada Kyai Demang, adalah seperti tanam-tanaman di
datangi hujan suka hati Kyai Demang mendengar bunyi surat itu. Maka Kyai
Demang berjalanlah. Ada tujuh malam maka sampai di Kerui dari Bengkunat itu.
Serta sampai di Kerui maka Kyai Demang pergilah kepada Doctor Mr. Blankin
serta dengan Nahkoda Sembawa, alperes di Kerui.
Serta sampai Kyai Demang ke dalam gedung doctor itu, maka Kyai Demang
memberi hormat pada doctor itu seraya Kyai Demang berkata: “Bagaimana pikir
petor pada hamba ini? Atau boleh hamba diam di bawah bendera Kompeni
Bangkahulu atau tiada?”
Maka kata doctor itu: “Begini, Kyai Demang, bicara itu biar hamba berkirim surat
kepada konsil dan kemandur Bangkahulu”. Kyai Demang membuat pula satu
surat kepada konsil dan kemandur. Adapun kemandur Bangkahulu pada ketika
itu Mr. Carter, konsil Mr. Hay dan Mr. Nairne, Mr. Darval, Mr. Stuart, Mr. Wyatt.
Semuanya tuan-tuan ini ketika itu ada berkampung di Bangkahulu.
Maka diperbuatlah surat, demikian katanya:
“Adapun surat daripada doctor Kerui kepada konsil dan kemandur Bangkahulu
mengatakan Kyai Demang dari Semangka serta dengan anak Melayu, orang
empat ratus, ada di Kerui sekarang, minta tolong pada hamba hendak diam di
bawah bendera Kompeni Bangkahulu, karena Kyai Demang itu sudah
membunuh Holanda di Semangka, sebab tiada tertahan olehnya diperbuat
Holanda. Kyai Demang itu dikurungnya serta dengan anaknya dan segala
hartanya dirampasnya, itulah sebab Kyai Demang anak beranak datang pada
hamba. Melainkan apa kata konsil dan kemandur pada bicara itu?”
Surat Kyai Demang ada pula mengatakan minta tolong seboleh-bolehnya
kepada konsil dan kemandur hendak diam di bawah bendera Kompeni
Bangkahulu, karena hamba tiada tahan hati hamba diperbuatnya oleh Holanda.
Tiada dengan salah hamba dikurungnya, harta hamba dirampas. Itu sebab maka
hamba lawan. Itupun Allah ta’ala menolong hamba. Itu sebab hamba minta
tolong pada konsil dan kemandur.
Surat itu berjalan ke Bangkahulu ada selapan malam. Nahkoda Lela disuruh
Kyai Demang pergi ke Bangkahulu dengan perahu loyang dibawa dari
Semangka itu. Dari Bengkunat Nahkoda Lela berlayar lalu ke Bangkahulu. Surat
itu sampai ada dua malam di Bangkahulu, Nahkoda Lela sampai pula di
Bangkahulu. Maka perahu Nahkoda Lela dimasukkanya ke kuala Silebar. Maka
Nahkoda Lela berkata kepada segala anak peranakan Kandang mengatakan:
“Hamba minta hantarkan ke Bangkahulu. Hamba hendak bertemu dengan konsil
dan kemandur serta dengan daeng dan pangeran yang dua kedudukan serta
dengan datuk-datuk yang berempat, karena hamba ini hendak minta tolong
kepada segala orang besar-besar di Bangkahulu ini. Hamba disuruh ayahanda
hamba. Kalau boleh kami hendak diam di bawah bendera Kompeni Bangkahulu
ini, karena kami sudah berselisih dengan Kompeni Holanda itu. Sebab maka
hamba minta hantarkan, siapa tahu hamba diusir oleh konsil dan kemandur;
minta lihat kematian hamba dan perahu hamba ini tinggal, minta jaga oleh satu
saudara hamba. Jikalau hamba mati, apa sukalah pada perahu hamba itu”.
Setelah didengar oleh segala peranakan Kandang kata Nahkoda Lela itu,
maka berjalanlah Nahkoda dan orang Kandang ada tujuh orang mengiringkan
sama-sama lalu ke Bangkahulu. Setelah sampai Nahkoda Lela di Marlborough,
maka ia pergi kepada Raden Sinaka, surian opas kemandur Mr. Carter,
mengatakan hendak bertemu kepada kemandur: “Hamba ini datang dari
Semangka membawa bicara disuruh bapak hamba Kyai Demang Semangka”.
Maka kata Raden Sinaka: “Baiklah Nahkoda Lela, hamba pergi kepada
kemandur mengatakan bicara itu”.

Syahdan maka Raden Sinaka pergilah kepada kemandur mengatakan


Nahkoda Lela anak Kyai Demang dari Semangka hendak datang menjelang
tuan. Setelah didengar kemandur kata Raden Sinaka itu maka kemandur berkata
demikian katanya: “Pergilah raden kepada Nahkoda itu, katakan kepada
Nahkoda itu nanti pukul empat petang hari suruhannya datang kepada hamba,
karena sekarang sudah pukul dua belas, hamba hendak makan dahulu”.
Setelah didengar Raden Sinaka kata kemandur demikian itu, maka ia pergilah
mendapatkan Nahkoda Lela. Setelah sampai maka Raden Sinaka berkata: “Hai
Nahkoda Lela, sudah hamba katakan kepada kemandur seperti kehendak hati
Nahkoda itu. Tetapi kemandur minta nanti dahulu, karena kemandur lagi hendak
makan dahulu. Apabila kedengaran pukul empat Nahkoda datang kemari”.
Setelah didengar Nahkoda Lela kata Raden Sinaka demikian itu, maka ia pergi
ke rumah orang pasar Marlborough.
Syahdan maka berbunyi pukul empat, maka Nahkoda Lela pergilah
menjelang kemandur. Setelah dilihat oleh kemandur Nahkoda Lela datang maka
kemandur menyuruh menjemput soldadu kedalam kota dengan satu koperal,
selapan soldadunya, serta memegang senapang berdiri di belakang kemandur.
Setelah sampai koperal dan soldadu itu, maka kemandur menyuruh Nahkoda
Lela masuk kedalam gedung bicara.
Setelah sampai Nahkoda Lela kepada kemandur, maka ia memberi hormat
kepada kemandur itu. Maka kata tuan kemandur: “Dari mana datang Nahkoda
ini?” Maka kata Nahkoda Lela: “Hamba ini, tuan kemandur, datang dari
Semangka disuruh oleh bapak hamba menjelang tuan kemandur”.
Maka kata kemandur: “Apa kehendak pada bilang, supaya hamba dengar. Maka
kata Nahkoda Lela: “Ya, tuan kemandur, sebab hamba datang kemari disuruh
bapak hamba menjelang tuan, karena kami dianiaya oleh Holanda di Semangka,
maka kami melawan. Segala Holanda yang di dalam Semangka itu semuanya
mati dan anak Melayu yang sama-sama dengan kami melawan itu ada pula mati
dua orang. Itupun kami semuanya orang Melayu di dalam Semangka sekarang
sudah pindah di Kerui. Melainkan seboleh-bolehnya hendak minta tolong kepada
tuan, kami hendak diam di bawah bendera Kompeni Bangkahulu serta minta
nyawa kepada kemandur”.
Setelah didengar kemandur kata Nahkoda Lela itu maka kemandur berkata: “Apa
sebab maka jadi berselisih begitu? Pasti ada juga sebabnya; di dalam pikir
hamba, baik Nahkoda bilang pula pada hamba, supaya hamba dengar”.
Maka kata Nahkoda Lela: “Baiklah tuan, hamba bilangkan dan pada mula
permulaannya. Tetapi bicara itu ada panjang sedikit”.
Maka kata kemandur: “Tiada mengapa, bilang juga, supaya hamba dengar”.

Maka Nahkoda Lela berkabar kepada kemandur Mr. Carter dari pada
permulaannya datang kepada kesudahannya. Adapun permulaannya Kyai
Demang Purwasedana diam di tanah Semangka disuruh Sultan dengan
kemandur menjaga tanah Semangka itu sampai kepada Nahkoda Setia dan
Nahkoda Dugam datang ke Bangkahulu tatkala sudah perang Perancis, maka
Kyai Demang kena denda dari sebab itu, dan tatkala kapitan Forrest singgah di
Semangka; semuanya dikabarkan Nahkoda Lela kepada kemandur itu.
Setelah sudah semuanya dikabarkan Nahkoda Lela maka kemandur
menyuruh memanggil kapitan Forrest. Setelah sampai kapitan Forrest kepada
kemandur, maka kemandur bertanya kepada kapitan itu: “Ada nian kapitan
singgah di Semangka dahulu?” kata kemandur. Maka kata kapitan Forrest: “Nian
hamba singgah di Semangka?”. “Apa kerja kapitan singgah disana?” Maka kata
kapitan itu: “Sebab hamba kurang air dan kurang makanan”. “Siapa menolong
kapitan di Semangka?” Maka kata kapitan itu: “Ada penghulu Melayu bergelar
Kyai Demang, itulah yang menolong hamba mencari barang apa kurang hamba”.
Maka kata kemandur: “Ada kapitan berjual kain atau apiun di Semangka, ada
kapitan membeli lada di Semangka?” Maka kata kapitan itu: “Satu barang tiada
hamba jual di Semangka dan membeli lada tiada”. Maka kata kemandur: “Siapa
orang ini?” Setelah dilihat kapitan Nahkoda Lela maka kata kapitan Forrest:
“Hamba tahu pada orang ini, anak Kyai Demang di Semangka. Apa kerjanya
datang kemari?” Maka kata kemandur: “Orang ini datang kepada hamba minta
tolong hendak diam di bawah bendera Kompeni Inggris, sebab sudah
membunuh Holanda di Semangka”. Maka kata kapitan itu: “Baik kemandur
tolong orang ini, karena di dalam pikir hamba tiada salahnya orang ini kepada
Holanda. Kalau sebab hutang, meski seribu belum patut orang ini meninggalkan
tanah Semangka itu”. Kata kapitan Forrest kepada kemandur: “Pasti tiada
tertahan olehnya perbuatan Holanda padanya maka begitu pekerjaannya”.

Syahdan maka kemandur menyuruh Nahkoda Lela pulang ke pasar di rumah


surian Miyut. Ada tujuh hari antaranya maka Nahkoda Lela dipanggil kemandur
di rumah panjang gedung bicara di hadapan konsil dan pangeran yang dua
kedudukan serta datuk-datuk didalam Bandar Bangkahulu. Kemandur Mr. Carter
berkata kepada Nahkoda Lela demikian kata kemandur: “Adapun Nahkoda Lela
pulanglah ke Kerui bawa surat hamba kepada Kyai Demang. Tentangan kamu
orang Semangka, di mana suka kamu diam tiada mengapa. Kalau hendak diam
di Kerui, hamba suka; kalau hendak datang di Bangkahulu ini, hamba suka pula.
Kalau datang suruhan Holanda mencari kamu, boleh kami bilang tiada kami
tahu. Dan lagi, kalau Holanda tahu juga pada kamu, kalau kamu takut kami
kasihkan pada Holanda, tiada adat Kompeni Inggris begitu. Jangan kamu takut.
Percayalah kamu kepada Kompeni Inggris”. Itulah kata kemandur kepada
Nahkoda Lela.

Pada masa itupun Nahkoda Lela berlayarlah pulang di Kerui. Nahkoda


sampai di labuhan, Kyai Demang mati, tiada Kyai Demang mendengar bunyi
surat dari kemandur Mr. Carter itu. Maka surat itu dikasihkan oleh Nahkoda Lela
kepada kakanda Nahkoda Buyung itu, memegang surat itu yang daripada
kemandur Mr. Carter dalam Bandar Bangkahulu.

Syahdan sepeninggal ayahanda itu tiada berketahuan segala anak Kyai


Demang masing-masing menaruh percintaan dari pada sebab meninggalkan
nenggeri Semangka. Segala anakanda yang laki-laki berjalan membawakan
untungnya masing-masing pada tiap-tiap nenggeri orang. Ada yang tinggal
didalam Pulau Perca, ada yang lalu di tanah Bali, ada yang pergi di tanah Jawa.
Di mana nenggeri yang tiada di dalam perintah Kompeni Holanda disanalah
tempat berhenti, laksana burung terbang; dimana ada buah kayu yang masak di
sanalah tempat berhenti. Syahdan adalah seperti ayam kehilangan ibu; di mana
ada orang yang kasih dan sayang, di sanalah tempat beperhambakan diri.
Demikian segala anak Kyai Demang selama peninggal baginda mati. Supaya
tahu segala tuan-tuan barang yang membaca surat ini. Adapun perkataan di
dalam surat ini seperti di lihat dengan mata kedua akan perhitungan anak Kyai
Demang adik-beradik, jikalau tatkala jaman baginda lagi di dalam tanah
Semangka. Melainkan Allah subhanahu wata’ala juga yang mengetahui
hambanya buruk dan baik dalam dunia ini. Tammat.

Kalau tersurat pada selapan hari bulan Zul-hijjah. Pada masa itu jurutulis

Nahkoda La’udin menyuratkan peruntungannya adik-beradik didalam Kuala Pali.


Adalah seperti pantun orang:

Bukannya parang baru ditempa,


Parang Gujerat tidak berulu,
Bukan sekarang baru diminta,
Sudah tersurat lagi dahulu.

Tidak boleh sekehendak padi,


Sekam belah ditumbuk luluh,
Dimana boleh kehendak hati,
Kehendak Allah makanya sungguh.

Gurab di Aceh berkisi-kisi,


Kenaikan Sultan Djamalul’alam,
Untung jangan dihabisi,
Minta doa siang dan malam.

Kenaikan Sultan Djamalul’alam,


Rotan sampai di atas kota,
Minta doa siang dan malam,
Belaku juga barang dipinta.

Tinggi gedung di Pulau Pinang,


Pancuran di atas bukit,
Baik-baik tuan bertenggang,
Sengsara bukan sedikit.

--- ooo ---


B. KELOMPOK CERITA RAKYAT

KABA
SABAI NAN ALUIH

PENGANTAR
Cerita klasik ini disadur dari KABA SABAJ NAN HALUIH
sebagaimana yang dituliskan Dr. Ph. S. van Ronkel dalam TBG.
deel 56 – 1914.
Tidak seperti susunan yang termuat dalam TBG tersebut, dalam
menyalin kembali kaba atau cerita ini dirombak dan diperbaiki
penyajiannya termasuk penyesuaian ejaan agar enak dibaca.
Sebenarnya kaba atau cerita Sabai Nan Aluih ini tidaklah tertata
dalam struktur adat Minangkabau yang baku.
Dalam cerita ini diriwayatkan Rajo Nan Panjang membunuh Rajo
Babandiang, yaitu ayah si Sabai karena lamarannya ditolak.
Dalam adat Minangkabau seorang ayah tidaklah berperan atau
menentukan jodoh anak-anaknya. Sebagai seorang sumando
dalam keluarga istrinya sang bapak boleh dikatakan sebagai tukang
aminkan saja.
Seharusnya Rajo Nan Panjang berang kepada mamak si Sabai,
sebab mamaklah yang berperan dalam menentukan jodoh si Sabai
dan bukan ayahnya, yaitu Rajo Babandiang.

AN
“Baladang ka sikadunduang,
Basiang ka rusuak rumah,
Karanduihkanlah1 di baju,
Sabai ai salangilah tuduang,
Hari ka haujan timah,
Barisuak hari ka Satu”.

Manjawab si Sabai Nan Aluih:


“Bapak ai janyo den di bapak – kununlah ka Satu nangko – jan pai bapak ka
balai.

Aia manyuruik janyo denai,


Bukan to aia babelok,
Rasian buruak janyo denai,
Bukan to rasian elok.

Denai bamimpi malam tadi – jujuangan siriah bamimpi rabah – kabau gadang
bamImpi hilang – ayam putiah bamimpi tabang – mimpi sudah denai tabangun.
Den ingo2 kiri jo kanan – saciek pun indak manyuaro 3 – antah moh jihin nan
manyuaro – antah moh setan nan manyuaro – marangeh bulu mandangakan”.
Manjawab Rajo Babandiang:
“Anak den Sabai Nan Aluih – ubuang 4 nyao rangkai hati – ubek jariah palarai
damam – si dingan tambak5 di kapalo.
Iyo molah bak pantun urang tuo,

Nasi sabuku saharian,


Makanan anak rajo cino,
Kok itu jinih rasian,
Itulah mimpi sabananyo.
Junjuangan siriah bamimpi rabah – karakok kok le ka naiak. Kabau gadang
bamimpi hilang – si Kutak diagan 6 urang. Ayam putiah bamimpi tabang – si
Kutak ka pai barumah. Usah dikato-katokan – bia tau kito baduo”.

Manjawab si Sabai Nan Aluih:


“Bapak ai nyo den di bapak – dangakan mak den katokan.

Balaia kapa di labuan,


Manuju baraik jo utaro,
Kalau baitu bapak katokan,
Ka bak a pulo kata ambo”.

Bakato pulo Rajo Babandiang:


“Anak ai Sabai Nan Aluih – kununlah sa Satu nangko – sia maambek
tagurambek – sia managah tagurajah – ka pai juo denai nyo – sabab parang
sabab di kito. Anak ai tinggalah di rumah”.

Kaba baraliah anyo lai – sungguah baraliah sinan juo. Maimbau Rajo
Babandiang:
“Adiak ai Salam Salamaik – cakaulah kudo kakandangnyo – kudo nan tampuih 7
balang kaki – nan mangangah nan mangangam – nan maminum aia timah – nan
mangangam asok badia – adiak ai Salam Salamaik”.

Kununlah Salam Salamaik – dicakau kudo kakandangnyo. Lah sudah kudo


dipakai-i – maimbau Salam Salamaik – maimbau tangah alaman:
“Tuan den Rajo Babandiang – kudo lah sudah dipakai-i – to molah kito bajalan”.

Lah turun Rajo Babandiang – lah tibo tangah alaman – naiak sakali ka ateh
kudo. Bajalan Rajo babandiang – kok jauah alun ka sampai – kok ampiang
tibolah kini.
Lah tibo di paparangan – di tangah padang pahaunan 8 – di munggu nan
kacenaian9 – di pinang nan linggayuran 10 – di pimpiang nan lamah-lamah – di
sikaduduak karang tigo.
Batamu Lompong Batuah – bakato Lompong Batuah:
“Iyo molah bak pantun urang,

Lah takacondan11 mato taji,


Kanai lilik banang di lua,
Tandonya parang ka manjadi,
Bapak si Sabai alah kalua.

Manjawab Rajo Babandiang:


“Tuan den Lompong Batuah – io molah bak kato urang daulu,

Palapah bakatak-katak,
Sakatak ka dalam padi,
Salangkah pantang den asak,
Antah kok nyao den pai”.

Bakato Rajo Nan Panjang:


“Tuan den Rajo Babandiang – usah dialuik bak manundo – anjua-anjua bak
mananam – ganjua suruik bak manuga – jambo-jambo bak basiang.
Jokok salorong tantang lobak – anjak sapiriang ladang lai – tuan kok kanai
tembakno – ditembak Rajo Nan Kongkong – tembakno Taeh Simalanggang –
rueh tabu bak dibilangno – pucuak siriah bak digantiakno – anakno pulang pai –
ratak tunam12 malintang – tuah manjadi pandapekan”.

Manjawab Rajo Babandiang:


“Tuan den Rajo Nan Panjang – ka nangko-nangkolah tuan – kamari-kamarilah
tuan – mak den tutua mak den katokan,
Balaia kapa ka Banu Kopah13,
Jurumudi mamagang payuang,
Salangkah pantang den asak,
Antah kok lihia den kuduang”.

Bakato Rajo Nan Kongkong:


“Tuan den Rajo Babandiang – kamari-kamarilah tuan – ka tangah padang
pahaunan – ka tangah padang paparangan”.

Malompek Rajo Babandiang – bamain Rajo Nan Panjang. Malangkah Lompong


Batuah – tagurabai langkah nan kida – dinaikkan langkah nan suok – babunyi
cando patikan – mandulang cando asok badia.
Lah kanai Rajo Babandiang – lah kanai jariang kapak – lah kanai liuak-liuak
pinggang – lah kanai dapua-dapua bahu.

Tampan to kalerok14 lai,


Lah putuih aka ulua-ulua,
Tampan to ka elok lai,
Darah lah manyambua-nyambua.

Usah ditata mandi lai,


Bakusuak jo daun kubang,
Usah disasa mati lai,
Anak piluru lah bakubang.

Alah mati Rajo Babandiang – bakato Rajo Nan Panjang:

“Lubuak Basung jo Pariaman,


Lain Pasisia lain Bukit Tinggi,
Darah taserak di pahaunan,
Kami bajalan anyo lai”.
Manduoi Lompong Batuah:

“Lain Pasisia lain Bukit Tinggi,


Indak di darek anyo di rantau,
Palembayan samo dalam,
Sungai Baringin Tujuah Lurah,

Kami bajalan anyo lai,


Bapitaruah di langau ijau,
Baumanaik di ambun malam,
Sanang hati Lompong Batuah”.

Manigoi Rajo Nan Kongkong:

“Piduli Koto Siantah,


Pandan malilik panyabuangan,
Nyao putuih badan tahanta,
Nyao mangirok ka junjuangan”.

Kaba baraliah anyo lai – sungguah baraliah sinan juo. Dek untuang takadia
Allah – balari rang paja ketek – ka gombak gombang palangai 15 – ka karambia
atok tungku – ka bawah anduang nan gadang 16 – ka rusuak rumah si Sabai.
Maimbau rang paja ketek:
“Kakak ai Sabai Nan Aluih – to kakak batanun juo – bapak kakak sudahlah mati
– ditembak Rajo Nan Panjang – di tangah padang paparangan. Dilawan indak
taawai – di kawan indak taambiak”.

Takajuik si Sabai Nan Aluih:


“Adiak den rang paja ketek – io molah bak pantun urang,

Pipik pamai tabang ka capo17,


Hinggok di rantiang saliguri,
Aduah diak ai apo tu cako,
Ulang juo sakali lai”.

Manjawab rang paja ketek:


“Kakak den Sabai Nan Aluih – mak denai baleh pantun kakak,

Disasah rambuik di kuali,


Disasah lalu dirantangkan,
Usah diulang duo kali,
Marangeh bulu mandangakan”.

Kaba baraliah anyo lai – aliahnyo bakeh mandeh kanduang. Bakato Sabai
Nan Aluih:
“Biai ai Sadun Saribai – dangakan mak den katokan – dangakan mak den
tutuakan.
Io molah bak pantun urang – sorak sasuai-suai – badia sadaram-daram,

Katidiang bagajinjiangan,
Dituhuk jo paro-paro,
Ditinjau dalam sariangan,
Bak roman bapak den kano18”.

Manjawab Sadun Saribai:


“Anak den Sabai Nan Aluih,

Usah ribuik pandareh amek,


Palapah bakatak-katak,
Jan iduik pancameh amek,
Urang kok bagarah-garah.
Kon payah anak batanun – kok panek malantak suri 19 – kunyahlah siriah daulu –
to molah kito anak ai”.
Marentak Sabai Nan Aluih – mandabuak ke ruang tangah – mambelok ka biliak
dalam. Diputa peti nan gadang – mandanguang tali bubuitan 20 – tabukak peti
katujuahnyo. Diambiak badia salareh – diambiak mansiu satompang – diambiak
piluru ciek.
Bajalan Sabai Nan Aluih – malangkah ka ruang tangah – tajambo kaki ka bawah
– talayuak pinggang nan lamah – mancamuak cumaro ambun – badarai
pangarang sanggua – tagerai abuak nan panjang.
Lah tibo tangah alaman – mambelok ka rusuak rumah – tagerai rambuik nan
panjang – tajelo sampai ke tanah. Maimbau Sabai Nan Aluih:
“Rang Baso rang Padang Tarok – rang Biaro rang Balai Gurah – rang Canduang
rang Koto Laweh – rang Kurai rang Banuhampu – rang Sariak rang Sungai Pua
– rang Sianok rang Koto Gadang – rang Salo rang Koto Baru – rang Kapau rang
Pandam Basasak – rang Kamang rang Aia Tabik – rang Gaduik rang Tilatang –
rang Magek rang Tigo Lurah – kok suko iriangkan denai – kok tidak bia den
surang.
Io molah bak kato urang – bak adih pantun di nan tuo,

Nak bakuah nak bakanji,


Nak basudu bilang-bilang,
Elok untuang tuah mamanji21,
Kok tidak badan den ilang”.

Bajalan Sabai Nan Aluih – bajalan taliran-tintam 22 – bajalan taantiak-antiak –


samuik tapijak indak amti – alu tataruang patah tigo – lasuang tarimbek pacah
balah.
Aduah bak mano payah badan – kok jauah alun ka sampai – kok ampiang
tibolah kini.
Lah tibo garan di sanan – di tangah padang pahaunan – di tangah padang
paparangan – lah tampak alalang lendo 23 – lah tampak maik tabujua – takajuik
Sabai Nan Aluih.
Maratok Sabai Nan Aluih:
“Bapak ai nyo den di bapak – siko moh bangkai taguliang – siko moh darah
tatumpah – siko makanan mungko abih – siko minuman mungko kariang – bapak
ai nyo den di bapak.

Sajak samulo den latokan24,


Indak dilatak dalam padi,
Dilatak sajo di pamatang,
Sajak samulo den katokan,
Indak dilatak dalam hati,
Dilatak saja di balakang,
Badan sia marasaikan.

Bapak ai nyo den di bapak – dangakan mak den katokan – mak den curai den
papakan,

Aia manyuruak kato denai,


Aia babelok janyo bapak,
Rasian buruak janyo denai,
Rasian elok janyo bapak.

Himbaulah si Mangkutak bapak – Mankutak andaman 25 bapak. Lamang


sakabuang anjik Mangkutak – jaguang sakuduang anjik Mangkutak – buku-buku
no anjik si Sabai.
Kok ado Mangkutak di rumah – bapantang maawai tungku. Kok pai bapak ka
balai – kok manang ayam nan kuriak – dagiang-dagiang no anjik Mangkutak –
tulang-tulang no anjik si Sabai.
Kok pai bapak ka tapian – si Kutak di ateh kudo – si Sabai di tangan kida”.
Manjawab Rajo Babandiang:
“Anak den Sabai Nan Aluih – indak baguno sasa kudian – sasa daulu
pandapatan.
Kini bak itulah di anak – carikan aia ba a denai – carikan angin ba a denai –
carikan banta ba a denai – raso karongkeh ubun-ubun”.

Manjawab si Sabai Nan Aluih:


“Bapak ai nyo den di bapak – ka gilo molah bapak den – dimalah ka dapek aia –
kito kan di tangah nan angek. Ka pasiak molah bapak den – dimalah ka dapek
angin – kito di kuruak nan dalam 26. Ka dalang27 molah bapak den – dimalah ka
dapek banta – kito kan di tangah paparangan.
Kok bapak nak aia juo – raguaklah aia mato den. Kok bapak nak angin juo – den
kipeh jo langan baju. Kok bapak nak banta juo – kuduanglah langan sarueh –
nak sanang hati bapak den – mak ueh28 hati si Mangkutak.
Lah gantiak-gantiak rambuik den – lah tambuih-tambuih baju den – baralah ka
gadang rugi den. Sakali mangisai rambuik – saguci minyak tabuang. Duo kali
mangisai rambuik – duo sukek piluru jatuah – baralah ka gadang rugi den.
Bapak ai tinggalah di siko – mak den cari Rajo Nan Panjang”.

Maimbau Sabai Nan Aluih:

“Io molah bak kato urang,


Kok indak ditolong maluli29,
Tolong manggantiah30 ba a denai,
Kok indak ditolong jo rugi,
Tolong jo jariah ba a denai.

Den tenteang indak tatenteang – den kiak indak takiak – rang kampuang tolong
lah manolong – amak tabao31 bapak denai”.
Kaba baraliah anyo lai – sungguah baraliah di sinan juo – aliahnyo bakeh
parasaian.
Ado sahari duo hari – bajalan Sabai Nan Aluih – mancari Rajo Nan Panjang.
Bajalan bagageh-gageh – muko lah sirah bak cando sago – paluah di kaniang
mamburisik.
Kok jauah alun ka sampai – kok tibo ampianglah kini. Lah tibo garan di sanan –
di hadapan Rajo Nan Panjang. Bakato Sabai Nan Aluih:
“Tuan den Rajo Nan Panjang – dangakan mak den katokan – dangakan mak den
tutuakan. Io molah bak kato urang,

Anyuiklah batang den takankan,


Den tutua jo paro-paro32,
To datang tuan den pasankan33,
Kinilah mungko basuo.

Kamari-kamarilah tuan – nyak siriah samo jo gambia – nyak santo baminyak


arun.
Tuan tembak moh bapak den – tuan bunuah moh bapak den.
Jo sia tagak baujo – jo sia sadaun samakan. Tuan salapiak sakatiduran –
sasukuang34 sakalang hulu – tuan salauak sanasi – mati bapak tingga di tuan –
mati tuan tingga di bapak. Kini moh iko ka balehno”.

Manjawab Rajo Nan Panjang:


“Adiak den Sabai Nan Aluih – sabakan hati daulu – jan adiak pancameh amek –
suruikkan hati daulu – nyak kito baiyo-iyo.
Mungko baitu kato denai – indak satie 35 tingga di denai – satie lah tingga di
bapak kau. Kini ka ba a pulo lai”.

Manjawab Sabai Nan Aluih:


“Tuan den Rajo Nan Panjang – tuan den nan manyih muluik – panuhuak kawan
sairiang – pangguntiang dalam lipetan – panyuruak di palamunan 36 – bataduah di
lakek kanji – bapijak di orong-orong37.
Io molah bak janyo urang,

Anyuiklah batang den takankan,


Lai barisi anak limbek,
To datang tuan den pasankan,
Kini lah mungko ka den liek”.

Manjawab Rajo Babandiang:


“Adiak den Sabai Nan Aluih – dangankan mak den katokan – dangakan mak den
tutuakan.

Io molah bak kato urang,


Mancik satampan jo rangkiang,
Pinjaik lawan jo gadubang38.
Baitu sanang no hati denai”.

Kaba baraliah anyo lai – sungguah baraliah sana juo. Bakato si Nirawatu:
“Tuan den Rajo Nan Panjang – dangakan mak den katokan – amak den curai
den papakan. Io molah bak kato urang,

Jantuang katayo39 amek,


Pinang mudo kulik no mipih,
Usah tuan picayo amek,
Si Sabai muluikno manyih”.

Manjawab Rajo Nan Panjang:


“Adiak den si Nirawatu – sabalah adiak den daulu – mak kami baio-io – mak
kami batido-tido – jo adiak Sabai Nan Aluih.
Mungko baitu kato denai – den lah buliah ka tantino – kasab 40 batulih banang
ameh – arago sataia ria41 Padang – arago saribu pitih garih. Mahalah urang nan
mamakai – antah koh Rajo Nan Panjang”.

Maimbau Sabai Nan Aluih:


“Tuan den Rajo Nan Panjang – kamari-kamarilah tuan. Iyo moh bak kato urang,

Anyuiklah batang den takankan,


Den tuhuak jo ribu-ribu,
To datang tuan den pasankan,
Den turuik ka laman ibu.

Kini baitulah dek tuan – adat iduik baleh mambaleh – kaokan bana kareh tuan –
amak den uji ameh matah – amak den tuluak 42 bungka siko – amak den cubo
masin garam – nan ma nan lamak makan di ang”.
Manjawab Rajo Nan Panjang – muko lah merah bak cando sago – tasingguang
karuntuang miang:
“Kini baitulah di adiak – kalau baitu kato adiak – io molah bak kato urang,

Balaia kapa di labuan,


Balabuah tantang Indopuro,
Kalau baitu ka di kawan,
Ka bak a pulo kato ambo”.

Maimbau Rajo Nan Panjang:


“Rang luhak rang Limo Puluah – rang Taeh rang Simalanggang – Piobang
Sungai Barangin – rang Suaian rang Sungai Balantiak – rang Libukan Padang
Karambia – rang Situjuah Banda Dalam – rang Tanjuang Pati Lubuak Batingkok
– rang Batu Ampa rang Tambun Ijuak. Kok suko iriangkan denai – kok tidak bia
den surang”.
Bajalan Rajo Nan Panjang – ka tangah padang pahaunan – batamu Sabai Nan
Aluih.
“Adiak den Sabai Nan Aluih – kalau baitu kato adiak – mak kito batimbang 43
langkah – mak kito bapasiah44 muluik – mak samo manimbang badia”.

Malangkah Rajo Nan Panjang – bamain Sabai Nan Aluih. Langkah kida
bajaraik45 – langkah suok bajajelo. Dinaiakan langkah nan kida – tagurabai
langkah nan suok. Ditumpukan gandam 46 tajelo – babunyi cando pakiak-an –
mandulang47 asok badia – lah kanai Sabai Nan Aluih.
Bakato Sabai Nan Aluih:
“Tuan den Rajo Nan Panjang – pandai bana tuan manembak. Tibo di dado jadi
panau – panau nan ampek puluah ampek – manjadi tangah limo puluah - tuah
manjadi pandapatan. Cincin sambilan putuih ciek – nan ampek putuih ciek. Nan
ampek tingga di ateh – nan ampek tingga di bawah. Lah putuih di tangah-tangah
– putuih jo apo ka diuleh – mak den baleh pantun nantun,

Silereang anak rang Padang,


Makan jo kapalo maco,
Tuan nan geneang tangah padang,
Tahanlah tembak urang marando”.

Malangkah Sabai Nan Aluih – lompek sakayu kasah – lompek suruik sakayu
genggang. Dinaikkan langkah nan kida – langkah nan kida bajajelo – langkah
nan suok bajariek. Ka suok si ganjua lalai 48 – ka kida si ganjua luluah49. Ka suok
tampan manganai – ka kida tampan mambunuah.
Lah kanai Rajo Nan Panjang – lah kanai jariang kapa-kapa – lah kanai liuak-liuak
pinggang – lah kanai dapua-dapua bahu – tampan to kalerok lai – darah lah
manyambua-nyambua.

Usah ditata mandi lai,


Bakusuak jo daun lado,
Usah disasa mati lai,
Lah kanai tembak urang marando.

Bakato Sabai Nan Aluih:


“Adiak den si Nirawatu – dangakan mak den katokan – io molah bak pantun
urang,
Katidiang sidingka-dingkau50,
Barisi si ampo padi,
Nirau ai baolah di gau,
Ambo ka pulang anyo lai”.

Bakato Sabai Nan Aluih – maratok marangkuah diri – manangih taisak-isak:


“Bapak ai janyo den di bapak – manto 51 bapak badiam sajo - kok singkek indak
bauleh - kok panjang indak bakabuang. Io molah bak kato urang – pantun
papatah di nan tuo,

Alang bamain di udaro,


Ka awan manggungguang talua,
Dalam hari sahari nangko,
Kasudahan kito babaua.

Ka awan manggunguang talua,


Manateh di tapak tangan,
Kasudahan kito babaua,
Tahun mano musim ka pulang.

Luruih jalan ka Payokumbuah,


Kayu jati batimbo jalan,
Tatakalo Sabai ka rusuah,
Bapak mati mande bajalan.
Kok runtuah rumah nan gadang,
Atok no baragiah-ragiah,
Palupuah di mande surang,
Talino baitu pulo,

Kok mati anak nan bujang,


Ratok no baragiah-ragiah,
Rusuah di mande surang,
Rugino baitu pulo.

Pisau kaciak guntiang tunalam,


Harum sapantun rumpuik manih,
Hari lah laruik rambang malam,
Pakabaran tak kunjuang abih.

Bakato Sabai Nan Aluih:

“Balaia kapa ka Surantiah,


Balabuah tantang Indogiri,
Tantang ka Indopuro,
Sadang nak io indak buliah,
Sadang katuju indak lai,
Kami nan tidak babatangno”.

Nyak duo pantun saririang,

Balaia kapa ka Banukopah,


Sarek muatan api-api,
Sadangkan sajo di nan alah,
To molah kito bahanti.-
KETERANGAN

1. Karanduih, karanduihkanlah di baju – bungkuslah dengan baju.


2. Ingo – lihat.
3. Manyuaro – berbisik.
4. Ubuang – hubungan.
5. Tambak – tampal.

6. Diagan – dimaksud.
7. Tampuih, kudo tampuih – kuda yang bulunya merah tua.
8. Pahaunan – tempat berkumpul, pertemuan atau berunding.
9. Kacenaian, cenai – tanda.
10. Linggayuran – ramping tinggi.

11. Takacondan – tacongkek, terjungkat, mencuat miring ke atas.


12. Tunam – unjam, terunjam.
13. Banu Kopah – benua Kutfah.
14. Kalerok, takalerok – terputar.
Nyao putuih badan tahanta – nyawa putus badan terhantar.
15. Gombak gombang palangai – gombak tampan pelangi.
Karambia atok tungku – kelapa yang tumbuhnya seperti kaki tungku.

16. Ka bawah anduang nan gadang – ke bawah pohon yang besar.


17. Capo – sembung (nama tumbuhan yang akar dan daunnya dipakaiu
sebagai obat).
18. Kano – kena.
19. Malantak suri – bertenum.
20. Tali bubuikan atau tali bubutan – tali pengikat peti, Cara melepaskannya
dengan jalan menarik.

21. Tuah mamanji – termashur. Panji – bendera.


22. Bajalan taliran tintam – berjalan dengan hati gundah (kacau).
23. Alalang lendo – melanda lalang.
24. Lato – letak. Den latokan – saya letakkan.
25. Andaman, anak andaman – anak yang dipelihara baik-baik.

26. Kuruak nan dalam – lobang yang dalam.


27. Kadalang – akan gila (mau gila).
28. Mak ueh – agar puas.
29. Maluli - mengumpar benang kapas dengan alat kayu.
30. Gantiah, manggantiah – memintal benang.

31. Amak tabao – supaya terbawa.


32. Paro-paro, arang paro-paro – arang para-para.
33. To datang tuan den pasankan – tidak datang tuan, saya pesankan.
34. Sasukuang – sebantal.
35. Satie – setia.
36. Palamunan – onggokan kain yang tidak diletakkan sebagaimana mestinya.
37. Orong-orong – kerekan untuk menaikkan sangkar burung ketitiran.
38. Gadubang – kelewang besar.
39. Katayo – rotan yang dianyam diikatkan pada bom pedati di bawah leher
kerbau atau sapi.
40. Kasab – sebangsa kain kasar.

41. Ria padang – real (di kota) Padang, mata uang jaman dulu.
42. Tuluak – banding.
43. Batimbang – bertukar. Batimbang tando – bertukar tanda.
44. Pasiah – fasih.
45. Bajaraik – seperti kayu yang sukar dibelah, karena serat dagingnya berpilin.

46. Gandam – sejenis selendang.


47. Mandulang, asok mandulang – asap menabun.
48. Ganjua lalai – perjalanan (cara melangkah) yang elok dan tidak tergesa-
gesa.
49. Ganjua luluah, ganjua – hela, tarik, angsur .
50. Katidiang sidingka-dingkau – semacam bakul.

51. Manto – di sini diartikan mengapa. Dapat pula berarti “mantra atau ma-to
atau mana dia.
HIKAYAT
M A N J A U A R I

Kaik bakaik rotan sago,


Takaik di aka baha,
Sampai ka langik tabarito,
Jatuah ka bumi jadi kaba.

Takaba takdir Allah - takaba Datuk Bandaharo - itulah urang nan urang -
gadangnyo indak mambali - gadangnyo asa barasa - kayonyo sunduik basunduik
- pusako turun dari nyinyiaknyo - indak basimpang basapiah - mangkuto dalam
nagari - payuang gadang di tangah koto - suluah bendang dalam nagari - iyo
nagari Padang Tarok - nagari nan Limo Koto - Suaian Sungai Balantiak. Nan
tacelak tampak jauah - nan tabarombong tampak ampiang - nan dakek jolong
basuo - nan tasabuik ka kaluaran - parintahnyo sadang baturuik - titahnyo
sadang bajujuang - katonyo sadang badanga - mambunuah indak mambangun -
mancancang indak mamampeh - iolah Datuk Bandaharo - urang baduo
bapadusi.

Dek lamo bakalamoan - lah sabulan duo bulan - lah sampai pulo samusim -
sakitu lamo babaua - bamimpi puti Linduang Bulan. Mimpi mamaluak-maluak
gunuang - mimpi mampasalendang bulan - baitu mimpi padusinyo.
Dikatokan-nyolah mimpi nan tun - bakeh suaminyo Datuk Bandaharo.
Bakato Datuk Bandaharo:
"Kalau baitu mimpi adiak - tando nagari ka bahuni".

Dek lamo bakalamoan - lah dalam tian1 anyolai - tibo di ukua jangkonyo - lah
sampai sabilangannyo - lah lahia pulo anaknyo.
Sahari ado sahari bakato - lah dapek namo jo galanyo - le ketek si Manjau
samiang - lah gadang si Manjau Ari.
Di maso sahari lahia - tibo di lantai lantai putuih - tibo di rasuak rasuak kuduang -
tibo di sandi sandi balah - itulah kabasaran si Manjau.
Kato mande jo bapaknyo:
"Anak kanduang darehlah gadang - pamupuih malu di kaniang - pambangkik
batang tarandam - pamenan hati jo mato - ubek jariah palarai damam - ubuang
nyao rangkai hatiku - anak kanduang si Manjau Ari".

Dipilin sapilin lai,


Ditindin satindin lai,
Lah tau tagak di pintu.
Tapilin urek mangkudu,

Gadang bak diamba-amba - tinggi bak dibubuik-bubuik - bak lobak di


panyiaran2 - bak jaguang tangah duo bulan - gadang alah bakalaka - cadiak alah
babicaro.
Bakato Datuk Bandaharo:
"Anak kanduang si Manjau Ari - dareh-darehlah ang gadang".

Bak cadiak diaja-aja - anak kanduang si Manjau Ari - cadiak alah bapikiran.
Lah tau dimurah maha - lah tau di labo rugi - tau di adat di pusako - urang paarih
bijaksano.
Dek lamo bakalamoan - si Manjau bamimpi anyolai. Bakato si Manjau Ari:
"Gadang aia mangarap sawah - anyuik batang tunggang malintang - den
mandoncek ka batu gadang - duduak badiri den di sanan - den mahadok luruih
ka kibalat - mimpi mampasalendang bulan - mimpi mampasuntiang matoari -
mampagatok lado sulah3 - mimpi mamaluak-maluak gunuang. Baitu mimpi den
bapak - kama takwia mimpi den".
"Anak kanduang si Manjau Ari - mak den cari hari kutiko - di tiap-tiap ditahuni -
dipapa-papa dibulai - dibilang-bilang di hari - basuo kutiko mimpi. Kalau bak itu
mimpi anak - ka juaro molah wak ang Manjau. Amuahkan di ang manyabuang -
mak den pilin banang bulang - mak den titiakan ang taji - amuahkan di ang juaro,

Elok banai kayu aro,


Tumbuahnyo di tangah padang,
Lah di lingkuang kayu anak,
Amuahkan di ang juaro,
Duduak di suduik galanggang,
Lai di lingkuang urang nan banyak.

Baitu adat rang juaro.


Kok amuah ang juaro - ameh perak banyak di kito - nan ketek ka tondeh paja -
nan gadang ka pupuak api 4. Sawah ladang banyak di kito - sawah nan tujuah
buah banda - kabau bantiang nan banyak banai - budak nan sakarek koto -
pangiriang duo kali lapan - nan baadat bapusako - rang baiak salendang dunie -
rang kayo suko baralek - mandeh jo bapak batuah - urang manghadap
bakuliliang - rang kayo si Manjau Ari.
Di lorong kapado rumah - rumah gadang sisangko gadiang - salanja kudo balari
- sapakiak budak maimbau - atoknyo labah mangirok - tuturannyo alang babega
- halaman carano basa - urang batabua indak ilang - kunun ilang ganda ata 5.
Disiliak bakeh cibuaknyo2 - cibuaknyo kanso balariak - janjangnyo perak sadonyo
- anjuang perak anjuang suaso - katigo jo anjuang ameh".
Manjawab si Manjau Ari:
"Amuah banai den manyabuang - kok bakusuik gonjong amai - kok muram muko
nan morak6 - sawah nan laweh kok nyo irun 7 - sawah nan panjang kok kabuang 8
- kok basusuik pasamain - itu mungko den tak amuah".
"Anak kanduang si Manjau Ari - mak den sarahkan ang ka dubalang,

Elok baparak baladang,


Ditanami padi-padi,
Disalo jo jaguang,
Elok urang jadi dubalang,
Elok cadiak pamaga nagari,
Barani pamaga kampuang".
Bakato si Manjau Ari:

"Ukan murah kuciang balang,


Lah diganduah kuciang siam,
Ukan murah urang dubalang,
Den bajalan siang malam.

Patang pagi indak baranti - makan den sambiang balari - di ma tabuah nan
babunyi - anak amai tibo daulu - baitu adat rang dubalang. Di ma parik nan
tarantang - di ma ranjau nan batundo - anak amai lah sinan pulo".
"Mak den balikan ang balam - balam tambago tigo gayo 9 - sangka perak
tukupnyo ameh - nak tajalang dusun urang - nak tahu urang di awak - awak nak
tahu di urang - baitu adat urang kayo".
Bakato si Manjau Ari:
"Ukan murah urang babalam - urang babalam urang dalang - urang bapikek
urang binguang - tak tahu di labo rugi - tak tahu di siang malam. Ka bapasiak-
pasiak mandeh - ka badalang-dalang bapak - pitih dibari basayok".
"Kok indak amuah ang babalam - nak den balikan ang kudo - kudo nan balang
samburani10 - kaki nan rajah11 kaampeknyo - ikua nan putiah satandannyo -
kaniang nan bangkah daun bodi. Ditiliak pado palanonyo - palanonyo ameh
samato - injak-injak perak sadonyo - kakangnyo perak jo ameh - tali kakang suto
sadonyo".
Manjawab si Majau Ari:
"Bukan murah urang bakudo,

Pipik parik tabang saboyong,


Hinggoknyo di Batu Taba,
Nak lalu ka Koto Tuo,
Amuah banai den bakudo,
Tariak sabik sandang garondong,
Mancari rumpuik nan taba,
Baitu tando tukang kudo".

Bakato mandeh jo bapaknyo:


"Jan itu pulo ang rusuahkan - indak ang ka manyabik rumpuik – indak ka
mamandikan kudo - budak lai sakarek koto - pangiriang duo kali lapan - anak
kanduang utang manyuruah".
Manjawab si Manjau Ari:
"Ukan murah manyuruah urang - kito samo anak cucu Adam - takanai kito pado
Allah".
Lah berang mandeh jo bapaknyo:
"Apo titah den tak bajunjuang - apo suruah den tak baturuik - apo kato den lah
bajawab.
Mano ang si Manjau Ari - anak kanduang sibiran tulang - baserak siriah lah kito -
bakuduang-kuduang rotan".
Manangih si Manjau Ari mandanga kato nan bak kian - inyo manangkuik ka bumi
- inyo maningadah ka langik - aia mato badarai-darai.
Bakato mandeh jo bapak:
"Amuahkan di ang mangaji".
Manjawab si Manjau Ari:
"Kok baitu kato mandeh - pucuak disada(r) ulam tibo - sajak di rahim bundo
kanduang - mangaji juo niek hati".
Bakato mandeh jo bapak:

"Saelok-eloknyo kain,
Kain ka panungkuih kundua,
Saelok-eloknyo maalim,
Maalim ka panjanguak kubua".
Manjawab si Manjau Ari:

"Saburuak-buruaknyo kain,
Kain ka panungkuih labu,
Saburuak-buruaknyo maalim,
Duduaknyo di kapalo jamu".

"Kok ang nak mangaji juo - Tuanku nan ma ambo japuik - Sieh nan ma ambo
jangkau".
Bakato si Manjau Ari:
"Kok suko bapak manjapauik - japuik Tuan Sieh Labai Panjang - guru urang
dalam nagari - imam urang sabuah sidang".
Bakato bapak si Manjau:
"Mano ang Salam Salamaik - cari di ang buah pinang - pinang awangin9 batuntun
- siriah nan sirah-sirah gagang - sadah bak cando banak balam - gambia
sapantun ameh manah".
Bawari Salam Salamaik - ringan kaki capek tangan - urang paarih Salam
Salamaik - alun disuruah anyo lah pai - alun ditagah alah bahanti. Dicari siriah jo
pinang - alah dapek siriah jo pinang - dilatakkan ka carano - sadang ka dalam
carano ameh - tapi nan batatah aso-aso.
Hari Jumaik sahari tu:
"Mano ang Salam Salamaik - kito bajalan kini juo - kito pai manjapuik Tuanku".
Bakato Salam Salamaik:
"Insya Allah jadilah Angku".
Lah ditariaknyo tu carano. Bajalan bapak si Manjau - mangiriang Salam
Salamaik. Dek lamo lambek di jalan - lah tibo pulo di musajik - basuah kaki
bapak si Manjau – naiaklah pulo ka musajik - lah naiak Salam Salamaik -
bajawat salam dangan Tuanku.
Tagak badiri bapak si Manjau - mambari salam kiri kanan - lah bakato bapak si
Manjau:
"Intan bak roman rang Kamang,
Mambao saludang upiah,
Tuanku kunyah molah pinang,
Lah lamo indak makan siriah".

Pantun babaleh di Tuanku:

"Kok sitindiah ka ditakan,


Talatak ateh parahu,
Kok siriah ka ambo makan,
Kami di karajo indak tahu".

Manjawab bapak si Manjau:

"Salah sitindiah ka ditakan,


Dibao urang Batang Hari,
Salah siriah ka angku makan,
Tanda alamaik putiah hati".

Bakato bapak si Manjau:


"Kok buliah pintak di Tuanku - ambo panggia tabao - tabao urang sadonyo -
gadang ketek tuo mudo - baitu kandak anak kanduang".
Bakato molah Tuanku:
"Insya Allah jadilah itu. Mano koh kito urang sadonyo - gadang ketek tuo mudo -
bapak si Manjau mamanggia - mari kito pai sadonyo - ka rumah puti Murai
Randin - adiak kanduang si Manjau Ari - urang baduo baransanak - nan gadang
si Manjau Ari - nan ketek si Murai Randin”.
Bakato molah Tuanku:
“Kito bajalan kini-kini".
Turun Tuanku ateh musajik - turunlah urang sadonyo - mamutiah candonyo
maalim - indak baputuih ririk urang - sajak di musajik sampai pulang. Babunyi-
bunyi bunyian - mambilobok baruak tungga - marantak kudo samburani - maantu
balam timbago - mandanciang salindik jantan - mandarak katitiran korong - bak
bunyi sarunai sangko kalo - bagai talempong Rajo Jao. Nan kok urang parapuah
hati - elok diratok ditangisi - kok nan garok kagilan-gilan - elok dirantak ditarikan
- baitu bunyi-bunyian.
Bakato si Murai Randin:
"Bunyi-bunyian babunyi - Sutan di mano nan lah tibo - Rajo di mano nan lah tibo.
Kambang silaulah ka pintu - kok indak nampak di pintu - balarilah kau kalua -
tinjaulah bakeh nan tinggi - buang pandang kiri kanan".
Balari si Kambang Manih - tagak badiri anyo di pintu - surang urang pun indak
nampak.
Lalu balari pulo turun - tibo di tangah halaman - lalu ka pintu kaporo - dicaliak
bakeh nan tinggi - dipandang hilia jo mudiak - dibuang pandang jauah-jauah - lah
tampak dinyo Tuanku - mamutiah candonyo maalim.
Babaliak molah nyo pulang - balari-lari di jalan - lalu tibo pulo di alaman - anyolah
naiak ka teh anjuang - anjuang perak anjuang suaso - katigo jo anjuang ameh -
batirai balangik-langik.
Bakato si Kambang Manih:
"Ciak kanduang si Murai Randin - ampunlah ambo pado aciak - ampun baribu
kali ampun - ampun di bawah tapak kaki - disuruah ambo lah pai - ditagah ambo
lah diam. Nan ambo liek ka sanan – bukan sutan nan ka mari – ukannyo rajo nan
lah tibo - Tuanku Labai nan ka mari - sarato jo anak rayaiknyo.

Tidak tabedo banyak urang,


Tidak tabuek di daun taleh,
Di daun batuang panuah pulo,
Indak tabedo banyak urang,
Indak tabuek di nan laweh,
Di nan lakuang panuah pulo".
Takajuik si Murai Randin - sadang batanun ateh anjuang – rintang manulis
manarawang.
Mandanga kato nan bak kian - inyo marentak anyo lai. Alah ditariak kipeh cino -
taserak abuak nan panjang - batabua bungo dalam sanggua - kalua dalam
kulambu - kulambu nan tujuah lampih - intan jo podi bakilatan. Malayuak si Murai
Randin - malenggang anjuang nan tinggi - bajalan si Murai Randin - badarak
rumah nan gadang.
Lah turun dari ateh anjuang - lah tibo di tangah rumah - balalah cacak ateh paran
- manyemba bayang-bayangnyo.
Bajalan ka ruang tapi - mancampuang ka biliak dalam - dilantak peti lewang
gadiang - mandanguang tali bubutan - badaruang tali anak kunci. Dibuka peti
lewang12 langik - diambiak alaik pakaian - kalua tirai langik-langik - langik-langik
bajambua perak - tirainyo bajambua ameh.
Ditiliak kapado tabia - tabia alejo barawaci 13 - ditiliak kapado kulambu - kulambu
banamo kasah ambun - itulah pakaian rumah gadang. Lakeklah tabia langik-
langik - tabia-tabia tapasang pulo - lapiak-lapiak tasambia pulo - tapasang
pakaian rumah. Ditiliak kapado telong - salapan puluah salapan - sakitu banyak
telongnyo.
Tuanku tibo di halaman - heran Tuanku mamandangi - rangkiang tujuah
sajaja. Nan gadang sibayau-bayau - nan tinggi sitinjau lauik - katigo rajo
babandiang - nan ketek salo manyalo.
Ditiliak pado halaman - halaman carano basa - urai tatabua indak ilang -
cibuaknyo kanso balariak - batu tapaknyo timah samiang - janjangnyo ameh jo
perak - banduanyo baitu juo. Ukianyo bagai aka cino - banyak gambaran dalam
ukia - dinamoi tak tanamoi - dipandang jauah kilau kumilau - dipandang ampiang
ditawannyo.
Bakato si Murai Randin:

"Sitapuang tangah halaman,


Den ambiak kiliran taji,
Jan lamo angku di halaman,
Ko aia pambasuah kaki.

Cerek loyang pambasuah kaki - cerek perak pambasuah tangan - aia santan
pambasuah muko. Mambasuah kakilah Tuanku - Tuanku naiak ka ateh rumah".
Heranlah hati Tuanku - mamandangi pakakeh rumah - indaklah ado nan bak
nangko. Camin gadang baratuih-ratuih - camin ketek indak tabedo.
Bakato si Murai Randin:
"Tuanku jan lamo tagak sinan - Tuanku duduaklah kamari".
Lah duduak maalim sadonyo. Dek lamo baduduak-duduak - hari basarang
patang juo - patang bajawat jo sanjo - sanjo bajawat jo malam. Dipasang palito
anyo lai - palito ameh bak mantari - palito putiah sapantun bulan - tapasang
palito sadonyo.
Di malam samalam nantun - malam sarupo jo siang - palito sapanuah
halaman.
Bakato si Murai Randin:
"Ampunlah ambo pado angku - angku kunyahlah molah pinang - angku makan
molah siriah - angku isok molah santo".
Inyo bapantun anyo lai:

"Kabau batuntun dari Aceh,


Singgah manyasok ka muaro,
Dibao nak rang Pakantan,
Timbakau babungkuih jo karateh,
Pinang bagatok jo suaro,
Pintak ambo handak dimakan".

Manjawab molah Tuanku:

"Kok sitindiah ka ditakan,


Bayang bajo ka parahu,
Kok siriah ka kami makan,
Kami dikarajo indak tahu.

Salah sitindiah ka ditakan,


Bayang bajo ka sugi gigi,
Salah siriah angku makan,
Karajo di ambo sandiri".

Masak pinang sakapua surang - abih paisok sabatang surang.


Bakato si Manjau Ari:
"Adiak kanduang si Murai Randin,

Lah masak pinang di parak,


Handak bataruak14 anyo lai,
Lah masak adiak batanak,
Akan basanduak anyo lai".

Manjawab si Murai Randin:

"Babuah kacang di parak,


Handak manjulai anyo lai,
Lah masak ambo batanak,
Ambo manggulai anyo lai.

Lah masak pinang di Kurai,


Padi bataruak anyo lai,
Lah masak kami manggulai,
Kami basanduak anyo lai.

Di sanduak di pinggan putiah".


Bakato si Manjau Ari:
"Indak guru den makan siko - disanduak di pinggan perak - indak angku den
makan siko - disanduak di pinggan ameh - di siko guru den makan".
Bawari si Murai Randin - ciek karajo nan dikakok - dua tiga karajo nan jadi -
sakali marangkuah dayuang - duo tigo pulau talampau.
Bijaksano si Murai Randin:
"Tuan den Si Manjau Ari - lah sudah ambo basanduak - cukuik hidangan
kasadonyo".
Ditiliak ragam makanan - banyaklah ragam-ragam nantun – saratuih ragam
pamakanan. Manatiang si Murai Randin - manyirah candonyo pinggan ameh -
mamutiah pinggan perak - basungkuik pulo jo dalamak - nan batulis jo banang
ameh - nan bacucuak jo makau perak - batarawang jo makau ameh.
Cukuiklah hidangan sadonyo - latak jamba bak diatok - sananglah hati
mamandangi.
Bakato si Murai Randin:
"Angku basuah molah tangan - angku makan molah ka nasi - lah lamo jamba
talatak".
Dibasuah tangan di Tuanku - bapantun si Murai Randin:

"Indak den pandai manangguak,


Tangguak den oyong-oyongkan,
Dibao rang Banu Hampu,
Indak den pandai basanduak,
Basanduak den toyong-toyongkan,
Badan den kan ketek baru".

Lah disingkok molah jamba - bawari si Murai Randin - ditiliak pado sanduakan
- di tapi samuik baririk - di tangah awan bajumpo - lintang samo lintangnyo -
sabuah nasi indak patah - patah bapatampunkan - bijaksano si Murai Randin.
Lah manyuok molah Tuanku - sakali inyo manyuok - bak dilariak kumbang janti
- duo kali inyo manyuok - bak dilariak kumbang hijau - cukuik katigo nyo lah
sudah - kaampek mambasuah tangan - sakitu makan urang baiak.
Sudah minun sudah makan - lalu maisok makan siriah. Lah masak pinang
sakapua - sari lamak jatuah ka paruik - sari morak tingga di muko - sirahnyo
tingga di bibia - abih manih tabuang sapah.
Bakato molah Tuanku:
"Murai Randin anak kanduang - a mukasuik sangajo - kau kato nan bana".
Manjawab si Murai Randin:
"Ampunlah ambo pado angku - ampunlah di bawah tapak kaki - gadang niek den
pado angku - sabab angku mungko den japuik - tuan den si Manjau Ari - lah
basuruahkan manyabuang - indak amuah manyabuang. Lah basuruahkan
dubalang - indak amuahnyo dubalang. Lah ka dibalikannyo balam - indak
amuahnyo babalam - bakudo baitu pulo. Mangaji nan dianinyo - itu sabab
Tuanku ambo japuik - tuan den ka den sarahkan - tunjuak ajari dek Tuanku".
Manjawab molah Tuanku:
"Insya Allah jadilah itu. Murai Randin anak kanduang - baolah si Manjau kamari -
nak tunjuak den ajari".
Bakato si Murai Randin:
"Tuan den si Manjau Ari - tuan marilah ka mari - mak den tunjuak den ajari - mak
tahu adat baguru. Baitu adat bakeh guru - manyambah manyimpuah awak -
manghadap hadapan guru - disusun jari nan sapuluah - mambari salam bakeh
guru - baitu adat bakeh guru".
Lah tobat si Manjau Ari.
"Tuan den si Manjau Ari - pacikkan martabat baguru - a katonyo usah dijawab - a
suruahnyo kito turuik - barang tagahnyo kito hantikan. Tuan den si Manjau Ari -
baitu martabat urang baraja - a titahnyo kito junjuang - a katonyo didangakan -
dangakan sabuah lai,

Tinggi maligai Rajo Batak,


Puti bagarak di halaman,
Pegang pitaruah banyak-banyak,
Sungguah lamo lupo jaan.

Katonyo nan jan dijawab - apo suruahnyo kito turuik - a tagahnyo diantikan -
itulah nan pitaruah den - pitaruah jaan diubah".
Bakato si Murai Randin:
"Tuan den lah den sarahkan - tunjuak ajarilah di Tuanku - den bapitaruah di
Tuanku - sabarek gumi jo langik. Kok lai lakeh inyo maalim - antah li maalim
pado angku - antah labiah pado angku - datang pangaja kapadonyo - angku jan
bahati bangih. Kok bangih hati Tuanku - takanai angku pado Allah - itulah nan
pitaruah den".

Dek lamo bakalamoan - inyo bajalan anyo lai - dek lamo lambek di jalan -
tibolah pulo di musajik - naiak si Manjau jo gurunyo.
Hari basarang patang juo - di malam samalam nantun - ditiliak pado si Manjau -
di ma duduak di ma bamanuang - di ma tagak di ma tacangang - urang tak tau di
awak - awak tak tau di urang. Alah sahari duo hari - si Manjau indak mangaji - si
Manjau indak baguru - urang bermain anyo bamain - bacongkak bacatua nan
dibueknyo - urang mangaji inyo lalok. Lah sabulan lamonyo di surau - indaknyo
rintang mangaji - kok siang hari inyo bamain - kok malam hari inyo lalok.
Dek lamo bakalamoan - mangadu urang nan banyak:
"Ampunlah kami guru kami - salamo guru tinggakan - si Manjau indak mangaji".
Bakato molah Tuanku:
"Manjau Ari anak kanduang - a salahnyo indak baguru - a sabab indak mangaji.
Kalau sagan hati baguru - kok maleh hati mangaji - mak den uluakanlah ang
pulang - usahlah ambo dapek buruak".
Manjawab si Manjau Ari:

"Ukan barabah makan padi,


Dibao anak urang Tiku,
Indaklah ubah dari kami,
Barubah datang dari guru.

Ambo batanyo bakeh angku - bari luruih ambo batanyo - baa bana rang jadi guru
- nan ma bana nan diaja - sabab ambo indak mangaji - Tuanku nan tak maaja -
dek itu sabab den tak mangaji. Di alip indak den pandai - di aso indak den tahu".
"Manjau kamarilah ang den aja".
Balari si Manjau Ari - bajawat salam jo Tuanku - manggigia tangan Tuanku.
Ditunjuakkan mangaji alip - si Manjau kaji Quraan - ditunjuakkan kaji Quraan -
inyolah mangaji Sarap - ciek kaji nan ditunjuakkan - ampek limo kitab nan dapek.
Diajakan pulo babilang - ditunjuakkan babilang aso - inyo lah babilang duo -
ditunjuakkan babilang duo - inyolah babilang tigo - ditunjuakkan babilang puluah
- si Manjau babilang ratuih.

Lah abih pandai Tuanku - Si Manjau babilang juo - patang pagi inyo babilang
- siang malam inyo mangaji - indak minun indak makan. Kok siang indak bajalan
- kok malam indaknyo lalok - inyo nan rintang dikajinyo. Minun indak makan pun
indak - baitu adat rang baguru - makan nan sudah daulunyo - minunnyo sudah
daulunyo - sajak di rahim bundo kanduang.

Alah sabulan duo bulan - sakitu lamo baguru - hari Jumaik sahari tu - urang
nan sadang sambayang - inyo naiak ka ateh maligai - tibo di ateh inyo bazikia -
Allah Rasul bunyi zikia - Allahu Rabbi bunyi suaro - babunyi di awang-awang -
adang-adang di dalam tanah - adang-adang di ateh langik - turun pitunang Nabi
Daud - indak tabedo elok zikia.
Mandanga saurang padusi - sadang batanun ateh anjuang - cacah talatak di
suok - rencong talatak di kida.
Dek elok zikia si Manjau - heranlah hati mandangakan - indak nyo ingek
dikarajonyo - iolah ditawan zikia – cacah 15 takatokan rencong - rencong
takatokan cacah - rencong tarawak suok kida - tanun tarantang lah tararak - dek
elok zikia si Manjau.
Mandanga urang manjamua - manjamua ka tanah tatunggangkan - mandanga
zikia si Manjau. Urang mamandikan anak - dek elok zikia si Manjau - anaklah
anyuik indak tahu.
Urang sumbayang ateh surau - urang nan sadang sumbayang - satangah
maimbau anak - lupuik pagangan surang-surang - sarang gurunyo lai gawal -
dek elok zikia si Manjau.
Sudah inyo bazikia - bakato molah Tuanku:
"Manolah maalim sadonyo - anak sia nan bazikia tu - anak bincacak bincacau 16 -
anak ngiang-ngiang rimbo 17 - kok den jua jauah-jauah - kok den bunuah mati-
mati - kok den gantuang tinggi-tinggi".
Manjawab urang nan banyak:
"Ampunlah kami guru kami - indaklah kami nan bazikia - anak Tuanku nan
bazikia - si Manjau Ari namonyo".
Mandanga kato Tuanku - hati nan bangih tak bakasan.
Lah lamo pulo antaronyo - sudah inyo bazikia - bajalan urang sadonyo -
tinggalah guru si Manjau - iolah sadang ateh surau.

Alah sabulan duo bulan - hari Jumat sahari tu - lah rapek urang sadonyo -
bakato molah Tuanku:
"Manjau bajalan ang daulu - mak maaja-aja langkah - mak kalua paluah buruak".
Bajalan si Manjau Ari.
Dek lamo bakalamoan - tibo-tibo wakatunyo sambayang - bakato molah Tuanku:
"Manolah Tuanku sadonyo - dangakan bana kato ambo - lai amuah bak janyo
ambo".
Manjawab urang sadonyo:
"Sukolah kami bisa manuruik - io manuruik kato angku".
"Kito cilakoilah si Manjau - sakato kito mangatokan - kok datang sudi siasat - kito
nan jangan mambanakan - dek inyo labiah pado ambo. Kok buliah pintak nan
banyak - mak jajok mandeh bapaknyo - tajahanam juo si Manjau.
Kok tak bajalan nyo di siko - awak kito lah dihukumnyo".
"Kok baitu nan kato angku - sakato kami rang nan banyak - manuruik kato angku
nan tun".
Lah bajalan urang nan banyak - si Manjau suruik ka surau. Dek malam
samalam nantun - bakato molah gurunyo:
"Mak den uluakanlah ang pulang - mande bapak ang mamasankan. Kok tibo kito
di rumah,

Tinggi maligai Rajo Batak,


Puti bagarak di halaman,
Pegang pitaruah banyak-banyak,
Sungguah lamo lupo jaan.

Kok den suruah maambiak siriah - pucuaknyo nan ka ang ambiak - kok den
suruah maambiak pinang - arainyo nan ka ang ambiak - kok den imbau ang ka
rumah - jan ang datang naiak ka rumah - kok batanyo mande jo bapak - jan ang
katokan den manyuruah - bak itu nan pitaruah den".
Dek malam nan samalam nantun - sakalok indak ditiduakan - duo kali ayam
bakukuak - cukuik katigo hari siang - io bajalan anyo lai.
Lamolah pulo antaronyo - lah tibo pulo di halaman - Tuanku naiak ka ateh rumah
- bakato molah Tuanku:
"Manjau naiak molah ka rumah".
Manjawab si Manjau Ari:
"Diamlah ambo tak ka rumah".
"Manjau Ari anak kanduang - kok indak ang ka rumah - bajalan-jalanlah ang ka
parak - manyilau tinam-tinaman".
Bajalanlah si Manjau Ari.
Dek lamo baduduak-duduak - tahanta nasi jo kupi - lah minum makan Tuanku.
Sudah makan sudah minun - bakato pulo Tuanku:
"Tuan Datuak Bandaharo - amai Puti Linduang Bulan - mungko den bao inyo
pulang - rang mudo si Manjau Ari - ka payah arok molah mandenyo - rang cilako
si Manjau Ari - nan bak si bidai takirok18 - molah sisiak di balakang - rang cilako si
Manjau Ari - rang labiah pado gurunyo.
Buanglah si Manjau Ari - iduiki si Murai Randin - kok diiduiki si Manjau -
mangirok ameh jo perak. Kok tingga inyo di kampuang - bareh jo padi tak
manjadi - taranak mati sadonyo - sakali makan di rumah - mati si Murai Randin.
Kok diiduiki si Murai Randin - bareh jo padi manjadi".

Dek lamo bakalamoan - rang mudo Manjau Ari - diambiak pucuak siriah - lah
diambiak arai pinang - bajalan molah nyo pulang - lah tibo pulo di halaman - lalu
baimbau anyo lai:
"Manolah Bundo Kanduang ambo - iko siriah pinang Bundo - Bundo balarilah ka
pintu".
Lah ditariak siriah pinang:
"Manjau Ari anak kanduang - pucuak siriah nan ang ambiak - arai pinang nan
ang bao - sia manunjuak maajari".
Manjawab si Manjau Ari:
"Sia ka maajari den - sia ka manunjuki den - dek iko nan ambo ambiak - iko nan
lamak di guru den".
Bakato pulo bundonyo:
"Ka tabuang molah ang Manjau - rancak tak buliah kami caliak - tabuang
samiang elok ang".
Manangih si Manjau Ari:

"Jan Bundo sasakan lai,


Karih pangali mangkudu,
Mangkudu tangah halaman,
Jan Bundo sasakan lai,
Barih lah sudah daulu,
Tasurek di tapak tangan.

Dangakan sabuah lai,


Maunggun di tapi rimbo,
Asoknyo sampai ka jarami,
Dek untuang sungguahlah nyato,
Suratan tangan anyo lai".

Bakato molah Tuanku:


"Manjau marilah ang Manjau - kito babaliak ka surau".

Dek lamo lambek di jalan - lah tibo pulo di surau - Tuanku naiak ka surau - si
Manjau tingga di halaman.
Bakato molah Tuanku:
"Manjau usah ang ka surau - Manjau suruiklah ang pulang - jan lamo-lamo ang di
rumah - usah katuju rasan kampuang - lakeh-lakeh ang babaliak".
Manjawab si Manjau Ari:
"Ampunlah ambo pado Angku - ampun baribu kali ampun - ampun di bawah
tapak kaki - kok disuruah ambo pai - kok ditagah ambo diam. Sabuah anyo
pintak ambo - ambo ka babaliak pulang - Tuanku ka tingga ateh surau - bajawek
salam daulu - anak ka pai guru ka tingga".
Bajawek salam jo Tuanku - manggigia tangan Tuanku:
"Pacik pitaruah den di Angku - pegang umanaik baiak-baiak - elok-elok pangaja
Angku - usah dibuek sarupo nangko - amaklah sadang di den surang - barek
pitaruah pado Angku - sabarek bumi jo langik".
Bakato pulo si Manjau:
"Angku ka tingga aden ka pai - salamaik iduik Tuanku. Si Manjau babaliak
pulang".

Mandaki manggunuang-gunuang,
Manurun ka punco-punco,
Manangih baunduang-unduang,
Lah basah baju di dado.
Dek lamo lambek di jalan - iolah sampai molah pulang - pintu basaok
sadonyo.
Bakato si Manjau Ari:
"Manolah ayah bundo ambo - bak a bundo mamasan ambo - bak a ambo
diimbau pulang - ambo baguru di surau".
Manjawab bundo ateh rumah:
"Indak kami mamasan ang - indak guno di kami lai. Manjau bajalan ang di siko -
pado rumpuik eloklah padi - Manjau Ari anak kanduang - pado iduik elok ang
mati - jan maragu-ragu kami".
Manangih Si Manjau di halaman:
"Indak patuik bundo baitu - indak sayang di ambo lai".
Bakato bundo di rumah:
"Manjau bajalanlah ang di siko - sabuah anak janjang ang tingkek - sataun padi
mainda. Dua anak janjang ang tingkek - mangirok ameh jo perak. Baitu kato guru
ang"
Manjawab Si Manjau Ari:
"Ampunlah ambo bundo - kok indak buliah ambo ka rumah - mintak nasi ambo di
bundo - lapa nan ukan alang-alang. Bundo barilah barilah - bago nasi-nasi rasan
- bago kok siso bundo ambo - bago kok rimah Si Murai - ka ubek paruik
manggigia. Auih nan indak tatangguangkan - raso ka rangkah bubun-bubun -
raso ka pandak pandang denai".
Bakato bundo ateh rumah:
"Indak kami nak baragiah - ayam jo itiak kami bari - anjiang den den bari makan -
buliah panunggu halaman den".
Lah ditingkek molah janjang - bundo balari ateh rumah - lah ditariak tabuang
didiah - bajalan pulo ka pintu - si Manjau tagak di janjang - di tuang jo aia didiah.
Mungko manangihlah si Manjau - duduaknyo di bawah lumbuang - aia mato
badarai-darai.
Dek lamo duduak di sanan - tagak badiri anyo lai - bakato si Manjau Ari:
"Manolah Bundo Kanduang ambo - barilah sakali nangko - bago kok karak-karak
anguih - bago kok di lawak-lawak19 ayam - bago kok siso-siso mande".
Bakato mandeh ateh rumah:
"Indak kami ka baragiah - elok anjiang nan dibari makan - buliah panunggu
halaman den".
Lah ditingkeknyo pulo janjang - duo buah janjang ditingkeknyo - balari pulo
bapaknyo - balari ka biliak dapua - lah ditariak tungku tangah - balari pulo ka
pintu - si Manjau tagak di janjang - diampoknyo pulo di bapaknyo - badarai batu
di kapalo - mandoncek inyo ka halaman.
Manangih si Manjau Ari - manangih ka lasuang gadang - manangkuik inyo ka
bumi - ditingadahkannyo ka langik.
Inyo bajalan ka halaman - inyolah naiak ka rumah - lah dilungkahinyo bandua -
balari pulo mamaknyo - diamuaknyo jo kurambik - lah putuih siba bajunyo - inyo
mahambua ka halaman.
Bakato si Manjau Ari:
"Iko moh baleh manjo - pandai banai moh bapak den - kasih banai moh mandeh
den - mandeh den malimaui den - bapak den mangasiah den - mamak den
mangguntiang baju. Manolah mandeh kanduang ambo - kok hukum alun ka mati
- kok gantang alun ka panuah - kok aja alun ka sampai - itulah tanuang di bapak
den - kok ado-ado nan mandindiang - badarai batu di kapalo den".
Bakato pulo si Manjau Ari:
"Manolah bundo janyo ambo - kok bana bundo lah jajok - mak den bajalan di siko
- basuko barilah kito daulu - rilakan riban20 mamaluak - rilakan jariah payah
bundo - rilakan aia susu bundo - rilakan badan diri den - mak bajalan den siko".
Manjawab bundo ateh rumah:
"Rilalah jariah payah den - rilahlah riban den mamaluak - rilalah aia susu den -
rilah di dunia ka akhirat".
Bakato si Manjau Ari:

"Tariak di amai nan babuah,


Nak kapundan nan babungo,
Tariak di amai nan babuah,
Nak bajalan nan cilako.
Manolah Bundo Kanduang ambo - dangakan sabuah lai - pantun ibarat rang
cilako,

Dimalah talang tatagak,


Mulo tibarau tumbuah juo,
Dimalah malang talatak,
Mulo sarau21 tumbuah juo.

Dangakan banai di bundo,

Sitapuang tangah halaman,


Den ambiak kiliran taji,
Tingga kampuang tingga halaman,
Tinggalah sumua bakeh mandi".

Bakato si Manjau Ari:

"Tinggi malanjuiklah ko batuang,


Indak ka den tabang lai,
Malangkueh padi lumuik den,
Tingga mancanguiklah ko kampuang,
Indak ka den jalang lai,
Mak pueh hati amai den".

Inyo bajalan anyo lai - lah lamo inyo bajalan - balari-lari bundonyo - sambia
balari inyo bakato:
"Manjau tagaklah ang di sinan".
Lah duduak si Manjau Ari - bakato si Manjau Ari:
"Ba a den bundo lalahi".
Bakato si Manjau Ari:
"Lai kasiah bundo di ambo - lai sayang bundo di ambo".
Manjawab mande kanduangnyo:
"Indak kami kasiah di badan ang - tak kami kasiah di tubuah ang - kasiah di kain
baju kami - sayang di ameh perak kami - ungkai kain tu sadonyo". Baitu kato
mandenyo.
Batariak kupiah ameh - batukari jo kulik kampia - babukak baju dalam badan -
baganti jo baju buruak. Babukak pulo sarawal - batukari pulo jo nan buruak -
pandiang ameh baganti jo salisiah22 - tungkek ameh baganti jo tibarau.
"Mande ka pai anyo lai - nambek bundo babaliak pulang - cincin den lai tingga
juo - sambuang gigi den tingga juo - canggai kuku den tingga juo".
Baluruik cincin di jari - ditukari jo cincin ijuak - lah diungkai sambuang giginyo -
lah diungkainyo canggai kukunyo - dibarinyo bakeh mandehnyo.
Bakato si Manjau Ari:
"Bundo babaliak molah pulang - bapak den kok litak kini - sia ka mambari nasi -
si Murai kan ketek baru".
Bakato si Manjau Ari sambia bapantun:

"Baibaraik sarangkai buah pitulo,


Singguluang daun si kinari,
Ba anyo kasek pari juo,
Ambo tanai bagai mangkuto,
Ambo jujuang bagai matoari,
Baanyo kasiah carai juo.

Dangakan sabuah lai,

Rumah gadang babandua perak,


Diukia anak rajo-rajo,
Tagang indak kandua pun indak,
Manga tali putuih sajo.
Manolah Bundo Kanduang ambo - mari kito bajawat salam - ambo bajalan
anyo lai - antah sakik di rantau urang - garak Allah sia nan tahu - dangakan juo di
mande,

Baladang panjang molah kito,


Jan taro mananam rumpuik,
Tulak balakang molah kito,
Jan taro maingo suruik".

Bakato pulo si Manjau:

"Harun manyih baunnyo kubik23,


Dibao Sutan ka Malako,
Bundo ilia ambo nak mudiak,
Tulak balakang molah kito".

Mandenyo babaliak pulang - si Manjau bajalan jauah.

Dek lamo lambek di jalan - masuak rimbo kalua rimbo - ma le bukik lah didaki
- ma le lurah lah dituruni - alah sapakan duo pakan - minun indak makan pun
indak - auih ka mano ka mamintak aia - lapa ka mano mamintak nasi - dalam
rimbo piatu nan tun.
Dek lamo lambek di jalan - lah sabulan duo bulan - aia mato badarai-darai.

Anak rang Banu Hampu,


Nak lalu ka Batang Hari,
Di dalam rimbo piatu,
Litak kamalah mamintak nasi.

Dek lamo bakalamoan - aia mato badarai-darai - di apuih aia mato jo kida -
disipekan paluah jo suok.
Mandaki manggunuang-gunuang,
Manurun ka palamunan,
Manangih baunduang-unduang,
Takana di paruntuangan.

Lah lamo pulo antaranyo - iolah lah tibo di sinan - di karambia atok tungku - di
pinang nan linggayuran - di batu sandaran rajo. Inyo bahanti anyo lai - duduak
maurai aia mato.
Dek lamo duduak di sinan - surangpun indak urang nan lalu - sabulan duduak
di sinan - kok untuang tasingik dinyo - lalu Rajo Di Kinali - bakato molah Rajo
nan tun:
"Adiak kanduang Si Manjau Ari,

Alah koh marawa-rawa,


Aia taganang di palupuah,
Alah koh manjawa-jawa24,
Awak rang sanang diparusuah".

Manjawab si Manjau Ari:


"Dangakan malah dek tuan,

Tinggi bubuangan rumah darek,


Nampak nan dari Bukik Tinggi,
Paruntuangan mambao larek,
Itulah ambo mungko ka mari".

Manjawab Rajo Di Kinali:

"Kok ujan hari di rimbo,


Kama den maambiak tuduang,
Ka parak Bagindo Ali,
Baa koh bak jadi nangko,
Taisuak di baliak gunuang,
Mungko adiak sampai ka mari".

Bakato si Manjau Ari:

"Ikek baikek paruah anggang,


Makan baulang ka jarami,
Malekaik mambao tabang,
Mungko ambo sampai ka mari".

Bakato Rajo Di Kinali:


"Adiak kanduang Si Manjau Ari - dangakan bana kato ambo - apa banai sabab
karanonyo - mungko bajalan ang di kampuang - sia nan mamberangi".
Bakato Si Manjau Ari:
"Dangakan bana pantun ambo,

Pasa Gadang parang bakabuik,


Ulando pulang manembak,
Durian pupua bungonyo,

Tuan den Rajo Di Kinali,

Sambuiklah ba a dagang anyuik,


Pueh dilamun-lamun ombak,
Isuak nak ambo baleh guno".

Bakato Rajo Di Kinali:

"Balaia biduak Majo Baiak25,


Balaia lalu ka subarang,
Nak lalu ka Batang Hari,
Asali untuang adiak ka baiak,
Pueh tatungkuik tatilantang,
Tacapai juo tanah tapi".

Bakato Si Manjau Ari:

"Anak rang di Koto Tuo,


Nak singgah ka Padang Panjang,
Nak lalu ka Batang Hari,
Bari luruih ambo batanyo,
Bari kusuih26 ambo manarang,
Kamalah tuan ka pai".

Bakato Rajo Di Kinali:


"Nan kok itu adiak tanyokan - nan luruih bana di ambo - ambo ka pai ka sanan.
Di sanan urang bagalanggang - galanggang Puti Kasumbo - galanggang mancari
judu - ambo handak ka kian - ka lalu ka kampuang si Murai Randin - di sanan
kampuang si Murai - di ranah Payuang Sakaki - indah kampuang bukan
kapalang - labuah panjang cindai tabantang - labuah pandak siku basiku -
anjiluang batimbo jalan - pudiang ameh paga di luar - daun silayu baibaran -
pamenan anak Sutan-Sutan - pamainan anak Rajo-Rajo".
Bakato Si Manjau Ari:
"Tuan den Rajo Di Kinali - kok io Tuan ka sanan,

Jan ditolong maluli,


Tolong mangguntiang juo,
Jan ditolong marugi,
Tolong jo jariah den juo.
Karano Allah Tuan ambo - bao juolah pasan ambo - mak manang Tuan
manyabuang - mak kasiah bujang juaro - suruah bao juo pakaian den - suruah
bao juo baju den - suruah bao juo rencong ambo - suruah juo bao padang ambo
- katokanlah di si Murai - suruah bao ameh perak den - di siko den manantikan -
di karambia atok tungku - di pinang nan linggayuran - di batu sandaran Rajo".
Bakato Rajo Di Kinali:

"Insya Allah jadilah itu".

Bajalan Rajo Di Kinali - kudo nan balang samburani - rajah kaki kaampeknyo -
palano ameh samiang - injak-injak perak bahelo - inyo bajalan anyo lai.
Dilorong pado kudo nantun - sadang manduo-duo ketek - marantau panjang
anyo lai. Ganto babunyi bak talempong - bagai talempong Rajo Jao.
Dek lamo lambek di jalan - dek lamo basarang ampiang - lah tibo pulo di
sinan - di kampuang si Murai Randin - lalu ka tangah laman.
Batanyo molah tu Rajo:
"Murai lai kau di rumah".
Mandanga si Murai Randin:
"Ba a indak ka di rumah - a banai nan ka dirusuahkan. Mande kayo bapak
batuah - urang mahadok bakuliliang - kato ambo sadang badanga - titah den
sadang bajunjuang - palentah den sadang baturuik - kayo den sunduik
basunduik - anak puti asa barasa - bapak den usali rajo".
Bakato si Murai Randin:
"Kambang sia tu di halaman - anak bincacak bincacau - anak ngiang-ngiang
rimbo - indaknyo babaso-baso - indaknyo tau di larangan - indak tau di laman
puti - rang elok si Murai Randin - budaknyo sakarek koto".
Lamo lah pulo antaronyo - balari si Kambang Manih - balari ka pintu gadang -
bakato si Kambang Manih:
"Tuan den tagak di alaman - tuan den tidak bapangaja - indak batunjuak baajari
- nan tak tahu di laman rajo - anak bincacak bincacau - baitu kato aciak den -
katonyo nan den katokan - tuan lai samo maningaran27".
Manjawab Rajo Di Kinali:
"Nan kok baitu katonyo - maklum pado diri ambo - saba jo rilah ambo pakai.
Mungko den jalang kampuang nangko - mungko den tampuah halamannyo -
bareklah pasan ambo bao - barek pitaruah ambo pacik. Antah Si Manjau antah
bukan - inyo bapasan bakeh ambo - manyuruah mambao rencongnyo - Si Murai
nan ka mambao - kain baju nan ka di bao. Heranlah ambo malieknyo - manangih
juo inyo kini - minun indak makan pun indak - datang ujan kaujanan - datang
paneh kapanehan - di sinan inyo manantikan - di karambia atok tungku - di
pinang nan linggayuran - di batu sandaran rajo".
Urang mudo Si Murai Randin - mandanga kato nan bak kian - baru tasabuik
dunsanaknyo - baru takato Manjau Ari - mambubuang nyao nan sati - tasimbua
darah di dado - gumanta tulang jo dagiang - batungkuik bumi jo langik -
manangih si Murai Randin.
Baru tasabuik di si Manjau - tanun tarantang lah takusuik - inyo pun tagak anyo
lai - taserak rambuik nan panjang - tatabua bungo dalam sanggua - rambuik nan
panjang singan tumik - talayuak pinggang nan lamah - rang elok si Murai Randin
- lah silala-lalai inyo - lah silulua-lulua inyo - bak itu sayang di ransanak - muko
nan morak lah muram - rambuik nan panjang pun lah kusuik. Kalua dalam
kulambu - kulambu nan tujuah lampih - banyaklah ragam kulambunyo.
Lah lapeh pulo dari sinan - maranyuak si Murai Randin - raso karuntuah anjuang
tinggi - malenggang si Murai Randin - mandayuak rumah nan gadang. Iolah
turun ateh anjuang - lah tibo di tangah rumah - balari ka pintu gadang.
"Tuan den Rajo Di Kinali,

Unggeh garoi tabang ka capo,


Tibo di capo makan padi,
Aduah denai a tu cako,
Ulanglah sakali lai".

Manjawab Rajo Di Kinali:


"Balaia tantang pulau cino,
Balabuah tantang pulau pisang,
Dangakan banai nyato-nyato,
Mak tantu buah kato urang".

Manjawab si Murai Randin:


"Tuan jan bangih bakeh ambo - tuan jan berang bakeh ambo - lah banyak kato
den tadorong - bari ampun ambo dek tuan - mamintak ampun banyak-banyak - di
bawah tapak kaki tuan.
Katokan banai sungguah-sungguah - katokan molah nan diliek - isuak mak ambo
baleh guno".
Manjawab Rajo Di Kinali:
"Adiak kanduang Si Murai Randin - pasan Si Manjau nan den bao - uluakan
rencong jo pakaian - itulah pasan nan den bao - di sinan inyo manantikan - di
karambia atok tungku - di pinang nan linggayuran - di batu sandaran rajo".
Bakato Si Murai Randin:
"Tuan den Rajo Di Kinali - tuan naiak moh ka rumah - naiak ka rumah makan
siriah".
Manjawab Rajo Di Kinali:
"Dimalah ambo tak ka rumah - tajalang di ambo halaman kau - labiah bak minun
jo makan - tatampuah di den kampuang adiak - ketek bak raso ka gadang -
binguang bak raso lai ka cadiak".
Bajalan Rajo Di Kinali - inyo bajalan anyo lai. Rang mudo Si Murai Randin -
manangih bagolek-golek - bukan rajo nan ditangisi - inyo takana di Si Manjau.
Bakato Si Murai Randin - bakato sadang manangih - manangih mamakiak
panjang:
"Tuan manyauik ambo imbau - tuan den Si Manjau Ari - rimbo nan mano
diunyikan - kampuang nan mano diunikan - tuan manyauik ambo imbau - di sia
den tuan tinggakan - kito baduo badansanak - ilang tuan ilanglah denai –jauah
tuan jauah lah denai - manangih di tangah rumah".
Bakato si Kambang Manih:
"Ka pasiak molah kau aciak - urang bajalan ditangisi".
"Kambang Manih adiak kanduang - katokan molah bana-bana - jo sialah nyo
barangak - mungkonyo bajalan surang - awak ambo ditinggakannyo. Kok tak kau
amuah mambanakan - kau den pancuang kini-kini - kau den bunuah kini
nangko".
Dek takuik Si Kambang Manih:
"Baitu banai sababnyo - mulo tuan den ka laraik - cilako janyo gurunyo - urang
sarau janyo gurunyo - kok untuang badan ka jauah - bapak jo mandeh merang
pulo.
Samaso inyo ka bajalan - hibolah ambo mandanga - aia satitiak tak babari -
manangih mamintak nasi - tak suko mandeh baragiah - manggaruang tangah
halaman - mamintak aia nan satitiak - mamintak aia nan sasuok. Bakato mande
jo bapak - pado kami baragiah ka ang - anjik anjiang ba a kami agiah - baitu kato
mande kito - mungkonyo bajalan jauah".
Bakato Si Murai Randin:
"Kambang Manih adiak kanduang - kok nyo batanyo mande kito - katokan ambo
pai ka kian - ka bukik jalan nan kuduang - ka lewang 28 pintu matoari - ka kayu
bapuncak sirah - ka rumah Puti Kasumbo - ka kiun ambo manyalang suri - di
sinan suri nan elok - suri nan batapi perak".

Langkah lalu sahari nantun - bundonyo sadiang indak di rumah - di hari nan
sahari nantun - a pintaknyo balaku samiang - a kandaknyo buliah sajo.
"Kambang tingga kau tingga - tingga jo ameh dangan perak - tingga jo sawah
dangan ladang".
Manjawab molah Sikambang:
"Ameh perak di sia tingga - sawah ladang di sia tingga".
Manjawab Si Murai Randin:
"Indak guno ameh jo perak - indak guno sawah jo ladang. Ameh perak den
dansanak den - sawah ladang Si Manjau Ari - tuan den Si Manjau Ari - ka ganti
subang jo galang - ka ganti ameh jo perak - ameh perak dapek den cari".
Mancampuang ka biliak dalam - dilantak peti lewang gadang - mandanguang
tali bubutan - tabukak peti nan ketek.
Diambiak rencong dalam peti - ditariak ameh jo perak - dibungkuih kain jo baju -
diambiak padang janawi - padang janawi mutuih rantai - saketek indak disisokan.
Inyo kalua dari biliak - lalu nyo ka biliak dapua - disanduak pulo molah nasi -
dilatakannyo kakainnyo – guli29 dilatak dalam sanggua - dibao api dalam cangkia
- bajalan ka pintu gadang.
Inyo manangih anyo lai - manangih sadang manyaru:
"Ya Allah ya Tuhanku - ya Sidhi ya Mulie - kok buliah pintak pado Allah -
mambali mamintak ambo kapado Allah jo Muhamad - barakaik kabasaran ninik
ambo - nan batampek di Gunuang Ledang - iduik nan bakeh urang bakaua -
mambali mamintak ka bumi jo langik - kapado siang jo malam".
Masonyo Allah mauntuangkan - kaandak balaku pintak buliah.
Bakato Si Murai Randin:
"Kabau nan ampek puluah ampek - kabau manjadi kabau jalang - bantiang nan
ampek puluah ampek - manjadi ruso sadonyo - kudo nan ampek puluah ampek -
manjadi kijang sadonyo - itiak nan tayok di halaman - abih mati bakarabangan -
parpati linduang jo langik - abih mangirok sadonyo".
Dibaka kumanyan putiah - kabau lari masuak rimbo - bantiang lah lari masuak
rimbo - kudonyo bak nantun juo - ayam jo itiak abih mati - itiak jaonyo jadi undan
- parpati tabang mangirok - sawah nan tujuah buah banda - sawah manjadi
rimbo gadang.
Lah turun Si Murai Randin:
"Kambang Manih adiak kandung - turun kau di ateh rumah - caliak di adiak kayo
Allah - gampo galumat nan ka tibo".
Mahambua Si Kambang Manih - bakato Si Murai Randin:
"Rumah gadang manjadi munggu - rangkiang manjadi tunggak - padi den
manjadi kasiak.

Kalikih di ladang kapeh,


Dibao anak rang Tanjuang,
Barang nan abih naknyo tandeh,
Mak ueh hati mandeh kanduang".

Dilayuakannyo salayuak - lah runtuah rumah nan gadang - malenggang Si Murai


Randin - lah taban sibayau-bayau - malangkah Si Murai Randin - tajongkang
sitinjau lauik - nan ketek lah kamurantang - barakaik pintak Si Murai.
Balari-lari ka pincuran - inyo basauik basungkun:
"Kok buliah pintak pado Allah - pincuran ameh jadi batu - pincuran gadiang jadi
tanah - kuntang tuhualah sumua nangko - sumua nangko ka den tinggakan -
mak sanang hati mande kanduang".
Mambasuah muko anyo lai - pintak balaku sadang itu - pincuran ameh jadi
batu - pincuran gadiang jadi tanah - lubuaknyo lah kuntang tuhua - inyo
manangih anyo lai.
Dimalah buaian ambo - di bawah anduang nan gadang 30 - di sinan buaian ameh
- di sinan buaian perak - lalu balari molah ka kiun - bakato Si Murai Randin:
"Kok buliah pintak pado Allah - buaian ameh jadi urek – buaian perak jadi aka -
buaian ka den tinggakan".
Dikayuah sakayuah lalu - inyo turun ateh buaian - dalam sacacah nantun juo -
buaian ameh jadi urek - buaian perak jadi aka.
Manangih si Murai Randin:
"Tinggalah tingga dansanak sudaro - tinggalah tulan jo sahabat - gadang ketek
tuo mudo - laki-laki dangan padusi - ambo bajalan anyo lai".
Mandanga kato nan bak kian - balari urang dalam kampuang - bakaja samo
gadangnyo - bakato tulan sahabatnyo:
"Hai Murai bak a bakato baitu - apo salahnyo ka bajalan,

Sikunar urang di Tiagan,


Dibao urang patang ari,
Adiak tadanga ka bajalan,
Mulo tacameh awak kami".
Manjawab si Murai Radin:
"Wahai tulan sahabat ambo,

Usah dirusuahkan tika,


Tika lah ka den kabaruahkan,
Ka tiku urang panyamun,
Usah rusuah tulan ka tingga,
Tinggalah den pataruahkan,
Antaro pintu jo halaman".

Bakato molah urang kampuang:


"Bago baitu kato adiak - indak amuah kami malapeh - ka ganti niniak-mamak
kami - ka ganti subang jo galang. Mungko tak suko kami malapeh - adiak
kanduang Si Murai Randin - suluah bendang dalam nagari - marawal di tangah
koto - payuang panji urang nagari - nan tasabuik ka kaluaran - adiak nan cadiak
biopari - pandai maagak maagiahkan - pandai manakok dalam raik - panyonsong
rajo nan datang - pananti alek tangah rumah - nan tacelak tampak jauah - nan
tabarombong tampak ampiang - adiak kanduang Si Murai Randin".
Dek lamo bakalamoan - panek bagigiah jo batangka - marentak Si Murai Randin
- lah banduang candonyo ratok - gadang ketek tuo mudo - pahuni kampuang lah
bajalan - bajalan panjang anyo lai.
Bakato Si Murai Randin:

“Sitapuang tangah halaman,


Den ambiak kiliran taji,
Tingga kampuang tingga halaman,
Tinggalah sumua bakeh mandi".

Dek lamo maso bajalan - lah lapeh pulo dari kampuang - manampuah rimbo
anyo lai - manangih Si Murai Randin.
Anak urang di Koto Tuo,
Nak lalu ka Mandahiliang,
Manangih ka masuak rimbo,
Tak buliah kawan sairiang.

Ditampuah molah surang samiang - manangih dalam rimbo nantun:


"Tuan den Si Manjau Ari - manyauik tuan den imbau - nasi lah rasan ambo bao -
tuan manyauik moh den imbau - rimbo mano tuan hunyikan - kampuang mano
nan ditunggui".

Dek lamo maso di jalan - aia mato badarai-darai - mato diapuih jo kida -
disipekan abuak jo nan suok. Ma li rimbo nan di rimboi - ma li bukik lah didaki -
bajalan surang padusi - surang pun indak rang basuo - indak buliah tampek
batanyo - siang malam bajalan juo - di ma panek di ma baranti.
Lah sabulan lamo di jalan - lah tibo inyo di sinan - dibuang pandang suok kida -
bacampuran arok jo cameh - indak inyo nampak Si Manjau - manangih
manggaruang panjang:
"Kanai umbuak den nan io - kanai kicuah moh den di urang - di siko tuan den
janyo tuan - manjawab moh den imbau".
Dicaliak hilia jo mudiak - dicaliak molah sunguah-sungguah - lah tampak di nyo
Si Manjau - inyo balari anyo lai - manangih manggaruang panjang - manangkuik
kariban kakak:
"Tuan den siko moh tuan - lah panek ambo manuruik - iolah payah ambo den
mancari - tuan di siko moh kironyo".
Manangih Si Manjau Ari - mandanga kato adiak kanduang.
Bakato Si Manjau Ari:
"Murai jan kau manangih - ka ngalu kapalo adiak - ka sakik adiak baiko - sakik ka
mano mamintak ubek".
Bakato Si Murai Randin:
"Tuan makanlah ko nasi - nasi den sanduak di kain den - guli den tungkuih jo
abuak den. Kok suko makan di tuan - kok indak pikiran tuan".
Lah minun makan Si Manjau - lah baranti minun makan - bakato Si Murai
Randin:
"Tuan lah sudah minun makan - iko kain baju tuan".
Ditariak kain dek Si Manjau - diambiak baju dek Si Manjau - io mamakai anyo lai.
Lah sudah inyo mamakai - bakato Si Manjau Ari:
"Murai Randin adiak kanduang - kok nan bana di hati ambo - Murai babaliak kau
pulang - awak den jan kau turuikan - ameh perak di sia tingga".
Manjawab Si Murai Randin:
"Jan tuan katokan juo - indak guno ameh perak - indak baguno sawah ladang.
Ameh perak den awak tuan - sawah ladang den awak tuan - tuan ka ganti inyiak
mamak - ka ganti mande jo bapak - ka ganti rumah nan gadang".
Manangih Si Manjau Ari:
"Adiak kanduang Si Murai Randin,

Den sakah indak tasakah,


Dirangkuah baduo-duo,
Den tagah indak tatagah,
Mak den suruahlah kau juo".

Bakato Si Murai Randin:

"Elok katidiang jo ragi,


Ragi katidiang jo ragak,
Dibao anak rang Kamang,
Elok sairiang jo adi,
Adi sairiang jo kakak,
Indak barek tarenjeang surang".

Bakato Si Manjau Ari:


"Adiak kanduang Si Murai Randin - kok kito bajalan jauah - musuah jo lawan tak
samato - antah harimau mamakan adiak - antah gajah mandorong kito - antah
ula malulua adiak".
Manjawab Si Murai Randin:

“Guntiang binduru saalai jubah,


Dibao Siti pulang mandi,
Jan di duo kato Allah,
Di ma janji ditapati.

Dangakan sabuah lai,

Bakukuak ayam urang Rao,


Bakukuak sapanjang jalan,
Kok amuah tuan mambao,
Tainda musuah di jalan.

Nan kok itu tuan katokan - bia ambo palawan musuah - bia denai mati daulu -
tuan turuikan den tuan - janjian sasukek indak sagantang".
Bajalan Si Murai Randin - manuruik Si Manjau Ari - lah bajalan kaduonyo - awak
baduo baransanak - ma li rimbo di rimboi.
Io lah sahari duo hari - lah tibo dalam rimbo gadang - bakato Si Murai Randin:
“Nak urang Koto Marapak,

Nak ilia batungkek tabu,


Hari paneh ujan badapak,
Kito baranti moh daulu.
Ba a paruik den manggigik".

Bakato Si Manjau Ari:


“Kok masuak jalan ka Kurai,
Kama den mambali padi,
Antah kok ka Banu Hampu,
Kok litaklah ko Si Murai,
Kama den mintakan nasi,
Di dalam rimbo piatu".

Manangih Si Manjau Ari:

“Sajak samulo den latakan,


Indak dilatak dalam padi,
Dilatak juo di pamatang,
Pandan ko juo malanduangkan,
Sajak samulo den katokan,
Indak kau latak dalam hati,
Dilatak juo di balakang,
Badan kau juo manangguangkan".

Bakato Si Murai Randin:


"Tuan den Si Manjau Ari - indak elok urang pancameh - urang pancameh
kailangan - indak elok urang parusuah - urang parusuah lakeh jauah - indak elok
urang panggamang - urang panggamang mati jatuah.
Tuan dangakan den katokan,

A nan indak di rimbo,


Antah kok bamban jo katari,
Bamban buliah dilingkakan,
A nan indak di kito,
Antah kok bulan jo matoari,
Bulan buliah den gambakan.
Tuan ambiak pucuak pua - mak den makan ka ubek paruik".
Dek ibo garan di adiak - lah diambiak pucuak pua - dibarikan bakeh Si Murai.
Lah ditariaknyo di Si Murai - lalu dikuduang pucuak pua.
Bakato Si Murai Randin:
"Makan di tuan nan sakuduang - amak den makan nan sakuduang".
Bakato Si Manjau Ari:
"Adiak kanduang Si Murai Randin,

Anak urang di Sungai Pua,


Nak lalu ka Bukik Tinggi,
Indak lamak di den pucuak pua,
Pantangan anak laki-laki".

Manjawab Si Murai Randin:

“Anak urang di gaduang taba,


Nak lalu ka Indragiri,
Indak lamak di den pucuak pua,
Pantangan anak padusi".

Bakato Si Murai Randin:


"Tuan jo a den agaki - kununlah badan ambo surang - indak den litak dek nasi -
indak den auih di aia - minum makanlah daulu - sajak di rahim bundo kanduang.
Tuan mari kito bajalan - rimbo nan mano kito unyi - kampuang nama nan
kito tunggu".
Manangih Si Manjau Ari - mandanga kato nan bak kian:
"Adiak kanduang Si Murai Randin - usah tu kau kato-katokan - antah kito ka
kama-kama - antah lapuak di rimbo gadang - antah mati di tangah jalan".
Bakato Si Murai Randin:
"Tuan den Si Manjau Ari - jan di duo kato Allah - di ma janji di ma didapati - tuan
turuikan den tuan".
Bajalan Si Murai Randin - manuruik Si Manjau Ari - masuak rimbo kalua
rimbo.
Dek lamo lambek di jalan - lah sabulan duo bulan - bakato Si Murai Randin:
"Kito barantilah daulu - payah den ukan alang-alang - hauih nan indak buliah aia
- mak den barantilah di siko - itu lapiak takambang juo".
Bakato Si Manjau Ari:
"Adiak ka gilo molah anyo - indak urang balapiak siko - kan iko nan ula bidai -
awak kau ka diguluangnyo - awak kau ka diiruiknyo".
Bakato Si Murai Randin:
"Bia den mak dimakannyo - pado iduik eloklah mati".
Lah dituruiknyo tu ula - bakato Si Murai Randin:
"O ula nan gadang nangko - pintak dimakan badan ambo. Usah ambo dimakan
surang - makanlah kami kaduonyo - kami baduo baradiak".
Manjawab ula nan gadang:
"Indak ka jadi kau den makan. Amuah banai ambo mamakan - badan ambo ka
mati pulo. Ukan awak kau nan cilako - mande jo bapak nan cilako. Ukan Si
Manjau nan sarau - inyiak mamak kau nan sarau - bayang-bayang kau sampai
ka langik. Ambo ibo ukan kapalang - jo a lah adiak ka den lapeh - bauang bapitih
indak - baameh baperak tidak. Lai cincin den sabantuak - lai rean den sabuah.
Murai ambiak cincin nangko - cincin banamo Cinto-cinto - a dicinto a buliah -
a dipintak balaku juo. Minum makan lah di siko - a kandak kau buliah mandapek
- ka ganti mandeh jo bapak".
Ditariak cincin dek Si Murai - Si Manjau manariak rean - urang baduo
badansanak - buliah pakaian kaduonyo - pakaian dunia akhirat - io bajalan anyo
lai.

Lah sakijok pulo bajalan - basuo harimau gadang - mangaun harimau gadang
- rasokan luluih rimbo gadang - rasokan ancua bumi Allah.
Bakato harimau gadang:
"Siko paruik den mungko kanyang - siko salero mungko pueh - urang dunie
sasek ka rimbo".
Mandanga kato harimau - kununlah Si Manjau Ari - awak nan ganta-ganta takuik
- darah di dado turun naiak - gumanta tulang sadonyo.
Rang mudo Si Murai Randin - pandai turik pandai tanuang - pandai manangkok
dalam raik - urang nan takuik tantu deknyo.
"Tuan jo denai di tuan - janlah hati dipatakuik - janlah badan diparusuah. Kok lah
untuang ka dimakannyo - bago di dalam karando basi - bago di ateh anjuang
tinggi - kunun bagian ka dimakannyo - tantu dimakannyo juo. Kok indak
untuang ka di siko - indak kito ka dimakannyo".
Urang mudo Si Murai Randin - dikirokkan abuak nan panjang - disongsongnyo
harimau nantun - inyo bakato anyo lai:
"Harimau nan gadang nangko - nan dipintak siang jo malam - makan juo badan
ambo - uranglah buang baiaran - tak buliah diam di kampuang - mandeh jo
bapak lah jajok".
Dikirokannyo rambuiknyo - rambuik nan panjang singan tumik - elok nan bukan
alang-alang. Ditiliak kapado rupo - sapantun bulan ampek baleh - pancaliakan
pugaga ambun - kuripeh dama ka padam.
Manjawab harimau gadang:
"Indak ka jadi adiak den makan - amuah bana den mamakan - ka mati pulo
badan den. Bayang-bayang kau sampai ka langik - ukan awak kau nan cilako -
ukan Si Manjau nan sarau.
Adiak kanduang Si Murai Randin - mari kau den aja pandeka - mak den tunjuki
kau basilek - mak den tunjuki langkah tigo - langkah suok bajanjilak - langkah
kida bajanjilu – mak den bari kau alemu - mak den bari kau pitua - pitua
kuek jo kuaso - mak den tunjuaki kau manyemba - semba sasemba mamutuih -
mak den tunjuiki kau manangkok - tangkok satangkok mandapek - mak den
tunjuaki kau manggayuang - gayuang sagayuang mamutuih - pakai di kau
salamo iduik".
Alah diaja anyo lai. Birawari Si Murai Randin - alun dikatokan inyo tau - alun diaja
inyo alah pandai - ciek ditunjuakan duo dapek - urang baduo baradiak - diaja
kaduonyo.
Dek lamo bakalamoan - io bajalan anyo lai - sabanta garan parjalanan -
basuo pulo kandiak gadang - gadangnyo ukan kapalang - inyo bakato anyo lai:
"Siko paruik mungko kanyang - siko salero mungko pueh".
Manjawab Si Murai Randin:
"Pintak dimakan badan kami - pado iduik baiaklah mati".
Bakato kandiak nan gadang:
"Indak ka jadi kau den makan - jo a lah kau ka den lapeh - bauang bapitih den
indak - tariaklah di kau rantai den.
Kok kau tariak rantai nantun - indak kau talok di nan tajam - indak kau dimakan
basi - indak kau dimakan batu".
Lah ditariak rantai nantun - io bajalan anyo lai.

Sadang sabulan pajalanan - paneh nan bukan alang-alang. Kok paneh kama
ka balinduang - sabatang indak bakayu - sarumpun indak bakatuju - litak kama
mintak nasi - auih ama mintak aia - litak badan ukan kapalang - auih badan ukan
kapalang. Manangih Si Murai Randin:
"Tuan mintakan den ba a nasi - tuan carikan ba a aia".
Bakato Si Manjau Ari:
"Nasi di ma kito cari - aia di ma kito mamintak - di tangah padang pasawangan -
kawan indak kaum indak. Adiak kanduang Si Murai Randin - adiak kok tingga di
rumah - baralah kasanangnyo badan - rintang di ameh jo perak".
Manjawab Si Murai Randin:
"Apo gunonyo ameh perak - kok indak ransanak kanduang".
Manangih Si Murai Randin:
"Tuan denai Si Manjau Ari - itu moh rumah urang - mintakan den ba a nasi".
Bajalan juo Si Manjau - disangkonyo rumah tulan – padahkan rumah rang
manyamun - iolah di padang panyamunan - sialah nan lalu di sinan - indak urang
nan sampai pulang - di sinan badan abih mati - kuaik kabal mati juo.
Bakato Si Murai Randin:
"Kito barantilah daulu - payah badan bukan kapalang".
Bakato Si Manjau Ari:
"Adiak kanduang Si Murai Randin - adiak ka gilo molah inyo - di siko kito ka
baranti - di tangah padang panyamunan - ikolah jinih bangkai urang - urang mati
disamun urang - badan urang batimbun-timbun - darah bak cando anak sungai
- adiak ka dibunuah urang - jan kito baranti siko - kito malampau dari siko".
Bakato Si Murai Randin:

"Panek sudah den pintakan,


Dibao urang Koto Tuo,
Kato sudah den katokan,
Pantang ambo barasak siko.

Iduik mati kito tantukan - kok io padang panyamunan - kito cubo agak sabanta
- kito tahan angek dingin - rusuah sanang buruak elok - basuo di badan kito -
baitu adat rang marantau".
Manangih Si Manjau Ari:
"Murai Randin adiak kanduang - marilah kito bajalan - ka mati adiak baiko".
Manjawab Si Murai Radin:
"Iduik mati indak bacari - iduik jo mati tuan kajai - salangkah turun dari rumah -
mati juo nan ambo nieknyo".
Baranti Si Murai Randin - lah mamakai ameh jo perak - dipakainyo intan jo bodi.
Bakato Si Manjau Ari:
"Iko pakaian nan kau pakai - adiak kok sio-sio amek - musuah jan diari-ari - kok
basuo jan diindakan. Sadang nan suka disamunnyo - ukan urang manyamun
ameh - ukan urang manyamun pitih - urang manyamun nyao badan".
Bakato Si Murai Randin:
"Tuan den jo den di tuan,

Guntiang binduru saalai jubah,


Dibao Siti pulang mandi,
Jan di duo kato Allah,
Di ma janjian didapati".
Dek lamo bakalamoan - lah tibo Baruak Nan Panjaguang - lah nampak dinyo
Si Murai. Dek mancaliak ameh jo perak - arok hati ukan kapalang - io babaliak
molah pulang - lah tibo pulo di rumah.
Bakato Baruak Nan Panjaguang:
"Tuan oi Mahampiang Basi - mangapo tuan lalai juo - nan indak den caliak lah
den caliak - alun den caliak saumua badan - elok urang ukan kapalang - ameh jo
perak dipakainyo - intan jo podi bakilatan. Nan kok tasamun urang
nantun - tabaia utang baketek-ketek - anduak juadah lapeh pulo - bakain babaju
anak kito".
Dek arok Mahampang Basi - ditariak padang nan laweh - padang salaweh daun
pisang - lah diasah padang nantun. Lah tajam asah padangnyo - inyo balarilah
ka sinan - lah tibo inyo di sinan - bakato Mahampiang Basi:
"Manjau alah moh ang tibo - lah lamo den manantikan - angok ang nan ka ang
rilahkan - Si Murai agiahkan di ang".
Bakato Si Manjau Ari:
"Kok angok den ka den barikan - kok Si Murai ka dibao - lawan Si Murai daulu".
Lah dituruik di Hampiang Basi - bakato Mahampiang Basi:
"Murai pai kau jo ambo".
Manjawab Si Murai Randin:
"Jan tuan sabuik duo kali - maramang bulu mandangakan".
Bakato Mahampiang Basi:
"Kok indak amuah kau pai - uraklah ameh perak kau - di hari nan sahari nangko -
anggak pai badan mati - amuah pai badan iduik".
Bakato Si Murai Randin:
"Tuan denai Mahampiang Basi - pado ameh den tuan bao - angok den ambiak
daulu - ukan den takabua pado Allah - den nyak mancubo tuan banai. Tuan
tadanga kuek kabal - kito bacubo agak sabanta - mak tau di sakik iduik - mak tau
di angek dingin".
Bakato Mahampiang Basi:
"Murai Randin adiak kanduang - salaruik salamo nangko - balun kato den
bajawab - alun gayuang nan basambuik".
Manjawab Si Murai Randin:
"Kok baitu kato tuan - kato indak bajawab - kok gayuang indak basambuik -
legaran tipak di ambo - di hari nan sahari nangko - ma tuan-tuan sadonyo -
basigap tuan sadonyo". Baitu kato Si Murai.
Bakato Mahampiang Basi:
"Nyak mati nak urang nangko - lieklah di kau padang ambo - padang salaweh
daun pisang - ukan saketek mambunuah urang - elok kok tabuang samiang -
maanju ganjua bak batanam - rancak kok nyak sayo samiang".
Bakato Si Murai Randin:
"Tuan den Mahampiang basi - ganjua suruik bak batanam - gadang kok
palabuak tanah - kuaik kok nyak sayo samiang - namun anak nan surang nangko
- bapantang karam di lauik - bapantang mati di rimbo - antah kok mati tangah
rumah.
Kalau baitu kato tuan - tuan caliak padang ambo - padang jinawi mutuih rantai -
den sintak bakato-kato - den saruangkan marunguih - asam darah kiliran
dagiang - tibo di tulang lamak manih".
Tagak badirinyo Si Murai - gilo mangisai-ngisai abuak - gilo malantiak-lantiak jari.
Lah berang Mahampiang Basi - alah dipakuak anyo lai - dikirokannyo abuaknyo -
abuak nan panjang singan tumik.
Dipakuak sakali lai.
Bakato Si Murai Randin:
"Tuan nambek moh daulu - mak den ikek molah sanggua den".
Sadang mamelok-melok io sanggua - dipakuak sakali lai.
Bakato Si Murai Randin:
"Tuan denai Mahampiang Basi - indak buliah mamintak janji - sadang mamelok-
melok io abuak - mungko tuan pakuak juo - tuan ka pasiak molah inyo - jo sia
tuan bamain - tuan bahantilah daulu".
Lah bangih Mahampiang Basi - kanai kato sadamikian.
Bakato Si Murai Randin:
"Indak elok urang pambangih - urang pambangih ilang aka - urang parabo dalam
kanai - indak elok urang paarok - urang paarok indak buliah - indak elok urang
pancameh - urang pancameh kailangan - sabakan hati daulu".
Dipakuak sakali lai - bakato Si Murai Randin:
"Lah sampai sakapua siriah - ambo mambaleh anyo lai - io bapantun anyo lai -
tuan den Mahampiang Basi - dangakan dek tuan pantun ambo:

“Kok mandi usah di banda,


Di banda rang Ampek Angkek,
Kok mati usah manyasa,
Bamain jo paja ketek.

Dangakan sabuah lai:

Anak siundang-undang dingkek,


Basarang di puncak pauah,
Nan ka diganjua kanai ampek,
Kok ditampuah kanai tujuah"

Dipakuak sakali lai - lah disintakkannyo padangnyo - urang mudo si Murai


Randin - padang jinawi mutuih rantai - disintakkan bakato-kato - disaruangkan
anyo marunguih - asam darah kiliran dagiang - tibo di tulang putuih-putuih
- tibo di urek bak diguntiang - iyo bamain anyo lai - langkah basaluak kiri-kanan.
Tadorong Mahampiang Basi - lah dipakuaknyo di Si Murai - kanai liuak-liuak
pinggang - tibo di ulak-ulak bahu.
Bapantun Si Murai Randin:

"Tuan den Mahampiang Basi,


Tampan to ka laraik anyo lai,
Dibao urang Padang Panjang,
Nak lalu ka Banu Ampu,
Tuan den Mahampiang Basi,
Tampan to ka baiak lai,
Kanai liuak-liuak pinggang,
Tibo di ulak-ulak bau".

Lah mati Mahampiang Basi. Badiri Si Murai Randin - gilo mangipeh-ngipeh


dado. Datang pulo surang lai - banamo Maruntun Manau - gagah nan ukan
alang-alang - kuek nan indak buliah dilawan - nan manganga nan mangangam -
nan manginyam asok badia - baitu bagak rang panyamun.
Bakato Maruntun Manau:
"Manjau marilah ang Manjau - Murai marilah kau Murai".
Bakato Si Manjau Ari:
"Kok nyao den ka den barikan - kok Si Murai ka tuan bao - lawan Si Murai
daulu".
Lah dituruiknyo anyo lai - io di Maruntun Manau - satu tibo padang disintak -
dipakuakannyo padangnyo.
Bakato Si Murai Randin:
"Cameh manai den tu cako - den mambalakang tuan pakuak - io kuek awak tuan
- io tajam padang tuan - tuan nambek moh daulu - nanti den sanggua abuak
den".
Dipakuak sakali lai - dipakuak tinggi nyo marandah - dipakuak randah nyo
maninggi - diam di ambuang-ambuang padang - dirambah indaknyo kanai -
putuih-putuih batang kayu - kanai padang Maruntun Manau.
Bakato Si Murai Randin:
"Io moh kuaik awak tuan - io moh tajam padang tuan - sia li sakuek nangko bana
- jan tuan duduak manyamun - tuan pailah jo ambo - mak den bari kain baju -
mak den bari minun makan - kok amuah tuan den bao - ka pamikua-mikua
nan barek - ka gajah paangkuik abu - ka panumbuak-numbuak jamua - ka ganti
mambali budak".
Lah bangih Maruntun Manau - dipakuak sakali lai.
Bawari Si Murai Randin - lah disintaknyo padangnyo - iolah bamain anyo lai -
sakali barenjeang naiak - sakali baruntun turun - mangabuik cando tangah
padang.
Dek lamo bakalamoan bamain - sasek langkah Maruntun Manau - disipekannyo
di Si Murai - lah kanai Maruntun Manau - bacarai badan jo kapalo - lah mati
Maruntun Manau - anak rangik lari sadonyo.
Bajalan Si Murai Randin:
"Tuan den Si Manjau Ari - payah den ukan alang-alang".
Bakato Si Manjau Ari:
"Adiak barantilah kok payah".
Bakato Si Murai Randin:
"Diamlah kito tak baranti - kito bajalan kini-kini". Io bajalan molah pulo - awak
baduo baransanak.
Bakato Si Murai Randin:
"Tuan ka mano kito pai. Adiak kanduang Si Murai Randin - antah kama kito ka
pai".

Dek lamo lambek di jalan - masuak rimbo kalua rimbo - basuo tu urang
manyamun - banamo Mahayun Bukik - tinggi nan indak buliah lawan - gadang
nan indak buliah samo jonyo - guluang siriahnyo sikua kabau - tampek timbakau
sikua bantiang - mamakan siriah jo ureknyo - mamakan pinang jo tandannyo -
mamakan gambia bak mamaham - iduang sagadang rangkiang - sakali
malansiang ingua - tapakok Muaro Anai - cik mato sagadang mumbang.
Bakato Mahayun Bukik:
"Manjau alah moh ang tibo - lah lamo denai manantikan - Manjau marilah ang
Manjau - Si Manjau anak ka panginang - Si Murai pangasuah paja".
Bakato Si Manjau Ari:
"Jan baitu kato tuan - tuan lah lamo manantikan - den bamakasuik bakeh tuan -
tuan tasabuik urang baranyi - tuan tabilang urang baranyi - sampai ka lauik jo ka
rantau - tuan baranyi janyo urang. Lah banyak rantau nan den tampuah - banyak
panyamun nan den jalang - indak urang balawan jo den - singgan Si Murai lah
abih mati - kinilah kito bacuboan. Nan kok mati ambo di tuan - ambiak io ameh
perak den - bao Si Murai di tuan".
Io bamain anyo lai - bakato sadang bamain:
"Murai Randin adiak kanduang - pacik pitaruah den di adiak - pagang umanaik
taguah-taguah. Jokok malang tibo di kito - nan kok mati badan diri den - awak
den usah kau tangisi".
"Insya Allah baiaklah tuan".
Dek lamo lambeknyo main - lah sabulan duo bulan - lah tigo bulan lamo bamain -
indak bakanaian juo. Lah sampai abu satinggi lutuang - dilunyah Mahayun Bukik.
Lah ka sataun anyo lai - lah patah padang Si Manjau - manangih Si Murai
Randin - ibo di badan ka jauah - dansanak mati dalam rimbo - io manangih anyo
lai.
"Tuan den Mahayun Bukik - usah tuan den dibunuah".
Bapantun sadang manangih:

"Tuan den Si Manjau Ari,


Darajak di tanah taban,
Simantuang di Parik Putuih,
Kama ka manjulai lai,
Bakeh bapijak lah taban,
Bakeh bagantuang lah putuih,
Kama ka manggabia lai".

Bakato Mahayun Bukik:


"Murai marilah kau Murai - Si Manjau lah den bunuah".
Bakato Si Murai Randin:
"Pintak tuan raso ka buliah - kahandak raso ka balaku - ambo mamintak bakeh
tuan - kok ka pai ambo jo tuan - mak den pai mamintak ijin - mak ambo pai
mamintak rila - baitu adat badansanak - baitu adat basudaro - tuan den tingga
dalam rimbo - ambo ka pai jo tuan".
Dek arok Mahayun Bukik:
"Murai pailah kau bajalan - mamintak ijin kau daulu - mak ambo nantikan siko".
Bajalan Si Murai Randin - bakato Si Murai Randin:
"Kanai tipu kanai tepok - kanai umbuak apo ka dayo".
Bakato Si Murai Randin:
"Bak undang-undang urang tuo - tuan denai Mahayun Bukik - lapeh di tangan jan
diarok - di muluik manyih jan picayo.

Salang jo tampuruang den tak mandi,


Kok kunun batimbo tangan,
Salang takuruang den tak mati,
Kok kunun den tangah jalan".

Bajalan juo si Murai - didapekinyo Si Manjau - Si Manjau sadang manangih -


manangih dalam rimbo.
Bakato Si Murai randin:
"Jan tuan manangih juo - dangakan bana kato ambo,

Ribuik jan pandareh amek,


Palapah kok itam-itam,
Iduik jan pacameh amek,
Ayam patah kok lai manikam.

Kok patah padang saalai - ko rencong lah den bao - rencong Aceh buatan
Makah - sataun lamo dalam api - samusin lamo manyapuahnyo - duo baleh
tukang manitiak - duo puluah tukang manyapuah - ratak manuruik panjuik
panjang - sataun Bugih balaia - jajak ditikam mati juo. Rencong Aceh rencong
batuah - rencong Aceh rencong babiso - biso nan indak katawaran".
Ditariak rencong dek Si Manjau - bakato Si Manjau Ari:
"Mahayun jo den di ang - io kito main sakali lai - alun lapeh uweh-uweh den -
alun lai sanang hati den".
Iolah main anyo lai - dek lamo lambek nyo main - lah satumpuak rimbo nan alah
- dilunyah Mahayun Bukik.
Lah lamo pulonyo main - dek indak bakanaian juo - bakato rencong Si Manjau:
"Tuan den Manjau Ari - lapehkan ambo di tuan - mak den bunuah Mahayun
Bukik".
Bakato Si Manjau Ari:
"Mahayun jo den di ang - io dek hari nan sahari ko - hukun sampai aja ang sudah
- rencong den bakato jantan".
Dilapehkannyo rencongnyo - inyo mandoncek inyo mandoncang - ilang aka
Mahayun Bukik - dipakuak di Mahayun Bukik - basitungkiknyo ka pungguang.
Bapantun Si Murai Randin:

"Karanjang gadang di pulau,


Bakeh urang bajua itiak,
Kok gadang kununlah tungau,
Rencong di pungguang basitunggik".

Lah masuak ka dalam badan - lah paniang Mahayun Bukik. Dek lamo
bakalamoan - lah rusuah Mahayun Bukik.
Bakato Si Murai Randin:

"Anak rang di Hampang Gadang,


Nak lalu ka Koto Tuo,
Lah mati nan gadang panjang,
Lah dilabuaknyo rimbo rayo.

Anak rang di Koto Gadang,


Lalu ka pakan Simabua,
Lah mati nan gadang panjang,
Darahlah bagabua-gabua".
Manangih Si Murai Randin:
"Tuan denai Mahayun Bukik - ba a den tuan jadikan - kato tuan ka tuan bao".
Bakato Si Manjau Ari:
"Murai Randin adiak kanduang - ka pasiak molah kau adiak - urang mati nan kau
tangihi - Murai marilah kau Murai".

Lapeh di padang panyamunan - dek lamo lambek di jalan - bakato Si Murai


Randin:
"Kito barantilah daulu".
Io baranti anyo lai.
Bakato Si Manjau Ari:
"Adiak kanduang Si Murai Randin - den ka lalok di siko - indak tatangguang
kantuak den - indak tatahan do lai.
Murai Randin adiak kanduang - mak den lalok agak sabanta - kok lalok ambo
baiko - pacik pitaruah den adiak,

Tinggi maligai Rajo Batak,


Puti bagerai di halaman,
Pagang pitaruah banyak-banyak,
Sungguah bacarai lupo jaan.

Kok talalok ambo baiko - rencong den jan adiak sintak - nan kok disintak rencong
nantun - umua kau pendek Murai Randin".
Dek lamo bakalamoan - lah lalok Si Manjau Ari. Dek lamo lambeknyo lalok -
kalusuak sunu Si Murai - sakik kama mamintak ubek - damam di sia dikatokan -
ka dijagokan dansanak - awaklah malu manjagokan.
Dapeklah pinang sabuah - lah dikubak molah pinang - pinanglah sudah takubak
– ka dibalah anyolai - dibalahnyo molah jo sakin - patah patigo sakinnyo. Sakik
bak raso ka barubah - lah disintaknyolah rencong - digatokkannyo ka pinang -
pinang tagatok tangan luko - darah lah mamanjuik-manjuik. Dek sakik batambah
sakik - manangih Si Murai Randin - manangih manggaruang panjang:
"Tuan den Si Manjau Ari - tuan den jagolah tidua - ba a talalokan lalok".
Ka dijagokan ransanak - awak lah malu manjagokan.
Bakato Si Murai Randin:

"Anak rang di Simarasok,


Nak lalu ka ujuang Guguak,
Salamo nangko moh lalok,
Kuruihlah badan ka gapuak".

Kalusuak sunua Si Murai - muko nan murap lah muram - abuak nan panjang lah
kusuik - dek lamo bakalamoan - lah payah Si Murai Randin - paluah lah
bacaricikan - batangkuik bumi jo langik - lah kalam-kalam nan tarang - angok
bacarai jo badan - lah mati Si Murai Randin.
Lah jago Si Manjau Ari - diliek adiak lah mati - manggaruang panjang anyo lai
- awak baduo tingga surang.
"Murai Randin adiak kanduang - jo sia ambo ditinggakan - di ia ambo
dipataruahkan".
Manangih manggaruang panjang:
"Rang baiak salendang dunie - rang kayo suko dimakan - mati indak ka bakubua
- mati ka disanda tabiang - mati ka diureh ambun. Sabuah nan den ibokan -
jariah indak ka badaso - kok tumbuah ka mamandikan - den kusuak sia
manyanda - den sanda sia mandiruih - awak baduo tingga surang. Adiak kok
mati tangah rumah - alangkah sanang ati ambo".
Lah disandanyo jo alutuang - tangan nan kida mamacik - tangan nan suok
manggusuak - io lah sudah dimandikannyo - lah lakek kain jo baju - lah lakek
ameh jo perak - lakeklah intan sadonyo. Diliek sarupo iduik - disapo indak
babunyi - manangih Si Manjau Ari - malacuik-lacuikan badan - manangih
maampehkan tubuah:

"Adiak mandi ambo manyauak,


Nak samo babasah-basah,
Di lubuak rang Koto Tuo,
Adiak mati ambo mangamuak,
Nak samo bakalang tanah,
Sakubua kito baduo,
Mak samo lapuak dalam rimbo".

Lah disintaknyo tu sewanyo - dilantakannyo ka dadonyo - usah ka ratak ritai


indak - siwanyo patah patigo.
Dek lamo bakalamoan - disandakannyo adiaknyo:
"Murai Randin adiak kanduang - adiak tinggalah di siko - tingga jo ameh jo perak
- tingga jo alaik jo pakaian".
Adiak nan sadang bapakaian - ditinggakan di dalam rimbo.

"Pucuak linggalah-linggalah,
Pucuak jawi-jawi mudo,
Adiak tinggalah-tinggalah,
Isuak den babaliak pulo".

Io bajalan anyo lai - lah sabanta inyo bajalan - mamakiak Si Murai Randin:
"Tuan babaliak moh daulu - jo sia den tuan tinggakan".
Maingo Si Manjau suruik - tingaran adiak maimbau – balari-lari nyo babaliak -
didapekinyo adiaknyo - ruponyo baitu juo.
Sapueh-pueh manangih - bajalan pulo Si Manjau - mamakiak pulo Si Murai
Randin - babaliak suruik Si Manjau - didapeki adiaknyo rupo nan baitu juo -
bagulik-gulik inyo manangih.
Dek untuang takadia Allah - turun suaro dari langik - bakato suaro dari langik:
"Manjau Ari anak kanduang - usah ang pasiak di Si Murai - usah ang dalang di Si
Murai - pitaruahkan di ang Si Murai - mungkonyo buliah ditinggakan.
Pitaruahkan di ang ka kayu - pitaruahkan di ang di rimbo - pitaruah sadang
badanga".
Lah jatuah surek sapucuak - heran Si Manjau sakatiko - mamikia-mikia io surek -
tidaklah tantu bagunonyo.
Bakato suaro ateh langik:
"Jan waang duduak tapakua - surek nangko gadang gunonyo - indak buliah
dibaco kini - lah ado anak ang kudian - buliah ang baco surek nantun".
Mancaliak Si Manjau Ari - diingo ka kida indak - diingo ka suok indak - suaro
samiang nan tingaran - tubuah nan indak kaliatan.
Lah diparuahkannyo adiaknyo:
"Rimbo pacik pitaruah den - adiak den den pitaruahkan - kok ratak retai adiak
den - kok luak lambang isuak - den panggang rimbo nangko. Kayu nan bapucuak
sirah - pacik pitaruah den di kayu - adiak den kok luak lambang isuak - den
tabang kayu nangko".
Lah sudah dipitaruahkan - bajalan Si Manjau Ari - indaknyo baimbau lai -
tingga jo ameh jo perak - tingga jo intan jo podi - langkok jo payuang nan
sabatang - bajalan panjang anyolai.
Dek jauah garan bajalan - awak bajalan surang diri - manangih sapanjang jalan -
baru takana di adiak - duduak manangihlah Si Manjau.

Lah sabulan pajalanan - kawan indak kaum pun indak - bajalan baibo hati -
basuo jo batang aia - batang aia duo basimpang. Sasimpang aianyo janiah -
sasimpang karuah-karuah karak. Ragulah hati Si Manjau - nan ma koh nan ka
dituruik. Kok den turuikan nan karuah ko - ado binatang di hulunyo. Kok den
turuikan nan janiah ko - ado manusie di hulunyo - dituruikan molah nan janiah.
Dek lamo lambek di jalan - lah sabulan pajalanan - tingaran dinyo bunyi murai.
Inyo bakato anyo lai:

"Ado pulau adolah bakuang,


Ado bakuang di ateh dulang,
Ado murai adolah kampuang,
Kampuang tu barisi urang".
Nyo tapasah ka kampuang urang - basuo jirek sabuah - indah jirek ukan
kapalang - rancak nan ukan alang-alang - batirai balangik-langik - ukia batatah
aia ameh.
Bakato Si Manjau Ari:
"Rajo di ma koh nan mati - sunan di ma koh nan mati - satangah hati nak
manampuah - ka ditampuah badan lah takuik".
Bakato nak rang gubalo:
"Tuan jo den di tuan - jan lamo-lamo tagak di sinan - jirek urang jirek larangan -
indak buliah ditampuah urang - nan punyo Puti Kasumbo - orang baduo
badunsanak - nan tuo Puti Kasumbo - nan ketek Si Puti Bunsu.
Kununlah Puti Nan Bungsu - lakinyo urang bunian. Kok ditampuah jirek nangko -
nan kok hati-hati samiang - kok sia masuak ka sinan - kok mati indak
mambangun".
Dek lamo bakalamoan - bakato Si Manjau Ari:
"Den tampuah juolah jirek ko - janji ka mati mati juo".
Lah sampai pulo ka dalam - nampak dek nyo bunyi-bunyian - langkok saluang
dangan rabab - langkok bansi dangan sarunai - langkok gandang jo kacapi. Inyo
barabab anyo lai - pueh barabab bakucapi.

Hari nan sadang tangah ari - dibunyikan pulo saluang - adang-adang


didangakan bak bunyi ateh langik - adang-adang di awang-awang - turun
pitunang Nabi Daud.
Mandanga Puti Kasumbo - lalu bakato anyo lai:
"Kambang adiak kanduang,

Sadang pangapan hari kini,


Matoari tainyok-inyok,
Dipangakan den kini,
Darah den tasirok-sirok.
Kambang di ma rang basaluang - bak bunyi di bubun-bubun - bak bunyi di onak
banak - oh Kambang silau juo ka jirek".
Bajalan si Kambang Manih - lah tibo pulo di jirek - hati cameh bacampua arok -
caliak sakileh-sakileh - antah lai tantu antah indak - urang disangkonyo tuannyo.
Alah balari inyo pulang - angok-angoki tibo di rumah.
Bakato Mandeh Rubiah:
"Mandeh kanduang Puti Kasumbo - mandeh kanduang si Puti Bunsu - Kambang
io anak kanduang den - ba a mungko kau balari - a nan bana nan kau takuikan -
a nan lah basuo di kau".
Manjawab Si Kambang Manih:
"Mungko ambo balari-lari - awak den pai ka jirek - basuo ambo jo urang - rupo
bak rupo tuan den - saketek-ketek indak balain - gadang keteknyo samo
samiang - ambuih saluangnyo baitu juo".
Bakato Mandeh Rubiah:
"Ka bohong molah kau Kambang - ka duto molah kau Kambang - di ma rang
mati ka iduik".
Manjawab Si Kambang Manih:
"Mandeh tak picayo di den - cubolah silau di Mandeh".
Bakato Mandeh Rubiah:
"Jan ambo pai manyilau - awak kau juolah pai - baolah nasi jo kupi - baolah
pinang jo timbakau".
Disanduak nasi dek Si Kambang - dibao kupi jo kendi - sadang di dalam kendi
perak - io bajalan anyo lai. Dek lamo lambek di jalan - lah tibo pulo di jirek -
bakato Si Kambang Manih:
"Tuan kaciak junjuangan ambo - jan tuan basaluang juo - tuan makanlah ko
nasi".
Usah li nyo ka manyauik - mancaliak samiang inyo indak. Lah tigo kali ditanyoi -
indaknyo mancaliak juo. Io taibo hati Si Kambang - urang disapo tak babunyi -
urang diimbau tak manyauik - inyo manangih anyo lai - badan tak tau
diuntuangnyo - inyo babaliak molah pulang.
Lah tibo pulo di rumah - bakato Mandeh Rubiah:
"A sababnyo kau manangih - nasi dibao tak bamakan - aia dibao tak baminun".
Manjawab Si Kambang Manih:
"Indak kato den nan dareh - indak muluik den nan sasek - den sambah den
sujuik banai - den mamintak ampun banyak-banyak - tatkalo kato den katokan -
lah sampai ambo bakato - tigo kali ambo tanyoi - urang tu indak manjawab. Dek
ambo lah malu pulo - mungko ambo babaliak pulang. Dek itu nasi tak bamakan -
dek itu aia tak baminun".
Bakato Mandeh Rubiah:
"Bialah denai mak ka sinan - mak ambo mambao nasi - mak ambo mambao kupi.
Kok sampai ambo bajalan - kok batanyo Puti Kasumbo - katokan ambo ka aia.
Kok batanyo Si Puti Bunsu - katokan ambo ka jamua".
Bajalan Mandeh Rubiah - dek lamo lambek di jalan - lah tibo pulo di jirek -
saluang babunyi didapeki - dek arok Mandeh Rubiah - io disangko anak
kanduang - dek roman indak balain - dek gadang sarupo samiang - io disangko
anak awak.
"Anak den rang mudo nangko - jan rintang di saluang juo - makanlah nasi ambo
bao - minunlah kupi ambo bao".
Manjawab Si Manjau Ari:
"Ka pasiak molah mandeh den - urang buruak dibari nasi - urang buruak dibari
aia".
Manjawab Mandeh Rubiah:
"Mungko ambo uluai nasi - mungko ambo uluai kupi - anak ambo nan mati
nangko - bak roman rang mudo bana - tadayuah samiang hati ambo".
Minun makan Si Manjau Ari - makannyo nan tigo suok - kaampek mambasuah
tangan.
Lah sudah makan jo minun - bakato Mandeh Rubiah:
"Bari luruih ambo batanyo - sialah bapak rang mudo ko - sialah mandeh rang
mudo".
Manjawab Si Manjau Ari:
"Nan kok itu mandeh tanyokan - ba a janyo den manyabuiknyo".
Bakato Mandeh Rubiah:
"Namo Allah disabuik urang - kunun pulo namo ibu bapak".
Disabuiknyo ibu bapaknyo:
"Bapak ambo Datuak Bandaharo - mandeh den Puti Linduang Bulan".
Bakato Mandeh Rubiah:
"Cameh jauah moh anak den - cameh moh ilang anak den - li sasek ka
kampuang induak - balahan denai juonyo - sadang jo Puti Linduang Bulan.
Mungko indak jalang manjalang - kami tingga bajauahan - jo sia bana barangak
anak kanduang - Manjau Ari sia mamarahi anak".
Manjawab Si Manjau Ari:
"Salah indak doso pun indak - silang indak salisiah indak - kaberangan den indak
pulo. Mungko ambo sampai ka mari - awak ambo gubalo kudo - kudo dibali
bapak ambo. Kudo den lari masuak rimbo - kudo den indak dapek lai - ambo pun
indak pulang pulo - takuik ambo ka kaberangan".
Bakato Mandeh Rubiah:
"Jan lamo kito di siko - mailah kito ka kampuang - jokok lai sampai hati anak -
maliek rumah buruak ambo".
Bakato Si Manjau Ari:
"Ka pai ambo jo mandeh - ikolah rupo jinih badan - malu den di urang
kampuang".
Manjawab Mandeh Rubiah:
"Kain jo baju jan dirusuahkan - pusako mamakai a li - itu pakai di anak
kanduang".
Dek indak buliah batangguah - lalulah pai anyo lai - ka rumah Mandeh
Rubiah. Lah tibo pulo di rumah - duduak di dakek parian.
Bakato Mandeh Rubiah:
"Manga anak duduak di sanan - anak kanduang kamarilah duduak".
Manjawab Si Manjau Ari:
"Indak den panah duduak sinan - indak asa den duduak sinan”.
Bakato Mandeh Rubiah:
"Kambang naiak kau ka ateh anjuang - suruah turun aciak kau Puti Kasumbo -
suruah ganti kain bajunyo - katokan ambo maimbau".
Naiaklah Si Kambang ka ateh anjuang - lalu bakato anyo lai:
"Aciak kanduang Puti Kasumbo - bakain babaju aciak - mande ambo maimbau
aciak - aciak turun kini-kini".
Tagak marentak anyo lai - sumirok darah di dado - inyo mamakai anyo lai - lakek
pakaian sadonyo. Lah turun di ateh anjuang - lah tibo pulo tangah rumah -
manangkuik ka ribaan mandeh.
Bakato sadang manakua:
"Ampunlah ambo mandeh kanduang - a titah ka ambo junjuang".
Bakato Mandeh Rubiah:
"Anak kanduang Puti Kasumbo - japuik di kau urang nantun - bao naiak ka ateh
anjuang".
Bajalan Puti Kasumbo - bajalan kadakek pintu - mancaliak Si Manjau Ari.
Bakato Puti Kasumbo:
"Ka den padatuak urang nangko - urang ko indak patuik datuak - ka den patuan
urang nangko - indak patuik ka tuan ambo - ka den paangku urang nangko -
alun patuik den paangku - ba a janyo den ka manyabuik".
Bakato Puti Kasumbo:
"Tuan Datuak Mudo Manjau Ari - toh kito duduak ka ateh anjuang".
Manjawab Si Manjau Ari:
"Jan li ambo naiak ka anjuang - indak asa den duduak sinan - asa den duduak
siko - sajak di inyiak di mamak den".
Bakato Puti Kasumbo:
"Jan tuan bagarah-garah - jokok den caliak rasan mato - jokok den awai rasan
tangan - mai kito ka ateh anjuang".
Iolah naiak ka ateh anjuang - sadang dalam kulambu ambun - mamakai si
Manjau Ari - sarawa panjang batakat - maratuih intan di kaki - babaju panjang
hijau - kileknyo bak cando paneh - linduang bak cando laia - badeta palangai
hijau - tiok suduik tiok piganta - tiok jorong tiok ikamat - di tangah sipalik gilo -
panggilokan urang nan banyak. Dek lamo bakalamoan - lah lakek kain jo baju.
Dek pueh balulak luli - hari basarang patang juo - patang bajawek dangan
sanjo - sanjo bajawek jo malam.
Lah turun di ateh anjuang - dibakar telong kiri kanan - siang ruponyo rumah
gadang - lah duduak Si Manjau Ari. Sadang duduak di ateh kasua gadang - nasi
disanduak di Si Kambang - idangan alah talatak.
Dek nasi alah talatak - bakato Si Manjau Ari:

"Padi ranik jo padi jintan,


Padi ketek rimbun daun,
Dibao rang Padang Panjang,
Nasi disanduak ka pinggan,
Jo sia ambo makan sadaun,
Ambo bapantang makan surang".

Manjawab Si Kambang Manih:


"Padi ranik jo padi jintan,
Padi ketek rimbun daun,
Dibao urang Koto Tuo,
Nasi den sanduak ka pinggan,
Jo sia tuan ka sadaun,
Jo aciak Puti Kasumbo".

Iolah duduak kaduonyo - duduak batantang-tantangan - surang bulan surang


matoari - samo cadiak kaduonyo - iolah makan anyo lai.
Kok talengah Si Manjau Ari - mancaliak Puti Kasumbo - kok talengah Puti
Kasumbo - mancaliak Si Manjau Ari - surang takaca di lapiak - surang takaca di
kalingkiang. Sudah makan sudah minun - pinggan diambiak di Si Kambang.
Di malam nan samalam nantun - sakalok indak di tiduakan - duo kali ayam
bakukuak - cukuik katigo hari siang.

Lah sahari duo hari - digua tabuah larangan - manyauik tabuah suok kida -
lah datang urang sadonyo - ka rumah Mandeh Rubiah. Bakato molah cadiak
pandai:
"Ampunlah kami mandeh kanduang - a sabab tabuah bagua - di ma ranjau nan
batundo - di ma parang nan badiri - di ma Pangulu buliah malu".
Manjawab Mandeh Rubiah:
"Kok itu nan ditarangi - indaklah ado nan bak kian. Mungko tabuah ko den gua -
ambo kadatangan urang - niek mukasuik di hati - kito mamancang galanggang -
galanggang mancari judu - galanggang Puti Kasumbo. Mak kito basuko-suko -
mak kito bagalak-galak - kato sapatah batarimo - kato sabuah badangakan".
"Kok baitu titah mande - kok bajariah kami amuah - takuklah hari katikonyo".
Manjawab Mandeh Rubiah:
"Bari janji ambo daulu - tigo hari ambo bajanji".
Di hari nan tigo hari - saketek indak diantikan - janjian sampai tigo hari. Rang
banyak hasia sadonyo - mambao pakaian surang-surang - mambao ameh
dangan perak.
Galanggang badiri sahari tu - rami sabuang ukan kapalang - bulu ayam
batundo-tundo - darah ayam sapantun sungai.
Ditiliak pado taruah ayam - indak urang babilang puluah - urang babilang ratuih
ribu.
Alah sahari duo hari - sampailah janji tujuah hari - itupun kawin anyo lai.
Baralah anak puti-puti - baralah anak rando gadih - anak mudo banyak sakali -
bacogak anak sutan-sutan - baralah anak rajo-rajo - anak baiak dalam nagari.
Di malam nan samalam nantun - raso ka runtuah rumah gadang - banyaklah
ragam pamainan - rajo-rajo bamain catua - sutan-sutan bamain kudo - urang
Kaliang bamain api - urang Bugih basipak rago - banyaklah ragam pamainan - di
malam nan samalam nantun.
Teradok kadhi dangan wali - banyaklah Mualim jo Tuanku - badiri sasi nan
barampek - iolah kawin anyo lai - duduak satandiang Puti Kasumbo - duduak Si
Manjau Ari.
Ditiliak pado pakaian - pakaian Puti Kasumbo - aragonyo indak tainggoi - arago
satimbang jo nagari - intan jo podi bakilekan - Si Manjau baitu pulo.
Di malam nan samalam nantun - sakalok indak ditiduakan - duo kali ayam
bakukuak - cukuik katigo hari siang.
Dek lamo bakalamoan - lah sabulan duo bulan - sabuang lah usai anyolai -
bakato Puti Nan Bunsu:
"Kak uwai Puti Kasumbo - indak patuik kakak baitu - indak ambo dibari tau -
karajo baiak nan dikajakan - alah moh sampai mukasuik kakak".
Manangih Puti Nan Bunsu.
Bakato Si Manjau Ari:
"Adiak kanduang Puti Nan Bunsu - jan adiak manangih juo - mari kito sajamba
makan - mari kito satandiang duduak - makan batigo baradiak - sadang di ateh
anjuang tinggi".
Sudah makan sudah minum - inyo babaliak katampeknyo.

Dek lamo bakalamoan - lah sampai saukua sajangkonyo - dalam tian Puti
Nan Bunsu.
Alah sahari duo hari - urang baduo badunsanak - dalam tian kaduonyo. Lah
sabulan duo bulan - lah sampai sabilangannyo - lahialah anak Puti Bungsu -
iolah anak laki-laki - tibo di rasuak rasuak putuih - tibo di batu batu pacah - sahari
ado sahari bakato.
Bakato Puti Nan Bunsu:
"Tuan jo den io di tuan - anak ambo lahia ka dunie - sia ka namo anak kito".
Manjawab Si Manjau Ari:
"Namonyo jan kau rusuahkan - namo lah sudah daulunyo - namonyo dapek
dalam surek - namo nan datang dari langik - iolah datang di bapaknyo".
Lah disingkok molah surek - banamo Rangin Pamenan.
Lah sahari duo hari - lahia anak Puti Kasumbo - bakato Puti Kasumbo:
"Tuan den Si Manjau Ari - sia ka namo anak kito".
Manjawab Si Manjau Ari:
"Namo lah sudah daulunyo - namonyo dapek dalam surek - namonyo Si Rajo
Nyaya".
Lah sabulan duo bulan - bakato Si Manjau Ari:
"Anak kanduang Rangin Pamenan - anak kanduang Si Rajo Nyaya - mak den
ayun den buaikan. O buai-buai o buai - lalok lah lalok".
Io manangih sadang itu - takiro hati di nan jauah - mandiri rupo si Murai:
"Anak kanduang lakehlah gadang - kok li malu den ka tapupuih - kok li utang den
ka tabaia".
Lah gadang anak kaduanyo - gadang bak diamba-amba - gadang lah bakalaka -
cadiak alah babicaro.
Bakato Si Manjau Ari:
"Anak kanduang Rangin Pamenan - anak kanduang Si Rajo Nyaya - kito pai
bajalan-jalan - mari kito pai ka pakan - nyak tau urang di awak - awak nak tau di
urang - mak tau di dusun urang - mak tau di adat-adat".
Mamintak pitih duo puluah real - sadang kabakeh Puti Bunsu - balari Rangin
Pamenen:
"Amai mandeh kanduang ambo - bari den pitih di mandeh - duo puluah real
banyaknyo - ka balanjo ambo ka pakan".
Dek kasiah si anak kanduang - apo kandaknyo dibarikan - pintaknyo dipalakukan
- dibarikan duo puluah real.
Io bajalan anyo lai - bajalan batigo baranak - lah tibo pulo di pakan - urang lah
basusuak rami - rami orang batumpak-tumpak. Bajalan-jalan Si Manjau Ari -
masuak jerong kalua jerong - lalu ka jerong rang basadah.
Tasuo mandeh bapaknyo - tasuo pulo mamaknyo. Apaknyo bajua sadah -
mandehnyo bajua sadah - mamaknyo bajua paku - hibolah hati mamandangi.
Bakato Si Manjau Ari:
"Anak kanduang Rangin Pamenan - sadah urang tu lah".
Diambuangnyo sadah urang tu.
Manangih bapak si Manjau - kamalah awak ka mangadu - jo ia ka dikatokan.
Bakato Si Manjau Ari:
"Mandeh ba a ko sadah mandeh - sia lah mambuangkan".
Bakato molah bapaknyo:
"Anak ketek nan mambuangkan - antah anak-anak sia".
Bakato Si Manjau Ari:
"Ambo nan punyo anak - tu anak den sadang nyanyang-nyanyang. Mak den
ganti sadah angku - mak den ganti sadah mandeh - den ganti duo puluah real".
Dibaiakan real duo puluah.
Bakato Si Manjau Ari:
"Anak kanduang marilah pulang - tarago paneh alun garang - tarago ari alun
tinggi".
Io babaliak anyo lai.
Bakato Rangin Pamenan:
"Kito barantilah daulu - payah den ukan alang-alang".
Alah baranti anyo lai.
Bakato Rangin Pamenan:
"Ambo manarang bakeh bapak - ambo batanyo elok-elok - takalo kito ka pakan -
apak suruah mintak pitih - banyaknyo duo puluah real - buliah pitih nan sakitulah
- pai kito ka pakan.
Lah tibo pulo di pakan - lah bajalan-jalan pulo. Basuo urang basadah - apak
suruah den mambuangkan - lah sampai denai buangkan. Kudian bapak ganti
samiang - itu maraso di hati den. Ka a di bapak urang nantun - ataukah aluran
mandeh - ataukah aluran bapak".
Bakato Si Manjau Ari:
"Anak kanduang Rangin Pamenan - hibo ambo di urang nantun - hibo ambo di
urang bansaik - dek ambo marasai bansaik.
Bapak jo mandeh den tingga - lah sabansaik urang cako".
Bakato Rangin Pamenan:

"Dibunyikan bana di gantang,


Di pariuak sudahlah sasak,
Dibunyikan bana di urang,
Allah Ta'ala lah manampak".

Io bajalan anyo lai - lah tibo pulo di rumah.


Agak sahari duo hari - agak sapakan duo pakan - lah duo bulan lamo di
rumah - bakato Rangin Pamenan:
"Bapak jo denai di bapak - indak bapak bahati rusuah - salaruik salamo nangko -
ba a talamakan makan - ba a talamakan tidua - hati bak hati palapah - mandeh
den dimalah kini - mandeh den Si Murai Randin - dimalah bapak tinggakan".
Manangih Si Manjau Ari - mandanga kato anak kanduang.
"Anak kanduang Rangin Pamenan - nan indak ang katokan - awak den indak
badansanak".
"Mambunyi bapak di ambo,

Pucuak sijali sijalinteh,


Pucuak si jawi-jawi mudo,
Di langik bapak malinteh,
Ambo di baliak itu pulo.

Tahu ambo di mandeh ambo - io mati dalam rimbo. Indak nyo mati dek panyakik
- io mati dek sabab - mati tasaik kanai rencong.
Tatkalo mandeh ka mati - ambo nan tau daulunyo - dari mati sampai ka tingga -
ambo nan tau daulu - basanda di kayu gadang - langkok jo alaik pakaian -
langkok jo payuang nan sakaki".
Manangih Rangin Pamenan:
"Tatkalo mandeh ka mati - bapak lalok maso itu".
Bakato Rangin Pamenan:
"Adiak kanduang Rajo Nyaya - apo pikiran adiak kanduang - mandeh kito mati di
rimbo".
Manjawab Si Rajo Nyaya:
"Kok itu tuan tanyokan - pulang pikiran bakeh tuan - tuan nan tahu nan pandai -
bajalan tuan den turuikan".
"Kok baitu kato adiak - kito japuik mandeh kito".
Manangih Rangin Pamenan:
"Malu ka tumbuah di awak - cacek ka datang kudian".
Bakato Puti Nan Bunsu:
"Anak kanduang Rangin Pamenan - a banai nan ang tangihkan - ameh perak
banyak di kito - buliah ang basuko hati".
Manjawab Rangin Pamenan:

"Tak alu saalu nangko,


Alu tatumbuak di tabiang,
Tabiang Rajo Koto Tuo,
Tak malu samalu nangko,
Malu tatumbuak di kaniang,
Mandeh ambo mati di rimbo.

Adiak kanduang Si Rajo Nyaya - turuikan ambo di adiak".

Bajalan Rangin Pamenan - balari-lari Puti Nan Bunsu - dipacikannyo


anaknyo. Diimbau indak taimbau - dilarang indak talarang - jadi bajalanlah
sadonyo - pai balimo baranak.
Dek lamo lambek di jalan - bakato Rangin Pamenan:
"Kok nyak manyalo kayo Allah - tarantang jalan ka dituruik - nan sabulan
parjalanan - ampek hari kito lah tibo".
Lah tampak dinyo kayu nantun - nan bapucuak siriah - bakato Si Manjau Ari:
"Anak kanduang kudian kitia-kitia - nak ambo daulu kiun - mak den silaulah daulu
- antah lai antah indak - antah busuak manjadi tanah - antah caia manjadi
ambun".
Lah bajalan Si Manjau Ari - didapekinyo adiaknyo - adiaknyo baitu juo -
tasanda di kayu gadang - usah ka ratak retai tido - usah ka luak lambang tido -
payuangnyo takambang juo. Disingkokannyo mukonyo - jangan ka ratak retai -
ruponyo basarang elok - romannyo basarang labiah.
Manangih Si Manjau Ari:
"Murai Randin adiak kanduang - Murai jago molah tidua - anak kau datang
manjapuik - kakak kau datang ka mari".
Manangih bagolek-golek.
Balari Rangin Pamenan:
"Bapak jo denai di bapak - ka pasiak molah bapak ko - urang mati nan ditangisi -
bajalan bapak ka sinan - mak den bapacah jo mandeh den - indak baitu rang
bapacah".
Lah bajalan pulo bapaknyo.
"Adiak kanduang Si Rajo Nyaya - kok nan dicari lah basuo - diimbau indak
babunyi - apokoh pikia adiak kanduang - ikolah cinto jinih badan".
Manangih Si Rajo Nyaya:
"Kan lah lamo ambo katokan - ambo nan indak tau-tau - ambo nan indak pandai
- lai pulang pikiran bakeh tuan".
"Kok baitu kato adiak - carilah di adiak api - mak den baka kumanyan - kito saru
burak nan gadang".
Ditukiak api ateh batu - lah diiduikinyo api - mandulang asok kumanyan - asok
nan sampai ka ateh langik - lah disaru buruang burak - jo asok kumanyan
nantun.
Lah turun burak nan gadang - buruang burak buruang rambaian - bulu batulih aia
ameh - kapak baturap aso-aso - paruah nan ameh sandirinyo - mandanciang
danciangkan paruh - mandakuak-dakuakan kuku - bak bunyi pupuik dan sarunai
- bak bunyi talempong rajo jao - iolah tibo ateh dunie.
Bakato Rangin Pamenan:
"Tuan den Si Buruang Burak - dangakan bana den katokan. Mandeh den mati di
rimbo - pintak iduik io mandeh ambo. Indak mandeh den di iduik - inyo dimakan
kutuak kalam Allah - dimakan kutuak Quran. Kok tabang bana ka langik -
ditangkok garudo pido - dipupuik sihalimbubu - makan abih minun tuhua".
"Kok baitu pintak adiak - ka maiduik io ambo indak".
Ditinggakannyo aia mawal - dibarinyo lidi tujuah alai - inyo pun tabang anyo
lai - tabang mambubuang ka ateh langik.
Bakato Rangin Pamenan:

"Bintang tarang jo Bintang Timua,


Bintang anak rang Rao-Rao,
Mandeh kanduang jagolah tidua,
Iko minyak ubuangan nyao".

Dititiakannyo ka arang - maangok Si Murai Randin:

"Bintang tarang jo Bintang Timua,


Bintang nan dari Rao-Rao,
Mandeh jago molah tidua,
Iko minyak ubuangan nyao".

Dibaruikannyo ka pinggang - dilacuikan pulo jo lidi - lah duduak Si Murai Randin.


Dititiakannyo ka lidah - bakato Si Murai Randin:
"Anak bincacak bincacau - anak ngiang-ngiang rimbo - awak lalok dijagokannyo".
Bakato Rangin Pamenan:
"Ka pasiak molah ko mandeh - ba a dikiro badan lalok - bamusin-musin mandeh
mati".
Lah tagak Si Murai Randin - balari Puti Nan Bunsu:
"Di siko moh kau adiak den - adiak kanduang Si Murai Randin - baibu pulo di
sinan".
Bakato Puti Nan Bunsu:
"Adiak kanduang marilah pulang".
Manangih Puti Bunsu - mangana badan Si Murai. Lah dibao molah pulang -
awak balimo lah baranam. Rang mudo Si Murai Randin - dek kasiah sayang di
anak - satapak indak dicaraikan.

Dek lamo lambek di jalan - bakato Si Murai Randin:


"Tuan jo den di tuan - dangakan bana den katokan,

Balari-lari ka gaduang,
Ka rumah ulando tuo,
Den silau di dalam tanuang,
Bansaiklah cando mandeh kito".

Bakato Si Manjau Ari:


"Urang bansaik karano dinyo - urang misikin karano dinyo - untuang kito antah
bak mano. Dimalah urang ka bansaik - ameh perak li banyak dinyo".
Dek lamo lambek di jalan - tibo di rumah Mandeh Rubiah - naiak ka rumah anyo
lai - duduak di ateh kasua gadang. Lamolah pulo duduak-duduak - tahanta nasi
jo kupi - lah minun makannyo Si Murai - makan batigo jo anak. Sudah makan
sudah minun - lalu ka ateh anjuang perak.
Lah lamo maso di sinan - bakato Puti Nan Bunsu:
"Adiak kanduang Si Murai Randin - adiak dangakan kato ambo - salaruik salamo
nangko - mak den uluakanlah kau pulang - den liek kampuang halaman kau -
mak den silau janjang tanggo kau - jauah hampia pun kito jalang - adat baipa
babisan".
Manangih Si Murai Randin:
"Den tak bakampuang bahalaman - indak bajanjang batanggo - janjang tanggo
den dalam rimbo - kama den ka diuluakan".
Manangih Puti Nan Bunsu:
"Kok baitu kato adiak - ka buliah pintak ambo - indak patuik adiak baitu - salamo
buruak lai ka elok".
Bakato Puti Nan Bunsu:
"Anak kanduang Rangin Pamenan - cubolah pintak di anak - lah pueh ambo
manipu".
Manjawab Rangin Pamenan:
"Insya Allah jadilah amai".
Bakato Rangin Pamenan:
"Mandeh kanduang Si Murai Randin - mamintak ambo bakeh mandeh - salaruik
salamo iko - indak mandeh kanduang mangana - indak maingek bapak lai - mak
den uluakan mandeh pulang - mak den liek kampuang mandeh - baitu adat
urang bamandeh - jauah hampiangnyo ambo jalang".
Manjawab Si Murai Randin:
"Kok baitu kato anak - rumiklah ambo ka mambari - ikolah jinih badan ambo".
Manjawab Rangin Pamenan:
"Mandeh kanduang Si Murai Randin - jan sabanyak nantun jawab - kok tak
amuah denai antakan - sabuah pintak bakeh mandeh - kok tak suka mandeh
baranak - kok tak sayang mandeh di kami - guno kami lah banyak bana - indak
badaso jariah kami - bari ambo rotan sakarek - kok indak amuah den uluakan -
baserak siriahlah kito - bakuduang-kuduangan rotan - sadanglah mandeh
baranak - kok ambo baitu pulo".
Duduak tamanuanglah Si Murai - mandanga kato nan bak itu. Kasiah di anak
bukan alang - takuik ka carai jo anak - guno anak gadang sakali - dunie akhirat
tak tabaleh.
Manjawab Si Murai Randin:
"Nan kok baitu pintak anak - pintak babari di ambo".
Manjawab Rangin Pamenan:
"Kaandak anak lah mandeh bari - pintak den sudah balaku - kini-kini kito
bajalan".
Bakato Rangin Pamenan:
"Mandeh den Puti Bunsu - manolah mandeh tuo ambo - kito bajalan kini nangko -
kito antakan mandeh ambo - mandeh kanduang Si Murai Randin - ka ranah
Payuang Sakaki - di sinan kampuang mandeh den".

Alah sadio sadonyo - io bajalan anyo lai - ka kampuang Si Murai Randin - ka


ranah Payuang Sakaki - elok kampuang ukan kapalang. Dek lamo bakalamoan -
lah sabulan duo bulan - lah tibo pulo di sinan - dicaliak kampuang langang -
rumah tanggo lah jadi tanah - kabau bantiang lah abih pulo - sawah ladang lah
jadi rimbo - salamo ditinggakannyo. Lah manangih Si Murai Randin - duduak
mangana badan diri - dikana Allah jo Muhammad - datang garak kapadonyo:
"Anak kanduang Si Murai Randin - jangan anak duduak tapakua - bakato Allah jo
Muhammad - cintolah rumah gadang kau".
Kununlah Si Murai Randin - lah takana dinyo cincin - cincin banamo cinto-cinto -
dibakanyo kumanyan putiah. Dek kaandak sadang balaku - pintaknyo sadang
babari - rang mudo Si Murai Randin - sawah ladang kabau jo bantiang - ameh
perak rumah nan gadang - lah dicintonyo sadonyo - lah suruik bagai samulo -
rumah gadang lah badiri suruik co nan daulu - saketek indak basalisiah - ameh
sakati indak usak - antah kok jadi labiah banyak - labiah elok pado saisuak. Iolah
naiak ka ateh rumah - disingkok pintu sadonyo - salapan puluah salapan - nan
ketek indak babilang. Iolah naiak ka ateh anjuang - tanunnyo tarantang juo.
Baimbau molah Si Murai:
"Aciak kanduang Puti Nan Bunsu - naiak ka rumah sadonyo".

Dek lamo bakalamoan - lah lalu apak Si Manjau - lah lalu mandeh Si Manjau -
lalu ka halaman rumah gadang.
Bakato Si Manjau Ari:
"Anak kanduang Rangin Pamenan - balilah di ang paku nantun - nan dibao urang
tuo tu - bara janyo bali samiang".
Bawari Rangin Pamenan - lah dibalinyo paku nantun - a nan dibao dibalinyo.
Lai sakali duo kali - a nan dibao indak suruik. Dek ibo Si Manjau Ari - ibo di
mandeh jo bapak - dibari kain jo baju.
Bajalan molah bapaknyo - bajalan bakeh Tuanku - Tuanku guru Si Manjau. Lah
tibo pulo di surau - lah diliek di Tuanku - mandeh bapak lah bakain babaju - kain
jo baju diungkainyo. Kain-kain dibari urang - awak tak buliah mamakainyo - itu
hukum di mandeh Si Manjau - itulah ajab di Tuanku - kato tak buliah dijawab -
surang indak bakehnyo takuik - takuik di Si Manjau surang.

Lamo saketek antaronyo - lah sampai pulo ka rumah - ka rumah Si Manjau


Ari. Awak tak tahu di anak - anaknyo tahu di apaknyo. Dek bijaksano Puti Bunsu
- lah diimbaunyo ka rumah - Si Manjau cando tak tahu - dek malu di Puti Bunsu.
Lah ka rumah bapak Si Manjau. Lah lama baduduak-duduak - bakato bapak si
Manjau:
"Kok lai ibo kasiah di kami - jan kami dibari kain - indak kami buliah mamakai - di
tuan sieh Labai Panjang. Kami lah dipabudaknyo - sajak paningga anak kami -
diam di rumah indak buliah - diam di bawah lumbuang samiang - bak cando
anjiang kami dinyo".
Bakato Puti Nan Bunsu:
"Mandeh makanlah ko nasi".
Minun makan apak Si Manjau. Lah sudah minun jo makan - bakato Puti Nan
Bunsu:
"Manolah mandeh kanduang ambo - mulo mandeh ka marasai - mandeh picayo
di Tuanku - a katonyo dituruikan - ikolah nan kabalehnyo. Batanyo ambo di
mandeh. Kok tanyo ambo nan sasek - buruak elok ka den tanyokan - antah kato
den nan sasek - dek ambo nangko anak ketek. Mamintak ampun den di bapak -
mamintak maaf gadang-gadang.
Den tiliak pado aka den - den pandang mandeh jo bapak - roman bak roman
urang gadang - rupo bak rupo urang kayo. Apolah salah siliaknyo - mungko
badan jadi bak nangko".
Manjawab bapak Si Manjau:
"Kok itu nan ditanyokan - tatkalo maso daulu - ambo nan rajo dalam nagari -
ambo nan kayo dalam kampuang - urang banyak bak janyo ambo".
Kato dijawab Puti Bunsu:
"A salahnyo di badan - mungko jadi sarupo iko".
Manjawab bapak Si Manjau:
"Tatkalo kami ka bansaik - salah di kami nangko juo - kami manuruik kato urang.
Sajak ditinggakan anak kami - ikolah jinih parasaian. Anak duo bak anak balam -
inyo bajalan kaduonyo - ikolah nan kami tangguang.
Cilako janyo gurunyo - io guru Si Manjau Ari. Bakato Tuanku bakeh kami - buang
di Rajo. Dek kami takuik di gurunyo - kami buangkanlah awaknyo - kami
buangkan jauah-jauah".
Manjawab Puti Nan Bunsu:
"Sialah anak dibuang tu - kok ketek sabuik namonyo - kok gadang sabuik
galanyo".
Manjawab bapak Si Manjau:
"Galanyo Si Manjau Ari - namonyo Si Manjau samiang".
Bakato Puti Nan Bunsu:
"Itulah apak anak kami - apaknyo Datuak Bandaharo - mandehnyo Puti Linduang
Bulan - di ranah Payuang Sakaki - di sinan bana kampuangnyo".
Manjawab bapak Si Manjau:
"Ambolah Datuak Bandaharo - iko nan Puti Linduang Bulan - iko nan ranah
Payuang Sakaki - iko nan kampuang Si Murai".
Manangih Si Manjau Ari - manangkuik karibaan bapak. Balari Puti Nan Bunsu -
balari lalu ka ateh anjuang. Lah tibo molah di sinan - Si Murai sadang manangih.
Bakato Puti Nan Bunsu:
"Indak dapek kito tangihkan - lawan basuo mandeh bapak".
Manjawab Si Murai Randin:
"Aciak kanduang Puti Nan Bunsu - indak kasiah di apak lai - indak sayang di
mandeh lai - mungko bakato baitu - kasiah jo sayang sampai bana - indak ubah
datang di kami - indak salah datang di kami - salah di mandeh jo bapak".
Bakato Puti Nan Bunsu:
"Bago kok salah mandeh bapak - tak patuik mandeh jo bapak tunduak - kito juo
nan ka tobaik".
Dek lamo batangka-tangka - lah pai Si Murai Randin - bakeh bapak jo ibunyo.
Inyo manangih molah pulo:
"Iko moh baleh kayo - iko moh baleh gadang - bapak iokan kato urang -
manuruikan kato Tuanku".
"Manangih mandeh jo bapak. A lah nan bapak tangihkan - kok den agak-agaki
nan daulu - bapak berang akeh si Manjau. Mamintak nasi indak dibari -
mamintak aia indak buliah - itu kasalahan bapak. Io baibo hati kami - mungko
rumah denai tinggakan - den indak sayang di mandeh jo bapak - den sayang di
dansanak den - ka ganti sawah jo ladang - ka ganti ameh jo perak".
Mandeh jo bapak manangih juo - sadang mandanga kato nantun - takana di
salah awak.
Bakato Puti Nan Bunsu:
"Adiak kanduang Si Murai Randin - indak guno kato daulu - kito buangkan jauah-
jauah".
Dek lamo bakalamoan - bawari Rangin Pamenan - digua tabuah larangan -
babunyi tabuah suok kida - baboyong urang nan banyak. Manarang mangusuih
urang itu - apo sabab tabuah digua.
Manjawab Rangin Pamenan:
"Utang indak piutang indak - kito abisi salisiah".
Naiak urang samonyo - gadang-ketek tuo-mudo - laki-laki jo padusi. Kabau
didabiah tujuah ikua - rapek pangulu samonyo - rajo dalam nagari badiri - hakim
nan barampek maabisi - silang Si Manjau jo mandeh bapak.
Bawari Rangin Pamenan - dikatokannyo pakatoan - sadang pangulu lah sakato.
Bakato Rangin Pamenan:
"Apak den Si Manjau Ari - kini tarimo kato ambo - buliah abih silang salisiah -
putiahkan hati pado bapak - mamintak tobat kapado ibu".
Manarimo Si Manjau Ari - bapaknyo baitu pulo. Adokan hati pado Allah - lah
diabisi tu jo doa - malin lah sudah mandoa.
Lah sudah makan jo minun - manitah Rangin Pamenan:
"Pangulu ambo dalam nagari - sampai ka ilia sampai ka mudiak - dangakan bana
titah ambo. Kok kampuang nak bapangulu - kok nagari nak barajo - lah lamo
barajo - kini barajo anyo lai.
Nan ka jadi rajo bapak ambo - iolah Si Manjau Ari".
Banyak indak urang manjawab - sakato urang marajokan.
Lah pulang urang samonyo - baitu sayang urang.

Lah sahari duo hari - lah sapakan duo pakan - bakato Rangin Pamenan:
"Apak den Si Manjau Ari - alun juo sanang hati den - mungkonyo sanang hati
kami - mungkonyo utang tabaia - mungkonyo malu buliah tapupuih - bunuahlah
guru bapak nantun - mungkonyo sanang hati kami".
Manjawab Si Manjau Ari:
"Bak jo ambo ka mambunuah - guru indak buliah dilawan - guru indak buliah
dibunuah - nan guru ka guru juo - guru di dunie ka akiraik".
Manjawab Rangin Pamenan:
"Kok itu bana kato bapak - bak undang-undang urang tuo - rajo lalin rajo
disanggah - rajo adia rajo disambah - jan lai ka guru kito bana. Mungko inyo
buliah kito bunuah - indak manunjuakan kato bana - indak maajakan nan elok -
itu mungko buliah dibunuah - pangaja indak nan baiak.
Nan guru dunie akiraik - pangajanyo baiak sadonyo - manunjuakan bakeh nan
elok - itu indak buliah kito lawan.
Dangakan juo di bapak - pintak dibunuah guru nantun - bak jo ambo
mambunuahnyo".
Bakato Rangin Pamenan:
"Kok takuik bapak mambunuah - lapehlah kami mambunuahnyo".
Manjawab Si Manjau Ari:
"Malarang ambo indak - manyuruah ambo indak pulo - apo pikiran anak
kanduang".
Bakato Rangin Pamenan:
"Adiak kanduang Si Rajo Nyaya - kito pai bunuahlah Tuanku - bapak kito
indaknyo amuah - bialah kito mak mambunuah - maknyo malu tapupuih".
Manjawab Sirajo Nyaya:
"Kok baitu kato tuan - ambo manuruik di balakang".
Hari Jumaik sahari tu - io bajalan ka musajik - io urang sudah sumbayang - urang
ka turun anyo lai.
Bakato Rangin Pamenan:
"Mano kalian samonyo - kalian sabuah sidang - lai di surau tu kini - tuan Sieh
Labai Panjang - ambo bamukasuik kabakehnyo".
Lah bangih urang nan banyak - satangah manokok jo panokok - satangah
maamuakan sewa - itulah kabanyak urang.
Bakato Rangin Pamenan:
"Satapak indak ambo asak - salangkah indak ambo suruik".
Namun lalu lalu juo - dikipehkannyo ka kida - dikipehkannyo ka suok - urang
banyak bakecai-kecai - tingga Tuanku Labai Panjang.
Iolah naiak ka ateh surau - bakato Rangin Pamenan:
"Manolah Sieh Labai Panjang - a karajo di surau - a pangaja dalam surau".
Kato itu indak bajawab.
Bakato Rangin Pamenan:
"Adiak kanduang Si Rajo Nyaya - adiak marilah ka mari".
Balari Si Rajo Nyaya.
"Alah kato mak den danga - kito pacik kaki Tuanku - pacik di adiak sabuah - mak
ambo pacikan sabuah. Kasalahannyo banyak bana - jaek bakeh anak sasian -
ikolah baleh jaek - ikolah timbangan salah".
Dipacik kaki kaduonyo - Tuanku indak malawan - lah diiriknyo sampai ka
halaman - sajak di halaman sampai pulang. Mamakiak mamintak ampun - indak
dibari ampun.
Dek lamo lambek di jalan - sakik indak buliah ditahan - itulah hukun di Tuanku.
Lah tibo pulo di halaman - diampehkan di halaman.
Balari Puti Nan Bungsu:
"Anak kanduang Rangin Pamenan - guru urang ang bak nangkokan - imam
urang dalam musajik - kok kito disarang urang - kok datang tarang jo kusuih -kok
tibo cakak jo tokak".
Manjawab Rangin Pamenan:
"Jan itu mandeh camehkan - kok li sia nan bamalu - bianyo datang ka mari. Kok
li sia nan ka manarang - den mancancang tak mamampeh - den mambunuah tak
mambangun - ambo nan rajo di siko".
Dikalaikannyo Tuanku - bahu manjadi injak-injak - kapalo paapuih kaki.
Bakato Rangin Pamenan:
"Itulah hukun urang badoso - urang bakato indak bana - itulah baleh
kabakehnyo".
Dek lamo bakalamoan - Tuanku dikalaikannyo - bakato Rangin Pamenan:
"Indaklah bana pado urang - indak yakin pado Allah - ikolah kabalehnyo -
rasaikan bana di Tuanku".
Lah sapakan duo pakan - bahu manjadi injak-injak - kapalo paapuih kaki - lah
mati pulo Tuanku.
Bakato Rangin Pamenan:
"Kami tak badoso di Allah - mati nan tak kami bunuah - mati di salah Tuanku -
mati di doso Tuanku". Lah sampai ditanamkannyo.

Dek lamo bakalamoan - bakato Rangin Pamenan:


"Manolah mandeh kanduang ambo - dangakan pantun den di mandeh,

"Bungo maro jo bungo rampai,


Tajelo dibaliak sasak,
Bunga langkueh jo sinango,
Ka den aru ka den kalamai,
Isokan alam bakeh tagak,
Sakiro di kampuang nangko.

Dangakan banalah dek mandeh - mungko baitu pantun ambo - mak pupuih malu
di kaniang - mak bangkik batang tarandam - mak ditunggukan piutang lamo -
mak den japuik mak den jangkau - barang sado kamanakannyo - mak buliah kito
mampabudak - ka mamacik-macikan kudo - ka mamagang-magang payuang -
itu ka gunonyo di ambo. Ditiliak pado nan padusi - ka manjangkau-jangkau aia -
pamagang kipeh di kanan den - paambiak kendi ateh anjuang - ka panyapu-
nyapu sarok - itu ka gunonyo di ambo".
Manangih Puti Nan Bungsu:
"Anak kanduang Rangin Pamenan - kambaiak Allah anak kanduang - mak den
suruikan bana - bana iolah bapak jadi rajo. Kok bajalan anak ka sinan - rencong
aceh masuak ka paruik - anak mati kami pun mati".
Manjawab Rangin Pamenan:

"Dek nyak kuah den nyak bakanji,


Nak basudu bilang-bilang,
Kok tuah mak nyo mamanji,
Kok tak badan mak nyo ilang".
Io bajalan anyo lai - tibo di tangah halaman:
"Manolah amai kanduang ambo - iduik jo mati tak bacarai - nyao nan panjang
panjang juo - janlah mandeh bahati bimbang - jan kami mandeh rusuahkan".
Io bajalan anyo lai - bajalan baduo baradiak. Lah tibo pulo di sinan - di ranah
kampuang Tuanku - ka ranah kampuang Kaluaran - iolah naiak ka ateh rumah.
Bakato Rangin Pamenan:
"Mano kalian samonyo - kito bajalan kini-kini".
Manyauik urang nan banyak:
"Ampunlah kami tuan kaciak - apolah salah badan kami - utang indak piutang
indak".
Bakato Rangin Pamenan:
"Janlah banyak-banyak jawab - baialah utang kini-kini - ukan tu utang ameh
perak - utang badan baia jo badan - utang malu baia jo malu - turun kalian
samonyo".
Manangih molah samonyo - anggan tak buliah dikatokan. Basintak padang anyo
lai - rang mudo Rangin Pamenan - diiriangkan jo padang. Lah sabanta pajalanan
- io lah tibo anyo lai - di kampuang Si Murai Randin - lah ka rumah Rangin
Pamenan.
"Mandeh den Puti Nan Bunsu - mandeh kanduang Puti Kasumbo - alah lah
sanang hati kami - ikolah lamak ambo makan - ikolah tidua mungko lalok - utang
malu tabaia di den - utang nyao tabaia di den - baitu adat urang bamalu -
mandeh kanduang lah buliah budak - itulah inyo di halaman - itu kamanakan
Tuanku - mandeh buliah maagiah-agiah - bari batakuak sadonyo.
Baduo budak di dapua - baduo budak ka aia - batigo budak panumbuak-
numbuak - barampek budak kundangan".
Bamanuang Puti Nan Bunsu - bakato Puti Kasumbo - rusuah nan bukan alang-
alang - mancaliak laku anak kanduang:
"Kok datang cakak jo kalahi - apolah pikiran kito - kito di dalam kampuang
urang".
Manjawab Puti Nan Bunsu:
"Kok di langik mak nyo taban - kok di bumi mak nyo malasuik - pulang pikiran ka
si buyuang".
Lah sahari duo hari - lah sapakan duo pakan - usua indak pareso indak - sampai
sabulan duo bulan. Bakato Puti Nan Bunsu:
"Lah ka sanang hati adiak - ambo mamintak bakeh adiak - lah salaruik iko den di
siko - kini takiro di mandeh den - mandeh kanduang nan raso nampak - nak
pulang den daulu".
Urang mudo Si Murai Randin - baru mandanga kato nantun - tadanga kato lah ka
pulang - ibo di badan tingga surang.
Manjawab Si Murai Randin:
"Aciak kanduang Puti Nan Bunsu - baru takato nan ka pulang - hati nan indak
sanang lai. Di siko aciak daulu - agak satahun duo tahun - mungkonyo sanang
hati ambo".
Dek lamo batangka-tangka - dilapehnyo di Si Murai:
"Aciak kanduang sungguah den lapeh - tinggakan anak kanduang kito. Kok tak
ka tingga kaduonyo - salah surang tingga juo - baolah Si Rajo Nyaya -tinggakan
Rangin Pamenan - ka paubek-ubek rusuah. Kok tingga Rangin Pamenan - ka
ganti badan tubuah aciak".
Manjawab Puti an Bunsu - ditinggakannyo anaknyo - Nan Bunsu babaliak
pulang. Balari Si Murai Randin - balari naiak ka ateh anjuang.
"Nak kanduang Rangin Pamenan - anak kanduang marilah ka mari".
Lah naiak Rangin Pamenan - lah tibo di ateh anjuang - inyo bacongkak ateh
anjuang - panek bacongkak inyo bacatua - itu parintang-rintang hati.
Bakato Si Murai Randin:

"Ka bapantun ambo sabuah,

Babunyi saluang bantu,


Di baliak rimbo Koto Tangah,
Lauik nyato gunuang lah tantu,
Rusuah jo apo ka dilengah".
Manjawab Rangin Pamenan:
"Mungkonyo rusuah ka talengah - kito jalang mandeh kanduang den - marilah
kito bajalan".
Lah bajalan tu baduo - lah lamo inyo bajalan - io lah tibo pulo sinan. Sakileh
tampak di Si Bunsu:
"Aciak kanduang Puti Kasumbo - Si Murai lah datang pulo".
Balari turun ka halaman - manyonsong Si Murai Randin - dibao naiak ka rumah -
duduak batigo baradiak - datanglah kipeh kiri kanan. Sadang mangipeh-ngipeh
dado - io barundiang anyo lai.
Bakato Puti Nan Bunsu:
"Agak tacameh awak kami - kok lai silang jo salisiah".
Manjawab Rangin Pamenan:
"Silang indak salisiah indak. Di dalam malam nan samalam - ba a rasonyo ka
lalok - di dalam pakan nan sapakan - sakali indak lamak makan - salamo
mandeh tinggakan - io mandeh Si Murai Randin. Itu sabab mungko ka mari -
taragak ukan alang-alang - mandeh ambo Si Murai Randin - ibo bacarai jo
mandeh - dek sampai kasiah bakeh mandeh".

Lah sahari duo hari - mukasuik hati nyak mambao:


"Salamo kito bacarai - antah bak mano hati ambo".
Manjawab Puti Nan Bunsu:
"Ka batangguah ambo tak buliah - eloklah kito bajalan".
Lah tingga mandehnyo surang - lah tibo pulo di sinan. Agak sapakan duo pakan -
bakato Puti Nan Bunsu:
"Apak den Datuak Bandaharo - mandeh den Puti Linduang Bulan - dangakan
bana kato ambo - nan surang mak nyo baduo. Mungko baitu kato ambo - di tiliak
pado Si Murai - disilau kapado umua - musinlah sampai di Si Murai - loklah inyo
kito kawinkan".
Bakato Puti Linduang Bulan:
"Den tak tau den tak pandai - pulang pikiran di kalian - Sutan di mano nan ka
manunang - Rajo di mano nan lah dapek".
Manjawab Puti Nan Bunsu:
"Kok nan itu mandeh tanyokan - tunangan Si Murai Randin - tunangan samaso
ketek - bagala Sutan Di Kinali - anak kanduang Rajo Di Kinali. Itulah Rajo nan
asa - asanyo turun tamurun".
Bakato mandeh Linduang Bulan:
"Anak kanduang Puti Nan Bunsu - kok itu nan di hatinyo - bak mano tenggang
kalian - urang jauah kito pun jauah - sia urang nan ka dibao".
Manjawab Puti Nan Bunsu:
"Jan itu mandeh rusuahkan - lah suko mandeh jo apak - indak nan jauah di kami.
Kok tak aia sumua dikali - kok tak kayu janjang dikapiang - baitu urang baadat.
Indak urang nan tak amuah - puti-puti dapek di den - itu ka tolong badan ambo".

Digua tabuah larangan - sauik manyauik tabuah nan banyak - mambaleh


tabuah di koto - takajuik urang nagari - lalu ka suok jo ka kida - sampai ka hilia jo
kamudiak - tayoklah urang sadonyo - parentah Datuak Bandaharo. Batapuak
urang ka sinan - banyaklah puti nan ka sinan - baralah anak rando gadih - bak ka
luluih kampuang Si Murai.
Baralah bunyi bunyian - lah datang rajo pangulu - io manarang jo mangusuih:
"Sabab kami agak tacameh - tabuah larangan lah bagua - manyauik tabuah nan
banyak - laikah parik nan tarantang - laikah rando buliah malu - di ma pangulu
buliah basa".
Manjawab Puti Nan Bunsu:
"Manolah pangulu ambo - manolah rajo samonyo - kok itu nan ditarangi - indak
nan tumbuah di nagari - adolah karajo kabaikan. Kito ka mamancang
galanggang - Si Murai Randin ka kawin. Urang nan ka tunangannyo - indaklah
carian mandeh jo bapaknyo - indaklah aka budi ambo - iolah mancari sandirinyo.
Bukan to anak rajo siko - anak rajo dari Kinali - banamo Sutan Di Kinali - adiak
kanduang Puti Taruih Mato - adiak puti nan baranam - itulah urang kito japuik".
Bakato Puti Nan Bunsu:
"Mamintak pikia den tigo hari - sampai janji kito batamu".
Di dalam hari nan tigo - datang sadonyo anak mudo - sarato anak rando
gadih. Urang bajabatan lah sadonyo - sagalo anak puti-puti - mangarang alat jo
pakaian - anak mudo mangarang bungo. Baralah banyak ragam pakaian - jokok
ditiliak ragam pakaian - indaklah ado ka jodonyo.
Dalam hari nan tigo hari - lakeklah tirai sadonyo - tabantang tabia tangah rumah -
kalambu bajambua ameh - tirainyo bacampua perak. Dipasang pulo tampek
tidua - di sinan intan bakilatan - di kalaciki aia bungo - banyak ragam minyak nan
dipakai - alah takiaki sadonyo - janji sampai tigo hari tibo.
Bakato Puti Nan Bunsu:
"Carikan ambo urang cadiak - cadiak pandai nan bijaksano - ka kawan ambo
bajalan - ka ranah kampuang Kinali".
Dapeklah urang cadiak pandai - lah dapek urang baranam. Bajalan Puti Nan
Bunsu - ka kampuang Puti Taruih Mato - bajalan bagageh-gageh. Dek kuaik inyo
bajalan - lakeh pulo tibo di sinan.
Lah tibo pulo di halaman:
"Aciak kanduang Puti Taruih Mato - lai lah di rumah tu kini".
Manjawab Puti Taruih Mato:
"Ba a den tak ka di rumah - hari nan sadang tangah hari,

Sitapuang tangah halaman,


Den ambiak kiliran taji,
Jan lamo tagak di halaman,
Ikolah aia pambasuah kaki".

Lah sudah mambasuah kaki - iolah naiak ka ateh rumah. Lah naiak io sadonyo -
lah duduak Puti Nan Bunsu - awak nan batujuah urang - lah talatak carano
perak.
Bakato Puti Nan Bunsu:
"Dangakan bana den katokan - kito duduak basamo-samo - makan siriah
basuko-suko".
Lah duduak Puti Taruih Mato - makan siriahlah sadonyo - masak siriah sakapua
surang.
Bakato Puti Nan Bunsu:

"Nak rang di Bukik Tinggi,


Nak lalu ka Kampuang Perak,
Tarago hari balun tinggi,
Eloklah kato kito bukak".

Manjawab Puti Taruih Mato:


"Adiak kanduang Puti Nan Bunsu - nambek baguluik bagasang - baguluik kok lai
nak nyo lamo".
Dek lamo bapacah-pacah - bawari Si Kambang Manih - masak kupi masaklah
nasi - io basanduak anyo lai.
Bakato Puti Taruih Mato:
"Adiak kanduang Puti Nan Bunsu - adiak kanduang basuahlah tangan".
Manjawab Puti Nan Bunsu:
"Kok nasi ka kami makan - japuiklah kakak nan baduo".
Manjawab Puti Taruih Mato:
"Insya Allah jadilah adiak".
Dijapuik adiak nan baduo - adiak kanduang Puti Ranggak Inaya - adiak
kanduang Puti Lenggang Lauik.
"Adiak marilah ka mari - mari kito sajamba makan".
Iolah turun ateh anjuang - batamu jo Puti Nan Bunsu - heranlah Puti Lenggang
Lauik - mancaliak roman Puti Nan Bunsu - tacangang Puti Nan Bunsu - maliek
Puti Lenggang Lauik.
Bakato Puti Lenggang Lauik:
"Kito makanlah ko nasi".
Lah makan basamo-samo - sudah makan sudah minum - bakato Puti
Lenggang Lauik,
"Anak urang dari Batawi,
Nak lalu ka Bukik Tinggi,
Mungko kini aciak ka mari,
Apo mukasuik di dalam hati".

Manjawab Puti Nan Bunsu:

"Bukan batang kinari samiang,


Kinari jo batang piladang,
Bukan den ka mari samiang,
Gadang mukasuik nan dijalang.

Salangkah turun di rumah ambo - dilapeh di Si Murai. Tatkalo maso daulu - inyo
baniek di hatinyo - kami manyampaikan niek".
Manjawab Sutan Di Kinali:
"Itu kato nan dibao".
Manjawab Puti Taruih Mato:
"Jan itu adiak katokan - banamo Sutan Di Kinali - bukan kami managahkannyo -
bukan kami maambekannyo - adat pusako alun tahu - adiak kito kan ketek baru.
Kok amuah kami malapeh - lah suko adiak manarimo. Kok basuo hino jo malu -
kami jan adiak sasa".
Io manjawab Puti Nan Bunsu:
"Jan itu aciak camehkan - adat pusako kami tahu - hino malunyo lah tahu - tando
babaluak anyo lai".
Lah sudah babaluak tando - balari Puti Taruih Mato:
"Adiak kanduang Sutan Di Kinali - apo katenggang bicaro den - Puti Nan Bunsu
manjapuik adiak - adiak dibaonyo ka sinan - ka ranah kampuang Si Murai - ka
rumah Si Murai Randin. Japuik tabao di Nan Bunsu - anggan tak buliah
dikatokan. Nan labiah ambo rusuahkan - adiak ka bajalan surang - nan ma koh
sutan ka dijapuik - di ma rang mudo nan ka kawan".
Bakato Sutan Di Kinali:
"Jan itu kakak rusuahkan - sacacah buliah den kawan".
Digua tabuah larangan - badunduang tabuah nan banyak. Mamakai anak sutan-
sutan - mamakai anak mudo-mudo - mamakai anak rando gadih. Dek lamo
bakalamoan - lah panuah urang di halaman - a lah raso banyak urang - indak
tabuek di nan laweh - di nan lakuang panuah pulo.
Bakato Puti Taruih Mato:
"Iriangkan Sutan Di Kinali - ka kampuang Si Murai Randin".
Basibuak Si Kambang Manih - mambao pakaian Sutan. Satangah mambao
bungo - satangah mambao kipeh - nan patuik mamigang karih.
Balari Salam Salamaik - dikambang payuang nan gadang - payuang kuniang
bajambua ameh - itu pakaian rajo-rajo. Io bajalan anyo lai - sorak sadaruih-
daruih - galak badarai-darai - bunyi pantun babuah-buah - babunyi pupuik jo
sarunai - babunyi rabab jo kucapi - paarak Sutan Di Kinali.
Di hari sahari nantun - garak tibo di Puti Kasumbo - iolah tahu di urang ka tibo
- mambari kabar ka dalam kampuang.
Baralah banyak sutan-sutan - manantikan Sutan Di Kinali.
Iolah ampia anyo lai - bunyi badia marandang kacang - pasang mariam ciek-ciek
- raso ka luluih kampuang Si Murai. Iolah tibo di halaman - balari Salam
Salamaik - mamacik kudo Sutan Di Kinali. Balari dubalang surang lai - maambiak
aia dalam cerek. Lah dibasuah kakinyo - iolah naiak ka ateh rumah – duduak di
ateh kasua gadang. Baralah anak mudo-mudo - satangah mangapua pinang -
satangah mambuek paisok - satangah mamacik api - nan surang mangipeh
dado.
Dek lamo baduduak-duduak - nasi tahanta ka hadapan. Hari basarang patang
juo - patang bajawek jo sanjo - sanjo bajawek jo malam. Di malam samalam
nantun - dipasang telong sadonyo - badiri kadi jo Sutan - tahadok saksi nan
barampek - badiri Tuanku jo mualim. Lah izin mandeh jo bapak - lah dimintaknyo
to kawin - dikawinkannyo di Tuanku.
Di malam nan samalan nantun - sakalok indak ditiduakan - barisuak hari lah
siang - lah tinggi candonyo hari. Baralah banyak ragam main - sutan-sutan
bamain kudo - rajo-rajo bamain catua - urang banyak basuko hati.
Di hari tigo hari - baralah banyak ragam main. Lapeh di hari tigo hari - satangah
urang lah bisa pulang - satangah urang ka galanggang - galanggang rami tigo
bulan.
Dek lamo bakalamoan - bakato Puti Nan Bunsu:
"Adiak kanduang Si Murai Randin - alah ka sanang hati adiak - kok kahandak lah
balaku - niek jo kaua alah sampai - nak kami pulang lah daulu".
Manjawab Si Murai Randin:
"Nantilah sabulan lai - kok pulang alun ka manga".
Bakato Puti Nan Bunsu:
"Rumiklah ambo tantang itu - manjawab kato nan tun - bakato kami tak kau
danga. Salaruik salamo nangko - mandeh kami kami tinggakan - lah taragak
awak kami. Kok buliah kami bajalan - indak lamo kami tinggakan - lakeh-lakeh
kami babaliak".
Manjawab Si Murai Randin:
"Kok baitu pinta kakak - mak ambo lapeh molah pulang".
Iolah pulang sadonyo - lah tingga Si Murai Randin - awak baduo jo suami.
Ditiliak pado Si Murai - tujuah hari tapacaraikan - bakato Si Murai Randin:
"Tuan den Sutan Di Kinali - kito jangkau anak kito - anak kanduang Rangin
Pamenan".
Manjawab Sutan Di Kinali:
"Kok baitu kato adiak - mailah kito bajalan".
Io bajalan anyo lai. Lah tibo pulo di sinan - di rumah Puti Nan Bunsu - iolah naiak
ka ateh rumah. Baralah suko Mandeh Rubiah - mancaliak anak jo binantu.
Bakato Puti Nan Bunsu:
"Amai den Mandeh Rubiah - tinggalah mandeh di rumah - mak kami pai jo Si
Murai - lamo lambek marusuah juo - mak kami manataplah di sinan".
Manjawab Mande Rubiah:
"Anak ka diam di sinan - samo di sinan molah kito - bia mak tingga rumah
gadang".
Lah diangkuik pakaian - rumah tingga indak baisi. Lah bajalan sadonyo - sampai
ka rumah Si Murai. Tacangang mandeh Si Manjau - mancaliak baban nan
dibao urang - agak tacameh dalam hati.
Balari Puti Nan Bunsu:
"Mak sanang hati Si Murai - lah tarangkuik kami kamari".
Manjawab mandeh Si Murai:
"Anak kanduang Puti Nan Bunsu - itulah nan den niek bana - nak buliah basuko-
suko".
Kununlah mandeh Rubiah - io basuo anyo lai - sadang jo Puti Linduang Bulan.
Dek lamo barundiang-rundiang - bakato mandeh Si Manjau:
"Kak uwai Mandeh Rubiah - heranlah ambo mamandang - nak kanduang Puti
Nan Bunsu - dek cadiak bijaksanonyo - dek panjang akal jo budi - nan tak ka
dapek di nyo dapek. Baralah silang jo salisiah - nan kusuik salasai di nyo - nan
karuah dipajaniahnyo - nan buruak dipaeloknyo - kok nan jauah dijapuiknyo - itu
pandainyo Puti Bunsu. Utang adat tabaia di nyo - utang malu tabangkik di nyo.
Itulah karajo nan lah abih".
Sudahlah kaba hinggo itu - bohong urang kami tak sato - duto urang kami tak
tau.-
Keterangan

Halaman

1. tian - kandungan.
2. panyiaran – bekas pembakaran.
3. lado sulah - merica.
4. pupuak api - menimbun api, umpamanya dengan dedak supaya api tidak
padam.
5. ganda ata –

6. morak - dikatakan tentang paras muka, bercahaya, berseri - lawan muram.


7. irun, mairun daun - mengusaki daun dengan pisau atau gunting.
8. kabuang - kerat, penggal; 1 kabung = 4 hasta.
9. balam timbago tigo gayo - balam yang bunyinya tiga patah setiap berbunyi,
misalnya tugutu, tu, tu.
10. samburani - kuda sembrani, kuda yang dapat terbang atau kuda bersayap.
11. rajah - kaki kuda rajah keempatnya, maksudnya bulu kaki kuda sebelah
bawah putih semuanya. kuda tsb.
12. lewang - pintu. sampai ka pintu lewang - sampai ke pintu langit.
13. alejo, biasa disebut juga salejo - sebangsa kain kasar.
baranaci, barawaci - sebuah kota kecil di Gujarat India, yaitu kota Bharoche
(Baroch).
14. bataruak, bertaruk - keluar tunasnya.
15. cacah, mancacah - mencincang halus-halus.

16. anak bincacak-bincacau - sejenis hantu.


17. anak ngiang-ngiang rimbo - sejenis hantu.
18. si bidai takirok. Si bidai, maksudnya ular bidai. Menurut kepercayaan lama
ular itu seperti tikar terhampar, siapa duduk diatasnya digulungnya.
Takirok – mengirap. Mengirap destar dalam air agar terbuang kanjinya.
19. lawak-lawak - palung tempat makan kuda dalam kandang atau tempat
makanan burung dalam sangkar.
20. riban - ribaan (pangkuan).

21. sarau - celaka.


22. salisiah, salisiah pisang - benang kelopak pisang.
23. kubik - harum baunya spt padi yang baru dikubak.
24. manjawa-jawa - meraban, meracau.
25. Majo Baiak - Maja Pahit

26. kusuih - sejenis korek api.


27. maningaran - mendengar.
28. lewang - pintu.
29. guli - bunga mawar.
30. anduang nan gadang - nama sebangsa pohon yang besar.
KABA MANJAU ARI
Disalin dan diperbaiki dari buku bertulisan Arab-Melayu MANJAU ARI,
Minangkabausche Vertelling vertaald door J.L. van der Toorn.
Verhandeling van het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en
Wetenschappen - deel XLV. Batavia, Albreht & Rusche - 1891.
CERITA SI PALALOK

PENGANTAR

CARITO SI PALALOK ini disalin dari kitab beraksara Arab-


Melayu berbahasa Melayu-Minangkabau terbitan P.W.M. Trap.
Leiden tahun 18... yang dicetak dengan tehnik lithografi. Dapat
dipastikan, sebelum mencetak kitab tersebut tidak dilakukan
pembenahan, terlihat dari banyaknya penulisan kata yang salah
dan tidak konsisten.
Umumnya penulisan kitab beraksara Arab-Melayu jaman silam
yang tidak bertitik koma, seolah berbentuk seuntai kalimat yang
amat panjang, maka dalam menyalinnya ke huruf Latin, kita jadikan
kalimat-kalimat pendek dengan sedikit pembenahan dengan
maksud memudahkan para peminat membacanya.
Selamat membaca!
CERITA SI PALALOK

A dolah surang urang mudo, karajonyo tiok-tiok hari lalok sajo. Kurang
makan kurang minun indaklah baa, asa lai buliah lalok siang malam.
Itulah sababnyo mangko banamo Si Palalok. Matonyo lah bangkak, badannyo
lah sambok.
Anak rumah1 Si Palalok nan tun batujuah urang. Katujuahannyo badunsanak
saibu sabapak. Diamnyo dalam sabuah rumah nan gadang.

Pado suatu hari, anak rumah Si Palalok bakato bakeh kawannyo, janyo:
"Baa lah lai kito nangko. Indak nak ka sawah, indak nak ka ladang, malainkan
lalok sajo sapanjang hari ko. Kok kito padiakan juo bak cando nan tun, kito juo
nan kalucuik tandeh. Bak kato-kato urang tuo, apolah dek kukuran, karambia
molah nan ka abih".
Jawek anak rumahnyo nan lain:
"Iolah malang bana kito nangko, batukuak batambah kurang, bauleh batambah
singkek. Marilah kito jagokan, kito suruah inyo ka sawah kok ka ladang bagai.
Kok indak inyo amuah, basamo molah kito mampatinjukan".

Sudah tu mangko pailah katujuah-tujuahnyo manjagokan lakinyo nan tun. Lah


payah manggulik-gulik, indak juo baliau tu jago. Alah berang anak rumahnyo nan
tun, lalu dipantinjukannyolah basamo-samo. Surang maelo mudiak, surang
maelo ilia. Pakiak panjang Si Palalok. Urang bahampiang indak nan amuah
manolong. Dek indak tatahan lai dek Si Palalok, bak kato-kato urang, mancik
sikua, panggado saratuih. Dek itu larilah Si Palalok masuak rimbo kalua rimbo.

Dek lamo bakalamoan, tapasalah inyo ka ladang urang tuo padusi. Katonyo
bakeh urang tuo padusi nan tun:
"Bao manumpanglah ambo siko, nak ambo tolong tuo basiang-siang parak".
Jawek urang tuo nan tun pulo:
"Awak den io lingau2 tingga surang di siko. Kok io lai ang amuah tingga siko,
elok bana molah. Tolonglah den basiang-siang parak".
Lah sabanta duduak-duduak dibarilah nasi jo kupi. Sudah makan mangko
bangkik pulolah kantuaknyo. Lah kuok-kuoki sajo. Sudah tu bagolek samiang di
lapiak hamparan. Baru so tacacah ka lapiak, Si Palalok alah bakaruah panjang.
Lah lamo awaknyo lalok, indak juo tasintak-sintak. Mangko bangihlah urang
tuo nan tun. Diambiaknyo aia sapasu, didiruihkannyo 3 bakeh Si Palalok nan tun,
janyo:
"Bakiroklah ang dari siko, indak paguno di den urang palalok nangko!"
Sudah tu bajalan pulolah Si Palalok nan tun. Masuak rimbo kalua rimbo, turun
lurah naiak bukik.

PARIUAK ADOAN NASI

Dek lamo bakalamoan, tapasahlah ka sabuah danau. Di tapi danau nan tun
adolah sabuah biduak tatungkuik. Biduak nan tun lah lapuak. Mungko masuaklah
Si Palalok ka bawah biduak nan tatungkuik nan tun. Lalok panjang awaknyo di
sinan.
Lah sahari samalam awaknyo di sinan, datanglah garagasi mancari makan ka
tapi danau nan tun. Baru nampak dinyo biduak usang tatungkuik nan tun, kato
garagasi tu dalam hatinyo:
"Sialah nan punyo biduak nangko?"
Lalu dituruiknyo biduak nan tun dan dibaliakannyo. Dek itu takajuik Si Palalok.
Kato garagasi:
"Sikolah mungko garaman den pasa 4, sikolah paruik mungko kanyang, rajaki
datang mauntok5".
Jawek Si Palalok pulo:
"Pado iduik baputiah mato, elok mati bakalang tanah, ridolah ambo inyiak makan
iduik-iduik".
Kato garagasi:
"Ba a mangko bak nan tun kato ang. A bana nan ang rusuahkan, a bana nan ang
sesokan?"
"Bak nan tun inyiak. Bak kato-kato urang, ambo nangko,

Tak puntuang dipapuntuang-puntuang,


Tak teleang dipakuek-kuek,
Tak untuang dipauntuang-untuang,
Tak malang dipabuek-buek".

Kato garagasi:
"A bana nan jadi parasaian dek ang, mungko bak nantun kato ang".
Jawek Si Palalok:
"Alah takadia di badan ambo. Sajak sajangka dari tanah, gilo bahati seso juo.
Lah tasuo di badan ambo, bak kato undang urang tuo, ketek taanjo-anjo, gadang
tabao-bao. Karajo ambo sajak ketek lalok sajo. Itulah sababnyo mangko ambo
banamo Si Palalok. Kurang makan kurang minun, kurang kain indaklah ba a.
Dek ambo asa lai buliah siang malam ambo lalok. Anak rumah ambo batujuah
urang banyaknyo. Dek karano ambo rintang lalok ka lalok juo, indak nak ka
sawah indak nak ka ladang, mangko bangihlah awaknyo bakeh ambo. Basamo-
samo molah awaknyo mampatinjuan ambo. Dek indak tatahan, mungko larilah
ambo ka niak. Kini makanlah ambo dek inyiak. Kok iduik bana indak ka paguno
doh".

Mandanga kato Si Palalok nan tun, jadi hibolah garagasi tu, janyo:
"Kok bak nan tun bana parasaian ang. Babaliaklah ang pulang ka kampuang
ang, nak den bari ang pusako sabuah pariuak adoan nasi".

Lalu diunjukannyolah pariuak nan tun bakeh Si Palalok. Kato Si Palalok


manarimo:
"Suko bana ambo pambarian inyiak nangko, tapi ba a mangaokannyo".
Jadi diambiaknyolah pariuak nan tun baliak dek garagasi, sarato katonyo:
"Kok io sabana pariuak garagasi, adoanlah nasi!" Sarato dibukaknyo, panuahlah
pariuak nan tun dek nasi. Lalu disuruahnyo makan bakeh Si Palalok.
Maliek kakiramaikan pariuak nan tun, indak tabedo gadang hati Si Palalok. Janyo
inyo dalam hati:
"Mujua gadang den mandapek pusako nangko. Kok pulang den bakeh bini den,
alah buliah den mampalapehi lalok siang malam".
Lah sudah makan mangko bajalanlah Si Palalok nan tun babaliak pulang ka
kampuangnyo.

DIKICUAH URANG PALADANG

Dek lamo lambek di jalan, masuak rimbo kalua rimbo, masuak padang kalua
padang, mangko nampaklah ladang urang. Mangko pailah awaknyo ka ladang
nan tun. Baru tibo di sinan, dilieknyo kironyo adolah surang urang tuo laki-laki
sadiang duduak di dalam dangau.
Kato Si Palalok :
"Lai buliah ambo ka rumah inyiak?"
Jawek urang tuo tu:
"Naiaklah. Dari ma urang mudo cako?"
Kato Si Palalok:
"Lah lupo molah inyiak di ambo. Kan ambo nan banamo Si Palalok".
Jawek urang tuo nan tun: "Ha io, Ado urang mampakatokan di kampuang ko.
Kalau baitu awak ang molah nan lari masuak rimbo dek karano dipatinjukan anak
rumah".
"Io inyiak" kato Si Palalok.
"Tapi kini, kok sampai ambo pulang, Insya Allah indak ambo ka seso lai, karano
ambo lai dibari inyiak garagasi dalam rimbo sabuah pusako pariuak adoan nasi".
Kato urang tuo nan tun:
"Ma romannyo pariuak ang nan tun. Cubolah nak den liek, ba a pulo
mangaokannyo".
Dek Si Palalok dikaluakannyo pariuak nan tun dari dalam dukuangannyo.
Satalah disungkuiknyo pariuak nan tun, mangko manyarulah awaknyo, katonyo:
"Kok sabana pariuak garagasi, adoanlah nasi".
Baru dibukaknyo saok pariuak nan tun, panuahlah nasi di dalamnyo. Jadi
tacanganglah urang tuo maliek pariuak batuah nan tun.
Kato Si Palalok:
"Baolah pinggan inyiak kamari, buliah baduo kito makan".
Lalu urang tuo nan tun pailah inyo manjapuik pinggan jo cawan, makan
kanyang kaduonyo. Indak barapo lamonyo sudah makan tu, mangko bangkik
pulolah kantuak Si Palalok. Dek urang tuo tu pulo, dilieknyo Si Palalok lah kuok-
kuoki, mangko dibarinyolah lapiak jo banta, janyo:
"Tidua-tidualah urang mudo kok, lah payah bajalan sajauah nangko".
Si Palalok bagageh pulo mangambangkan lapiak, janyo:
"Lah tasuruah di urang ka pai, taimbau di urang ka datang, takayuah di biduak ka
ilia, inyiak ko mah".

Lalu lalok panjang molah Si Palalok. Samantaro awaknyo lalok, timbua pikiran
buruak di urang tuo nan tun, janyo:
"Eloklah den tukari pariuak Si Palalok nangko. Pariuak den lai pulo nan saroman
jo nan tun".
Jadi diambiaknyolah pariuaknyo, lalu ditukarinyo. Kudian Si Palalok tasintak,
dilieknyo hari alah tinggi juo. Mangko dikatokannyolah bakeh urang tuo nantun,
nak bajalan pulang ka kampuangnyo.
Jawek urang tuo nan tun:
"Kok baitu kecek ang, jadilah".

Mangko bajalanlah Si Palalok mambao pariuak nan tun pulang ka rumah


bininyo. Baru sajo tibo di halaman, mangko nampaklah dek anak rumahnyo
lakinyo alah babaliak pulo mambao pariuak sabuah. Mungko diimbaukannyolah
bakeh dunsanaknyo nan lain.
Kato nan tuo:
"Manga ang mangko babaliak juo ka niak. Kan lah den kikih jajak ang di siko.
Naiaklah ka rumah, nak den balah kapalo ang! Iko pariuak sia ko nan ang cilok.
Alun kami ka tapujuak jo pariuak buruak nan tun!"
Jawek Si Palalok:
"Jan lah nak bangih juo bakeh den. Lai ka sanang kalian dek pariuak buruak
nangko. Ukan sambarang pariuak nan den bao nangko. Ikolah pariuak adoan
nasi pusako dari garagasi".
Kato anak rumahnyo nan lain pulo:
"Bialah nak dibaonyo ka rumah. Kito suruah cuboan daulu. Kok indak basuo
sapanjang katonyo nan tun, kito patinjukan sakali lai".
Mangko Si Palalok naiaklah ka rumah nak mangaokan pariuak garagasi nan tun.
Malang juo nan tasuo dek Si Palalok. Lah duo kali dicubokannyo, indak juo
maadokan nasi. Dek itu diambiaknyolah pariuak nan tun dek anak rumahnyo,
lalu dilakakkannyo. Cumpai berai6 tibo di kapalo Si Palalok. Nan lain lai nan
maninju, lai pulo nan manokok. Lah hiruak pikuak dalam kampuang nan tun.
Bahuruang laki-laki padusi pai maliek. Satangah lai nan ibo, satangah lai nan
galak, nan satangah lai pulo nan banci. Mungko manangihlah Si Palalok.

Jarajak di tanah taban,


Simantuang di Parik Putuih,
Tak aka tajumbai lai,
Bakeh bapijak alah taban,
Bakeh bagantuang alah putuih,
Tak buliah manggapai lai.

PETI GARAGASI ADOAN KAIN

Sudah tu bajalanlah Si Palalok babaliak pulo ka dalam rimbo. Sapueh-pueh


dek bajalan, aia mato diapuih juo.
Lah sahari duo hari dalam rimbo, makan indak minun pun tido. Takadia Allah,
mangko sampai pulolah awaknyo ka tapi danau nan daulu. Mangko lalok pulolah
awaknyo ka bawah biduak tatungkuik nan tun.
Baru sabanta awaknyo lalok datang pulo garagasi, sarato tacanganglah
awaknyo maliek Si Palalok lah babaliak pulo, janyo :
"Hai! Manga awak ang mangko lah babaliak pulo ka niak. Alunkoh sanang hati
anak rumah ang baruliah pusako nan tun?"
Jawek Si Palalok:
"Iolah malang bana ambo inyiak. Tibo di rumah, duo kali ambo cubokan pariuak
tu, indak nyo amuah maadoan nasi lai. Jadi diambiaknyo pariuak nan tun dek
anak rumah ambo, dilacuikannyo ka kapalo ambo, inggo labiah marasai ambo
daripado nan daulu. Itulah sababnyo mungko ambo lari ka niak. Kini kok inyiak
sayangi bana ambo, indak juo ka tabaleh guno inyiak. Pado iduik eloklah ambo
mati".
Sangok-sangak Si Palalok manangih manutuakan parasaiannyo nan tun.
Mandanga carito Si Palalok nan tun, batambah ibolah hati garagasi. Kato
garagasi pulo:
"Kok bak nan tun bana kato ang, alun ka manaruah pasai 7 lai nak manolong ang.
Babaliaklah ang pulang sakali lai, nak den bari ang sabuah peti nan buliah
maadoan kain".
Sudah tu dikaluakannyo peti nan tun dari dalam dukuangannyo, lalu
diunjuakannyo pulo bakeh Si Palalok. Tapi Si Palalok lah anggan hatinyo
mambao pulang, takuik kok tibo di rumah indak pulo basuoan, tantu manukuak
panyakik pulo. Sungguahpun baitu ditarimonyo juo sarato ditanyokannyo ba a
pulo mancubokan peti nan tun. Lalu dicubokannyo dek garagasi, janyo:
"Hai peti, kok io angkau sabana peti pusako garagasi, adoanlah kain sapatagak
untuak Si Palalok nangko"!

Baru dibukaknyo peti nan tun, mungko tampaklah peti nan tun panuah dek
kain, sarato disuruahnyo pasalin kain baju Si Palalok nan tun.
Si Palalok maraso gadang hati saketek dek lah buliah pakaian nan baru. Sudah
mamakai dilieknyo awaknyo lah rancak, tapi hatinyo alun juo bulek mambao peti
nan tun pulang karumahnyo.
Kato garagasi:
"Lakehlah ang babaliak pulang. Jokok malang juo di ang, indak pulo amuah
maadoan kain peti nangko, lakeh ang babaliak ka mari nak den bari pulo ang
nan labiah elok dari pado ko".
Dek mandanga rundiangan garagasi nan tun, jadi padeklah hati si Palalok
mambao peti nan tun pulang ka rumah padusinyo. Sakutiko tu juo bajalanlah si
Palalok.
DIKICUAH URANG PULO

Lah sahari duo hari pulo di jalan, mangko sampailah Si Palalok ka tapi rimbo.
Bahantilah awaknyo di sinan, lalu mancaliak hilia jo mudiak. Jadi nampaklah
ladang urang tuo nan daulu tu. Lah sabanta inyo bahanti, lalu bajalanlah ka
ladang urang tuo nan tun.
Dek urang tuo tu, baru nampak dinyo si Palalok mambao peti, batanyolah
awaknyo, janyo:
"Dari ma pulo ang Palalok. Anto lah tapasah pulo ka mari?"
Lalu dicaritokannyolah dek si Palalok sagalo nan dirasainyo sajak turun dari
sinan daulu. Sudah tu disuruahnyo naiak ka ateh dangau dek urang tuo nan tun,
sarato dibarinyo nasi jo kupi. Lah sudah si Palalok makan, batanyo pulolah urang
tuo cako, janyo:
"Ba a pulo mangaoannyo peti nangko?"
Dek kabinguangan si Palalok, dikatokannyo sagalo isyaraik peti garagasi nan
tun. Sudah tu mungko pailah urang tuo tadi maambiak lapiak jo banta sarato
dikambangkannyo dan disuruahnyo si Palalok tidua-tidua malapehan panek. Dek
si Palalok manampak lapiak jo banta nan tun, labiah sasuko mancaliak nasi jo
kupi. Mangko tidualah si Palalok.

Lah sabanta awaknyo takalok, lalu pailah urang tuo tu ka biliaknyo mancari
peti. Peti si Palalok ka ditukar inyo jo peti pulo. Untuang kaparuntuangan, peti
urang tuo nan tun saroman bana jo peti si Palalok, sahinggo si Palalok indak tau
bahaso peti lah batuka.
Indak barapo lamo antaronyo, tasintaklah si Palalok. Katonyo bakeh urang
tuo nan tun:
"Tantangan dari pado ambo nangko, tiok ambo ka mari makan minun juo di siko.
Indaklah tabaleh guno inyiak dek ambo. Kini inyiak lapehlah nak ambo bajalan
pulang. Untuang-untuang dek barakaik peti garagasi nangko, dilindokan Allah juo
andaknyo hati anak rumah ambo".
Jawek urang tuo nan tun:
"Molah bak nan tun kato ang, jadilah. Salamaik samiang ang tibo di rumah. Jan
basuo silang salisiah andaknyo".
Sudah tu bajalanlah si Palalok pulang manjujuang peti nan tun.
Dek lamo bakalamoan tibolah awaknyo tangah halaman. Ka naiak maraso
takuik, ka suruik hati lah hibo. Tagak tacangang-cangang, duduak tamanuang-
manuang, urang pun indak nan maliek. Io bana bak kato urang:

"Pacah balah batu di gunuang


Sarayo dibao bajalan malam,
Ya-Allah tidak tatangguang,
Raso tidak dikanduang alam".

Hari basarang patang juo, ancua luluah di dalam hati, surangpun tidak nan
manyapo.

Anak urang di lansek kadok (?),


Pucuak kacang bajelo-jelo,
Apo ka tenggang si Palalok,
Surang pun tidak nan batanyo.

Dek lamo bakalamoan, maimbaulah si Palalok. Baru tadanga dek padusinyo


si Palalok babaliak pulang, mangko turunlah sadonyo andak mampatinjukannyo.
Kato si Palalok:
"Jan kalian berang-berang juo, dangakanlah nak den katokan. Ikolah peti nan
batuah, peti pusako garagasi. Kok untuang pambari Allah, barakaik kiramaik peti
nangko, lai ka sanang iduik kito. Ikolah peti adokan kain, apo dicinto apo buliah.
Labiah dipakai kito jua, buliah panabuih jo pamagang. Pokoknyo hati lai saba".
Jawek padusi pulo:
"Usah kami ditipu juo. Tumbang layanglah ang dari siko. Baolah peti buruak ang
nangko".
Kato padusinyo nan tuo:
"Bialah nak dicubokannyo peti batuahnyo nan tun. Kok indak basuo bak katonyo,
kito lacuikan peti nan tun katangkuraknyo".
Lalu diimbaukannyolah si Palalok ka tapakan janjang, sarato disuruahnyo
cubokan peti nan tun.
Lalu dibaonyolah dek si Palalok peti nan tun, sarato manyaru-nyaru bakeh inyiak
garagasi, katonyo:
"Kok sabana peti pusako garagasi, adokanlah kain tujuah paluluihan ka pakaian
padusi den nangko!"
Baru disingkoknyo, kironyo indak sabuah juo nan tasuo. Dek itu tangangaklah
Si Palalok. Tasingguang labiah bak kanai, alun ditinju lah manggaruang. Jadi
hiruak pikuak pulolah dalam kampuang nan tun. Satangah lai manokok,
satangah lai maninju. Indak tatahan lai dek si Palalok, mungko lari pulolah
awaknyo samalam-malam nantun ka ladang urang tuo tadi. Lalu diimbaunyolah
urang tuo nan tun:
"Hai inyiak, singkokanlah pintu, hiboilah ambo sakali ko".
Dek urang tuo nan tun pulo disingkokannyolah pintu sarato disuruahnyo naiak. Si
Palalok pun naiaklah sambia manangih manutuakan parasaiannyo bakeh urang
tuo nan tun.
Kato urang tuo tu pulo:
"Iolah hibo hati den maliek parasaian ang. Kok santano baban barek, lah amuah
den samo mamikua ka bahu, manjujuang ka kapalo. Iko ba a lah janyo den ka
manolong ang. Ba a to anyo nan takana dek ambo, kok io ang lai bainyiak
garagasi, babaliak pulolah ang di hari siang. Sampaikan molah parasaian ang.
Mamintak juo molah pusako nan lain nan ka buliah panolong diri ang!"
Jawek si Palalok:
"Molah bak nan tun kato inyiak, nak den bajalan molah di siang".
Namun samalam-malam nan tun si Palalok tidaklah tidua, gilo manangih-nangih
juo.

Aia gadang bakarang gadang,


Batukuak jo aia rimbo,

Hati rambang basarang rambang,


Batukuak jo hati hibo.

Badarak-darak badarun-darun,
Tamiang di Batang Hari,
Bagarak candonyo ambun,
Lah ka siang molah ko hari.

Bungo dadok ateh tampian,


Ka suntiang Nangkodo Amaik,
Tidua sakalok barasian.
Raso di dalam liang lahaik.

Tasintak duduak si Palalok, diliek hari lah siang. Lalu awaknyo bakato:
"Oo inyiak, jagolah inyiak. Ambo bajalan anyo lai, samantaro hari balun tinggi".
Manyauik urang tuo nan tun:
"Nambek bajalan ang daulu, nantikan nasi jo kupi. Di rimbo, di ma ang ka makan.
Marilah kito samo ka dapua, nak lakeh masak nasi kito".
Si Palalok pai ka dapua, urang tuo manjapuik aia. Ada sabanta sakutiko
masaklah nasi jo kupi. Basanduak makan anyo lai. Lah sudah minun jo makan, si
Palalok mamintak rido.
Manggaleh ka Batang Kuok,
Sitawa di bawah pauah,
Ridokan nasi nan sasuok,
Ka baka bajalan jauah.

Pucuak linggalah-linggalah,
Pucuak jawi-jawi mudo,
Inyiak tinggalah-tinggalah,
Isuak nak ambo ka mari pulo.

Bajawek salam si Palalok, turun bajalan anyo lai, masuak padang ka lua
padang, masuak rimbo ka lua rimbo.

Karuntuang bari basaok,


Dijinjiang ka tapi rimbo,
Sudahlah untuang si Palalok,
Bajalan jo hati ibo.

Anak rang Tanjuang Silayo,


Ka pakan mambali tuduang,
Bunyi unggeh badayo-dayo,
Bak bunyi ratok bundo kanduang.

Duduak mangaluah si Palalok, aia mato badarai-darai,

Bak intan putuih pangarang,


Bak maniak putuih talinyo,
Di kampuang ditulak urang,
Mularaik diri masuak rimbo.
HUKUMAN BAKEH ORANG PALADANG

Si Palalok bajalan pulo manurun ka tapi danau, tidua babaliak masuak


biduak. Lah sahari duo hari, minun tidak makan pun tidak, garagasi tak kunjuang
datang juo, antah ka mano ka dicari, indak tantu tampek diamnyo. Dapek pikiran
Si Palalok, dicarinyo kayu nan panjang, dikabekan deta ganti alam 8, ditagakan di
tapi danau nan tun, mambari tahu garagasi.

Dek lamo bakalamoan, hari nan sadang tangah hari, lah tinggaran garagasi
datang. Angok babunyi lingga cino 9, suaro bak bunyi patuih tungga, si Palalok
bak cando lalok juo.
Baru nampak alam tatagak dek garagasi nan tun, lah tahu awaknyo si Palalok
babaliak pulo. Dituruiknyo ka biduak nan tun, janyo:
"Lah babaliak pulo ang Palalok. Iolah malang anak urang nangko. Indak tahu
kanai kicuah, kanai dayo urang di ladang, peti jo pariuak ditukarinyo.
Kini juo ang babaliak pulang, baolah tungkek den nangko. Ikolah tungkek kabek
mangabek, sia badoso dikabeknyo. Kok sampai ang ka ladang urang tuo nan
tun, suruahlah kabek di tungkek nangko, suruah bunuah mati-mati. Urang
pangicuah urang pandayo, indak badoso kok dibunuah!"
Jawek si Palalok:
"Molah bak nantun kato inyiak, nak ambo babaliak molah pulang. Ridokan molah
di inyiak dari dunie lalu ka akiraik, sampailah kasiah sayang inyiak. Di ambo
indak tabaleh guno inyiak".

Lah abih rundiangan jo paparan, sagalo isaraik lah dituntuik, lalu babaliaklah
awaknyo pulang. Hati lah arok-arok cameh, nan hilang raso kan dapek, malu
raso ka tatuntuik.
Dek lamo lambek di jalan, sampai pulolah ka ladang urang tuo nan tun. Baru
nampak dek urang tuo si Palalok lah tibo pulo, katonyo dalam hatinyo:
"Lai molah ka batukuak juo lai manah pusako ambo dek si Palalok nangko".
Lah sabanta si Palalok duduak, dibarinyo nasi jo kupi. Lalu batanyo urang tuo
nan tun:
"A pulo pusako nan dibari inyiak kito. Kok balangkah nan daulu juo, badan ang
juo nan ka marasai".
Jawek si Palalok sambia galak:
"Asiang pulo nan tabao dek ambo, inyiak. Tungkek buruak lai sabuah, ka
tungkek-tungkek masuak rimbo. Bak nan tun kato garagasi".
Kato urang tuo tu pulo:
"A pulo tuahnyo tungkek nan tun? Kok alang kapalang pulo tungkek alun ka
patuik jadi pusako".
Jawek si Palalok:
"Makan siriahlah inyiak daulu, kok ka den cubokan tungkek den nangko. Dek bak
nan tun kato den, garak buruak lah tasuo sahari ko. Sukatan raso kan panuah,
bilangan raso kan sampai, kok umua raso kan singkek".
Baru bak nan tun kato si Palalok, agak barubah muko urang tuo nan tun.

Alaukan kabau ka pabuek,


Bari batali dipauitan,
Doso lah banyak tapabuek,
Ka muko nyato kaliatan.

Sambia bakato salah sadan:


"Ba a mungko bak nan tun kato ang. Nan tak didanga lah didanga. Badan ang
saelok nangko, kini ang bak cando urang ka mati. Ba a koh garak nan tasuo, jan
disabuik nan bak nan tun. Nyao di dalam tangan Allah, mangapo kito basipaik
kadim".
Jawek si Palalok:
"Io bana kato ambo inyiak, indak ambo bagarah-garah. Bak kato-kato urang,

Bacuko-cuko molah kito,


Ambiak parandam karamalai,
Basuko-suko molah kito,
Dunie tak lamo kito pakai".
Mandanguih urang tuo nan tun:
"Usah taanja-anja bana, usah muluik tadorong-dorong. Cubolah ambiak tungkek
nan tun, nak den liek nak den lengong".
Kato si Palalok:
"Kok inyiak nak maliek juo tuah tungkek nangko, barido-rido kito daulu. Ridokan
kato nan tadorong, ridokan nasi nan sasuok, ridokan nasi nan tamakan, ridokan
sado nan tapakai, jan batungguan kito isuak".

Lalu diambiaknyolah tungkek nan tun, diantakannyo tigo kali sambia manyaru
garagasi:
"Kok io sabana tungkek kabek mangabek, tungkek pusako garagasi, kabeklah
urang tuo nangko, bunuah sakali mati-mati. Urang paumbuak, urang paumbai,
urang pangicuah tagak-tagak!"
Sasampai kato si Palalok, saroman kilek tali kalua dari dalam tungkek nan tun.
Bakabek babuhua tak buliah diungkai lai. Kalusuak baka urang tuo nan tun,
sapatah tidak takatokan kato. Baribu tali nan makan, sudah kucuik bakucuik
pulo, tak buliah manggarik lai.
Ado sabanta sakutiko, pansanlah urang tuo nan tun. Sakutiko lai putuihlah
angoknyo, tak badan manggarik lai.
Manyaru pulo si Palalok:
“Hai tungkek kabek mangabek, hai tali saribu tali, kambali angkau ka tampek
angkau”.
Barakaik kiramaik tungkek nantun, suruik samulo anyo lai.
Si Palalok masuaklah ka biliak mancari peti jo pariuak manah pusako garagasi,
pusako turun manurun lalu ka cucu ka piuik. Salamo dunie takambang tuahnyo
baitu juo, hilang tak buliah diganti, arago satimbang jo nagari.
Lah tasuo peti jo pariuak, gadang hati bukan kapalang. Bakatolah Si Palalok,
bakato sambia manyengeang:

"Kayu marangkah tapi pantai,


Ambiak ka sampan anyo lai,
Sapueh-pueh dek marasai,
Kok lai ka sanang anyo lai".

SI PALALOK MAUKUN PADUSINYO

Dijujuang peti jo pariuak, batungkek bajalan pulang, maik tahampai


ditinggakan.
Ado sabanta pajalanan, ampia ka sampai dalam kampuang, tasuolah urang
dalam kampuang, riuahlah sorak dangan sorai.
Bakato urang kampuang nan tun:
"Marilah kito pai maliek Si Palalok lah babaliak pulo mambao peti jo pariuak.
Tampan ka hiruak dalam kampuang. Iolah gilo si Palalok, parapati di ateh paran,
kok indak mati indak jaran".
Babondong urang datang. Si Palalok bajalan juo, indaknyo mancaliak kiri
kanan, amun pacek11 didanga juo.
Baru tibo tangah halaman, badoro turun anak rumahnyo. Satangah mambao
ladiang, satangah mambao tombak, babagai sanjato turun ka pambunuah
lakinyo nan tun. Anak rumahnyo katujuahannyo mahariak mahantam tanah:
"Mambari angik, mambari malu, ba a mungko ang babaliak juo!"
Dek urang banyak nan tun pulo, diliek raso ka mularaik, basamo-samolah
mambujuak padusinyo nan tun. Kato urang banyak:
"Si Palalok tak guno dilawan, awaknyo lah nyato gilo!"
Alah sabanta iru-biru12, lalu bakato Si Palalok, janyo:
"Hai sagalo inyiak mamak, dunsanak sudaro, gadang ketek tuo mudo, laki-laki
parampuan, dangalah daulu nak ambo katokan. Adopun ambo lah kanai kicuah,
kanai dayo dek urang tuo di ladang. Pariuak jo peti ditukarinyo. Kini ikolah nan
sabana pusako garagasi. Kok jikalau bongok 13 pituah garagasi nan lah ambo
tuntuik nan tun, barido-rido molah kito. Bunuhlah ambo mati-mati, buanglah
ambo jauah-jauah, tak badan manyasa lai".
Mandanga kato Si Palalok nan tun, manjawablah anak rumahnyo:
"Samo dangalah di nan rapek, kito liek basamo-samo. Kok indak pulo basuo
sapanjang katonyo nan tun, usah kami disasali, kami bunuah mati-mati!"
Kato urang banyak pulo:
"Molah bak nan tun!"
Kato Si Palalok:
"Elok juo kito liek daulu, kok indak kito buang molah jauah-jauah".
Sudah tu naiaklah Si Palalok ka ateh rumah mambao peti jo pariuak. Urang
banyak badorolah naiak, baeda duduak tangah rumah.
Lah sabanta duduak, lalu dicubokannyolah pariuak, janyo:
"Kok io sabana pariuak garagasi, adokanlah nasi jo gulai ka dimakan basamo-
samo!"
Kandak sadang ka balaku, pintak sadang ka buliah, baru disingkok saok pariuak
nan tun, mangapundan cando asoknyo. Baru diliek urang nan banyak, eran
tacangang samonyo, surang pun tidak nan babunyi.
Bakato Si Palalok bakeh anak rumahnyo nan tun:
"Ambiaklah pinggan jo cawan, sanduakilah nasi nangko. Kito makan basamo-
samo!"
Mandanga kato Si Palalok nan tun, talapeh ladiang dari tangan, tabuang tumbak
jo suligi, sarantak tagak katujuahannyo maambiak pinggan jo cawan. Nan
basanduak lah basanduak, nan manatiang lah manatiang. Dek tuah pariuak
garagasi, jan ka usak basarang panuah.
Lah sudah minun jo makan, hati lah suko anyo lai, bak palak dibao mandi,
bak paneh ditimpo ujan.
Sudah tu diambiaknyo pulo dek Si Palalok peti, manyaru bakeh garagasi:
"Kok io angkau sabana peti garagasi, adokanlah kain tujuah palulusan ka
pakaian padusi den nangko".
Sudah manyaru Si Palalok, mungko dibukanyo peti nan tun, panuah barisi kain
baju langkok jo subang jo galang jo cincin paramato. Dihimbaunyo padusinyo,
diagiah samo-samo banyak. Suko hati bukan kapalang, bak kato pantun urang:

"Alang maliuak malimbubu,


Alang pandeka mangalim sutan,
Kasiah lah tiok alai bulu,
Sayang bagumpa bak kulindan".

Bakatolah anak rumahnyo nan tun:


"Bari maaflah kami gadang-gadang, doso lah banyak tapabuek. Nan inggan iko
naiak, apo titah kami jujuang, tak kami manyangka lai. Kok nak lalok tuan si
buyuang, tak kami malarang lai. Kok sakik nak kami ubek, kok panek nak kami
uruik".
Mandanga kato anak rumahnyo nan tun, Si Palalok tapakua sajo. Katonyo dalam
hati:
"Kok bak nan tun bana kato kalian. Tarimo juo hukuman den saketek surang.
Ambo mularaik dipabuek, bukan sahari duo hari, sampai babulan dalam rimbo.
Sakik nan tidak kunjuang sanang, padiah nan tak kunjuang tawa".
Urang banyak pun tacangang juo, bakato sambia babisiak:
"Mujua gadang Si Palalok nangko, buliah pusako garagasi. Urang hino jadi
batuah, urang suka manjadi kayo, alamaik ka tunduak nagari ko. Patuiklah kito
ingek-ingek, jan kato tadorong juo".
Lah sabanta sudah itu, mungko bakatolah Si Palalok bakeh anak rumahnyo
nan tun:
"Kamari-kamarilah kalian tagak. Iko lai sabuah lai pusako inyiak kito. Kato urang
tuo nan ambo danga, sariaik palu mamalu, adaik dunia baleh mambaleh. Kini lah
patuik den babaleh".
Lalu manyarulah Si Palalok, janyo:
"Hai tungkek kabek mangabek, hai tali saribu tali! Rajuiklah dek angkau anak
rumah den nangko dari bau ka ampu kaki. Usah kanai urek pambunuahan!"
Baru mandanga kato nan tun, mangilek mangalimantang indak taambek
tamalintang, bakujuik-kujuiklah katujuahannyo tak buliah manggarik lai. Bunyi
pakiak bak kan luluih, baguliang-guliang tangah rumah. Urang banyak badoro
turun, takuik kasamo kanai kabek, manggigia tulang pasandian.
Si Palalok mahariak mahantam tanah:
"Mano kalian urang banyak! Nan sahinggo iko ka ateh, jan kalian tadorong juo,
jan muluik tacalua-calua14 juo. Abih kalian den bunuhi!"
Mandanga kato Si Palalok, tunduak manyambah gadang kicik.
Mahariak pilo Si Palalok bakeh anak rumahnyo nan tun:
"Rasai dek kalian, samantang ambo urang binguang, lah liliah laluan 15 amek bak
jamua tangah tigo hari!"
Anak rumahnyo nan tun marauang maratok panjang mamintak ampun baribu
ampun.

Lah sahari duo hari, makan tidak minun pun tidak, tali nan indak amuah
tangga. Jan ka tangga basarang arek bakebek babuhua mati. Padiah nan bukan
alang-alang, bak dirandang bak dipanggang, bak dilembai api nyalo, dek kanai
tali nan tun, raso ka putuih nyao badan. Bukan tali sumbarang tali, tali diipuah
garagasi.
Lah sanang hati Si Palalok, maukun anak rumahnyo nan tun, baru disarunyo
pulo:
"Hai tungkek kabek mangabek, hai tali saribu tali! Suruiklah angkau ka tampek
angkau, bari ampunlah inyo katujuahnyo!"
Mandanga kato Si Palalok, suruik samulo tungkek nan tun. Tagak manyambah
anak rumahnyo, manyusun jari nan sapuluah, manyungkua ka tapak kaki,
mamintak ampun baribu ampun. Latiah nan bukan alang-alang, rasokan putuih
pasandian, labiah sabulan maidokan.

Tambilang di bawah lansek,


Tasisiak di bawah lantai,
Sakitu anyo nan dapek,
Nan tingga untuak nan pandai.

Urang mudiak pai malapun,


Kanailah unggeh dalam padi,
Io sajak samulo nan tun,
Si Palalok sanang anyo lai.

Urang mudiak pai ka pakan,


Mambao gandang jo rabano,
Kok tasabuik di nan bukan,
Anjak molah bakeh nan bana.

TAMAT
Keterangan
Halaman.
1. anak rumah – isteri.
2. lingau – sunyi, sepi (tidak lagi beramai-ramai).
3. didiruihkannyo – disiramnya.
4. pasa – pasar, hal jalan yang tidak lagi ditumbuhi rumput karena sering dilalui.
5. mauntok – datang dengan tiba-tiba.

6. cumpai berai – bercerai berai.


7. pasai – puas.
8. alam – bendera.
9. lingga cino – puput cina.
10. kalusuak baka – kelusuh kelasah.

11. amun pacek – hamun dan nista.


12. iru-aro – hiru-biru.
13. bongok – bodoh, dongok.
14. tacalua-calua – dengan tidak sengaja keluar perkataan yang dapat dipegang.
15. liliah laluan – lalu lalang.-
KABA MAMAK SI HETONG

T atkalo mulo-mulonyo - alun ba Sunua Kurai Taji - alun ba Tiku Pariaman -


alun ba Sintuak Lubuak Aluang - bumi ka tahantam turun - langik ka
tasentak naiak - lauik salaweh daun marunggai - dunie salaweh tapak kudo -
buruang batolan-tolanan - dagang babondong-bondongan.

Ado sapakaro duo - dalam Ulak Tanjuang Bungo - di nagari Camin Taruih - di
Inak Muaro Intan - di ranah Payuang Sakaki - di anau nan kaciak-kaciak - di
langgundi1 nan linggayuran2 - di karambia atok tungku3 - di pinang nan lamah-
lamah - di cubadak gadang tinggi - di lakek-kanji satumpuak.
Kok tinggi duo jo randah - kok hino duo jo mulie - kok elok duo jo buruak - kok
kayo duo jo suka.
Sialah urang nan kayo - iolah Datuak Bandaharo - io Rubiah Rando Kayo -
dunsanak Rajo Nan Angek.

Dek untuang jo paruntuangan - dek laruik lamo babaua - tumbuah baranak


babuah - ado anaknyo padusi - tibo di lantai lantai patah - tibo di sandi sandi
balah - baharu ado baharu banamo - banamo Kasumbo Hampai.
Kok kaciak pandeka lilik4 - kok ketek akanyo panjang - ruai bak anak kambiang -
bak lobak di pamarunan5 - bak jaguang tangah duo bulan - maruai bak padi
masak.
Tak gadih saelok itu - maha sutan ka tandiangnyo – maha rajo ka judunyo. Bak
malaikat turun ka dunie - bak Nabi ka jawek salam.
Kok diagak diagiahkan - kok dicurai dipapakan - mukonyo bagai bulan panuah -
iduangnyo bak talua bondo - pipinyo pauah dilayang - kaniangnyo kiliran taji –
abuaknyo landia disintak6. Dikaniangnyo bantuak tajian – ditundun7 kaja mangaja
- sangguanyo bajumbai alai - pangarang duo puluah ampek - panggantuang
sambilan alai. Siganyo manjalin mancik – inggok langau tunggang langgang -
bak antun linggeh8 sangguanyo - nan gadih Kasumbo Hampai - anak Rubiah
Rando Kayo - kamanakan Rajo Nan Angek. Caliaknyo camin talayang - kuripeh
palito padam - kalilik9 pagaga ambun. Bibianyo limau sauleh - giginyo kambojo
masak – daguaknyo awan tagantuang - batang lihia mundam10 dilariak - sariang
gantiang bak pinyangek – rampiak11 pilin bak pianggang. Pinggangnyo sacakak
daun bodi - batih bak paruik padi - lutuik mambuku banta - induak tangan bungka
satahia - jari sigulandak gunjo - papek kuku bulan tigo ari - baitu tandai
rancaknyo.
Kok diagak diagiahkan - kayonyo Kasumbo Hampai - kabau bantiang tayok12
di padang - kambiang panuah di baluka - itiak tanang di muaro - parpati linduang
jo bulan - rang dangan13 sakarek koto - sawah gadang sabuah banda - kapuak
kaciak salek samalek - di tangah si bayau-bayau - di rusuak si tinjau lauik - di
tapi sitangguang lapa - makanan dagang nan lalu - minuman urang
kampuangnyo. Sabuah anyo pantangnyo - asa jan dibuang-buang. Baitu tandai
kayonyo - nan gadih Kasumbo Hampai.

Kaba baraliah anyo lai - sungguah baraliah sinan juo. Takaba suka jo bansaik
- sialah urang nan suka - io moh Mamak Si Hetong - baarato babando tiado -
bamamak banyinyiak tiado - minun makan lai tiado – guli14 satangkai
panghidupan - aia sagaluak nan dimakan.
Abih taun baganti taun - abih bulan baganti bulan - awak kuruih daki lah
banyak - tulang rusuak batunjuran - daki di pungguang lah baguluang - bakain
sacodiak ketek - kiro panyaok urek sajo - baitu tandai bansaiknyo - baitu tandai
sukanyo - nak urang Mamak Si Hetong. Tingga baduo baradiak - Si Rona Pinang
namo adiaknyo. Manangih Si Rona Pinang - apolah buah tangihnyo:
"Tuan oi Mamak Si Hetong - nyato paruik litak nak makan - nyato awak auih nak
minun - bak ka titiak darah di tunjuak - bak ka ilang nyao rean15 - bak ka putuih
rangkai hati - bak ka rompong bubun-bubun - baitu tandai litak paruik den - tuan
oi Mamak Si hetong" katonyo Si Rona Pinang.
Manjawab Mamak Si Hetong:
“Adiak kanduang Si Rona Pinang - tak elok adiak parusuah - tak elok adiak
parisau - urang parisau dareh mati - urang parusuah dareh tuo.
Lai amuah adiak den suruah - kok io paruik litak nak makan - kok io auih nak
minun - pailah adiak ka kiun - ka kampuang Kasumbo Hampai - ka luhak 15a ka
Padang Rajo - lumuik tiado lintah tiado - sipaik sajo nan marupo - kalari16
babondong ilia - ikan gadang babondong mudiak - anak pantau bamain-main.
Baolah aia sagaluak - baolah guli satangkai - kapik kayu sakarek. Guli ka ubek
litak - aia ka ubek auih".
Mandanga kato nan bak kian - bajalan Si Rona Pinang - bajalan baguluik-guluik
- bajalan bagageh-gageh - paluhlah untak antiakan - angoklah gadang ketekan.
Lah dakek ampiang ka sampai - aluran tibo di sanan - lah tibo Si Rona Pinang -
di sumua Kasumbo Hampai.
Bapantun Si Rona Pinang - apolah buah pantunnyo,

"Kampia kaciak kampia basuji,


Kampia sudah dipamalai17,
Aia janiah tapian sunyi,
Di sumua Kasumo Hampai.

Kok anyo mandi den siko - paruik den litak ka kanyang - awak den auih ka
sajuak - tubuah nan buruak ka elok". Talalu mandi sakali.
Sabanta Si Rona mandi - duo banta Si Rona mandi - lah karuah pincuran
urang - dek daki Si Rona Pinang.

Dek maso diwaso itu - hari nan sadang tangah hari - sadang bunta bayang-
bayang - sadang litak-litak anjiang - sadang kanyang-kanyang pipik - tasintak
Kasumbo Hampai - talalu jago sakali - bakabek-kabek jo kaban18 - bapiro-piro jo
cindai - bapalun-palun jo rambuik.
Bakato Kasumbo Hampai:
"Diak kanduang Si Kambang Manih - dangakan pantun den di kau,
Limo kupang limo busuak18a,
Duo kali tangah tigo ameh,
Kurang duo kupang sapao,
Hari kok mambang barisuak,
Balimau tasinga paneh,
Ka pambuang-buang maro".

Mandanga kato nan bak kian - jadilah heran kiro-kiro bapaknyo - mabuak hati
bundo kanduang - maagaki curai pantunnyo - mamikiri takabianyo.
Kununlah Si Kambang Manih - iolah urang nan bijak - Kambang Manih kumbang
den oi - inggok di rantiang mambunuah.
Si Kambang nan bakeh hati - awaknyo rajin disuruah - capek kaki ringan tangan
– karacau19 taulah-ulah - mamacah sakali balun.
Bawari Si Kambang - mancabua ka biliak dalam - malantak peti mangewang -
mandanguang tali bubutan - tabukak buntia nan gadang - barisi pakaian sasalin.
Apolah roman pakaiannyo - hitam batapo tak tantu kulabu biru - tak abeh kapeh
Kuantan Batang Hari - dijujuik badalua-dalua - dipageh badambun-dambun -
ditanun nak rang baisang20 - digantiah nak rang baparuah21.
Kalarai22 sibungo alai - bamenggak bamenggo-menggo - bauia-uia manyasok -
bapucuak rabuang tapinyo. Tiok suduik tiok piganta23 - tiok tapi tiok pitangang24 -
pakaian Kasumbo Hampai.
Bawari Kasumbo Hampai – babajo25 sambia ka dapua - baminyak sambiang ka
biliak - bacamin sarang ka pintu - mamakai ka tangah rumah - rantak marantak
susun kain - herek gumerek gunjai cawek - irun gumirun tanti baju - batapuak
subang di pipi - baralun galang di tangan - manyisiak cincin di jari. Jari
sigulandak gunjo - langan antaran anyuik - batih bak paruik padi - lutuik
mambuku banta - induak tangan bungka sapao - induak kaki barek satahia -
papek kuku bulan tigo hari.
Kok den lorong ka romannyo - nan gadih Kasumbo Hampai - mahalah Rajo ka
judunyo - mahalah Sutan ka tandiangnyo - suka Puti lawan duduak.
Pihak kapado sangguanyo - sangguanyo bajumbai alai - panggantuang duo
puluah ampek - pangarang sambilan alai.
Siganyo manjalin mancik - inggok langau tunggang langgang - dek linggeh
sanggua nan gadih.
Kununlah di Kasumbo Hampai - dijalai rokok sabatang - dikunyah siriah sakapua
- sadang elok pamulutan - sadang dapek agak-agak - sanan bakatolah awaknyo:
"Adiak kanduang Si Kambang Manih - baolah limau sabuah - bao kumanyan
Kambang oi. Adiak kanduang si Salamaik - bujang baolah api di sabuik - daulu
kalian ka pincuran - papeklah limau dek ang sataro - pasanglah niek jo kaua.
Bacolah Ya Allah Ya Sidhi Ya Mulie Ya Tuhanku junjuangan den".
Bajalan Salam Salamaik - diganggam rencong jo suok - dipacikan mangkuak
jo kida - bajalan baduo jo Si Kambang.
Lah dakek ampia ka tibo - nak rang Si Kambang Manih - sinan bakatolah
awaknyo:
"Tuan oi Salam Salamaik - caliak di tuan tantu-tantu - pandang di tuan nyato-
nyato - kok mato den nan bapisek-pisek - kok pancaliakan den nan batuka-tuka -
puti di mano tu nan mandi".
Manjawab Salam Salamaik:
"Adiak kanduang Si Kambang Manih - siko kito mulo susah - siko kito mangko
kiamaik. Ukan do Puti nan mandi - Si Rona Pinang ko moh tu - adiak Mamak Si
Hetong".
Bawari Si Kambang Manih - dicampakannyolah rencong - dilantiangkannyo
kumanyan - diserakannyo tu limau. Babaliak suruik Si Kambang - paluahlah
untak antiakan - angoklah gadang ketekan - dek sangaik latiah bajalan.
Lah tibo Si Kambang Manih - di bawah anduang nan gadang - lah batamu jo nan
gadih.
Bakato Kasumbo Hampai:
"Darah den badabuak-dabuak - jo sia adiak batingkah - jo sia adiak bakalahi -
mulo sarupo satampan iko".
"O aciak Kasumbo Hampai” katonyo Si Kambang Manih.
“Ukan kami bakalahi - ukan ambo batingkah - langik runtuah tanah lah taban - Si
Rona Pinang namonyo - tu adiak Mamak Si Hetong - mandi di pincuran kito. Lah
karuah pincuran kito - lah panuah didakinyo".
Lalu berang Kasumbo Hampai - dicabiak baju di dado - dibungkuih kain dalam
badan. Barakaik bangih hatinyo - lapeh pangarang sanggua - tagerai rambuik
nan gadih - baleyok-leyok sampai di tanah - bakabek-kabek tibo di tumik -
bapalun-palun di pinggang.
Tibo awaknyo di pincuran - nan gadih Kasumbo Hampai - bakatolah awaknyo:
"Sia iko paja nan mandi di sumua ambo - sumua ambo sumua batuah - akeh
rajo-rajo mandi - akeh Sutan minum-minum. Di sia kau dapek pangaja - di sia
kau buliah pituah - anak anjiang anak binatang - anak jumbalang26 moh kironyo
- anak ngiang-ngiang rimbo - anak cancang panarahan27. Kununlah bak pareh
kau iko - tapijak ka den jengkeangkan - tarewai ka den lapehkan - tatangguak ka
den tuntuangkan.
Bapak kau panjua pada28 - mandeh kau panjua sadah - cacek kau batukuak-
tukuak - hino kau batambah-tambah - io bana bak pantun urang,

Balari-lari ka pakan,
Mandapek alang ateh tunggua,
Lah ganok hari kau tiado makan,
Bagai maik dalam kubua".

Mandanga kato nan bak kian - bakato Si Rona Pinang:


"Kak oi Kasumbo Hampai - jan kakak baitu bana - lauik sati rantau batuah -
urang dunia pandai-pandaian. Kok tak dapek di urang siko - ka danau ambo
mintakan - ka Aceh batandang tidua - nan gadih ka sanang tiado".
Bawari Si Rona Pinang - nyo kapik guli satangkai - nyo pangku kayu sakarek -
nyo jenjeang aia sagaluak - dilakekannyo kodeknyo - kodeknyo sacapiang ketek
- kiro panyaok urek sajo - baitu tandai mikinnyo.
Babaliak Si Rona Pinang - baharu tibo inyo di dangau - bakato Si Rona
Pinang:
"Tuan oi Mamak Si Hetong,

Antah ijuak dielokan,


Ba a anyo saga nan tabao,
Paikek di pinggang tabiang,
Sajak daulu den katokan,
Disasa ka dapek tiado,
Jariah den tabuang samiang.

Tuan suruah juo den ka kiun - sumua urang sumua batuah - bakeh rajo mandi-
mandi - bakeh sutan minum-minum - bakeh gadih bamain-main - bakeh puti
baherak-hiru.
Dek tumbuah malang jo maleh - sataro awak den mandi - batamu jo Kasumbo
Hampai. Lah buliah amun jo cacek - lah buliah29 upek jo puji - jo a lah malu ka
dibangkik - baarato babando tiado".
Bawari Mamak Si Hetong:
"Jan itu adiak rusuahkan - jan itu adiak risaukan - lai amuah adiak den suruah -
ka rumah aciak Ameh Manah. Pailah manyalang rencong - dititiak tukang duo
baleh - disapuah tukang batujuah - disintak bakato-kato - diganggam batutua-
tutua - ratak puntiang tando gateh,

Api-api tabang ka tunggua,


Tibo ditunggua balalaran,
Angok-angok maik di kubua,
Biso nan tidak katawaran.

Itulah rencong nan ka kau salang - ka rumah aciak Ameh Manah - anak tungga
Adudalah".
Kununlah Si Rona Pinang - baharu tuannyo manyuruah - awaknyo bajalan
sakali - ka rumah aciak Ameh Manah.
Lah dakek ampia ka sampai - mandariang salindik jantan - mambilobok baruak
nan tungga - manyalak anjiang nan gagok - bakukuak kinantan cuci - mambaleh
si biriang kuniang - hiruak-hiru ayam nan banyak.
"Sutan nan mano nan ka tibo - rajo nan mano nan ka datang - puti langik mano
nan ka turun - adiak kanduang Si Kambang Manih" katonyo aciak Ameh Manah.
Mancabua ka biliak dalam - lantak juo peti mangewang - mandanguang tali
bubutan - saribu pasak malonjak - tabukak peti nan gadang - barisi pakaian
rumah. Takambang tirai jo kulambu - takambang tirai langik-langik - baserak
kasua tangah rumah - lah lakek pakaian rumah.
Kok dihetong rumah Ameh Manah - dampa-dampa si ula gerang30 - tuturan labah
mangirok - gonjong atok rabuang mambacuik - halaman carano basa.
Manjanguah Puti Ameh Manah - mancaliak lalu ka halaman - sinan
tacanganglah awaknyo – kironyo ukan puti nan datang - ukan to gadih nan lah
tibo - kironyo Si Rona Pinang - tu adiak Mamak Si Hetong.
Bapantun Si Ameh Manah:

"Cubadak tangah halaman,


Tataruang di ampu kaki,
Si Rona usah tagak di halaman,
Tu kendi basuahlah kaki".

Manjawab Si Rona Pinang:


"Kak oi aciak Ameh Manah,

Den atak den atun-atun,


Den lalu ka kida rumah,
Mulo den tagak tatagun-tagun,
Haram den aso aciak di rumah".
Lah naiak Si Rona Pinang – ka rumah aciak Ameh Manah – lah timbang salo
manyalo – lah ganti siriah manyiriah – rokoklah abih sabatang – siriahlah abih
sakapua. Sarilamak jatuah ka paruik – sarimorak tingga di muko – siriah tingga di
bibianyo – sadang elok pamulunan – aciak Ameh Manah – jo Si Rona Pinang.
Bakato Si Rona Pinang:
"Mulo den datang ka mari – malang tak buliah den tulak – mujua tak buliah den
raiah – pai den ka sumua Kasumbo Hampai – lah diupek dipujinyo – lah di amun
dicaceknyo. Jo alah malu ka den bangkik – baarato babando tiado – baniniak
bamamak tiado. Ambek lai arato jo bando – minun makan lai den tiado – aia
sagaluak nan den minun – guli satangkai nan den makan.
Kok lai ibo kakak di den – kok lai kasiah di nan bansaik – salangilah den
rencong kakak – nan dititiak tukang duo baleh – nan disapuah tukang batujuah -
malampeh nan pandai bana. Kok lai buliah den manyalang - kok lai ka tabangkik
malu - gadang nak baganti-ganti - cadiak nak sakali surang".
Manjawab Ameh Manah:
"Adiak den Si Rona Pinang - asa jan rencong kau salang - ameh perak baolah di
kau - kabau bantiang baolah di kau - mungko den tak amuah bapasalang -
rencong den rencong pusako - dititiak niniak muyang den - rencong sudah
tukang babunuah. Kok patah jo a kau titiak - kok sumbiang jo a kau kimpa – kok
ilang jo a kau ganti - itu mungko den tak amuah - bapasalang rencong den keh
kau".
Manangih Si Rona Pinang - uainyo sayuk-sayuik - isaknyo saisak-isak -
inguiknyo sainguik-inguik - paluah sipekan jo suok - aia mato sipek jo kida:
"Kunun hilang rencong kakak - buliah ambo ganti - kok patah buliah ambo kimpa.
A nan ka pangimpa - kami baduo baradiak - surang jantan surang padusi -
Mamak Si Hetong tuan den - Si Rona Pinang awak den - ambiak budaklah di
kakak - kok hilang itu ka gantinyo".
Bakato Tuanku Adudalah:
"Anak kanduang Si Ameh Manah - agiahkan juo rencong kehnyo. Kok hilang
awak den molah mangganti" kato Tuanku Adudalah.
Dek ibo Si Manah - disuruah agiahkannyo rencong akeh Si Rona.
Lah tibo Si Rona Pinang - di rumah Mamak Si Hetong. Baharu tibo anyo di
rumah - bawari Mamak Si Hetong:
"Adiak kanduang Si Rona Pinang - lai buliah nan kau salang - ka rumah Si Ameh
Manah".
Manjawab Si Rona Pinang:
"Insya Allah lai tuan - tatapi batahakik kito saketek. Kok nyo hilang rencong
urang - kito diambiaknyo budak. Kok jamua urang kito tumbuak - kok anak urang
kito asuah - kok sawah urang kito pangkua. Itu ka paaliah rencong urang -
karano ameh tiado di kito - sawah ladang jauah sakali - minun makan kito lai
tiado - batahun-tahun tak makan - bamusin-musin kito tak minun - guli satangkai
panghidupan - barakaik suka mikinnyo kito".
Mandanga kato nan bak kian - manjawab Mamak Si Hetong:
"Kok itu adiak jan rusuah - tinggalah adiak di rumah - nak den bajalan jauah".
Bakato Si Rona Pinang - bakato sambia manangih:
"Kok itu tuan katokan - iolah ibo bana hati den - sabab awak den ketek baharu.
Ikolah ruponyo rumah - kok dindiang samo ragian31 - kok atok bintang-bintangan
- kok janjang sayuik-sayuik sampai.
Kok tumbuah malang jo maleh - sataro tuan bajalan - kok datang kejahatannya -
kok tibo ula nan gadang - adiak tuan kok diluluanyo - sialah koh nan ka di pakiak
- sialah nan ka den rahai32 - indak bakaum kaluargo. Kok pulang tuan bajalan - di
sia den ka tuan tanyokan - ikolah ruponyo kampuang".
Bakato Mamak Si Hetong:
"Itu nan kau katokan - adiak kanduang Si Rona Pinang - paciklah pitaruah den di
kau - tutuiklah pintu arek-arek - jambolah lapiak daun pua - kajangkan di tangah
rumah - lalok sajo paningga den. Itu nan ka pitaruah den - nan usah kau ubah-
ubahI".
Manjawab Si Rona Pinang:
"Kok itu tuan katokan - iolah rusuah hati den. Mungko den bahati rusuah - tuan
ka pai bajalan - ambo ka tingga di dangau - tingga di dangau lai buliah lalok. Nan
pai ba a lah garan - sabab bapitih sapitih tiado - babarih33 caianglah34 ba a -
bakain ba a sacabiak - antah tagolek dalam rimbo - antah tagolek ka baluka".
Manjawab Mamak Si Hetong:
"Usah kau lapeh jo bareh - usah kau lapeh jo pitih - lapeh jo hati nan suci - lapeh
jo muluik nan manih".
Bajalan Mamak Si Hetong - dangau ditingkeknyo sakali - Si Rona lalok sakali -
karuah bak bunyi manundo - angok lah gadang ketekan.
Lah sapakan Mak Hetong pai - banyaklah rimbo tarimboi - banyaklah baluka
tatajuni - banyaklah bukik nan tadaki - minun tiado makan pun tiado.
Lah abih pakan sapakan - tibo di tangah padang laweh - angin tiado ribuik tiado -
paneh pun tiado pulo. Nampak dinyo karambia sabatang sajo - ureknyo sampai
ka pitalo35 - pucuaknyo lanteh ka ateh langik - sabulan tupai mamanjek - duo
bulan tupai tak turun - satahun indayang36 tak jatuah - baralah ka tinggi
karambia.
Lalu dipanjeknyo di Mak Hetong - satingkek anyo maningkek - duo tigo rueh
talampau. Lah tibo di tangah-tangah - bahanti sanan Mak Hetong - tarang tantu
sakuliliang - tampak lauik samonyo.
Ditingkek satingkek lai - lah tibo si dolak dolai37 - mambubuang cakua38 tangah
padang - mambukik kayu dalam rimbo. Kok patah karambia nantun - tulang
dapek jadi abu.
Kununlah maso lai nantun - lah ilang aka Mak Hetong - lah putuih
pangharapannyo – badan lah mandi jo paluah - angok lah gadang ketekan.
Dek untuang jo paruntuangan - dek untuang pambari Allah - Allah manolong
padonyo.
Bakato rencong Si Ameh Manah:
"Tuan ai Mamak Si Hetong - karambia usah tuan panjek - pacikan saruang den
di tuan - nak den tabang ka ateh karambia".
Karambia babuah sabuah sajo - badaun saalai sajo - lalu dipakuak dahan cako -
di rencong Si Ameh Manah - lah jatuah karambia nantun.
Lah tibo Mak Si Hetong di bawah - lalu dikubaknyo karambia nantun -
dirauiknyolah tampuruangnyo.
Mulo bajalan pulolah Mak Si Hetong. Ka mano Mak Hetong bajalan - ka ranah
ka Limo Puluah - ka Taeh ka Simulanggang - lah ka bawah Gunuang Bunsu - di
ateh Baringin Sati - di tangah talang parindu - barueh sarueh sajo - badaun
saalai sajo. Itu talang diambiaknyo - dibuek ka saluang ciek - tampuruang dirauik
ka rabab. Saluang sudah rabab pun sudah.
Babaliak Mak Hetong pulang - lah tibo anyo di rumah - lah jago Si Rona Pinang.
Bakato Si Rona Pinang:
"Kok litak tuan tu kini - kok auih tuan agaknyo - mangalailah tuan sabanta - nak
den angekan aia sacacah".
Lah tidua Mak Hetong - lah pai Si Rona ka dapua - dibaonyo guli satangkai -
ditanaknyo aia sagaluak. Guli masak aia pun angek. Lah dibaonyo di Si Rona -
ka akeh Mak Hetong tidua.
Lah jago Mak Hetong tidua - lah makan baduo baradiak. Mak Hetong maminun
aia - Si Rona mamakan guli.
Aso siang hari barisuak hari Jumaik - hari manjalang tangah hari - bakato
Mamak Si Hetong:
"Barabab kito Rona ai - basaluang kito sabanta - saluang ka ubek litak - rabab ka
ubek auih".
Tinggi randah bunyinyo saluang - gagok tigo bunyinyo rabab. Pipik tabang
jadilah inggok - aia mailia jadi baranti - mandanga rabab Si Rona – mandanga
saluang Mak Hetong.
Bapantun Mamak Si Hetong - apolah buah pantunnyo:

"Ka ditabang batang culan39,


Dioyak ka kida parumahan,
Badarun panabangannyo,
Anjo kito kito tiupkan bulan,
To kito bilangkan musin,
Bara do ka tatahan dinyo".
Kaba baraliah tantang nantun - sungguah baraliah sanan juo - baraliah bakeh
nan gadih.
Bakato Kasumbo Hampai:
"Apak Datuak Bandaharo - biai Rubiah Rando Kayo - mamak Datuak Rajo
Angek. Den mandanga saluang urang - aia den minun sambiluan - nasi den
makan raso sakam - tidua nan tidak talalokan - duduak nan tidak tasanangkan -
mandanga rabab Si Rona – mandanga saluang Mak Hetong".
Bakato Rajo Nan Angek:
"Kamanakan Kasumbo Hampai - kununlah Mamak Si Hetong - mungkonyo
pandai basaluang - saluangnyo ka ubek litak. Kununlah Si Rona Pinang -
mungkonyo pandai barabab - rababnyo ka ubek auih. Sabab minun tiado makan
tiado - guli satangkai panghidupan - aia sagaluak nan di minun - ka a di kau
Mamak Si Hetong nan tun.
Nak den tatoklah galanggang - bago sahari urang rami - bago sabingkah tanah
sajo - ka langik buruang den lapeh - ka darek kulansiang40 pai - ka lauik biduak
baranang. Sutan nan mano di hati kau - rajo nan mano ka dijapuik - asa jan
Mamak Si Hetong".
Manjawab Kasumbo Hampai:
"Kok mamak bunuah den ka mati - mamak jua den ka jauah - mamak gantuang
den ka tinggi - bago sutan mamak jangkau - bago rajo mamak bao - asa indak
Mamak Si Hetong. Tak dapek tu Mamak Si Hetong - banang satuka lawan lihia -
tabiang tinggi hamburan den - rencong Aceh lawan dado - nak pueh hati mandeh
kanduang - datang nan elok buruak juo".
Di hari sahari nantun - hari tagelek tangah hari - sadang kanyang-kanyang
pipik - sadang litak-litak tulang - sadang bunta bayang-bayang - bawari Kasumbo
Hampai:
"Biai Rubiah Rando Kayo - bapak den Datuak Bandaharo - kok bapantun den
sabuah,

Den indang tidak taindang,


Den tampih batambah luluah,
Den kirai badadak juo,
Aden rintang tidak tarintang,
Den pujuak batambah rusuah,
Mak Hetong taragak juo".

Painyo ka biliak dalam - malantak peti mangewang - babunyi puputan kaliang -


tabukak peti nan gadang - diambiaknyo urai satahia - dibaonyo ringgik saratuih -
ka baka anyo bajalan - manuruik akeh Mak Hetong.
Ringgik disimpan ka puro - urai disimpan ka pinggang - bajalan ka tangah rumah.
Bakato Kasumbo Hampai:
"Mamak den Rajo Nan Angek,

Mamak patah io tapatah,


Dirangkuah baduo-duo,
Mamak tagah io tatagah,
Mandacua den pai juo,

ka rumah Si Rona Pinang - ka akeh tuan Mak Hetong".


Tagaknyo ka pintu gadang - maadok lalu ka halaman - sanan bapantunlah
awaknyo:

"Tinggi malanjuiklah kau batuang,


Tidak den tabang-tabang lai,
Tingga mancaguiklah kau kampuang,
Indak ka den ulang-ulang lai.

Elok nak tabuang samiang41 - gadih nak nyik sayo sajo - nak pueh ati mandeh
kanduang".
Bajalan turun nan gadih - talenggang rumah nan gadang - tagendeang anjuang
nan tinggi.
Manangih Kasumbo Hampai:
"Kabau bantiang tinggalah tingga – urang dangan tinggalah angkau - sawah
ladang tinggalah angkau - ambo bajalan anyo lai".

Hari sadang tangah hari - bajalan Kasumbo Hampai - salenggang duo


layuaknyo - tapijak samuik haram mati - tataruang alu patah tigo - ka suok si
ganjua lalai42 - ka kida si ganjua luluah - ka suok tampan manganai - ka kida
tampan marusuah.
Alah sarantangnyo bajalan - alah duo rantang nyo bajalan - lah dakek ampia ka
sampai - ka dangau Si Rona Pinang.
Tibo awaknyo di sinan - bakato Si Rona Pinang:
"Kak ai Kasumbo Hampai - mangalah kakak kamari - nan tak tau dikayo awak -
tak tahu dielok awak. Awak ambo urang misikin - bansaik nan ukan ulah-ulah -
minun makan ambo lai tiado - abih tahun baganti tahun - abih musin baganti
musin - guli satangkai panghidupan - aia sagaluak nan dimakan. Mangalah
kakak kamari - cacek kakak batukuak-tukuak - hino kok batambah-tambah -
sabab bapak den panjua pada - mandeh den panjua sadah.
Cacek kok datang ka den - dangakan banalah dek kakak,

Den tutuah batang maransi,


Den ambiak paga samaian,
Lah jauah Mamak Si hetong kini,
Lah ka Tiku Pariaman.

Lah ka Sintuak Lubuak Aluang - lah ka Solok ka Salayo - lah ka Kubuang Tigo
Baleh - ka kualo Banda Mua - lah ka piso-piso anyuik - lah ka sirangkak nan
badangkuang. Sajak kakak amun pacek - talalu laraik sakali.
Kakak den Kasumbo Hampai - kok baitu bana janyo den - Insya Allah sananglah
hati den. Kakak kok ka naiak dangau - gutialah daun daulu - ka paaleh kain
kakak - sabab lantai baabu-abu - palupuah basarok-saroh. Ikolah ruponyo pakai
- jan gadang kakak marugi".
Lah naiak Kasumbo Hampai - ka rumah Si Rona Pinang - lah bangun Mak
Hetong tidua.
Bakato Mamak Si Hetong:
"Diak kanduang Si Rona Pinang - kok tidua usah kau lalok - makan guli usah kau
kanyang - minun aia usah kau sajuak.
Awak den ka pai bajalan - ka manarimo upah urang - ka mancarikan pungguang
tak basaok - kapalo nan tak batukuik.
Tutuik pintu arek-arek - jambolah lapiak daun pua - talatak di ateh pagu - usah
kau tasintak-sintak - manjalang awak den baliak".
Manjawab Kasumbo Hampai:
"Tuan ai Mamak Si Hetong - jan tuan pai manggaleh - to kito pulang ka kiun - ka
Ulak ka Tanjuang Bungo - ka bawah anduang nan gadang43.
Asa lai amuah tuan pulang babaliak - kabau bantiang bulek anjik tuan - rumah
gadang anjik Si Rona. Sabab kato den lah talampau - lah maamun lah
mancacek.
Tapi samaso kini nangko - lah tau dilaku-laku - lah pandai babaso-baso - bago
sacamak duo camak - bago salingkuang jo nagari. Kok katidiang ambo pareh -
sukatan amuah ambo lilik - to kito babaliak suruik".
Gayuang haram ditangkihnyo - kato nan tidak dijawabnyo.
Dek mudo Mamak Si Hetong - anyo bajalan turun sakali. Baru tibo anyo di
halaman - bakato awaknyo akeh Si Rona:
"Tungkeklah pintu Rona - kunci tagok-tagok".
Bajalan Mamak Si Hetong - Kasumbo Hampai manuruik di balakang.
Bakato Kasumbo Hampai - bakato sambia baibaraik:
"Tuan ai Mamak Si Hetong,

Bao tambilanglah di tuan,


Ko den bao pangkua pulo,
Bao hilanglah di tuan,
Ko den bao timbua pulo".
Kununlah Mak Si Hetong - nambeknyo bahanti - mancaliak suruik lai tiado.
Bajalan juo awaknyo - nan gadih manuruik di balakang. Bak ka jauah anyo dakek
- bak ka dakek anyo jauah.
Lah jauah anyo bajalan - bapantun Kasumbo Hampai - apolah buah pantunnyo:

"A iko dalam katidiang,


Daun taruak limau manih,
Tuan ai baolah sairiang44,
Nan galok itam manih".

Nambeknyo ka maadok - mancaliak suruiknyo lai tiado.


Bajalan juo awaknyo - lah kiro sapangga hari - pajalanan nak rang Mamak Si
Hetong.
Bapantun Kasumbo Hampai - apolah buah pantunnyo:

"Ramilah balai Kamang,


Bakeh urang jua bali bantai,
Basuo linduang jo langang,
Elok barundiang jo nan kulai45".

Kononlah Mamak Si Hetong - indaklah gayuang ditangkihnyo - indaklah


pantun dibalehnyo. Awaknyo bajalan juo - nan gadih manuruik di balakang.
Dek untuang takadia Allah - tibo di pahantian - di bukik si alang-alang - di baruah
ngarai nan dalam - di ateh bukik nan tinggi - di jalan urang manggaleh. Apolah
pauni ngarai - di dalam ko ula gadang - di tangah taduang bakotek - di ateh
labah mangirok.
Duduak bahanti Mak Hetong - sanan lah batamu jo Kasumbo Hampai.
Bakato Mamak Si Hetong:
"Kasumbo Hampai janyo ambo - apak kakak urang batuah - mamak kakak urang
rajo - kok anyo ibu urang kiramaik - awak urang elok janyo urang. Ka pai kakak
jo ambo - awak ambo urang yatim - kok basuo musuah di jalan - sialah nan ka
malawan - iko kuruihnyo badan ambo - tulang di rusuak basumburan – daki di
pungguang lah baguluang - kain ambo sacodiak ketek - kiro panyaok urek sajo.
Tapi ka ba a pulo lai - kakak lah tunggang manuruik. Kok ambo suko mambao -
babaliak kakak daulu - ka dangau Si Rona Pinang - manjapuik kampia timbakau
- di rusuak akeh den tidua".
Iyo molah janyo hati - babaliak nan gadih suruik - manjapuik kampia timbakau -
dibaliak Mak Hetong tidua.
Diagak-agak di hati - di gadih Kasumbo Hampai - minun makannyo lai tiado -
timbakau jo a ka dibalinyo - babaliak suruik nan gadih.
Mak Hetong manitih ka subarang - ditakuaknyo titian cako jo rencong Si
Ameh Manah. Titian sudah ditakuak - nan gadih lah tibo pulo. Maniti Kasumbo
Hampai. Salenggang duo layuaknyo - lah tibo di tangah-tangah - bakucak titian
cako - talalu patah sakali. Lah jatuah Kasumbo Hampai - lah kiambang-
kiambangi - lah bak baluik kanai palang - lah tacabuak-cabuaki.
Bakato Mamak Si Hetong:
"Tangguangkan banalah di kau - rasaikan bana di kau – kok elok urang kau
galakan - kok buruak urang kau caceki – itu kabaleh kato gadang – itu baleh
urang pancacek”.
Manjawab Kasumbo Hampai:
"Tuan ai Mamak Si Hetong - tuan ka pai bajalan - ambo ka tingga dalam ngarai.
Bao pantun ambo sabuah - liek kutiko litak - silau kutiko lupo".
Apo buah pantunnyo:

"Tinggi bukik talago kuan,


Ka baruah banda rang Lasi,
Rang Lasi bajua kain,
Kok jauah tuan bajalan,
Asa tak tadanga mati,
Haram den ganti jo nan lain".

Manjawab Mamak Si Hetong,


"Indak den kalang-kalang,
Rangalang bajua dulang,
Indak den kalang-kalang,
Dapek ameh den pulang".

Lah bajalan Mamak Si Hetong - lah sahari anyo bajalan - cukuik tigo hari jo
nangko - minun tiado makan tiado. Jo a lah nasi ka dibali - jo a lah kupi ka dituka
- bansaik nan tidak ulah-ulah - ganok lurah tatajuni - ganok bukik nan didaki.

Kaba baraliah tantang nantun - sungguah baraliah sanan juo - baraliah bakeh
nan gadih - nan gadih Kasumbo Hampai.
Bakato Kasumbo Hampai:
"Ko ula nan gadang nangko - pado den baputiah mato siko - lah panjang lihia
mancaliak - lah putiah mato mamandang - ibu tak datang-datangnyo - bapak tak
tibo-tibonyo - lah tujuah hari dalam ngarai - minun tiado makan tiado - raso ka
rampuang bubun-bubun - raso ka hilang nyao rean - raso ka putuih rongga hati -
raso ka titiak darah tunjuak - baitu litak paruik den. Lulualah di kau ula - jo a
lulua salulua abih - paluiklah sapaluk putuih - jan lamo den basakik".
Manjawab ula nan gadang:
"Kok itu nan kau katokan - sakijok mato. Sabuah nan den takuikan - di mudo
Mamak Si Hetong - awaknyo urang batuah - awaknyo urang kiramaik.
Moyangnyo bakubua di Bukik Gombak - iduik nan bakeh urang batanyo - mati
tampek urang bakaua. Itu sababnyo mungko awak kau indak ka den makan -
takuiklah aden di inyiaknyo.
Pado den lulua awak kau - lapeh baridolah den di kau - lapeh basukolah den kini
- lapehlah ka lauik basa - nak manjadi nago sati".
Kato ula gadang:
"Kok den ka pai bajalan - ambiaklah reno di kapalo den - ambiaklah cincin
sabantuak di ikua den".
Diambiaknyo cincin sabantuak - diambiaknyo reno di kapalo - reno dilulua
masuak paruik - cincin disimpan ka sanggua.
Lah bajalan ula gadang - lah tingga Kasumbo Hampai - lah kiambang-
kiambangi - lah kabek kabeki.
Bawari pulo nan gadih:
"Ko taduang nan bakotek nangko - pado mati den risau siko - pantaklah
sapantak mati".
Manjawab taduang bakotek:
"Indak den ka mamantak adiak - takuik den di Mamak Si Hetong - anyo ujuik
pado Allah - tabang mangirok den maso kini".
Taduang tak amuah mamantak - labah tak amuah manggigik - tingga nan gadih
surang diri.
Alah sabulan dalam ngarai - muko nan murap lah muram - dagiang nan
sonsak lah sansai.
Asa siang hari barisuak harinyo hari Jumaik - baniek Kasumbo Hampai:
"Cincin den sicinto-cinto - barang den cinto barang buliah - sado mukasuik sado
sampai. Kok lai batuah cincin nangko - kok lai balaku pintak den - suruah tibo
buruang burak - buruang burak buruang budiman - buruang nan tahu bakaba -
buruang nan tahu batutua".
Kununlah si buruang burak - ikua malilik Gunuang Ledang - paruah
basambuang aso-aso - kapak baturap aia ameh.
Lah tibo si buruang burak - bakato Kasumbo Hampai:
"Buruang janyo ambo - lai ibo buruang di ambo - pailah nan ambo suruah - ka
Inak Muaro Intan - ka ranah Payuang Sakaki - ka bawah anduang nan gadang -
akeh mak Datuak Rajo Angek. Baolah cincin sabantuak - baolah rambuik saalai -
agiahkan ka mamak ambo".
Lah tabang si buruang burak - digungguangnyo rambuik saalai - dibaonyo
cincin sabantuak.
Adopun tabangnyo si buruang burak - tabang manyisia awan kuniang - lah
ditangkok hiroh kiboh - lah dikanduang awan biru - lah dakek kampuang nan
gadih - maraok si buruang burak - inggok ka anduang nan gadang.
Tampak di Rubiah Rando Kayo:
"Tak buruang saelok nangko - tak buruang sapatuik iko. Kok di rumah Kasumbo
Hampai - barapo patuik ambo bali - barapo arago ambo tuka".
Manjawab si buruang burak:
"Biai Rubiah Rando Kayo - tidak den arago-aragoan. Mungko den datang kamari
- mambao kaba den dari nan gadih Kasumbo Hampai - tajatuah awaknyo kini -
ka dalam ngarai nan dalam - di bukik sialang-alang - di jalan urang manggaleh -
dek manuruikan Mamak Si Hetong - Mamak Si Hetong tak amuah mambaonyo.
Manjawab Datuak Rajo Angek:
"Buruang anjiang buruang binatang - buruang indak bapangaja - maino-inokan
awak.
Salamaik bujang adiak oi - tariak juo jinapang di ang – mak denai tembak
buruang nangko - tak kato nan dikatokannyo".
Manjawab si buruang burak:
"Mamak Datuak Rajo Angek - usahlah den ditembak - kambangkanlah lapiak nan
aluih - mak den jatuahkan rambuik saalai - den lompekan cincin sabuah".
Bakato Rajo Nan Angek:
"Guguahlah tabuah larangan - palulah canang pamanggia".
Dari lurah urang mandaki - dari bukik urang manajun - lah tibo rayaik samonyo.
Manyambah nan cadiak pandai:
"Ampun Tuanku Rajo kami - apo sabab canang dipalu - dimanokah jujua nan
lapuak - di mano juaro takuiran - di mano dubalang rabuik-rampeh - di mano
pangulu lancok hukum46 - di mano nak rando nan bajuang".
Manitah Datuak Rajo Angek:
"Hai rayaik nan banyak nangko - indaklah ado tingkah kalahinyo. Anyo sabuah
pintak ambo - badiri kito samonyo - maliek rambuik nan gadih - dibao si buruang
burak".
Bakato Rajo Nan Angek:
"Buruang burak janyo denai - lantiangkanlah rambuik jo cincin - ka lapiak nan
takambang nangko - nak kami liek samonyo".
Lah jatuah cincin jo rambuik - diliek cincin dek tukang nan mambuek
daulunyo. Bakato tukang nan mampabuek daulunyo - bakato tukang cincin cako:
"Io bananyo Tuanku - cincin nangko buatan ambo".
Lah ka tangah pulo Salam Salamaik - maeto rambuik nan gadih. Didapo
sambilan dapo - dijangko sambilan jangko.
Bakato Salam Salamaik:
"Alah nan io iko Tuanku".
Bakato si buruang burak:
"Alah ka sanang hati mamak - alah picayo di kato den.
Kini bak mano pikiran mamak - itulah rupo kamanakan - lah duo bulan dalam
ngarai - minun tiado makan tiado - manuruikan Mamak Si Hetong. Mak Hetong
haram kok amuah mambao. Kok lai mamak bamalu - janguaklah Kasumbo
Hampai - ka dalam lurah nan tadi".
Bawari Rajo Nan Angek:
"Salamaik bujang palulah tabuah larangan - guguah canang pamanggia -
gumanta tabuah si hulando".
Di lurah urang lah mandaki - di bukik urang lah manajun - tidak tabedo banyak
urang.

Tak tamuek di daun taleh,


Di daun taruang lah panuah pulo,
Tak tamuek di nan laweh,
Di nan lakuang lah panuah pulo.

Bakato Hakim Pardano Basa:


"Ampun Tuanku Rajo kami - apolah sabab tabuah dipalu - di mano dubalang
rabuik-rampeh - di mano pangulu lancok46 hukun - di mano gadih nan bajuang -
di mano juaro takuairan".
Manjawab Rajo Nan Angek:
"Mulo tabuah den suruah guguah - sabuliah bali jo pinto - japuik Kasumbo
Hampai maso kini - ka bukik si alang-alang - ka jalan urang manggaleh - ka
baruah ngarai nan dalam - dibaonyo di Mak Hetong - dek untuang buruak dinyo -
tajatuah Kasumbo Hampai. Tak amuah kalian pai - baiak imam baiak katik -
baiak tuo baiak mudo - ka ulak Tanjuang Bungo ko - kalian den bunuah
samonyo.
Sabuah lai parentah den - bao tambilang ciek surang - bao ringgik sabuah
surang - ka balanjo dek kalian".
Barakaik kabasaran Datuak Rajo Angek - dalam ulak Tanjuang Bungo - pailah
umaik samonyo - mambao ringgik ciek surang - mambao tambilang sabuah
surang - manjapuik Kasumbo Hampai - ka bukik si alang-alang - lah jimaik umaik
samonyo bajalan.
Bakato Rajo Nan Angek:
"Adiak den Salam Salamaik - pailah cakau kudo di ang - kudo nan balang baroci
- kaki nan rajah kaampeknyo - satampuak daun bodi rajah kaniangnyo.
Kambang Manih janyo denai - tungkuihlah nasi saketek - baduanglah di sapu
tangan".
Lah bajalan Rajo Nan Angek - dipacu kudo nan balang baroci47 - kudo tu
pandai tabang - sajamak sampai sakali - dek sangaik lari kudo tu - saeto taulua
lidahnyo.
Indak lamo antaronyo - lah tibo Rajo Nan Angek - di bukik si alang-alang - lalu
turun di ateh kudo - bajalan-jalannyo sabanta - mancari lurah nan dalam.
Bakato Rajo Nan Angek:
"Duto bana buruang burak - bohong bana moh kironyo – di mano Kasumbo
Hampai jatuah".
Manjawab Kasumbo Hampai dalam ngarai:
"Indaklah buruang tu nan baduto - mamak nan tak bahati - mamak nan tak
bajantuang. Saelok iko tubuah den - sapatuik nangko kamanakan – lah tigo
bulan tak di rumah - mamak Rajo janyo urang - anto luluih indak disalam - hilang
den indak dicari - kok lai mamak bajantuang - kok lai mamak balimpo".
Manangih Rajo Nan Angek:
"Kamanakan kanduang Kasumbo Hampai - amuah den manjapuikan Sutan - ka
apo Sutan janyo kau".
Sadang barundiang-rundiang juo - lah tibo rayaik nan banyak.
Ado surang puti pulo - banamo Si Dayang Sudah - samo gadang jo Kasumbo
Hampai - kok tagaknyo samo tinggi - kok diuji samo merah - kok dikati samo
barek.
Bakato Si Dayang Sudah:
"Adiak kanduang Kasumbo Hampai - dek lamo kito bacarai - raso ka rompong
bubun-bubun - bak ka hilang nyao rean - bak ka putuih rangkai hati. Siko adiak
basuonyo - ba a lah nyo den manariaknyo. Kok denai runtuah ngarai nangko -
adiak nan kok ditimbunnyo".
Bakato Kasumbo Hampai:
"Anak rang cadiak candokio - murah sakali manariak den - suruah urang mancari
rotan - uleh rotan panjang-panjang - pabuek laka gadang - lantiangkan ka dalam
ngarai - nak den masuki laka nantun".
Lah dicari urang rotan - lalu dipabuek ka laka. Indak lamo antaronyo - lah
sudah laka nantun - lah dicampuangkan masuak ngarai. Baru sampai laka di
bawah - lah masuak Kasumbo Hampai - lah dielokan urang ka ateh.
Lah ka ateh Kasumbo Hampai - lah tibo pulo rang tuonyo - io Rubiah Rando
Kayo - sarato Datuak Bandaharo - mambao pakai sasalin - mambao bajo
saketek - mambao inai saketek.
Baru tibo anyo bakato:
"Bajoilah gigi kau - minyakilah abuak kau - lakekanlah kain kau".
Mamakai Kasumbo Hampai - muko nan muram lah murak - abuak nan kusuik
alah salasai.
Bapantun Kasumbo Hampai:
"Mamak Datuak Rajo Angek - biai Rubiah Rando Kayo - bapak den Datuak
Bandaharo - pacik pagang pitaruah den - liek kutiko taragak - silau kutiko lupo -
lakekan bana dalam hati - nan jangan diubah-ubahi,

Kok jadi mandi den,


Kusuaki jo daun lado,
Kasai jo daun limau kapeh,
Latakan di pinggan jorong,
Kok jadi mati badan den,
Kubuakan ka bukik alang,
Ka jalan urang manggaleh,
Nak basuo jo Mak Hetong".

Lah babaliak Kasumbo Hampai - lah sahari anyo di rumah - lah duo hari jo
nangko - cukuik tigo hari jo kini.
Hari tu hari Jumaik - alah sapangga matoari naiak - bakato Kasumbo Hampai:
"Mamak Datuak Rajo Angek - awak ambo mandanga kaba - anak mamak nan
ketek - banamo Puti Mambang Surau - sakik nan ukan alang-alang - sakiknyo
sairok-irok48 - damamnyo babanja-banja - antah ka mati antah a - aia
diraguaknyo sambiluan – nasi nyo makan raso sakam - mamak pulanglah jo
dareh - ka rumah Si Mambang Surau".
Lah pai mamaknyo pulang - ka rumah si Mambang Surau. Io molah janyo hati -
bajalan bagageh-gageh - dek sangaik pajalanannyo - io Datuak Rajo Angek -
paluahlah untak antiakan - angok lah gadang ketekan.
Bakato pulo Kasumbo Hampai ka apaknyo:
"Apak Datuak Bandaharo - apak pailah ka Jumaik - hari lah ampia tangah hari -
apak jadi imam urang".
Lah pai pulo apaknyo.
Bakato pulo anyo ka biainyo:
"Biai Rubiah Rando Kayo - biai sudahkanlah tanun biai".
Ka ba a pulo lai - ibu lah pai batanun - apak pai ka Jumaik.
Bakato pulo Kasumbo Hampai:
"Salamaik bujang janyo den - pailah mandikan kudo angku ang - janiah di luar
janiah di dalam.
Kambang Manih o adiak oi - pailah kau manyasah - sasah di kau barasiah-
barasiah - cuci di lua cuci di dalam - sabun di kau janiah-janiah - sabalun putiah
nambek kau pulang".
Lah tingga Kasumbo Hampai - surang sajo dalam rumah - urang lah jimaik pai
bajalan.
Lorong kapado rumah Kasumbo Hampai - rumah gadang si sangko gadiang -
salamo kubin malayang - atoknyo kaco dindiangnyo camin - pintu gadang duo
puluah ampek - pintu ketek duo baleh buah - jimek batutuik samonyo. Jan payah
pulo bapak den - urang banyak ka manyilau - Kasumbo Hampai ka mangamuak.
Dapek pulo bana di Kasumbo Hampai - mancabuanyo ka biliak dalam - malantak
peti mangewang - babunyi puputan kaliang - tabukak buntia nan gadang - barisi
pakaian rumah - dikambangkannyo tirai jo kulambu - tabantang tirai langik-langik
- baratua kasua tangah rumah. Diuraknyo pulo buntia sabuah lai - maambiak
rencong saalai - nan dititiak tukang duo baleh - disapuah tukang batujuah -
tajamnyo dipacik-pacikan - rambuik saalai tapatujuah - tak rencong sabiso
nantun,

Api-api tabang ka punggua,


Tibo di punggua balalaran,
Angok-angok maik di kubua,
Biso nan tidak katawaran.

Ka ba a pulo li lai - kaba baraliah tantang nantun - tidua nan gadih tangah
rumah - dipacikan rencong jo suok - disinsiangkannyo baju jo kida.
Bakato surang diri:
"Mungko badan den ka den amuak - malu den indak tatahan - pamaman49 rajo
janyo urang - ibu kayo janyo urang - bapak batuah di nagari - awak rang gadih
janyo urang - kaandak tidak kan balaku - pado iduik eloklah mati - isuak mati kini
mati".
Dipiciangkannyo matonyo - ditikamkannyo rencong ka dadonyo - darah
tasambua hukun pun sampai. Lah mati Kasumbo Hampai - di hari sahari nantun
– harinya hari jumaik – sadang tangah hari tatok.
Indak lamo antaranyo – lah pulang ibu dari batanun - bapak lah pulang
bajumaik - pamaman tibo di halaman - si Salamaik pulang mandikan kudo - si
Kambang babaliak manyasah - abih manangih samonyo - mandapeki pintu
batutuik.
Bakato Rajo Nan Angek - ka urang nan dakek itu:
"Oi kawan urang bahampiang - bari luruih aden batanyo - ka mano Kasumbo
Hampai mungko pintu ditutuiknyo".
Manjawab urang nan cako:
"Ampun Tuanku Rajo kami - haram lilah kok lai ambo manampak. Pantunnyo
cako lai kadangaran - bapantun sabuah-sabuah - manangih saciek-saciek -
suaronyo sajo nan tadanga - tubuahnyo tiado kaliatan".
Lah badabuak hati Rajo Nan Angek - dibaenyo pintu sabuah - tabukak pintu
sadonyo - barakaik kabasarannyo. Dicaliak ilia jo mudiak - pandang jauah
dilayangkan - pandang ampia ditukiakan - sasek mamandang ka tangah rumah -
dicaliak darah lah tahayau - dipandang maik lah taunjua.
Bakato Rajo Nan Angek:
"Ya Allah Ya Rasul Allah - Ya Sidhi Ya Mulie - Ya Tuanku junjuangan den - garak
Allah sudahlah di den - ka apolah arato jo bando - apo guno ameh jo perak - apo
guno urang den hukun - kok suratan den kok lah nan sasek - barih den ko lah
nan buruak - ka ikolah rupo kaunyo - sia ka mahuni rumah gadang".
Bakato reno dalam paruik Kasumbo Hampai - nan diagiahkan ula nan daulu:
"A itulah Tuanku Rajo Angek - kok samantang awak maukun - elok urang
digalakan - buruak urang dicaceki - buruak urang apo li lai - itu ka baleh kato
gadang. Tapi kok Tuanku cari Mak Hetong - buliah iduik Kasumbo Hampai".
Bakato Rajo Nan Angek:
"Allah Ya Allah Ya junjuangan - ibilih ko lah nan maharu den - urang surang
indak nampak - suaro sajo nan kadangaran. Adiak den Salam Salamaik - palulah
tabuah larangan - nak rapek urang samonyo - nak tau urang sakaliannyo -
bahaso Kasumbo Hampai lah mati - jan kito tangihi juo".
Baharu tahu urang banyak - nagari lah hiru-hiru - mancaliak maik nan gadih.
Datang pulo Puti Dayang Sudah - mambao payuang sabatang - mambao cincin
sabantuak - mambao pakai sasalin.
Baharu tibo anyo bakato:
"Adiak kanduang Kasumbo Hampai - pueh hati mandeh kanduang - sanang hati
mandeh kito".
Kununlah Si Dayang Sudah - lah bagilo-gilo awak:
"Mamak den Rajo Nan Angek - ambiak juo rencong di mamak - nak den tikam
pulo badan den - nak sakubua kami baduo - apo guno den iduik lai - awak baduo
tingga surang. Jo sia den balawan samo gadang - jo sia bauji samo merah - jo
sia bakati samo barek".
Kununlah urang nan banyak - indak rintangkan apo-apo - rintangkan Si Dayang
Sudah.
Sataro maik di rumah - dikuruang urang awaknyo - ka dalam peti mangewang.
Bakato Hakim Pardano Basa:
"Ampun Tuanku Rajo ambo - nan bagala Rajo Nan Angek - nan mano tanah nan
ka dikali - nan mano kayu ka ditabang".
Manjawab Rajo Nan Angek:
"O kok itu Pardano katokan - awak den buliah pitaruah di nyo - nan ka diliek
kutiko lupo - disilau kutiko taragak,

Lah sampai mandi pandannyo,


Kusuaki jo daun lado,
Kasaii jo daun limau kapeh,
Latakan di pinggan jorong,
Lah sampai mati badannyo,
Kubuakan di bukik alang-alang,

Di jalan urang mangaleh,


Nak basuo jo Mak Hetong".

Bakato Hakim Pardano Basa:


"O kaum nan banyak nangko - nak urang ulak Tanjuang Bungo - kini baitu titah
Rajo kito - patuiklah titah kito junjuang".
Bakato Sutan dalam nagari - Tuan Tantejo Maharajo Parpatiah Nan Sabatang:
"Kalau baitu nan kaeloknyo - baitu pitaruah di nan gadih - jauah kubua kito kali -
ka bukik si alang-alang - ka jalan urang manggaleh - nak basuo jo Mak Hetong".
Babaua urang tigo Luhak - surang urang Tanah Data - surang Luhak Limo
Puluah - surang nak rang Luhak Agam.
Kok anyo urang Tanah Data - nak rang cadiak candokio - nak rang cadiak
bijaksano - bagala Tantejo Maharajo - tukang bungkuak Magek Mansawi -
tukang haram buang kayu - saeto ka labi-labi - kok kaciak ka pasak suntiang -
kok bunta ka saok tumpang - kok bungkuak ka tangkai pangkua - baitu tandai
tukangnyo - nak rang tukang Tanah Data.
Kunun nak rang Limo Puluah - siak tiado malim amek - kununlah mantik jo maani
- ganti sahadat pulang mandi - baitu tandai alimnyo. Mangajinyo di tangah rumah
- dakek maik Kasumbo Hampai.
Tukang nak rang Tanah Data - mambuek karando di pakuburan. Nak rang
tukang Agam manggali kubua - kubua sudah karando sudah.
Lorong kapado karandonyo - lantainyo ameh samato - tukupnyo intan jo podi -
pasaknyo kanso balariak - kalang hulu urai bapadu.
Bakato Datuak Rajo Angek:
"Sabuliah bali jo pinto - salaku-laku kaandak - di lua manatiang maik - bajalan
kito samonyo”.
Satangah mambao ringgik - satangah mambao urai - satangah mambao kain -
jimek bajalan samonyo.
Lah masuak maik nan gadih - lah dibao urang ka bukik si alang-alang - ka
jalan urang manggaleh. Alah sabanta urang bajalan - alah duo banta urang
bajalan - lah dakek ampia ka tibo di sinan - lah tibo di pakuburan.
Sambayang nak rang Limo Puluah - bagarak nak rang Tanah Data – manimbun
nak rang Luhak Agam - kubua lah sudah tatimbun. Dilatakan pulo mejan kubua -
mejan intan jo podi - puncaknyo perak balanja - langik-langik kanso balanja.

Kaba baraliah anyo lai - sungguah baraliah sanan juo. Ka tangah urang tigo
Luhak - Tantejo Maharajo rang Tanah Data - Tumangguang rang Luhak Agam -
Parpatiah rang Limo Puluah - urang batigo badunsanak - nan tau diereang
gendeang - tau di karang nan manungga - tau di adaik jo pusako. Ditatiangnyo
molah sadakah - baitu rang kayo mati. Pihak kapado sadakahnyo - urang nan
buliah daulu - buliah sadakah bakauik - bakain sakayu surang - kudo gadang
sikua surang.
Kunun rang buliah29 kudian sadakah baonggok - kok kain sakabuang surang -
jawi ketek sikua surang - buliahlah umaik samonyo.
Bakato Datuak Rajo Angek:
"Mano kito samonyo nan ado hadia di siko - baiak Luhak Tanah Data - baiak
Luhak Limo Puluah - sarato jen Luhak Agam. Di hari sahari nangko - kito bunuah
kabau saratuih - kito urah padi samandah - diantak tabu di lurah. Duo hari maik
dalam kubua - duo ratuih kabau nan mati - duo mandah padi nan kameh - duo
lurah tabu nan abih. Cukuik katigo harinyo - tigo ratuih kabau nan mati - tigo
mandah padi nan usai - tigo lurah tabu nan alah".

Kaba baraliah tantang itu - sungguah baraliah sinan juo - baraliah akeh Mak
Hetong. Lah babaliak dari Tiku anyo kini - mambao ringgik salilik pinggang -
mambao pakai sapuluah salin. Limo salin anjik Si Rona - limo salin anjik nan
gadih - itu niek hati Mak Hetong. Anyo babaliak dari rantau urang. Lah tibo di
kubua Kasumbo Hampai - tatagun Mamak Si Hetong - dek mancaliak rancak
kubua. Dipandang pulo kiri jo kanan - dilengong hilia jo mudiak - nampak dinyo
urang - baduo urang gubalo - surang gubalo jawi - nan surang gubalo kudo.
Bakato Mamak Si Hetong:
"Ai tuan urang gubalo - bari luruih ambo batanyo - sia koh nan punyo kubua - tak
kubua sarancak nangko - kok mejan intan jo podi - puncaknya perak balanja -
langik-langik kanso samonyo. Rajo mano ko lah nan wafat - Sutan nan mano ko
lah nan mati".
Manjawab urang gubalo:
"Indaklah Rajo nan lah wafat - bukan to Sutan nan lah bakubua - ikolah pusaro
Kasumbo Hampai - kamanakan Rajo Nan Angek - anak Datuak Bandaharo - jen
Rubiah Rando Kayo - matinyo mangamuak diri - sajak ka lua dari dalam ngarai".
Mandanga kato rang gubalo - duduak bamanuang Mak Hetong.
Indak lamo antaronyo - dijalainyo rokok sabatang - dikunyahnyo siriah sakapua.
Sadang dapek kiro-kiro - sadang datang agak-agak - bakato Mamak Si Hetong -
ka urang gubalo tadi:
"Ai tuan urang gubalo - lai amuah tuan den suruah - den bari ringgik ampek
surang - mambaokan sungkua50 sabuah - baokan tambilang ciek".
Dibarinyo ringgik ampek surang - lah galak nak rang gubalo - balari ka rumah
amainyo surang-surang.
Lah tibo awaknyo di rumah bakato awaknyo ka amainyo:
"Mandeh kanduang janyo ambo - bao kamari tambilang ciek - disasiah51 urang
ampek ringgik".
Barulah dapek tambilang cako - dibaonyo ka Mak Hetong:
"Ko moh sungkua tuan oi - ko moh tambilang sabuah".
Bakato Mamak Si Hetong:
"Oi tuan kaduonyo - tantuilah kudo awak - tantuilah jawi tuan".
Lah bajalan urang gubalo - baru tibo dilieknyo kudo lah baranak - jawi baitu pulo.
Lah heran urang gubalo:
"Wali Allah kironyo urang tu".
Bawari Mamak Si Hetong - diluluih baju sakali - dikalinyo kubua Kasumbo
Hampai. Sabanta anyo manggali - duo banta anyo manyungkua - tadorong
karando nan gadih. Lah dikaluakannyo maik tu ka ateh - dikambangkannyo kain
saruangnyo - dibujuanyo Kasumbo Hampai. Sudah tu ditimbunnyo baliak kubua
cako - dilakekan pulo pancangnyo - sarato jen mijannyo sakali.
Allahu-rabbi payah Mak Hetong - paluah lah untak-antiakan - angok lah gadang
ketekan - makan tiado minun tiado - sadang manggali kubua nantun.
Dek karano payah bana - lah pai Mak Hetong mandi - sudah mandi nyo
mamakai. Disingkoknyo Kasumbo Hampai - nambek ratak retai52 lai tiado.
Bakato Mamak Si Hetong:
"Ya Allah Ya Rasul Allah - Ya Sidhi Ya Mulie - Ya Tuanku junjuangan den. Inyiak
janyo den di inyiak - nan bakubua di Bukik Gombak - kok lai bak iduik bak mati -
mati bakeh urang baniek - iduik bakeh urang batanyo - palakukanlah pintak den -
kok lai malu ka tabangkik - gadang nak baganti-ganti - cadiak nak sakali surang -
iduikanlah Kasumbo Hampai".
Kabasaran inyiaknyo garan - lah iduik Kasumbo Hampai - talalu duduak sakali -
tau barundiang jen Mak Hetong - lalu bapantunlah awaknyo:

"Lah panek ambo mandaki,


Lah sampai ka ruku-ruku,
Ka paniang nan banyak,
Lah panek ambo mananti,
Lah tumbuah uban di kuku,
Di kaniang uwai53 nan banyak".

Bakato Mamak Si Hetong:


"Kakak den Kasumbo Hampai - buek nan arek sitia nan taguah - di inyiak kito
daulu. Kok nyo ilang ambo cari - kok nyo luluih ambo silam - tagantuang buliah
ambo kaik. Ko moh pakai sasalin - den bao dari rantau urang".
Lah mamakai Kasumbo Hampai - labo galeh Mamak Si Hetong.
Rantak-marantak susun kain - giri gumiri tanti baju - hirun gumirun gunci cawek
- batapuak subang di pipi - baralun galang di tangan - manyisiak cincin di jari.
Pihak kapado sangguanyo - sangguanyo bajumbai alai - panggantuang duo
puluah ampek - pangarang sambilan alai. Siganyo manjalan mancik - inggok
langau tunggang langgang.
Bakato Mamak Si Hetong:
"Kakak babaliaklah pulang - ibu lah layuah taragak - bapak lah kuruih takiro.
Sajak kakak tidak di rumah - kambiang nalo-nali54 - kabaulah manjadi guguak -
itiaklah manjadi undan - padi manjadi paro-paro.
Kakak babaliak lah pulang - ka ulak ka Tanjuang Bungo - ka bawah anduang nan
gadang - ka cubadak gadang tinggi. Kok ambo babaliak pulo molah - suruik ka
rumah induak samang ambo - paniagoan nan banyak tingga kini".
Manangih Kasumbo Hampai:
"Tuan ai Mamak Si Hetong - kok utang amuah den mambaia - salah amuah den
manimbang - kok tahino dangan muluik - ngarai alah den tajuni - kok salah
dangan cacek - pihak kapado badan diri tuan. Kok rencong alah den minun-
talalu mati sakali.
Kini baitu pulo kato tuan - tuan badoso pado Allah – urang manuruik tak dibao -
bagantuang urang digajaikan".
Jadi lah rusuah Mamak Hetong:

"Tidak ka jadi ka Alai,


Suruik ka Kuantan tanang,
Tidak ka jadi bacarai,
Suruik bakumpa bak banang.
Batulan-tulanlah kito".

Lah panek batangka-tangka - lah pueh bagigiah-gigiah - babaliak pulang


Mamak Hetong. Alah sabanta nyo bajalan - hari manjalang tangah hari - tibonyo
di rumah.
Bakato Mak Si Hetong:
"Adiak kanduang Si Rona Pinang - kakak kau pulang manggaleh".
Lah jago adiak tu tidua - tasintak Si Rona Pinang - talalu bangun sakali.
Bakato Si Rona Pinang:
"Ya Allah Ya Rasul Allah - Ya Sidhi Ya Mulie Ya junjuangan - kok malu alah
tabangkik - barilah pintak ba a inyiak. Adokanlah rumah gadang ciek - sarato
dangan pakaiannyo".
Lah ado rumah nan gadang - sarato jo alaik pakaiannyo - sarato kabau jen
bantiang - sarato urang dangannyo - barakaik pintak Si Rona.
Bakato Kasumbo Hampai:
"Tuan ai Mamak Si Hetong - palakukan kaandak ambo - kini kito bunuah kabau
tujuah puluah - kito kawin maso kini".
Manjawab Mamak Si Hetong:
"Adiak kanduang Kasumbo Hampai - palakukanlah kaandak den - suruah datang
kamari mamak kau - nan bagala Rajo Nan Angek - suruah datang bapak
mandeh kau. Panggia Tuanku Haji Kaciak Mudo - itu nan ka mangawinkan kito".
Duduak bamanuang Kasumbo Hampai:
"Cincin den si cinto-cinto - barang den cinto barang buliah - cincin diagiahkan ula
- tibolah ba a buruang burak".
Bakato si buruang burak:
"Kakak den Kasumbo Hampai - mangalah ambo kakak panggia - apo tasundak
di etongan - apo gaduah dalam hati".
"Diak kanduang si buruang burak” katonyo Kasumbo Hampai.
“Mungko adiak den panggia - tabanglah adiak tinggi-tinggi - inggoklah ka
anduang nan gadang. Suruah kamarilah mamak den - sarato jen mandeh
kanduang den - katokan Kasumbo Hampai lah iduik - dibao Mamak Si Hetong"
katonyo Kasumbo Hampai.
Jadi lah tabang buruang burak - ka kampuang Kasumbo Hampai - tibonyo di
anduang nan gadang - mandangkang-dangkangkan paruah - maliuak-liuakan
ikua - maampai-ampaikan sayok. Sayok batulih aia ameh - paruah basambuang
aso-aso - ikua malilik Gunuang Ledang.
Tampak di Datuak Rajo Nan Angek - bakato si buruang burak:
"Tuan Datuak Rajo Angek - io kiramaik Mamak Si Hetong - Kasumbo Hampai
lah iduik - di rumah Si Rona Pinang. Disuruahnyo ambo akeh tuan - manjapuik
samaso kini".
Io takana agak-agak - di Datuak Rajo Angek - dipalu tabuah larangan - diguguah
canang pamanggia - ciok biku tabuah nan banyak - gumanta tabuah si hulando.
Babaua urang nan banyak - dari lurah urang lah mandaki - dari bukik urang lah
manajun - indak tabedo banyak urang,

Tak tamuek di daun taleh,


Di daun taruang lah panuah pulo,
Tak tamuek di nan laweh,
Di nan lakuang lah panuah pulo.
Bakato Hakim Pardano Basa - kapado Datuak Rajo Angek:
"Mangapo kami tuan panggia - di mano dubalang rabuik rampeh - di mano
pangulu lancok hukun - di mano nak rando nan bajuang - di mano tabiang nan
basisiak - di mano jujua nan lapuak".
Bakato Rajo Angek:
"Ukan to jujua nan lapuak - ukan dubalang rabuik rampeh - ukan Tuanku salah
kitab - ukan nak rando nan bajuang.
Sabuliah bali jo pinto - salaku-laku kaandak den - di rayaik nan banyak nangko -
kito japuik Kasumbo Hampai - ka rumah Si Rona Pinang. Kito tobaik akeh Mak
Hetong - kito turunkan Rajo akehnyo".
Bakato Tuanku Rajo Angek:
"Mano Tuanku Haji Mudo - kok lai buliah kaandak den – panggialah urang tigo
Luhak - panggia Luhak Tanah Data - panggia Luhak Limo Puluah - sarato jen
Luhak Agam".
Dilapehnyo si buruang burak - alah tabang ka Tanah Data - tibo di rumah
Mangkuto Sutan.
Bakato si buruang burak:
"Ampun tuan Mangkuto Sutan - ambo dilapeh Haji Kaciak – manjapuik tukang
bungkuak Magek Mansawi - pandai manarah manilantang - tukang tiado buang
kayu - kok saeto ka lambai-lambai55 - kok bunta ka saok tumpang - kok ketek ka
pasak suntiang - kok bungkuak ka tangkai pangkua - baitu tandai tukangnyo -
nak rang Tanah Data".
Bawari pulo Datuak Mangkuto Sutan - nak rang cadiak bijaksano - pandai
maukua maagakan. Dipalunyo tabuah larangan - gumanta tabuah si hulando -
kalua anak mudo-mudo - kalua anak Sutan-Sutan - takajuik urang dalam
kampuang - canang pamanggia lah baguguah - urang banyak bahiru-hiru - lah
tibo umaik di halaman.
Bakato Datuak Pandeka Basa:
"Ampun Tuanku Mangkuto Sutan - apo saba tabuah baguguah - mungko canang
babunyi".
Manjawab Mangkuto Sutan:
"Mulo tabuah ambo guguah - mulo rayaik ambo panggia - kanai suruah di Rajo
Angek - ka ulak ka Tanjuang Bungo - ka inak Muaro Intan - ka ranah Pulau
Guntuang - ka karambia atok tungku - ka bawah anduang nan gadang - ka
rumah Kasumbo Hampai.
Piliahlah di Datuak urang tukang - tukang bungkuak Magek Mansawi - pandai
manarah manilantang - pandai marapek dalam aia - tukang tidak buang kayu".
Mupakaik Datuak cako - dipiliah dalam dipiliah - basuo urang batigo.
Mamakai Mangkuto Sutan - sarato jen parampuannyo - banamo Puti Awan
Tasingik. Kok diagak diagiahkan - mahalah Sutan tandiangannyo - mahalah
gadih lawan duduak. Nan kok diagak diagiahkan kapado romannyo - Ya Allah Ya
Rasul Allah - Ya Sidhi Ya Mulie - kok dihetong ka ruponyo - mukonyo bagai
bulan panuah - pipinyo pauah dilayang - kaniangnyo kiliran taji - abuaknyo landia
disintak - dikaniangnyo bantuak tajian - ditundun kaja mangaja.
Lorong pihak sangguanyo - sangguanyo bajumbai alai - panggantuang duo
puluah ampek - pangarang sambilan alai - siganyo manjalan mancik - baitu
linggeh sangguanyo.
Pihak kapado pakainyo - kapeh Kuantan Batang Hari - dipageh badambun-
dambun - digantiah anak rang baisang - ditanun anak rang baparuah - mauleh
ka lidah aia - mamutuih ka lidah api. Tanun garagasi tuo - bauia-uia manyasok -
bamenggak bamenggo-menggo - bapucuak rabuang tapinyo - tiadonyo puda
dek paneh - indaknyo liuak dek ambun - tiadonyo jigah56 dek ujan.
Mamakai Awan Tasingik - rantak marantak susun kain - iri gumiri guncek cawek -
irun gumirun tanti baju - batapuak subang di pipi – baralun galang di tangan -
manyisiak cincin di jari.
Bajalan Mangkuto Sutan - ka kampuang Kasumbo Hampai. Alah sarantang
pajalanan - lah dakek ampia ka sampai - aluran tibo di sinan - mandariang
salindik jantan - bakukuak kinantan cuci - mambaleh si biriang kuniang -
manggadabiak kudo nan gadang - mambilobok baruak nan tungga.
Tibo urang samonyo - tibo urang Limo Puluah - siak tiado malim amek -
kununlah mantik jo maani - ganti sahadat pulang mandi - bak antun tandai
malimnyo.
Bakato Datuak Rajo Angek:
"Mangkuto Sutan janyo den - sabuliah bali jo pinto - salaku-laku kaandak den -
bueklah burak pararakan - manjapuik Mamak Si Hetong - jo gadih Kasumbo
Hampai".
Lah sahari bagarak - lah duo hari urang bakarajo - cukuik tigo hari jo kini -
buruang lah sudah sakali.
Bakato Datuak Rajo Angek:
"O urang nan tigo Luhak - Luhak Tanah Data surang - Luhak Limo Puluah
surang - Luhak Agam surang. Kalau urang Tanah Data bagala Mangkuto Sutan -
kalau urang Limo Puluah bagala Tantejo Maharajo - urang Luhak Agam bagala
Katumangguangan - tahu di adaik jo pusako - tahu maagak maagiahkan - tahu
maukua manjangkokan. Urang nan batigo nantun - kapalo adaik dalam
kampuang - urang patuik dalam nagari - kok pai bakeh batanyo - kok pulang
tampek babarito - mari kito bajalan kini-kini".
Lah pai urang sadonyo - sarato anak Sutan-Sutan - sarato anak mudo-mudo.
Nan patah pai batungkek - nan buto pai baiirik - nan bisu mimih-mimihi -
manjapuik Kasumbo Hampai.
Lah dakek ampia ka sampai - aluran tibo di sinan - lah sampai Rajo Nan Angek -
jawek salam jo Mamak Si Hetong.
Manjawab Mamak Si Hetong:
"Ampun Tuanku Rajo Angek - tidak patuik salam dijawek - mandeh ambo panjua
sadah - bapak ambo panjua pada - hino Tuanku batukuak-tukuak - malu Tuanku
batambah-tambah - cacek kok datang kudian - bansaik ambo tak taulah-ulah -
minun makan ambo lai tidak - guli satangkai panghidupan - aia sagaluak nan
diminun - baitu suka mikinnyo ambo".
Manangih Kasumbo Hampai - uwainyo sauwai-uwai - inguik sainguik-inguik -
isak saisak-isak. Paluah disipekan jo suok - aia mato sipek jo kida - kodek lah
guncang giruangan.
Tibo Puti Awan Tasingik:
"O aciak Kasumbo Hampai - jan hati diparusuah. Kini baitulah dek tuan - tuan ai
Mamak Si Hetong - sabuliah bali jo pinto - salaku-laku kaandak den - kok kupua
amuah kami tobat - nan kok salah amuah kami maisi - kok gawa amuah kami
suruik - kok salah amuah ditimbang - Tuan nikah maso kini - arato jo bando nyik
Tuan - ameh perak bulek nyik Tuan".
Lah tibo Haji Kaciak Mudo - lah kawin Kasumbo Hampai. Baharu sudah nikah
dijawek - Mak Hetong babaliak sakali - ka rumah Si Rona Pinang - sarato
dangan Kasumbo Hampai.
Alah sabulan duo bulan - lah cukuik pulo tigo bulan - sudah itu bakato Mamak
Si Hetong:
"Ya Allah Ya Rasul Allah - Ya Sidhi Ya Mulie - Ya Tuanku junjuangan den - inyiak
jo den di inyiak - nan bakubua di Bukik Gombak. Iduik bakeh urang batanyo -
mati bakeh urang bakaua.
Kok nan dimukasuik alah sampai - nan diama alah pacah. Kini palakukanlah
parmintaan den - bari ba a den anak jo buah - ka paubek-ubek hati rusuah - ka
parintang-rintang hati risau - ka lawan hilia mudiak - ka lawan batolok jen
barandai".
Dek untuang takadia Allah - pintak ka balaku di nyo - garan lah dalam hamil
Kasumbo Hampai.
Lah cukuik sambilan bulan - asa siang hari barisuak - harinyo hari Jumaik - lah
sakik Kasumbo Hampai - sakik ka maadokan anak.
Lah ado anaknyo garan - lah ado anak laki-laki - tibo di lantai lantai patah - tibo di
tanah tanah lambang - tibo di sandi sandi balah.
Baharu ado baharu banamo - banamo Si Duano Pakan. Lah diambiaknyo di Mak
Hetong - dipangkunyo di haribaan.
Lalu bakato Mak Si Hetong:
“Kok den agak den agiahkan – kok disanjuang jo elok ang - mahalah Rajo lawan
duduak - sukalah Puti ka judu ang. Kok den agak den agiahkan – kok den
sanjuang jo tubuah ang - ruai bak anak kudo - ceceh bak anak kambiang - bak
lobak di pamarunan - bak jaguang tangah duo bulan - maruai bak padi masak.
Muko ang bagai bulan panuah - hiduang bak talua bondo - kaniang kiliran taji -
gigi kambojo masak - bibia ang limau sauleh - kok daguak dalimo rangkah -
batang lihia mundam dilariak.
Anak den Si Duano Pakan - darehlah ang ba a gadang - kok kusuik nak salasai -
kok karuah nak janiah".
Manangih Si Duano Pakan - dirintang induak tarintang - awaknyo manangih juo -
dibari susu nyo tak amuah.
"A to lah nan ang tangihkan - ato lah nan ang risaukan. Kabau bantiang tayok di
padang - itiak tanang di muaro - kambiang panuah di baluka - sawah gadang
sabuah banda - kapuak kaciak salo manyalo - di tangah sibayau-bayau - di tapi
si tangguang lapa - bapantang luak dikauik - minuman dagang nan lalu -
makanan urang kampuang ang. Sabuah anyo pantangnyo - asa jan dibuang-
buang - baitu tandai kayo ang Duano. Antoklah antok - apo juo ang rusuahkan".

Sajak Mak Hetong baliak ka rumah Si Rona Pinang - Rajo Angek indak sunyi
lai - manyuruah manjapuik Mak Hetong - takuik bana awaknyo ka Mak Hetong.
Kini lah tahu disalah diri - lah pandai babaso-baso - lah tahu bakaum kaluargo -
lah tahu baranak kamanakan.
Mak Hetong nan tak amuah juo - sabab kato Rajo Nan Angek - amun jo cacek
salamo nangko - bak tadanga juo baharu - bak duri dalam dagiang - bak api
dalam sakam. Antah kok mati Rajo Angek - mungko Mak Hetong amuah pulang -
ka ulak ka Tanjuang Bungo - ka inak Muaro Intan - ka bawah anduang nan
gadang. Ka ba a pulo li lai.
Kununlah Si Duano Pakan - gadang bak diamba-amba - cadiak bak diaja-aja.
Lah tujuah tahun umuanyo kini - bijak nan ukan alang-alang - lah tahu di ereang
gendeang - lah tahu di buruak baiak - pandai bana bakato-kato.
Kaduo pakaro pulo - kueknyo ukan alang-alang - pandeka taulah-ulah. Kueknyo
samulo jadi - indaknyo talok di nan tajam - barakaik Allah batolong atehnyo.
Bakato Si Duano Pakan:
"Amai janyo den di amai - bari luruih aden batanyo - di mano kampuang halaman
kito".
Manjawab Kasumbo Hampai:
"Bak apo baitu usuik pareso ang".
Bakato Si Duano Pakan:
"Mungko den usuik den pareso - amai janyo den di amai - tantukan kampuang
halaman kito. Kok tak amai tantukan - banang satungka lawan lihia - rencong
Aceh lawan dado".
Manjawab Kasumbo Hampai:
"Usah ang rusuah bana lai - pintaklah izin keh bapak ang".
Bakato pulo Si Duano Pakan:
"Bapak janyo den di bapak - tunjuakan kampuang halaman den - nan mano bana
koto nagari. Tak amuah bapak manunjuakan - sayang amak sado itu - kasiah
amak sado nantun".
Manjawab Mamak Si Hetong:
"Buyuang jo den di buyuang - apo bana nan ang rusuahkan - kabau jo bantiang
tayok di padang - urang dangan sakarek koto".
"Bapak janyo den di bapak - tak balaku kaandak den - banang satungka lawan
lihia".
Lalu lah berang ayah kanduang - manangih Si Duano Pakan - dirintang indak
tarintang.
Bawari Si Rona Pinang - anak rang cadiak candokio:
"Antoklah Duano antok - apo bana nan ang rusuahkan - asa lai antok manangih -
nak den bari baju tabang-tabangan.
Pintak ka amai ang cincin sicinto-cinto - apo dicinto apo buliah - nak pueh hati
bapak kanduang ang".
Lah dimintaknyo cincin akeh amainyo - dilakekannyo baju nantun.
Tabang mangirainyo tinggi-tinggi - tibo di anduang nan gadang - maraok Si
Duano Pakan. Diliek kampuang lah alah - kabau lah jadi batu - itiak lah jadi
undan - padi lah jadi piro-piro - kambiang manjadi nalo-nali - urang dangan
baserak-serak.
Lalu lah duduak Si Duano - duduak mengana diri. Dibakanyo kumanyan putiah -
sok mandulang kateh langik - harum satahun palayaran.
Lalu manyaru Si Duano:
"Ya Allah Ya Rasul Allah - Ya Sidhi Ya Mulie - Ya Tuanku junjuangan den - inyiak
janyo den di inyiak - nan bakubua di Bukik Gombak. Kok lai bak iduik bak mati -
iduik buliah urang batanyo - mati buliah urang baniek.
Cincin den Sicinto-cinto - apo den cinto apo buliah - apo mukasuik apo sampai.
Balakukan bak a kahandak den - adokan kabau bantiang den - adokan itiak
ayam den - samporonokan rumah tingga den".
Balaku pintak Si Duano - alah ado samonyo. Bakato niniaknyo nan diam di
rumah tu:
"Buyuang dari mano ang cako. Antah titiak ateh langik - antah tabusek dari
bumi".
"Inyiak janyo den di Inyiak. Tatkalo maso daulu - laikah inyiak baranak babuah".
"Buyuang ketek" janyo niniaknyo.
"Manga mungko ang usuik ang pareso - awak ang ketek baru. Nan ma ko
tumpak nagari ang - mungko wak ang ka mari.
Kok itu nan ang tanyokan - lai den baranak padusi - banamo Kasumbo Hampai -
tagah dibao untuang buruak".
"Oh kok itu niniak katokan - itulah nan mandeh kanduang ambo - tingga di rumah
si Rona Pinang - dansanak bapak kanduang ambo".
"Kok itu janyo ang buyuang - bak apo mangambalikan mandeh ang pulang -
tunjuak ajarilah den di ang".
"O laikoh niniak badunsanak sudaro laki-laki".
"O lai buyuang bagala Datuak Rajo Nan Angek - diangkek urang jadi Rajo Nan
Angek dalam nagari. Mambunuah indak batanyo - mancancang indak
mamampeh - tahu di ilia jo mudiak".
"Kini baitulah di niniak - pailah ka biliak dalam - lantak peti mangewang".
Lah pai niniaknyo cako malantak peti mangewang - babunyi puputan kaliang -
tabuka buntia nan gadang - baisi rencong saalai - dititiak tukang duo baleh -
disapuah tukang batujuah - diganggam bakato-kato - disingkokan batutua-tutua.
Baharu lah buliah rencong sahalai - bakato awaknyo ka niniaknyo:
"Bari luruih aden batanyo - di mano rumah Datuak Rajo Angek - nak den pai
akehnyo - pai bapasiah-pasiah langkah - pai mambuang-buang paluah buruak -
amak den cubo agak sajamang.
Sabab baliau maharu-haru - gadang nak malendo sajo - samantang awak Rajo
dalam nagari - tidak dikana malu jo sopan - baiak ka kaum kaluargo - ka rayaik
talabiah-labiah.
Kok lai batolong di Allah - taadok kapado badan ambo - bak ayam pulang ka
pauitan - cacek tiado binaso tiado karano.
Mungko baitu bana - tatkalo mulo mandeh ka laraik - dek ulah baliau juo. Elok
urang dicaceknyo - buruak urang dihinokan - awak rancak janyo awak - awak
mulie janyo awak - awak Rajo di nagari - nan tak tahu dikayo Allah.
Kok indak mati Datuak Rajo Angek - alamaik nagari tak salamaik - taranak tidak
ka manjadi - anak buah abih bajalan - bapak jo mandeh laraik pulo".
Bakato niniaknyo cako:
"O buyuang janyo denai - mangapo mangko baitu bana - buyuang ketek lai
baharu. Kok umua satahun jaguang - darah satampuak pinang. Kununlah Datuak
Rajo Angek - indaknyo talok di nan tajam - upeh jo racun disasoknyo".
"Kok itu niniak katokan - tak ambo takuik tantang itu. Kok Allah manolong -
dangakan sajo baritonyo".
Kununlah hati Si Duano - indak dapek disuruikan lai - bulek lah buliah digolekan.
Bakato niniaknyo cako:
"Buyuang janyo den di buyuang - den tagah awak ang indak tatagah - ka ba a
janyo den lai. Kok nak tahu ang rumah Datuak Rajo Angek - iliakan jalan nan
luruih nangko. Lah tampak baiko jalan basimpang - turuikan jalan ka suok -
mancaliak kiri jo kanan - mamandang buyuang bakuliliang - lah tampak rumah
bagonjong - itulah rumah inyiak ang - nan bagala Rajo Nan Angek".
Bajalan turun Si Duano - dituruikan jalan nan luruih - lah tampak jalan
basimpang - mangelok anyo ka suok. Dipandang kiri jo kanan - pandang jauah
dilayangkan - pandang ampiang ditukiakan. Lah tampak rumah sabuah -
bagonjong batatah timah - baanjuang kiri kanannyo.
Bapikia Si Duano Pakan:
"Ikolah agaknyo rumah Datuak Rajo Angek".
Mandabuak anyo ka halaman - lah tibo diantakan janjang - maimbau Si Duano
Pakan:
"O inyiak Datuak Rajo Angek - turunlah inyiak sabanta - ambo mambao kaba
baiak".
Mandanga kato nan bak kian - lalu lah berang Datuak Rajo Angek - marentak
turun ka halaman - mahariak mahantam tanah:
"Anak bincacak bincacau - anak ngiang-ngiang rimbo - anak cancang
panarahan. Indak batunjuak bapangaja - indak tahu barajo-rajo - indak tahu
baradaik-radaik. Lah iko lamonyo den Rajo dalam nagari - alunlah urang
mambari den malu - lai alun urang tak takuik di den - alun urang maraok di
halaman - iko pulolah moh baharu.
Indak ang tahu di rajo den - aden lah nan Datuak Rajo Angek - nan angek dalam
nagari. Kok pai indak batanyo - pulang indak babarito - malenggang indak
mamampeh - mambunuah indak mambangun. Kunun mati ang di siko - mati nan
mati anjiang sajo - indak siapo nan ka mandakwa".
Lah berang Si Duano Pakan:
"Bukan ambo kurang pangaja - ukan to ambo tak tahu - ukan to ambo kurang
tanyo. Tahu bana ambo di Datuak - Datuak Rajo Angek janyo urang.
Tapi taraso di hati ambo - Datuak nan tak tahu baradaik - tak tahu malu jo sopan
- tak tahu baranak kamanakan.
Rajo adia nan disambah - Rajo lalin nan disanggah - itu mungko indak patuik
ambo manyambah Datuak".
Lah bangih Rajo Nan Angek - lah mangaratak-garatakan garaman - mukonyo
sirah-sirah padam - lah basah baju di paluah.
Ditangkoknyo Si Duano Pakan - mailak Si Duano Pakan - lah tajulua Rajo Nan
Angek - tajaja muko ka tanah - lah bakumua-kumua darah.
Nyo jago sakali lai - dilalahnyo Si Duano Pakan - ditinjunyo sakali lai. Malompek
Si Duano - lah tibo tangan Rajo Nan Angek di dindiang lumbuang. Barakaik kuaik
tinjunyo - taban lumbuang tu sakali. Padi lah baserak-serak - lah cotok-cotoki
ayam banyak.
Lah makin berang Rajo Nan Angek - angok lah gadang ketekan - paluah lah
untak antikan. Lah tabaliak tanah halaman - lah bak bunyi kabau lago. Lah eboh
urang di nagari - abih datang samonyo - laki-laki parampuan - gadang-ketek tuo-
mudo.
Bakato Si Duano Pakan:
"Kapado Datuak Rajo Angek - mangapo Datuak baitu bana - indak elok urang
pamberang - elok juo urang saba.
Cubolah Datuak pikia bana - alun patuik Datuak bacakak jo ambo - ambo surang
paja ketek - Datuak lah Rajo janyo urang.
Kok mati ambo di siko - io bana bak kato Datuak - kok mati mati anjiang sajo.
Datuak kok luko di ambo - mambari angik salamo iduik – mangapo Datuak lah ka
baitu sakali. Namun kato lai buliah dipakatokan - salah buliah ditimbang - hutang
buliah dibaia - kok kato banyak nan elok.
Kini bari maaf ambo di inyiak - ambolah nan banamo Si Duano Pakan - mandeh
ambo Kasumbo Hampai - bapak ambo Mak Hetong.
Relakan nyao inyiak - inyiak lah banyak badoso - mangubuakan mandeh ambo
iduik-iduik. Mungkonyo datang ambo kamari - ka manuntuik baleh".
Disintaknyo rencong di Si Duano - rencong buatan Aceh - saruang ameh hulu
aso-aso - saruang batatah dangan podi - hulu baturap dangan intan - tajam
ukan alang-alang - rambuik saalai dipatujuah - jajak ditikam mati juo.
Diamuaknyo Rajo Nan Angek - lah bak mancancang batang taleh - lah tasambua
darah kalua - mailia tangah halaman.
Lah mati Rajo Nan Angek - urang manggigia samonyo - abih takuik sakaliannyo
- maliek Si Duano Pakan - tunduak manyambah samonyo.
Banyaklah gasuih dangan bisiak:
"Io batuah urang nangko - kuaik kaba moh garan - pandeka ukan kapalang. Elok
kito tunduak kehnyo - apo katonyo kito ikuik - apo suruahnyo kito karajokan - apo
tagahnyo kito antikan - pado kito dibunuahnyo iduik-iduik".
Bakato Si Duano Pakan:
"Hai kito nan banyak nangko - lailah amuah kalian sadonyo - batuluak baandai
dangan ambo - gadang-ketek tuo-mudo laki-laki parampuan - katokanlah kini-
kini".
Manjawab urang nan banyak:
"Lorong kapado bicaro Rangkayo - tidak kami manumang lai - kami mangikuik
samonyo - gadang-ketek tuo-mudo laki-laki parampuan. Jauah kami amuah
manjapuik - ampiang nak kami jangkau - lurah kami turuni - barek nak kami pikua
- ringan nak kami jinjiang".
Bakato Si Duano Pakan:
"Kalau baitu bulek lah buliah digolekan - picak lah buliah dilayangkan - lah bulek
aia di pambuluah - lah bulek kato di mupakaik - alah sanang hati ambo kini.
Sabuah pintak ambo - kapado kito nan sado nangko - barisuak pagi-pagi kito
bajalan samonyo - gadang-ketek tuo-mudo laki-laki parampuan - baiak Imam
baiak Katik - manjapuik mandeh kanduang - sarato jo bapak kanduang - ka
rumah amai Rona Pinang. Kito angkek baliau jadi Rajo".
Manjawab urang nan banyak:
"Kok baitu kato Rangkayo - kami manarimo samonyo".
Asa siang barisuaknyo - urang lah rapek samonyo - gadang-ketek tuo-mudo -
laki-laki parampuan. Nan buto datang batungkek - nan lumpuah datang
barinsuik-nan pakak datang bakubik - Allahu rabbi banyak urang - bak cando
anai-anai bubuih - bak kaluang pulang patang - ka manjapuik Mamak Si Hetong -
sarato jo Kasumbo Hampai - ka rumah Si Rona Pinang.
Bakato Hakim Pardano - kapado Si Duano Pakan:
"Mano Rangkayo janyo ambo - anak buah alah siap - kito barangkek sakali.
Karajo elok jan dilambekan - nak jan ditimpo karajo jaek".
Lah bajalan urang samonyo - bajalan babondong-bondong - barapo sorak
dangan sorai - baralah tari dangan mancak - baralah rabab jo kucapi - babunyi
badia jo sitinggar. Raso kiamaik bumi Allah - ka pakaklah talingo - bak ka
rompong bubun-bubun.
Alah sarantang pajalanan - alah duo rantang pajalanan - lah dakek ampia ka
tibo - aluran tibo di sinan. Lah tampak rumah Si Rona Pinang. Takajuik Mamak
Si Hetong - gumanta Kasumbo Hampai - pucek baniah Si Rona Pinang.
Manjanguah Mamak Si Hetong - dicaliak urang lah banyak - Si Duano balari
pulang.
Bakato Si Duano Pakan:
"Mano bapak kanduang ambo - sarato mandeh kanduang ambo. Usah bapak
takuik lai - usah mandeh cameh pulo. Ukan to urang datang buruak - urang
datang jo elok - ka manjapuik kito samonyo - mambao pulang ka nagari - karano
inyiak Datuak Rajo Angek - lah mati baliau kapatang - ambo tikam jo karih ambo.
Alah ka sanang bapak kini - alah ka lamak nasi dimakan - alah ka sajuak aia
diminun - sabab baliau maharu-haru - sabab baliau mambuncah-buncah".
Heran tapakua Mamak Si Hetong - mandanga barito Si Duano - tunduak
mangucap anyo lai - mamikiakan bagak anak kanduang - mangana bijak Si
Duano. Heran bacampua jo riang - karano Datuak Rajo Angek lah sampai
ajalulah.
Urang lah datang manjapuik - basegeh Mamak Si Hetong - bakameh Si
Kasumbo Hampai - tagak badiri Si Rona Pinang.
Kununlah Mamak Si Hetong - hati nan riang ukan alang-alang - bak ka titiak
minyak muko - bajalan turun sakali.
Urang banyak manyambah samonyo - babunyi badia maso itu - babunyi
gandang pararakan - basabuang payuang kiri kanan.
Manyambah Hakim Pardano:
"Parenai Tuanku bajalan daulu - nak kami mangiriang di balakang".
Lah bajalan Mamak Si Hetong - urang banyak mangiriang di balakang.
Alah sabanta nyo bajalan - lah duo banta nyo bajalan - lah tibo di bawah
anduang nan gadang - lah naiak Mamak Si Hetong jo Si Kasumbo Hampai -
batigo jo Si Rona Pinang - barampek jo Si Duano - sarato urang basa-basa -
diiriang urang kayo-kayo.
Kununlah urang nan banyak - abih badiri di halaman - nan manari lah manari -
nan mamancak lah mamancak. Kunun sahari-hari nantun - dari pagi lalu tangah
malam - sakalok tidak dikalokan - rintang bagurau-gurau sajo.
Asa siang hari barisuak - lah abih pulang urang samonyo - lah tingga Mamak Si
Hetong - batigo baranak jo Si Rona Pinang.

Kaba baraliah tantang nantun - sungguah baraliah sanan juo. Alah sabulan
duo bulan - cukuik tigo bulan jo kini - bakato Mamak Si Hetong kapado Kasumbo
Hampai:
"Kunun badan kito alah sanang - nan diama alah pacah – nan dimukasuik alah
sampai - kok balaia alah sampai ka pulau - bajalan alah sampai ka bateh. Kini
sabuah nan taraso di hati den. Tatkalo maso daulunyo - mulo malu ka tabangkik
- mulo kito ka babaua - dek barakaik rencong den salang – den salang ka Puti
Ameh Manah - salang balun bakumbalikan - sasiah pun alun seo pun alun.
Lah iko laruik lamonyo - guno urang sudahlah banyak - jo apo ka pambalehnyo -
bareklah utang di badan den - mamintak urang pun balun.
Kini bak mano kan eloknyo - apo ka tenggang kito kini - jan bak duri dalam
dagiang. Kok piutang nak manarimo - kok utang amaknyo lansai".
Manjawab Kasumbo Hampai:
"Kok itu tuan katokan - iolah dalam bana pulo. Di mano urang ka amuah
mamintak - saganlah anyo maso kini-kini - baitulah nan taraso di hati ambo.
Lorong kapado bicaro tu - indaklah dapek di ambo do.
Tuan panggialah Hakim Pardano - tuan barundiang molah jo nyo - bak apo akan
eloknyo - karano urang cadiak pandai - urang lah tuo mangakok. Tuan padu
molah rundiangan - nak jan jadi utang piutang - dari dunie lalu ka akiraik - jan kito
diupek urang".
"Salamaik bujang janyo den - katonyo Mamak Si Hetong - japuik di ang Hakim
Pardano Basa - suruah lakeh anyo kamari".
Kununlah Salamaik bujang - alun disuruah anyo lah pai - alun diimbau anyo lah
datang - bajalan turun sakali bagageh-gageh - alah balari-lari anjiang.
Lah tibo di rumah Hakim Pardano - duduak manyambah Salamaik bujang -
kapado Hakim Pardano:
"Ambo disuruah di Tuanku - manjapuik samaso kini. Japuik ambo japuik tabao -
baitu titah ambo jujuang".
Lah tagak Hakim Pardano - lalu bajalan sakali - Salamaik mangiriang di
balakang.
Lah tibo di rumah Mak Hetong - duduak manyambah anyo lai.
Bakato Mamak Si Hetong:
"Lai sabuah nan ka den sabuik ka Pardano - tatkalo maso daulunyo - tatkalo
malu ka tabangkik - den salang rencong urang – ka Puti Ameh Manah. Salang
alun bakumbalikan - lah iko moh lamonyo - indak tantu di ambo ka pambaleh.
Kok santano patuik kito seo - kok alun basasiah kito sasiah.
Tolonglah ambo jo bicaro - kok utang amaknyo lansai - jan bak duri dalam
dagiang - kok minun nak sajuak - kok makan amaknyo kanyang".
Duduak manakua Hakim Pardano - dijalai rokok sabatang - dikunyah siriah
sakapua. Sadang dapek agak-agak - sadang datang kiro-kiro - manyambah
Hakim Pardano:
"Ampunlah ambo di Tuanku - sakali gawa baribu kali ampun.
Ba a nan taraso di hati ambo - kok dalam bana bao lalu - kok di lua bana
disuruikan - kok singkek mintak diuleh - kok panjang Tuanku karek.
Kalau lah sarupo itu guno urang - Tuanku sukolah pulo ka mambaleh. Kok
dibaleh jo ameh - kok utang alun babaia do rasonyo.
Sabagai lagi dek pandapek ambo - kok ameh alun ka badaso di aciak Ameh
Manah. Sabab anyo urang ado - urang kayo basunduik-sunduik.
Kini baitulah nan taraso di ambo - adopun aciak Ameh Manah - kok di lorong
kaasanyo - anyo asa urang patuik - buliah ka lawan tagak di Tuanku - santanyo
diuji samo merah - ditimbang samo barek.
Lorong kapado aciak Ameh Manah - kok arato saarato - kok kamanakan
sakamanakan.
Adopun aciak Ameh Manah - ado baranak surang laki-laki - banamo Sutan
Lembang Alam - rancak nan ukan alang-alang.
Kini karano baban Tuanku alun lapeh lai - tarhadap kapado Si Rona Pinang -
elok kawinkan jo Sutan Lembang Alam. Kok karib amaknyo dalam - kok kabek
amaknyo arek - kok simpai amaknyo kukuah. Baitu mungko tampak kasiah
Tuanku. Kok tapuak alah babaleh - kok utang alah babaia rasonyo.
Sungguah baitu kato ambo - pulang maklum ka Tuanku - ka barapolah taraso di
ambo - Tuanku juo mulah nan labiah tau".
Mandanga kato nan bak kian - sukolah hati Mak Si Hetong - lalu bakato anyo lai:
"Baitu malah di Pardano - himpunkan rayaik samonyo - apo nan tidak suruah
cari. Kok kabau suruah cakau - kok padi suruah tumbuak. Sabagai pulo di
Pardano - piliah urang tukang nan pandai - tukang bungkuak Magek Mansawi -
pandai manarah manilantang - pandai marapek dalam aia - suruah buek garudo
pararakan - ka panjapuik Sutan Lembang Alam".
Ka bak apo lah li lai - lah dipalu tabuah larangan - lah baguguah canang
pamanggia - gumantar tabuah si hulando - ciok bigo tabuah nan banyak.
Lah bahimpun urang samonyo - gadang-ketek tuo-mudo - laki-laki parampuan -
Allahu rabbi banyak urang - bak anai-anai bubuih - bak kaluang beba patang.
Bakato urang nan banyak:
"Ampun Tuanku Rajo kami - apo sabab tabuah dipalu - apo sabab canang
diguguah - di mano jojo nan lapuak - di mano parik nan tahampa - di mano
dubalang rabuik-rampeh - di mano rando buliah malu - di mano gadih nan
bajuang - di mano Tuanku salah kitab - di mano Rajo salah hukun - sangaiklah
susah hati kami".
Manjawab Hakim Pardano:
"Ukan parik nan tahampa - bukan dubalang rabuik-rampeh - bukan juaro takuiran
- bukan pangulu lancok hukun - mangkonyo tabuah dipalu - canang pamanggia
baguguah - buliah titah di Tuanku - mahimpunkan rayaik nan banyak ko.
Sabuliah bali jo pinto - salaku-laku kaandak baliau - cakau kabau di kandang -
urah padi di lumbuang - antak tabu di lurah - tabang kayu di rimbo - kito ka
mamancang galanggang - mangawinkan Si Rona Pinang - jo Sutan Lembang
Alam - anak aciak Ameh Manah.
Sabuah lai titah baliau kapado Sampono Dunie - buek garudo pararakan".
Kununlah urang nan banyak - suko rayo samonyo - abih bakarajo siang malam.
Nan ka rimbo lah ka rimbo - nan manumbuak alah manumbuak - kok kabau alah
bacakiak - kok tabu alah baantak.
Lorong kapado Sampono Dunie - indak sunyi siang malam - mambuek garudo
pararakan.
Lah duo hari urang bagarak - cukuik tigo hari garudo lah sudah.
Asa siang hari barisuak - lah bahimpun urang kayo-kayo - sarato urang mulie-
mulie. Rapeklah anak mudo-mudo - sarato anak Sutan-Sutan - di rumah Mamak
Si Hetong.
Bakato Mamak Si Hetong:
"O urang nan banyak nangko - rapek papek kito bajalan - ka rumah Si Amai
Manah - manjapuik Sutan Lembang Alam - ka diarak jo garudo.
Kini juo kito bajalan - sataro hari alun tinggi - sataro paneh alun garang".

Manjawab urang nan banyak:


"Ampunlah kami di Tuanku - kalau baitu kan baiknyo - manuruik kami tantang
itu".
Lah turun Mamak Si Hetong - sarato urang nan banyak - diiriang urang kayo-
kayo - sarato urang mulie-mulie.
Sato tibo Mak Hetong di halaman - tabuah dipalu urang sakali - bunyi badia bak
marandang kacang.
Lah bajalan babondong-bondong - ka rumah Si Ameh Manah - sarato garudo
pararakan.
Lah sarantang pajalanan - lah duo rantang pajalanan - aluran tibo di sinan – lah
tibo di rumah Ameh Manah.
Lah naiak urang samonyo - lah duduak urang nan banyak - lah sudah minun jo
makan - makan siriah sakapua surang.
Lah bakisa duduak Sutan Lembang Alam - ka dalam garudo pararakan. Lah
turun urang nan banyak - sarato marapulai diarak - badia babunyi maso itu.
Lah lamo anyo di jalan - lah tibo di halaman Si Rona Pinang - babunyi tabuah di
balai - manyauik tabuah di musajik - ciok bigo tabuah nan banyak.
Lah naiak marapulai diiriang urang nan banyak. Lah duduak marapulai -
diduduakan di kasua pandak - di ateh anjuang nan gadang.
Bakato Mamak Si Hetong - kapado Haji Kaciak Mudo:
"Manolah Haji Kaciak Mudo - adopun mukasuik hati ambo - sarato urang nan
banyak ko - sabuliah bali jo pinto - lapehkanlah utang ambo - kawinkan Si Rona
Pinang jo Sutan Lembang Alam".
Lah kawin Si Rona Pinang jo Sutan Lembang Alam - nasi di tatiang anyo lai.
Lah makan urang nan banyak - makanlah pulo marapulai.
Lah salasai minun jo makan - makan siriah sakapua surang.
Hari lah patang anyo lai - bakato Hakim Pardano:
"Ampun Tuanku Rajo kami - kok nan dimukasuik alah sampai - nan diama alah
pacah - karano hari ko lah patang - nak dibari izin kami maurak selo - pulang ka
tampek surang-surang".
Lah turun urang nan banyak - tingga Si Rona Pinang jo Sutan Lembang Alam.
Kununlah Mamak Si Hetong jo Kasumbo Hampai - sangaiklah suko dalam hati -
karano utang lah babaia - alah basanang-sanang diri sajo - mamarintah dalam
nagari.
Salamo Mamak Si Hetong jadi Rajo - urang mamuji samonyo - pangasiah
panyayang ka rayaik - barakaik Allah batolong padonyo - anak buah sanang
taranak manjadi.-

Disalin dan disadur dari: Chabar Mamak Si Hetong


Eene Minangkabausche Vertelling
Leiden, PWM Trap. 1892.

Asli buku berhuruf Melayu (Arab-Melayu).


Keterangan:
1. Langgundi
2. Linggayuran
3. Karambia atok tungku
4. pandeka lilik
5. Lobak di pamarunan

6. Landia disinak – kiasan untuk rambut panjang dan ikal.


7. Ditundun
8. Linggeh, linggeh sangguanyo – licin, dikatakan tentang sanggul atau ikat
destar.
9. Kalilik – kelip mata.
10. Mundam –

11. Rampiak –
12. Tayok – banyak.
13. Rang dangan – hamba sahaya, budak.
14. Guli – mawar (dalam sastra lama).
15. Nyao rean –
15a. Luhak – sumur.

16. Kalari – ikan kelari.


17. Dipamalai, malai – untaian bunga.
18. Kaban – ikat pinggang.
18a. Busuak - Busuk, mata uang lama.
19. Karicau – misalnya bekerja dengan tergesa-gesa.
20. Urang bainsang – sejenis jin.

21. Urang baparuah – sejenis jin.


22. Kalarai – suji di pinggir kain.
23. Piganta – ancaman, ilmu yang menakutnakuti orang.
24. Pitanggang – ilmu pelalau, ilmu sihir yang menyebabkan seseorang tidak
dapat makan-minum dan tidur.
25. Babajo, bajo – menghitamkan gigi dengan arang tempurung.

26. Jumbalang –
27. Anak cancang panarahan –
28. Pada – pedar, tengik, getir (tentang rasa dan bau).
29. Buliah – boleh, dapat, beroleh.
30. Dampa-dampa si ula gerang – papan di bawah ujung atap berukir gambar
ular.

31. Ragian – nama semacam ayakan.


32. Rahai, marahai – menyeru dengan suara nyaring.
33. Babirih – menolakkan (menyuruh) pekerjaan sendiri kepada orang lain.
34. Caiang, mancaiang – menumangkan, tidak mau tolong menolong dalam
suatu pekerjaan.
35. Pitalo – petala.

36. Indayang – pelepah nyiur atau pinang.


37. Sidolak-dolai – pusaran angin.
38. Cakua – angin puting beliung, sehingga cekur terbongkar dari dalam tanah.
39. Batang culan – pohon pacar cina.
40. Kulansiang – daun sirih dilipat-lipat menjadi bentuk segi tiga kecil lalu
disemat, ditinggalkan di rumah orang yang dipanggil serta berpesan minta
datang.
Batu kulansiang – batu warna putih seperti pualam.

41. Nyik sayo – terbuang sia-sia.


42. Si Ganjua lalai –
43. Anduang nan gadang, anduang - nama sejenis pohon.
44. Saliriang – seiring.
45. Nan kulai – anjing yang telinganya terkulai.

46. Lancok – terdorong.


47. Baroci – kain sutra halu keluaran Barokh Gujarat.
48. Sairok-irok – sekali-sekali.
49. Pamaman – paman.
50. Sungkua – sekop.
51. Disasiah – disewa.
52. Ratai, ratak-ratai – banyak retak kecil-kecil.
53. Uwai -
54. Nalo-nali – sebangsa bunga (biasanya dalam pantun).
55. Lambai- lambai – kayu yang dipakai ntuk kosen pintu atau jendela..
56. Jigah – basah kuyup.-
KABA SI ALI AMAT

PENGANTAR

KABA SI ALI AMAT ini disalin dari kitab beraksara Arab-Melayu


berbahasa Melayu-Minangkabau terbitan P.W.M. Trap. Leiden
tahun 1895 yang dicetak dengan tehnik lithografi. Dapat dipastikan,
sebelum mencetak kitab tersebut tidak dilakukan pembenahan,
terlihat dari banyaknya penulisan kata yang salah dan tidak
konsisten.
Umumnya penulisan kitab beraksara Arab-Melayu jaman silam
yang tidak bertitik koma, seolah berbentuk seuntai kalimat yang
amat panjang, maka dalam menyalinnya ke huruf Latin, kita jadikan
kalimat-kalimat pendek dengan sedikit pembenahan dengan
maksud memudahkan para peminat membacanya.
Selamat membaca!

AN
KABA SI ALI AMAT

Dicabiak kain dibali,


Dicabiak sahalai deta,
Mamintak tabiak kami banyanyi,
Nyanyi taliriah jadi kaba.

Banda urang kami bandakan,


Padi barapak di pamatang,
Disaok daun jarami,
Kaba urang kami kabakan,
Antah talabiah jo takurang,
Hanyo parintang-rintang hati.

Kaik bakaik rotan sago,


Takaik di aka baha,
Tabang ka langik tabarito,
Jatuah ka bumi jadi kaba.

Sialah urang takaba, takaba Si Ali Amat, takaba bakabau banyak, takato
bajawi banyak.
Lah tinggi ruponyo hari, kiro-kiro pukua salapan, sapanggalahan matoari naiak,
bakato Puti Linduang Bulan:
“Anak kanduang Si Ali Amat, jagolah ba a anak tidua, lah tinggi candonyo hari.
Singkokanlah kandang kabau kito, alaukanlah jawi kito”.
Io di Si Ali Amat, mandanga kato mandeh kanduang, lah jago garannyo tidua,
disingkokannyo pintu kandang, dialau molah tu kabau, kalua ka tangah padang.
Lah tibo di tangah padang, hari ribuik mandanguang-danguang, tidak tabedo
garang paneh, bak ka putuih rangkai hati. Tidak tabedo dareh ribuik, bak ka
cabiak ujuang deta.
Bakato tuo di padang:
“Adiak den Si Ali Amat, tungguilah kabau kito, kabau kito sagintuang-gituang,
awak den kapai bataduah, ka kayu bapucuak sirah”.
Manjawek Si Ali Amat:
“Kok bak nan tun janyo tuan, lah io pulo janyo ambo, nak ambo tunggui kabau
tuan, pailah tuan bataduah!”
Mambao kabau Si Ali di tapi labuah, nan gadang io mo kabau nan badua1,.
bataduah Si Ali Amat di bawah paruik kabaunyo.

Lah lalu molah tu urang, urang tuo mambao sadah. Takajuik kabau si Ali,
tapijak ujuang kukunyo.
Bakato Si Ali Amat, sarato hariak bulalangnyo:
“Hantu bintalak2 di ma iko, hantu paburu di ma iko, kabau den dikajuikinyo.
Sikolah makan mo tangan den, siko manganai mo kaki den”.
Bakato urang nan lalu:
“Indak den mangajuiki kabau ang, bukan den hantu bintalak, ukan den hantu
paburu. Awak den urang tuo buruak, baju buruak kain buruak, roman den pun
buruak pulo. Bahari-hari to makan, babulan-bulan to minum, diam den di rimbo
gadang, makan umbuik-umbuik pua, minum rangek-rangek tabiang. Awak den
manjua sadah, sadah den sakupang 3 ganok, sapitih to amuah labiah, saratuih to
amuah kurang, sakupang sajo sadah den”.
Bakato Si Ali Amat:
“Amai janyo den di amai, kununlah sadah sakupang, antakan bakeh amai den,
ka rumah si Rumin Judin, ka kampuang si Linduang Bulan. Baliau sadang
manalok kain4, lah marandam pulo”.
Bakato rang tuo buruak:
“Anak den si Ali Amat, di ma rumah si Rumin Judin, di ma kampuang si Linduang,
katokan bana paik-paik!”
Bakato Si Ali Amat:
“Iliakan labuah nan panjang, di suok jalan ka pai, di kida jalan ka pulang, di
labuah kelok basiku, pudiang ameh paganyo labuah, pudiang ganin (?) paga di
dalam, anjiluang barumpun–rumpun, sikasok babatang-batang, lansano batimbo
jalan, di karambia atok tungku5, di pinang nan linggayuran, di sanan kampuang
amai den.
Tapi ado caceknyo sabuah, labuah urang bapangawa, kampuang nan tun
bajagoi. Kok tau pangawa labuah, sapuluah ameh bautang. Kok tau pangawa
kampuang, salucuik-lucuiknyo jo badan. Utang tak buliah dibaia, salah tak buliah
ditimbang”.
Bakato urang tuo buruak:
“Kununlah itu dikatokan, bapantun den sabuah,

Nyak manguah nyak manganji,


Nyak basudu bilang-bilang,
Kok tak tuah nak tapanji,
Kok tak rang buruak mak nyo ilang.

Tunjukan juo rumahnyo, katokan juo kampuangnyo”.


Lah berang si Ali Amat:
”Di sanan kampuang si Linduang, di sanan rumah si Rumin, di labuah kelok
basiku, pudiang ameh paganyo labuah, pudiang ganin paga di lua, anjiluang
barumpun-rumpun, sikasok babatang-batang, lansano batimbo jalan, di
rangkiang nan tajongkang, di rumah disungkuik labu manduang” kato Si Ali.

Bajalan rang tuo buruak, lah ilia labuah nan panjang, jauah bak raso di jalan,
dakek bak raso ka tibo, ampia bak raso ka sampai.
Lah tibo molah garangan – lah sampai molah ka io – ka halaman si Rumin Judin
– si Rumin Judin sadang batanun.
Bakato rang tuo buruak:
“Hai rang mudo nan batanun, bari luruih den batanyo, nan ma nan rumah si
Rumin, nan ma nan kampuang si Linduang?”
Bakato si Rumin Judin:
“Amai janyo den di amai, lah tatakok di nan io, tak tatakok di nan bukan”.
Bakato Si Rumin Judin:
“Amai karumahlah amai, lah auih garan amai den, lah litak molah garangan,
sajauah nangko lah jalan”.
Manjangguak Si Lindung Bulan, tagak ka pintu ka rumah. Bakato Si Linduang
Bulan:

“Alah moh kambang bungo pandan,


Kami lah cameh maluruti,
Alah moh datang nyao badan,
Kami lah cameh manuruti”.

Bakato rang tuo buruak:


“Bukan do pantun nan ka babaleh, bukan do kato ka bajawek,

Manga ka luruik maluruiki,


Bungo pandan ka kambang juo,
Manga ka turuik manuruiki,
Awakden ka datang juo” katonyo rang tuo buruak.

Bakato Puti Linduang Bulan:


“Amai ka rumahlah amai, lapiak lah sudah den kambangkan, tabia lah sudah
tasingkok, ka bakeh amai den duduak” katonyo Si Linduang Bulan.
Bakato rang tuo buruak:
“Amaklah kok tak ka rumah, saelok nangko rumah ko, saindah nangko rumah ko,
saburuak nangko roman den”.
Payah gigiah bagigiah – lah panek tangka batangka – Si Linduang maimbau
juo:
“Amai ka rumahlah amai, rugi den baduri-duri, paluah den kalatiakan, asa lai
rumah den sudah, ka bakeh amai den duduak”.
Mandanga kato Si Linduang, ka rumah urang tuo buruak, duduak di sandaran
parian.
Bakato Si Linduang Bulan:
“Adiak den Si Kambang Manih, Kambang Manih kambang denai, kambanglah
bungo saliguri. Bukan Si Kambang nak rang kini, Si Kambang nak rang nyok ari.
Capek kaki ringan tangan, capek kaki to manaruang, ringan tangan to mamacah.
Si Kambang urang paarih, balun di suruah anyo lah pai, balum diimbau nyo lah
datang”.
Bakato Si Linduang Bulan:
“Cabiak siriah Kambang oi, gatoklah pinang Kambang oi, biaklah sadah
Kambang oi, biaklah jo pati santan, lunak nan bak banak balam!”
Balari Si Kambang Manih, dicabiak siriah nan bahalai, dibiak sadah jo santan,
digatok pinang sakali, dibarikan bakeh Si Linduang.
Bakato Si Linduang Bulan:
“Amai kamarilah duduak, siriahlah sudah bacabiak, pinang lah sudah bagatok,
sadah lah sudah babiak, kamari amai mangunyah”.
Manjawek rang tuo buruak:
“Amaklah ko tak ka kiun, saelok nan tun lapiak ko, saburuak nangko roman den.
Kok amuah adiak baragiah, kapualah pinang sagatok, palikan sadah sapalik,
sapiklah jo rantiang batuang, unjuakanlah kamari” katonyo rang tuo buruak.

Lah panek gigiah bagigiah, lah payah tangka batangka, bainsuik-insuik rang
tuo.
Bakato Si Linduang Bulan:
“Adiak den Si Kambang Manih, abuihlah kawa Kambang ai, tanaklah nasi
Kambang ai, lah auih bana amai den, lah litak bana garangan”.
Bawari Si Kambang Manih, bagageh-gageh awaknyo, kupi tajarang sakali. Si
Kambang rang ringan tangan, aso dikakok duo jadi. Sadangkang batu ladonyo,
duo baleh gulai nan masak.
Disanduak nasi ka pinggan, dikaka-kaka manyanduak, bujuanyo samo bujuanyo,
halintang samo halintang, di tapi samuik bairiang, di tangan awan bajumpo. Elok
diirik-irikan, elok makanan rajo-rajo, elok minuman sutan-sutan. Singgang parpati
mandua, singgang satitiak adu-adu, kuah salilik tambun jati. Dibao nasi kalua,
kalua ka tangah rumah.
Io di Si Kambang Manih, diisi kupi sakali, diimbau rang tuo buruak:.
“Amai kamarilah makan, lah dingin kupi di cangkia, lah dingin nasi di pinggan”.
Manjawek rang tuo buruak:
“Amaklah ko tak ka kiun, saelok nan tun rumah ko, saburuak nangko awak den.
Kok suko adiak baragiah, tariak di lauak-lauak ayam, onyokanlah di kau kamari”.
Lah panek gigih bagigiah, lah payah tangka batangka, lah datang rang tuo
buruak, jadi makan jadi minum, Si Linduang Bulan nan surang, Si Rumin Judin
nan surang, rang tuo buruak nan surang, barampek jo Si Kambang Manih.
Bawari rang tuo buruak, manyuok inyo igo suok, cukuik kaampek basuah tangan,
kalimo jo kumua-kumua, bak nan tun makan rang tuo buruak.
Sudah makan sudah minum, bakato rang tuo buruak:
“Adiak den Si Rumin Judin, nan surang Si Linduang Bulan, baia balilah sadah
den, hari lah barimbang tinggi, jalan jauah io di den!”
Bawari Si Linduang Bulan, dilantak peti nan gadang, mandanguang tali bubutan,
duo tigo kunci nan jatuah. Di bao pitih kaluar, kaluar ka tangah rumah. Dibilang
pitih limo kupang, dikatokan bakeh rang tuo:
“Nyak lah iko pitih amai, nan sakupang bali sadah, nan saameh den baragiah
samiang”.
To amuah rang tuo buruak, bakato rang tuo buruak:
“Sadah den sakupang sajo, sapitih to amuah labiah, sarimih 6 to amuah kurang.
Kok suko adiak baragiah, kudian amak den datang”.
Lah panek gigiah bagigiah, lah panek tangka batangka, to amuah rang tuo
buruak.
Bawari Si Linduang Bulan, ditariknyo pitih cako, dibuhuakannyo ka kain ka
cawek, ka gunjai alai, ka cawek rang tuo buruak.
Bakato rang tuo buruak:
“Lapeh baelok den di adiak, awak den kan ka bajalan, lapeh jo hati nan cuci,
lapeh muluik nan manis”.
Bakato Si Linduang Bulan :
“Kok bak nan tun janyo biai, suruik pulolah kudian?”
Lah tagak rang tuo buruak, tagak ka pintu rumah. Maadok rang tuo buruak, ka
bakeh Si Linduang Bulan:
“Saelok nangko rumah ko, sarancak iko rumah ko, gonjongnyo rabuang
mambacuik, parannyo ula mangalampai, tuturan labah mangirok, cibuak kanso
balariak, janjang ko perak balanja.
Kok elok iolah elok, kok rancak iolah rancak, tagah caceknyo sabuah, lailah to
den katokan”.
Lah tagak Si Linduang Bulan, dipacikannyo urang tuo:
“A iko cacek rumah den. Kunun to amai katokan, amai to buliah bajalan. Rugi den
badorai-dorai, paluah den den kalatiakan, asa lai rumah den sudah. Rumah
sudah tukang babunuah, tak dapek ditiru lai.
Kunun tak amai katokan, amai tak buliah malangkah!”
Bakato rang tuo buruak:

“Lumuik pandan dipintokannyo,


Ka bawah condong buahnyo,
Rumik den mengatokannyo,
Ka cabuah kasudahannyo”.

Bakato Si Linduang Bulan:


“Kunun tak amai katokan, amai tak buliah bajalan, katokan juo caceknyo!”
Bakato rang tuo buruak:
“Sia tu urang di sanan, io mo urang gubalo, di padang talau awi, di bukik tandai
langkudu, di bawah baringin ameh, di tapi labuah nan gadang, Si Ali Amat
namonyo. Kok anak ko to kok ukan, ditunjuakannyo rumah ko.
Bak nan tun janyo bakeh den, di sanan rumah Si Linduang, di rumah dirungkuik
labu, di rangkiang nan tajongkang, di junjuang siriah nan rabah, di pinang nan
bajungkatan, katonyo Si Ali Amat.
A itu isi katonyo, a itu buah katonyo, antah kok nyo basangkoan buruak. Kok inyo
basangkoan buruak, itulah cacek rumah ko, itulah calo rumah ko”.

Lah lapeh urang tuo buruak. Bajalan urang tuo buruak. Manggaruang Si
Linduang Bulan. Rauangnyo sampai ka pitalo, rahainyo sampai ka atek langik.
Didamuak dado nan jajai, bakasan jari nan limo, anam jo patahan cincin.
Lah masuak ka biliak dalam, mangaluah ka katiduran, mangaluah ka kalang-hulu,
badarai aia matonyo. Bakato di dalam hati:
“Anak malang anak cilako, anak cilako bago birah”.

Lah lamo bakalamoan, lah panjang bakalalaian, lah patang candonyo hari, lah
pulang Si Ali Amat, dimasukkannyo kabaunyo.
Hari hujan kaciak-kaciak, ka halaman Si Ali Amat, alah tagak ka bawah
lumbuang – maimbau Si Ali Amat:
“Amai den Si Linduang Bulan, jawek juo biai jawek juo, jawek juo sambang
dadiah den, kabau den alun basaok, nan kaciak alun bakungkang!”
Bapakak samiang Si Linduang.
Lah tigo kali inyo maimbau, bapakak juo Si Linduang.
Bakato Si Ali Amat:
“Ba a ko lah iko amai den, paruik ko lah nan umayang, kapalo ko lah nan ngalu,
kapatang indak bak nangko”.
Lah jago Si Linduang Bulan, manjanguah ka pintu gadang:
“Anak den Si Ali Amat, bukan paruik den nan umayang, bukan kapalo den nan
ngalu. Anak den Si Ali Amat, bakiroklah ang di siko, bakikihlah ang di siko. Rang
cilako tungku bangkah, urang basibidai takirok7, urang basiabu ateh tunggua,
uwia-uwia manangeh jamua!”
Bakato Si Ali Amat:
“Dek a ko lah iko amai den, lah pasiak molah amai den, lah jawa8 molah amai
den, kapatang indak bak nangko”.
Bakato Si Ali Amat:
“Ba a amai mungko bak nan tun, di ma bana salah siliak den, kok lah bak nan tun
di amai. Mak bak nan tun kato urang,

Tariak di amai nan babuah,


Nan bapandan nan babungo,
Nan babungo tariak di amai,
Nan bajalan nan cilako” katonyo Si Ali Amat.

Bakato pulo Si Ali:


“Turunkan molah pakai den, awak den kan ka bajalan”.
Marentak Si Linduang Bulan, ditariak pakai Si Ali, dikirokannyo sadonyo,
dibahekannyo ka halaman.
Baru tatabua di halaman, io di Si Ali Amat, ditariaknyo kain nan tun.
Disaruangkannyo sarawal, sarawal panjang batakat, batakat bakatanahan,
bauwia-uwia manyasok. Disaruangkannyo bajunyo, bajunyo sambua-samburan,
samburan bintang di langik.
Detanyo deta panjang bakatah, diikek nak rang Koto Tuo, buatan rang Padang
Panjang.
Dilakekannyo karihnyo, karih sampono ganjo ireh8, bapantang karam di lauik,
samaso parang jo Bugih, jajak ditikam mati juo.
Manjaguah Puti Kasumbo, bakato Si Ali Amat:
“Rang kampuang rilahkan rilah, rilahkan labuah jo tapian, rilahkan sumua bakeh
mandi, den ka bajalan anyo lai”.
Bakato pulo bakeh amainyo:
“Amai den Si Linduang Bulan, rilahkan biai rilahkan. Rilahkan susu nan sacucuik,
rilahkan nasi nan sasuok, rang buruak ka pai bajalan”.
Indak bajawek diamainyo, bakato Puti Kasumbo:
“Kakak dan Si Ali Amat, kito nan bak anak balam, sikua jantan sikua batino.
Kunun kakak ka bajalan, bao juo denai di kakak” katonyo Puti Kasumbo.
Manjawab Si Ali Amat:
“Manga kau ka pai jo den, awak den urang cilako, urang cilako tungku bangkah,
manga den ka kau turuikan”.
Bakato Puti Kasumbo:
“Kunun kakak ka bajalan, bari janji den sabanta!” katonyo Puti Kasumbo.
Bajalan Puti Kasumbo, io ka padapuran. Dibaka molah tu bajo9, disangai molah
tu minyak.
Lah sudah bajo tabaka, lah sudah minyak basangai, dibao turun ka halaman, ka
bakeh Si Ali Amat.
Bakato Puti Kasumbo:
“Kakak ka bajalan jauah, mari den tabua jo bajo, mari den tampa jo minyak, mari
den kabek jo cawek”.
Lah sudah dibajoinyo, bawari Si Ali Amat, rancak nan bukan ulah-ulah, elok nan
tidak tabedokan. Manangih Si Ali Amat. Bakicau murai ateh batu, bakaja cacak
ateh paran, bakaja tupai ateh kayu, mancaliak Si Ali Amat.
Malanglah Si Ali Amat, batungkuik kayu-kayuan.
Bakato Si Ali Amat:
“Adiak den Puti Kasumbo, lapeh baelok den di adiak, lapeh jo hati nan cuci, lapeh
jo muluik nan manih”.
Manangih Puti Kasumbo, aia mato badarai-darai, bakato sambia sanguak-
sangak:
“Bao den kakak bao den, bao juo den di kakak, ka langik bao den tabang, ka
lauik bao den manyalam”.
Lah tampak pulo di amainyo, batambah bangih Si Linduang:
“Angkuiklah tu adiak ang, baoilah tu adiak ang, indak paguno di den lai, urang
cilako kaduonyo”.
Bakato Si Ali Amat:
“Adiak den Puti Kasumbo, kunun kau ka pai jo den, manungi bana abih-abih,
agaki bana paik-paik, buruaknyo nan ka dikaji, usah manyasa kudian.
Litak usah kau katokan, auih usah kau sabuikan, bak nan tun rang pai jo den “.
Manjawek Puti Kasumbo:
“Asa amuah kakak mambao, mati kakak matilah den, indak den mandawa lai. Ka
lauik bao baranang, ka lurah bao manurun, ka bukik bao mandaki, indak den
manyasa lai”.
Bakato Si Ali Amat:
“Adiak Puti Kasumbo, kok lah bak nantun janyo adiak, asa lai amuah samo mati,
asa lai amuah samo ilang, manuruikan urang cilako, kito pai molah bajalan, di ma
janjian ditapati, di ma untuang disudahi”.
Bajalan Si Ali Amat, manuruik Puti kasumbo.
Ado sabanta inyo bajalan, kiro-kiro sapalantiangan, maadok suruik Si Ali, lalu
manyumpah marahai.
Manyaru Si Ali Amat:
“Hai arawah, hai malaikat, hai angin punco baliuang, kirok juo rumah amai den,
bubuangkan lumbuang sadonyo, tungkuikan lasuang nan gadang, kirokan kabau
jo bantiang, mak uweh hati amai den”.
Sudah manyumpah marahai, bajalan Si Ali Amat:
Sabanta inyo bajalan, lah sampai ka simpang jalan, duduak bahantilah Si Ali.
Dipataruhinyo adiaknyo:
“Kito ka bajalan jauah, kampuang tak tantu ka dituruik, dangau tak abeh nan ka
diunyi. Litak usah kau katokan, auih usah kau sabuikan, bak nan tun rang pai jo
den, urang manuruik rang cilako”.
Jaweknyo Puti Kasumbo:
“Usah kakak katokan juo, sajak cako lah den pikiri, sajak cako lah den manuangi.
Lah den kaji elok buruaknyo, indak den manduo lai, indak den manyasa lai. Mati
kakak matilah den, indak auih ka den katokan, indak litak ka den katokan”.

Lah sudah inyo barundiang, bajalan Si Ali Amat, nan surang Puti Kasumbo.
Mulai bukik lah tadaki, mulai lurah lah taturuni, banyaklah rimbo nan tatampuah.
Lah lamo bakalamoan, lah payah Si Ali Amat, lah jariah Puti Kasumbo. Hari nan
hujan-hujan kaciak, dicari bakeh bataduah, tampak dinyo rungguak kayu.
Bakato Si Ali Amat:
“Adiak den Puti Kasumbo, kito barantilah di sanan, di dalam rungguak kayu nan
tun”.
Bajalan inyo ka rungguak kayu, padahan arang10 ula gadang.
Bakato Si Ula Gadang:
“Siko mo sangkang garaman den, di siko kanyang mo paruik den, rajaki datang
mauntok, rang dunie sasek kamari”.
Bakato Puti Kasumbo:
“Kakak den Si Ula Gadang, kunun Si Ali ka dimakan, awak den makan daulu, jan
mato den mancaliak, jan talingo den mandanga, pado den baibo hati!
Sabuah lai di kak Ula, awak den urang cilako, indak paguno di urang. Pado iduik
eloklah mati, pado manangguang parasaian, usah manyeso amai den”.
Bakato Si Ula Gadang:
“Indak Si Ali ka tamakan, indak awak ko ka talulua. Si Ali urang batuah, awak ko
anak rang baiak. Dikunyah garaman tangga, dilulua paruik umayang, awak kau
sasek kamari. Jo a kau ka den lapeh, a ka den barikan anjik Si Ali ?
Tariaklah reno di kapalo den, tariaklah cincin di ikua den. Cincin banamo cinto-
cinto, pacinto ameh jo perak, pacinto bareh jo padi, pacinto kampuang halaman”.
Bawari Si Ali Amat, ditariak reno jo cincin. Lah dapek reno jo cincin, bakato Si Ali
Amat:
“A lah ka den barikan anjik kakak, bakain babaju lai tidak, makan-minum kami lai
tidak. Kami nangko urang cilako, awak kami urang tabuang. Tinggalah kakak di
siko, kami bajalan anyo lai”.
Bajalan Si Ali Amat, nan surang Puti Kasumbo. Kiro-kiro sapambaean,
maadok suruik Si Ali:
“Adiak den Puti Kasumbo, caliaklah kakian! Alah lah pasa rimbo satumpak, kayu
gadang abih rabah, tabiang tinggi lah abih runtuah, bakeh ula maampeh-ampeh,
inyo mamutuihkan angoknyo, laruik hati den mancaliak, hibo hati den
mamandangi, sabab karano di kito, sabab tuahnyo kito ambiak”.
Bakato Puti Kasumbo:
“Kok bak nan tun ka ba a juo, indak kito marabuik, indak kito maniayo, awaknyo
amuah baragiah”.

Lah sudah barundiang-rundiang, bajalan Si Ali Amat, nan surang Puti


Kasumbo.
Bakato Si Ali Amat:
“Adiak den Puti Kasumbo, lailah lapau sabuah, jan adiak bahanti sinan, di sinan
urang panyamun, di sanan urang parabuik, urang paelo paunjun, Maruntun
Manau galanyo.
Kok kito bahanti sinan, awak kito kok disamunnyo, awak kito kok dirampehnyo,
awak kau kok ditariaknyo”.
Manjawab Puti kasumbo:
“Kok lah bak nan tun janyo kakak, ka ba a janyo den pulo”.
Bajalan juo Si Ali, nan surang Puti Kasumbo. Jauah bak raso ka sampai,
ampiang bak raso ka tibo, tibo di lapau Maruntun Manau.
Lah tibo di halaman lapau, bakato Maruntun Manau:
“Adiak ka rumahlah adiak, nasi lah sudah batanak, kupilah sudah baabuih,
pananti adiak den juo”.
Ka rumah Puti Kasumbo, Si Ali Amat di halaman.
Bawari Maruntun Manau, hati arok bukan kapalang, rajaki datang mauntok,
awak lah ka buliah padusi.
Dibari nasi jo kupi, lah makan minum Puti Kasumbo. Lah sudah minum jo makan,
dimakan siriah sakapua.
Maimbau Si Ali Amat:
“Adiak turun molah adiak, kito bajalan jauah, iko pitih ka pambali nasi, nyak pitih
pambali kupi” katanyo Si Ali Amat.
Manjawek Maruntun Manau:
“Kok ang ka bajalan pailah, Puti Kasumbo ka siko. Urang pulang ka
kampuangnyo, urang tingga di rumahnyo!”
Bakato Si Ali Amat:
“Ba a nyo ka tingga siko, a jalan mungko bak nan tun. Kok indak ado basabab,
kok indak ado bajalan, antah kok kasiak taputiah, antah kok mijan tatagak, antah
kok lubang bakali, mungkonyo ka tingga siko!”
Bakato Maruntun Manau:
“Sagaduak a iko urang, sageleang a iko umaik, ka den bunuah paja nangko, ka
den jua jauah-jauah. Indak ang danga baritonyo, sadang manau lah den
runtunkan!”
Mahambua Maruntun Manau, malompek lalu ka halaman, dicakaunyo pinggang
Si Ali, diambuangkannyo sakali, mambaleh pulo Si Ali.
Lah lamo inyo bacakak, batimbang lacuik malacuikan, batimbang antak
maantakkan. Diantakkannyo Si Ali, tabanam sahinggan batih. Malompek Si Ali
Amat.
Bakato Si Ali Amat:
“Mano ang Maruntun Manau, adaik iduik baleh mambaleh”.
Dibalehkannyo di Si Ali, disembanyo pinggang Maruntun Manau, diantakkannyo
ka tanah, tabanam sahinggo pinggang. Lah jebong-jebongi, talalu putuih jo
angoknyo, io Si Maruntun Manau.
Lah turun Puti Kasumbo, bakato Si Ali Amat:
“Lah uweh hati adiak den, bara ka gadang doso den, lah surang mambunuah
urang”.

Lah lamo bakalamoan, bajalan Si Ali Amat, nan surang Puti Kasumbo, ka
mudiak juo arahnyo.
Lah jauah inyo bajalan, bakato Si Ali Amat:
“Adiak den Puti Kasumbo, pacik pitaruah arek-arek, pacik pitaruah taguah-
taguah, jan adiak lupo-lupokan.
Adolah lapau sabuah, lapau Si Mahayun Bukik, urang nan bagak sakali, urang
panyamun panyaka, urang pahelo paunjun, pandai manarah manalintang,
pandai marapek dalam aia, manungkek nan tak jo tupang, manggantuang nan
tak jo tali, mangganang nan tak jo aia, io Si Mahayun Bukik.
Usah adiak ka rumah pulo, jan kito baranti sinan, jan kito disamunnyo, jan kito
dirampehnyo, usah kito bamusuh jo nyo”.
Bakato Puti Kasumbo:
“Kok lah bak nan tun janyo kakak, ka ba a pulo janyo den”.
Salamo lambek di jalan, jauah basarang dakek juo, ampiang ka tibo anyo lai.
Lah tibo inyo di sinan, di lapau Mahayun Bukik:

“Alah mo kambang bungo pandan


Padi nan cameh maluruiki,
Alah mo datang nyao badan,
Kami nan cameh manuruti.

Adiak ka rumahlah adiak – ko to kupi lah baabuih – ko to nasi lah batanak”.


Manjawab Puti Kasumbo:

“Manga ka luruiki maluruiki,


Bungo pandan ka kambang juo,
Manga ka turuik manuruiki,
Awak den ka datang juo”.

Lah naiak Puti Kasumbo, lah tingga Si Ali Amat, io di tangah halaman.
Io di Si Mahayun Bukik, hati gadang tidak tabedo, arok nan bukan ulah-ulah,
awak ka dapek padusi, dibari minum jo makan. Lah makan Puti Kasumbo. Lah
sudah minum jo makan, dimakan siriah sakapua.
Ado sabanta antaranyo, bakato Si Ali Amat:
“Adiak den Puti Kasumbo, adiak turun molah adiak, hari lah barimbang tinggi,
jalan jauah ka kito turuik, nyak pitih pambali nasi urang”.
Bakato Mahayun Bukik:
“Indak nyo ka turun do, urang lah datang ka kampuangnyo, urang lah datang ka
rumahnyo. Kok ka bajalan pailah, Puti Kasumbo ka di siko!”
Bakato Si Ali Amat:
“Ba a nyo ka tingga siko, a jalan mungko bak nan tun, lai utang tak kabaia. Kok
anyo ambek-ambek sajo, kok anyo tahan-tahan sajo, antah kok lubang bakali,
antah kok kasiak taputiah, antah kok mijan tatagak, mungkonyo ka tingga siko!”
Bakato Mahayun Bukik:
“Talampau bana urang nangko, gaduak bana inyo kironyo, tidak ang danga
baritonyo”.
Malompek sakali ka halaman, dicakau pinggang Si Ali, diambuangkannyo sakali.
Mambaleh Si Ali Amat, dihambuangkannyo Mahayun Bukik, balambin tibo di
tanah. Lah lamo garan bacakak, batimbang ampeh-maampehkan, batimbang
antak-maantakan. Diantakkannyo Si Ali, tabanam sahinggo pinggang.
Bawari Si Ali Amat, diungkik suok jo kida, lalu mahambua anyolai. Disembanyo
pinggang Mahayun Bukik, diantakkannyo ka tanah, tabanam sahinggo lihia. Lah
geleng-geleangi, talalu mati sakali.
Lah turun Puti Kasumbo, bakato Si Ali:
“Adiak den Puti Kasumbo, lah payah bana den anyo, bara pulo gadang doso den,
baduo mambunuah urang.
Lah uweh hati adiak den, adiak nan tak bahati, adiak den nan tak balimpo.

Sajak samulo den latokan,


Tidak dilatak dalam padi,
Sajak samulo den katokan,
Tidak dilatak dalam hati”.

Bakato Puti Kasumbo:


“Indaklah kakak ka badoso, indak salah dari kito, salah nan datang dari inyo”.

Lah lamo baulak-ulai – bajalan Si Ali nan surang Puti Kasumbo – masuk rimbo
kalua rimbo – masuak ka dalam rimbo gadang.
Lah tibo di tangah rimbo – basuo harimau gadang.
Bakato harimau gadang:
“Siko paruik den mungko kanyang – siko garaman mungko singgang – rajaki
datang mauntok”, katonyo harimau gadang.
Bakato Puti Kasumbo:
“Kakak den harimau gadang, kok Si Ali ka dimakan, kok Si Ali ka dilulua, awak
den lulua daulu, Si Ali makan kudian. Usah mato den mancaliak, usah talingo
den mandanga.
Sabuah lai di kakak, kami nangko urang cilako, urang basibidai takirok, uwia-uwia
manangeh jamua, indak paguno di urang, lah dibuangkan amai kami”.
Bakato harimau gadang:
“Indak Si Ali ka tamakan, indak Si Ali ka talulua, Si Ali urang kiramaik, awak kau
urang batuah. Dikunyah garaman tangga, dilulua paruik umayang. Awak kau
sasek kamari.
A lah iko ka dibarikan, ka baka bajalan jauah, ameh tidak perak pun tidak, ilmu
kuaik lai saketek, pakailah iko di kau, mari den aja pandeka!”
Lah jimek itu dibarikan, bakato harimau gadang:
“Adiak bajalanlah adiak, itu samiang paragiah den”.
Bakato Si Ali Amat:
“Kakak oi harimau gadang, kami bajalan anyo lai”.
Bajalan Si Ali Amat, nan surang Puti Kasumbo.
Lai sabanta inyo bajalan, kiro-kiro sapambadian, mancaliak suruik Si Ali. Patuih
lah babintang-bintang, kilek lah baapi-api, ribuik lah mandanguang-danguang,
hujan gamuruah-gamuruah.
Lah pasa rimbo satumpak, samuik kicik abih lipua, kayu gadang abih patah,
tabiang tinggi abih runtuah, harimau gadang mangaruang-garuang, inyo
mamutuihkan angoknyo, tuah lah dibao urang.
Bakato Si Ali Amat:
“Adiak den Puti Kasumbo, laruik hati den mamandangi, mancaliak harimau nan
tun, sabab karano di kito”.
Bajalan juo Si Ali, ka mudiak juo candonyo. Lah lamo maso bajalan,
paluahlah kubang kabauan.
Bakato Si Ali Amat:
“Adiak den Puti Kasumbo, pacik pitaruah arek-arek, pacik pitaruah taguah-
taguah, jan adiak lupo-lupokan!
Adolah lapau sabuah, lapau Mahampiang Basi, urang pahelo paunjun, urang
pacakak paangak, urang panyamun panyaka.
Kito kalau ka kian, jan adiak ka rumah pulo, usah manjadi nan lah alah!”
Bakato Puti Kasumbo:
“Kok lah bak nan tun janyo kakak, ka ba a janyo den pulo”.
Lah lamo maso bajalan, hampiang bak raso ka tibo, jauah bak raso di jalan.
Lah sampai molah garangan, lah tibo molah ka io, di lapau Mahampiang Basi.
Bakato Mahampiang Basi:
“Adiak ka rumahlah adiak, lah auih raso adiak den, lah litak raso adiak den,
sajauah nangko lah jalan, sapayah nangko lah awak”.
Bakato Puti Kasumbo:
“Amak lah ambo kok tak ka rumah, jalan jauah ka kami turuik, kampuang tak
tentu ka dijalang”.
Bakato Mahampiang Basi:
“Ka rumah juo sacacah, bagio makan sirih samiang”.
“Kok lah bak nan tun janyo tuan, ka rumah juo molah ambo” katonyo Puti
Kasumbo.
Lah ka rumah Puti Kasumbo, kupi tahanta sakali, nasi tahanta sakali.
Io di si Mahampiang Basi, hati lah angek-angek dingin, awak ka buliah padusi,
nyak lakeh samianglah juo, acoknyo mak kunjuang sampai, dareh mak nyo
kunjuang tibo.
Sudah makan sudah minun, dikunyah molah tu pinang, io di Puti Kasumbo.
Sarilamak jatuah ka paruik, sari manih tingga di bibia, do bibia Puti Kasumbo.
Bakato Si Ali Amat:
“Adiak turun molah adiak, hari lah barimbang patang, jalan ka jauah di kito”.
Manyauik Mahampiang Basi:
“Kok ka bajalan pailah, Puti Kasumbo ka di siko, urang lah sasek ka rumahnyo!”
Bakato Si Ali Amat:
“Tuan den Mahampiang Basi, ba a nyo tuan tahani, ba a nyo ka tuan ambek. Lai
utang tak tabaia, lai arato tuan diambiaknyo.
Kok anyo tahan-tahan sajo, antah kok putuih angok den, antah kok kalu lidah
den, antah kok rabun mato den, mungkonyo ka tingga siko”.
Bakato Mahampiang Basi:
“Sagaduak-gaduak iko umaik, sagaliniang iko urang, anak bincacak bincacau,
anak ngiang-ngiang rimbo, anak si caciang panarahan. Ka den bunuah anak
urang nangko, ka bajua jauah-jauah, ka babunuah mati-mati”.
Malompek Mahampiang Basi, turun ka tangah halaman, dicubokannyo bacakak,
io jo Si Ali Amat.
Dikaokannyo langkah tigo, dianjuakannyo nan ciek, mancakau Si Ali Amat.
Lah dapek Si Ali Amat, ditumbuakannyo ka gumi. Tabanam Si Ali Amat, io
sahinggo lihianyo.
Bawari Si Ali amat, diungkiknyo suok jo kida, disintakannyo badannyo,
mahambua inyo kalua.
Dilompekinyo di Si Ali, disembanyo pinggang Mahampiang Basi, diantakkannyo
ka gumi. Io si Mahampiang Basi, lah ilang jo bubun-bubun, lah putuih jo angok-
angok, talalu mati sakali.
Lah turun Puti Kasumbo, bakato Si Ali Amat:
“Lah uweh hati adiak den, lah sanang hati adiak den, batigo mambunuah urang,
bara ka gadang doso den. Adiak den nan tak bahati, adiak den nan tak balimpo,
indak mamacik pitaruah.
Sajak samulo ambo latokan,
Tidak ka latak dalam padi,
Sajak samulo den katokan,
Tidak kau latak dalam hati.

Awak payah badoso pulo” katonyo Si Ali Amat.


Bakato Puti Kasumbo:
“Kok payah awak lai manang, indak awak ka badoso, indaklah salah dari awak”.

Bajalan Si Ali Amat, Puti Kasumbo nan surang.


Lah jauah maso bajalan, mulai rimbo lah tarimbaki, mulai bukik lah tadaki, mulai
lurah lah taturuik, bajalan juo awaknyo.
Lah sasek ka tangah padang, indak tabedo data padang, indak barumpuik satu
alai, indak bakayu satu batang, bajalan juo awaknyo.
Lah jauah maso bajalan, lah sasek ka rumpun kayu, tidak tabedo rancak kayu,
tidak tabedo indah kayu, pucuaknyo cewang ka langik, ureknyo pajam ka bumi.
Bahanti di rumpun kayu, io mo Si Ali Amat, nan surang Puti Kasumbo.
Bakato Si Ali Amat:
“Tidak tabedo jariah awak, paluahlah batitiak-titiak. Sagadang nangkolah paneh
hari, paneh manginga-inga hari, hujan manyangik limau, hari ribuik
mandanguang-danguang.
Adiak den Puti Kasumbo, pacik pitaruah arek-arek, pacik pitaruah taguah-taguah,
jan adiak lupo-lupokan, den ka lalok tujuah hari, io mo di rumpun kayu, mak
lapeh payah den nangko, mak hilang paniang den nangko, jan adiak jago-
jagokan!”
Bakato Puti Kasumbo:
“Kok lah bak nan tun janyo kakak, ka ba a janyo den pulo”.
Lah lalok Si Ali Amat, alah sahari duo hari, lah tigo hari kaio. Bakato Puti
Kasumbo:
“Kakak den Si Ali Amat, jagolah kakak tidua, jalan jauah ka kito turuik, kampuang
tak tantu ka diunyi, rumah tak tantu bakeh diam”.
Bapakak samiang Si Ali, manangih Puti Kasumbo. Lalok lah talalu lalai, lalai lah
talalu mati.
“Lah sampai aja kakak den, den imbau indak babunyi”.
Lah rusuah Puti Kasumbo, aia mato badarai-darai, awak surang diri samiang, jo
sia ka barundiang, jo sia ka batutua.
Tabik di nyo agak-agak, takana dinyo kiro-kiro, io di Puti Kasumbo, bajalan
Puti Kasumbo. Antaro sapambaean, ditinggakannyo kakaknyo. Takana dinyo
cincin tu, awaknyo manaruah cincin, manaruah cincin cinto-cinto, pacinto korong
jo kampuang, pacinto ameh jo perak, pacinto di rumah nan gadang.
Ditariaknyo cincin nan tun, dicintokannyo ka rumah, dicintokannyo ka kampuang.
Lah buliah nan kahandaknyo, lah sampai nan dimakasuiknyo, tadiri kampuang jo
halaman, tadiri rumah jo tango, langkok jo bareh jo padi, langkok jo alaik
pakaiannyo.
Sanang sakaciak di hatinyo, diamlah inyo di rumah tu.

Lah sahari duo hari, lah sampai garan tigo hari, lah ampek hari ka io,
awaknyo diam di rumah, lah jago Si Ali Amat.
Io Si Ali Amat, dicaliak kiri jo kanan, dipandang hilia jo mudiak, tak tampak Puti
Kasumbo, manangih Si Ali Amat:
“Kama ko kau lah adiak den, kama ko inyo ka den cari”.
Lalu bajalanlah Si Ali. Lah lamo bakalamoan, lah sasek ka kampuang urang –
ka kampuang Puti Kasumbo.
Lah tibo tangah halaman, dihantam-hantamkan kaki, dilantuang-lantuangkan
cibuak, manjanguah Puti Kasumbo.
Bakato Si Ali Amat :
“O amai nan punyo rumah, bari luruih den batanyo, bari tarang den batanyo. Lai
lah urang nan sasek, io ka rumah amai nangko, Puti Kasumbo namonyo”.
Bakato Puti Kasumbo:
“Tuan janyo den di tuan, kok tanyo ka den bari luruih, kok tanyo ka den bari
tarang. Tuan ka rumahlah tuan”.
Ka rumah Si Ali Amat, lah duduak ka ruang tangah, disanduakannyo nasi,
diasokannyolah kupi.
Bakato Si Ali Amat:
“Indak den auih di kupi, indak den litak di nasi, bari luruih den batanyo, bari
tarang den batanyo, lailah urang nan sasek kamari, Puti Kasumbo namonyo?”
Manjawek Puti Kasumbo:
“Kok batanyo lapeh payah, kok barundiang sudah makan, makanlah tuan daulu!”
Lah makan Si Ali Amat, tak lalu nasi dimakan, tak amuah aia diminum. Nasi
dimakan raso sakam, aia diminum paik-paik, dek susah di dalam hati.
Sudah makan sudah minum, bakato Si Ali Amat:
“Kok makan lah ubek litak, kok minum lah ubek auih, bari tarang den batanyo,
bari luruih den batanyo”, katanyo Si Ali Amat.
Manjawek Puti Kasumbo:
“Indak elok urang parusuah, urang parusuah lakeh tuo, urang pahibo jauah hati,
urang panangih bileh mato” katonyo Puti Kasumbo.
Bakato pulo hanyo lai:
“Alah tatakok di nan io, indak tatakok di nan bukan. Kakak den Si Ali Amat, awak
den nan adiak kakak, banamo Puti Kasumbo.
Le maso kakak lalok, den aso kakak lah mati, den jagokan tak amuah jago.
Takana di den agak-agak, lai cincin nan taiso, den cinto rumah gadang, den cinto
kampuang halaman, tadiri itu sadonyo. Ikolah rumah nan tacinto, ikolah
kampuang nan den cinto”.
Lah sanang hati Si Ali, lah sirah molah mukonyo.
Tabik dinyo agak-agak, takana molah kiro-kiro, bakato Si Ali Amat, ka bakeh
Puti Kasumbo:
“Adiak den Puti Kasumbo, kunun rumah kan lah ado, kunun kampuang kan lah
buliah, lai juo cincin nan tun kau andokan?”
Manjawab Puti Kasumbo:
“Kunun lah cincin ditanyokan, kama pulo ka painyo”.
Bakato SI Ali Amat:
“Bao lah kamari cincin nan tun, kito cinto molah rangkiang, kito saru bareh jo
padi”.
Io di Puti Kasumbo, dibarikannyo cincin nan tun. Ditariak cincin di Si Ali, dibaka
kumanyan putiah, diasok molah cincin nan tun, dicintonyo rangkiang gadang,
disaru bareh jo padi.
Lah ado itu samonyo, lah sanang hati Si Ali, lah lalok tidua Puti Kasumbo.
Lah lamo bakalamoan, lah panjang bakalalaian, Allah Ta’ala manggarakan,
lah ngalu Puti Kasumbo.
Bakato Puti Kasumbo:
“Kakak den Si Ali Amat,

Hujan nan tidak labek amek,


Tumbuah tindawan di kukuran,
Sakik nan tidak sangaik amek,
Hancualah lapiak katiduran”.

Bakato pulo anyo lai:


“Kakak den S Ali Amat, babadan marasoi sakik, banyao marasoi mati. Pacik
pitaruah arek-arek, pacik pitaruah taguah-taguah, jan kakak lupo-lupokan, rago
lidah balun kalu, rago mato balun rabun, kok talingo balun pakak, kok molah mulo
ka mo den mati, mati kok dikayai aja, kok pendek hanyo umua den, kok sampai
hanyo umua den, pacik pitaruah arek-arek.
Kakak kok ka bajalan, kok sampai mati awak den, kok rumah ka kakak jua, kok
kapuak ka diurak, kaban den jan dilupokan, talatak di dalam biliak”.
Manjawab Si Ali Amat, aia mato badarai-darai:
“Diak kanduang Puti Kasumbo, kok lah bak nan tun janyo adiak, ka ba a janyo
den pulo”.
Lah lamo bakalamoan, lah mati hanyo Kasumbo, lah sampai hanyo
hukumnyo, lah pendek hanyo umuanyo.
Manangih Si Ali Amat, dek rusuah di dalam hati. Dipunta hanyo kiro-kiro, hukum
sampai sukatan panuah, indak buliah ditambah lai.
Babadan manaruah sakik, banyao marasoi mati, lalu ditanam hanyo lai.
Dimintakan doa salamaik, sapanjang adat bakampuang, sapanjang adat
banagari.
Nak lakeh samianglah juo, dareh mak nyo kunjuang sampai, acok mak nyo
kunjuang tibo, lah sampai duo kali tujuah, bamanuang Si Ali Amat:
“Pado iduik bacamin bangkai, elok mati bakalang tanah. Elok den panggang
rumah nangko, ka a gunonyo di den lai”.
Dicari molah tu pusuang, dibaka molah tu rumah, tidak katauan nan ka maunyi,
Puti Kasumbo lah mati. Api to amuah mamakan, bamanuang Si Ali Amat:
“Ba a ko mungko bak nangko, mungko api tak amuah mamakan”.
Tabik pulo agak-agak, takana pulo kiro-kiro, Puti Kasumbo bapitaruah:
“Kok molah mulo kamonyo, kok sampai hanyo hukumnyo, kok pendek hanyo
umuanyo, kabannyo jan dilupokan, bak nan tun kato Kasumbo”.
Dihantamkannyo pintu biliak, lah masuak ka dalam biliak, basuo molah tu kaban,
dibao molah kalua, kalua ka tangah padang, kan tidak disilau-silau, bak nan tun
kato Kasumbo.
Dibaka molah tu rumah, kaban lah sudah tabao, rumah lah anguih sakali.
Bajalan molah Si Ali, manjaguak ka pasa rami, lah naiak inyo ka rumah urang.
Sudah makan sudah minum, io moh di rumah urang, tabik dinyo agak-agak,
takana dinyo kiro-kiro:
“Ka parintang-rintang rusuah, elok den bajalan-jalan. Kok tingga di kampuang
nangko, hati rusuah batambah risau, tampak-tampak roman Kasumbo”.
Bakato Si Ali Amat:
“O kakak nan punyo rumah, awak den nak bapitaruah, lai ka buliah di kakak?”
Bakato rang punyo rumah:
“Kunun adat urang balapau, kaleknyo mamacik pitaruah” katonyo nan punyo
rumah.
Mandanga kato urang lapau, dibarikannyo ka bakeh rang punyo rumah.
Bakato pulo anyo lai:
“Kaban den usah disilau, kaban den usah dibukak, antah sahari den bajalan,
antah sapakan lai lambeknyo” katonyo Si Ali Amat.
Bakato rang punyo rumah:
“A kolah isi kaban nangko, bari luruih den batanyo, bari tarang den batanyo”
katonyo rang punyo rumah.
Manjawab Si Ali Amat:
“Simpan samianglah daulu, kudian buliah disilau”.
Io di urang punyo rumah, diandokannyo kaban nan tun, io mo ka dalam biliak.
Bajalan Si Ali Amat, bajalan mamadang-madang, masuak rimbo kalua rimbo,
masuak padang kalua padang, masuak kampuang kalua kampuang, ka
parintang-rintang rusuah.
Alah sahari inyo bajalan, alah duo hari inyo bajalan, lah sapakan li lamaonyo,
indak juo rusuah tarintang, tidak takana kaban Kasumbo.

Kaba baraliah anyo lai, ka bakeh rang punyo lapau. Alah sahari duo hari, alah
sapakan duo pakan, indak urang kambali juo, urang nan bapitaruah kaban.
Bamanuang nan punyo lapau:
“Sialah urang bapitaruah, indaknyo kambali lai. Lah mati garan awaknyo, elok
disilau pitaruahnyo, anjo den silau kabannyo, anjo den bukak kabannyo”.
Ditariak ka dalam biliak, dibukak molah tu kaban, kaban talatak dalam biliak, ado
baisi budak ketek.
Tidak tabedo elok paja, mambayang-bayang ka langik. Ka langik babayang hijau,
ka dunie mambayang kuniang. Mahalah rajo ka judunyo, mahalah puti samo
gadang.
Di urang nan punyo rumah, dibari minum jo makan, dibari kain jo baju.

Lah cadiak garan tu paja, gadang bak diamba-amba, tinggi bak dianjuang-
anjuang, lah tahu turun ka rumah.
Bakato rang punyo rumah:
“Adiak den si budak ketek, sia kolah amai kau, sia kolah bapak kau?”
Bakato si budak ketek:
“Indak den baibu bapak, indak bamamak baniniak. Amailah ibu bapak den,
amailah niniak mamak den”.
Bakato rang punyo rumah:
“Adiak den si budak ketek, adiak kok ka den bari nasi, adiak kok ka den bari aia,
pailah adiak manjamua, tungguilah jamua di kau!”
Io di budak ketek, pailah inyo manjamua. Sacotok jamua di ayam, sapuluah
panggalan lakek.
Di urang nan punyo rumah, lah banci molah hatinyo, lah pasai inyo
manggadangkan.
Di urang nan punyo rumah, digantangnyo molah sakuih, diserakannyo ka
hilalang.
Bakato rang punyo rumah:
“Pailah piliah sakuih adiak, adiak kok ka den bari nasi, adiak kok ka den bari air!”
Bajalan si budak ketek, pai mamiliah sakuih, ka dalam hilalang gadang.
Usah ka usak, kanduik sakuih nan dipiliahnyo.

Lah lamo bakalamoan, awaknyo basarang gadang, aka batambah batukuak,


tabik dinyo agak-agak, takana dinyo kiro-kiro, di urang nan punyo rumah.
Dicarinyo gatah cubadak, dilumarinyo paja nan tun, lah bakoreang-koreang
samiang.
Dek lamo bakalamoan, lah pulang Si Ali Amat, io mo ka lapau cako. Lah tibo
inyo di rumah nan tun, bapantun si budak ketek:

“Gadanglah aia di marabau,


Muaro di pukek urang,
Gadang nan bak gadang kabau,
Bicaro di sukek urang.

Mamak den nan tak bahati, mamak den nan tak balimpo, indak mamacik
pitaruah” katonyo si budak ketek.
Io di Si Ali Amat, indak didanga di talingo, disangko anak sia-sia, anak kaciak
bakato-kato.
Minum makan Si Ali Amat, lah sudah inyo minum makan, indak katauan nan ka
dituruik, hati nan samak-samak rusuah, di ma duduak di ma bamanuang.
Io di si budak ketek, tabik di nyo agak-agak, takana di nyo kiro-kiro, pai nyo
bamain-main, pai nyo ka tapi lauik, pai manimbo-nimbo aia, rintang mangali-ngali
kasiak.
Di hari sahari nan tun, lalulah urang manggaleh, inyo ka pai balaia.
Bakato si budak ketek, kabakeh urang sudaga:
“Tuan den urang sudaga, tuan kok ka pai balaia, tolong juo den di tuan. Kok suko
tuan bajariah, kok amuah tuan manolong, ukua sabulan dalam biduak, ukua
sabulan palayaran, kok Allah lai manolong, sahari sajo tuan sampai. Ukua
sabulan jua-bali, jangko sabulan baniago, sahari sajo lah abih”.
Bakato urang sudaga:
“A lah kolah pitaruah adiak, a ko lah pasan adiak. Kok lakeh kami sampai, kok
batua kato adiak, kami carikan kahandak adiak. A ko lah nan di hati adiak”.
Bakato si budak ketek:
“Tuan den urang sudaga, asa lai amuah tuan mambao, io mo mak den katokan.
Lailah buah sabuah, banamo buah sikaco, io li tumbuah di tangah lauik basa, di
suok jalan ka pai, di kida jalan ka pulang, tasunguah ka pintu biduak. Batangnyo
sagadang banang, buahnyo sagadang gantang, daunnyo saalai sajo, buahnyo
sabuah samiang. Tuan ambiaklah buah nan tun, tuan pajariah papayahkan”.
Bakato urang sudaga:
“Kok bak nan tun kato adiak, amak den kana-kana molah”.
Bakato si budak ketek:
“Asa lai ka tuan bao, den nanti juo di siko”.
Bajalan urang balaia, lah masuak urang sudaga, io mo pai babiduak, biduak
lah manduo-duo.
Jangko sabulan palayaran, sahari sajo lah sampai, lah tibo diparantian, lalu
dibongka molah biduak, bakadai urang sudaga.
Pado maso duwaso itu, indak tabedo banyak urang, io mo datang mambali. Ukua
sabulan jua-bali, sahari samianglah putuih. Lah suko urang sudaga, lah sanang
dalam hati.
Dimuek pulo molah biduak, lah sudah biduak tamuek, lalu dikayuah molah
biduak. Tibo di tangah lauik basa, dikayuah lalu tak amuah, dikayuah suruik tak
buliah. Biduak lah managun samiang.
Tamanuang urang sudaga, a kolah iko sababnyo, mungko biduak bak cando
nangko. Manjanguah inyo pintu, io mo urang sudaga, tampaklah batang
sabatang, buahnyo sagadang gantang, batangnyo sagadang banang, daunnyo
saalai sajo.
Tabik di nyo agak-agak, takana dinyo kiro-kiro, io pasan si budak ketek,
mangkahandakan buah kaco. Io li iko molah nan talampaui, mungko biduak tak
amuah bajalan.
Bawari urang sudaga, diambiak molah tu buah, disimpan ka dalam biduak,
dicubo pulo mangayuah biduak, biduak lah manyorong-nyorong, indak sataro
bakayuah.

Lah lamo bakalamoan, lah panjang bakalalaian, lah tibo di tapi pasia,
dibongka pulolah barang, si budak ketek mananti juo.
Bakato si budak ketek:
“Tuan den sudaga, ado pitaruah den tuan bao, ado buah den tuan ambiak, awak
den mananti juo”.
Katonyo urang sudaga:
“Lai den bao buah kau, lai den pacik pitaruah kau”.
Io di urang sudaga, dibarikan kain nan rancak, dibarikan pitih banyak-banyak, ka
anjik si budak ketek.
Bakato si budak ketek:
“Tuan den urang sudaga, indak den arok di pitih, indak den nak buliah kain, asa
lai buah den dibao, labiah bak tuan bari pitih, labiah bak tuan bari kain”.
Lah panek gigiah bagigiah, lah payah tangka batangka, indak yo namuah
manahiak.
Bakato si budak ketek:
“Tuan den urang sudaga, kok tuan nan baragiah juo, asa lai den sarila-rila tuan,
barilah kain bujua sangka, ka pandukuang-dukuang buah”.
Bawari urang sudaga, pitih dibari to nyo namuah, kain dibarikan to
diamuahkannyo.
Dibarikan kain bujua sangka, ka anjik si budak ketek. Dibarikannyo buah nan tun,
io di urang sudaga, ka bakeh si budak ketek.
Bakato si budak ketek:
“Tuan den urang sudaga, ridokan jariah payah tuan, tuan lah payah mambao
buah ambo” katonyo si budak ketek.
Bakato urang sudaga:
“Adiak den si budak ketek, rilakan sarila-rilanyo, di muluik sampai ka hati, di awa
lalu ka akia” katonyo urang sudaga.
Lah dibao molah buah, didukuang molah tu buah.
Bakato si budak ketek:
“Awai ai awai buah den, sabajajak buah tinggakan, tidak tabedo sakik iduik,
bahari-hari to makan, babulan-bulan to minum, batahun-tahun to mandi”
nyanyinyo si budak ketek.

Bajalan juo awaknyo, ka bakeh mamaknyo cako. Jauah bak raso di jalan,
hampiang bak raso ka tibo.
Lah sampai molah garangan, lah tibo molah ka io, ka bakeh mamaknyo cako.
Banyanyi si budak ketek:
“Awai ai awai buah den, sabajajak buah tinggakan, indak tabedo sakik iduik.
Mamak den nan tak bahati, mamak den nan tak balimpo, tidak mamacik pitaruah.

Gadanglah aia di marabau,


Muaro dipukek urang,
Gadang nan bak gadang kabau,
Bicaro di sukek urang” katonyo si budak ketek.

Bakato Si Ali Amat:


“Adiak den si budak ketek, anjo den silau buah ko, anjo den caliak buah ko”.
Manjawek si budak ketek:
“Mamak den janyo den di mamak, usah disilau buah den, usah dicaliak buah den.
Kok diawai rasan tangan, kok dicaliak rasan mato, mamak janyo den di mamak”.
“Adiak den si budak ketek, buliah den liek buah ko, apo kahandak mak den bari,
kok kain amak den bari, kok nasi amak den bari, den carikan ka pamenan kau,
asa amuah adiak den silau” katonyo Si Ali Amat.
Manjawek si budak ketek:
“Mamak janyo den di mamak, kunun ka disilau buah den, kunun ka diliek buah
den, anta den pai mandi, ka luhak11 barayun kuniang, larangan Puti Kasumbo, di
sinanlah mamak silau, di sinanlah mamak liek.
Sabuah lai di mamak, kok hanyo buah ka disilau, kok hanyo buah den ka diliek,
baolah limau sauleh, bakalah kumanyan putiah, pasanglah niek jo kaua, kunun
ka dibalah buah den”.
Bakato Si Ali Amat:
“Kok lah bak nan tun janyo adiak, den cari molah tu limau”.
Bawari Si Ali Amat, dicari molah tu limau. Lah dapek limau dicari, lah dapek
kumanyan putiah. Hari nan sadang tangah hari, sadang litak-litak anjiang,
sadangnyo langang urang di pakan.
Bakato Si Ali Amat:
“Adiak den si budak ketek, to molah pai ka sinan, ka luhak badayun kuniang”.
Manjawek si budak ketek:
“Ko lah hasia nan kahandak den, kito pailah kini nangko”.
Bajalan Si Ali Amat, baduo jo si budak ketek, ka luhak 11 badayun kuniang, lah
sampai inyo ka kiun.
Bawari si budak ketek, hari nan sadang tangah hari, sadang litak leto alu,
sadangnyo rami urang di pakan, sadangnyo langang rang di labuah,
dilimaukannyolah limau.
Lah sudah inyo balimau, lah mandi anyo lai. Sadiruih inyo mandiruih, salampih
daki tabuang. Cukuik kaduo inyo mandiruih, tidak tabedo elok umaik. Mahalah
rajo ka jompaknyo, mahalah puti samo gadang. Tidak tabedo elok umaik, ka
langik mambayang kuniang, ka gumi mambayang hijau, io mo si budak ketek.
Lah sudah molah inyo mandi, bakato Si Ali Amat:
“Adiak den si budak ketek, anjo den silau buah ko, anjo den liek buah ko”.
Bakato si budak ketek:
“Mamak janyo den di mamak, buah den kok ka diliek, buah den kok kadisilau,
pailah mamak salang rencong, ka rumah Aciak Nan Gambun, kami li saluak
sasaluak. Awaknyo anak inyiak den, awak den anak mamaknyo”.
Bawari Si Ali Amat, indak urang nan ka disuruah, indak urang nan ka
disarayo. Bajalan Si Ali Amat, pai manyalang rencong nan tun. Si budak ketek di
luak mananti Si Ali Amat.
Bawarilah Si Ali Amat, bagageh-gageh di jalan, baguluik-guluik awaknyo. Barang
tarewai lah tarewai, barang takaca lah takaca. Karewai garabak hantam, tabao
karakok camin. Balari-lari inyo di jalan, talantuang alu patah tigo, samuik tapijak
tidak mati, talua tataruang tidak pacah.
Lah lamo maso di jalan, dakek bak raso ka tibo, jauah bak raso di jalan, lah tibo
molah ka io, lah sampai molah garangan.
Lah tibo di halaman Nan Gambun, dihantam-hantamkan kaki, didantuang-
datuangkan cibuak. Manjanguah Aciak Nan Gambun, manjanguah di pintu
gadang, Nan Gambun sadiang baminyak, sadang malantak lantua jari, sadang
mandanciang-danciang kuku, sadang manyangak-nyangai gigi.
Bakato Si Ali Amat:
“Kakak den Aciak Nan Gambun, lai ko lah kau di rumah”.
Jawek Aciak Nan Gambun:
“Ba a den tak ka di rumah, sadang bak nangkolah hari”.
Ka rumah Si Ali Amat, bawari Aciak Nan Gambun, ditariak siriah di carano,
diantakan bakeh Si Ali, alah bakato anyo lai:
“Ba a tuan tasusuak bana, a bana nan di angan, a bana nan dimukasuik, mungko
tuan sasek kamari?”
Bapantun Si Ali Amat:

“Bukan den katari samiang,


Ado bedo jo rang Talang,
Bukan den kamari samiang,
Ado mukasuik nan den jalang.

Awak den nak manyalang rencong, disuruah si upiak ketek, ado ka gunonyo di
nyo, io ka pambalah buah, buah camin si upiak ketek”.
Manjawab Aciak Nan Gambun:
“Lai den manaruah rencong, indak awak den nan punyo. Rencong den rencong
pusako, dari ninik turun ka mamak, dari mamak turun ka bakeh den, utang den
mamakai sajo”.
Bakato Si Ali Amat:
“Kok bak nan tun bana janyo aciak, pintak den nak dibari juo, kahandak nak
balaku juo. Mungko bak nan tun janyo den, awak den disuruah si upiak ketek.
Dikatokannyo bakeh den, pailah mamak ka kian, ka rumah Aciak Nan Gambun,
salanglah rencong sabuah. Kunun jo Aciak Nan Gambun, awak den saluak
samaluak, awaknyo anak inyiak den, awak den anak mamaknyo. Bak a tak ka
buliah manyalang, bak nan tun janyo bakeh den”.
Bakato Aciak Nan Gambun:
“Kok bak nan tun janyo tuan, ka bak apo lah janyo den. Rencong den kok ka
dibao, den kusuak molah daulu, den asok molah daulu” katonyo Aciak Nan
Gambun.
Bawari Aciak Nan Gambun, lah tagak anyo lai, dibukak candonyo kunci,
mandanguang tali bubutan, duo tigo kunci nan jatuah.
Dibao rencong kalua, kalua ka tangah rumah. Dikusuakinyo rencongnyo,
dilimauinyo rencongnyo.
Bakato Aciak Nan Gambun:
“Tuan den Si Ali Amat, kok rencong den ka dibao, kok ka dibalahkan rencong
den, pacik pitaruah arek-arek, usah dilupo-lupokan.
Apo basuo dalam buah, kok padusi nan basuo, namokan Puti Kasumbo, ka
lawan den samo gadang, ka kawan den hilia jo mudiak.
Kok laki-laki nan basuo, namokan Si Tungga Kayo. Kaciak banamo Nan Tungga,
gadang banamo Magek Jabang”.
Manjawek Si Ali Amat:
“Kok bak nan tun janyo Aciak, ka ba a janyo den pulo, amak den pacik arek-arek.
Iko siriah kunyahlah pinang, isoklah iko santo, ambo ka bajalan anyo lai, harilah
barimbang tinggi, si upiak nanti-nantian”.
Bawari Aciak Nan Gambun, dikunyah molah tu pinang, sari lamak jatuah ka
paruik, sari manih tingga di bibia, di bibia Aciak Nan Gambun.
Lah sudah kunyah mangunyah, lah sudah isok-maisok, bakato Si Ali Amat:
“Lapeh baelok den daulu, lapeh jo hati nan cuci, lapeh jo muluik nan manih, amak
den babaliaklah daulu, amak den antakan rencong nangko, ka bakeh si budak
ketek”.
Bajalan Si Ali Amat, ka bakeh si budak ketek, ka luhak badayun kuniang, ka
luhak larangan urang, bagageh-gageh di jalan, balari-lari awaknyo, paluahlah
gubang kabayan. Batitiak-titiak paluahnyo, jatuah duo jatuah tigo, bak maniak
putuih talinyo, bak intan putuih pangarang.
Jauah bak raso di jalan, dakek bak raso ka tibo, lah sampai molah garangan, lah
tibo molah ka io, di luhak badayun kuniang.
Lah sampai molah ka kian, ka bakeh si upiak ketek, inyo mananti-nanti juo.
Bakato si upiak ketek:

“Gadanglah aia di marabau,


Mua dipukek urang,
Gadang nan bak gadang kabau,
Bicaro disukek urang.

Paruik nan bak paruik rotan,


Dirauik bajelo-jelo,
Paruik nan bak paruik setan,
Sakaciak tak bakiro-kiro”.

Lah sudah inyo bapantun, lah sudah inyo banyanyi, bakato si upiak ketek:
“Mamak jo den di mamak, jadi disalang koh rencong, jadi dibao tu rencong, io
rencong Aciak Nan Gambun, laikoh buliah manyalang?” katonyo si upiak ketek.
Bakato Si Ali Amat:
“Adiak den si upiak ketek, ko tu rencong lah den bao, ko tu rencong lah den
salang, bo lah kamari buah kau, mak den balah jo rencong nangko”.
Bakato si upiak ketek:
“Mamak jo den di mamak, kok dibalah buah den, usah mamak guluik sajo. Limaui
daulu buah nangko, asoki daulu buah nangko”.
Bawari Si Ali Amat, diambiak molah tu buah, dilimaui molah sakali, dibaka
kumanyan putiah, diasoki anyo lai.
Lah sudah buah talimaui, lah sudah buah taasoki, bakato si budak ketek:
“Mamak den jo den di mamak, kok buah den ka dibalah, elok-elok mambalahnyo,
baiak-baiak manuriahnyo, jan kanai isinyo baiko”.
Bakato Si Ali Amat:
“Kok lah bak nan tun janyo adiak, ka ba a janyo den pulo”.
Bawari Si Ali Amat, dibalah molah buah tu. Sakali inyo manuriah, lah balah
molah tu buah, kalua Puti Kasumbo, io mo di dalam buah.
Bakato Puti Kasumbo:
“Kakak janyo den di kakak, kakak den Si Ali Amat.

Sajak samulo den katokan,


Tidak dilatak dalam padi,
Sajak samulo den katokan,
Tidak dilatak dalam hati.

Dangalah mak den curaikan, dangalah mak den katokan. Maso kito di dalam
rumah, maso badan den ka sakik, bapitaruah den bakeh kakak, kok molah mulo
ka mo den mati, kok dikayai aja, babadan marasoi sakik, banyao marasoi mati,
kok sampai hanyo hukum den, kaban den jan dilupokan, bak nan tun juo janyo
den.
Sasa den nan to ka abih, upek ka sapanjang hari, kakak indak mamacik pitaruah”
kato Puti Kasumbo.
Bakato pulo Puti Kasumbo:
“Kakak den Si Ali Amat, to kito pai ka kampuang, a molah pulang ka rumah, sia
ko lah marewai rumah, di sia kakak pitaruahkan.
Salamo den tinggakan, lai juo kakak unikan?”
Manjawek Si Ali Amat:
“Adiak den Puti Kasumbo, baru adiak lah mati, rumahlah dikaronyo lawah,
rumahlah tacanguah samiang. Tabik di den agak-agak, pado den baputiah mato,
elok den panggang rumah nan tun. Jadi den panggang anyo lai, tidaknyo amuah
anguih. Takana di den pitaruah adiak, ditariak kaban ka biliak.
Lah sudah kaban den tariak, den panggang sakali lai, barunyo anguih rumah nan
tun, awak den bajalan anyo lai.
Den pitaruahkan kaban nan tun, den pai bajalan-jalan, masuak rimbo kalua
rimbo, paubek hati nan rusuah, ka parintang-rintang hati. Raso ka pasiak badan
den, raso ka gilo badan den, tagah umua den ka panjang.
Lah babaliak den bajalan, basuo den si upiak nangko, inyo banyanyi-nyanyi
kaciak, inyo bapantun ciek-ciek, tadayuah-dayuah di hati den, tahibo-hibo hati
den. Inyo mandukuang-dukuang buah, lalu den imbau den tanyoi.
Den bao inyo kamari, sampai den balah buah nan tun, kironyo adiak di dalam”.
Namun di maso nan tun, banyak rundiangan jo paparan, samo kalua aia mato.

Dek lamo bakalamoan, takana di nyo agak-agak, tabik di nyo kiro-kiro, io di Si


Ali Amat, disilau candonyo cincin, kan cincin sicinto-cinto, pacinto bareh jo padi,
pacinto ameh jo perak, pacinto kampuang halaman.
Dibaka kumanyan putiah, disarukannyo cincin nan tun, dicintokannyo ka rumah,
dicintokannyo ka labuah tapian, dicintokannyo rangkiang ranjuang.
Barakaik tuah cincin nan tun, barakaik sati cincin nan tun, balaku itu samonyo.
Tadiri rumah nan gadang, langkok jo alat pakaiannyo, langkok jo lumbuang jo
kapuaknyo, langkok jo rangkiang ranjuang, langkok jo labuah tapian.
Lah naik inyo ka rumah gadang, baduo jo Puti Kasumbo, batigo jo si upiak ketek.
Lah suko di dalam hati, lah sanang raso paratian.
Alah sahari inyo di rumah, alah duo hari inyo di rumah, alah duo hari inyo di
rumah, alah sapakan duo pakan, tabik di nyo agak-agak, takana dinyo kiro-kiro,
io di Puti Kasumbo.
Bakato Puti Kasumbo:
“Kakak den Si Ali Amat, tatkalo mulak mulonyo, ba a parasaian kito, tatkalo kito
ka jauah, tatkalo kito ka laraik, ba a ko lah iko kaonyo, sia kolah amai kito, sia
kolah kakak kito, samaso daulunyo.
Kito tacelak tampak jauah, nan dakek jolong basuo, bakeh rang suka mahandok,
bakeh urang mikin mamintak, lai bak nan tun hanyo kito” katonyo Puti Kasumbo.
Bakato Si Ali Amat:
“Tatkalo kito jauah, tatkalo kito ka laraik, sabab di rang tuo buruak.
Awak den dipitanahkannyo, awak den diasuangkannyo. Baiokan di amai kito,
babanakan di amai kito. Berang bangih inyo bakeh den, bak nan tun asal
mulonyo, bak nan tun daulunyo”.
Bakato Puti Kasumbo:
Io bak pantun janyo urang:

“Hai kubang nan tak barongkeh,


Ka mananti rogek juo,
Rogek ka badaun-daun,
Kakak den nan tak baameh,
Ka mananti ka laraik juo,
Laraik ka batahun-tahun.

Kakak den Si Ali amat! Nan tak disilau lah diliek, nan tak diliek lah basuo, lah
banyak parasaian nan ditangguang.
Kok rumah kan lah buliah, kok padi alah di kapuak, kok ameh alah di puro, kunun
hati kan lah sanang, kunun parasaian kan lah banyak.
Amai kito ba a ko lah kini, kok lah lunak hati nan kareh, kok lah suruik bakeh nan
bana”.
Sarago baetong-etong, sarago bapacah-pacah, lah datang molah tu urang, io
mananyokan padi.
Bakato urang di halaman, io mo Si Linduang Bulan, Si Ramin Judin nan surang,
didatuang-datuangkannyo cibuak.
Manjanguah Puti Kasumbo, bakato urang mambali padi:
“O kakak jo den di kakak, laikoh bajua padi, kami nak mambali padi”.
Bakato Puti Kasumbo:
“Amai ka rumahlah amai, kunun padi ditanyokan, antah lai antah tidak, ka rumah
daulu mangunyah”.
Ka rumah molah tu urang, lah timbang salo manyalo, lah batimbang kaduik jo
kampia, bakato rang mambali padi:
“Kakak janyo den di kakak, pajua lai jualah padi. Kok tak buliah banyak-banyak,
sakaciak sajolah jadi. Bapakan-pakan tak makan, babulan-bulan tak minum”
katonyo rang mambali padi.
Bakato Puti Kasumbo:
“Kok padi ka den kauik, bari luruih den batanyo, bari tarang den batanyo, di ma
ko lah iko kampuang amai?”
Manjawab molah tu urang:
“Kunun kampuang den ditanyokan, kunun nagari ditarangkan, rumik den
manarangkannyo.
Dangalah mak den katokan, dangalah mak den curaikan.
Kunun maso daulunyo, takadia Allah iko di kami. Kayo den sunduik basunduik,
gadang den asa barasa” katonyo rang mambali padi.
“Indak bak kayo rang kini, kununlah gadang rang kini, kununlah kayo rang siko.
Gadang diamba Ulando, kayo jo ameh sunduikan, takah iko kabagiaan kami.
Kabau den tayok12 di padang, itiak tayok di baluka, ayam banyak di halaman,
parapati linduang jo awan, rumah gadang sirangko gadiang, salanja kudo balari,
sapakiak budak maimbau. Rangkiang mangaki jawi, kapuak kaciak salek
samalek, di tangah sibayau-bayau, makanan dagang nan lalu” katonyo rang
mambali padi.
“Kunun maso daulunyo, jaranglah urang nan bak den. Kabau den banyak di
padang, Si Ali Amat nan gubalo.
Tatkalo kami bak nangko, hari baribuik wakatu Asa, Si Ali mamasuakan kabau,
maimbau tangah halaman.
Bak nan tun janyo bakeh den, amai janyo den di amai, jawek juo sambang
dadiah den, kabau den alun basawar, nan kaciak alun bakungkuang.
Bapakak samiang awak den, manangih Si Ali Amat, ba a ko lah iko amai den,
paruik ko lah nan umayang, kapalo ko lah nan ngalu, kapatang indak bak
nangko.
Mareh-mareh awak den, ka bakeh Si Ali Amat, banyaklah kato den katokan.
Bakiroklah ang di siko, urang basibidai takirok, urang basiabu ateh tunggua,
uwia-uwia manangeh jamua.
Mandanga kato den nan tun, manangih Si Ali Amat, bajalan samiang awaknyo,
manuruik pulo adiaknyo.
Kini to pulang-pulang lai, antah kama-kama awaknyo, sajajak ditinggakannyo.
Kami manangguang parasaian, tatkalo kami ka bak nangko”.
Bakato Puti Kasumbo, bakato sambia manangih, Si Ali bamanuang samiang:
“Dangalah mak den tutuakan, dangalah mak den curaikan” katonyo Puti
Kasumbo.
“Tatkalo kami ka jauah, tatkala kami ka laraik, adolah urang tuo buruak, urang
paujah-paejoh, nan maasuang amai kami.
Dangalah mak den curaikan, dangalah mak den tutuakan.
Tatkalo maso daulu, adolah urang tuo buruak, maasuang-asuang amai kami,
dipujinyo diupeknyo disanjuangnyo, di urang tuo buruak.
Bak nan tun janyo bakeh den, sia tu urang, di padang taluah lui (?), di bukik
tandai langkuduang, di bawah baringin ameh, di tapi labuah nan gadang, kok
anak ko to kok ukan, bak nan tun janyo bakeh den, rumah nan dirungkuik labu, di
rangkiang nan tajongkang, dijunjuang siriah nan rabah, di sinan rumah amai den,
pitanah urang tuo buruak.
Itu mulo kami ka bajalan, itu mulo kami ka laraik, kami pai ka rimbo gadang,
Allahu robbi parasaian. Bapakan-pakan to makan, babulan-bulan to minum, mo li
rimbo lah taturuik, mo li bukik lah tadaki, mo li padang lah tatampuah. Satangah
ula nak malulua, satangah harimau nak mamakan, rang manyamun nak
mambunuah, kunun maso daulunyo” katonyo Puti Kasumbo.
“Dangalah mak den curaikan, dangalah mak den katokan.
Kami baduo baradiak, Si Ali Amat kakak den, Puti Kasumbo awak den, io
dibuang amai den, amai den Si Linduang Bulan, nan surang Si Rumin Judin”
katonyo Puti Kasumbo.
Baharu mandanga kato Kasumbo, manggaruang Si Linduang Bulan, manangih Si
Rumin Judin, rauangnyo sarauang-rauang, tangih taisak-isak.
Bakato Si Linduang Bulan:
“Kok io adiak Kasumbo, kok io Si Ali ka nan surang, ikolah anak kanduang den”
kato rang mambali padi.
Maisak-isak inyo manangih, didamuak dado nan jajai, bakasan jari nan limo,
anam jo patahan cincin.
Manangih Puti Kasumbo, manunu Si Ali Amat.
Bakato Puti Kasumbo:
“Dangalah mak den katokan, kok io amai nan Si Linduang, kok io amai nan Si
Rumin, ba a bana daulunyo?”
“Tatkalo anak ka jauah” bakato Si Linduang Bulan.
“Kunun maso daulunyo, kan lah sudah den katokan, karano di urang buruak.
Awaknyo bajua sadah, sadahnyo sakupang ganok, sapitih to amuah labiah,
sarimih to amuah kurang, sakupang samiang sadahnyo.
Nyak lakeh samianglah juo, acok mak nyo kunjuang sampai, dareh mak nyo
kunjuang tibo, sudah den bali sadahnyo, den bilankan pitih limo kupang. Nan
sakupang bali sadah, nan saameh den baragiah.
Indak nyo amuah manariak, sakupang samiang sadahnyo.
Lah panek gigiah bagigiah, lah panek tangka batangka, den buhuakan ka
kainnyo, ka kodek ka jumbai alai, ka kain rang tuo buruak.
Lah bajalan rang tuo, tagak di pintu ka rumah, lah disanjuangnyo dipujinyo.
Sungguah manyanjuang rang tuo, padahan malalukan pitanah.
Bak nan tun janyo bakeh den, to rumah saelok nangko, to rumah sabaiak
nangko, gonjongnyo rabuang mambacuik, parannyo ula mangulampai, tuturan
labah mangirok, tagah caceknyo li sabuah.
Sia tu urang tu urang, kok anak ko to kok ukan, di tapi labauh nan gadang, di
kayu bapucuak sirah, Si Ali Amat namonyo.
Awak den batanyo bakehnyo, nan ma na rumah Si Linduang, nan ma nan
kampuang Si Rumin.
Katonyo ka bakeh den, di rumah nan dirungkuik labu, di rangkiang nan
tajongkang, di junjuang siriah nan rabah, di sanan rumah Si Linduang.
Tabik bangih hati den, tabik berang di hati den, banyaklah kato nan den katokan,
banyaklah rundiang den rundiangkan, kabakeh Si Ali Amat, itulah bana
sababnyo, tatkalo anak ka bajalan” katonyo Si Linduang Bulan, kabakeh Puti
Kasumbo.
Bakato Puti Kasumbo:
“Amai janyo den di amai, amai pamacik pitanah, amai paiokan asuang urang.
Awak den lah nan Kasumbo, nan ikolah Si Ali Amat”.
Bakato Si Ali Amat:
“Amai den Si Linduang Bulan, eloklah baragak-ragak, eloklah bakiro-kiro.
Amai janyo amai den di amai, kok io amai kanduang den, abih koh suruik bakeh
nan bana. Alah ko lunak hati nan kareh, nyak bapantun den sabuah, danga
banalah di amai:

Apo nan merah di carano,


Sakalat labiah urang guntiang,
Dalam diliriah kami tanyo,
Amai sapantun urang asiang”.

Bakato Si Linduang Bulan:


“Anak den Si Ali Amat, anak den Puti Kasumbo, bari maaf den di anak, di muluik
sampai ka hati, di awa lalu ka akhia. Kato den banyak nan tadorong, muluik den
banyak nan talampau”.
Bakato Puti Kasumbo, kabakeh Si Ali Amat:
“Kakak janyo den di kakak, usah banyak tarang kakak, usah banyak kukuih
kakak, tabik hibo paratian, kunun io kan lah io, lah bana iko amai kito”.
Manjawab Si Ali Amat:
“Adiak den Puti Kasumbo, kunun io janyo adiak, ka bukan pulo janyo den”.
Lah lamo bakalamoan, alah sahari duo hari, alah sapakan duo pakan, alah
suko hati Si Linduang Bulan, alah sanang hati Si Rumin Judin, lah sanang hati Si
Ali, lah suko-suko Puti Kasumbo.
Bakato Puti Kasumbo:
“Kakak den Si Ali Amat, kunun hati kan lah sanang, agak-agak kan lah cukuik,
apo nan kahandak kakak, apo nan di hati kakak, ba a iko ka eloknyo.
Amai kito kan lah pulang, si upiak kaciak lah gadang”.
Manjawek Si Ali Amat:
“Adiak den Puti Kasumbo,

Usah diganang di sayak,


Ganang di saok kapuran
Usah dibilang di nan banyak,
Kana di lapiak katiduran” katonyo Si Ali Amat.

“Adiak den Puti Kasumbo, dangalah mak den katokan, kok agak-agak io lah
cukuik, kampuang halaman kan lah ado, bareh jo padi kan lah ado, kabau
bantiang kan lah banyak, kunun hati lah sanang, amai kito lah basuo.
Kok parasaian kito lah banyak, nan tak dirasai lah dirasai, sabuah anyo nan
marusuah, kito urang tabang-tabangan, tidak bakorong bakampuang, indak
bakaum kaluargo, jo sia sailia samudiak.
Nan taragak di hati den, nan takilang di mato den, io den nak mamancang
galanggang, mak tahu urang di awak, awak mak tahu di urang, kok lai sia jo
adiak, kok lai sia jo amai”.
Bakato Puti Kasumbo:
“Kok itu mukasuik kakak, kok itu nan niek kakak, pucuak di cinto ulam tibo, lah io
pulo janyo den, indaklah kato ka batupang”.
Lah sudah inyo mupakaik, lah sudah inyo barundiang, diguguah tabuah
larangan, badunduang tabuah nan banyak.
Di lurah urang mandaki, di bukik urang manajun,
Tidak tabedo banyak lundang,
Tidak tabuek di daun taleh,
Di daun batuang panuah pulo,
Tidak tabedo banyak urang,

Tidak tabuek di nan laweh,


Di nan lakuang panuah pulo.

Nan buto datang bairik, nan patah datang batungkek, nan gagok teleang-
teleangi.
Bakato rang cadiak pandai:
“Apokoh tabuah baguguah, apokoh badia badatuih, di ma anak rando rabuik
rampeh, di ma dubalang rabuik rampeh, di ma juaro takuiran, di ma panghulu
buliah basa, di ma jojo nan babukik, di ma parik nan basisiak”.
Manjawab Si Ali Amat:
“Manolah urang cadiak pandai, tidak anak rando rabuik rampeh, tidak juaro
takuiran, tidak pangulu buliah basa, tidak jojo nan babukik, tidak parik nan
basisiak.
Mano urang nan banyak nangko, dangalah nak den katokan, nak den curai den
papakan, dangalah mak den tutuakan. Mungko tabuah lah bagua, mungko badia
lah badatuih, kami baniek dalam hati, parasian tambah di kami. Kami nak
mandoa dalam kampuang, Tolong tolonglah - tolong di rang banyak.

Kok tak ka ditolong jo luli,


Tolong jo ka bantiah kami ba a,
Kok tak ka ditolong jo rugi,
Tolong jo jariah kami ba a”.

Bakato rang cadiak pandai:


“Apo nan kami buek, tunjuakan molah ka jalan”.
Manjawab Si Ali Amat:
“Hai urang nan banyak nangko, asa lai amuah nak manolong, kami nan ka minta
doa.
Antaklah tabu di lurah, tabanglah batuang di lakuang, pampanglah kabau nan
gadang, urahlah padi di mandah”.
Bakato urang nan banyak:
“Kok lah bak nan tun janyo tuan, ka ba a janyo kami pulo. Kok hanyo tantang
jariah payah, usah tuan rusuah sanan, usah tuan gamang sanan, kamilah itu
manangguangi”.
Bawari urang nan banyak, nan bakabau lah bapadi, nan babatuang lah
batabu, baayun-ayun urang banyak, Si Ali Amat ka baralek.

Lah lamo bakalamoan, lah panjang bakalalaian, kok tabu alah bakilang, kok
kayu alah bacari, kok kabau alah bapauik, kok bareh alah batumbuak,
galanggang alah babuek.
Bakato urang nan banyak:
“Tuan den Si Ali Amat, kok tabu alah bakilang, kok kayu alah bacari, a lai nan ka
kami buek, a lai nan ka kami turuik, tantukan molah di tuan”.
Manjawab Si Ali Amat:
“Kok lah langkok sadonyo, kito lapeh molah kulansiang, kunun alek lah ka
lansuang”.
Bawari Si Ali Amat, dilapeh siriah hilia jo mudiak, ka lauik biduak baranang, ka
darek urang bajalan, ka langik alang manggungguang.
Lah lamo bakalamoan, lah panjang bakalalaian, alah sahari duo hari, alah
sapakan duo pakan, lah sampai ukua jo jangkonyo, lah tantu hari kutikonyo, lah
tibo rajo nan banyak, lah datang urang nagari.
Bawari Si Ali Amat, diramikannyo galanggang, indak tabedo banyak urang, indak
tabedo rami sabuang. Darah ayam bak pincuran, darah kabau bak pamotong,
bakundang-kundang bulu ayam, baayun-ayun urang banyak, babondong-
bondong di nagari, Si Ali Amat bagalanggang.
Lah lamo bakalamoan, lah panjang bakalalaian, sadang banyak urang ka
balai, harinyo sadang tangah hari, sadangnyo bunta bayang-bayang, sadangnyo
rami urang di pakan, sadangnyo banyak urang di labuah, bajalan-jalan Si Ali.
Basuo kayu sabatang, baringin larangan urang, larangan Rajo Kuaso, urang
mamancuang tak batanyo, urang mangganang tak jo aia, manggantuang nan tak
jo tali. Bataduah Si Ali Amat, di bawah baringin cako.

Adolah urang nan lalu, bakato urang nan lalu:


“Sia koh urang nan bataduah, basigeleang a iko umaik, sagaduak a iko urang,
baringin larangan urang, larangan Rajo Kuaso”.
Bapakak samiang Si Ali, awaknyo bataduah juo.
Bawarilah urang lalu, urang kisiak urang kianaik, diimbaukannyo bakeh rajo.
Tibo di rumah Rajo Kuaso, bakato urang nan lalu:
“Ampun Tuanku Rajo kami, nan bana kami katokan, nan io kami imbaukan.
Sia tu urang bataduah, di bawah baringin Tuanku, di baringin nan larangan. Di
tagah tidak tatagah, diambek tidak taambek, awaknyo bataduah juo”.
Bakato Rajo Kuaso:
“Sabohong a iko urang, saduto a iko umaik, ka den bunuah urang nangko, ka den
bunuah mati-mati, ka den jua jauah-jauah “ katonyo Rajo Kuaso.
Bakato urang nan lalu:
“Ampun Tuanku Rajo kami, dibunuah kami ka mati, dijual kami ka jauah,
digantuang kami ka tinggi, nan bana kami katokan”.
Marentak Rajo Kuaso, dicaliak candonyo karih, alah diasah cando lambiang,
dikilia candonyo padang. Balari inyo kalua, kalua ka tangah padang, io ka bawah
baringin.
Sapambadian inyo ka tibo, sampabaean inyo ka sampai, lah tampak urang
bataduah, di bawah baringin gadang.
Mahariak Rajo Kuaso, merentak Rajo Kuaso:
“Anak sia itu umaik, anak bincacak bincacau, anak singiang-ngiang rimbo, anak
sigalang-galang kuduang, anak sicaciang panarahan!”
Bapantun Si Ali Amat:
“Jan baitu tarah papan,
Jauah ka rimbo padi kambi,
Jangan baitu kato tuan,
Jauah hinonyo hati kami.

Bukan den anak bincacak, bukan anak ngiang-ngiang rimbo, ukan anak caciang
panarahan. Namo den Si Ali Amat, inyiak den Datuak Bandaharo, amai den Si
Linduang Bulan, bapak den Datuak Nan Gadang.
Janganlah bak nan tun bana, jan kato tadorong-dorong, jan muluik talompek-
lompek, kok mantang den bak nangko”.
Kini tacangan Rajo Kuaso, lambiang dipacik lalu jatuah, padang diganggam lalu
tangga, karih tasisik indak tabukak. Bajalan samiang inyo pulang, io moh Rajo
Kuaso.

Lah lamo bakalamoan, lah panjang bakalalaian, lah pulang Si Ali Amat, ka
kampuang Puti Kasumbo.
Bakato Si Ali Amat:
“Adiak den Puti Kasumbo, kunun balai kan lah rami, kunun sabuang kan lah
lamo, lah asia ko lah ko kini, atau garam nan sacacah, atau lado nan sapipih”
katonyo Si Ali Amat, kabakeh Puti Kasumbo.
Manjawab Puti Kasumbo:
“Kakak den Si Ali Amat, kununlah garam dikatokan, kunun lado kannyo murah,
paham nan sarik di kito.
Kok bana paham kito, kalau siak jo laruih (?), pabilo kakak lansuangkan, indak
batulih dari ambo”.
Bakato Si Ali Amat:
“Adiak den Puti Kasumbo, kalau bak nan tun janyo adiak, lah murah itu di ambo.
Nak bapantun den sabuah,
Lah panek maani banang,
Dikumpa-kumpa dilipek,
Dilipek-lipek paduo,
Lah payah marantang panjang,
Dikumpa amaknyo singkek,
Kato mak suruik kamulonyo”.

Katonyo Si Ali Amat, kabakeh Puti Kasumbo.


Alah lamo bakalamoan, hari lah barimbang jauah, dipanggia urang nagari, io
mo ka tangah rumah, dipaduduak cadiak-pandai.
Ado sabanta urang duduak, kiro satareko sapitanak13, bakato cadiak-pandai,
kabakeh Si Ali Amat:
“Kunun kami kan lah rapek, kok urang alah ka rumah, lai mukasuik dalam hati, lai
nan takilan di mato, eloklah di katangahkan”.
Manjawan Si Ali Amat:
“Mano sagalo niniak mamak, lai nan taraso pado hati, lai nan takilan pado mato.
Sungguah bak nan tun janyo ambo, karano tapakai tu di urang, kalau batanyo
lapeh payah, kalau barundiang sudah makan. Kito makan molah dahulu, mananti
tuan sabanta”.
Bakato Si Ali Amat, ka bakeh Puti Kasumbo:
“Adiak den Puti Kasumbo, mandeh den Si Linduang Bulan, nan surang Si Rumin
Judin, sanduaklah nasi Kasumbo, tariaklah kupi Kasumbo”.
Bawari Puti Kasumbo, baguluik-guluik nyo manggulai. Sadangkang batu ladonyo,
duo baleh ragam gulainyo. Pangek pario rang Tiaka, randang pacak Aia Tabik.
Pihak kapado tanak gulai, kuah sabalik daun bodi. Kok sia-sia nan litak,
mamintak anak lidahnyo, ka lamak bana makannyo, ka sajuak bana minumnyo.
Bawarilah Kasumbo, disanduak nasi ka pinggan, dikaka-kaka manyaduak,
diatai-atai manyanduak, bujuanyo samo bujuanyo, malintang samo malintang, di
tapi samuik baliriang, elok dihirok diheraikan, elok makanan rajo-rajo, elok
minuman sutan-sutan.
Dibao pinggan kalua, kalua ka tangah rumah, kabakeh urang nan banyak.
Nak lakeh samianglah juo, acok maknyo kunjuang sampai, dareh maknyo
kunjuang tibo, lah makan urang nan banyak.
Bawarilah urang banyak, makan tigo suok hanyo sudah, kaampek jo basuah
tangan, kalimo jo kumua-kumua.
Sudah makan urang nan banyak, diasak uranglah pinggan, disapu uranglah
sarok.
Lah sudah sarok basapu, bakato Si Ali Amat, kabakeh urang nagari:
“Mano sagalo niniak-mamak, sado nan rapek di rumah ko, ado nan takalang
pado lidah, ado nan taniek dalam hati.
Tatkalo maso daulunyo, kami nangko urang tabuang, kami urang buang baiaran,
indak baniniak bamamak, indak bakaum kaluargo, indak bakorong bakampuang,
kami nan hino di nagari.
Allah Taala maadokan, manolong rumah jo tanggo, manolong bareh jo padi.
Mungko kami imbau urang kampuang, kami nan sailia samudiak, kami nan
bakorong dangan kampuang, itulah nan dibanakan”.
Manjawek urang korong kampuang, sarato urang nagari:
“Apo dimukasuik dalam hati, apo takilan pado mato, buliah kami lakukan” katonyo
urang nagari.
Bakato Si Ali Amat:
“Mano sagalo niniak-mamak, kami baniek dalam hati, kami andak mamintak doa,
maimbau urang nagari, karano maso daulunyo, kami nan baduo urang, dibuang
ibu jo bapak.
Lah jauah bana bajalan, indak tasaik di siangik, lah banyak bana parasaian.
Nan sakarang kini nangko, iolah mandeh kanduang ambo, nyak mambuang sado
nan cabua, nak maampuni muluik nan talampau. Bak nan tun pulo di kami, niek
di hati nak baralek. Kok asia alah lah asia, kok kabau alah bapauik, kok tabu alah
bakilang, kok kayu alah bacari, kok bareh alah di sumpik, hanyo takurang di
badan.
Tolonglah tolong, rang kampuang tolonglah, tolonglah urang nagari, io manjariah
mamayahkan.
Kok tak ka ditolong jo luli,
Tolong jo gantiah ambo ba a,
Kok tak ka ditolong jo rugi,
Tolong jo jariah ambo ba a.

Io bak pantun urang, tantang kapado badan ambo,

Kok babungo bungo labu,


Kok babuah buah mumbang,

Bak nan tunlah badan ambo,

Guno nan bak guno alu,


Kok tuah tuah-tuah musang.

Kalau lai sayang di rang buruak, kalau lai hibo di rang dagang, tuan pajariah
papayahkan”.
Manjawab urang nagari:
“Kok itu nan mukasuik hati, kami lah pulo manjariahkan, kami lah pulo
mamayahkan”.
Bakato Si Ali Amat:
“Kok kabau alah tapauik, kok bareh alah di sumpik”.
Bawari urang di kampuang, didabiah molah tu kabau, ditanak molah tu nasi.
Lah sudah kabau badabiah, aleklah pulang bakeh urang nagari. Bago nan
hereang nan gendeangnyo, bago nan ciciah nan panjuiknyo, Si Ali indak tahu
pandai.
Namun katiko baralek, barayun-ayun urang banyak, babondong-bondong urang
nagari, ka rumah Puti Kasumbo, lah sasak di dalam rumah.
Nak singkek samianglah juo, dareh maknyo kunjuang sampai, lah sudah alek
minum makan, bakato Si Ali Amat:
“Mano ninik-mamak ambo, dangalah mak den tutuakan, dangalah mak den
rundiangkan.
Tatkalo mulak mulonyo, kami baduo badansanak, Puti Kasumbo adiak ambo.
Tatkalo awaknyo damam, bakato inyo bakeh ambo, babadan marasoi sakik,
banyao marasoi mati. Kok molak molah ka mo den, kok mati hanyo awak den,
kok pendek hanyo umua den, kok sampai hanyo hukum den, kaban den jan
dilupokan. Bak nan tun janyo bakeh ambo. Itulah nan pitaruahnyo.
Kini lah tingga nyo di ambo, iolah salahnyo di ambo, itulah nan ka diabisi jo doa,
jan taraso-raso juo, bak urang kasalatan garam.
Sabuah lai di nan rapek, io si upiak ketek nangko, indak inyo babapak, inyo
talatak dalam kaban, kaban pitaruah Kasumbo.
Banyaklah asap nan ditangguangkannyo, banyak panggalan nan lah lakek,
salahnyo dari ambo juo, nan tak mamacik pitaruah. Itulah nan ambo ampuni, itu
nan ka diabisi jo doa”.
Bakato urang nan banyak:
“Kok lah bak nan tun janyo tuan, lah elok bana itu hanyo”.
Mandoa urang nan maalim. Lah sudah urang mandoa, urang bajalan anyo lai,
tingga urang kampuang sabanta.
Bakato Si Ali Amat:
“Mano sagalo urang kampuang, kok hanyo alek alah lapeh, sabuah lai nan
dipintak. Kami nangko urang buang baiaran, indak bakorong bakampuang, indak
baniniak bamamak, indak batulan basudaro.
Kami nak pulang bakeh rang kampuang, nak sahino nak samalu. Kok hutang nak
sabaia, kok malu nak satuntuik, io jo urang nagari”.
Bakato urang nagari:
“Kununlah itu dikatokan, pucuak dicinto ulan tibo, bago sakali tuan suko, baribu
kali suko kami”.
Tantangan Si Ali Amat, barumah tanggonyo di sinan. lah suko di dalam hati,
urang banyak baitu pulo.-
Keterangan
1. badua
2. bintalak, hantu bintak - sejenis hantu.
3. sakupang
4. manalok kain – mencelup kain.
5. karambia atok tungku – tiga batang pohon kelapa yang tersusun seperti
tungku.

6. sarimih – rimih, uang jaman dulu bernilai setengah sen.


7. basibidai takirok
8. karih sampono ganjo ireh – keris yang bersatu dengan gagangnya.
9. bajo – penghitam gigi.
10. padahan arang

11. luhak (luak) – sumur.


12. tayok – banyak.
13. satereko sapitanak – waktu yang terpakai memasak nasi segantang beras.

You might also like