Professional Documents
Culture Documents
KELOMPOK SEJARAH
PENGANTAR
Buku Hikayat Syekh Jalaluddin disalin kembali oleh J.J. de
Hollander tahun 1857 juga seperti aslinya, yakni berbahasa Melayu
campur Minangkabau lama bertulisan Arab-Melayu. Syekh ini dikenal
dengan nama lain, yaitu Pakiah Saghir.
Hikayat ini menceritakan hal ikhwal awal gerakan PADERI hingga
datang KOMPENI WOLANDA ke Tanah Darat (Minangkabau), di
mana Syekh pengarang buku ini berperan aktif.
Berlainan dengan buku-buku sejarah yang pernah diterbitkan,
buku ini menyebutkan bahwa HAJI MISKIN kembali dari Mekah
empat tahun setelah gerakan pembenahan agama Islam dimulai.
Banyak orang beranggapan awal gerakan Paderi itu mengamalkan
paham WAHABI yang dibawa oleh haji-haji yang baru pulang Tanah
Suci Mekah, namun Syekh Jalaluddin mengatakan gerakan tersebut
menganut AJARAN SYEKH ULAKAN (SYEKH BURHANUDDIN)
yang menimba ilmu agama dari SYEKH ABDURRAUF di Singkil
Aceh.
Juga diriwayatkan ekses-ekses yang terjadi, lahirnya apa yang
dinamakan golongan Hitam dan Putih serta perselisihan antara
Tuanku Nan Tuo dengan Tuanku Nan Salapan (Harimau Nan
Salapan) dsb.
Sebagaimana lajimnya buku-buku bertulisan Arab - Melayu jaman
dulu yang tidak bertitik-koma yang tak obahnya merupakan seuntai
kalimat yang maha panjang, maka dalam menyalin buku ini dilakukan
pembenahan, yakni dijadikan kalimat-kalimat pendek, sehingga
memudahkan para pembaca ataupun peminat. Pada halaman
belakang buku ini dicantumkan pula arti atau maksud kata-kata
Minangkabau lama yang terdapat dalam buku tersebut yang masa ini
sudah jarang terdengar dalam masyarakat.
'ALAMAT
SURAT KETERANGAN DARIPADA SAYA PAKIAH SAGHIR
'ALAMAT TUANKU SAMIAK SYEKH JALALUDDIN AHMAD
KOTO TUO JUA ADANYA.
WALLAHU AL HADI 'ILA SABIILIR RASYAD.
____________________________________
SYEKH JALALUDDIN AHMAD
(PAKIH SAGHIR)
Yaitu cerita yang dimulai dengan perkataan yang fasihat yang terbit dari
pada hati yang suci, lagi hening lagi jernih, dituliskan dengan faal yang khalis
daripada segala ihwal, dipesertakan dengan muka yang manis, lagi dihiasi
dengan sebaik-baik mukadimah serta baik nazam dan tertib seperti intan yang
ditatah dengan lembaganya, lagi diperselakan dengan seindah-indah jauhar dan
mutiara, dikeluarkan dengan perkataan yang tidak khazib dan khianat, hanya
semata-mata khilaf dan lupa dan perkataan yang sedikit-sedikit adanya.
BAHWA inilah cerita dari pada saya Pakiah Saghir alamiat 1 Tuanku samiang2
Syekh Jalaluddin Ahmad Koto Tuo adanya.
Akan hal cerita ini peri menyatakan asal kembang ilmu syariat dan hakikat
dan asal teguh larangan dan pegangan dan asal berdiri agama Allah dan agama
Rasul Allah, daripada awalnya lalu kepada akhirnya, lalu kepada perang hitam
dan putih hingga keluar Kompeni Wolanda ke Tanah Darat ini adanya.
MAKA adalah saya Pakiah Saghir mendengar cerita daripada saya punya
bapak, sebabnya saya mengambil pegangan ilmu hakikat karena cerita itu
adalah ia setengah daripada adab dan tertib warak 3 orang mengambil petuah jua
adanya. Yakni adalah seorang aulia Allah yang kutub lagi kasaf lagi mempunyai
keramat, yaitu orang Tanah Aceh Tuan Syekh Abdurrauf orang masyhurkan.
Telah ia mengambil ilmu daripada Tuan Syekh Abdulkadir al-Jailani. Itupun ia
mengambil tempat di negeri Medinah tempat berpindah Nabi kita Muhammad
Rasul Allah Salallahu 'alaihi Wassalam. Yaitu bimbing menghafazkan ilmu syariat
dan hakikat, ialah menjadi pintu ilmu sebelah pulau Aceh ini.
Maka telah disampaikan Allah maksudnya itu, maka disuruhlah oleh Tuan
Syekh Abdul Kadir al-Jailani mengembang ilmu itu ke negeri pulau Andalas bumi
Sumatera ini.
Maka digerakkan Allah, berlayarlah ia di kapal tempurung menjelang negeri Aceh
adanya. Maka kemudian dari itu turunlah ilmu tharikat ke negeri ULAKAN kepada
aulia Allah yang mempunyai keramat lagi mempunyai derajat yang a'ali, ialah
pergantungan ilmu tahkik4 ikutan dunia akhirat oleh segala makhluk yang
sebelah tanah ini.
Maka berpindahlah tharikat ke Paninjauan lalu kepada Tuanku Damansiang Nan
Tuo sekali-sekali, serta ia memakaikan tertib majelis lagi warak seperti Tuanku
Di Ulakan jua halnya.
Maka dimasyhurkan orang pula Tuanku Nan Tuo dalam nagari Kamang. Ia
telah menghafazkan ilmu alat5 dan Tuanku Di Lambah serta Tuanku Di Puar
yang mempunyai keramat yang beroleh limpah daripada Tuanku Di Paninjauan,
orang Ampek Angkek jua adanya.
Maka ada pula Tuanku Di Tampuang di tanah Rao datang di negeri Mekah
Medinah membawa ilmu mantik dan ma'ani. Maka berpindah pulalah ilmu itu
kepada aulia Allah yang kasaf lagi keramat alamait Tuanku Nan Kecil dalam
nagari Koto Gadang adanya.
Maka ada pula Tuanku Di Sumaniak datang di negeri Aceh menghafazkan hadis
dan tafsir dan ilmu faraid. Telah masyhur ia dalam Luhak Nan Tiga ini adanya.
Adapun asal ilmu saraf ialah Tuanku Di Talang dan asal ilmu nahu yang tiga itu
ialah Tuanku Di Salayo yang sangat alamat ahlu nahat yang ada keduanya
dalam nagari Kubuang Tiga Belas adanya.
Adapun saya Pakiah Saghir adalah saya bertemu dengan Tuanku
Damansiang Nan Tuo sekali-sekali dan Tuanku Nan Keramat dalam negari Koto
Gadang pada masa umur saya kecil dan Tuanku Di Sumaniak serta saya
mengambil ilmu pula adanya.
Pihak kepada Tuanku Nan Tuo dalam nagari Koto Tuo, ialah mengambil ilmu
daripada Tuanku Di Kamang dan Tuanku Di Sumaniak dan Tuanku Di Koto
Gadang dan Tuanku Damansiang Nan Tuo sekali dan Tuanku Di Paninjauan jua.
Maka berhimpunlah ilmu mantik dan ma'ani, hadis dan tafsir dan beberapa kitab
yang besar-besar dan sekalian yang menghasilkan ilmu syariat dan hakikat
kepada Syekh kita Tuanku Nan Tuo dalam nagari Koto Tuo semuanya.
Maka telah masyhurlah kabar tuanku ulama yang kasaf menghafazkan sekalian
kitab, menghimpunkan sekalian faedah ilmu syariat dan hakikat dan menyatakan
perbedaan antara kafir dan Islam. Maka sebab itu banyaklah orang yang rindu
dendam datang ke nagari Koto Tuo mengambil ilmu menghafazkan sekalian
kitab dan memintak fatwah keputusan ilmu syariat dan hakikat.
Maka ramailah tiap-tiap dusun dan purieh 6 dalam nagari Ampek Angkek dan
sukar menghinggakan riba dan lakas, luhuk dan lahak. Maka banyaklah orang
yang jadi ulama dan alim yang kasaf dalam Luhak Nan Tiga ini, lalu ke tanah
Rao dan tiap-tiap takluk rantau dan sekalian negeri dalam pulau Aceh ini
semuanya. Itulah asal kembang ilmu dalam tanah ini adanya.
Saya Pakiah Saghir seperti demikian pula, sebab ada juga saya menurut dari
pada saya punya bapak, lagi saya dijadikan kepala bermulut 8 oleh Tuanku-
Tuanku nan tuo, berperdakwakan orang nan ditangkap orang dan orang nan
dirampas. Di mana-mana larangan itu dibinasakan orang dan serta lama zaman
berapa-berapalah orang dagang dirampas orang dan ditangkap orang. Tidak
juga boleh hilang, melainkan kembali juga hanya dan berhutang juga orang nan
menangkap dan orang nan rampas itu. Atau dialahkan kampungnya atau
diperangi nagarinya. Maka sebab itu sangatlah takut orang menangkap orang
dagang dan orang menjelang dia dan jikalau kanak-kanak yang kecil dan
perempuan dan masuk nagari yang berlawan sekalipun, tidak juga boleh cela,
binasa adanya.
Maka dalam masa itu jua adalah saya Pakiah Saghir berhimpun dengan
Tuanku Nan Renceh dalam mesjid Koto Hambalau di nagari Canduang Koto
Laweh jua adanya. Telah saya duduk bersenang-senang menghafazkan ilmu
fikih, itupun saya telah dimasyhurkan orang pandai mempahamkan ilmu fikih
pada masa saya muda umur sekali-sekali. Maka sebab itu banyaklah orang
berhimpun-himpun kepada tempat itu mengambil ilmu menghafazkan kitab fikih
itu, karena ilmu yang terlebih dikasihi pada masa itu ialah ilmu fikih. Maka sebab
beberapa kali tamat saya mengajarkan ilmu fikih itu, mengertilah saya apa-apa
perkataan yang nyabut dalam kitab itu, yakni ialah menyucikan segala anggota
dari pada najis dan lata dan memandikan sekalian badan dari pada segala hadas
dan wajib atas Islam mendirikan rukun yang lima itu, yaitu mengikrarkan kalimat
yang dua patah serta mentasdikkan dia dan mendirikan sembahyang yang lima
pada segala waktunya dan mendatangkan zakat kepada segala fakir dan miskin
dan puasa pada bulan Ramadhan dan naik haji atas kuasa. Dan menyatakan
berjual dan membeli dan yang harus dijual dan dibeli dan menyatakan sendiri
dan bersyarikat dan menyatakan sekalian akadnya, syahnya dan batalnya dan
menyatakan membahagikan harta kepada segala warisnya dan menyatakan
nikah dan idah serta segala akadnya dan wajib nafkah atas perempuan dan atas
segala karib dan menyatakan segala hukum sahnya dan batalnya dan
menghukum antara segala manusia dengan adil dan menyuruh mereka itu
dengan berbuat baik dan menegah dari pada berbuat jahat. Inilah setengah
kenyataan perkataan yang nyabut dalam ilmu fikih adanya.
Maka sebab itu jua digerakkan Allah terbitlah dalam pikir hati saya Pakiah
Saghir, yaitu hendak mendirikan agama Allah dan agama Rasul Allah dan
membaiki tertib dan warak dan membuangkan sekalian perbuatan yang jahat
dan perangai yang keji dan berbaiki tempat dan mesjid dan sekalian pekerjaan
yang dikafani syarak pula adanya. Maka setelah itu jua mufakatlah saya dengan
Tuanku Nan Renceh hendak mendirikan pekerjaan itu. Itupun Tuanku Nan
Renceh terlebih sangat berahi dan berapa-berapa kali mufakat, beria-beria jua
sambil duduk bersenang-senang menghafazkan ilmu pada masa itu. Ia lai 9
dimashurkan orang dengan Khatib jua baharu adanya.
Maka telah lama sedikit antaranya, maka Tuanku Nan Renceh kembali
pulang kenagarinya. Telah ia menegahkan orang mengambil tuak dan meminum
dia.
Telah ada pula seorang lagi Tuanku Menanti Malin gelarnya. Iapun suka lagi
kuat lagi berani sempurna pahlawan. Mendirikan pekerjaan itu ia bersama-sama,
menegahkan orang minum tuak dan menyuruhkan orang sembahyang. Maka
sebab itu terbitlah kelahi dan bantah, tetapi tidak dengan perang, hanya semata-
mata gaduh-gaduh saja baharu. Maka dimasyhurkan oranglah seorang Tuanku
Nan Gapuak dan seorang pula Tuanku Nan Renceh sebab kecil tubuhnya.
Itupun Tuanku Nan Renceh menghimpunkan tempat mesjidnya dan membaiki
tempat, supaya nak berahi hati mendirikan agama serta ia berkekalan
menyuruhkan orang sembahyang jua adanya.
Saya Pakiah Saghir pun seperti demikian pula. Adalah saya mendirikan
jemaah berempat orang. Seorang saya dan bapak saya, seorang pula orang
lainnya serta saya punya saudara, ialah nan dimasyhurkan orang Tuanku Di
Kubu Sanang. Pada masa itu ia lai bernama Khatib jua baharu. Maka
bersungguh-sungguhlah saya menyuruhkan orang sembahyang hingga sampai
berdiri jemaah dua belas orang. Dan menyuruhkan orang menunaikan zakat
serta membahagikan kepada segala fakir dan miskin. Pada masa dahulu ada
juga orang menunaikan zakat, tetapi sedikit tidak dibahagikan antara segala fakir
dan miskin, melainkan dihimpunkan saja supaya diambil faedah barang apa-apa
maksudnya. Dan menyuruhkan orang maulud akan Nabi Salallahu alaihi
Wassalam, serta membaiki tertibnya dan tertib orang memakaikan agama Islam.
Sebab banyak-banyak terbit hujah dan bahana daripada saya, banyaklah asung
fitnah dalam nagari dan banyak pulalah bantahan mereka itu. Maka jadilah saya
dibuangkan orang dan berapa-berapa kali diserangnya saya punya madrasah.
Dan karena sangat keras bantahan mereka itu, sangatlah dhahir benar
pekerjaan agama dan banyaklah orang memakaikan agama Islam. Dan
masyhurlah pekerjaan itu kepada tiap-tiap nagari serta ia mengambil dalil akan
hukumnya. Sungguhpun ada pekerjaan seperti demikian, semuanya Tuanku Nan
Tuo juga menjadi tiang sendi adanya.
Kemudian lagi pula, maka diramaikan orang pula sabung di Balai Baharu
namanya dalam nagari Hampang Gadang jua adanya. Bukan ia semata-mata
mendirikan sabung, melainkan ia mengintai kelahi dan bantah jua nan terlebih
dimaksudnya. Setelah itu maka berhimpunlah Tuanku Nan Tuo serta Tuanku-
Tuanku yang lainnya yang ada dalam nagari Ampat Angkat jua. Maka
ditegahkanlah sabung itu dan sangatlah bantahan mereka itu dan menanglah
mereka itu berkelahi sebab beribu kali ganda banyaknya. Sekarang itu jua maka
diruntuhnyalah mesjid dalam nagari Batu Taba serta madrasah saya Pakiah
Saghir dan dirampasnya sekalian isinya daripada segala kitab dan yang lain-
lainnya dari pada beberapa harta.
Dan banyaklah hujah dan gunjing mereka itu dan kata sekalian munafik
mereka itu, yakni:
"Pakiah Saghir jua nan terlebih meari-ari musuh. Inilah kesudahan
pekerjaannya".
Itulah kebanyakan kata mereka itu. Barangkali ada mulut saya tekebur sedikit
atau hati saya, tetapi kepada Allah jua kembali pekerjaan. Dan kata setengah
mereka itu:
"Kembalilah kita daripada agama ini. Dan setengahnya pula, adapun sekalian
kita ini terlalu banyak luka dan patah. Inilah banyaknya lawan kita berkelahi,
tidak jenis akan terlawan oleh kita. Mesjid kita pun lah runtuh, kawan kita pun lah
banyak munafik, apalah akan daya kita. Terlebih baiklah kita diam-diam saja".
Maka berkata pula seorang yang pahlawan pada dunia ini:
"Sangatlah kita hina sepuluh kali gandahlah hina kita pada kampung akhirat.
Maka lebih baiklah kita menghasilkan sekalian alat senjata perang".
Maka terlebih sangatlah masgul Tuanku Di Kubu Sanang melihat huru-hara
pekerjaan seperti demikian. Dan lebih pula sangatlah malu daripada segala
manusia. Lagi pula malu akan segala makhluk menjadi kualat iman. Beribu kali
gandalah malu kepada Allah Ta'ala dan sangatlah sangka waham dari pada tidak
dapat apa-apa kesudah-sudahan pekerjaan ini.
Maka kata saya Pakiah Saghir:
"Oh Tuanku, adakah tidak tuan ketahui di dalam Quran, yakni tidak sentosa akan
daya Allah, melainkan siamana yang tidak iman akan Allah hanya. Dan
bagaimanalah tuan sangat masgul dari pada huru-hara dunia ini. Maka sabarlah
tuan dari pada apa-apa hukum Allah dan daripada huru-hara daya sekalian
manusia ini. Bahwa sungguhnya setengah dari pada tanda mukmin yang pilihan,
menahan cobaan jua hal adanya.
Pihak agama kita akan runtuh, janganlah tuan rusuhkan. Dan jikalau sebelum
datar sekalian bukit ini, Insya Allah Ta'ala belum dihabiskan Allah agama ini.
Biarlah saya bicarakan jua ke kiri dan ke kanan barang mana daya, saya
dayakan jua mesjid nan runtuh. Janganlah tuan hibakan nagari akan binasa.
Inilah tandanya. Insya Allah Ta'ala dengan perang juga kita sudahi nan
patutnya".
Setelah itupun saya bicarakan jua kepada barang siapa-siapa orang nan mau
memakai agama Allah dan agama Rasul Allah.
Maka telah lama antaranya, itupun Tuanku Nan Tuo memotong kerbau dan
jawi sekira-kira dua belas ekor banyaknya. Telah ia memanggil Tuanku-Tuanku
dan Penghulu-Penghulu yang kepala-kepala yang ada keliling nagari itu dari
pada ia membicarakan pekerjaan agama jua adanya.
Maka lama sedikit antaranya adalah orang mendirikan gelanggang dalam
nagari Bukik Batabuah namanya.
Pada masa itu Tuanku Nan Tuo menghimpunkan segala Tuanku-Tuanku dan
Penghulu-Penghulu, ialah hendak menegahkan gelanggang itu, tetapi dengan
bicara saja hanya. Maka ketika berhimpun-himpun Tuanku-Tuanku dan
Penghulu-Penghulu hendak mufakat, datanglah segala Hulubalang serta orang
banyak serta ia membawa alat senjata batu dan galah dan setinggar. Itupun
Tuanku-Tuanku lari semuanya. Tidak mungkin ditolakkan, melainkan dengan
memasang bedil dan senapan.
Maka saya Pakiah Saghir berbicara sekira-kira enam orang:
"Jikalau tidak kita jadikan perang sekarang ini jua, tidaklah habis malu kita yang
terdahulu, lalu kepada anak cucu kita dan sampailah habis larangan dan
pegangan. Baiklah kita pasang jua sekarang, barangkali ia luka dan mati akan
balas mesjid kita nan runtuh".
Ketika itu saya Pakiah Saghir memasang setinggar adanya. Digerakan Allah
sampailah luka orang Bukik Batabuah lalu kepada mati dan dipotong orang pula
seorang lainnya. Dan sempurnalah jadi perang sehari itu adanya. Sebab itu
banyaklah hujah dan fitnah, dengki dan khianat dan banyaklah kasum dan
udawah. Adakalanya sama serumah dan adakalanya antara dua orang
bersaudara dan adakalanya antara anak dan bapaknya. Dan banyaklah asung
dan fitnah, gunjing dan tempalak, yakni kata setengah mereka itu:
"Pada hari ini senanglah hati Pakiah saghir. Mesjid nan binasa, madrasah nan
runtuh, inilah balasnya".
Dan kata setengah yang lain pula:
"Pakiah saghir ini kita bunuh jua nan patutnya. Bukan ia semata-mata mendirikan
agama, melainkan ia malu dari pada mesjid nan runtuh dan madrasah nan
binasa. Lagi ia melaku lakukan cerdik pandainya dan melakukan keatasannya
serta ia menghina-hinakan kita dan menghabiskan adat pusaka kita. Negari kita
binasa, inilah rupanya. Tidak kita melihat dari pada Tuanku-Tuanku nan dahulu-
dahulu, melainkan dari pada kanak-kanak yang kecil ini baharu adanya".
Maka daripada sangat keras perang itu, datanglah Tuanku-Tuanku pada tiap-
tiap nagari. Berkaum-kaum ia menjelang Tuanku Nan Tuo serta ia membawa
alat senjata perang, karena banyak musuh sepanjang jalan. Dan banyaklah
orang berhimpun-himpun dalam nagari Koto Tuo, sebab Tuanku Nan Tuo jua
nan diimamkan orang.
Maka sekira-kira empat bulan lama masanya, berhentilah perang itu dan
gelanggang pun rebah, itulah halnya. Kemudian lagi pula didirikan oranglah
gelanggang di nagari Parabek di belakang nagari Padang Luar dalam nagari
Ladang Laweh Banu Hampu jua adanya. Maka ditegahkan orang pula
gelanggang itu. Tuanku Di Padang Luar pula punya perintah. Ia meminta tolong
kepada Tuanku Nan Tuo. Itupun Tuanku berdiri serta orang banyaknya. Pada
hari itu jua perang pun jadi dan banyaklah mati dan luka sebelah menyebelah.
Tetapi segera habis perang itu, sekira-kira sepuluh hari lamanya, sebab cerdik
Tuanku Di Ladang Laweh memeliharakan nagarinya jangan binasa adanya.
Kemudian maka lama pula antaranya, adalah seorang Tuanku Tarabi orang
Koto Baharu pergi berniaga ke nagari Kamang Bukik adanya. Telah ia dirampas
orang mata benda perniagaannya. Maka daripada karena cerdik pandainya,
jadilah ia mengadukan pekerjaannya itu kepada Tuanku Nan Renceh dan
Tuanku-Tuanku tiap-tiap sidang dalam nagari Bukik itu semuanya. Yakni
katanya:
"Oh Tuanku, ampunlah saya di bawah tapak kaki Tuanku-Tuanku yang tiap-tiap
sidang dalam nagari ini semuanya. Pihak diri saya ini, ialah saya telah dirampas
orang mata benda perniagaan dalam nagari ini. Sebabnya ada saya
memakaikan sembahyang ayam saya, larangan alim namanya. Dan jikalau
masih teguh jua Tuanku-Tuanku menguatkan larangan pegangan itu, seboleh-
bolehnya sekarang ialah saya hendak meminta tolong kepada Tuanku-Tuanku
mengerjakan pekerjaan saya itu. Sungguhpun saya kehilangan mata benda
terjarah, larangan alim kan binasa nan terlebih saya rusuhkan. Tetapi jikalau ada
digerakkan Allah, kembali harta saya itu. Apa-apa Tuanku punya hukum telah
saya sukakan menurut perintah Tuanku dan suka pula saya menyuruhkan orang
nagari saya memakai agama Allah dan agama Rasul Allah, seperti Tuanku
punya kerja ini adanya".
Maka sekira-kira empat tahun lamanya perang itu, berdirilah Tuanku Nan Tuo
berjalan-jalan pada tiap-tiap nagari keliling tempat Tuanku Nan Renceh, ialah
mufakat hendak menghentikan perang itu. Mereka itupun suka berhenti dan suka
mereka itu menurut hukum Tuanku Nan Tuo saja dan tidak mau mereka itu
menurut hukum Tuanku Nan Renceh, karena malu mereka itu, sebab sangat
takabur mereka itu. Maka ketika itu selesailah perang itu adanya.
Maka dalam masa itu jua, adalah saya Pakiah Saghir maulid akan Nabi Sallalahu
'Alaihi Wassalam, ialah saya memanggil sekalian Tuanku-Tuanku pada tiap-tiap
nagari, supaya berjinak-jinakan mereka itu dan nak dhahir bersusun-susun
agama. Serta saya memanggil orang nan tiga buah nagari, yakni orang Salo dan
orang Magek dan orang Koto Baharu, supaya nak hampir bertolong-tolong
mereka itu dengan Tuanku Nan Renceh adanya. Lagi pula pikir hati saya,
barangkali mau mereka itu bersungguh-sungguh mendirikan agama. Sebab ada
mereka itu harap akan beroleh derajat yang a'ali pada dunia dan akhirat, karena
mereka itu adalah hina sedikit pada adatnya. Lagi ada mereka itu dikatakan
orang Tilatang kerbau nan tiga kandang namanya. Setelah itu saya bicara
pekerjaan agama dengan mereka itu pun suka jua semuanya. Maka setelah
sudah mufakat itu, beredar-edarlah Tuanku berbuat janji di mana-mana tempat
yang patut berhimpun-himpun mufakat, karena mengintai agama nak kekal jua
adanya.
Maka kemudian dari itu, berjalanlah Tuanku Nan Tuo ke nagari Magek serta
ia memanggil Tuanku Nan Renceh, supaya berperdamaikan ia daripada
pekerjaan yang terdahulu. Maka sempurnalah damai kedua pihaknya serta
sempurna mufakat pekerjaan agama. Kemudian pula diperbuat pula janji dalam
nagari Koto Baharu seperti demikian pula, yakni nagari Tuanku Tarabi nan
dirampas orang masa dahulu adanya. Maka sampailah bertemu dengan nagari
Ampek Angkek dan sentosalah jalan Tuanku Nan Renceh masuk nagari Koto
Tuo barang apa-apa maksudnya.
Kemudian dari itu mufakat segala kepala Hulubalang tiap-tiap nagari. Maka
dimalingnya kemenakan Tuanku Nan Renceh berlima orang. Itulah sebab
pekerjaan nan jadi sebesar-besar fitnah selama-lamanya. Maka dibawanya ke
nagari Bukik Batabuah. Itupun masih bertemu dengan saya Pakiah Saghir. Saya
hendak meminta kembali, Hulubalang itupun melarikan jua. Jadilah berkejar-
kejar dengan saya. Itupun tidak juga dapat, sebab ianya bersama-sama, hanya
saya dua orang saja. Sekarang itu saya menyuruh memanggil Tuanku-Tuanku
serta orang banyaknya. Tuanku-Tuanku pun rapat semuanya. Maka jadilah
diperdakwakan jua. Tidak juga dapat keluar. Sekali janji, dua kali janji, barangkali
sepuluh kali janji.
Maka pada sekali janji yang akhir datanglah Tuanku Nan Renceh serta
kaumnya. Maka dilihatnya tidak jua dapat keluar, jadilah ditangkapnya orang
Bukik Batabuah itu dua orang, lalu dibawanya ke nagarinya. Maka ditaruhnya
orang itu sekira-kira sebulan Kamariah atau lebih.
Dalam masa itu tidak boleh berhenti sedikit jua, melainkan gaduh-gaduh jua dan
diperdakwakan jua hanya. Sebab itu banyaklah orang Bukik Batabuah meminta
ampun jua kepada Tuanku Nan Tuo dan suka ia barang apa-apa Tuanku punya
hukum. Tidak ia mendalih dan mendarit lagi serta ia mau menjunjung titah Allah
dan titah Rasul Allah. Itupun Tuanku Nan Tuo mau menerimakan.
Maka sebab itu jua jadilah saya Pakiah Saghir meminta kembali orang yang
berdua itu. Tuanku Nan Renceh pun mau mengembalikan. Maka sampailah
kembali orang itu ke nagari Bukik Batabuah. Lama sedikit antaranya datanglah
kembali kemanakan Tuanku Nan Renceh berdua orang. Tuanku Nan renceh
terlalu suka mendapat kemenakannya nan berdua orang itu. Dan tinggal pulalah
tiga orang lagi. Itulah halnya.
Setelah lama zaman, maka telah lama pula antaranya kemudian, maka dari
pada sangat adawat dan sangat mengadu-adu sebelah menyebelah, terbit
pulalah perang dari pada Tuanku Nan Renceh sama dalam nagarinya. Tidak
berhenti siang dan malam, pagi dan petang dan jika sepenggal hari sekalipun.
Maka dari pada sekira-kira setahun lamanya digerakkan Allah datanglah
TUANKU HAJI DI SUMANIAK kepada tempat Tuanku Nan Renceh. Telah
mengajarkan perang dengan api. Itupun sampai terbakar yang hampir kampung
Tuanku Nan Renceh, yaitu nagari Durian namanya. Maka lebarlah perjalanan
Tuanku Nan Renceh ke kiri dan ke kanan. Sekarang itu jua Tuanku Di Sumaniak
sampai ke luar. Tempo ia di nagari Koto Tuo sekira-kira empat hari lamanya, di
belakang ia pulang kenagarinya.
Pihak kepada Tuanku Nan renceh telah ia bersungguh-sungguh mufakat
dengan orang Kamang dan orang Magek dan orang Salo dan orang Koto
Baharu. Saya Pakiah Saghir ada juga sama melihat pekerjaan itu.
Pada masa itu jua dihadapkan perang ke nagari Tilatang. Maka dari pada
karena sangat keras perang itu, terbakarlah taraf nagari Tilatang hampir nagari
Koto Baharu. Sebab itu sangatlah takut orang Agam semuanya dan banyaklah
tobat mereka itu dan bertolong-tolonganlah perang itu. Maka sampailah habis
nagari Tilatang dan banyaklah berpindah dalam nagari dan sukar
menghinggakan riba lakas, rampasan dan orang terbunuh dan tertawan, lalu
kepada terjual dan dijadikannya gundiknya, tetapi belum dhahir gundiknya. Tidak
yang lain-lain punya kerja itu, melainkan orang nan lima buah nagari yang ada
dalam perintah Tuanku Nan Renceh jua, yaitu nagari Kamang Bukik, lebih sekali
orang Salo, Magek, Koto Baharu nan memunah dan berjual akan balasnya
dikatakan orang Tilatang kerbau nan tiga kandang namanya, itulah halnya.
Pihak kepada orang nan berpindah ke nagari Ampek Angkek sukar pula
menghinggakan riba dan lakas, akan tetapi tidak boleh mati terbunuh teraniaya
dan jikalau orang yang hina dan tua yang daif dan kanak-kanak yang kecil
sekalipun dan sekalian mata bendanya dan jikalau seberat zarah sekalipun, tidak
jua boleh hilang, karena sangat keras hukum Tuanku Nan Tuo jua adanya, yaitu
tidak harus merampas dan menawan dan mengalahkan nagarinya. Jikalau ada
dalamnya dua puluh atau dua belas mukmin atau berempat mukmin atau
seorang mukmin sekalipun. Itulah setengah hukum yang tetap dalam kitab
Tuanku Nan Tuo jua adanya. Sebab itu jadilah kecil hati Tuanku Nan Renceh,
tetapi tidak dhahir, seolah-olahnya hukum itu membinasakan pekerjaan Tuanku
Nan Renceh jua adanya.
Maka lama pula antaranya datanglah Tuanku Nan Renceh serta orang nan
lima buah nagari yang ada dalam perintahnya, yaitu Kamang Bukik, Salo,
Magek, Koto Baharu. Telah ia meminta menghadapkan perang ke nagari Kurai,
karena orang Kurai itu sangat jahilnya dan mungkarnya. Sebab itu jadilah
Tuanku Nan Tuo memerintahkan perang itu, supaya jangan orang Kurai
dihabiskan Tuanku Nan Renceh seperti orang Tilatang pula.
Maka sebab itu tahulah Tuanku Nan Renceh akan batin pekerjaan itu. Jadilah ia
kembali pulang serta mufakat ia menghadapkan perang ketika itu jua ke nagari
orang Lima Koto. Maka segeralah terbakar taraf nagari Sungai Janiah dan
terbakar pulalah nagari Kurai pagi-pagi itu sepeninggal Tuanku Nan Renceh.
Maka sampailah habis nagari Kurai terbakar semuanya, tetapi tidak seorang jua
nan tertawan dan terbunuh. Kemudian keluar mereka itu dalam kampungnya.
Maka segeralah Tuanku Nan Tuo meminta kembali orang Kurai ke nagarinya.
Mereka itupun suka kembali serta mereka itu memotong kerbau memanggil
Tuanku Nan Tuo supaya bersenang-senang mereka itu tinggal dalam nagarinya.
Maka Tuanku Nan Tuo mengajarkan kalimah tobat. Mereka itupun mengucap dia
serta suka mereka itu menjunjung titah Allah dan titah Rasul Allah. Itupun telah
sempurnalah pekerjaan itu.
Pihak kepada perang Tuanku Nan Renceh, sampailah empat bulan lamanya
tidak jua sampai teralahkan, karena orang Padang Tarok itu sangat gagahnya.
Itupun Tuanku Nan Renceh meminta tolong kepada Tuanku Nan Tuo. Maka
daripada karena memelihara dhahir pekerjaan agama jangan binasa, jadilah
Tuanku Nan Tuo menurunkan orang Agam semuanya. Maka sampailah habis
nagari itu dan habislah perang itu. Tetapi Tuanku Nan Tuo tidak meminta apa-
apa sesuatu jua dan tidak pula meminta ketundukannya, hanya kenduri Tuanku
Nan Renceh saja.
Maka Tuanku Nan Renceh mendirikan Imam dan Kadhi, yaitu Tuanku Nan
Bungkuak orang Sungai Janiah, karena maksudnya hendak melakukan dayanya
menghabiskan orang Lima Koto jua halnya. Tidak boleh diperdamaikan, supaya
nak boleh memunah dan menawan, maka sampailah pekerjaannya itu. Dan
sukar menghinggakan riba dan lakas, orang terbunuh dan tertawan. Maka bagi
setengahnya dijualnya dan bagi setengahnya dipergundiknya. Maka dinamainya
perang itu perang sabil Allah namanya, supaya nak dhahir sah hukumnya. Maka
sebab itulah sangatlah marah Tuanku Nan Tuo kepada Tuanku Nan Renceh dan
kepada sekalian Tuanku-Tuanku. Dan bersungguh-sungguhlah Tuanku Nan Tuo
melarangkan orang terjual dan menegahkan mengalahkan nagari dan membakar
dia.
Maka sebab itu jadilah saya Pakiah Saghir menyampaikan bicara itu kepada
Tuanku Nan Tuo. Maka telah mendengar Tuanku Nan Tuo akan bicara itu.
Jadilah Tuanku Nan Tuo diam-diam saja sekira-kira delapan hari lamanya.
Kemudian maka kata Tuanku Nan Tuo kepada saya: "Hai masaharah, baiklah
kita terima jua bicara yang telah engkau kabarkan masa dahulu dan potonglah di
engkau seekor kerbau dan panggil di engkau sekalian Tuanku-Tuanku dalam
Luhak ini pada hari Sabtu demi esok hari ini. Itupun saya Pakiah Saghir
bersegera memotong kerbau. Tuanku Bajungguik Perak segera memanggil
Tuanku-Tuanku. Maka sampailah berhimpun Tuanku-Tuanku pada hari Saptu itu
jua.
Setelah itu mufakatlah Tuanku-Tuanku hendak menyampaikan bicara kepada
Tuanku Nan Tuo. Maka kata Tuanku-Tuanku di hadapan Tuanku Nan Tuo yakni:
"Ampunlah kami di bawah tapak kaki hadirah Tuanku. Seboleh-bolehnya yang
lagi akan datang ini, sebaik-baiknyalah tinggal Tuanku di dalam mesjid kendiri,
tuanku mengajarkan ilmu seperti dahulu juo. Biarlah kami berjalan-jalan ke kiri
dan ke kanan menyampaikan suruh Allah dan suruh Rasul Allah, boleh-boleh
kami perangi di mana nagari yang menyalahi agamanya dalam pulau ini. Dan
kami hantarkan pula ke hadapan Tuanku akan hadiah dan sedekah serta
ketundukan siapa-siapa orang nan mau mengikut agama ini".
Maka jawab Tuanku Nan Tuo:
"Mengapa bicara kamu seperti demikian. Adakah tiada pada tiap-tiap suatu
nagari dalam luhak nan tiga ini atau lainnya dua puluh mukmin atau dua belas
mukmin atau berempat mukmin atau seorang mukmin".
Maka jawab mereka itu:
"Tidak sunyi pada nagari dalam luhak ini dan jikalau seorang mukmin sekalipun,
melainkan ada jua hanya".
Maka kata Tuanku Nan Tuo:
"Adakah harus mengalahkan nagari dan membakar dia dan padanya seorang
mukmin".
Maka jawab mereka itu:
"Tidak harus".
Maka kata Tuanku Nan Tuo:
"Bagaimanalah bicara kamu, seperti demikian juga".
Maka mereka itu diam semata-mata dari pada menjawab, tetapi hingga seketika.
Maka terbitlah jawab dari pada setengah mereka itu:
"Jikalau ada pekerjaan seperti demikian, sekarang sukalah kami berhenti dan
tobatlah kami daripada berbuat bicara yang demikian itu".
Maka kata Tuanku Nan Tuo:
"Tidak percaya aku akan bicara kamu, jikalau tidak mendatangkan kamu akan
sumpah".
Maka sebab itu sekarang mengikrarkan tiap-tiap dari pada mereka itu akan
sumpah, yakni mengata tiap-tiap seorang dari pada mereka itu:
"Demi Allah demi Rasul Allah, demi bumi dan langit, surga dan neraka,
sesungguhnya sebenarnya tidak lagi kami akan mengalahkan tiap-tiap nagari
dalam luhak ini dan membakar dia, hanya semata-mata menyuruh saja hal
adanya".
Di belakang kemudian kembali mereka itu kepada nagari seorang-seorang
dan rumah seorang-seorang.
Kata berkata sama sendiri mereka itu:
"Tiada ada hal ini melainkan bicara Pakiah Saghir jua hanya. Sekarang sebab itu
jua, pekerjaannya janganlah kita bayar harga kerbaunya dan jikalau satu kepeng
sekalipun".
Maka telah lama pula antaranya, sebab tidak sampai maksudnya dan sebab
malu dari pada sumpah itu, jadilah mufakat pula sekalian Tuanku-Tuanku. Yakni
mufakat mereka itu:
"Baiklah kita mencari Imam yang lain akan ganti Tuanku Nan Tuo, supaya boleh
kita melakukan apa-apa kehendak kita. Dan sepatutnyalah Tuanku Damansiang
kita jadikan Imam Besar, karena ia asal orang keramat juga. Lagi pula tidak
boleh Tuanku Nan Tuo akan membinasakan pekerjaannya, sebab Tuanku
Damansiang anak guru oleh Tuanku Nan Tuo".
Kemudian menyempurnakanlah mereka itu akan mufakat mereka itu dan
menamailah mereka itu akan Tuanku Damansiang Tuanku Nan Tuo pula
namanya, karena menyandar Tuan Nan Tuo punya nama. Kemudian menamai
pula mereka itu akan tiap-tiap Tuanku Nan Salapan itu dan Tuanku-Tuanku yang
lain-lain seperti demikian pula. Dan memasyhurkan mereka akan Tuanku Nan
Tuo Rahib Tuo namanya dan akan saya Pakiah Saghir Raja Kafir dan Raja Jazid
pula dinamakannya.
Tetapi sebab tekebur mereka itu dan menghinakan mereka itu akan guru
mereka itu dan menamai mereka itu akan Tuanku Nan Tuo seperti demikian,
barangkali mereka itu kafir dalam kitab Allah dan isi neraka jahanam pada
akhirat. Jika tidak tobat mereka itu wa'ali Allah tarja'u alamur.
Maka kemudian sampai mendirikan mereka itu akan Imam. Memerangi
mereka itu akan nagari Gunuang Paninjauan. Maka sampailah terbakar nagari
itu, hingga sampai Tuanku nan Tuo diam dalam nagari itu.
Membakar juga mereka itu dan berapa-berapalah rampasan dan orang mati
terbunuh dan menamai mereka itu akan perang itu perang agama namanya dan
meminta mereka itu akan ketundukannya. Supaya nak sah hukum mereka itu
perang sabil Allah namanya, tetapi tidak nyebut dalam kitab Allah perang sabil
namanya, karena nagari itu tempat Tuanku yang dimasyhurkan Tuanku Di
Paninjauan namanya, ialah yang mewaris Tuanku Di Ulakan yang mempunyai
keramat yang beroleh limpah dari pada Tuan Syekh Abdurrauf jua adanya. Dan
berapa-berapalah ulama dalamnya dan fakih-fakih dan beberapa pandito dan
sangat penyayang sekalian ahlinya kepada segala fakir dan miskin dan kepada
sekalian karim. Itulah sebabnya tidak harus mengalahkan nagari itu, dalam kitab
Tuanku Nan Tuo itulah halnya.
Maka dalam masa itu juga digerakkan Allah datanglah Tuanku Di Budi, yaitu
Tuanku Nan Tuo dalam nagari Sungai Tarap adanya. Telah ia mempunyai bicara
memohonkan ampun kepada hariba Tuanku Nan Tuo dalam nagari Koto Tuo
adanya, yakni katanya:
"Oh Tuanku ampunlah saya di bawah tapak kaki duli hadirat Tuanku, saya punya
bapak. Sekali salah beribu kali tobat. Dari pada pihak diri Tuanku punya anak,
Tuanku jua mempunyai ampun.
Adapun diri saya ini ialah mengamalkan titah Allah dan titah Rasul Allah dan titah
Tuanku jua seperti hukum yang nyabut dalam kitab Allah yang telah Tuanku
ajarkan kepada saya dari pada masa dahulu sampai sekarang, yaitu katanya
Allah Ta'ala Adhi'u Allah waadhi'u al Rasul wa'ali alamur minkum. Lagi pula saya
menghukum antara segala manusia dengan adil dan berbuat baik kepada
mereka itu dan memperhubungkan kekasih antara dua orang bersaudara dan
berperdamaikan antara dua orang berkhasumat-khasumat dan menunjukkan hati
mereka itu. Itulah halnya pekerjaan saya ini.
Pihak kepada anak-anak Tuanku Nan Salapan, ialah saya hendak membawa ke
hadapan Tuanku, supaya meminta maaf mereka itu daripada sekalian
pekerjaannya yang tersalah serta berperdamaikan saya akan perang-perang ini,
supaya nak tinggi agama Allah dan agama Rasul Allah dan nak bersenang-
senang mereka itu sekalian manusia".
Maka jawab Tuanku Nan Tuo:
"Jikalau demikian rupanya pekerjaan, sepuluh baiknya pada hamba. Apabila lai
bersungguh-sungguh mereka itu mengikut kata Allah dan kata Rasul Allah dan
kembali mereka itu daripada segala fiil mereka itu yang telah lalu ini".
Kemudian maka telah sempurna bicara itu, berhimpunlah Tuanku-Tuanku
Nan Salapan masuk nagari Koto Tuo menjelang kepada hariba Tuanku Nan Tuo
jua, serta mereka itu membawa kerbau sekira-kira enam puluh banyaknya atau
lebih. Maka seketika berhadap mereka itu, berhalunlah mereka itu dengan
mendatangkan salam serta tertib dan majelis adab orang memuliakan gurunya.
Lagi ia memohonkan ampun meminta maaf kepada Tuanku, yakni kata mereka
itu:
"Oh Tuanku ampunlah kami di bawah tapak kaki duli hadirat Tuanku. Adapun
sekalian pekerjaan kami yang telah lalu ini, yaitu merebut dan merampas
memunah dan menikam dan sebagainyalah, sekarang seboleh-bolehnya
hendaklah Tuanku maafkan sekalian pekerjaan kami itu dan jangan Tuanku
menyebut-nyebut juga. Tidak lagi kami kembali berbuat pekerjaan itu hingga ini
ke atas dan jikalau sekejap mata sekalipun, itulah halnya".
Maka sebab itu jadilah memaafkan akan sekalian pekerjaan mereka itu yang
memberi mudharat kepada diri Tuanku dan tidak memaafkan Tuanku akan diri
orang lain-lain mereka itu yang terbunuh dan teraniaya dan nagari mereka itu
yang dirampas orang dan sebagainyalah.
Karena mengetahui Tuanku adakah maaf hati mereka itu atau tidakkah, hanya
Tuanku memberi petuah, semata-mata mengembalikan kepada hukum Allah dan
hukum Rasul Allah saja. Maka bersuka-sukalah Tuanku memberi petuah mereka
itu dengan sekalian hukum yang nyabut dalam kitab Allah dan suka-suka pulalah
mereka itu mengikut hukum Tuanku yang ada, seperti demikian itulah halnya.
Tetapi hingga seketika, barangkali di belakang lebih kepada jahatnya dan
kepada Allah jualah kembali pekerjaan dhahir dan batin wallahu yahdi man yasa
'ali syirad mustakim.
Kemudian maka kembalilah sekalian Tuanku-Tuanku kepada nagari seorang-
seorang serta dengan bersuka-suka jua, sebab telah bersuatu 10 hukum dan telah
sempurna yang dimaksud dan bersenang-senanglah orang banyak, sebab
sempurna damai dan telah putus kerja perang dan masyhurlah kabar ke kiri dan
ke kanan dari pada pihak Tuanku Nan Salapan telah sempurna damai dengan
Tuanku Nan Tuo dan telah bersuatu hukum agama. Sekalian persalahan kembali
kepada hukum Allah dan hukum Rasul Allah dan kepada kitabnya.
Kemudian maka dari pada setengah adat bagi segala manusia, ketika duduk-
duduk mereka itu bersenang-senang pada tiap-tiap tempat permedanan dan
tiap-tiap dusun dan nagari dan tiap-tiap kampung dan mesjid, banyak-banyaklah
kabar mereka itu dan runding mereka itu. Yaitu kata setengah mereka itu:
"Adapun sekalian Tuanku-Tuanku kita ini sampailah damai dan sekalian kita ini
sampailah senang. Maka betapakah pekerjaan Tuanku yang terdahulu ini,
adapun Tuanku Nan Tuo dikatanya Rahib Tua dan Pakiah Saghir dikatanya kapir
dan raja sekalian orang Ampek Angkek hitam semuanya. Sekalian kita ini
memerangi orang Ampek Angkek, mati syahid katanya. Barangkali Tuanku-
Tuanku Nan Salapan ini salah adanya. Jikalau ada ia benar, tidak ia mau
mufakat dengan Pakiah Saghir dan tidak ia mau tobat kepada Tuanku Nan Tuo,
itulah halnya.
Dan kata setengah mereka itu, jikalau ada sekalian pekerjaan Tuanku-Tuanku ini
salah, baiklah kita meminta kembali akan sekalian harta kita yang diambilnya
sebab disalahkannya atau sebab dirampasnya.
Dan kata setengah yang lain-lain mereka itu, adapun sekalian nagari kita ini
sampailah habis dan nagari Ampek Angkek tinggal selamat juga, sekarang
sekalian kita ini sampailah hina. Maka sekaliannya itu sebab celaka Tuanku Nan
Salapan jua adanya".
Maka daripada sekira-kira setahun lama masanya, sebab telah bersangatan
masyhur fitnah antara mereka itu, masuklah fitnah itu ke dalam hati Tuanku-
Tuanku Nan Salapan. Maka mufakat jua mereka itu dan berhubung-hubung
jualah bicara mereka itu. Yakni kata setengah Tuanku-Tuanku yang lebih arif
bijaksana:
"Jikalau tidak kita habiskan nagari Ampek Angkek ini atau dihutangkan dengan
beberapa kati emas dan dialahkan kitab Pakiah Saghir ini, di belakang
niscayanya besar mudharatnya kepada kita dan kebanyakan manusia hampir
hitam akhirnya.
Maka terlebih baiklah kita panggil Tuanku-Tuanku yang lebih alimnya dan yang
lebih masyhur kitabnya, yaitu Tuanku Di Batu Ladiang dan Tuanku Nan Saliah
dalam nagari Talawi, karena Tuanku nan berdua itu lebih sangat alimnya. Tidak
jenis akan terlawan oleh Pakiah Saghir. Lagi pula Tuanku Nan Saliah itu
dimasyhurkan orang membatalkan martabat menyalahi agama Tuanku Di Ulakan
jua.
Barangkali marah-marah ia kepada Tuanku Nan Tuo dan Tuanku Nan Tuo
marah-marah pula sama dia. Sebab bapak Tuanku Nan Saliah itu diperangi
Tuanku Nan Tuo dan dialahkan nagari yang dikediaminya masa dahulunya, yaitu
nagari Taram, sebab ia membatalkan martabat jua adanya".
Maka telah sempurna mufakat mereka itu. Memanggillah mereka itu akan
Tuanku nan berdua itu serta mengiringi Tuanku-Tuanku yang lainnya.
Maka tempo Tuanku Nan Saliah sampai ke dalam mesjid Tuanku Damansiang,
berhalunlah Tuanku-Tuanku dalam Luhak itu dan mengalahkan Tuanku Nan
Saliah akan sekalian Tuanku-Tuanku dengan kitabnya hingga Tuanku
Damansiang sekali pun.
Kemudian maka Tuanku Nan Saliah berjalan-jalan antara nagari hendak
menjelang tempat Tuanku Nan Tuo. Itupun Tuanku Nan Tuo menyuruh
memanggil Tuanku Nan Saliah.
Maka setelah sampai Tuanku Nan Saliah serta Tuanku-Tuanku yang
mengiringinya masuk nagari Koto Tuo dan lah bertemu ia dengan Tuanku Nan
Tuo, berhalunlah kedua pihaknya serta bersuka-suka ia dengan berjawatan
tangan, maka duduklah ia senang-senang. Hingga sedikit kemudian, maka
Tuanku Nan Saliah meminta mengeluarkan kitab semuanya kepada Tuanku Nan
Tuo serta menghimpunkan sekalian Tuanku-Tuanku yang ada dalam nagari itu.
Maka setelah hadir kitab semuanya serta sekalian Tuanku, maka bersama-
sama ia memahamkan sekalian kitab itu serta saya Pakiah Saghir. Itupun
mufakat semuanya, tidak bersalahan suatu jua adanya, jikalau sebesar zarah
sekalipun, hanya semufakat juga membenarkan petuah Tuanku Nan Tuo. Maka
tetaplah Tuanku Nan Saliah dalam nagari itu sekira-kira delapan hari atau lebih,
supaya berperdamaikan ia antara keduanya dan berpertemukan ia pada taraf
nagari hampir nagari Banu Hampu, serta ia Tuanku Nan Saliah menyuruhkan
kepada sekalian Tuanku-Tuanku dalam luhak Agam nan mengikut kitab Tuanku
Nan Tuo semuanya.
Maka sekira-kira empat tahun lamanya, tidak juga teralahkan kampung yang
sedikit itu, terbitlah bicara setengah mereka itu:
“Jikalau tidak mati jua Pakiah Saghir ini, tidak mungkin kita mengalahkan
kampungnya dan tidak ia mau tunduk kepada kita. Barangkali di belakang
banyak-banyaklah menolak dan berbuat kampung seperti kampungnya ini dan
banyak persalahan tiap-tiap nagari, sebab banyak mereka itu sekata-sekata hati
dan tidak takut mereka itu akan dialahkan, sebab teguh tempat kediaman
mereka itu seperti kampung Pakiah Saghir ini dan hampir mereka itu melawan
kepada segala Tuanku-Tuanku dan tidak mau mereka itu menurut hukum
Tuanku-Tuanku, hanya kebanyakan mereka itu menurut pendapat Pakiah Saghir
saja, maka binasalah agama kita.
Dan terlebih baik jualah kita berperdayakannya, yakni daya itu bersungguh-
sungguh kita meminta paham bersuatukan hukum kitab Allah. Kita suruh
sampaikan kabar pekerjaan itu kepadanya. Jikalau lebih terang kitabnya, kita
sekalian menurut dia. Mudah-mudahan mau ia menurut bicara itu. Sebab itu
Pakiah Saghir itu lebih sangat bersungguh-sungguhnya menuntut keterangan
memahamkan kitab Allah, karena kesudah-sudahan keterangan kitab Allah itu
tempat kepeliharaan dirinya dan hartanya. Maka terlebih sukalah ia dibawa
kemana barangmana tempat di luar nagarinya. Ketika itu amat mudahlah kita
memunah dia”.
Maka setelah dihiaskan Allah daya itu ke dalam hati mereka itu, bersungguh-
sungguhlah mereka itu memasang bicara itu.
Pihak kepada diri saya Pakiah Saghir tidak mengetahui saya akan daya itu,
hanya semata-mata mengembalikan kepada Allah Ta'ala saja. Maka telah
sempurna daya mereka itu dan memanggil mereka itu akan saya juga.
Keluarlah saya serta Tuanku Nan Tuo dan serta beberapa orang yang
mengiringi. Ketika itu memunahlah mereka itu akan sekalian anak-anak Tuanku
Nan Tuo serta orang yang mengiringi itu, sembilan orang banyaknya dan tidak
sampai daya mereka itu kepada saya dengan tolong Tuhan Subhana Wata'ala
adanya dan tinggallah Tuanku Nan Tuo serta saya. Barangkali sebab Allah
Ta'ala meluluskan hukumnya jua, maka melepaskan Allah Ta'ala dengan
tolongnya akan hambanya yang mukmin lagi sabar lagi pilihan. Maka sampailah
Tuanku Nan Tuo pulang ke nagari Koto Tuo dan saya Pakiah Saghir juga.
Adapun sekalian yang baik daripada sebelah orang yang hitam, mengikrarkan
dirinya Islam dan menghentikan rebut-rampas dan menghentikan siar-bakar dan
menghentikan tikam bunuh, tetapi hingga mulut semata-mata. Itulah amal yang
jahat sekali-sekali. Sepuluh ganda lagi jahatnya amal sekalian orang nan hitam
ini, yaitu menyamun dan menyakar, maling dan curi, merebut dan merampas,
berjual orang, minum tuak dan minum kilang, memakan darah kerbau dan
memakan daging dengan tidak disembelih dan memakan ulat dan serangga,
memakai sekalian yang haram, menyabung dan berjudi, bergundik dan
menghisap madat dan berkhalwat dengan perempuan dengan tidak nikah dan
membinasakan mesjid dan membinasakan lebuh dan tepian dan membinasakan
larangan dan pegangan dan berputar-putar akal dan berdusta-dusta dan
menghukum antara segala manusia dengan aniaya dan meninggalkan
sembahyang dan enggan mengeluarkan zakat dan memperganda-gandakan
emas dengan tidak berniaga dan menghabis-habiskan janji antara segala
manusia dan berbuat sekalian pekerjaan yang melalaikan amal dunia dan
akhirat.
Itulah hukum yang tetap dalam kitab Tuanku Nan Tuo adanya.
WASIAT TUANKU NAN TUO
Wasiat Tuanku Nan Tuo kepada saya Pakiah Saghir sebagai lagi, bahwa
inilah suatu keterangan daripada segala ihwal diri saya.
Maka adalah tatkala hampir ajal Tuanku Nan Tuo, ialah meninggalkan petaruh
kepada saya, yaitu hendaklah engkau dirikan agama Allah dan agama Rasul
Allah dengan sebenarnya dan suruhkan di engkau akan segala manusia dengan
berbuat baik dan tegahkan di engkau akan mereka itu dengan berbuat jahat dan
hukumkan di engkau antara segala manusia dengan adil. Tuntutkan di engkau
akan balas segala anak saya yang mati masa dahulu.
Dan kini tuan-tuan orang Kompeni sudah tahu. Maka itulah besarnya
pekerjaan seperti hukum yang nyabut dalam surat keterangan ini dan diri saya
ini, nyatalah kesudah-sudahan daif manusia. Sebab itu dengan seboleh-
bolehnya permintaan saya, hendaklah tuan tolong jua saya menguatkan
pekerjaan yang dipetaruhkan Tuanku itu. Wa'ali Allah tarja'u alamurtam.-
TamaT
Keterangan.
Halaman.
1. Alamaik – alamat (nama).
2. Samiang – saja.
3. Warak – patuh pada Allah.
4. Tahkik – penetapan kebenaran dengan bukti yang sah.
5. Ilmu Alat – pengetahuan sebagai pembantu untuk mempelajari ilmu
Tauhid.
PENGANTAR
Haji Ahmad ini adalah anak Syekh Haji Abdul Manan seorang
tokoh agama terkemuka di kawasan itu.
Tatkala serdadu Belanda menyisir ke nagari Kamang mencari dan
menangkap Syekh yang dituduh telah membagi-bagikan jimat kebal
bertuah anti peluru, anaknya Haji Ahmad ditangkap lebih dahulu di
rumah istrinya di Kampung Tapi. Ia dipaksa Kepala Negeri dan
serdadu Belanda sebagai penunjuk jalan mencari ayahnya di
Kampung Tangah Kamang.
Usai perlawanan dengan kekalahan di pihak rakyat, Haji Ahmad
dipenjarakan selama 19 bulan di kota Padang. Setelah itu ia
dibuang ke Makasar dan mencari nafkah di sana sebagai tukang
reparasi jam. Beberapa tahun kemudian ia mendapat
pengampunan dan dipulangkan kembali ke Sumatera Barat.
SYAIR PERANG KAMANG
Anas Nafis
SYAIR PERANG KAMANG
Keterangan
1. Jo - dengan.
2. Terkenal - maksudnya “takana” - teringat.
3. Kemendur - Tuanku Mandor atau Kontrolir.
4. Kumisi - menggeledah.
5. Hamba - dalam nazam ini maksudnya “hamba wet” atau polisi dsb.
31. Udo - nama panggilan, di sini maksudnya “abang atau pak polisi”.
HIKAYAT NAHKODA MUDA
Syahdan maka baginda lalu berlayar ke pulau Karimata. Adapun pulau itu
antara nenggeri Pasir dengan nenggeri Banjar. Tetapi pulau itu, banyak anak
Melayu diam berdagang dalam pulau itu, karena ada tempat orang menambang
emas pada masa jaman itu. Maka baginda berbini di sana, karena dilihat baginda
senang saja orang mencari kehidupan dalam pulau itu.
Ada barang tiga musim antaranya maka datanglah angkatan panglima
Tuasah dari nenggeri Bugis hendak mengalahkan orang di dalam pulau itu.
Sebab maka hendak dialahkannya, karena kedengaran kabarnya terlalu banyak
orang yang kaya-kaya di dalam pulau itu. Itu peranglah orang di dalam pulau itu
dengan panglima Tuasah. Ada sebulan lamanya berperang itu, alah orang di
dalam pulau itu, sebab tiada terlawan, karena terlalu banyak orang membantu
panglima itu. Maka orang di dalam nenggeri itu larilah masing-masing membawa
dirinya, ada yang lari dengan perahu, ada yang lari dengan sampan, ada yang
lari jalan kaki.
Adapun Nahkoda Mangkuta lari dengan perahu, keluar malam hari, tiada
kelihatan oleh musuh ketika baginda keluar itu. Maka baginda sampailah ke
tanah Banjar suatu nenggeri Tajau namanya. Maka iapun masuk ke dalam
nenggeri itu. Ada semusim baginda duduk di dalam nenggeri itu beranak
seorang laki-laki bernama Encik Tajau.
Syahdan ada umur tiga musim anakanda itu, maka baginda pikir seketika di
dalam hati baginda itu: Baiklah hamba pindah dari nenggeri ini, karena siapa
tahu hamba mati anak hamba lagi kecil, tiada bangsa hamba nenggeri ini, pasti
anak hamba susah sepeninggal hamba. Demikian pikir Nahkoda Mangkuta.
Syahdan maka disuruh baginda baiki perahu pada segala anak perahu.
Setelah lengkap semuanya perkakas perahu maka membeli dagangan akan
dibawa berlayar ke tanah Lampung. Maka datanglah ketika yang baik, maka
berlayar dengan isi rumah baginda.
Tiada hamba kabarkan berapa lamanya baginda berlayar itu maka sampailah
ke tanah Piabung. Adapun nenggeri itu banyak Melayu diam di sana.
Tetapi ada pangeran yang memegang nenggeri itu bergelar Pangeran
Surabawa, Sultan Bantan yang memberi gelar itu. Maka Nahkoda Mangkuta
pergi menjelang Pangeran Surabawa, maka dia berkata kepada pangeran itu
daripada permulaannya datang kepada kesudahannya tatkala baginda
meninggal pulau Karimata, semuanya dikabarkan baginda kepada pangeran itu.
Terlalu belas kasihan hatinya sebab mendengar kabar Nahkoda Mangkuta itu.
Maka kata Pangeran Surabawa: “Baiklah Nahkoda Mangkuta diam sekali disini,
jangan berlayar lagi, karena Nahkoda sudah tua. Kalau hendak mencari, banyak
pula pencarian di sini lalu ke Bantan”. Maka kata Nahkoda Mangkuta: “Baiklah
Pangeran”. Setelah sudah berkata-kata, maka Nahkoda Mangkuta pulanglah ke
perahunya membongkar muatan perahu. Setelah sudah membongkar muatan
perahu, lalu digalangkan sekali. Setelah sudah menggalang perahu, lalu
membuat rumah di Kuala Piabung itu, maka baginda berniaga. Banyak orang
Lampung dan Melayu datang membeli dagangan. Jikalau hendak pergi berkata-
kata saja, dilawan baginda berkata-kata dengan mulut manis dan muka yang
jernih dengan basa yang baik. Tiadalah ia membuat jalan yang jahat dan tiada
baginda berhati dengki kepada orang di dalam nenggeri itu. Beberapa lama
baginda diam di dalam nenggeri Piabung itu, semuanya orang suka kepada
baginda itu, sebab budinya baik kepada orang banyak.
Adapun anakanda yang bernama Tajau itupun besarlah, lalu disuruhkan
mengaji. Setelah sudah tamat ia mengaji, disuruh belajar menyurat. Sudah tahu
ia menyurat maka disuruh baginda pergi belayar ke nenggeri orang daripada
suatu nenggeri datang kepada suatu nenggeri. Tiada tersebut nama nenggeri
yang dimasukinya itu. Setelah genap tujuh tahun lamanya maka iapun pulang ke
nenggeri Piabung itu.
Adapun Nahkoda Mangkuta itu sudah ia dijadikan Datuk segala anak Melayu
serta dengan Pangeran Surabawa suka padanya. Ialah penghulu segala dagang
di dalam Piabung itu dan anak yang bernama si Tajan itu tiadalah disuruhnya
berlayar jauh-jauh lagi. Katanya: “Janganlah anakanda berlayar jauh. Baiklah
berlayar dari Lampung Piabung lalu hinggan ke nenggeri Bantan membawa lada.
Meski hinggan sekali di dalam satu musim, ada juga untung sedikit-sedikit,
karena kalau ketika belum berlayar, boleh membuat ladang, kalau ada menaruh
kawan. Adapun harga lada di dalam Piabung, kalau memberi real dahulu janji
setahun, arti setahun enam bulan, boleh enam real sebara. Kalau memberi
timbang tunai, boleh dapat tujuh real didalam sebara. Itu adat di dalam Lampung
hinggan pegangan Sultan Bantan. Kalau selamat sampai di nenggeri Bantan
dijual kepada Sultan, lada itu boleh laku dua belas real di dalam sebara. Meski
berapa banyak lada datang, Sultan juga membelinya. Syahdan Sultan menjual
kepada Kompeni Holanda dua puluh real satu bahara. Itu adat di dalam nenggeri
Bantan selama-lamanya. Jikalau Kompeni membeli sendiri kepada perwatin
ataupun nahkoda-nahkoda, tiada jadi jikalau tiada suka Sultan Bantan. Pasti
digantung hukumnya, jikalau barang siapanya yang membuat perbuatan itu,
karena lada itu didalam suka Sultan maka boleh Kompeni Holanda membeli.
Itulah adat selama-lamanya, hilang Sultan berganti Sultan, di dalam nenggeri
Bantan”.
Setelah didengarnya kata ayahanda demikian itu, tiadalah ia berlayar jauh-
jauh lagi si Tajan itu, selalu dari Piabung lalu ke nenggeri Bantan saja
pelayarannya, ada hinggan semusim lamanya. Maka digelari orang si Tajan
Nahkoda Muda. Itulah gelarnya, melainkan tiada lain kerjanya berlayar pada tiap-
tiap musim membawa lada lalu ke Bantan.
Syahdan ada empat lima musim ia berlayar itu, maka bapaknya sakit terlalu
keras. Maka dipanggilnya anakanda itu, demikian katanya Nahkoda Mangkuta
kepada anakanda Nahkoda Muda: “Hai anakku dan buah hatiku dan cahaya
mataku, melainkan pegang petaruhku, ya anakku, baik-baik! Jikalau sampai
hukum Allah kepadaku, sepeninggalku mati jangan anakku membuat utang!
Jikalau tiada modal berlayar, kayu di rimba potong, jual buat modal, ikan di laut
pancing, jualkan buat modal berlayar. Jangan anakku berani berutang kepada
raja-raja atau kepada Kompeni atau pada orang banyak. Itu pesanku, ya
anakku!”
Setelah sudah berkata-kata dengan anakanda itu, tiada berapa lama antaranya
maka Nahkoda Mangkuta itu matilah di dalam nenggeri Piabung itu.
Adapun pesan bapaknya semuanya dipegangnya oleh Nahkoda Muda.
Semuanya yang dipesankan bapaknya itu ditaruhnya di dalam hatinya, tiada ia
lupa selama-lamanya. Setelah itu ada sehinggan tiga musim lamanya Nahkoda
Mangkuta mati, maka berbinilah ia. Nahkoda Muda berbini semanda dengan
orang datang dari Semangka, anaknya oleh Nahkoda Paduka. Adapun Nahkoda
Paduka itu sudah mati meninggalkan anak perempuan seorang bernama Raden
Menteri. Itulah dikawinkan orang dengan Nahkoda Muda itu di dalam nenggeri
Piabung.
Setelah sudah kawin ada sehinggan dua musim Nahkoda Muda itu berlayar
lalu ke Semangka pergi berdagang, setelah itu maka pulang kembali ke Piabung.
Syahdan Nahkoda Muda berkata pada isterinya: “Bagaimana pikiran kita?
Jikalau lagi ada terpikir di dalam hati hendak kembali ke Semangka, hambapun
suka pula kepada nenggeri itu”. Maka kata isteri: “Hambapun terlalu suka
kembali di Semangka, karena lagi ada tanam-tanaman seperti kelapa dan lain
daripada itu peninggal orang tua hamba tinggal di Semangka”.
Setelah itu pindahlah Nahkoda Muda ke Semangka dengan segala isi
rumahnya dan isteri dalam satu perahu. Setelah sampai di Semangka membuat
rumah. Setelah itu adapun tanah Semangka terlalu banyak lada. Di dalam
Semangka itu Nahkoda Muda tiada berhenti tiap-tiap musim pergi ke Bantan
membawa lada. Syahdan maka ia beristeri pula di dalam nenggeri Bantan itu.
Adapun anaknya Nahkoda Muda itu di Semangka pada zaman itu sembilan
orang, perempuan tiga, laki-laki enam. Nama anakanda yang tua sekali Encik
Pisang namanya, sudah itu Encik Tenun namanya, kemudian yang laki-laki
Wasub namanya, seorang lagi anakanda di Bantan bernama Wasal namanya.
Kemudian anakanda di Semangka juga Bantan namanya, adiknya La’udin
namanya. Seorang lagi perempuan pula Bersih namanya dan lagi Muhammad
namanya, dan Rahudin namanya, jadi semuanya anakanda itu sepuluh orang.
Anak gundiknya ada pula tiga orang, satu laki-laki Rabu namanya, dua
perempuan, satu si Rame satu si Kamis namanya. Selama Nahkoda Muda
pindah di dalam nenggeri Semangka mangkin bertambah-tambah banyak orang
Melayu pindah ke Semangka itu.
Adapun tanah Semangka itu ada orang Abung namanya ia dibalik-balik bukit,
ada sepuluh buah kampungnya. Adapun adat orang Abung itu, kalau ada anak
bujang-bujang hendak berbini semusim lagi antaranya, maka ia mupakat anak
bujang itu samanya bujang pergi berjalan, barangkali sampai sepuluh orang
berjalan itu. Senjatanya tumbak sebatang seorang, pedang sebilah seorang,
keris satu seorang dan makanannya berjalan itu beras tiga kulak seorang. Gula
yang lebih dibawa, kalau sudah habis beras, ditumbuknya gula dengan batang
kayu yang busuk, sudah hancur itulah yang dimakannya. Sebab maka ia berjalan
itu hendak memotong kepala orang. Perjalanannya lalu ke tepi laut sampai ke
Semangka. Di dalam sebulan-bulan ada juga orang mati di dalam hutan tiada
lagi kepalanya. Pada jaman itu, jikalau orang ke ladang atau pergi mengambil
kayu, boleh orang empat lima orang maka berani berjalan ke dalam hutan, sebab
takut kepada orang Abung itu. Kalaunya dapat kepala orang, maka pulanglah ia
ke nenggerinya membawa kepala orang itu. Orang di dalam dusun itu sedia
menanti dengan tempurung kepala ditaruhnya dedak di dalam tempurung itu,
tiap jalan yang ditempuh masuk ke dalam dusun itu. Barang siapa boleh kepala
orang, pulanglah ia ke dalam dusunnya itu dengan beberapa anak gadis-gadis
menyongsongnya di luar dusun serta dengan suka-suka hatinya. Banyaklah
anak gadis-gadis hendak menerima bujang itu hendak dibuatnya laki. Barang
siapa tiada membawa kepala orang, jikalau dilihatnya tempurung berisi dedak
itu, tiada ia jadi masuk ke dalam dusunnya itu, sebab malunya melihat dedak di
dalam tempurung itu, artinya disamakan orang seperti anjing saja. Itu sebabnya
maka malu pulang ke dusunnya, barangkalinya sampai mati tiada pulang kalau
tiada membawa kepala orang. Itulah adat orang Abung di balik bukit Semangka.
Gunanya kepala orang itu, jikalau ia hendak berbini ditaruhnya emas atau
perak di dalam tempurung kepala itu, dikasihkan kepada emak bapaknya gadis
itu. Kalaunya sudah nikah kawin, maka ditaruh air tuak enau di dalam tempurung
kepala orang itu, maka diminumnyalah air tuak itu berganti-ganti gadis dengan
bujang itu. Maka sempurnalah nikahnya itu dan lagi laki-laki sungguhlah nian
orang itu. Kalau tiada seperti itu, lakunya berbini seperti adat gundik saja, tiada
seperti bini yang sebenarnya. Itulah adat orang Abung pada masa jaman dahulu
dibalik bukit Semangka.
Syahdan maka pikir didalam hati Nahkoda Muda: Jikalau tiada dialahkan
dusun orang Abung itu, niscaya datang juga celaka olehnya, dan lagi apa
sudahnya orang tiada berani berjalan satu orang selama-lamanya? Maka
Nahkoda Muda mupakat dengan Ki Ria Minjan, orang Jawa, jenang Sultan
Bantan di dalam nenggeri Lampung Semangka, akan menyerang dusun orang
Abung itu. Maka kata Ki Ria Minjan: “Baiklah, Nahkoda Muda, melainkan kita
kampungkan segala anak buah hamba serta kita memberi tahu kepada segala
pangeran di nenggeri ini”.
Adapun pangeran di dalam nenggeri Semangka itu empat buah nenggeri,
pertama pangeran Wai Ratna. Adapun nama nenggerinya Benawang namanya.
Anak buah pangeran itu ada barang dua puluh buah kampung – arti kampung;
dusun -. Dan kedua pangeran Laut Dara Santa. Adapun nama nenggeri
pangeran itu Bibu Lunguh namanya. Anak buahnya pangeran itu ada delapan
belas buah dusun. Dan ketiga pangeran Djayakusuma. Adapun nama nenggeri
Pangeran itu Padang Ratu namanya. Anak buahnya itu ada sepuluh buah
dusunnnya. Dan lagi pangeran Wai Semangka. Adapun nama nenggerinya
Semawang namanya. Banyak anak buah pangeran itu ada tiga belas buah
dusunnya. Semuanya pangeran itu disuruh panggil oleh Ki Ria Minjan serta
dengan Nahkoda Muda.
Ada lima hari antaranya maka berkumpullah segala pangeran di dalam
Semangka itu akan mencari mupakat hendak mengalahkan dusun orang Abung
itu. Maka Ki Ria Minjan kepada segala pangeran itu: “Hai pangeran, adapun
sebab maka hamba dengan Nahkoda Muda ini memanggil segala pangeran,
adapun didalam pikiran hati kami yang kedua ini baik kita alahkan dusun orang
Abung, supaya senang hati segala anak buah perwatin membuat kebun lada dan
membuat ladang, jikalau tiada tempat takut ini. Sekarang hamba dengar kabar
terlalu takut orang berjalan seorang-seorang sebab orang Abung itu. Apakah
sudahnya selama-lamanya takut kepada orang Abung?” Maka berkatalah segala
pangeran-pangeran itu: “Baiklah, Ki Ria Minjan. Sukalah kami kepada bicara itu,
tetapi kami tiada menaruh senjata seperti bedil senapang yang pada kami
senjata tumbak panjang saja, terlalu susah membawanya naik bukit turun bukit”.
Maka kata Nahkoda Muda: “Jangan pangeran susah, sebab senjata-senjata
jangan dibawa tumbak panjang, tumbak pendek saja dibawa oleh anak buah
perwatin siapa yang berjalan dengan hamba”.
Adapun pangeran-pangeran itu tiada pergi, Ki Ria Minjan tiada pergi
mengalahkan dusun Abung itu, melainkan Nahkoda Muda saja penghulu orang-
orang berjalan itu. Ada sekira-kira empat ratus orang semuanya berjalan. Orang
membawa senapang ada delapan puluh; lain daripada itu masing-masing pada
senjatanya berjalan itu.
Adapun lamanya tiga malam di dalam hutan rimba belantara. Syahdan maka
sampai di dusunnya Abung itu. Setelah sudah putus bicara maka Nahkoda Muda
berjalanlah dengan orang empat ratus itu. Tiada berapa lama antaranya hampir
dusunnya Abung itu, maka kata Nahkoda Muda pada segala anak buah
perwatin: “Jangan kamu berjalan dahulu! Biar hamba berjalan dahulu serta
dengan orang membawa senapang. Jikalah ada kedengaran senapang berbunyi,
maka kamu datang dengan lekasnya”.
Syahdan Nahkoda Muda sampai di luar dusun Abung itu – Minjang nama
dusunnya – maka Nahkoda Muda menyuruh memasang senapang ke dalam
dusun Minjang itu, lalu dimasuki orang dusun itu. Serta sampai ke dalam dusun
itu, tiada lagi bertemu dengan orangnya. Semuanya sudah lari tiada tentu
tempatnya lari itu membawa dirinya. Syahdan anak buah perwatin semuanya
masuk ke dalam dusun merampas barang yang tinggal. Maka kata Nahkoda
Muda: “Ayo kita alahkan lagi dusun yang lain-lain itu?” Maka kata orang yang
tahu pada bilangan dusun didalam nenggeri Abung: “Tiada berapa jauh lagi
antaranya dari tempat kita ini, Nahkoda Muda!” Maka berjalanlah segala mereka
itu pergi mengalahkan dusun yang lain-lain itu. Semuanya dialahkan kesepuluh
buah dusunnya. Semuanya rumah disuruh Nahkoda Muda panggang. Ada dua
bulan lamanya orang mencari orang Abung itu tiada lagi orang bertemu padanya.
Dihalau seperti orang menghalau rusa di dalam hutan. Sebab maka ia tiada
melawan, orang Abung itu, sebabnya terlalu takut mendengar bunyi senapang,
karena tiada didengarnya seumur hidupnya seperti itu daripada jaman nenek
moyangnya. Sungguh begitu banyak dusun yang kalah hanya empat orang saja
orang Abung yang mati kena senapang. Orang yang empat ratus sama-sama
Nahkoda Muda itu seorangpun tiada yang mati, melainkan luka saja seorang
tapak kakinya kena ranjau. Adapun orang Abung itu tiada lagi kedengaran
kabarnya.
Maka Nahkoda Muda serta dengan orang empat ratus itu pulang ke
Semangka. Serta sampai ke Semangka, maka segala pangeran-pangeran itu
serta dengan Ki Ria Minjan datang ke kampung Nahkoda Muda menanyakan
kabar orang Abung yang dialahkan itu. Maka Nahkoda Muda berkabar kepada
segala pangeran serta Ki Ria Minjan itu daripada permulaannya datang kepada
kesudahannya. Setelah didengar oleh segala pangeran-pangeran itu kabar
Nahkoda Muda orang Abung sudah alah dan dusunnya sudah dipanggang
semuanya, senanglah hati segala orang di dalam tanah Semangka itu. Adapun
kabar orang Abung itu lari lalu ke sebelah laut dekat Palembang. Kabarnya ada
empat lima hari segala pangeran itu bersuka-suka di dalam kampung Nahkoda
Muda itu, maka pulang ke dusunnya masing-masing serta dengan suka hatinya
sebab orang Abung tiada lagi akan menggaduh anak buah perwatin lagi.
Ada setengah musim antaranya maka Nahkoda Muda berlayar ke Bantan
membawa lada. Serta sampai ke Bantan Nahkoda Muda pergi mengadap
menteri Sultan yang tua daripada menteri yang lain-lain itu, bergelar pangeran
Kusumaningrat, yang tempat Sultan percaya pada barang suatu bicara didalam
nenggeri Bantan itu. Setelah sampai maka Nahkoda Muda duduk mengadap
pangeran itu. Setelah dilihat oleh pangeran Nahkoda Muda datang, maka ia
berkata demikian katanya: “Bila Nahkoda Muda datang? Apa yang dibawa
muatan perahu? Apa kabar di dalam Lampung Semangka?” Maka berkata
Nahkoda Muda demikian katanya: “Ya, tuanku Pangeran Kusumaningrat, tiada
apa-apa yang hamba bawa, melainkan lada yang hamba bawa, ada seratus
bahara. Itulah ada di dalam tanah Lampung Semangka. Adapun kabar dalam
Semangka tiada pula, melainkan ada suatu kabar kepada tuan. Ada orang
Abung dibalik bukit Semangka, ada sepuluh buah dusun. Adapun orang itu tiada
tentu rajanya, kepada Tuanku di dalam nenggeri Bantanpun tiada, kepada Sultan
Palembangpun tiada. Melainkan tiada lain kerjanya, kalau ada kabar ketikanya
datang ke tepi laut, tiada lagi orang berani berjalan ke dalam hutan, takut kepada
Abung itu. Kalau bertemu dengan orang, kalau boleh akalnya, lalu membunuh
orang itu, pasti dibunuhnya. Demikian lakunya, ya tuanku! Mupakatlah segala
pangeran-pangeran di dalam Semangka pergi menyerang dusun. Yang pergi
hambalah bersama-sama dengan anak buah perwatin. Tiada berapa lama orang
mengalahkannya, alah dusun itu kesepuluh dusunnya”.
Serta didengarnya pangeran Kusumaningrat kata Nahkoda Muda itu, terlalu
suka hatinya.
Serta sudah berkata-kata Nahkoda Muda bermohon pulang ke perahunya. Serta
sampai ke perahu menyuruh membongkar muatan ke darat. Setelah habis
muatan terbongkar, maka datanglah jurutulis Sultan serta jurutulis Holanda
menerima lada itu. Syahdan semuanya lada terdacing, real sudah diterima, maka
membeli dagangan akan dibawa pulang ke Semangka.
Setelah sudah membeli dagangan, maka Nahkoda Muda datang lagi kepada
pangeran Kusumaningrat mengatakan hendak pulang ke Semangka. Maka kata
pangeran: “Adapun Nahkoda Muda di dalam Semangka baik juga menolong
Sultan, karena Semangka itu terlalu jauh dari nenggeri Bantan. Kalau perwatin
atawa pangeran-pangeran hendak berselisih atawa hendak berperang sekali,
Nahkoda Muda pergi sama-sama Ki Ria Minjan membaiki, barang apa sebabnya
maka selisih. Jikalau belum ada yang mati anak buah perwatin itu, tiada
mengapa, sudahkan secara di dalam nenggeri Semangka itu, tetapi jikalau
sudah bermatian, maka jemput perwatinnya, suruh hantarkan kepada hamba ke
nenggeri Bantan ini. Maka taruh di dalam surat barang apa sebabnya. Dan lagi,
kalau ketika datang suruhan hamba serta perintah tuan Sultan pergi menjalani
kebun lada pada tiap-tiap dusun didalam Semangka, Nahkoda Muda pergi sama-
sama. Adapun bicara itu bukan bicara hamba sendiri, serta titah tuan Sultan;
hamba seperti mengatakan saja kepada Nahkoda Muda ini”.
Maka kata Nahkoda Muda: “Ya tuanku pangeran Kusumaningrat, adapun
bicara ini tiada berapa susah hamba mengerjakannya dan menjalaninya. Tetapi
di dalam pikir hati hamba, pasti perwatin tiada suka pada hamba, karena hamba
ini orang dagang, maklumlah, tuanku”.
Maka kata pangeran Kusumaningrat: “Semuanya orang di dalam nenggeri
Semangka itu orang berdagang semuanya, melainkan suka tuan Sultan
makanya boleh diam di sana. Adapun yang kudrat dan iradat dalam nenggeri
Semangka tiada lain daripada tuan Sultan yang punya dari dahulu sampai
sekarang”.
Serta didengar Nahkoda Muda kata pangeran demikian itu, tiada Nahkoda
Muda menjawab lagi, serta memohon mengatakan hendak berlayar pulang ke
Semangka. Maka pangeran Kusumaningrat memberi persalin kepada Nahkoda
Muda kain dan baju seperti adat perwatin Sultan Bantan. Maka Nahkoda Muda
pulang ke perahu lalu kepada fiscal minta cap laut tanda dari Bantan hendak
pulang ke Semangka. Setelah sudah dapat surat cap laut lalu berlayar. Tiada
berapa antaranya sampailah ke Semangka.
Maka baginda membuat suatu rumah, panjang sepuluh, buka selapan depa.
Semuanya dinding rumah itu kayu jati semuanya. Sebab maka baginda
membuat rumah demikian itu, di dalam pikir kata baginda: “Jikalau hamba mati,
tiada anak hamba susah membuat rumah hinggan dua puluh musim sepeninggal
hamba mati. Demikianlah pikiran baginda itu.
Ada kira-kira dua musim lamanya membuat rumah itu maka sudah beberapa
belanja habis sebab membuat rumah itu tiada kurang dari seribu real.
Setelah sudah rumah itu, maka baginda berlayar pula ke Bantan. Ada tiga
musim lamanya baginda berulang-ulang ke Bantan itu membawa lada.
Syahdan maka baginda membeli perahu dua buah dibawa pulang ke Semangka
serta sampai ke Semangka perahu baginda yang dua itu satu perahu baginda
kasihkan kepada anakanda yang bernama Wasub serta dengan modalnya
seraya dengan alat senjatanya. Maka anakanda itu bergelar Nahkoda Buyung
disebut orang. Syahdan perahu yang satu lagi baginda kasihkan kepada
anakanda yang bernama Wara serta dengan modalnya dan alat senjatanya.
Maka anakanda itu bergelar Nahkoda Lela disebut orang. Adapun anakanda
yang dua itu telah pandai pada barang pekerjaan dunia ini seperti menyurat dan
berniaga, semuanya diajarkan baginda itu. Ada anakanda dua orang lagi laki-
laki, satu bernama Bantan, yang satu bernama Laudin, itu lagi baginda serahkan
mengaji dan menyurat.
Syahdan maka baginda berlayar ke Bantan serta dengan beberapa nahkoda-
nahkoda, dan anakanda Nahkoda Buyung dan Nahkoda Lela berlayar pula
sama-sama dengan satu seorang perahunya itu. Kepada ketika itu tiada berapa
lamanya berlayar itu sampailah ke Bantan semuanya perahu itu dengan
selamatnya membawak lada. Maka Nahkoda Muda pergilah kepada fiskal dan
kemandur menir Samberek di dalam nenggeri Bantan mengatakan semuanya
perahu dagang Melayu dalam nenggeri Lampung Semangka datang membawa
lada sama-sama dengan hamba. Setelah sudah kemandur mendengar demikian
itu, terlalu suka hatinya. Setelah sudah berkata-kata Nahkoda Muda itu dengan
kemandur, maka baginda pergi pula menjelang pangeran Kusumaningrat serta
dengan segala syahbandar Sultan didalam nenggeri Bantan itu semuanya,
mengatakan perahu anak Melayu semuanya datang dari Semangka membawa
lada. Maka segala mereka itu sukacitalah hatinya sebab mendengar lada banyak
datang dari Lampung Semangka itu. Setelah sudah berkata, maka Nahkoda
Muda pulanglah keperahunya. Setelah pergi pagi hari maka dibongkar segala
muatan, maka datanglah jurutulis Kompeni dengan jurutulis Sultan menerima
lada itu semuanya.
Setelah sudah diterima Sultan dengan Kompeni lada itu, syahdan maka
Sultan memanggil pangeran Kusumaningrat. Serta sampai suruhan itu kepada
pangeran seraya berkata, demikian katanya: “Ia tuanku pangeran, hamba dititah
Duli yang dipertuan menyuruh tuanku mengadap ke dalam istana Duli yang
dipertuan”.
Serta didengar pangeran itu kata suruhan demikian itu, maka pangeran itu
berjalan lalu masuk ke dalam istana tuan Sultan. Serta sampai pangeran itu ke
dalam istana maka duduk mengadap seraya menyembah, demikian sembahnya:
“Ia tuanku, hambamu datang mengadap duli tuanku, barang titah patik junjung di
atas batu kepala patik”.
Setelah didengar tuan Sultan sembah pangeran Kusumaningrat demikian itu,
maka tuan Sultanpun berkata, demikian katanya: “Adapun sebab maka hamba
memanggil pangeran, hamba hendak memanggil Nahkoda Muda ke dalam
istanaku ini, karena hamba hendak mengasihnya gelar, karena Nahkoda Muda
itu sudah banyak berjasa ke Bantan, kepada hamba dan kepada Kompeni”.
Setelah didengar pangeran Kusumaningrat titah tuan Sultan demikian itu, maka
pangeran berkata: “Apabila hamba datang membawa Nahkoda Muda mengadap
Duli tuanku?” Maka kata tuan Sultan: “Esok pagi-pagi bawa Nahkoda Muda itu
kepada hamba ke dalam istanaku ini”. Setelah sudah berkata maka pangeran itu
bermohon pulang kerumahnya.
Setelah pagi-pagi hari maka pangeran menyuruh satu orang hulubalangnya
menjemput Nahkoda Muda itu. Serta sampai hulubalang itu maka ia berkata
kepada Nahkoda Muda itu, demikian katanya: “Hamba datang kepada Nahkoda
Muda disuruh tuan pangeran Kusumaningrat menyuruh Nahkoda datang
kedalam istana baginda itu serta dengan hamba ini”.
Serta didengar Nahkoda Muda kata hulubalang itu, maka baginda berjalanlah
sama-sama dengan hulubalang itu mengadap pangeran Kusumaningrat. Serta
sampai Nahkoda Muda itu ke rumah pangeran itu, maka Nahkoda Muda berkata,
demikian katanya: “Hamba datang menjelang tuan pangeran dari karena datang
hulubalang tuan pangeran titahkan menjemput hamba”.
Serta didengar pangeran kata Nahkoda Muda itu, maka pangeran berkata:
“Sebab maka hamba memanggil Nahkoda Muda, karena hamba dititahkan tuan
Sultan membawa Nahkoda Muda mengadap Duli yang dipertuan Sultan sama-
sama dengan hamba pada hari ini”.
Serta sudah berkata-kata maka Nahkoda Muda berjalanlah sama-sama
dengan pangeran Kusumaningrat itu kedalam kota Sultan Bantan. Serta sampai
diluar pintu kota besi itu maka ia berhenti duduk, karena disitulah tempat orang
jaga. Adapun orang yang jaga disana sembilan orang pengawalnya dan
sembilan hulubalangnya berganti-ganti jaga pada tiap-tiap hari memegang
senjatanya. Disebelah pintu besi itu satu kapitan Holanda dengan empat puluh
orang soldadunya jaga disana.
Setelah dilihatnya pangeran Kusumaningrat itu datang sama dengan
Nahkoda Muda itu, maka kata segala pengawal yang jaga itu dan kapitan
Holanda itu: “Apa sebab maka tuan pangeran membawa Nahkoda kemari ini?”
Maka kata pangeran: “Sebab maka hamba datang sama-sama Nahkoda ini,
karena tuan Sultan menyuruh hamba membawa Nahkoda ini mengadap Duli
tuan Sultan”.
Setelah didengar segala pengawal yang jaga itu serta dengan kapitan itu kata
pangeran Kusumaningrat demikian itu, maka segala mereka itu tercengang-
cengang seraya berpikir di dalam hatinya: “Apa kehendak tuan Sultan kepada
Nahkoda Muda ini, karena beberapa banyak nahkoda-nahkoda yang besar dan
yang kaya ditanah Jawa ini datang ke Bantan ini, seorangpun belum hamba
melihat atau mendengar yang dipanggil tuan Sultan masuk kedalam kota ini”.
Demikian pikirnya segala pengawal yang jaga itu serta dengan kapitan Holanda
itu.
Syahdan maka kata pangeran Kusumaningrat kepada orang yang jaga itu:
“Pergilah engkau kepada Pekir Adam katakan hamba ada di luar pintu besi
sama-sama dengan Nahkoda Muda akan mengadap Duli yang dipertuan”.
Setelah didengar mereka itu kata pangeran demikian itu, maka ia berjalan
mendapatkan Pekir Adam itu mengatakan pangeran Kusumaningrat sama-sama
Nahkoda Muda ada di luar pintu besi akan mengadap Duli yang dipertuan. Maka
kata Pekir Adam itu: “Suruhlah baginda itu datang kepada tempatku ini”. Maka
hulubalang itu pulanglah mendapatkan pangeran Kusumaningrat serta dengan
Nahkoda Muda itu mengatakan Pekir Adam menyuruh pangeran serta Nahkoda
Muda datang kepada tempat Pekir Adam itu. Setelah didengar pangeran kata
hulubalang itu, maka baginda kedua itu datanglah pada tempat Pekir Adam.
Adapun tempat Pekir Adam itu ada empat puluh orang yang pandai bermain
dabus cara Arab dan memalu segala bunyi-bunyian dan yang pandai menari
cara Jawa. Jikalau Sultan hendak melihat orang bermain-main, datanglah pada
tempat Pekir Adam itu. Barang apa permainan yang suka hati Sultan melihat,
ada semuanya pada tempat itu.
Setelah sampai pangeran serta Nahkoda Muda kepada tempat Pekir Adam
itu maka kata Pekir Adam: “Apa sebabnya Nahkoda Muda ini datang sama-sama
tuan pangeran Kusumaningrat ini?” Setelah didengar baginda kata Pekir Adam
demikian itu, maka baginda berkata: “Tiada hamba tahu, ya Pekir Adam,
kehendak hati tuan Sultan menyuruh hamba membawa Nahkoda Muda ini
mengadap duli tuan Sultan kepada hari ini”.
Setelah didengar oleh Pekir Adam kata pangeran Kusumaningrat demikian itu,
maka Pekir Adam tercengang-cengang seraya berpikir di dalam hatinya: “Apa
kehendak hati tuan Sultan kepada Nahkoda Muda ini, tiada terpikir di dalam hati
Pekir Adam itu. Maka pangeran Kusumaningrat berkata kepada Pekir Adam itu
demikian katanya: “Pergilah Pekir Adam mengadap Duli yang dipertuan, katakan
hamba ada pada tempatmu ini sama-sama Nahkoda Muda akan mengadap Duli
yang dipertuan”.
Setelah didengar Pekir Adam kata pangeran itu, maka ia pergilah mengadap
Duli yang dipertuan. Setelah sampai Pekir Adam itu pada tempat segala dayang-
dayang biti-biti perwara sekalian itu, dan setelah dilihat oleh dayang-dayang itu,
Pekir Adam itu datang, maka berkatalah seorang perempuan tua yang menjaga
segala mereka itu, demikian katanya: “Apa kehendak Pekir Adam datang kemari
ini?” Maka kata Pekir Adam itu: “Ya Ibuku, sebab maka hamba datang kemari ini
mengatakan pangeran Kusumaningrat serta dengan Nahkoda Muda hendak
menjelang Duli yang dipertuan. Baginda itu ada menanti pada tempat hamba
akan menanti titah yang dipertuan”.
Setelah didengar oleh perempuan tua itu kata Pekir Adam demikian itu maka
perempuan tua itu pergilah mengadap Duli yang dipertuan. Serta sampai
perempuan tua itu maka ditanya oleh tuan Sultan: “Apa kehendakmu datang
kepadaku?” Maka sembah perempuan tua itu: “Tuanku, ampun ke bawah Duli
yang maha mulia di atas batu kepala patik. Sebab hambamu datang menjunjung
duli mengatakan tuan pangeran Kusumaningrat dengan Nahkoda Muda ada di
rumah Pekir Adam hendak datang menjelang Duli tuanku”. Setelah didengar
tuan Sultan kata perempuan tua itu, maka titah tuan Sultan: “Suruhlah pangeran
itu datang kepadaku”.
Maka perempuan tua menyembah lalu mendapatkan Pekir Adam itu mengatakan
titah tuah Sultan, menyuruh pangeran dengan Nahkoda Muda masuk mengadap
ke dalam istana. Setelah sampai perempuan tua itu kepada Pekir Adam, maka
berkata kepada Pekir Adam itu menyuruh pangeran Kusumaningrat dengan
Nahkoda Muda masuk mengadap ke dalam istana. Setelah didengar Pekir Adam
kata perempuan tua itu, maka ia pergilah mendapatkan pangeran Kusumaningrat
dengan Nahkoda Muda itu mengatakan Duli yang dipertuan menyuruh baginda
yang kedua itu masuk mengadap ke dalam istana Yang dipertuan. Setelah
didengar pangeran kata Pekir Adam itu maka berjalan kedua baginda itu masuk
ke dalam istana.
Setelah sampai pangeran Kusumaningrat serta dengan Nahkoda Muda itu
seraya menyembah dan menjunjung Duli yang dipertuan itu, maka pangeran
Kusumaningrat dengan Nahkoda Muda duduk mengadap. Maka titah tuan Sultan
kepada pangeran Kusumaningrat: “Kepada hari ini aku melekatkan gelar kepada
Nahkoda Muda ini Kyai Demang Purwasedana. Katakan olehmu kepada
pengawal yang sembilan dan kapitan Holanda yang jaga di luar pintu kotaku ini
serta dengan segala hamba rakyatku di dalam nenggeri Bantan ini”.
Setelah didengar Nahkoda Muda kata tuan Sultan demikian itu maka
Nahkoda Muda menyembah Duli yang mahamulia itu, seraya berkata: “Ampun
tuanku, janganlah hambamu diberi gelar yang lain; melainkan gelar hamba
seperti gelar sama jua yang hamba minta di bawah Duli halarat tuanku. Akan hal
perintah tuanku patik junjung di atas batu kepada patik”.
“Maka sabda Yang dipertuan: “Tiada boleh berubah lagi daripada kata hamba,
karena sudah tergerak di dalam hati hamba”, demikian kata Duli yang dipertuan.
Setelah sudah berkata maka bermohon hendak pulang. Maka tuan Sultan
menyuruh dayang memberi persalin pertama kopiah cabang dan baju sekelat
dan sarwal sekelat dan semambu satu, tumbak satu dan keris sebilah, payung
besar satu. Serta sudah persalin semuanya, maka pangeran Kusumaningrat
serta dengan Kyai Demang Purwasedana bermohonlah pulang kepada Duli yang
dipertuan.
Setelah sampai pada pintu besi itu maka pangeran berkata kepada pengawal
yang sembilan itu serta dengan kapitan kota itu: “Adapun Nahkoda Muda ini
sekarang titah tuan Sultan gelarnya: Kyai Demang Purwasedana. Katakan
kepada segala orang di dalam nenggeri Bantan ini”. Maka kata segala mereka
itu: “Baiklah tuan Pangeran boleh kami mengabarkan kepada rakyat tuanku di
dalam nenggeri Bantan ini. Setelah sudah berkata-kata maka pangeran berjalan
pulang kerumahnya.
Ada tiga musim antaranya maka datang surat dari Kerui dikirimkan petor Mr.
Norris kepada Kyai Demang serta dua soldadu membawa surat itu. Adapun
bunyi surat itu mengatakan minta hantarkan soldadu serta dengan surat itu ke
Betawi kepada Mr. Garden, orang Inggris, karena tuan itu mata-mata segala
tuan-tuan di dalam Bandar Bangkahulu pada zaman itu. Maka disuruh Kyai
Demang Purwasedana hantarkan soldadu itu serta dengan surat itu ke Betawi.
Didalam bulan itu jua kedengaran kabar Bangkahulu perang dengan Perancis
itu, lalu di Kerui banyaklah orang Kerui pindah ke Semangka mengadap Kyai
Demang Purwasedana. Maka kata Kyai Demang itu: “Diamlah segala saudara
hamba sama-sama dengan hamba di dalam Semangka ini; jangan takut kepada
Perancis, tiada mengapa, karena Semangka ini pegangan Kompeni Holanda.
Jikalau sudah senang nenggeri Bangkahulu, kalau hendak pulang ke Kerui,
pulang pula, tiada mengapa”.
Syahdan ada lima bulan lamanya Perancis sudah berlayar dari Bangkahulu,
kabar orang, maka datang perahu dari Bantan suruh Sultan dengan Kemandur
mengambil lada. Maka perahu itu singgah di Semangka, minta orang yang sudah
biasa di Kerui kepada Kyai Demang Purwasedana; urdi Sultan dengan
kemandur. Setelah sudah dapat orang, perahu itu berlayarlah ke Kerui serta
dengan orang di dalam Semangka itu. Setelah dapatlah lada Kerui, oleh perahu
itu dibawa ke Bantan. Tiada berapa lama antaranya maka datang pula kompeni
Inggris ke Bangkahulu, kabar orang. Tiada lagi Sultan menyuruh perahu lagi ke
Kerui.
Ada semusim antaranya ada nahkoda dua di dalam Semangka itu, yang
seorang bergelar Nahkoda Setia, yang seorang gelar Nahkoda Dugam. Maka
nahkoda dua itu berlayar ke Bantan membawa lada. Serta sampai ia ke Bantan,
sudah ia membongkar muatannya, maka nahkoda itu membeli dagangan yang
patut dibawa ke Bangkahulu. Setelah sudah ia membeli dagangan, maka
berlayarlah ia pulang ke Semangka, Nahkoda Setia dengan Nahkoda Dugam itu,
membaiki perahunya. Serta sudah ia membuati perahunya, maka segala
dagangannya dimuatkannya kedalam perahunya.
Maka kata Kyai Demang Purwasedana: “Hendak ke mana Nahkoda Setia
dengan Nahkoda Dugam ini?” Maka kata Nahkoda dua itu: “Hamba hendak pergi
ke Bangkahulu”.
Serta didengar Kyai Demang Purwasedana kata Nahkoda itu maka katanya:
“Tiada jadi kamu ke Bangkahulu, karena larangan kompeni Holanda. Setiap
pergi ke Bangkahulu tiada boleh pasti dapat cilaka”.
Maka kata nahkoda itu: “Jangan tuan takut, tiada dapat cilaka, sebab kami ini
ada akal kami dua ini”. Maka kata Kyai Demang: “Meski ada akal kamu, tiada jua
jadi kamu pergi ke Bangkahulu”. Maka nahkoda itu diamlah. Setelah hari malam
ia berlayar jua nahkoda itu, tiada tertahan.
Ada semusim antaranya maka datang satu pencalang dari Bantan, gelar
nahkodanya Nahkoda Jamil. Serta ia sampai ke Semangka maka ia berkata
kepada Kyai Demang Purwasedana: “Minta orang tiga puluh sama-sama dengan
hamba. Hamba disuruh kemandur pergi ke Kerui melihati nenggeri itu”. Kata
Nahkoda Jamil itu.
Maka kata Kyai Demang: “Apa juga kerja pergi ke Kerui, karena kompeni Inggris
sudah ada di Bangkahulu, kabar orang”.
Maka kata Nahkoda Jamil: “Tiada mengapa, karena urdi kemandur jangan tiada
hamba lalu ke Kerui itu”. Maka berjalanlah orang tiga puluh sama-sama Nahkoda
Jamil itu.
Ada sebulan lamanya berjalan maka pulanglah ia ke Semangka, karena
didengarnya suruhan kemandur datang dari Bangkahulu lalu ke Kerui. Tiada
Nahkoda Jamil itu hendak bertemu dengan orang datang dari Bangkahulu.
Setelah sampai Nahkoda Jamil itu di Semangka, maka ia bertemu dengan
Nahkoda Setia dengan Nahkoda Dugam datang dari Bangkahulu.
Maka Nahkoda Jamil itu pulang ke Bantan tiada lagi ia bertemu dengan
kemandur menir Samberek; sudah pindah ke Semarang menjadi hidalir (Edele
Heer) di Semarang. Adapun kemandur di dalam nenggeri Bantan itu bergelar
kemandur menir Pur. Maka Nahkoda Jamil itu berkata kepada kemandur itu: “Ia
tuanku kemandur, hamba ini datang dari Kerui, disuruh tuan kemandur menir
Samberek melihat nenggeri itu. Hamba sampai di Kerui maka datanglah suruhan
kemandur dari Bangkahulu menjaga nenggeri itu”.
Serta didengar kemandur kata Nahkoda Jamil itu maka katanya: “Apa boleh
buat, kalau sudah datang orang yang punya nenggeri, di mana boleh suka hati
kita lagi didalam nenggeri orang”.
Setelah sudah ia berkata-kata itu maka Nahkoda Jamil itu pergi ke rumah
alperes si Talib. Adapun alperes si Talib itu peranakan Mangkasar jadi alperes di
dalam nenggeri Bantan itu. Maka ia bertanya kepada Nahkoda Jamil: “Apa kabar
orang di dalam Semangka?” Maka kata Nahkoda Jamil itu: “Tiada apa-apa kabar
melainkan ada Nahkoda Dugam dengan Nahkoda Setia baru datang dari
Bangkahulu itulah yang hamba lihat”. Maka kata alperes itu: “Tiada Nahkoda
kabarkan kepada kemandur kabar itu?” Maka kata Nahkoda Jamil: “Belum
hamba kabar-kabarkan kepada orang lain daripada alperes ini”.
Setelah pagi-pagi hari maka pergilah alperes itu sama-sama Nahkoda Jamil
kepada kemandur menir Pur mengatakan: “Ada satu nenggeri Semangka
namanya, nenggeri itu didalam pegangan tuan. Tiada lain kerjanya pada tiap-tiap
musim melepas perahu lalu ke Bangkahulu. Lagi kata Nahkoda Jamil ini: “Di
Semangka ada dua buah perahu baru pulang dari Bangkahulu dilepas oleh
penghulu di Semangka itu gelarnya Kyai Demang Purwasedana; tuan Sultan
dengan tuan kemandur menir Samberek memberi gelar itu. Sebab maka ia
dikasih gelar begitu ia menjaga nenggeri itu dan menjaga kalau ada perahu lalu
di Bangkahulu. Sekarang Kyai Demang itu sudah kaya. Kalau di dalam nenggeri
Semangka, tiada orang seperti Kyai Demang itu katanya”.
Maka kata kemandur: “Adakah ia datang ke Bantan ini? Kalau ia datang, boleh
hamba kasih denda kepadanya”. Maka kata Nahkoda Jamil: “Hamba tinggal
sudah membuat perahu hendak datang membawa lada ke Bantan ini”.
Setelah sudah berkata maka pulang alperes itu sama-sama Nahkoda Jamil.
Sebab maka alperes itu benci, karena dilihatnya segala orang dari Semangka
datang ke Bantan tiap musim membawa lada tiada orang peduli dan tiada orang
malu kepadanya selama jaman kemandur menir Samberek. Selama kemandur
menir Pur itu, alperes si Talib itu yang tempatnya percaya. Barang apa
kehendaknya kemandur itu dibilangnya kepada alperes itu. Terlalu kasih sayang
kemandur itu kepadanya.
Ada selapan belas bulan lamanya Holanda itu di dalam Semangka itu maka
datang satu kapal Inggris dari Bangkahulu. Adapun gelar kapitan itu kapitan
Forrest. Kapal itu dua tiangnya. Serta dilihat oleh surian Holanda itu kapal itu
datang, maka ia memanggil Kyai Demang mengatakan: “Ada kapal Inggris
datang, hamba lihat benderanya di dalam teropong”, kata koperal itu.
Maka kata Kyai Demang Purwasedana: “Apa urdi kemandur kepada surian kalau
ada kapal datang ke dalam Semangka ini, baik kapal Holanda baik kapal
Inggris?”
Maka kata koperal itu: “Ada urdi kemandur pada hamba memasang bendera
saja; itulah urdi yang hamba ketahui, lain dari pada itu tiada hamba tahu”, kata
koperal itu.
Maka kata Kyai Demang: “Hamba ada dapat urdi dari pada kemandur menir
Samberek dahulu, kalau ada kapal datang, baik kapal dari mana-mana
datangnya, hamba suruh orang dengan sampan menunjukkan labuhan yang
baik, dan lagi, jikalau kapal itu memasang meriam di laut hamba membalas dari
tepi”.
Serta didengar koperal serta dengan surian itu kata Kyai Demang demikian itu,
maka ia berkata: “Hamba pikir tiada salah kata Kyai Demang itu. Baik hamba
dengan Nahkoda Buyung pergi dengan sampan melihati kapal itu”. Maka
pergilah koperal Raus dan Nahkoda Buyung dengan empat orang mengayuhkan
sampan lalu menurut kapal itu.
Serta sampai ke kapal itu maka kapitan bertanya kepada Raus: “Di mana tempat
labuhan yang baik?” Maka kata koperal itu: “Hamba tiada tahu. Inilah Nahkoda
Buyung yang tahu pada labuhan disini!”.
Maka kapitan itu bertanya kepada Nahkoda Buyung, maka Nahkoda Buyung
menunjukkan labuhan kepada kapitan itu. Serta sampai pada labuhan yang baik,
maka kapal itu menjatuhkna sauhnya.
Setelah sudah kapal itu berlabuh, maka kapita itu turun kedarat serta koperal
Holanda itu dengan Nahkoda Buyung sama-sama. Serta sampai ke darat maka
kapitan itu lalu ke dalam kampung koperal Holanda itu, serta Kyai Demang
dikabar kapitan itu ada di kampung koperal Raus. Maka baginda pergi
mendapatkan kapitan itu. Seraya baginda bertemu pada kapitan itu, maka
baginda memberi tabik pada kapitan itu serta kapitan membalas pula. Maka
kapitan itu bertanya pada koperal itu: “Siapa orang ini?” Maka kata koperal Raus:
“Inilah Kyai Demang Purwasedana, penghulu di dalam nenggeri ini, disuruh
kemandur dengan Sultan Bantan menjaga barang apa bicara di dalam
Semangka ini”.
Serta sudah berkata maka kapitan Forrest itu pulang ke kapal. Pagi hari ada
pukul selapan kapitan itu turun kedarat pergi ke rumah koperal Raus seraya
berkata kapitan itu: “Minta carikan ayam dengan itik dengan kambing”. Barang
apa kurang kapitan itu dikatakannya pada koperal dengan surian Holanda itu.
Maka kata Holanda itu: “Jangan kapitan kecil hati pada hamba, karena hamba
ini lagi baru, belum lama hamba di sini. Barang apa yang kurang hamba minta
kepada Kyai Demang saja, karena urdi semuanya Kyai Demang yang
memegang di dalam nenggeri ini. Adapun hamba menjaga tiang bendera, urdi
kemandur Pur pada hamba”.
Serta didengar kapitan itu kata Holanda demikian, maka kapitan itu menyuruh
memanggil Kyai Demang. Serta sampai suruhan kapitan itu ke rumah Kyai
Demang, seraya berkata: “Hamba disuruh kapitan dengan surian memanggil
tuan”, kata suruhan itu. Serta didengar baginda maka baginda pergilah ke rumah
surian Holanda itu; serta sampai maka baginda memberi hormat kepada kapitan
itu. Kapitan itu memberi hormat pula pada Kyai Demang seraya koperal Raus itu
berkata: “Sebab maka hamba dengan kapitan ini memanggil Kyai Demang
karena kapitan ini minta tolong pada hamba, minta carikan ayam dengan itik dan
barang apa kurangnya”.
Maka kata Kyai Demang: “Apalah kata koperal dengan surian tentangan bicara
itu?” Maka kata surian itu: “Tiada bicara hamba; kalau boleh Kyai Demang
menolong kapitan ini, tolonglah barang apa yang dapat”. Maka berkata kapitan
itu: “Kyai Demang, pada hamba! Minta carikan hamba ayam atau itik atau
kambing akan bekal hamba berlayar”.
Serta didengar Kyai Demang kata surian itu dengan koperal serta kapitan itu,
maka kata Kyai Demang: “Baiklah, kapitan! Hamba tolong, tetapi hamba minta
janji hari pagi. Kalau boleh hamba tolong, jangan kapitan suka. Kalau tiada boleh
hamba tolong, jangan pula kapitan gusar pada hamba”.
Serta sudah berkata maka kapitan itu pulang ke kapal. Maka kata Kyai Demang
kepada Surian itu: “Bagaimana pikir surian tentangan kehendak kapitan itu, atau
hamba tolong atau tidak?” Maka kata surian itu: “Tiada mengapa Kyai Demang
menolong kapitan itu, kalau boleh”.
Serta sudah berkata-kata maka Kyai Demang pulang kerumahnya seraya
menyuruh orang mencari ayam dengan itik. Serta pagi-pagi hari kapitan itu turun
kedarat lalu kerumah Kyai Demang. Barang apa kurang kapitan itu Kyai Demang
menolong mencarikannya. Ada sepuluh hari kapal itu didalam Semangka itu
maka kapitan itu berlayarlah tiada tentu pelayarannya itu.
Ada antara empat hari kapal itu berlayar, maka datang pula alperes si Talib
dari Bantan hendak lalu ke Bangkahulu. Tetapi tiada boleh sampai lagi, karena
angin sudah salah. Maka ia pergi kepada Kyai Demang seraya berkata, demikian
katanya: “Hamba ini, Kyai Demang, disuruh kemandur menir Pur pergi ke
Bangkahulu membawa beras. Adapun urdi kemandur pada hamba, kalau tiada
boleh sampai, muatan hamba tinggalkan. Kalau tiada boleh sampai di Kerui, di
Semangka ini hamba sampai, kepada Kyai Demang hamba kasihkan. Begitu urdi
kemandur pada hamba. Tiada jadi beras ini hamba bawa pulang ke Bantan
supaya Kyai Demang tahu”.
Setelah didengar baginda kata alperes si Talib demikian itu, maka baginda
menyuruh memanggil segala nahkoda di dalam Semangka itu. Setelah
berkampung semuanya, maka baginda berkata kepada segala mereka itu, ada
demikian kata baginda: “Hamba memanggil segala nahkoda-nahkoda ini, karena
alperes ini disuruh kemandur lalu ke Bangkahulu membawa beras. Adapun urdi
kemandur kepada alperes itu, kalau tiada sampai ke Bangkahulu, kalau dapat
Kerui. Tentangan muatannya dikasihkan pada petor di Kerui. Kalau tiada sampai
di Kerui, singgah di Semangka. Akan hal muatannya, dikasihkannya pada
hamba. Melainkan apalah pikir segala sanak saudara hamba akan hal bicara ini”.
Tiada boleh segala nahkoda itu menjawab kata Kyai Demang itu, karena
muatannya itu beras ada sepuluh koyan. Beras itu beras Jawa, sudah dimakan
bubuk. Maka berkatalah alperes itu: “Apalah jawab segala nahkoda ini tentangan
kata Kyai Demang itu?”
Maka berkatalah nahkoda Sempurna gelarnya, demikian katanya: “Akan hal
bicara itu, di dalam pikir hati hamba baik kita suruh coba jualkan dahulu beras itu
di dalam tiap kuala di dalam Semangka ini. Kalau boleh laku keras itu, berapa
harganya?”
Maka kata alperes si Talib: “Tentangan harga beras itu, dua belas serealnya, urdi
kemandur pada hamba”.
“Syahdan jikalau tiada laku, melainkan apalah kata Kyai Demang serta dengan
alperes?”
Serta didengar Kyai Demang kata Nahkoda Sempurna itu maka disuruh baginda
anakanda yang bergelar Nahkoda Lela itu menjualkan beras itu dengan satu
perahu muatan dua koyan. Ada dua bulan lamanya Nahkoda Lela itu menjualkan
beras itu habislah semuanya laku dibeli orang.
Ada tiga bulan lamanya alperes si Talib itu di dalam tanah Lampung
Semangka itu. Kepada ketika itu alperes si Talib mupakat dengan surian Raus
orang Holanda jaga di dalam Semangka itu membuatkan cilaka Kyai Demang.
Demikian kata alperes itu kepada surian itu: “Hamba suka diam di Semangka
ini”. Maka kata surian itu: “Apa kerja alperes di sini, karena ada Kyai Demang
yang memegang bicara di sini. Di mana boleh alperes lebih daripada Kyai
Demang, karena ia sudah biasa di dalam nenggeri ini?”
Maka kata alperes itu: “Kalau surian hendak mupakat dengan hamba, mari kita
cari bicara kalau surian suka”. Maka kata surian itu: “Bagaimana bicara alperes
bilangkan pada hamba, supaya hamba dengar”.
Maka kata alperes itu: “Surian kerja satu surat, kirimkan kepada kemandur di
Bantan. Di dalam surat itu bilangkan Kyai Demang jual lada kepada Inggris yang
singgah di sini dahulu dan surian bilangkan selama kapal Inggris itu di
Semangka ini, Kyai Demang tiada peduli lagi kepada surian. Bilang di dalam
surat itu, sebut nama hamba alperes si Talib tahu pada kelakuan Kyai Demang
itu. Surat itu kirimkan dikemudian dari pada hamba, jangan lama di belakang
hamba surat itu sampai ke Bantan, boleh kemandur bertanya pada hamba.
Jikalau sampai minta hamba terbuang Kyai Demang dari Semangka ini, boleh
hamba dengan surian menjaga nenggeri ini. Pasti kita dapat untung di sini”.
Serta didengar surian Raus kata alperes si Talib itu, maka surian itu berkatalah:
“Kalau begitu bilangan alperes, baiklah alperes lekas pulang ke Bantan, karena
ada perahu hampir berlayar ke Bantan membawa lada, hamba dengar. Boleh
surat itu hamba kirimkan pada nahkoda itu serta dengan perempuan hamba
hamba suruh membawa surat itu”, kata surian pada alperes si Talib.
Serta sudah putus bicara, alperes itu pulang ke Bantan. Ada sepuluh hari
antaranya maka berlayar pula Encik Laut ke Bantan membawa lada. Disanalah
surian Raus berkirim surat kepada kemandur serta dengan perempuan surian itu
sama-sama membawa surat di dalam perahu Nahkoda Encik Laut itu.
Syahdan ada tiga belas hari alperes itu sampai ke Bantan, maka surat itu
dihantarkan oleh perempuan surian Raus itu kepada kemandur menir Pur di
dalam nenggeri Bantan. Maka itu dibaca oleh kemandur, demikian bunyi surat
itu, mengatakan Kyai Demang menjual lada kepada orang Inggris datang dari
Bangkahulu dan lagi selama kapitan Forrest itu di Semangka. Kyai Demang tiada
peduli hamba lagi. Kalau tuan kemandur tiada percaya pada hamba, tanyakan
kepada alperes si Talib, karena si alperes itu ada di Semangka ketika itu.
Setelah sudah kemandur mendengar bunyi surat itu, maka kemandur
menyuruh memanggil alperes si Talib. Serta sampai alperes itu kemandur
bertanya kepadanya: “Apa kabar di Semangka itu? Adapun kabar yang hamba
dengar, ada kapal Inggris datang dari Bangkahulu, kapitannya bergelar kapitan
Forrest, singgah di Semangka. Hamba dengar Kyai Demang berjual lada pada
kapitan itu, dan selama kapitan itu di Semangka Kyai Demang tiada peduli lagi
kepada surian Raus dan barang apa kata kapitan itu, Kyai Demang menurut kata
kapitan itu saja”.
Maka kata kemandur: “Sebab apa maka tiada kamu bilang pada hamba selama
ini bicara itu?”
Maka kata alperes itu: “Sebab tiada hamba bilang kepada tuan kemandur
selama ini, hamba takut kalau tuan pikir hamba membuat pitenah kepada orang”.
Serta didengar kemandur kata alperes itu kemandur diamlah. Alperes itu pulang
kerumahnya.
Ada semalam antaranya maka kapitan itu memanggil Kyai Demang pergi
melihati tanda bagian tanah Kompeni Inggris dengan Kompeni Holanda. Adapun
tempat itu di Muara Tanda namanya. Syahdan maka pergilah Kyai Demang
sama-sama dengan kapitan itu, kapitan itu satu pencalang, Kyai Demang satu
pencalang ditempatnya. Pergi itu Nahkoda Buyung pergi sama-sama dengan
anakanda si Bantan pergi pula sama-sama ayah muda itu. Adapun yang tinggal
menjaga rumah Nahkoda Lela dengan Laudin.
Setelah sampai kepada tempat tanda itu, maka kapitan itu menyuruh membawa
tanda itu. Tanah Kompeni Inggris ada satu tunjuk dan tanah Inggris diambil
kapitan itu. Ada tiga malam lamanya kapitan itu serta Kyai Demang di sana maka
pulanglah ke Semangka. Adapun kapitan naik ke dalam pencalang Kyai
Demang.
Setelah dekat pada Kici itu maka kapitan itu berkata kepada Kyai Demang,
demikian katanya: “Mari kita singgah dahulu pada Kici hamba ini, kita bermain-
main barang sejam dua jam”.
Setelah didengar Kyai Demang kata kapitan itu maka kata Kyai Demang: “Baik
kapitan, hamba suka melihat bagaimana rupa di dalam Kici itu”. Setelah itu
sampailah Kyai Demang ke atas Kici itu.
Syahdan surian Raus datang menjemput Nahkoda Lela serta Laudin,
demikian katanya surian Raus itu: “Ya Nahkoda Lela, mari kita pergi ke Kici
menjemput Kyai Demang serta dengan kapitan. Bawa adik kamu sama-sama”.
Maka Nahkoda Lela serta dengan Laudin lalulah ke Kici sama-sama surian Raus
itu serta tiga orang mengayuhkan sampan itu.
Setelah sampai Nahkoda Lela ke atas Kici itu maka berkatalah surian serta
dengan kapitan itu kepada Nahkoda Lela menyuruh membuka keris. Maka kata
Nahkoda Lela: “Tiada mengapa, kapitan, hamba memakai keris. Meski di dalam
kota Bantan hamba tiada dilarang memakai keris”.
Serta didengar Kyai Demang suara Nahkoda Lela bertengkar dengan kapitan itu,
maka Kyai Demang berkata: “Kasihkan keris, tiada mengapa turut bicara kapitan
itu”.
Setelah didengar Nahkoda Lela kata ayahanda itu, dibukanya kerisnya
dikasihkan pada kawan dan keris Laudin demikian juga dikasihkannya kepada
kawan. Maka masuklah Nahkoda Lela dengan Laudin ke dalam Kici itu duduk
dekat ayahanda serta dengan kakanda Nahkoda Buyung dan adinda si Bantan
dan Laudin dan Nahkoda Lela berempat saudara itu duduk pada satu tempat
serta dengan ayahanda yang bergelar Kyai Demang Purwasedana itu duduk
sama-sama.
Syahdan maka kapitan itu berkata kepada Kyai Demang demikian katanya:
“Adapun Kyai Demang lima beranak ini tiada boleh keluar lagi daripada Kici ini,
karena urdi kemandur menir Pur menyuruh hamba menjemput Kyai Demang. Itu
kerja hamba datang ke Semangka ini”.
Setelah didengar Kyai Demang kata kapitan itu maka baginda berkata: “Baiklah,
kapitan, jangan seperti kapitan datang menjemput hamba; miski sepotong surat
saja datang kepada hamba tiada boleh hamba tahan, hamba ini di dalam
perintah kapitan selama-lamanya”.
Setelah sudah berkata-kata, maka kapitan itu turun kedarat lalu ke rumah
Kyai Demang. Setelah sampai di rumah Kyai Demang, maka kapitan itu
menyuruh soldadu mengelilingi rumah itu dengan baris. Maka kapitan itu serta
dengan surian Raus naik ke rumah. Maka segala isi rumah Kyai Demang itu
semuanya diambilnya oleh kapitan itu. Syahdan ada empat orang membawa
harta Kyai Demang itu lalu ke Kici. Adapun rumah Kyai Demang ditunggunya
oleh kapitan itu siang dan malam kapitan itu di rumah Kyai Demang. Pada
sehari-sehari memotong kerbau saja, kerjanya makan minum bersuka-sukaan
pada tiap hari di dalam kampung Kyai Demang itu.
Adapun Kyai Demang lima beranak itu dijaga soldadu dengan satu koperal
Holanda, tetapi makan minum Kyai Demang lima beranak itu datang dari rumah
saudara Kyai Demang bernama Nahkoda Derman dengan Nahkoda Sempurna;
dari sanalah datang makan minumnya Kyai Demang itu. Pada tiap-tiap hari
Nahkoda Sempurna dengan Nahkoda Derman datang menghantar makanan
Kyai Demang itu, tetapi barang apa dibawa ke Kici itu dikasih lihat pada soldadu
yang jaga itu; sudah dilihat soldadu itu, maka dikasihkan pada Kyai Demang.
Demikian pada tiap hari.
Ada pada satu hari Nahkoda Sempurna datang kepada kapitan itu membawa
sarang burung layang-layang namanya seraya Nahkoda Sempurna berkata
kepada kapitan itu, demikian katanya: “Hamba ini datang kepada kapitan
bertanyakan bagaimana Kyai Demang lima beranak itu? Di dalam pikir kapitan,
lagi boleh pulang ke Semangka ini atau tidak?”
Maka kata kapitan itu: “Apa sebab maka Nahkoda berkata begitu?”
Maka kata Nahkoda Sempurna: “Sebab tuanku hamba bertanya kepada kapitan
begitu, karena hamba ini bukan orang Semangka ini. Adapun hamba orang
Betawi, kampung Kampung Melayu, sebab maka hamba datang ke mari, sebab
menurut Kyai Demang, karena budi basanya baik pada hamba. Kalau tiada lagi
akan pulang Kyai Demang ke Semangka ini, hamba hendak pulang ke Betawi”.
Setelah didengar kapitan itu kata Nahkoda Sempurna demikian itu, maka kata
kapitan itu: “Hamba tiada tahu, siapa tahu boleh pulang Kyai Demang ke
Semangka ini, siapa tahu tiada, karena hamba dengar kabarnya Kyai Demang
terlalu besar salahnya pada Kompeni. Hamba dengar Kyai Demang berjual lada
pada Kompeni Inggris”.
Setelah didengar Nahkoda Sempurna kata kapitan itu maka Nahkoda
Sempurna diamlah. Setelah sudah berkata-kata maka Nahkoda Sempurna
pulanglah. Maka Nahkoda Sempurna lalu menghantarkan makanan Kyai
Demang lalu ke Kici serta Nahkoda Sempurna berkabar pada Kyai Demang
sebab perkataan kapitan itu. Setelah didengar Kyai Demang kata Nahkoda
Sempurna itu Kyai Demang berkatalah: “Jangan Nahkoda Sempurna susah pada
bicara itu. Tiada salah hamba pada Kompeni atau pada Sultan. Tiada salah
hamba melainkan hamba menyerah saja pada Allah subhanahu wa taa’la; meski
hamba rusak, jikalau tiada dengan salah hamba. Melainkan hamba serahkan
pada Allah”. Setelah sudah berkata-kata maka Nahkoda Sempurna pulang ke
darat.
Syahdan maka Nahkoda Lela memasang lilin, maka datang orang menjemput
dengan sampan. Maka Nahkoda Buyung hendak turun ke darat. Maka kata
ayahanda: “Jangan anakanda turun ke darat, biar hamba turun serta dengan
anakanda Nahkoda Lela. Tinggalah anakku tiga bersaudara menjaga kici ini,
karena harta kita semuanya di dalam kici ini, dan jangan anakku percaya pada
orang tujuh ini. Syahdan, jikalau belum habis kami, sekalian yang di darat mati,
jangan anakku turun ke darat, karena harta kita semuanya di dalam Kici ini”.
Syahdan maka turun Kyai Demang serta dengan anakanda Nahkoda Lela.
Serta sampai ke darat maka baginda lalu ke rumah Nahkoda Sempurna. Serta
Nahkoda Derman. Ada selapan orang sertanya. Maka Kyai Demang memanggil:
“Marilah, Nahkoda Sempurna, bunuh Holanda yang di rumah hamba itu!” Serta
didengar Nahkoda Sempurna serta Nahkoda Derman suara Kyai Demang serta
suara Nahkoda Lela, maka ia turun berjalan sama-sama masuk ke dalam
kampung Kyai Demang. Maka naiklah Nahkoda Sempurna serta Nahkoda
Derman dan Sarafuddin ke atas rumah Kyai Demang membunuh Holanda yang
di atas rumah itu, tiga orang; satu kapitan, satu surian, satu soldadu. Serta
sampai maka dibunuhnyalah Holanda yang tiga itu. Serta didengar oleh soldadu
yang jaga di bawah itu bunyi orang begaduh di atas rumah, maka ia turun
semuanya ke tanah daripada tempatnya serta dengan senapangnya. Maka
dibarisnyalah ke atas rumah Kyai Demang. Barisnya lepas maka orang banyak
serta dengan Kyai Demang dan Nahkoda Lela pergilah membunuh Holanda itu.
Mati seorang dan luka dua orang-orang yang serta dengan Kyai Demang itu.
Adapun soldadu Holanda itu matilah semuanya dan segala Melayu di dalam
Semangka ini disuruh Kyai Demang mengalahkan gedung. Syahdan dimasuki
orang gedung itu, tetapi tiada lagi orangnya, sudah lari. Lima orang Holanda
yang lepas, lalu dari pada mati semuanya, berkat tolong Allah subhanawataa’la.
Maka hari sianglah. Segala harta Kyai Demang di dalam kici itu disuruh
baginda bawa ke darat. Maka segala senjata disuruh Kyai Demang muatkan ke
dalam perahu kecil satu serta dengan barang-barang anak Melayu, tetapi tiada
berapa muatnya perahu kecil itu. Semuanya harta anak Melayu dan harta Kyai
Demang tinggal saja dan perahu segala dagang Melayu ada lima puluh buah
tinggal dikalangannya.
Syahdan Kyai Demang berkata kepada segala anak Melayu: “Didalam pikir
hamba baiklah sanak saudara tinggal di Semangka ini jua, jangan menurut
hamba, karena hamba anak beranak ini belum ada tentu akan tempat
berlindung. Siapa tahu boleh diam di tanah Kompeni Inggris, siapa tahu tidak.
Jangan segala sanak saudara hamba sengsara menurut hamba”.
Maka kata segala anak Melayu: “Tiada terlepas oleh kami tuan berjalan anak
beranak, karena tiada salah tuan kepada Kompeni atau pada Sultan melainkan
tuan teraniaya, di dalam pikir kami sekalian ini. Sedang tuan sudah banyak
kebaikan kepada Kompeni dan pada Sultan, lagi demikian tuan diperbuatnya
oleh Kompeni”.
Setelah sudah putus bicara, maka Kyai Demang membuat satu surat kepada
kemandur menir Pur, satu surat kepada Sultan, demikian bunyinya:
“Ini surat daripada Kyai Demang Purwasedana di dalam tanah Lampung
Semangka sampai kepada tuan kemandur dan tuan Sultan. Akan hal Kyai
Demang serta dengan anak Melayu di dalam Semangka, semuanya berjalan
meninggalkan tanah Semangka, daripada tiada tertanggung oleh kami sekalian
perbuatan Holanda. Siapa tahu urdi tuan atau bukan, hamba diperbuatnya
seperti anjing saja, dan segala harta hamba dirampasnya dan hamba
dikurungnya dan rumah hamba ditunggunya. Adapun di dalam pikir hamba tiada
hamba berutang kepada tuan Sultan atau kepada Kompeni, meski satu kepeng
tembaga tiada hamba berutang! Adapun di dalam Semangka ini menumpang di
tanah tuan Sultan dan Kompeni, mencari kehidupan hamba daripada sekepeng
dua kepeng tiada hamba membuat yang salah selama-lamanya. Melainkan
hamba minta ampun, tiada lagi hamba menyembah tuan lagi dan tiada hamba
mengadap Kompeni Holanda lagi. Adapun hamba dikasih kemandur menir
Samberek satu senapang matanya dua, dua pistol matanya dua; semuanya
hamba kasihkan kepada tangan Agus Jamali serta dengan kici dan segala
perahu Melayu tinggal semuanya. Melainkan hamba berjalan; sahinggan harta
yang terbawa jalan kaki, itulah yang hamba bawa berjalan. Adapun perjalanan
hamba tiada tentu akan diturut, melainkan berjalan dengan tawakal Allah.
Melainkan Allah subhanahu wata’ala yang tahu pada peruntungan hambanya”.
Surat sudah maka dikasihkan Kyai Demang pada tangan Agus Jamali, mata
Sultan. Ada tiga hari tiga malam Kyai Demang sudah mengamuk maka Kyai
Demang berjalanlah ke Kerui dengan segala anak Melayu laki-laki dan
perempuan, besar dan kecil. Ada orang empat ratus semuanya sama-sama
dengan Kyai Demang berjalan itu. Ada tiga hari lamanya berjalan sampai ke
Bengkunat, maka Kyai Demang membuat surat dikirimkan pada Doctor. Mr.
Blankin. Itu petor yang menjaga tanah Kerui pada ketika itu. Adapun bunyi surat
ini demikian katanya:
“Kyai Demang dari Semangka kirim tabik kepada petor Kerui. Adapun hamba ini
minta tolong sebolehnya. Hamba hendak lalu di Kerui. Sebab maka hamba minta
tolong, karena hamba sudah berselisih dengan Kompeni Holanda. Jikalau boleh
hamba hendak diam di bawah bendera Kompeni Inggris, Jikalau tiada boleh
hamba diam di bawah bendera Kompeni Inggris, melainkan hamba minta lalu
saja barang di mana boleh nenggeri tempat hamba diam”.
Surat itu berjalan dahulu, ada semalam maka Kyai Demang berjalan pula di
belakang surat itu. Ada tiga malam surat itu berjalan maka datanglah balas surat
itu daripada petor Kerui mengatakan: “Datanglah Kyai Demang ke Kerui, tiada
mengapa. Jikalau sampai Kyai Demang di Kerui, boleh kita mencari bicara
kepada konsil (council) dan kemandur Bangkahulu.
Serta sampai surat itu pada Kyai Demang, adalah seperti tanam-tanaman di
datangi hujan suka hati Kyai Demang mendengar bunyi surat itu. Maka Kyai
Demang berjalanlah. Ada tujuh malam maka sampai di Kerui dari Bengkunat itu.
Serta sampai di Kerui maka Kyai Demang pergilah kepada Doctor Mr. Blankin
serta dengan Nahkoda Sembawa, alperes di Kerui.
Serta sampai Kyai Demang ke dalam gedung doctor itu, maka Kyai Demang
memberi hormat pada doctor itu seraya Kyai Demang berkata: “Bagaimana pikir
petor pada hamba ini? Atau boleh hamba diam di bawah bendera Kompeni
Bangkahulu atau tiada?”
Maka kata doctor itu: “Begini, Kyai Demang, bicara itu biar hamba berkirim surat
kepada konsil dan kemandur Bangkahulu”. Kyai Demang membuat pula satu
surat kepada konsil dan kemandur. Adapun kemandur Bangkahulu pada ketika
itu Mr. Carter, konsil Mr. Hay dan Mr. Nairne, Mr. Darval, Mr. Stuart, Mr. Wyatt.
Semuanya tuan-tuan ini ketika itu ada berkampung di Bangkahulu.
Maka diperbuatlah surat, demikian katanya:
“Adapun surat daripada doctor Kerui kepada konsil dan kemandur Bangkahulu
mengatakan Kyai Demang dari Semangka serta dengan anak Melayu, orang
empat ratus, ada di Kerui sekarang, minta tolong pada hamba hendak diam di
bawah bendera Kompeni Bangkahulu, karena Kyai Demang itu sudah
membunuh Holanda di Semangka, sebab tiada tertahan olehnya diperbuat
Holanda. Kyai Demang itu dikurungnya serta dengan anaknya dan segala
hartanya dirampasnya, itulah sebab Kyai Demang anak beranak datang pada
hamba. Melainkan apa kata konsil dan kemandur pada bicara itu?”
Surat Kyai Demang ada pula mengatakan minta tolong seboleh-bolehnya
kepada konsil dan kemandur hendak diam di bawah bendera Kompeni
Bangkahulu, karena hamba tiada tahan hati hamba diperbuatnya oleh Holanda.
Tiada dengan salah hamba dikurungnya, harta hamba dirampas. Itu sebab maka
hamba lawan. Itupun Allah ta’ala menolong hamba. Itu sebab hamba minta
tolong pada konsil dan kemandur.
Surat itu berjalan ke Bangkahulu ada selapan malam. Nahkoda Lela disuruh
Kyai Demang pergi ke Bangkahulu dengan perahu loyang dibawa dari
Semangka itu. Dari Bengkunat Nahkoda Lela berlayar lalu ke Bangkahulu. Surat
itu sampai ada dua malam di Bangkahulu, Nahkoda Lela sampai pula di
Bangkahulu. Maka perahu Nahkoda Lela dimasukkanya ke kuala Silebar. Maka
Nahkoda Lela berkata kepada segala anak peranakan Kandang mengatakan:
“Hamba minta hantarkan ke Bangkahulu. Hamba hendak bertemu dengan konsil
dan kemandur serta dengan daeng dan pangeran yang dua kedudukan serta
dengan datuk-datuk yang berempat, karena hamba ini hendak minta tolong
kepada segala orang besar-besar di Bangkahulu ini. Hamba disuruh ayahanda
hamba. Kalau boleh kami hendak diam di bawah bendera Kompeni Bangkahulu
ini, karena kami sudah berselisih dengan Kompeni Holanda itu. Sebab maka
hamba minta hantarkan, siapa tahu hamba diusir oleh konsil dan kemandur;
minta lihat kematian hamba dan perahu hamba ini tinggal, minta jaga oleh satu
saudara hamba. Jikalau hamba mati, apa sukalah pada perahu hamba itu”.
Setelah didengar oleh segala peranakan Kandang kata Nahkoda Lela itu,
maka berjalanlah Nahkoda dan orang Kandang ada tujuh orang mengiringkan
sama-sama lalu ke Bangkahulu. Setelah sampai Nahkoda Lela di Marlborough,
maka ia pergi kepada Raden Sinaka, surian opas kemandur Mr. Carter,
mengatakan hendak bertemu kepada kemandur: “Hamba ini datang dari
Semangka membawa bicara disuruh bapak hamba Kyai Demang Semangka”.
Maka kata Raden Sinaka: “Baiklah Nahkoda Lela, hamba pergi kepada
kemandur mengatakan bicara itu”.
Maka Nahkoda Lela berkabar kepada kemandur Mr. Carter dari pada
permulaannya datang kepada kesudahannya. Adapun permulaannya Kyai
Demang Purwasedana diam di tanah Semangka disuruh Sultan dengan
kemandur menjaga tanah Semangka itu sampai kepada Nahkoda Setia dan
Nahkoda Dugam datang ke Bangkahulu tatkala sudah perang Perancis, maka
Kyai Demang kena denda dari sebab itu, dan tatkala kapitan Forrest singgah di
Semangka; semuanya dikabarkan Nahkoda Lela kepada kemandur itu.
Setelah sudah semuanya dikabarkan Nahkoda Lela maka kemandur
menyuruh memanggil kapitan Forrest. Setelah sampai kapitan Forrest kepada
kemandur, maka kemandur bertanya kepada kapitan itu: “Ada nian kapitan
singgah di Semangka dahulu?” kata kemandur. Maka kata kapitan Forrest: “Nian
hamba singgah di Semangka?”. “Apa kerja kapitan singgah disana?” Maka kata
kapitan itu: “Sebab hamba kurang air dan kurang makanan”. “Siapa menolong
kapitan di Semangka?” Maka kata kapitan itu: “Ada penghulu Melayu bergelar
Kyai Demang, itulah yang menolong hamba mencari barang apa kurang hamba”.
Maka kata kemandur: “Ada kapitan berjual kain atau apiun di Semangka, ada
kapitan membeli lada di Semangka?” Maka kata kapitan itu: “Satu barang tiada
hamba jual di Semangka dan membeli lada tiada”. Maka kata kemandur: “Siapa
orang ini?” Setelah dilihat kapitan Nahkoda Lela maka kata kapitan Forrest:
“Hamba tahu pada orang ini, anak Kyai Demang di Semangka. Apa kerjanya
datang kemari?” Maka kata kemandur: “Orang ini datang kepada hamba minta
tolong hendak diam di bawah bendera Kompeni Inggris, sebab sudah
membunuh Holanda di Semangka”. Maka kata kapitan itu: “Baik kemandur
tolong orang ini, karena di dalam pikir hamba tiada salahnya orang ini kepada
Holanda. Kalau sebab hutang, meski seribu belum patut orang ini meninggalkan
tanah Semangka itu”. Kata kapitan Forrest kepada kemandur: “Pasti tiada
tertahan olehnya perbuatan Holanda padanya maka begitu pekerjaannya”.
Kalau tersurat pada selapan hari bulan Zul-hijjah. Pada masa itu jurutulis
KABA
SABAI NAN ALUIH
PENGANTAR
Cerita klasik ini disadur dari KABA SABAJ NAN HALUIH
sebagaimana yang dituliskan Dr. Ph. S. van Ronkel dalam TBG.
deel 56 – 1914.
Tidak seperti susunan yang termuat dalam TBG tersebut, dalam
menyalin kembali kaba atau cerita ini dirombak dan diperbaiki
penyajiannya termasuk penyesuaian ejaan agar enak dibaca.
Sebenarnya kaba atau cerita Sabai Nan Aluih ini tidaklah tertata
dalam struktur adat Minangkabau yang baku.
Dalam cerita ini diriwayatkan Rajo Nan Panjang membunuh Rajo
Babandiang, yaitu ayah si Sabai karena lamarannya ditolak.
Dalam adat Minangkabau seorang ayah tidaklah berperan atau
menentukan jodoh anak-anaknya. Sebagai seorang sumando
dalam keluarga istrinya sang bapak boleh dikatakan sebagai tukang
aminkan saja.
Seharusnya Rajo Nan Panjang berang kepada mamak si Sabai,
sebab mamaklah yang berperan dalam menentukan jodoh si Sabai
dan bukan ayahnya, yaitu Rajo Babandiang.
AN
“Baladang ka sikadunduang,
Basiang ka rusuak rumah,
Karanduihkanlah1 di baju,
Sabai ai salangilah tuduang,
Hari ka haujan timah,
Barisuak hari ka Satu”.
Denai bamimpi malam tadi – jujuangan siriah bamimpi rabah – kabau gadang
bamImpi hilang – ayam putiah bamimpi tabang – mimpi sudah denai tabangun.
Den ingo2 kiri jo kanan – saciek pun indak manyuaro 3 – antah moh jihin nan
manyuaro – antah moh setan nan manyuaro – marangeh bulu mandangakan”.
Manjawab Rajo Babandiang:
“Anak den Sabai Nan Aluih – ubuang 4 nyao rangkai hati – ubek jariah palarai
damam – si dingan tambak5 di kapalo.
Iyo molah bak pantun urang tuo,
Kaba baraliah anyo lai – sungguah baraliah sinan juo. Maimbau Rajo
Babandiang:
“Adiak ai Salam Salamaik – cakaulah kudo kakandangnyo – kudo nan tampuih 7
balang kaki – nan mangangah nan mangangam – nan maminum aia timah – nan
mangangam asok badia – adiak ai Salam Salamaik”.
Lah turun Rajo Babandiang – lah tibo tangah alaman – naiak sakali ka ateh
kudo. Bajalan Rajo babandiang – kok jauah alun ka sampai – kok ampiang
tibolah kini.
Lah tibo di paparangan – di tangah padang pahaunan 8 – di munggu nan
kacenaian9 – di pinang nan linggayuran 10 – di pimpiang nan lamah-lamah – di
sikaduduak karang tigo.
Batamu Lompong Batuah – bakato Lompong Batuah:
“Iyo molah bak pantun urang,
Palapah bakatak-katak,
Sakatak ka dalam padi,
Salangkah pantang den asak,
Antah kok nyao den pai”.
Kaba baraliah anyo lai – sungguah baraliah sinan juo. Dek untuang takadia
Allah – balari rang paja ketek – ka gombak gombang palangai 15 – ka karambia
atok tungku – ka bawah anduang nan gadang 16 – ka rusuak rumah si Sabai.
Maimbau rang paja ketek:
“Kakak ai Sabai Nan Aluih – to kakak batanun juo – bapak kakak sudahlah mati
– ditembak Rajo Nan Panjang – di tangah padang paparangan. Dilawan indak
taawai – di kawan indak taambiak”.
Kaba baraliah anyo lai – aliahnyo bakeh mandeh kanduang. Bakato Sabai
Nan Aluih:
“Biai ai Sadun Saribai – dangakan mak den katokan – dangakan mak den
tutuakan.
Io molah bak pantun urang – sorak sasuai-suai – badia sadaram-daram,
Katidiang bagajinjiangan,
Dituhuk jo paro-paro,
Ditinjau dalam sariangan,
Bak roman bapak den kano18”.
Bapak ai nyo den di bapak – dangakan mak den katokan – mak den curai den
papakan,
Den tenteang indak tatenteang – den kiak indak takiak – rang kampuang tolong
lah manolong – amak tabao31 bapak denai”.
Kaba baraliah anyo lai – sungguah baraliah di sinan juo – aliahnyo bakeh
parasaian.
Ado sahari duo hari – bajalan Sabai Nan Aluih – mancari Rajo Nan Panjang.
Bajalan bagageh-gageh – muko lah sirah bak cando sago – paluah di kaniang
mamburisik.
Kok jauah alun ka sampai – kok tibo ampianglah kini. Lah tibo garan di sanan –
di hadapan Rajo Nan Panjang. Bakato Sabai Nan Aluih:
“Tuan den Rajo Nan Panjang – dangakan mak den katokan – dangakan mak den
tutuakan. Io molah bak kato urang,
Kaba baraliah anyo lai – sungguah baraliah sana juo. Bakato si Nirawatu:
“Tuan den Rajo Nan Panjang – dangakan mak den katokan – amak den curai
den papakan. Io molah bak kato urang,
Kini baitulah dek tuan – adat iduik baleh mambaleh – kaokan bana kareh tuan –
amak den uji ameh matah – amak den tuluak 42 bungka siko – amak den cubo
masin garam – nan ma nan lamak makan di ang”.
Manjawab Rajo Nan Panjang – muko lah merah bak cando sago – tasingguang
karuntuang miang:
“Kini baitulah di adiak – kalau baitu kato adiak – io molah bak kato urang,
Malangkah Rajo Nan Panjang – bamain Sabai Nan Aluih. Langkah kida
bajaraik45 – langkah suok bajajelo. Dinaiakan langkah nan kida – tagurabai
langkah nan suok. Ditumpukan gandam 46 tajelo – babunyi cando pakiak-an –
mandulang47 asok badia – lah kanai Sabai Nan Aluih.
Bakato Sabai Nan Aluih:
“Tuan den Rajo Nan Panjang – pandai bana tuan manembak. Tibo di dado jadi
panau – panau nan ampek puluah ampek – manjadi tangah limo puluah - tuah
manjadi pandapatan. Cincin sambilan putuih ciek – nan ampek putuih ciek. Nan
ampek tingga di ateh – nan ampek tingga di bawah. Lah putuih di tangah-tangah
– putuih jo apo ka diuleh – mak den baleh pantun nantun,
Malangkah Sabai Nan Aluih – lompek sakayu kasah – lompek suruik sakayu
genggang. Dinaikkan langkah nan kida – langkah nan kida bajajelo – langkah
nan suok bajariek. Ka suok si ganjua lalai 48 – ka kida si ganjua luluah49. Ka suok
tampan manganai – ka kida tampan mambunuah.
Lah kanai Rajo Nan Panjang – lah kanai jariang kapa-kapa – lah kanai liuak-liuak
pinggang – lah kanai dapua-dapua bahu – tampan to kalerok lai – darah lah
manyambua-nyambua.
6. Diagan – dimaksud.
7. Tampuih, kudo tampuih – kuda yang bulunya merah tua.
8. Pahaunan – tempat berkumpul, pertemuan atau berunding.
9. Kacenaian, cenai – tanda.
10. Linggayuran – ramping tinggi.
41. Ria padang – real (di kota) Padang, mata uang jaman dulu.
42. Tuluak – banding.
43. Batimbang – bertukar. Batimbang tando – bertukar tanda.
44. Pasiah – fasih.
45. Bajaraik – seperti kayu yang sukar dibelah, karena serat dagingnya berpilin.
51. Manto – di sini diartikan mengapa. Dapat pula berarti “mantra atau ma-to
atau mana dia.
HIKAYAT
M A N J A U A R I
Takaba takdir Allah - takaba Datuk Bandaharo - itulah urang nan urang -
gadangnyo indak mambali - gadangnyo asa barasa - kayonyo sunduik basunduik
- pusako turun dari nyinyiaknyo - indak basimpang basapiah - mangkuto dalam
nagari - payuang gadang di tangah koto - suluah bendang dalam nagari - iyo
nagari Padang Tarok - nagari nan Limo Koto - Suaian Sungai Balantiak. Nan
tacelak tampak jauah - nan tabarombong tampak ampiang - nan dakek jolong
basuo - nan tasabuik ka kaluaran - parintahnyo sadang baturuik - titahnyo
sadang bajujuang - katonyo sadang badanga - mambunuah indak mambangun -
mancancang indak mamampeh - iolah Datuk Bandaharo - urang baduo
bapadusi.
Dek lamo bakalamoan - lah sabulan duo bulan - lah sampai pulo samusim -
sakitu lamo babaua - bamimpi puti Linduang Bulan. Mimpi mamaluak-maluak
gunuang - mimpi mampasalendang bulan - baitu mimpi padusinyo.
Dikatokan-nyolah mimpi nan tun - bakeh suaminyo Datuk Bandaharo.
Bakato Datuk Bandaharo:
"Kalau baitu mimpi adiak - tando nagari ka bahuni".
Dek lamo bakalamoan - lah dalam tian1 anyolai - tibo di ukua jangkonyo - lah
sampai sabilangannyo - lah lahia pulo anaknyo.
Sahari ado sahari bakato - lah dapek namo jo galanyo - le ketek si Manjau
samiang - lah gadang si Manjau Ari.
Di maso sahari lahia - tibo di lantai lantai putuih - tibo di rasuak rasuak kuduang -
tibo di sandi sandi balah - itulah kabasaran si Manjau.
Kato mande jo bapaknyo:
"Anak kanduang darehlah gadang - pamupuih malu di kaniang - pambangkik
batang tarandam - pamenan hati jo mato - ubek jariah palarai damam - ubuang
nyao rangkai hatiku - anak kanduang si Manjau Ari".
Bak cadiak diaja-aja - anak kanduang si Manjau Ari - cadiak alah bapikiran.
Lah tau dimurah maha - lah tau di labo rugi - tau di adat di pusako - urang paarih
bijaksano.
Dek lamo bakalamoan - si Manjau bamimpi anyolai. Bakato si Manjau Ari:
"Gadang aia mangarap sawah - anyuik batang tunggang malintang - den
mandoncek ka batu gadang - duduak badiri den di sanan - den mahadok luruih
ka kibalat - mimpi mampasalendang bulan - mimpi mampasuntiang matoari -
mampagatok lado sulah3 - mimpi mamaluak-maluak gunuang. Baitu mimpi den
bapak - kama takwia mimpi den".
"Anak kanduang si Manjau Ari - mak den cari hari kutiko - di tiap-tiap ditahuni -
dipapa-papa dibulai - dibilang-bilang di hari - basuo kutiko mimpi. Kalau bak itu
mimpi anak - ka juaro molah wak ang Manjau. Amuahkan di ang manyabuang -
mak den pilin banang bulang - mak den titiakan ang taji - amuahkan di ang juaro,
Patang pagi indak baranti - makan den sambiang balari - di ma tabuah nan
babunyi - anak amai tibo daulu - baitu adat rang dubalang. Di ma parik nan
tarantang - di ma ranjau nan batundo - anak amai lah sinan pulo".
"Mak den balikan ang balam - balam tambago tigo gayo 9 - sangka perak
tukupnyo ameh - nak tajalang dusun urang - nak tahu urang di awak - awak nak
tahu di urang - baitu adat urang kayo".
Bakato si Manjau Ari:
"Ukan murah urang babalam - urang babalam urang dalang - urang bapikek
urang binguang - tak tahu di labo rugi - tak tahu di siang malam. Ka bapasiak-
pasiak mandeh - ka badalang-dalang bapak - pitih dibari basayok".
"Kok indak amuah ang babalam - nak den balikan ang kudo - kudo nan balang
samburani10 - kaki nan rajah11 kaampeknyo - ikua nan putiah satandannyo -
kaniang nan bangkah daun bodi. Ditiliak pado palanonyo - palanonyo ameh
samato - injak-injak perak sadonyo - kakangnyo perak jo ameh - tali kakang suto
sadonyo".
Manjawab si Majau Ari:
"Bukan murah urang bakudo,
"Saelok-eloknyo kain,
Kain ka panungkuih kundua,
Saelok-eloknyo maalim,
Maalim ka panjanguak kubua".
Manjawab si Manjau Ari:
"Saburuak-buruaknyo kain,
Kain ka panungkuih labu,
Saburuak-buruaknyo maalim,
Duduaknyo di kapalo jamu".
"Kok ang nak mangaji juo - Tuanku nan ma ambo japuik - Sieh nan ma ambo
jangkau".
Bakato si Manjau Ari:
"Kok suko bapak manjapauik - japuik Tuan Sieh Labai Panjang - guru urang
dalam nagari - imam urang sabuah sidang".
Bakato bapak si Manjau:
"Mano ang Salam Salamaik - cari di ang buah pinang - pinang awangin9 batuntun
- siriah nan sirah-sirah gagang - sadah bak cando banak balam - gambia
sapantun ameh manah".
Bawari Salam Salamaik - ringan kaki capek tangan - urang paarih Salam
Salamaik - alun disuruah anyo lah pai - alun ditagah alah bahanti. Dicari siriah jo
pinang - alah dapek siriah jo pinang - dilatakkan ka carano - sadang ka dalam
carano ameh - tapi nan batatah aso-aso.
Hari Jumaik sahari tu:
"Mano ang Salam Salamaik - kito bajalan kini juo - kito pai manjapuik Tuanku".
Bakato Salam Salamaik:
"Insya Allah jadilah Angku".
Lah ditariaknyo tu carano. Bajalan bapak si Manjau - mangiriang Salam
Salamaik. Dek lamo lambek di jalan - lah tibo pulo di musajik - basuah kaki
bapak si Manjau – naiaklah pulo ka musajik - lah naiak Salam Salamaik -
bajawat salam dangan Tuanku.
Tagak badiri bapak si Manjau - mambari salam kiri kanan - lah bakato bapak si
Manjau:
"Intan bak roman rang Kamang,
Mambao saludang upiah,
Tuanku kunyah molah pinang,
Lah lamo indak makan siriah".
Cerek loyang pambasuah kaki - cerek perak pambasuah tangan - aia santan
pambasuah muko. Mambasuah kakilah Tuanku - Tuanku naiak ka ateh rumah".
Heranlah hati Tuanku - mamandangi pakakeh rumah - indaklah ado nan bak
nangko. Camin gadang baratuih-ratuih - camin ketek indak tabedo.
Bakato si Murai Randin:
"Tuanku jan lamo tagak sinan - Tuanku duduaklah kamari".
Lah duduak maalim sadonyo. Dek lamo baduduak-duduak - hari basarang
patang juo - patang bajawat jo sanjo - sanjo bajawat jo malam. Dipasang palito
anyo lai - palito ameh bak mantari - palito putiah sapantun bulan - tapasang
palito sadonyo.
Di malam samalam nantun - malam sarupo jo siang - palito sapanuah
halaman.
Bakato si Murai Randin:
"Ampunlah ambo pado angku - angku kunyahlah molah pinang - angku makan
molah siriah - angku isok molah santo".
Inyo bapantun anyo lai:
Lah disingkok molah jamba - bawari si Murai Randin - ditiliak pado sanduakan
- di tapi samuik baririk - di tangah awan bajumpo - lintang samo lintangnyo -
sabuah nasi indak patah - patah bapatampunkan - bijaksano si Murai Randin.
Lah manyuok molah Tuanku - sakali inyo manyuok - bak dilariak kumbang janti
- duo kali inyo manyuok - bak dilariak kumbang hijau - cukuik katigo nyo lah
sudah - kaampek mambasuah tangan - sakitu makan urang baiak.
Sudah minun sudah makan - lalu maisok makan siriah. Lah masak pinang
sakapua - sari lamak jatuah ka paruik - sari morak tingga di muko - sirahnyo
tingga di bibia - abih manih tabuang sapah.
Bakato molah Tuanku:
"Murai Randin anak kanduang - a mukasuik sangajo - kau kato nan bana".
Manjawab si Murai Randin:
"Ampunlah ambo pado angku - ampunlah di bawah tapak kaki - gadang niek den
pado angku - sabab angku mungko den japuik - tuan den si Manjau Ari - lah
basuruahkan manyabuang - indak amuah manyabuang. Lah basuruahkan
dubalang - indak amuahnyo dubalang. Lah ka dibalikannyo balam - indak
amuahnyo babalam - bakudo baitu pulo. Mangaji nan dianinyo - itu sabab
Tuanku ambo japuik - tuan den ka den sarahkan - tunjuak ajari dek Tuanku".
Manjawab molah Tuanku:
"Insya Allah jadilah itu. Murai Randin anak kanduang - baolah si Manjau kamari -
nak tunjuak den ajari".
Bakato si Murai Randin:
"Tuan den si Manjau Ari - tuan marilah ka mari - mak den tunjuak den ajari - mak
tahu adat baguru. Baitu adat bakeh guru - manyambah manyimpuah awak -
manghadap hadapan guru - disusun jari nan sapuluah - mambari salam bakeh
guru - baitu adat bakeh guru".
Lah tobat si Manjau Ari.
"Tuan den si Manjau Ari - pacikkan martabat baguru - a katonyo usah dijawab - a
suruahnyo kito turuik - barang tagahnyo kito hantikan. Tuan den si Manjau Ari -
baitu martabat urang baraja - a titahnyo kito junjuang - a katonyo didangakan -
dangakan sabuah lai,
Katonyo nan jan dijawab - apo suruahnyo kito turuik - a tagahnyo diantikan -
itulah nan pitaruah den - pitaruah jaan diubah".
Bakato si Murai Randin:
"Tuan den lah den sarahkan - tunjuak ajarilah di Tuanku - den bapitaruah di
Tuanku - sabarek gumi jo langik. Kok lai lakeh inyo maalim - antah li maalim
pado angku - antah labiah pado angku - datang pangaja kapadonyo - angku jan
bahati bangih. Kok bangih hati Tuanku - takanai angku pado Allah - itulah nan
pitaruah den".
Dek lamo bakalamoan - inyo bajalan anyo lai - dek lamo lambek di jalan -
tibolah pulo di musajik - naiak si Manjau jo gurunyo.
Hari basarang patang juo - di malam samalam nantun - ditiliak pado si Manjau -
di ma duduak di ma bamanuang - di ma tagak di ma tacangang - urang tak tau di
awak - awak tak tau di urang. Alah sahari duo hari - si Manjau indak mangaji - si
Manjau indak baguru - urang bermain anyo bamain - bacongkak bacatua nan
dibueknyo - urang mangaji inyo lalok. Lah sabulan lamonyo di surau - indaknyo
rintang mangaji - kok siang hari inyo bamain - kok malam hari inyo lalok.
Dek lamo bakalamoan - mangadu urang nan banyak:
"Ampunlah kami guru kami - salamo guru tinggakan - si Manjau indak mangaji".
Bakato molah Tuanku:
"Manjau Ari anak kanduang - a salahnyo indak baguru - a sabab indak mangaji.
Kalau sagan hati baguru - kok maleh hati mangaji - mak den uluakanlah ang
pulang - usahlah ambo dapek buruak".
Manjawab si Manjau Ari:
Ambo batanyo bakeh angku - bari luruih ambo batanyo - baa bana rang jadi guru
- nan ma bana nan diaja - sabab ambo indak mangaji - Tuanku nan tak maaja -
dek itu sabab den tak mangaji. Di alip indak den pandai - di aso indak den tahu".
"Manjau kamarilah ang den aja".
Balari si Manjau Ari - bajawat salam jo Tuanku - manggigia tangan Tuanku.
Ditunjuakkan mangaji alip - si Manjau kaji Quraan - ditunjuakkan kaji Quraan -
inyolah mangaji Sarap - ciek kaji nan ditunjuakkan - ampek limo kitab nan dapek.
Diajakan pulo babilang - ditunjuakkan babilang aso - inyo lah babilang duo -
ditunjuakkan babilang duo - inyolah babilang tigo - ditunjuakkan babilang puluah
- si Manjau babilang ratuih.
Lah abih pandai Tuanku - Si Manjau babilang juo - patang pagi inyo babilang
- siang malam inyo mangaji - indak minun indak makan. Kok siang indak bajalan
- kok malam indaknyo lalok - inyo nan rintang dikajinyo. Minun indak makan pun
indak - baitu adat rang baguru - makan nan sudah daulunyo - minunnyo sudah
daulunyo - sajak di rahim bundo kanduang.
Alah sabulan duo bulan - sakitu lamo baguru - hari Jumaik sahari tu - urang
nan sadang sambayang - inyo naiak ka ateh maligai - tibo di ateh inyo bazikia -
Allah Rasul bunyi zikia - Allahu Rabbi bunyi suaro - babunyi di awang-awang -
adang-adang di dalam tanah - adang-adang di ateh langik - turun pitunang Nabi
Daud - indak tabedo elok zikia.
Mandanga saurang padusi - sadang batanun ateh anjuang - cacah talatak di
suok - rencong talatak di kida.
Dek elok zikia si Manjau - heranlah hati mandangakan - indak nyo ingek
dikarajonyo - iolah ditawan zikia – cacah 15 takatokan rencong - rencong
takatokan cacah - rencong tarawak suok kida - tanun tarantang lah tararak - dek
elok zikia si Manjau.
Mandanga urang manjamua - manjamua ka tanah tatunggangkan - mandanga
zikia si Manjau. Urang mamandikan anak - dek elok zikia si Manjau - anaklah
anyuik indak tahu.
Urang sumbayang ateh surau - urang nan sadang sumbayang - satangah
maimbau anak - lupuik pagangan surang-surang - sarang gurunyo lai gawal -
dek elok zikia si Manjau.
Sudah inyo bazikia - bakato molah Tuanku:
"Manolah maalim sadonyo - anak sia nan bazikia tu - anak bincacak bincacau 16 -
anak ngiang-ngiang rimbo 17 - kok den jua jauah-jauah - kok den bunuah mati-
mati - kok den gantuang tinggi-tinggi".
Manjawab urang nan banyak:
"Ampunlah kami guru kami - indaklah kami nan bazikia - anak Tuanku nan
bazikia - si Manjau Ari namonyo".
Mandanga kato Tuanku - hati nan bangih tak bakasan.
Lah lamo pulo antaronyo - sudah inyo bazikia - bajalan urang sadonyo -
tinggalah guru si Manjau - iolah sadang ateh surau.
Alah sabulan duo bulan - hari Jumat sahari tu - lah rapek urang sadonyo -
bakato molah Tuanku:
"Manjau bajalan ang daulu - mak maaja-aja langkah - mak kalua paluah buruak".
Bajalan si Manjau Ari.
Dek lamo bakalamoan - tibo-tibo wakatunyo sambayang - bakato molah Tuanku:
"Manolah Tuanku sadonyo - dangakan bana kato ambo - lai amuah bak janyo
ambo".
Manjawab urang sadonyo:
"Sukolah kami bisa manuruik - io manuruik kato angku".
"Kito cilakoilah si Manjau - sakato kito mangatokan - kok datang sudi siasat - kito
nan jangan mambanakan - dek inyo labiah pado ambo. Kok buliah pintak nan
banyak - mak jajok mandeh bapaknyo - tajahanam juo si Manjau.
Kok tak bajalan nyo di siko - awak kito lah dihukumnyo".
"Kok baitu nan kato angku - sakato kami rang nan banyak - manuruik kato angku
nan tun".
Lah bajalan urang nan banyak - si Manjau suruik ka surau. Dek malam
samalam nantun - bakato molah gurunyo:
"Mak den uluakanlah ang pulang - mande bapak ang mamasankan. Kok tibo kito
di rumah,
Kok den suruah maambiak siriah - pucuaknyo nan ka ang ambiak - kok den
suruah maambiak pinang - arainyo nan ka ang ambiak - kok den imbau ang ka
rumah - jan ang datang naiak ka rumah - kok batanyo mande jo bapak - jan ang
katokan den manyuruah - bak itu nan pitaruah den".
Dek malam nan samalam nantun - sakalok indak ditiduakan - duo kali ayam
bakukuak - cukuik katigo hari siang - io bajalan anyo lai.
Lamolah pulo antaronyo - lah tibo pulo di halaman - Tuanku naiak ka ateh rumah
- bakato molah Tuanku:
"Manjau naiak molah ka rumah".
Manjawab si Manjau Ari:
"Diamlah ambo tak ka rumah".
"Manjau Ari anak kanduang - kok indak ang ka rumah - bajalan-jalanlah ang ka
parak - manyilau tinam-tinaman".
Bajalanlah si Manjau Ari.
Dek lamo baduduak-duduak - tahanta nasi jo kupi - lah minum makan Tuanku.
Sudah makan sudah minun - bakato pulo Tuanku:
"Tuan Datuak Bandaharo - amai Puti Linduang Bulan - mungko den bao inyo
pulang - rang mudo si Manjau Ari - ka payah arok molah mandenyo - rang cilako
si Manjau Ari - nan bak si bidai takirok18 - molah sisiak di balakang - rang cilako si
Manjau Ari - rang labiah pado gurunyo.
Buanglah si Manjau Ari - iduiki si Murai Randin - kok diiduiki si Manjau -
mangirok ameh jo perak. Kok tingga inyo di kampuang - bareh jo padi tak
manjadi - taranak mati sadonyo - sakali makan di rumah - mati si Murai Randin.
Kok diiduiki si Murai Randin - bareh jo padi manjadi".
Dek lamo bakalamoan - rang mudo Manjau Ari - diambiak pucuak siriah - lah
diambiak arai pinang - bajalan molah nyo pulang - lah tibo pulo di halaman - lalu
baimbau anyo lai:
"Manolah Bundo Kanduang ambo - iko siriah pinang Bundo - Bundo balarilah ka
pintu".
Lah ditariak siriah pinang:
"Manjau Ari anak kanduang - pucuak siriah nan ang ambiak - arai pinang nan
ang bao - sia manunjuak maajari".
Manjawab si Manjau Ari:
"Sia ka maajari den - sia ka manunjuki den - dek iko nan ambo ambiak - iko nan
lamak di guru den".
Bakato pulo bundonyo:
"Ka tabuang molah ang Manjau - rancak tak buliah kami caliak - tabuang
samiang elok ang".
Manangih si Manjau Ari:
Dek lamo lambek di jalan - lah tibo pulo di surau - Tuanku naiak ka surau - si
Manjau tingga di halaman.
Bakato molah Tuanku:
"Manjau usah ang ka surau - Manjau suruiklah ang pulang - jan lamo-lamo ang di
rumah - usah katuju rasan kampuang - lakeh-lakeh ang babaliak".
Manjawab si Manjau Ari:
"Ampunlah ambo pado Angku - ampun baribu kali ampun - ampun di bawah
tapak kaki - kok disuruah ambo pai - kok ditagah ambo diam. Sabuah anyo
pintak ambo - ambo ka babaliak pulang - Tuanku ka tingga ateh surau - bajawek
salam daulu - anak ka pai guru ka tingga".
Bajawek salam jo Tuanku - manggigia tangan Tuanku:
"Pacik pitaruah den di Angku - pegang umanaik baiak-baiak - elok-elok pangaja
Angku - usah dibuek sarupo nangko - amaklah sadang di den surang - barek
pitaruah pado Angku - sabarek bumi jo langik".
Bakato pulo si Manjau:
"Angku ka tingga aden ka pai - salamaik iduik Tuanku. Si Manjau babaliak
pulang".
Mandaki manggunuang-gunuang,
Manurun ka punco-punco,
Manangih baunduang-unduang,
Lah basah baju di dado.
Dek lamo lambek di jalan - iolah sampai molah pulang - pintu basaok
sadonyo.
Bakato si Manjau Ari:
"Manolah ayah bundo ambo - bak a bundo mamasan ambo - bak a ambo
diimbau pulang - ambo baguru di surau".
Manjawab bundo ateh rumah:
"Indak kami mamasan ang - indak guno di kami lai. Manjau bajalan ang di siko -
pado rumpuik eloklah padi - Manjau Ari anak kanduang - pado iduik elok ang
mati - jan maragu-ragu kami".
Manangih Si Manjau di halaman:
"Indak patuik bundo baitu - indak sayang di ambo lai".
Bakato bundo di rumah:
"Manjau bajalanlah ang di siko - sabuah anak janjang ang tingkek - sataun padi
mainda. Dua anak janjang ang tingkek - mangirok ameh jo perak. Baitu kato guru
ang"
Manjawab Si Manjau Ari:
"Ampunlah ambo bundo - kok indak buliah ambo ka rumah - mintak nasi ambo di
bundo - lapa nan ukan alang-alang. Bundo barilah barilah - bago nasi-nasi rasan
- bago kok siso bundo ambo - bago kok rimah Si Murai - ka ubek paruik
manggigia. Auih nan indak tatangguangkan - raso ka rangkah bubun-bubun -
raso ka pandak pandang denai".
Bakato bundo ateh rumah:
"Indak kami nak baragiah - ayam jo itiak kami bari - anjiang den den bari makan -
buliah panunggu halaman den".
Lah ditingkek molah janjang - bundo balari ateh rumah - lah ditariak tabuang
didiah - bajalan pulo ka pintu - si Manjau tagak di janjang - di tuang jo aia didiah.
Mungko manangihlah si Manjau - duduaknyo di bawah lumbuang - aia mato
badarai-darai.
Dek lamo duduak di sanan - tagak badiri anyo lai - bakato si Manjau Ari:
"Manolah Bundo Kanduang ambo - barilah sakali nangko - bago kok karak-karak
anguih - bago kok di lawak-lawak19 ayam - bago kok siso-siso mande".
Bakato mandeh ateh rumah:
"Indak kami ka baragiah - elok anjiang nan dibari makan - buliah panunggu
halaman den".
Lah ditingkeknyo pulo janjang - duo buah janjang ditingkeknyo - balari pulo
bapaknyo - balari ka biliak dapua - lah ditariak tungku tangah - balari pulo ka
pintu - si Manjau tagak di janjang - diampoknyo pulo di bapaknyo - badarai batu
di kapalo - mandoncek inyo ka halaman.
Manangih si Manjau Ari - manangih ka lasuang gadang - manangkuik inyo ka
bumi - ditingadahkannyo ka langik.
Inyo bajalan ka halaman - inyolah naiak ka rumah - lah dilungkahinyo bandua -
balari pulo mamaknyo - diamuaknyo jo kurambik - lah putuih siba bajunyo - inyo
mahambua ka halaman.
Bakato si Manjau Ari:
"Iko moh baleh manjo - pandai banai moh bapak den - kasih banai moh mandeh
den - mandeh den malimaui den - bapak den mangasiah den - mamak den
mangguntiang baju. Manolah mandeh kanduang ambo - kok hukum alun ka mati
- kok gantang alun ka panuah - kok aja alun ka sampai - itulah tanuang di bapak
den - kok ado-ado nan mandindiang - badarai batu di kapalo den".
Bakato pulo si Manjau Ari:
"Manolah bundo janyo ambo - kok bana bundo lah jajok - mak den bajalan di siko
- basuko barilah kito daulu - rilakan riban20 mamaluak - rilakan jariah payah
bundo - rilakan aia susu bundo - rilakan badan diri den - mak bajalan den siko".
Manjawab bundo ateh rumah:
"Rilalah jariah payah den - rilahlah riban den mamaluak - rilalah aia susu den -
rilah di dunia ka akhirat".
Bakato si Manjau Ari:
Inyo bajalan anyo lai - lah lamo inyo bajalan - balari-lari bundonyo - sambia
balari inyo bakato:
"Manjau tagaklah ang di sinan".
Lah duduak si Manjau Ari - bakato si Manjau Ari:
"Ba a den bundo lalahi".
Bakato si Manjau Ari:
"Lai kasiah bundo di ambo - lai sayang bundo di ambo".
Manjawab mande kanduangnyo:
"Indak kami kasiah di badan ang - tak kami kasiah di tubuah ang - kasiah di kain
baju kami - sayang di ameh perak kami - ungkai kain tu sadonyo". Baitu kato
mandenyo.
Batariak kupiah ameh - batukari jo kulik kampia - babukak baju dalam badan -
baganti jo baju buruak. Babukak pulo sarawal - batukari pulo jo nan buruak -
pandiang ameh baganti jo salisiah22 - tungkek ameh baganti jo tibarau.
"Mande ka pai anyo lai - nambek bundo babaliak pulang - cincin den lai tingga
juo - sambuang gigi den tingga juo - canggai kuku den tingga juo".
Baluruik cincin di jari - ditukari jo cincin ijuak - lah diungkai sambuang giginyo -
lah diungkainyo canggai kukunyo - dibarinyo bakeh mandehnyo.
Bakato si Manjau Ari:
"Bundo babaliak molah pulang - bapak den kok litak kini - sia ka mambari nasi -
si Murai kan ketek baru".
Bakato si Manjau Ari sambia bapantun:
Dek lamo lambek di jalan - masuak rimbo kalua rimbo - ma le bukik lah didaki
- ma le lurah lah dituruni - alah sapakan duo pakan - minun indak makan pun
indak - auih ka mano ka mamintak aia - lapa ka mano mamintak nasi - dalam
rimbo piatu nan tun.
Dek lamo lambek di jalan - lah sabulan duo bulan - aia mato badarai-darai.
Dek lamo bakalamoan - aia mato badarai-darai - di apuih aia mato jo kida -
disipekan paluah jo suok.
Mandaki manggunuang-gunuang,
Manurun ka palamunan,
Manangih baunduang-unduang,
Takana di paruntuangan.
Lah lamo pulo antaranyo - iolah lah tibo di sinan - di karambia atok tungku - di
pinang nan linggayuran - di batu sandaran rajo. Inyo bahanti anyo lai - duduak
maurai aia mato.
Dek lamo duduak di sinan - surangpun indak urang nan lalu - sabulan duduak
di sinan - kok untuang tasingik dinyo - lalu Rajo Di Kinali - bakato molah Rajo
nan tun:
"Adiak kanduang Si Manjau Ari,
Bajalan Rajo Di Kinali - kudo nan balang samburani - rajah kaki kaampeknyo -
palano ameh samiang - injak-injak perak bahelo - inyo bajalan anyo lai.
Dilorong pado kudo nantun - sadang manduo-duo ketek - marantau panjang
anyo lai. Ganto babunyi bak talempong - bagai talempong Rajo Jao.
Dek lamo lambek di jalan - dek lamo basarang ampiang - lah tibo pulo di
sinan - di kampuang si Murai Randin - lalu ka tangah laman.
Batanyo molah tu Rajo:
"Murai lai kau di rumah".
Mandanga si Murai Randin:
"Ba a indak ka di rumah - a banai nan ka dirusuahkan. Mande kayo bapak
batuah - urang mahadok bakuliliang - kato ambo sadang badanga - titah den
sadang bajunjuang - palentah den sadang baturuik - kayo den sunduik
basunduik - anak puti asa barasa - bapak den usali rajo".
Bakato si Murai Randin:
"Kambang sia tu di halaman - anak bincacak bincacau - anak ngiang-ngiang
rimbo - indaknyo babaso-baso - indaknyo tau di larangan - indak tau di laman
puti - rang elok si Murai Randin - budaknyo sakarek koto".
Lamo lah pulo antaronyo - balari si Kambang Manih - balari ka pintu gadang -
bakato si Kambang Manih:
"Tuan den tagak di alaman - tuan den tidak bapangaja - indak batunjuak baajari
- nan tak tahu di laman rajo - anak bincacak bincacau - baitu kato aciak den -
katonyo nan den katokan - tuan lai samo maningaran27".
Manjawab Rajo Di Kinali:
"Nan kok baitu katonyo - maklum pado diri ambo - saba jo rilah ambo pakai.
Mungko den jalang kampuang nangko - mungko den tampuah halamannyo -
bareklah pasan ambo bao - barek pitaruah ambo pacik. Antah Si Manjau antah
bukan - inyo bapasan bakeh ambo - manyuruah mambao rencongnyo - Si Murai
nan ka mambao - kain baju nan ka di bao. Heranlah ambo malieknyo - manangih
juo inyo kini - minun indak makan pun indak - datang ujan kaujanan - datang
paneh kapanehan - di sinan inyo manantikan - di karambia atok tungku - di
pinang nan linggayuran - di batu sandaran rajo".
Urang mudo Si Murai Randin - mandanga kato nan bak kian - baru tasabuik
dunsanaknyo - baru takato Manjau Ari - mambubuang nyao nan sati - tasimbua
darah di dado - gumanta tulang jo dagiang - batungkuik bumi jo langik -
manangih si Murai Randin.
Baru tasabuik di si Manjau - tanun tarantang lah takusuik - inyo pun tagak anyo
lai - taserak rambuik nan panjang - tatabua bungo dalam sanggua - rambuik nan
panjang singan tumik - talayuak pinggang nan lamah - rang elok si Murai Randin
- lah silala-lalai inyo - lah silulua-lulua inyo - bak itu sayang di ransanak - muko
nan morak lah muram - rambuik nan panjang pun lah kusuik. Kalua dalam
kulambu - kulambu nan tujuah lampih - banyaklah ragam kulambunyo.
Lah lapeh pulo dari sinan - maranyuak si Murai Randin - raso karuntuah anjuang
tinggi - malenggang si Murai Randin - mandayuak rumah nan gadang. Iolah
turun ateh anjuang - lah tibo di tangah rumah - balari ka pintu gadang.
"Tuan den Rajo Di Kinali,
Langkah lalu sahari nantun - bundonyo sadiang indak di rumah - di hari nan
sahari nantun - a pintaknyo balaku samiang - a kandaknyo buliah sajo.
"Kambang tingga kau tingga - tingga jo ameh dangan perak - tingga jo sawah
dangan ladang".
Manjawab molah Sikambang:
"Ameh perak di sia tingga - sawah ladang di sia tingga".
Manjawab Si Murai Randin:
"Indak guno ameh jo perak - indak guno sawah jo ladang. Ameh perak den
dansanak den - sawah ladang Si Manjau Ari - tuan den Si Manjau Ari - ka ganti
subang jo galang - ka ganti ameh jo perak - ameh perak dapek den cari".
Mancampuang ka biliak dalam - dilantak peti lewang gadang - mandanguang
tali bubutan - tabukak peti nan ketek.
Diambiak rencong dalam peti - ditariak ameh jo perak - dibungkuih kain jo baju -
diambiak padang janawi - padang janawi mutuih rantai - saketek indak disisokan.
Inyo kalua dari biliak - lalu nyo ka biliak dapua - disanduak pulo molah nasi -
dilatakannyo kakainnyo – guli29 dilatak dalam sanggua - dibao api dalam cangkia
- bajalan ka pintu gadang.
Inyo manangih anyo lai - manangih sadang manyaru:
"Ya Allah ya Tuhanku - ya Sidhi ya Mulie - kok buliah pintak pado Allah -
mambali mamintak ambo kapado Allah jo Muhamad - barakaik kabasaran ninik
ambo - nan batampek di Gunuang Ledang - iduik nan bakeh urang bakaua -
mambali mamintak ka bumi jo langik - kapado siang jo malam".
Masonyo Allah mauntuangkan - kaandak balaku pintak buliah.
Bakato Si Murai Randin:
"Kabau nan ampek puluah ampek - kabau manjadi kabau jalang - bantiang nan
ampek puluah ampek - manjadi ruso sadonyo - kudo nan ampek puluah ampek -
manjadi kijang sadonyo - itiak nan tayok di halaman - abih mati bakarabangan -
parpati linduang jo langik - abih mangirok sadonyo".
Dibaka kumanyan putiah - kabau lari masuak rimbo - bantiang lah lari masuak
rimbo - kudonyo bak nantun juo - ayam jo itiak abih mati - itiak jaonyo jadi undan
- parpati tabang mangirok - sawah nan tujuah buah banda - sawah manjadi
rimbo gadang.
Lah turun Si Murai Randin:
"Kambang Manih adiak kandung - turun kau di ateh rumah - caliak di adiak kayo
Allah - gampo galumat nan ka tibo".
Mahambua Si Kambang Manih - bakato Si Murai Randin:
"Rumah gadang manjadi munggu - rangkiang manjadi tunggak - padi den
manjadi kasiak.
Dek lamo maso bajalan - lah lapeh pulo dari kampuang - manampuah rimbo
anyo lai - manangih Si Murai Randin.
Anak urang di Koto Tuo,
Nak lalu ka Mandahiliang,
Manangih ka masuak rimbo,
Tak buliah kawan sairiang.
Dek lamo maso di jalan - aia mato badarai-darai - mato diapuih jo kida -
disipekan abuak jo nan suok. Ma li rimbo nan di rimboi - ma li bukik lah didaki -
bajalan surang padusi - surang pun indak rang basuo - indak buliah tampek
batanyo - siang malam bajalan juo - di ma panek di ma baranti.
Lah sabulan lamo di jalan - lah tibo inyo di sinan - dibuang pandang suok kida -
bacampuran arok jo cameh - indak inyo nampak Si Manjau - manangih
manggaruang panjang:
"Kanai umbuak den nan io - kanai kicuah moh den di urang - di siko tuan den
janyo tuan - manjawab moh den imbau".
Dicaliak hilia jo mudiak - dicaliak molah sunguah-sungguah - lah tampak di nyo
Si Manjau - inyo balari anyo lai - manangih manggaruang panjang - manangkuik
kariban kakak:
"Tuan den siko moh tuan - lah panek ambo manuruik - iolah payah ambo den
mancari - tuan di siko moh kironyo".
Manangih Si Manjau Ari - mandanga kato adiak kanduang.
Bakato Si Manjau Ari:
"Murai jan kau manangih - ka ngalu kapalo adiak - ka sakik adiak baiko - sakik ka
mano mamintak ubek".
Bakato Si Murai Randin:
"Tuan makanlah ko nasi - nasi den sanduak di kain den - guli den tungkuih jo
abuak den. Kok suko makan di tuan - kok indak pikiran tuan".
Lah minun makan Si Manjau - lah baranti minun makan - bakato Si Murai
Randin:
"Tuan lah sudah minun makan - iko kain baju tuan".
Ditariak kain dek Si Manjau - diambiak baju dek Si Manjau - io mamakai anyo lai.
Lah sudah inyo mamakai - bakato Si Manjau Ari:
"Murai Randin adiak kanduang - kok nan bana di hati ambo - Murai babaliak kau
pulang - awak den jan kau turuikan - ameh perak di sia tingga".
Manjawab Si Murai Randin:
"Jan tuan katokan juo - indak guno ameh perak - indak baguno sawah ladang.
Ameh perak den awak tuan - sawah ladang den awak tuan - tuan ka ganti inyiak
mamak - ka ganti mande jo bapak - ka ganti rumah nan gadang".
Manangih Si Manjau Ari:
"Adiak kanduang Si Murai Randin,
Nan kok itu tuan katokan - bia ambo palawan musuah - bia denai mati daulu -
tuan turuikan den tuan - janjian sasukek indak sagantang".
Bajalan Si Murai Randin - manuruik Si Manjau Ari - lah bajalan kaduonyo - awak
baduo baransanak - ma li rimbo di rimboi.
Io lah sahari duo hari - lah tibo dalam rimbo gadang - bakato Si Murai Randin:
“Nak urang Koto Marapak,
Lah sakijok pulo bajalan - basuo harimau gadang - mangaun harimau gadang
- rasokan luluih rimbo gadang - rasokan ancua bumi Allah.
Bakato harimau gadang:
"Siko paruik den mungko kanyang - siko salero mungko pueh - urang dunie
sasek ka rimbo".
Mandanga kato harimau - kununlah Si Manjau Ari - awak nan ganta-ganta takuik
- darah di dado turun naiak - gumanta tulang sadonyo.
Rang mudo Si Murai Randin - pandai turik pandai tanuang - pandai manangkok
dalam raik - urang nan takuik tantu deknyo.
"Tuan jo denai di tuan - janlah hati dipatakuik - janlah badan diparusuah. Kok lah
untuang ka dimakannyo - bago di dalam karando basi - bago di ateh anjuang
tinggi - kunun bagian ka dimakannyo - tantu dimakannyo juo. Kok indak
untuang ka di siko - indak kito ka dimakannyo".
Urang mudo Si Murai Randin - dikirokkan abuak nan panjang - disongsongnyo
harimau nantun - inyo bakato anyo lai:
"Harimau nan gadang nangko - nan dipintak siang jo malam - makan juo badan
ambo - uranglah buang baiaran - tak buliah diam di kampuang - mandeh jo
bapak lah jajok".
Dikirokannyo rambuiknyo - rambuik nan panjang singan tumik - elok nan bukan
alang-alang. Ditiliak kapado rupo - sapantun bulan ampek baleh - pancaliakan
pugaga ambun - kuripeh dama ka padam.
Manjawab harimau gadang:
"Indak ka jadi adiak den makan - amuah bana den mamakan - ka mati pulo
badan den. Bayang-bayang kau sampai ka langik - ukan awak kau nan cilako -
ukan Si Manjau nan sarau.
Adiak kanduang Si Murai Randin - mari kau den aja pandeka - mak den tunjuki
kau basilek - mak den tunjuki langkah tigo - langkah suok bajanjilak - langkah
kida bajanjilu – mak den bari kau alemu - mak den bari kau pitua - pitua
kuek jo kuaso - mak den tunjuaki kau manyemba - semba sasemba mamutuih -
mak den tunjuiki kau manangkok - tangkok satangkok mandapek - mak den
tunjuaki kau manggayuang - gayuang sagayuang mamutuih - pakai di kau
salamo iduik".
Alah diaja anyo lai. Birawari Si Murai Randin - alun dikatokan inyo tau - alun diaja
inyo alah pandai - ciek ditunjuakan duo dapek - urang baduo baradiak - diaja
kaduonyo.
Dek lamo bakalamoan - io bajalan anyo lai - sabanta garan parjalanan -
basuo pulo kandiak gadang - gadangnyo ukan kapalang - inyo bakato anyo lai:
"Siko paruik mungko kanyang - siko salero mungko pueh".
Manjawab Si Murai Randin:
"Pintak dimakan badan kami - pado iduik baiaklah mati".
Bakato kandiak nan gadang:
"Indak ka jadi kau den makan - jo a lah kau ka den lapeh - bauang bapitih den
indak - tariaklah di kau rantai den.
Kok kau tariak rantai nantun - indak kau talok di nan tajam - indak kau dimakan
basi - indak kau dimakan batu".
Lah ditariak rantai nantun - io bajalan anyo lai.
Sadang sabulan pajalanan - paneh nan bukan alang-alang. Kok paneh kama
ka balinduang - sabatang indak bakayu - sarumpun indak bakatuju - litak kama
mintak nasi - auih ama mintak aia - litak badan ukan kapalang - auih badan ukan
kapalang. Manangih Si Murai Randin:
"Tuan mintakan den ba a nasi - tuan carikan ba a aia".
Bakato Si Manjau Ari:
"Nasi di ma kito cari - aia di ma kito mamintak - di tangah padang pasawangan -
kawan indak kaum indak. Adiak kanduang Si Murai Randin - adiak kok tingga di
rumah - baralah kasanangnyo badan - rintang di ameh jo perak".
Manjawab Si Murai Randin:
"Apo gunonyo ameh perak - kok indak ransanak kanduang".
Manangih Si Murai Randin:
"Tuan denai Si Manjau Ari - itu moh rumah urang - mintakan den ba a nasi".
Bajalan juo Si Manjau - disangkonyo rumah tulan – padahkan rumah rang
manyamun - iolah di padang panyamunan - sialah nan lalu di sinan - indak urang
nan sampai pulang - di sinan badan abih mati - kuaik kabal mati juo.
Bakato Si Murai Randin:
"Kito barantilah daulu - payah badan bukan kapalang".
Bakato Si Manjau Ari:
"Adiak kanduang Si Murai Randin - adiak ka gilo molah inyo - di siko kito ka
baranti - di tangah padang panyamunan - ikolah jinih bangkai urang - urang mati
disamun urang - badan urang batimbun-timbun - darah bak cando anak sungai
- adiak ka dibunuah urang - jan kito baranti siko - kito malampau dari siko".
Bakato Si Murai Randin:
Iduik mati kito tantukan - kok io padang panyamunan - kito cubo agak sabanta
- kito tahan angek dingin - rusuah sanang buruak elok - basuo di badan kito -
baitu adat rang marantau".
Manangih Si Manjau Ari:
"Murai Randin adiak kanduang - marilah kito bajalan - ka mati adiak baiko".
Manjawab Si Murai Radin:
"Iduik mati indak bacari - iduik jo mati tuan kajai - salangkah turun dari rumah -
mati juo nan ambo nieknyo".
Baranti Si Murai Randin - lah mamakai ameh jo perak - dipakainyo intan jo bodi.
Bakato Si Manjau Ari:
"Iko pakaian nan kau pakai - adiak kok sio-sio amek - musuah jan diari-ari - kok
basuo jan diindakan. Sadang nan suka disamunnyo - ukan urang manyamun
ameh - ukan urang manyamun pitih - urang manyamun nyao badan".
Bakato Si Murai Randin:
"Tuan den jo den di tuan,
Dek lamo lambek di jalan - masuak rimbo kalua rimbo - basuo tu urang
manyamun - banamo Mahayun Bukik - tinggi nan indak buliah lawan - gadang
nan indak buliah samo jonyo - guluang siriahnyo sikua kabau - tampek timbakau
sikua bantiang - mamakan siriah jo ureknyo - mamakan pinang jo tandannyo -
mamakan gambia bak mamaham - iduang sagadang rangkiang - sakali
malansiang ingua - tapakok Muaro Anai - cik mato sagadang mumbang.
Bakato Mahayun Bukik:
"Manjau alah moh ang tibo - lah lamo denai manantikan - Manjau marilah ang
Manjau - Si Manjau anak ka panginang - Si Murai pangasuah paja".
Bakato Si Manjau Ari:
"Jan baitu kato tuan - tuan lah lamo manantikan - den bamakasuik bakeh tuan -
tuan tasabuik urang baranyi - tuan tabilang urang baranyi - sampai ka lauik jo ka
rantau - tuan baranyi janyo urang. Lah banyak rantau nan den tampuah - banyak
panyamun nan den jalang - indak urang balawan jo den - singgan Si Murai lah
abih mati - kinilah kito bacuboan. Nan kok mati ambo di tuan - ambiak io ameh
perak den - bao Si Murai di tuan".
Io bamain anyo lai - bakato sadang bamain:
"Murai Randin adiak kanduang - pacik pitaruah den di adiak - pagang umanaik
taguah-taguah. Jokok malang tibo di kito - nan kok mati badan diri den - awak
den usah kau tangisi".
"Insya Allah baiaklah tuan".
Dek lamo lambeknyo main - lah sabulan duo bulan - lah tigo bulan lamo bamain -
indak bakanaian juo. Lah sampai abu satinggi lutuang - dilunyah Mahayun Bukik.
Lah ka sataun anyo lai - lah patah padang Si Manjau - manangih Si Murai
Randin - ibo di badan ka jauah - dansanak mati dalam rimbo - io manangih anyo
lai.
"Tuan den Mahayun Bukik - usah tuan den dibunuah".
Bapantun sadang manangih:
Kok patah padang saalai - ko rencong lah den bao - rencong Aceh buatan
Makah - sataun lamo dalam api - samusin lamo manyapuahnyo - duo baleh
tukang manitiak - duo puluah tukang manyapuah - ratak manuruik panjuik
panjang - sataun Bugih balaia - jajak ditikam mati juo. Rencong Aceh rencong
batuah - rencong Aceh rencong babiso - biso nan indak katawaran".
Ditariak rencong dek Si Manjau - bakato Si Manjau Ari:
"Mahayun jo den di ang - io kito main sakali lai - alun lapeh uweh-uweh den -
alun lai sanang hati den".
Iolah main anyo lai - dek lamo lambek nyo main - lah satumpuak rimbo nan alah
- dilunyah Mahayun Bukik.
Lah lamo pulonyo main - dek indak bakanaian juo - bakato rencong Si Manjau:
"Tuan den Manjau Ari - lapehkan ambo di tuan - mak den bunuah Mahayun
Bukik".
Bakato Si Manjau Ari:
"Mahayun jo den di ang - io dek hari nan sahari ko - hukun sampai aja ang sudah
- rencong den bakato jantan".
Dilapehkannyo rencongnyo - inyo mandoncek inyo mandoncang - ilang aka
Mahayun Bukik - dipakuak di Mahayun Bukik - basitungkiknyo ka pungguang.
Bapantun Si Murai Randin:
Lah masuak ka dalam badan - lah paniang Mahayun Bukik. Dek lamo
bakalamoan - lah rusuah Mahayun Bukik.
Bakato Si Murai Randin:
Kok talalok ambo baiko - rencong den jan adiak sintak - nan kok disintak rencong
nantun - umua kau pendek Murai Randin".
Dek lamo bakalamoan - lah lalok Si Manjau Ari. Dek lamo lambeknyo lalok -
kalusuak sunu Si Murai - sakik kama mamintak ubek - damam di sia dikatokan -
ka dijagokan dansanak - awaklah malu manjagokan.
Dapeklah pinang sabuah - lah dikubak molah pinang - pinanglah sudah takubak
– ka dibalah anyolai - dibalahnyo molah jo sakin - patah patigo sakinnyo. Sakik
bak raso ka barubah - lah disintaknyolah rencong - digatokkannyo ka pinang -
pinang tagatok tangan luko - darah lah mamanjuik-manjuik. Dek sakik batambah
sakik - manangih Si Murai Randin - manangih manggaruang panjang:
"Tuan den Si Manjau Ari - tuan den jagolah tidua - ba a talalokan lalok".
Ka dijagokan ransanak - awak lah malu manjagokan.
Bakato Si Murai Randin:
Kalusuak sunua Si Murai - muko nan murap lah muram - abuak nan panjang lah
kusuik - dek lamo bakalamoan - lah payah Si Murai Randin - paluah lah
bacaricikan - batangkuik bumi jo langik - lah kalam-kalam nan tarang - angok
bacarai jo badan - lah mati Si Murai Randin.
Lah jago Si Manjau Ari - diliek adiak lah mati - manggaruang panjang anyo lai
- awak baduo tingga surang.
"Murai Randin adiak kanduang - jo sia ambo ditinggakan - di ia ambo
dipataruahkan".
Manangih manggaruang panjang:
"Rang baiak salendang dunie - rang kayo suko dimakan - mati indak ka bakubua
- mati ka disanda tabiang - mati ka diureh ambun. Sabuah nan den ibokan -
jariah indak ka badaso - kok tumbuah ka mamandikan - den kusuak sia
manyanda - den sanda sia mandiruih - awak baduo tingga surang. Adiak kok
mati tangah rumah - alangkah sanang ati ambo".
Lah disandanyo jo alutuang - tangan nan kida mamacik - tangan nan suok
manggusuak - io lah sudah dimandikannyo - lah lakek kain jo baju - lah lakek
ameh jo perak - lakeklah intan sadonyo. Diliek sarupo iduik - disapo indak
babunyi - manangih Si Manjau Ari - malacuik-lacuikan badan - manangih
maampehkan tubuah:
"Pucuak linggalah-linggalah,
Pucuak jawi-jawi mudo,
Adiak tinggalah-tinggalah,
Isuak den babaliak pulo".
Io bajalan anyo lai - lah sabanta inyo bajalan - mamakiak Si Murai Randin:
"Tuan babaliak moh daulu - jo sia den tuan tinggakan".
Maingo Si Manjau suruik - tingaran adiak maimbau – balari-lari nyo babaliak -
didapekinyo adiaknyo - ruponyo baitu juo.
Sapueh-pueh manangih - bajalan pulo Si Manjau - mamakiak pulo Si Murai
Randin - babaliak suruik Si Manjau - didapeki adiaknyo rupo nan baitu juo -
bagulik-gulik inyo manangih.
Dek untuang takadia Allah - turun suaro dari langik - bakato suaro dari langik:
"Manjau Ari anak kanduang - usah ang pasiak di Si Murai - usah ang dalang di Si
Murai - pitaruahkan di ang Si Murai - mungkonyo buliah ditinggakan.
Pitaruahkan di ang ka kayu - pitaruahkan di ang di rimbo - pitaruah sadang
badanga".
Lah jatuah surek sapucuak - heran Si Manjau sakatiko - mamikia-mikia io surek -
tidaklah tantu bagunonyo.
Bakato suaro ateh langik:
"Jan waang duduak tapakua - surek nangko gadang gunonyo - indak buliah
dibaco kini - lah ado anak ang kudian - buliah ang baco surek nantun".
Mancaliak Si Manjau Ari - diingo ka kida indak - diingo ka suok indak - suaro
samiang nan tingaran - tubuah nan indak kaliatan.
Lah diparuahkannyo adiaknyo:
"Rimbo pacik pitaruah den - adiak den den pitaruahkan - kok ratak retai adiak
den - kok luak lambang isuak - den panggang rimbo nangko. Kayu nan bapucuak
sirah - pacik pitaruah den di kayu - adiak den kok luak lambang isuak - den
tabang kayu nangko".
Lah sudah dipitaruahkan - bajalan Si Manjau Ari - indaknyo baimbau lai -
tingga jo ameh jo perak - tingga jo intan jo podi - langkok jo payuang nan
sabatang - bajalan panjang anyolai.
Dek jauah garan bajalan - awak bajalan surang diri - manangih sapanjang jalan -
baru takana di adiak - duduak manangihlah Si Manjau.
Lah sabulan pajalanan - kawan indak kaum pun indak - bajalan baibo hati -
basuo jo batang aia - batang aia duo basimpang. Sasimpang aianyo janiah -
sasimpang karuah-karuah karak. Ragulah hati Si Manjau - nan ma koh nan ka
dituruik. Kok den turuikan nan karuah ko - ado binatang di hulunyo. Kok den
turuikan nan janiah ko - ado manusie di hulunyo - dituruikan molah nan janiah.
Dek lamo lambek di jalan - lah sabulan pajalanan - tingaran dinyo bunyi murai.
Inyo bakato anyo lai:
Lah sahari duo hari - digua tabuah larangan - manyauik tabuah suok kida -
lah datang urang sadonyo - ka rumah Mandeh Rubiah. Bakato molah cadiak
pandai:
"Ampunlah kami mandeh kanduang - a sabab tabuah bagua - di ma ranjau nan
batundo - di ma parang nan badiri - di ma Pangulu buliah malu".
Manjawab Mandeh Rubiah:
"Kok itu nan ditarangi - indaklah ado nan bak kian. Mungko tabuah ko den gua -
ambo kadatangan urang - niek mukasuik di hati - kito mamancang galanggang -
galanggang mancari judu - galanggang Puti Kasumbo. Mak kito basuko-suko -
mak kito bagalak-galak - kato sapatah batarimo - kato sabuah badangakan".
"Kok baitu titah mande - kok bajariah kami amuah - takuklah hari katikonyo".
Manjawab Mandeh Rubiah:
"Bari janji ambo daulu - tigo hari ambo bajanji".
Di hari nan tigo hari - saketek indak diantikan - janjian sampai tigo hari. Rang
banyak hasia sadonyo - mambao pakaian surang-surang - mambao ameh
dangan perak.
Galanggang badiri sahari tu - rami sabuang ukan kapalang - bulu ayam
batundo-tundo - darah ayam sapantun sungai.
Ditiliak pado taruah ayam - indak urang babilang puluah - urang babilang ratuih
ribu.
Alah sahari duo hari - sampailah janji tujuah hari - itupun kawin anyo lai.
Baralah anak puti-puti - baralah anak rando gadih - anak mudo banyak sakali -
bacogak anak sutan-sutan - baralah anak rajo-rajo - anak baiak dalam nagari.
Di malam nan samalam nantun - raso ka runtuah rumah gadang - banyaklah
ragam pamainan - rajo-rajo bamain catua - sutan-sutan bamain kudo - urang
Kaliang bamain api - urang Bugih basipak rago - banyaklah ragam pamainan - di
malam nan samalam nantun.
Teradok kadhi dangan wali - banyaklah Mualim jo Tuanku - badiri sasi nan
barampek - iolah kawin anyo lai - duduak satandiang Puti Kasumbo - duduak Si
Manjau Ari.
Ditiliak pado pakaian - pakaian Puti Kasumbo - aragonyo indak tainggoi - arago
satimbang jo nagari - intan jo podi bakilekan - Si Manjau baitu pulo.
Di malam nan samalam nantun - sakalok indak ditiduakan - duo kali ayam
bakukuak - cukuik katigo hari siang.
Dek lamo bakalamoan - lah sabulan duo bulan - sabuang lah usai anyolai -
bakato Puti Nan Bunsu:
"Kak uwai Puti Kasumbo - indak patuik kakak baitu - indak ambo dibari tau -
karajo baiak nan dikajakan - alah moh sampai mukasuik kakak".
Manangih Puti Nan Bunsu.
Bakato Si Manjau Ari:
"Adiak kanduang Puti Nan Bunsu - jan adiak manangih juo - mari kito sajamba
makan - mari kito satandiang duduak - makan batigo baradiak - sadang di ateh
anjuang tinggi".
Sudah makan sudah minum - inyo babaliak katampeknyo.
Dek lamo bakalamoan - lah sampai saukua sajangkonyo - dalam tian Puti
Nan Bunsu.
Alah sahari duo hari - urang baduo badunsanak - dalam tian kaduonyo. Lah
sabulan duo bulan - lah sampai sabilangannyo - lahialah anak Puti Bungsu -
iolah anak laki-laki - tibo di rasuak rasuak putuih - tibo di batu batu pacah - sahari
ado sahari bakato.
Bakato Puti Nan Bunsu:
"Tuan jo den io di tuan - anak ambo lahia ka dunie - sia ka namo anak kito".
Manjawab Si Manjau Ari:
"Namonyo jan kau rusuahkan - namo lah sudah daulunyo - namonyo dapek
dalam surek - namo nan datang dari langik - iolah datang di bapaknyo".
Lah disingkok molah surek - banamo Rangin Pamenan.
Lah sahari duo hari - lahia anak Puti Kasumbo - bakato Puti Kasumbo:
"Tuan den Si Manjau Ari - sia ka namo anak kito".
Manjawab Si Manjau Ari:
"Namo lah sudah daulunyo - namonyo dapek dalam surek - namonyo Si Rajo
Nyaya".
Lah sabulan duo bulan - bakato Si Manjau Ari:
"Anak kanduang Rangin Pamenan - anak kanduang Si Rajo Nyaya - mak den
ayun den buaikan. O buai-buai o buai - lalok lah lalok".
Io manangih sadang itu - takiro hati di nan jauah - mandiri rupo si Murai:
"Anak kanduang lakehlah gadang - kok li malu den ka tapupuih - kok li utang den
ka tabaia".
Lah gadang anak kaduanyo - gadang bak diamba-amba - gadang lah bakalaka -
cadiak alah babicaro.
Bakato Si Manjau Ari:
"Anak kanduang Rangin Pamenan - anak kanduang Si Rajo Nyaya - kito pai
bajalan-jalan - mari kito pai ka pakan - nyak tau urang di awak - awak nak tau di
urang - mak tau di dusun urang - mak tau di adat-adat".
Mamintak pitih duo puluah real - sadang kabakeh Puti Bunsu - balari Rangin
Pamenen:
"Amai mandeh kanduang ambo - bari den pitih di mandeh - duo puluah real
banyaknyo - ka balanjo ambo ka pakan".
Dek kasiah si anak kanduang - apo kandaknyo dibarikan - pintaknyo dipalakukan
- dibarikan duo puluah real.
Io bajalan anyo lai - bajalan batigo baranak - lah tibo pulo di pakan - urang lah
basusuak rami - rami orang batumpak-tumpak. Bajalan-jalan Si Manjau Ari -
masuak jerong kalua jerong - lalu ka jerong rang basadah.
Tasuo mandeh bapaknyo - tasuo pulo mamaknyo. Apaknyo bajua sadah -
mandehnyo bajua sadah - mamaknyo bajua paku - hibolah hati mamandangi.
Bakato Si Manjau Ari:
"Anak kanduang Rangin Pamenan - sadah urang tu lah".
Diambuangnyo sadah urang tu.
Manangih bapak si Manjau - kamalah awak ka mangadu - jo ia ka dikatokan.
Bakato Si Manjau Ari:
"Mandeh ba a ko sadah mandeh - sia lah mambuangkan".
Bakato molah bapaknyo:
"Anak ketek nan mambuangkan - antah anak-anak sia".
Bakato Si Manjau Ari:
"Ambo nan punyo anak - tu anak den sadang nyanyang-nyanyang. Mak den
ganti sadah angku - mak den ganti sadah mandeh - den ganti duo puluah real".
Dibaiakan real duo puluah.
Bakato Si Manjau Ari:
"Anak kanduang marilah pulang - tarago paneh alun garang - tarago ari alun
tinggi".
Io babaliak anyo lai.
Bakato Rangin Pamenan:
"Kito barantilah daulu - payah den ukan alang-alang".
Alah baranti anyo lai.
Bakato Rangin Pamenan:
"Ambo manarang bakeh bapak - ambo batanyo elok-elok - takalo kito ka pakan -
apak suruah mintak pitih - banyaknyo duo puluah real - buliah pitih nan sakitulah
- pai kito ka pakan.
Lah tibo pulo di pakan - lah bajalan-jalan pulo. Basuo urang basadah - apak
suruah den mambuangkan - lah sampai denai buangkan. Kudian bapak ganti
samiang - itu maraso di hati den. Ka a di bapak urang nantun - ataukah aluran
mandeh - ataukah aluran bapak".
Bakato Si Manjau Ari:
"Anak kanduang Rangin Pamenan - hibo ambo di urang nantun - hibo ambo di
urang bansaik - dek ambo marasai bansaik.
Bapak jo mandeh den tingga - lah sabansaik urang cako".
Bakato Rangin Pamenan:
Tahu ambo di mandeh ambo - io mati dalam rimbo. Indak nyo mati dek panyakik
- io mati dek sabab - mati tasaik kanai rencong.
Tatkalo mandeh ka mati - ambo nan tau daulunyo - dari mati sampai ka tingga -
ambo nan tau daulu - basanda di kayu gadang - langkok jo alaik pakaian -
langkok jo payuang nan sakaki".
Manangih Rangin Pamenan:
"Tatkalo mandeh ka mati - bapak lalok maso itu".
Bakato Rangin Pamenan:
"Adiak kanduang Rajo Nyaya - apo pikiran adiak kanduang - mandeh kito mati di
rimbo".
Manjawab Si Rajo Nyaya:
"Kok itu tuan tanyokan - pulang pikiran bakeh tuan - tuan nan tahu nan pandai -
bajalan tuan den turuikan".
"Kok baitu kato adiak - kito japuik mandeh kito".
Manangih Rangin Pamenan:
"Malu ka tumbuah di awak - cacek ka datang kudian".
Bakato Puti Nan Bunsu:
"Anak kanduang Rangin Pamenan - a banai nan ang tangihkan - ameh perak
banyak di kito - buliah ang basuko hati".
Manjawab Rangin Pamenan:
Balari-lari ka gaduang,
Ka rumah ulando tuo,
Den silau di dalam tanuang,
Bansaiklah cando mandeh kito".
Dek lamo bakalamoan - lah lalu apak Si Manjau - lah lalu mandeh Si Manjau -
lalu ka halaman rumah gadang.
Bakato Si Manjau Ari:
"Anak kanduang Rangin Pamenan - balilah di ang paku nantun - nan dibao urang
tuo tu - bara janyo bali samiang".
Bawari Rangin Pamenan - lah dibalinyo paku nantun - a nan dibao dibalinyo.
Lai sakali duo kali - a nan dibao indak suruik. Dek ibo Si Manjau Ari - ibo di
mandeh jo bapak - dibari kain jo baju.
Bajalan molah bapaknyo - bajalan bakeh Tuanku - Tuanku guru Si Manjau. Lah
tibo pulo di surau - lah diliek di Tuanku - mandeh bapak lah bakain babaju - kain
jo baju diungkainyo. Kain-kain dibari urang - awak tak buliah mamakainyo - itu
hukum di mandeh Si Manjau - itulah ajab di Tuanku - kato tak buliah dijawab -
surang indak bakehnyo takuik - takuik di Si Manjau surang.
Lah sahari duo hari - lah sapakan duo pakan - bakato Rangin Pamenan:
"Apak den Si Manjau Ari - alun juo sanang hati den - mungkonyo sanang hati
kami - mungkonyo utang tabaia - mungkonyo malu buliah tapupuih - bunuahlah
guru bapak nantun - mungkonyo sanang hati kami".
Manjawab Si Manjau Ari:
"Bak jo ambo ka mambunuah - guru indak buliah dilawan - guru indak buliah
dibunuah - nan guru ka guru juo - guru di dunie ka akiraik".
Manjawab Rangin Pamenan:
"Kok itu bana kato bapak - bak undang-undang urang tuo - rajo lalin rajo
disanggah - rajo adia rajo disambah - jan lai ka guru kito bana. Mungko inyo
buliah kito bunuah - indak manunjuakan kato bana - indak maajakan nan elok -
itu mungko buliah dibunuah - pangaja indak nan baiak.
Nan guru dunie akiraik - pangajanyo baiak sadonyo - manunjuakan bakeh nan
elok - itu indak buliah kito lawan.
Dangakan juo di bapak - pintak dibunuah guru nantun - bak jo ambo
mambunuahnyo".
Bakato Rangin Pamenan:
"Kok takuik bapak mambunuah - lapehlah kami mambunuahnyo".
Manjawab Si Manjau Ari:
"Malarang ambo indak - manyuruah ambo indak pulo - apo pikiran anak
kanduang".
Bakato Rangin Pamenan:
"Adiak kanduang Si Rajo Nyaya - kito pai bunuahlah Tuanku - bapak kito
indaknyo amuah - bialah kito mak mambunuah - maknyo malu tapupuih".
Manjawab Sirajo Nyaya:
"Kok baitu kato tuan - ambo manuruik di balakang".
Hari Jumaik sahari tu - io bajalan ka musajik - io urang sudah sumbayang - urang
ka turun anyo lai.
Bakato Rangin Pamenan:
"Mano kalian samonyo - kalian sabuah sidang - lai di surau tu kini - tuan Sieh
Labai Panjang - ambo bamukasuik kabakehnyo".
Lah bangih urang nan banyak - satangah manokok jo panokok - satangah
maamuakan sewa - itulah kabanyak urang.
Bakato Rangin Pamenan:
"Satapak indak ambo asak - salangkah indak ambo suruik".
Namun lalu lalu juo - dikipehkannyo ka kida - dikipehkannyo ka suok - urang
banyak bakecai-kecai - tingga Tuanku Labai Panjang.
Iolah naiak ka ateh surau - bakato Rangin Pamenan:
"Manolah Sieh Labai Panjang - a karajo di surau - a pangaja dalam surau".
Kato itu indak bajawab.
Bakato Rangin Pamenan:
"Adiak kanduang Si Rajo Nyaya - adiak marilah ka mari".
Balari Si Rajo Nyaya.
"Alah kato mak den danga - kito pacik kaki Tuanku - pacik di adiak sabuah - mak
ambo pacikan sabuah. Kasalahannyo banyak bana - jaek bakeh anak sasian -
ikolah baleh jaek - ikolah timbangan salah".
Dipacik kaki kaduonyo - Tuanku indak malawan - lah diiriknyo sampai ka
halaman - sajak di halaman sampai pulang. Mamakiak mamintak ampun - indak
dibari ampun.
Dek lamo lambek di jalan - sakik indak buliah ditahan - itulah hukun di Tuanku.
Lah tibo pulo di halaman - diampehkan di halaman.
Balari Puti Nan Bungsu:
"Anak kanduang Rangin Pamenan - guru urang ang bak nangkokan - imam
urang dalam musajik - kok kito disarang urang - kok datang tarang jo kusuih -kok
tibo cakak jo tokak".
Manjawab Rangin Pamenan:
"Jan itu mandeh camehkan - kok li sia nan bamalu - bianyo datang ka mari. Kok
li sia nan ka manarang - den mancancang tak mamampeh - den mambunuah tak
mambangun - ambo nan rajo di siko".
Dikalaikannyo Tuanku - bahu manjadi injak-injak - kapalo paapuih kaki.
Bakato Rangin Pamenan:
"Itulah hukun urang badoso - urang bakato indak bana - itulah baleh
kabakehnyo".
Dek lamo bakalamoan - Tuanku dikalaikannyo - bakato Rangin Pamenan:
"Indaklah bana pado urang - indak yakin pado Allah - ikolah kabalehnyo -
rasaikan bana di Tuanku".
Lah sapakan duo pakan - bahu manjadi injak-injak - kapalo paapuih kaki - lah
mati pulo Tuanku.
Bakato Rangin Pamenan:
"Kami tak badoso di Allah - mati nan tak kami bunuah - mati di salah Tuanku -
mati di doso Tuanku". Lah sampai ditanamkannyo.
Dangakan banalah dek mandeh - mungko baitu pantun ambo - mak pupuih malu
di kaniang - mak bangkik batang tarandam - mak ditunggukan piutang lamo -
mak den japuik mak den jangkau - barang sado kamanakannyo - mak buliah kito
mampabudak - ka mamacik-macikan kudo - ka mamagang-magang payuang -
itu ka gunonyo di ambo. Ditiliak pado nan padusi - ka manjangkau-jangkau aia -
pamagang kipeh di kanan den - paambiak kendi ateh anjuang - ka panyapu-
nyapu sarok - itu ka gunonyo di ambo".
Manangih Puti Nan Bungsu:
"Anak kanduang Rangin Pamenan - kambaiak Allah anak kanduang - mak den
suruikan bana - bana iolah bapak jadi rajo. Kok bajalan anak ka sinan - rencong
aceh masuak ka paruik - anak mati kami pun mati".
Manjawab Rangin Pamenan:
Lah sudah mambasuah kaki - iolah naiak ka ateh rumah. Lah naiak io sadonyo -
lah duduak Puti Nan Bunsu - awak nan batujuah urang - lah talatak carano
perak.
Bakato Puti Nan Bunsu:
"Dangakan bana den katokan - kito duduak basamo-samo - makan siriah
basuko-suko".
Lah duduak Puti Taruih Mato - makan siriahlah sadonyo - masak siriah sakapua
surang.
Bakato Puti Nan Bunsu:
Salangkah turun di rumah ambo - dilapeh di Si Murai. Tatkalo maso daulu - inyo
baniek di hatinyo - kami manyampaikan niek".
Manjawab Sutan Di Kinali:
"Itu kato nan dibao".
Manjawab Puti Taruih Mato:
"Jan itu adiak katokan - banamo Sutan Di Kinali - bukan kami managahkannyo -
bukan kami maambekannyo - adat pusako alun tahu - adiak kito kan ketek baru.
Kok amuah kami malapeh - lah suko adiak manarimo. Kok basuo hino jo malu -
kami jan adiak sasa".
Io manjawab Puti Nan Bunsu:
"Jan itu aciak camehkan - adat pusako kami tahu - hino malunyo lah tahu - tando
babaluak anyo lai".
Lah sudah babaluak tando - balari Puti Taruih Mato:
"Adiak kanduang Sutan Di Kinali - apo katenggang bicaro den - Puti Nan Bunsu
manjapuik adiak - adiak dibaonyo ka sinan - ka ranah kampuang Si Murai - ka
rumah Si Murai Randin. Japuik tabao di Nan Bunsu - anggan tak buliah
dikatokan. Nan labiah ambo rusuahkan - adiak ka bajalan surang - nan ma koh
sutan ka dijapuik - di ma rang mudo nan ka kawan".
Bakato Sutan Di Kinali:
"Jan itu kakak rusuahkan - sacacah buliah den kawan".
Digua tabuah larangan - badunduang tabuah nan banyak. Mamakai anak sutan-
sutan - mamakai anak mudo-mudo - mamakai anak rando gadih. Dek lamo
bakalamoan - lah panuah urang di halaman - a lah raso banyak urang - indak
tabuek di nan laweh - di nan lakuang panuah pulo.
Bakato Puti Taruih Mato:
"Iriangkan Sutan Di Kinali - ka kampuang Si Murai Randin".
Basibuak Si Kambang Manih - mambao pakaian Sutan. Satangah mambao
bungo - satangah mambao kipeh - nan patuik mamigang karih.
Balari Salam Salamaik - dikambang payuang nan gadang - payuang kuniang
bajambua ameh - itu pakaian rajo-rajo. Io bajalan anyo lai - sorak sadaruih-
daruih - galak badarai-darai - bunyi pantun babuah-buah - babunyi pupuik jo
sarunai - babunyi rabab jo kucapi - paarak Sutan Di Kinali.
Di hari sahari nantun - garak tibo di Puti Kasumbo - iolah tahu di urang ka tibo
- mambari kabar ka dalam kampuang.
Baralah banyak sutan-sutan - manantikan Sutan Di Kinali.
Iolah ampia anyo lai - bunyi badia marandang kacang - pasang mariam ciek-ciek
- raso ka luluih kampuang Si Murai. Iolah tibo di halaman - balari Salam
Salamaik - mamacik kudo Sutan Di Kinali. Balari dubalang surang lai - maambiak
aia dalam cerek. Lah dibasuah kakinyo - iolah naiak ka ateh rumah – duduak di
ateh kasua gadang. Baralah anak mudo-mudo - satangah mangapua pinang -
satangah mambuek paisok - satangah mamacik api - nan surang mangipeh
dado.
Dek lamo baduduak-duduak - nasi tahanta ka hadapan. Hari basarang patang
juo - patang bajawek jo sanjo - sanjo bajawek jo malam. Di malam samalam
nantun - dipasang telong sadonyo - badiri kadi jo Sutan - tahadok saksi nan
barampek - badiri Tuanku jo mualim. Lah izin mandeh jo bapak - lah dimintaknyo
to kawin - dikawinkannyo di Tuanku.
Di malam nan samalan nantun - sakalok indak ditiduakan - barisuak hari lah
siang - lah tinggi candonyo hari. Baralah banyak ragam main - sutan-sutan
bamain kudo - rajo-rajo bamain catua - urang banyak basuko hati.
Di hari tigo hari - baralah banyak ragam main. Lapeh di hari tigo hari - satangah
urang lah bisa pulang - satangah urang ka galanggang - galanggang rami tigo
bulan.
Dek lamo bakalamoan - bakato Puti Nan Bunsu:
"Adiak kanduang Si Murai Randin - alah ka sanang hati adiak - kok kahandak lah
balaku - niek jo kaua alah sampai - nak kami pulang lah daulu".
Manjawab Si Murai Randin:
"Nantilah sabulan lai - kok pulang alun ka manga".
Bakato Puti Nan Bunsu:
"Rumiklah ambo tantang itu - manjawab kato nan tun - bakato kami tak kau
danga. Salaruik salamo nangko - mandeh kami kami tinggakan - lah taragak
awak kami. Kok buliah kami bajalan - indak lamo kami tinggakan - lakeh-lakeh
kami babaliak".
Manjawab Si Murai Randin:
"Kok baitu pinta kakak - mak ambo lapeh molah pulang".
Iolah pulang sadonyo - lah tingga Si Murai Randin - awak baduo jo suami.
Ditiliak pado Si Murai - tujuah hari tapacaraikan - bakato Si Murai Randin:
"Tuan den Sutan Di Kinali - kito jangkau anak kito - anak kanduang Rangin
Pamenan".
Manjawab Sutan Di Kinali:
"Kok baitu kato adiak - mailah kito bajalan".
Io bajalan anyo lai. Lah tibo pulo di sinan - di rumah Puti Nan Bunsu - iolah naiak
ka ateh rumah. Baralah suko Mandeh Rubiah - mancaliak anak jo binantu.
Bakato Puti Nan Bunsu:
"Amai den Mandeh Rubiah - tinggalah mandeh di rumah - mak kami pai jo Si
Murai - lamo lambek marusuah juo - mak kami manataplah di sinan".
Manjawab Mande Rubiah:
"Anak ka diam di sinan - samo di sinan molah kito - bia mak tingga rumah
gadang".
Lah diangkuik pakaian - rumah tingga indak baisi. Lah bajalan sadonyo - sampai
ka rumah Si Murai. Tacangang mandeh Si Manjau - mancaliak baban nan
dibao urang - agak tacameh dalam hati.
Balari Puti Nan Bunsu:
"Mak sanang hati Si Murai - lah tarangkuik kami kamari".
Manjawab mandeh Si Murai:
"Anak kanduang Puti Nan Bunsu - itulah nan den niek bana - nak buliah basuko-
suko".
Kununlah mandeh Rubiah - io basuo anyo lai - sadang jo Puti Linduang Bulan.
Dek lamo barundiang-rundiang - bakato mandeh Si Manjau:
"Kak uwai Mandeh Rubiah - heranlah ambo mamandang - nak kanduang Puti
Nan Bunsu - dek cadiak bijaksanonyo - dek panjang akal jo budi - nan tak ka
dapek di nyo dapek. Baralah silang jo salisiah - nan kusuik salasai di nyo - nan
karuah dipajaniahnyo - nan buruak dipaeloknyo - kok nan jauah dijapuiknyo - itu
pandainyo Puti Bunsu. Utang adat tabaia di nyo - utang malu tabangkik di nyo.
Itulah karajo nan lah abih".
Sudahlah kaba hinggo itu - bohong urang kami tak sato - duto urang kami tak
tau.-
Keterangan
Halaman
1. tian - kandungan.
2. panyiaran – bekas pembakaran.
3. lado sulah - merica.
4. pupuak api - menimbun api, umpamanya dengan dedak supaya api tidak
padam.
5. ganda ata –
PENGANTAR
A dolah surang urang mudo, karajonyo tiok-tiok hari lalok sajo. Kurang
makan kurang minun indaklah baa, asa lai buliah lalok siang malam.
Itulah sababnyo mangko banamo Si Palalok. Matonyo lah bangkak, badannyo
lah sambok.
Anak rumah1 Si Palalok nan tun batujuah urang. Katujuahannyo badunsanak
saibu sabapak. Diamnyo dalam sabuah rumah nan gadang.
Pado suatu hari, anak rumah Si Palalok bakato bakeh kawannyo, janyo:
"Baa lah lai kito nangko. Indak nak ka sawah, indak nak ka ladang, malainkan
lalok sajo sapanjang hari ko. Kok kito padiakan juo bak cando nan tun, kito juo
nan kalucuik tandeh. Bak kato-kato urang tuo, apolah dek kukuran, karambia
molah nan ka abih".
Jawek anak rumahnyo nan lain:
"Iolah malang bana kito nangko, batukuak batambah kurang, bauleh batambah
singkek. Marilah kito jagokan, kito suruah inyo ka sawah kok ka ladang bagai.
Kok indak inyo amuah, basamo molah kito mampatinjukan".
Dek lamo bakalamoan, tapasalah inyo ka ladang urang tuo padusi. Katonyo
bakeh urang tuo padusi nan tun:
"Bao manumpanglah ambo siko, nak ambo tolong tuo basiang-siang parak".
Jawek urang tuo nan tun pulo:
"Awak den io lingau2 tingga surang di siko. Kok io lai ang amuah tingga siko,
elok bana molah. Tolonglah den basiang-siang parak".
Lah sabanta duduak-duduak dibarilah nasi jo kupi. Sudah makan mangko
bangkik pulolah kantuaknyo. Lah kuok-kuoki sajo. Sudah tu bagolek samiang di
lapiak hamparan. Baru so tacacah ka lapiak, Si Palalok alah bakaruah panjang.
Lah lamo awaknyo lalok, indak juo tasintak-sintak. Mangko bangihlah urang
tuo nan tun. Diambiaknyo aia sapasu, didiruihkannyo 3 bakeh Si Palalok nan tun,
janyo:
"Bakiroklah ang dari siko, indak paguno di den urang palalok nangko!"
Sudah tu bajalan pulolah Si Palalok nan tun. Masuak rimbo kalua rimbo, turun
lurah naiak bukik.
Dek lamo bakalamoan, tapasahlah ka sabuah danau. Di tapi danau nan tun
adolah sabuah biduak tatungkuik. Biduak nan tun lah lapuak. Mungko masuaklah
Si Palalok ka bawah biduak nan tatungkuik nan tun. Lalok panjang awaknyo di
sinan.
Lah sahari samalam awaknyo di sinan, datanglah garagasi mancari makan ka
tapi danau nan tun. Baru nampak dinyo biduak usang tatungkuik nan tun, kato
garagasi tu dalam hatinyo:
"Sialah nan punyo biduak nangko?"
Lalu dituruiknyo biduak nan tun dan dibaliakannyo. Dek itu takajuik Si Palalok.
Kato garagasi:
"Sikolah mungko garaman den pasa 4, sikolah paruik mungko kanyang, rajaki
datang mauntok5".
Jawek Si Palalok pulo:
"Pado iduik baputiah mato, elok mati bakalang tanah, ridolah ambo inyiak makan
iduik-iduik".
Kato garagasi:
"Ba a mangko bak nan tun kato ang. A bana nan ang rusuahkan, a bana nan ang
sesokan?"
"Bak nan tun inyiak. Bak kato-kato urang, ambo nangko,
Kato garagasi:
"A bana nan jadi parasaian dek ang, mungko bak nantun kato ang".
Jawek Si Palalok:
"Alah takadia di badan ambo. Sajak sajangka dari tanah, gilo bahati seso juo.
Lah tasuo di badan ambo, bak kato undang urang tuo, ketek taanjo-anjo, gadang
tabao-bao. Karajo ambo sajak ketek lalok sajo. Itulah sababnyo mangko ambo
banamo Si Palalok. Kurang makan kurang minun, kurang kain indaklah ba a.
Dek ambo asa lai buliah siang malam ambo lalok. Anak rumah ambo batujuah
urang banyaknyo. Dek karano ambo rintang lalok ka lalok juo, indak nak ka
sawah indak nak ka ladang, mangko bangihlah awaknyo bakeh ambo. Basamo-
samo molah awaknyo mampatinjuan ambo. Dek indak tatahan, mungko larilah
ambo ka niak. Kini makanlah ambo dek inyiak. Kok iduik bana indak ka paguno
doh".
Mandanga kato Si Palalok nan tun, jadi hibolah garagasi tu, janyo:
"Kok bak nan tun bana parasaian ang. Babaliaklah ang pulang ka kampuang
ang, nak den bari ang pusako sabuah pariuak adoan nasi".
Dek lamo lambek di jalan, masuak rimbo kalua rimbo, masuak padang kalua
padang, mangko nampaklah ladang urang. Mangko pailah awaknyo ka ladang
nan tun. Baru tibo di sinan, dilieknyo kironyo adolah surang urang tuo laki-laki
sadiang duduak di dalam dangau.
Kato Si Palalok :
"Lai buliah ambo ka rumah inyiak?"
Jawek urang tuo tu:
"Naiaklah. Dari ma urang mudo cako?"
Kato Si Palalok:
"Lah lupo molah inyiak di ambo. Kan ambo nan banamo Si Palalok".
Jawek urang tuo nan tun: "Ha io, Ado urang mampakatokan di kampuang ko.
Kalau baitu awak ang molah nan lari masuak rimbo dek karano dipatinjukan anak
rumah".
"Io inyiak" kato Si Palalok.
"Tapi kini, kok sampai ambo pulang, Insya Allah indak ambo ka seso lai, karano
ambo lai dibari inyiak garagasi dalam rimbo sabuah pusako pariuak adoan nasi".
Kato urang tuo nan tun:
"Ma romannyo pariuak ang nan tun. Cubolah nak den liek, ba a pulo
mangaokannyo".
Dek Si Palalok dikaluakannyo pariuak nan tun dari dalam dukuangannyo.
Satalah disungkuiknyo pariuak nan tun, mangko manyarulah awaknyo, katonyo:
"Kok sabana pariuak garagasi, adoanlah nasi".
Baru dibukaknyo saok pariuak nan tun, panuahlah nasi di dalamnyo. Jadi
tacanganglah urang tuo maliek pariuak batuah nan tun.
Kato Si Palalok:
"Baolah pinggan inyiak kamari, buliah baduo kito makan".
Lalu urang tuo nan tun pailah inyo manjapuik pinggan jo cawan, makan
kanyang kaduonyo. Indak barapo lamonyo sudah makan tu, mangko bangkik
pulolah kantuak Si Palalok. Dek urang tuo tu pulo, dilieknyo Si Palalok lah kuok-
kuoki, mangko dibarinyolah lapiak jo banta, janyo:
"Tidua-tidualah urang mudo kok, lah payah bajalan sajauah nangko".
Si Palalok bagageh pulo mangambangkan lapiak, janyo:
"Lah tasuruah di urang ka pai, taimbau di urang ka datang, takayuah di biduak ka
ilia, inyiak ko mah".
Lalu lalok panjang molah Si Palalok. Samantaro awaknyo lalok, timbua pikiran
buruak di urang tuo nan tun, janyo:
"Eloklah den tukari pariuak Si Palalok nangko. Pariuak den lai pulo nan saroman
jo nan tun".
Jadi diambiaknyolah pariuaknyo, lalu ditukarinyo. Kudian Si Palalok tasintak,
dilieknyo hari alah tinggi juo. Mangko dikatokannyolah bakeh urang tuo nantun,
nak bajalan pulang ka kampuangnyo.
Jawek urang tuo nan tun:
"Kok baitu kecek ang, jadilah".
Baru dibukaknyo peti nan tun, mungko tampaklah peti nan tun panuah dek
kain, sarato disuruahnyo pasalin kain baju Si Palalok nan tun.
Si Palalok maraso gadang hati saketek dek lah buliah pakaian nan baru. Sudah
mamakai dilieknyo awaknyo lah rancak, tapi hatinyo alun juo bulek mambao peti
nan tun pulang karumahnyo.
Kato garagasi:
"Lakehlah ang babaliak pulang. Jokok malang juo di ang, indak pulo amuah
maadoan kain peti nangko, lakeh ang babaliak ka mari nak den bari pulo ang
nan labiah elok dari pado ko".
Dek mandanga rundiangan garagasi nan tun, jadi padeklah hati si Palalok
mambao peti nan tun pulang ka rumah padusinyo. Sakutiko tu juo bajalanlah si
Palalok.
DIKICUAH URANG PULO
Lah sahari duo hari pulo di jalan, mangko sampailah Si Palalok ka tapi rimbo.
Bahantilah awaknyo di sinan, lalu mancaliak hilia jo mudiak. Jadi nampaklah
ladang urang tuo nan daulu tu. Lah sabanta inyo bahanti, lalu bajalanlah ka
ladang urang tuo nan tun.
Dek urang tuo tu, baru nampak dinyo si Palalok mambao peti, batanyolah
awaknyo, janyo:
"Dari ma pulo ang Palalok. Anto lah tapasah pulo ka mari?"
Lalu dicaritokannyolah dek si Palalok sagalo nan dirasainyo sajak turun dari
sinan daulu. Sudah tu disuruahnyo naiak ka ateh dangau dek urang tuo nan tun,
sarato dibarinyo nasi jo kupi. Lah sudah si Palalok makan, batanyo pulolah urang
tuo cako, janyo:
"Ba a pulo mangaoannyo peti nangko?"
Dek kabinguangan si Palalok, dikatokannyo sagalo isyaraik peti garagasi nan
tun. Sudah tu mungko pailah urang tuo tadi maambiak lapiak jo banta sarato
dikambangkannyo dan disuruahnyo si Palalok tidua-tidua malapehan panek. Dek
si Palalok manampak lapiak jo banta nan tun, labiah sasuko mancaliak nasi jo
kupi. Mangko tidualah si Palalok.
Lah sabanta awaknyo takalok, lalu pailah urang tuo tu ka biliaknyo mancari
peti. Peti si Palalok ka ditukar inyo jo peti pulo. Untuang kaparuntuangan, peti
urang tuo nan tun saroman bana jo peti si Palalok, sahinggo si Palalok indak tau
bahaso peti lah batuka.
Indak barapo lamo antaronyo, tasintaklah si Palalok. Katonyo bakeh urang
tuo nan tun:
"Tantangan dari pado ambo nangko, tiok ambo ka mari makan minun juo di siko.
Indaklah tabaleh guno inyiak dek ambo. Kini inyiak lapehlah nak ambo bajalan
pulang. Untuang-untuang dek barakaik peti garagasi nangko, dilindokan Allah juo
andaknyo hati anak rumah ambo".
Jawek urang tuo nan tun:
"Molah bak nan tun kato ang, jadilah. Salamaik samiang ang tibo di rumah. Jan
basuo silang salisiah andaknyo".
Sudah tu bajalanlah si Palalok pulang manjujuang peti nan tun.
Dek lamo bakalamoan tibolah awaknyo tangah halaman. Ka naiak maraso
takuik, ka suruik hati lah hibo. Tagak tacangang-cangang, duduak tamanuang-
manuang, urang pun indak nan maliek. Io bana bak kato urang:
Hari basarang patang juo, ancua luluah di dalam hati, surangpun tidak nan
manyapo.
Badarak-darak badarun-darun,
Tamiang di Batang Hari,
Bagarak candonyo ambun,
Lah ka siang molah ko hari.
Tasintak duduak si Palalok, diliek hari lah siang. Lalu awaknyo bakato:
"Oo inyiak, jagolah inyiak. Ambo bajalan anyo lai, samantaro hari balun tinggi".
Manyauik urang tuo nan tun:
"Nambek bajalan ang daulu, nantikan nasi jo kupi. Di rimbo, di ma ang ka makan.
Marilah kito samo ka dapua, nak lakeh masak nasi kito".
Si Palalok pai ka dapua, urang tuo manjapuik aia. Ada sabanta sakutiko
masaklah nasi jo kupi. Basanduak makan anyo lai. Lah sudah minun jo makan, si
Palalok mamintak rido.
Manggaleh ka Batang Kuok,
Sitawa di bawah pauah,
Ridokan nasi nan sasuok,
Ka baka bajalan jauah.
Pucuak linggalah-linggalah,
Pucuak jawi-jawi mudo,
Inyiak tinggalah-tinggalah,
Isuak nak ambo ka mari pulo.
Bajawek salam si Palalok, turun bajalan anyo lai, masuak padang ka lua
padang, masuak rimbo ka lua rimbo.
Dek lamo bakalamoan, hari nan sadang tangah hari, lah tinggaran garagasi
datang. Angok babunyi lingga cino 9, suaro bak bunyi patuih tungga, si Palalok
bak cando lalok juo.
Baru nampak alam tatagak dek garagasi nan tun, lah tahu awaknyo si Palalok
babaliak pulo. Dituruiknyo ka biduak nan tun, janyo:
"Lah babaliak pulo ang Palalok. Iolah malang anak urang nangko. Indak tahu
kanai kicuah, kanai dayo urang di ladang, peti jo pariuak ditukarinyo.
Kini juo ang babaliak pulang, baolah tungkek den nangko. Ikolah tungkek kabek
mangabek, sia badoso dikabeknyo. Kok sampai ang ka ladang urang tuo nan
tun, suruahlah kabek di tungkek nangko, suruah bunuah mati-mati. Urang
pangicuah urang pandayo, indak badoso kok dibunuah!"
Jawek si Palalok:
"Molah bak nantun kato inyiak, nak ambo babaliak molah pulang. Ridokan molah
di inyiak dari dunie lalu ka akiraik, sampailah kasiah sayang inyiak. Di ambo
indak tabaleh guno inyiak".
Lah abih rundiangan jo paparan, sagalo isaraik lah dituntuik, lalu babaliaklah
awaknyo pulang. Hati lah arok-arok cameh, nan hilang raso kan dapek, malu
raso ka tatuntuik.
Dek lamo lambek di jalan, sampai pulolah ka ladang urang tuo nan tun. Baru
nampak dek urang tuo si Palalok lah tibo pulo, katonyo dalam hatinyo:
"Lai molah ka batukuak juo lai manah pusako ambo dek si Palalok nangko".
Lah sabanta si Palalok duduak, dibarinyo nasi jo kupi. Lalu batanyo urang tuo
nan tun:
"A pulo pusako nan dibari inyiak kito. Kok balangkah nan daulu juo, badan ang
juo nan ka marasai".
Jawek si Palalok sambia galak:
"Asiang pulo nan tabao dek ambo, inyiak. Tungkek buruak lai sabuah, ka
tungkek-tungkek masuak rimbo. Bak nan tun kato garagasi".
Kato urang tuo tu pulo:
"A pulo tuahnyo tungkek nan tun? Kok alang kapalang pulo tungkek alun ka
patuik jadi pusako".
Jawek si Palalok:
"Makan siriahlah inyiak daulu, kok ka den cubokan tungkek den nangko. Dek bak
nan tun kato den, garak buruak lah tasuo sahari ko. Sukatan raso kan panuah,
bilangan raso kan sampai, kok umua raso kan singkek".
Baru bak nan tun kato si Palalok, agak barubah muko urang tuo nan tun.
Lalu diambiaknyolah tungkek nan tun, diantakannyo tigo kali sambia manyaru
garagasi:
"Kok io sabana tungkek kabek mangabek, tungkek pusako garagasi, kabeklah
urang tuo nangko, bunuah sakali mati-mati. Urang paumbuak, urang paumbai,
urang pangicuah tagak-tagak!"
Sasampai kato si Palalok, saroman kilek tali kalua dari dalam tungkek nan tun.
Bakabek babuhua tak buliah diungkai lai. Kalusuak baka urang tuo nan tun,
sapatah tidak takatokan kato. Baribu tali nan makan, sudah kucuik bakucuik
pulo, tak buliah manggarik lai.
Ado sabanta sakutiko, pansanlah urang tuo nan tun. Sakutiko lai putuihlah
angoknyo, tak badan manggarik lai.
Manyaru pulo si Palalok:
“Hai tungkek kabek mangabek, hai tali saribu tali, kambali angkau ka tampek
angkau”.
Barakaik kiramaik tungkek nantun, suruik samulo anyo lai.
Si Palalok masuaklah ka biliak mancari peti jo pariuak manah pusako garagasi,
pusako turun manurun lalu ka cucu ka piuik. Salamo dunie takambang tuahnyo
baitu juo, hilang tak buliah diganti, arago satimbang jo nagari.
Lah tasuo peti jo pariuak, gadang hati bukan kapalang. Bakatolah Si Palalok,
bakato sambia manyengeang:
Lah sahari duo hari, makan tidak minun pun tidak, tali nan indak amuah
tangga. Jan ka tangga basarang arek bakebek babuhua mati. Padiah nan bukan
alang-alang, bak dirandang bak dipanggang, bak dilembai api nyalo, dek kanai
tali nan tun, raso ka putuih nyao badan. Bukan tali sumbarang tali, tali diipuah
garagasi.
Lah sanang hati Si Palalok, maukun anak rumahnyo nan tun, baru disarunyo
pulo:
"Hai tungkek kabek mangabek, hai tali saribu tali! Suruiklah angkau ka tampek
angkau, bari ampunlah inyo katujuahnyo!"
Mandanga kato Si Palalok, suruik samulo tungkek nan tun. Tagak manyambah
anak rumahnyo, manyusun jari nan sapuluah, manyungkua ka tapak kaki,
mamintak ampun baribu ampun. Latiah nan bukan alang-alang, rasokan putuih
pasandian, labiah sabulan maidokan.
TAMAT
Keterangan
Halaman.
1. anak rumah – isteri.
2. lingau – sunyi, sepi (tidak lagi beramai-ramai).
3. didiruihkannyo – disiramnya.
4. pasa – pasar, hal jalan yang tidak lagi ditumbuhi rumput karena sering dilalui.
5. mauntok – datang dengan tiba-tiba.
Ado sapakaro duo - dalam Ulak Tanjuang Bungo - di nagari Camin Taruih - di
Inak Muaro Intan - di ranah Payuang Sakaki - di anau nan kaciak-kaciak - di
langgundi1 nan linggayuran2 - di karambia atok tungku3 - di pinang nan lamah-
lamah - di cubadak gadang tinggi - di lakek-kanji satumpuak.
Kok tinggi duo jo randah - kok hino duo jo mulie - kok elok duo jo buruak - kok
kayo duo jo suka.
Sialah urang nan kayo - iolah Datuak Bandaharo - io Rubiah Rando Kayo -
dunsanak Rajo Nan Angek.
Kaba baraliah anyo lai - sungguah baraliah sinan juo. Takaba suka jo bansaik
- sialah urang nan suka - io moh Mamak Si Hetong - baarato babando tiado -
bamamak banyinyiak tiado - minun makan lai tiado – guli14 satangkai
panghidupan - aia sagaluak nan dimakan.
Abih taun baganti taun - abih bulan baganti bulan - awak kuruih daki lah
banyak - tulang rusuak batunjuran - daki di pungguang lah baguluang - bakain
sacodiak ketek - kiro panyaok urek sajo - baitu tandai bansaiknyo - baitu tandai
sukanyo - nak urang Mamak Si Hetong. Tingga baduo baradiak - Si Rona Pinang
namo adiaknyo. Manangih Si Rona Pinang - apolah buah tangihnyo:
"Tuan oi Mamak Si Hetong - nyato paruik litak nak makan - nyato awak auih nak
minun - bak ka titiak darah di tunjuak - bak ka ilang nyao rean15 - bak ka putuih
rangkai hati - bak ka rompong bubun-bubun - baitu tandai litak paruik den - tuan
oi Mamak Si hetong" katonyo Si Rona Pinang.
Manjawab Mamak Si Hetong:
“Adiak kanduang Si Rona Pinang - tak elok adiak parusuah - tak elok adiak
parisau - urang parisau dareh mati - urang parusuah dareh tuo.
Lai amuah adiak den suruah - kok io paruik litak nak makan - kok io auih nak
minun - pailah adiak ka kiun - ka kampuang Kasumbo Hampai - ka luhak 15a ka
Padang Rajo - lumuik tiado lintah tiado - sipaik sajo nan marupo - kalari16
babondong ilia - ikan gadang babondong mudiak - anak pantau bamain-main.
Baolah aia sagaluak - baolah guli satangkai - kapik kayu sakarek. Guli ka ubek
litak - aia ka ubek auih".
Mandanga kato nan bak kian - bajalan Si Rona Pinang - bajalan baguluik-guluik
- bajalan bagageh-gageh - paluhlah untak antiakan - angoklah gadang ketekan.
Lah dakek ampiang ka sampai - aluran tibo di sanan - lah tibo Si Rona Pinang -
di sumua Kasumbo Hampai.
Bapantun Si Rona Pinang - apolah buah pantunnyo,
Kok anyo mandi den siko - paruik den litak ka kanyang - awak den auih ka
sajuak - tubuah nan buruak ka elok". Talalu mandi sakali.
Sabanta Si Rona mandi - duo banta Si Rona mandi - lah karuah pincuran
urang - dek daki Si Rona Pinang.
Dek maso diwaso itu - hari nan sadang tangah hari - sadang bunta bayang-
bayang - sadang litak-litak anjiang - sadang kanyang-kanyang pipik - tasintak
Kasumbo Hampai - talalu jago sakali - bakabek-kabek jo kaban18 - bapiro-piro jo
cindai - bapalun-palun jo rambuik.
Bakato Kasumbo Hampai:
"Diak kanduang Si Kambang Manih - dangakan pantun den di kau,
Limo kupang limo busuak18a,
Duo kali tangah tigo ameh,
Kurang duo kupang sapao,
Hari kok mambang barisuak,
Balimau tasinga paneh,
Ka pambuang-buang maro".
Mandanga kato nan bak kian - jadilah heran kiro-kiro bapaknyo - mabuak hati
bundo kanduang - maagaki curai pantunnyo - mamikiri takabianyo.
Kununlah Si Kambang Manih - iolah urang nan bijak - Kambang Manih kumbang
den oi - inggok di rantiang mambunuah.
Si Kambang nan bakeh hati - awaknyo rajin disuruah - capek kaki ringan tangan
– karacau19 taulah-ulah - mamacah sakali balun.
Bawari Si Kambang - mancabua ka biliak dalam - malantak peti mangewang -
mandanguang tali bubutan - tabukak buntia nan gadang - barisi pakaian sasalin.
Apolah roman pakaiannyo - hitam batapo tak tantu kulabu biru - tak abeh kapeh
Kuantan Batang Hari - dijujuik badalua-dalua - dipageh badambun-dambun -
ditanun nak rang baisang20 - digantiah nak rang baparuah21.
Kalarai22 sibungo alai - bamenggak bamenggo-menggo - bauia-uia manyasok -
bapucuak rabuang tapinyo. Tiok suduik tiok piganta23 - tiok tapi tiok pitangang24 -
pakaian Kasumbo Hampai.
Bawari Kasumbo Hampai – babajo25 sambia ka dapua - baminyak sambiang ka
biliak - bacamin sarang ka pintu - mamakai ka tangah rumah - rantak marantak
susun kain - herek gumerek gunjai cawek - irun gumirun tanti baju - batapuak
subang di pipi - baralun galang di tangan - manyisiak cincin di jari. Jari
sigulandak gunjo - langan antaran anyuik - batih bak paruik padi - lutuik
mambuku banta - induak tangan bungka sapao - induak kaki barek satahia -
papek kuku bulan tigo hari.
Kok den lorong ka romannyo - nan gadih Kasumbo Hampai - mahalah Rajo ka
judunyo - mahalah Sutan ka tandiangnyo - suka Puti lawan duduak.
Pihak kapado sangguanyo - sangguanyo bajumbai alai - panggantuang duo
puluah ampek - pangarang sambilan alai.
Siganyo manjalin mancik - inggok langau tunggang langgang - dek linggeh
sanggua nan gadih.
Kununlah di Kasumbo Hampai - dijalai rokok sabatang - dikunyah siriah sakapua
- sadang elok pamulutan - sadang dapek agak-agak - sanan bakatolah awaknyo:
"Adiak kanduang Si Kambang Manih - baolah limau sabuah - bao kumanyan
Kambang oi. Adiak kanduang si Salamaik - bujang baolah api di sabuik - daulu
kalian ka pincuran - papeklah limau dek ang sataro - pasanglah niek jo kaua.
Bacolah Ya Allah Ya Sidhi Ya Mulie Ya Tuhanku junjuangan den".
Bajalan Salam Salamaik - diganggam rencong jo suok - dipacikan mangkuak
jo kida - bajalan baduo jo Si Kambang.
Lah dakek ampia ka tibo - nak rang Si Kambang Manih - sinan bakatolah
awaknyo:
"Tuan oi Salam Salamaik - caliak di tuan tantu-tantu - pandang di tuan nyato-
nyato - kok mato den nan bapisek-pisek - kok pancaliakan den nan batuka-tuka -
puti di mano tu nan mandi".
Manjawab Salam Salamaik:
"Adiak kanduang Si Kambang Manih - siko kito mulo susah - siko kito mangko
kiamaik. Ukan do Puti nan mandi - Si Rona Pinang ko moh tu - adiak Mamak Si
Hetong".
Bawari Si Kambang Manih - dicampakannyolah rencong - dilantiangkannyo
kumanyan - diserakannyo tu limau. Babaliak suruik Si Kambang - paluahlah
untak antiakan - angoklah gadang ketekan - dek sangaik latiah bajalan.
Lah tibo Si Kambang Manih - di bawah anduang nan gadang - lah batamu jo nan
gadih.
Bakato Kasumbo Hampai:
"Darah den badabuak-dabuak - jo sia adiak batingkah - jo sia adiak bakalahi -
mulo sarupo satampan iko".
"O aciak Kasumbo Hampai” katonyo Si Kambang Manih.
“Ukan kami bakalahi - ukan ambo batingkah - langik runtuah tanah lah taban - Si
Rona Pinang namonyo - tu adiak Mamak Si Hetong - mandi di pincuran kito. Lah
karuah pincuran kito - lah panuah didakinyo".
Lalu berang Kasumbo Hampai - dicabiak baju di dado - dibungkuih kain dalam
badan. Barakaik bangih hatinyo - lapeh pangarang sanggua - tagerai rambuik
nan gadih - baleyok-leyok sampai di tanah - bakabek-kabek tibo di tumik -
bapalun-palun di pinggang.
Tibo awaknyo di pincuran - nan gadih Kasumbo Hampai - bakatolah awaknyo:
"Sia iko paja nan mandi di sumua ambo - sumua ambo sumua batuah - akeh
rajo-rajo mandi - akeh Sutan minum-minum. Di sia kau dapek pangaja - di sia
kau buliah pituah - anak anjiang anak binatang - anak jumbalang26 moh kironyo
- anak ngiang-ngiang rimbo - anak cancang panarahan27. Kununlah bak pareh
kau iko - tapijak ka den jengkeangkan - tarewai ka den lapehkan - tatangguak ka
den tuntuangkan.
Bapak kau panjua pada28 - mandeh kau panjua sadah - cacek kau batukuak-
tukuak - hino kau batambah-tambah - io bana bak pantun urang,
Balari-lari ka pakan,
Mandapek alang ateh tunggua,
Lah ganok hari kau tiado makan,
Bagai maik dalam kubua".
Tuan suruah juo den ka kiun - sumua urang sumua batuah - bakeh rajo mandi-
mandi - bakeh sutan minum-minum - bakeh gadih bamain-main - bakeh puti
baherak-hiru.
Dek tumbuah malang jo maleh - sataro awak den mandi - batamu jo Kasumbo
Hampai. Lah buliah amun jo cacek - lah buliah29 upek jo puji - jo a lah malu ka
dibangkik - baarato babando tiado".
Bawari Mamak Si Hetong:
"Jan itu adiak rusuahkan - jan itu adiak risaukan - lai amuah adiak den suruah -
ka rumah aciak Ameh Manah. Pailah manyalang rencong - dititiak tukang duo
baleh - disapuah tukang batujuah - disintak bakato-kato - diganggam batutua-
tutua - ratak puntiang tando gateh,
Itulah rencong nan ka kau salang - ka rumah aciak Ameh Manah - anak tungga
Adudalah".
Kununlah Si Rona Pinang - baharu tuannyo manyuruah - awaknyo bajalan
sakali - ka rumah aciak Ameh Manah.
Lah dakek ampia ka sampai - mandariang salindik jantan - mambilobok baruak
nan tungga - manyalak anjiang nan gagok - bakukuak kinantan cuci - mambaleh
si biriang kuniang - hiruak-hiru ayam nan banyak.
"Sutan nan mano nan ka tibo - rajo nan mano nan ka datang - puti langik mano
nan ka turun - adiak kanduang Si Kambang Manih" katonyo aciak Ameh Manah.
Mancabua ka biliak dalam - lantak juo peti mangewang - mandanguang tali
bubutan - saribu pasak malonjak - tabukak peti nan gadang - barisi pakaian
rumah. Takambang tirai jo kulambu - takambang tirai langik-langik - baserak
kasua tangah rumah - lah lakek pakaian rumah.
Kok dihetong rumah Ameh Manah - dampa-dampa si ula gerang30 - tuturan labah
mangirok - gonjong atok rabuang mambacuik - halaman carano basa.
Manjanguah Puti Ameh Manah - mancaliak lalu ka halaman - sinan
tacanganglah awaknyo – kironyo ukan puti nan datang - ukan to gadih nan lah
tibo - kironyo Si Rona Pinang - tu adiak Mamak Si Hetong.
Bapantun Si Ameh Manah:
Elok nak tabuang samiang41 - gadih nak nyik sayo sajo - nak pueh ati mandeh
kanduang".
Bajalan turun nan gadih - talenggang rumah nan gadang - tagendeang anjuang
nan tinggi.
Manangih Kasumbo Hampai:
"Kabau bantiang tinggalah tingga – urang dangan tinggalah angkau - sawah
ladang tinggalah angkau - ambo bajalan anyo lai".
Lah ka Sintuak Lubuak Aluang - lah ka Solok ka Salayo - lah ka Kubuang Tigo
Baleh - ka kualo Banda Mua - lah ka piso-piso anyuik - lah ka sirangkak nan
badangkuang. Sajak kakak amun pacek - talalu laraik sakali.
Kakak den Kasumbo Hampai - kok baitu bana janyo den - Insya Allah sananglah
hati den. Kakak kok ka naiak dangau - gutialah daun daulu - ka paaleh kain
kakak - sabab lantai baabu-abu - palupuah basarok-saroh. Ikolah ruponyo pakai
- jan gadang kakak marugi".
Lah naiak Kasumbo Hampai - ka rumah Si Rona Pinang - lah bangun Mak
Hetong tidua.
Bakato Mamak Si Hetong:
"Diak kanduang Si Rona Pinang - kok tidua usah kau lalok - makan guli usah kau
kanyang - minun aia usah kau sajuak.
Awak den ka pai bajalan - ka manarimo upah urang - ka mancarikan pungguang
tak basaok - kapalo nan tak batukuik.
Tutuik pintu arek-arek - jambolah lapiak daun pua - talatak di ateh pagu - usah
kau tasintak-sintak - manjalang awak den baliak".
Manjawab Kasumbo Hampai:
"Tuan ai Mamak Si Hetong - jan tuan pai manggaleh - to kito pulang ka kiun - ka
Ulak ka Tanjuang Bungo - ka bawah anduang nan gadang43.
Asa lai amuah tuan pulang babaliak - kabau bantiang bulek anjik tuan - rumah
gadang anjik Si Rona. Sabab kato den lah talampau - lah maamun lah
mancacek.
Tapi samaso kini nangko - lah tau dilaku-laku - lah pandai babaso-baso - bago
sacamak duo camak - bago salingkuang jo nagari. Kok katidiang ambo pareh -
sukatan amuah ambo lilik - to kito babaliak suruik".
Gayuang haram ditangkihnyo - kato nan tidak dijawabnyo.
Dek mudo Mamak Si Hetong - anyo bajalan turun sakali. Baru tibo anyo di
halaman - bakato awaknyo akeh Si Rona:
"Tungkeklah pintu Rona - kunci tagok-tagok".
Bajalan Mamak Si Hetong - Kasumbo Hampai manuruik di balakang.
Bakato Kasumbo Hampai - bakato sambia baibaraik:
"Tuan ai Mamak Si Hetong,
Lah bajalan Mamak Si Hetong - lah sahari anyo bajalan - cukuik tigo hari jo
nangko - minun tiado makan tiado. Jo a lah nasi ka dibali - jo a lah kupi ka dituka
- bansaik nan tidak ulah-ulah - ganok lurah tatajuni - ganok bukik nan didaki.
Kaba baraliah tantang nantun - sungguah baraliah sanan juo - baraliah bakeh
nan gadih - nan gadih Kasumbo Hampai.
Bakato Kasumbo Hampai:
"Ko ula nan gadang nangko - pado den baputiah mato siko - lah panjang lihia
mancaliak - lah putiah mato mamandang - ibu tak datang-datangnyo - bapak tak
tibo-tibonyo - lah tujuah hari dalam ngarai - minun tiado makan tiado - raso ka
rampuang bubun-bubun - raso ka hilang nyao rean - raso ka putuih rongga hati -
raso ka titiak darah tunjuak - baitu litak paruik den. Lulualah di kau ula - jo a
lulua salulua abih - paluiklah sapaluk putuih - jan lamo den basakik".
Manjawab ula nan gadang:
"Kok itu nan kau katokan - sakijok mato. Sabuah nan den takuikan - di mudo
Mamak Si Hetong - awaknyo urang batuah - awaknyo urang kiramaik.
Moyangnyo bakubua di Bukik Gombak - iduik nan bakeh urang batanyo - mati
tampek urang bakaua. Itu sababnyo mungko awak kau indak ka den makan -
takuiklah aden di inyiaknyo.
Pado den lulua awak kau - lapeh baridolah den di kau - lapeh basukolah den kini
- lapehlah ka lauik basa - nak manjadi nago sati".
Kato ula gadang:
"Kok den ka pai bajalan - ambiaklah reno di kapalo den - ambiaklah cincin
sabantuak di ikua den".
Diambiaknyo cincin sabantuak - diambiaknyo reno di kapalo - reno dilulua
masuak paruik - cincin disimpan ka sanggua.
Lah bajalan ula gadang - lah tingga Kasumbo Hampai - lah kiambang-
kiambangi - lah kabek kabeki.
Bawari pulo nan gadih:
"Ko taduang nan bakotek nangko - pado mati den risau siko - pantaklah
sapantak mati".
Manjawab taduang bakotek:
"Indak den ka mamantak adiak - takuik den di Mamak Si Hetong - anyo ujuik
pado Allah - tabang mangirok den maso kini".
Taduang tak amuah mamantak - labah tak amuah manggigik - tingga nan gadih
surang diri.
Alah sabulan dalam ngarai - muko nan murap lah muram - dagiang nan
sonsak lah sansai.
Asa siang hari barisuak harinyo hari Jumaik - baniek Kasumbo Hampai:
"Cincin den sicinto-cinto - barang den cinto barang buliah - sado mukasuik sado
sampai. Kok lai batuah cincin nangko - kok lai balaku pintak den - suruah tibo
buruang burak - buruang burak buruang budiman - buruang nan tahu bakaba -
buruang nan tahu batutua".
Kununlah si buruang burak - ikua malilik Gunuang Ledang - paruah
basambuang aso-aso - kapak baturap aia ameh.
Lah tibo si buruang burak - bakato Kasumbo Hampai:
"Buruang janyo ambo - lai ibo buruang di ambo - pailah nan ambo suruah - ka
Inak Muaro Intan - ka ranah Payuang Sakaki - ka bawah anduang nan gadang -
akeh mak Datuak Rajo Angek. Baolah cincin sabantuak - baolah rambuik saalai -
agiahkan ka mamak ambo".
Lah tabang si buruang burak - digungguangnyo rambuik saalai - dibaonyo
cincin sabantuak.
Adopun tabangnyo si buruang burak - tabang manyisia awan kuniang - lah
ditangkok hiroh kiboh - lah dikanduang awan biru - lah dakek kampuang nan
gadih - maraok si buruang burak - inggok ka anduang nan gadang.
Tampak di Rubiah Rando Kayo:
"Tak buruang saelok nangko - tak buruang sapatuik iko. Kok di rumah Kasumbo
Hampai - barapo patuik ambo bali - barapo arago ambo tuka".
Manjawab si buruang burak:
"Biai Rubiah Rando Kayo - tidak den arago-aragoan. Mungko den datang kamari
- mambao kaba den dari nan gadih Kasumbo Hampai - tajatuah awaknyo kini -
ka dalam ngarai nan dalam - di bukik sialang-alang - di jalan urang manggaleh -
dek manuruikan Mamak Si Hetong - Mamak Si Hetong tak amuah mambaonyo.
Manjawab Datuak Rajo Angek:
"Buruang anjiang buruang binatang - buruang indak bapangaja - maino-inokan
awak.
Salamaik bujang adiak oi - tariak juo jinapang di ang – mak denai tembak
buruang nangko - tak kato nan dikatokannyo".
Manjawab si buruang burak:
"Mamak Datuak Rajo Angek - usahlah den ditembak - kambangkanlah lapiak nan
aluih - mak den jatuahkan rambuik saalai - den lompekan cincin sabuah".
Bakato Rajo Nan Angek:
"Guguahlah tabuah larangan - palulah canang pamanggia".
Dari lurah urang mandaki - dari bukik urang manajun - lah tibo rayaik samonyo.
Manyambah nan cadiak pandai:
"Ampun Tuanku Rajo kami - apo sabab canang dipalu - dimanokah jujua nan
lapuak - di mano juaro takuiran - di mano dubalang rabuik-rampeh - di mano
pangulu lancok hukum46 - di mano nak rando nan bajuang".
Manitah Datuak Rajo Angek:
"Hai rayaik nan banyak nangko - indaklah ado tingkah kalahinyo. Anyo sabuah
pintak ambo - badiri kito samonyo - maliek rambuik nan gadih - dibao si buruang
burak".
Bakato Rajo Nan Angek:
"Buruang burak janyo denai - lantiangkanlah rambuik jo cincin - ka lapiak nan
takambang nangko - nak kami liek samonyo".
Lah jatuah cincin jo rambuik - diliek cincin dek tukang nan mambuek
daulunyo. Bakato tukang nan mampabuek daulunyo - bakato tukang cincin cako:
"Io bananyo Tuanku - cincin nangko buatan ambo".
Lah ka tangah pulo Salam Salamaik - maeto rambuik nan gadih. Didapo
sambilan dapo - dijangko sambilan jangko.
Bakato Salam Salamaik:
"Alah nan io iko Tuanku".
Bakato si buruang burak:
"Alah ka sanang hati mamak - alah picayo di kato den.
Kini bak mano pikiran mamak - itulah rupo kamanakan - lah duo bulan dalam
ngarai - minun tiado makan tiado - manuruikan Mamak Si Hetong. Mak Hetong
haram kok amuah mambao. Kok lai mamak bamalu - janguaklah Kasumbo
Hampai - ka dalam lurah nan tadi".
Bawari Rajo Nan Angek:
"Salamaik bujang palulah tabuah larangan - guguah canang pamanggia -
gumanta tabuah si hulando".
Di lurah urang lah mandaki - di bukik urang lah manajun - tidak tabedo banyak
urang.
Lah babaliak Kasumbo Hampai - lah sahari anyo di rumah - lah duo hari jo
nangko - cukuik tigo hari jo kini.
Hari tu hari Jumaik - alah sapangga matoari naiak - bakato Kasumbo Hampai:
"Mamak Datuak Rajo Angek - awak ambo mandanga kaba - anak mamak nan
ketek - banamo Puti Mambang Surau - sakik nan ukan alang-alang - sakiknyo
sairok-irok48 - damamnyo babanja-banja - antah ka mati antah a - aia
diraguaknyo sambiluan – nasi nyo makan raso sakam - mamak pulanglah jo
dareh - ka rumah Si Mambang Surau".
Lah pai mamaknyo pulang - ka rumah si Mambang Surau. Io molah janyo hati -
bajalan bagageh-gageh - dek sangaik pajalanannyo - io Datuak Rajo Angek -
paluahlah untak antiakan - angok lah gadang ketekan.
Bakato pulo Kasumbo Hampai ka apaknyo:
"Apak Datuak Bandaharo - apak pailah ka Jumaik - hari lah ampia tangah hari -
apak jadi imam urang".
Lah pai pulo apaknyo.
Bakato pulo anyo ka biainyo:
"Biai Rubiah Rando Kayo - biai sudahkanlah tanun biai".
Ka ba a pulo lai - ibu lah pai batanun - apak pai ka Jumaik.
Bakato pulo Kasumbo Hampai:
"Salamaik bujang janyo den - pailah mandikan kudo angku ang - janiah di luar
janiah di dalam.
Kambang Manih o adiak oi - pailah kau manyasah - sasah di kau barasiah-
barasiah - cuci di lua cuci di dalam - sabun di kau janiah-janiah - sabalun putiah
nambek kau pulang".
Lah tingga Kasumbo Hampai - surang sajo dalam rumah - urang lah jimaik pai
bajalan.
Lorong kapado rumah Kasumbo Hampai - rumah gadang si sangko gadiang -
salamo kubin malayang - atoknyo kaco dindiangnyo camin - pintu gadang duo
puluah ampek - pintu ketek duo baleh buah - jimek batutuik samonyo. Jan payah
pulo bapak den - urang banyak ka manyilau - Kasumbo Hampai ka mangamuak.
Dapek pulo bana di Kasumbo Hampai - mancabuanyo ka biliak dalam - malantak
peti mangewang - babunyi puputan kaliang - tabukak buntia nan gadang - barisi
pakaian rumah - dikambangkannyo tirai jo kulambu - tabantang tirai langik-langik
- baratua kasua tangah rumah. Diuraknyo pulo buntia sabuah lai - maambiak
rencong saalai - nan dititiak tukang duo baleh - disapuah tukang batujuah -
tajamnyo dipacik-pacikan - rambuik saalai tapatujuah - tak rencong sabiso
nantun,
Ka ba a pulo li lai - kaba baraliah tantang nantun - tidua nan gadih tangah
rumah - dipacikan rencong jo suok - disinsiangkannyo baju jo kida.
Bakato surang diri:
"Mungko badan den ka den amuak - malu den indak tatahan - pamaman49 rajo
janyo urang - ibu kayo janyo urang - bapak batuah di nagari - awak rang gadih
janyo urang - kaandak tidak kan balaku - pado iduik eloklah mati - isuak mati kini
mati".
Dipiciangkannyo matonyo - ditikamkannyo rencong ka dadonyo - darah
tasambua hukun pun sampai. Lah mati Kasumbo Hampai - di hari sahari nantun
– harinya hari jumaik – sadang tangah hari tatok.
Indak lamo antaranyo – lah pulang ibu dari batanun - bapak lah pulang
bajumaik - pamaman tibo di halaman - si Salamaik pulang mandikan kudo - si
Kambang babaliak manyasah - abih manangih samonyo - mandapeki pintu
batutuik.
Bakato Rajo Nan Angek - ka urang nan dakek itu:
"Oi kawan urang bahampiang - bari luruih aden batanyo - ka mano Kasumbo
Hampai mungko pintu ditutuiknyo".
Manjawab urang nan cako:
"Ampun Tuanku Rajo kami - haram lilah kok lai ambo manampak. Pantunnyo
cako lai kadangaran - bapantun sabuah-sabuah - manangih saciek-saciek -
suaronyo sajo nan tadanga - tubuahnyo tiado kaliatan".
Lah badabuak hati Rajo Nan Angek - dibaenyo pintu sabuah - tabukak pintu
sadonyo - barakaik kabasarannyo. Dicaliak ilia jo mudiak - pandang jauah
dilayangkan - pandang ampia ditukiakan - sasek mamandang ka tangah rumah -
dicaliak darah lah tahayau - dipandang maik lah taunjua.
Bakato Rajo Nan Angek:
"Ya Allah Ya Rasul Allah - Ya Sidhi Ya Mulie - Ya Tuanku junjuangan den - garak
Allah sudahlah di den - ka apolah arato jo bando - apo guno ameh jo perak - apo
guno urang den hukun - kok suratan den kok lah nan sasek - barih den ko lah
nan buruak - ka ikolah rupo kaunyo - sia ka mahuni rumah gadang".
Bakato reno dalam paruik Kasumbo Hampai - nan diagiahkan ula nan daulu:
"A itulah Tuanku Rajo Angek - kok samantang awak maukun - elok urang
digalakan - buruak urang dicaceki - buruak urang apo li lai - itu ka baleh kato
gadang. Tapi kok Tuanku cari Mak Hetong - buliah iduik Kasumbo Hampai".
Bakato Rajo Nan Angek:
"Allah Ya Allah Ya junjuangan - ibilih ko lah nan maharu den - urang surang
indak nampak - suaro sajo nan kadangaran. Adiak den Salam Salamaik - palulah
tabuah larangan - nak rapek urang samonyo - nak tau urang sakaliannyo -
bahaso Kasumbo Hampai lah mati - jan kito tangihi juo".
Baharu tahu urang banyak - nagari lah hiru-hiru - mancaliak maik nan gadih.
Datang pulo Puti Dayang Sudah - mambao payuang sabatang - mambao cincin
sabantuak - mambao pakai sasalin.
Baharu tibo anyo bakato:
"Adiak kanduang Kasumbo Hampai - pueh hati mandeh kanduang - sanang hati
mandeh kito".
Kununlah Si Dayang Sudah - lah bagilo-gilo awak:
"Mamak den Rajo Nan Angek - ambiak juo rencong di mamak - nak den tikam
pulo badan den - nak sakubua kami baduo - apo guno den iduik lai - awak baduo
tingga surang. Jo sia den balawan samo gadang - jo sia bauji samo merah - jo
sia bakati samo barek".
Kununlah urang nan banyak - indak rintangkan apo-apo - rintangkan Si Dayang
Sudah.
Sataro maik di rumah - dikuruang urang awaknyo - ka dalam peti mangewang.
Bakato Hakim Pardano Basa:
"Ampun Tuanku Rajo ambo - nan bagala Rajo Nan Angek - nan mano tanah nan
ka dikali - nan mano kayu ka ditabang".
Manjawab Rajo Nan Angek:
"O kok itu Pardano katokan - awak den buliah pitaruah di nyo - nan ka diliek
kutiko lupo - disilau kutiko taragak,
Kaba baraliah anyo lai - sungguah baraliah sanan juo. Ka tangah urang tigo
Luhak - Tantejo Maharajo rang Tanah Data - Tumangguang rang Luhak Agam -
Parpatiah rang Limo Puluah - urang batigo badunsanak - nan tau diereang
gendeang - tau di karang nan manungga - tau di adaik jo pusako. Ditatiangnyo
molah sadakah - baitu rang kayo mati. Pihak kapado sadakahnyo - urang nan
buliah daulu - buliah sadakah bakauik - bakain sakayu surang - kudo gadang
sikua surang.
Kunun rang buliah29 kudian sadakah baonggok - kok kain sakabuang surang -
jawi ketek sikua surang - buliahlah umaik samonyo.
Bakato Datuak Rajo Angek:
"Mano kito samonyo nan ado hadia di siko - baiak Luhak Tanah Data - baiak
Luhak Limo Puluah - sarato jen Luhak Agam. Di hari sahari nangko - kito bunuah
kabau saratuih - kito urah padi samandah - diantak tabu di lurah. Duo hari maik
dalam kubua - duo ratuih kabau nan mati - duo mandah padi nan kameh - duo
lurah tabu nan abih. Cukuik katigo harinyo - tigo ratuih kabau nan mati - tigo
mandah padi nan usai - tigo lurah tabu nan alah".
Kaba baraliah tantang itu - sungguah baraliah sinan juo - baraliah akeh Mak
Hetong. Lah babaliak dari Tiku anyo kini - mambao ringgik salilik pinggang -
mambao pakai sapuluah salin. Limo salin anjik Si Rona - limo salin anjik nan
gadih - itu niek hati Mak Hetong. Anyo babaliak dari rantau urang. Lah tibo di
kubua Kasumbo Hampai - tatagun Mamak Si Hetong - dek mancaliak rancak
kubua. Dipandang pulo kiri jo kanan - dilengong hilia jo mudiak - nampak dinyo
urang - baduo urang gubalo - surang gubalo jawi - nan surang gubalo kudo.
Bakato Mamak Si Hetong:
"Ai tuan urang gubalo - bari luruih ambo batanyo - sia koh nan punyo kubua - tak
kubua sarancak nangko - kok mejan intan jo podi - puncaknya perak balanja -
langik-langik kanso samonyo. Rajo mano ko lah nan wafat - Sutan nan mano ko
lah nan mati".
Manjawab urang gubalo:
"Indaklah Rajo nan lah wafat - bukan to Sutan nan lah bakubua - ikolah pusaro
Kasumbo Hampai - kamanakan Rajo Nan Angek - anak Datuak Bandaharo - jen
Rubiah Rando Kayo - matinyo mangamuak diri - sajak ka lua dari dalam ngarai".
Mandanga kato rang gubalo - duduak bamanuang Mak Hetong.
Indak lamo antaronyo - dijalainyo rokok sabatang - dikunyahnyo siriah sakapua.
Sadang dapek kiro-kiro - sadang datang agak-agak - bakato Mamak Si Hetong -
ka urang gubalo tadi:
"Ai tuan urang gubalo - lai amuah tuan den suruah - den bari ringgik ampek
surang - mambaokan sungkua50 sabuah - baokan tambilang ciek".
Dibarinyo ringgik ampek surang - lah galak nak rang gubalo - balari ka rumah
amainyo surang-surang.
Lah tibo awaknyo di rumah bakato awaknyo ka amainyo:
"Mandeh kanduang janyo ambo - bao kamari tambilang ciek - disasiah51 urang
ampek ringgik".
Barulah dapek tambilang cako - dibaonyo ka Mak Hetong:
"Ko moh sungkua tuan oi - ko moh tambilang sabuah".
Bakato Mamak Si Hetong:
"Oi tuan kaduonyo - tantuilah kudo awak - tantuilah jawi tuan".
Lah bajalan urang gubalo - baru tibo dilieknyo kudo lah baranak - jawi baitu pulo.
Lah heran urang gubalo:
"Wali Allah kironyo urang tu".
Bawari Mamak Si Hetong - diluluih baju sakali - dikalinyo kubua Kasumbo
Hampai. Sabanta anyo manggali - duo banta anyo manyungkua - tadorong
karando nan gadih. Lah dikaluakannyo maik tu ka ateh - dikambangkannyo kain
saruangnyo - dibujuanyo Kasumbo Hampai. Sudah tu ditimbunnyo baliak kubua
cako - dilakekan pulo pancangnyo - sarato jen mijannyo sakali.
Allahu-rabbi payah Mak Hetong - paluah lah untak-antiakan - angok lah gadang
ketekan - makan tiado minun tiado - sadang manggali kubua nantun.
Dek karano payah bana - lah pai Mak Hetong mandi - sudah mandi nyo
mamakai. Disingkoknyo Kasumbo Hampai - nambek ratak retai52 lai tiado.
Bakato Mamak Si Hetong:
"Ya Allah Ya Rasul Allah - Ya Sidhi Ya Mulie - Ya Tuanku junjuangan den. Inyiak
janyo den di inyiak - nan bakubua di Bukik Gombak - kok lai bak iduik bak mati -
mati bakeh urang baniek - iduik bakeh urang batanyo - palakukanlah pintak den -
kok lai malu ka tabangkik - gadang nak baganti-ganti - cadiak nak sakali surang -
iduikanlah Kasumbo Hampai".
Kabasaran inyiaknyo garan - lah iduik Kasumbo Hampai - talalu duduak sakali -
tau barundiang jen Mak Hetong - lalu bapantunlah awaknyo:
Sajak Mak Hetong baliak ka rumah Si Rona Pinang - Rajo Angek indak sunyi
lai - manyuruah manjapuik Mak Hetong - takuik bana awaknyo ka Mak Hetong.
Kini lah tahu disalah diri - lah pandai babaso-baso - lah tahu bakaum kaluargo -
lah tahu baranak kamanakan.
Mak Hetong nan tak amuah juo - sabab kato Rajo Nan Angek - amun jo cacek
salamo nangko - bak tadanga juo baharu - bak duri dalam dagiang - bak api
dalam sakam. Antah kok mati Rajo Angek - mungko Mak Hetong amuah pulang -
ka ulak ka Tanjuang Bungo - ka inak Muaro Intan - ka bawah anduang nan
gadang. Ka ba a pulo li lai.
Kununlah Si Duano Pakan - gadang bak diamba-amba - cadiak bak diaja-aja.
Lah tujuah tahun umuanyo kini - bijak nan ukan alang-alang - lah tahu di ereang
gendeang - lah tahu di buruak baiak - pandai bana bakato-kato.
Kaduo pakaro pulo - kueknyo ukan alang-alang - pandeka taulah-ulah. Kueknyo
samulo jadi - indaknyo talok di nan tajam - barakaik Allah batolong atehnyo.
Bakato Si Duano Pakan:
"Amai janyo den di amai - bari luruih aden batanyo - di mano kampuang halaman
kito".
Manjawab Kasumbo Hampai:
"Bak apo baitu usuik pareso ang".
Bakato Si Duano Pakan:
"Mungko den usuik den pareso - amai janyo den di amai - tantukan kampuang
halaman kito. Kok tak amai tantukan - banang satungka lawan lihia - rencong
Aceh lawan dado".
Manjawab Kasumbo Hampai:
"Usah ang rusuah bana lai - pintaklah izin keh bapak ang".
Bakato pulo Si Duano Pakan:
"Bapak janyo den di bapak - tunjuakan kampuang halaman den - nan mano bana
koto nagari. Tak amuah bapak manunjuakan - sayang amak sado itu - kasiah
amak sado nantun".
Manjawab Mamak Si Hetong:
"Buyuang jo den di buyuang - apo bana nan ang rusuahkan - kabau jo bantiang
tayok di padang - urang dangan sakarek koto".
"Bapak janyo den di bapak - tak balaku kaandak den - banang satungka lawan
lihia".
Lalu lah berang ayah kanduang - manangih Si Duano Pakan - dirintang indak
tarintang.
Bawari Si Rona Pinang - anak rang cadiak candokio:
"Antoklah Duano antok - apo bana nan ang rusuahkan - asa lai antok manangih -
nak den bari baju tabang-tabangan.
Pintak ka amai ang cincin sicinto-cinto - apo dicinto apo buliah - nak pueh hati
bapak kanduang ang".
Lah dimintaknyo cincin akeh amainyo - dilakekannyo baju nantun.
Tabang mangirainyo tinggi-tinggi - tibo di anduang nan gadang - maraok Si
Duano Pakan. Diliek kampuang lah alah - kabau lah jadi batu - itiak lah jadi
undan - padi lah jadi piro-piro - kambiang manjadi nalo-nali - urang dangan
baserak-serak.
Lalu lah duduak Si Duano - duduak mengana diri. Dibakanyo kumanyan putiah -
sok mandulang kateh langik - harum satahun palayaran.
Lalu manyaru Si Duano:
"Ya Allah Ya Rasul Allah - Ya Sidhi Ya Mulie - Ya Tuanku junjuangan den - inyiak
janyo den di inyiak - nan bakubua di Bukik Gombak. Kok lai bak iduik bak mati -
iduik buliah urang batanyo - mati buliah urang baniek.
Cincin den Sicinto-cinto - apo den cinto apo buliah - apo mukasuik apo sampai.
Balakukan bak a kahandak den - adokan kabau bantiang den - adokan itiak
ayam den - samporonokan rumah tingga den".
Balaku pintak Si Duano - alah ado samonyo. Bakato niniaknyo nan diam di
rumah tu:
"Buyuang dari mano ang cako. Antah titiak ateh langik - antah tabusek dari
bumi".
"Inyiak janyo den di Inyiak. Tatkalo maso daulu - laikah inyiak baranak babuah".
"Buyuang ketek" janyo niniaknyo.
"Manga mungko ang usuik ang pareso - awak ang ketek baru. Nan ma ko
tumpak nagari ang - mungko wak ang ka mari.
Kok itu nan ang tanyokan - lai den baranak padusi - banamo Kasumbo Hampai -
tagah dibao untuang buruak".
"Oh kok itu niniak katokan - itulah nan mandeh kanduang ambo - tingga di rumah
si Rona Pinang - dansanak bapak kanduang ambo".
"Kok itu janyo ang buyuang - bak apo mangambalikan mandeh ang pulang -
tunjuak ajarilah den di ang".
"O laikoh niniak badunsanak sudaro laki-laki".
"O lai buyuang bagala Datuak Rajo Nan Angek - diangkek urang jadi Rajo Nan
Angek dalam nagari. Mambunuah indak batanyo - mancancang indak
mamampeh - tahu di ilia jo mudiak".
"Kini baitulah di niniak - pailah ka biliak dalam - lantak peti mangewang".
Lah pai niniaknyo cako malantak peti mangewang - babunyi puputan kaliang -
tabuka buntia nan gadang - baisi rencong saalai - dititiak tukang duo baleh -
disapuah tukang batujuah - diganggam bakato-kato - disingkokan batutua-tutua.
Baharu lah buliah rencong sahalai - bakato awaknyo ka niniaknyo:
"Bari luruih aden batanyo - di mano rumah Datuak Rajo Angek - nak den pai
akehnyo - pai bapasiah-pasiah langkah - pai mambuang-buang paluah buruak -
amak den cubo agak sajamang.
Sabab baliau maharu-haru - gadang nak malendo sajo - samantang awak Rajo
dalam nagari - tidak dikana malu jo sopan - baiak ka kaum kaluargo - ka rayaik
talabiah-labiah.
Kok lai batolong di Allah - taadok kapado badan ambo - bak ayam pulang ka
pauitan - cacek tiado binaso tiado karano.
Mungko baitu bana - tatkalo mulo mandeh ka laraik - dek ulah baliau juo. Elok
urang dicaceknyo - buruak urang dihinokan - awak rancak janyo awak - awak
mulie janyo awak - awak Rajo di nagari - nan tak tahu dikayo Allah.
Kok indak mati Datuak Rajo Angek - alamaik nagari tak salamaik - taranak tidak
ka manjadi - anak buah abih bajalan - bapak jo mandeh laraik pulo".
Bakato niniaknyo cako:
"O buyuang janyo denai - mangapo mangko baitu bana - buyuang ketek lai
baharu. Kok umua satahun jaguang - darah satampuak pinang. Kununlah Datuak
Rajo Angek - indaknyo talok di nan tajam - upeh jo racun disasoknyo".
"Kok itu niniak katokan - tak ambo takuik tantang itu. Kok Allah manolong -
dangakan sajo baritonyo".
Kununlah hati Si Duano - indak dapek disuruikan lai - bulek lah buliah digolekan.
Bakato niniaknyo cako:
"Buyuang janyo den di buyuang - den tagah awak ang indak tatagah - ka ba a
janyo den lai. Kok nak tahu ang rumah Datuak Rajo Angek - iliakan jalan nan
luruih nangko. Lah tampak baiko jalan basimpang - turuikan jalan ka suok -
mancaliak kiri jo kanan - mamandang buyuang bakuliliang - lah tampak rumah
bagonjong - itulah rumah inyiak ang - nan bagala Rajo Nan Angek".
Bajalan turun Si Duano - dituruikan jalan nan luruih - lah tampak jalan
basimpang - mangelok anyo ka suok. Dipandang kiri jo kanan - pandang jauah
dilayangkan - pandang ampiang ditukiakan. Lah tampak rumah sabuah -
bagonjong batatah timah - baanjuang kiri kanannyo.
Bapikia Si Duano Pakan:
"Ikolah agaknyo rumah Datuak Rajo Angek".
Mandabuak anyo ka halaman - lah tibo diantakan janjang - maimbau Si Duano
Pakan:
"O inyiak Datuak Rajo Angek - turunlah inyiak sabanta - ambo mambao kaba
baiak".
Mandanga kato nan bak kian - lalu lah berang Datuak Rajo Angek - marentak
turun ka halaman - mahariak mahantam tanah:
"Anak bincacak bincacau - anak ngiang-ngiang rimbo - anak cancang
panarahan. Indak batunjuak bapangaja - indak tahu barajo-rajo - indak tahu
baradaik-radaik. Lah iko lamonyo den Rajo dalam nagari - alunlah urang
mambari den malu - lai alun urang tak takuik di den - alun urang maraok di
halaman - iko pulolah moh baharu.
Indak ang tahu di rajo den - aden lah nan Datuak Rajo Angek - nan angek dalam
nagari. Kok pai indak batanyo - pulang indak babarito - malenggang indak
mamampeh - mambunuah indak mambangun. Kunun mati ang di siko - mati nan
mati anjiang sajo - indak siapo nan ka mandakwa".
Lah berang Si Duano Pakan:
"Bukan ambo kurang pangaja - ukan to ambo tak tahu - ukan to ambo kurang
tanyo. Tahu bana ambo di Datuak - Datuak Rajo Angek janyo urang.
Tapi taraso di hati ambo - Datuak nan tak tahu baradaik - tak tahu malu jo sopan
- tak tahu baranak kamanakan.
Rajo adia nan disambah - Rajo lalin nan disanggah - itu mungko indak patuik
ambo manyambah Datuak".
Lah bangih Rajo Nan Angek - lah mangaratak-garatakan garaman - mukonyo
sirah-sirah padam - lah basah baju di paluah.
Ditangkoknyo Si Duano Pakan - mailak Si Duano Pakan - lah tajulua Rajo Nan
Angek - tajaja muko ka tanah - lah bakumua-kumua darah.
Nyo jago sakali lai - dilalahnyo Si Duano Pakan - ditinjunyo sakali lai. Malompek
Si Duano - lah tibo tangan Rajo Nan Angek di dindiang lumbuang. Barakaik kuaik
tinjunyo - taban lumbuang tu sakali. Padi lah baserak-serak - lah cotok-cotoki
ayam banyak.
Lah makin berang Rajo Nan Angek - angok lah gadang ketekan - paluah lah
untak antikan. Lah tabaliak tanah halaman - lah bak bunyi kabau lago. Lah eboh
urang di nagari - abih datang samonyo - laki-laki parampuan - gadang-ketek tuo-
mudo.
Bakato Si Duano Pakan:
"Kapado Datuak Rajo Angek - mangapo Datuak baitu bana - indak elok urang
pamberang - elok juo urang saba.
Cubolah Datuak pikia bana - alun patuik Datuak bacakak jo ambo - ambo surang
paja ketek - Datuak lah Rajo janyo urang.
Kok mati ambo di siko - io bana bak kato Datuak - kok mati mati anjiang sajo.
Datuak kok luko di ambo - mambari angik salamo iduik – mangapo Datuak lah ka
baitu sakali. Namun kato lai buliah dipakatokan - salah buliah ditimbang - hutang
buliah dibaia - kok kato banyak nan elok.
Kini bari maaf ambo di inyiak - ambolah nan banamo Si Duano Pakan - mandeh
ambo Kasumbo Hampai - bapak ambo Mak Hetong.
Relakan nyao inyiak - inyiak lah banyak badoso - mangubuakan mandeh ambo
iduik-iduik. Mungkonyo datang ambo kamari - ka manuntuik baleh".
Disintaknyo rencong di Si Duano - rencong buatan Aceh - saruang ameh hulu
aso-aso - saruang batatah dangan podi - hulu baturap dangan intan - tajam
ukan alang-alang - rambuik saalai dipatujuah - jajak ditikam mati juo.
Diamuaknyo Rajo Nan Angek - lah bak mancancang batang taleh - lah tasambua
darah kalua - mailia tangah halaman.
Lah mati Rajo Nan Angek - urang manggigia samonyo - abih takuik sakaliannyo
- maliek Si Duano Pakan - tunduak manyambah samonyo.
Banyaklah gasuih dangan bisiak:
"Io batuah urang nangko - kuaik kaba moh garan - pandeka ukan kapalang. Elok
kito tunduak kehnyo - apo katonyo kito ikuik - apo suruahnyo kito karajokan - apo
tagahnyo kito antikan - pado kito dibunuahnyo iduik-iduik".
Bakato Si Duano Pakan:
"Hai kito nan banyak nangko - lailah amuah kalian sadonyo - batuluak baandai
dangan ambo - gadang-ketek tuo-mudo laki-laki parampuan - katokanlah kini-
kini".
Manjawab urang nan banyak:
"Lorong kapado bicaro Rangkayo - tidak kami manumang lai - kami mangikuik
samonyo - gadang-ketek tuo-mudo laki-laki parampuan. Jauah kami amuah
manjapuik - ampiang nak kami jangkau - lurah kami turuni - barek nak kami pikua
- ringan nak kami jinjiang".
Bakato Si Duano Pakan:
"Kalau baitu bulek lah buliah digolekan - picak lah buliah dilayangkan - lah bulek
aia di pambuluah - lah bulek kato di mupakaik - alah sanang hati ambo kini.
Sabuah pintak ambo - kapado kito nan sado nangko - barisuak pagi-pagi kito
bajalan samonyo - gadang-ketek tuo-mudo laki-laki parampuan - baiak Imam
baiak Katik - manjapuik mandeh kanduang - sarato jo bapak kanduang - ka
rumah amai Rona Pinang. Kito angkek baliau jadi Rajo".
Manjawab urang nan banyak:
"Kok baitu kato Rangkayo - kami manarimo samonyo".
Asa siang barisuaknyo - urang lah rapek samonyo - gadang-ketek tuo-mudo -
laki-laki parampuan. Nan buto datang batungkek - nan lumpuah datang
barinsuik-nan pakak datang bakubik - Allahu rabbi banyak urang - bak cando
anai-anai bubuih - bak kaluang pulang patang - ka manjapuik Mamak Si Hetong -
sarato jo Kasumbo Hampai - ka rumah Si Rona Pinang.
Bakato Hakim Pardano - kapado Si Duano Pakan:
"Mano Rangkayo janyo ambo - anak buah alah siap - kito barangkek sakali.
Karajo elok jan dilambekan - nak jan ditimpo karajo jaek".
Lah bajalan urang samonyo - bajalan babondong-bondong - barapo sorak
dangan sorai - baralah tari dangan mancak - baralah rabab jo kucapi - babunyi
badia jo sitinggar. Raso kiamaik bumi Allah - ka pakaklah talingo - bak ka
rompong bubun-bubun.
Alah sarantang pajalanan - alah duo rantang pajalanan - lah dakek ampia ka
tibo - aluran tibo di sinan. Lah tampak rumah Si Rona Pinang. Takajuik Mamak
Si Hetong - gumanta Kasumbo Hampai - pucek baniah Si Rona Pinang.
Manjanguah Mamak Si Hetong - dicaliak urang lah banyak - Si Duano balari
pulang.
Bakato Si Duano Pakan:
"Mano bapak kanduang ambo - sarato mandeh kanduang ambo. Usah bapak
takuik lai - usah mandeh cameh pulo. Ukan to urang datang buruak - urang
datang jo elok - ka manjapuik kito samonyo - mambao pulang ka nagari - karano
inyiak Datuak Rajo Angek - lah mati baliau kapatang - ambo tikam jo karih ambo.
Alah ka sanang bapak kini - alah ka lamak nasi dimakan - alah ka sajuak aia
diminun - sabab baliau maharu-haru - sabab baliau mambuncah-buncah".
Heran tapakua Mamak Si Hetong - mandanga barito Si Duano - tunduak
mangucap anyo lai - mamikiakan bagak anak kanduang - mangana bijak Si
Duano. Heran bacampua jo riang - karano Datuak Rajo Angek lah sampai
ajalulah.
Urang lah datang manjapuik - basegeh Mamak Si Hetong - bakameh Si
Kasumbo Hampai - tagak badiri Si Rona Pinang.
Kununlah Mamak Si Hetong - hati nan riang ukan alang-alang - bak ka titiak
minyak muko - bajalan turun sakali.
Urang banyak manyambah samonyo - babunyi badia maso itu - babunyi
gandang pararakan - basabuang payuang kiri kanan.
Manyambah Hakim Pardano:
"Parenai Tuanku bajalan daulu - nak kami mangiriang di balakang".
Lah bajalan Mamak Si Hetong - urang banyak mangiriang di balakang.
Alah sabanta nyo bajalan - lah duo banta nyo bajalan - lah tibo di bawah
anduang nan gadang - lah naiak Mamak Si Hetong jo Si Kasumbo Hampai -
batigo jo Si Rona Pinang - barampek jo Si Duano - sarato urang basa-basa -
diiriang urang kayo-kayo.
Kununlah urang nan banyak - abih badiri di halaman - nan manari lah manari -
nan mamancak lah mamancak. Kunun sahari-hari nantun - dari pagi lalu tangah
malam - sakalok tidak dikalokan - rintang bagurau-gurau sajo.
Asa siang hari barisuak - lah abih pulang urang samonyo - lah tingga Mamak Si
Hetong - batigo baranak jo Si Rona Pinang.
Kaba baraliah tantang nantun - sungguah baraliah sanan juo. Alah sabulan
duo bulan - cukuik tigo bulan jo kini - bakato Mamak Si Hetong kapado Kasumbo
Hampai:
"Kunun badan kito alah sanang - nan diama alah pacah – nan dimukasuik alah
sampai - kok balaia alah sampai ka pulau - bajalan alah sampai ka bateh. Kini
sabuah nan taraso di hati den. Tatkalo maso daulunyo - mulo malu ka tabangkik
- mulo kito ka babaua - dek barakaik rencong den salang – den salang ka Puti
Ameh Manah - salang balun bakumbalikan - sasiah pun alun seo pun alun.
Lah iko laruik lamonyo - guno urang sudahlah banyak - jo apo ka pambalehnyo -
bareklah utang di badan den - mamintak urang pun balun.
Kini bak mano kan eloknyo - apo ka tenggang kito kini - jan bak duri dalam
dagiang. Kok piutang nak manarimo - kok utang amaknyo lansai".
Manjawab Kasumbo Hampai:
"Kok itu tuan katokan - iolah dalam bana pulo. Di mano urang ka amuah
mamintak - saganlah anyo maso kini-kini - baitulah nan taraso di hati ambo.
Lorong kapado bicaro tu - indaklah dapek di ambo do.
Tuan panggialah Hakim Pardano - tuan barundiang molah jo nyo - bak apo akan
eloknyo - karano urang cadiak pandai - urang lah tuo mangakok. Tuan padu
molah rundiangan - nak jan jadi utang piutang - dari dunie lalu ka akiraik - jan kito
diupek urang".
"Salamaik bujang janyo den - katonyo Mamak Si Hetong - japuik di ang Hakim
Pardano Basa - suruah lakeh anyo kamari".
Kununlah Salamaik bujang - alun disuruah anyo lah pai - alun diimbau anyo lah
datang - bajalan turun sakali bagageh-gageh - alah balari-lari anjiang.
Lah tibo di rumah Hakim Pardano - duduak manyambah Salamaik bujang -
kapado Hakim Pardano:
"Ambo disuruah di Tuanku - manjapuik samaso kini. Japuik ambo japuik tabao -
baitu titah ambo jujuang".
Lah tagak Hakim Pardano - lalu bajalan sakali - Salamaik mangiriang di
balakang.
Lah tibo di rumah Mak Hetong - duduak manyambah anyo lai.
Bakato Mamak Si Hetong:
"Lai sabuah nan ka den sabuik ka Pardano - tatkalo maso daulunyo - tatkalo
malu ka tabangkik - den salang rencong urang – ka Puti Ameh Manah. Salang
alun bakumbalikan - lah iko moh lamonyo - indak tantu di ambo ka pambaleh.
Kok santano patuik kito seo - kok alun basasiah kito sasiah.
Tolonglah ambo jo bicaro - kok utang amaknyo lansai - jan bak duri dalam
dagiang - kok minun nak sajuak - kok makan amaknyo kanyang".
Duduak manakua Hakim Pardano - dijalai rokok sabatang - dikunyah siriah
sakapua. Sadang dapek agak-agak - sadang datang kiro-kiro - manyambah
Hakim Pardano:
"Ampunlah ambo di Tuanku - sakali gawa baribu kali ampun.
Ba a nan taraso di hati ambo - kok dalam bana bao lalu - kok di lua bana
disuruikan - kok singkek mintak diuleh - kok panjang Tuanku karek.
Kalau lah sarupo itu guno urang - Tuanku sukolah pulo ka mambaleh. Kok
dibaleh jo ameh - kok utang alun babaia do rasonyo.
Sabagai lagi dek pandapek ambo - kok ameh alun ka badaso di aciak Ameh
Manah. Sabab anyo urang ado - urang kayo basunduik-sunduik.
Kini baitulah nan taraso di ambo - adopun aciak Ameh Manah - kok di lorong
kaasanyo - anyo asa urang patuik - buliah ka lawan tagak di Tuanku - santanyo
diuji samo merah - ditimbang samo barek.
Lorong kapado aciak Ameh Manah - kok arato saarato - kok kamanakan
sakamanakan.
Adopun aciak Ameh Manah - ado baranak surang laki-laki - banamo Sutan
Lembang Alam - rancak nan ukan alang-alang.
Kini karano baban Tuanku alun lapeh lai - tarhadap kapado Si Rona Pinang -
elok kawinkan jo Sutan Lembang Alam. Kok karib amaknyo dalam - kok kabek
amaknyo arek - kok simpai amaknyo kukuah. Baitu mungko tampak kasiah
Tuanku. Kok tapuak alah babaleh - kok utang alah babaia rasonyo.
Sungguah baitu kato ambo - pulang maklum ka Tuanku - ka barapolah taraso di
ambo - Tuanku juo mulah nan labiah tau".
Mandanga kato nan bak kian - sukolah hati Mak Si Hetong - lalu bakato anyo lai:
"Baitu malah di Pardano - himpunkan rayaik samonyo - apo nan tidak suruah
cari. Kok kabau suruah cakau - kok padi suruah tumbuak. Sabagai pulo di
Pardano - piliah urang tukang nan pandai - tukang bungkuak Magek Mansawi -
pandai manarah manilantang - pandai marapek dalam aia - suruah buek garudo
pararakan - ka panjapuik Sutan Lembang Alam".
Ka bak apo lah li lai - lah dipalu tabuah larangan - lah baguguah canang
pamanggia - gumantar tabuah si hulando - ciok bigo tabuah nan banyak.
Lah bahimpun urang samonyo - gadang-ketek tuo-mudo - laki-laki parampuan -
Allahu rabbi banyak urang - bak anai-anai bubuih - bak kaluang beba patang.
Bakato urang nan banyak:
"Ampun Tuanku Rajo kami - apo sabab tabuah dipalu - apo sabab canang
diguguah - di mano jojo nan lapuak - di mano parik nan tahampa - di mano
dubalang rabuik-rampeh - di mano rando buliah malu - di mano gadih nan
bajuang - di mano Tuanku salah kitab - di mano Rajo salah hukun - sangaiklah
susah hati kami".
Manjawab Hakim Pardano:
"Ukan parik nan tahampa - bukan dubalang rabuik-rampeh - bukan juaro takuiran
- bukan pangulu lancok hukun - mangkonyo tabuah dipalu - canang pamanggia
baguguah - buliah titah di Tuanku - mahimpunkan rayaik nan banyak ko.
Sabuliah bali jo pinto - salaku-laku kaandak baliau - cakau kabau di kandang -
urah padi di lumbuang - antak tabu di lurah - tabang kayu di rimbo - kito ka
mamancang galanggang - mangawinkan Si Rona Pinang - jo Sutan Lembang
Alam - anak aciak Ameh Manah.
Sabuah lai titah baliau kapado Sampono Dunie - buek garudo pararakan".
Kununlah urang nan banyak - suko rayo samonyo - abih bakarajo siang malam.
Nan ka rimbo lah ka rimbo - nan manumbuak alah manumbuak - kok kabau alah
bacakiak - kok tabu alah baantak.
Lorong kapado Sampono Dunie - indak sunyi siang malam - mambuek garudo
pararakan.
Lah duo hari urang bagarak - cukuik tigo hari garudo lah sudah.
Asa siang hari barisuak - lah bahimpun urang kayo-kayo - sarato urang mulie-
mulie. Rapeklah anak mudo-mudo - sarato anak Sutan-Sutan - di rumah Mamak
Si Hetong.
Bakato Mamak Si Hetong:
"O urang nan banyak nangko - rapek papek kito bajalan - ka rumah Si Amai
Manah - manjapuik Sutan Lembang Alam - ka diarak jo garudo.
Kini juo kito bajalan - sataro hari alun tinggi - sataro paneh alun garang".
11. Rampiak –
12. Tayok – banyak.
13. Rang dangan – hamba sahaya, budak.
14. Guli – mawar (dalam sastra lama).
15. Nyao rean –
15a. Luhak – sumur.
26. Jumbalang –
27. Anak cancang panarahan –
28. Pada – pedar, tengik, getir (tentang rasa dan bau).
29. Buliah – boleh, dapat, beroleh.
30. Dampa-dampa si ula gerang – papan di bawah ujung atap berukir gambar
ular.
PENGANTAR
AN
KABA SI ALI AMAT
Sialah urang takaba, takaba Si Ali Amat, takaba bakabau banyak, takato
bajawi banyak.
Lah tinggi ruponyo hari, kiro-kiro pukua salapan, sapanggalahan matoari naiak,
bakato Puti Linduang Bulan:
“Anak kanduang Si Ali Amat, jagolah ba a anak tidua, lah tinggi candonyo hari.
Singkokanlah kandang kabau kito, alaukanlah jawi kito”.
Io di Si Ali Amat, mandanga kato mandeh kanduang, lah jago garannyo tidua,
disingkokannyo pintu kandang, dialau molah tu kabau, kalua ka tangah padang.
Lah tibo di tangah padang, hari ribuik mandanguang-danguang, tidak tabedo
garang paneh, bak ka putuih rangkai hati. Tidak tabedo dareh ribuik, bak ka
cabiak ujuang deta.
Bakato tuo di padang:
“Adiak den Si Ali Amat, tungguilah kabau kito, kabau kito sagintuang-gituang,
awak den kapai bataduah, ka kayu bapucuak sirah”.
Manjawek Si Ali Amat:
“Kok bak nan tun janyo tuan, lah io pulo janyo ambo, nak ambo tunggui kabau
tuan, pailah tuan bataduah!”
Mambao kabau Si Ali di tapi labuah, nan gadang io mo kabau nan badua1,.
bataduah Si Ali Amat di bawah paruik kabaunyo.
Lah lalu molah tu urang, urang tuo mambao sadah. Takajuik kabau si Ali,
tapijak ujuang kukunyo.
Bakato Si Ali Amat, sarato hariak bulalangnyo:
“Hantu bintalak2 di ma iko, hantu paburu di ma iko, kabau den dikajuikinyo.
Sikolah makan mo tangan den, siko manganai mo kaki den”.
Bakato urang nan lalu:
“Indak den mangajuiki kabau ang, bukan den hantu bintalak, ukan den hantu
paburu. Awak den urang tuo buruak, baju buruak kain buruak, roman den pun
buruak pulo. Bahari-hari to makan, babulan-bulan to minum, diam den di rimbo
gadang, makan umbuik-umbuik pua, minum rangek-rangek tabiang. Awak den
manjua sadah, sadah den sakupang 3 ganok, sapitih to amuah labiah, saratuih to
amuah kurang, sakupang sajo sadah den”.
Bakato Si Ali Amat:
“Amai janyo den di amai, kununlah sadah sakupang, antakan bakeh amai den,
ka rumah si Rumin Judin, ka kampuang si Linduang Bulan. Baliau sadang
manalok kain4, lah marandam pulo”.
Bakato rang tuo buruak:
“Anak den si Ali Amat, di ma rumah si Rumin Judin, di ma kampuang si Linduang,
katokan bana paik-paik!”
Bakato Si Ali Amat:
“Iliakan labuah nan panjang, di suok jalan ka pai, di kida jalan ka pulang, di
labuah kelok basiku, pudiang ameh paganyo labuah, pudiang ganin (?) paga di
dalam, anjiluang barumpun–rumpun, sikasok babatang-batang, lansano batimbo
jalan, di karambia atok tungku5, di pinang nan linggayuran, di sanan kampuang
amai den.
Tapi ado caceknyo sabuah, labuah urang bapangawa, kampuang nan tun
bajagoi. Kok tau pangawa labuah, sapuluah ameh bautang. Kok tau pangawa
kampuang, salucuik-lucuiknyo jo badan. Utang tak buliah dibaia, salah tak buliah
ditimbang”.
Bakato urang tuo buruak:
“Kununlah itu dikatokan, bapantun den sabuah,
Bajalan rang tuo buruak, lah ilia labuah nan panjang, jauah bak raso di jalan,
dakek bak raso ka tibo, ampia bak raso ka sampai.
Lah tibo molah garangan – lah sampai molah ka io – ka halaman si Rumin Judin
– si Rumin Judin sadang batanun.
Bakato rang tuo buruak:
“Hai rang mudo nan batanun, bari luruih den batanyo, nan ma nan rumah si
Rumin, nan ma nan kampuang si Linduang?”
Bakato si Rumin Judin:
“Amai janyo den di amai, lah tatakok di nan io, tak tatakok di nan bukan”.
Bakato Si Rumin Judin:
“Amai karumahlah amai, lah auih garan amai den, lah litak molah garangan,
sajauah nangko lah jalan”.
Manjangguak Si Lindung Bulan, tagak ka pintu ka rumah. Bakato Si Linduang
Bulan:
Lah panek gigiah bagigiah, lah payah tangka batangka, bainsuik-insuik rang
tuo.
Bakato Si Linduang Bulan:
“Adiak den Si Kambang Manih, abuihlah kawa Kambang ai, tanaklah nasi
Kambang ai, lah auih bana amai den, lah litak bana garangan”.
Bawari Si Kambang Manih, bagageh-gageh awaknyo, kupi tajarang sakali. Si
Kambang rang ringan tangan, aso dikakok duo jadi. Sadangkang batu ladonyo,
duo baleh gulai nan masak.
Disanduak nasi ka pinggan, dikaka-kaka manyanduak, bujuanyo samo bujuanyo,
halintang samo halintang, di tapi samuik bairiang, di tangan awan bajumpo. Elok
diirik-irikan, elok makanan rajo-rajo, elok minuman sutan-sutan. Singgang parpati
mandua, singgang satitiak adu-adu, kuah salilik tambun jati. Dibao nasi kalua,
kalua ka tangah rumah.
Io di Si Kambang Manih, diisi kupi sakali, diimbau rang tuo buruak:.
“Amai kamarilah makan, lah dingin kupi di cangkia, lah dingin nasi di pinggan”.
Manjawek rang tuo buruak:
“Amaklah ko tak ka kiun, saelok nan tun rumah ko, saburuak nangko awak den.
Kok suko adiak baragiah, tariak di lauak-lauak ayam, onyokanlah di kau kamari”.
Lah panek gigih bagigiah, lah payah tangka batangka, lah datang rang tuo
buruak, jadi makan jadi minum, Si Linduang Bulan nan surang, Si Rumin Judin
nan surang, rang tuo buruak nan surang, barampek jo Si Kambang Manih.
Bawari rang tuo buruak, manyuok inyo igo suok, cukuik kaampek basuah tangan,
kalimo jo kumua-kumua, bak nan tun makan rang tuo buruak.
Sudah makan sudah minum, bakato rang tuo buruak:
“Adiak den Si Rumin Judin, nan surang Si Linduang Bulan, baia balilah sadah
den, hari lah barimbang tinggi, jalan jauah io di den!”
Bawari Si Linduang Bulan, dilantak peti nan gadang, mandanguang tali bubutan,
duo tigo kunci nan jatuah. Di bao pitih kaluar, kaluar ka tangah rumah. Dibilang
pitih limo kupang, dikatokan bakeh rang tuo:
“Nyak lah iko pitih amai, nan sakupang bali sadah, nan saameh den baragiah
samiang”.
To amuah rang tuo buruak, bakato rang tuo buruak:
“Sadah den sakupang sajo, sapitih to amuah labiah, sarimih 6 to amuah kurang.
Kok suko adiak baragiah, kudian amak den datang”.
Lah panek gigiah bagigiah, lah panek tangka batangka, to amuah rang tuo
buruak.
Bawari Si Linduang Bulan, ditariknyo pitih cako, dibuhuakannyo ka kain ka
cawek, ka gunjai alai, ka cawek rang tuo buruak.
Bakato rang tuo buruak:
“Lapeh baelok den di adiak, awak den kan ka bajalan, lapeh jo hati nan cuci,
lapeh muluik nan manis”.
Bakato Si Linduang Bulan :
“Kok bak nan tun janyo biai, suruik pulolah kudian?”
Lah tagak rang tuo buruak, tagak ka pintu rumah. Maadok rang tuo buruak, ka
bakeh Si Linduang Bulan:
“Saelok nangko rumah ko, sarancak iko rumah ko, gonjongnyo rabuang
mambacuik, parannyo ula mangalampai, tuturan labah mangirok, cibuak kanso
balariak, janjang ko perak balanja.
Kok elok iolah elok, kok rancak iolah rancak, tagah caceknyo sabuah, lailah to
den katokan”.
Lah tagak Si Linduang Bulan, dipacikannyo urang tuo:
“A iko cacek rumah den. Kunun to amai katokan, amai to buliah bajalan. Rugi den
badorai-dorai, paluah den den kalatiakan, asa lai rumah den sudah. Rumah
sudah tukang babunuah, tak dapek ditiru lai.
Kunun tak amai katokan, amai tak buliah malangkah!”
Bakato rang tuo buruak:
Lah lapeh urang tuo buruak. Bajalan urang tuo buruak. Manggaruang Si
Linduang Bulan. Rauangnyo sampai ka pitalo, rahainyo sampai ka atek langik.
Didamuak dado nan jajai, bakasan jari nan limo, anam jo patahan cincin.
Lah masuak ka biliak dalam, mangaluah ka katiduran, mangaluah ka kalang-hulu,
badarai aia matonyo. Bakato di dalam hati:
“Anak malang anak cilako, anak cilako bago birah”.
Lah lamo bakalamoan, lah panjang bakalalaian, lah patang candonyo hari, lah
pulang Si Ali Amat, dimasukkannyo kabaunyo.
Hari hujan kaciak-kaciak, ka halaman Si Ali Amat, alah tagak ka bawah
lumbuang – maimbau Si Ali Amat:
“Amai den Si Linduang Bulan, jawek juo biai jawek juo, jawek juo sambang
dadiah den, kabau den alun basaok, nan kaciak alun bakungkang!”
Bapakak samiang Si Linduang.
Lah tigo kali inyo maimbau, bapakak juo Si Linduang.
Bakato Si Ali Amat:
“Ba a ko lah iko amai den, paruik ko lah nan umayang, kapalo ko lah nan ngalu,
kapatang indak bak nangko”.
Lah jago Si Linduang Bulan, manjanguah ka pintu gadang:
“Anak den Si Ali Amat, bukan paruik den nan umayang, bukan kapalo den nan
ngalu. Anak den Si Ali Amat, bakiroklah ang di siko, bakikihlah ang di siko. Rang
cilako tungku bangkah, urang basibidai takirok7, urang basiabu ateh tunggua,
uwia-uwia manangeh jamua!”
Bakato Si Ali Amat:
“Dek a ko lah iko amai den, lah pasiak molah amai den, lah jawa8 molah amai
den, kapatang indak bak nangko”.
Bakato Si Ali Amat:
“Ba a amai mungko bak nan tun, di ma bana salah siliak den, kok lah bak nan tun
di amai. Mak bak nan tun kato urang,
Lah sudah inyo barundiang, bajalan Si Ali Amat, nan surang Puti Kasumbo.
Mulai bukik lah tadaki, mulai lurah lah taturuni, banyaklah rimbo nan tatampuah.
Lah lamo bakalamoan, lah payah Si Ali Amat, lah jariah Puti Kasumbo. Hari nan
hujan-hujan kaciak, dicari bakeh bataduah, tampak dinyo rungguak kayu.
Bakato Si Ali Amat:
“Adiak den Puti Kasumbo, kito barantilah di sanan, di dalam rungguak kayu nan
tun”.
Bajalan inyo ka rungguak kayu, padahan arang10 ula gadang.
Bakato Si Ula Gadang:
“Siko mo sangkang garaman den, di siko kanyang mo paruik den, rajaki datang
mauntok, rang dunie sasek kamari”.
Bakato Puti Kasumbo:
“Kakak den Si Ula Gadang, kunun Si Ali ka dimakan, awak den makan daulu, jan
mato den mancaliak, jan talingo den mandanga, pado den baibo hati!
Sabuah lai di kak Ula, awak den urang cilako, indak paguno di urang. Pado iduik
eloklah mati, pado manangguang parasaian, usah manyeso amai den”.
Bakato Si Ula Gadang:
“Indak Si Ali ka tamakan, indak awak ko ka talulua. Si Ali urang batuah, awak ko
anak rang baiak. Dikunyah garaman tangga, dilulua paruik umayang, awak kau
sasek kamari. Jo a kau ka den lapeh, a ka den barikan anjik Si Ali ?
Tariaklah reno di kapalo den, tariaklah cincin di ikua den. Cincin banamo cinto-
cinto, pacinto ameh jo perak, pacinto bareh jo padi, pacinto kampuang halaman”.
Bawari Si Ali Amat, ditariak reno jo cincin. Lah dapek reno jo cincin, bakato Si Ali
Amat:
“A lah ka den barikan anjik kakak, bakain babaju lai tidak, makan-minum kami lai
tidak. Kami nangko urang cilako, awak kami urang tabuang. Tinggalah kakak di
siko, kami bajalan anyo lai”.
Bajalan Si Ali Amat, nan surang Puti Kasumbo. Kiro-kiro sapambaean,
maadok suruik Si Ali:
“Adiak den Puti Kasumbo, caliaklah kakian! Alah lah pasa rimbo satumpak, kayu
gadang abih rabah, tabiang tinggi lah abih runtuah, bakeh ula maampeh-ampeh,
inyo mamutuihkan angoknyo, laruik hati den mancaliak, hibo hati den
mamandangi, sabab karano di kito, sabab tuahnyo kito ambiak”.
Bakato Puti Kasumbo:
“Kok bak nan tun ka ba a juo, indak kito marabuik, indak kito maniayo, awaknyo
amuah baragiah”.
Lah lamo bakalamoan, bajalan Si Ali Amat, nan surang Puti Kasumbo, ka
mudiak juo arahnyo.
Lah jauah inyo bajalan, bakato Si Ali Amat:
“Adiak den Puti Kasumbo, pacik pitaruah arek-arek, pacik pitaruah taguah-
taguah, jan adiak lupo-lupokan.
Adolah lapau sabuah, lapau Si Mahayun Bukik, urang nan bagak sakali, urang
panyamun panyaka, urang pahelo paunjun, pandai manarah manalintang,
pandai marapek dalam aia, manungkek nan tak jo tupang, manggantuang nan
tak jo tali, mangganang nan tak jo aia, io Si Mahayun Bukik.
Usah adiak ka rumah pulo, jan kito baranti sinan, jan kito disamunnyo, jan kito
dirampehnyo, usah kito bamusuh jo nyo”.
Bakato Puti Kasumbo:
“Kok lah bak nan tun janyo kakak, ka ba a pulo janyo den”.
Salamo lambek di jalan, jauah basarang dakek juo, ampiang ka tibo anyo lai.
Lah tibo inyo di sinan, di lapau Mahayun Bukik:
Lah naiak Puti Kasumbo, lah tingga Si Ali Amat, io di tangah halaman.
Io di Si Mahayun Bukik, hati gadang tidak tabedo, arok nan bukan ulah-ulah,
awak ka dapek padusi, dibari minum jo makan. Lah makan Puti Kasumbo. Lah
sudah minum jo makan, dimakan siriah sakapua.
Ado sabanta antaranyo, bakato Si Ali Amat:
“Adiak den Puti Kasumbo, adiak turun molah adiak, hari lah barimbang tinggi,
jalan jauah ka kito turuik, nyak pitih pambali nasi urang”.
Bakato Mahayun Bukik:
“Indak nyo ka turun do, urang lah datang ka kampuangnyo, urang lah datang ka
rumahnyo. Kok ka bajalan pailah, Puti Kasumbo ka di siko!”
Bakato Si Ali Amat:
“Ba a nyo ka tingga siko, a jalan mungko bak nan tun, lai utang tak kabaia. Kok
anyo ambek-ambek sajo, kok anyo tahan-tahan sajo, antah kok lubang bakali,
antah kok kasiak taputiah, antah kok mijan tatagak, mungkonyo ka tingga siko!”
Bakato Mahayun Bukik:
“Talampau bana urang nangko, gaduak bana inyo kironyo, tidak ang danga
baritonyo”.
Malompek sakali ka halaman, dicakau pinggang Si Ali, diambuangkannyo sakali.
Mambaleh Si Ali Amat, dihambuangkannyo Mahayun Bukik, balambin tibo di
tanah. Lah lamo garan bacakak, batimbang ampeh-maampehkan, batimbang
antak-maantakan. Diantakkannyo Si Ali, tabanam sahinggo pinggang.
Bawari Si Ali Amat, diungkik suok jo kida, lalu mahambua anyolai. Disembanyo
pinggang Mahayun Bukik, diantakkannyo ka tanah, tabanam sahinggo lihia. Lah
geleng-geleangi, talalu mati sakali.
Lah turun Puti Kasumbo, bakato Si Ali:
“Adiak den Puti Kasumbo, lah payah bana den anyo, bara pulo gadang doso den,
baduo mambunuah urang.
Lah uweh hati adiak den, adiak nan tak bahati, adiak den nan tak balimpo.
Lah lamo baulak-ulai – bajalan Si Ali nan surang Puti Kasumbo – masuk rimbo
kalua rimbo – masuak ka dalam rimbo gadang.
Lah tibo di tangah rimbo – basuo harimau gadang.
Bakato harimau gadang:
“Siko paruik den mungko kanyang – siko garaman mungko singgang – rajaki
datang mauntok”, katonyo harimau gadang.
Bakato Puti Kasumbo:
“Kakak den harimau gadang, kok Si Ali ka dimakan, kok Si Ali ka dilulua, awak
den lulua daulu, Si Ali makan kudian. Usah mato den mancaliak, usah talingo
den mandanga.
Sabuah lai di kakak, kami nangko urang cilako, urang basibidai takirok, uwia-uwia
manangeh jamua, indak paguno di urang, lah dibuangkan amai kami”.
Bakato harimau gadang:
“Indak Si Ali ka tamakan, indak Si Ali ka talulua, Si Ali urang kiramaik, awak kau
urang batuah. Dikunyah garaman tangga, dilulua paruik umayang. Awak kau
sasek kamari.
A lah iko ka dibarikan, ka baka bajalan jauah, ameh tidak perak pun tidak, ilmu
kuaik lai saketek, pakailah iko di kau, mari den aja pandeka!”
Lah jimek itu dibarikan, bakato harimau gadang:
“Adiak bajalanlah adiak, itu samiang paragiah den”.
Bakato Si Ali Amat:
“Kakak oi harimau gadang, kami bajalan anyo lai”.
Bajalan Si Ali Amat, nan surang Puti Kasumbo.
Lai sabanta inyo bajalan, kiro-kiro sapambadian, mancaliak suruik Si Ali. Patuih
lah babintang-bintang, kilek lah baapi-api, ribuik lah mandanguang-danguang,
hujan gamuruah-gamuruah.
Lah pasa rimbo satumpak, samuik kicik abih lipua, kayu gadang abih patah,
tabiang tinggi abih runtuah, harimau gadang mangaruang-garuang, inyo
mamutuihkan angoknyo, tuah lah dibao urang.
Bakato Si Ali Amat:
“Adiak den Puti Kasumbo, laruik hati den mamandangi, mancaliak harimau nan
tun, sabab karano di kito”.
Bajalan juo Si Ali, ka mudiak juo candonyo. Lah lamo maso bajalan,
paluahlah kubang kabauan.
Bakato Si Ali Amat:
“Adiak den Puti Kasumbo, pacik pitaruah arek-arek, pacik pitaruah taguah-
taguah, jan adiak lupo-lupokan!
Adolah lapau sabuah, lapau Mahampiang Basi, urang pahelo paunjun, urang
pacakak paangak, urang panyamun panyaka.
Kito kalau ka kian, jan adiak ka rumah pulo, usah manjadi nan lah alah!”
Bakato Puti Kasumbo:
“Kok lah bak nan tun janyo kakak, ka ba a janyo den pulo”.
Lah lamo maso bajalan, hampiang bak raso ka tibo, jauah bak raso di jalan.
Lah sampai molah garangan, lah tibo molah ka io, di lapau Mahampiang Basi.
Bakato Mahampiang Basi:
“Adiak ka rumahlah adiak, lah auih raso adiak den, lah litak raso adiak den,
sajauah nangko lah jalan, sapayah nangko lah awak”.
Bakato Puti Kasumbo:
“Amak lah ambo kok tak ka rumah, jalan jauah ka kami turuik, kampuang tak
tentu ka dijalang”.
Bakato Mahampiang Basi:
“Ka rumah juo sacacah, bagio makan sirih samiang”.
“Kok lah bak nan tun janyo tuan, ka rumah juo molah ambo” katonyo Puti
Kasumbo.
Lah ka rumah Puti Kasumbo, kupi tahanta sakali, nasi tahanta sakali.
Io di si Mahampiang Basi, hati lah angek-angek dingin, awak ka buliah padusi,
nyak lakeh samianglah juo, acoknyo mak kunjuang sampai, dareh mak nyo
kunjuang tibo.
Sudah makan sudah minun, dikunyah molah tu pinang, io di Puti Kasumbo.
Sarilamak jatuah ka paruik, sari manih tingga di bibia, do bibia Puti Kasumbo.
Bakato Si Ali Amat:
“Adiak turun molah adiak, hari lah barimbang patang, jalan ka jauah di kito”.
Manyauik Mahampiang Basi:
“Kok ka bajalan pailah, Puti Kasumbo ka di siko, urang lah sasek ka rumahnyo!”
Bakato Si Ali Amat:
“Tuan den Mahampiang Basi, ba a nyo tuan tahani, ba a nyo ka tuan ambek. Lai
utang tak tabaia, lai arato tuan diambiaknyo.
Kok anyo tahan-tahan sajo, antah kok putuih angok den, antah kok kalu lidah
den, antah kok rabun mato den, mungkonyo ka tingga siko”.
Bakato Mahampiang Basi:
“Sagaduak-gaduak iko umaik, sagaliniang iko urang, anak bincacak bincacau,
anak ngiang-ngiang rimbo, anak si caciang panarahan. Ka den bunuah anak
urang nangko, ka bajua jauah-jauah, ka babunuah mati-mati”.
Malompek Mahampiang Basi, turun ka tangah halaman, dicubokannyo bacakak,
io jo Si Ali Amat.
Dikaokannyo langkah tigo, dianjuakannyo nan ciek, mancakau Si Ali Amat.
Lah dapek Si Ali Amat, ditumbuakannyo ka gumi. Tabanam Si Ali Amat, io
sahinggo lihianyo.
Bawari Si Ali amat, diungkiknyo suok jo kida, disintakannyo badannyo,
mahambua inyo kalua.
Dilompekinyo di Si Ali, disembanyo pinggang Mahampiang Basi, diantakkannyo
ka gumi. Io si Mahampiang Basi, lah ilang jo bubun-bubun, lah putuih jo angok-
angok, talalu mati sakali.
Lah turun Puti Kasumbo, bakato Si Ali Amat:
“Lah uweh hati adiak den, lah sanang hati adiak den, batigo mambunuah urang,
bara ka gadang doso den. Adiak den nan tak bahati, adiak den nan tak balimpo,
indak mamacik pitaruah.
Sajak samulo ambo latokan,
Tidak ka latak dalam padi,
Sajak samulo den katokan,
Tidak kau latak dalam hati.
Lah sahari duo hari, lah sampai garan tigo hari, lah ampek hari ka io,
awaknyo diam di rumah, lah jago Si Ali Amat.
Io Si Ali Amat, dicaliak kiri jo kanan, dipandang hilia jo mudiak, tak tampak Puti
Kasumbo, manangih Si Ali Amat:
“Kama ko kau lah adiak den, kama ko inyo ka den cari”.
Lalu bajalanlah Si Ali. Lah lamo bakalamoan, lah sasek ka kampuang urang –
ka kampuang Puti Kasumbo.
Lah tibo tangah halaman, dihantam-hantamkan kaki, dilantuang-lantuangkan
cibuak, manjanguah Puti Kasumbo.
Bakato Si Ali Amat :
“O amai nan punyo rumah, bari luruih den batanyo, bari tarang den batanyo. Lai
lah urang nan sasek, io ka rumah amai nangko, Puti Kasumbo namonyo”.
Bakato Puti Kasumbo:
“Tuan janyo den di tuan, kok tanyo ka den bari luruih, kok tanyo ka den bari
tarang. Tuan ka rumahlah tuan”.
Ka rumah Si Ali Amat, lah duduak ka ruang tangah, disanduakannyo nasi,
diasokannyolah kupi.
Bakato Si Ali Amat:
“Indak den auih di kupi, indak den litak di nasi, bari luruih den batanyo, bari
tarang den batanyo, lailah urang nan sasek kamari, Puti Kasumbo namonyo?”
Manjawek Puti Kasumbo:
“Kok batanyo lapeh payah, kok barundiang sudah makan, makanlah tuan daulu!”
Lah makan Si Ali Amat, tak lalu nasi dimakan, tak amuah aia diminum. Nasi
dimakan raso sakam, aia diminum paik-paik, dek susah di dalam hati.
Sudah makan sudah minum, bakato Si Ali Amat:
“Kok makan lah ubek litak, kok minum lah ubek auih, bari tarang den batanyo,
bari luruih den batanyo”, katanyo Si Ali Amat.
Manjawek Puti Kasumbo:
“Indak elok urang parusuah, urang parusuah lakeh tuo, urang pahibo jauah hati,
urang panangih bileh mato” katonyo Puti Kasumbo.
Bakato pulo hanyo lai:
“Alah tatakok di nan io, indak tatakok di nan bukan. Kakak den Si Ali Amat, awak
den nan adiak kakak, banamo Puti Kasumbo.
Le maso kakak lalok, den aso kakak lah mati, den jagokan tak amuah jago.
Takana di den agak-agak, lai cincin nan taiso, den cinto rumah gadang, den cinto
kampuang halaman, tadiri itu sadonyo. Ikolah rumah nan tacinto, ikolah
kampuang nan den cinto”.
Lah sanang hati Si Ali, lah sirah molah mukonyo.
Tabik dinyo agak-agak, takana molah kiro-kiro, bakato Si Ali Amat, ka bakeh
Puti Kasumbo:
“Adiak den Puti Kasumbo, kunun rumah kan lah ado, kunun kampuang kan lah
buliah, lai juo cincin nan tun kau andokan?”
Manjawab Puti Kasumbo:
“Kunun lah cincin ditanyokan, kama pulo ka painyo”.
Bakato SI Ali Amat:
“Bao lah kamari cincin nan tun, kito cinto molah rangkiang, kito saru bareh jo
padi”.
Io di Puti Kasumbo, dibarikannyo cincin nan tun. Ditariak cincin di Si Ali, dibaka
kumanyan putiah, diasok molah cincin nan tun, dicintonyo rangkiang gadang,
disaru bareh jo padi.
Lah ado itu samonyo, lah sanang hati Si Ali, lah lalok tidua Puti Kasumbo.
Lah lamo bakalamoan, lah panjang bakalalaian, Allah Ta’ala manggarakan,
lah ngalu Puti Kasumbo.
Bakato Puti Kasumbo:
“Kakak den Si Ali Amat,
Kaba baraliah anyo lai, ka bakeh rang punyo lapau. Alah sahari duo hari, alah
sapakan duo pakan, indak urang kambali juo, urang nan bapitaruah kaban.
Bamanuang nan punyo lapau:
“Sialah urang bapitaruah, indaknyo kambali lai. Lah mati garan awaknyo, elok
disilau pitaruahnyo, anjo den silau kabannyo, anjo den bukak kabannyo”.
Ditariak ka dalam biliak, dibukak molah tu kaban, kaban talatak dalam biliak, ado
baisi budak ketek.
Tidak tabedo elok paja, mambayang-bayang ka langik. Ka langik babayang hijau,
ka dunie mambayang kuniang. Mahalah rajo ka judunyo, mahalah puti samo
gadang.
Di urang nan punyo rumah, dibari minum jo makan, dibari kain jo baju.
Lah cadiak garan tu paja, gadang bak diamba-amba, tinggi bak dianjuang-
anjuang, lah tahu turun ka rumah.
Bakato rang punyo rumah:
“Adiak den si budak ketek, sia kolah amai kau, sia kolah bapak kau?”
Bakato si budak ketek:
“Indak den baibu bapak, indak bamamak baniniak. Amailah ibu bapak den,
amailah niniak mamak den”.
Bakato rang punyo rumah:
“Adiak den si budak ketek, adiak kok ka den bari nasi, adiak kok ka den bari aia,
pailah adiak manjamua, tungguilah jamua di kau!”
Io di budak ketek, pailah inyo manjamua. Sacotok jamua di ayam, sapuluah
panggalan lakek.
Di urang nan punyo rumah, lah banci molah hatinyo, lah pasai inyo
manggadangkan.
Di urang nan punyo rumah, digantangnyo molah sakuih, diserakannyo ka
hilalang.
Bakato rang punyo rumah:
“Pailah piliah sakuih adiak, adiak kok ka den bari nasi, adiak kok ka den bari air!”
Bajalan si budak ketek, pai mamiliah sakuih, ka dalam hilalang gadang.
Usah ka usak, kanduik sakuih nan dipiliahnyo.
Mamak den nan tak bahati, mamak den nan tak balimpo, indak mamacik
pitaruah” katonyo si budak ketek.
Io di Si Ali Amat, indak didanga di talingo, disangko anak sia-sia, anak kaciak
bakato-kato.
Minum makan Si Ali Amat, lah sudah inyo minum makan, indak katauan nan ka
dituruik, hati nan samak-samak rusuah, di ma duduak di ma bamanuang.
Io di si budak ketek, tabik di nyo agak-agak, takana di nyo kiro-kiro, pai nyo
bamain-main, pai nyo ka tapi lauik, pai manimbo-nimbo aia, rintang mangali-ngali
kasiak.
Di hari sahari nan tun, lalulah urang manggaleh, inyo ka pai balaia.
Bakato si budak ketek, kabakeh urang sudaga:
“Tuan den urang sudaga, tuan kok ka pai balaia, tolong juo den di tuan. Kok suko
tuan bajariah, kok amuah tuan manolong, ukua sabulan dalam biduak, ukua
sabulan palayaran, kok Allah lai manolong, sahari sajo tuan sampai. Ukua
sabulan jua-bali, jangko sabulan baniago, sahari sajo lah abih”.
Bakato urang sudaga:
“A lah kolah pitaruah adiak, a ko lah pasan adiak. Kok lakeh kami sampai, kok
batua kato adiak, kami carikan kahandak adiak. A ko lah nan di hati adiak”.
Bakato si budak ketek:
“Tuan den urang sudaga, asa lai amuah tuan mambao, io mo mak den katokan.
Lailah buah sabuah, banamo buah sikaco, io li tumbuah di tangah lauik basa, di
suok jalan ka pai, di kida jalan ka pulang, tasunguah ka pintu biduak. Batangnyo
sagadang banang, buahnyo sagadang gantang, daunnyo saalai sajo, buahnyo
sabuah samiang. Tuan ambiaklah buah nan tun, tuan pajariah papayahkan”.
Bakato urang sudaga:
“Kok bak nan tun kato adiak, amak den kana-kana molah”.
Bakato si budak ketek:
“Asa lai ka tuan bao, den nanti juo di siko”.
Bajalan urang balaia, lah masuak urang sudaga, io mo pai babiduak, biduak
lah manduo-duo.
Jangko sabulan palayaran, sahari sajo lah sampai, lah tibo diparantian, lalu
dibongka molah biduak, bakadai urang sudaga.
Pado maso duwaso itu, indak tabedo banyak urang, io mo datang mambali. Ukua
sabulan jua-bali, sahari samianglah putuih. Lah suko urang sudaga, lah sanang
dalam hati.
Dimuek pulo molah biduak, lah sudah biduak tamuek, lalu dikayuah molah
biduak. Tibo di tangah lauik basa, dikayuah lalu tak amuah, dikayuah suruik tak
buliah. Biduak lah managun samiang.
Tamanuang urang sudaga, a kolah iko sababnyo, mungko biduak bak cando
nangko. Manjanguah inyo pintu, io mo urang sudaga, tampaklah batang
sabatang, buahnyo sagadang gantang, batangnyo sagadang banang, daunnyo
saalai sajo.
Tabik di nyo agak-agak, takana dinyo kiro-kiro, io pasan si budak ketek,
mangkahandakan buah kaco. Io li iko molah nan talampaui, mungko biduak tak
amuah bajalan.
Bawari urang sudaga, diambiak molah tu buah, disimpan ka dalam biduak,
dicubo pulo mangayuah biduak, biduak lah manyorong-nyorong, indak sataro
bakayuah.
Lah lamo bakalamoan, lah panjang bakalalaian, lah tibo di tapi pasia,
dibongka pulolah barang, si budak ketek mananti juo.
Bakato si budak ketek:
“Tuan den sudaga, ado pitaruah den tuan bao, ado buah den tuan ambiak, awak
den mananti juo”.
Katonyo urang sudaga:
“Lai den bao buah kau, lai den pacik pitaruah kau”.
Io di urang sudaga, dibarikan kain nan rancak, dibarikan pitih banyak-banyak, ka
anjik si budak ketek.
Bakato si budak ketek:
“Tuan den urang sudaga, indak den arok di pitih, indak den nak buliah kain, asa
lai buah den dibao, labiah bak tuan bari pitih, labiah bak tuan bari kain”.
Lah panek gigiah bagigiah, lah payah tangka batangka, indak yo namuah
manahiak.
Bakato si budak ketek:
“Tuan den urang sudaga, kok tuan nan baragiah juo, asa lai den sarila-rila tuan,
barilah kain bujua sangka, ka pandukuang-dukuang buah”.
Bawari urang sudaga, pitih dibari to nyo namuah, kain dibarikan to
diamuahkannyo.
Dibarikan kain bujua sangka, ka anjik si budak ketek. Dibarikannyo buah nan tun,
io di urang sudaga, ka bakeh si budak ketek.
Bakato si budak ketek:
“Tuan den urang sudaga, ridokan jariah payah tuan, tuan lah payah mambao
buah ambo” katonyo si budak ketek.
Bakato urang sudaga:
“Adiak den si budak ketek, rilakan sarila-rilanyo, di muluik sampai ka hati, di awa
lalu ka akia” katonyo urang sudaga.
Lah dibao molah buah, didukuang molah tu buah.
Bakato si budak ketek:
“Awai ai awai buah den, sabajajak buah tinggakan, tidak tabedo sakik iduik,
bahari-hari to makan, babulan-bulan to minum, batahun-tahun to mandi”
nyanyinyo si budak ketek.
Bajalan juo awaknyo, ka bakeh mamaknyo cako. Jauah bak raso di jalan,
hampiang bak raso ka tibo.
Lah sampai molah garangan, lah tibo molah ka io, ka bakeh mamaknyo cako.
Banyanyi si budak ketek:
“Awai ai awai buah den, sabajajak buah tinggakan, indak tabedo sakik iduik.
Mamak den nan tak bahati, mamak den nan tak balimpo, tidak mamacik pitaruah.
Awak den nak manyalang rencong, disuruah si upiak ketek, ado ka gunonyo di
nyo, io ka pambalah buah, buah camin si upiak ketek”.
Manjawab Aciak Nan Gambun:
“Lai den manaruah rencong, indak awak den nan punyo. Rencong den rencong
pusako, dari ninik turun ka mamak, dari mamak turun ka bakeh den, utang den
mamakai sajo”.
Bakato Si Ali Amat:
“Kok bak nan tun bana janyo aciak, pintak den nak dibari juo, kahandak nak
balaku juo. Mungko bak nan tun janyo den, awak den disuruah si upiak ketek.
Dikatokannyo bakeh den, pailah mamak ka kian, ka rumah Aciak Nan Gambun,
salanglah rencong sabuah. Kunun jo Aciak Nan Gambun, awak den saluak
samaluak, awaknyo anak inyiak den, awak den anak mamaknyo. Bak a tak ka
buliah manyalang, bak nan tun janyo bakeh den”.
Bakato Aciak Nan Gambun:
“Kok bak nan tun janyo tuan, ka bak apo lah janyo den. Rencong den kok ka
dibao, den kusuak molah daulu, den asok molah daulu” katonyo Aciak Nan
Gambun.
Bawari Aciak Nan Gambun, lah tagak anyo lai, dibukak candonyo kunci,
mandanguang tali bubutan, duo tigo kunci nan jatuah.
Dibao rencong kalua, kalua ka tangah rumah. Dikusuakinyo rencongnyo,
dilimauinyo rencongnyo.
Bakato Aciak Nan Gambun:
“Tuan den Si Ali Amat, kok rencong den ka dibao, kok ka dibalahkan rencong
den, pacik pitaruah arek-arek, usah dilupo-lupokan.
Apo basuo dalam buah, kok padusi nan basuo, namokan Puti Kasumbo, ka
lawan den samo gadang, ka kawan den hilia jo mudiak.
Kok laki-laki nan basuo, namokan Si Tungga Kayo. Kaciak banamo Nan Tungga,
gadang banamo Magek Jabang”.
Manjawek Si Ali Amat:
“Kok bak nan tun janyo Aciak, ka ba a janyo den pulo, amak den pacik arek-arek.
Iko siriah kunyahlah pinang, isoklah iko santo, ambo ka bajalan anyo lai, harilah
barimbang tinggi, si upiak nanti-nantian”.
Bawari Aciak Nan Gambun, dikunyah molah tu pinang, sari lamak jatuah ka
paruik, sari manih tingga di bibia, di bibia Aciak Nan Gambun.
Lah sudah kunyah mangunyah, lah sudah isok-maisok, bakato Si Ali Amat:
“Lapeh baelok den daulu, lapeh jo hati nan cuci, lapeh jo muluik nan manih, amak
den babaliaklah daulu, amak den antakan rencong nangko, ka bakeh si budak
ketek”.
Bajalan Si Ali Amat, ka bakeh si budak ketek, ka luhak badayun kuniang, ka
luhak larangan urang, bagageh-gageh di jalan, balari-lari awaknyo, paluahlah
gubang kabayan. Batitiak-titiak paluahnyo, jatuah duo jatuah tigo, bak maniak
putuih talinyo, bak intan putuih pangarang.
Jauah bak raso di jalan, dakek bak raso ka tibo, lah sampai molah garangan, lah
tibo molah ka io, di luhak badayun kuniang.
Lah sampai molah ka kian, ka bakeh si upiak ketek, inyo mananti-nanti juo.
Bakato si upiak ketek:
Lah sudah inyo bapantun, lah sudah inyo banyanyi, bakato si upiak ketek:
“Mamak jo den di mamak, jadi disalang koh rencong, jadi dibao tu rencong, io
rencong Aciak Nan Gambun, laikoh buliah manyalang?” katonyo si upiak ketek.
Bakato Si Ali Amat:
“Adiak den si upiak ketek, ko tu rencong lah den bao, ko tu rencong lah den
salang, bo lah kamari buah kau, mak den balah jo rencong nangko”.
Bakato si upiak ketek:
“Mamak jo den di mamak, kok dibalah buah den, usah mamak guluik sajo. Limaui
daulu buah nangko, asoki daulu buah nangko”.
Bawari Si Ali Amat, diambiak molah tu buah, dilimaui molah sakali, dibaka
kumanyan putiah, diasoki anyo lai.
Lah sudah buah talimaui, lah sudah buah taasoki, bakato si budak ketek:
“Mamak den jo den di mamak, kok buah den ka dibalah, elok-elok mambalahnyo,
baiak-baiak manuriahnyo, jan kanai isinyo baiko”.
Bakato Si Ali Amat:
“Kok lah bak nan tun janyo adiak, ka ba a janyo den pulo”.
Bawari Si Ali Amat, dibalah molah buah tu. Sakali inyo manuriah, lah balah
molah tu buah, kalua Puti Kasumbo, io mo di dalam buah.
Bakato Puti Kasumbo:
“Kakak janyo den di kakak, kakak den Si Ali Amat.
Dangalah mak den curaikan, dangalah mak den katokan. Maso kito di dalam
rumah, maso badan den ka sakik, bapitaruah den bakeh kakak, kok molah mulo
ka mo den mati, kok dikayai aja, babadan marasoi sakik, banyao marasoi mati,
kok sampai hanyo hukum den, kaban den jan dilupokan, bak nan tun juo janyo
den.
Sasa den nan to ka abih, upek ka sapanjang hari, kakak indak mamacik pitaruah”
kato Puti Kasumbo.
Bakato pulo Puti Kasumbo:
“Kakak den Si Ali Amat, to kito pai ka kampuang, a molah pulang ka rumah, sia
ko lah marewai rumah, di sia kakak pitaruahkan.
Salamo den tinggakan, lai juo kakak unikan?”
Manjawek Si Ali Amat:
“Adiak den Puti Kasumbo, baru adiak lah mati, rumahlah dikaronyo lawah,
rumahlah tacanguah samiang. Tabik di den agak-agak, pado den baputiah mato,
elok den panggang rumah nan tun. Jadi den panggang anyo lai, tidaknyo amuah
anguih. Takana di den pitaruah adiak, ditariak kaban ka biliak.
Lah sudah kaban den tariak, den panggang sakali lai, barunyo anguih rumah nan
tun, awak den bajalan anyo lai.
Den pitaruahkan kaban nan tun, den pai bajalan-jalan, masuak rimbo kalua
rimbo, paubek hati nan rusuah, ka parintang-rintang hati. Raso ka pasiak badan
den, raso ka gilo badan den, tagah umua den ka panjang.
Lah babaliak den bajalan, basuo den si upiak nangko, inyo banyanyi-nyanyi
kaciak, inyo bapantun ciek-ciek, tadayuah-dayuah di hati den, tahibo-hibo hati
den. Inyo mandukuang-dukuang buah, lalu den imbau den tanyoi.
Den bao inyo kamari, sampai den balah buah nan tun, kironyo adiak di dalam”.
Namun di maso nan tun, banyak rundiangan jo paparan, samo kalua aia mato.
Kakak den Si Ali amat! Nan tak disilau lah diliek, nan tak diliek lah basuo, lah
banyak parasaian nan ditangguang.
Kok rumah kan lah buliah, kok padi alah di kapuak, kok ameh alah di puro, kunun
hati kan lah sanang, kunun parasaian kan lah banyak.
Amai kito ba a ko lah kini, kok lah lunak hati nan kareh, kok lah suruik bakeh nan
bana”.
Sarago baetong-etong, sarago bapacah-pacah, lah datang molah tu urang, io
mananyokan padi.
Bakato urang di halaman, io mo Si Linduang Bulan, Si Ramin Judin nan surang,
didatuang-datuangkannyo cibuak.
Manjanguah Puti Kasumbo, bakato urang mambali padi:
“O kakak jo den di kakak, laikoh bajua padi, kami nak mambali padi”.
Bakato Puti Kasumbo:
“Amai ka rumahlah amai, kunun padi ditanyokan, antah lai antah tidak, ka rumah
daulu mangunyah”.
Ka rumah molah tu urang, lah timbang salo manyalo, lah batimbang kaduik jo
kampia, bakato rang mambali padi:
“Kakak janyo den di kakak, pajua lai jualah padi. Kok tak buliah banyak-banyak,
sakaciak sajolah jadi. Bapakan-pakan tak makan, babulan-bulan tak minum”
katonyo rang mambali padi.
Bakato Puti Kasumbo:
“Kok padi ka den kauik, bari luruih den batanyo, bari tarang den batanyo, di ma
ko lah iko kampuang amai?”
Manjawab molah tu urang:
“Kunun kampuang den ditanyokan, kunun nagari ditarangkan, rumik den
manarangkannyo.
Dangalah mak den katokan, dangalah mak den curaikan.
Kunun maso daulunyo, takadia Allah iko di kami. Kayo den sunduik basunduik,
gadang den asa barasa” katonyo rang mambali padi.
“Indak bak kayo rang kini, kununlah gadang rang kini, kununlah kayo rang siko.
Gadang diamba Ulando, kayo jo ameh sunduikan, takah iko kabagiaan kami.
Kabau den tayok12 di padang, itiak tayok di baluka, ayam banyak di halaman,
parapati linduang jo awan, rumah gadang sirangko gadiang, salanja kudo balari,
sapakiak budak maimbau. Rangkiang mangaki jawi, kapuak kaciak salek
samalek, di tangah sibayau-bayau, makanan dagang nan lalu” katonyo rang
mambali padi.
“Kunun maso daulunyo, jaranglah urang nan bak den. Kabau den banyak di
padang, Si Ali Amat nan gubalo.
Tatkalo kami bak nangko, hari baribuik wakatu Asa, Si Ali mamasuakan kabau,
maimbau tangah halaman.
Bak nan tun janyo bakeh den, amai janyo den di amai, jawek juo sambang
dadiah den, kabau den alun basawar, nan kaciak alun bakungkuang.
Bapakak samiang awak den, manangih Si Ali Amat, ba a ko lah iko amai den,
paruik ko lah nan umayang, kapalo ko lah nan ngalu, kapatang indak bak
nangko.
Mareh-mareh awak den, ka bakeh Si Ali Amat, banyaklah kato den katokan.
Bakiroklah ang di siko, urang basibidai takirok, urang basiabu ateh tunggua,
uwia-uwia manangeh jamua.
Mandanga kato den nan tun, manangih Si Ali Amat, bajalan samiang awaknyo,
manuruik pulo adiaknyo.
Kini to pulang-pulang lai, antah kama-kama awaknyo, sajajak ditinggakannyo.
Kami manangguang parasaian, tatkalo kami ka bak nangko”.
Bakato Puti Kasumbo, bakato sambia manangih, Si Ali bamanuang samiang:
“Dangalah mak den tutuakan, dangalah mak den curaikan” katonyo Puti
Kasumbo.
“Tatkalo kami ka jauah, tatkala kami ka laraik, adolah urang tuo buruak, urang
paujah-paejoh, nan maasuang amai kami.
Dangalah mak den curaikan, dangalah mak den tutuakan.
Tatkalo maso daulu, adolah urang tuo buruak, maasuang-asuang amai kami,
dipujinyo diupeknyo disanjuangnyo, di urang tuo buruak.
Bak nan tun janyo bakeh den, sia tu urang, di padang taluah lui (?), di bukik
tandai langkuduang, di bawah baringin ameh, di tapi labuah nan gadang, kok
anak ko to kok ukan, bak nan tun janyo bakeh den, rumah nan dirungkuik labu, di
rangkiang nan tajongkang, dijunjuang siriah nan rabah, di sinan rumah amai den,
pitanah urang tuo buruak.
Itu mulo kami ka bajalan, itu mulo kami ka laraik, kami pai ka rimbo gadang,
Allahu robbi parasaian. Bapakan-pakan to makan, babulan-bulan to minum, mo li
rimbo lah taturuik, mo li bukik lah tadaki, mo li padang lah tatampuah. Satangah
ula nak malulua, satangah harimau nak mamakan, rang manyamun nak
mambunuah, kunun maso daulunyo” katonyo Puti Kasumbo.
“Dangalah mak den curaikan, dangalah mak den katokan.
Kami baduo baradiak, Si Ali Amat kakak den, Puti Kasumbo awak den, io
dibuang amai den, amai den Si Linduang Bulan, nan surang Si Rumin Judin”
katonyo Puti Kasumbo.
Baharu mandanga kato Kasumbo, manggaruang Si Linduang Bulan, manangih Si
Rumin Judin, rauangnyo sarauang-rauang, tangih taisak-isak.
Bakato Si Linduang Bulan:
“Kok io adiak Kasumbo, kok io Si Ali ka nan surang, ikolah anak kanduang den”
kato rang mambali padi.
Maisak-isak inyo manangih, didamuak dado nan jajai, bakasan jari nan limo,
anam jo patahan cincin.
Manangih Puti Kasumbo, manunu Si Ali Amat.
Bakato Puti Kasumbo:
“Dangalah mak den katokan, kok io amai nan Si Linduang, kok io amai nan Si
Rumin, ba a bana daulunyo?”
“Tatkalo anak ka jauah” bakato Si Linduang Bulan.
“Kunun maso daulunyo, kan lah sudah den katokan, karano di urang buruak.
Awaknyo bajua sadah, sadahnyo sakupang ganok, sapitih to amuah labiah,
sarimih to amuah kurang, sakupang samiang sadahnyo.
Nyak lakeh samianglah juo, acok mak nyo kunjuang sampai, dareh mak nyo
kunjuang tibo, sudah den bali sadahnyo, den bilankan pitih limo kupang. Nan
sakupang bali sadah, nan saameh den baragiah.
Indak nyo amuah manariak, sakupang samiang sadahnyo.
Lah panek gigiah bagigiah, lah panek tangka batangka, den buhuakan ka
kainnyo, ka kodek ka jumbai alai, ka kain rang tuo buruak.
Lah bajalan rang tuo, tagak di pintu ka rumah, lah disanjuangnyo dipujinyo.
Sungguah manyanjuang rang tuo, padahan malalukan pitanah.
Bak nan tun janyo bakeh den, to rumah saelok nangko, to rumah sabaiak
nangko, gonjongnyo rabuang mambacuik, parannyo ula mangulampai, tuturan
labah mangirok, tagah caceknyo li sabuah.
Sia tu urang tu urang, kok anak ko to kok ukan, di tapi labauh nan gadang, di
kayu bapucuak sirah, Si Ali Amat namonyo.
Awak den batanyo bakehnyo, nan ma na rumah Si Linduang, nan ma nan
kampuang Si Rumin.
Katonyo ka bakeh den, di rumah nan dirungkuik labu, di rangkiang nan
tajongkang, di junjuang siriah nan rabah, di sanan rumah Si Linduang.
Tabik bangih hati den, tabik berang di hati den, banyaklah kato nan den katokan,
banyaklah rundiang den rundiangkan, kabakeh Si Ali Amat, itulah bana
sababnyo, tatkalo anak ka bajalan” katonyo Si Linduang Bulan, kabakeh Puti
Kasumbo.
Bakato Puti Kasumbo:
“Amai janyo den di amai, amai pamacik pitanah, amai paiokan asuang urang.
Awak den lah nan Kasumbo, nan ikolah Si Ali Amat”.
Bakato Si Ali Amat:
“Amai den Si Linduang Bulan, eloklah baragak-ragak, eloklah bakiro-kiro.
Amai janyo amai den di amai, kok io amai kanduang den, abih koh suruik bakeh
nan bana. Alah ko lunak hati nan kareh, nyak bapantun den sabuah, danga
banalah di amai:
“Adiak den Puti Kasumbo, dangalah mak den katokan, kok agak-agak io lah
cukuik, kampuang halaman kan lah ado, bareh jo padi kan lah ado, kabau
bantiang kan lah banyak, kunun hati lah sanang, amai kito lah basuo.
Kok parasaian kito lah banyak, nan tak dirasai lah dirasai, sabuah anyo nan
marusuah, kito urang tabang-tabangan, tidak bakorong bakampuang, indak
bakaum kaluargo, jo sia sailia samudiak.
Nan taragak di hati den, nan takilang di mato den, io den nak mamancang
galanggang, mak tahu urang di awak, awak mak tahu di urang, kok lai sia jo
adiak, kok lai sia jo amai”.
Bakato Puti Kasumbo:
“Kok itu mukasuik kakak, kok itu nan niek kakak, pucuak di cinto ulam tibo, lah io
pulo janyo den, indaklah kato ka batupang”.
Lah sudah inyo mupakaik, lah sudah inyo barundiang, diguguah tabuah
larangan, badunduang tabuah nan banyak.
Di lurah urang mandaki, di bukik urang manajun,
Tidak tabedo banyak lundang,
Tidak tabuek di daun taleh,
Di daun batuang panuah pulo,
Tidak tabedo banyak urang,
Nan buto datang bairik, nan patah datang batungkek, nan gagok teleang-
teleangi.
Bakato rang cadiak pandai:
“Apokoh tabuah baguguah, apokoh badia badatuih, di ma anak rando rabuik
rampeh, di ma dubalang rabuik rampeh, di ma juaro takuiran, di ma panghulu
buliah basa, di ma jojo nan babukik, di ma parik nan basisiak”.
Manjawab Si Ali Amat:
“Manolah urang cadiak pandai, tidak anak rando rabuik rampeh, tidak juaro
takuiran, tidak pangulu buliah basa, tidak jojo nan babukik, tidak parik nan
basisiak.
Mano urang nan banyak nangko, dangalah nak den katokan, nak den curai den
papakan, dangalah mak den tutuakan. Mungko tabuah lah bagua, mungko badia
lah badatuih, kami baniek dalam hati, parasian tambah di kami. Kami nak
mandoa dalam kampuang, Tolong tolonglah - tolong di rang banyak.
Lah lamo bakalamoan, lah panjang bakalalaian, kok tabu alah bakilang, kok
kayu alah bacari, kok kabau alah bapauik, kok bareh alah batumbuak,
galanggang alah babuek.
Bakato urang nan banyak:
“Tuan den Si Ali Amat, kok tabu alah bakilang, kok kayu alah bacari, a lai nan ka
kami buek, a lai nan ka kami turuik, tantukan molah di tuan”.
Manjawab Si Ali Amat:
“Kok lah langkok sadonyo, kito lapeh molah kulansiang, kunun alek lah ka
lansuang”.
Bawari Si Ali Amat, dilapeh siriah hilia jo mudiak, ka lauik biduak baranang, ka
darek urang bajalan, ka langik alang manggungguang.
Lah lamo bakalamoan, lah panjang bakalalaian, alah sahari duo hari, alah
sapakan duo pakan, lah sampai ukua jo jangkonyo, lah tantu hari kutikonyo, lah
tibo rajo nan banyak, lah datang urang nagari.
Bawari Si Ali Amat, diramikannyo galanggang, indak tabedo banyak urang, indak
tabedo rami sabuang. Darah ayam bak pincuran, darah kabau bak pamotong,
bakundang-kundang bulu ayam, baayun-ayun urang banyak, babondong-
bondong di nagari, Si Ali Amat bagalanggang.
Lah lamo bakalamoan, lah panjang bakalalaian, sadang banyak urang ka
balai, harinyo sadang tangah hari, sadangnyo bunta bayang-bayang, sadangnyo
rami urang di pakan, sadangnyo banyak urang di labuah, bajalan-jalan Si Ali.
Basuo kayu sabatang, baringin larangan urang, larangan Rajo Kuaso, urang
mamancuang tak batanyo, urang mangganang tak jo aia, manggantuang nan tak
jo tali. Bataduah Si Ali Amat, di bawah baringin cako.
Bukan den anak bincacak, bukan anak ngiang-ngiang rimbo, ukan anak caciang
panarahan. Namo den Si Ali Amat, inyiak den Datuak Bandaharo, amai den Si
Linduang Bulan, bapak den Datuak Nan Gadang.
Janganlah bak nan tun bana, jan kato tadorong-dorong, jan muluik talompek-
lompek, kok mantang den bak nangko”.
Kini tacangan Rajo Kuaso, lambiang dipacik lalu jatuah, padang diganggam lalu
tangga, karih tasisik indak tabukak. Bajalan samiang inyo pulang, io moh Rajo
Kuaso.
Lah lamo bakalamoan, lah panjang bakalalaian, lah pulang Si Ali Amat, ka
kampuang Puti Kasumbo.
Bakato Si Ali Amat:
“Adiak den Puti Kasumbo, kunun balai kan lah rami, kunun sabuang kan lah
lamo, lah asia ko lah ko kini, atau garam nan sacacah, atau lado nan sapipih”
katonyo Si Ali Amat, kabakeh Puti Kasumbo.
Manjawab Puti Kasumbo:
“Kakak den Si Ali Amat, kununlah garam dikatokan, kunun lado kannyo murah,
paham nan sarik di kito.
Kok bana paham kito, kalau siak jo laruih (?), pabilo kakak lansuangkan, indak
batulih dari ambo”.
Bakato Si Ali Amat:
“Adiak den Puti Kasumbo, kalau bak nan tun janyo adiak, lah murah itu di ambo.
Nak bapantun den sabuah,
Lah panek maani banang,
Dikumpa-kumpa dilipek,
Dilipek-lipek paduo,
Lah payah marantang panjang,
Dikumpa amaknyo singkek,
Kato mak suruik kamulonyo”.
Kalau lai sayang di rang buruak, kalau lai hibo di rang dagang, tuan pajariah
papayahkan”.
Manjawab urang nagari:
“Kok itu nan mukasuik hati, kami lah pulo manjariahkan, kami lah pulo
mamayahkan”.
Bakato Si Ali Amat:
“Kok kabau alah tapauik, kok bareh alah di sumpik”.
Bawari urang di kampuang, didabiah molah tu kabau, ditanak molah tu nasi.
Lah sudah kabau badabiah, aleklah pulang bakeh urang nagari. Bago nan
hereang nan gendeangnyo, bago nan ciciah nan panjuiknyo, Si Ali indak tahu
pandai.
Namun katiko baralek, barayun-ayun urang banyak, babondong-bondong urang
nagari, ka rumah Puti Kasumbo, lah sasak di dalam rumah.
Nak singkek samianglah juo, dareh maknyo kunjuang sampai, lah sudah alek
minum makan, bakato Si Ali Amat:
“Mano ninik-mamak ambo, dangalah mak den tutuakan, dangalah mak den
rundiangkan.
Tatkalo mulak mulonyo, kami baduo badansanak, Puti Kasumbo adiak ambo.
Tatkalo awaknyo damam, bakato inyo bakeh ambo, babadan marasoi sakik,
banyao marasoi mati. Kok molak molah ka mo den, kok mati hanyo awak den,
kok pendek hanyo umua den, kok sampai hanyo hukum den, kaban den jan
dilupokan. Bak nan tun janyo bakeh ambo. Itulah nan pitaruahnyo.
Kini lah tingga nyo di ambo, iolah salahnyo di ambo, itulah nan ka diabisi jo doa,
jan taraso-raso juo, bak urang kasalatan garam.
Sabuah lai di nan rapek, io si upiak ketek nangko, indak inyo babapak, inyo
talatak dalam kaban, kaban pitaruah Kasumbo.
Banyaklah asap nan ditangguangkannyo, banyak panggalan nan lah lakek,
salahnyo dari ambo juo, nan tak mamacik pitaruah. Itulah nan ambo ampuni, itu
nan ka diabisi jo doa”.
Bakato urang nan banyak:
“Kok lah bak nan tun janyo tuan, lah elok bana itu hanyo”.
Mandoa urang nan maalim. Lah sudah urang mandoa, urang bajalan anyo lai,
tingga urang kampuang sabanta.
Bakato Si Ali Amat:
“Mano sagalo urang kampuang, kok hanyo alek alah lapeh, sabuah lai nan
dipintak. Kami nangko urang buang baiaran, indak bakorong bakampuang, indak
baniniak bamamak, indak batulan basudaro.
Kami nak pulang bakeh rang kampuang, nak sahino nak samalu. Kok hutang nak
sabaia, kok malu nak satuntuik, io jo urang nagari”.
Bakato urang nagari:
“Kununlah itu dikatokan, pucuak dicinto ulan tibo, bago sakali tuan suko, baribu
kali suko kami”.
Tantangan Si Ali Amat, barumah tanggonyo di sinan. lah suko di dalam hati,
urang banyak baitu pulo.-
Keterangan
1. badua
2. bintalak, hantu bintak - sejenis hantu.
3. sakupang
4. manalok kain – mencelup kain.
5. karambia atok tungku – tiga batang pohon kelapa yang tersusun seperti
tungku.