Professional Documents
Culture Documents
Oleh
NPM L2F04542
TESIS
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2005
PENERAPAN ASAS PACTA SUNT SERVANDA DALAM
KONTRAK BAGI HASIL DI BIDANG MINYAK DAN
GAS BUMI DALAM RANGKA PENANAMAN MODAL
Oleh
NPM L2F04542
TESIS
Prof. DR. H. Yudha Bhakti, S.H., M.H. Prof. DR. Djuhaendah Hasan, S.H.
Anggota Tim Pembimbing Ketua Tim Pembimbing
iii
Mengetahui
Ketua Program Studi Ilmu Hukum
PERNYATAAN
1. Karya tulis saya, tesis ini, adalah asli dan belum pernah diajukan untuk
mendapatkan gelar akademik (sarjana, magister, dan/atau doctor), baik di
Universitas Padjadjaran maupun di perguruan tinggi lain.
2. Karya tulis ini adalah murni gagasan, rumusan dan penulisan saya sendiri, tanpa
bantuan pihak lain, kecuali arahan Tim Pembimbing.
3. Dalam karya tulis ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis atau
dipublikasikan orang lain, kecuali secara tertulis dengan jelas dicantumkan
sebagai acuan dalam naskah dengan disebutkan nama pengarang dan
dicantumkan dalam daftar pustaka.
4. Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila di kemudian hari
terdapat penyimpangan dan ketidakbenaran dalam pernyataan ini, maka saya
bersedia menerima sanksi akademik, berupa pencabutan gelar yang telah
diperoleh karena karya tulis ini, serta sanksi lainnya sesuai dengan norma yang
berlaku di perguruan tinggi ini.
ABSTRAK
ABSTRACT
KATA PENGANTAR
Perkenanlah penulis memanjatkan puji syukut ke hadirat Allah SWT atas rahmat
dan karunia-Nya yang telah memberikan kesehatan dan waktu kepada penulis, untuk
menyelesaikan studi program magister hukum. Lebih dari 40 tahun penulis telah
menjalani masa bakti dengan profesi di lingkungan kegiatan hulu minyak dan gas bumi
dalam berbagai kapasitas, kecuali sebagai ahli hukum. Kuliah yang cukup padat selama
empat semester telah memberikan wawasan baru kepada penulis dalam melihat
permasalahan yang menyangkut industri minyak dan gas bumi di tanah air.
Tesis ini membahas hasil kajian mengenai penerapan asas pacta sunt servanda
dalam kontrak pengelolaan sumber daya minyak dan gas bumi di Indonesia. Topik ini
kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi. Berbagai macam insentif ekonomi untuk
mendorong investasi telah diberikan oleh Pemerintah, namun belum berhasil mencapai
sasarannya. Dari hasil kajian ditemukan bahwa masalah kesucian kontrak ini belum
sektoral. Harapan penulis selanjutnya, tulisan ini dapat bermanfaat bagi pengambil
Penelitian dan penulisan tesis ini tidak akan selesai tanpa adanya bantuan dari
berbagai pihak. Untuk itu penulis ingin menyampaikan penghargaan dan ucapan terima
kasih kepada Ibu Prof. DR. Djuhaendah Hasan S.H., Ketua Bidang Kajian Hukum
Bisnis Program Studi Ilmu Hukum Program Pascasarjana dan Bapak Prof. DR. H.
Yudha Bhakti Ardhiwisastra, S.H., M.H. atas kebaikan, bimbingan dan pengarahan pada
penyusunan tesis ini dan Bapak-bapak Prof. DR. H. Rukmana Amanwinata, S.H., M.H.,
viii
Ketua Program Studi Ilmu Hukum Program Pascasarjana, Prof. DR. H. Man Suparman
Sastrawidjaja, S.H., S.U., Dekan Fakultas Hukum dan para dosen bidang kajian hukum
khususnya Bapak-bapak H. Widyawan S.H. dan H. Hoesein Wiriadinata S.H., MCL atas
Konsultan Hukum Wiriadinata & Widyawan, Bapak Drs. H. Hoezif Abubakar, mantan
Vice President Finance PT Caltex Pacific Indonesia, yang telah memberikan informasi
dan gas bumi di Indonesia sebelum tahun 1966 dan para senior executive Kontraktor
Ucapan terima kasih ini disampaikan pula kepada dua orang anak penulis Nedia
dan Rizki beserta para menantu Didi dan Dea dan lima orang cucu Digo, Dimas,
Yasmine, Idzan dan Frea yang telah memberikan dukungan moral. Akhirulkata,
almarhumah Hj Jani Maslian, yang telah mendampingi penulis sebagai isteri selama 38
tahun.
Februari 2005
A. Madjedi Hasan
ix
DAFTAR ISI
Halaman Judul i
Lembar Pengesahan ii
Lembar Pernyataan iv
Abstrak v
Abstract vi
Kata Pengantar vii
Daftar Isi ix
Daftar Singkatan xi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian 1
B. Identifikasi Masalah 7
C. Tujuan Penelitian 7
D. Kegunaan Penelitian 8
E. Kerangka Pemikirian 8
1. Pasal 33 UUD 1945 8
2. Hukum sebagai sarana pembangunan 9
3. Teori Hukum Perjanjian 10
4. Penanaman Modal Asing 12
5. Kontrak Bagi Hasil 13
F. Metode Penelitian 16
BAB II
SEGI-SEGI HUKUM PERJANJIAN DAN KONTRAK PENGELOLAAN
MINYAK DAN GAS BUMI
A. Kontrak sebagai dasar perikatan 18
B. Pihak-pihak dalam perjanjian 20
C. Pemerintah sebagai subyek hukum perdata 21
D. Pemberian Kuasa 24
E. Asas-asas Hukum Perjanjian 26
F. Asas pacta sunt servanda 28
G. Klausula rebus sic stantibus 32
H. Kontrak pengelolaan minyak dan gas bumi 35
I, Kontrak Bagi Hasil 39
x
BAB III
KEGIATAN USAHA HULU MINYAK DAN GAS BUMI
A. Perkembangan Pengusahaan Migas 41
1. Masa sebelum proklamasi kemerdekaan 41
2. Masa awal kemerdekaan 48
3. Undang-undang Nomor 44 Prp Tahun 1960 51
4. Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 62
B. Ketentuan Pokok Kontrak Bagi Hasil 68
1. Hak dan Kewajiban Kontraktor 69
2. Hak dan Kewajiban PERTAMINA/Badan Pelaksana 72
C. Kegiatan Hulu Migas 74
D. Permasalahan berasal dari penafsiran kontrak 81
BAB IV
ASAS PACTA SUNT SERVANDA DIHUBUNGKAN DENGAN KONTRAK
BAGI HASIL
A. Kedudukan Pemerintah dalam Kontrak Bagi Hasil 84
1. Dalam Kontrak 5A 84
2. Sebelum UU Migas 85
3. Setelah diundang-undangkannya UU Migas 89
B. Asas pacta sunt servanda dalam Kontrak Bagi Hasil 91
C. Dampak dari kebijakan Pemerintah yang berubah 94
1. Pengutamaan penggunaan produk dan jasa dari dalam negeri 94
2. Perpajakan 99
3. Penerapan asas pacta sunt servanda berlandaskan kepentingan 107
dan manfaat bersama
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan 117
B. Saran 117
DAFTAR SINGKATAN
A. Peraturan perundang-undangan
B. Akronim
PENDAHULUAN
yang cukup. Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menetapkan bahwa “bumi dan air dan
kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Selanjutnya, Pasal 33 ayat (2) UUD 1945
menyatakan bahwa “cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang
ekonomi nasional yang menurut Pasal 33 UUD 1945 yang diamendemen (yaitu ayat 4),
necara pembayaran luar negeri. Faedah dari penanaman modal, khususnya asing terasa
pertambangan, pembangunan industri berat dan lain-lain yang memerlukan modal dan
Dalam rangka upaya menggalakkan penanaman modal dalam awal orde baru,
1
2
menurut Pasal 1 UUPMA ialah penanaman modal asing secara langsung, dalam arti
bahwa pemilik modal secara langsung menanggung risiko dari penanaman modal
1). Alat pembayaran luar negeri yang tidak merupakan bagian dari kekayaan devisa
asing dan bahan-bahan yang diimpor dari luar kedalam wilayah Indonesia,
modal asing secara penuh, yaitu bidang-bidang yang penting bagi negara dan menguasai
hajat hidup rakyat banyak seperti pelabuhan, produksi dan transmisi tenaga listrik untuk
Nomor 20 Tahun 1994 Tentang Kepemilikan Saham dalam Perusahaan yang didirikan
dengan persyaratan bahwa dalam waktu tidak lebih dari 15 tahun setelah berproduksi
pertambangan hanya mungkin dilaksanakan atas dasar kerja sama dengan Pemerintah
melalui kontrak karya atau bentuk lain yang akan ditentukan oleh Pemerintah. Dengan
1). Penanaman modal asing atas bidang-bidang usaha yang terbuka untuk PMA;
2). Penanaman modal asing atas dasar kerja sama dengan Pemerintah.
Dalam pola penanaman modal asing untuk bidang-bidang usaha yang terbuka,
Pemerintah hanya berperan sebagai regulator yang memberikan izin dan kemudahan-
kemudahan untuk jangka waktu tertentu kepada investor berupa hak-hak atas tanah (hak
pakai, hak guna bangunan dan hak usaha), dan kelonggaran-kelonggaran meliputi
bidang perpajakan, bea masuk terhadap barang-barang kapital, izin penggunaan tenaga
kerja asing, mentransfer keuntungan dalam valuta asli, dan lain-lain. Penanaman modal
Pertambangan), badan usaha PMA dapat berbentuk usaha patungan (joint venture), di
mana mitra pihak Indonesia dapat terdiri perusahaan swasta, BUMN dan BUMD.
Selain UUPMA, badan usaha PMA dan lain-lain tunduk pada kebijakan sektoral yang
Nomor 5 Tahun 1984 Tentang Industri (UU Industri), Undang-undang Nomor 5 Tahun
1982 Tentang Pertanian (UU Pertanian), dan sebagainya. UUPMA tidak menetapkan
persyaratan lain mengenai jumlah investasi, ekuitas maupun pinjaman, dan hal itu
mempunyai peran ganda, yaitu sebagai regulator dan pelaku bisnis. Pola ini dilandasi
pada Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan pertama kali diterapkan dalam Perjanjian Karya
(Contract of Work) di bidang minyak dan gas bumi yang ditanda tangani pertama kali
dalam tahun 1963 berdasarkan Undang-undang Nomor 44 Prp Tahun 1960 Tentang
Pertambangan Minyak dan Gas Bumi (UU Migas 1960), dan yang kemudian diganti
dengan Kontrak Production Sharing (KPS).1 Perjanjian Karya juga diterapkan dalam
bidang pertambangan umum untuk bahan galian vital dan strategis (golongan I dan II)
Peran pemerintah sebagai pelaku bisnis dapat berbentuk langsung sebagai pihak
dalam perjanjian seperti Perjanjian Karya bidang pertambangan umum (cq Departemen
Pertambangan) atau melalui perusahaan negara (BUMN) seperti dalam bidang minyak
dan gas bumi dan pembangkitan tenaga listrik panas bumi. Dengan peran ganda
instansi Pemerintah yang mengatur dan Departemen Teknis atau BUMN yang
dengan tiga asas yang bersifat keperdataan dalam hukum perikatan atau hukum kontrak,
yaitu asas konsensualisme, asas kekuatan mengikat persetujuan dan asas kebebasan
1
Undang-undang Nomor 44 Prp Tahun 1960 Tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi.
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1963 Tentang Pengesahan “Perjanjian Karya” antara PN PERTAMIN
dengan PT Caltex Pacific Indonesia dan California Asiatic Oil Company (Calasiatic), Texaco Overseas
Petroleum Company (Topco); PN PERMINA dengan PT Stanvac Indonesia; PN PERMIGAN dengan PT
Shell Indonesia (UUPK).
5
pertambangan, khususnya minyak dan gas bumi (migas), suatu komoditas penting yang
terakhir.
Industri minyak dan gas bumi di Indonesia mempunyai sejarah yang cukup lama,
yaitu sudah ada sejak tahun 1871, lima tahun setelah pemboran minyak pertama kali
dikeluarkannya Indische Mijinwet pada tahun 1899 pengusahaan minyak dan gas bumi
dilakukan berlandaskan izin konsesi dari pemilik tanah atau para sultan. Pada tahun
1945, pada tahun 1951 pemerintah berdasarkan mosi Tengku Mohammad Hasan
memutuskan untuk tidak mengeluarkan izin konsesi baru untuk pertambangan minyak
bumi berdasarkan Indische Mijnwet Tahun 1899 (sering disebut sebagai “5A-
2
Contracten”). Namun baru pada tahun 1960 Pemerintah berhasil mengeluarkan
Undang-undang Nomor 44 Prp Tahun 1960 (UU Migas 1960) menggantikan Indische
Mijnwet, yang memberi hak eksklusif kepada negara untuk menggali sumber minyak
dan gas bumi. Berdasarkan Undang-undang Nomor 44 Prp Tahun 1960 ini, pada tahun
1962 dan 1963 ditandatangani enam Perjanjian Karya antara tiga perusahaan negara
American, Shell, Stanvac dan Caltex) meliputi lima wilayah pertambangan, tiga
2
T.N. Machmud, The Indonesian Production Sharing Contract, Kluwer Law International, The Hague,
2000, hlm 46
6
diantaranya telah berproduksi. Perjanjian Karya yang sering juga disebut Kontrak
Karya (“KK”) yang disahkan sebagai Undang-undang Nomor.14 Tahun 1963 tersebut
negara terus meningkat, semuanya dalam bentuk Kontrak Production Sharing atau
Kontrak Bagi Hasil (“KBH”), yang menggantikan Perjanjian Karya.4 Dimulai dengan
kontrak lepas pantai pertama antara IIAPCO dan PERMINA pada bulan Agustus 1966,
sampai dengan akhir tahun 2003 telah ditandatangani 340 KBH, 170 diantaranya masih
aktif dan sisanya telah dikembalikan dan sekitar 40 kontrak dalam tahapan produksi5.
Prospek dan lajunya pengembangan minyak dan gas bumi banyak ditentukan
oleh keberhasilan Indonesia menarik investasi modal yang diperlukan. Karena posisi
kompetitif Indonesia dalam menarik modal untuk berinvestasi di proyek berisiko tinggi
(risk capital) cenderung menurun dalam dua warsa terakhir, maka satu-satunya cara
perbaikan yang memberikan dampak cukup berarti bagi pengembalian modal para
investor.
Keberhasilan program ini memerlukan iklim usaha yang menarik dan menuntut
adanya kerja sama antara pemerintah dan pihak investor. Selain persyaratan kontrak,
3
Caltex Pacific Indonesia, Pipeline to Progress: The Story of PT Caltex Pacific Indonesia, November
1983, hlm 41
Knowles, Ruth Sheldon, Indonesia Today: The Nation That Helps Itself, Nash Publishing, Los Angeles,
1973, hlm 74
4
Catatan: Dalam peraturan perundang-undangan istilah Kontrak Production Sharing pertama kali
digunakan dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1971 Tentang PERTAMINA, yang diterjemahkan dari
Production Sharing Contract, istilah yang digunakan dalam kontrak-kontrak yang ditanda tangani sejak
tahun 1966. Istilah lain yang digunakan adalah Kontrak Bagi Hasil dalam Peraturan Pemerintah Nomor
35 Tahun 1994 Tentang Syarat-syarat Dan Pedoman Kerja Kontrak Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi.
Dan dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas bumi, digunakan istilah
Kontrak Bagi Hasil. Selanjutnya, dalam penulisan tesis ini digunakan istilah Kontrak Bagi Hasil yang
disingkat menjadi “KBH”.
5
US Embassy, Petroleum Report 2002 - 2003, Jakarta, March 2004, Appendix 15.
7
penciptaan iklim usaha yang menarik menuntut adanya kepastian hukum dalam
melaksanakan kontrak kerja sama. Masalah kepastian hukum dalam era reformasi ini
banyak menimbulkan pertanyaan bagi para penanam modal asing, mengingat banyaknya
investor dengan Pemerintah atau BUMN, yaitu dalam arti mengurangi hak-hak investor
B. Identifikasi Masalah
1). Bagaimana penerapan asas pacta sunt servanda dalam Kontrak Bagi Hasil
C. Tujuan Penelitian
1). Melalui kajian peraturan perundang-undangan dan makna tiga asas dalam hukum
D. Kegunaan Penelitian
pemikiran kepada pengembangan teori ilmu hukum kontrak terutama dalam hal ini
mengenai kontrak-kontrak pertambangan minyak dan gas bumi, serta dapat melengkapi
bidang minyak dan gas bumi tetap kondusif untuk investasi. Hasil penelitian juga
merupakan bahan masukan kepada pelaku bisnis di bidang pertambangan minyak dan
gas bumi.
E. Kerangka Pemikiran
kerangka pemikiran yang pertama adalah Pasal 33 UUD 1945 dan hukum sebagai
sejumlah asas dalam hukum perjanjian dan prasayarat untuk menciptakan iklim usaha
Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 menetapkan bahwa cabang-cabang
produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak
dikuasai oleh Negara dan bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya
kita selama ini cukup sulit, mengingat sesungguhnya kata-kata “dikuasai oleh Negara”
9
dapat mempunyai berbagai pengertian, yaitu mulai dari kepemilikan dan pengelolaan
secara langsung atau tidak langsung oleh negara hingga pengertian bahwa yang
terpenting negara tetap mengatur dan mengatasi cabang-cabang produksi yang penting
Pengertian yang terakhir inilah yang tampaknya menjadi landasan bagi kebijakan
kekayaan alam berupa minyak dan gas bumi, sesuai dengan pemikiran tokoh
“Dikuasai negara dalam pasal 33 UUD 1945 tidak berarti negara sendiri
menjadi pengusaha, usahawan atau ondernemer. Lebih tepat dikatakan
bahwa kekuasaan negara terdapat pada membuat peraturan guna
melancarkan jalan ekonomi, peraturan yang melarang pula “penghisapan”
orang yang lemah oleh orang lain yang bermodal… Cita-cita yang tertanam
dalam pasal 33 UUD 1945 ialah produksi yang besar-besar sedapat-dapatnya
dilaksanakan oleh Pemerintah… Terutama digerakkan tenaga-tenaga
Indonesia yang lemah dengan jalan koperasi. Kemudian diberi kesempatan
kepada golongan swasta untuk mengerahkan pekerja dan capital nasional.
Apabila bangsa asing tidak bersedia meminjamkan kapitalnya, maka diberi
kesempatan kepada mereka untuk menanam modalnya di Tanah Air kita
dengan syarat-syarat yang ditentukan oleh Pemerintah Indonesia sendiri…
Kesempatan yang dibuka bagi bangsa asing untuk menanam modal mereka
di Indonesia ialah supaya mereka ikut serta mengembangkan kemakmuran
bangsa kita, bangsa Indonesia”.6
sarana pembangunan masyarakat, dimana hal ini didasarkan pada suatu anggapan bahwa
adanya keteraturan atau ketertiban itu merupakan suatu hal yang diinginkan, bahkan
dipandang perlu. Lebih jauh lagi anggapan lain yang terkandung dalam konsepsi hukum
sebagai sarana pembaharuan masyarakat adalah hukum dalam arti kaidah atau peraturan
hukum yang dapat berfungsi sebagai alat (pengatur) atau sarana pembangunan dalam
6
Mohammad Hatta, Bung Hatta Menjawab, Gunung Agung, Jakarta, 1979, hlm 201 – 204.
10
arti penyalur arah kegiatan manusia kearah yang dikehendaki oleh pembangunan atau
pembaharuan.7
Hukum Perjanjian di Indonesia diatur dalam buku III KUH Perdata, yang mulai
berlaku pada tanggal 30 April 1847 (St.No. 23/1847).8 Pasal 1313 KUH Perdata
mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. 9
luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja, asalkan
tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan. Dalam Hukum Perjanjian berlaku
1) Asas konsensualisme, yang berarti bahwa hal-hal itu terjadi melalui persesuaian
2) Asas kekuatan mengikat persetujuan, di mana para pihak harus memenuhi apa
1338 ayat (1) KUH Perdata menyatakan bahwa “persetujuan merupakan undang-
sendiri, menuangkannya dalam bentuk tertentu atau tidak dan tunduk pada
7
Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional, Bina Cipta, Bandung,
1976, hlm 4.
8
M. Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986, hlm 3
9
Lihat Subekti, Hukum Perjanjian, Penerbit Itermasa, Jakarta, 2001, hlm 1 yang menamakan perjanjian
sebagai persetujuan atau dua kata tersebut adalah sejenis. Perkataan kontrak mempunyai arti lebih sempit,
karena ditujukan kepada perjanjian atau persetujuan yang tertulis.
11
Grotius mencari dasar konsensus itu dalam Hukum Kodrat dengan mengatakan
bahwa “janji itu mengikat” (“pacta sunt servanda”) dan “kita harus memenuhi janji
kita” (promissorum implendorum obligati). Falsafah ini terdapat juga dalam sebuah
pantun Melayu yang mengatakan “kerbau dipegang talinya, manusia dipegang janjinya”
Asas yang telah secara universal diterima dalam kontrak atau perjanjian
lex mercatoria. Berdasarkan asas ini yang juga sering disebut “asas kesucian kontrak”
(sanctity of contract), setiap pihak dalam perjanjian bertanggung jawab untuk hal-hal
yang tidak dijalankan, meskipun kegagalan itu diluar kekuasaannya dan tidak dapat
diperkenalkan dalam ilmu hukum pada abad XII merupakan adagium yang
hal ini juga sesuai dengan apa yang ditambahkan pada formulasi lengkap, betapapun
persetujuan-persetujuan itu nuda atau tidak sempurna. Formulasi ini akan berhadapan
dengan klausula “rebus sic stantibus”, suatu persyaratan yang dianggap diterima secara
diam-diam bahwa kita tidak akan memenuhi janji-janji dalam hal terjadi perubahan-
11
perubahan di dalam situasi dan kondisi. Implementasi rebus sic stantibus harus
tunduk pada persyaratan kontrak, dan apabila tidak dijelaskan dalam kontrak, maka
10
Mariam Darus Badrulzaman, et. al, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001,
hlm 83-84.
11
Lihat Soedjono Dirdjosisworo, Kontrak Bisnis (Menurut Sistem Civil Law, Common Law dan Praktek
Dagang Internasional), Mandar Maju, Bandung, 2003 , hlm 65 -99 yang menyadur tulisan Feenstra, R.
dan Ahsman, M, Contract Aspecten Van de begrippen contract en contractvrijheid in historich
perspectief, Kluwer-Deventer de Nederlands, hlm 3 – 25.
12
prinsip dasar hukum (general principles of law) ditemukan dalam semua bangsa.
Prinsip tersebut mengikuti cara yang sama, apakah dia berhubungan dengan kontrak
antar negara atau antara negara dengan perusahaan swasta. Kesucian kontrak
merupakan hal esensial dalam kehidupan sosial; menurut Wehberg tidak akan ada
hubungan ekonomi antara negara dengan perusahaan asing tanpa prinsip pacta sunt
servanda12.
Dalam penanaman modal, penciptaan iklim usaha yang menarik bagi investor
hukum dalam melaksanakan kontrak kerja sama. Berdasarkan premise ini, dalam
dari pendapatan dan modal, dan aspek-aspek operasional) dan pemberian jaminan. Jika
undang Nomor 78 Tahun 1958, yang kemudian diubah dan ditambah dengan Undang-
12
Wehberg, Hans, Pacta Sunt Servanda, http://tldk.uni-koeln.de/php/pub, 2 Agustus 2004.
13
ganti rugi yang jumlah, macam dan cara pembayarannya disetujui oleh kedua belah
pihak, dan apabila tidak tercapai kesepakatan, penyelesaian dilakukan melalui forum
arbitrase.13
Model Kontrak Bagi Hasil (KBH) yang mulai diperkenalkan pada awal tahun
1960an merupakan penemuan bangsa Indonesia yang telah diterima oleh banyak negara
di dunia untuk penanaman modal asing dalam bidang pertambangan minyak dan gas
Indonesia yang ingin tetap menggali dan mengolah kekayaan alamnya sesuai dengan
amanat dalam Pasal 33 UUD 1945, namun karena keterbatasan dana terpaksa harus
tahun 1960an merupakan langkah penting dalam upaya pemerintah untuk ikut serta
meningkatkan efisiensi, pada tahun 1969 ketiga perusahaan negara tersebut dilebur dan
digabung menjadi PERTAMINA dan status dan tugas PERTAMINA di bidang minyak
dan gas bumi kemudian dikukuhkan dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1971
Dari pandangan fiskal tidak terdapat perbedaan yang besar antara sistem konsesi
dan KBH. Perbedaan kedua sistem tersebut lebih bersifat simbolis dan filosofis. Seperti
dinyatakan oleh Daniel Johnston bahwa di Perancis kekayaan bahan galian (mineral
13
Ismail Sunny dan Rudioro Rochmat, Tinjauan dan Pembahasan Undang-undang Penanaman Modal
Asing dan Kredit Luar Negeri, Pradnya Paramita, Jakarta, 1972, hlm 13.
14
wealth) tidak dimiliki oleh perorangan tetapi oleh Negara untuk kepentingan rakyat,
namun demikian sistem fiskal migas yang berlaku di negara tersebut tidak berdasarkan
negara oleh Thomas Waelde dan W.T. Onorato menunjukkan bahwa KBH tidak
ditemukan dalam negara-negara maju atau liberal tetapi umumnya ditemukan pada
dana dan teknologi yang terbatas tetapi juga menganggap unsur “kedaulatan”
15
(sovereignty) penting dalam pengelolaan kekayaan alam. Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa KBH dapat diterima oleh kedua belah pihak, karena berhasil
bumi di Indonesia mengalami pasang surut. Selain faktor eksternal, berbagai kendala
yang dihadapi dalam penyelenggaraan KBH juga berasal dari dalam seperti perbedaan
persyaratan komersial kontrak kerja sama investasi antara investor dengan Pemerintah
atau BUMN. Dari data yang dihimpun dapat disimpulkan bahwa sejak awal tahun
1980an kegiatan minyak dan gas bumi di sektor hulu cenderung menurun dan
14
Johnston, Daniel, Petroleum Fiscal Systems and Production Sharing Contracts, PennWell Books,
Tulsa, Oklahoma, 1994, hlm 22
15
Waelde, T.W.., The Current Status of International Petroleum Investment: Regulating, Licensing,
Taxing and Contracting, Centre for Energy, Petroleum and Mineral Law and Policy University of Dundee
Dundee, July 1995, dan
Onorato, W.T. Legislative Frameworks Used to Foster Petroleum Development, World Bank Washington
D.C., Feb 1995.
15
Disamping risiko kegagalan yang umumnya lebih besar dari usaha-usaha bisnis
lainnya, pengembangan sumber daya minyak dan gas bumi hingga mencapai tahap
produksi membutuhkan waktu yang lama serta dana yang besar. Namun demikian,
ditopang dengan iklim usaha yang kondusif, penambangan bahan galian ini masih tetap
pasaran dunia atau tidak tersedianya risk capital (penanaman modal pada proyek
berisiko tinggi) di dunia untuk kegiatan minyak dan gas bumi, mengingat kedua faktor
tersebut hakekatnya berlaku sama bagi semua negara. Karena iklim politik di Indonesia
pada saat itu (zaman orde baru) cukup stabil, maka iklim politik nampaknya juga bukan
merupakan faktor yang menyebabkan kemunduran tersebut. Di pihak lain, persepsi para
investor tentang potensi minyak dam gas bumi di Indonesia masih cukup optimis.
Dengan demikian faktor yang nampaknya masih tinggal adalah pertimbangan komersial,
ditujukan meningkatkan penerimaan negara. Misalnya, pada awal rumusan bagi hasil
(setelah pengembalian biaya) dalam KBH adalah 65% untuk Negara dan 35% untuk
kontraktor, yang kemudian diubah menjadi 85% untuk Negara dan 15% untuk
16
Madjedi Hasan, Petroleum Contract – Indonesia’s Issues and Challenges, Petromin, Singapore,
December 2001, hlm 20.
17
Ibid.
16
perpajakan dan penggunaan lahan, terdapat berbagai desakan dari instansi yang
bersangkutan agar ketentuan tersebut juga diberlakukan terhadap KBH yang sering kali
undang Otonomi Daerah dan campur tangan berbagai instansi pemerintah dalam
baru terhadap KBH yang sedang berjalan, menduduki peringkat teratas di antara 10
F. Metode Penelitian
1) Metode Pendekatan
2) Spesifikasi Penelitian
18
Penyesuaian pertama dilakukan pada akhir tahun 1973 mengikuti melonjaknya harga minyak dari
dibawah US$ 2.00 menjadi diatas US$ 10.00 per barrel akibat dari perang di Timur Tengah. Penyesuaian
kedua dilakukan pada pada tahun 1976 setelah terjadinya krisis keuangan PERTAMINA.
19
PriceWaterhouseCoopers, CEO Survey – Upstream Oil & Gas, October 2002, hlm 5.
20
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali
Pers (Jakarta, 1990), hlm 5.
17
3) Tahapan Penelitian
Dalam tahapan ini akan dikaji bahan hukum primer berupa bahan hukum
hukum yang relevan dan biasa digunakan, bahan hukum sekunder yang
penelitian, karya tulis dari kalangan hukum dan non-hukum serta bahan
b) Penelitian lapangan
Pengumpulan data sekunder ini dilakukan melalui studi dokumen dan survai
Data primer dan data sekunder akan dianalisis dengan metode kualitatif
21
Ibid, hlm 13, di mana dikatakan bahwa bahan hukum sekunder memberikan penjelasan mengenai bahan
hukum primer dan bahan hukum tersier adalah bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan
terhadap bahan hukum primer dan sekunder.
BAB II
Istilah “kontrak” berasal dari bahasa Inggerís, yaitu “contract”, sementara dalam
Perdata adalah suatu perbuatan dengan mana satu pihak atau lebih mengikatkan dirinya
terhadap satu orang atau lebih. Subekti menamakan perjanjian sebagai persetujuan atau dua
kata tersebut adalah sejenis dan kata “kontrak” mempunyai arti lebih sempit, karena
Banyak pihak merasakan bahwa rumusan dalam KUH Perdata ini kurang lengkap,
karena tidak menjelaskan adanya asas konsensualisme, yang menimbulkan akibat hukum.
Karena itu Soedjono Dirdjosisworo berusaha memberi definisi yang sederhana tetapi cukup
“Kontrak adalah suatu janji atau seperangkat janji-janji dan akibat pengingkaran
atau pelanggaran atasnya hukum memberikan pemulihan atau menetapkan
kewajiban bagi yang ingkar janji disertai sanksi untuk pelaksanaannya.”23
perjanjian antara dua atau lebih pihak yang menimbulkan kewajiban yang dapat ditegakkan
22
Subekti, loc. cit.
23
Soedjono Dirdjosisworo, Kontrak Bisnis (Menurut Sisstem Civil Law, Common Law dan Praktek Dagang
Internasional), Mandar Maju, Bandung, 2003, hlm 29.
24
Black, Henry Campbell., Black’s Law Dictionary, 7th. Edition, West Group, St. Paull Minn, 1999, hlm 318:
“An agreement between two or more person creating obligations that are enforceable or otherwise
recognizable at law.”
18
19
Lebih lanjut, Black Law’s Dictionary mengutip pernyataan William R Anson bahwa
istilah “kontrak” digunakan secara acak juga untuk menyatakan tiga macam hal, yaitu satu
hukum baru, dokumen yang dilaksanakan oleh para pihak sebagai bukti akhir telah
dijalankannya oleh para pihak tindakan-tindakan operasional, dan hubungan hukum akibat
dari tindakan operasional, yang terdiri dari hak atau hak-hak pribadi and kewajibannya,
yang disertai dengan kekuasaan, hak istimewa dan kekebalan, dan hubungan hukum ini
kontrak adalah suatu janji, atau satu rangkaian janji, di mana hukum akan berlaku mutlak
kalau ingkar, yang menurut hukum hal tersebut merupakan tugas. Definisi ini tidak
mana diberikan kewajiban hukum terhadap janji itu. Tetapi jika dikehendaki adanya
persetujuan tertulis dari para pihak untuk melaksanakan kewajiban hukum secara bersama-
sama dilandasi pada saling pengertian untuk melakukan sesuatu pada masa mendatang.
Menurut namanya, kontrak dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu yang bernama dan
tidak bernama. Perjanjian bernama (benoemd) adalah perjanjian yang mempunyai nama
25
William R Anson, Principles of the Law of Contract: “The term contract has been used indifferently to refer
to three different tthings(1) the series of operative acts by the parties resulting for new legal relations; (2) the
physical document executed by the parties as the lasting evidence of their having performed the necessary
operationve acts and also as an operative fact in itself; (3) the legal relations resulting from the operative
acts, consisting of a right or rights in personam and their corresponding duties, accompanied by certain
powers, privileges and immunities. The sum of these legal relations is often called obligation”
26
Samuel Williston, A treatise on the Law of Contracts: “A contract is a promise, or a set of promises, for
breach of which the law gives a remedy, or the performance of which the law in some way recognize as a duty.
This definition may not be entirely satisfactoriy since it requires a subsequent definition of the circumstances
under which the law does in fact attach legal obligations to promise. But if a definiton were attempted which
should cover these operative facts, it would require compressing the entire law relating to the formation of
contracts into a single sentence.”
20
sendiri, yaitu diatur dan diberi nama oleh pembentuk undang-undang atau merupakan
perjanjian yang terdapat dan dikenal dalam KUH Perdata dan undang-undang lain.
Termasuk dalam perjanjian tidak bernama ini antara lain adalah Kontrak Bagi Hasil,
Kontrak Karya di bidang migas dan pertambangan non-migas, Kontrak Operasi Bersama
Panas Bumi antara PERTAMINA dan Investor dan Kontrak Jual Beli Listrik antara PLN
dan PERTAMINA dan Investor. Lahirnya perjanjian ini adalah berdasarkan asas kebebasan
berkontrak27 Perjanjian tidak bernama ini diatur dalam satu ketentuan di KUH Perdata,
“Semua perjanjian, baik yang mempunyai nama khusus maupun yang tidak dikenal
dengan suatu nama tertentu tunduk pada peraturan umum yang termuat dalam bab
ini dan bab yang lain.”
Dengan demikian, para pihak yang mengadakan kontrak tidak bernama ini tunduk
pada ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam KUH Perdata dan berbagai peraturan yang
mengaturnya. Karena merupakan ketentuan hukum yang bersifat khusus, maka pada
perjanjian tidak bernama ini berlaku asas “Lex specialis derogaat lex generalis”
Di dalam KUH Perdata pihak-pihak dalam perjanjian dapat dibedakan dalam tiga
1. Pasal 1315 jo. Pasal 1340, yaitu para pihak yang mengadakan perjanjian itu sendiri.
2. Pasal 1318 yang menetapkan para ahli waris mereka dan mereka yang mendapat hak
Para pihak yang mengikatkan diri tersebut adalah subjek hukum perdata. Menurut
Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto28, dengan subjek hukum dimaksudkan adalah
setiap yang menjadi pendukung hak dan kewajiban yang terdiri dari pribadi kodrati, pribadi
hukum dan pejabat atau tokoh, sementara Black’s Law Dictionary memberikan pengertian
tentang “persona” (person) adalah (1) manusia; (2) badan (seperti perusahaan) yang diakui
hukum mempunyai hak dan kewajiban manusia; dan (3) badan yang hidup dari manusia. 29
Selanjutnya John Salmond sebagaimana yang dikutip dalam Black’s Law Dictionary
memberikan pengertian bahwa dari teori hukum, “persona” adalah setiap pribadi yang
mampu mempunyai hak dan kewajiban. Sesuatu yang mampu adalah “persona”, apakah dia
manusia atau bukan, yang tidak mampu bukanlah “persona”, meskipun dia manusia.
Persona adalah yang susbstansinya memiliki hak dan kewajiban. Hanya dengan cara seperti
ini persona memiliki arti dalam hukum, dan ini merupakan pandangan yang eksklusif di
Dari uraian tersebut menjadi jelas bahwa subjek hukum dalam perjanjian perdata
dapat berupa perorangan atau badan hukum. Dalam KHU Perdata, ketentuan-ketentuan
mengenai badan hukum (definisi dan kewenangannya) diatur dalam Pasal 1653 sampai
diperkenankan atau telah didirikan untuk suatu maksud tertentu yang tidak
bertentangan dengan undang-undang atau kesusilaan.”
Selanjutnya, Pasal 1654 KUH Perdata menegaskan kewenangan badan hukum untuk
“Semua badan hukum yang berdiri dengan sah, begitu pula orang-orang swasta,
berkuasa untuk melakukan perbuatan-perbuatan perdata, tanpa mengurangi
perundang-undangan yang mengubah kekuasaan itu, membatasi atau
menundukkannya kepada tata cara tertentu.”
Lebih lanjut, Pasal 1655 KUH Perdata menetapkan kewenangan pengurus badan
“Para pengurus badan hukum, bila tidak ditentukan lain akta pendiriannya, dalam
surat perjanjian atau dalam reglemen, berkuasa untuk bertindak demi dan atas nama
badan hukum itu kepada pihak ketiga atau sebaliknya dan untuk bertindak dalam
sidang pengadilan, baik sebagai penggugat maupun sebagai tergugat.”
Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa pemerintah merupakan jenis badan
hukum yang didirikan oleh kekuasaan umum. Dengan demikian Pemerintah selaku badan
hukum dapat melakukan tindakan perdata dan sebagai subjek hukum perdata Pemerintah
dapat mengikatkan diri dengan pihak ketiga, dapat pula digugat atau menggugat di
pengadilan perdata. 31
Kegiatan Pemerintah dalam kegiatan bisnis antara lain membeli barang yang
dibutuhkan baik bersifat habis pakai maupun barang kapital, menggunakan jasa
pengangkutan, jasa konsultasi dan lain-lain, melakukan kerja sama dengan pihak swasta
untuk pembangunan sarana, dan sebagainya. Dalam perjanjian ini kedudukan para pihak
adalah sejajar; karena itu sebagai subjek hukum perdata, Pemerintah harus memposisikan
dirinya sejajar dengan mitranya dalam pemenuhan kewajiban dan hak seperti yang
tercantum dalam kesepakatan. Meskipun demikian, dalam kenyataannya sering sulit untuk
31
Lihat Hikmahanto Juwana, Bunga Rampai Hukum Ekonomi dan Hukum Internasional, Lentera Hati,
Jakarta, 2001 hlm 42, yang mengutip Apeldoorn, L.J, Pengantar Ilmu Hukum, Noor Komala, Jakarta, 1962,
hlm 164, dimana dinyatakan bahwa negara, propinsi, kotapraja, dan lain sebagainya adalah badan hukum;
hanya saja pendiriannya tidak dilakukan secara khusus, melainkan tumbuh secara histories.
23
menetapkan kapan pemerintah menjalankan tindakan komersial (acts jure gestionisi) dan
Masalah lain yang berkaitan dengan Pemerintah sebagai subjek hukum perdata
adalah siapa yang dimaksud dengan pengurus yang bertindak untuk dan atas nama
Pemerintah. Dalam suatu Perseroan Terbatas (PT) hal ini tidak menimbulkan masalah
Menurut Bagir Manan, hingga saat ini belum ada hukum nasional yang mengatur
secara umum mengenai badan-badan atau lembaga yang merupakan badan hukum, namun
tidak berarti sama sekali tidak pengaturannya. Untuk menjawab pertanyaan ini dapat
digunakan pemahaman dan hukum positif di Belanda, sehingga yang merupakan badan
hukum dalam perbuatan keperdataan yang dilakukan Pemerintah adalah Negara Republik
Indonesia, Daerah Propinisi atau Daerah Kabupaten dan Kota, bukan Pemerintah Republik
Indonesia dan juga bukan Pemerintah Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten dan Kota.32
siapa yang dimaksud dengan Pemerintah adalah Pasal 1655 KUH Perdata dan Keputusan
Presiden No. 16 Tahun 1995 Tentang Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (Keppres APBN 1995), yang telah mengalami beberapa kali perubahan. Dalam
Pasal 4 ayat (1) Keppres APBN 1995 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan
kantor menteri negara, departemen, kejaksaan agung, sekretariat negara dan lembaga
pemerintah non-departemen. Selanjutnya, Pasal 4 ayat (4) Keppres APBN 1995 dinyatakan
bahwa pengeluaran beban anggaran belanja negara dilakukan dengan penerbitan surat
menetapkan pejabat yang diberi wewenang untuk menanda tangani SKO (sering disebut
Pimpinan Proyek).33
menandatangani kontrak bisnis yang berdimensi publik sebagai wakil Pemerintah adalah
Menteri atau Ketua Lembaga atau Pimpinan Proyek. Keppres APBN 1995 tersebut tidak
mengatur tentang kewenangan dari pejabat-pejabat di daerah dan juga dalam praktik sering
dijumpai bahwa para pejabat pemerintah yang menandatangani kontrak bisnis ini sangat
Sebagai contoh adalah kasus Ibnu Hartomo selaku Deputi Dewan Pertahanan
Keamanan Nasional mengeluarkan Promissory Notes sejumlah US$ 3 milyar atas nama
Pemerintah Republik Indonesia pada tahun 1985, padahal dia tidak berwenang untuk
yang berhak untuk mewakili Pemerintah apabila Pemerintah menjadi pihak dalam sebuah
kontrak bisnis.
D. Pemberian Kuasa
Menurut KUH Perdata, pemberian kuasa adalah suatu perjanjian dengan mana
untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan (Pasal 1792 KUH Perdata). Dengan
yaitu suatu perbuatan yang mempunyai atau menelorkan suatu akibat hukum. Pemberian
kuasa itu menerbitkan “perwakilan”, yaitu adanya seorang yang mewakili orang lain untuk
33
Ibid, hlm 44 - 45
34
Sudargo Gautama, Aneka Perkara Indonesia di Luar Negeri, Penerbit Alumni, Bandung, 1999, hlm 59 - 65
25
melakukan suatu perbuatan hukum. Perwakilan seperti itu ada juga yang dilahirkan oleh
Orang yang menerima kuasa atau penerima kuasa melakukan perbuatan hukum
tersebut atas nama orang yang memberikan kuasa atau juga mewakili pemberi kuasa.
Artinya menurut Subekti adalah apa yang dilakukan adalah atas tanggungan pemberi kuasa
dan segala hak dan kewajiban yang timbul dari perbuatan yang dilakukannya itu
menjadikan hak dan kewajiban pemberi kuasa, atau bahwa kalau yang dilakukan itu berupa
membuat suatu perjanjian, maka pemberi kuasalah yang menjadi pihak dalam perjanjian
itu.35
Pemberian kuasa dapat dilakukan secara khusus, yaitu mengenai hanya satu
kepentingan tertentu atau lebih, atau secara umum, yaitu meliputi segala kepentingan
pemberi kuasa (Pasal 1795 KUH Perdata). Penerima kuasa tidak boleh melakukan apapun
yang melampaui kuasanya, kekuasaan yang diberikan untuk menyelesaikan suatu perkara
secara damai, tidak mengandung hak untuk menggantungkan penyelesaian perkara pada
Pemberi kuasa dapat menggugat secara langsung orang dengan siapa penerima
kuasa telah bertindak dalam kedudukannya dan menuntut dari padanya pemenuhan
perjanjiannya (Pasal 1799 KUH Perdata). Sebagaimana telah diuraikan di muka, dalam
perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh penerima kuasa dengan pihak ketiga, yang
memperoleh hak dan menerima kewajiban dari perjanjian-perjanjian tersebut adalah orang
yang memberi kuasa, dan ia menjadi pihak dalam perjanjian-perjanjian itu; karena itu ia
perikatan-perikatan yang diperbuat oleh penerima kuasa menurut kekuasaan yang ia telah
35
Subekti, Aneka Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995, hlm 141
26
berikan kepadanya. Ia tidak terikat pada apa yang telah dilakukan di luar kekuasaan itu
kecuali jika ia telah menyetujui hal itu secara tegas atau diam-diam.
Melihat perkembangan kegiatan usaha hulu sejak tahun 1910, Indonesia telah
mengenal tiga macam bentuk kontrak pengelolaan migas. Bentuk kontrak yang pertama
adalah berdasarkan Pasal 5A Indische Mijnwet, yang digunakan sampai dengan tahun 1963
dan kemudian diganti dengan Perjanjian Karya dan Kontrak Bagi Hasil menurut UU Migas
1960 dan UU Migas 2001. Karena itu kegiatan usaha hulu migas tersebut tunduk pada asas-
asas Hukum Perjanjian baik yang universal maupun yang diatur dalam Buku III KUH
Perdata.
Di dalam Buku III KUH Perdata dikenal empat asas penting yang bersifat universal,
yaitu asas kebebasan berkontrak, asas pacta sunt servanda, asas itikad baik dan asas
konsensualisme. Tiga asas yang pertama (kebebasan berkontrak, pacta sunt servanda dan
itikad baik) dapat disimpulkan dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang menyatakan bahwa:
Asas konsensualisme mengandung arti “kemauan” (will) dan terdapat didalam Pasal
“Supaya terjadi perjanjian yang sah, perlu dipenuhi empat syarat: kesepakatan
mereka yang mengikatkan diri, kecakapan untuk membuat suatu perjanjian, suatu
pokok persoalan tertentu, suatu sebab yang tidak terlarang”.
Dengan demikian, perjanjian atau perikatan yang timbul pada dasarnya sudah sah
apabila sudah sepakat mengenai hal-hal yang pokok dan tidak diperlukan sesuatu formalitas
individualisme yang lahir dalam zaman Yunani dan berkembang pesat dalam zaman
27
reinaissance. Faham ini berpandangan bahwa setiap orang bebas untuk memperoleh apa
yang dikehendakinya. Asas kebebasan berkontrak ini juga merupakan dasar dalam
“The parties are free to enter into a contract and to determine its content”.36
berkontrak ini harus tetap dipertahankan sebagai asas esensial di dalam Hukum Perjanjian
Pemahaman asas berkontrak ini bukan dalam pengertian kebebasan yang mutlak, karena
dalam kebebasan tersebut terdapat berbagai pembatasan, antara lain oleh undang-undang,
ketertiban umum dan kesusilaan. Seperti dikatakan oleh Friedman bahwa kebebasan
berkontrak masih dianggap aspek yang esensial dari kebebasan individu, tetapi tidak lagi
selalu tersirat adanya itikad baik dari para pihak. Asas itikad baik merupakan asas bahwa
para pihak harus melaksanakan substansi kontrak, berdasarkan kepercayaan atau keyakinan
atau kemauan baik dari para pihak. Itikad baik ini tidak terbatas pada waktu mengadakan
hubungan hukum, akan tetapi juga pada waktu melaksanakan hak-hak dan kewajiban-
Menurut Subekti, itikad baik merupakan suatu sendi yang terpenting dalam hukum
perjanjian. Apabila pada awalnya di tanah air para ahli hukum menganggap itikad baik
bersifat subyektif, maka di Belanda pengertian itikad baik telah berkembang yang
memandang bahwa itikad baik itu juga bersifat obyektif. Misalnya, dalam Nieuwe
36
UNIDROIT, Principles of International Commercial Contracts, Rome, 1994, hlm 7.
37
Mariam Darus Badrulzaman, et. al, op.cit, hlm 85
38
Friedman, Legal Theory, Stevens & Sons Limited, Fourth edition, 1960, hlm 369.
28
Burgerlijk Wetbboek (NBW) pengertian itikad baik itu juga mengandung asas kepantasan
dan kepatutan (redelijkheid en billijkheid). Dengan demikian selain terletak pada hati
sanubari manusia, itikad baik dalam melaksanakan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang
kepatutan dan keadilan dengan menjauhkan diri dari perbuatan yang mungkin menimbulkan
Selanjutnya Subekti menyatakan bahwa hukum itu selalu mengejar dua tujuan, yaitu
menjamin kepastian (ketertiban) dan memenuhi tuntutan keadilan. Kalau ayat pertama
Pasal 1338 KUH Perdata dapat dipandang sebagai suatu syarat atau tuntutan kepastian
hukum (janji itu mengikat), maka ayat ketiga Pasal 1338 KUH Perdata harus dipandang
Suatu perikatan hukum yang dilahirkan dari suatu perjanjian mempunyai dua atribut,
yaitu hak dan kewajiban hukum. Kewajiban hukum adalah mengikatkan diri untuk
melakukan sesuatu kepada pihak lain, sementara hak atau manfaat berupa tuntutan
dilaksanakannya sesuatu yang disanggupi dalam perjanjian itu. Karena itu dalam setiap
Grotius mencari dasar konsensus itu dalam Hukum Kodrat dengan mengatakan
bahwa “janji itu mengikat” (pacta sunt servanda) dan “kita harus memenuhi janji kita”
(promissorum implendorum obligati). Falsafah ini juga terdapat dalam syari’at Islam,
sebagaimana dalam Surat Al Maidah ayat pertama yang berbunyi “Yaa ayyuhalladziina
39
Subekti, Hukum Perjanjian, op. cit. hlm 41
Lihat juga, Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Perjanjian, Cetakan VII, Sumur Bandung, Bandung,
1979 hlm 85.
40
Subekti, loc. cit.
29
aamanuu aufuu bil ‘uqud” yang artinya “wahai orang-orang yang beriman tepatilah janji-
janji itu” dan Surat Al Isra ayat 34 yang berbunyi “wa aufu bil”ahdi innal ‘ahda kana mas
uulan” yang artinya “dan penuhilah olehmu akan janji, sesungguhnya janji itu akan
memperhatikan kesadaran individu dengan motif, aspirasi, kesadaran yang baik dan itikad
baik. Dengan itikad baik seseorang tidak akan mengambil keuntungan dari kesulitan orang
lain yang tidak terlihat sebelumnya, karena hal itu bukan merupakan bagian dari hal yang
disepakati.
Selanjutnya, menurut Grotius asas pacta sunt servanda ini timbul dari premise
bahwa kontrak secara alam dan sudah menjadi sifatnya mengikat berdasarkan dua alasan.
Alasan pertama adalah sifat kesederhanaan bahwa seorang harus berinteraksi dan bekerja
sama dengan orang lain, yang berarti bahwa orang-orang ini harus saling mempercayai,
yang pada gilirannya akan memberikan kejujuran dan kesetiaan. Alasan kedua adalah
setiap individu memiliki hak, di mana yang paling mendasar adalah hak milik yang dapat
dialihkan. Apabila seorang individu memiliki hak untuk melepaskan miliknya, maka tidak
ada alasan mengapa dia harus dicegah untuk melepaskan haknya yang kurang penting
Meskipun sudah dimasukkan ke dalam Hukum Gereja sejak abad XIII, masih
beberapa abad sebelum prinsip nudus consensus obligat, pacta nuda servanda sunt ini
diakui dalam jus civile. Adagium pacta sunt servanda mempunyai arti yang besar sejak
abad XVI, bukan saja di bidang hukum privat melainkan juga dalam bidang-bidang hukum
tata negara dan hukum internasional. Penerapan asas pacta sunt servanda dalam suatu
perjanjian pada awalnya sebagai Hukum Gereja dikuatkan dengan sumpah. Namun di
bawah pengaruh kaum ahli teologi moral sedikit demi sedikit telah dikembangkan prinsip,
41
Grotius, H., The Law of War and Peace: De Jure Belli et Pacis, 1646 ed., Kelsey, F.W. trans., Oxford, 1916
– 25 dan Pufendorf, S., The Law of Nature and Nations: De Jure Naturae et Gentium, 1688 ed. Oxford, 1934,
TLDB Document ID: 105700, diakses dari http://tldb.uni-koeln.de/php/pub
30
Dengan demikian, adagium tersebut telah berubah sifatnya, yaitu sekarang telah
menjadi kekuatan mengikat suatu persetujuan. Prinsip bahwa kita terikat pada janji-janji
dan kesanggupan-kesanggupan kontraktual, bukan saja harus dipenuhi secara moral, tetapi
juga merupakan kewajiban hukum. Hal ini harus dianggap sebagai sesuatu yang berlaku
beraneka ragam juga meningkat. Pergaulan hidup yang berbasiskan tatanan tukar-menukar
mestinya. Tanpa kepercayaan ini dan tanpa kepastian bahwa janji-janji dan kesanggupan-
kesanggupan sedemikian ini akan dipenuhi, maka masyarakat tidak dapat berkembang
dengan baik. Dengan hilangnya kepastian, maka lalu-lintas ekonomi juga tidak akan
berjalan lancar.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pacta sunt servanda diterima sebagai
salah satu prinsip yang umum dalam perdagangan internasional dan perjanjian antara
negara. Pasal 26 Konvensi Wina 1969 menyatakan bahwa setiap perjanjian (Treaty)
mengikat para pihak dan harus dilaksanakan dengan itikad baik. 43 Para pihak berkewajiban
untuk melaksanakan suatu kontrak sedemikian rupa menurut yang telah disepakati,
meskipun pelaksanaan tersebut menjadi tidak menguntungkan atau sulit bagi salah satu
pihak. Ketentuan ini merupakan aturan dasar (basic rule) dari "lex mercatoria", yang
Prinsip pacta sunt servanda ini telah dikenal baik dalam sistem hukum kontinental
maupun common law yang mendukung adanya jaminan dan kepastian perdagangan dan
telah diintengrasikan dalam hukum internasional. Karena itu adagium ini dapat dipandang
bagian dari hukum kebiasaan, yang penerapannya mencapai kehidupan pribadi dan bangsa.
Meskipun banyak pelanggaran dari kontrak telah terjadi, namun fakta menunjukkan bahwa
prinsip kesucian kontrak internasional ini tetap hidup. Ingkar janji selalu dianggap sebagai
suatu tindakan yang salah yang dikenakan keharusan memberikan kompensasi (ganti rugi).
Sebagaimana dikatakan oleh Hans Wehberg, adagium pacta sunt servanda sebagai
prinsip hukum yang umum dijumpai di semua negara dan akan diberlakukan sama, apakah
itu dalam perjanjian antara negara atau kontrak antara negara dan perusahaan swasta.
Kehidupan masyarakat internasional tidak hanya didasarkan pada hubungan antara negara
tetapi juga meliputi hubungan antara negara dan perusahaan asing. Tanpa asas pact sunt
Pada saat ini, prinsip tersebut di atas tidak memiliki ciri yang mutlak (absolute).
Lingkupnya dibatasi dengan pengecualian, yang diberikan oleh hukum, misalnya, perbuatan
yang tidak mungkin baik secara hukum maupun fisik dan memperkaya diri secara tidak adil.
Hak suatu pihak untuk mengundurkan diri dari kontrak bertentangan dengan prinsip
kesucian kontrak (sanctity of contracts). Kepentingan terutama para pihak pada saat
kontrak ditutup, adalah dengan menghormatinya. Namun demikian, meskipun ada itikad
baik dalam membuat dan menutup kontrak oleh para pihak, mungkin dapat terjadi kontrak
tersebut dilaksanakan tidak sempurna atau dalam beberapa hal tidak dilaksanakan sama
sekali. Dalam situasi demikian, pihak yang dirugikan dilengkapi dengan perangkat hukum
lengkap dengan cara penanggulannya. Tindakan yang paling drastis karena tidak memenuhi
44
Wehberg, Hans, loc. cit.
32
memuat ketentuan-ketentuan yang mengikat kewajiban dan pihak yang tidak melakukannya
bertanggung jawab untuk membayar kerugian. Ketentuan ini didasarkan pada prinsip pacta
sunt servanda, yang berarti bahwa masing-masing pihak bertanggung jawab atas
memberikan hasil yang berlawanan dari sasarannya. Hal ini disebabkan oleh karena situasi
pada saat kontrak dibuat telah berubah sedemikian sehingga para pihak tidak dapat
melaksanakan kontrak, atau kesepakatan menjadi lain apabila hal tersebut sudah dapat
diramalkan akan terjadi. Karena itu sebagai suatu pengecualian, kewajiban untuk
memenuhi janji mungkin dapat dimaafkan apabila peristiwa yang luar biasa telah
melahirkan doktrin rebus stic stantibus, yang diartikan bahwa kewajiban dalam suatu
Menurut Liu Chengwei, aspek penting dari doktrin ini adalah memberikan perhatian
pada perubahan yang bertentangan dengan harapan atau ekspektasi para pihak, sehingga
mengalahkan maksud dari perjanjian. Dengan demikian, masalah yang dikedepankan disini
adalah adanya dua pilihan, yaitu penerapan secara kaku pacta sunt servanda menjaga
kesucian kontrak atau penerapan klausula rebus sic stantibus.45 Dalam hal ini Goldman
berpandangan bahwa pacta sunt servanda hakekatnya berarti bahwa kontrak-kontrak yang
45
Chengwei, Liu, Remedies for Non-performance: Perspective from CSIG, UNIDROIT Principle and PECL,
Chapter 19 Change of Circumstances, September 2003, diakses dari http://cisgw3.law.pace.edu/cisg/biblio/
chengwei-79 html.
33
secara hukum sah dan berjalan harus dihormati. Dengan demikian kontrak tidak dapat
Konsep rebus sic stantibus diakui dalam hukum internasional dan berkembang pada
abad XVIII dalam hukum privat, tetapi mendapat banyak kritik karena tidak kejelasan dan
tidak kepastiannya. Konsep ini harus ditafsirkan secara sempit, karena dapat berdampak
negatif terhadap kesucian kontrak (contract sanctity). Dengan makin menguatnya faham
liberalisme pada abad XIX yang menghendaki kebebasan berkontrak, klausula rebus sic
law). Klausula rebus sic stantibus ini umumnya ditemukan dalam hukum internasional
publik.47
Dengan perubahan pemikiran hukum dalam abad XX yang berlandaskan pada ide
itikad baik dan persamaan, hukum kontrak telah meninggalkan doktrin kewajiban mutlak
dan sistem hukum mulai memberikan kepada salah satu atau kedua belah pihak untuk tidak
Menurut Liu Chengwei, perubahan ini berbeda untuk setiap negara; dalam banyak negara
force majeure sebagai alasan untuk tidak melaksanakan tidak dapat hanya diasumsikan,
Selanjutnya, Liu Chengwei menyatakan bahwa dalam abad XX sejumlah teori baru
dan Wegfall de Geschaftsgrundlage. Teori-teori ini menampung untuk situasi yang mutlak
46
Goldman, Berthold, The Applicable Law: General Principles of Law – the Lex Mercatoria, Lew ed.
Contemporary Problems in Internacional Arbitration, London, 1986, p. 125, TLDB Document ID 112400,
diakses dari http://tldb.uni-koeln.de/php/pub.
47
Chengwei, Liu, loc. cit.
48
Ibid
34
sangat mahal jauh diatas yang diantisipasi. Di beberapa sistem hukum, seperti Perancis
situasi tersebut tidak memberikan efek. Di sistem yang lain, seperti di Ingerís situasi
yang menyulitkan pelaksanaan kontrak tetapi masih dapat dijalankan. Doktrin imprevision
hanya diterapkan oleh Pengadilan Tata Usaha untuk kontrak-kontrak yang berkaitan dengan
komersial, harga kontrak yang disepakati tidak dipengaruhi oleh kenaikan harga atau
depresiasi mata uang. Doktrin imprevision ini dikembangkan dari asas “itikad baik” dalam
French Civil Code oleh Counsel d”Etat berkaitan dengan kontrak-kontrak yang
disebabkan oleh adanya perubahan situasi yang mendasar dan tidak dapat dilihat
sebelumnya berdasarkan asas itikad baik dalam Swiss Civil Code. Hanya terhadap
perubahan-perubahan yang tidak (tidak dapat) diantisipasi ini dan berdampak terhadap dasar
kontrak dan merubah secara mendasar kewajiban atau memperkaya salah satu pihak secara
tidak adil yang dapat diberikan keringanan; dengan demikian klausula rebus sic stantibus
49
Ibid
50
Nassar, Nalga, Sanctity of Contracts Revisited, Dordrecht, Boston, London, 1995, p. 193. TLDB Document
ID 105700, diakses dari http://tldb.uni-koeln.de/TLDN html
Houtte, Hans, Changed Circumstances and Pacta Sunt Servanda, Gatllard ed., Transnacional Rules in
Internacional Comercial Arbitration, ICC Oubl. Nr. 480, 4, Paris, 1993, p 116, TLDB Document ID 117300,
diakses dari http://tldb.uni-koeln.de/TLDN html
51
Ibid
35
Kegiatan usaha hulu migas adalah industri padat modal dan berisiko tinggi. Sampai
saat ini kegiatan eksplorasi dan eksploitasi migas di negara-negara berkembang (developing
banyak berubah meskipun kemampuan dan keahlian di negara-negara berkembang ini telah
multinasional yang menyediakan dana, teknologi dan peralatan yang diperlukan untuk
mengembangkan sumber daya ini dalam suatu sektor bisnis di mana taruhannya dan risiko
seperti bagaimana kemitraan itu dibina dan bagaimana keuntungan itu dibagikan merupakan
perjalanannya hubungan ini sering mengalami perubahan karena beberapa faktor berikut:
1). Tujuan dari kedua pihak yang berkontrak tidak saja berbeda tetapi sering kali
2). Kontrak pengelolaan migas adalah berjangka panjang (lebih dari 30 tahun). Selama
Dengan demikian, menjadi sangat penting bagi para pihak yang berkontrak untuk
konsesi yang memberikan kepada perusahaan-perusahaan asing hak yang sangat luas
dengan berbagai kemudahan, sementara pembayaran royalti kepada Negara sebagai pemilik
sumber daya relatif kecil, atau hubungan Pemerintah dan perusahaan tidak seimbang.
Meningkatnya rasa kebangsaan menimbulkan upaya dari Negara pemilik sumber daya
untuk mengubah hubungan ini menjadi lebih seimbang baik mengenai kepentingan, hak,
kewajiban maupun manfaat para pihak. Salah satu contoh bentuk hubungan ini adalah
seperti yang diatur dalam Perjanjian Karya atau Kontrak Bagi Hasil, yaitu hubungan antara
unsur perdata dan publik. Unsur perdata merupakan akibat logis dari sifat kontrak dan
komersial dari transaksi, sementara unsur publik meliputi kendali pemerintah, partisipasi
negara, penyediaan kebutuhan minyak dalam negeri dan keselamatan kerja dan
perlindungan lingkungan.
Naskah kontrak cukup kompleks untuk mengatur hubungan yang berjangka panjang
ini yang dibuat berdasarkan keadaan pada saat ditandatangani dan asumsi-asumsi yang
dipergunakan baru dapat diuji kebenarannya beberapa tahun kemudian. Karena itu, apabila
kerangka kerja yang mengelilingi kegiatan pengusahaan dipandang sebagai bagian dari
proses yang dinamis, di mana perubahan pola dalam hubungan pemerintah dan perusahaan
akan menggeser posisi tawar menawar kedua pihak, maka tidak dapat dihindari akan
terjadinya ketidakpuasan atas persyaratan kontrak. Desakan dari pemerintah yang minta
37
perbaikan persyaratan untuk meningkatkan penerimaan tidak saja berasal dari perubahan-
perubahan jangka panjang dalam industri migas internasional tetapi dapat juga dari
perkembangan setempat yang memperkuat posisi tawar menawar pemerintah tuan rumah.
Fenomena ini merupakan sifat yang melekat dalam kegiatan pengusahaan migas sesuai
dengan tahapannya.
Pada umumnya, dalam tahapan eksplorasi, posisi tawar menawar pemerintah relatif
agak lemah, dan akan menguat setelah ditemukan cadangan yang dapat dikembangkan
secara komersial. Di lain sisi, selama masih tidak tersedianya dana untuk eksplorasi dan
pengembangan, posisi pemerintah untuk negosiasi kembali relatif juga lemah. Posisi tawar
menawar pemerintah akan menguat apabila penanaman modal asing tidak diperlukan lagi.
mengubah rumusan bagi hasil mengikuti keberhasilan eksplorasi dan melonjaknya harga
minyak pada awal tahun 1970-an. Demikian pula, pada awal tahun 1980-an, Pemerintah
memberlakukan Keppres 14A pada kegiatan Kontrak Bagi Hasil yang menjadi tanggung
berbagai kebijakan baru untuk menarik investasi melalui pemberian insnetif tambahan.
Argumentasi antara kedua pihak pada dasarnya disebabkan oleh perbedaan persepsi
mengenai risiko, yaitu siapa yang harus menanggungnya dan bagaimana risiko tersebut
harus diberi imbalan pada proses tawar menawar awal. Perubahan-perubahan persepsi
mengenai risiko ini selama kegiatan berjalan akan menimbulkan elemen ketidakpastian dan
ketegangan antara para pihak. Investor tentu mengharapkan agar investasi dalam proyek
yang berisiko tinggi ini diberi imbalan melebihi dari proyek yang tidak berisiko.
merupakan prinsip dasar yang melandasi partisipasi mereka dalam kegiatan ini. Investor
38
asing ini memerlukan jaminan tidak saja berupa manfaat untuk pemegang sahamnya, tetapi
juga untuk meyakinkan sponsor dari proyek tersebut (bank, lembaga keuangan, dan lain-
lain) bahwa proyek tersebut akan menghasilkan penerimaan yang cukup untuk membayar
pinjaman. Tujuan ini hanya akan tercapai apabila persyaratan dalam perjanjian investasi
Di sisi lain pemerintah akan menanggapinya bahwa investor asing ini tentu saja
selalu menghormati kontrak karena persyaratannya telah dirundingkan dalam keadaan yang
mengenai mutu dan harga dari komoditas; dengan demikian pemerintah umumnya
menghendaki kontrak tersebut cukup fleksibel dan dapat diamendemen dengan berubahnya
keadaan politik dan ekonomi baik di dalam maupun luar negeri. Karena itu pemerintah
memandang kontrak sebagai dokumen perencanaan yang dijadikan sebagai acuan dan
diamendemen dengan berkembangnya hubungan antara para pihak. Hal ini yang kemudian
melakukan modifikasi atas persyaratan atau kewajiban kontrak dengan dalih untuk
kepentingan publik. Menurut Zhigue Gao, apabila hal ini dilakukan, maka dampak dari
tindakan sepihak ini hanya akan memperburuk citra Pemerintah di antara para investor.52
Para pakar dari negara tuan rumah umumnya berpendapat bahwa kontrak-kontrak
tersebut seharusnya diatur oleh hukum nasional negara tuan rumah berdasarkan prinsip-
prinsip hukum perdata internasional dan kontrak tersebut dapat diamendemen oleh
Pemerintah untuk kepentingan publik. Di lain pihak para pakar dari negara-negara Barat
52
Gao, Zhigue, International Offshore Petroleum Contracts, Towards the Compatibility of Energy Need and
Sustainable Development, Dissertation Doctor of Science Dalhousie University, Halifax, Nova Scotia, UMI
Dissertation Services, Ann Rabor, Michigan, July 1993, hlm 502.
39
berpendapat bahwa kontrak-kontrak ini adalah perjanjian internasional dan karena itu
Perbedaan pendapat ini menurut Zhiguo Gao akan terus berlanjut sepanjang masih
terdapat satu kesamaan pandangan bahwa kesucian kontrak tidak pernah diperlakukan
sebagai asas yang mutlak baik dalam teori maupun praktek.54 Sebagaimana dikatakan oleh
R.Y. Jennings baik asas pengambilan hak maupun asas pacta sunt servanda tidak harus
beberapa (itupun kalau ada), kontrak-kontrak migas yang tidak mengalami perubahan atau
masih dalam bentuk aslinya. Perubahan-perubahan ini meliputi terutama persyaratan fiskal
Kontrak Bagi Hasil telah dikenal lama dan diterapkan secara luas di Indonesia, yaitu
perjanjian bagi hasil tanah pertanian. Kontrak bagi hasil ini semula diatur menurut Hukum
Adat setempat. Menurut aturan Hukum Adat rumusan bagi hasil ditetapkan atas persetujuan
kedua belah pihak. Karena tanah yang tersedia untuk dibagihasilkan tidak seimbang dengan
jumlah petani yang memerlukan tanah garapan, maka rumusan bagi hasil ini umumnya tidak
Dalam rangka untuk melindungi golongan petani ekonomis lemah, maka pada tahun
1960 dikeluarkan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1960 Tentang Perjanjian Bagi Hasil (UU
53
Gao, Zhigue, op. cit., hlm 503
54
Ibid
55
Jennings, R.Y., State Contracts in International Law, British YB International Law, 1961, hlm 156:
“Neither the principle of acquired rights nor the principle of pacta sunt servanda is therefore to be regarded
as being necessary absolute or unconditional in its application.”
56
Gao, Zhigue, loc. cit.
40
Bagi Hasil). UU Bagi Hasil ini menetapkan aturan perjanjian bagi hasil, antara lain
mengenai rumusan bagi hasil, jangka waktu perjanjian, bentuk perjanjian dan siapa-siapa
Konsep Bagi Hasil ini kemudian dikembangkan secara nasional untuk kegiatan hulu
migas dari Hukum Perjanjian, dengan pemikiran asas kebebasan berkontrak (Pasal 1338
Machmud, skema bagi hasil juga sudah diterapkan dalam industri, dan pengembangan
sumber daya pertanian dan kehutanan pada tahun 1960an, namun minat untuk
menerapkannya sangat sedikit. Disamping situasi ekonomi dan politik di Indonesia pada
saat itu yang tidak kondusif untuk penanaman modal asing, persyaratan komersialnya juga
Hasil di Indonesia adalah Keputusan Presiden Tahun 1962 Tentang Pinjaman dan Kredit
Berdasarkan Bagi Hasil, dan Keputusan Presiden Nomor 20 Tahun 1962 Tentang Fasilitas
Proyek Yang Dibiayai Dengan Pinjaman Luar Negeri Berdasarkan Bagi Hasil. Transaksi
demikian dalam faktanya adalah pinjaman modal, barang dan jasa (dalam bentuk pabrik
atau seluruh proyek) yang akan dibayar kembali dengan produksi. Proyek ini tidak berjalan
dengan baik, karena kurang perencanaan, kecuali satu proyek penambangan nikel di
57
T.N. Machmud, op. cit., hlm 44, yang mengutip Mochtar Kusumaatmadja, Mining Law, University of
Padjadjaran Law School, Bandung, 1974, hlm 7.
58
Ibid
BAB III
minyak dan gas bumi di Indonesia telah mengalami perubahan mengikuti perkembangan
politik dan ekonomi. Bab berikut membahas perkembangan pengusahaan minyak dan
gas bumi (migas) yang dapat dibagi dalam empat kurun waktu, yaitu masa sebelum
proklamasi kemerdekaan, masa awal kemerdekaan sampai dengan tahun 1963, selama
masa berlakunya UU Migas 1960 dan masa setelah dikeluarkannya UU Migas 2001.
minyak dan gas bumi dan analisis peran politik dalam menetapkan kebijakan dan
karakter produk hukum yang menjadi landasan kegiatan pertambangan bahan galian
(mineral) di Indonesia.
pemboran untuk mencari minyak di selatan Cirebon (Jawa Barat). Meskipun berhasil
menemukan minyak, Jan Reerink terpaksa menghentikan usahanya setelah lima tahun,
karena kekurangan modal dan hasil penemuannya dipandang tidak komersial. Upaya
pencarian minyak ini kemudian dilanjutkan oleh A.J. Zijlker, seorang manajer dalam
Langkat.
41
42
Pada tahun 1885 Zijlker berhasil menemukan minyak di Telaga Said (Aceh)
dalam jumlah yang cukup untuk dipasarkan (komersial). Dengan penemuan ini Zijlker
Dutch Company.59 Tahun 1885 ini kemudian dipandang sebagai hari jadi industri migas
di Indonesia.
kegiatan di bagian lain Indonesia, antara lain di Kalimantan Timur berdasarkan izin
konsesi yang diberikan oleh Sultan Kutei, dan Sumatera Selatan dan Jawa Timur. Pada
awal abad dua puluh ini terdapat sekitar 18 perusahaan yang aktif mencari minyak,
antara lain Shell Transport and Trading Company. Pada tahun 1907 Shell dan Royal
Dutch bergabung menjadi perusahaan dengan nama Royal Dutch-Shell, yang tumbuh
Royal Dutch-Shell Group mendominasi kegiatan hulu migas di tanah air dengan 44
bahan galian termasuk minyak bumi. Dengan undang-undang ini semua bahan galian
menjadi dikuasai oleh Pemerintah dan kegiatan pertambangan hanya dapat dilakukan
dengan izin konsesi yang dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal. Menurut Indische
59
Knowles, Ruth Sheldon, op. cit., hlm 42 - 43
60
Ooi Jin Bee, The Petroleum Resources of Indonesia, Oxford University Press, Kualalumpur, 1982, hlm
2–3.
43
Mijnwet, konsesi hanya diberikan kepada warga negara Belanda, penduduk Belanda dan
Hindia Belanda. Dengan demikian, hak para Sultan untuk mengeluarkan izin konsesi
perusahaan minyak raksasa dari Amerika Serikat. Misalnya, Jersey Standard melalui
jumlah komersial dan upaya Jersey Standard untuk memperoleh konsesi tambahan di
dan Amerika Serikat, dan sebagai balasan terhadap tindakan Pemerintah Hindia
Belanda, pada tahun 1920 US Congress mengeluarkan “Mineral Leasing Act”, yang
konsesi diatas tanah-tanah yang dikuasai pemerintah (public lands) oleh perusahaan-
permintaan Jersey Standard dan Inggeris yang juga menolak memberikan konsesi
“Mineral Leasing Act of 1920” ini Pemerintah Federal Amerika Serikat menolak
61
Yergin, Daniel, The Price, Simon & Schuster, New York, 1991, hlm 195.
44
oleh Pemerintah Federal dan yang diperuntukkan bagi penduduk keturunan Indian
(Indian lands)62.
mengalami suatu dilema. Di satu pihak, Pemerintah Belanda merasa perlu untuk
pesaing utamanya, yaitu Jersey Standard, sementara di sisi lain pemberian konsesi akan
adanya saham Inggerís yang cukup besar di perusahaan tersebut. Sebagai tindak
penyelamatan pada bulan Mei 1913 Pemerintah Belanda membekukan untuk sementara
Indische Mijinwet.63
Royal Dutch Shell Group. Kegiatan eksplorasi NKPM di wilayah baru ini cukup
berhasil dan menjadikan NKPM produsen minyak kedua di samping Royal Dutch-Shell.
Pada saat Pemerintah Hindia Belanda akhirnya memberikan konsesi kepada NKPM
(1925), perusahaan multinasional lain dari Amerika Serikat, yaitu Standard Oil of
NKPM, Standard of California harus menunggu lebih dari 10 tahun untuk memperoleh
62
Knowles, Ruth Sheldon, op.cit., hlm 46
63
Ibid, op.cit., hlm 45
45
Sumatera Tengah, di wilayah yang tidak dikehendaki oleh Royal Dutch-Shell Group
pada “policy of prudence”. Dengan kebijakan yang penuh kehati-hatian ini, prioritas
Kebijakan semacam ini diambil untuk memberikan kesempatan pada perusahaan yang
memiliki kilang mendapatkan suplai bahan baku untuk diolah. Di satu sisi kebijakan
pengolahan minyak yang sudah ada, cukup beralasan; namun di sisi lain kebijakan
Mijnordonantie 1930 yang dikeluarkan pada 1 Juli 1930. Selain itu Pemerintah Hindia
Belanda juga mengeluarkan Mijn Politie Reglement yang khusus mengatur Pengawasan
Keselamatan Kerja Pertambangan dan yang hingga kini masih berlaku disamping
64
Caltex Pacific Indonesia, Pipeline to Progress: The Story of PT Caltex Pacific Indonesia, November
1983, hlm 22, yang memuat tulisan Dr. R.H. Hopper seorang mantan Executive Caltex, yang berlatar
belakang pendidikan ahli geologi tetapi juga seorang penulis sejarah yang banyak menulis tentang
kegiatan eksplorasi dan sejarah budaya di berbagai daerah di Indonesia.
65
Soetarjo Sigit dan S. Yudonarpodo, Legal Aspects of the Mineral Industry in Indonesia, Indonesia
Mining Association (IMA), Jakarta, 1993, hlm 7.
46
2). Pasal 16 yang menetapkan bahwa pemegang konsesi mempunyai hak untuk
mengendalikan bahan galian dalam wilayah konsesinya yang berada diatas dan
3). Bab VI yang mengatur penerimaan Pemerintah, yaitu berasal dari pajak
perseroan, iuran tetap (vast recht) yang dihitung berdasarkan luas wilayah
1). Pemerintah berwenang untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi selama hal
ini tidak bertentangan dengan hak-hak yang telah diberikan kepada penyelidik
2). Pemerintah dapat melakukan sendiri eksplorasi dan eksploitasi atau mengadakan
3). Perjanjian demikian itu tidak akan dilaksanakan kecuali telah disahkan dengan
Pemerintah mengadakan kontrak dengan perusahaan migas dalam bentuk kontrak, yang
dapat berbentuk Kontrak Eksplorasi (Kontrak 5AE) atau Kontrak Eksplorasi dan
66
Lihat Soetarjo Sigit, Potensi Sumber Daya Mineral dan Kebangitan Pertambangan Indonesia, Pidato
Ilmiah Penganugerhan Gelar Doktor Honoris Causa di ITB, Bandung, 9 Maret 1996, hlm 10.
67
Departemen Pertambangan, 40 Tahun Peranan Perambangan dan Energi di Indonesia 1945 - 1985,
Majalah Pertambangan dan Energi, Jakarta, 1985, hlm 224
47
Eksploitasi (Kontrak 5AEE). Kontrak 5A ini memuat persyaratan tertentu antara lain
jangka waktu berlakunya 40 tahun. Berbeda dengan konsesi, Kontrak 5A dimuat dalam
Staatsblad (Lembaran Negara) karena migas dianggap sebagai bahan galian yang
penting.68
usaha ini secara langsung. Jika dengan konsesi murni pengawasan berupa perizinan,
peraturan perpajakan dan lalu lintas devisa, maka dengan Pasal 5A ini pengawasan
Ordonansi Pajak Perseroan 1925, iuran tetap dan pungutan hasil pertambangan
menyerahkan bagian Pemerintah dari hasil usahanya, yang dihitung atas laba bersih
(jumlah produksi komersial dikurangi biaya eksplorasi dan produksi) menurut satu
rumusan yang ditetapkan dalam kontrak (kewajiban yang timbul dari kontrak).69
telah mencapai 350 ribu barrel dengan lima kilang pengolahan minyak di Pangkalan
Susu (Sumatra Utara), Plaju dan Sei Gerong (Sumatera Selatan), Wonokromo (Jawa
Timur) dan Balikpapan (Kalimantan Timur). Sebagian besar produksi minyak di ekspor
dan dengan tingkat produksi tersebut Indonesia menduduki peringkat kelima di antara
68
Lihat Rokan III 5A Exploratie en Exploitatie Contract antara Pemerintah dan Nerderlandsche Pacific
Petroleum Maatschapij, 12 Agustus 1949. Bagian Pemerintah diluar pajak, iuran tetap dan pungutan
dihitung sebagai berikut:
25% pertama = 10%;
10% kedua = 15%;
10% ketiga = 20%;
10% keempat = 25%
Diatas 55% = 30%
Jumlah = 25% dari laba bersih.
69
Ibid
48
kelonggaran dalam penggunaan devisa yang diatur dalam suatu pengaturan keuangan
yang dikenal dengan “Let Alone Agreement”. Pengaturan ini merupakan penyimpangan
dari peraturan umum yang berlaku dalam lalu lintas devisa dengan memberikan
kebebasan kepada perusahaan minyak untuk menahan dan mengeluarkan valuta asing
berasal dari hasil ekspor minyak bumi, mengeluarkan biaya dalam valuta asing untuk
keperluan rehabilitasi dan melakukan ekspor dan impor untuk keperluan operasinya.70
Pada tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia lahir sebagai negara merdeka dengan
Indonesia sepakat untuk menjamin hak para investor asing, namun demikian Pemerintah
juga ingin mendapatkan porsi yang lebih besar dari hasil penggalian kekayaan alamnya
karena merasa tidak mendapatkan hasil pembagian keuntungan yang adil dari sistem
konsesi. Keinginan ini cukup beralasan dan didukung dengan perkembangan di dunia
setelah selesainya Perang Dunia II. Misalnya, pada tahun 1948 Venezuela mempelopori
Timur Tengah, yang pada tahun 1959 di Cairo menyelenggarakan konferensi pertama
70
Departemen Pertambangan, loc.cit.
71
Ghanem, S.M., OPEC: The rise and fall of an exclusive club, PKI Limited, London, 1986, hlm 12
49
minyak bersatu.
Di dalam negeri, pada tahun bulan Agustus 1951 Dewan Perwakilan Rakyat
menerima mosi dari Tengku Mohamad Hasan, yang pada intinya minta agar Pemerintah
tentang pertambangan menggantikan Indische Mijnwet. Dalam mosi tersebut, DPR juga
memberi tugas yang sulit kepada Komisi Pertambangan untuk memutuskan apakah
mendapat tatangan terutama dari Serikat Buruh yang berafiliasi dengan partai komunis
dan beberapa partai-partai politik baik di daerah maupun di pusat. Berbagai komisi
fasilitas produksi dan kilang minyak yang dibangun sebelum Perang Dunia menjadi
terbengkalai dan menjadi puing-puing. Pembangunan kembali baru dapat dimulai pada
akhir 1957 setelah pimpinan Angkatan Darat mengangkat Ibnu Sutowo untuk
ini merupakan cikal bakal berdirinya PERMINA yang setelah bergabung dengan PN
Refican (Canada), rehabilitasi sarana produksi dapat diselesaikan yang ditandai dengan
pengiriman produksi minyak dari lapangan Katapa (Sumatera Utara) yang pertama
setelah berakhirnya Perang Dunia pada 24 Mei 1958. Pengiriman minyak 13 ribu barrel
50
ke Jepang merupakan “test case” untuk melihat tanggapan Royal Dutch-Shell yang
melakukan nasionalisasi dari kelompok yang berafiliasi dengan partai komunis, kegiatan
mencari ladang minyak baru di daerah-daerah lain juga praktis terhenti dan kegiatan
industri migas yang beroperasi pada saat itu (Shell, Stanvac dan Caltex) terbatas pada
oleh Fabrikant:
37 Prp Tahun 1960 Tentang Pertambangan (UUP) dan Undang-undang Nomor 44 Prp
Tahun1960 Tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi (UU Migas 1960). Sasaran
72
Departemen Pertambangan, op.cit., hlm 236
73
Lihat T.N. Machmud, op. cit., hlm 47, yang mengutip Fabrikant, Robert, Production Sharing Contracts
in the Indonesian Petroleum Industry, Harvard International Law Journal, vol 16, 1975: “During the
1950s an overall retrenchment took place in the petroleum industry and exploration activities virtually
ceased. Partly, this slowdown was attributed to a shortage of export opportunities. But also significant
were the increasing demands for nationalization of all petroleum fields, which prompted the government
to refrain from signing new concession contracts and to confine concessionaires to existing acreage. Also
the existence of a state commission which had been formed in 1951, inter alia, to draft ‘an Indonesia
mining law in harmony with present conditions’ all of which caused the companies to believe that they
were operating in a legal twilight zone”.
51
kedua undang-undang ini adalah meletakkan dasar bagi terciptanya struktur hukum
pada menetapkan peran modal asing dalam pengusahaan migas, karena Pemerintah tidak
memiliki dana dan ketrampilan untuk melaksanakannya. Dalam iklim politik perang
1). Kelompok yang didominasi oleh aliran yang pro Uni Sovyet yang menuntut
2). Kelompok yang melihat diperlukannya modal asing untuk membantu Indonesia
Pasal 3 UU Migas 1960 menetapkan bahwa pertambangan minyak dan gas bumi
eksploitasi, pengolahan, transportasi dan penjualan. Hal ini berarti bahwa Pemerintah
Pertambangan”.
52
Menyadari bahwa kegiatan industri migas memerlukan dana yang besar dan
dapat menunjuk pihak ketiga sebagai kontraktor dari Perusahaan Negara bilamana
Perusahaan Negara tidak dapat melakukannya sendiri karena tidak tesedianya dana atau
74
Tim Bimasena, Naskah Akademik Rancangan Peraturan Pemerintah Tentang Kegiatan Usaha Hulu
Minyak dan Gas Bumi, Bimasena, Jakarta, Juni 2002, hlm 18.
53
hak pertambangan yang diberikan kepada perusahaan bukan milik negara yang
berlaku dan dapat dilanjutkan untuk waktu yang tidak lama, yang akan ditetapkan
dengan Peraturan Pemerintah. Pada saat UU Migas 1960 dikeluarkan, terdapat tiga
perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia, yaitu Royal Dutch-Shell, Stanvac dan
Caltex dan menurut Pasal 22 UU Migas 1960 ketiga perusahaan multinasional tersebut
akan mempengaruhi aset mereka di negara lain yang melibatkan cadangan lebih besar.
Perundingan untuk mencapai kesepakatan berjalan cukup lama; persoalan pokok dalam
untuk tetap memegang kendali operasi dan hak eksklusif untuk menetapkan harga
minyak.
dan harga jual minyak dan produk (BBM) ditetapkan bersama-sama dengan Pemerintah.
Meskipun iklim politik Indonesia pada tahun 1962 tidak kondusif untuk penanaman
modal asing, potensi menemukan minyak di Indonesia masih cukup mempunyai daya
tarik bagi perusahaan-perusahaan internasional yang lain. Pada bulan Juni 1962, setelah
75
Dalam naskah perjanjian, Perjanjian Karya ini diterjemahkan sebagai Contract of Work, yang kemudian
dalam banyak tulisan diterjemahkan sebagai Kontrak Karya, suatu istilah yang kemudian digunakan
dalam UUPMA.
54
berunding beberapa lama Pan American Oil Company (anak perusahaan Standard of Oil
kerja di Riau berbatasan dengan wilayah kerja Caltex. Persyaratan dalam Perjanjian
Karya ini mengacu pada Keputusan Presiden, yaitu rumusan bagi hasil keuntungan 60-
(realized price).
Dengan tidak adanya kemajuan dalam perundingan, pada bulan April 1963
yang beroperasi di Indonesia bahwa mereka diberi waktu tujuh minggu untuk membuat
keputusan, menerima atau menolak tawaran Pemerintah, dan apabila dalam jangka
tersebut tidak tercapai kesepakatan maka Pemerintah akan mengambil tindakan sepihak.
Ultimatum ini cukup mengejutkan pemerintah Amerika Serikat, Inggerís dan Belanda,
William Wyatt yang akan bertindak sebagai mediator. Pertemuan tiga hari yang
kontraktor dengan persyaratan yang sama dengan Perjanjian Karya antara Pan American
PERTAMIN dan Caltex, dan antara PN PERMINA dan Stanvac meliputi lima wilayah
76
Lihat Heads of Agreement tanggal 1 Juni 1963 antara Pemerintah Republik Indonesia, Caltex Pacific
Oil Company, PT Stanvac Indonesia dan PT Shell Indonesia. Pokok-pokok kesepakatan yang terrcapai
antara lain: pembagian laba operasi 60% untuk Pemerintah dan 40% untuk Perusahaan, jaminan
pendapatan minimum untuk Pemerintah, Kewajiban Penyediaan Minyak untuk pasaran dalam negeri,
nilai tukar mata uang, pokok-pokok menyangkut pengalihan aset kilang dan pemasaran dalam negeri..
55
kontrak selama 20 tahun untuk wilayah-wilayah yang sudah berproduksi dan 30 tahun
Disepakati pula bahwa pemasaran BBM dalam negeri akan dialihkan dalam waktu lima
tahun dan kilang atau fasilitas pengolahan akan dialihkan dalam waktu sepuluh tahun
berdasarkan harga kompensasi yang disepakati bersama. Karena Caltex tidak terlibat
dalam kegiatan pengolahan dan pemasaran BBM dalam negeri, ketentuan ini hanya
menjelaskan bahwa Pemerintah Amerika Serikat tidak ikut dalam perundingan atau
Serikat telah memberi kesan kepada Pemerintah Indonesia bahwa Pemerintah Amerika
Wyatt pembagian laba 60/40 sebenarnya tidak terlalu berbeda dengan pembagian
keuntungan 50/50 yang berlaku di Timur Tengah. Hal ini disebabkan bahwa dalam
tanpa ada pungutan lain, sementara di Timur Tengah digunakan “posted price”, yaitu
Ketiga Perusahaan Negara di atas didirikan sebelum tahun 1963 dengan berbagai
minyak di Jambi dan Bunyu yang dahulu dioperasikan oleh Nederland Indische
77
Lihat Petroleum Intellegence Weekly, Mc.Graw Hill, New York, 10 Juni 1963, hlm 4-5.
56
Aardolie Maatschappij (NIAM), perusahaan patungan antara Pemerintah dan Shell, dan
habis masa konsesinya.78 PERMIGAN yang didominasi oleh kelompok berhaluan kiri
Perusahaan Negara tampak tidak bersatu dan tidak memiliki visi yang sama dalam
PERMINA pada tahun 1968 menjadi PERTAMINA. Kedudukan, misi dan organisasi
Indonesia mempunyai landasan baru dalam mengembangkan sumber minyak dan gas
pertentangan antara kelompok yang bersimpati kepada Blok Barat dan kelompok yang
perusahaan asing terus dilontarkan oleh kelompok yang berafiliasi dengan Partai
Komunis dan baru berhenti setelah terjadinya peristiwa G-30S. Ketidakstabilan politik
ini akhirnya memicu Shell untuk menjual semua asetnya di Indonesia kepada
PERMINA pada akhir tahun 1965 yang terdiri dari dari tiga kilang minyak dan
78
Departemen Pertambangan, op. cit., hlm 232.
79
Ibid, hlm 260.
57
Perdebatan mengenai Perjanjian Karya juga terus berlanjut antara dua kelompok,
yaitu yang setuju dengan Perjanjian Karya dan kelompok yang menganggap Perjanjian
Karya tidak lebih baik dari sistem konsesi. Kelompok yang tidak setuju dengan
Perjanjian Karya dipelopori oleh Ibnu Sutowo yang memimpin PERMINA dan
wawancara dengan Ruth Sheldon Knowles, Ibnu Sutowo menamakan Perjanjian Karya
“Perbedaan yang penting antara sistem konsesi dan bukan konsesi adalah
masalah kepemilikan minyak. Prinsip pokok dalam sistem konsesi adalah
minyak dimiliki oleh pemerintah dalam bentuk geologi di dalam bumi, tetapi
segera seseorang memproduksinya maka dia menjadi pemilik minyak tersebut.
Dengan lain kata, minyak yang berada di kepala sumur dimiliki oleh perusahaan
asing dan perusahaan membayar pajak 60 persen dari keuntungan penjualan
minyak. Dalam perjanjian karya, setiap kita membutuhkan minyak kita dapat
memintanya tetapi maksimum hanya 20 persen dari produksi. Dua aspek ini
menunjukkan bahwa perjanjian karya tidak lebih baik dari sistem konsesi.
Tetapi jika kita berpegang pada prinsip bahwa minyak dimiliki oleh rakyat
Indonesia, maka yang pertama kendali manajemen operasi perminyakan harus
berada di tangan Indonesia.” 80
kepentingan (conflict of interest) antara perusahaan minyak asing dan pemerintah tuan
rumah adalah menggunakan sistem bagi hasil produksi (production sharing system) dan
perusahaan minyak nasional memegang kendali manajemen. Perjanjian bagi hasil akan
80
Knowles, Ruth Sheldon, op. cit., hlm 74 – 75 yang mengutip pernyataan Ibnu Sutowo: “The most
important thing in the difference between a concession and a non-concession is the matter of ownership of
the oil. The fundamental principle underlying a concession, and highly favored by foreign oil companies,
is that oil is owned by the government in its natural geological form, but as soon as man has done
something to it, he is the owner of the oil. In the other words, oil at the well-head becomes foreign
property and the company pays a tax in the form of 60 percent of the profits from the sale of the oil.
Under the work contracts, whenever we want oil we have to request it from the foreign oil company, and
we can ask for and obtain a maximum of only 20 percent of gross production. These two aspects indicate
that the work contract is no better than the old concession, and this should be opposed. Furthermore, if
we are to adhere to the principle that the oil belongs to the Indonesian people, then, first of all, the
management of the oil fields must be placed into Indonesian hands”.
58
kerugian pemerintah.
T.N. Machmud menyatakan bahwa dari segi praktek memang Perjanjian Karya
memberikan hak dan kewajiban kepada Kontraktor sama dengan pemegang konsesi.
Misalnya, penerapan peraturan keselamatan kerja Mijn Politie Reglement tidak berbeda
dan hanya perlu mengganti kata-kata pemegang konsesi menjadi kontraktor. Namun
demikian Mochtar Kusumaatmadja tidak dapat menyetujui bahwa Kontrak Karya dan
konsesi itu sama, berdasarkan dua alasan. Alasan yang pertama ialah jangka waktu
dalam Kontrak Karya lebih terbatas, dan alasan kedua yang lebih penting dipandang dari
segi hukum ialah hak kontraktor dalam Kontrak Karya sangat berbeda dengan hak
dalam konsesi. Berdasarkan Indische Mijnwet hak konsesi adalah “right in rem” yang
dapat dijadikan jaminan, sementara hak kontraktor dalam Kontrak Karya adalah rights
in personam yang tidak dapat dijadikan jaminan. Dalam Kontrak Bagi Hasil hak
minyak (Transfer of Oil Title) berada di tempat penjualan (point of sale) dan bukan di
kepala sumur sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Sutowo. Untuk minyak yang dijual ke
pihak ketiga atau pihak yang tidak berafiliasi dengan Kontraktor, maka point of sales ini
adalah pelabuhan penerima (di luar negeri) dan untuk yang dijual ke perusahaan yang
berafiliasi dengan Kontraktor atau Perusahaan Negara point of sales ini adalah
81
T.N. Machmud, op.cit., hlm 50, yang mengutip Mochtar Kusumaatmadja, op. cit. hlm 57
59
pelabuhan ekspor. Dengan demikian, dalam Perjanjian Karya maka minyak yang dijual
ke pihak ketiga selama dalam transit ke pelabuhan penerima di luar negeri masih
terdiri dari wakil-wakil Perusahaan Negara (PN) dan Kontraktor untuk mengkaji
meragukan kebenaran harga tersebut. Apabila wakil para pihak dalam Value Committee
gagal mencapai kesepakatan, maka akan ditunjuk orang ketiga yang mempunyai
reputasi internasional dan mengenal industri migas internasional. Baik Perjanjian Karya
maupun Kontrak Bagi Hasil menggunakan harga minyak yang direalisasikan oleh
dan Anggaran yang harus disetujui Pemerintah dan Pertamina, dan sistem pelaporan
lebih dirinci apabila dibandingkan dengan Kontrak 5A. Semua fakta tersebut
Karya tidak sama dengan sistem konsesi. Karena itu substansi perdebatan pro dan
kontra mengenai Perjanjian Karya dan Kontrak Bagi Hasil tampak lebih bersifat politis.
Salah satu pihak yang menyetujui Perjanjian Karya ialah Slamet Bratanata yang
menjadi Menteri Pertambangan dalam Kabinet Suharto yang pertama. Menurut Slamet
Perjanjian Karya sudah cukup bagi Indonesia dan cara yang tercepat untuk
82
Article 6 COW: “…… Title to such crude oil and products shall pass at and the value thereof shall be
calculated from the point of sale. Subject to the other provision of this Article 6 PN shall have the right to
receive at Contractors’ normal Sumatran export port up to twenty percent (20%) of each grade and
quality of crude oil produced by Contractors from the Area less the quantity of crude oil physically lost or
rendered useless or required and used for the operations ………….”
60
mengembangkan minyak dan gas bumi adalah dengan membagi wilayah-wilayah kerja
dalam blok-blok yang kecil dan menawarkannya melalui tender terbuka dengan
Migas), pada bulan Agustus 1966 Ibnu Sutowo menandatangani Kontrak Bagi Hasil
dengan IIAPCO, sebuah perusahaan minyak dari Amerika Serikat untuk wilayah lepas
pantai laut Jawa, yang kemudian diikuti dengan Refican (Canada) dan dua perusahaan
dari Jepang, yaitu Japan Petroleum Exploration Company dan Kyushu untuk wilayah
pejabat tinggi tersebut mencapai puncaknya dalam awal tahun 1967 ketika Presiden
memutuskan untuk menerima Kontrak Bagi Hasil dan menempatkan Direktorat Jendral
Minyak dan Gas langsung dibawah kabinet. Sebagai tindak lanjut, Presiden juga
Bratanata dan menempatkan kembali Direktorat Jendral Minyak dan Gas Bumi dibawah
Menteri Pertambangan.
Salah satu masalah yang menjadi keberatan bagi perusahaan minyak asing untuk
menandatangani Kontrak Bagi Hasil pada awalnya adalah adanya ketentuan bahwa
83
Ibid
84
Catatan Penulis: Sejarah KBH sebenarnya dimulai pada tahun 1961, yaitu pada saat penandatanganan
perjanjian kerja sama antara PERMINA dan Asamera untuk suatu wilayah pertambangan di Sumatra
Utara. Namun baru pada bulan Agustus 1966, bentuk KBH mulai digalakkan untuk diterapkan di
Indonesia menggantikan Perjanjian Karya dengan ditandatanganinya kontrak lepas pantai pertama antara
IIAPCO dan PERMINA.
61
Bagi Hasil yang pertama) bahwa PERTAMINA tidak bermaksud melakukan interupsi
Kontrak Bagi Hasil, namun PERTAMINA memandang perlu tersedianya hak tersebut
Dalam upaya agar konsep Kontrak Bagi Hasil dapat diterima, Ibnu Sutowo
menerapkan strategi dasar untuk mulai menawarkan konsep tersebut kepada perusahaan-
perusahaan kecil, yang umumnya baru, tidak memiliki aset di negara asalnya dan khusus
didirikan untuk menangani Kontrak Bagi Hasil. Untuk mendukung strategi ini, dalam
kontraktor sebagaimana yang dijanjikan oleh Ibnu Sutowo. Hal ini pada gilirannya
Kontrak Bagi Hasil. Sampai dengan tahun 1968 lebih dari 15 Kontrak Bagi Hasil telah
minyak dan gas bumi telah berkembang meliputi lapangan-lapangan yang dioperasikan
Technical Assistance Contract (TAC), Enhanced Oil Recovery Joint Operating Body
85
Knowles, Ruth Sheldon, op. cit., hlm 76: “In explaining his concept of Indonesian management control,
Genereal Ibnu said: ‘This doesn’t mean that we insist on making every decision, but we do insist on being
able to make any decision we find necessary.”
62
berbeda, berbagai turunan kontrak tersebut semuanya mengacu pada ketentuan dan
Menghadapi era globalisasi dan untuk menciptakan iklim usaha yang kondusif
bagi penanaman modal di bidang migas, pada tahun 1999 Pemerintahan Habibie
mengajukan Rencana Undang-undang Tentang Minyak dan Gas Bumi (RUU Migas
2001) untuk menggantikan UU Migas 1960 dan UU Pertamina. RUU Migas 2001 ini
sebenarnya sudah mulai disiapkan oleh Menteri Pertambangan dan Energi dalam
Kabinet Pembangunan VI tetapi baru dapat diselesaikan pada awal tahun 1998 oleh satu
tim yang dibentuk oleh Menteri Pertambangan dan Energi dalam Pemerintahan Habibie
(Kuntoro Mangkusubroto). Dalam persiapan, tim juga minta masukan dari kalangan
masyarakat yang tergabung dalam berbagai asosiasi bisnis dan organisasi profesi seperti
Maret 1999 Menteri Pertambangan dan Energi menjelaskan pola pikir yang mendasari
penyusunan RUU Migas 2001, yaitu semua yang merugikan rakyat baik secara langsung
maupun tidak langsung perlu diakhiri dengan menata kembali sektor yang mempunyai
peran yang sangat penting dan strategis bagi kehidupan rakyat. Untuk mencapai sasaran
tersebut perlu dilakukan pemisahan yang tegas antara peran Pemerintah dan peran
perusahaan86.
86
Menteri Pertambangan dan Energi RI, Tanggapan Pemerintah Atas Pengantar Musyawarah Fraksi-
fraksi, Departemen Pertambangan dan Energi, Jakarta, 22 April 1999.
63
Dalam RUU Migas 2001 yang disampaikan kepada DPR, perubahan mendasar
dibentuknya Badan Pelaksana Usaha Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi
dan memasarkan produk minyak dan gas di dalam negeri dan membuka
partisipasi swasta untuk kegiatan hilir tersebut dan dibentuknya Badan Pengatur
3). Mengurangi subsidi BBM dengan menyerahkan harga BBM dalam negeri
tidak dibebani dengan tugas pengaturan dan pengawasan dan dapat mefokuskan
dunia.
5). Memisahkan kegiatan transportasi gas dari kegiatan eksplorasi dan produksi
6). Mengizinkan bentuk perjanjian lain disamping Kontrak Bagi Hasil untuk
kegiatan hulu.
64
7). Membagi penerimaan negara dari kegiatan migas antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah.
8). Meningkatkan ketrampilan perusahaan nasional dan penggunaan produk dan jasa
dalam negeri secara transparan melalui pemberian kesempatan yang sama bagi
seluruh industri.
Sebagaimana telah diantisipasi, perdebatan mengenai RUU ini cukup ramai baik
di dalam sidang DPR maupun di luar forum DPR. Pada dasarnya dapat dibedakan tiga
kelompok dalam menyikapi RUU tersebut, yaitu mereka yang tidak melihat urgensinya
mengganti UU Migas 1960, mereka yang memandang perlu diadakan pembaruan dan
penataan kembali secara komprehensif untuk memperbaiki iklim usaha yang kondusif
dalam situasi dunia yang sudah berubah, dan mereka yang setuju untuk mengganti UU
Migas 1960 dan pembaruan tetapi tidak setuju dengan penataan yang komprehensif,
BUMN. Mereka yang tidak menyetujui RUU berpendapat bahwa untuk menciptakan
iklim usaha yang kondusif cukup dilakukan dengan menghilangkan KKN dan
Termasuk dalam kelompok yang tidak menyetujui RUU Migas 2001 ini ialah
PERTAMINA sendiri yang merasa tidak pernah diikut sertakan dalam membuat RUU
Migas 2001 tersebut. Sampai dengan berakhirnya Pemerintahan Habibie RUU Migas
2001 ini gagal mendapatkan persetujuan dari DPR. Dari Daftar Inventarisasi Masalah
(DIM) yang disiapkan oleh DPR diketahui bahwa permasalahan pokok adalah
negeri, dialihkannya tugas pengawasan perjanjian kerja sama kepada bukan BUMN, dan
diajukan kembali kepada DPR baru, sementara dengan Direksi baru sikap
PERTAMINA dalam menanggapi RUU Migas 2001 juga berubah, yaitu menyerahkan
yang cukup lama akhirnya dalam Rapat Paripurna pada tanggal 23 Oktober 2001 DPR
Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas).
Habibie UU Migas yang disahkan ini tidak mengalami perubahan yang mendasar.
negeri dan kewenangan atau dialihkannya tugas pengawasan perjanjian kerja sama
87
Dewan Perwakilan Rakyat RI, Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) Rancangan Undang-Undang
Tentang Minyak dan Gas Bumi, April 1999.
66
Badan Usaha dan/atau Bentuk Usaha Tetap. KKS dapat berupa Kontrak Bagi
a). Pengendalian sumber daya alam tetap di tangan Pemerintah sampai titik
penyerahan;
c). Modal serta risiko seluruhnya ditanggung oleh Badan Usaha atau Bentuk
Usaha Tetap.
PEMERINTAH
Pemegang Kuasa Pertambangan
(Penyelenggara atas Hak Penguasaan Wilayah Hukum Pertambangan Indonesia dalam
bentuk kegiatan eksplorasi dan eksploitasi Migas – Pasal 33 UUD 1945
Penetapan dari
BADAN PELAKSANA Penawaran WK Wilayah Kerja (WK)
Kuasa PEMERINTAH untuk oleh Menteri
menandatangani dan Mengendalikan
Lelang umum dan penetapan
Manajemen Operasi Kegiatan Usaha WK oleh Menteri
Hulu
(Merupakan badan bentukan Kontrak Kerja Sama Badan Usaha atau
Pemerintah) Bentuk Usaha Tetap
88
Tim Bimasena, op. cit., hlm 20
67
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa Badan Pelaksana dalam menanda
tangani KKS bertindak dalam kapasitasnya sebagai kuasa dari pemegang Kuasa
Pertambangan, yaitu Pemerintah. Hal ini berbeda dengan yang diatur dalam UU Migas
Sebagai tanggapan terhadap disahkannya RUU Migas 2001 tersebut dalam Rapat
intinya menyatakan bahwa mereka tidak dapat menerima, tidak menyetujui dan tidak
ikut bertanggung jawab atas disahkannya RUU Migas 2001 menjadi undang-undang.
Menurut 11 orang anggota DPR tersebut, RUU Migas 2001 memiliki kelemahan
sesuai dengan jiwa Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945. Selain dari pada itu para
1). RUU Migas 2001 telah mengabaikan peran serta daerah-daerah penghasil migas.
2). RUU Migas 2001 tidak mengandung klausula yang tegas yang bertujuan
3). Kebijaksanaan untuk menyerahkan harga minyak kepada mekanisme pasar akan
4). Tidak melihat urgensinya untuk mengganti UU Nomor 44 Prp Tahun 1960.
Pelaksana).
Dari sejarah perkembangan pengusahaan migas di tanah air lebih dari satu abad
politik penguasa. Konsep yang menunjukkan adanya kekuasaan negara atas kekayaan
68
alam merupakan faktor utama dalam menetapkan produk hukum dan kebijakan
Pemerintah.
Baik Kontrak 5A, Perjanjian Karya maupun Kontrak Bagi Hasil dapat
digolongkan sebagai perjanjian timbal balik. Sebagai konsekuensi logis dari keinginan
Pemerintah Indonesia untuk mendapatkan bagian yang lebih besar dari pengembangan
sumber daya, Perjanjian Karya dan Kontrak Bagi Hasil memuat ketentuan-ketentuan
yang lebih lengkap dan menyeluruh dibandingkan dengan Kontrak 5A pada zaman
kerja dan komitmen minimum kontraktor mengenai biaya dan rencana kerja dalam
tahapan eksplorasi, naskah Perjanjian Karya dan Kontrak Bagi Hasil memuat ketentuan-
ketentuan baku yang mengatur hak dan kewajiban masing-masing pihak yang
Untuk Kontrak Bagi Hasil, ketentuan pokok ini pertama kali diatur dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1994 Tentang Syarat-syarat Dan Pedoman Kerja
Sama Kontrak Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi (PP KBH). Persyaratan ini kemudian
diperbaharui dalam Pasal 11 ayat (3) UU Migas 2001 dan Peraturan Pemerintah Nomor
35 Tahun 2004 Tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (PP Migas), di
mana ditetapkan bahwa Kontrak Kerja Sama wajib memuat paling sedikit ketentuan-
4). Perpindahan kepemilikan hasil produksi atas minyak dan gas bumi;
69
7). Kewajiban kontraktor menyerahkan sebagian dari hasil produksi yang menjadi
terhadap Perjanjian Karya maupun Kontrak Bagi Hasil. Dengan adanya perlakuan
khusus ini, semua ketentuan-ketentuan atau kesepakatan yang tercantum dalam kontrak
berlaku umum (lex generalis). Kalaupun akan diubah harus terlebih dahulu dilakukan
kesepakatan baru antara para pihak untuk tercapainya jaminan kepastian hukum.
Hak dan Kewajiban para pihak dalam model Kontrak Bagi Hasil diatur dalam
Section I dan V, yang antara lain menetapkan Kontraktor bertindak sebagai operator dan
(berdasarkan UU Migas 2001 beralih ke Badan Pelaksana Usaha Kegiatan Hulu Minyak
dan Gas Bumi atau Badan Pelaksana), disamping kewajiban melaporkan hasil kegiatan
melaporkan hasil operasi dan menyerahkan data operasi, dan menyediakan kebutuhan
dalam negeri (Domestic Market Obligation) yang dibatasi tidak melebihi 25% dari
bagian laba yang merupakan hak kontraktor. Untuk penyerahan DMO ini Kontraktor
menerima imbalan sebesar USD 0.20 untuk setiap barrel DMO. Sebagai insentif untuk
menggalakkan kegiatan, sejak akhir tahun 1970, dalam kontrak-kontrak yang ditanda
tangani setelah itu imbalan DMO ini dinaikkan menjadi 10% dari harga pasar dan untuk
Imbalan untuk Kontraktor atas usaha dan investasinya diberikan melalui hak
mendapatkan pengembalian biaya dan pembagian laba berupa produksi. Rumusan bagi
hasil untuk laba pada awalnya adalah 65% untuk Negara dan PERTAMINA dan 35%
untuk Kontraktor. Termasuk dalam 65% penerimaan Negara pajak penghasilan dan
pajak atas dividen serta pajak-pajak lain seperti PBB, dsbnya. Dalam perjalanannya,
atas permintaan Pemerintah rumusan bagi hasil ini mengalami beberapa kali perubahan.
Perubahan yang pertama terjadi pada akhir tahun 1973 setelah meletusnya
perang di Timur Tengah yang menaikan harga minyak lebih dari lima kali. Untuk
dikaitkan dengan tingkatan harga dan produksi, sementara untuk Kontrak Bagi Hasil
71
dengan mengubah rumusan bagi hasil untuk harga minyak diatas USD 5.00/barrel.
Perubahan yang kedua terjadi pada awal tahun 1976 setelah terjadi krisis keuangan
PERTAMINA yang dimulai pada tahun 1975 dan diberlakukan baik untuk Perjanjian
Karya maupun Kontrak Bagi Hasil. Selain mengubah rumusan bagi hasil menjadi
bagian produksi yang diserahkan kepada Negara sebagai pemilik sumber daya
minyak dan gas bumi, kewajiban Kontraktor menyerahkan sebagian dari hak
produksi untuk kebutuhan dalam negeri, bea masuk, iuran pembangunan daerah
Perseroan tersebut dilakukan untuk memenuhi permintaan para Kontraktor dari Amerika
kontraktor dapat memperoleh kredit pajak (tax credit) atas bagian produksi yang
diserahkan kepada Negara. Menurut US Internal Revenue Service ruling (IRS ruling
atau peraturan perpajakan Amerika Serikat), bagian produksi yang diserahkan tidak
dapat diberlakukan sebagai pembayaran pajak, tetapi hanya sebagai royalti yang tidak
Persyaratan lain yang ditetapkan oleh IRS untuk dapat memperoleh kredit pajak
perpajakan yang umum berlaku dan tidak ada pembatasan pengembalian biaya (cost
72
ketentuan yang membatasi pengembalian biaya. Hal ini juga berarti dihapuskannya
Negara yang berasal dari lapangan-lapangan dengan cadangan atau produksi yang besar,
tetapi berdampak pada penemuan-penemuan dengan cadangan yang kecil. Dengan tidak
Menyadari dampak negatifnya pada kapasitas produksi Indonesia, pada akhir tahun
tetapi dengan mekanisme yang lain, yaitu dengan menyisihkan sebagian produksi
terlebih dahulu (First Tranche Petroleum atau FTP) untuk dibagikan menurut rumusan
yang disepakati dan sisa produksi setelah dikurangi FTP dapat dipergunakan untuk
Dampak negatif dari perubahan rumusan bagi hasil ini pada tahun 1976 dan
ribu/barrel per hari) dan mendorong penggunaan teknologi yang lebih maju untuk
meningkatkan cadangan yang dapat diambil. Untuk wilayah kerja yang terpencil dan
laut dalam (dikenal sebagai frontier areas), rumusan bagi hasil untuk minyak menjadi
65%/35%, atau sama dengan yang berlaku pada saat KBH diperkenalkan pertama kali
73
pada pertengahan tahun 1960an. Insentif ini hanya diberikan untuk kontrak-kontrak
baru.
Berbeda dengan Perjanjian Karya, dalam Kontrak Bagi Hasil ditetapkan bahwa
demikian, apa yang dimaksudkan dengan manajemen tidak dijelaskan secara rinci dalam
naskah kontrak. Dari Section V dan IV The Coastal Plain Pekanbaru Production
and California Asiatic Oil Company (CPP PSC) dapat disimpulkan bahwa yang
Hal ini juga ditegaskan dalam Pasal 10 PP KBH. Selanjutnya Pasal 11 PP KBH
Rencana Penggunaan Tenaga Kerja (RPTK). Baik naskah Kontrak Bagi Hasil maupun
89
Section V CPP PSC: “Pertamina shall have and be responsible for the management of the operations
contenmplated hereunder; however, Pertamina shall assit and consult with Contractor with a view to the
fact Contractor is responsible for the Work Program.”
Section IV. (1.3) CPP PSC: “At least three (3) months prior to the beginning of each Contract Year or at
such other times as otherwise mutually agreed by the Parties Contractor shall prepare and submit for
approval to Pertamina a Work Program and Budget for the Contract Area setting forth the Petroleum
Operations which Contractor proposes to carry out during the existing Contract Year.”
Section IV. (1.4) CPP PSC: “Should Pertamina wish to propose a revision as to certain specific features
of said Work Program and Budget, it shall within thirty (30) days after receipt thereof so notify
Contractor specifying is reasonable details its reasons therefor. Promptly thereafter, the Parties will
meet and endevaor to agree on the revisions proposed by Pertamina. In any event, any portion of the
Work Program as to which Pertamina has not proposed a revision shall in so far as possible be carried
out as prescribed herein”
Section IV (1.6) CPP PSC: “Pertamina agrees that the approval of a proposed Work Program will not be
unreasonably withheld.”
74
Dalam Penjelasan Pasal 24 ayat (2) huruf (b) PP Migas disebutkan bahwa yang
Development atau POD) serta pengawasan terhadap realisasi dari rencana tersebut.
Suatu hal yang tampak masih memerlukan penafsiran adalah lingkup pengawasan
terhadap realisasi RKA dan POD, khususnya menjawab pertanyaan apakah pengawasan
dilaksanakan melalui “post audit” seperti yang diterapkan dalam Perjanjian Karya atau
setiap kegiatan dalam RKA dan POD, sebagaimana yang telah berjalan sebelum UU
penting dalam rangka penciptaan iklim investasi yang kondusif dan kesucian kontrak.
Lebih lanjut, Section V.1.3 (b) CPP PSC menetapkan bahwa PERTAMINA
menyediakan sarana, suplai dan tenaga kerja, mendapat visa, izin kerja, transportasi, dan
perlindungan keamanan dan hak memasuki wilayah kerja apabila diminta oleh
Kontraktor. Selain hasil finansial dari kegiatan operasi, hak PERTAMINA seperti
diatur dalam Section V ini meliputi kepemilikan data asli yang didapat dari kegiatan
operasi dan dapat menggunakan peralatan yang ada untuk keperluan PERTAMINA
Karya dan Kontrak Bagi Hasil, produksi minyak dan gas Indonesia melonjak dari sekitar
600 ribu barrel setiap hari pada akhir tahun 1967 menjadi 1.7 juta barrel pada tahun
1975 dan pada tahun 1977 Indonesia melakukan ekspor yang pertama gas alam cair
75
(LNG). Data statistik sebagaimana terlihat dalam Tabel 1, menunjukkan bahwa kegiatan
Wilayah Kerja yang sudah berproduksi dan beralihnya kegiatan eksplorasi ke Wilayah
Kerja baru dengan sasaran yang umumnya lebih tersembunyi dan sulit. Dampak
dengan mulai bekerjanya kontrak-kontrak baru yang ditanda tangani. Namun demikian,
Sementara itu produksi gas relatif stabil dan cenderung meningkat dengan
Dengan penemuan-penemuan ini cadangan gas telah melebihi cadangan minyak, dan
Tabel 1
dan Gas Bumi (Ditjen Migas) menunjukkan bahwa pada tahun 2002 Pemerintah
menawarkan 17 blok baru, tetapi hanya satu yang diminati dan ditutup dengan kontrak,
yaitu blok dilepas pantai Muara Bakau di Selat Makasar (Konsorsium Enilasmo
Company di Indonesia & Unocal Indonesia). Komitmen kerja dari konsorsium tersebut
antara lain kesediaan melakukan investasi sebesar USD 35 juta selama enam tahun
pengalaman tersebut, maka dalam tender berikutnya lima dari 11 blok yang ditawarkan
adalah wilayah yang diminati dan diusulkan oleh investor untuk dimasukkan dalam
tender. Dari hasil tender, tujuh blok ternyata diminati oleh investor dan enam
diantaranya telah menanda tangani kontrak. Komitmen kerja dan investasi dari ketujuh
blok tersebut berjumlah USD174 juta. Sebagaimana pada kontrak sebelumnya, pola
bagi hasil untuk lima kontrak yang baru disesuaikan dengan kesulitan wilayah kerja,
yaitu mengacu pada paket insentif yang diterbitkan pada awal tahun 1990an.
Seperti terlihat dalam Tabel 1, kontrak migas baru yang ditanda tangani dalam
dua tahun terakhir berada jauh dibawah periode 1997 – 1999 baik dari segi jumlah
kontrak maupun besarnya komitmen kerja dan investasi. Disamping itu, sebagian besar
pengikut dan pemenang tender kali ini adalah perusahaan dalam negeri dan muka baru.
Dari enam kontraktor, empat diantaranya adalah perusahaan dalam negeri dan dua
menanamkan “risk capital”. Disisi lain, hasil ini menunjukkan menurunnya minat
77
investor asing untuk menanamkan “risk capital” di Indonesia. Kecenderungan ini juga
yang kemudian membuka kesempatan bagi pengusaha dalam negeri untuk mengambil
alih. Pada umumnya para kontraktor asing yang saat ini beroperasi di Indonesia
menfokuskan usahanya untuk memperbaiki produksi (dan arus kas) dari aset yang ada
dan belum bersedia melakukan investasi yang besar dan berisiko tinggi.
pengawasan yang ketat terhadap pelaksanaan komitmen dalam kontrak berupa program
kerja dan investasi. Pengalaman pahit PERTAMINA dengan para pemegang kontrak
TAC dari dalam negeri seyogyanya tidak terulang untuk menjamin terlaksananya
program eksplorasi. Dari hampir 40 perusahaan dalam negeri yang memiliki TAC
(kecuali dua) telah mengalihkan kontraknya kepada perusahaan asing, sementara 65%
dari TAC tidak berjalan karena kesulitan mendapatkan pendanaan atau mitra usaha.
memulai (termasuk pembayaran bonus), banyak pemegang TAC dari dalam negeri tidak
produsen migas di dunia cenderung menurun sejak akhir tahun 1970-an. Data ini
mencerminkan bahwa kedudukan atau posisi bersaing Indonesia menarik risk capital
90
Madjedi Hasan, op.cit., hlm 30
91
ibid, hlm 23
78
untuk kegiatan usaha hulu migas cenderung memburuk (deteriorating), yang berdampak
Tabel 2
Penyebab utama menurunnya kegiatan minyak dan gas bumi di tanah air ini
tidak disebabkan oleh berkurangnya persepsi investor terhadap potensi sumber daya
migas di Indonesia, turunnya harga minyak atau gejolak politik, tetapi oleh
pertimbangan komersial, yaitu faktor-faktor yang memberi dampak negatif pada laju
Penyebab yang lain ialah meningkatnya kebijakan sektoral dari Departemen Teknis
92
ibid, hlm 22
93
ibid, hlm 20: “This prolonged regression of Indonesia’s competitive position was clearly not
attributable to crude oil market conditions or the amount of available risk capital for worldwide oil
industry ventures. Also, Indonesia’s political climate had been stable during that time; therefore,
Indonesia’s relative political climate did not seem to be contributing to the decline. The investor’s
perception of the potential for additional oil exploration, development and enhanced oil recovery within
Indonesia was considered to be good to excellent. All the possible factors of significance appear to be
eliminated except for commercial consideration, namely those factors impacting adversely on the
investor’s return such as contract terms, administrative procedure, crude pricing practices, approaching
contract termination dates, etc.”
79
Keppres tentang tatacara pengadaan barang dan jasa yang awalnya diperuntukan untuk
yang tinggi akibat birokrasi dan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). 94
Kesimpulan yang sama dapat dilihat dari hasil survai yang dilakukan oleh
sebelas pimpinan perusahaan migas yang beroperasi di Indonesia. Survai yang diadakan
mengenai pandangan para eksekutif terhadap hari depan industri migas di Indonesia dan
Table 3
94
Lihat Madjedi Hasan, op.cit, hlm 23 - 26.
95
PriceWaterhouseCoopers, CEO Survey – Upstream Oil & Gas, October 2002, hlm 5.
80
Kesimpulan dari hasil survai adalah bahwa faktor yang paling menarik untuk
didukung oleh survai yang dilakukan oleh Robertson Research pada tahun 2001 di
Indonesia dalam 10 besar untuk eksplorasi setelah Iran, Libya, Aljazair, Australia,
Brazil, Inggris, Mesir dan Angola.96 Kerangka kontrak dalam bentuk Kontrak Bagi
melihat terganggunya stabilitas Kontrak Bagi Hasil dalam beberapa tahun terakhir ini,
Hal ini mengisyaratkan bahwa iklim usaha yang sehat perlu segera diwujudkan.
Kecenderungan yang meningkat untuk bergabung, konsolidasi dan akusisi yang terjadi
beberapa tangan, karena itu jumlah pemain yang mencari lahan eksplorasi berkurang.
permasalahan pokok yang dihadapi industri migas dewasa ini, lima yang teratas adalah:
96
Oil and Gas Journal, 29 March 2000.
97
Madjedi Hasan op.cit., hlm 28
81
1). Tidak adanya kejelasan mengenai peran daerah dan pusat setelah dikeluarkannya
4) Hubungan masyarakat.
beberapa Senior Executive empat Kontraktor Kontrak Bagi Hasil yang beroperasi di
berpendapat bahwa Indonesia masih tetap menarik dari segi prospek dan kerangka
kontrak. Menurut mereka, persoalan pokok yang segera memerlukan perbaikan adalah
kontrak.
ketentuan baru pada kontrak yang sedang berjalan dan berdampak pada penerimaan
Kontraktor. Tidak adanya kepastian hukum dan kesucian kontrak telah menyulitkan
terjadinya perselisihan antara para pihak akan selalu terbuka yang meliputi berbagai
ragam masalah. Dalam hal pelaksanaan KBH di Indonesia, permasalahan tersebut dapat
ketentuan dalam kontrak dan yang berasal dari faktor eksternal seperti kebijakan
Pemerintah. Berikut ini akan disajikan beberapa permasalahan dari kelompok pertama,
sementara permasalahan yang berasal dari kebijakan Pemerintah akan dibahas dalam
Bab IV.
Kontrak Bagi Hasil maupun kontrak yang terdahulu telah memberikan forum untuk
konsultasi. Perbedaan penafsiran yang dominan dalam akhir tahun 1970-an dan awal
tahun 1980-an dan berdampak negatif terhadap upaya peningkatan kapasitas produksi
yang marjinal dan insentif untuk pengembangan lapangan-lapangan baru dan penerapan
recovery).
Perbedaan penfasiran ini berasal tidak diberikannya definisi yang jelas dalam
kontrak atau tidak jelasnya parameter yang dijadikan acuan, misalnya apa yang disebut
dengan lapangan baru dan secondary recovery dan kriteria teknis untuk
dalam menentukan status komersial, apakah yang umum digunakan seperti Net Present
Value, Internal Rate of Return dan Payout, atau cadangan minimum yang akan diterima
oleh PERTAMINA. Jika yang pertama yang dijadikan acuan, maka putusan akhir ada
pada Kontraktor, sementara dalam hal yang kedua PERTAMINA yang akan
generasi II melalui mekanisme First Tranche Petroleum (FTP). Dengan mekanisme ini
jumlah produksi yang dapat dipergunakan untuk pengembalian biaya dibatasi, sehingga
Pemerintah akan selalu menerima hasil produksi dari setiap penemuan yang
waktu.
daya dan kontraktor dalam memperkirakan jumlah cadangan migas yang dapat
yang berubah sesuai dengan tahapan pengembangan pada saat dilakukan penilaian. Dari
segi teknik, perkiraan besarnya cadangan yang dapat diambil tersebut cukup kompleks
karena definisi mengenai cadangan yang dapat diambil (recoverable reserves) erat
kaitannya dengan parameter ekonomi tertentu, misalnya harga minyak, makin tinggi
harga minyak makin besar cadangan yang dapat diambil. Alasan yang lain adalah
adanya fakta bahwa metodologi yang dipergunakan dalam membuat perkiraan belum
Namun demikian, berbagai asosiasi profesi dan institusí telah menerbitkan semacam
selalu terbuka yang meliputi berbagai masalah. Permasalahan yang rumit adalah yang
mengenai apakah dan bagaimana asas pacta sunt servanda dapat diterapkan dalam
Kontrak Bagi Hasil dihubungkan dengan hak investor dan bagaimana akibat hukum atas
ditentukan terlebih dahulu kedudukan Pemerintah dalam Kontrak Bagi Hasil. Dalam
pembahasan perlu dibedakan keadaan sebelum UU Migas 1960, selama UU Migas 1960
1. Dalam Kontrak 5A
Dalam Kontrak 5A ini para pihak dalam kontrak adalah Pemerintah (diwakili
oleh Kepala Dinas Pertambangan) dan perusahaan minyak yang ditunjuk. Dalam
perjanjian ini kedudukan para pihak adalah sejajar; karena itu sebagai subjek hukum
84
85
pemenuhan kewajiban dan hak seperti yang tercantum dalam kesepakatan. Sebagai
subjek hukum perdata Pemerintah dapat mengikatkan diri dengan pihak ketiga dan dapat
Pemerintah berada di atas para pihak, karena PERTAMINA yang bertindak sebagai
pengawas yang dapat mencegah sengketa tentunya hanya berlaku pada penyelesaian
Bagi Hasil yang berdampak negatif pada kegiatan hulu berasal dari perubahan kebijakan
perubahan rumusan bagi hasil dan kebijakan Pemerintah mengenai harga minyak,
penerapan Keppres Nomor 14A dalam kegiatan Kontrak Bagi Hasil dan perpajakan,
Analisis kedudukan Pemerintah dalam Kontrak Bagi Hasil dapat juga ditinjau
98
Abrar Saleng, op. cit., hlm 160 – 161.
99
Lihat Madjedi Hasan, op. cit., hlm 23 – 27.
86
Kontrak Bagi Hasil. Penandatanganan oleh Pemerintah dalam naskah perjanjian ini
“Dalam mengadakan kerja sama ini harus diusahakan syarat-syarat yang paling
menguntungkan bagi Negara. Dengan sendirinya Pemerintah hanya akan
menyetujui kerja sama ini setelah Dewan Komisaris Pemerintah mengizinkan
Perusahaan mengadakan kerja sama. Setiap Kontrak Production Sharing yang
telah disetujui oleh Presiden diberitahukan kepada Dewan Perwakilan
Rakyat.”100
Bagi Hasil tidak harus diartikan bahwa Pemerintah merupakan pihak dalam perjanjian,
ini tampaknya hanya melihat permasalahannya dari segi naskah formal kontrak.
baik UU Migas 1960 dan UU Pertamina maupun UU Migas 2001, maka keikutsertaan
kontrak.
umum. Pasal 16 ayat (1) menyatakan bahwa Dewan Komisaris Pemerintah untuk
100
Penandatanganan KBH dilakukan setelah Menteri Pertambangan dan Energi mendapat persetujuan dari
Presiden. Selanjutnya, dalam Perjanjian Karya, pihak yang menandatangani Perjanjian atas nama
Pemerintah adalah Direktorat Minyak dan Gas Bumi yang bernaung dibawah Departemn Perindustrian
Dasar. Selain memberikan pengesahan, penandatangan ini juga memuat pernyataan bahwa Pemerintah
akan mentaati kesepakatan dalam kontrak sebagaimana terlihat dari pernyataan berikut: “The Directorate
of Oil and Gas of The Ministry of Basic Industry/Mining, acting for and on behalf of the Republic of
Indonesia, hereby approves the within and foregoing Contract and agrees to be bound by its provisions.”
101
T.N. Machmud, op. cit. hlm 56
87
Direksi PERTAMINA.
menetapkan bahwa anggota DKPP diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dan
bertanggung jawab kepada Presiden. Anggota DKPP terdiri atas tiga anggota, yaitu
Menteri dalam bidang pertambangan sebagai Ketua, Menteri Keuangan sebagai Wakil
para calon penanam modal hakekatnya hanya mempunyai satu pilihan apabila ingin
melakukan kegiatan usaha hulu migas di Indonesia, yaitu bekerja sama dengan
digariskan oleh Pemerintah dalam melakukan kerja sama dan melaksanakan hak dan
kewajibannya dalam Kontrak Bagi Hasil atau Perjanjian Karya. Misalnya, Pasal 12 ayat
(2) UU Pertamina menetapkan bahwa syarat-syarat kerja sama dalam bentuk Kontrak
Bagi Hasil akan diatur oleh Pemerintah dan kontrak akan mulai berlaku setelah disetujui
wajib menyetor ke Kas Negara 60% dari penerimaan bersih usaha atas hasil Kontrak
Bagi Hasil sebelum dibagi antara Perusahaan dan Kontraktor, seluruh hasil yang
diperoleh dari Perjanjian Karya dan 60% dari penerimaan bonus Perusahaan yang
diperoleh dari hasil Kontrak Bagi Hasil. Dengan mendapatkan hanya retainer fee untuk
perannya dalam melaksanakan Kontrak Bagi Hasil, ketentuan ini dapat diartikan bahwa
PERTAMINA dalam KBH meliputi pemberian kuasa, yang diatur dalam KUH Perdata.
kuasa adalah pihak yang mewakili pemberi kuasa (Pemerintah) untuk melakukan
perbuatan hukum. Artinya adalah bahwa apa yang dilakukan itu adalah atas tanggungan
Pemerintah sebagai pemberi kuasa dan segala hak dan kewajiban yang timbul dari
perbuatan yang dilakukannya itu menjadilah hak dan kewajiban Pemerintah, yaitu pihak
yang memberi kuasa. Dalam hal ini, karena yang dilakukan oleh PERTAMINA berupa
membuat (menutup) suatu perjanjian (KBH), maka sebagaimana dikatakan oleh Subekti
Pemerintah sebagai pemberi kuasa yang menjadi pihak dalam KBH itu. 102
102
Subekti, op.cit, hlm 141
89
kedudukan dan peran Pemerintah dalam pelaksanaan Kontrak Kerja Sama. Dalam UU
Migas 2001 ini Pemegang Kuasa Pertambangan kembali kepada Pemerintah, di mana
Pemerintah kemudian membentuk Badan Pelaksana yang akan menerima kuasa dari
usaha hulu.
yang berkontrak digantikan oleh Pemerintah yang diwakili oleh Badan Pelaksana yang
Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (PPBP). Tugas Badan
kali akan diproduksikan dalam suatu wilayah kerja kepada Menteri untuk
mendapatkan persetujuan;
7). Menunjuk penjual minyak bumi dan/atau gas bumi bagian negara yang dapat
Badan Pelaksana didirikan dalam bentuk badan hukum milik negara (BHMN),
suatu konsep badan hukum yang baru diperkenalkan keberadaannya di Indonesia dan
Tinggi Negeri sebagai Badan Hukum. Berdasarkan UU Migas 2001 dan PP BP Migas
kepada badan usaha (dalam hal ini Badan Pelaksana) untuk melakukan pengusahaan
pengelolaan atas bahan galian yang ada dalam Wilayah Hukum Pertambangan
Indonesia. Dengan melakukan kerja sama dengan badan hukum perdata dalam suatu
kontrak, maka penguasa Negara atau Pemerintah menurut Kranenburg dan Vegting
bertindak sebagai organ dari badan publik yang berupa badan hukum perdata.103
Bertolak dari pendapat di atas, maka Negara dalam Kontrak Bagi Hasil
berdasarkan UU Migas 2001 menjadi subjek hukum yang memiliki hak dan kewajiban.
Kedudukan aparatur Pemerintah selaku subjek pendukung hak dan kewajiban dalam
sebagai pemegang kekuasaan publik, tetapi sebagai pihak yang bersifat keperdataan.
Posisi Pemerintah sebagai subjek hukum ini dipertegas dalam Pasal 94 ayat (1)
penandatangan Kontrak Kerja Sama, Badan Pelaksana bertindak sebagai pihak yang
berkontrak dan sebagai pihak yang berkontrak Pemerintah menjamin bahwa Badan
Pelaksana dapat melaksanakan ketentuan dalam KKS atau Kontrak lain yang terkait
103
Lihat Abrar Saleng, op. cit., hlm 58, yang mengutip Kranenburg, R. en Vegting, W.G., Inleiding in het
Nederlandsxhe Administratiefrecht, NV H.D. Theenk Willink & Zoon, Haarlem, 1955. hlm 16.
91
dengan KKS. Selanjutnya Pasal 94 ayat (2) dan (3) PP Migas menetapkan bahwa
penandatanganan KKS dengan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap dilaksanakan
setelah mendapat persetujuan Menteri atas nama Pemerintah dan secara tertulis akan
dilaporkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat beserta salinan naskah kontrak setelah
ditandatangani.104
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa meskipun bukan merupakan pihak
yang terlibat langsung dalam Kontrak Kerja Sama (KKS), Pemerintah sebagai pihak
yang memberi kuasa memperoleh segala hak dan memikul segala kewajiban yang
timbul dari KKS. Pemerintah adalah stakeholder yang paling berkepentingan dan
pemegang kekuasaan.
kontrak mempunyai kedudukan yang sama atau sejajar dalam melakukan perbuatan
pemerintahan yang bersangkutan tidak dalam kedudukan yang diistimewakan, baik pada
penyusunan maupun pada pelaksanaan kontrak Dengan ini para pihak diharapkan
104
Pasal 94 PP Migas: “(1). Dalam melaksanakan penandatangan Kontrak Kerja Sama sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 90 huruf b, Badan Pelaksana bertindak sebagai pihak yang berkontrak dengan
Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap. (2) Penandatanganan Kontrak Kerja Sama dengan Badan Usaha
atau Bentuk Usaha Tetap sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan setelah mendapat
persetujuan Menteri atas nama Pemerintah. (3) Badan Pelaksana memberitahukan secara tertulis Kontrak
Kerja Sama yang sudah ditandatangani kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dengan
melampirkan salinannya.”
Penjelasan Pasal 94 ayat (1) PP Migas: “Sebagai pihak yang berkontrak, dalam melakukan
penandatanganan Kontrak Kerja Sama, Pemerintah menjamin bahwa Badan Pelaksana dapat
melaksanakan ketentuan dalam Kontrak Kerja Sama atau Kontrak lain yang terkait dengan Kontrak Kerja
Sama.”
92
menerapkan asas pacta sunt servanda ini dalam melaksanakan kewajiban dan haknya,
yang juga berlaku bagi Pemerintah mengingat bahwa dalam faktanya peran Pemerintah
sangat menentukan.
Seperti diuraikan di muka, kesucian kontrak secara mutlak baik dalam teori
maupun praktek itu sulit diwujudkan, namun demikian.penerapan asas pacta sunt
servanda tetap merupakan hal esensial dalam kehidupan sosial dan bisnis dan hubungan
internasional. Meskipun tidak dinyatakan secara eksplisit, asas pacta sunt servanda ini
juga telah dijadikan landasan dalam Kontrak Bagi Hasil sebagaimana dinyatakan dalam
”dengan pertimbangan janji bersama, perjanjian dan keadaan yang oleh para
pihak akan dilaksanakan dan dipatuhi, maka para pihak sepakat dengan hal-hal
berikut.”105
Para pihak juga sepakat untuk melakukan kewajibannya dengan itikad baik demi
105
Preamble PSC: “Now, therefore, in consideration of the mutual promises, covenants and conditons,
hereinafter set out, to be performed and kept by the parties hereto, it is hereby stipulated and agreed by
and between the parties hereto as follows:”
106
Section V.1.2.d CPP PSC:
93
dalam melakukan operasi migas dan menyelesaikan permasalahan yang timbul dengan
musyawarah.107
Dari pasal-pasal tersebut tersirat kehendak dan komitmen para pihak untuk
memelihara hubungan yang dilandasi pada kepentingan bersama dalam Kontrak Bagi
Hasil. Fenomena ini juga dijumpai dalam kontrak-kontrak migas di dunia, seperti yang
menyatakan bahwa di Indonesia KBH juga menerapkan “principles of mutual good will
and good faith”.109 Dengan menjadikan prinsip itikad baik dan hal timbal balik
“Contractor shall be responsible for the preparation and execution of the Work Program which shall be
implemented in a workmanlike manner and by appropriate scientific methods, and Contractor shall take
the necessary precautions for protection of navigation and fishing and shall prevent extensive pollution of
the sea or rivers. It is also understood that the execution of the Work Program shall be exercised so as
not to conflict with Government obligations imposed on the Government by International Law.”
Section V.1.3.a CPP PSC:
“Pertamina shall have and be responsible for the management of the operations contemplated hereunder;
however, Pertamina shall assist and consult with Contractor with a view to the fact Contractor is
responsible for the Work Program.”
107
Section XI:
“Periodically, Pertamina and Contractors shall meet to discuss the conduct of Petroleum Operations
envisaged under this Contract and will make every effort to settle amicably any problem arising
therefrom.”
108
Gao, Zhigue, op.cit, hlm 507: “The term ‘mutuality of interests’ is expressed variously in agreements.
In the Chinese case, the principle of ‘equity and mutual benefits’ is expressed as the fundamental basis of
foreign economic and trade relations. So the ‘principle of mutual benefit’ is repeatedly emphasized in all
contract negotiations annd reiterated throughout the contract.”
109
Ibid, yang mengutip M. Kusumaatmadja, Indonesia’s National Policy on Offshore Mineral Resources:
Some Legal Issues, Ocean Yearbook 9, The University of Chicago Press, Chicago, 1991, hlm 97 – 98.
94
kepentingan bersama sebagai “fair government take and a fair return for oil
companies”.110
Sebagaimana telah diuraikan dimuka, salah satu sifat yang melekat dari kontrak
pengelolaan migas adalah hubungan kontraktual yang panjang dan rentan terhadap
negeri termasuk kebijakan pemerintah. Dalam Bab ini akan disajikan dua kasus
diberlakukannya Keppres Nomor 10 Tahun 1980 dan Nomor 14A Tahun 1980 yang
Keppress 14A ini menetapkan bahwa pembelian barang di atas Rp 500 juta harus
dikenal sebagai Tim Pengendali yang diatur dalam Keppres No. 10 Tahun 1980.111
Ketentuan tersebut berlaku untuk BUMN termasuk PERTAMINA dan KBH, tetapi
tidak diberlakukan untuk kegiatan eksplorasi dan produksi dalam Perjanjian Karya.
110
Ibid.
111
Madjedi Hasan, op. cit., hlm 26.
95
1980 pada operasi KBH dengan dalih “untuk kepentingan umum”, yaitu demi
pembangunan nasional dan promosi produk dalam negeri sesuai dengan amanat Majelis
membayar 85% dari biaya.112 PERTAMINA juga berpandangan bahwa karena kendali
milik Pemerintah, maka PERTAMINA wajib mengikuti tata cara yang telah ditetapkan
oleh Pemerintah.
Pemberian perlakuan khusus (preference) kepada produk dalam negeri bukan hal
yang unik bagi Indonesia, karena dalam kenyataan banyak negara berkembang telah
penggunaan fasilitas di dalam negeri dan produk dalam negeri, tetapi sangat keberatan
dengan tata cara pengadaan yang harus diikuti. Kewajiban untuk memberi perlakuan
khusus pada produk dan jasa dalam negeri sudah diatur dalam kontrak baik Perjanjian
Karya maupun KBH, seperti yang terlihat dalam Section V ayat (1.2.q) CPP PSC yang
ditanda tangani pada tahun 1971, di mana ditetapkan kewajiban kontraktor sebagai
berikut:
112
Pernyataan bahwa Pemerintah menanggung 85% dari biaya operasi sebenarnya kurang tepat, karena
seluruh biaya investasi dilakukan oleh Kontraktor dan risiko kegagalan sepenuhnya merupakan beban
Kontraktor.
113
Section V ayat (1.2.q) CPP PSC: “Contractor shall give preference to such goods and services which
are produced in Indonesia or rendered by Indonesian nationals, provided such goods and services are
offered at equally advantageous conditions with regard to quality, price, availabilityat the time and in the
quantities required.”
96
kontrak yang terdahulu, yaitu Perjanjian Karya dimana kewajiban ini dijabarkan lebih
rinci dari pada ketentuan dalam KBH termasuk program pengembangan masyarakat
berkaitan dengan promosi pertumbuhan dan industrialisasi ekonomi Indonesia, dan akan
Keppres 10 dan 14A Tahun 1980 ini tidak diberlakukan dalam Perjanjian Karya,
karena Kontraktor memegang kendali manajemen operasi. Namun hal ini tidak berarti
bahwa tidak adanya pengawasan Pemerintah terhadap pemanfaatan barang dan jasa
dalam negeri. Dalam melakukan pengawasan atas Perjanjian Karya, Direktorat Jenderal
Minyak dan Gas Bumi menerbitkan daftar barang-barang yang dilarang diimpor dan
beroperasi di Indonesia, tetapi tata cara pengadaan barang dan jasa diserahkan
Keberatan Kontraktor KBH mengikuti Keppres 10 dan 14A Tahun 1980 tersebut
adalah terhadap tata cara, khususnya adanya berbagai lapisan yang harus dilalui untuk
mendapatkan persetujuan dan proses negosiasi untuk mendapatkan harga yang rendah
114
Article 14 Perjanjian Karya: “………. Contractors will, all other conditions, including design, quality,
prices and delivery date, being equal, give priority to utilization of goods produced domestically.
Contractors will be prepared at all times to study the possibility of further activities, in and related to the
field of mineral oil and gas, which might assist in promoting the growth and industrilization of the
Indonesian economy, and will cooperate in the encouragement of the production and manufacture within
Indonesia of goods, equipment, materials and supplies of a type and quality which are needed in the
country and which will assist in the conduct of the operations, such as, for example, improved
agricultural and diary products required for the use of Contractors’ employees, and will assist in
securing and making available the latest and most modern information, advice and training in these
fields. Contractors will utilize qualified Indonesian subcontractors to the maximum extent they are
available at competitive terms, and ……….”
97
telah menunda program pengadaan barang dan jasa, yang pada gilirannya memberi
dampak pada pelaksanaan program kerja. Menyadari dampak negatif pada kegiatan
persetujuan (Keppres Nomor 16 Tahun 1994, Keppres Nomor 6 Tahun 1999 dan
Dampak dari diberlakukannya Keppres 10 dan 14A Tahun 1980 ini íalah
kapital menurun menjadi USD 1,286 milyar atau 23,6% dibawah tahun 1983. Dampak
Dalam hal ini Pemerintah tampak telah memperlakukan KBH sebagai salah satu
unit kegiatan dari pemerintahan dan menempatkan posisi PERTAMINA tidak sejajar
atau berada di atas Kontraktor. Kebijakan publik yang bertujuan melindungi produk dan
jasa domestik dalam rangka penciptaan lapangan kerja cukup beralasan; namun di sisi
lain pelaksanaan kebijakan tersebut dipandang oleh para investor berlebihan yang
merugikan baik investor maupun negara. Mengkaji kesepakatan dalam KBH, tindakan
yang menjadikan kegiatan KBH sebagai salah unit kegiatan pemerintahan dan
1). Section I.1 yang menetapkan bahwa Kontraktor bertanggung jawab kepada
115
US Embassy, Petroleum Report 1984, Jakarta, 1985
98
2). Section V ayat (1.3.a) CPP PSC tentang kewajiban PERTAMINA menetapkan
Kerja.
3). Section V ayat (1.3.c) CPP PSC menyatakan bahwa PERTAMINA berkewajiban
menyediakan fasilitas, suplai dan personalia termasuk tetapi tidak terbatas pada
untuk memasuki yang mungkin diminta oleh Kontraktor dan tersedia dari
Kontrak Kerja Sama yang pada awalnya diartikan hubungan paralel yang bersifat kerja
sama dan koordinasi sebagaimana yang dimaksudkan oleh Ibnu Sutowo yang
memperkenalkan KBH tampak telah bergeser menjadi hubungan para pihak yang tidak
116
CPP PSC Section I.1:
“Contractor shall be responsible to PERTAMINA for the execution of such operations in accordance with
the provisions of this Contract, and is hereby appointed and constituted the exclusive company to conduct
Petroleum Operations;
Contractor shall provide all the financial and technical assistance required for such operations;
Contractor shall carry the risk of Operating Cost required in carrying out operations and shall therefore
have an economic interest in the development of the Petroleum deposits in the Contract Area.
Section V.1.3.a:
“Pertamina shall have and be responsible for the management of operations contenplated hereunder,
however, Pertamina shall assist and consult with Contractor with a view to the fact Contractor is
responsible for the Work Program”;
Section V.1.3.c:
“Pertamina shall otherwise assist and expedite Contractor’s execution of the Work Program by
providing facilities, supplies and personnel including, but not limited to, supplying or otherwise making
available all necessary visas, work permit, transportation, security potection and rights of way and
asessments as may be requested by Contractor and made available from the resources under Pertamina’s
control. In the event …….”
99
tentang manajemen yang sama dengan KBH Indonesia, namun dalam prakteknya
produk dalam negeri, Petronas menerbitkan tata cata dan aturan yang disepakati oleh
kedua pihak.118
dilakukan oleh Joint Management Committee (JMC), terdiri dari wakil-wakil BUMN
dan Kontraktor dan putusan dilakukan dengan musyawarah dan mufakat. JMC juga
menetapkan tata cara pengadaan barang dan jasa, termasuk menentukan perlakuan
khusus untuk produk domestik melalui standardisasi muatan lokal (local content).119
2. Perpajakan
dipermasalahkan, meskipun salah satu maksud dari diadakannya Kontrak Bagi Hasil
naskah kontrak KBH generasi I (sebelum tahun 1977), ketentuan mengenai perpajakan
agak berbeda antara satu kontrak dengan kontrak yang lain, namun demikian terdapat
satu pengertian yang sama bahwa termasuk dalam bagian dari minyak yang menjadi hak
PERTAMINA adalah seluruh pajak yang dibayarkan kepada Pemerintah, dan karena itu
117
Lihat Knowles, Ruth Sheldon, loc. cit.
118
T.N. Machmud, op. cit. 96-97
119
Kinney, B.D., Petroleum Laws and Model Contract Terms: Production Sharing in China, Oil & Gas
Law and Taxation Review, Vol 12 August 1994, Sweet & Maxwell/ESC Publishing (Oxford UK), hlm
231-239
100
ini adalah pajak perseroan dan pajak-pajak keuntungan termasuk dividen dan lain-lain
Pemerintah ini dikelompokkan dalam dua bagian, yaitu berupa Pajak Perseroan dan
Pajak atas Bunga, Dividen dan Royalti, dan Penerimaan Bukan Pajak termasuk
didalamnya pajak impor, pajak penjualan atau pajak pertambahan nilai, pungutan-
pungutan. Berikut ini beberapa permasalahan mengenai perpajakan yang timbul dengan
a. Pajak Perseroan
Kontraktor atas tax liability dalam hal PERTAMINA tidak melakukan pembayaran
PERTAMINA telah menerima produksi yang menjadi haknya, Menteri Keuangan selalu
120
Kontrak Bagi Hasil antara PERMINA dan Conoco tanggal 12 Mei 1967 menyatakan ketentuan tentang
perpajakan ini sebagai berikut: “the portion of crude oil of which Pertamina is entitled to take and receive
hereunder shall be inclusive of all income taxes payable to the Republic of Indonesia, such as Company
tax, income taxes or taxes based on income or profits including all dividend, withholding, and other taxes
imposed by the Government of Indonesia on the distribution of income or profits by the Company.
PERMINA agrees to pay and discharge such taxes for the account of the Company.”
Kontrak Bagi Hasil antara PERTAMINA dan Trend Exploation Limited tanggal 15 Ojtober 1970: “The
Company shall be subject to the Indonesia Income Tax Laws and shall comply with the requirements of
the law………. Pertamina shall pay on behalf of the Company, the Company’s Indonesian Income Tax
out of Sixty-Five per cent (65%) or Sixty-Seven and one-half per cent (67.5%) as the case may be of the
value of Crude Oil produced and saved and not used in Petroleum Operations after deducting Operating
Costs…..”
121
Frabikant, Robert, Oil Discovery and Technical Change in Southeast Asia: Legal Aspects of
Production Sharing Contracts in the Indonesian Petroleum Industry, Institute of Southeast Asian Studies,
Singapore, 1973, hlm 39 – 57.
101
Bagi Hasil yang memisahkan komponen penerimaan PERTAMINA dari pajak dan
Menghitung dan Pembayaran Pajak Perseroan dan Pajak Atas Bunga, Dividen dan
Royalti Oleh Kontraktor Yang Beroperasi Berdasarkan Kontrak Bagi Hasil Minyak dan
Pajak Penghasilan yang telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun
2000 (UUPh) dan UU Migas 2001, tampak bahwa UUPPh yang berlaku tidak secara
khusus mengatur perlakuan pajak yang berlaku di KBH. Meskipun saat ini belum
122
Lihat Section V.3 (b) CPP PSC
“Pertamina shall except with respect to Contractor’s obligation to pay Indonesian Corporate Tax and the
Tax on Interest, Dividends and Royalty as set forth in paragraph (a) of subsection 1.2 of this Section,
assume and discharge all Indonesian taxes of Contractor including transfer tax, import and export ruties
on materials, equipment and supplies brought into Indonesia by Contractor, its contractors and
subcontractors, exactions in respect of property, capital, net worth, operations, remittances or
transactions including any tax or levy on or in connection with operations performed hereunder by
Contractor or its Affiliates rendering services in connection therewith provided such services shall be
charged at cost. Pertamina shall not be obliged to pay taxes on tobacco, liquor and personnel income
tax; and income tax and other taxes not listed above of contractors and subcontractors. The obligations
of Pertamina.hereunder shall be deemed to have been complied with by the delivery to Contractors,
within one hundred and twenty (120) days alter the end of each Calendar Year, of documentary proof in
accordance with the Indonesian fiscal laws that liability for the above mentioned taxes has been satisfied,
except that with respect to any of such liabilities which Contractor may be obliged to pay directly,
Pertamina shall reimburse it within sixty (60) days after receipt of invoice therefor. Pertamina should be
consulted prior to payment of such taxes by Contractor or by any other party on Contractor’s behalf.
Section V. (1.2) (s):
“Contractor shall be subject to and shall pay the Government of the Republic of Indonesia the Indonesian
Corporate Tax and the Tax on Interest, Dividends and Royalty imposed on its income pursuant to the
Indonesian tax laws. Contractor shall comply with the requirements of the law in particular with respect
to filing of returns, assessments of tax, and keeping and showing of books and records.”
102
memerlukan perlakuan pajak secara khusus untuk memberikan perlakuan pajak yang
netral.
memperoleh hak dan pengeluaran lain yang mempunyai manfaat lebih dari satu tahun di
bidang penambangan minyak dan gas bumi dilakukan dengan menggunakan metode
satuan produksi amortisasi. Jika ketentuan dalam Pasal 11A ayat (4) ini diberlakukan
terhadap KBH, perlakuan pajaknya menjadi tidak netral karena pada saat perusahaan
mulai berproduksi, pembebanan amortisasinya tidak akan dapat kembali secara penuh.
KBH tidak mengenal adanya kompensasi kerugian yang diatur dalam Pasal 6 ayat (2)
Dalam sistim akuntansi KBH semua pengeluaran pada masa eksplorasi diperoleh
kembali melalui mekanisme perhitungan "costs recovery" yang dapat diperoleh kembali
tanpa pembatasan. Mekanisme dalam KBH ini lebih tepat, mengingat masa eksplorasi
membutuhkan waktu yang cukup lama (lebih dari 5 tahun); jika kompensasi kerugian di
sektor hulu diberlakukan aturan yang umum maka ketentuan ini tidak akan mendorong
investasi. Industri hulu di sektor migas memerlukan modal yang besar dengan risiko
yang tinggi dan waktu yang cukup lama untuk mencapai tahapan produksi, sehingga
menetapkan kewajiban Kontraktor membayar pajak berdasarkan salah satu dari dua
123
Rachmanto Surahmat, PP 35/2004 & Perlakuan PPh Sektor Hulu Migas, Bisnis Indonesia, 22
November 2004
124
Ibid
103
pilihan yang ada, yaitu berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku pada
timbul adalah ketentuan yang mana yang berlaku bagi industri migas di sektor hulu?
Ketentuan Pasal 31 ayat (4) UU Migas 2001 dan Pasal 53 PP Migas tidak memberikan
kepastian hukum terhadap kegiatan di sektor migas industri hulu. Hal ini
hukum dan perlakuan yang sama antara kontrak yang lama dan yang baru.
Masalah perpajakan yang lain dan masih belum terselesaikan adalah mengenai
Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Pada tahun 1983 Pemerintah mengeluarkan Undang-
undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan
Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (UUPPN 1984), yang berlaku efektif pada tanggal
1 April 1984 tetapi kemudian ditangguhkan sampai 1 Januari 1986. PPN ini
Perubahan pertama adalah pada akhir tahun 1994 dengan dikeluarkannya Undang-
undang Nomor 11 Tahun 1994 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 8 Tahun
1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas
Barang Mewah yang mulai berlaku 1 Januari 1995 (UUPPN 1995). Perubahan kedua
adalah tahun 2000 dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000 Tentang Perubahan
104
Kedua Atas Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai
Barang dan Jasa Dan Pajak Pennjualan Atas Barang Mewah (UUPPN 2000).
Berbeda dengan pajak penjualan, PPN dikenakan atas nilai tambah yang timbul
pada barang atau jasa tertentu yang dikonsumsi. Namun sebelum barang atau jasa
tersebut sampai pada tingkat konsumen, PPN sudah dikenakan pada setiap tingkat mata
rantai jalur produksi maupun jalur distribusi. Meskipun demikian, pemungutan secara
bertingkat ini tidak menimbulkan efek ganda karena adanya metode perolehan kembali
pajak yang telah dibayar (kredit pajak) oleh Pengusaha Kena Pajak sehingga presentase
beban pajak yang dipikul oleh konsumen tetap sama dengan tarif pajak yang berlaku.
Dalam hal ini panjang pendek jalur produksi atau jalur distribusi tidak mempengaruhi
presentase beban pajak yang dipikul oleh konsumen. Oleh karena itu mekanisme
2). Untuk Kontrak Bagi Hasil yang telah berproduksi, PPN dan Pajak Penjualan
3). Kegiatan pemboran bukan obyek dari PPN (Surat Menteri Keuangan Nomor S-
4). Untuk Kontrak Bagi Hasil yang belum berproduksi, pembayaran PPN
125
Untung Sukardji, Pajak Pertambahan Nilai, edisi revisi 2003, cetakan keenam, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2003, hlm 30 – 31.
126
Lihat Abas Kartadinata, Tax Regulations for Production Sharing Contractors, Perhimpunan Pengelola
Akutansi dan Keuangan Minyak dan Gas Bumi Indonesia, Jakarta, 1991.
105
ketetapan pajak tersebut dengan melakukan pembayaran PPN sesuai dengan tata cara
cukup lama. Restitusi PPN yang seharusnya dilakukan paling lambat 60 hari, dalam
antara instansi satu dan instansi lainnya. Dalam jangka panjang hal ini berdampak pada
meningkatnya kebutuhan akan modal kerja, yang kemudian ditambah dengan kendala
Nomor 22 Tahun 1989, maka meningkatnya kebutuhan akan modal kerja untuk proyek
yang berisiko tinggi atau “risk capital” dirasakan sangat memberatkan bagi Kontrak
Bagi Hasil yang masih dalam tahapan eksplorasi. Permasalahan mengenai PPN ini
makin menjadi kompleks dengan perubahan status PERTAMINA menjadi Persero dan
tidak lagi mewakili Pemerintah dalam KBH, sementara peraturan pelaksanaan belum
dikeluarkan. Sejak bulan Mei 2003, PERTAMINA tidak lagi dalam kedudukan untuk
memberikan restitusi PPN kepada KBH dan yang kemudian disusul dengan peraturan
bahwa mulai 1 Januari 2004, KBH tidak lagi menjadi Pemungut PPN. Dengan tidak
127
Pandangan yang sama dikemukakan oleh Indonesian Petroleum Association (IPA), Indonesian Gas
Assoction (IGA) dan Indonesian Mining Association (IMA) dalam Pre-Conference Dialog # 2, yang
diselenggarakan oleh Bimasena di Jakarta pada tanggal 13 Oktober 2004 dan dihadiri oleh wakil
Direktorat Jenderal Pajak.
106
menjadi Pemungut PPN, maka KBH tidak memiliki bukti pembayaran PPN, sehingga
tidak dapat mengajukan klaim pembayaran kembali PPN yang telah dibayarkan.128
Dari hasil wawancara juga ditemukan adanya beberapa perkara sengketa antara
Direktorat Jenderal Pajak dan Operator Kontrak Bagi Hasil mengenai pengenaan PPN
untuk wilayah kontrak yang belum berproduksi, salah satu diantaranya adalah Amoseas
Indonesia lawan Direktorat Jenderal Pajak. Perkara ini dimulai dengan diterimanya
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) PPN oleh Amoseas Indonesia Inc.
selaku Operator dari beberapa KBH yang telah dikembalikan karena tidak menemukan
Indonesia Inc. lawan Direktur Jenderal Pajak, Mahkamah Agung membatalkan putusan
mengembalikan PPN yang telah disetor sehubungan dengan Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar Pajak Pertambahan Nilai masa pajak Desember 1999. Sampai dengan
penulisan tesis ini, pengembalian pajak yang telah disetor tersebut belum dilaksanakan
oleh Direktorat Jenderal Pajak. Hal ini kemudian menimbulkan rasa keprihatinan
128
Ibid: Dari informasi yang disampaikan oleh IPA dalam Pre-Conference Dialog # 2 (13 Oktober 2004)
diketahui bahwa sampai dengan 1 September 2004 utang restitusi yang harus dibayarkan oleh Direktur
Jenderal Pajak kepada KBH telah mencapai hampir Rp 1 trilyun.
107
c. Pajak Impor
Masalah lain yang berkaitan dengan pungutan Negara ini adalah mengenai pajak
impor dan bea masuk Sesuai dengan Section V.1.3.b, semua pungutan Negara diluar
Pajak Perseroan dan Pajak atas Bunga, Dividen dan Royalti sudah termasuk dalam
merupakan beban Pertamina (atau Badan Pelaksana setelah UU Migas 2001). Dalam
pelaksanaan, sebelum UU Migas 2001 pajak impor termasuk PPN dibebaskan melalui
fasilitas “master list” dengan Angka Pengenal Importir (API) milik PERTAMINA,
tidak dapat menggunakan fasilitas pembebasan pajak impor dan bea masuk. Untuk
sehingga KBH tersebut masih mendapatkan pembebasan pajak impor dan bea masuk.
manfaat bersama
unit atau departemen yang mewakili Pemerintah dan mengawasi pelaksanaan KBH.
Dalam masalah pengutamaan produk dalam negeri, selain tidak sesuai dengan ketentuan
menyulitkan pemisahan tanggung jawab para pihak dalam pelaksanaan kontrak, yaitu
investor atau kontraktor sebagai penyandang dana dan pelaksana rencana dan program
kerja, dan PERTAMINA sebagai manajemen. Hal ini berdampak pada tidak
tercapainya salah satu tujuan Kontrak Bagi Hasil, yaitu keseimbangan dalam mengelola
sumber daya migas dengan penuh akuntabilitas yang meliputi tanggung jawab yang
jelas dari masing-masing pihak yang selaras dengan visi, misi, sasaran usaha dan
strategi kontrak pengelolaan migas. Tanggung jawab ini diwujudkan dengan kesadaran
bahwa tanggung jawab merupakan konsekuensi logis dari adanya wewenang, dan harus
pengelolaan sumber daya migas dengan penuh akuntabilitas yang dilandasi pada asas
pacta sunt servanda akan menjamin penggunaan modal yang efisien yang akan
mendukung terciptanya operasi yang efisien pula. Sebagai suatu sistem, tata kelola
KBH yang baik seharusnya juga melakukan pengecekan dan perimbangan kewenangan
dan pengendalian kegiatan para pihak yang dapat membatasi peluang pengelolaan yang
salah dan peluang penyalahgunaan wewenang. Proses tersebut tidak dipengaruhi oleh
pihak di luar sistem tetapi harus transparan, agar mencapai tujuan kontrak pengelolaan,
Kontrak Bagi Hasil diberlakukan ketentuan perpajakan yang bersifat lex specialis,
kebijakan umum, seperti halnya dengan tata cara pembayaran PPN. Dihapuskannya
perpajakan oleh Ditjen Pajak telah menyebabkan perhitungan pola bagi hasil produksi
migas tidak lagi memasukkan besaran pajak yang harus ditanggung Kontraktor KBH
atau pemberlakuan pajak ini tidak sesuai dengan kesepakatan dalam KBH.
Berlandaskan pada asas pacta sunt servanda Pemerintah sebagai salah satu pihak dalam
Kontrak Bagi Hasil harus menjamin kekuatan hukum kontrak bagi hasil yang telah
generalis dapat kontra produktif apabila hasilnya adalah penolakan terhadap keperluan
untuk meningkatkan kegiatan migas. Karena itu agar kebijakan-kebijakan yang dibuat
oleh Pemerintah efektif dan sesuai dengan tujuan dan sasaran, maka sejumlah kebijakan
dalam UUPPh perlu ditambahkan ketentuan yang memberikan perlakuan pajak khusus
terhadap kegiatan di industri hulu sektor migas agar dapat dijamin kepastian hukum.
Penambahan aturan ini harus didasarkan atas pertimbangan utama memberikan aturan
yang sifatnya netral terhadap industri hulu di sektor migas. Jika pendekatan ini yang
dipilih, sebaiknya hal ini diberlakukan terhadap kontrak-kontrak yang lama sehingga
kepastian hukum dapat diciptakan. Perlakuan pajak secara khusus untuk memberikan
perlakuan pajak yang netral kepada kegiatan pencarian dan pengembangan sumber daya
Dari kajian terhadap data penyelesaian sengketa tampak bahwa sampai saat ini
belum tercatat kasus sengketa di bidang migas yang diajukan kepada forum arbitrase.
sama, yaitu dihindarinya Indonesia sebagai tujuan investasi, sementara sikap investor
sengketa. Dengan potensi menemukan cadangan migas masih tetap tinggi tetapi
sasarannya lebih tersembunyi dan terletak di laut dalam dan wilayah-wilayah terpencil,
kegiatan eksplorasi yang aktif perlu digalakkan dalam iklim usaha dengan jaminan
di forum arbitrase atau pengadilan internasional. Baik asas kesucian kontrak maupun
klausula rebus sic stantibus diakui dalam putusan forum arbitrase atau pengadilan
putusannya pada itikad baik dalam perjanjian tertulis antara para pihak. 129
klausula rebus sic stantibus, seperti dalam perkara Pemerintah Kuwait lawan American
pembuktian yang kuat bahwa perubahan yang terjadi tidak atau tidak dapat diantisipasi.
129
Abba Kolo, Renegotiation and Contract Adaption in the International Investment Projects:
Appplicable Legal Principles and Industry Practices, Oil, Gas & Energy Law Intellegence, Vol 1, Issue #
02, March 2003, University of Dundee, http://www.gasandoil.com/ogel/samples/, hlm 20.
Maitrise En Droit International Et Europeen, Texaco/Calasiatic c/ Gouvernement Libyen, Sentence
Arbitrale Au Fond, 19 Janiver 1977. www.pict-pcti.org/publications/Bibliographies/Arb_Cases.doc
111
memberikan kompensasi kepada Aminoil berupa ganti rugi dan potensi kehilangan laba
130
(lucrum cessans).
pecahnya Cekoslovakia menjadi dua negara (Ceko dan Slovakia) diakui sebagai change
of circumstances. Namun, perubahan itu tidak ada kaitannya dengan objek dari proyek
dan maksud dari Budapest Treaty (1977) yang merupakan dasar kesepakatan untuk
membatalkan proyek bendungan tersebut tidak dapat diterima. Juga perubahan standar
lingkungan merupakan hal yang seharusnya sudah diantisipasi dan karena itu tidak dapat
Di dalam negeri, dalam perkara PERTAMINA dan PLN lawan Karaha Bodas
Company L.L.C dan PLN lawan Himpurna California Energy dan Patuha, putusan
Pemerintah untuk menunda proyek tersebut karena krisis moneter diterima sebagai
“force majeure”, tetapi hanya diberlakukan untuk investor. Pertamina dan PLN tidak
dalam posisi untuk menggunakan Keppres Nomor 39 Tahun 1997 tentang penundaan
karena itu Pertamina dan PLN harus dianggap telah ingkar janji. Putusan ini dapat
diartikan bahwa klaim PERTAMINA dan PLN agar dibebaskan dari kewajibannya
130
Abba Kolo, loc. cit.
131
International Court of Justice, Case concerning Gabcikovo-Nagymaros Project (Hungary/Slovakia),
Summary of the Judgement of 25 September 1997, http://www.lawschool.cornell.edu/library/cijwww/
icjwww/docket/ihs/iHS_summaries/ihssummary/1997
132
Dalam putusannya Mahkamah Arbitrase Internasional perkara Karaha Bodas menetapkan bahwa
bantahan Pertamina dan PLN yang menyatakan bahwa mereka juga berhak dianggap sebagai upaya untuk
menghilangkan (deprive) arti penting dari Artikel 15.2 (JOC) dan Seksi 9.2 (ESC) yang menyatakan
112
rebus sic stantibus hukum internasional tidak memberikan definisi yang jelas mengenai
133
kondisi untuk penerapannya. Kasus-kasus tersebut juga menunjukkan adanya
persepsi yang asimetris antara negara-negara maju atau pemilik modal dan negara-
negara berkembang atau pemilik sumber daya alam dalam mencari cara yang terbaik
diperlukannya suatu dialog yang berkesinambungan antara para pihak. Dilandasi pada
diperkirakan dapat memberikan suatu dasar untuk mengatur perubahan tanpa berusaha
untuk menetapkan dengan pasti hubungan yang akan datang. Dalam hal ini sangat
penting untuk para pihak mengetahuinya dari awal hal-hal yang pokok dalam kontrak,
terutama hal-hal yang mempunyai kemungkinan akan berubah selama kontrak berjalan
dalam sistem perpajakan, impor dan tata ruang perlu diantisipasi dan garis besar cara
PERTAMINA dan Energy Sales Contract (ESC) antara investor dengan PERTAMINA
dan PLN dalam proyek Pembangkitan Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP), disepakati
bahwa kejadian-kejadian yang berhubungan dengan tindakan Pemerintah (Government Related Event)
bukan merupakan keadaan kahar bagi Pertamina dan PLN.
133
Abba Kolo, loc. cit.
134
Lihat Banani, Dinesh D, International Arbitration and Project Finance in Developing Countries:
Blurring the Public/Private Distinction, Boston College International & Comparative Law Review
www.bc.edu/schools/law/lawreviews/meta-elements/journals/bciclr/26_2/0.
113
untuk menyesuaikan harga jual-beli listrik jika terjadi perubahan dalam kebijakan
yang lebih berat juga perlu dipertimbangkan untuk melindungi kepentingan Pemerintah
terhadap investor yang tidak melakukan kewajibannya karena tidak memiliki dana.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Kontrak Bagi Hasil harus menjamin
kepastian dan memenuhi keadilan bagi kedua pihak yang berkontrak. Para pihak yang
mengadakan KBH ini tunduk pada ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam KUH
Perdata dan berbagai peraturan yang mengaturnya (Pasal 1319 KUH Perdata). Karena
merupakan ketentuan hukum yang bersifat khusus, maka pada KBH ini juga berlaku
Dalam pelaksanaannya peranan itikad baik dan penerapan asas pacta sunt
servanda mempunyai arti yang sangat penting sekali. Sebagaimana dinyatakan oleh
Subekti, itikad baik dalam melaksanakan hak dan kewajiban yang timbul dari suatu
keadilan dengan menjauhkan diri dari perbuatan yang mungkin menimbulkan kerugian
pihak lain. Syarat atau tuntutan kepastian hukum tercermin dalam ayat pertama Pasal
1338 KUH Perdata (yaitu janji itu mengikat), sementara ayat ketiga Pasal 1338 KUH
undangan baru kepada KBH diselaraskan dengan tujuan dan sasaran KBH. Di sisi lain
kepada investor dituntut untuk memenuhi seluruh kewajibannya dalam kontrak, baik
berupa kewajiban fiskal maupun janji-janji lain seperti pemberian prioritas kepada
135
Subekti, loc. cit.
114
penggunaan atau pemanfaatan produk dalam negeri. Misalnya, pada waktu menetapkan
persyaratan dalam pengadaan barang atau jasa untuk mendukung operasi KBH, investor
bersaing dari perusahaan-perusahaan pendukung dan jasa dalam negeri dan menghindari
penetapan persyaratan yang hanya dapat dipenuhi oleh perusahaan jasa luar negeri.
berbagai istilah atau parameter yang dijadikan acuan atau bench mark dalam
baru, status komersial dan lain-lain perlu diperjelas. Demikian pula, istilah
“manajemen” dalam kontrak diperjelas meliputi lingkup tugas dan kewenangan serta
tanggung jawab. Seperti yang terjadi pada awal tahun 1980an ambiguitas mengenai
klausula manajemen ini telah menimbulkan celah hukum yang menuju ke birokrasi dan
“inefficiency” yang menimbulkan ekonomi biaya tinggi. Penerapan asas pacta sunt
servanda akan lebih efektif apabila fungsi manajemen ini dilakukan melalui Joint
Management Committee yang terdiri dari BP Migas dan investor dan putusan dilakukan
Cina.
komersial (acts jure gestionisi) dan kapan ia menjalankan kegiatan pemerintahaan (acts
jure imperil), maka untuk kontrak-kontrak berjangka panjang dengan pihak swasta luar
negeri yang melibatkan aset-aset yang dimiliki atau dikuasai negara atau yang
kenegaraan dan tidak digunakannya hak kekebalan negara dalam penyelesaian hukum.
Ketentuan tambahan tentang pelepasan hak kekebalan negara tersebut dimaksudkan agar
memberikan semacam perasaan lebih nyaman atau comfort bagi pihak yang menanam
modal dan khususnya pihak pemberi pinjaman atau penyandang dana. Ketentuan
semacam itu dijumpai dalam JOC dan ESC antara investor dengan PERTAMINA dan
Selama ini KBH migas yang berlaku memang tidak memuat klausul tentang
pelepasan hak kekebalan negara. Hal ini lebih berkenaan dengan dipergunakannya dana
sendiri untuk membiayai kegiatan eksplorasi dan eksploitasi. Akan tetapi, dengan
makin langkanya dana sendiri (own equity) bagi proyek pengembangan dan eksploitasi
pelepasan hak kekebalan negara dalam KKS migas. Sektor migas dan sektor keuangan
merupakan industri yang dinamis, penuh dengan perubahan, terutama perubahan akibat
makin langkanya dana sendiri untuk membiayai proyek-proyek yang padat modal.
Salah satu contoh juga bekaitan dengan upaya meningkatkan kemampuan swasta
bersangkutan untuk mencari pendanaan dari institusi keuangan di luar negeri untuk
yang terjadi pada JOC dan ESC dalam PLTP, para penyandang dana umumnya
keseimbangan kearah yang lebih menguntungkan bagi pihak pemerintah. Secara umum
Kontrak Bagi Hasil sama dengan kontak-kontrak bisnis lainnya, namun demikian ada
116
keunikan tersendiri mengingat yang menjadi salah satu pihak dalam kontrak adalah
Pemerintah. Apa yang diperlukan oleh Indonesia saat ini adalah memelihara iklim yang
kondusif untuk investasi. Meskipun penerapannya secara mutlak sulit, asas pacta sunt
servanda merupakan hal esensial dalam menciptakan iklim insvetasi yang kondusif ini.
dengan kebijakan di bidang lain demi tercapainya hasil yang optimum. Investor dan
pemerintah harus dapat membina empathy dalam motif dan kedudukan masing-masing
pihak, sehingga sistem bagi hasil dalam industri migas dapat melanjutkan perannya
Dari uraian di muka, hasil penelitian kepustakaan dan kajian atas kegiatan
pengusahaan minyak dan gas bumi di Indonesia dapat dirangkum dengan beberapa
A. Kesimpulan
dalam Kontrak Bagi Hasil, yaitu sebagai salah satu pihak yang berkontrak secara
2). Dengan kedudukan Pemerintah sebagai pihak yang berkontrak dan berdasarkan
2. Saran
1). Dalam mengemban amanat Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan
bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh
berjalan harus selaras dan sinkron dengan tujuan dan sasaran KBH.
117
118
2). Untuk menfasilitasi penerapan pacta sunt servanda, naskah Kontrak Bagi Hasil
dengan memberikan definisi yang lebih jelas terhadap beberapa istilah dan
para pihak dalam hal terjadi perubahan baik yang berasal dari faktor internal
maupun eksternal.
DAFTAR PUSTAKA
Buku-buku:
Friedman, Legal Theory, Stevens & Sons Limited, Fourth edition, 1960.
Ghanem, S.M., OPEC: The rise and fall of an exclusive club, PKI Limited, London,
1986.
Grotius, H., The Law of War and Peace: De Jure Belli et Pacis, 1646 ed., Kelsey,
F.W. trans., Oxford, 1916 – 25, http://tldb.uni-koeln.de/php/pub.
Knowles, Ruth Sheldon, Indonesia Today: The Nation That Helps Itself, Nash
Publishing, Los Angeles, 1973.
Mariam Darus Badrulzaman, et. al, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2001.
Ooi Jin Bee, The Petroleum Resources of Indonesia, Oxford University Press
Kualalumpur, 1982.
Pufendorf, S., The Law of Nature and Nations: De Jure Naturae et Gentium, 1688
ed. Oxford, 1934, TLDB Document ID: 105700, http://tldb.uni-koeln.de/php/pub
119
120
Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekamto, Sendi-sendi Hukum dan Tata Hukum,
Alumni Bandung, 1982
Soedjono Dirdjosisworo, Kontrak Bisnis (Menurut Sistem Civil Law, Common Law
dan Praktek Dagang Internasional), Mandar Maju, Bandung, 2003.
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, Rajawali Pers, Jakarta, 1990.
Untung Sukardji, Pajak Pertambahan Nilai, edisi revisi 2003, cetakan keenam, Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2003.
Yergin, Daniel, The Price, Simon & Schuster, New York, 1991.
Disertasi:
Abas Kartadinata, New PSC – Indonesia: Impact of New Tax Laws and Regulations,
Petroleum Lawyers Luncheon, October 26, 1984.
Energy Law Intellegence, Vol 1, Issue # 02, March 2003, University of Dundee,
http://www.gasandoil.com/ogel/samples/
Anton Tjahjono, Improving Investment Climate for the Gas Industry, Pre
Conference Dialogues # 2, Jakarta, 13 October 2004
Direktorat Jenderal Pajak, Kebijakan PPN di bidang Migas dan Panas Bumi, Pre
Conference Dialogues # 2, Jakarta, 13 October 2004.
Frabikant, Robert, Oil Discovery and Technical Change in Southeast Asia: Legal
Aspects of Production Sharing Contracts in the Indonesian Petroleum Industry,
Institute of Southeast Asian Studies, Singapore, 1973.
Goldman, Berthold, The Applicable Law: General Principles of Law – the Lex
Mercatoria, Lew ed. Contemporary Problems in International Arbitration,
London, 1986, p. 125, TLDB Document ID 112400, diakses dari http://tldb.uni-
koeln.de/php/pub.
Hamel, Eugene, Fiscal and Tax Update – Remarks From Indonesian Petroleum
Association, Pre Conference Dialogues # 2, Jakarta, 13 October 2004
Houtte, Hans, Changed Circumstances and Pacta Sunt Servanda, Gatllard ed.,
Transnational Rules in International Commercial Arbitration, ICC Oubl. Nr.
480, 4, Paris, 1993, p 116, TLDB Document ID 117300, http://tldb.uni-
koeln.de/TLDN html
122
Kinney, B.D., Petroleum Laws and Model Contract Terms: Production Sharing in
China, Oil & Gas Law and Taxation Review, Vol 12 August 1994, Sweet &
Maxwell/ESC Publishing (Oxford UK).
Petroleum Intellegence Weekly, Mc. Graw Hill Publication, New York, 10 June
1963.
Rachmanto Surahmat, PP 35/2004 & Perlakuan PPh Sektor Hulu Migas, Bisnis
Indonesia, 22 November 2004
Kamus
Black, Henry Campbell, Black’s Law Dictionary, 7th ed., West Group, St Paul,
Minnesota, 1999.
J.S. Badudu, Kamus Kata-Kata Serapan Asing Dalam Bahasa Indonesia, Kompas,
Jakarta, 2003.
Kontrak
Contract of Work between P.N. Pertambangan Minyak Indonesia and P.T. Caltex
Pacific Indonesia, 25 September 1963.
Peraturan perundang-undangan:
Undang-undang Nomor 44 Prp Tahun 1960 Tentang Pertambangan Minyak dan Gas
Bumi.
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan
Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.
Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1982 Tentang Kewajiban dan Tata Cara
Penyetoran Pendapatan Pemerintah Dari Hasil Operasi PERTAMINA Sendiri
dan Kontrak Production Sharing.
Peraturan Pemerintah Nomor 144 Tahun 2000 Tentang Jenis Barang Dan Jasa Yang
Tidak Dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.
Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2004 Tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak
dan Gas Bumi.
Keputusan Presiden Tahun 1962 Tentang Pinjaman dan Kredit Berdasarkan Bagi
Hasil.
Keputusan Presiden Nomor 20 Tahun 1963 Tentang Fasilitas Proyek Yang Dibiayai
Dengan Pinjaman Luar Negeri Berdasarkan Bagi Hasil.
Keputusan Presiden Nomor 73 Tahun 1998 tentang Tim Evaluasi Dalam Rangka
Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah serta Proyek dan Kegiatan Kerjasama
Pemerintah dan Swasta di Bidang Infrastruktur.
Konvensi
United Nations Convention on the Law of Treaties, Signed at Vienna 23 May 1969,
Entry into Force: 27 January 1980.
Derains & Associes, Final Award in an Arbitration Procedure Under the Uncitral
Arbitration Rules Karaha Bodas Company v Pertamina and PLN (18 November
2000), www.karahabodas.com/legal/FinalArb.pdf.