You are on page 1of 21

Evaluasi atas kontrak kinerja Juli 16, 2009

Posted by aisonhaji in Manajemen Keuangan Daerah, Manejemen SDM, manajemen kinerja.


Tags: artikel
7 comments
Pada tanggal 16 Januari lalu (tahun 2009 maksudnya), para kepala SKPD/ Unit Kerja di lingkup
Pemerintah kota Surabaya menandatangani kontrak kinerja dengan Walikota. Isinya seru banget,
yaitu janji mereka ke Walikota untuk melaksanakan kegiatan dengan output bla bla bla pada
akhir tahun anggaran dan siap diberikan sanksi jika tidak dapat memenuhi sesuai target. Nah,
karena sekarang bulan juni sudah lewat, berarti atas pelaksanaan semester pertama tahun
anggaran 2009 akan segera dilakukan evaluasi apakah mereka para kepala SKPD/Unit Kerja
sudah berhasil melaksanakan kegiatan sesuai target yang direncanakan selama semester I apa
tidak ?!
Ternyata ketika para kepala SKPD/ Unit Kerja di-ingatkan (reminding) akan ada rapotan (kayak
anak sekolahan saja he he he), tidak terduga grafik progress fisik pelaksanaan pekerjaan yang
ada di aplikasi eControlling langsung naik/ meningkat tajam. Ternyata berkembang rasa malu
jika ntar nilai kinerja (Indeks Prestasi nih kalau jaman sekolah dulu) diumumkan “jeblok”
didepan sesama kolega oleh Walikota disuatu forum. Ternyata juga ketika di-intip di kantor –
kantor SKPD/ Unit Kerja semuanya pada lembur menyelesaikan administrasi penyerapan
keuangan dan mengejar penyelesaian pekerjaan. Wah rupanya tujuan utama melakukan evaluasi
atas kontrak kinerja untuk mengubah budaya kerja dari malas menjadi agak sedikit giat ada
hasilnya juga he he he.
Sebagai bagian dari langkah reformasi birokrasi di Pemerintah Kota Surabaya, pilihan kebijakan
membuat manajemen kinerja secara terpadu ternyata on the track. Bukti bahwa mind set teman
– teman birokrasi mulai bergeser kearah positif adalah banyaknya kepala SKPD/ Unit Kerja yang
bertanya per telpon atau bertandang ke kantor untuk tahu lebih banyak mengenai parameter
yang dipakai untuk menilai kinerja SKPD/Unit Kerja-nya ini . Untungnya sudah ada Surat
Edaran Walikota sebagai dasar untuk jawab. Akhirnya saya dan teman – teman di kantor bisa
memberikan jawaban standar sebagai berikut :
1. Parameter utama atas kinerja SKPD/ Unit Kerja (bobot 90%) adalah keberhasilan mereka
dalam mewujudkan output yang diasumsikan bisa menimbulkan outcome sesuai harapan
program yang ditetapkan oleh Badan Perencanaan. Karena pada tengah tahun belum
semua output dapat diwujudkan maka efektifitas dihitung dengan pendekatan kearah
progress fisik pelaksanaan kegiatan.
2. Parameter lainnya adalah efisiensi. Efisiensi dipandang strategis dijadikan salah satu
parameter adalah dalam rangka menekan/ menghilangkan sikap salah kaprah birokrasi
selama ini yang hanya menekan-kan bahwa yang penting bisa menghabiskan uang/
anggaran untuk output yang dijanjikan. Diharapkan teman-teman birokrat tidak akan lagi
bersikap boros. Parameter ini adalah sebagai penambah dengan bobot +10% terhadap
nilai efektifitas yang sudah diperoleh.
3. Parameter lain adalah konsistensi pelaksanaan terhadap perencanaan. Jika perencanaan
sering diubah – ubah pada saat pelaksanaan maka akan ada proses pengurangan nilai
dengan bobot -10%. Diharapkan dengan adanya parameter ini setahap demi setahap
teman – teman birokrat akan merubah budaya-nya dalam menyiapkan perencanaan
anggaran-nya menjadi lebih hati – hati dan tidak asal plotting.
Well, langkah – langkah yang saya ceritakan tersebut memang hanya upaya dari Pemkot
Surabaya untuk berusaha berubah menjadi lebih baik (me-reformasi diri). Bagaimana kira – kira
hasilnya ? Kita lihat saja, yang penting sudah ada niat dan sudah dicoba dilaksanakan tho ?!,
mudah-mudahan ada hasilnya.
Salam.
Pada Pengadaan Barang/Jasa, jika bagaimana terjadi
kerugian negara ? Desember 7, 2008
Posted by aisonhaji in Manajemen Keuangan Daerah, Manajemen Pengadaan.
Tags: artikel, Manajemen Pengadaan
10 comments
Memang sudah saat-nya kita di jajaran birokrasi bekerja dengan profesional dalam arti bahwa
dalam mengemban tugas – tugas yang diberikan kita senantiasa melaksanakannya berdasarkan
etika, teknis keilmuan terkait pekerjaan yang dilaksanakan serta aturan yang berlaku, pun
termasuk dalam melaksanakan proses pengadaan barang/jasa. Insya Allah kalau ketiga hal ini
kita pegang teguh, maka kekuatiran untuk salah langkah dalam menjalankan tugas atau bayangan
bahwa kita akan terjebak pada situasi tuduhan melakukan korupsi bisa kita minimalkan.
Oleh karena itu, beberapa pengertian – pengertian pokok atas ketiga hal tersebut perlu kita
pahami, misalkan tentang kerugian negara yang menurut para ahli hukum merupakan salah satu
dari 3 hal yang jika terpenuhi bersama – sama akan bisa menjerat seseorang sebagai kategori
koruptor (artinya kalau hanya salah satu atau salah dua, ya mestinya tidak dapat dipakai untuk
menuduh orang telah korupsi). Kita tidak ingin kan dikategorikan koruptor ? Shereeem banget
kalau sampai terjadi dan mudah – mudahan Yang Maha Kuasa senantiasa melindungi kita agar
tidak sampai mengalami seperti itu.
Baiklah, coba kita perhatikan ketiga hal tersebut. Menurut Kepala BPKP Perwakilan Jawa Timur
yang saya kutip dari Koran Jawa Pos disebutkan bahwa Korupsi bisa dituduhkan ke seseorang
jika :
1. Ada Unsur Melawan Hukum;
2. Terjadi Unsur Kerugian Negara; dan
3. Terbukti Memperkaya Diri Sendiri atau Orang Lain/ Korporasi.
Kita tidak akan membahas panjang lebar ketiga hal tersebut, karena itu kompetensi teman –
teman di bidang hukum. Tetapi paling ndak untuk pengadaan barang/jasa dan pengelolaan
keuangan daerah yang menjadi bagian dari tugas kita sehari – hari, saya rasa kita bersama – sama
sudah cukup kompeten untuk mendiskusikannya, paling ndak tentang Kerugian Negara.
Saya kutip pada UU No 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, pasal 1 nomor 22 yang
berbunyi : ”Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang
nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai”.
Ternyata kerugian negara tidak boleh ditafsirkan sendiri. Meskipun di UU Tipikor ada kalimat
kerugian negara, maka definisi operasionalnya harus mengikuti UU yang khusus mengatur
tentang keuangan negara.
Jadi kerugian negara terjadi jika :
1. Ada uang yang seharusnya diterima negara tapi tidak masuk ke kas negara;
2. Terjadi situasi yang mana surat berharga (berarti bisa termasuk sertifikat hak atas tanah
atau aset lain, jaminan bank seperti jaminan pelaksanaan proyek atau sejenisnya atau
mungkin bilyet deposito dan sejenisnya) yang menjadi hak negara dikuasai pihak lain
secara tidak sah atau ternyata tidak bisa di-uang-kan;
3. Kekurangan barang yang seharusnya menjadi hak negara.
Okey, kita mulai fokus ke pengadaan barang/jasa.
Case pertama :
Kapan bisa terjadi ”ada uang yang seharusnya diterima negara tapi tidak masuk ke kas negara”?
Dalam pengadaan khususnya pelaksanaan kontrak, negara berhak memperoleh denda jika terjadi
keterlambatan penyelesaian pekerjaan sesuai kontrak. Jika denda tersebut tidak masuk ke negara
ya bisa dituduh korupsi tuh pejabat yang mempunyai kewenangan untuk nagih denda.
Selanjutnya case kedua :
Kapan terjadi situasi yang mana ”surat berharga yang menjadi hak negara dikuasai pihak lain
secara tidak sah atau ternyata tidak bisa di-uang-kan dalam konteks pengadaan barang/jasa” ?
Menurut Keppres 80/2003, jika peserta lelang mengundurkan diri pada saat pelaksanaan
pemilihan penyedia barang/jasa maka jaminan penawaran menjadi hak negara. Juga pada tahap
pelaksanaan kontrak jika ada wan prestasi dan ada pemutusan kontrak maka jaminan
pelaksanaan juga menjadi milik negara. Kutipan tepat-nya dari Keppres 80/2003 adalah sebagai
berikut :
”… klarifikasi kewajaran harga apabila harga penawaran dinilai terlalu rendah, … maka peserta
lelang tersebut harus bersedia untuk menaikkan jaminan pelaksanaannya menjadi sekurang-
kurangnya persentase jaminan pelaksanaan yang ditetapkan dalam dokumen pemilihan penyedia
barang/jasa dikalikan 80% (delapan puluh persen) HPS, bilamana ditunjuk sebagai pemenang
lelang. Dalam hal peserta lelang yang bersangkutan tidak bersedia menambah nilai jaminan
pelaksanaannya, maka penawarannya dapat digugurkan dan jaminan penawarannya disita untuk
negara ..”.
Lalu ada lagi yang bisa saya kutip :
” … Apabila yang bersangkutan mengundurkan diri dan masa penawarannya masih berlaku
maka pengunduran diri tersebut hanya dapat dilakukan berdasarkan alasan yang dapat diterima
secara obyektif oleh pengguna barang/jasa, dengan ketentuan bahwa jaminan penawaran peserta
lelang yang bersangkutan dicairkan dan disetorkan pada Kas Negara/Daerah.”
Dan ada lagi :
” … Terhadap penyedia barang/jasa yang ditetapkan sebagai pelaksana pekerjaan mengundurkan
diri dengan alasan yang tidak dapat diterima dan masa penawarannya masih berlaku, disamping
jaminan penawaran yang bersangkutan dicairkan dan disetorkan pada Kas Negara/Daerah.”
Disamping itu di pasal 35 Keppres 80/2003 dinyatakan :
”Pemutusan kontrak yang disebabkan oleh kelalaian penyedia barang/jasa dikenakan sanksi
sesuai yang ditetapkan dalam kontrak berupa :
a. jaminan pelaksanaan menjadi milik negara;
b. sisa uang muka harus dilunasi oleh penyedia barang/jasa;
c. membayar denda dan ganti rugi kepada negara”
Terakhir case ketiga :
Kapan terjadi kekurangan barang yang seharusnya menjadi hak negara dalam konteks pengadaan
? Menurut saya, jika dalam kontrak pengadaan sudah disepakati harga sekian rupiah akan
dibayarkan kepada penyedia barang/jasa dengan sekian output sudah di-deliver kepada pemelik
pekerjaan (misalkan 10 mesin jahit atau 1000 meter persegi jalan paving K-350), maka jika
output tersebut secara kuantitas tidak memenuhi ketentuan dalam kontrak dan pemilik pekerjaan
(PPKm) tetap membayar penuh, dapat dipastikan negara dirugikan.
Pertanyaan lanjutan, bagaimana jika output di-deliver dengan kuantitas sesuai kontrak tapi
kualitas (spesfikasi teknis) tidak memenuhi dan PPKm tetap membayar penuh ? Ya ini juga
terjadi kerugian negara.
Pertanyaan terakhir : bagaimana jika saat pekerjaan dilaksanakan (khususnya fisik konstruksi)
ditemukan spesifikasi teknis tidak memenuhi dan pembayaran masih belum dibayar penuh,
apakah disini juga terjadi unsur kerugian negara ?
Menurut yang saya ketahui dari Keppres 80/2003, jika pekerjaan belum di-serahterima-kan ya
berarti PPKm masih bisa meminta kepada penyedia barang/jasa untuk memenuhi spesifikasi
teknis yang diminta dalam kontrak sebelum menyelesaikan pembayaran yang diminta.
Petikan kalimat di keppres 80/2003 pasal 36 ayat (2) sebagai berikut : ”Pengguna barang/jasa
melakukan penilaian terhadap hasil pekerjaan yang telah diselesaikan, baik secara sebagian atau
seluruh pekerjaan, dan menugaskan penyedia barang/jasa untuk memperbaiki dan/atau
melengkapi kekurangan pekerjaan sebagaimana yang disyaratkan dalam kontrak”.
Jadi mestinya ndak bisa suatu proyek konstruksi ditengah jalan harus berhenti karena PPKm dan
kontraktor ditahan gara – gara tuduhan korupsi karena ditemukan spesifikasi teknis yang belum
dipenuhi oleh rekanan/ kontraktor. Yang mungkin terjadi bila fisik telah selesai 100% dan uang
sudah dibayar 100% pula, daaan …. ditemukan spesifikasi teknis tidak sesuai kontrak. Ini
barangkali bisa kena tuduhan kerugian negara …
Sementara itu postingan kali ini, mungkin ada yang tidak sependapat dengan pemikiran saya ya
ndak apa – apa kan ?!
Salam.
Tentang kontrak multi years Desember 3, 2008
Posted by aisonhaji in Manajemen Keuangan Daerah, Manajemen Pengadaan.
Tags: artikel, Manajemen Keuangan Daerah, Manajemen Pengadaan
23 comments
Sudah lama banget tidak posting ke blog, disela – sela waktu kerja bisanya cuma buka – buka
blog untuk jawab komentar yang masuk dari postingan terdahulu. Dan ada salah satu komentar
yang nanyakan hal ikhwal tentang kontrak multi years karena di pemdanya tidak pernah
melakukan. Jadi saya coba untuk kali ini sedikit membahas tentang hal tersebut karena saya
tahunya juga sedikit he he he.
Menurut Keppres 80/2003 pasal 30 ayat (8) disebutkan bahwa ”kontrak tahun jamak adalah
kontrak pelaksanaan pekerjaan yang mengikat dana anggaran untuk masa lebih dari 1 (satu)
tahun anggaran yang dilakukan atas persetujuan oleh Menteri Keuangan
untuk pengadaan yang dibiayai APBN, Gubernur untuk pengadaan yang dibiayai APBD
Propinsi, Bupati/Walikota untuk pengadaan yang dibiayai APBD Kabupaten/Kota”.
Jadi kontrak ini harus mendapatkan persetujuan Kepala Daerah dulu sebelum ditandatagani.
Mestinya sebelum proses pengadaan dilakukan yang mana dokumen pemilihan penyedia
barang/jasa harus sudah menyebutkan draf kontrak, maka persetujuan ini sepertinya jauh – jauh
hari sebelum proses pengadaan dilakukan harus mendapatkan ijin dari Kepala Daerah (KDH).
Pertanyaan sebenarnya adalah mengapa perlu persetujuan dari KDH dulu ? Dari kajian regulasi
(kebetulan di kelompok aturan perundang-undangan tentang pengelolaan keuangan belum
ditemukan pasal ataupun penjelasan tentang kontrak multi years ini) disimpulkan bahwa secara
admnistratif sebenarnya proses pelaksanaan anggaran (termasuk dialamnya adalah pengadaan
barang/jasa) adalah ”tahunan”. Nah jika harus multi tahun maka KDH harus tahu dan setuju,
karena Beliau-lah nanti yang akan memperjuangkan agar alokasi sesuai kebutuhan per tahun
anggaran dapat tercantum di APBD.
Satu hal lain yang perlu dicermati adalah masalah komitmen DPRD yang harus dijaga agar
dibeberapa tahun kedepan peng-alokasi-an anggaran yang dibutuhkan untuk pembayaran atas
pelaksanaan kontrak multi tahun tersebut tidak terganjal ditengah jalan. Beberapa langkah bisa
ditempuh diantaranya dengan menyepakati-nya di RPJMD atau KUA.
Tentang pembuatan kontrak setelah proses pemilihan penyedia barang/jasa selesai, setahu saya
dibuat kontrak (beberapa orang ada yang menyebutnya sebagai kontrak induk) yang nilainya
sebesar total proyek yang dilelang. Kemudian untuk memudahkan pengendalian pelaksanaan dan
pembayaran oleh PPKm (pejabat pembuat komitmen), maka ada yang membuat kontrak anak di
tiap tahun anggaran dengan nilai sebesar alokasi anggaran per tahun yang ada di Perda APBD.
Sementara segini dulu postingan yang bisa saya tulis, mudah-mudahan bisa menjadi bahan
diskusi yang menarik.
Salam.
Masa berlaku kontrak pengadaan barang/jasa Agustus 27,
2008
Posted by aisonhaji in Manajemen Keuangan Daerah, Manajemen Pengadaan.
Tags: artikel, Manajemen Keuangan Daerah, Manajemen Pengadaan
add a comment
Dear,
ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan dalam penyusunan kontrak pengadaan barang/jasa
yang dibiayai dari APBD yang didasarkan atas peraturan perundang-undangan tentang keuangan
neagra/daerah dan pengadaan barang/jasa diantaranya sebagai berikut :
1. Bahwa kontrak pengadaan barang/jasa yang sifatnya tahun tunggal (tidak dibiayai dengan
APBD dari lebih dari 1 tahun anggaran=tahun jamak/ multiyears) harus berakhir di
tanggal 30 desember tahun anggaran berjalan;
2. Lha kalau kontrak dimulai pada bulan agustus karena lelang ulang beberapa kali kena
sanggahan atau karena kurang peminat bagaimana ? dan rencana kontrak sesuai RKS
awal butuh waktu penyelesaian 8 bulan ?! ya mestinya kontraknya disesuaikan
volumenya atau di-reschedule agar selesai 30 desember (akibatnya nilai kontrak bisa
berkurang kalau volumenya harus dikurangi atau bisa tetap kalau di-rescheduling ->
meskipun akhirnya menambah jumlah jam orang yang kerja);
3. Kalau penyedia barang/jasa pemenang kontrak tidak bisa selesaikan pekerjaan di 30
desember bukan atas alasan keadaan kahar/ force majeur bagaimana ? ya tentunya
pekerjaan akan diputus sepihak atas dasar aturan yang ada (permendagri 59/2007) dan
penyedia dibayar sesuai volume pekerjaan terpasang di lapangan. Trus bagaimana sisa
pekerjaan yang ada ? Pekerjaan sisa di tahun berikutnya ya dilelang kalau nilai-nya >50
juta. Apa tidak bisa ditunjuk langsung saja kepada penyedia terdahulu ? Tentunya
putusnya pekerjaan oleh penyedia barang/jasa lama adalah karena wan prestasi (tidak
bisa menyelesaikan pekerjaan sesuai kontrak yaitu 30 desember), maka wajarnya Pejabat
Pembuat Komitmen (PPKm) akan berpikir berkali – kali kalau menunjuk lagi penyedia
jasa tersebut;
4. Pada saat perubahan APBD diusahakan tidak mengajukan usulan berupa belanja barang
modal yang diperkirakan tidak selesai di tanggal 30 desember, terutama pekerjaan fisik
konstruksi;
Barangkali itu beberapa hal penting tentang masa berlakunya kontrak. Tentunya kalau ditemukan
sesuatu yang salah maka postingan ini akan saya edit (kayak redaksi surat keputusan saja ya he
he he).
Salam.
Hal ikhwal tentang Perubahan APBD Juli 25, 2008
Posted by aisonhaji in Manajemen Keuangan Daerah, Manajemen Pemerintahan.
Tags: artikel
14 comments
Hari – hari ini pasti di beberapa kota/kabupaten pasti sedang disibukkan dengan penyusunan
APBD TA 2009 dan Perubahan APBD TA 2008. Lho apa itu perubahan APBD ? samakah
dengan revisi APBN yang sering ditulis dikoran – koran ? Bilamanakah boleh dilakukan
perubahan APBD ? apa saja sih syarat-nya ?
Menurut Permendagri 13/2006 jo Permendagri 59/2007 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan
Daerah disebutkan tentang hal ikhwal perubahan APBD yang secara garis besar disebutkan
bahwa syarat perubahan APBD jika asumsi Kebijakan Umum Anggaran (KUA) seperti proyeksi
pendapatan daerah, alokasi belanja daerah, sumber dan penggunaan pembiayaan yang semula
ada di KUA perlu dirubah.
Sedangkan hal-hal lain yang perlu mendapatkan perhatian jika SKPD tertentu mengajukan
Perubahan APBD antara lain :
1. Pengajuan perubahan tersebut masih sesuai dengan tolok ukur kegiatan yang menjadi
target kegiatan semula;
2. Progress pelaksanaan kegiatan/ capaian ouput serta penyerapan anggaran pada saat
mengajukan tambahan anggaran harus menunjukkan prestasi yang menggembirakan.
Tidak elok kalau progress penyerapan masih 8% di bulan juli kemudian mengajukan
tambahan anggaran yang besar. Jelas performa APBD diakhir tahun akan jeblog karena
anggaran yang tidak terserap akan besar;
3. Jika toh progress penyerapan demikian bagusnya, diusahakan keluaran dari tambahan
anggaran baru harus selesai pada akhir bulan desember. Jangan sampai terjadi kegiatan
yang tidak selesai gara – gara ada tambahan anggaran dan terpaksa harus ada DPA-
Lanjutan di tahun berikutnya;
4. Jadi tidak dibolehkan ada tambahan anggaran pada saat perubahan APBD yang kemudian
terjadi kontrak atas anggaran tersebut dengan masa berlaku kontrak melebihi akhir
desember tahun berjalan. Kecuali karena satu dan lain hal yang sifatnya KAHAR (Force
Majeur) sehingga kontrak yang semula berakhir desember kemudian molor sampai di
tahun berikutnya;
5. Oleh karena itu biasanya proyek – proyek fisik berskala besar seyogjanya tidak diplot-
kan di saat perubahan APBD karena takut penyerapan keuangan-nya tidak lancar dan
banyak sisa anggaran tidak termanfaatkan;
6. Eee … eeeh apalagi ya ?!
Yaah cuma itu yang saya ingat. Kapan – kapan kalau ada yang ingat akan saya tambahkan di
postingan ini. OKey atas perhatian dan perkenan membaca tulisan ini saya sampaikan terima
kasih.
Salam.
Inovasi Sistem Pengadaan untuk Transparansi dan Efisiensi.
Juli 12, 2008
Posted by aisonhaji in Manajemen Keuangan Daerah, Manajemen Pemerintahan, Manajemen
Pengadaan, eGov.
Tags: artikel, internet, teknologi informasi
9 comments
Di-ingatkan teman kok sekarang jarang nge-post, maka saya post saja makalah saya saat
diundang jadi pembicara pada acara di jakarta tentang pengadaan yang diadakan Bappenas dan
ADB karena isinya masih sangat relevan. Makalah tersebut tentang Inovasi sistem pengadaan
untuk transparansi dan efisiensi.
A. Latar Belakang
Salah satu unsur untuk mewujudkan Good Governance di era reformasi adalah keterbukaan
atau transparansi dalam pemerintahan, oleh karena itu diperlukan adanya inovasi dan ide-ide
baru yang dalam proses penerapannya tidak menyalahi aturan-aturan yang berlaku. Tantangan
untuk mewujudkan inovasi tersebut adalah dengan memanfaatkan kehadiran teknologi informasi
yang berbasis internet.
Dewasa ini hampir sebagian besar institusi pemerintah di pusat maupun
di daerah mengaplikasikan teknologi informasi tersebut dengan membangun
berbagai portal (website) dengan tampilan beragam dan menyediakan
berbagai informasi yang berkaitan dengan tugas dan fungsi dari institusi
yang bersangkutan. Hal yang demikian dikenal sebagai e-Government, yang
diharapkan dapat mendorong terjadinya reformasi dalam penyelenggaraan
pemerintahan di mana transparansi kebijakan dan pelaksanaan otonomi
daerah akan makin mudah dikelola dan diawasi
Salah satu bentuk penerapan dari e-Government adalah e-Procurement atau e-Tendering yang
merupakan wujud hubungan government-to-bussiness (G2B) dari pemasok/ penyedia barang/jasa
ke Instansi Pemerintah melalui internet dan wujud hubungan citizen-to-government (C2G) yang
mana masyarakat mendapatkan akses untuk memantau proses pengadaan barang yang dilakukan
oleh Instansi Pemerintah. Lewat internet ini, mekanisme pengadaan barang dan jasa dapat
dilakukan secara on-line (real time). Sebagai bentuk generasi terbaru dari Supply Chain
Management (SCM) atau biasa dikenal dengan istilah collaboration commerce, e-Procurement
merupakan salah satu media yang sangat efektif untuk menekan pembiayaan proses lelang baik
dari sisi penyedia barang/jasa maupun Instansi Pemerintah sebagai pengguna barang/jasa.
Pemerintah Kota Surabaya dalam upayanya mewujudkan Good Governance, sejak tahun
2003 telah membangun sistem berbasis portal yang digunakan untuk prakualifikasi lelang
dengan serentak secara on-line (www.lelangserentak.com). Seiring dengan diberlakukannya
Keppres 80/2003, pada akhir tahun 2003 sistem tersebut dikembangkan lebih lanjut menjadi e-
Procurement dengan alamat portal www.surabaya-eproc.or.id yang digunakan untuk proses
pelelangan secara penuh (mulai pendaftaran sampai dengan pengumuman pemenang) di Tahun
Anggaran 2004 dan Tahun Anggaran 2005 ini.
Pengalaman menunjukkan bahwa ternyata tidak mudah menerapkan/ implementasikan sistem
lelang serentak. Perubahan yang dicanangkan ternyata pada awalnya tidak semulus yang diduga.
Sekalipun banyak dukungan publik terhadap pelaksanaan e-procurement, tetapi juga terdapat
pihak yang berkeberatan. Namun dengan niatan untuk mewujudkan transparansi, maka program
ini terus dikembangkan.
B. Dasar Hukum
Langkah mengembangkan program ini tentu didasari landasan hukum yang kuat. Hal ini
dilakukan agar gagasan menuju kea rah yang lebih baik dapat dipertanggungjawabkan secara
yuridis. Secara hukum, landasan yang dipakai adalah:
1. UU Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi;
2. PP Nomor 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi;
3. Keppres Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
yang telah diubah ke-empat kalinya dengan Perpres Nomor 8 Tahun 2006;
4. Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi;
5. Peraturan Walikota Surabaya Nomor 50 Tahun 2004 tentang Pedoman Pelaksanaan
Pengadaan Barang/Jasa secara Elektronik (eProcurement), yang kemudian tiap tahun
diubah mengikuti peraturan perundang-undangan yang ada.
C. Konsep Dasar Implementasi
Tahun 2003, konsep ini mulai dilaksanakan. Jika sebelumnya proses lelang proyej
dilakukan secara manual, maka tahun itu dilaksanakanlah lelang serentak melalui media
elektronik (internet). Pelaksanaannya masih terbatas, hanya pada prose pra-kualifikasi saja.
Dari proses ini diperoleh pelelang-pelelang yang berkualitas, karena telah melewati seleksi.
Selanjutnya, sejak tahun 2004 (setelah belajar dari pengalaman tahun sebelumnya) proses
pengadaan barang/jasa dilaksanakan secara elektronik (eProcurement) secara menyeluruh.
Artinya, mulai tahapan pengumuman lelang sampai dengan pengumuman pemenang lelang
dilakukan melalui internet (secara online) melalui portal eProcurement. Pelaksanaan ini
berlangsung seterusnya dengan perbaikan di berbagai lini hingga sekarang ini (tahun 2006).
Dengan menggunakan sistem eProcurement, panitia pengadaan menyiapkan data dan
dokumen pelengkap (OE, RKS, gambar, dsb) kemudian diupload ke portal eProcurement,
yang nantinya dokumen pelengkap tersebut akan dapat didownload (diambil) oleh penyedia
barang/jasa melalui portal eProcurement juga, tanpa harus dating ke panitia pengadaan untuk
meminta dokumen pelengkap paket pekerjaan yang dilelang. Setelah lelang diumumkan,
maka panitia pengadaan melaksanakan aanwijzing, pembukaan sampul penawaran, proses
evaluasi (administrasi, teknis, kewajaran harga dan kualifikasi) serta usulan calon pemenang
ke PPK melalui portal eProcurement pada menu aplikasi panitia pengadaan. Kemudian
pemenang ditetapkan oleh PPK berdasarkan hasil evaluasi panitia pengadaan, pada menu
aplikasi PPK.
Dalam mewujudkan kelancaran proses pengadaan barang/jasa secara elektronik
(eProcurement) perlu dibentuk sekretariat layanan eProcurement yang berfungsi sebagai
admin sistem informasi dan fasilitator para user / stake holder (PPK-panitia pengadaan-
penyedia barang/jasa) eProcurement.
Pada pelaksanaannya, pengadaan barang/jasa secara eProcurement telah mengcover
tahapan-tahapan sesuai aturan yang ada. Mulai pengumuman lelang, pemilihan paket
pekerjaan, aanwijzing, pembukaan sampul penawaran sampai dengan penetapan pemenang
telah berdasar pada range-range waktu yang ada pada peraturan perundang-undangan yang
menjadi dasar pelaksanaan sistem eProcurement.
Setelah lelang berjalan, penyedia barang/jasa melakukan proses penawaran, kemudian
panitia pengadaan melakukan evaluasi sampai dengan mendapatkan calon pemenang yang
dilaporkan kepada PPK untuk selanjutnya PPK menetapkan pemenang melalui portal
eProcurement juga.
Apabila tahapan lelang sudah pada pengumuman pemenang, maka hasil dari pelaksanaan
lelang dapat dilihat oleh semua masyarakat luas. Sehingga pada tahapan pelaksanaan
pekerjaan yang dilelang, seluruh lapisan masyarakat dapat ikut serta mengawasi hasil
pelaksanaannya.
D. Teknis Operasional Implementasi
1. Pembentukan Sekretariat Layanan dan Penyusunan SOP
Sebagai bagian dari stakeholder / pihak-pihak yang terkait dan berkepentingan
dengan pelaksanaan lelang secara elektronik (e-Procurement), Sekretariat Layanan e-
Procurement sangat mutlak dibutuhkan.
Keberadaan Sekretariat Layanan e-Procurement sangat diperlukan dengan maksud
antara lain :
a) Menjadi pusat rujukan informasi atas hal ikhwal terkait teknis operasional berbagai
pihak terkait pelaksanaan lelang secara elektronik ;
b) Menjadi pihak yang mengelolah data base dan sistem informasi e-Procurement yang
dipakai dalam proses pelelangan ;
c) Menjadi fasilitator dan mediator antar pihak yang berkepentingan dalam proses lelang
jika terjadi perselisihan pendapat atau perbedaan persepsi mengenai teknis
operasional pelaksanaan lelang secara elektronik ;
Dengan adanya maksud didirikannya Sekretariat Layanan e-Procurement tersebut
diharapkan dapat dicapai tujuan lebih jauh antara lain :
a) Ter-eliminasi-nya permasalahan lapangan pada saat pelaksanaan lelang secara
elektronik ;
b) Pemercepatan implementasi pelaksanaan e-Procurement yang terintegrasi secara
nasional ;
Dalam tugas menjadi fasilitator user/stake holder terkait pelaksanaan eProcurement,
sekretariat layanan eProcurement menyusun Stándar Operasional Prosedur, yang antara
lain mengatur tentang :
a) Pelaksanaan lelang online;
b) Perubahan data lelang sebelum diumumkan;
c) Perubahan data lelang setelah diumumkan;
d) Pembatalan data lelang sebelum diumumkan;
e) Pembatalan data lelang setelah diumumkan.
2. Standarisasi Layanan
Sesuai dengan maksud dan tujuan dibentuknya Sekretariat Layanan e-Procurement yang
pada tugas pokoknya adalah bertugas memberikan layanan kepada pengguna (user) e-
Procurement, maka Sekretariat Layanan e-Procurement ditargetkan untuk mempunyai
standar mutu pelayanan sesuai standar internasional, yaitu Standar Manajemen Mutu ISO
9001:2000. Tujuan penerapan SMM ISO 9001:2000 adalah :
a) Meraih kepuasan pelayanan yang prima serta memenuhi semua peraturan yang berlaku
melalui penerapan sistem yang efektif, termasuk didalamnya untuk selalu melakukan
perbaikan berkelanjutan terhadap sistem serta jaminan kepuasan pelayanan yang
prima dan pemenuhan terhadap peraturan yang berlaku tersebut.
b) Memelihara dan menerapkan sistem yang memenuhi persyaratan standar internasional
Sistem Manajemen Mutu 9001:2000
c) Peningkatan kelancaran sistem pelayanan di e-Procurement
3. Pengendalian Keamanan Sistem eProcurement
e-Procurement merupakan sistem informasi tender berbasis IT, oleh karenanya keamanan
sistem e-Procurement harus dikendalikan sesuai dengan standar dan menjamin
kerahasiaan data. Proses pengendalian keamanan sistem e-Procurement antara lain :
a) Sertifikasi ISO 27001:2005 untuk menjamin kerahasiaan semua dokumen dan data
base e-Procurement.
b) Enkripsi data penawaran 128 byte dengan menggunakan 2 key password yang dibuat
oleh sistem.
c) Enkripsi password user 1 arah (sehingga tidak dapat di dekripsi).
d) Operating system e-Procurement menggunakan Linux.
e) Disaster Recovery, terdiri atas :
• Collocation;
• Replikasi data;
• Ruang backup;
• SSL (Secure Socket Layer).
E. Hasil Yang Telah Dicapai
Dengan penerapan eProcurement ini diperoleh hasil – hasil antara lain :
1. Penghematan :
• Kompetisi penawaran : Pemerintah Kota mendapatkan penghematan anggaran belanja
sampai dengan 25 % dari rencana semula. Penghematan ini diperoleh melalui
efesiensi karena kompetisi penawaran yang sehat dari para peserta lelang.
• Paperless : Sebesar tidak kurang dari 80% biaya pengadaan kertas kerja dan
pemenuhan persyaratan serta penggandaan dokumen lelang dapat dihemat dengan
sistem ini.
2. Percepatan Pelayanan :
• Pemenuhan target kinerja pelayanan : Dengan sistem Anggaran Berbasis Kinerja,
penghematan anggaran dapat direalisasikan untuk penambahan target kinerja, misal :
dari target sejumlah 100 unit kelas bangku sekolah menjadi 300 unit kelas bangku
sekolah, demikian juga jalan, saluran dsb. Sehingga target pelayanan dapat dipercepat
dan diperbanyak.
• Percepatan realisasi barang/jasa : Karena jadwal disetting dengan tepat maka
realisasi penyelesaian proyek pengadaan barang / jasa dapat diwujudkan diawal atau
tengah tahun.
3. Memperoleh award :
• Jawa Pos Institute of Pro-Otonomi dalam kategori Region in a Leading Profile on
Public Accountability pada 28 April 2004 ;
• eGovernment Award dari Majalah Warta Ekonomi pada tahun 2004
• Jawa Pos Institute of Pro-Otonomi dalam kategori Region in a Leading Profile on
Public Accountability pada 4 Mei 2005;
• eGovernment Award dari Majalah Warta Ekonomi pada tahun 2007
4. Terhindar dari tuduhan KKN : Panitia pengadaan dan jajaran pengguna anggaran akan
terhindar dari tuduhan KKN karena seluruh proses dilaksanakan secara transparan.
5. Menyediakan kesempatan kerja : Bagi penyedia barang/jasa kategori kecil dan
menengah tersedia kesempatan pekerjaan yang sangat luas. Lebih dari 91 % paket
pekerjaan disediakan untuk perusahaan kecil dan menengah. Disamping itu perusahaan
kategori kecil – 2 yang secara permodalan lebih rendah dibanding dengan perusahaan
kecil -1 dapat memenangkan jumlah paket pekerjaan dan nilai paket pekerjaan lebih
banyak dalam persaingan memperebutkan pekerjaan kategori kecil (nilai proyek < 1
Milyar).
F. Pengembangan Sistem e-Procurement
1. Supplemen system
a) eSourcing sebagai katalog elektronik, rujukan standar teknis barang/jasa publik bagi
para user, salah satu source harga pasar u/ OE (dikembangkan dgn prinsip Supply
Chain Management – SCM);
b) m-Procurement, sebagai pemenuhan life style para user yang mempunyai mobilitas
tinggi;
c) Help Desk application, sebagai panduan bagi semua user untuk menggunakan aplikasi
eProc;
d) IKP (Infrastruktur Kunci Publik), sebagai tools untuk pendukung transaksi elektronik ;
2. Kolaborasi Pembangunan Sistem Pengadaan Nasional
Dalam rangka mewujudkan pelaksanaan eProcurement yang terintegrasi, sebenarnya
dapat dikembangkan kolaborasi antar instansi yang kompeten dibidang masing – masing
dengan koordinasi Bappenas untuk mengembangkan layanan eProcurement secara
nasional. Untuk itu Pemerintah Kota Surabaya akan mendudukkan diri pada garda
terdepan untuk mendukung upaya ini.
G. Persepsi Stakeholder dan Ekspektasi Publik
Stakeholdres adalah pihak yang memetik manfaat dari proses lelang proyek Pemerintah
Kota Surabaya. Mereka adalah yang sering disebut rekanan. Pada awalnya, mereka
memberikan reaksi keras atas keberadaan program lelenag serentak melalui system
elektronik ini. Tetapi, setelah memasuki tahun ke-3, pandangan mereka berubah. Survey
yang dilakukan Pusat Kajian Komunikasi (Puskakom) Universtas Airlangga (2006)
menunjukkan bahwa stakeholders sudah ”familiar” dengan sistem on-line tersebut.
Dalam survey juga terungkap tentang pandangan positif terhadap pencitraan Pemkot
Surabaya. Berbagai dukungan dari masyarakat, akademisi dan media massa terus
berdatangan. Ini berarti harapan/ ekspektasi publik terhadap praktek-praktek kecurangan
harus dikikis bisa dibuktikan oleh pemerintah.
Sekalipun demikian, masih terdapat kendala yang masih harus diperbaiki. Dalam survey
juga masih memperlihatkan bahwa pada level SKPD, bebrapa pimpinan masih memerlukan
peningkatan kemampuan menahami falsafah transparansi dan mempraktekkan sistem on-line
ini.
Media massa di Surabaya cukup kuat mengawasi pelaksanaan program e-Procurement ini.
Dalam berbagai artikel, mereka mengupas tuntas pelaksanaan program ini. Tak jarang media
massa juga mengkritisi kelemahan sistem ini, meski secara umum mereka juga sangat membantu
dalam pempublikasian program ini. Bahkan, dari survey menunjukkan bahwa 18% para
stakeholder menyatakan memperoleh informasi program e-procurement dari media massa.
Harus diakui bahwa dalam waktu 3 tahun ternyata masih banyak kekurangan yang harus
dibenahi. Kritikan terhadap aspek isi atau tampilan e-procurement terus dibenahi. Kecepatan
teknologi informasi menjadikan para aparat Pemkot terus menyesuaikan diri. Untuk
mengimbangi percepatan pengetahuan itu, Pemkot juga merekrut orang-orang khusus yang
memiliki ketrampilan TI.Ke depan, Pemkot terus akan membenahi sistem e-procurement dan
berusaha terus menerus mengkomunikasikan sistem ini kepada masyarakat. Melalui seminar,
workshop dan publikasi massa, dilakukan penyebaran informasi e-procurement. Tujuannya satu,
agar transparansi sebagai roh terwujudnya pemerintahan bersih dapat terwujud. Membuat
perubahan ke arah lebih baik memang memerlukan komitmen besar, memerlukan waktu dan
tentu memerlukan dukungan dari semua pihak. Mulai harus meyakinkan roh transparansi kepada
internal jajaran Pemkot, memberikan bekal ketrampilan pada aparat, menjelaskan kepada
stakeholders, hingga menjelaskan kepada publik (juga media) tentunya memerlukan komitmen
besar dari penyelenggara e-procurement. Kami semua (penyelenggara) meyakini, bahwa niat
yang baik jika dikerjakan dengan kesungguhan pastilah akan membawa hasil yang baik pula.
Tidak mudah memang, tapi program untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih rasanya wajib
dijalankan.
Salam
Harus Hati – Hati Mengelola APBD, Banyak Aturan dari
Departemen Yang Ditengarai Kurang Pas di Daerah. Juli 8,
2008
Posted by aisonhaji in Manajemen Keuangan Daerah, Manajemen Pemerintahan.
Tags: artikel
6 comments
Saya baca berita di Kompas terbitan Selasa 8 Juli 2008 halaman 18 dengan judul ”Bantuan
Sosial Tak Cair, Jika Kemennegkop Tetap Mencairkan akan Jadi Bahan Teman BPK”. Ada
silang pendapat antara pejabat dari Depkeu dan Kemennegkop dalam berita itu. Dari Depkeu
bersikeras bahwa dana bantuan sosial yang nantinya oleh kemennegkop akan diberikan secara
cuma – cuma kepada UKM tanpa pengendalian akan disemprit oleh BPK. Tampaknya pihak –
pihak di kementerian tetap ngotot bahwa mekanisme tersebut tetap jalan terus.
Dari berita tersebut saya tergerak untuk meng-informasikan kepada teman – teman sesama aparat
Pemda yang bisa kena imbas kurang sinkron-nya departemen diantaranya :
1. Kita sudah harus mengikuti garis besar aturan perundang – undangan keuangan negara
yaitu UU Nomor 17/2003 tentang Keuangan Negara dan UU Nomor 1/2004 tentang
Perbendaharaan Negara yang kemudian khusus untuk Pemda diturunkan aturan
dibawahnya yaitu PP 58/2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dan Permendagri
13/2006 dan Permendagri 59/2007 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah;
2. BPK dalam mengaudit APBD bersikeras menggunakan aturan – aturan sebagaimana butir
1 tersebut dengan kacamata PP 24/2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan;
3. Pemda sering mendapatkan kucuran dana dari APBN yang harus masuk ke APBD dulu
maupun yang langsung (ditunjuk instansi/satker guna ”di-amanatkan” mengelola dana
tersebut);
4. Dalam prakteknya juknis dari departemen induk di jakarta sering tidak sinkron dengan
aturan – aturan sebagaimana butir 1. Seperti Jamkesmas dari Departemen Kesehatan yang
langsung masuk ke rumah sakit daerah dengan pertimbangan kecepatan pelayanan yang
menurut BPK dianggap berbenturan dengan aturan masalah keuangan daerah.
5. Belakangan Depdagri menerbitkan Permendagri Nomor 32/2008 tentang Petunjuk
Penyusunan APBD TA 2009 yang senafas dengan pendapat BPK. Sehingga mau tidak
mau berbagai dana pusat seperti BOS, Dana – Dana dari DAK dan lain – lain termasuk
jamkesmas harus ikuti permendagri tersebut. Akan tetapi departemen – departemen
teknis tidak juga menunjukkan gelagat menyesuaikan juknis/juklak-nya. Alamaaak ! jika
dana tersebut ditolak maka masyarakat akan kehilangan layanan dasar yang biasa mereka
dapatkan, tapi kalau dana tersebut diteruskan untuk digunakan maka kita sebagai aparat
pemda bisa kena semprit lebih keras. Lebih keras ? Lha iya lah !!! temuan BPK sering
kali dipakai dasar penyidikan oleh bapak – bapak penyidik untuk menemukan indikasi
KKN.
Terus bagaimana dong ? mau berbuat baik untuk cari pahala saat bekerja saja kok resiko-nya
gede banget, ancaman masuk bui terngiang – ngiang terus di telinga (aduuuh seraaaam). Yaah
postingan kali ini bisa dianggap informasi buat teman – teman di daerah agar lebih berhati – hati
sekaligus sebagai bentuk curhat, barangkali menjadi perhatian para pejabat di jakarta yang
kebetulan suka nge-net atau stafnya yang suka nge-net buat laporan ke bos- bosnya atas kondisi
riel di daerah dan memberikan telaah tentang solusinya.
Okey, sementara segitu dulu, mau baca lagi permendagri terbaru tadi dan mau nanyak – nanyak
dulu sama yang buat agar tidak salah persepsi dan yang penting ndak sampai salah langkah yang
ujungnya bisa guaaawat (oalaah rek – rek ! mau kerja bener saja kok sulit banget).
Salam.
Renumerasi buat PNS daerah dengan tambahan
penghasilan sebagai bentuk tunjangan kesejahteraan Juli 6,
2008
Posted by aisonhaji in Manajemen Keuangan Daerah, Manajemen Pemerintahan, Manejemen
SDM.
Tags: artikel
34 comments
Tulisan ini merupakan perbaikan pertama karena mendapat komentar Mbak Dhita
dengan istilah ”Ndak Jelas”. Tulisan awal saya replace dengan tulisan perbaikan ini.
Barangkali kalau nantinya mendapat komentar lagi yang lebih spesifik berupa masukan
– masukan bahasan, maka dengan senang hati akan saya perbaiki lagi (kedua, ketiga
atau seterusnya). Bahasan ini tentang renumerasi bagi PNS.
KERANGKA REGULASI DAN TEORI TENTANG PEMBERIAN TAMBAHAN
PENGHASILAN BAGI PNS
Dalam rangka meningkatan kesejahteraan pegawai maka Pemerintah Daerah dapat
memberikan tambahan penghasilan kepada pegawai berdasarkan ketentuan dalam
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan
Keuangan Daerah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 59 Tahun 2007. Dalam Pasal 39 Peraturan Menteri Dalam Negeri dimaksud
dinyatakan bahwa pemberian tambahan penghasilan kepada pegawai dapat diberikan
berdasarkan beban kerja, prestasi kerja, kelangkaan profesi serta pertimbangan objektif
lainnya.
Diantara berbagai dasar pemberian tambahan penghasilan, tambahan renumerasi
atas dasar beban kerja dan prestasi kerja adalah yang paling mudah menghitungnya.
Pemberian tambahan penghasilan atas beban kerja diberikan kepada Pegawai Negeri
Sipil yang dibebani pekerjaan untuk menyelesaian tugas-tugas yang dinilai melampaui
beban kerja normal. Sedangkan untuk pendekatan berdasarkan prestasi kerja,
tambahan penghasilan dimaksud diberikan kepada pegawai negeri sipil yang memiliki
prestasi kerja yang tinggi dan/atau inovasi.
Selanjutnya, beberapa acuan/ referensi tentang beban kerja dan prestasi kerja
dapat dirujuk sebagai dasar penyusunan peraturan kepala daerah agar pemberian
tambahan penghasilan dapat di-operasionalkan :
1. Menurut Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara (1997), pengertian beban kerja
adalah sekumpulan atau sejumlah kegiatan yang harus diselesaikan oleh suatu unit
organisasi atau pemegang jabatan dalam jangka waktu tertentu. Disamping itu
Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara juga menyatakan bahwa pengukuran
beban kerja diartikan sebagai suatu teknik untuk mendapatkan informasi tentang
efisiensi dan efektifitas kerja suatu unit organisasi, atau pemegang jabatan yang
dilakukan secara sistematis dengan menggunakan teknik analisis jabatan, teknik
analisis beban kerja atau teknik manajemen lainnya.
2. Menurut Hard dan Staveland yang dikutip dari http://en.wikipedia.org/wiki/workload,
disebutkan bahwa beban kerja dideskripsikan sebagai hubungan antara sejumlah
kapabilitas/ kapasitas proses mental/ pemikiran atau sumber daya dengan/ dan
sejumlah tugas yang dibutuhkan. Selanjutnya dapat dikembangkan permodelan
beban kerja (workload modelling) sebagai teknik untuk analisis pengukuran dan
memprediksikan beban kerja. Memprediksikan beban kerja sangat perlu dengan
tujuan untuk bisa meratakan distribusi beban kerja, memanajemeni beban kerja dan
sebisa mungkin menghindari adanya situasi kerja yang melebihi beban atau kurang
dari beban.
3. Sebagaimana dikutip dari http://en.wikipedia.org/wiki/workload, Wickens (1984)
menjelaskan tentang teori beban kerja yang disebut sebagai “Multiple Resource
Theory (MRT)” yang secara umum dapat dijelaskan sebagai berikut :
- Manusia (human operator) tidak hanya memiliki satu sumber proses informasi
(berbasis kemampuan kognitif) yang dapat dipilih salah satu untuk dipakai, tapi
memiliki beberapa sumber yang dapat dipilih dan dipakai secara bersamaan
(simultaneously). Tergantung dari sifat dasar dari tugas – tugas yang diberikan,
salah satu sumber kognitif tersebut dapat dipakai secara berurutan untuk tugas
yang hanya membutuhkan satu kemampuan kognitif saja secara berulang –
ulang, atau jika proses dalam tugas membutuhkan beberapa sumber kognitif
yang berbeda maka sumber kognitif tersebut dapat dipakai secara paralel;
- Teori Wickens ini menjelaskan bahwa manusia memiliki keterbatasan kapasitas
untuk melakukan proses informasi. Karena sumber kognitif sangat terbatas,
maka akan terjadi masalah supply dan demand saat individu melaksanakan dua
atau lebih tugas yang membutuhkan sumber kognitif yang sama. Ekses
kelebihan beban kerja terjadi disebabkan karena beberapa tugas menggunakan
sumber koginitif yang sama sehingga bisa mempengaruhi kinerja berupa
turunnya kecepatan atau kesalahan – kesalahan dalam penyelesaian tugas;
- Hubungan antara beban kerja dengan kinerja adalah kompleks. Tidak selalu
kasusnya bahwa dengan naiknya beban kerja maka kinerja akan menurun.
Kinerja dapat dipengaruhi oleh beban kerja jika beban tersebut terlalu tinggi atau
terlalu rendah. Keadaan kerja yang rendah beban (underload) yang berlangsung
terus menerus akan mengakibatkan kebosanan dan hilangnya situasi
awareness. Disamping itu, naiknya beban kerja (sampai dengan kelebihan
beban/ overload) mungkin tidak menurunkan kinerja apabila ada strategi untuk
handling kebutuhan tugas.
4. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989), bahwa kapasitas adalah
kemampuan (kesanggupan, kecakapan) yang dimiliki untuk menyelesaikan
masalah, sehingga dengan kemampuan yang dimiliki akan dapat berfungsi dan
berproduksi secara proporsional sesuai dengan tugas dan fungsi yang dimiliki.
5. Menurut Moekijat (1995:58), dijelaskan bahwa jumlah waktu yang dipergunakan
untuk menyelesaikan pekerjaan adalah sama dengan jumlah waktu sebagai berikut:
- Waktu yang benar-benar digunakan untuk bekerja;
- Waktu yang digunakan dalam kegiatan yang tidak langsung berhubungan dengan
produksi;
- Waktu untuk menghilangkan kelelahan (fatigue time);
- Waktu untuk keperluan pribadi (personal time).
6. Menurut Handoko (1995) dinyatakan bahwa spseifikasi pekerjaan adalah
karakteristik manusia yang diperlukan suatu pekerjaan yaitu menyangkut
pendidikan, latihan, pengalaman persyaratan fisik dan mental. Sedangkan
Mintorogo dan Sudarmayanti (1992) menyatakan bahwa untuk mencapai efisiensi
perlu dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
- Berhasil-guna (efektif) yaitu pekerjaan telah dilaksanakan dengan tepat target dan
tepat waktu.
- Ekonomi, yaitu penggunaan biaya, tenaga, bahan, alat, waktu, ruangan dan lain-
lain secara tepat sesuai rencana.
- Pelaksanaan kerja yang dapat dipertanggungjawabkan secara tepat.
- Pembagian kerja yang nyata berdasarkan beban kerja.
- Rasionalitas wewenang dan tanggungjawab yaitu wewenang harus sama dan
seimbang dengan tanggungjawabnya.
- Prosedur kerja yang praktis untuk dapat dilaksanakan.
Dari semua uraian pemikiran sebagaimana tersebut diatas, tersirat makna bahwa
dalam melaksanakan analisis beban kerja dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut
:
a. Hasil analisis jabatan yang berupa informasi jabatan uraian tugas.
b. Menetapkan jumlah jam kerja per hari.
Jam kerja terdiri atas Jam Kerja pegawai dan jam kerja efektif. Jam kerja pegawai
yang dimaksud disini adalah jumlah jam saat pegawai masuk kerja sampai dengan
jam pulang pegawai sebagaimana ditetapkan oleh Walikota Surabaya yaitu mulai
jam 07.30 WIB sampai dengan jam 16.00 WIB sehingga didapat Jam Kerja pegawai
adalah 8,5 Jam (delapan koma lima jam). Sedangkan jam kerja efektif adalah waktu
yang benar-benar digunakan untuk bekerja oleh pegawai yang bersangkutan. Untuk
menentukan jam kerja efektif terdapat referensi rumus yang juga digunakan oleh
Badan Kepegawaian Negara yaitu sebesar Jam Kerja Pegawai dikurangi 30% (tiga
puluh persen) dari Jam Kerja Pegawai atau sejumlah 8,5 Jam – (30% X 8,5 Jam)
yaitu 5,9 Jam atau jika dibulatkan menjadi 6 Jam Kerja efektif per hari. Jam kerja
efektif dalam hal ini diartikan sebagai standar waktu kerja pegawai.
c. Adanya standar waktu kerja.
Dari data historis dan hasil isian kuisener, waktu penyelesaian rata – rata
(ditetapkan sebagai waktu normal penyelesaian) tugas beserta satuan hasilnya
dapat ditetapkan.
d. Adanya waktu penyelesaian dari tugas-tugas/produk, dan satuan hasil.
Satuan hasil merupakan satuan output yang telah dihasilkan oleh pegawai setelah
melaksanakan uraian tugas. Sebagai contoh satuan hasil atas uraian tugas berupa
pembuatan surat dan/atau menghadiri rapat adalah kali. Beban kerja yang akan
diukur dihasilkan dari jumlah output yang telah dihasilkan oleh pegawai setelah
melaksanakan uraian tugas yang dihubungkan dengan standar waktu kerja.

Waktu Normal
Uraian Tugas Pegawai Satuan hasil
penyelesaian tugas (jam)
Penyiapan bahan dokumen 2 jam Dokumen
kontrak kualifikasi penyedia
brg/jasa
Penyusunan draf kontrak & 5 jam Draf kontrak
risalah pengadaan
e. Adanya beban kerja yang akan diukur.
Dari jumlah output yang telah dihasilkan oleh pegawai setelah melaksanakan uraian
tugas maka dapat dibedakan menjadi 3 yaitu :
1. Under Load , kondisi ini mencerminkan jumlah output yang dihasilkan pegawai
kurang dari atau lebih kecil dari jumlah output yang seharusnya mampu dipenuhi
dan dihasilkan oleh pegawai berdasarkan standar waktu kerja yang telah
ditetapkan dan waktu normal penyelesaiannya.
2. On Load, kondisi ini mencerminkan jumlah output yang dihasilkan pegawai sama
dengan jumlah output yang semestinya dihasilkan oleh pegawai berdasarkan
standar waktu kerja yang telah ditetapkan dan waktu normal penyelesaiannya.
3. Over Load, kondisi ini mencerminkan jumlah output yang dihasilkan pegawai
lebih besar dari target jumlah output yang dihasilkan oleh pegawai lainnya
berdasarkan standar waktu kerja yang telah ditetapkan dan waktu normal
penyelesaiannya.
KERANGKA KONSEP OPERASIONAL PEMBERIAN TAMBAHAN PENGHASILAN
Berdasarkan teori/referensi diatas, maka Peraturan kepala daerah tentang tata cara
pemberian tambahan penghasilan dapat disusun dengan kerangka konsep operasional
sebagai berikut :
1. Pada dasarnya pegawai negeri sudah mendapatkan imbalan berdasarkan golongan
kepangkatan dan jabatan yaitu berupa gaji pokok dan tunjangan jabatan. Asumsinya
bahwa seorang pegawai akan mengerjakan tugas – tugas rutin harian dan
perkantoran dengan jumlah jam kerja mulai jam 07.30 sampai dengan jam 16.00
dikurangi istirahat sholat dan makan selama 1 jam di siang hari (sehingga total 7,5
jam sehari);
2. Apabila pegawai negeri bekerja melaksanakan tugas – tugasnya diluar jam kerja
maka dapat memperoleh uang lembur maksimal 3 jam sehari sepanjang anggaran-
nya tersedia;
3. Guna mengetahui apakah seorang pegawai sudah melaksanakan tugas – tugas
dengan beban setara 7,5 jam kerja sehari, maka dikembangkan pengukuran beban
kerja atas tugas – tugas/ aktifitas dari tiap pegawai tersebut. Tiap aktifitas/ tugas
diberikan point beban setara jam yang menunjukkan kebutuhan waktu penyelesaian
tugas rata – rata yang dapat diselesaikan oleh pegawai (=beban kerja normal).
Waktu rata – rata ini ditetapkan berdasarkan data historis dan kuisener yang di-isi
oleh sejumlah responden pegawai. Hal ini sangat penting untuk menghindari
kejadian seorang pegawai yang tidak melaksanakan tugas apa – apa di kantor
sampai melebihi jam kerja, akan tetapi yang bersangkutan menuntut untuk
mendapatkan uang lembur;
4. Jika seorang pegawai dalam satu hari melaksanakan tugas – tugas dengan jumlah
beban dibawah 7,5 setara jam, maka yang bersangkutan ada pada posisi bekerja
dibawah beban normal (underload) dan hanya berhak mendapatkan gaji saja;
5. Apabila pegawai dalam satu hari melaksanakan tugas – tugas dengan jumlah poin
beban antara 7,5 setara jam sampai dengan 10 setara jam, maka yang
bersangkutan ada pada posisi bekerja pada beban normal (on load), dan yang
bersangkutan berhak mendapatkan tambahan honorarium kegiatan dari DPA yang
ada di SKPD. Alokasi honorarium pada kegiatan di belanja program/ belanja
langsung sifatnya memang sebagai imbalan atas kinerja keluaran (output) yang
dijanjikan oleh SKPD dengan posisi para pegawainya bekerja pada beban normal.
Beban normal disini maksudnya bahwa pegawai masih bisa diberikan beban
tambahan diluar tugas rutin keseharian sebesar kurang lebih 25% sampai dengan
30% tanpa ada penurunan kualitas hasil kerja dengan asumsi pegawai dapat
melakukan beberapa tugas secara bersamaan dengan sumber kognitif berbeda
sesuai “Multiple Resource Theory (MRT)”. Tugas rutin keseharian dilaksanakan oleh
pegawai dengan beban sampai dengan 7,5 setara jam, sedangkan tambahan beban
25% sampai dengan 30% dari 7,5 dapat kuantitatif-kan menjadi poin beban sebesar
10 setara jam;
6. Selanjutnya, jika seorang pegawai ada pada posisi bekerja dengan beban kerja
melebihi normal (=apabila yang bersangkutan melaksanakan tugas – tugas dengan
jumlah poin beban melebihi 10 setara jam sehari), maka pegawai tersebut berhak
mendapatkan tambahan penghasilan;
7. Pemberian tambahan pemnghasilan bagi pegawai dapat diberikan apabila seorang
pegawai mendapatkan poin beban kerja melebihi 10 setara jam dengan perhitungan
sejumlah selisih antara poin beban kerja yang diperoleh dikurangi poin beban 10
setara jam;
8. nilai rupiah dari pemberian tambahan penghasilan dihitung dengan melakukan
konversi poin beban kerja menjadi rupiah.
Nah, bagaimana kira – kira konsep ini ?! bisakah diterapkan ? yang jelas aturan
perundang – undangan sudah memayungi dan secara teori-pun dapat di-
implementasikan. Saya rasa jika dilakukan workshop dengan banyak pihak yang
berkepentingan bagus ya ?! Kita tunggu-lah kemungkinan tersebut, yang penting jauh –
jauh hari gini sudah kita wacanakan.
Salam.

Tentang eProject yang memudahkan manajemen pemda


memantau aparat-nya melaksanakan APBD Mei 27, 2008
Posted by aisonhaji in Manajemen Keuangan Daerah, Manajemen Pengadaan, eGov.
Tags: artikel, internet, IT, teknologi informasi
4 comments
Kemarin saat coffee morning yang diadakan oleh Bapak Walikota Surabaya dengan seluruh
jajaran SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah = Dinas/Badan/Bagian), saya mendapat-kan tugas
untuk menyiapkan data mengenai progress dan status pelaksanaan anggaran belanja dari semua
SKPD, plus apa masalah masing – masing sub kegiatan sehingga penyerapan anggaran kok
masih rendah ?!
Lha misalkan permintaan ini datangnya tahun lalu maka saya pasti bingung dan data yang ada
cuma global saja sehingga tidak bisa ‘BUNYI’ dan tidak bermanfaat bagi para manajer pemkot.
Tapi kemarin saya sangat senang karena data bisa tersaji lebih komplet berkat adanya aplikasi
eProject.
eProject merupakan aplikasi lanjutan dari eBudgeting yang nantinya bermanfaat untuk data dasar
proses eProcurement dan proses penyusunan kontrak + pencairan termijn pekerjaan di eDelivery.
eProject dibuat karena ter-inspirasi Keppres 80/2003 yang mengamanatkan agar ada informasi
tentang paket -paket pekerjaan beserta kontrak – kontrak-nya. Dari sini timbul ide agar informasi
seputar paket pekerjaan dilengkapi sekalian seperti :
1. Jenis pengadaan untuk paket pekerjaan tersebut, mungkin lelang atau PL atau
diswakelola. Nantinya info ini akan digunakan sebagai dasar untuk proses administrasi-
nya.
2. Kapan paket pekerjaan ini akan mulai diadakan.
3. Kapan paket pekerjaan ini akan mulai dilaksanakan dan kapan akan selesai.
4. Disamping itu direncanakan juga di eProject rencana pencairan keuangan dan
penyelesaian SPJ-nya.
Kemudian, untuk memastikan bahwa pemaketan tadi sesuai dengan alokasi anggaran yang
tersedia, maka data awalnya harus mengambil dari aplikasi eBudgeting. Ini penting agar tidak
terjadi alokasi anggaran hanya 1000 rupiah tapi dibuat 3 paket pekerjaan senilai 1200 rupiah,
nantinya siapa yang akan membayar 200 rupiah sisanya jika paket tersebut terlanjur dilelang dan
pekerjaan selesai ? Ndak mungkin kan pemerintah daerah akan ngemplang ? he he he.
Nah, karena manajemen di pemkot Surabaya sangat “IT minded”, maka dengan meng-akses
situs eProject Beliau – Beliau bisa mengetahui bahwa status hari ini seharusnya SKPD “X”
sudah melaksanakan lelang sekian paket, kemudian sekian paket seharusnya selesai fisiknya dan
mestinya sudah ada penyerapan anggaran sebesar sekian rupaih, asyik kan ?! kalau memang
kinerja SKPD “X” buruk maka itu tinggal urusan dan kewenangan manajemen, apa itu menjadi
tanggung jawab Ka. SKPD atau PPKm dibawahnya. Yang penting, Ka. SKPD harus menguasai
eProject untuk memelototi kinerja PPKm-nya sebelum kinerja SKPD secera keseluruhan
dipelototi oleh Manajemen yang lebih tinggi.
Okey, sementara sekian dulu info tentang eProject, mengenai bagan yang menunjukkan posisi
eProject diantara aplikasi yang lain dapat dilihat di postingan tanggal 25 April lalu (Surabaya
Improvement to Excellence Government Program) dalam bentuk file ppt. Kapan – kapan
disambung lagi ya.
Salam.
Apa perlu DED untuk mengusulkan anggaran di APBD ?
Mei 17, 2008
Posted by aisonhaji in Manajemen Keuangan Daerah, Manajemen Pengadaan.
Tags: artikel
4 comments
Kemarin habis jum’atan beberapa teman berdebat di kantin kantor mengenai bagaimana
sebenarnya prosedur pengusulan proyek dalam APBD. Mas Zaenal si “raja ngeyel” berpendapat
bahwa usulan proyek itu harus ada DED (Detail Engineering Design)-nya dulu. Ada yang
bersikukuh bahwa pokoknya ada lokasi yang bisa di-drop-in proyek ya berarti bisa saja usulan
itu diterima. Lantas yang lain bertanya, siapa yang akan menerima atau menolak usulan proyek
itu ? trus siapa yang berhak mengusulkan dan seterusnya, pokoknya rame dan “njelehi” kalau
nuruti debat konco – konco tersebut (lha wong 2 jam ndak selesai juga he he he). Daripada saya
ikut berpolemik dan ikut senewen karena tampaknya masing – masing sama – sama ndak
megang dasar aturan, maka saya ndak ikut – ikut adu mulut disitu dan milih nulis saja disini, gitu
lhoooh !
Menurut saya, sebenarnya masalah prosedur pengusulan proyek, DED dan lain – lain terkait
proses penyusunan dan pelaksanaan APBD mengikuti beberapa dasar regulasi (di Permendagri
13/2006 dan Keppres 80/2003) sebagai berikut :
Usulan proyek atau kegiatan (termasuk menetapkan keluaran/ output proyek/ kegiatan) di-
usulkan oleh SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) melalui format RKA (Rencana Kerja dan
Anggaran) SKPD dengan tetap mengacu kepada RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Daerah) serta penjabaran pertahunnya di RKPD (Rencana Kerja Pemerintahan
Daerah), KUA (Kebijakan Umum Anggaran) dan PPAS (Prioritas dan Plafon Anggaran
Sementara).
Dalam menetapkan rencana keluaran/ output proyek tiap tahunnya disamping melihat pada target
– target yang ada di RPJMD, RKPD dan KUA, maka SKPD juga harus mengacu ke SPM
(Standar Pelayanan Minimal) masing – masing sektor di daerah tersebut, ini kalau ada lho !
Hampir semua daerah belum punya SPM, termasuk Surabaya (soalnya Pemerintah Pusat yang
sektor-nya diwakili dengan keberadaan kementerian/ departemen belum juga menyelesaikan
SPM tersebut, mungkin sibuk dengan urusan-nya sendiri, sehingga Pemda tidak mempunyai
acuan. Lagian ketentuan-nya SPM di daerah harus mengacu ke SPM yang dikeluarkan Pusat, ini
ndak bela diri lho he he he).
Dalam menentukan kebutuhan biaya masing – masing kegiatan, SKPD juga harus melihat pada
SSH (Standar Satuan Harga) dan ASB (Analisa Standar Belanja) agar tidak terjadi kelebihan
alokasi anggaran karena barang/jasa yang dibutuhkan untuk kegiatan terlalu mahal atau ndak
bisa dilaksanakan karena terlalu murah.
Lho kok ndak pakai DED ? lantas DED itu ada dimana posisi-nya ? Di Permendagri 13/2003
jelas disebutkan bahwa dasar pengusulan anggaran ya RPJMD, KUA, PPAS, SPM, SSH dan
ASB. Tidak ada satu kalimat atau kata yang menyebut-kan DED. Yang pasti ada di Permendagri
13/2006 (pasal 16) adalah penjelasan bahwa anggaran itu fungsinya diantaranya adalah
OTORISASI, maksudnya bahwa anggaran daerah itu menjadi dasar untuk melaksanakan
pendapatan dan belanja pada tahun bersangkutan. Misalkan alokasi anggaran belanja tertentu
sudah ditetapkan untuk suatu SKPD, berarti angka alokasi dan penjelasan atas rencana
penggunaan anggaran tersebut adalah sebagai pedoman pelaksanaan belanja/ kegiatan dengan
tidak boleh melebihi plafon alokasinya.
Nah pada saat pelaksanaan kegiatan inilah jika SKPD menggunakan penyedia barang/jasa (entah
dengan cara PL atau Lelang), maka perlu DED yang didalamnya memuat informasi tentang
Gambar Teknis, spesifikasi teknis dan RAB (Rencana Anggaran Biaya). Menurut Keppres
80/2003, berkas – berkas ini menjadi bagian dari Dokumen Lelang. Nantinya bisa saja hasil DED
menunjukkan bahwa kebutuhan anggaran suatu kegiatan tersebut tidak sampai menghabiskan
plafon alokasi yang ada di APBD. Disamping itu saat pembuatan OE (Owner Estimate =
perhitungan ulang rincian rencana biaya dalam DED dengan mengacu kepada harga pasar saat
akan mulai pengadaan) oleh panitia pengadaan, biasanya nilainya lebih rendah daripada plafon.
Apalagi jika pengadaan menggunakan sistem eProcurement dengan sistem pascakualifikasi yang
kompetitif dan transparan, penghematan terhadap plafon anggaran bisa lebih dari 25%
Nah tuh ! berarti DED itu baru diperlukan pada saat persiapan pengadaan kan ? DED tidak harus
disediakan pada saat penyusunan APBD, tetapi jika ada ya malah baik karena begitu APBD
disahkan dan DPA sudah diterbitkan maka SKPD bisa langsung melelang paket pekerjaan-nya
(pekerjaan cepat selesai).
So ! mohon teman – teman yang kemarin berdebat di kantin jangan neruskan lagi debatnya,
banyak pekerjaan dan tugas melayani masyarakat yang menunggu kita. Jika masih juga ndak
sependapat (terutama mas Zaenal) jangan nyari saya di kantor, cukup debat di blog ini saja, tulis
saja ketidak-sependapat-an sampeyan di fasilitas ”komentar” he he he.
Salam.

You might also like