You are on page 1of 24

Makalah

WORKSHOP
Memperkuat Justisiabilitas
Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya :
Prospek dan Tantangan
Yogyakarta, 13 - 15 November 2007

HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL


DAN BUDAYA

Oleh :
Prof. Soetandyo Wignjosoebroto
(Guru Besar Emeritus UNAIR)
HAK-HAK MANUSIA YANG ASASI
UNTUK MEMPEROLEH JAMINAN RASA`AMAN DAN SEJAHTERA
DALAM KEHIDUPAN EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA,
DI TENGAH PELAKSANAAN PROGRAM PEMBANGUNAN NASIONAL
YANG SERING TAK BERKIBLAT KE KEPENTINGAN RAKYAT

Soetandyo Wignjosoebroto

Pada awal mulanya, apa yang utamanya dikonsepkan orang di negeri-negeri


Barat -- pada dasawarsa-dasawarsa menjelang dan sesudah pecahnya revolusi
kemerdekaan Amerika dan revolusi kerakyatan Perancis – mengenai hak-hak asasi
manusia tidaklah lain daripada hak-hak akan kebebasan di hadapan kekuasaan negara.
Inilah hak-hak yang kemudian dipositifkan sebagai hak-hak kebebasan manusia warga
negara pada umumnya (the civil rights), dan hak-hak mereka ini untuk ikut serta
dalam setiap proses politik yang akan bersangkutpaut dengan kepentingan kehidupan
mereka di ranah publik (the political rights). Perluasan konsep hak-hak manusia
yang asasi untuk juga meliputi hak-hak ekonomi, sosial dan budaya (yang kali ini
diakronimkan ‘ekosob’) barulah tumbuh dan berkecambah untuk kemudian
berkembang bertahun-tahun kemudian.

Bertahun-tahun kemudian, setelah Amerika dan Perancis mendemonstrasikan


keberhasilan mereka dalam sejarah untuk membangun kehidupan bernegara republik
atas dasar prinsip-prinsip demokrasi, terbuktilah apa yang semula dicita-citakan tidak
sepenuhnya dapat kesampaian. Terbukti bahwa hak-hak atas kebebasan warga untuk
mengejar rasa bahagia dan sejahtera pribadi (the pursuit of happiness) dan/atau guna
mewujudkan kesejahteraan bagi khalayak ramai (republik < res pro publica) tidaklah
begitu saja bisa terwujud, khususnya untuk sebagian besar warga yang semula tak
terhitung sebagai rakyat (demos) dalam kehidupan demokrasi. Perluasan konsep hak-
hak asasi untuk kemudian mencakup jaminan warga guna memperoleh jaminan akan
kesejahteraan hidupnya lalu mulai dipikirkan dan dikembangkan orang.

Perluasan Konsep Hak-Hak Asasi Manusia, Yang


Mencakup Juga Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya:
Kritik Terhadap Konsep Hak-Hak Asasi Manusia Kaum Liberal Klasik

Perluasan konsep hak-hak manusia yang asasi itu secara tersirat sebenarnya
juga mengandung kritik pada kegagalan laissez-faire liberalism dari abad 18.
Liberalisme klasik ini meyakini kebenaran premis tentang adanya apa yang disebut
homo equalis, ialah adanya manusia-manusia individual yang dikatakan selalu
rasional dalam segala tindakan dan putusan akalnya. Inilah konsep yang pada kuartal
akhir abad 18 itu memperoleh pembenaran etik-ekonomiknya oleh pemikir liberal
seperti Adam Smith, yang pada gilirannya meyakini terwujudnya the wealth of
nations sebagai hasil realisasi yang konsekuen atas seluruh premis dan asas etika
macam itu.

Akan tetapi, sudah pada belahan akhir abad 19 konsep dan teori kaum liberalis
– yang juga individualis -- seperti itu sudah memperoleh cabaran dari teoretisi
sosialis, seperti Karl Marx (dalam bukunya Das Kapital, 1848), berikut realisasinya
2

sebagai ideologi yang berkulminasi pada pecahnya revolusi Bolsewik di Rusia pada
tahun 1917). Krisis-krisis ekonomi di negara-negara industri (yang memuncak pada
dasawarsa kedua-ketiga abad 20) kian membuktukan pula secara faktual kelemahan
konsep liberalisme yang bertumpu pada konsep individualisme yang terlalu percaya
akan adanya equality, in all situations, among all individuals. Krisis kian nyata
tatkala konsep dan paham individual liberty and equality among individuals yang
dimaknakan secara mutlak seperti itu – kalaupun mendatangkan pertumbuhan
kemakmuran untuk suatu bangsa (seperti yang diyakini oleh Adam Smith), nyatanya
juga mengundang kesenjangan yang kian lama kian parah antar-sesama manusia dan
kehidupan nasional.

Di negeri-negeri Barat, lahirnya perhatian yang kian serius kepada persoalan


kesejahteraan ekonomi -- yang ternyata tak begitu saja secara serta-merta terwujud
dalam kehidupan yang berparadigma liberalisme klasik – telah dengan segera
mengundang pemikiran neo- atau welfare-liberalism di bidang teori-teori ekonomi,
dan konsep welfare-state dalam praksis-praksis politik dan politik-ekoniminya.
Bertolak dari paham welfare liberalism, konsep konstitusional tentang peran negara
dan para pejabat pengemban kekuasaan negara, khususnya dalam hubungan mereka
dengan persoalan pemenuhan hak-hak manusia warga negara yang asasi, akan
mengalami reinterpretasi dan/atau redefinisinya.

Berbeda dengan upaya maksimalisasi terwujudnya hak-hak sipil dan hak-hak


politik manusia warga negara, kini dalam ihwal pengupayaan terjaminnya hak warga
untuk memperoleh jaminan kesejahteraan ekonomi -- dalam artiannya yang luas, yang
meliputi juga prakondisinya yang sosial dan kultural – negara beserta para pejabatnya
tidak lagi akan berperan sebagai watchdog dengan hands-off policynya. Kini, di sini,
kesejahteraan dalam kehidupan ‘ekosob’ yang diangkat sebagai hak yang asasi ini
menuntut peran negara yang tidak lagi sebatas sebagai watchdog itu. Alih-alih, kini
negara beserta para pejabatnya itu harus sanggup bertindak secara positif, ialah untuk
secara proaktif mengintervensi proses, demikian rupa sehingga situasi kehidupan
menjadi cukup kondusif bagi setiap manusia warga negara/masyarakat untuk dapat
mengupayakan dan memperoleh apa yang telah dihakkan kepadanya menurut
ketentuan-ketentuan konstitusi dan kovenan yang ada.*)

Semua yang diutarakan di muka adalah permasalahan hak-hak asasi ‘ekosob’


yang terbilang generasi kedua sebagaimana yang teks berikut konteksnya berkembang
dalam pengalaman negeri-negeri Barat. Bagaimana lalu perkembangan transplantatif
konsep ecosoc rights ini di negeri-negeri berkembang yang sepanjang sejarahnya
sebenarnya kurang mengenal ideologi dan konsep liberalism, baik yang klasik
maupun yang berparadigma welfare. Di negeri-negeri berkembang ex-daerah jajahan
negeri-negeri Barat, seperti misalnya Indonesia, dalam konteks sosial-kultural seperti
itu kesejahteraan ekonomik warga masyarakat tidaklah mudah dipahami sebagai buah
usaha merealisasi hak yang asasi. Di negeri-negeri seperti ini, di mana kedaulatan
berada di tangan para penguasa (daulat tuanku!), dan tidak pernah dikenal sebagai

*)
Kovenan yang berkenaan dengan pengakuan hak-hak asasi manusia di bidang kehidupan ekonomi,
sosial dan budaya ini ialah The International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights yang
diterima lewat resolusi sidang umum PBB pada tahun 1966, di samping kovenan internasional serupa
tentang hak-hak sipil dan hak-hak politik.
3

bagaian dari kepenguasaan rakyat (kedaulatan rakyat!) kesejahteraan rakyat akan


lebih dipercaya dan dimengerti sebagai buah amalan para penguasa yang murah hati
yang hanya bisa dimohon daripada dituntut berdasarkan hak.

Masih Kecilnya Kesadaran Warga Masyarakat Setakat Ini


Akan Hak-Haknya Yang Asasi Demi Kesejahteraannya
Dalam Kehidupan Ekonomi, Sosial dan Budaya

Dikatakan, bahwa yang lebih gampang dipahami oleh massa awam di negeri-
negeri ini (khususnya oleh yang masih berkedudukan marjinal dan belum diuntungkan
dalam kehidupan nasionalnya) ialah, bahwasanya kesejahteraan itu – entah tinggi
entah rendah tingkatnya – bukanlah pertama-tama merupakan hasil upaya individual
yang dikerjakan atas dasar hak individual warga. Dalam kehidupan yang masih pula
secara kuat-kuat dihegemoni oleh tradisi patrimonialisme, yang lebih populer adalah
paham bahwa kesejahteraan rakyat itu sudah semestinya kalau digantungkan pada --
dan ditentukan oleh -- kemampuan para pemimpin dan penguasa untuk memberikan
rasa “ayom dan ayem” kepada para pendukung dan pengikutnya. Amal sedekah --
pemberian bantuan (paringan!) atau subsidi -- itulah yang cenderung lebih banyak
ditunggu-tunggu sebagai sumber asal kesejahteraan daripada hasil usaha atas dasar
tanggungjawab pribadi yang berdasarkan hak-hak yang asasi.

Di tengah-tengah kenyataan seperti itu, tiadanya kesadaran yang kuat tentang


hak – yang asasi ataupun yang tak asasi yang harus ditegakkan demi terwujudnya
kesejahteraan ekonomi dan demi kebebasan dalam kehidupan sosial dan kultural –
lalu mudah menjadikan massa awam lebih bertindak menggantungkan nasib pada
apapun yang dilakukan oleh para penguasa. Kalaupun telah ada jaminan
konstitusional yang objektif mengenai hak-hak asasi setiap warga negara untuk
memperoleh situasi yang kondusif guna melakukan usaha-usaha yang positif demi
tertingkatkannya kesejahteraan mereka masing-masing, tidaklah itu semua menjadi
bermakna bagi mereka yang awam itu. Datangnya bantuan dari pemerintah lebih
banyak ditunggu dan dituntut daripada datangnya pengakuan dan perlindungan hak
untuk memperoleh kondisi yang kondusif bagi setiap usaha untuk meningkatkan
kesejahteraan dan rasa sejahtera.

Di tengah kenyataan dan kepahaman seperti itu pula, massa awam bahkan
tidak pernah terkesan merisaukan soal apakah jaminan kesejahteraan yang datang
langsung dari pemerintah itu harus dibayar mahal dalam wujud terambil-alihnya
sebagian dari hak-hak mereka yang asasi untuk terkonversi menjadi kewenangan-
kewenangan negara beserta para pejabatnya. Hak-hak ‘ekosob’ lalu kian dimengerti
sebagai hak-hak untuk diberi bantuan pemerintah. Yang pada gilirannya justru
terkonversi menjadi kewajiban-kewajiban untuk menaati pembinaan yang dilakukan
pemerintah. Berihwal seperti itu, dapatlah dimengerti mengapa protes-protes massa
yang tengah ramai berlangsung dewasa ini pada umumnya tertengarai bersebab dari
tiadanya lagi kemampuan dan/atau niat pemerintah untuk meneruskan pemberian
bantuan dan subsidi kepada rakyat. Protes-protes tidaklah berhakikat sebagai tuntutan
dipenuhinya hak-hak asasi rakyat untuk memperoleh situasi yang kondisif untuk
berusaha secara bebas dan mandiri, untuk kemudian menikmati hasil-hasilnya tanpa
banyak mengalami intervensi para pejabat.
4

Berkeadaan seperti itu, dalam persoalan ‘ekososbud’ sampaipun saat ini,


gerakan massa masih sulit dikembangkan sebagai gerakan untuk menyadari hak, nota
bene hak setiap warga negara untuk memperoleh suasana yang kondusif untuk
berusaha, terhindar dari berbagai tindakan diskriminatif para pejabat pemerintahan.
Masih kuat terikat pada sistem perundang-undangan lama yang berasal dari kebijakan
laissez-faire liberalism (yang antara lain menganjur-anjurkan secara terlalu jauh
prinsip equality before the law) tindakan para pejabat lalu gampang tersimak sebagai
eksekusi-eksekusi yang manifes untuk mendahulukan kepentingan hak hukum mereka
yang telah berkembang besar dan lebih berkeberdayaan daripada memfasilitasi
mereka yang sesungguhnya masih pemula.

Perlunya Kampanye Untuk Menyegerakan


Gerakan Membangun Kesadaran Hak

Maka, gampang atau tak gampang, penegakan atau pemenuhan hak rakyat
yang asasi untuk memperoleh peningkatan kualitas hidup mereka di bidang ekonomi,
sosial dan kultural harus dimulai dari “dalam”. Prosesnya adalah proses pendidikan,
walaupun tidaklah ini berarti bahwa proses politik untuk mengkritiki setiap produk
legislatif yang tidak menguntungkan massa awam tidak serta merta perlu dihentikan.
Inilah proses pendidikan menuju ke kesadaran hak untuk melepaskan diri dari rasa
ketergantungan, yang dalam khazanah wacana hukum dikenal dengan kata istilah
proses – atau tepatnya gerakan – menuju ke arah terwjudnya legal literacy, ialah
situasi kesadaran akan pemilikan hak di kalanagan khalayak awam.

Gerakan sadar hukum perlu dimarakkan kembali, namun dengan strategi dan
pengorganisasian yang lain. Bukan lagi strategi untuk menyadarkan rakyat akan
kewajiban-kewajiban (semata) seperti yang dikerjakan sebagai “gerakan sadarkum”
oleh lembaga-lembaga pemerintahan pada era rezim Orde Baru (yang sekarang sudah
tidak berbau baru lagi itu). Alih-alih, gerakan ini harus mengambil strategi baru.
Ialah strategi untuk menyadarkan para warga negara, khususnya yang selama ini
masih awam dan tak pernah tersapa oleh para lawyers yang terbilang selibriti, agar
menyadari hak-hak dan batas-batas hak mereka. Strategi ‘sadarkum’ sebagai gerakan
kesadaran hak daripada sebagai gerakan kesadaran kewajibaninilah yang kini harus
lebih banyak dikerjakan oleh organisasi-organisasi non-pemerintah yang sejak lama
memang ditengarai menganut kebijakan populis.

Gerakan sadarkum yang mutakhir, yang berhakikat sebagai gerakan kaum


populis untuk berkampanye memberantas ‘buta hak’, pada dasarnya tidak lagi
mempercayai mitos dalam doktrin hukum kaum liberal yang positivistik itu. Itulah
doktrin klasik, yang meyakini bahwa ‘setiap manusia warga negara itu berkedudukan
sama di hadapan hukum dan kekuasaan’, yang sudah waktunya untuk dikritik dan
dipertanyakan kebenaran riilnya. Kesamaan kedudukan di hadapan hukum dan
kekuasaan, apabila tidak didukung oleh kesamaan status ekonomik sebagaimana yang
dijamin oleh hak-hak ekonomi yang asasi, tidaklah sekali-kali akan bisa mengubah
keadaan.

Gerakan sadarkum, dengan berangkat dari idiom-idiomnya yang neo-marxian,


tanpa keberatan apapun mengadvokasikan suatu kebijakan diskriminatif, namun
diskriminatif yang terbalik. Artinya, di sini ini distribusi dan/atau pengakuan hak
5

menurut hukum perundang-undangan haruslah dikonfigurasikan secara sadar dan


realistik demikian rupa, sehingga mereka yang terbilang puak-puak rawan akan
memperoleh hak, dan/atau perlindungan hak, dalam proporsi yang relatif lebih besar
daripada apa yang dapat diperoleh oleh mereka yang telah mapan. Kesamaan
kedudukan dalam beroleh kesempatan yang sama dalam ber aktivitas ekonomik itulah
yang justru akan menjamin kesamaan kedudukan di hadapan hukum dan sembarang
bentuk kekuasaan

Diskriminasi dalam ihwal kewajiban membayar pajak, dalam bentuk


penetapan pajak progresif (bahwa yang lebih berada akan membayar pajak dalam
persentase yang lebih besar), adalah contoh diskriminasi yang dikatakan ‘terbalik’ itu.
Pemberian subsidi untuk membantu mereka yang rawan dalam banyak aktivitas
kehidupan sosial-ekonomik, dan di lain pihak pencabutan subsidi (Bahan Bakar
Minyak, BBM!) yang pernah diberikan kepada mereka yang mapan adalah contoh
diskriminasi terbalik ini. Diskriminasi terbalik sebagaimana dicontohkan di sini ini
sesungguhnya baru berawal dari konsep benevolensi penguasa kepada mereka yang
duafa. Dalam konsep baru, yang dihubungkan dengan hak manusia yang asasi,
pemberian subsidi haruslah dipahamkan sebagai hak yang bisa dituntut di panggung
politik, dan/atau digugat melalui proses yudisial. Subsidi ini bukan sekali-kali amal
sedekah dari pihak yang rahman dan rahim, sebagai bagian dari ibadah mereka itu,
yang oleh sebab itu harus disyukuri.

Dalam hubungan ini, peluang dan kesempatan untuk merealisasi hak-hak di


dalam kehidupan ‘ekososbud’ harus lebih terbuka bagi mereka yang masih
berkedudukan rawan (seperti misalnya para buruh dan para migran kota yang miskin
yang hampir semuanya berasal dari petani dan penyakap yang terusir dari desa-
desanya). Kaum yang telah mapan dengan tingkat konsumsinya yang tinggi harus
bisa menerima pembaharuan hukum perundang-undangan yang mempraktikkan
diskriminasi yang dicitakan berefek positif ini. Manakala kemudahan hukum
dibagikan ‘sama rata’, maka mereka yang telah mapan – meminjam kata-kata Marc
Galanter – akan always comes out ahead.

Sekali lagi di sini diakui kebenaran doktrin baru dalam hukum, khususnya
yang diadvokasi para teoretisi hukum dari aliran kritik (yang dikenal dengan
panggilan the Crits), bahwa demi terealisasinya hak-hak ‘ekososbud’ yang asasi,
hukum tidaklah harus berparadigma netral, melainkan harus memihak. Ialah
memihak ke kepentingan mereka yang miskin, yang termarjinalisasi dan yang belum
diuntungkan. Itulah hukum yang berkarakter populis, dan jauh dari kecenderungan-
kecenderungannya yang tak pantas ke arah karakternya yang terlalu elitis. Hukum
yang terlalu elitis malah cenderung mengundang ketidakpuasan mereka yang
berposisi rawan dan merasa diperlakukan tak adil dan dipermiskin, yang akhirnya
hanya mengundang protes-protes dan demonstrasi massa yang rusuh dan pula tak
produktif.

Kebijakan baru seperti ini sebenarnya tak hanya bersanksi nasional melainkan
juga bersanksi internasional. Di bawah sanksi-sanksi seperti itu keberhasilan para
pejabat pemerintahan tak lagi akan semata-mata ditentukan oleh kinerja dan
prestasinya di bidang-bidang kamtibmas seperti yang terjadi pada masa-masa lalu di
negeri ini.. Pelaksanaan upaya merealisasi hak-hak ekonomi (berikut hak-hak sosial
dan hak-hak budaya) yang asasi ini – khususnya bagi mereka yang masih
6

termarjinalisasi dan belum diuntungkan dalam kehidupan – berdasarkan kovenan


internasional telah ditetapkan sebagai kewajiban asasi setiap negara penandatangan
kovenan itu.

Apa yang disebut state parties ini wajib mengupayakan langkah-langkah guna
menjamin terlaksananya pembebasan sesiapapun dari bahaya kelaparan dan
kekurangan sumberdaya lainnya. .Konvenan on economic, social and cultural rights
inipun telah mewajibkan pemerintah-pemerintah nasional di negeri manapun untuk
mengupayakan terangkatnya taraf hidup manusia ke tingkatnya yang layak, yang
terwujud dalam bentuk tercukupinya sandang, pangan dan papan manusia-manusia
penduduk negeri. Kegagalan seperti itu boleh dibilangkan sebagai pelanggaran hak-
hak asasi manusia, sekalipun tidak hendak dikatakan sebagai pelanggaran yang
dilakukan on commission melainkan on ommission.

Pembangunan Nasional dan Penghormatan Hak-Hak Asasi Manusia


di Bidang Kehidupan Ekonomi, Sosial dan Budaya

Kini ini, kekuasaan dan kewenangan – dari perspektif hak-hak asasi manusia
(yang telah menjadi unsur penting dalam setiap hukum konstitusi – hanya akan
memperoleh dasar legitimasinya manakala diefektifkan untuk menjamin terwujudnya
hak rakyat untuk memperoleh freedom from want. Tak pelak lagi, state parties akan
terus diseru untuk mendukung beban kewajiban yang asasi untuk menjamin hak-hak
rakyat jelata untuk memperoleh kesejahteraan lewat upaya-upaya bersama yang
disebut ‘pembangunan’. Dalam konsep ini, pembangunan bukan lagi sebatas
definisinya sebagai program -- apalagi sebagai ideologi -- pemerintah, melainkan
sebagai bagian dari kegiatan nasional yang demokratik untuk memperjuangkan
terwujudnya freedom from wants itu. Pembangunan bukan lagi program-program
yang menjadi bagian dari siasat pejabat-pejabat elit pemerintah untuk bertahan pada
posisinya yang terkini lewat suatu proses trade-off (yang hendak mengorbankan
sesuatu dalam porsi sedikit, untuk difungsikan sebagai umpan yang dilemparkan
kepada mereka yang miskin, demi terpertahankannya dan bahkan demi diperolehnya
hasil yang lebih banyak).

Adalah sesungguhnya pembangunan itu berhakikat sebagai hak. Ialah hak


warga untuk ikut berbicara dalam rangka mendefinisikan arah dan kepentingan
pembangunan, dan kemudian daripada itu juga berhak atas hasil-hasil yang diperoleh
dari proses pembangunan itu. Selama ini banyak sekali kebijakan dan tindakan para
elit, khususnya yang duduk dalam jabatan-jabatan pemerintahan, yang mencoba
memonopoli kebenaran dan memonopoli akses ke lokus-lokus tempat penyusunan
kebijakan pembangunan (yang ternyata tidak atau kurang pro the people).

Apabila dalam pembangunan ini, misalnya, sejak awal kebijakan yang


ditempuh adalah kebijakan negara untuk menguasai ‘bumi, air dan kekayaan yang
terkandung di dalamnya’, yang berkonsekuensi pada ternasionalisasinya hak-hak lokal
(yang dulu disebut hak-hak adat, khususnya yang berobjekkan tanah dan sumber-
sumber agraria yang lain), maka nyata bahwa di sini tidak adalah kebijakan yang pro
the (local) people (in the periphery) itu.
7

Dengan kebijakan seperti itu, besar kemungkinan bahwa akses rakyat dalam
masyarakat-masyarakat hukum adat untuk ikut mengelola kekayaan sumber agraria di
lingkungannya akan menjadi tertutup. Pembangunan yang diprogramkan pun tak
akan mungkin merupakan pembangunan yang partisipatif, yang mengakui hak-hak
rakyat atas perannya dalam pembangunan berikut hasil-hasilnya.

Memang benar bunyi argumen yang menyatakan bahwa dalam rangka


merealisasi hak-hak asasi manusia untuk memperoleh kesejahteraan ekonomi, sosial
dan kultural itu pemerintah diharamkan untuk bertindak non-intervensi (seperti halnya
dalam perkara-perkara menghormati hak-hak asasi manusia warga negara di bidang
aktivitas politik. Dalam rangka merealisasi hak-hak ekonomi, sosial dan kultural,
pemerintah memang justru harus bertindak aktif, turun tangan untuk ‘melakukan
sesuatu’.

Akan tetapi, dalam persoalan ini, yang dimaksudkan dengan bertindak aktif itu
tak sekali-kali boleh diartikan sebagai peniadaan hak rakyat untuk, berbekalkan modal
kekayaan alam dan modal sosial-kulturalnya, membangun diri dan masyarakatnya
sendiri. The right to/of (self-)development sebagai bagian dari the right to/of self-
determination yang bernilai asasi itu tetap harus dihormati, dan tak sekali-kali boleh
berarah ke terjadinya pengingkaran atas prinsip yang menyatakan bahwa hak-hak
asasi manusia itu sesungguhnya inalienable.

Betapapun banyaknya tugas-tugas yang harus dikerjakan oleh pemerintah dan


state parties lainnya untuk tidak ber-hands-off -- melainkan bertindak secara nyata
guna melaksanakan hak-hak asasi manusia di bidang ekonomi, sosial dan budaya --
tidaklah itu, dengan alasan apapun, membenarkan kebijakan untuk mengingkari hak-
hak manusia di bidang yang lain, ialah hak-hak yang asasi di bidang kebebasan sipil
dan yang berkenaan dengan hak-hak politik. Proses-proses pembangunan guna
mengimplementasi hak-hak ekonomi warganegara dan penduduk negeri itu pada
hakikatnya adalah juga proses-proses politik. Bagaimana bisa dikatakan bukan suatu
proses politik manakala seluruh program pembangunan itu direncanakan berdasarkan
tujuan-tujuan dan kebijakan-kebijakan yang sesungguhnya diputuskan lewat proses-
proses politik.**

Maka, tak pelak lagi, proses-proses pembangunan yang berhakikat sebagai


proses politik seperti itu tidaklah sekali-kali boleh dibenarkan sebagai proses yang
harus dimonopoli para politisi dan para pejabat pemerintah yang elit dan telah mapan.
Alih-alih demikian, semua proses dan program pembangunan mestilah dilaksanakan
dengan menyertakan seluruh warganegara yang menyadari partisipasi dan kontrolnya
pada jalannya pembangunan sebagai hak-haknya yang asasinya. Implementasi hak-
hak ekonomi yang asasi itu tidaklah sekali-kali boleh memberikan dasar pembenar
kepada para pembesar negara untuk mengingkari hak-hak sipil dan hak-hak politik

**
David Korten menyebutkan tiga paradigma politik pembangunan: Paradigma pertumbuhan yang
mementingkan industrialisasi, paradigma kesejahteraan yang mementingkan pemberian layanan dan
amalan, dan paradigma kerakyatan yang mementingkan human dsevelopment (yang harus
diterjemahkan ‘pengembangan manusia’, dan bukan ‘pembangunan atau pembinaan manusia’).
Paradigma kerakyatan adalah paradigma yang berselaras dengan paham yang mengakui pentingnya
hak-hak asasi dalam setiap proses pembangunan. Paradima kerakyatan memposisikan modal sosial dan
komitmen warga sebagai sumberdaya utama dalam pembangunan, dam bukan modal finansial atau
anggaran belanja negara yang didalilkan oleh paradigma pertumbuhan dan paradigma kesejahteraan
8

manusia-manusia warganegara. Kalau sampai terjadi pengingkaran seperti itu, maka


telah terjadilah kebijakan dan upaya yang tak benar untuk memisahkan secara
konseptual hak-hak sipil dan hak-hak politik yang asasi dari hak-hak ekonomi, sosial
dan kultural yang sesungguhnya juga asasi. Kalau sampai terjadi pengingkaran
seperti itu, maka telah terjadilah pelanggaran prinsip bahwa hak-hak asasi manusia itu
sesungguhnya tidak hanya inalienable, akan tetapi juga indivisible.[*]
HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL
DAN BUDAYA

Soetandyo Wignjosoebroto
PERLUASAN KONSEP HAM

z Human Freedom --> tapi dalam kehidupan


terikat di mana-mana (atas dasar kesepa-
katan! --> kontrak sosial, kontrak individual
z Freedom of speech (hak warga untuk berpolitik)
--> freedom to pursue happiness
z Freedom from want (1944) --> Hak Ecosob -->
sudah terakui di DUHAM (1948) -->
International Covenan ECOSOC (1966)
FREEDOM FROM WANTS

Pada asasnya:

z HAM Ecosoc --> hak untuk terbebas dari segala


kekurangan sumberdaya

z Bukan hak untuk dibebaskan dari segala bentuk


kemiskinan, yang akan mengarah ke kesediaan untuk
serahkan hak asasinya kepada penguasa negara -->
mudah diubah menjadi kewenangan negara untuk
membatasi hak politik warga.

00000
HAK-HAK APA SAJA ITU?
z Hak-Hak Ekonomi, a. l. hak untuk:
z mempunyai kekayaan dan perlindungan akan
miliknya itu;
z memperoleh kehidupan yang layak lewat
kesempatan kerja yang layak pula;
z memperoleh kesehatan dan lingkungan yang
sehat;
z Berpartisipasi dalam kegiatan pembangunan
dan untuk ikut menikmati hasil-hasilnya
HAK-HAK APA SAJA ITU?
z Hak-Hak Sosial, a. l. hak untuk:
z Bergaul dan berkawan dalam suatu
perhimpunan;
z Berkeluarga;
z Bermukim dalam suatu satuan permukiman
dalam suasana damai;
z Diperlakukan sama dalam kehidupan sehari-
hari dalam masyarakatnya
HAK-HAK APA SAJA ITU?

z Hak-Hak Budaya, a. l. hak untuk:


z berbicara dalam bahasanya sendiri;
z Memelihara adat kebiasaannya sendiri tanpa
mengganggu kebiasaan sesamanya;
z Memperoleh pendidikan untuk menumbuh-
kembangkan bakat-bakat dalam kehidupan-
nya pribadi;
DIJAMIN OLEH
HUKUM UNDANG-UNDANG
z Tak cukup dijamin oleh kebenaran moral
kemanusiaan, sebagai hak moral;
z Diperlukan jaminan oleh/berdasarkan
hukum, sebagai hak legal
z Hukum internasional, DUHAM, protokol-
protokol dan kovenan-kovenan.
z Hukum perundang-undangan nasional.
z Hukum konstitusi yang deklaratur itu?
z Undang-Undang organik yang coercive and
sanctioning
HUKUM HARUS DIEFEKTIFKAN
(TAK CUKUP KALAU CUMA DITULIS)

z Pentingnya komitmen profesionalisme


(tidak hanya keahlian tapi juga etika
kerja) para pengemban kekuasaan negara
(di legislatif, eksekutif, birokrasi, yudisial);
z Pentingnya kesadaran warga masyarakat
dalam kehidupan bernegara-bangsa akan
hak-haknya yang asasi, khususnya hak-
hak warga sesamanya.
PENTINGNYA KESADARAN AKAN HAK

z Kesempatan kerja -- dan/atau untuk


memperoleh kebutuhan dasar agar bisa
hidup secara layak – adalah hak warga
yang asasi, yang dipositifkan sebagai hak
konstitusi
z Bukan hasil caritas/amal sedekah
penguasa yang demi karier politiknya
selalu mencoba memperlihatkan wajahnya
yang ‘rahman bin rahim’.
… KHUSUSNYA DALAM IHWAL HAK-HAK
EKOSOBud YANG ASASI
SEPANJANG BERLANGSUNGNYA PROSES
PROSES PEMBANGUNAN NASIONAL
(THE RIGHT TO DEVELOPMENT)
HAM sebagai MASALAH
PEMBANGUNAN!
z Ini hak warga untuk menjadi subjek/aktor
dalam seluruh proses pembangunan
ataukah
z kewajiban warga untuk mendukung
kesuksesan pembangunan yang telah
direncanakan oleh para elit teknokrat
TIGA PARADIGMA PEMBANGUNAN
diwawas dari perspektif politik
(Davis Korten)

Pertumbuhan Kesejahteraan Kerakyatan


Fokus Industrialisasi Layanan Sosial Pendidikan
Peran Ikut Usaha Pemberi Subsidi Layanan Sosial

Sumber Kapital APBN/APBD Modal Sosial


PEMBANGUNAN SEBAGAI
OBJEK HAK WARGA YANG ASASI
---------------------------------
z Pembangunan < development > perkem-
bangan --> pengembangan (diri) --> hak
atas suatu ruang kebebasan yang akan
memungkinkan orang mengembangkan diri
menjadi manusia seutuhnya (Pendidikan!)
z Peran pemerintah = bertindak aktif utk turun
tangan, tapi sbg penyedia fasilitas saja
z Modal sosial-kultural penting --> lebih pen-
ting dari modal kapital-material
PEMBANGUNAN = PROSES POLITIK

z Direncanakan dan dilaksanakan untuk


mencapai tujuan tertentu oleh/lewat
badan-badan pemerintahan yang
berhakikat sebagai institusi politik.
z Persoalannya: apakah ‘from the people, by
the people, for the people’?
==?????? ==

Paradigma manakah gerangan


yang bersejajar dengan
upaya melindungi dan memajukan
HAM
di bidang kehidupan ‘ecosob’?

KITA DISKUSIKAN!

You might also like