Professional Documents
Culture Documents
TKI merupakan salah satu permasalahan pelik bangsa ini. Pada sisi pertama,
TKI adalah solusi konkrit mengatasi ketidakmampuan pemerintah dalam menciptakan
pemerataan dan penyediaan lapangan kerja. Perekonomian nasional tidak mampu
menyerap angkatan kerja yang pada Februari 2009 telah mencapai 113,74 juta orang
dengan kuantitas penggangguran berjumlah 9,26 juta orang.
Faktanya dalam lima tahun terakhir penempatan TKI ke luar negeri terus
meningkat hingga rata-rata per tahun mencapai 596.115 orang. Mereka tersebar di
Malaysia dan Saudi Arabia, sisanya ke negara lain seperti Uni Emirat Arab (UEA),
Kuwait, Yordan Hongkong, Taiwan. Dengan kuantitas itu, TKI telah berkontribusi
besar terhadap perekonomian nasional. Remitansi mereka mencapai USD 8,24 milyar
(2008) atau urutan pertama pada sektor jasa dan urutan ke-2 setelah penerimaan devisa
migas. Remitansi itu juga berkontribusi terhadap peningkatan kesejahteraan keluarga
TKI yang diperkirakan berjumlah 16 juta orang. Besarnya kontribusi itu membuat TKI
kerap disebut sebagai pahlawan devisa.
Data Migrant Care (2007) juga mencatat 171 kasus kematian TKI di berbagai
negara; 108 perempuan, 61 laki-laki dan 2 kasus tidak diketahui identitasnya.
Organisasi buruh migrant internasional itu juga menemukan 140 kasus TKI yang
menjadi korban tindak kekerasan; 125 perempuan dan 15 laki-laki.
1
Penulis adalah Wasekjen PB. Gabungan Serikat Buruh Islam Indonesia (GASBIINDO)
1
Tidak dapat dipungkiri kalau calon TKI umumnya berasal dari pedesaaan,
didominasi kalangan ekonomi lemah dengan tingkat pendidikan rendah. Kondisi ini
pada akhirnya memicu terjadinya penyimpangan hak perlindungan bagi TKI yang
ironisnya terjadi pada setiap tahapan, yaitu pra penempatan, saat penempatan dan paska
penempatan.
Karena itu pengentasan hak dan kewajiban para buruh migran menjadi sesuatu
yang penting. Harus ada standarisasi untuk mengukur kesiapan TKI untuk bekerja ke
luar negeri. Tentunya ini mesti ditopang dengan penyelenggaraan sosialisasi, rekruit
terkontrol, pelatihan dan PAP yang melibatkan pihak-pihak yang berkompeten. Tidak
cukup hanya mencabut izin usaha pengusaha PJTKI yang melakukan penyimpangan.
Perlu ada hukuman secara pidana untuk memunculkan efek jera.
2
segala perundang-undangan itu dirasakan masih kurang mendukung terselenggaranya
perlindungan terbaik bagi TKI.
Sebut saja tata cara penempatan TKI di luar negeri yang sesuai dengan UU
PPTKILN hanya dapat dilakukan atas dasar perjanjian tertulis antara pemerintah dengan
pemerintah (pasal 10) atau ke negara tujuan yang mempunyai peraturan perundang-
undangan yang melindungi tenaga kerja asing (pasal 27). Perjanjian itu berbentuk Nota
Kesepahaman yang meskipun ditargetkan sampai Juli 2007 telah disepakati 17 MOU,
faktanya sampai sekarang hanya 5 negara yaitu Malaysia, Taiwan, Korea, Kuwait, dan
Yordania. Tetapi di lapangan ternyata MoU itu belum cukup memadai. MOU tetap
tidak mampu menembus yurisdiksi negara penempatan. Akibatnya MOU hanya
mencatat “komitmen” suatu negara untuk memberikan perlindungan, bukan secara
langsung memberikan perlindungan apalagi menyentuh akar permasalahan.
3
maka Indonesia masih berkutat di pembagian wewenang antara BNP2TKI dan
Depnakertrans.