You are on page 1of 3

Edisi Baru Foreign Policy

Jurnal Foreign Policy (FP) edisi July/August 2006 sudah tiba di kotak pos saya. Sejak
dulu saya suka sekali membaca jurnal yang satu ini. Perpustakaan kantor saya CSIS di
Jakarta juga melanggan jurnal ini. Dulu saya selalu “berebut” dengan mas Raymond Atje,
seorang senior saya di CSIS, setiap kali jurnal Foreign Policy edisi terbaru tiba di
perpustakaan kami itu. Sekarang, tidak perlu lagi berebut. Bisa santai dan banyak waktu,
tidak diburu-buru untuk mengembalikan ke perpustakaan agar rekan lain seperti mas
Raymond itu bisa segera baca juga…he…he.

Sepertinya, edisi kali ini adalah edisi paling menarik FP sepanjang yang pernah saya
baca. Ada banyak sekali tulisan menarik yang tersebar dalam berbagai rubrik kali ini.
Dalam rubrik Roundtable, FP memuat topik yang beberapa bulan lalu memicu
kontroversi luar biasa di kalangan akademisi Amerika: “Does the Israel Lobby Have too
Much Power?”

Kontroversi ini dipicu oleh sebuah artikel yang ditulis bersama oleh dua pakar studi
hubungan internasional, yakni Stephen Walt dan John Mearsheimer. Walt adalah
professor di Kennedy School of Government, Harvard University, sementara
Mearsheimer adalah professor di University of Chicago. Tulisan mereka yang berjudul
The Israel Lobby berisi kritik amat tajam terhadap kebijakan Amerika Serikat di Timur
Tengah, terutama bagaimana kelompok-kelompok lobi Israel mempengaruhi politik luar
negeri Amerika Serikat. Tulisan sepanjang 80 halaman itu dimuat di London Review of
Books awal tahun 2006 ini, dan langsung memicu perdebatan sangat panas. Sebetulnya
tulisan itu tidak terlalu mengejutkan, karena Walt dan Mearsheimer sejak dulu memang
dikenal sangat kritis terhadap kebijakan negaranya di Timur Tengah.

Selama beberapa bulan, Walt dan Mearsheimer diam dan tidak melayani tudingan anti
Semit yang dialamatkan kepada mereka. Di edisi terbaru FP inilah mereka menjawab
berbagai kritik. Menariknya, selain menurunkan respons pendek dari Walt dan
Mearsheimer, FP juga memuat tiga tulisan yang mengkritik habis tulisan Walt dan
Mearsheimer di London Review of Books itu. Tiga tulisan itu datang dari Aaron
Friedberg, seorang pakar studi HI dari Princeton University; Dennis Ross, mantan
penasihat presiden urusan Timur Tengah di masa presiden Bush senior dan Bill Clinton;
dan tulisan Shlomo Ben-Ami, mantan menteri luar negeri Israel yang berunding dengan
Arafat di Camp David dulu.

Tiga penulis itu menganggap Walt dan Mearsheimer terlalu melebih-lebihkan pengaruh
kelompok lobi Israel ini, dan dengan sendirinya merendahkan independensi pengambil
kebijakan luar negeri Amerika. Ada satu tulisan lain di FP edisi ini yang dibuat oleh
Zbigniew Brzezinski. Dia seorang pakar hubungan internasional juga, dulu pernah
menjadi penasihat urusan keamanan di masa presiden Jimmy Carter. Brzezinski
mendukung Walt dan Mearsheimer.

Sebetulnya, keberadaan kelompok lobi adalah hal biasa dalam politik luar negeri
Amerika. Mungkin ini disebabkan oleh kenyataan bahwa Amerika Serikat dibentuk oleh
imigran. Sehingga, ada banyak kelompok lobi sesuai dengan asal imigran ini: ada Polish
lobby di masa Perang Dingin (kelompok ini sangat dekat dengan Brzezinski semasa
Carter, karena keluarga Brzezinski adalah imigran dari Polandia yang baru menjadi warga
negara Amerika tahun 1950-an), Chinese lobby, Burmese lobby yang dijalankan oleh para
aktifis pro-demokrasi yang lari dari Burma dan masih banyak yang lain. Selain etnisitas,
kelompok-kelompok lobi juga terbentuk oleh basis lain. Misalnya, kelompok ilmuwan
pernah membentuk kelompok lobi menentang keras penggunaan bom atom di Hiroshima
dan Nagasaki, yang pengembangannya dilakukan melalui Manhattan Project yang
melibatkan banyak ilmuwan itu. Einstein adalah fisikawan terkemuka dalam kelompok
lobi yang dulu menentang penggunaan nuklir untuk tujuan perang ini. Kelompok lobi lain
misalnya kelompok petani, juga feminist.

Perdebatan mengenai lobi Israel ini seru, dan pasti masih akan menjadi subyek diskusi
seterusnya.

Topik lain yang menarik adalah mengenai jaringan televisi Al Jazeera yang dimuat dalam
rubrik Think Again. Penulisnya membongkar penilaian pembaca terhadap keberadaan Al
Jazeera. Menurutnya, sama sekali tidak benar Al Jazeera mendukung kelompok-
kelompok teroris. Di sisi lain, juga tidak benar bahwa Al Jazeera menyebarkan paham
anti Semit, karena ternyata Al Jazeera memberi porsi cukup banyak untuk laporan dan
pandangan-pandangan Israel. Bahkan, negara Arab seperti Bahrain melarang Al Jazeera
beroperasi dari dalam negaranya, karena pemerintah Bahrain menganggap jaringan
televisi ini adalah agen Zionist.

FP dalam edisi ini juga mencoba membuat terrorism index melalui survei pendapat 100
akademisi dan praktisi politik luar negeri terkemuka Amerika Serikat. Termasuk di
dalamnya adalah beberapa mantan menteri luar negeri. Mayoritas mereka berpendapat
(86 persen) bahwa perang melawan teror yang dijalankan Bush justru membuat dunia
(dan juga Amerika Serikat) menjadi semakin tidak aman.

Satu pertanyaan penting yang diajukan dalam survei pendapat ini adalah “President Bush
has stated that the United States is winning the war on terror. How do you feel about this
statement?”. Dari 100 orang itu muncul response ini: 13 persen setuju, sementara 84
persen menyatakan ketidaksetujuannya. Laporan ini memberi gambaran cukup jelas
bahwa di lingkaran foreign policy establishment, Presiden Bush semakin kehilangan
support.

Topik menarik lain adalah laporan penelitian yang menemukan bahwa lebih dari 70
persen website yang dimiliki kelompok-kelompok Islam garis keras dari seluruh dunia
ternyata di hosting di server-server milik perusahaan-perusahaan Amerika sendiri. Para
pengusaha internet Amerika menanggapinya dingin. Mereka bilang: "itulah realitas
bisnis". Persis seperti Google yang mengakomodasi pemerintah Cina apabila ingin
berinvestasi di negeri Tirai Bambu dengan potensi pasar sangat besar itu. Cina meminta
Google membatasi kekuatan search engine-nya bagi pengguna internet di Cina. Rupanya
benar juga: after all, money has no ideology.

You might also like