You are on page 1of 6

MAKALAH ILMU POLITIK

IDEOLOGI PERANG DUNIA KE-3 NON BLOK DAN SOSIALISME


PEMBANGUNAN

DISUSUN OLEH :
ALBERT YOHANES KOYONG
090812007
ADMINISTRASI NIAGA

UNIVERSITAS SAM RATULANGI


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
MANADO 2010
IDEOLOGI PERANG DUNIA KE-3 NON BLOK DAN SOSIALISME
PEMBANGUNAN

Politik non blok atau non alignment setelah Perang Dunia ke II, dimana ketika
situasi politik internasional ditandai dengan adanya perundingan antar blok barat dan blok
timur ditengah tengah perang dinginnya paham itu berkembanglah gagasan yang
terwujud menjadikan Gerakan Non Blok ataupun Non Alignment Movement.
Pengejawantahannya yang pertama adalah Konferensi Tingkat Tinggi Non Blok di
Beograd, Yugoslavia 1-6 September 1961.
Gerakan Non Blok ini juga bertujuan untuk mewujudkan perdamaian dunia
berdasarkan pelaksanaan universal dari prinsip-prinsip hidup berdampingan secara damai,
menentang imperialisme, kolonialisme, neokolomalisme, perbedaan warna kulit termasuk
zionisme dan segala bentuk ekspansi, dominasi dan pemusatan kekuasaan.
Sedangkan beberapa tujuan lainnya adalah sebagai berikut yang mana memajukan
usaha kearah perdamaian dunia dan hidup berdampingan secara damai dengan jalan
memperkokoh peranan PBB menjadi alat yang lebih efektif bagi usahausaha perdamaian
dunia, menyelesaikan persengketaan internasional diantara negara-negara anggotanya
secara damai dan juga mengusahakan tercapainya pelucutan senjata secara umum dan
menyeluruh di bawah pengawasan internasional yang efektif.
Dalam perjalanan sampai dengan sekarang ini Gerakan Non Blok telah
melakukan 10 KTT. Tiap KTT mempunyai warna dan ciri sendiri-sendiri. Dari warna dan
ciri tersebut dapat diketahui partisipasi Gerakan Non Blok dalam turut memecahkan
persoalan-persoalan dunia dengan tetap mengadakan konsolidasi terhadap tubuh Gerakan
agar tetap mengadakan atau agar tetap sesuai dengan prinsip-prinsip dasar dan tujuan
pokok Non Blok.
Sejarah singkat tentang pergerakan non blok yatiu Gerakan Non Blok pertama
sekali dicetuskan pada awal tahun 6o-an, yang merupakan tekad dari negara-negara
merdeka dalam melancarkan aksi politiknya dalam menghadapi situasi dunia yang
ditandai dengan memuncaknya perang dingin antara Blok Barat dan Blok Timur.
Konferensi Asia Afrika di Bandung tanggal 18 April 1955 yang telah menelorkan
semangat Bandung, yang berintikan perdamaian, kemerdekaan, kerjasama Internasional

2
untuk kepentingan bersama dan hidup berdampingan secara damai adalah merupakan
tonggak perjuangan bangsa-bangsa yang dijajah oleh Barat dari pelbagai belahan dunia.
Para pemimpin besar dunia Nassar (Mesir), Tito (Yugoslavia), Nehru (India),
Kwame Nkrumah (Ghana), dan Sukarno (INDONESIA) di Majelis Umum PBB ke-25
tahun 1960 menyuarakan resolusi untuk meredakan ketegangan Tirnur dan Barat dan
diadakannya perundingan antara 2 musuh bebuyutan itu serta mencegah konflik terbuka.
Resolusi ini berlanjut dalam bentuk gerakan yang tidak mau terlibat atau terikat oleh dua
blok tersebut. Tiga tokoh utama pendiri Non Blok yaitu: Tito, Nehru, Nasser telah
menyiapkan sejak awal 1950, Bung Karno dan Nkrumah disebut pula sebagai pendiri
gerakan itu. Prakarsa-prakarsa lima kepala negara yang lebih dikenal dengan "The
Initiatif Five" yang mengawali sejarah tirnbulnya sejarah GNB yang ada sampai sekarang
ini (Ningrum 2003).
Masalah Pembangunan, bagi mayoritas masyarakat, dianggap sebagai suatu kata
yang digunakan untuk menjelaskan proses dan usaha untuk meningkatkan kehidupan
ekonomi, politik, sosial budaya, infrastruktur masyarakat, dan lain sebagainya, sehingga
istilah “pembangunan” sering kali disejajarkan dengan istilah “perubahan sosial”. Bagi
penganut pandangan ini, konsep pembangunan adalah berdiri sendiri dan membutuhkan
keterangan lain, seperti pembangunan model kapitalisme, pembangunan model
sosialisme, pembangunan model Indonesia, dan lain sebagainya. Dengan demikian, teori
pembangunan merupakan sebuah teori sosial ekonomi yang bersifat sangat umum.Di lain
pihak, terdapat suatu pandangan yang lebih minoritas yang berangkat dari asumsi bahwa
kata “pembangunan” itu sendiri adalah sebuah “discourse” atau suatu pendirian, suatu
paham, atau bahkan disebut suatu ideologi tertentu terhadap perubahan sosial. Dalam
pandangan ini, konsep pembangunan itu sendiri bukanlah merupakan kata yang bersifat
netral, melainkan suatu “aliran” dan keyakinan ideologi dan teoretik serta praktek
mengenai perubahan sosial, sebagaimana teori-teori sosialisme, dependensia atau teori-
teori lainnya. Dengan demikian, teori pembangunan dapat diangap sebagai
“pembangunanisme” atau “developmentalism”(Slamet Santoso: 2007).
Gagasan dan teori pembangunan sampai saat ini telah dianggap sebagai “agama
baru” karena mampu menjanjikan untuk dapat memecahkan masalah-masalah
kemiskinan dan keterbelakangan yang dialami oleh berjuta-juta masyarakat di Negara

3
Dunia Ketiga. Istilah pembangunan atau development tersebut telah menyebar dan
digunakan sebagai visi, teori, dan proses yang diyakini kebenaran dan keampuhannya
oleh masyarakat secara luas. Setiap program Pembangunan menunjukkan dampak yang
berbeda tergantung pada konsep dan lensa Pembangunan yang digunakan (Mansour
Fakih:2004).
Konsep Pembangunan yang dominan dan telah diterapkan dikebanyakan Negara Dunia
Ketiga merupakan pencerminan paradigma Pembangunan Model Barat. Dalam konsep
tersebut, pembangunan dipahami sebagai proses tahap demi tahap menuju “modernitas”,
yang tercermin dalam bentuk kemajuan teknologi dan ekonomi sebagaimana yang dilalui
oleh bangsa-bangsa industri maju. Di sebagian besar Negara Dunia Ketiga, penaksiran
konsep Pembangunan dipahami sebagai perbaikan umum dalam standart hidup,
disamping itu juga dipahami sebagai sarana memperkuat negara melalui proses
industrialisasi dengan pola seragam antara satu negara dengan negara lainnya. Dalam hal
ini, peran pemerintah menjadi utama atau menjadi subyek pembangunan, sedangkan
masyarakat menjadi obyek dan penerima dari dampak pembangunan.
Pembangunan seringkali di identikkan dengan pertumbuhan ekonomi, yaitu sebuah
masyarakat dinilai berhasil melaksanakan pembangunan bila pertumbuhan ekonomi
masyarakat tersebut cukup tinggi. Dengan demikian, yang diukur adalah produktivitas
masyarakat atau produktivitas negara dalam setiap tahunnya. Secara teknis ilmu ekonomi,
ukuran yang digunakan untuk mengihitung produktivitas adalah Gross National Product
(GNP) dan Gross Domestic Product (GDP). Tetapi menurut Dr. Arief Budiman , sebuah
negara yang tinggi produktivitasnya, dan merata pendapatan penduduknya, bisa saja
berada dalam sebuah proses untuk menjadi semakin miskin. Hal ini disebabkan karena
pembangunan yang menghasilkan produktivitas yang tinggi itu sering tidak
memperdulikan dampak terhadap lingkungannya, yaitu lingkungan yang semakin rusak
dan sumber daya alam yang semakin terkuras. Sementara itu percepatan bagi alam untuk
melakukan rehabilitasi lebih lambat dari percepatan perusakan sumber alam tersebut.
Selanjutnya ia menyampaikan bahwa, atas nama pembangunan, pemerintah juga sering
memberangus kritik yang muncul dari masyarakat. Kritik tersebut dinilai dapat
mengganggu stabilitas politik. Hal tersebut dilakukan karena mengangap bahwa stabilitas
politik adalah sarana penting untuk memungkinkan pelaksanaan pembangunan.

4
Sedangkan menurut Hanif Suranto (2006), paradigma developmentalisme yang
menjadi landasan pembangunan Orde Baru ternyata telah melahirkan sejumlah problem
yang dihadapi berbagai komunitas. Antara lain adalah hancurnya identitas kultural dan
perangkat kelembagaan yang dimiliki komunitas akibat penyeragaman oleh Orde Baru;
hancurnya basis sumber daya alam (ekonomi) komunitas akibat eksploitasi oleh negara
atas nama pembangunan; serta melemahnya kapasitas komunitas dalam menghadapi
problem-problem komunitas akibat dominasi negara. Selanjutnya ia menyatakan bahwa
kondisi-kondisi tersebut menampilkan wujudnya paling nyata dalam berbagai konflik
antara komunitas dengan negara, maupun intra/antar komunitas akibat intervensi
manipulatif oleh negara. Konflik Ambon, Poso, Aceh, Papua dan berbagai konflik
lainnya merupakan beberapa contoh yang nyata dihadapi di Negara Indonesia.Hasil
penelitian dari Institute of Development and Economic Analysis (2001), menyimpulkan
tiga catatan penting tentang pelaksanaan pembangunan di Negara Indonesia, yaitu : 1)
Pelaksanaan pembangunan di Indonesia terjebak ke dalam perangkap ide-ide
pembangunan neo-liberal yang menyesatkan; 2) Pelaksanaan pembangunan di Indonesia
juga terjebak ke dalam arus ketergantungan terhadap hutang luar negeri dalam jumlah
yang semakin lama semakin besar dan sangat memberatkan; dan 3) Meskipun sampai
batas-batas tertentu telah mengungkapkan terjadinya perubahan, tetapi pelaksanaan
pembangunan di Indonesia ternyata juga mengakibatkan semakin jauhnya Indonesia
terjebak dalam lilitan hutang luar negeri. Beban hutang luar negeri cenderung berubah
menjadi “upeti” kepada pusat-pusat kapilaisme global. Sebagai sebuah “upeti”, maka
secara empiris sangat wajar jika terjadi arus transfer negatif modal bersih (net negative
transfer) dalam transaksi hutang luar negeri Indonesia, dan hal tersebut sesungguhnya
yang menyebabkan terjadinya stagnasi dan kemerosotan alokasi anggaran negara untuk
membiayai pelaksanaan pembangunan. Akhirnya dapat dikatakan bahwa jerat hutang luar
negeri tersebut yang menyebabkan perekonomian Indonesia masuk ke jurang krisis
ekonomi dan politik. Menurut almond untuk ada lima persyaratan untuk perkembangan
ialah sebagai berikut :
1. keberturut-turut dalam tahap-tahap perkembangan.
2. terdapatnya sumber-sumber.
3. perkembangan yang sejalan (serupa) dari sistem-sistem social lainnya.

5
4. kemampuannya system politik yang cukup hakiki da,
5. tanggapan yang cukup oleh golongan elit terhadap tantangan-tantangan.
Telah kami tuliskan pada halamam yang pertama bahwa pembangunan bukanlah
pembangunan atau perkembangan benda. Namun lebih menekankan kepada kepuasan
kebutuhan pokok mereka misalnya makanan, papan, sandang, kesehatan, dan pendidikan.
Dengan kata lain lebih mengutamakan sosialis. Suatu proses pertumbuhan atau
pembangunan yang tidak menghasilkan pemuasan kebutuhan-kebutuhan pokok itu tidak
dapat dianggap sebagai pengembangan (Varma S.P 2001 :513).
Dalam perkembangan atau pembangunan peranan kaum elit memainkan peranan yang
penting sekali dalam seluruh proses perkembangan. Masyarakat yang mempunyai
golongan elit yang fungsional dapat mencapai banyak kemajuan sedangkan masyarakat
yang tidak begitu beruntungan mengalami kesukaran untuk bergerak ke arah
pembangunan. Biasanya kaum elit itu ada yang berfungsi dan ada yang tidak berfungsi,
untuk melihat berfungsi atau tidaknya perlu pertimbangan-pertimbangan kecakapan,
kemangkusan, keterampilan dan kelihaian (kecerdikan) politik, tetapi juga oleh
pertimbangan-pertimbangan moral.

You might also like