You are on page 1of 4

Warnetku warnet kita berdua

Oleh : Achmad Saptono (Panggil; Tino)

Dunia serasa milik kita berdua, kata-kata indah ini mungkin yang ada dalam benak
mereka yang sedang asyik berduaan dalam satu kamar berukuran ± 1,5 x 2 meter.

Selasa, 20 Oktober 2009 lalu sepulang dari aksi di depan gedung DPRD
Banyumas menuntut realisasikan anggaran pendidikan 20 %, naikan UMK/gaji buruh,
realisasikan biaya kesehatan gratis dan beberapa tuntutan lainnya aku ngobrol dengan
kedua temanku. Salah satu temanku mengawali pembicaraan tentang adanya warnet
(warung internet) mesum di sekitar jalan Kampus-Purwokerto. "Aku pernah
memergoki pasangan siswa SMA yang sedang berbuat mesum di warnet itu",
ucapnya. Waktu itu dengan nada becanda aku menyela "ga mungkin banget, emang
bisa di tempat rame kaya gitu?". Temanku yang satu lagi pun senada dengan apa yang
aku lontarkan. Akan tetapi lama-kelamaan temanku yang sudah pernah memergoki itu
menambahkan "gini aja, sekarang aku ajak kamu ke sana buat observasi langsung,
ntar kita sambil nge'Net sebentar & jangan kawatir, tar nge'Netnya aku yang
bayarin". Setelah itu akhirnya aku pun mau ikut dengannya untuk observasi langsung
dan "dengan catatan, hal ini andaikata benar terjadi nanti akan kita tindak lanjuti".
Ucapku. Akhirnya aku dan kedua temanku mendatangi "warnet mesum" tersebut.
Kurang lebih 15 menit antre di ruang tunggu, dengan penuh rasa penasaran aku
mengamati tiap bilik/ruang internet di sekitar tempat dudukku. Tiba-tiba, "ruang 12
kosong mas", operator/kasir memanggil. Aku bersama temanku yang pernah
memergoki itu langsung saja menuju ruang 12, setelah berada dalam ruang itu aku
bertanya pada temanku "Lhah terus gimana caranya kita bisa ngintip ruang
sebelah?". Dengan berbisik temanku mengatakan "dibawah ada lubang yang ditutup
tisu, kamu cabut aja tisunya!". Ternyata memang ada tiga buah lubang yang ditutup
tisu dan hanya ada satu lubang yang tembus ke ruang sebelah. Aku mulai melihat
ruang sebelah dari lubang kecil itu, ternyata ada seorang siswa SMA yang sedang
asyik nge'Net, entah situs apa yang sedang ia buka. Tidak lama kemudian siswa SMA
itu keluar dan digantikan oleh siswa SMA lagi namun berpasangan (cowok dan
cewek).
Tidak sampai menghabiskan waktu 10 menit aku melihat si cowok langsung
menggerayangi dan membuka baju seragam si cewek. Adegan selanjutnya ternyata
tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Layaknya pasangan suami istri, mereka
bersenggama dalam sebuah bilik warnet yang sempit, serasa warnet milik kita berdua.

Seks Bebas, Degradasi Moral, dan Pertarungan Peradaban


Sungguh ironis melihat kondisi generasi muda yang seperti itu. Pergaulan bebas,
dan prilaku seks anak muda yang selama ini dikenal lebih kepada perilaku mahasiswa
saat ini telah merambah pada kalangan pelajar. Entah bagaimana ceritanya perilaku
itu menular pada generasi pelajar SMA di sebuah kota kecil bernama Purwokerto.
Banyumas yang dulu dikenal sebagi wilayah ndeso, dan hampir tidak dikenal oleh
orang-orang luar banyumas, tetapi kini pergaulan generasi mudanya tak berbeda
dengan pergaulan anak muda metropolitan.
Sebuah arus dan pergeseran budaya mudah terjadi dalam gelombang globalisasi
saat ini. Tak ada batas-batas lagi antar negara bangsa, apalagi hanya sekedar wilayah
dalam satu negara. Begitupun dengan pergeseran nilai dan perdaban. Nilai-nilai
tentang bangsa timur yang dikenal santun, tak lagi bisa diidentikan pada sebuah
masyarakat.
Fenomena mengenai perilaku seks bebas dalam bilik warnet adalah salah satu
imbas dari itu semua. Dunia seks bebas yang dulu hanya diidentikkan di kamar-kamar
hotel, villa, losmen, diskotik, dan ikon-ikon dunia para orang berduit, kini sudah
merambah pada ruang-ruang bebas atau tempat umum yang bisa diakses oleh siapa
saja. Dulu, pembicaraan tentang seks merupakan hal yang tabu. Kini dengan derasnya
arus informasi yang membanjiri otak generasi muda, telah membawa pergeseran nilai
tentang hal yang dianggap tabu itu. Jangankan menbicarakan, melakukannya pun
mungkin sudah menjadi sesuatu yang "wajar".
Dengan mengacu pada analisa Huntington tentang benturan peradaban, dalam
konteks globalisasi ini, terjadi sebuah pertarungan peradaban mengenai nilai dan
norma dalam sebuah negara bangsa. Seperti yang dikatakan Arjun Appadurai, bahwa
globalisasi yang menyebabkan dunia tanpa batas, justru sebenarnya akan melahirkan
dunia yang makin terkotak-kotak kecil (global-glokal). Nasionalisme kebangsaan
akan berubah menjadi nasionalisme kedaerahan. Sebuah bangsa akan mencoba
mempertahankan identitasnya di tengah pertarungan budaya global. Jika melihat
kasus yang terjadi tersebut, menjelaskan bahwa hal itu terjadi karena lemahnya
peradaban kita dalam bertarung dengan budaya global. Kita tidak mampu
mempertahankan budaya kita yang dikenal sopan, santun, dan beretika. Degradasi
moral telah terjadi pada masyarakat kita, generasi muda penerus bangsa.!!
Kondisi seperti ini diperparah dengan adanya permainan dunia ekonomi dan
politik. Bisnis diskotik dan tempat-tempat hiburan malam misalnya, yang sudah
menjadi rahasia umum menjadi sarang munculnya kehidupan seks bebas. Dalam
kenyataannya, pemerintah seolah menutup mata mengenai bahaya ini. Itu terbukti
semakin banyaknya tempat-tempat hiburan malam seperti itu. Sejauh ini, tindakan
yang dilakukan pemerintah hanya sebatas razia pada para pengunjung, tetapi mengapa
tak pernah menyentuh pemilik atau pengelola tempat itu yang mungkin dengan
sengaja menyediakan tempat dan kesempatan bagi merebaknya budaya seks bebas.
Bahkan sekarang, diskotik membuka akses bagi pelajar dengan cara memberikan tarif
bagi pelajar.
Bagaimana kasusnya dengan bisnis warnet? Sekarang bisnis warnet banyak
diminati, karena dianggap memiliki prospek keuntungan yang menjanjikan. Warnet-
warnet yang memberikan fasilitas dan kenyamanan lebih diminati oleh konsumen.
Fasilitas ruangan ber-AC, webcam, headset dengan musik MP3, film, kursi sofa, dan
ruangan bilik yang privasi menjadi dambaan konsumen. Apa yang terjadi dengan itu
semua? Kini warnet dijadikan tempat mesum karena terlalu privasinya ruang atau
bilik warnet. Para konsumen dapat dengan bebasnya melakukan aktivitas apa saja di
dalam bilik itu, termasuk berbuat mesum. Ternyata "peluang" ini terbaca oleh
kalangan muda (pelajar dan mahasiswa) yang memang konsumen terbesar. Bagi
mereka yang tak mampu menyewa kamar-kamar hotel atau villa, warnet adalah
"alternatif", karena selain murah juga cukup aman karena tidak dicurigai. Hanya
dengan merogoh kocek sebesar tiga ribu sampai empat ribu rupiah per jam, mereka
dapat menikmati kenyamanan itu semua. Parahnya lagi, entah sengaja atau tidak,
hampir setiap warnet memiliki "stok" film porno dari yang berdurasi dua menit
hingga hampir satu jam. Ini semakin membuka peluang dan kesempatan untuk
melakukan perbuatan yang nista tersebut.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah gejala ini tidak dirasa oleh
pemilik atau pengelola warnet tersebut? Perbincangan megnenai seks bebas dalam
warnet sudah ramai di kalangan mahasiswa, namun mengapa tidak pernah dihiraukan
oleh pihak pengelola warnet sendiri? Padahal telah banyak juga operator warnet yang
mengetahui peristiwa ini, tetapi mereka seolah tidak peduli. Jangan-jangan yang
dikhawatirkan adalah bahwa fasilitas yang privasi tersebut memang diperuntukkan hal
tersebut sehingga menarik banyak pelanggan. Jika memang demikian adanya,
sungguh ironis keadaanya.

You might also like