Professional Documents
Culture Documents
Pada awal kekuasaan orde baru, Indonesia dijanjikan akan keterbukaan serta kebebasan dalam
berpendapat. Masyarakat saat itu bersuka-cita menyambut pemerintahan Soeharto yang diharapkan
akan mengubah keterpurukan pemerintahan orde lama. Pemerintah pada saat itu harus melakukan
pemulihan di segala aspek, antara lain aspek ekonomi, politik, social, budaya, dan psikologis rakyat.
Indonesia mulai bangkit sedikit demi sedikit, bahkan perkembangan ekonomi pun semakin pesat.
Namun sangat tragis, bagi dunia pers di Indonesia. Dunia pers yang seharusnya bersuka cita
menyambut kebebasan pada masa orde baru, malah sebaliknya. Pers mendapat berbagai tekanan
dari pemerintah. Tidak ada kebebasan dalam menerbitkan berita-berita miring seputar pemerintah.
Bila ada maka media massa tersebut akan mendapatkan peringatan keras dari pemerintah yang
tentunya akan mengancam penerbitannya.
Pada masa orde baru, segala penerbitan di media massa berada dalam pengawasan pemerintah yaitu
melalui departemen penerangan. Bila ingin tetap hidup, maka media massa tersebut harus
memberitakan hal-hal yang baik tentang pemerintahan orde baru. Pers seakan-akan dijadikan alat
pemerintah untuk mempertahankan kekuasaannya, sehingga pers tidak menjalankan fungsi yang
sesungguhnya yaitu sebagai pendukung dan pembela masyarakat.
“Pada masa orde baru pers Indonesia disebut sebagai pers pancasila. Cirinya adalah bebas dan
bertanggungjawab”. (Tebba, 2005 : 22). Namun pada kenyataannya tidak ada kebebasan sama
sekali, bahkan yang ada malah pembredelan.
Tanggal 21 Juni 1994, beberapa media massa seperti Tempo, deTIK, dan editor dicabut surat izin
penerbitannya atau dengan kata lain dibredel setelah mereka mengeluarkan laporan investigasi
tentang berbagai masalah penyelewengan oleh pejabat-pejabat Negara. Pembredelan itu diumumkan
langsung oleh Harmoko selaku menteri penerangan pada saat itu. Meskipun pada saat itu pers
benar-benar diawasi secara ketat oleh pemerintah, namun ternyata banyak media massa yang
menentang politik serta kebijakan-kebijakan pemerintah. Dan perlawanan itu ternyata belum
berakhir. Tempo misalnya, berusaha bangkit setelah pembredelan bersama para pendukungnya yang
antu rezim Soeharto.
Pada masa Orde baru, fungsi dewan pers ini tidaklah efektif. Dewan pers hanyalah formalitras
semata. Dewan Pers bukannya melindungi sesama rekan jurnalisnya, malah menjadi anak buah dari
pemerintah Orde Baru. Hal itu terlihat jelas ketika pembredelan 1994, banyak anggota dari dewan
pers yang tidak menyetujui pembredelan. Termasuk juga Gunaman Muhammad yang selaku editor
Tempo juga termasuk dalam dewan pers saat itu. Namun ironisnya, pada saat itu dewan pers
diminta untuk mendukung pembredelan tersebut. Meskipun dewan pers menolak pembredelan,
tetap saja pembredelan dilaksanakan. Menolak berarti melawan pemerintah. Berarti benar bahwa
dewan pers hanya formalitas saja.
Istilah pers digunakan dalam konteks historis seperti pada konteks “press freedom or law” dan
“power of the press”. Sehingga dalam fungsi dan kedudukannya seperti itu, tampaknya, pers
dipandang sebagai kekuatan yang mampu mempengaruhi masyarakat secara massal. ( John C.
Merrill, 1991, dalam Asep Saeful, 1999 : 26)). Seharusnya pers selain mempengaruhi masyarakat,
pers juga bisa mempengaruhi pemerintah. Karena pengertian secara missal itu adalah seluruh
lapisan masyarakat baik itu pemerintah maupun masyarakat. Namun di Era Orde Baru, dewan pers
memang gagal meningkatkan kehidupan pers nasional, sehingga dunia pers hanya terbelenggu oleh
kekuasaan oleh kekuasaan Orde Baru tanpa bisa memperjuangkan hak-haknya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pers dalam masa orde baru seakan-akan kehilangan jati dirinya sebagai media yang bebas
berpendapat dan menyampaikan informasi. Meskipun orde baru telah menjanjikan keterbukaan dan
kebebasan di awal pemerintahannya, namun pada kenyataannya dunia pers malah terbelenggu dan
mendapat tekanan dari segala aspek. Pers pun tidak mau hanya diam dan terus mengikuti permainan
politik Orde baru. Sehingga banyak media massa yang memberontak melalui tulisan-tulisan yang
mengkritik pemerintah, bahkan banyak pula yang membeberkan keburukan pemerintah. Itulah
sebabnya pada tahun 1994 banyak media yang dibredel, seperti Tempo, deTIK, dan Monitor.
Namun majalah Tempo adalah satu-satunya yang berjuang dan terus melawan pemerintah orde baru
melalui tulisan-tulisannya hingga sampai akhirnya bisa kembali terbit setelah jatuhnya Orde baru.
Pemerintah memang memegang kendali dalam semua aspek pada saat, terutama dalam dunia pers.
Lalu apa fungsi dari dewan pers pada saat itu? Ternyata dewan pers hanyalah dibuat pemerintah
untuk melindungi kepentingan pemerintah saja, bukan melindungi insan pers dan masyarakat.
Dewan Pers seakan kehilangan fungsinya dan hanya formalitas belaka.
UNIVERSITAS MERCU BUANA
2
FAKULTASI LMU KOMUNIKASI
PROGRAM KELAS KARYAWAN
M
O
D
POKOK BAHASAN
I. Radio
Di zaman Penjajahan Belanda, radio siaran swasta yang dikelola warga asing
menyiarkan program untuk kepentingan dagang, sedangkan radio siaran swasta
yang dikelola pribumi menyiarkan program untuk memajukan kesenian, kebudayaan,
disamping kepentingan pergerakan semangat kebangsaan. Ketika pendudukan
Jepang tahun 1942, semua stasiun radio siaran dikuasai oleh kolonial Jepang,
programnya diarahkan pada propaganda perang Asia Timur Raya. Tapi setelah
Jepang menyerah kepada Sekutu 14 Agustus 1945 para angkasawan pejuang
menguasai Radio Siaran sehingga dapat mengumandangkan Teks Proklamasi
Kemerdekaan 17 Agustus 1945 ke seluruh dunia. Selanjutnya sejak proklamasi
kemerdekaan RI sampai akhir masa pemerintahan Orde Lama tahun 1965, Radio
Siaran hanya diselenggarakan oleh Pemerintah, dalam hal ini Radio Republik
Indonesia atau RRI.
Dalam peraturan itu ditentukan, bahwa radio siaran non pemerintah harus berfungsi
sosial yaitu alat pendidik, penerangan dan hiburan; bukan alat untuk kegiatan politik.
Meskipun bidang radio siaran memiliki fungsi pendidikan, penerangan dan hiburan,
namun dalam operasinya tidak menutup kemungkinan siarannya bersifat komersial
(iklan) yang pelaksanannya mengukuti peraturan dan perundang-undangan yang
berlaku.
Hingga akhir tahun l974, radio swasta niaga tercatat 330 di seluruh Indonesia,
masing-masing 42 di DKI, l4 di NTB, 55 di Jawa Tengah, l5 di Jawa Timur, l5 di
Sumatera Utara, l di Riau, ll Sumatera Barat, l3 Sumatera Selatan, 8 Lampung. 2di
Kalimantan Barat, 8 di Selawesi Utara dan l6 di Sulawesi Selatan.
Tahun l980 jumlah stasiun radio non pemerintah mencapai 948 buah yang terderdiri
dari 379 stsiun komersial, 26 stasiun non komersial dan l38 stasiun radio pemerintah
daerah. Sampai dengan tahun 2000 jumlah stasiun radio termasuk RRI mencapai
ll00 stasiun.
Program-program radio pun semakin beragam. Di masa orde baru radio swasta
niaga dilarang membuat berita sendiri. Berita yang siarkan adalah memancar
teruskan (relay) berita dari RRI. Kini setelah lahirnya era kebebasan pers yang
ditandai dengan lahirnya UU Pers No. 40/1990 stasiun radio swasta niaga
diperbolehkan membuat program berita sendiri.
Tidak itu saja, kini radio telah menjadi lahan bisnis yang potensial. Hal ini terbukti
dari munculnya konglomerasi radio, seperti kelompok Ramako, NRA, Masima, dll
yang memiliki jaringan beberapa radio.
II Televisi
A. TVRI
Tanggal 17 Agustus 1962, TVRI mulai mengadakan siaran percobaan dengan acara
HUT Proklamasi Kemerdekaan Indonesia XVII dari halaman Istana Merdeka Jakarta,
dengan pemancar cadangan berkekuatan 100 watt.
Tanggal 24 Agustus 1962, TVRI mengudara untuk pertama kalinya dengan acara
siaran langsung upacara pembukaan Asian Games IV dari stadion utama Gelora
Bung Karno. Tanggal 20 Oktober 1963, dikeluarkan Keppres No. 215/1963 tentang
pembentukan Yayasan TVRI dengan Pimpinan Umum Presiden RI.
Pada tahun 1963 mulailah dirintis pembangunan Stasiun Daerah dimulai dengan
Stasiun Yogyakarta, yang mulai siaran pada akhir tahun 1964 dan berturut-turut
Stasiun Medan, Surabaya Makassar, Manado, Denpasar dll, yang berfungsi sebagai
Stasiun Penyiaran.
Mulai tahun 1977, secara bertahap dibeberapa Ibukota Propinsi dibentuklah Stasiun-
stasiun Produksi Keliling atau SPK, yang berfungsi sebagai perwakilan di daerah,
bertugas memproduksi dan merekam paket acara untuk dikirim dan disiarkan melalui
TVRI Stasiun Pusat Jakarta.
Tahun 1974, TVRI diubah menjadi salah satu bagian dari organisasi dan tatakerja
Departemen Penerangan, yang diberi status Direktorat, langsung bertanggung-jawab
pada Direktur Jendral Radio, TV, dan Film Departemen Penerangan Republik
Indonesia.
Sebagai alat komunikasi Pemerintah, tugas TVRI adalah untuk menyampaikan policy
Pemerintah kepada rakyat dan pada waktu yang bersamaan menciptakan two-way
traffic dari rakyat untuk pemerintah selama tidak men-diskreditkan usaha-usaha
Pemerintah.
Pada tanggal 20 Mei 1999, merupakan titik awal sejarah baru TVRI, ketika Presiden
Abdurrahman Wahid melikuidasi Departemen Penerangan, yang mengakibatkan
status TVRI menjadi tidak jelas, bagaikan anak ayam kehilangan induk.
Dan pada bulan Juni 2000, Presiden mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 36
tahun 2000 tentang perubahan status TVRI menjadi Perusahaan Jawatan (Perjan),
yang secara kelembagaan berada di bawah pembinaan dan bertanggung jawab
kepada Departemen Keuangan RI.
Ketika TVRI belum tuntas dalam melakukan penataan internal sebagai Perusahaan
Jawatan, muncul wacana untuk merubah bentuk TVRI menjadi Persero, yang disusul
dengan keluarnya Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 2002, tanggal 17 April 2002
yang merubah bentuk TVRI dari Perusahaan Jawatan menjadi Perseroan terbatas
(PT) di bawah pengawasan Departemen Keuangan RI dan Kantor Menteri Negara
BUMN .
Namun pada tanggal 28 Desember 2002, Rancangan Undang-undang tentang
Penyiaran disahkan oleh DPR-RI, sebagai Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002
tentang Penyiaran, dimana menurut Pasal 14 ayat 2 disebutkan bahwa TVRI
merupakan Lembaga Penyiaran Publik atau TV Publik .
Sementara itu, berdasarkan Ketentuan Peralihan Pasal 60, TVRI diberi waktu
selama paling lama 3 tahun, untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian sebelum
siap sebagai TV Publik.
Pada tanggal 15 April 2003, bersamaan dengan pelantikan Dewan Komisaris dan
Direksi PT TVRI (Persero), dilakukan penandatanganan Akte Notaris Pendirian PT
TVRI (Persero) oleh Menteri Negara BUMN.
Mengingat TVRI masih mengacu pada manajemen Perusahaan Jawatan, maka oleh
Direksi baru PT TVRI (Persero) dilakukan upaya-upaya restrukturisasi, antara lain
dibidang sumber daya manusia, keuangan dan struktur organisasi.
Melalui restrukturisasi tersebut juga akan diketahui apakah untuk mengisi fungsi
tersebut perlu dicari tenaga profesional dari luar atau dapat memanfaatkan sumber
daya TVRI yang tersedia .
Dalam bentuk PERSERO selama masa transisi ini, TVRI benar-benar diuji untuk
belajar mandiri dengan menggali dana dari berbagai sumber antara lain dalam
bentuk kerjasama dengan pihak luar baik swasta maupun sesama BUMN serta
meningkatkan profesionalisme karyawan.
Dengan adanya masa transisi selama 3 tahun ini, diharapkan TVRI akan dapat
memenuhi kriteria yang disyaratkan oleh undang-undang penyiaran yaitu sebagai TV
publik dengan sasaran khalayak yang jelas.
B. TV Swasta
Setelah puluhan tahun memberi hak ke TVRI untuk “memonopoli” penyiaran TV di
Indonesia, pemerintah akhirnya mengeluarkan regulasi yang membuka “monopoli”
TVRI. Era ini ditandai dengan dikeluarkannya SK Menpen No.
190A/KEP/MENPEN/1987 tanggal 20 Oktober 1987. SK ini menegaskan Deppen RI
disamping memberikan hak kepada TVRI untuk menyelenggarakan siaran saluran
umum (SSU), juga memberikan hak tambahan menyelenggarakan siaran saluran
terbatas (SST) dalam wilayah Jakarta dan sekitarnya.
SSU adalah siaran TV yang dapat ditangkap langsung oleh umum melalui pesawat
penerima televisi biasa tanpa pelatan khusus, sedangkan SST adalah siaran yang
hanya ditangkap oleh pelanggan melalui pesawat penerima biasa dilengkapi dengan
peralatan khusus.
Pihak swasta pertama yang dijinkan melakukan penyiaran TV adalah Rajawali Citra
Televisi Indonesia (RCTI) melalui pemberian izin Prinsip dari Departemen
Penerangan RI c.q Direktur Televisi/Direktur Yayasan TVRI tanggal 28 Agustus
1987 nomor 557/DIR/TV/1987 untuk berpartisipasi dalam menyelenggarakan siaran
saluran terbatas dalam wilayah Jakarta dan sekitarnya. Penunjukan sebagai
pelaksana SST Televisi Republik Indonesia diatur dengan surat perjanjian antara
Direktur Televisi/Direktur Yayasan TVRI dengan Direktur PT RCTI Nomor
12/SP/DIR/IV/1988-RCTI.B.T.02/1988 tanggal 22 Februari 1988. Di samping itu juga
dilakukan perjanjian yang mewajibkan RCTI untuk memberikan 12.5% pendapatan
dari pelaksanaan siaran niaga/iklan kepada Yayasan TVRI
Tanggal 1 Maret 1989 RCTI mengudara pertama kali dengan memasang sekitar
70.000 buah dekoder dengan waktu tayang selama 18 jam / hari. Sampai tahun 1990
tercatat 135.000 buah dekorder yang disewa oleh pemirsa.
Kemudian tahun 1990 kerjasama SST RCTI dengan Yayasan TVRI berubah.
Perubahan ini didasari pada ijin prinsip Dirjen RTF nomor 1271D/RTF/K/VIII/ 1990
tanggal 1 Agustus 1990. Berdasarkan ijin tersebut RCTI diijinkan melakukan siaran
tanpa dekorder. Dengan status SST RCTI berubah menjadi Stasiun Penyiaran
Televisi Swasta Umum (SPTSU) dengan jam siaran tanpa batas (24 jam)
Menyusul RCTI yang sudah lebih dahulu berdiri, lewat ijin prinsip yang diterbitkan
oleh Depen cq. Dirjen RTF Nomor 1415/RTF/IX/1989 diberikan penyelenggaran
SST kepada PT Surya Citra Telivisi (SCTV) di Surabaya. Tanggal 1 Agustus 1990
diijinkan menyelenggarakan siaran tanpa dekorder berdasarkan isin prinsip Deppen
c.q Dirjen RTF nomor 121E/RTF/K/VIII/1990.
Tanggal 30 Januari l993 lahir televisi swasta ANTEVE berdasarkan ijin prinsip
Departemen Penerangan c.q. Dirjen RTF Nomor 207 /RTF/K/I/1993 tentang ijin
Siaran Nasional bagi PT. Cakrawala Andalas Televisi. Siaran nasional Anteve
berkedudukan di Jakarta merupakan siaran gabungan antara PT Cakrawal Andalas
Televisi Bandar Lampung melalui ijin prinsip Nomor 2071/RTF/K/IX/I99I tanggal 17
September 99 dengan PT Cakrawala Bumi Sriwijaya Televisi Palembang dengan ijin
prinsip Nomor 2900/RTF/K/XII/l99l tanggal 31 Desember l99l.
Tanggal 18 Juni 1994 lahir televisi Indosiar Visual Mandiri (Indosiar) berdasarkan ijin
prinsip Departemen Penerangan c.q Dirjen RTF Nomor 208/RTF/K/I/1993 sebagai
penyusuaian terhadap ijin Prinsip Pendirian Nomor 1340 RTF/K/VI/1992 dari stasiun
swasta khusus menjadi SPTSU yang berkedudukan di Jakarta.
Pasca Orde Baru tidak menurunkan minat pengusaha untuk terjun dibisnis
pertelevisian. Sampai dengan tahun 2002 muncul 5 stasiun TV baru di Jakarta
(Metro TV, Trans TV, Lativi, TV7 dan Global), di Surabara muncul Jawa Pos TV
(JTV), di Riau hadir Riau TV dan di Bali ada Bali TV.
4 Kepmenpen RI No.
190A/KEP/Menpen/1987
Siaran Siaran Saluran
Umum (SSU) &
memberikan wewenang
kepada TVRI untuk
menyelanggarakan SST.
Dalam menjalankan SST,
Yayasan TVRI dapat
menunjuk pihak lain
5 Kepmenpen No.
111/KEP/ Menpen/1990.
6 Kepmenpen No.
84A/KEP/ Menpen/1992.
7 Kepmenpen No.
04A/KEP/ Menpen/1993.
8 UU. No.24/1997 tentang
penyiaran
RADIO SIARAN
Zaman Belanda
Zaman Jepang
Zaman kemerdekaan
Media radio memiliki tempat cukup unik. Radio memiliki kekuatan jauh lebih besar
dibandingkan media lain, karena mampu membangkitkan daya imajinasi yang kuat.
Daya pesona radio, yang dikendalikan dari belakang mikropon oleh penyiar yang
bersuara merdu, dengan gaya retorikanya yang dahsyat, akan mampu mengajak
pendengarnya larut dalam suasana hati yang tidak terbendung, dan membangkitkan
daya imajinasi yang sangat personal. Daya imajinasi yang kuat dan personal itulah
yang menjadi salah satu ciri dan kelebihan radio dibandingkan media lainnya.
Ketika televisi belum dikenal luas oleh masyarakat Indonesia, betapa masyarakat kita
dengan tekun menyimak siaran langsung pertandingan bulu tangkis All England
antara Rudy Hartono dan Punch Gunalan dari Malaysia. Kita mendengarkan betapa
sibuknya penyiar radio (RRI) melaporkan jalannya pertandingan yang sangat alot,
sehingga pendengar yang “menyaksikan” pertandingan tersebut lewat laporan
pandangan mata (dari penyiar yang menonton langsung pertandingan tersebut) diajak
seakan-akan ikut juga menyaksikan langsung pertandingan tersebut. Dalam waktu
singkat, dengan kecepatan dan ketepatan pengucapan, si penyiar dituntut untuk
menyampaikan isi laporan secara akurat dan menyeluruh. Tanpa itu, tentu para
pendengar tidak akan bisa dituntut tekun mengikuti siaran tersebut. Keadaan ini tentu
sangat berbeda jika dibandingkan siaran pandangan mata yang disampaikan televisi
seperti saat ini.
Walter J. Ong, peneliti AS, mengatakan: “Manusia abad ke-20 sesungguhnya
memasuki era kebudayaan yang samasekali baru dengan terciptanya media massa
elektronik, khususnya radio”, yang disebutnya dengan istilah “secondary orality”
(kelisanan kedua). Kita seakan-akan telah meninggalkan planet Guttenberg (penemu
mesin cetak), sebagaimana dikatakan ahli media massa terkenal, Marshall McLuhan.
Ia mengatakan, di samping bahan cetakan - yang berabad-abad menjadi sarana
terpenting untuk penyimpanan, penyebarluasan dan penemuan kembali informasi -,
pada masa modern ini muncul radio (juga televisi dan media elektronik lainnya), yang
sebagiannya telah mengambil alih fungsi itu. Sarana modern seperti radio ini,
memanfaatkan kembali suara sebagai alat utama atau penting untuk menyampaikan
informasi, dan telinga sebagai indria penting untuk menerimanya. Dari segi ini dapat
dikatakan kita kembali ke masa saat orality (kelisanan) memainkan peran penting
dalam komunikasi dan penyampaian informasi.
Peranan historis radio, khususya RRI, dalam sejarah perjuangan bangsa tentu tidak
perlu diragukan. Namun berbicara tentang radio dalam konteks kehidupan manusia,
masyarakat atau bangsa, kini dan pada masa depan, tentu tidak harus membawa kita
untuk selalu bernostalgia seperti itu. Keberadaan radio sebagai media komunikasi
massa kini makin kompleks. Dalam masa perkembangannya, radio mengalami
pasang-surut. Pada masa perjuangan radio merupakan bagian tak terpisahkan dari
media perjuangan. Dalam masa pembangunan, lebih-lebih pada masa Orde Baru,
radio (dan media lainnya) digunakan sebagai alat propaganda pemerintah yang
berkuasa saat itu. Radio swasta, pada awal pertumbuhannya lebih banyak digunakan
sebagai sarana untuk mengembangkan hobi dan hiburan. Namun dalam
perkembangannya, sudah lebih mengarah pada komersialisasi; seluruh potensi yang
dimilikinya digunakan secara maksimal untuk meraih keuntungan secara ekonomis.
Radio swasta (private) sekarang ini (sesuai Undang-undang No. 32 tahun 2002
tentang Penyiaran), digolongkan sebagai radio komersial, yang profit oriented,
berbadan hukum perusahaan (PT), dan menggunakan kanal frekuensi tertentu. Dalam
kaitannya dengan aspek ekonomi ini, secara substansial kemudian dibedakan antara
radio publik yang lebih mengedepankan pelayanan kepada publik, radio swasta yang
sepenuhnya bersifat komersial, dan radio komunitas yang tidak boleh menyiarkan
iklan komersial kecuali iklan layanan masyarakat. Apa pun jenis jasa penyiaran radio
yang diselenggarakan, media penyiaran sebagai bentuk kegiatan komunikasi massa,
mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, kontrol
serta perekat sosial.
Dalam perkembangan selanjutnya, semua jenis jasa penyiaran radio siaran tersebut,
sebagaimana dikatakan Roger Fidler (2003), muncul dalam suatu masyarakat yang
sudah menyadari alasan-alasan sosial, politik dan ekonomi bagi pengembangan
sebuah media komunikasi dengan jangkauan yang luas. Dilihat dari aspek ini, media
penyiaran radio memiliki kedudukan sangat strategis karena memiliki pengaruh besar
dalam pembentukan sikap dan opini publik.
Ketika berbagai siaran televisi menyerbu ke tiap rumah, ke ruangan pribadi kita,
masuk dan menghiasi ruang tamu kita dengan berbagai acara yang disajikan dengan
teknologi audiovisualnya, radio samasekali tidak terdesak dan tidak pernah
kehilangan pamornya. Radio telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan kita
sehari-hari.
Dengan booming televisi, banyak pengamat komunikasi memperkirakan radio akan
kehilangan basis pendengar dan peran yang signifikan sebagai institusi media massa.
Televisi dipandang sebagai generasi penerus yang akan mengambil alih peran radio.
Ternyata perkiraan tersebut meleset. Memang jatah iklan radio berkurang drastis,
tetapi tidak demikian dengan peran sosialnya. Ancaman pada basis pendengar radio
datang dari fenomena pergeseran peran radio itu jua, yang masih belum
mencerminkan aspek substantif seperti yang diharapkan para pegiat demokratisasi.
Menurut peneliti media Australia, Krishna Sen, pasca-Orde Baru peluang radio untuk
menjadi sumber opini makin besar. Jika tidak dikelola dengan benar, peluang ini
dapat berbalik menjadi ancaman. Radio siaran diibaratkan binatang raksasa yang baru
bangun dari tidurnya yang panjang, sehingga membutuhkan pawang yang cerdas.