You are on page 1of 3

Air

Air putih kental itu saya terima di dalam tubuh saya. Mengalir deras sepanjang rongga vagina
hingga lengket, liat sudah di indung telur yang tengah terjaga. Menerima. Membuahinya. Ada
perubahan di tubuh saya selanjutnya. Rasa mual merajalela. Pun mulai membukit perut saya.
Ketika saya ke dokter kandungan untuk memeriksakannya, sudah satu bulan setengah usia
janinnya.
Akan kita apakan calon bayi ini? Kita masih terlalu muda,” kata ayahnya.
Saya akan menjaganya.
Air kental itu seperti bom yang meledak di dalam tubuh saya. Mengalir deras sepanjang
rongga vagina hingga keluar mendesak celana dalam yang tak kuat membendungnya. Terus
menyeruak dan mendarat lengket, liat, di atas seprai motif beruang teddy berwarna merah
muda. Ketuban sudah pecah. Rasa takut seketika membuncah. Tapi segera mentah berganti
dengan haru memanah. Sembilan bulan sudah. Lewati mual tiap kali mencium bau parfum
keluaran baru eternity. Rasa waswas setiap kali belum waktunya namun sudah kontraksi.
Tidak mengambil cuti, mencari uang demi mengonsumsi makanan bergizi yang konon bisa
membuahkan kecanggihan otak maupun fisiknya nanti. Tapi…
“Kami mengerti, tapi perutmu sudah kelihatan tambah besar. Kami tidak bisa mempekerjakan
SPG yang kelihatan sedang hamil,” kata supervisor saya.
Saya akan menjaganya.
Air ketuban sudah hampir kering. Baru pembukaan delapan, masih harus menunggu dua
pembukaan lagi. Harus operasi. Tapi saya ngotot persalinan alami. Uang yang terkumpul
tidak cukup untuk operasi. Dan jika operasi, saya khawatir tidak bisa langsung mengurusnya
sendiri. Untuk keperluan sehari-hari saja pas-pasan. Membayar pembantu, apalagi suster,
jelas belum mapan. Materi yang ada, belum cukup untuk hidup sebagai majikan. Memikirkan
itu tenggorokan saya jadi ikut kering. Erang kesakitan sudah tidak lagi melengking. Kepala
saya pening. Dokter yang baik itu menatap saya dengan prihatin. Tapi saya berkata dengan
yakin.
“Robek saja, Dok. Gunting saja supaya tuntas pembukaannya.”
Saya akan menjaganya
Air hangat itu membasuh kulit tubuhnya yang bening. Suara tangisnya seisi ruangan
melengking. Saya jentikkan jari kelingking di pipinya yang merah. Mengecup kedua matanya
yang masih lengket. Masih tak percaya. Makhluk manis tak berdaya itu pernah tinggal di
dalam rahim saya. Masih tak percaya. Makhluk mungil itu keluar dari dalam tubuh saya.
Lantas suster membawanya. Pergi ke kamar bayi jauh dari ibunya. Saya ingin protes, tapi tak
bisa. Saya hanya bisa berjanji dalam hati, setelah ini tak akan ada yang memisahkan kami
lagi, ketika suster itu berkata, “Ibu butuh istirahat untuk mempersiapkan ASI. Sekarang kami
akan membawanya ke kamar bayi.”
Saya akan menjaganya.
Air putih cair itu keluar berupa jentik-jentik yang ajaib di ke dua puting saya. Suster yang
sedari tadi memijat payudara saya terlihat puas. Tidak terlalu sulit mengeluarkannya. Selama
sembilan bulan setiap harinya saya sudah memijat payudara saya dengan minyak kelapa.
Lucu, sekarang ke dua payudara kecil ini pun gemuk membungkah seperti kelapa. Penuh
dengan air susu yang sebentar lagi akan ada pengisapnya. Di mana makhluk mungil itu? Saya
begitu tak sabar menunggu. Begitu ingin segera menimang dan menatapnya menyusu. Saya
sudah tidak butuh rehat. Air susu saya sudah sarat. Payudara sudah terasa berat.
“Benar Ibu sudah siap?”
Saya akan menjaganya
Air mata meleleh di pipinya, tak ingin begitu saja melepas kepergian saya. Cukup lama saya
harus menenangkannya. Berusaha memberikan pengertian. Berusaha memberikan rasa aman.
Dan harapan. Harapan akan segera pulang. Harapan akan segera pulang membawa uang.
Harapan akan segera pulang membawa uang untuk suatu hari nanti tak perlu pergi kerja dan
tinggal angkat kaki ongkang-ongkang. Jika saat itu tiba, kami akan menjelajah dunia.
Mengunjungi semua Disneyland di tiap negara yang memilikinya. Bermain dengan penguin-
penguin di Cape Town selatan Afrika. Menyeruput pinacolada di Hawaii sambil menyaksikan
tarian bora-bora. Kalau perlu, kalau ia mau, saya akan membeli rumah berikut taman bermain
milik raja pop Michael Jackson yang tengah bangkrut. Membeli apa pun yang ia inginkan
semudah orang membuang kentut. Tapi tidak mudah memberikan sejuta harapan. Apalagi
jika harapan-harapan itu kerap diulang-ulang dan tak pernah mewujud jadi kenyataan. Karena
sudah beribu-ribu kali saya hanya pulang membawa sedikit uang. Hanya cukup untuk makan
sekadar, membayar listrik, air, telepon, kontrakan, dan sekolah yang semakin hari harganya
semakin tinggi menjulang. Dan saya tetap akan pergi. Tetap akan pulang. Ia akan tetap tak
membiarkan saya pergi. Tetap menunggu saya pulang. Saya tetap akan pergi. Tetap akan
pulang. Ia membiarkan saya pergi. Tak menunggu saya pulang.
“Capek ah nunggu, aku udah mau tidur!” semprotnya.
Saya akan menjaganya.
Air asin itu mendarat di bibir saya lagi. Lampu-lampu besar seperti makhluk pemeras
keringat yang tak berperikemanusiaan. Sudah jam delapan. Baru akan dimulai merekam
adegan. Saya harus segera menghayati peran. Tapi kepala saya masih dipenuhi pikiran.
Apakah makhluk kecil yang sudah beranjak remaja itu sudah makan? Apakah ia kesepian?
Atau jangan-jangan di rumah ia sedang asyik masyuk pacaran? Saya menjadi ketakutan.
Ingin menelepon tapi sutradara memberi instruksi jika ponsel mutlak dimatikan. Tak ada
yang mungkin saya lakukan untuk menjangkaunya sekarang. Padahal saya sudah begitu ingin
cepat-cepat menjangkaunya dan terbang pulang. Melayang seperti burung tanpa harus
terhambat kemacetan. Melayang bersamanya menikmati indahnya kelap kelip lampu jalan
seperti dongeng anak-anak Peter Pan. Lampaui semua beban. Lampaui semua luka dan
penderitaan. Kadang saya juga ingin melayang jauh ke masa lampau. Tidak membiarkan air
putih kental itu lengket di indung telur hingga tumbuh menjadi janin yang kini terlahir
sebagai manusia yang merasa disia-siakan. Melayang lebih jauh lagi ke masa lampau. Tak
bertemu dengan ayahnya yang dengan mudahnya lepas tangan.
“Action!” teriak sutradara.
Saya akan menjaganya.
Air jernih di dalam gelas yang dulu ada di atas meja samping tempat tidurnya, kini telah
berganti dengan air berbusa kekuning-kuningan. Di gelas itu berdiri sebotol bir merek
bintang. Entah disengaja untuk menarik perhatian. Entah ia sudah teler dan lupa menyimpan.
Yang sudah pasti telah terjadi perubahan yang membuat saya tertekan. Tapi lebih pasti lagi ia
tak kurang tertekan. Apakah yang sudah saya lakukan? Atau justru apakah yang tidak saya
lakukan? Sudahkah karenanya ia menjadi korban? Di balik selimutnya ia tertidur dengan
amat tenang. Saya jentikkan kelingking di pipinya yang bening. Saya kecup kedua matanya
yang merapat, persis seperti ketika ia baru lahir dengan kedua mata yang masih lengket. Tapi
ia menggeliat. Lantas meronta, menghalau saya supaya tak dekat-dekat. Semakin terkumpul
segala lelah segala penat.
“Bangsaaaaaaaat!”
Saya tak kuasa menjaganya
Air kuning kental itu meluap dari mulut saya. Lima puluh pil penenang saya tenggak.
Harusnya seratus pil seperti yang dikonsumsi Maryln Monroe hingga ajal menjemputnya.
Ada cahaya di ujung lorong, igau saya. Ternyata datang dari tubuhnya yang berbalut cahaya
kemilau dengan tangan terbuka. Siap menerima saya dalam pelukan bahagia. Saya menengok
ke arah ujung lorong yang berlawanan. Ada kegelapan, igau saya. Ternyata datang dari
tubuhnya yang sama sekali tak berbalut cahaya kecuali melulu kegelapan dan luka. Terkulai
lemah seakan menunggu saya menerima ia dalam pelukan saya. Menunggu. Seperti semasa ia
bayi menunggu saya membersihkan puting payudara sebelum menyerahkan untuknya
menyusu. Menunggu. Seperti semasa ia balita menunggu saya pulang selepas kerja membawa
sedikit uang dan satu kantung plastik berisi sepatu baru.
Menunggu. Seperti saya sekarang menunggunya dengan ilusi dirinya berkilauan
merentangkan tangan atau terkulai lemah membutuhkan pegangan setelah menemukan mulut
saya berbusa akibat menenggak obat penenang. Menunggu. Seperti sekarang saya menunggu
emosi saya pergi. Menunggu kesadaran saya kembali. Menunggu. Seperti saya sekarang
menunggu satu saat nanti ia mengerti. Satu saat nanti ia kembali.
Saya kembali ke kamarnya. Duduk di samping tempat tidurnya dan memerhatikannya yang
sudah kembali pulas tidur. Ada buku di sampingnya menarik perhatian saya. Pelan-pelan saya
ambil dan buka. Ada puisi di dalamnya.
Air dapat memelukmu
tapi tak akan membelenggumu
Air dapat pantulkan cahayamu
tapi tak dapat jadikanmu nyata(*)
Saya akan menjaganya.
Jakarta, 13 Mei 2006 12:24:00 PM
Untuk Banyu Bening
(*) Cuplikan puisi Air karya Banyu Bening

You might also like