Professional Documents
Culture Documents
M. Nur Alamsyah1
PENGANTAR
baik, dilihat dari sistem maupun kualitas partisipasi politik masyarakat jika dibandingkan
dengan era sebelumnya (orde baru). Ini akan memungkinkan masyarakat memenuhi
ekspektasi dirinya pada pilihannya bahkan dapat memilih secara langsung calon yang
dikehendakinya.
Perbandingan pemilu pasca reformasi 1999 dan 2004, menunjukkan beberapa hal,
jumlah non voting sebagai wujud dari protes (protest voters) atau terjadinya perpindahan
suara pemilih dari satu partai ke partai lain sebagai wujud retrospektif voting. Ini
menunjukkan independensi pemilih dan atau mungkin karena kuatnya apatisme politik
terhadap proses politik era sebelumnya. Kedua, tingginya angka pemilih yang dapat
menjaga jarak atau otonom dengan proses politik (civic disenggagement), sehingga terjadi
swing voters atau lahirnya pemilih yang derajat afiliasinya (parthisanship) lemah ke partai
yang dahulu dan sekarang mencari partai alternatif dan split voters atau inkonsistensi
pemberian suara pemilih kepartai tertentu yang di akibatkan bukan karena seidieologi,
ideologi atau sistem kepercayaan yang menciptakan pola-pola tingkah laku politik (Apter,
1
Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Tadulako Palu
independennya proses pemilu yang tidak lagi digerakkan oleh mekanisme birokrasi dan
kini bergeser kepada sosialisasi dan mobilisasi politik yang digerakkan oleh civic
Masyarakat marginal, dalam pemilahan kelas dalam konteks politik diera pasca
reformasi, merupakan komunitas yang masih dianggap akan menjadi ajang bulan-bulanan
bagi tiap konstestan pemilu. Ini dikarenakan banyaknya hal yang memungkinkan hal
tersebut dapat terjadi. Meskipun dalam era pasca reformasi, semua masyarakat memiliki
dari komunitas Jawa, Bali, Lombok meskipun di era kekinian program ini mengalami
perluasan dengan berbagai program yang diadakan. Secara politis, komunitas periferal
tersebut adalah bentukan birokrasi pada era rezim orde baru. Status itu(transmigran)
problematika lainnya terutama ekonomi yang menjadi latar belakang komunitas untuk
bertransmigrasi.
Alienasi politik pada komunitas ini pada satu pihak membangun mental untuk
dapat hidup secara layak dan berdampak pada strategi hidup komunitas untuk dapat tetap
kehidupan menimpa, masalah identitas seperti ras, agama, kesukuan, tetap tidak akan
hilang, bahkan akan berkembang menjadi kekuatan-kekuatan baru dan disuburkan oleh
intensitas emosi dan keruwetan psikologis”. Sehingga penting mencemati faktor budaya
2
Secara konseptual, studi perilaku pemilih sangat dipengaruhi oleh 3 (tiga) aliran
pemikiran yang kesemuanya berasal dari paradigma “positivis liberal”( Martin Harrop
and William L. Miller, 1987;130-162) yaitu, mashab sosiologis yang dikembangkan oleh
Columbia university bureau allied social science. Kedua adalah mashab psikologis yang
penekanannya kepada pendekatan ekonomi yang dikenal dengan Model Rational Choice.
dari berbagai pandangan dan realitas yang memungkinkan lahirnya kecendrungan untuk
berperilaku, khususnya dalam salah satu konteks perilaku politik yaitu memilih dalam
Pemilu.
Perilaku memilih menurut (Fisben and Ijek, 1975; 15) selalu dipengaruhi sistem
yang terdiri dari; kepercayaan (belief), sikap (attitude), maksud (intention), dan perilaku
(behavior) dimana sistem ini merupakan dasar dari rule system yang menjadikannya
sebagai aksen activity. Orientasi pilihan (preferensi) menurut (Grenstein, 1969) terkait 3
(tiga) fungsi sikap yaitu ;1. sikap sebagai fungsi kepentingan yaitu penilaian terhadap
dapat sama atau berbeda dengan tokoh panutan yang diseganinya. 3. fungsi sikap yang
merupakan fungsi eksternalisasi dari pertahanan diri yaitu upaya untuk mengatasi konflik
bathin atau tekanan psikis yang mungkin berujud mekanisme pertahanan diri atau defence
identifikasi.
yaitu karena motivasi tak sadar (unsconsious motives), kesadaran praktis (practical
3
consciousnes) dan kesadaran diskursif (discursive consciousnes). Dimana pemilih dengan
Motivasi tak sadar, melakukan kegiatan pada Pemilu dengan asumsi sebagai sebuah arena
pesta atau seperti suasana carnaval. Pemilih dengan motivasi kesadaran praktis, yang
memiliki pengetahuan dalam melakukan tindakan pada masa pemilu sebagai kegiatan
yang tidak dapat diuraikan, tetapi merupakan nilai yang melekat dalam diri pemilih
tersebut seperti nilai pada jamaah pada shalat Jumat akan diam saat Khatib sedang bicara.
merefleksikan dan memberikan penjelasan rinci serta eksplisit atas tindakan seperti
konsekwensi yang timbul akibat memilih seperti akan dipecat dan sebagainya. Atau
memilih karena yang menjadi kontestan adalah Ayah atau keluarganya atau karena
didasari oleh program kerja kontestan yang baik, atau adanya janji akan dibangunkan
sesuatu atau kondisi dimana pemilih sadar dan mengetahui berposisi dimana.
Kurt Lewin (Brigham, 1991), merumuskan suatu model hubungan perilaku yang
mengatakan bahwa perilaku adalah fungsi karakteristik individu dan lingkungan dimana
kepribadian dan sikap yang saling berinterakasi satu sama lain dan berinteraksi pula
umum (Pemilu) oleh (Saragih, 1997;35) ditentukan oleh 2 (dua) yaitu yang terkait dengan
sistem adalah electrocal laws (aturan umum pemilu) dan electoral process
kepribadian, kedua karakteristik sosial seperti usia, status ekonomi, karakter suku, jenis
4
kelamin dan agama atau keyakinan ketiga sifat dan sistem partai keempat perbedaan
terhadap pemilih yaitu: 1. Kekuasaan, yaitu cara mencapai yang diinginkan melalui
dikejar-kejar oleh pelaku atau kelompok-kelompok politik, 3. Kebijakan yaitu hasil dari
interaksi antara kekuasaan dan kepentingan yang biasanya di bentuk dalam perundang-
undangan, 4. Budaya politik yaitu orientasi subyektif individu terhadap sistem politik.
dipengaruhi 4 (empat) faktor yaitu : 1. Lingkungan sosial politik tidak langsung misalnya
sistem politik, ekonomi, budaya dan media massa, 2. Lingkungan sosial politik langsung,
sosial politik langsung, berupa situasi yaitu keadaan yang mempengaruhi aktor ketika
Kajian fenomenal dan banyak dijadikan starting point untuk membangun kajian
tentang masyarakat Jawa terutama dalam tendensi perilaku politik adalah kajian (Clifford
Geertz;1964), yang mempolakan masyarakat jawa dengan santri, abangan dan priyayi.
Disini Geerts melihat dari sisi religiusitas untuk meneropong berbagai aspek. Riset Karl
D. Jackson yang menemukan fenomena lain di Jawa barat terkait dengan hubungan
antara elit dan masyarakat dalam realitas mengapa masyarakat terlibat pada
5
Penelitian (Affan Gaffar;1992) tentang Javanese Voters yang menelaah
pendekatan struktural Geertz dan tradisional authority dari Jackson. Menemukan adanya
pengaruh panutan masih kuat bagi kecenderungan perilaku politik memilih masyarakat
penelitian pada akhir era orde baru (1992 dan 1997), menunjukkan di beberapa tempat di
Jawa sebagian masyarakat rural area menunjukkan partisipasi yang semakin baik.
Untuk itu, menjadi sangat menarik untuk melihat perilaku memilih komunitas
Jawa dalam ranah (budaya, geografis, demografis, politik) yang lain jika dibandingkan
dengan daerah yang masih terpengaruh kuat oleh lingkungan mereka (Etnis Jawa). Salah
satu daerah yang menarik untuk itu adalah Sul-Sel, yang secara politik didominasi agent
negara. Sehingga, menarik melihat dimana dan bagaimana perilaku memilih komunitas
transmigran Jawa berada. Riset Ini akan menghasilkan perspektif dan pandangan baru
CARA PENELITIAN
perilaku memilih transmigran Jawa dalam pemilihan umum.dan akan dijelaskan dengan
menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif. Teknik pengumpulan dan jenis data
dibedakan atas 2 (dua) yaitu data observasi langsung, indepth interview terhadap
beberapa informan komunitas yang dapat memberikan informasi tentang penelitian ini,
sedangkan dokumenter untuk data sekunder yang dibutuhkan dalam studi ini.
6
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Kehidupan masyarakat marginal yang dibangun atas hasrat untuk merubah kondisi
kehidupan ekonomi, merupakan sebuah kondisi yang penuh problematika dan dilema.
Terjadinya pengaruh terbesar dalam aspek kekuasaan (power) salah satunya adalah
berpartisipasi dalam setiap proses politik. Kehidupan tersebut dalam konteks kehidupan
Di antara perundangan itu, satu yang cukup pokok, dan berperan penting adalah
pemerintahan daerah, maupun UU politik yang baru. Hal ini berpengaruh terjadinya
modus yang bersifat emosional seperti keluarga, daerah asal, tingkat kedekatan yang
bersumbu pada patron elit lokal masih cukup kuat tetapi mesti mendapat support dan
dukungan dari elit komunitas. Fenomena tersebut sangat jelas terjadi pada pemilu era
pasca reformasi karena melemahnya pengaruh birokrasi dan militer yang selama ini
Berbagai faktor yang seperti diatas menjadikan masalah budaya dalam komunitas
Jawa yang dikenal dengan “pakewuh ataupun manut” dan berdiri diatas budaya patron
7
client yang kental sehingga kecenderungan mereka untuk melakukan suatu kegiatan
dimiliki seperti tingkat pendidikan, keadaan ekonomi, kuatnya aspek budaya lokalistik,
meskipun juga mereka sangat dipengaruhi oleh perubahan sistem kenegaraan yang ada.
Berbagai faktor tersebut diatas, menjadi bahan dasar konstruksi perilaku politik Hal ini
Pergeseran Perolehan
Pada Partai Politik terbesar Pemilu 1999 dan 2004
menentukan pilihannya dalam pemilu. Hal ini karena berkorelasi dengan aspek budaya
kepribadian dan sikap budaya mereka. Faktor lainnya adalah proses transmigrasi yang
dilalui komunitas ini, yang menempatkan tokoh lokal baik dari unsur trans ataupun
setempat (indegineus local) yang awalnya banyak berprofesi sebagai aparat pemerintah
baik di level desa, kecamatan dan lainnya memiliki kharisma dan pesona tersendiri bagi
8
Pengalaman sejarah masa lalu masyarakat Jawa yang traumatik sehingga berupaya
tidak terjebak pada hal-hal yang bersifat ideologis seperti di era Partai Komunis Indonesia
(PKI) terutama pasca G30S/PKI pecah, maka di daerah wilayah penelitian ini (Luwu
secara keseluruhan) masyarakat Jawa, utamanya Jawa kolonisasi banyak di klaim sebagai
"antek-antek" PKI. Traumatik yang dibangun sejak era kolonialisme ini, masih sangat
segar dalam ingatan komunitas akan susahnya menjadi komunitas marginal utamanya
Munculnya berbagai tokoh yang dijadikan sebagai vote getter partai seperti
Megawati yang mengusung nama Sukarno, yang memberi kontribusi terhadap perolehan
PDIP, hal ini tidak dapat dilepaskan dari masa lalu sebagian anggota komunitas, utamanya
sebagian tokoh Tua komunitas ini yang menjadi patron penting dimasyarakat, dulunya
saat di Jawa adalah pendukung PNI atau sukarnois. Begitupun Abdurrahman Wahid (Gus
Dur) yang menjadi ketua umum Nahdatul Ulama (NU), dan dewan syura PKB dan anak
pendiri aliran NU ini, sehingga karena kuatnya Kharisma yang melekat pada tokoh-tokoh
tersebut menjadi perekat bagi masyarakat untuk memilihnya. Begitupun dengan Tokoh
lain seperti Habibie yang menjadi representasi masyarakat Sul-Sel, menjadi pilihan
strategis bagi komunitas yang dapat merampungkan hasrat (ekspektasi politik) mereka
dilihat secara kualitas, partai, realitas hasil program pembangunan utamanya sektor
pertanian dengan naiknya harga hasil pertanian, dan yang terpenting adalah secara
geografis.
Latar belakang masa lalu dengan perbandingan kondisi kekinian dengan kapasitas
pengetahuan, wawasan dan pendidikan serta ekonomi yang terbatas dalam masyarakat ini
relatif menumbuh suburkan image pentingnya dan berhasilnya kebijakan rezim lama atau
orde baru terhadap kehidupan mereka. Akibatnya adalah, terbangun suatu mekanisme
9
untuk bersikap tetap bahkan berimplikasi lahirnya defence mechanism function
(mekanisme pertahanan diri). Ini utamanya terdapat pada tokoh-tokoh Tua komunitas.
untuk memperoleh suara merupakan bukti bahwa mekanisme perilaku politik masyarakat
sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor diatas. Begitupun terdapatnya partai politik yang
Kebijakan yang dikonstruksi pada pemilu 1999 umumnya jauh lebih elitis dengan
secara teknis diletakkan partai politik pada tingkat-tingkat urutan utama atau menjadi Tim
Kampanye yang dapat berasal dari tokoh agama, pemerintah, ataupun ilmuwan yang
dapat dianggap akan dapat memancing prefernsi masyarakat dan untuk mendekati
kontinum yang diinginkan. Hal tersebut ditanggapi oleh perilaku memilih komunitas
dengan termobilisasi pada satu calon tertentu meskipun terdapat pemilih yang juga relatif
lebih otonom untuk kepentingan dirinya, yang kemudian memobilisasi anggota komunitas
Ini terutama terjadi pada elit kelas menengah yang mencoba merubah diri dengan
menaikkan kelas dengan mendekati patron pada elit yang lebih kuat dalam pengertian
rasionalitasnya memiliki kharisma, harapan, kekayaan dan kedudukan yang lebih tinggi di
masyarakat, hal ini dapat dilihat pada orientasi perilaku memilih kalangan generasi muda
komunitas trans ini pada semua wilayah penelitian dimana tokoh-tokoh tersebut
merupakan tokoh pemuda yang memiliki latar belakang pekerjaan sebagai petani
10
Pada pemilu 2004 terlihat bahwa modus tersebut relatif berbeda. Sebagai ilustrasi
adalah untuk dapat menangkap suara dari para komunitas trans di daerah ini, tokoh-tokoh
yang berasal dari komunitas Jawa digunakan sebagai pencari suara meskipun ditempatkan
pada posisi “Mati” atau tidak akan jadi. Dan pada kenyataannya hal tersebut berhasil
komunitas adalah sangat merugikan karena suara merekapun kemudian tidak terwakili
oleh calon yang diinginkan karena harus diwakilkan berdasarkan urutan “catch all”,
meskipun mendapat suara dominan di wilayah tersebut. Ini dikarenakan ketentuan tentang
urutannya yang jauh dari nomor jadi sehingga tidak memungkinkan memperoleh kursi
dan ini terjadi pada beberapa tokoh andalan komunitas Jawa trans.
banyaknya elit yang mempengaruhi mereka, tetapi juga terlihat bahwa orientasi pilihan
politik mereka pada kontestan pemilu, umumnya tidak diorientasikan oleh aspek etnisitas
melinkan budaya (Jawa) yang bersifat kewilayahan atau geografis. Meskipun disini juga
terbukti bahwa masyarakat senantiasa melakukan evaluasi terhadap pilihannya. Ini dapat
terlihat dengan fenomena PKB dan PDIP beserta kharsima tokohnya yang ditinggalkan
(delegitimasi).
baru diwilayah ini, dimaknai secara beragam oleh kalangan anggota komunitas. Seperti
terdapat perbedaan orientasi masyarakat pada tiap wilayah untuk merepresentasikan hal
dilaksanakan oleh pemerintah daerah dengan berbagai program yang dilaksanakan tetapi
11
tidak menyentuh substansi yang dikehendaki masyarakat, seperti pen gairan, infrastruktur
seperti listrik maupun suprastrukturnya berupa jalanan ataupun jembatan yang secara
Pemilu 2004 merupakan arena evaluasi pemilu era orde baru dan pemilu 1999.
Hasilnya evaluasi bagi masyarakat sangat jelas terlihat dari hasil-hasil pemilu-pemilu
tersebut. Terbukti bahwa ketika masyarakat merasakan akan adanya harapan untuk dapat
lebih baik pada pemilu 1999 dengan melihat realitas, dimungkinkannya sesuatu
Jika dibandingkan dengan kondisi yang diciptakan era orde baru maka komunitas
lebih apresiatif terhadap pembangunan dan kebijakan yang dilakukan era orde baru
ketimbang era 1999 yang bentuknya adalah “janji” dan masih merupakan harapan.
akhirnya pemilu 2004 kembali ke preferensi semula dan sebagian yang masih mencoba
pilihan lain yang intinya adalah mengembalikan preferensi kepada kekuatan lama yang
tercermin dalam tiap-tiap partai atau kontestan yang didentifikasi dengan figur. Tetapi
perolehan partai Golkar tidak lagi menjadi mutlak, yang berarti ada keberanian Protes
Sehingga sangat jelas dari pemaparan dan tabel diatas, berbagai kejadian yang
menjadi indikator ekspektasi masyarakat selain kesigapan elit partai membangun jaringan
kepada elit komunitas sebab ini menjadi bahan evaluasi anggota komunitas. Suara protes
yang dahulunya meninggalkan Golkar, ternyata dapat pelan-pelan kembali. Ini terbukti
12
dari berpindahnya suara, partisipan partai lain kepada partai lamanya. Fenomena tersebut
tidak lepas dari keberhasilan partai atau birokrasi daerah yang di topang oleh kebijakan
melakukan protes terhadap pilihan yang lalu. Dimana sistem perpindahan pilihan tersebut
secara umum dipengaruhi oleh dampak mobilisasi yang dilakukan oleh elit desa kepada
asal daerah dan status pekerjaan. Ini secara real terlihat pada tabel diatas bahwa faktor
dan Hasanah), adalah dampak sangat dekatnya calon yang berkompetisi dengan
masyarakat yang lebih diuntungkan oleh aspek Jasa masa lalu. Dimana ini berdampak
berkurangnya dan beralihnya suara Golkar sebagian dan demikian juga dengan PKB dan
partai lain.
Tidak pada partai Golkar hal tersebut terjadi, hampir semua partai mengalaminya.
Ini terasa pada partai Golkar karena dilihat dari jumlah perolehan selama ini (pemilu orde
baru), perolehannya sangat mendominasi. Pada pemilu 1999 dan 2004 ditinggalkan dan
juga didatangi oleh pemilihnya, ini menunjukkan kekuasaan dan legitimasi kejayaan
Golkar (hegemonic party) telah mulai surut dan bergeser menjadi partai rasional dengan
menggunakan political marketing yang relatif lebih baik dalam mendekati kontinum
prefernsi masyarakat pemilihnya terutama terhadap kalangan kelas elit lokal yang
Hal diatas, juga digunakan partai lain utamanya yang telah memiliki pengalaman
pada pemilu 1999 seperti PKS yang menanamkan keyakinan konstituennya melalui
investasi modal sosial dalam upayanya menarik preferensi pemilih. Sebaliknya, partai
13
yang relatif menggunakan kekuatan kharisma ataupun patrimonial semata, tidak dapat
menilai berdasarkan hal-hal terakhir yang pada umumnya bersifat ekonomis dan ril.
Hal tersebut mengangkat citra para politisi Golkar untuk mendapat simpati dari
masyarakat diwilayah ini yang melihat secara langsung seberapa antusiasnya para politisi
tiap wilayah yang diwakilinya dan perhatian yang besar terhadap berbagai aspek sosial
pada masyarakat. Dan strategi inilah yang tidak dimiliki oleh partai lain pra pemilu 2004
kecuali PKS yang menggunakan strategi sosial (charity) dalam menjalankan strategi
mendekati kontinuumnya.
KESIMPULAN
1. Faktor-faktor penting yang berpengaruh adalah sistem (UU), elit, tingkat pendidikan,
kondisi ekonomi yang beragam antara anggota komunitas, aspek hegemoni masa lalu,
kebijakan pembangun.
2. sifat perilaku memilih komunitas trans umumnya masih bersifat mobilisasi yang
3. Tetapi kecenderungan pilihan yang diberikan oleh pemilih dari komunitas ini,
menunjukkan pilihan yang bersifat intransitif atau transisi baik yang bersifat otonom
maupun mobilisasi.
Indonesia, seperti semakin kuatnya bargaining politik tiap komunitas terhadap proses
politik. Negatifnya adalah dapat menjurus kepada kekisruhan jika aspek catch all
urutan ini dipertahankan sebab menggangu prinsip dasar demokrasi masyarakat yang
14
terbiasa menggunakan simple mayoriti/mayoritas utama yang berpotensi bergeser ke
DAFTAR PUSTAKA
Fisben and Ijek.,1975. Belief, Attitude, Intention And Behaviour, Addison Wesley
publication. Co. New York
Gaffar, Affan., 1992. Javanese Voters: a case study of election under hegemony party
system. (disertasi, the ohio state university, 1988); Gama Press. Yogyakarta
----------------, 1998. Laporan Penelitian Pemilu 1997. sebuah analisa tentang proses dan
hasil, Fisipol UGM (tidak diterbitkan)
Harrop, Martin and Miller, William L., 1987. Election And Voters A Comparative
Introduction, Mac Millan Press
Kristiadi, J., 1996. Pemilu dan Perilaku Pemilih Di Indonesia (studi kasus Yogyakarta dan
Kab. Banjarnegara) 1994 , Prisma 2 Februari
Saragih, Bintan., 1997. (kumpulan tulisan) Evaluasi Pemilu Orde Baru, Lab. Politik UI
dan Mizan, Bandung
Surbakti, Ramlan., 1992. Memahami Ilmu Politik, Gramedia Widya Sarana, Jakarta
Weber, Max., ( edited by. Guenther Roth and caluss wittich). 1978. Economic and
Society, Barkley University of Columbia Press
15