Professional Documents
Culture Documents
Pendahuluan
1
satu cara dari organisme ini untuk mempertahankan diri dari predator dan mengurangi
resiko akibat ekspose radiasi sinar matahari.
Apakah Sponge?
Sponge adalah biota multiseluler primitif yang bersifat filter feeder,
menghisap air dan bahan-bahan lain disekelilingnya melalui pori-pori (ostia)
kemudian dialirkan ke seluruh bagian tubuhnya melalui saluran (channel) dan
dikeluarkan melalui pori-pori yang terbuka (ostula). Sponge termasuk hewan laut
dalam filum porifera yang berarti memiliki pori-pori dan saluran. Melalui pori-pori
dan saluran-saluran inilah air diserap oleh sel khusus yang dinamakan sel leher, yang
dalam banyak hal menyerupai cambuk. Jenis sel ini dinamakan koanosit (choanocyte;
yunani=choane: cerobong, kytos=berongga). Filum hewan ini lebih banyak dikenal
sebagai sponge, yakni hewan multiseluler (bersel banyak) yang primitif, mungkin
berasal dari jaman paleozoik sekitar 1,6 milyar tahun yang lalu (Romimohtarto dan
Juwana , 2001; Cetkovic dan Lada, 2003).
Keterangan:
A = struktur dinding tubuh sponge
B = Koloni Leucosolenia
C = Flagella tumbuh dari inti Leucosolenia Complicata
D = Flagella bebas dan inti di dasar, pada Clanthrina Coriacea
1. Lapisan dermal
2. Amebosit
3. Epitelium
4. Jeli
5. Spikula
6. Skleroblas
7. Pori
8. Porosit
9. Selapis sel-sel leher
10. Gamul
11. Oskulum
Gambar 1.Bentuk dan struktur dinding tubuh sponge (Romimohtarto & Juwana, 2001)
Sebagian besar sponge hidup di laut dan hanya beberapa jenis yang hidup di
air tawar. Diperkirakan terdapat sekitar 5000 jenis sponge yang berbeda, dengan
sebaran yang sangat luas. Bentuk dan ukuran sponge sangat beragam, beberapa jenis
berbentuk cabang-cabang seperti pohon, lainnya dapat berbentuk seperti sarung tinju,
cawan, pipa, atau kubah. Ukuran sponge juga beragam mulai dari jenis berukuran
kecil yang berdiameter 3 cm sampai yang berukuran 0,9 m dengan ketebalan
2
bervariasi dan bisa mencapai 30,5-50 cm. Jenis sponge tertentu nampak memiliki bulu
getar karena spikulanya menyembul keluar dari badannya. Banyak sponge berwarna
putih, abu-abu, tetapi lainnya berwarna kuning, orange, merah atau hijau, tergantung
pada jenis simbion yang hidup bersamanya. Sponge yang berwarna hijau biasanya
disebabkan oleh adanya alga simbiotik yang disebut zoochlorellae yang terdapat di
dalamnya (Proksch, 1999).
a b c
Gambar 2. Contoh beberapa jenis sponge dari Karimun Jawa
a. Sponges belum teridentifikasi, b. Callyspongia sp. dan c. Amphimedon sp.
Saluran yang terdapat pada sponge bertindak seperti halnya sistem sirkulasi
pada hewan tingkat tinggi yang merupakan pelengkap untuk menarik makanan ke
dalam tubuh dan untuk mengangkut zat buangan keluar dari tubuh. Karena hal inilah
maka sponge termasuk pada hewan pemakan dengan cara menyaring (filter feeder). Ia
memperoleh makanan dalam bentuk partikel organik renik, hidup atau tidak, seperti
bakteri dan mikroalga yang masuk melalui pori-pori (Proksch et al,. 2002). Arus air
yang masuk melalui sistem saluran dari sponge diakibatkan oleh cambuk koanosit
yang bergerak terus menerus. Koanosit juga mencernakan partikel makanan, baik
disebelah maupun di dalam sel leher. Sisa makanan yang tidak tercerna dibuang
keluar dari dalam sel leher. Makanan itu dipindahkan dari satu sel ke sel lain
kemudian diedarkan dalam batas-batas tertentu oleh sel-sel amuba yang berkeliaran di
dalam lapisan tengah sponge (McConnaughey, 1970).
Penting bagi sponge untuk hidup di dalam air yang bersirkulasi, karenanya
sponge ditemukan dalam air yang jernih, bukan yang keruh. Arus air yang lewat
melalui sponge membawa serta zat buangan dari tubuh sponge, maka penting agar air
yang keluar melalui oskulum dibuang jauh dari badannya, karena air ini sudah tidak
3
berisi makanan lagi, tetapi mengandung asam karbon dan sampah nitrogen yang
beracun bagi hewan tersebut (Romimohtarto dan Juwana, 2001).
4
sponges merupakan hasil interaksi dengan lingkungan sekitar baik lingkungan biotik
maupun abiotik. Sponge mentoleransi mikroorganisme yang masuk ke dalam pori-
porinya karena mikroorganisme menyediakan sumber makanan atau produk metabolit
tertentu yang bermanfaat untuk sponge (Guyot, 2000; Faulkner, 2000).
Semua mikroorganisme yang ditemukan berasosiasi dalam sponge host
didefinisikan sebagai asosiasi mikroorganisme. Mikroba-mikroba ini dalam waktu
yang bersamaan ada didalam sponge yaitu mikroba yang tumbuh secara permanen di
dalamnya. Jadi, istilah simbion ini digunakan untuk mikroorganisme yang selalu
ditemukan dalam asosiasinya pada hosting spesies yang sama, tetapi tidak berarti
bahwa simbion tersebut secara khusus hanya ada dalam sponge tertentu.
Hubungan sponge dan simbionnya dapat dikategorikan sebagai obligatory
mutualism, yaitu simbion yang berperan penting pada metabolisme inangnya, dan
juga dikategorikan sebagai facultative mutualism yaitu simbion yang memberikan
manfaat pada inangnya, dan tidak dapat hidup tanpa adanya simbion. Ada juga
dikategorikan sebagai commensalism yaitu bahwa kehadiran simbion tersebut tidak
memberikan manfaat ataupun kerugian pada inangnya. Dalam beberapa kategori di
atas dapat dikatakan pula bahwa sponge memberikan perlindungan (sheltered) pada
mikroorganisme tersebut. Adapula simbion dalam katagori epibionts dan
endosymbionts. Epibionts yaitu mikroorganisme yang tinggal di permukaan sponge,
sedangkan endosymbionts adalah mikroorganisme baik yang tinggal pada sponge
mesohyl ataupun yang berada di dalam sel sponge.
Simbion sponge juga mempengaruhi metabolisme nitrogen dan oksigen dalam
hosting (sponge). Wilkinson dalam Osinga et al., (2001) menyatakan adanya
kehadiran bakteri nitrogen dalam sponge indo-pacific coral reef. Pada saat lingkungan
sekitar tempat sponge hidup kurang nitrogen, maka untuk memenuhi kebutuhan
nitrogen tersebut dipenuhi melalui fiksasi nitrogen yang esensial agar sponge dapat
aktif berfotosintesis untuk menghasilkan karbohidrat. Wilkinson telah mengukur
konsumsi oksigen pada 10 jenis sponge The Great Barrier Reef yang diantaranya
terdiri dari simbion cyanobacteri. Sejumlah 6 spesies diantaranya memperlihatkan
bahwa produksi utama oksigen fotosintesis oleh simbion lebih besar dari total
respirasi sponge-simbion. Sponge akan mengkonsumsi sebagian produksi utama ini
dan terkadang langsung dicerna oleh simbion dalam bentuk metabolit yang
merupakan hasil ekskresi, seperti glikogen atau gliserol. Diperkirakan 80% total
5
energi yang diperlukan sponge Phyllospongia lamellosa diproduksi oleh simbion
phototropiknya.
Peranan lain dari simbion baik autotropik maupun heterotropik adalah
memproduksi senyawa kimia potensial seperti antibiotik, antifungi, antifeedant, dan
antifouling. Wilkinson dalam Osinga et al., (2001) juga memberikan contoh
dihasilkannya senyawa antimikrobial berupa polybrominasi bifenileter oleh bakteri
cyanobacteria Oscillatoria Spongelia yang bersimbion dengan sponge Indopacific
jenis Dysidea Herbacea dan diperkirakan bahwa brominasi bifenileter tersebut
diproduksi untuk menjaga jaringan sponge bebas dari jenis bakteri lain yang
merugikan.
Dari beberapa fakta diketahui bahwa sponge terdiri dari endosymbiosis
mikroorganisme, dan simbion ini terkontribusi secara total pada biomassa sponge. Hal
ini memberikan asumsi bahwa banyak produk sponge mungkin diproduksi oleh
mikroorganisme yang berasosiasi dengan sponge, akan tetapi banyak juga literatur
lain yang menyatakan bahwa ada beberapa senyawa yang diproduksi oleh sel sponge
itu sendiri (Garson, 1992; dalam Osinga, 2001).
Adapun asosiasi sponge dengan mikroorganisme, baik mikroorganisme
phototropik (alga, cyanobacteria) dan mikroorganisme heterotropik (eubacteria,
archea, protista, dan fungi) sering ditemukan pada jaringan dalam sponge (Osinga et
al., 2001).
6
senyawa aktif secara farmakologi dan senyawa anti-mikroba. Serangkaian zat aktif
fisiologi dari binatang laut, khususnya dari invertebrata (binatang yang tak memiliki
sistem pertahanan tubuh secara fisik), yang telah melalui pengujian meliputi: anti-
mikroba, anti-viral, anti-tumor, anti-hipertensi, stimulan pertumbuhan, zat
neurotoksik, dan lain-lain (Halevy, 1990).
Skrining sitotoksisitas menggunakan hewan atau sel lestari kanker manusia
seringkali dilakukan sebagai tahap awal dalam upaya pencarian obat baru anti-tumor.
Penggunaan sel lestari seringkali menghadapi kendala bagi laboratorium yang tak
memiliki peralatan memadai, maka ada alternatif lain untuk sistem uji sel, yaitu
menggunakan embryo bulu babi (sea urchin embryo), seperti sel kanker, tampak
memiliki sensitivitas obat yang selektif. Dua metoda pengujian lainnya yang lazim
digunakan untuk menskrining bioaktivitas senyawa, yaitu; ”crown-gall potato disc
(CGPD)” dan ”brine shrimp lethality test (BSLT)”. Crown-gall adalah penyakit
kanker tanaman yang diinduksi oleh bakteri ”Agrobacterium tumefaciens” (Munro et
al., 1987). Hasil penggunaan metoda BSLT dibandingkan dengan penggunaan sel
lestari menunjukkan bahwa metoda BSLT memberikan hasil yang dapat dipercaya
(reliable), cepat, tak mahal, dan baik sebagai metoda umum yang dapat diterapkan di
laboratorium (in house) (Meyer et al., 1982).
Riset pencarian senyawa bioaktif (bahan obat) dari biota laut sponge telah
dilakukan oleh berbagai negara di dunia, dewasa ini berbagai senyawa (isolat) dari
sponge telah melalui berbagai fase pengujian menggunakan sel lestari hingga telah
dapat diketahui mekanisme kerja dari senyawa tersebut, seperti terlihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Beberapa senyawa bioaktif dari biota laut sponge yang telah diketahui
mekanisme kerjanya (Mayer, 1999).
No. Jenis Senyawa Nama Senyawa Mekanisme Kerja Molekul Negara
1. Terpene Agosterol A Multidrug resistence reversal Jepang
2. Peptide Jasplakinolide Promosi Polimerisasi Tubulin USA
3. Imidazole Naamidine A Inhibisi Epidermal Growth Factor USA
Disamping itu, terdapat beberapa senyawa (isolat) yang telah didapatkan dan telah
melalui fase pengujian tetapi belum diketahui tentang mekanisme kerjanya, seperti
terlihat pada Tabel 2 berikut ini.
7
Tabel 2. Beberapa senyawa bioaktif dari biota laut sponge yang belum diketahui
mekanisme kerjanya (Mayer, 1999).
No. Jenis Senyawa Nama Senyawa Jenis Sel Lestari Uji Negara
1. Alkaloid Agelastatin Tak Dilaporkan USA
2. Terpene Bolinaquinone Manusia USA, Philippines
3. Sterol Crellastatin Manusia Italy, France
4. Alkaloid Haliclonacyclamines Murine Australia
5. Terpene Scalarane Murine, Manusia Japan
6. Terpene Sesterstatins Murine USA
8
Riset Bioaktif dari Sponge di Perairan Indonesia
Biota laut daerah tropis merupakan sumber alam yang kaya akan senyawa
bioaktif. Pencarian bahan obat dari laut menghasilkan beberapa temuan baru yang
menginspirasikan bahwa laut adalah sumber bahan obat yang potensial. Dikemukakan
oleh Jadulco (2002) bahwa sponge dari Indonesia, Jaspis splendens, menghasilkan
senyawa-senyawa bioaktif yang memiliki aktifitas antiproliferasi. Disamping itu, para
peneliti bioteknologi kelautan Jepang, seperti Namikoshi menyimpulkan bahwa
distribusi fungi laut yang hidup bersimbiosis dengan sponge cukup besar, dengan
sebaran 82,7% sponge yang hidup di perairan pulau Palau, dan 98% sponge yang
hidup di perairan pulau Bunaken (Widjhati et al., 2004).
Menurut Lik Tong Ten et al. (2000) simbiosis sponge Sigmadocia symbiotica
dengan alga merah Ceratodictyon spongiosum dari perairan pulau Biaro Indonesia,
menghasilkan senyawa bioaktif berupa metabolit sekunder siklik heptapeptida yang
bersifat toksik terhadap Artemia salina (uji BSLT). Hasil-hasil penelitian tersebut
menyimpulkan bahwa biota laut sponge memiliki potensi signifikan sebagai sumber
senyawa bioaktif yang dapat dikembangkan lebih jauh menjadi komoditi yang bernilai
ekonomi tinggi.
Kelompok peneliti bioteknologi di Pusat Riset Pengolahan Produk dan Sosial
Ekonomi Kelautan dan Perikanan, Badan Riset Kelautan dan Perikanan, kini sedang
aktif melakukan proses ekstraksi dan isolasi senyawa aktif dari berbagai jenis
makroalga dan sponge serta uji-uji bioaktivitasnya sebagai anti-bakteri, anti-oksidan,
toksisitas terhadap Artemia salina dan sitotoksisitas sebagai anti-kanker terhadap
beberapa jenis sel lestari (cell line). Saat ini koleksi sponge yang telah dimiliki sekitar
60 jenis dari perairan Karimunjawa, 140 jenis dari perairan pulau Bonerate-Sulawesi
Selatan, 18 jenis dari perairan Binuangeun-Banten Selatan, dan 2 jenis dari pantai
Selatan Yogyakarta. Berikutnya, sekitar 150 jenis sponge didapatkan dari perairan P.
Nias dan P. Mentawai. Semua sampel tersebut diambil dari berbagai kondisi lokasi
perairan (habitat) dan dari berbagai kedalaman.
Kesimpulan
1. Sponge merupakan hewan invertebrata primitif, merupakan filum porifera
yang hidup bersimbion dengan beberapa mikroorganisme, memiliki bentuk,
ukuran, dan struktur yang beraneka ragam.
9
2. Metabolit sponge untuk tujuan farmakologi, telah banyak dikaji oleh beberapa
peneliti yang kesemuanya telah menyimpulkan bahwa biota laut khususnya
sponge memiliki potensi sebagai sumber obat dan beberapa senyawa kimia
(isolat) yang diproduksi oleh sponge diketahui memiliki aktifitas sebagai
antikanker setelah melalui beberapa fase pengujian sebelum diproduksi secara
masal dan dipasarkan kepada masyarakat pengguna.
Daftar Pustaka
Andersen, R. J. and Williams, D. E. 2000. Pharmaceuticals from the Sea. In: Hester,
R. E. and Harrison, R. M. (Eds.). Chemistry in the Marine Environment.
Environmental Science and Technology, No. 13. The Royal Society of
Chemistry. Cambridge, UK. 25p.
Cetkovic, H. and Lada, L.B. 2003. HMGB2 ProteIn from The Marine Sponge
Suberites Domuncula, Journal of Food Technol. Biotechnol. 41 (4): 361-365.
Faulkner, D.J. 2000. Marine Natural Products. Nat. Prod. Rep. 17:7-55
Halevy, S. 1990. Drug from Sea. In: B. H. Nga and Y. K. Lee (Eds). Microbiology
Aplications in Food Biotechnology. Elsevier Sci. Publ. Ltd., London. p. 123-
134.
Lik Tong Ten, Williamson, R. T., and Gerwick, W. H. 2000. Cis, cis- and trans, trans-
Ceratospongamide, New Bioactive Cyclic Heptapeptides from the Indonesian
Red Alga Ceratodictyon Spongium and Syimbiotic Sponge Sigmadocia
Symbiotica, J. Org. Chem, 65 : 419-425.
10
Meyer, B. N., Ferrigni, N. R., Putnam, J. E., Jacobsen, L. B., Nichols, D. E.,
McLaugglin, J. L. 1982. Brine Shrimp: A convenient general bioassay for
active plant constituents. Planta Medica 45 : p.31-34.
Munro, M. H. G., Luibrand, R. T., and Blunt, J. W. 1987. The Search for Antiviral
and Anticancer Compounds from Marine Organisms. In: Scheuer, P. J..
Bioorganic Marine Chemistry. Vol. 1. Springer-Verlag, Berlin. p. 94-165.
Osinga, R., Armstrong Evelyn, Burges J.G., Hoffman, F., Reitner, J., and Kindel, G.S.
2001. Hydrobiologia, 461 : 55-62
Proksch, P., Edrada, R., and Ebel, R. 2002. Drugs from the Sea: Current Status and
Microbiological Implications, J. Appl. Microbiol. Biotechnol. 59: 125-134
Romimohtarto, K., dan Sri Juwana. 2001. Biota laut: Ilmu Pengetahuan tentang Biota
Laut, Djambatan, Jakarta. p. 114-126.
Scheuer. 1990. Some Marine Ecological Phenomena: Chemical Basis and Biomedical
Potential. Science 248: 173 – 177.
Widjhati, R., Supriyono, A., dan Subintoro. 2004. Pengembangan Senyawa Bioaktif
dari Biota Laut (Review Kegiatan Penelitian Biota Laut di BPPT). Forum
Bioteknologi Kelautan dan Perikanan, Pusat Riset Pengolahan Produk dan
Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan,
Jakarta, 25 Maret 2004. 13p.
11