You are on page 1of 2

PERJALANAN HIDUP

Oleh : H. Mas’oed Abidin

Firman Allah Subhanahu wa ta’ala yang artinya; “Dan orang-orang


yang bekerja sungguh-sungguh pada (jalan) kami, sesungguhnya kami
akan pimpin mereka di jalan-jalan kami: dan sesunggunya Allah beserta
orang-orang yang berbuat kebaikan” (QS. Al-Ankabut, ayat 69.).
Kebenaran ini, terbuka bagi siapapun untuk mempelajarinya. Asal saja orang
dapat merasakan nilai dan kepentingannya, mempunyai daya inisiatif dan
imagination (daya cipta), tentu akan dapat mempergunakannya.
Kepandaian-kepandaian betapapun sangat sederhananya, seperti
membuat tempe, tahu dan kecap, membibitkan buah-buahan, menanam
sayur mayur, merangkai dan mengatur bunga, menganyam tikar dan yang
semacam itu, di zaman jet supersonic dan satelit-satelit yang mengitari bumi
seperti sekarang ini, tidak dapat dikatakan apalah artinya.
Begitu pulalah proses mempertinggi kesejahteraan hidup, yang
dinamakan proses pembangunan ekonomi itu. Procesnya bisa dipercepat,
tetapi dia mempunyai undang-undang bajanya sendiri, yang tak dapat tidak,
harus dijalani. Ini seringkali pada umumnya, dilupakan orang, dengan segala
akibat-akibat yang mengecewakan.

Daerah kita terkenal sebagai daerah yang kaya dengan sumber alam.
Tetapi kecenderungan penduduknya, di bidang ekonomi ialah kepada
mencahari nafkah dengan memindah-mindahkan barang-barang dari satu
tempat ke tempat yang lain. Adapun menghasilkan barang belum cukup
mendapat perhatian mereka. Padahal sumber kemakmuran yang azasi
adalah produksi, yakni menghasilkan barang. Ini seringkali “dilupakan” pula.

Latar belakang usaha merombak tradisi ialah dengan membuka


pikiran masyarakat dan membuka jalan baru, memulai dari urat masyarakat
itu sendiri, dengan cara-cara yang praktis, melalui amaliyah yang sepadan
dengan kekuatan mereka serentak disertai dengan membangun jiwa dan
pribadi mereka sebagai satu umat yang mempunyai wijhah, falsafah dan
tujuan hidup yang nyata, yang mempunyai shibgah, corak kepribadian yang
terang.
Dalam rangka yang agak luas, disebut denganan deng istilah yang
semacam itu dinamakan orang; “satu aspek dari Social Reform”, memang
begitulah hakekatnya.
Pekerjaan ini mempunyai aspek yang menafaskan jiwa lain.

Berusaha di urat masyarakat. Menumbuhkan kekuatan yang


terpendam dikalangan yang lemah. Karena ingin berhubungan dengan para
dhu’afa tidak dalam bentuk sekedar “meminta nasi bungkus”.

Pembinaan dhu’afak yang di dukung cita-cita hendak menjelmakan


tata-cara hidup kemasyarakatan yang berdasarkan : (a). hidup dan memberi
hidup, (ta’awun) bukan falsafah berebut hidup; (b). menanamkan tanggung
jawab tiap-tiap anggota masyarakat atas kesejahteraan lahir batin dari
masyarakat sebagai keseluruhan secara timbal balik (takaful dan
tadhamun); (c).mengajarkan keragaman dan ketertiban yang bersumber
kepada disiplin jiwa dari dalam, bukan lantaran penggembalaan dari luar;
(d).menumbuhkan ukhuwwah yang ikhlas, bersendikan Iman dan Taqwa ;
(e). mengajarkan hidup ber-keseimbangan (tawazun) antara kecerdasan
otak dan kecakapan tangan, antara ketajaman akal dan ketinggian akhlak,
antara amal dan ibadah, antara ikhtiar dan do’a;
Ini wijhah yang hendak di tuju.
Ini shibgah yang hendak di pancangkan ;
Tidak seorangpun yang berpikiran sehat di negeri ini yang akan
keberatan terhadap penjelmaan masyarakat yang semacam itu. Suatu bentuk
dan susunan hidup berjama’ah yang diredhai Allah yang dituntut oleh
“syari’at” Islam, sesuai dengan Adat basandi Syara’ dan Syara’ nan basandi
Kitabullah.

Untuk inilah sekarang merintis, merambah jalan guna menjelmakan


hidup berjama’ah yang belum kunjung terjelma di negeri ini, kecuali dalam
khotbah alim-ulama, pepatah petitih ahli adat, dan pidato para cerdik
cendekia.
Mulai merintiskan dengan cara dan alat-alat sederhana tetapi dengan
api cita-cita yang berkobar-kobar dalam dada masing-masing. Ini nawaitu
yang tertanam dari semula. Jagalah agar api nawaitu jangan padam atau
berubah di tengah jalan.

You might also like