You are on page 1of 20

BAB II

PENGENDALIAN LANTAI PABRIK


(SHOP FLOOR CONTROL-SFC)

A. Pengertian Pengendalian Lantai Pabrik


Pengendalian lantai pabrik (production activity control/shop floor control)
merupakan bagian yang menjadi closed loop dari MRP II yang memberikan
umpan balik informasi progress implementasi dari rencana yang telah dibuat.
PAC/SFC merupakan proses yang berkaitan dengan keputusan-keputusan
untuk membuat aktivitas produksi sesuai dengan rencana yang dibuat,
melaporkan kemajuan pelaksanaan produksi, dan juga memperbaiki rencana
jika diperlukan.
Menurut Browne (1988), pengendalian lantai pabrik menggambarkan
prinsip dan teknik yang digunakan managemen untuk perencanaan jangka
pendek, pengendalian dan evaluasi aktivitas produksi pada organisasi
manufaktur. Hal ini juga dapat dilihat pada tiga tahapan perencanaan dalam
sistem manufaktur dan penjabarannya (gambar 2.1, 2.2, dan 2.3).
Elemen dari PAC/SFC meliputi:
1. Untuk pengembangan perencanaan berbasis data dan pengetahuan terkini
yang mana akan memastikan semua kebutuhan produksi terpenuhi.
2. Untuk mengimplementasikan suatu perencanaan ke dalam laporan status
langsung dari sistem produksi
3. Untuk memonitor status komponen utama dalam sistem selama aktivitas
pengiriman (dispatching).
II-2

Gambar 2.1. Tiga tahapan perencanaan dalam sistem manufaktur


II-3

Gambar 2.2. Lingkup keseluruhan arsitektur koordinasi pabrik


II-4

Gambar 2.3. Pertukaran informasi/data antara koordinasi pengendalian


pekerjaan di pabrik dan sejumlah sistem PAC

B. Fungsi dan Tujuan Pengendalian Lantai Pabrik


1. Fungsi pengendalian lantai pabrik
Fungsi dari pengendalian lantai pabrik yaitu:
a. Agar aktivitas sesuai rencana
b. Pembuatan laporan
c. Perbaikan rencana
II-5

Ilustrasi dari aktivitas produksi dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

Gambar 2.4. Skema aktivitas produksi

2. Tujuan pengendalian lantai pabrik


Tujuan dari pengendalian lantai pabrik adalah:
a. Peningkatan pelayanan terhadap pelanggan (Customer service level)
b. Pemanfaatan investasi persediaan (Inventory investment)
c. Efisiensi pengoperasian (Operating efficiency)
Guna mencapai tujuan tersebut, maka tanggung jawab sepenuhnya ada
pada departemen pengendalian produksi. Tanggung jawab departemen
pengendalian produksi tersebut meliputi:
II-6

a. Mengecek ketersediaan material, mesin, dan tenaga kerja (loading),


mengalokasikan pekerjaan ke mesin, serta memelihara performansi
pekerjaan pada tingkat efisiensi yang tinggi.
b. Melepas order ke lantai pabrik dan persoalan daftar pengirimannya
untuk beberapa mesin (sequencing).
c. Memelihara laporan kemajuan setiap pekerjaan sampai selesai
(monitoring).

C. Pengaruh Bentuk Manufaktur


Setiap bentuk sistem manufaktur membutuhkan pengendalian lantai pabrik
yang berbeda. Pengendalian lantai pabrik untuk Project based (make to order)
dikaitkan dengan pesanan, pemesan, waktu penyerahan. Sedangkan
pengendalian lantai pabrik untuk repetitive flow lines dikaitkan dengan
pemenuhan jadwal induk produksi, dan lain-lain. Namun terdapat bentuk
umum dari aktivitas pengendalian lantai pabrik.
Bentuk manufaktur dan sifat pengendaliannya antara lain:
1. PAC batch flow line
Lintas produksi yang membuat sekelompok item dalam suatu lot produksi
(batch). PAC bertujuan agar dapat meminimasi dan akhirnya
menghilangkan waktu yang diperlukan untuk changeover. Untuk itu
diperlukan:
a. jumlah ketersediaan item (on hand availability)
b. laju permintaan (demand rate)
c. waktu untuk mengganti produk yang diproduksi
d. laju produksi (production rate)
e. urutan (sequence) produksi
2. PAC job shop
PAC job shop bergantung pada tujuannya yaitu; minimasi manufacturing
lead time, minimasi work in process, minimasi lateness, dan lain-lain.
Seringkali tujuan tidak bisa dipenuhi secara bersama-sama tetapi kunci
II-7

kemudahan dalam pengendalian adalah pada fleksibilitas resource (mesin,


tools, operator, dan lain-lain).

D. Penjadwalan Produksi
Penjadwalan produksi didefinisikan sebagai proses pengalokasian sumber
atau mesin untuk melakukan sekumpulan tugas dalam jangka waktu tertentu.
1. Tujuan penjadwalan
Tujuan penjadwalan meliputi:
a. Meminimumkan rata-rata keterlambatan (average lateness)
b. Meminimumkan maksimum keterlambatan (maksimum lateness)
c. Meminimumkan flow time (manufacturing lead time)
d. Meminimumkan barang setengah jadi (work in process)
e. Memaksimumkan utilisasi work center yang bottleneck
2. Proses penjadwalan
Proses penjadwalan produksi membutuhkan tiga informasi dasar untuk
setiap order, yaitu :
a. Processing time (tt) atau waktu proses, yaitu waktu yang dibutuhkan
untuk memberikan nilai tambah pada order i.
b. Ready time (ri) atau saat siap, yaitu saat paling awal order i dapat
diproses oleh mesin
c. Due date (di) atau saat kirim, yaitu saat pengiriman order kepada
konsumen.
3. Kriteria evaluasi penjadwalan
Kriteria untuk mengevaluasi penjadwalan yang dilakukan telah banyak
dikembangkan. Kriteria evaluasi penjadwalan adalah sebagai berikut:
a. Completion time, Ci atau saat selesai, yaitu saat penyelesaian operasi
paling akhir suatu order i.
b. Flow time, Fi =Ci – ri atau waktu tinggal, yaitu waktu yang diperlukan
oleh suatu order i berada dishop (disebut juga shop time atau
manufacturing interval).
II-8

m
c. Waiting time, Wi = Ci – ri - ∑t
0 =1
ij atau waktu tunggu, yaitu waktu

menunggu antara waktu suatu proses selesai diproses sampai dimulai


operasi berikutnya dari pengerjaan setiap operasi pada order i.
d. Lateness, Li = Ci – di yaitu waktu antara saat selesai dan due date (di)
suatu order i.
e. Tardiness, Ti = max {0,Li} yaitu waktu keterlambatan saat selesai
suatu order i.
Suatu kriteria lain untuk mengevaluasi penjadwalan yang sesuai dengan
sistem penjadwalan mundur (backward scheduling) (Fogarty, 1991), yaitu

actual flow time Fia = ddi – Ri atau waktu tingga aktual. Waktu tinggal
aktual adalah waktu yang diperlukan suatu order di shop mulai dari suatu
release hingga due date order.
Kriteria-kriteria evaluasi penjadwalan tersebut digunakan sebagai
parameter dalam pengambilan keputusan tujuan penjadwalan forward.
Tiga jenis kriteria keputusan yang umumnya dipilih sebagai tujuan
penjadwalan forward adalah:
a. Efisiensi pemakaian sumber daya dengan mengurangi waktu mesin
menganggur, yang dapat dilakukan dengan meminimasi maksimum
saat selesai atau completion time (makespan), Cmaks = max {Cij} ∀1
responsif terhadap permintaan dengan mengurangi persediaan barang
setengah jadi, yang dapat dilakukan dengan mengurangi rata-rata
waktu tinggal (flow time) F , atau mengurangi rata-rata waktu tunggu
W

b. Memenuhi batas waktu dan mengurangi keterlambatan, dengan cara


minimasi rata-rata tardiness, T, minimasi makespan tardiness, Tmax
dan mengurangi jumlah order yang terlambat, Nt.

E. Urutan pengerjaan dalam pengendalian lantai produksi


Pengendalian lantai produksi sangat diperlukan untuk memastikan order-
order yang dijadwalkan dapat diproses sesuai jadwalnya. Pengendalian ini
II-9

dilakukan antara lain dengan mengendalikan prioritas release order,


manajemen panjang antrian, dan pengendalian keluar masuk order.
1. Aturan penentuan prioritas
Beberapa aturan penentuan prioritas adalah:
a. First Come First Serve (FCFS), prioritas diberikan kepada pesanan
yang tiba lebih dulu di sumber.
b. Shortest Processing Time (SPT), prioritas diberikan kepada pesanan
dengan saat kirim yang lebih cepat.
c. Shortest Total Processing Time Remaining (STPT), prioritas diberikan
kepada pesanan dengan sisa waktu proses yang lebih kecil.
d. Earliest Due Date (EDD), prioritas diberikan kepada pesanan dengan
saat kirim yang lebih cepat.
e. Fewest Operation (OP), prioritas diberikan kepada pesanan dengan
jumlah pengerjaan yang lebih sedikit.
f. Slack Time (SK), prioritas diberikan kepada pesanan dengan slack
yang lebih kecil dalam jadwalnya. Slack time adalah perbedaan antara
waktu yang tersisa sebelum saat kirim dikurangi dengan waktu proses
yang tersisa.
g. Critical Ratio (CR), prioritas diberikan kepada pesanan dengan
critical ratio yang lebih kecil. Critical ratio adalah perbandingan
antara waktu yang tersisa sebelum saat kirim dibagi dengan waktu
proses. Jika nilai CR = 1 (berarti order sesuai jadwal), CR > 1 (berarti
order selesai lebih awal), dan CR < 1 (berarti order selesai terlambat).
Penentuan prioritas yang adil adalah dengan menggunakan metoda FCFS,
karena order akan direlease sesuai dengan urutan kedatangan order
tersebut. Oleh karena itu, sistem penentuan prioritas ini sering digunakan
oleh sistem manufaktur MTO yang selalu berusaha untuk menjaga
keadilan dalam menentukan order yang akan diproses. Evaluasi terhadap
cara-cara penentuan prioritas perlu dilakukan untuk menentukan
efektivitas dari cara penentuan prioritas tersebut, yang dapat dilakukan
dengan menggunakan kriteria berikut:
II-10

a. Persentase order yang tepat waktu sampai ke pelanggan


b. Rata-rata jumlah order yang terlambat
c. Rata-rata persediaan produk setengah jadi
d. Waktu idle (menganggur)
e. Minimasi waktu setup
f. Efisiensi pemanfaatan energi

Contoh soal aturan urutan pekerjaan:


Jika diketahui ada 5 pekerjaan (job) yang akan diurutkan, yaitu pekerjaan
A, B, C, D, dan E dimana sekarang adalah hari pertama dimulainya
pekerjaan. Masing-masing pekerjaan secara berurutan membutuhkan
waktu proses 5 hari, 10 hari, 2 hari, 8 hari, dan 6 hari. Batas waktu
pengerjaan dari ke lima job tersebut adalah 10 hari, 15 hari, 5 hari, 12
hari, dan 8 hari. Urutkanlah ke 5 job tersebut berdasarkan aturan
pengurutan FCFS, SPT, EDD, slack, dan critical ratio!

Jawab:
Untuk menyelesaikan soal di atas lakukan terlebih dahulu perhitungan
untuk menentukan nilai ST dan CR dengan menggunakan formulasi
sebagai berikut:
ST = (Due date) – (Present date) – (Processing time)
CR = (Due date – Present date) / (Processing time)

Tabel 2.1. Perhitungan slack dan critical ratio


Job * Waktu Batas Slack Critical
Proses Waktu Ratio
A 5 10 (10-1) – 5 = 4 (10-1)/5 = 1.80
B 10 15 (15-1) – 10 = 4 (15-1)/10 = 1.40
C 2 5 (5-1) – 2 = 2 (5-1)/2 = 2.00
D 8 12 (12-1) – 8 = 3 (12-1)/8 = 1.37
E 6 8 (8-1) – 6 = 1 (8-1)/6 = 1.16
*) Ada 120 kemungkinan urutan untuk 5 pekerjaan
II-11

Tabel 2.2. Urutan pengerjaan dengan aturan FCFS


Urutan Waktu Waktu Completion Batas Tardiness
Mulai Proses Time Waktu
A 0 5 5 10 0
B 5 10 15 15 0
C 15 2 17 5 12
D 17 8 25 12 13
E 25 6 31 8 23
Rata-rata 18.60 9.6

Tabel 2.3. Urutan pengerjaan dengan aturan SPT


Urutan Waktu Waktu Completion Batas Tardiness
Mulai Proses Time Waktu
C 0 2 2 5 0
A 2 5 7 10 0
E 7 6 13 8 5
D 13 8 21 12 9
B 21 10 31 15 16
Rata-rata 14.80 6

Tabel 2.4. Urutan pengerjaan dengan aturan EDD


Urutan Waktu Waktu Completion Batas Tardiness
Mulai Proses Time Waktu
C 0 2 2 5 0
E 2 6 8 8 0
A 8 5 13 10 3
D 13 8 21 12 9
B 21 10 31 15 16
Rata-rata 18.60 5.6

Hasil slack untuk masing-masing job A = 4, B = 4, C = 2, D = 3, dan E = 1


Tabel 2.5. Urutan pengerjaan dengan aturan slack
Urutan Waktu Waktu Completion Batas Tardiness
Mulai Proses Time Waktu
E 0 6 6 8 0
C 6 2 8 5 3
D 8 8 16 12 4
A 16 5 21 10 11
B 21 10 31 15 16
Rata-rata 16.40 6.8
II-12

Hasil CR untuk masing-masing job A = 1.80, B = 1.40, C = 2.00, D = 1.37, dan


E = 1.16
Tabel 2.6. Urutan pengerjaan dengan aturan critical ratio
Urutan Waktu Waktu Completion Batas Tardiness
Mulai Proses Time Waktu
E 0 6 6 8 0
D 6 8 14 12 2
B 14 10 24 15 9
A 24 5 29 10 19
C 29 2 31 5 26
Rata-rata 20.8 11.2

2. Operation overlapping
Pengendalian aktivitas produksi dapat juga dilakukan dengan
pengoperasian secara overlapping. Operasi overlapping ini bisa dilakukan
dengan membedakan antara batch produksi dan batch transfer. Ilustrasi
yang menunjukkan adanya perbedaan kedua batch tersebut dapat dilihat
pada gambar berikut ini.
a. Operasi overlapping 2 Operasi

Gambar 2.5. Operasi overlapping pada 2 Operasi

b. Operasi overlapping 3 Operasi

Gambar 2.6. Operasi overlapping pada 3 Operasi


II-13

Dalam beberapa kasus operasi B bisa disetup sebelum batch pertama


datang. Persyaratan suatu proses dikatakan sebagai operation overlapping
meliputi:
1) Suatu lot dibagi paling tidak ke dalam 2 batch.
2) Segera setelah batch 1 diproses di mesin A, batch ini dibawa ke mesin
B untuk diproses.
3) Sementara mesin A mengerjakan batch 2, mesin B memproses
batch 1.
4) Bila mesin A selesai memproses batch 2, batch 2 segera dibawa ke
mesin B.
Formulasinya adalah:
Q = Q1 + Q2

T AB + S B + Q1 PB ≥ Q2 PA + T AB

T AB + S B + Q1 PB ≥ ( Q − Q1 ) PA + T AB
Q1 ( PA + PB ) ≥ QPA − S B
Q1 ≥ ( QPA − S B ) ( PA + PB )

Keterangan:
Q = total lot size
Q1 = ukuran minimum batch pertama
Q2 = ukuran maximum batch kedua
SB = setup time mesin B
PA = processing time per unit di mesin A
PB = processing time per unit di mesin B
TAB = transit antara mesin A dan B
II-14

Contoh soal:
Jika diketahui data sebagai berikut:
Q = 100 unit
SB = 40 menit
PA = 10 menit
PB = 5 menit
TAB = 30 menit
Hitunglah besarnya ukuran minimum batch pertama dan ukuran
maksimum batch kedua!

Jawab:
Q1 ≥ (100 x10 − 40 ) (10 + 5)
Q1 ≥ 64 unit dan Q2 < 36 unit

Bila mesin B dapat disetup sebelum part datang:

Q1 ≥ (100 x10 ) (10 + 5)

Q1 ≥ 66.7 dan Q2 ≈ 67
II-15

c. Perbandingan lead time tanpa dan dengan overlapping

Gambar 2.7. Perbandingan lead time tanpa dan dengan overlapping

Berdasarkan kasus sebelumnya, maka di bawah ini disajikan hasil


perbandingan manufacturing lead time tanpa dan dengan overlapping
serta besarnya reduksi yang dihasilkan (bila mesin B dapat disetup
sebelum part datang):
Q = 100 unit
Q1 = 67 unit
Q2 = 33 unit
SA = 80 menit
SB = 40 menit
PA = 10 menit
PB = 5 menit
TAB = 30 menit

MLTtanpa = 80 + 100 x 10 + 30 + 40 + 100 x 5 = 1650


MLTdengan = 80 + 67 x 10 + 30 + 100 x 5 = 1280
Reduksi = 1650 – 1280 = 370 ≈ 22 %.
II-16

3. Operation Splitting
Dampak operation splitting pada manufacturing lead time adalah dapat
dihasilkannya penghematan waktu penyelesaian operasi. Ilustrasi dari
proses ini dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

Gambar 2.8. Dampak operation splitting pada manufacturing lead time

Kondisi yang kondusif untuk melakukan splitting yaitu:


a. Tingginya rasio antara total waktu pengerjaan terhadap waktu setup.
b. Adanya lebih dari satu peralatan atau tenaga kerja yang menganggur.
c. Kemampuan operator bekerja dengan menggunakan lebih dari satu
mesin.
II-17

F. Pengendalian Lantai Pabrik dan Antrian


Pekerjaan-pekerjaan yang harus diselesaikan oleh fasilitas datang secara
dinamis sehingga membentuk antrian di depan fasilitas tersebut. Antrian yang
panjang lama mengidentifikasikan besarnya work in process dan juga tidak
terkendalinya lantai pabrik. Antrian di depan fasilitas sudah ditentukan
besarnya dengan tujuan agar material flow terjadi dengan baik. Pengetahuan
mengenai besarnya antrian ini dapat digunakan untuk mengendalikan lantai
pabrik.
1. Pengukuran variabilitas aliran (antrian)
Variabilitas aliran (antrian) dapat dihitung dengan menggunakan
formulasi berikut ini:
ta = waktu rata-rata antar kedatangan
1
ra = = laju kedatangan
ta

σ a = standard deviasi waktu antar kedatangan

σa
ca = = koefisien dari variasi waktu antar kedatangan
ta

2. Ilustrasi variabilitas aliran (antrian)


Pola kedatangan pelanggan (pekerjaan) dalam sistem antrian dapat dilihat
pada ilustrasi (gambar 2.5, 2.6, 2.7) berikut ini.
II-18

Gambar 2.5. Ilustrasi variabilitas aliran (antrian)

Gambar 2.6. Variabilitas dari perambatan


II-19

Gambar 2.7. Variabilitas dari perambatan

G. Rangkuman
1. Pengendalian lantai pabrik merupakan proses yang berkaitan dengan
keputusan-keputusan untuk membuat aktivitas produksi sesuai dengan
rencana yang dibuat, melaporkan kemajuan pelaksanaan produksi, dan
juga memperbaiki rencana jika diperlukan.
2. Setiap bentuk sistem manufaktur membutuhkan pengendalian lantai
pabrik yang berbeda. Pengendalian lantai pabrik untuk project based
dikaitkan dengan pesanan, pemesan, waktu penyerahan. Sedangkan
pengendalian lantai pabrik untuk repetitive flow lines dikaitkan dengan
pemenuhan jadwal induk produksi, dan lain-lain.
3. Penjadwalan produksi didefinisikan sebagai proses pengalokasian sumber
atau mesin untuk melakukan sekumpulan tugas dalam jangka waktu
tertentu.
4. Pengendalian lantai produksi sangat diperlukan untuk memastikan order-
order yang dijadwalkan dapat diproses sesuai jadwalnya. Pengendalian ini
dilakukan antara lain dengan mengendalikan prioritas release order,
manajemen panjang antrian, dan pengendalian keluar masuk order.
II-20

5. Pekerjaan-pekerjaan yang harus diselesaikan oleh fasilitas datang secara


dinamis sehingga membentuk antrian di depan fasilitas tersebut. Antrian
yang panjang lama mengidentifikasikan besarnya work in process dan
juga tidak terkendalinya lantai pabrik. Pengetahuan mengenai besarnya
antrian ini dapat digunakan untuk mengendalikan lantai pabrik.

H. Bahan Acuan
1. Browne, J., Harhen, J., & Shivnan, J., 1988, Production Management
Systems, Addison Wesley, London.
2. Elsayed, Elsayed A. dan Boucher, Thomas O., 1993, Analysis and
Control of Production Systems, 2nd Eition., Prentice Hall.
3. Fogarty, Donald W., Blackstone Jr., John H.;Hoffmann, Thomas R., 1991,
Production & Inventory Management, 2nd Edition., South-Western
Publishing Co.
4. Sipper, Daniel, and Bulfin Jr., Robert L., 1997, Production; Planning,
Control and Integration, McGraw-Hill.
5. Waters, C.D.J., 2003, Inventory Control and Management, 2nd Edition,
John Wiley & Sons.

You might also like