Professional Documents
Culture Documents
Pagi itu tampak seperti pagi yang biasanya. Dengan embun yang membasahi daun-daun,
membawa kesejukan tersendiri bagi insan yang merasakan. Kicau burung yang terdengar
Sekolah masih tampak begitu lengang. Kibaran bendera merah putih membuat suasana pagi
semakin terasa syahdu. Beberapa motor sudah tampak masuk. Mereka lah siswa-siswa yang selalu
datang pagi. Seolah mereka tak rela jika ada siswa yang mendahului mereka masuk.
Matahari mulai naik, ketika sebuah sepeda motor Smash hitam-merah memasuki gerbang
Selatan. Pengendaranya seorang anak laki-laki, berbadan kecil dengan helm yang tak sepadan
dengan kepalanya. Ia memakai tas slempang hitam, talinya di biarkan panjang. Jika dipakai
Setelah memarkir motor, anak itu berjalan santai diiringi kicauan burung yang merdu.
Dengan langkah perlahan, ia memasuki pintu lobi samping. Dibawa semua mimpinya ke dalam
gerbang pendidikan itu. Jauh-jauh belajar di Madiun, ia harus serius. Demi langkah depan yang
lebih pasti.
Tepat pukul 6.45, bel masuk berbunyi. Sontak semua siswa beriringan masuk ke dalam kelas.
Bagi yang baru datang, langsung berlari-lari mengejar pintu yang akan segera di tutup. Terkadang
ada yang kecewa, bahkan mengumpat di dalam hati. Keterlambatan yang hanya sedetik tak dapat
ditolerir lagi.
Di dalam kelas, anak laki-laki itu tidak langsung memperhatikan pelajaran. Dipikirannya
hanya ada satu, yaitu sebuah janji. Janji seseorang kepadanya. Janji yang mungkin benar-benar
diharapkannya. Selama pelajaran jam pertama ia sibuk dengan angannya itu, entah sampai kapan
1 (jw.) Selutut
Senin kemarin, seorang anak kelas XI mengajaknya pergi berkeliling. Bukan berkeliling
sekolah, tetapi berkeliling Kota Madiun. Salah satu alasan ia yang diajak adalah karena rumahnya
yang jauh sekali. Di Bojonegoro sana. Jadi ia juga belum begitu mengenal Kota Madiun yang baru
Setelah puas berkeliling, ia diajak makan di kantin. Menurut orang, obrolan itu obrolan
biasa. Namun baginya obrolan itu membuka asa baru untuk langkah depannya. Saat itulah
seseorang yang biasa dipanggilnya Mas Eka, menjanjikan sesuatu yang benar-benar membuatnya
kenikmatan hidup sebagai organisator. Sungguh, kenangan itu tak akan dilupakan selama
hidupnya.
kehidupan pondok yang dulu ia jalani sebelum berlabuh di Madiun. Ketika air bak habis, ia dan
teman-temannya harus berjalan keluar pondok, mencari air di rumah-rumah penduduk. Ketika ia
ditanya, “Enak ya hidup di pondok?”. Ia menjawab dengan jempol teracung, “Asyik! Lha
bagaimana lagi? Itulah kehidupan yang harus aku jalani. Jadi disyukuri saja.” Lawan bicaranya
Siang harinya, saat bel pulang sudah berdering. Seluruh isi kelas bersorak senang.
Kebahagiaan siang itu ditambah liburnya Intensif Belajar atau yang biasa disebut IB, karena para
guru mengadakan rapat. Langsung saja anak laki-laki itu mengemasi barang-barangnya dan
langsung mengambil motor untuk pergi ke masjid. Ia waktu istirahat kedua tadi memang belum
menunaikan shalat wajib itu. Karena harus menemui wakasek untuk mengurus acara Rapat Pleno
Begitu selesai melaksanakan Shalat Zhuhur, ia langsung pergi ketempat favoritnya. Ruang
OSIS. Disana ia banyak bercanda dengan teman-temannya kelas X. Entah kenapa saat itu
ucapannya, mimik wajahnya, sampai tingkah lakunya membuat orang-orang bingung. Biasanya
dia tidak seceria itu. Biasanya ia lebih banyak diam dan akan bicara kalau ada yang mengajak
berbicara. Tapi ini tidak! Ia bisa tertawa lepas, bisa seenaknya berbicara, bahkan bisa mencandai
Hari mulai sore ketika beberapa anak kelas XI memasuki Ruang OSIS. Mereka adalah Hasan
dan Putra. Tujuan mereka masuk adalah membicarakan tentang revolusi sekolah. Di dalam sudah
menunggu Eka dan Rakhma yang menjadi lawan bicara mereka. Sedangkan anak laki-laki
berempat.
Memasuki senja, forum itu selesai. Semua pulang ke rumah masing-masing. Yang masih
belum keluar dari gedung sekolah hanya bisa dihitung jari. Di antaranya ada Anak laki-laki
berbadan kecil, Eka, Rakhma, Harry, dan Michael. Mereka masih mengemasi barang bawaan
mereka.
Ketika keluar dari gedung sekolah, hawa sejuk langsung mereka hirup. Memang, tadi siang
hujan sempat turun walau hanya beberapa menit. Tetapi dengan beberapa menit itu, seluruh
halaman parkir sudah basah karenanya. Mereka pun keluar dengan candaan-candaan segar.
Anak berbadan kecil, Harry, dan Michael berjalan menuju ke Barat. Motor mereka diparkir di
paling ujung. Sedangkan Eka dan Rakhma hanya berjalan lurus dari pintu keluar. Mereka tak mau
Tiba-tiba anak berbadan kecil bertanya kepada Harry yang berjalan disampingnya.
“Mas Har, itu gunung apa?” tanyanya sambil menunjuk ke arah Barat. Yang ia maksud
adalah Gunung Lawu.
“Ya wajar Mas, Risqy kan rumahnya Bojonegoro.” Michael yang berada di dekat mereka
berdua menimpali.
“Oh iya..ya!”
Anak laki-laki berbadan kecil yang sekarang diketahui bernama Risqy hanya tersenyum. Ia
cukup lama memandang gunung itu. Mungkin asa terbentuk dalam hatinya. Namun lagi-lagi ia
menampakan tingkah yang tak seperti biasanya. Wajah yang innocent2 berganti dengan wajah yang
tenang dan cool3. Senyumannya yang simpul menggambar sebuah impian. Impian yang tak hanya
setinggi tiang bendera dan tak seluas barisan upacara. Tetapi impian yang menjulangnya hingga
“Cah, aku duluan ya!” Harry yang telah meraih sepedanya berpamitan. Ia melambaikan
Beberapa saat kemudian Harry sudah menjauh dengan sepeda Federalnya. Sedangkan Eka,
Rakhma, Risqy, dan Michael masih berada di halaman parkir untuk mengambil motor masing-
masing.
Risqy dan Michael tidak langsung pulang ketika telah mencapai motor mereka. Mereka
masih menyempatkan diri untuk ngobrol sebentar. Eka dan Rakhma pun juga demikian. Hanya
Beberapa menit setelah itu, Risqy dan Michael berpamitan pulang. Dari ujung Barat
parkiran, mereka melambaikan tangan kepada Eka dan Rakhma yang ada di ujung Timur
parkiran. Eka dan Rakhma membalas lambaian itu. Kemudian setelah yakin kedua anak kelas X
Setelah selesai dengan pembicaraan yang cukup serius, mereka tidak langsung pulang.
Padahal waktu sudah menunjukkan pukul 17.05. Mereka menyempatkan diri untuk berfoto
menggunakan handphone Eka. Tujuannya adalah merefresh5 pikiran yang penat karena pelajaran
Di tengah asyik berfoto, mereka melihat fenomena alam yang begitu menakjubkan. Mereka
melihat pelangi..ya pelangi! Namun pelangi itu tak seperti pelangi yang biasanya. Pelangi
seperempat busur itu berada tepat di atas langit sekolah dan tingginya tak terlalu jauh dari
pandangan. Cukup dekat. Tak pelak, mereka langsung mengabadikan fenomena yang jarang bisa
diabadikan itu. Beberapa jepretan mereka dapatkan. Mereka pun bergembira akan hal itu. Namun
entah kegembiraan itu akan bertahan sampai kapan. Yang pasti tak akan sampai keesokan hari.
Malam hari, mereka semua tertidur dengan tenangnya. Kecuali satu. Malam hari, selimut
tebal menindih ringan tubuh mereka. Kecuali satu. Malam hari, kasur empuk menopang badan
mereka. Kecuali satu. Malam hari, lampu yang terang menyamankan mereka. Kecuali satu. Malam
hari, mimpi indah menghampar bagai sebuah cerita bioskop di dalam pandangan mereka. Kecuali
satu. Kecuali satu yang masih berjuang melawan kantuknya untuk sampai di peristirahatan
tercinta.
Malam itu, pendaran pelangi senja hari tak tahu kemana pergi. Ia berkeliling mengawasi
seorang anak yang malam hari itu masih berjuang pulang usai mengerjakan semua tugas
sekali lagi untuk sebuah langkah depan yang lebih baik. Namun itu semua tak berlangsung lama.
Sekejap sukmanya telah merasuk ke dalam hati para sahabatnya. Jiwanya semakin melelapkan
yang telah terlelap, dan menggelisahkan yang masih terjaga. Semua tak tahu, satu takdir Tuhan
Pagi hari, Eka pergi ke sekolah seperti biasa. Namun apa yang ia temui? Tangis, erangan,
tetesan air mata, kemuraman, sedu sedan. Ia yang tak tahu apa-apa spontan bertanya. “Ada apa
ini?”
“Yang benar?”
“Iya Mas.”
“Innalillahi wa innaillaihi raji’un7.” Kontan tubuhnya terasa kaku. Lidahnya terasa kelu. Ia
hampir tak percaya berita itu. Jika bukan karena banyaknya tangisan yang membahana, ia tak
akan percaya. Segera ia berlari untuk mengabarkan hal itu kepada para sahabatnya. Namun apa
lagi? Belum sempat dikabari, seisi Ruang OSIS sudah penuh dengan lelehan airmata. Rakhma
terlihat begitu terpukul, airmatanya tak mau berhenti. Memang ialah yang selama ini dekat
dengan Risqy.
Kemudian mereka semua berdoa dengan khusyuknya kepada Yang Maha Kuasa. Tuhan bagi
semesta alam. Allah swt. Di dalam hati mereka memohon ampunan. Memohon kedamaian.
Memohon ketenangan. Memohon kemuliaan bagi sahabat mereka (alm.) Risqy Satyawan. Semoga
hidupnya dari 9 Juli 1993 sampai 16 Desember 2008 dan perjalanannya dari Bojonegoro hingga ke
SELESAI