You are on page 1of 6

“Untuk alm.

Dek Risqy yang aku rindukan,

kutulis cerpen ini dengan penuh permintaan maaf”

Nuansa Buih yang Melayang


Sebuah episode mengenang alm. Risqy Satyawan (9 Juli 1993-16 Desember 2008)

Pagi itu tampak seperti pagi yang biasanya. Dengan embun yang membasahi daun-daun,

membawa kesejukan tersendiri bagi insan yang merasakan. Kicau burung yang terdengar

bersahut-sahutan, mewarnai suasana dengan keindahan.

Sekolah masih tampak begitu lengang. Kibaran bendera merah putih membuat suasana pagi

semakin terasa syahdu. Beberapa motor sudah tampak masuk. Mereka lah siswa-siswa yang selalu

datang pagi. Seolah mereka tak rela jika ada siswa yang mendahului mereka masuk.

Matahari mulai naik, ketika sebuah sepeda motor Smash hitam-merah memasuki gerbang

Selatan. Pengendaranya seorang anak laki-laki, berbadan kecil dengan helm yang tak sepadan

dengan kepalanya. Ia memakai tas slempang hitam, talinya di biarkan panjang. Jika dipakai

berdiri, mungkin bisa sedengkul1 panjangnya.

Setelah memarkir motor, anak itu berjalan santai diiringi kicauan burung yang merdu.

Dengan langkah perlahan, ia memasuki pintu lobi samping. Dibawa semua mimpinya ke dalam

gerbang pendidikan itu. Jauh-jauh belajar di Madiun, ia harus serius. Demi langkah depan yang

lebih pasti.

Tepat pukul 6.45, bel masuk berbunyi. Sontak semua siswa beriringan masuk ke dalam kelas.

Bagi yang baru datang, langsung berlari-lari mengejar pintu yang akan segera di tutup. Terkadang

ada yang kecewa, bahkan mengumpat di dalam hati. Keterlambatan yang hanya sedetik tak dapat

ditolerir lagi.

Di dalam kelas, anak laki-laki itu tidak langsung memperhatikan pelajaran. Dipikirannya

hanya ada satu, yaitu sebuah janji. Janji seseorang kepadanya. Janji yang mungkin benar-benar

diharapkannya. Selama pelajaran jam pertama ia sibuk dengan angannya itu, entah sampai kapan

berakhirnya. Yang pasti tidak sampai keesokan hari.

1 (jw.) Selutut
Senin kemarin, seorang anak kelas XI mengajaknya pergi berkeliling. Bukan berkeliling

sekolah, tetapi berkeliling Kota Madiun. Salah satu alasan ia yang diajak adalah karena rumahnya

yang jauh sekali. Di Bojonegoro sana. Jadi ia juga belum begitu mengenal Kota Madiun yang baru

enam bulan ia tempati.

Setelah puas berkeliling, ia diajak makan di kantin. Menurut orang, obrolan itu obrolan

biasa. Namun baginya obrolan itu membuka asa baru untuk langkah depannya. Saat itulah

seseorang yang biasa dipanggilnya Mas Eka, menjanjikan sesuatu yang benar-benar membuatnya

tertarik. Ia dijanjikan akan kegembiraan berorganisasi, keasyikan mencari sponsor, dan

kenikmatan hidup sebagai organisator. Sungguh, kenangan itu tak akan dilupakan selama

hidupnya.

Sesekali ia juga menceritakan pengalamannya ke anak kelas XI itu. Diceritakannya skenario

kehidupan pondok yang dulu ia jalani sebelum berlabuh di Madiun. Ketika air bak habis, ia dan

teman-temannya harus berjalan keluar pondok, mencari air di rumah-rumah penduduk. Ketika ia

ditanya, “Enak ya hidup di pondok?”. Ia menjawab dengan jempol teracung, “Asyik! Lha

bagaimana lagi? Itulah kehidupan yang harus aku jalani. Jadi disyukuri saja.” Lawan bicaranya

pun mengangguk tanda setuju.

Siang harinya, saat bel pulang sudah berdering. Seluruh isi kelas bersorak senang.

Kebahagiaan siang itu ditambah liburnya Intensif Belajar atau yang biasa disebut IB, karena para

guru mengadakan rapat. Langsung saja anak laki-laki itu mengemasi barang-barangnya dan

langsung mengambil motor untuk pergi ke masjid. Ia waktu istirahat kedua tadi memang belum

menunaikan shalat wajib itu. Karena harus menemui wakasek untuk mengurus acara Rapat Pleno

OSIS. Kebetulan ia adalah wakapelnya.

Begitu selesai melaksanakan Shalat Zhuhur, ia langsung pergi ketempat favoritnya. Ruang

OSIS. Disana ia banyak bercanda dengan teman-temannya kelas X. Entah kenapa saat itu

suasananya berbeda. Candaannya, gurauannya, senyumannya, tertawanya, pandangan matanya,

ucapannya, mimik wajahnya, sampai tingkah lakunya membuat orang-orang bingung. Biasanya

dia tidak seceria itu. Biasanya ia lebih banyak diam dan akan bicara kalau ada yang mengajak

berbicara. Tapi ini tidak! Ia bisa tertawa lepas, bisa seenaknya berbicara, bahkan bisa mencandai

orang lain. Seolah-olah ada penat yang hendak ia hilangkan.

Hari mulai sore ketika beberapa anak kelas XI memasuki Ruang OSIS. Mereka adalah Hasan

dan Putra. Tujuan mereka masuk adalah membicarakan tentang revolusi sekolah. Di dalam sudah
menunggu Eka dan Rakhma yang menjadi lawan bicara mereka. Sedangkan anak laki-laki

berbadan kecil dan teman-temannya tetap di dalam RO mendengarkan pembicaran mereka

berempat.

Memasuki senja, forum itu selesai. Semua pulang ke rumah masing-masing. Yang masih

belum keluar dari gedung sekolah hanya bisa dihitung jari. Di antaranya ada Anak laki-laki

berbadan kecil, Eka, Rakhma, Harry, dan Michael. Mereka masih mengemasi barang bawaan

mereka.

Ketika keluar dari gedung sekolah, hawa sejuk langsung mereka hirup. Memang, tadi siang

hujan sempat turun walau hanya beberapa menit. Tetapi dengan beberapa menit itu, seluruh

halaman parkir sudah basah karenanya. Mereka pun keluar dengan candaan-candaan segar.

Sesegar udara pada sore hari itu.

Anak berbadan kecil, Harry, dan Michael berjalan menuju ke Barat. Motor mereka diparkir di

paling ujung. Sedangkan Eka dan Rakhma hanya berjalan lurus dari pintu keluar. Mereka tak mau

jauh-jauh memarkir motor

Tiba-tiba anak berbadan kecil bertanya kepada Harry yang berjalan disampingnya.

“Mas Har, itu gunung apa?” tanyanya sambil menunjuk ke arah Barat. Yang ia maksud
adalah Gunung Lawu.

“Oalah Ris..Ris. Itu namanya Gunung Lawu. Masak gak tahu?”

“Ya wajar Mas, Risqy kan rumahnya Bojonegoro.” Michael yang berada di dekat mereka
berdua menimpali.

“Oh iya..ya!”

Anak laki-laki berbadan kecil yang sekarang diketahui bernama Risqy hanya tersenyum. Ia

cukup lama memandang gunung itu. Mungkin asa terbentuk dalam hatinya. Namun lagi-lagi ia

menampakan tingkah yang tak seperti biasanya. Wajah yang innocent2 berganti dengan wajah yang

tenang dan cool3. Senyumannya yang simpul menggambar sebuah impian. Impian yang tak hanya

setinggi tiang bendera dan tak seluas barisan upacara. Tetapi impian yang menjulangnya hingga

Langit Ke-Tujuh dan luasnya memenuhi alam Mayapada4.

“Cah, aku duluan ya!” Harry yang telah meraih sepedanya berpamitan. Ia melambaikan

2 (Ing.) Tak bersalah


3 (ing.) Keren.
4 Alam fana’, dunia, kerajaan alam semesta.
tangan kepada mereka semua. Risqy dan Michael membalas lambaian tangannya. Eka dan

Rakhma yang berada di belakang pun juga membalas.

Beberapa saat kemudian Harry sudah menjauh dengan sepeda Federalnya. Sedangkan Eka,

Rakhma, Risqy, dan Michael masih berada di halaman parkir untuk mengambil motor masing-

masing.

Risqy dan Michael tidak langsung pulang ketika telah mencapai motor mereka. Mereka

masih menyempatkan diri untuk ngobrol sebentar. Eka dan Rakhma pun juga demikian. Hanya

saja topik yang dibicarakan tampak lebih serius.

Beberapa menit setelah itu, Risqy dan Michael berpamitan pulang. Dari ujung Barat

parkiran, mereka melambaikan tangan kepada Eka dan Rakhma yang ada di ujung Timur

parkiran. Eka dan Rakhma membalas lambaian itu. Kemudian setelah yakin kedua anak kelas X

itu telah pergi, mereka melanjutkan pembicaraan mereka.

Setelah selesai dengan pembicaraan yang cukup serius, mereka tidak langsung pulang.

Padahal waktu sudah menunjukkan pukul 17.05. Mereka menyempatkan diri untuk berfoto

menggunakan handphone Eka. Tujuannya adalah merefresh5 pikiran yang penat karena pelajaran

yang cukup berat.

Di tengah asyik berfoto, mereka melihat fenomena alam yang begitu menakjubkan. Mereka

melihat pelangi..ya pelangi! Namun pelangi itu tak seperti pelangi yang biasanya. Pelangi

seperempat busur itu berada tepat di atas langit sekolah dan tingginya tak terlalu jauh dari

pandangan. Cukup dekat. Tak pelak, mereka langsung mengabadikan fenomena yang jarang bisa

diabadikan itu. Beberapa jepretan mereka dapatkan. Mereka pun bergembira akan hal itu. Namun

entah kegembiraan itu akan bertahan sampai kapan. Yang pasti tak akan sampai keesokan hari.

Malam hari, mereka semua tertidur dengan tenangnya. Kecuali satu. Malam hari, selimut

tebal menindih ringan tubuh mereka. Kecuali satu. Malam hari, kasur empuk menopang badan

mereka. Kecuali satu. Malam hari, lampu yang terang menyamankan mereka. Kecuali satu. Malam

hari, mimpi indah menghampar bagai sebuah cerita bioskop di dalam pandangan mereka. Kecuali

satu. Kecuali satu yang masih berjuang melawan kantuknya untuk sampai di peristirahatan

tercinta.

Malam itu, pendaran pelangi senja hari tak tahu kemana pergi. Ia berkeliling mengawasi

seorang anak yang malam hari itu masih berjuang pulang usai mengerjakan semua tugas

5 (ing.) Menyegarkan (kembali)


sekolahnya. Tugas yang menjembatani ia dengan mimpinya. Ia harus bersusah payah seperti itu,

sekali lagi untuk sebuah langkah depan yang lebih baik. Namun itu semua tak berlangsung lama.

Sekejap sukmanya telah merasuk ke dalam hati para sahabatnya. Jiwanya semakin melelapkan

yang telah terlelap, dan menggelisahkan yang masih terjaga. Semua tak tahu, satu takdir Tuhan

telah terjalani. Izrail6 pergi dengan membawa semangat anak itu.

Pagi hari, Eka pergi ke sekolah seperti biasa. Namun apa yang ia temui? Tangis, erangan,

tetesan air mata, kemuraman, sedu sedan. Ia yang tak tahu apa-apa spontan bertanya. “Ada apa

ini?”

“Risqy Mas..Risqy meninggal dunia.”

“Yang benar?”

“Iya Mas.”

“Innalillahi wa innaillaihi raji’un7.” Kontan tubuhnya terasa kaku. Lidahnya terasa kelu. Ia
hampir tak percaya berita itu. Jika bukan karena banyaknya tangisan yang membahana, ia tak

akan percaya. Segera ia berlari untuk mengabarkan hal itu kepada para sahabatnya. Namun apa

lagi? Belum sempat dikabari, seisi Ruang OSIS sudah penuh dengan lelehan airmata. Rakhma

terlihat begitu terpukul, airmatanya tak mau berhenti. Memang ialah yang selama ini dekat

dengan Risqy.

Kemudian mereka semua berdoa dengan khusyuknya kepada Yang Maha Kuasa. Tuhan bagi

semesta alam. Allah swt. Di dalam hati mereka memohon ampunan. Memohon kedamaian.

Memohon ketenangan. Memohon kemuliaan bagi sahabat mereka (alm.) Risqy Satyawan. Semoga

hidupnya dari 9 Juli 1993 sampai 16 Desember 2008 dan perjalanannya dari Bojonegoro hingga ke

Madiun, selalu mendapat barakah dan perlindungan Allah swt. Amiin.

SELESAI

Ditulis di Madigondo, Takeran, Magetan


28 Desember 2009 bakda Subuh
hingga 31 Desember 2009 waktu Dhuha

6 Malaikat pencabut nyawa dalam Islam


7 Kalimat Istirja’. Kalimat dalam Islam yang diucapkan ketika mendengar suatu musibah telah atau sedang terjadi.
Semua hanya milik Allah dan hanya akan kembali kepada-Nya.
To this person I write this story

Nuansa Buih yang Melayang

Ini baru setengah pertempuran

Akan banyak pertempuran-pertempuran yang lain

Yang menempa diri kita menjadi seseorang

Wakilkan jiwanya pada kami

Patrikan semangatnya dalam diri

Agar kelak kami dapat mewujudkan berbagai mimpi

Kini nuansa itu telah hilang

Bersamaan dengan buih yang melayang

Membawa asa, membawa harapan

Harapan yang tak akan pudar

Walau berkali ditelan oleh zaman

All of this writing presented by Gading Ekapuja Aurizki

And supported by SMA 3 Madiun Student Organization 2008/2009

You might also like