You are on page 1of 90

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Sikap egoisme dalam rumah tangga sering mewarnai masalah-masalah

rumah tangga, terutama di dalam mengelola kehidupan rumah tangga seperti

memberikan pendidikan terhadap anak, pasangan yang suka mementingkan nafsu

sek pribadinya dengan cara selingkuh, mengatur kehidupan rumah tangga, dan

dalam mencari materi. Akibatnya, banyak sekali pasangan yang menyelesaikan

masalah mereka dengan cara kekerasaan, karena dihadapkan dengan pasangannya

yang egois. Sehingga, ikatan perkawinan yang seharusnya membawa pasangan

suami istri mencapai ketenangan dan kedamaian justru sebaliknya membawa ke

dalam perselisihan dan konflik yang membawa kehancuran, sebab tidak

mengetahui cara menanggani dan mengatasi masalah dan memilih menyelesaikan

masalah dengan kekerasan. (Dhammananda, 2003:280).

Pasangan berselingkuh untuk memuaskan nafsu seknya dan demi ego

pribadi mengabaikan keharmonisan rumah tangganya sehingga melupakan rasa

cinta terhadap suami atau istrinya. Padahal, sangat penting bagi pasangan hidup

untuk menanamkan rasa cinta dan kasih sayang dalam rumah tangga. Sebab,

ketidakharmonisan dalam rumah tangga terjadi apabila seorang istri atau suami

sudah musnah rasa cintanya, istri yang licik dengan sifat maya dan suka
2

menyeleweng melakukan hubungan gelap dengan lelaki lain yang tidak jujur

menyebabkan rumah tangga akan ternoda. (Janakabhivama, 2005:34).

Orang tua yang egois mementingkan uang dan karier sampai lupa akan

kewajiban terhadap keluarga, terutama orang tua yang menganggap harta adalah

segala-galanya dan cinta kasih bisa ditukar dan dinilai dengan uang. Sehingga,

banyak orang tua memilih untuk menitipkan anak-anak kepada pengasuh atau

baby sitter. Padahal menurut Dhammananda (2003:167) akibat dari orang tua

yang egois mementingkan karier daripada anak, dan menitipkan anak kepada

pengasuh, berakibat anak-anak merasa bahwa kurang cukup menerima dan

mendapatkan perhatian, bimbingan serta kasih sayang dan yang terpenting adalah

pendidikan dasar dari orang tuanya.

Menurut pendapat Dhammananda (2007:33) anak-anak yang ditinggalkan

bersama anggota keluarga lain atau pengasuh anak, dan mengurus dirinya di

rumah dengan fasilitas yang serba ada seperti mainan pistol, tank, dan pedang

hanya akan memberikan dampak negatif kepada anak yang tidak langsung akan

menanamkan kekerasan pada karakter anak bukanya kebaikan.

Mendidik anak dengan cara disiplin memang sangat penting untuk

membentuk karakter anak agar menjadi manusia yang pandai berdisiplin dalam

berbagai hal, pekerjaan, menghormati orang tua, mencintai sesama dengan

harapan anak menjadi sukses di kemudian hari sehingga bisa membanggakan

orang tua dan pendidikan yang baik bagi anak adalah pendidikan yang bisa

mengarahkan karakter anak menjadi lebih baik pula.


3

Orang tua terkadang sering memaksakan kehendaknya terhadap anaknya

dengan sikap yang egois memaksakan penerapan disiplin yang keras terhadap

anak tanpa mempertimbangkan akibat buruk yang akan diterima oleh anak.

Padahal dampak buruk dari sikap orang tua yang mendidik anak dengan cara yang

egois sangat merugikan bagi perkembangan mental anak hingga tidak jarang

sebagai akibat yang didapatkan oleh anak adalah bukan perkembangan mental

yang baik melainkan membentuk karakter anak yang tidak baik yaitu suka

membantah orang tua ketika sudah remaja atau dewasa.

Orang tua yang egois di dalam memberikan pendidikan terhadap anak dan

tidak sesuai atau tidak cocok bagi anak maka pendidikan itu tidak berhasil.

Sehingga, anak akan sering melawan orang tua sebagai ungkapan hatinya. Padahal

menurut Mar’ah (1998:51) bahwa pendidikan dan penerapan disiplin yang secara

otoriter tidak bisa bertahan lama sebab hanya akan menciptakan seorang anak

yang akan menjadi pembantah ketika sudah beranjak dewasa.

Banyak orang tua yang terlalu egois yang hanya memikirkan keinginannya

sendiri dengan mengambil suatu keputusan seperti bercerai yang karena

disebabkan oleh ketidak-cocokan. Suami istri yang sering bercekcok sehingga

mengakhiri perkawinan dengan bercerai dan tidak memperdulikan akibat buruk

yang akan diterima oleh anggota keluarganya seperti anak, sebagai akibatnya

tidak jarang banyak anak yang terjerumus ke dunia hitam seperti narkoba yang

merupakan akibat kurangnya perhatian oleh orang tua yang egois, sebagai rasa

kekecewaan anak terhadap orang tua banyak anak menjadi korban narkoba

sebagai akibat dari ketidakharmonisan rumah tangga.


4

Ketidakharmonisan di dalam rumah tangga salah satu pemicunya adalah

adanya salah satu dari anggota keluarga yang egois dan tidak mau mengalah dan

mendengarkan pendapat orang lain. Banyak suami atau istri yang memilih untuk

bercerai karena sudah tidak ada pilihan lain lagi sehingga lupa akan kewajiban

masing-masing sebagai seorang suami atau istri yang baik.

Menurut Dhammananda (2003:136) Percerain orang tua sering di pandang

sebagai hedonis egois yang hanya memikirkan kesenanganya sendiri tanpa

memikirkan kebahagiaan anak-anaknya. Perceraian disebabkan oleh

ketidakcocokan dalam kehidupan berumah tangga, pasangan selingkuh dengan

wanita atau pria lain yang lebih mementingkan kepuasan pribadi dari pada

menjaga keutuhan rumah tangga, maka akan menjadi konflik dalam rumah

tangga.

Suami istri yang suka menghamburkan kesenangannya dan merasa tidak

puas hanya dengan satu istri atau suami banyak yang mencari kepuasan diluar

rumah dengan cara selingkuh dengan wanita atau pria lain. Sehingga lupa akan

diri, kewajiban dan lupa akan statusnya sebagai seorang istri atau suami karena

lebih mementingkan kepuasan pribadinya dan dengan sikap yang egois tidak

perduli dengan pasanganya yang menderita karena perbuatanya.

Menurut Priastana (1996:152) “Perselingkuhan terjadi kerap berujung pada

bubarnya rumah tangga”. Perceraian berakibat buruk bagi psikologis anak. dan

orang tua yang tidak bercerai akan menjadi konflik batin karena hidup dalam

tekanan batin yang berkepanjangan.


5

Orang tua yang menghadapi anak yang memiliki sifat egois dan merasa

benar dan tidak mau mendengarkan pendapat serta nasehat dari orang tuanya,

menyebabkan orang tua terkadang memakai cara kekerasan, orang tua yang tanpa

melakukan pendekatan terlebih dahulu terhadap anak untuk mengetahui apa yang

menjadi masalah anaknya lebih memilih mendidk anak dengan keras, sehingga

hubungan antara orang tua dan anak menjadi renggang dan kurang harmonis.

Banyak orang tua yang menginginkan kebahagiaan anak-anaknya dengan

cara menjodohkan anak-anak dengan lelaki atau wanita sesuai pilihan hatinya,

dengan menganggap bahwa kebahagiaan anak-anaknya ada pada jodoh yang telah

dipilihkan, anak yang tidak mengetahui bahwa telah dijodohkan tanpa

sepengetahuanya terkadang merasa kecewa karena tidak sesuai dengan

keinginannya, sehingga banyak anak yang melawan orang tuanya dan orang tua

beranggapan bahwa anaknya telah egois karena tidak mau mendengarkan

pendapatnya, demikian pula orang tua menganggap bahwa orang tuanya telah

egois tanpa memikirkan terlebih dahulu apakah setuju dengan pilihannya,

Orang tua yang karena materi dan uang dengan sikap yang egois tidak

perduli dengan kebahagiaan anaknya langsung memaksa anaknya untuk menikah

dengan pilihannya padahal di dalam Sigalovada Sutta bahwa kewajiban orang tua

adalah mencarikan jodoh bagi anaknya tetapi demi kebahagiaan anak-anaknya dan

bukan karena sikap egois untuk kepentingan pribadi yaitu untuk mengumpulkan

harta kekayaan dan materi.

Umat Buddha yang mengetahui Dhamma ajaran Sang Buddha terutama

yang diajarkan di dalam Sigalovada sutta tentunya mengetahui bagaimana cara


6

yang benar di dalam mendidik anak, kewajiban antara suami istri, anak dengan

orang tua, akan tetapi banyak orang tua yang memberikan pendidikan,

menjodohkan anak yang tidak sesuai dengan keinginan anaknya, dan tidak sesuai

dengan Sigalovada Sutta, bila perjodohan itu menyebabkan keretakan hubungan

antara orang tua dengan anak, hanya karena orang tua terlalu memaksa anaknya

untuk menikah.

Banyaknya perumah tangga seperti suami istri yang lupa akan kewajiban-

kewajibannya di dalam rumah tangga, orang tua, anak, dan anggota keluarga

lainya yang memiliki dan mempertahankan sikap egoismenya ditinjau dari

Sigalovada Sutta membuat penulis tertarik untuk menggali lebih dalam sejauh

mana pengaruh sikap egoisme dalam rumah tangga berpengaruh terhadap

kebahagiaan rumah tangga. Alasan lain adalah perlunya menggali lebih dalam

bagaimana sikap sebenarnya yang harus dilakukan oleh orang tua dengan anak,

anggota keluarga lainya tanpa mengembangkan sikap egoisme di dalam mencapai

tujuan atau kebahagiaan

Menanggapi sering munculnya permasalahan dalam kehidupan berumah

tangga antara suami dan istri, orang tua dan anak yang disebabkan oleh keegoisan

anggota keluarga. Sehingga, pasangan menyelesaikan masalah dengan kekerasaan

dan perceraian yang tidak sesuai dengan Sigalovada Sutta. Sikap saling

mementingkan kepentingan pribadi, orang tua dan anak yang seakan-akan lupa

dengan kewajiban masing-masing yang tidak sesuai dengan Siglovada Sutta

membuat penulis tertarik untuk menggali lebih dalam bagaimana sikap yang benar
7

di dalam mengelola kehidupan rumah tangga yang baik dan benar sesuai dengan

Sigalovada Sutta.

Penulis juga tertarik untuk menggali lebih dalam lagi sejauh mana akibat

baik dan buruk dari sikap egoisme atau mementingkan diri sendiri yang terjadi

dalam rumah tangga. Dimana Dosa (kebencian), Lobha (keserakahan), dan Moha

(kebodohan batin) selau mewarnai tindakan-tindakan Egoisme manusia

khususnya peru,ah tangga. Dan harapan penulis agar perumah tangga atau

pasangan yang egois di dalam membina rumah tangga mampu mengubah

sikapnya yang egois menjadi lebih baik dan sesuai dengan apa yang ada dalam

Sigalovada Sutta. Sehingga, penulis tertarik untuk mengangkat “Egoisme dalam

Rumah Tangga Ditinjau dari Sigalovada Sutta” agar rumah tangga itu mampu

mengolah emosi egoisnya menjadi penuh cinta dan kasih sayang.

Kajian terhadap tema diharapkan dapat memberikan pemahaman yang benar

terhadap masyarakat pada umumnya dan umat Buddha khususnya, agar memiliki

wawasan tentang bagaimana mengelola hidup berumah tangga yang baik tanpa

kekerasan khususnya sikap egois yang berlebihan, baik melalui pikiran, ucapan,

dan perbuatan. Sehingga, mampu memperaktikan apa yang ada di dalam

Sigalovada Sutta. Dengan memahami bahwa sifat egoisme di dalam rumah tangga

sangat tidak sesuai dengan Sigalovada Sutta, maka perumah tangga akan tetap

tenang dan bisa mawas diri sehingga waspada apabila menghadapi suatu masalah

di dalam rumah tangga karena telah mampu mengendalikan sifat egoisme dan

berpedoman kepada Sigalovada Sutta.


8

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka penulis dapat merumuskan

latar belakang tersebut sebagai berikut:

1 Apakah rumah tangga mampu bertahan jika masing-masing pasangan

egois?

2 Apakah sikap egoisme dalam mendidik anak mampu membentuk karakter

baik anak?

3 Bagaimana upaya menghindari sikap egoisme dalam rumah tangga

berdasarkan pada Sigalovada Sutta?

1.3 Tujuan Kajian

Berdasarkan rumusan masalah yang ada maka tujuan kajian dapat di

rumuskan sebagai berikut;

1 Mendeskripsikan sikap egoisme antara pasangan dalam rumah tangga

secara umum?

2 Mendeskripsikan sikap yang benar di dalam mendidik anak dengan tidak

egoisme sesuai dengan Sigalovada Sutta?

3 Mendeskripsikan upaya menghindari sikap egoisme dalam rumah tangga

berdasarkan pada Sigalovada Sutta.


9

1.4 Kegunaan Kajian

Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang ada maka kegunaan

kajian ada dua yang dirumuskan sebagai berikut: 1. Kegunaan secara teoritis, 2.

Kegunaan secara praktis.

1.4.1 Kegunaan secara Teoritis

Penelitian egoisme di dalam rumah tangga ditinjau dari Sigalovada Sutta ini,

diharapkan dapat memberikan pengetahuan baru bagi para perumah tangga agar

perumah tangga tidak selalu menunjukan sikap egoisme di dalam menghadapi

masalah kehidupan berumah tangga, karena keegoisan sangat merugikan bagi

kesejahteraan dan kebahagiaan rumah tangga. Dengan adanya penelitian pustaka

egoisme di dalam rumah tangga ditinjau dari Sigalovada Sutta ini diharapkan

pasangan mampu menghadapi konflik rumah tangga tanpa sikap egoisme, harapan

agar perumah tangga mengetahui bagaimana bentuk sikap egoisme dan cara

mennghindari sikap egoisme secara umum maupun secara Buddhis agar

kehidupan rumah tangga menjadi bertahan sepanjang hayat.

1.4.2 Kegunaan secara Praktis

Konflik dalam rumah tangga perlu dicegah dengan memberikan

pengetahuan yang benar mengenai cara-cara memecahkan masalah tanpa

menimbulkan sikap mementingkan diri sendiri atau egoisme, dengan cara

memperaktekan kewajiban-kewajiban di dalam Sigalovada Sutta agar pasangan

suami istri bisa membangun kehidupan rumah tangga yang penuh cinta kasih
10

tanpa adanya konflik yang berat yang menyebabkan runtuhnya suatu kebahagiaan

rumah tangga. Sehingga, kebahagiaan yang dijadikan sebagai tujuan dalam

kehidupan rumah tangga menjadi terwujud sesuai dengan ajaran Buddha

Dhamma.

Harapan agar perumah tangga mampu mencegah terjadinya konflik dengan

tidak menyelesaikan masalah melalui sikap egois, kekerasan. Tetapi, lebih melihat

kedepan akibat-akibat buruk yang akan terjadi bila menyelesaikan masalah

dengan cara kekerasan. Untuk, itu, membuang sifat egoisme dan mengembangan

cinta kasih dalam membina rumah tangga sangatlah penting.

1.5 Metode Kajian

Metode kajian menjelaskan semua langkah yang dikerjakan penulis

berkaitan dengan judul yang diambil sejak awal hingga akhir penulisan. Metode

yang digunakan penulis dalam kajian ini adalah menggunakan metode deskriptif

yang bertujuan untuk membuat skripsi, dengan memberikan gambaran atau

lukisan secara sistimatis dan berupa fakta yang akurat mengenai fenomena atau

hubungan antar fenomena yang diselidiki (Suprayogo, 2001:137). Pada bagian ini

memuat hal-hal yang berkaitan dengan anggapan dasar atau fakta-fakta yang

dipandang benar tanpa adanya verifikasi dan keterbatasan dengan menggunakan

aspek-aspek tertentu yang dapat dijadikan sebagai landasan dalam membuat

kerangka berpikir (Saukah, 2000:30). Dalam metode kajian ini memuat semua

langkah-langkah yang berguna di dalam pengkajianya diantaranya adalah:


11

(1)Pendekatan, (2) Sumber data, (3) Tehnik pengumpulan data, (4) Analisis data,

(5) Prosedur. Kelima metode tersebut akan diuraikan sebagai berikut.

1.5.1 Pendekatan

Pendekatan yang digunaan oleh penulis adalah kajian pustaka menggunakan

metode libraly research. penelitian yang lebih memfokuskan pada suatu kajian

yang bersifat teoritis atau brdasarkan dokumentasi kepustakaan atau penelitian

yang berdasarkan literatur (Widodo, 2000:32). Cara yang dapat digunakan dalam

pendekatan dalam kajian pustaka ini yaitu mengkaji secara mendalam teori-teori

sesuai pembahasan masalah yang ada, kemudian hasil studi pustaka tersebut

disajikan dalam bentuk deskriptif kualitatif sebagai cara pemutusan dengan

membandingkan pendapat-pendapat yang tertera dalam buku sebagai gambaran

dan penjelasan permasalahan serta pemecahan masalah yang akan dibahas

tersebut. Pendekatan dalam penelitian kajian ini menggunakan tiga tahap, yaitu:

(1) penelitian perpustakaan, (2) menelaah isi buku, (3) mengutif bagian yang

terpenting (Widodo, 2000:76).

1.5.2 Sumber Data

Kajian pustaka ini merupakan kajian yang sangat penting dalam suatu

penyusunan skripsi, karena data yang digunakan harus menempati posisi yang

penting. Dapat dikatakan suatu hal yang penting karena data memuat sebuah

kajian yang bermakna sesuai dengan pokok permasalahan yang diteliti hingga

dapat ditarik suatu kesimpulan penelitian. Data yang telah melalui proses
12

pengolahan atau penafsiran akan berubah menjadi informasi atau dengan kata lain

informasi adalah data yang telah ditafsirkan (Widodo, 2000:115).

Beberapa jenis data yang digunakan dalam kajian pustaka ini yaitu meliputi:

(1) sifatnya yang dibedakan menjadi dua yaitu data kuantitatif dan data kualitatif,

(2) ditinjau dari sumbernya yaitu data primer dan data sekunder (Marzuki,

2001:55). Maka dalam kajian pustaka ini, sumber data yang digunakan adalah:

1. Sumber data Skunder meliputi:

a. Sumber utama: Kitab Suci Tipitaka Pali (bagian dari Kitab Suci Tipitaka

yaitu: Digha nikaya, Majihima Nikaya, Samyutta Nikaya, Anguttara

Nikaya, Khuddaka Nikaya, dan buku-buku ilmiah lainnya) sedangkan;

b. Sumber data penunjang lainnya yaitu: Majalah, artikel, dan buku-buku

lainnya yang bersifat menunjang dalam penulisan skripsi ini dan

disesuaikan dengan pokok bahasan yang akan dibahas.

2. Sumber-sumber yang berupa tulisan-tulisan dan artikel dari

Internet.

1.5.3 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data atau instrument yaitu alat yang digunakan untuk

mengumpulkan data. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam kajian ini

yaitu teknik dokumenter, dengan pengumpulan data sumber dari buku-buku

pustaka yang sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas dalam penyusunan

skripsi (Saukah, 2000:25). Teknik pengumpulan data yang dilakukan penulis

yaitu:
13

1. Penulis memilih-memilih data dari buku-buku yang berkaitan dengan

topik yaitu yang berhubungan dengan egoisme dalam kehidupan rumah

tangga.

2. Penulis membuat catatan data-data yang telah dikumpulkan.

3. Data yang dianggap penting kemudian dianalisis sesuai dengan topik yang

telah ada.

Penulisan karya ilmiah ini tidak dapat diwakilkan oleh penulis, sebab hanya

peneliti sendiri sebagai alat yang mampu memahami serta menganalisa secara

keseluruhan dan menguji keabsahan dan kelayakan data apabila akan digunakan

dalam sebuah kajian sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas tersebut.

1.5.4 Teknik Analisis Data

Analisis data didefinisikan sebagai suatu proses yang merinci usaha secara

formal untuk menemukan tema dan merumuskan hipotesis kerja seperti yang telah

disarankan. Teknik analisis data yang digunakan dalam kajian pustaka ini adalah

Analisis isi (Content Analysis) dengan cara mengungkapkan isi sebuah buku yang

menggamarkan data atau informasi baru yang sesuai dengan permasalahan yang

ada. Penelitian analisis isi ini banyak digunakan pada berbagai penerbitan media

cetak seperti buku, majalah dan koran. (Widodo, 2000:52). Setelah dapat

mengungkapkan isi dari buku tersebut, maka data yang telah diperoleh tersebut

dapat dikategorikan dengan cara memilah data sejenis dan menganalisisnya secara

keritis untuk mendapatkan suatu formulasi baru yang berfungsi untuk menjawab
14

permasalahan penulis yang berkaitan dengan mengatasi konflik yang disebabkan

oleh sikap egoisme dalam rumah tangga sesuai dengan Sigalovada Sutta.

1.5.5 Prosedur yang Dilakukan

Pada bagian ini menguraikan proses pelaksanaan kajian pustaka, mulai dari:

a) Tahap persiapan, meliputi penentuan judul, penyusunan, dan seminar

proposal;

b) Tahap pelaksanaan, meliputi pengumpulan data, analisis data, dan

penyusunan laporan kajian; serta

c) Tahap akhir, meliputi: ujian skripsi, revisi skripsi, dan pengumpulan

skripsi.

1.6 Definisi Istilah

Istilah-istilah yang taerdapat dalam penulisan skripi ini san gatg memerlukan

penegasan dengan tujuan untuk mendaptkan kesamaan interprestasi. Oleh karena

itu penulis mendefinisikan beberapa istilah berikut ini:

Egoisme adalah: 1. tingkah laku yang didasarkan atas dorongan untuk

kepentingan dan keuntungan diri sendiri, 2. sikap mementingkan diri sendiri;

sikap kedirian yang berlebihan, 3. suatu teori filsafat, bahwa segala perbuaatan

atau tindakan selalu disebabkan oleh naluri dan dorongan untuk menguntungkan

diri sendiri. (M.Dahlan dkk Kamus Induk Istilah Ilmiah 159:1991) dan Rumah

tangga adalah sesuatu yang berkenaan dengan urusan kehidupan dalam rumah

( seperti halnya belanja dan sebagainya). KBBI (1991:64). Jadi, egoisme dalam

rumah tangga adalah suatu tingkah laku yang didasarkan atas dorongan yang
15

berupa tindakan yang berlebihan yang disebabkan oleh dorongan naluri untuk

mementingkan diri sendiri yang terjadi dalam urusan kehidupan rumah tangga.

1.7 Kerangka Berpikir

Skripsi Egoisme Dalam Rumah Tangga Ditinjau Dari Sigalovada Sutta ini,

Memiliki dua kerangka berpikir diantaranya adalah: (1) Egoisme dalam rumah

tangga ditinjau secara umum dan, (2) Egoisme dalam rumah tangga ditinjau

Secara Buddhis. Menurut pembagian dari kedua tinjauan diatas maka kedua

kerangka berpikir tersebut akan diuraikan sebagai berikut:

1. Egoisme dalam rumah tangga ditinjau secara umum:

a. Sikap otoriter di dalam mendidik anak.

b. Perjodohan anak.

c. Keuangan rumah tangga.

d. Hubungan seksualitas

e. Persaingan Bisnis.

2. Egoisme di dalam rumah tangga ditinjau secara Buddhis (Sigalovada

Sutta):

a. Berakar di dalam Akusala- Mula 3 (Akar Kejahatan) yaitu:

- Dosa (kebencian).

- Lobha (keserakahan).

- Moha ( kebodohan).

b. Nafsu (Tanha) atau keinginan-keinginan rendah.

c. Dampak egoisme dalam rumah tangga.


16

1.8 Hipotesis

Setelah mengkaji lebih dalam baik secara Umum maupun secara Buddhis

mengenai skripsi Egoisme dalam rumah tangga ditinjau dari sigalovada sutta,

maka Hipotesis yang ada dalam Skripsi ini adalah:

Adannya perbedaan pengertian, penyebab dan cara-cara penyelesaian

masalah yang berkaitan dengan tindakan egoisme di dalam rumah tangga, baik

melalui pengkajian secara umum maupun pengkajian secara Buddhis.


17

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG EGOISME DALAM RUMAH

TANGGA

2.1 Pengertian Egoisme

Menurut KBBI edisi kedua (250:1991) bahwa Egoisme adalah: 1. teori yang

mengemukakan bahwa segala perbuatan atau tindakan selalu disebabkan oleh

keinginan untuk menguntungkan diri sendiri, 2. hal atau keadaan mementingkan

diri sendiri, 3. tingkah laku yang didasarkan atas dorongan untuk keuntungan diri

sendiri daripada untuk kesejahteraan orang lain.

2.2 Sikap Orang Tua dalam Mendidik Anak

Orang tua yang terlalu egois dengan sikap memaksa dan tidak sabar dalam

mendidik anaknya, memberikan pengaruh negatif terhadap mental dan emosi

anak, cara orang tua yang memperlakukan anak-anaknya dengan disiplin yang

keras atau perlakuan yang tidak empatik, ketidakpedulian atau kehangatan akan

berakibat mendalam dan permanen bagi kehidupan emosional anak. Menurut ahli

psikologi, bahwa kurang berhasilnya seorang ibu dalam mendidik anak ialah
18

karena tidak pernah mempelajari psikologi. Banyak yang tidak pernah membaca

buku mengenai pendidikan anak. (Hariyono 2000:36).

Orang tua sering bertengkar dalam memberikan pendidkan kepada anak

yang menyebabkan anak menjadi bingung untuk menerima pendidikan dari ayah

atau ibunya, dan ketika pendidikan itu tidak bisa diterima dengan baik oleh anak,

maka orang tua menjadi marah dan mencemoh anaknya. Orang tua yang suka

memaksa, kehilangan kesabaran dalam menghadapi ketidakmampuan anaknya,

meninggikan suaranya dengan nada mencemooh atau putus asa, bahkan ada yang

mencap anaknya tolol membawa kecenderungan-kecenderungan yang sama

kearah penghinaan dan kebencian yang mengotori kehidupan perkawinan.

(Goleman, 1995:269).

Orang tua hendaknya dalam memberikan pendidikan terhadap anaknya tidak

egois dan mengeluarkan kemarahanya melainkan memperhatikan sistuasi dan

kondisi anak, memperhatikan keadaan emosional anak agar anak bisa tumbuh

berkembang menjadi anak yang baik tanpa ditumbuhkan dengan kekerasaan.

Sebab, kekerasan hanya akan mengantarkan kepada konflik rumah tangga yaitu

pertentangan antara orang tua dengan anak, suami dan istri.

Orang tua yang salah di dalam cara menyampaikan nasehat kepada anak-

anak maka akan menimbulkan salah pengertian bagi anak-anak. Padahal, orang

tua mempunyai maksud baik bagi anak-anaknya. Namun, karena cara

penyampaian dan gaya bahasa orang tua yang kurang cocok, maka nasehat yang

baik itu akan berubah menjadi nasehat yang mengarahkan anak kepada pemikiran-

pemikiran yang negatif.


19

Anak lebih memahami apa yang menjadi maksud orang tuanya, jika orang

tua menggunakan bahasa yang pantas di dalam memberikan pendidikan dalam

bentuk cinta kasih kepada anak. Dengan demikian anak akan lebih mengerti arti

pentingnya cinta kasih dalam kehidupan sehari-hari. Mendidik anak agar menjadi

manusia yang berguna dalam masyarakat merupakan harapan dan cita-cita semua

orang tua, pendidikan dengan cara yang tepat akan memberikan reaksi dan respon

positif dari anak yang akan dididik.

Menurut (Goleman 1995:269) Tiga gaya mendidik anak yang secara

emotional pada umumnya tidak efisien dilakukan oleh orang tua diantaranya

adalah: 1. Sama sekali mengabaikan perasaan; 2. Terlalu membebaskan; menawar

serta suap agar anak berhenti bersedih hati atau marah, 3. Menghina, tidak

menunjukan penghargaan terhadap perasaan anak.

Orang tua memiliki kewajiban di dalam menyekolahkan anaknya, tetapi

tidak harus memaksakan kehendaknya sendiri dengan sikap egois memaksa anak

untuk memasuki suatu sekolah yang bukan keinginan hati dan bakat serta

kemauan anak, karena sikap egois dan memaksakan kehendak seperti itu

sangatlah tidak baik bagi dunia pendidikan dan tingkat keberhasilan yang akan di

capai oleh anak.

Contoh umum yang dapat kita lihat dalam kehidupan sehari-hari adalah
orang tua yang memaksa anaknya agar masuk ke Fakultas Kedoteran,
sedangkan sang anak tidak berminat dalam hal itu. Inilah problem yang
sering dihadapi masyarakat kita dewasa ini. Menghadapi kenyataan seperti
ini mungkin sang anak bertambah malas kuliahnya. Hal ini harus kita sadari
bahwa kemalasan sekolah sang anak disebabkan oleh perasaan tidak senang
yang hinggap dalam hatinya. Dan perasaan seperti inilah yang bisa dianggap
sebagai suatu gangguan. Kalau orang tua memaksa anaknya terus-menerus
maka si anak akan menderita seumur hidup. (Hariyono, 2000:38).
20

Sikap egois yang dilakukan oleh orang tua dengan cara memaksa anaknya

untuk menempuh kuliah sesuai dengan Fakultas yang diinginkan orang tua, maka

berakibat buruk bagi tingkat ketertarikan anak untuk terus bersemangat di dalam

mengejar ilmu sehingga tidak jarang anak menjadi seorang pemalas dan tentunya

orang tua sangatlah tidak baik bagi orang tua karena akan sia-sia saja karena tidak

sesuai dengan harapan.

Jadi, menurut para ahli mengatakan bahwa sikap orang tua di dalam

memberikan pendidikan dan bentuk-bentuk sikap yang egois yang ditunjukan oleh

orang tua dalam memberikan pendidikan maupun nasihat kepada anak adalah: (1)

Orang tua memaksakan kehendak sendiri, (2) Disiplin yang keras.

2.2.1 Orang Tua Memaksakan Kehendak Sendiri

Berbagai macam bentuk keegoisan orang tua terhadap anak dan anak

terhadap orang tua sering muncul di dalam rumah tangga. Faktor lain juga karena

orang tua terlalu menekankan keinginan yang terlalu berambisi dalam

mendapatkan apa yang diinginkan terhadap anak-anakya, orang tua yang sering

membentak-bentak anaknya, membodohkan anaknya bila tidak tercapai harapanya

juga merupakan penyebab konflik dalam kehidupan berumah tangga. Padahal

pendidikan yang demikian hanya akan membuat anak berkecil hati, rendah diri,

dan dihantui ketakutan melakukan kesalahan. (Suryomentaram, 2003: 166 )

2.2.2 Disiplin yang Keras


21

Orang tua di dalam memberikan pendidikan terhadap anak, harus didasari

dengan rasa cinta kasih tanpa adanya rasa cinta kasih pendidikan itu tidak akan

bisa diterima oleh anak tersebut. Orang tua yang egois hanya mementingkan

keinginannya sendiri dan tidak mendengarkan apa yang menjadi keinginan

anaknya, misalnya dalam penerapan disiplin kepada seorang anak yang secara

otoriter dan kaku hanya bisa bertahan sampai anak berusia 10 tahun. Karena

memang dibawah usia itu kondisi anak belum bisa melawan orang tua, maka anak

terpaksa menuruti peraturan orang tua walaupun dengan mental tertekan.

Akibatnya setelah menginjak remaja, “tekanan-tekanan yang menumpuk akan

meledak menjadi pemberontakan terang-terangan secara tiba-tiba ketika anak-

anak menginjak dewasa, anak yang semula diam, taat dan patuh tiba-tiba

menunjukan berani dan keras. (Mar’ah, 1998: 51)

2.3 Perjodohan Anak

Orang tua yang egois dan merasa benar sendiri, karena anaknya menolak

perintah untuk dijodohkan atau dinikahkan dengan pilihan hatinya, merupakan

orang tua yang belum tertanam rasa cinta dan kasih dalam dirinya sehingga

merasa menang sendiri. Sebab, jika ada rasa cinta dan kasih dalam diri orang tua

tersebut maka akan dapat merasakan apa yang sedang dirasakan oleh anaknya

demikian pula sebaliknya seorang anak terhadap orang tuanya. (Suryomentaram,

2003: 144)

Egoisme yang muncul pada orang tua terhadap anak muncul ketika adanya

tekanan dan paksaan dari orang tua dan keluarga kepada seorang gadis untuk
22

menikah dengan laki-laki yang sama sekali tidak disukainya, orang tua yang

menjodohkan anak-anaknya dengan alasan bahwa untuk mempererat hubungan

kekeluargaan, sekedar untuk mendapatkan keuntungan materi, atau karena tradisi

yang disakralkan, dan lain-lainya, merupakan bagian dari penyebab nusyuz atau

perselisihan yang disebabkan oleh famili. Padahal, menurut Syaikul Islam Ibnu

Taimiyah berpendapat bahwa orang tua gadis wajib menaati aturan agama dalam

mencarikan calon suami. Orang tua atau wali harus teliti dan harus

memperhatikan segi kesepadanan, karena pada saat mempersatukan anak-anak

dalam tali perkawinan, tujuanya adalah untuk membahagiakan anak, bukan untuk

mencari keuntungan pribadi. (Ganim, 1998:42)

Orang tua memang wajib di dalam menentukan jodah bagi anak-anak agar

anak-anaknya menjadi perumah tangga yang bahagia dengan cara tidak

memasukan unsur mementingkan diri sendiri atau sikap egoisme dengan maksud

mencari keuntungan sendiri dengan mengabaikan perasaan anak, oleh karena itu

rasa saling pengertian antara anak dan orang tua, suami dan istri harus

ditanamkan.

Rasa egois dan tidak saling pengertian adalah racun bagi ketenangan rumah

tangga dalam menghadapi masalah yang kecil agar tidak menjadi besar, seorang

suami atau istri mempunyai kewajiban di dalam mengendalikan emosi masing-

masing juga perlu menumbukan kesabaran dalam hatinya, sehingga konflik bisa

di cegah sedini mungkin sebelum menjalar menjadi masalah yang lebih besar lagi.

Peranan orang tua di dalam mencarikan jodoh atau teman hidup untuk anak-

anak, merupakan sesuatu yang perlu diperhatikan oleh orang tua tetapi tidak
23

disertai atas dasar ego untuk mencari keuntungan sendiri dan seharusnya orang tua

harus lebih bijaksana di dalam melihat dan mencalonkan anak-anak agar tidak

menimbulkan masalah karena pada umumnya orang tua menghendaki dan

menginginkan anak-anaknya hidup bahagia.

Orang tua mengasihi anaknya dan menginginkan anaknya bahagia, ada


orang tua yang aneh dan mengutuki anaknya serta tidak menginginkan
anaknya bahagia, tetapi kebanyakan tidak demikian. Orang tua juga
cenderung menilai pilihan anaknya dengan kaca mata yang bersih dan
bening. Memang ada orang tua yang memakai kaca mata hijau yang di lihat
dan di utamakan adalah uang, kedudukan, dan gengsi. Orang tua yang
demikian, nasihat atau pandangan mereka yang kurang bernilai sudah tentu
tidak boleh dijadikan bimbingan. (Ganim, 1998:82)

Menurut pendapat Jonatan diatas bahwa ada orang tua yang menginginkan

anaknya bahagia dan ada pula orang tua yang mengutuki anaknya. Dan ada orang

tua yang hanya melihat uang gengsi dan kedudukan untuk kepentingan ego

semata. Sehingga, orang tua yang hanya mementingkan pencapaian ego dengan

pandangan yang tidak bernilai adalah orang tua yang tidak patut dijadikan

bimbingan.

2.4 Rasa Saling Pengertian antara Suami dan Istri

Menumbuhkan rasa saling pengertian dan membuang sifat egoisme antara

suami dan istri di dalam menghadapi berbagai sistuasi merupakan pencerminan

dari rasa cinta dan bisa merasakan apa yang dirasakan oleh pasangan dan bukanya

sebagai contoh di dalam kehidupan sehari-hari seorang suami yang pulang dari

tempat bekerja dan merasa lapar. Tetapi nasi yang ditanak istrinya belum matang

kemudian menjadi marah lalu bertengkar. Jelas pada suami itu tidak terdapat rasa
24

cinta melainkan merasa benar sendiri yaitu egoisme. Tetapi, kalau rasa cinta itu

ada padanya maka akan dapat merasakan rasa dari istrinya. Sama halnya seorang

istri marah terhadap suaminya, yang pergi sejak sore hari dan pulang pada tengah

malam, lalu bertengkar. Jelas pada istri itu belum lahir rasa cintanya sehingga

merasa benar sendiri. Kalau rasa cintanya telah timbul tentunya dapat merasakan

rasa dari suaminya, dan seharusnya istri mengerti mengapa suaminya sampai

pulang tengah malam yang pasti ada sebabnya. (Suryomentaram 2003:144)

Keegoisan memang perlu disingkirkan di dalam membina bahtera rumah

tangga agar rasa cinta bisa timbul dengan indahnya sehingga konflik bisa di

cegah, mengerti makna cinta kasih merupakan kunci utama agar cinta kasih dalam

rumah tangga tertanam dan tumbuh dalam pribadi masing-masing, karena dengan

cinta kasih akan dapat merasakan rasa dalam individu yang lain sehingga

tumbuhlah saling pengertian di antara pasangan.

2.5 Persaingan Bisnis dalam Rumah Tangga

Kehidupan rumah tangga antara suami istri yang karena keegoisanya

mencapai kesuksesan melakukan persaingan antara satu dengan yang lainya tidak

peduli statusnya adalah suami istri di dalam rumah mereka kawan tetapi di luar

rumah adalah lawan hal semacam ini hanya membawa kehancuran bagi ikatan

hubungan suami istri dalam rumah tangga.

Sikap egois yang disebabkan persaingan dalam bisnis membuat hubungan

antara suami istri akan kusut bila diantara kedua belah pihak saling bersaing satu

sama lainya di dalam mencari keuntungan. Dalam hal ini, bisnis yang
25

memperebutkan kekayaan, kedudukan dan kekuasaan yang mengharuskan suami

istri menjadi musuh dalam selimut. (Suryomentaram 2003: 200)

Suami istri yang mempunyai tekad dan semangat dalam meningkatkan tarap

hidup berumah tangga memang suatu tujuan yang sangat didambakan oleh para

perumah tangga, mendapatkan kedudukan sosial yang tinggi, kejayaan dan

kemakmuran memang mahal harganya, tetapi hendaknya suami istri bisa saling

menempatkan dimana persaingan itu dilakukan.

2.6 Hubungan Seksualitas

Persoalan seks adalah salah satu unsur yang sangat sensitif dalam hubungan

suami istri. Hal ini dapat menjadi pertengkaran besar, tetapi juga dapat

menyempurnakan kerukunan rumah tangga. Tidak sedikit rumah tangga yang

goncang dan pecah oleh sebab ketidakcocokan dalam perhubungan seksual.

(Sarumpaet 2004:39)

Suami atau istri dengan sikap egois dan tidak bisa menerima kekurangan

yang dimiliki oleh pasangan merasa tidak puas dalam hubungan seksualitas

karena suami atau istrinya tidak bisa memberikan kepuasan seperti yang di

harapkan. Sehingga, menyalahkan pasanganya, dan dengan sikap yang egois dan

tidak mau tahu akan menganggap bahwa yang menyebabkan ketidakharmonisan

dalam rumah tangga adalah karena pasangan yang tidak bisa memenuhi kewajiban

dalam memberikan pelayanan seksualitas. Akibatnya, banyak pasangan yang

selingkuh dan mencari kepuasan seksualitas di luar rumah.


26

Kurangnya tingkat kepuasan pelayanan seksualitas ini merupakan bibit dari

pertikaian yang terjadi dalam rumah tangga. Pasangan merasa kurang puas dan

kecewa ada yang sampai menyelesaikanya dengan cara perceraian, hal ini

disebabkan oleh rasa egois yaitu untuk mementingkan diri sendiri. Sebab, jika

pasangan tidak mementingkan diri sendiri dan mampu menerima kekurangan dan

kelebihan yang dimiliki oleh pasangan maka perceraian tidak akan terjadi.

Seorang suami yang merasa tidak puas dengan pasangannya lebih memilih

mencari kepuasan seks di luar rumah, sementara jika hal ini diketahui oleh istri

maka tidak akan bisa diterima perlakuan yang demikian sebab istri akan merasa

bahwa kasih sayang yang diberikan oleh suaminya sudah terbagi dengan orang

lain, ketika suami tersebut diintrogasi oleh sang istri sudah tentu suami berbohong

kepada istrinya yang berdampak bagi kepuasan seksual dalam rumah tangga.

Suami istri yang berusaha membahagiakan pasanganya dalam hal

bersenggama akan berusaha untuk menggunakan media perdukunan untuk

mengikat pasanganya, agar tetap teriakat padanya dan tidak beralih dengan yang

lainnya. Tetapi, jika pasangan ini mengetahui ternyata telah diperalat melalui

perdukunan sebagai cara mengikat hubungan cintanya, akan merasa kecewa dan

jemu sehingga akan saling mempersulit satu sama lainya. Sehingga, menimbulkan

pertentangan antara suami dan istri. (Suryomentaram, 2003:190).

Pasangan memang perlu dibahagiakan, tetapi tidak memperalat pasangan

demi kepentingan pribadi menggunakan media perdukunan untuk mengikat hati

pasangan agar menjadi tergila-gila, karena rasa cinta tidak perlu dilakukan dengan

perdukunan sebab tidak bisa bertahan lama.


27

Permasalahan dalam berhubungan seks sering kali terjadi, beberapa faktor

selain faktor di atas yang menjadi penyebab ketidakpuasan dalam hubungan

seksualitas adalah ketidakselarasaan persetubuhan sering timbul oleh karena nafsu

seks suami tidak sama besarnya dengan nafsu seks istri. Ada rumah tangga yang

dorongan seks istri lebih tinggi dan ada pula yang sebaliknya. Dalam hal ini sang

istri harus mempelajari tinggi-rendahnya dorongan seks suami. Istri patut

mengadakan penyesuaian diri dan wajib berusaha untuk memberi kepuasan

seksuil kepada partenernya. (Sarumpaet 2004:39).

Hubungan seksual antara suami dan istri terkadang harus rela mengorbankan

kepentingan diri sendiri atau meninggalkan ego sebentar demi membahagiaakan

pasangan. Menurut pendapat Sarumpaet (2004:39) dalam hubungan seks

dicontohkan seumpama istri sama sekali tidak menginginkan persetubuhan oleh

sebab terlalu lelah atau karena sebab-sebab lain, tetapi diharuskan untuk

menolong suaminya dalam hal memberikan kewajiban seksnya. Istri harus pandai

memilih cara yang terbaik dengan cara menganjurkan kepada suami menunda

hubungan kelamin dengan alasan-alasan yang masuk akal. dan jika emosi suami

masih belum bisa mereda tentunya boleh melayani suami dengan cara yang lain

untuk memenuhi kehendak suami tercinta itu.

Pendapat ahli di atas menekankan bahwa seorang istri tidak egois yang

karena mementingkan rasa lelahnya menelantarkan kewajiban seksnya kepada

suami, tetapi seorang istri harus pandai di dalam melayani suami untuk

menunjukan rasa cintanya. Seorang suami atau istri hendaknya juga harus saling
28

mengerti satu sama lainya tidak karena perasaan egoisme memaksa kehendak

seknya dengan cara tidak mau tahu dengan keadaan partenernya.

2.7 Egoisme dan Keuangan Rumah Tangga

Banyak suami membatasi keuangan yang diberikan kepada istri dengan

sikap ego beralasan untuk memperirit keuangan rumah tangga di dalam membantu

perekonomian agar tidak mengalami frustasi di dalam keuangan. Frustasi uang

banyak sekali menggoncangkan rumah tangga. Tidak sedikit ketegangan yang

timbul antara suami dan istri yang disebabkan oleh uang. Suami telah bekerja

keras agar ekonomi rumah tangganya stabil. Suami yang tidak memberikan

pembatasan-pembatasan dalam pengeluaran uang dan juga istri tidak mencatat

pengeluaran-pengeluaran untuk ditujukan kepada suaminya, maka timbulah salah

pengertian.

Seorang suami dengan egois melarang istrinya berbelanja berlebihan karena

menganggap bahwa istri terlalu boros di dalam mengeluarkan keuangan sehingga

Sering kali barang-barang yang dianggap perlu oleh kaum wanita dirasa kurang

penting oleh kaum pria. Ini juga sering menimbulkan hal-hal yang tidak

dinginkan. Sebenarnya hal ini tidak perlu terjadi asal lebih dulu berunding

sebelum membeli barang-barang yang memerlukan banyak uang. (Sarumpaet

2004:107)

Persoalan uang bukan saja timbul pada keluarga yang berpenghasilan

kecil, dalam rumahtangga-rumahtangga yang berpenghasilan cukuppun persoalan

ekonomi ini sering timbul. Bahkan dalam rumahtangga-rumahtangga yang


29

berpengahasilan lebih dari cukup, hal uang sering menjadi masalah yang perlu di

atasi, karena uang yang berlebih-lebihan banyaknya, sering menimbulkan hal-hal

yang merusak ahlak manusia.

Menghindari sikap egoisme di dalam mengatur keuangan sendiri sehingga

menyebabkan perselisihan di dalam pengaturan keuangan sangat dibutuhkan, agar

tidak terjadi frustasi di dalam mengatur keuangan rumah tangga, untuk

mengatasai frustasi yang bersangkutan dengan keuangan,

Menurut pendapat Sarumpaet (2004:107) bahwa ada beberapa cara dan hal

yang harus diperhatikan diantaranya adalah: (1) menulis pengeluaran dan

penghasilan, (2) mengerjakan sesuatu untuk menambah penghasilan, (3)

berbelanja menurut rencana, dan (4) menabung.

2.7.1 Menulis Pengeluaran dan Penghasilan

Suami atau istri menulis pengeluaran dan penghasilan. Setelah menulis

segala sesuatu yang mutlak dibutuhkan, bandingkan penghasilan setiap bulan.

Pada umumnya pengeluaran lebih besar dari pada penghasilan. Mempelajari

kembali apakah ada dari perongkosan itu yang dapat ditiadakan atau diperkecil.

Kemudian membandingkan kembali dengan jumlah uang yang masuk. Jika

pengeluaran masih tetap lebih besar, maka pendapatan harus diperbesar. Seorang

perumah tangga harus belajar bagaimana memperhitungkan belanja rumah tangga.

2.7.2 Mengerjakan Sesuatu untuk Menambah Penghasilan


30

Seorang istri harusnya tidak dengan sikap ego menganggap bahwa semua

pencarian materi dan keuangan sudah sepenuhnya menjadi tanggungan suami.

Sehingga mengaggap bahwa sudah tidak perlu lagi menambah penghasilan lagi,

dan kewajiban istri hanya di dapur dan mengurus hal-hal rumah tangga lainya.

Padahal keuangan dalam rumah tangga adalah tanggung jawab bersama. Suami

istri hendaknya mengerjakan segala sesuatu yang dapat menambah penghasilan

setiap bulan. Dan ada baiknya suami atau istri menambah penghasilan di luar jam-

jam kantor untuk menambah pendapatan rutin.

Seorang istri boleh bekerja menambah penghasilan tetapi tidak sampai

melepas tanggung jawab rumah tangga seperti mengurus anak dan suami. Istri

boleh bekerja, tetapi dalam hal ini istri hanya dituntut untuk mengerjakan sesuatu

untuk menambah penghasilan sebagai pekerjaan sampingan.

2.7.3 Berbelanja Menurut Rencana

Banyak ibu rumah tangga berbelanja tanpa rencana ketika pergi kepasar dan

membeli barang-barang yang dianggap perlu. Tanpa memperhitungkan kalau-

kalau uang yang dibelanjakan tersebut melebihi batas-batas kemampuan ekonomi

rumah tangga. Berbelanja tanpa rencana menimbulkan kemungkinan untuk

membeli barang-barang yang bukan keperluan yang penting dan yang mutlak bisa

jadi terlupakan.

Seorang istri harus pandai-pandai di dalam mengatur keuangan di dalam hal

berbelanja dan tidak menuruti keinginan ego untuk membeli barang yang tidak

terlalau penting salah satu cara adalah dengan membuat rencana belanja agar tidak
31

terjadi pemborosan keuangan. Berbelanja tanpa rencana biasanya menyebabkan

butget rumah tangga menjadi tekor. Pasti pengeluaran akan bertambah besar jika

mengeluarkan uang tidak menurut rencana dan hal ini akan menimbulkan prustasi

dalam rumah tangga. Oleh karena itu sebuah rumah tangga harus memiliki

rencana belanja untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan dikemudian hari

sehingga masalah-masalah yang disebabkan oleh keuangan bisa di minimalisir

sedini mungkin sebelum menimbulkan masalah yang lain yang merugikan dan

mempengaruhi keharmonisan rumah tangga.

2.7.4 Menabung

Membiasakan menabung adalah salah satu cara agar mempunyai sandaran

ketika keluarga menghadapi kesempitan dan kesulitan keuangan sewaktu-waktu.

Setiap orang harus beruasaha supaya bisa menabung untuk persiapan hari esok,

karena adakalanya seseorang menjadi terdesak dan saat itulah tabungan diambil

karena akan lebih baik dari pada meminjam di sana-sini.

Seorang istri atau suami yang mempunyai kebiasaan menabung merupakan

latihan untuk mengurangi egoisme. Menghindari sikap egoisme dengan

menghambur-hamburkan uang untuk keperluan yang tidak berguna dengan

menabung sangat bermanfat, karena menabung lebih baik daripada berjudi.

Menghabiskan uang di meja perjudian untuk menuruti ego dengan tujuan

mengumpulkan uang dengan cara yang salah hanya membuat kemerosotan

keuangan rumah tangga.

2.8 Sikap Menghadapi Pasangan yang Egois


32

Pasangan di dalam rumah tangga apabila menghadapi pasangan yang egois

di dalam berumah tangga harus ada yang mau mengalah, suami istri yang tidak

mau mengalah satu sama lainya dengan sikap keras kepala dan egois akan

mengalami kesulitan dan kesusahan. Rumah tangga yang di huni oleh suami atau

istri yang rela mengalah sangatlah beruntung. Menghindari sifat egois di dalam

rumah tangga sangatlah mendukung kebahagiaan rumah tangga karena suami atau

istri yang lebih menonjolkan sifat egoisme di dalam menyelesaikan masalah tidak

akan dapat memberikan solusi.

Menurut pendapat Sarumpaet (2004:42) Rumah tangga yang diurus oleh istri

yang egoisme atau menang sendiri akan berantakan. Istri yang keras kepala

supaya selalu menang dari segala pertengkaran akan mengalami kesusahan besar.

Dirinya akan menang tetapi suaminya kalah dan sakit hati. Sebagai akibatnya

rumah tangga sendirilah yang akan diselubungi oleh kabut.

Egoisme yang dimiliki oleh pasangan hanya akan membawa konflik,

pertengkaran dan perbantahan yang sering muncul disebabkan oleh rasa egoisme

hanya akan memperkeruh suasana dan untuk itu sikap saling mengalah sangat

dibutuhkan oleh pasangan dalam rumah tangga agar perkawinan menjadi bahagia.

Pertengkaran dan perbantahan dalam rumah tangga mengkeruhkan suasana.


Perselisihan-perselisihan antara suami istri adalah bagaikan duri di atas jalan
yang menuju kebahagiaan itu. Lebih sedikit permusuhan dalam rumah
tangga lebih llicinlah jalan menuju klimaks perkawinan itu. (Sarumpaet,
2004:42)

Suami istri harus mampu mengalah ketika mengahdapi pasangan yang egois

di dalam menghadapi masalah, karena akibat buruk dari sikap bantah membantah

adalah akan bejangkit kepada anak-anak yang akan menjadi pemarah dan lekas
33

marah karena telah mencontoh orang tuanya. Menurut pendapat Sarumpaet

(2004:43) bahwa suami istri bagaimanapun juga salah satu harus ada yang

mengalah. Inisiatif untuk mengalah tidak hanya harus datang dari suami saja akan

tetapi istri harus waspada di dalam melihat sistuasi. Jika perlu rela mengalah

untuk kebahagiaan bersama dan ketika suhu amarah turun dalam keadaan normal,

istri boleh mengutarakan persoalan yang sebenarnya karena dalam suhu yang

tidak panas bertukar pikiran akan lebih berhasil. Sehingga solusi yang diharapkan

bisa ditemukan bersama dan yang terpenting adalah bagaimana cara

mengendalikan ego itu sendiri.

Lalu bagaimana cara mengendalikan ego kita. Tanggalkan pakaian


kesombongan hati dengan sikap rendah hati. Tidak ada yang pantas
disombongkan manusia dalam hidup ini. Tanggalkan pakaian dengki dan
gantikan dengan cinta dan kasih sayang. Tanggalkan pakaian takabur dan
gantikan dengan kesadaran diri sebagai hamba dan abdi Tuhan semata.
Buanglah pakain prasangka negatif dengan mengembangkan sikap positif
dalam setiap langkah kaki kedepan. Hindarilah prinsip hidup yang salah
dengan kembali dalam kejernihan jati diri yang bersumber dari hati.
http://erwin-arianto.blogspot.com/2008/05/melepas-topeng-egoisme
pribadi.html Mon, 05 May 2008 22:35:09-0700

2.9 Egoisme Pribadi dalam Rumah Tangga

Salah satu akibat buruk bagi perumah tangga khususnya bila mempunyai

masalah egoisme pribadi yaitu ketika mengahdapi sesuatu masalah, depresi dan

terpuruk karena merasa bahwa diri sendiri adalah sumber masalah, sehingga

kecemasan dan depresi akan semakin berlarut-larut dan berat yang pada akhirnya

dalam diri individu itu akan mengalami depresi.

Banyak orang yang dengan perasaan ego yang tinggi harus mencapai sesuatu

yang diinginkanya seperti halnya mencapai pangkat, naik pangkat, dipilih menjadi
34

ketua dan lain sebagainya. Ketika cita-cita mereka tidak berhasil banyak sekali

orang menyalahkan diri mereka sendiri sehingga terus menerus mengkritik dan

membenci diri sendiri yang tidak bisa mencapai apa yang diinginkan.

Menurut pendapat Sarumpaet (2004:31) bahwa di samping perasaan cemas

yang berkepanjangan, depresi timbul karena perasaan merasa bersalah. Dengan

cara menyalahkan diri sendiri maka penyakit yang ditakuti akan muncul tiba-tiba.

Seseorang akan menyalahkan diri sendiri karena tidak lulus ujian, tidak naik

pangkat, tidak dipilih sebagai ketua dan lain sebagainya. Bila seseorang terus

menerus menyalahkan diri sendiri dengan membenci dan mengkritik diri sendiri

maka penyakit depresi akan melanda pribadi itu.

Kesuksesan dan keagungan dalam hidup tidak akan dapat diraih hanya dari

potensi fisik dan kecerdasan akal pikiran. Lebih dari itu diperlukan kecerdasan

hati dan kemampuan menemukan cahaya hati yang bersumber dari pengendalian

Ego Pribadi. Dan dengan meninggalkan egoisme diri menuju kehidupan yang

lebih baik. Jadi maukah kita melepas Topeng Egoisme pribadi kita? http://erwin-

arianto.blogspot.com/2008/05/melepas-topeng-egoisme-pribadi.html,Mon,05 May

2008 22:35:09-0700

Egoisme pribadi di dalam rumah tangga harus dihindarkan, dan beberapa

cara untuk mengembangkan potensi diri dan penghindaraan egoisme itu sendiri

adalah dengan cara kembali kedalam diri individu itu. Dengan melihat ke dalam

melalui penyesuaian-penyesuaian dengan lingkungan di sekitarnya.

Kalau anda menginginkan yang baik, buatlah diri anda jadi lebih baik. Jika
anda ingin meraih cita-cita, buatlah diri anda menjadi ideal. Anda ingin
punya teman yang lebih baik, buatlah diri anda menjadi teman yang lebih
baik. Jika anda ingin bekerjasama dengan orang yang mempunyai nilai,
35

jadikan diri anda sendiri lebih bernilai. Kalau anda ingin berurusan dengan
orang yang kompromis, buatlah diri anda menjadi lebih kompromis. Kalau
anda ingin memasuki berbagai kondisi dan keadaan yang lebih
menyenangkan, buatlah diri anda sendiri menjadi lebih menyenangkan. Jika
anda ingin dicintai pasangan hidup anda, buatlah diri anda menjadi orang
yang mencintainya lebih. Mungkin anda akan bertemu dengan orang-orang
yang sulit dimengerti, namun tetap berikanlah diri anda yang terbaik, meski
itupun tidak akan pernah memuaskan semua orang.
http://erwinarianto.blogspot.com/2008/05/melepas-topengegoisme
pribadi.html Mon, 05 May 2008 22:35:09 -0700

2.10 Egoisme dan Kewajiban Suami-Istri

Pasangan perumah tangga suami dan istri, masing masing mempunyai

kewajiban dan tanggung jawab di dalam membina rumah tangga yang bahagia dan

harmonis, seorang wanita atau pria saling membutuhkan di dalam rumah tangga,

membuthkan cinta dan kasih sayang dan untuk menumbuhkan hal ini pasangan

harus menghindarkan sikap egoisme dalam dirinya dan mengembangkan sikap

saling menerima, kasih mengasihi dan cinta kasih yang murni. Seorang wanita

yang menjadi seorang istri harus pandai dan teladan di dalam rumah tangga.

Wanita itu harus cinta kepada suami. Tahu mengatur rumah dan tidak
mementingkan diri sendiri. Berpakaian rapi. Mau mengerti suami.
Pakaianya, rumahnya dan tubuhnya selalu bersih. Mempunyai budi pekerti
yang halus, sopan dan setia. Tidak cepat marah. Seorang periang. Seorang
yang beribadat, tidak sombong, seorang yang menerima nasihat. Tidak
membandingkan suami dengan pria-pria lain dan tidak boros melainkan
mapu mengatur keuangan rumah tangga. (Sarumpaet, 2004:75)

Seorang istri harus mampu mencintai suaminya dengan bisa menerima

kelebihan dan segala kekuranganya. Dengan tidak egois yaitu mementingkan diri

sendiri melainkan dengan melaksanakan segala kewajibanya seperti: berpakaian

rapi, mengerti suami, pakaian, rumah dan tubuhnya yang selalu bersih,
36

mempunyai budi pekerti yang halus, sopan dan setia. Tidak cepat marah, periang,

beribadat tidak sombing, dan lain sebagainya.

Dewasa ini bertambah banyak perkawinan yang hancur berantakan di

banding dengan waktu-waktu sebelumnya, suami-suami yang meninggalkan istri

dan pergi dengan wanita lain, penyebabnya adalah karena para istri sudah semakin

lalai memikat hati suami. Padahal menurt pendapat Sarumpaet (2004:74) bahwa

seorang istri yang dengan sifat kewanitaannya mempunyai peranan yang penting

di dalam membangun keperibadian suami, ucapan-ucapan penghargaan, sikap

romantis, persahabatan yang menyenangkan dan sumbangan-sumbangan buah

pikiran yang sangat besar artinya, di dalam memikat hati suami.

Kaum pria memiliki bermacam-macam temperamen. Pikiran pria tidak sama

seperti pikiran wanita yang mempunyai kehalusan budi pekerti, sabar dan baik.

Seorang wanita yang kurang baik sifatnya akan kehilangan daya tariknya. Banyak

sifat-sifat baik yang patut dihargai dan harus dicapai. Diantaranya adalah tidak

mementingkan diri sendiri, hormat, tegas, sopan, jujur, dan rendah hati.

(Sarumpaet, 2004:75)

Seorang istri yang tidak mau kehilangan daya tariknya harus

mengembangkan sifat-sifat yang seperti diungkapkan oleh pendapat ahli di atas

yaitu diantaranya tidak egois dengan mementingkan diri sendiri, hormat, tegas,

sopan dan rendah hati.

Kewajiban-kewajiban istri yang lainnya adalah bisa mengatur kehidupan

rumah tangga dalam hal ini menjadi seorang ibu rumah tangga yang baik karena

menurut pendapat Sarumpaet (2004:76) bahwa seorang ibu rumah tangga akan
37

mengurus rumah, anak-anaknya dengan teratur dan rapi. Seorang ibu rumah

tangga yang baik menjabat kedudukan sebagai seorang pembantu, seorang ibu dan

seorang istri. Istri harus bergembira dengan pekerjaan-pekerjaan yang didapatkan

dirumah. Merupakan seorang pengatur dan pemimpin, bersifat tenang, tidak

mengharapkan upah, melainkan kasih sayang yang tidak pernah habis.

Pendapat ahli di atas menegaskan bahwa seorang istri yang baik mampu dan

mau menjadi pembantu rumah sendiri dengan meninggalkan keegoan atau gengsi

yang berlebihan karena dengan menjadi seorang yang mau mengurusi rumah

sendiri dengan mau bekerja keras dan membuang ego serta gengsi maka istri

tersebut merupakan istri yang baik.

2.11 Tujuan Tindakan Egoisme

Manusia bertindak di dalam lingkunganya adalah untuk mencari

kebahagiaan dari hal yang sangat kecil sampai yang besar tentunya menginginkan

suatu kebahagiaan, karena tidak ada mahluk manapun di dunia ini yang mau

dirugikan. Khususnya perumah tangga, banyak pasangan yang menginginkan

suatu kebahagiaan terkadang lupa akan diri dan menggunakan segala cara di

dalam mencapai tujuanya sehingga mementingkan diri sendiri, bertindak sesuai

dengan ego pribadinya dan mengabaikan kepentingan mahluk lain.

Egoisme manusia yang mementingkan kenyamanan diri kadang melupakan


kondisi lingkungan. egoisme adalah suatu tindakan dari setiap orang pada
dasarnya bertujuan untuk mengejar kepentingan pribadi dan memajukan
dirinya sendiri. Karena itu, satu-satunya tujuan tindakan moral setiap orang
adalah mengejar kepentingan pribadi dan memajukan dirinya. Dalam bahasa
Aristoteles, tujuan hidup dan tindakan setiap manusia adalah untuk mengejar
kebahagiannya. Bagi Aristoteles kebahagiaan adalah perwujudan diri
38

manusia dalam segala potensinya secara maksimal. http://erwin-


arianto.blogspot.com/2008/05/melepas-topeng-egoisme-pribadi.html, Mon,
05 May 2008 22:35:09 -0700

Jadi, menurut pendapat ahli di atas bahwa manusia bertindak egois adalah

untuk mencapai kebahagiaan pribadi dan memajukan dirinya sendiri bahkan dari

segala tindakan manusia adalah untuk mengejar kebahagiaannya. Sehingga sering

kita menjumpai banyak manusia kebanyakan pada saat ini untuk mencapai

kebahagiaan dan tujuan dalam hidupnya, bertindak dengan berbagai daya upaya.

BAB III

TINJAUAN BUDDHIS TENTANG EGOISME DALAM RUMAH TANGGA

3.1 Akusalamûla 3 (3 Macam Akar Kejahatan) sebagai Akar Egoisme

Akusalamûla 3 (Tiga akar kejahatan) yang merupakan suatu keadaan yang

ada yang di dalam diri mahluk hidup yang belum mencapai tingkat kesucian,

dimana tiga majam kejahatan ini adalah akar dari tindakan egoisme yang ada pada

makhluk hidup. Akusalamûla 3 ini terdiri dari (1) Lobha (Lobha): keserakahan,

ketamakan, ingin menerima tetapi tidak ingin member, (2) Dosa (Dosa/Dvesa):

kebencian, dendam, berfikir akan menyakiti orang lain karena tidak senang, (3)

Moha (Moha): kebodohan batin, ketidaktahuan atau mengetahui secara salah.

(Panjika 2004:37).
39

3.1.1 Lobha (Keserakahan)

Lobha, secara etika berarti ketamakan, tetapi secara psikologis berarti

terikatnya pikiran oleh obyek-obyek. Inilah yang kadang-kadang disebut Tanhā

atau keinginan, kadang-kadang pula disebut Lobha, kadang-kadang pula disebut

Ragā atau Hawa Nafsu.

Perumah tangga yang memiliki sifat lobha untuk memuaskan nafsu seknya,

sering mencari kepuasan di luar rumah. Sehingga perselingkuhan yang

menyebabkan retaknya rumah tangga sering terjadi, banyak perumah tangga

karena pemuasan seksnya lupa akan kewajiban-kewajibannya di dalam rumah

melainkan karena dorongan nafsu Tanhā yng rendah menjadi egois hanya

mementingkan pemuasan nafsu pribadi dari pada keharmonisan rumah tangga.

3.1.2 Dosa/Dvesa (Kebencian)

Dosa, secara etika berarti kebencian, tetapi secara psikologis adalah pukulan

yang berat dari pikiran terhadap objek, yaitu pertentangan atau konflik. Dalam hal

ini terdapat dua nama, yaitu Paţigha atau dendam atau tidak senang dan Byāpada

atau kemauan jahat.

Perumah tangga yang diliputi oleh rasa egois yang dengan keinginan untuk

menguasai, menang sendiri di dalam pertikaian antara suami dan istri, sudah tentu

rasa kebencian, dendam, tidak senang akan muncul apa bila kalah di dalam

perdebatan keluarga, sehingga banyak masalah-masalah yang muncul, sulit diatasi

hanya karena sifat egois untuk menguasai dan menang sendiri, masalah akan bisa
40

diselesaikan hanya dalam sistuasi dan kondisi yang tenang yang memungkinkan

kemarahan tidak muncul.

3.1.3 Moha (Kebodohan)

Moha berarti kebodohan batin atau kurang pengertian. Moha juga disebut

sebagai Avijjā (tidak tahu), atau Aňňaņa (tidak berpengetahuan) atau Adassana

(tidak Nampak/tidak mengerti). Manusia yang diliputi oleh Moha (tidak tahu),

akan buta mata dan hatinya di dalam menghadapi masalah-masalah kehidupan,

seseorang yang tidak bisa membedakan mana perbuatan baik maupun buruk akan

bersikukuh dengan pendapatnya sendiri sehingga tidak akan bisa bijaksana untuk

mencoba menerima dan mendengarkan pendapat orang lain karena batinya sudah

diliputi oleh Moha.

Perumah tangga yang bila sangat besar Moha-nya tidak akan pernah bisa

menyelesaikan masalah rumah tangganya dengan baik, sebab rasa egoismenya

sudah tertutup oleh Moha sehingga sudah tidak bisa menjernihkan pikiranya dan

dalam menghadapi masalah hanya menonjolkan keinginan untuk menguasai dan

menang sendiri.

3.2 Egoisme Menurut Sigalovada Sutta

Sang Buddha menjelaskan berbagai kewajiban-kewajiban yang harus

dilaksanakan oleh perumah tangga di dalam Sigalovada Sutta berkenaan dengan

Sigala putra kepala keluarga, yang bangun pagi-pagi sekali dan pergi

meninggalkan Rajagaha; dengan rambut dan pakaian basah dan sambil beranjali
41

Sigala menyembah keberbagai arah yaitu arah timur, selatan, barat, utara bawah

dan atas. Berkenaan dengan hal ini Sang Buddha menjelaskan bahwa keenam arah

harus di pandang sebagai berikut: (1) Ibu dan ayah seperti arah timur, terdapat

lima cara seorang anak harus memperlakukan orang tuanya seperti arah timur

yaitu: anak merawat orang tuanya, anak akan memikul beban kewajiban orang

tuanya, mempertahankan keturunan dan tradisi keluarga, anak menjadikan dirinya

pantas menerima warisan, melakukan perbuatan-perbuatan baik dan upacara

agama setelah orang tuanya meninggal; terdapat lima cara orang tua

memperlakukan orang tua seperti arah timur yaitu: menunjukan kecintaanya

terhadap anak, mencegah anak berbuat jahat, mendorong anak berbuat baik, orang

tua melatih anak-anaknya dalam suatu profesi, mencarikan pasangan (istri) yang

pantas untuknya, menyerahkan warisan pada waktu yang tepat; (2) Para guru

seperti arah selatan, terdapat lima cara siswa-siswa memperlakukan guru-gurunya

seperti arah selatan yaitu: bangkit dari tempat duduk untuk memberi hormat,

melayani guru-gurunya, bersemangat dalam belajar, memberikan jasa-jasa kepada

gurunya, memberikan perhatian sewaktu menerima pelajaran dari gurunya; dan

terdapat lima cara siswa-siswa yang demikian diperlakukan oleh guru-gurunya

yaitu: mencintai siswa-siswanya, melatih siswa-siswanya dengan berbagai cara

sehingga menjadi lebih baik, membuat para siswanya menguasai apa yang telah

diajarkan, mengajar siswanya dalam berbagai ilmu dan seni, membicarakan

siswanya baik di antara sahabat-sahabat dan kawan-kawannya, menjaga

keselamatan siswanya di semua tempat; (3) Istri dan anak-anak seperti arah barat

terdapat lima cara seorang istri harus diperlakukan oleh suaminya seperti arah
42

barat yaitu: dengan bersikap menghormati, dengan bersikap ramah-tamah, dengan

kesetiaan, dengan memberikan kekuasaan rumah tangga kepadanya, dengan

member barang-barang perhiasan kepadanya: demikian pula terdapat lima cara

seorang istri memperlakukan suaminya seperti arah barat yaitu: mencintainya,

menjalankan kewajiban-kewajibannya dengan baik, bersikap ramah-tamah

terhadap sanak keluarga kedua belah pihak, dengan kesetiaan, dengan menjaga

barang-barang yang telah diberikan oleh suaminya, pandai dan rajin di dalam

menjalankan segala tanggung jawabnya: (4) Sahabat-sahabat dan kawan-kawan

seperti arah utara, terdapat lima cara seorang warga keluarga memperlakukan

sahabat-sahabat dan kawan-kawannya seperti arah utara yaitu: dengan bermurah

hati, berlaku ramah-tamah, memberikan bantuan, dengan memperlakukan teman-

temannya seperti memperlakukan dirinya sendiri, dengan berbuat sebaik

ucapannya; dan terdapat lima car pula seorang sahabat-sahabat yang diperlakukan

demikian oleh seorang warga rumah keluarga seperti arah utara, mencintainya:

melindunginya sewaktu lengah, melindungi harta miliknya sewaktu lengah,

menjadi pelindung sewaktu berada di dalam bahaya, tidak akan meninggalkannya

sewaktu berada di dalam kesulitan, menghormati keluarganya; (5) Pelayan-

pelayan dan karyawan-karyawan seperti arah bawah, terdapat lima cara seorang

majikan memperlakukan pelayan-pelayan dan karyawan-karyawannya seperti

arah bawah yaitu: memberikan pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan pelayan

atau karyawannya, memberikan pelayan makanan dan upah, merawat pelayan dan

karyawan sewaktu sakit, membagi barang-barang kebutuhan hidupnya,

memberikan cuti pada waktu-waktu tertentu; demikian pula terdapat lima cara
43

seorang pelayan-pelayan dan karyawan-karyawan yang diperlakukan demikian

oleh seorang majikan, menghormati majikannya seperti arah bawah, akan

mencintainya: bangun lebih pagi daripada majikannya, beristirahat setelah

majikannya, merasa puas dengan apa yang telah diberikan oleh majikannya,

mengerjakan kewajiban-kewajibanya dengan baik, dimanapun berada akan selalu

memumji majikannya dengan baik, memuji keharuman namanya; (6) Guru-guru

agama dan berahmana-berahmana seperti arah atas, terdapat lima cara seorang

warga keluarga memperlakukan para pertapa dan berhmana seperti arah atas

yaitu: dengan cinta kasih dalam perbautan, dengan cinta kasih dalam perkataan,

dengan cinta kasih dalam pikiran, membuka pintu rumah bagi pertapa dan

berahmana (mempersilahkanya), menunjang kebutuhan hidupnya pada waktu-

waktu tertentu; dan terdapat enam cara para pertapa dan berahmana yang

diperlakukan demikian oleh seorang warga keluarga seperti arah atas, akan

menunjukkan kecintaanya yaitu: mencegah perumah tangga berbuat kejahatan,

menganjurkan berbuat baik, mencintai dengan pikiran penuh kasih sayang,

mengajarkan apa yang belum pernah di dengar, menunjukan jalan kesurga. (Digha

Nikaya, Patikha Vaga:31).

Sang Buddha Juga menjelaskan di dalam Sigolavada Sutta bahwa terdapat

enam saluran yang memboroskan kekayaan yaitu: gemar minum-minuman yang

memabukan, sering berkeliaran di jalan-jalan pada saat yang tidak pantas,

mengejar tempat-tempat hiburan, gemar berjudi, bergaul dengan teman-teman

jahat dan kebiasan menganggur atau malas adalah enam saluran yang

memboroskan kekayaan.
44

Sang Buddha menjelaskan lebih lanjut enam saluran yang memboroskan

kekayaan itu mempunyai bahaya dan akibat jika seseorang gemar terhadap

keenam saluran pemborosan kekayaan tersebut yaitu: (1) terdapat enam bahaya

akibat gemar minum-minuman yang memabukan yaitu: kerugian harta secara

nyata, bertambahnya pertengkaran, tubuh mudah terserang penyakit, kehilangan

sifat yang baik, terlihat tidak sopan, kecerdasan menjadi lemah; (2) enam bahaya

akibat sering berkeliaran di jalan-jalan pada saat yang tidak pantas yaitu: dirinya

sendiri tidak terjaga dan tidak terlindung, anak dan istrinya tidak terjaga dan tidak

terlindung, harta kekayaanya tidak terjaga dan tidak terlindung, menjadi orang

yang tertuduh sebagai pelaku kejahatan yang belum terbukti, menjadi sasaran

desas desus palsu, menjumpai berbagai macam kesulitan; (3) enam bahaya akibat

mengejar tempat-tempat hiburan yaitu: seseorang tersebut akan selalu berfikir

dimanakah ada tari-tarian, dimanakah ada pertunjukan music, dimanakah ada

nyanyi-nyanyian, dimanakah ada pembacaan deklamasi, dimanakah ada

permainan tambur, dimanakah ada permainan gendering; (4) enam bahaya akibat

gemar berjudi: bila menang akan memperoleh kebencian, bila kalah meratapi

hartanya yang hilang, kerugian harta benda secara nyata, di pengadilan kata-

katanya tidak berharga, akan dipandang rendah oleh sahabat-sahabat maupun

pejabat pemerintah, tidak disukai oleh orang tua yang mencari menantu karena

seorang penjudi tidak bisa memelihara seorang istri; (5) enam bahaya akibat suka

bergaul dengan teman-teman jahat yaitu: setiap penjudi, setiap orang yang suka

berfoya-foya, setiap pemabuk, setiap penipu, setiap pengoceh, setiap orang yang

kejam adalah teman dan sahabatnya; (6) enam bahaya akibat kebiasaan
45

menganggur (malas) yaitu seseorang yang memiliki sifat ini akan berkata; terlalu

dingin, terlalu panas, terlalu siang, terlalu lapar, terlalu kenyang dan ia tidak

bekerja. (Digha Nikaya, Patikha Vaga:31).

Kewajiban-kewajiban yang ada dalam Sigalovada Sutta tersebut harus

dipraktekan oleh para perumah tangga dan tidak dengan sifat egois mementingkan

kesenangan pribadi mengantarkan seseorang ke dalam kemerosotan dalam

pemborosan kekayaan yang berdampak buruk bagi kesejahteraan rumah tangga,

dan ke-enam saluran pemborosan kekayaan ini merupakan bentuk dari sifat

egoisme yang negatif dari seorang individu.

Perumah tangga yang selalu menghamburkan nafsu kesenangan indranya

melalui pemborosan kekayaan, di dalam sebuah rumah tidak akan mudah

dinasehati, dalam hal ini seorang suami yang gemar memboroskan harta

kekayaannaya melalui berjudi dimana Dosa, lobha dan moha-nya selalu

bermunculan maka perumah tangga tersebut tidak akan mudah meninggalkan

kebiasaan buruknya hanya dengan mendapatkan nasehat dari istrinya, tidak jarang

seorang suami sering memarahi dan memukul istrinya dengan kebencian karena

mendapatkan nasehat, karena merasa bahwa seorang suami adalah kepala

keluarga yang derajatnya lebih tinggi yang tidak seharusnya diatur dan dinasehati,

padahal hal ini hanya karena disebabkan oleh rasa ego pribadi.

Menurut Visuddhacara (1995:29) Ego dalam pandangan agama Buddha

lebih dikenal dengan istilah “diri” atau “aku”. Tetapi, ego dan diri itu sifatnya

adalah tidak kekal dan sifat ego yang ada pada diri manusia menyebabkan

kemarahan, selama manusia masih memiliki ego atau aku maka akan tetap diliputi
46

kemarahan, hanya jika manusia itu mengerti ajaran Sang Buddha dengan baik

tentang Anatta (tanpa-diri) maka manusia tidak akan terpancing oleh rasa marah

dan benci. Jadi, perumah tangga harus mudah dinasehati, dilayani dan tidak

mengutamakan emosi kebencian di dalam menyelesaikan segala sesuatunya.

Sehingga sesuai dengan Sigalovada Sutta.

Manusia yang belum mencapai tingkat kesucian sudah tentu diliputi nafsu

keinginan (Tanha), banyak perumah tangga menghamburkan kesenangan

indrianya dengan cara berpoya-poya, mabuk-mabukan, berjudi, main wanita,

memberikan pendidikan yuang keras terhadap anak secara berlebih-lebihan yang

berpengaruh terhadap psikologis anak. Perumah tangga yang bila terus-terusan

menyenangi nafsu indria dan tidak waspada terhadap kekuasaan dari keinginan-

keinginan itu tentu saja akan terjerumus terhadap keingnannya.

Menurut Jotidhammo (2007:91) dalam tulisannya memberikan contoh dari

keinginan-keinginan. “Dorongan-dorongan, tarikan-tarikan dari keinginan-

keinginan seperti halnya makan. Kadang ada orang punya anggapan tidak makan,

orang tidak bisa hidup. Mengharuskan individu tersebut harus makan dan

demikian keinginan itu dihumbar, tidak aka nada henti-hentiny, dan inilah model

hidup manusia yang mengikuti, menghumbar,larut, terseret kepada keinginan-

keinginanya tanpa batas”. Demikian jika seorang perumah tangga yang tidak

mempunyai pengendalian diri akan terseret oleh nafsu rendah, keinginan-

keinginan yang membawa kepada kemerosotan, khususnya perumah tangga yang

tidak melaksanakan kewajiban hidup berumah tangga seperti apa yang terdapat di

dalm Sigalovada Sutta yaitu perumah tangga yang menghamburkan nafsu dengan
47

cara berjudi, selingkuh, dan menghabiskan harta kekayaan dengann cara hidup

berfoya-foya.

Jadi, menurut pendapat para pakar Buddhis di atas, selain Dosa, lobha dan

moha sebagai akar kejahatan sebagai awal mula akar sifat egois, egoisme juga

sering terjadi di dalam masyarakat karena disebabkan oleh manusia yang terikat

oleh : (1) Tanha (keinginan rendah) di dalam menjalankan kehidupan.

3.2.1 Tanhā (Keinginan Rendah)

Sang Buddha telah mengajarkan bahwa orang yang nafsunya tinggi dan

sering menghamburkan nafsu-nafsu indrianya tanpa terkendali akibatnya adalah

percekcokan dan konflik antara sesama bangsawan dengan bangsawan pertapa

dengan pertapa perumah tangga dan perumah tangga, bila keinginan yang ingin

menguasai segala sesuatu menjadi milik diri sendiri, suatu kebenaran adalah milik

sendiri dan orang lain salah maka tidak jarang keserakahan akan terus mengikuti

orang yang berpandangan seperti itu, keinginan-keinginan untuk menguasai

semua orang dengan pandangan-pandangan mereka sendiri, dari gambaran hal ini

maka yang menjadi salah satu sumber awal dari konflik adalah keserakahan

(Lobha).

3.3 Egoisme Sebagai Sumber Konflik Rumah Tangga

Menurut Angutara Nikaya (A.IX, 3:23) dijelaskan bahwa ada sembilan

hal yang berakar di dalam keserakahan yaitu karena keserakahan ada pengejaran;

karena pengejaran ada perolehan; karena perolehan ada penentuan; karena


48

penentuan ada keinginan dan nafsu; ada kecenderungan memikirkan diri sendiri;

karena ada kecenderungan memikirkan diri sendiri ada kepemilikan; karena

kepemilikan ada ketamakan; karena ketamakan ada keinginan untuk melindungi;

karena demi melindungi ada penggunaan tongkat dan senjata dan hal-hal lain yang

jahat dan tidak bajik, seperti misalnya perselisihan, konflik, percekcokan dan

pembicaraan yang menyudutkan, fitnah dan kebohongan-kebohongan.

Saling pengertian dan saling menghargai serta menumbuhkan komunikasi

yang benar dalam kehidupan rumah tangga adalah kunci utama dalam mencegah

terjadinya konflik, komunikasi yang dapat menyinggung perasaan orang lain akan

menimbulkan kebencian dalam diri individu yang mendengarnya.

Suami atau istri ketika berunding tentang masalahnya hendaknya tidak

dengan sikap egois dan kasar tetapi berkomunikasi dengan bahasa yang pantas

dan sopan. Sebab, jika berbicara dengan bahasa yang tidak pantas dan tidak sopan

akan menyulut kebencian dalam diri pasangan, hendaknya komunikasi itu harus

yang memancing kearah perdamaian bukan komunikasi yang memicu pertikaian.

Menurut pendapat Liaw (2000:55) Komunikasi yang damai adalah

komunikasi yang bebas dari penyerangan terhadap pihak lain secara negatif dan

destruktif. Sebab, setiap kritikan akan membuat individu yang dikritik akan

merasa ditelanjangi secara tidak simpatik dan akan memberikan rasa bahwa harkat

dan martabatnya telah dikoyak-koyak. Individu bukan berarti tidak boleh

memberikan kritikan kepada orang lain, akan tetapi harus mewaspadai apa yang

diutarakan agar tidak menjadi persoalan yang memicu konflik.

3.4 Sikap Egoisme dalam Rumah Tangga


49

Perkawinan menurut Dhammananda (1993:222) merupakan suatu berkah

akan tetapi perkawinan itu tidak menjadi berkah lagi, ketika kurangnya

komunikasi dan pengertian yang benar antara pasangan sudah tidak ada lagi.

Kebanyakan masalah dalam perkawinan disebabkan oleh keengganan dari salah

satu pasangan untuk berkompromi dan bersabar dan jalan yang terbaik untuk

menghindari kesalahpahaman adalah dengan cara memperaktekan kesabaran,

bertoleransi dan pengertian.

Sikap tidak mau mengkomunikasikan masalah dan enggan berkompromi

dengan pasangan merupakan bentuk egoisme dan rasa mementingkan diri sendiri

agar masalah pribadi tidak diketahui pasangan sehingga tidak jarang pasangan

terus curiga dan cemburu.

Beberapa hal yang harus diperhatikan agar komunikasi antara suami dan istri

menjadi lancar antara lain, seorang suami wajib menyampaikan masalahnya

kepada istri demikian juga istri wajib menyampaikan keluhan-keluhanya kepada

sang suami. Seorang suami boleh mendapatkan cinta, perhatian, kewajiban

berkeluarga, kesetiaan istrinya, pengurusan anak, tabungan, menyediakan

makanan, mendapatkan hiburan dari istri saat merasa sedang kecewa dan sikap

yang manis dari istri. Demikian juga seorang istri memiliki hak untuk

mendapatkan kelembutan, rasa hormat, kesempatan bermasyarakat, keamanan,

keadilan, kesetiaan, kejujuran, persahabatan dan dukungan moral dari sang suami.

Seorang suami atau istri hendaknya saling bertukar pikiran dalam

menyelesaikan masalah mereka. “saling bertukar pikiran antara suami dan istri

dengan rasa saling pengertian, saling mempercayai dalam memecahkan persoalan


50

yang mungkin tumbuh merupakan cara yang tepat untuk membantu menciptakan

atmosfir rumah tangga”. (Dhammananda, 1990:27)

Angutara Nikaya (A:II,4:6) menjelaskan bahwa karena nafsu akan

kesenangan indra, kemelekatan, ikatan, keserakahan, obsesi dan mengukuhi

kesenangan-kesenangan indria maka bangsawan berselisih dengan bangsawan,

brahmana dengan brahmana perumah tangga dengan perumah tangga adalah

penyebab konflik dalam kehidupan.

Seorang penjudi karena obsesi untuk mengukuhi kesenangan terhadap nafsu

indrianya seperti berjudi dan kecanduan sudah dibutakan oleh kebodohan batinya

dan tidak bisa dinasehati disebabkan oleh ingin menjadi pemenang dalam

perjudian sehingga tidak perduli dengan nasihat yang diberikan oleh istrinya. Jadi,

menurut isi Sutta di atas bahwa sumber dari egoisme itu sendiri adalah rasa ingin

memiliki yang berawal dari rasa keserakahan, dan berlangsung dengan rasa

keterikatan untuk memiliki.

Pasangan yang suka menghamburkan kesenangan nafsu indranya melalui

berjudi dan mabuk-mabukan yang demi rasa untuk mementingkan kepuasan

pribadi atau egonya dengan cara yang salah akibatnya, akan sering bercekcok

dengan orang lain bahkan dengan anggota keluarganya. Konflik yang timbul

dalam diri manusia disebabkan oleh kondisi batin yang masih rapuh dan kekanak-

kanakan yang senantiasa dipengaruhi oleh dualisme yaitu bila mendapat

keuntungan batin menjadi gembira sementara bila menjadi rugi akan kecewa dan

menderita. (Abhipanno, 2002:124).


51

Jadi, menurut sutta di atas manusia yang mengukuhi kesenangan indrianya

melalui keserakahan, keterikatan, dan obsesi-obsesi untuk mengukuhi kesenangan

indria seperti: 1) Berjudi dan 2) Mabuk-mabukan adalah penyebab konflik yang

disebabkan Keserakahan (Lobha) untuk mengukuhi kesenangan indrianya.

3.4.1 Berjudi

Kebiasaan menghamburkan uang di meja perjudian akan membawa

kemerosotan dan konflik bagi kehidupan dan materi rumah tangga. Selain itu

berjudi juga membawa akibat buruk bagi seorang suami atau istri tersebut, sebab

individu yang gemar berjudi dan bermabuk-mabukan tidak jarang berbuat

kejahatan dijalanan atau di tempat-tempat umum yang pada akhirnya akan

berakibat buruk bagi ketentraman rumah tangga.

Menurut Sigalovada sutta (D.III.31) yaitu ada enam bahaya bagi perumah

tangga yang gemar berjudi. Enam bahaya bagi perumah tangga yang gemar

dalam berjudi yaitu: 1) Jika menang akan dibenci, 2) Jika kalah akan meratapi

hartanya yang hilang, 3) Hanya menghamburkan harta-hartanya, 4) Di pengadilan,

ucapanya dianggap tidak berharga, 5) Akan dipandang rendah oleh kawan dan

lawan, 6) Tidak akan disukai oleh orang tua yang mencari menantu, karena

seorang penjudi tidak akan bisa merawat keluarganya dengan baik.

Seorang perumah tangga tentunya tidak ingin kehidupan rumah tangganya

menjadi berantakan dan penuh dengan konflik karena disebabkan oleh individu

dalam rumah tangga itu sendiri, oleh sebab itu seorang perumah tangga harus
52

benar-benar menjalankan yang menjadi nasihat yang terdapat di dalam

Sigalovada sutta karena dengan menjalankanya maka konflik dalam rumah tangga

bisa dicegah sebelum benar-benar terjadi.

3.4.2 Mabuk-mabukan

Mabuk-mabukan merupakan bentuk dari rasa ego individu dalam

memuaskan kepentingan nafsu indra pribadi yang salah, yang akan membawa

kemerosotan dalam kehidupan rumah tangga, sebab dengan mabuk-mabukan akan

melemahkan kesadaran individu yang meminum alkohol. Dalam hal ini

khususnya perumah tangga.

Sigalovada sutta (D.III.31) menjelaskan bahwa terdapat bahaya-bahaya dari

seseorang yang gemar dan ketagihan dalam minum-minuman keras dan suka

mabuk-mabukan yaitu: (1) Harta akan habis, (2) Sering bercekcok dengan orang

lain, (3) Mudah terserang penyakit, (4) Watak baiknya akan hilang, (5)

Menampakan dirinya secara tidak pantas, dan (6) Kecerdasanya akan menurun.

3.5 Dampak Egoisme dalam Kehidupan Rumah Tangga

Rumah tangga yang bahagia adalah rumah tangga yang pasanganya tidak

selalu mencoba menjalankan segala sesuatunya dengan caranya sendiri, pasangan

yang memilih untuk bercerai merupakan salah satu cara untuk menyelesaiakn

masalah, walaupun tidak sesuai dengan harapan dan terkadang sulit. Tetapi, selalu
53

menjadi jalan bersama. Ketika pasangan sudah tidak bisa menyelesaikan

masalahnya dengan kepala dingin dan sudah tidak ada solusi lain lagi maka

perceraian merupakan satu-satunya cara terbaik sebagai solusinya. Sebab,

menurut Dhammananda (1993:220) bahwa tak ada pasangan yang dapat hidup

bersama dalam hubungan emosional dengan kesalahpahaman dan perselisihan

yang timbul dari waktu ke waktu. Sehingga banyak pasangan memilih untuk

bercerai.

Banyak anak yang kehilangan rasa cinta kasih dari orang tua yang egois

dalam pengejaran materi tanpa memperhatikan kebutuhan dari anaknya yaitu cinta

kasih dan kasih sayang dari orang tuanya. Sehingga, anak merasa bahwa telah

kehilangan rasa tanggung jawab dan dalam menerima cinta kasih dari orang

tuanya. Padahal “Perolehan materi itu sendiri tidak dapat membawa kebahagiaan

dan kedamaian abadi. Kedamaian pertama-tama harus didirikan dalam hati kita

sendiri sebelum kita dapat membawa damai bagi orang lain dan dunia luas”.

(Dhammananda, 2003; 240-241).

Jadi, menurut pendapat para ahli di atas dampak dari sikap egoisme itu

sendiri adalah: 1) perceraian, dan 2) hilangnya rasa tanggung jawab.

3.5.1 Perceraian

Dewasa ini, perceraian mungkin sudah tidak asing lagi kita dengar, di

majalah, surat kabar, televisi memberitakan bagaimana perceraian yang sering

sekali melanda kehidupan rumah tangga para artis dan aktor tanah air, perceraian

sering disebabkan oleh ketidakjujuran antara suami dan istri, dimana awal
54

mulanya bisa disebabkan oleh perselisihan kecil, masalah ekonomi rumah tangga,

tanggung jawab yang tidak sepadan antara suami dan istri, adalah hadirnya orang

ketiga yang merupakan perwujutan ketidaksetiaan antara pasangan sehingga

perceraian kerap kali dilakukan oleh pasangan yang sudah tidak bisa

mempertahankan rumah tangga mereka. “ Perkawinan yang bahagia hendaknya

tumbuh dan berkembang secara bertahap; ia berakar dari rasa saling pengertian,

bukanya pada nafsu birahi; pada kesetiaan sejati, bukan pada kesenangan”.

(Dhammananda, 1995:4).

Perceraian dalam menyelesaikan konflik merupakan suatu hal yang

dianggap sebagai suatu jalan akhir dan bukan solusi yang mudah, keputusan untuk

bercerai akan diambil oleh sebuah pasangan seandainya jalan dan solusi yang lain

sudah tertutup, maka perceraian merupakan suatu jalan yang terbaik bagi kedua

insan. Sungguh tidak baik bagi kedua insan untuk bertengkar terus dan menderita

siang dan malam, pertikaian dalam rumah juga akan memberikan dampak negatif

bagi para tetangga sebab tetangga-tetangga yang tidak tahu-menahu juga akan

merasa menderita dengan suara-suara ribut dalam pertengkaran antara suami dan

istri dan hal ini harusnya menjadi renungan dalam rumah tangga. Maka bila tidak

ditemukan lagi solusi, perceraian adalah jalan yang tidak dapat dikatakan salah.

Tetapi, perlu diingat bahwa perceraian bukanlah izin untuk membenci mantan

pasangan.

Pasangan yang telah berpisah seharusnya masih tetap akur dan memiliki rasa

kasih sayang, dan tentunya bukan kasih sayang antar suani-istri lagi tetapi kasih

sayang antar teman. Jika telah memiliki anak, maka perundingan tentang
55

perawatan anak seharusnya disepakati. Bila anak tersebut telah dewasa, maka

orang tua juga mempunyai kewajiban untuk menjelaskan semua permasalahan

yang menyebabkan orang tuanya bercerai, tanpa menimpa semua kesalahan

kepada mantan pasanganya. Dengan demikian, anak tersebut akan mengerti dan

tetap memiliki rasa hormat dan kasih sayang terhadap kedua orang tuanya.

Konflik dalam rumah tangga seperti halnya bercerai dapat dihindarkan

dengan cara pasangan harus memiliki peranan dan tanggung jawab bersama dalam

membina kehidupan berumah tangga, antara suami dan istri sangat diperlukan

agar rumah tangga menjadi bahagia dan harmonis.

3.5.2 Hilangnya Rasa Tanggung Jawab

Orang tua yang lebih mementingkan kesibukan dalam mencari nafkah di

jaman sekarang ini terkadang lebih memilih menitipkan anaknya kepada seorang

pengasuh sehingga lupa akan tanggung jawabnya berupa cinta kasih secara

langsung dan seolah-olah tanggung jawab dalam mengurus dan mendidik anak

adalah kewajiban pengasuh sehingga diserahkan semuanya kepada pengasuh.

Orang tua memang wajib untuk mencari materi sebanyak-banyaknya akan

tetapi hendaknya jangan sampai lupa untuk memberikan perhatian yang cukup

kepada anaknya, terkadang orang tua yang demikian hanya memberikan barang-

barang kebutuhan anaknya saja dengan demikian sudah merasa cukup bahwa itu

adalah suatu perwujudan cinta kasih kepada anaknya, padahal selain itu ada

tanggung jawab yang lebih penting dari semua itu yaitu memberikan cinta dan
56

kasih sayang kepada anak-anak agar tumbuh dan berkembang menjadi anak yang

bisa mencintai orang tuanya bukan kepada pengasuhnya.

Anak yang terus-terusan dengan pengasuhnya akan merasa asing terhadap

cinta dan kasih ibunya. “Orang tua bertanggung jawab untuk merawat dan

membesarkan anak-anak mereka. Jika si anak tumbuh menjadi kuat, sehat dan

berguna bagi masyarakat, ini adalah hasil dari orang tua”. (Dhammananda,

1995:32).

Orang tua dalam mencari materi terkadang lupa akan kewajiban terhadap

anaknya, lupa memberiakan bimbingan dan kasih sayang demi pencarian harta itu

sendiri. Sehingga, anak akan merasa tidak diperhatikan dan sendirian tanpa

mempunyai perhatian dari orang tuanya. Hendaknya orang tua tidak egois hanya

mementingkan diri sendiri tanpa memperhatikan kebutuhan dari anaknya yaitu

cinta kasih dan kasih sayang dari orang tuanya. “Perolehan materi itu sendiri tidak

dapat membawa kebahagiaan dan kedamaian abadi. Kedamaian pertama-tama

harus didirikan dalam hati kita sendiri sebelum kita dapat membawa damai bagi

orang lain dan dunia luas”. (Dhammananda, 2003; 240-241).

Uang sangatlah penting sekali dalam menunjang kehidupan berumah tangga

akan tetapi keluarga juga penting untuk diperhatikan dan seharusnya “ Individu

itu hendaknya tidak terikat pada harta duniawi dan hendaknya dapat melepaskan

kemelekatan terhadap uang karena uang bukanlah satu-satunya penentu

kebahagiaan manusia. Uang atau materi itu penting jika bisa menambah kemajuan

dan mengurangi penderitaan. (Wong, 1992:24).


57

Agama Buddha mengakui bahwa masalah ekonomi dapat menimbulkan

tindakan kriminal. Dalam Kutadanta Sutta (D.I:5), Sang Buddha menyatakan

bahwa kesejahteraan, kedamaian, dan kebersihan dari tindakan kriminal dapat

diwujudkan dengan peningkatan penghidupan umat manusia. Sementara itu,

dalam pandangan agama Buddha paham "Roh" sesungguhnya merupakan biang

keladi dari segala kejahatan di dunia ini. Sifat mementingkan diri sendiri dengan

tidak segan-segan merugikan makhluk lain (Egoisme), keangkuhan,

kesombongan, kecongkakan, dan banyak kekotoran batin lainnya, semuanya

bersumber dari paham "Roh". Kebanyakan umat manusia tidak menyadari bahwa

paham "Roh" adalah racun ganas bagi mereka. Pikiran negatif tentang adanya

"Roh", "Aku", dan "Milikku" yang ditimbulkan dari paham tersebut merupakan

sumber dari semua kejahatan dan perselisihan dalam dunia ini, dari perselisihan

kecil dalam keluarga, sampai dengan tindakan kejahatan dan peperangan antar

bangsa.

3.6 Membuang Sikap Egoisme dalam Rumah Tangga

Sebagai umat Buddha, pasangan suami istri harus mengingat nasihat dan

mencontoh sang Buddha. Sang Buddha tidak pernah menyelesaikan masalah

dengan sikap egois dan mementingkan perasaan karena tersinggung, walaupun

telah di fitnah oleh Cinca yang melontarkan tuduhan palsu bahwa beliau yang

menyebabkan kehamilannya dan Devadatta yang berusaha membunuhnya. Tetapi,

sebaliknya sang Buddha dengan cinta kasih (metta) dan kesabaran bahkan kepada

si penindasnya. (Visuddhacara 1995:15)


58

Dengan mampu melihat kedalam diri sendiri dengan melihat betapa

buruknya sikap egois bila dikembangkan. Maka, seseorang akan mampu belajar

menerima kenyataan bahwa segala sumber masalah adalah dari dalam dirinya

sehingga, seorang perumah tangga khususnya akan mampu menciptakan

keharmonisan rumah tangganya. Sebab, telah mampu mencegah munculnya

konflik rumah tangga dengan Introspeksi diri.

Pasangan yang mampu mengatasi masalah-masalah rumah tangganya

merupakan pasangan yang mampu bertahan lama dan harmonis. Banyak perumah

tangga merasa bahwa konflik dan masalah sering muncul akibat mahluk lain

padahal tidak demikian halnya sebab konflik dan masalah timbul dari dalam diri

individu itu sendiri. (Dhammananda, 1995:49).

Seorang istri terkadang tidak mau menghormat suaminya demikian juga

suami tidak mau menghormat istri, ketika suami istri menyampaikan pendapat

masing-masing dan beberapa sebab yang menyebabkan seseorang tidak mau

menghormat kepada orang lain yaitu: 1. seseorang yang terikat pada egonya

sehingga tidak mau mengikuti seremoni, karena menghormat dapat mengurangi

egonya, 2. seseorang yang telah terlepas dari egonya sehingga merasa sudah tidak

perlu menghormat.

Menurut pendapat para pakar Buddhis di atas bahwa untuk membuang sifat

egois itu sendiri adalah dengan cara: 1) mengembangkan cinta kasih, dan 2)

kesabaran.

3.6.1 Mengembangkan Cinta Kasih


59

Pasangan suami istri harus mengetahui bagaimmana cara mengembangkan

cinta kasih dan menurut Dhammananda (2003:239) cara mempraktekan cinta

kasih adalah pertama-tama dipraktekan dengan cara mempraktekan prinsip-prinsip

mulia tentang tanpa kekerasan dan harus selalu siap mengatasi keegoisan dan

menunjukan jalan yang benar pada orang lain. Perjuangan tidak harus dilakuakan

dengan tubuh pisik, karena kejahatan bukan ada dalam tubuh kita melainkan

dalam pikiran. Tanpa kekerasan adalah senjata yang lebih efektif untuk melawan

kejahatan daripada pembalasan dendam. Pembalasan dendam itu sendiri hanya

akan meningkatkan kejahatan.

Cinta kasih merupkan pondasi bagi rumah tangga yang bahagia. Di dunia

saat ini ada cukup kekayaan materi dan pekembangan intelektual. Walaupun harus

diakui bahwa penyebaranya tidak merata, kita benar-benar memiliki banyak

cendikiawan, penulis hebat, pembicara berbakat, filsuf, psikologis, ilmuan,

penasihat religius, penyair indah, dan pemimpin dunia yang berkuasa. Walaupun

kaum cendikiawa. Namun, tidak ada kedamaian dan keamanan sejati di dunia saat

ini. Ada sesuatu yang kurang dan yang kurang itu adalah cinta kasih atau niat baik

antara umat manusia.

Cinta kasih (Metta) merupakan lawan dari (Dosa) kebencian yang

merupakan akar atau penyebab dari tindakan egoisme. Manfaat pengembangan

cinta kasih telah disabdakan oleh Sang Buddha, sebelas keuntungan ini boleh

diharapkan oleh orang yang telah berlatih dan mempunyai kebiasaan memberikan

metta (cinta kasih) terhadap semua mahluk:


60

(1) Tidur dalam kedamaian: orang yang penuh metta akan dapat tidur dengan

tenang dan bahagia. Apabila seseorang dapat tidur dengan suasana hati yang

tenang dan bahagia, terbebas kebencian, tentu akan dapat tidur dengan seketika.

Hal ini dapat dibuktikan secara nyata oleh orang yang penuh dengan metta, (2)

Akan bangun dalam kedamaian; karena individu tersebut tidur dengan perasaan

yang penuh metta maka akan terjaga dengan perasaan yang penuh dengan metta

orang yang baik dan penuh dengan welas-asih maka akan bangun dengan wajah

yang berseri-seri, (3) Tidak akan bermimpi buruk; di dalam mimpinya orang yang

penuh dengan metta tidak akan diganggu oleh mimpi-mimpi buruk. Karena pada

waktu jaganya orang tersebut penuh dengan metta, maka dalam tidurnya pun akan

merasa aman dan akan tidur dengan nyenyak dan kalaupun bermimpi akan

mendapatkan mimpi yang baik., (4) Akan disayangi oleh sesama manusia; orang

yang penuh metta yang mencintai orang lain maka akan disayangi oleh orang lain

karena telah menyayangi orang lain bahkan akan disegani oleh orang-orang, (5)

Akan disayangi oleh mahluk yang bukan manusia; dalam hal ini orang yang

melatih metta akan dicintai oleh mahluk-mahluk yang bukan manusia, oleh

binatang dan lain sebagainya karena daya tarik dan pancaran dari welas-asihnya,

seorang pertapa yang tinggal dan hidup di hutan tidak akan diganggu oleh

binatang buas, (6) Akan dilindungi oleh para dewa; mahluk-mahluk (dewa) yang

tidak terlihat oleh manusia akan melindungi seseorang yang penuh dengan metta,

(7) Tidak akan dapat dilukai baik oleh api, racun, atau senjata; karena kekuatan

metta orang akan dapat kebal dari bisa racun dan sebagainya, kecuali dikarenakan

pengaruh karma buruknya dimasa lampau, (8) Pikiranya mudah terkonsentrasi;


61

karena pikiranya tidak terganggu oleh rasa permusuhan maka pemusatan pikiran

dapat dicapai dengan mudah. Dengan batin yang tenang akan dapat hidup di

dalam surga ciptaanya sendiri. Bahkan orang-orang yang bergaul dengan dirinya

akan dapat merasakan berkah itu, (9) Air mukanya tenang; metta mempunyai

pengaruh untuk menambah keindahan wajah seseorang, karena wajah atau muka

pada umumnya adalah merupakan pantulan dari keadaan batin. Ketika seseorang

dalam keadaan marah maka muka seseorang tersebut akan menjadi merah dan

biru dan akan menyebabkan orang tersebut menjadi menakutkan yang disebabkan

oleh aliran darah seseorang yang memuncak ke jantung, oleh sebab itu perlunya

metta dikembangkan agar bisa membersihkan darah sehingga akan menyebabkan

raut wajah seseorang akan berseri-seri, dan (10) Mati dalam keadaan tidak

bingung: orang yang pikiranya penuh dengan metta akan meninggal dengan

tenang bagaikan kapal yang berlabuh di teluk yang teduh; tak ada pikiran benci

yang akan menggangu dirinya. Bahkan setelah meninggal wajahnya akan

kelihatan berseri-seri, membayangkan ketenangan kematianya.

Cinta kasih bila dikembangkan oleh perumah tangga pahalanya akan

disayangi oleh semua orang dan terlindungi oleh mara bahaya. Selain untuk

mencegah terjadinya konflik dalam kehidupan berumah tangga manfaat dari

pengembangan cinta kasih itu sangat banyak sekali dan penting dalam kehidupan.

Kebencian dan kemarahan yang akan terjadi dapat dikendalikan dengan

cinta kasih, dalam diri seseorang kemarahan tidak akan muncul karena akan kalah

oleh rasa kasih sayang itu sendiri. Permusuhan yang disebabkan oleh keegoisan,

dapat di cegah sebelum muncul dan berkembang. Orang tua dalam mencari materi
62

terkadang lupa akan kewajiban terhadap anaknya, lupa memberikan bimbingan

dan kasih sayang demi pencarian harta itu sendiri, anak akan merasa tidak

diperhatikan dan sendirian tanpa mendapatkan perhatian dari orang tuanya.

Cinta kasih efektif dalam memelihara kemurnian pikiran, dengan pikiran

yang jernih dan bersih penuh dengan cinta kasih maka pikiran buruk tidak akan

muncul. Sebab, bila pikiran buruk itu muncul maka menjadi awal mula dari

kebencian dan dari kebencian akan muncul pertikaian dengan orang yang di benci.

Memperaktekan sikap tanpa kekerasan sebagai suatu praktek cinta kasih dalam

kehidupan sehari-hari maka, semua mahluk akan merasa damai. Sebab, jika

kekerasan sering terjadi maka rasa aman didalam kehidupan tidak akan bisa di

nikmati oleh manusia dan sumber dari segala kehancuran adalah kekerasan.

3.7 Pengaruh Sikap Egosme bagi Keharmonisan Rumah Tangga

Faktor pendukung keharmonisan rumah tangga adalah menghindari sikap

egoisme itu sendiri dan pasanagan harus melaksanakan kewajibannya antara lain

adalah: dukungan mental; istri seharusnya dijadikan teman baik bagi suami,

demikian juga sebaliknya. Sehingga bila ada permasalahan, mereka dapat saling

mendukung. Yaitu mendukung agar suami atau istri meningkatkan moralitasnya

seperti pengurangan terhadap keserakahan (lobha), kebencian (dosa), dan

kegelapan batin (moha/avijjã).

Menurut pendapat Dhammananda (2003:21) Kehidupan rumah tangga yang

harmonis akan tercipta dengan melaksanakan empat hal yaitu: (1) Komunikasi;

sangat perlu dibangun dalam suatu keluarga agar tidak terjadi salah pengertian.
63

Komunikasi yang dijalin seharusnya didasari oleh rasa kasih dan sayang. Ucapan

yang ramah tamah adalah kunci keharmonisan, (2) Saling mengerti; suami dan

istri harus mengerti hal-hal yang tidak disukai dan disukai oleh pasanganya.

Dengan pengertian ini, suami atau istri kemudian akan melakukan hal-hal yang

disukai dan menjauhi hal-hal yang tidak disukai oleh pasanganya. Dalam

menghadapi konflik harus mampu hidup rukun dan bertoleransi bila terdapat

konflik dalam mementingkan diri sendiri, (3) Mengikis sifat keakuan; tidak egois

dan tidak sombong, akan tetapi mementingkan kebahagiaan bersama. Ajaran

Buddha berakar pada dukkha (segala sesuatu adalah tidak memberikan kepuasan

abadi), anicca (segala sesuatu adalah tidak kekal keberadaanya), dan anatta (tanpa

roh/jiwa/pemilik/aku). Dengan demikian, sifat keakuan (egois, sombong, dan lain-

lain) juga harus dikurangi dengan merenungi ajaran Buddha, dan (4) Kesabaran;

Buddha bersabda ‘kesabaran adalah berkah tertinggi’ (S.N:2.4). Dengan demikian

pasangan yang melatih latihan tertinggi ini akan dapat menanggani banyak

permasalahan yang tidak dapat ditanggani oleh pasangan lain.

3.8 Egoisme dan Pembagian Kerja dalam Rumah Tangga

Pembagian kerja serta tugas di dalam rumah tangga antara suami dan istri

sering mendapatkan masalah dan salah satu masalah yang muncul adalah ketika

pembagian kerja itu diwarnai dengan sikap egoisme yang berlebihan. Pendidikan

yang hanya bertujuan untuk ekonomi dan politik tetapi yang tidak mendukung

moralitas menyebabkan moralitas menghilang sehingga terjadilah persaingan dan

pertengkaran.
64

Menurut pendapat Buddhadasa (59:2005) bahwa pendidikan yang

mengajarkan wanita yang tidak berfungsi sebagai seorang wanita atau seorang

ibu, lelaki bukan sebagai seorang lelaki atau seorang ayah, yang mengakibatkan

persaingan kerja antara kedua jenis kelamin yang dikenal sebagai hak asasi, yang

mendukung persamaan hak atas jenis kelamin. Diantara pasangan yang telah

menikah, ada anggapan bodoh bahwa siapa yang harus memimpin dan siapa yang

harus menjadi pengikut.

Pendidikan seharusnya tidak membuat lelaki dan wanita saling bersaing

mendapatkan kerja, tetapi yang mengajarkan seorang lelaki menjadi seorang ayah

dan yang mengajarkan seorang wanita menjadi seorang ibu, ayah adalah yang

mencari nafkah bagi keluarga sehingga ibu tidak perlu bekerja lagi di luar rumah

dan dapat sepenuhnya merawat anak, membesarkanya menjadi manusia dan

warga Negara yang baik, yang tidak akan menciptakan penderitaaan bagi orang

tuanya karena kelakuan yang tidak benar. Anak-anak yang dididik dengan

pendidikan yang benar menyebabkan baik anak lelaki maupun anak perempuan

menjadi tidak egois.


65

BAB IV

UPAYA MENGHINDARI SIKAP EGOISME DALAM RUMAH TANGGA

BERDASARKAN PADA SIGALOVADA SUTTA

4.1. Mengebangkan Cinta Kasih dalam Keluarga

Pasangan suami istri harus mengembangkan cinta kasih dan kasih sayangnya

kepada pasangan dan anggota keluarga lainya dengan menhindarkan diri dari

Kebencian (Dosa) seperti yang telah diajarkan oleh Sang Buddha di dalam

Sigalovada Sutta dimana masing-masing anggota rumah tangga harus mampu

menanggalkan sifat egoisnya masing-masing di dalam memberikan kewajiban-

kewajibannya sesuai dengan fungsi dan peranan masing-masing, adapun ajaran

yang diajarkan oleh Sang Buddha yang terdapat di dalam Sigallovada Sutta yaitu:

(1) Ibu dan ayah seperti arah timur, terdapat lima cara seorang anak harus

memperlakukan orang tuanya seperti arah timur yaitu: anak merawat orang
66

tuanya, anak akan memikul beban kewajiban orang tuanya, mempertahankan

keturunan dan tradisi keluarga, anak menjadikan dirinya pantas menerima

warisan, melakukan perbuatan-perbuatan baik dan upacara agama setelah orang

tuanya meninggal; terdapat lima cara orang tua memperlakukan orang tua seperti

arah timur yaitu: menunjukan kecintaanya terhadap anak, mencegah anak berbuat

jahat, mendorong anak berbuat baik, orang tua melatih anak-anaknya dalam suatu

profesi, mencarikan pasangan (istri) yang pantas untuknya, menyerahkan warisan

pada waktu yang tepat; (2) Para guru seperti arah selatan, terdapat lima cara

siswa-siswa memperlakukan guru-gurunya seperti arah selatan yaitu: bangkit dari

tempat duduk untuk memberi hormat, melayani guru-gurunya, bersemangat dalam

belajar, memberikan jasa-jasa kepada gurunya, memberikan perhatian sewaktu

menerima pelajaran dari gurunya; dan terdapat lima cara siswa-siswa yang

demikian diperlakukan oleh guru-gurunya yaitu: mencintai siswa-siswanya,

melatih siswa-siswanya dengan berbagai cara sehingga menjadi lebih baik,

membuat para siswanya menguasai apa yang telah diajarkan, mengajar siswanya

dalam berbagai ilmu dan seni, membicarakan siswanya baik di antara sahabat-

sahabat dan kawan-kawannya, menjaga keselamatan siswanya di semua tempat;

(3) Istri dan anak-anak seperti arah barat terdapat lima cara seorang istri harus

diperlakukan oleh suaminya seperti arah barat yaitu: dengan bersikap

menghormati, dengan bersikap ramah-tamah, dengan kesetiaan, dengan

memberikan kekuasaan rumah tangga kepadanya, dengan member barang-barang

perhiasan kepadanya: demikian pula terdapat lima cara seorang istri

memperlakukan suaminya seperti arah barat yaitu: mencintainya, menjalankan


67

kewajiban-kewajibannya dengan baik, bersikap ramah-tamah terhadap sanak

keluarga kedua belah pihak, dengan kesetiaan, dengan menjaga barang-barang

yang telah diberikan oleh suaminya, pandai dan rajin di dalam menjalankan segala

tanggung jawabnya; dan bukanya mengembangkan sifat egoism ketika masing-

masing anggota rumah tangga dihadapkan dengan kewajiban masing-masing.

Sebab, dengan dasar memberikan perasaan cinta dan kasih sayang terhadap orang

lain merupakan dasar bagi setiap individu agar mampu memberikan kewajiban-

kewajibannya yang pada akhirnya, kewajiban-kewajiban perumah tangga di dalam

Sigalovada Sutta ini mampu dilaksanakan dengan baik oleh para anggota rumah

tangga sesuai dengan fungsi masing-masing. Selain itu mengembangkan perasaan

metta atau cinta kasih di dalam menjalankan fungsi masing-masing di dalam

sebuah rumah tangga, akan mengantarkan keharmonisan dan kebahagiaan, segala

macam penomena dan kejadian dalam rumah tangga memang disebabkan oleh

keegoisan yang bersumber dari individu itu sendiri.

Kesalahan dalam membina rumah tangga disebabkan emosi yang memuncak

dan dengan sikap yang egois, sombong, dan tidak pernah mau mengalah apa bila

dinasehati karena merasa bahwa diri sendiri yang paling pintar merupakan sebab

dari konflik rumah tangga, pentingnya mengelola emosi itu sendiri adalah cara

menghindari kemungkinan akan munculnya konflik, salah satu cara

mengendalikan emosi itu sendiri adalah dengan cara menanamkan dan

mengembangkan rasa cinta dan kasih sayang dalam diri individu dengan

melaksanakan meditasi metta yaitu meditasi dengan objek cinta kasih.


68

Meditasi dengan objek metta ditujukan kepada semua mahluk tanpa

terkecuali, membiasakan diri untuk selalu bermeditasi dengan objek metta

bermanfaat untuk mengubah karakter seseorang yang penuh dengan amarah

karena emosi yang negatif menjadi emosi yang penuh dengan metta atau cinta

kasih.

4.2 Sikap Saling Toleransi dalam Anggota Keluarga

Sikap saling toleransi adalah salah satu cara untuk mencegah terjadinya

konflik dalam rumah tangga, pencegahan terjadinya konflik dapat terwujud jika

sikap saling toleransi itu dikembangkan, seseorang akan mampu bersikap saling

pengertian dan bertoleransi dengan anggota keluarganya yang bila dalam

menyampaikan pendapat dengan menunjukan sikap yang egois dan tidak perduli

dengan pendapat pasangannya, dan apabila pasangan mempunyai rasa cinta kasih

yang dalam pada dirinya, maka dengan rasa cinta itu pasti mampu untuk

mengembangkan rasa saling pengertianya terhadap pasanganya.

Pasangan suami istri tidak mungkin untuk dapat menumbuhkan rasa saling

pengertianya jika tidak didasari rasa saling mencintai, dengan demikian maka

keegoisan akan selalu ada padanya, sikap tidak mau menghargai pendapat orang

lain dan hanya mau mementingkan kepentingan diri sendiri atau egoisme harus

dibuang agar pertikaian dan konflik tidak terjadi.


69

Pasangan suami istri ketika menghadapai ketidak-mampuan istri di dalam

mengelola kehidupan berumah tangga harus mampu bertoleransi terhadap ketidak

mampuan pasanganya, tidak dengan sikap dendam dan tidak mau mengalah terus

menerus menyalahkan pasangan hidup. Mengembangkan sikap saling bertoleransi

antara pasangan bisa mencerminkan sifat suami istri sebagai seseorang yang tidak

egois karena mampu menerima kelemahan pasangan yang mungkin tidak bisa

diterima.

Suami istri harus bisa menghindarkan diri dari sifat Moha (kebodohan batin)

dan saling mengalah dan menerima kelemahan masing-masing dengan bijaksana

(Paňňa) dengan cara memberikan toleransi kepada pasangan seperti: 1. tidak

memarahi pasangan 2. tidak menghina dan mencemooh pasangan.

4.2.1 Tidak Memarahi Pasangan

Pasangan suami istri hendaknya di dalam menghadapi kesalahan dan

kekurangan yang dimiliki oleh pasangannya tidak memarahi pasangannya,

melainkan lebih bijaksana dalam mengahadapi masalah dan bukanya dengan rasa

emosi dan egoisme yang tinggi memarahi pasangan. Suami istri yang mampu

menerima dengan bijaksana kesalahan yang dilakukan oleh pasangan tentunya

lebih baik daripada membuat masalah menjadi keruh dan berantakan. Tidak

memarahi pasangan dalam rumah tangga akan lebih mencerminkan sistuasi rumah

yang harmonis karena bila rumah tangga sistuasinya sering diwarnai oleh

percekcokan dan kemarahan maka sangat tidak baik bagi kesehatan rumah tangga

juga kesehatan individu yang bersangkutan.


70

Masalah-masalah yang kecil terlebih dahulu diselesaikan dengan kepala

dingin, hanya saja bila masalah itu mempunyai kapasitas yang besar akan

membutuhkan tindakan yang tegas walaupun demikian sikap bijaksana dengan

tidak marah-marah harus tetap dijalankan. Karena, ketika emosi seseorang sedang

memuncak dengan kemarahannya individu itu sudah tidak bisa mengendalikan

pikirannya dan dalam keadaan itu sudah tidak mungkin lagi bisa mendapatkan

solusi yang tepat di dalam mememecahkan masalah keluarga.

4.2.2 Tidak Menghina dan Mencemooh Pasangan

Semua manusia pada umumnya ingin dihargai dan dicintai bahkan binatang

sekalipun, seekor anjing bila dipukul akan berteriak kesakitan karena memiliki

rasa dan sentuhan yaitu rasa sakit, demikian pula dengan manusia yang memiliki

tingkat kecerdasan dan akal pikiran yang lebih tinggi tentunya sensitifitas yang

dimilikipun akan lebih tinggi oleh karena itu dalam hal berbicara, bertindak

kepada mahluk atau individu lain, manusia harus berhati-hati dan teliti agar tidak

menyebakan masalah.

Perumah tangga yang terdiri dari individu yaitu suami istri dan anggota

keluarga lainnya, harus waspada dan hati-hati dengan tingkah laku dan ucapanya.

Salah satu bentuk kekerasaan yang muncul dalam rumah tangga adalah

kekerasaan melalui ucapan menghina dan mencemooh anggota keluarga, baik itu

suami istri atau anggota keluarga lainya, memang mencemooh atau menghina
71

bukan kekerasan fisik tapi akan berpengaruh terhadap psikologi atau kejiwaan

individu yang menjadi sasaranya.

Perumah tangga hendaknya tidak menunjukan sikap egoismenya dengan

cara mencemooh atau menghina anggota keluarganya bila menemukan anggota

keluarganya melakukan kesalahan atau memiliki kekurangan. Sebab, semua

individu di dunia ini tidak ingin dihina bahkan dilecehkan.

Suami istri yang bila terus menerus mencemooh dan menghina pasangannya

maka akan berakibat buruk bagi kelangsungan rumah tangga. Sebab belum tentu

pasangan yang dihina adalah orang yang sabar karena bila pasangan itu adalah

orang yang tidak sabar maka akan balas-membalas dan akhirnya percekcokanlah

yang akan terjadi, oleh sebab itu rasa egoime dengan cara mencemooh pasangan

dan menghina harus dihindarkan dalam rumah tangga.

4.3 Menasehati Pasangan yang Egois

Perumah tangga masing-masing memiliki kewajiban dan tangggung jawab

sesuai dengan fungsi masing-masing. Pasangan yang keliru atau melakukan

kesalahan dalam bertindak harus mampu menyadari kekeliruan dan kesalahan

yang telah diperbuatnya dan harus mau menerima keritikan yang disampaikan

oleh pasangannya dan bukanya egois dengan pendapatnya sendiri dengan tidak

mau dinasehati.

Sifat egoisme di dalam kehidupan berumah tangga memang terkadang sulit

untuk dihindari. Akan tetapi, perumah tangga bisa meminimalisir sifat egoisme

dengan melaksanakan kewajiban-kewajiban yang ada di dalam Sigalovada sutta,


72

diantaranya adalah meliputi kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan oleh

perumah tangga yaitu: 1) menjalankan tanggung jawab bersama, 2)

mengembangkan sifat sabar di dalam mendidik anak.

4.3.1 Menjalankan Tanggung Jawab Bersama

Konflik yang sering terjadi antara suami dan istri bisa meliputi masalah

ekonomi yaitu uang belanja, masalah mengasuh anak, menyekolahkan anak, dan

jika dalam mengelola rumah tangga itu dengan sikap ketidakperdulian dan rasa

benar sendiri maka konflik pasti akan terjadi. Rumah tangga akan tidak utuh jika

keluarga atau rumah tangga itu diracuni dengan perselingkuhan diantara pasangan

yang membawa ketidakjujuran. Dalam hal ini pasangan harus ingat tanggung

jawab masing-masing dengan tidak egois yaitu tidak mau menjalankan tugas dan

fungsinya dalam menjalankan kehidupan berumah tangga.

Banyak pasangan yang merasa bahwa dirinya telah ditekan oleh tanggung

jawab rumah tangga sementara di sisi lain harus melakukan kewajiban yang lain

seperti pekerjaan dan hal ini adalah salah satu pemicu runtuhnya rasa cinta dan

kasih dalam rumah tangga, banyak anak yang kehilangan rasa cinta dan kasih dari

orang tuanya karena masing-masing orang tua beradu argument siapa yang

sebenarnya mengurus rumah ketika masing-masing bekerja di luar rumah dalam

hal ini orang tua harus mau dan mampu membagi waktu untuk anak-anak dengan

tidak egois melainkan mampu melaksanakan dan menjalankan tanggung jawab

bersama di dalam mengurus rumah.


73

Faktor lain yang menyebabkan hilangnya rasa tanggung jawab adalah karena

disebabkan oleh macam-macam sebab, suami yang suka berjudi, minum-minuman

alkohol dan narkotika. Padahal, di dalam sigalovada sutta dijelaskan bahwa

terdapat banyak kerugian yang ditimbulkan jika seseorang gemar sekali di dalam

menghamburkan nafsu indranya melalui mabuk-mabukan diantaranya adalah: 1.

Harta akan habis, 2. Sering bercekcok dengan orang lain, 3. Mudah terserang

penyakit, 4. Watak baiknya akan hilang, 5. Menampakan dirinya secara tidak

pantas, 6. Kecerdasanya akan menurun.

Suami atau istri hendaknya menjalakan kewajiban-kewajibanya dan tidak

menghamburkan nafsu indranya melalui mabuk-mabukan yang membawa kepada

kemerosotan moral dan batin, karena akibat dari mabuk-mabukan seorang suami

atau istri akan lupa terhadap kewajiban-kewajibanya sehingga tidak mudah untuk

dinasehati dan menjadi sombong dan egois karena watak baiknya sudah hilang.

Istri akan tetap bertahan walaupun dikhianati oleh suaminya. Itu semua

karena rasa cinta dan kasihnya yang dalam terhadap suaminya tetapi hendaknya

sepasang suami istri tidak mengotori cinta dan kasih sayang mereka dengan

perselingkuhan dan selalu mengembangkan rasa cinta dan kasih yang dalam dan

senantiasa untuk tetap menjaganya, agar konflik tidak terjadi di kemudian hari.

Jadi perumah tangga harus mengingat kewajiban masing-masing dan

bukanya memngembangkan sifat egoisme dengan cara menghambur-haburkan

uang di meja perjudian, perang pendapat, berselingkuh dengan wanita atau pria

lain yang menyebabkan perumah tangga melalaikan bahkan lupa dengan tanggung

jawab bersama.
74

4.3.2 Mengembangkan Sifat Sabar dalam Mendidik Anak

Menumbuhkan rasa cinta dalam diri anak maupun dalam diri orang tua

sangatlah penting. Sebab, jika orang tua tidak menyayangi anaknya maka akan

terus memberi tekanan-tekanan yang berupa sifat otoriter dan rasa untuk menang

sendiri terhadap anaknya. Tekanan-tekan yang berupa nasihat-nasihat yang

berdasarkan disiplin yang otoriter berdampak kepada sistuasi mental yang buruk

bagi anak. Memberikan nasihat atau ajaran mana yang baik dan yang buruk dan

tidak boleh dilakukan oleh anak harus dengan dasar perasaan yang penuh dengan

rasa sabar. Kesabaran muncul karena adanya rasa cinta, terkadang anak akan

merasa tertekan jika terlalu diberikan aturan-aturan yang keras hal ini

menyebabkan anak jadi membenci orang tuanya karena merasa terlalu di tekan

dan di atur.

Rasa kebencian pada anak yang merasa tertekan akan memuncak ketika

seorang anak itu telah beranjak dewasa dan perlawanan demi perlawanan akan

dilakukan anak. Oleh sebab itu, orang tua harus memperhatikan hal ini dimana

dalam mendidik anak harus dengan penuh kesabaran dan rasa kasih sayang agar

pertikaian antara anak dan orang tua tidak terjadi. Jadi, sebelum pertikaian itu

terjadi hendaknya orang tua lebih waspada dalam bersikap dan memberikan cinta

kasih sayangnya secara tepat tehadap anaknya.

Orang tua memberikan pendidikan kepada anak dengan sikap yang penuh

cinta dan kasih dan sesuai dengan kewajiban di dalam sigalovada sutta yaitu

orang tua mempunyai kewajiban di dalam memberikan pendidikan kepada anak,


75

mencarikan jodoh, dan memberikan warisan pada saat yang sesuai, tetapi

pendidikan yang diberikan tidak terlalu otoriter dan keras melainkan orang tua

harus menerapkan disiplin yang lebih mudah diterima oleh anak.

Jadi, orang tua maupun anak harus mampu sabar dalam menerima maupun

memberikan nasihat berupa pendidikan terhadap anak maupun terhadap pasangan

hidup dan tidak menjadi egois dengan memaksakan kehendak sendiri dengan

tidak memperdulikan sasaran yang dididik atau dinasehati, untuk itu perlunya

sikap sabar dalam memerikan pendidikan terhadap anak harus dikembangkan dan

dipertahankan.

4.4 Meningkatkan Kesabaran

Suami istri di dalam menghadapi pasanganya yang mempunyai sifat

pemarah dan egois dengan mementingkan diri sendiri didalam menyelesaikan

konflik dan mengaggap pendapat orang lain salah hendaknya tidak ikut-ikutan

menjadi seorang pemarah, melainkan berusaha mendamaikan hati pasangan

dengan sikap sabar adalah cara agar masalah yang timbul tidak menjadi besar dan

berkepanjangan.

Salah satu caranya adalah dengan bersikap sabar dan mengalah,

mendengarkan masalah yang menjadi keluhan pasangan dengan demikian titik

temu untuk memecahkan konflik akan dapat dirasakan jika suami istri itu mau

menunjukan sikap mengalah dan harus dengan kesabaran.


76

Kesabaran sangat perlu dikembangkan di dalam rumah tangga, jika

menghadapi pasangan yang lebih menunjukan sikap egois di dalam menghadapi

masalah dari pada sikap rasional. Sehingga, pasangan tidak akan bertengkar hebat

jika menghadapi pasangan yang egois jika salah satu pasangan mempunyai sifat

sabar.

4.5 Membuang Kemarahan

Manusia memang tidak terlepas dari sifat marah yang timbul dari emosi dan

setiap individu tentunya tidak pernah terlepas dari sifat pemarah, kesal, jengkel

dan dendam selama mahluk atau individu itu masih diliputi oleh ikatan nafsu

duniawi. Manusia yang merupakan mahluk sosial sekaligus sebagai mahluk

individu di dalam pergaulan hidupnya sudah tentu pasti sering menghadapi

masalah-masalah sosial baik dalam kehidupan bermasyarakat maupun dalam

kehidupan berumah tangga dan konflik-konflikpun akan sering dialami oleh

manusia.

Perumah tangga harus membuang kemarahan ketika menghadapi suatu

masalah yang disebabkan oleh kesalahan yang telah dilakukan oleh orang lain

terhadap dirinya, merupakan suatu cara yang tepat agar tidak menimbulkan

masalah dan konflik baru. Salah satu cara untuk melatih diri agar tidak sering

diliputi oleh rasa marah adalah dengan membiasakan diri untuk hidup menjadi

orang yang penuh kesabaran.

Sebagai umat Buddha khususnya, sudah tentu mengerti Dhamma seperti

yang telah dijelaskan oleh Sang Buddha bahwa kebencian janganlah dibalas
77

dengan kebencian melainkan harus dibalas dengan cinta kasih. Maksudnya

seseorang yang telah melakukan kesalahan terhadap diri kita hendaknya janganlah

kita kembali membalas mereka dengan kejahatan yang sama. Sebab, jika kita

membalas kebencian itu dengan kejahatan maka kita tidak ada bedanya dengan

orang yang telah jahat. Sebab, sama-sama telah melakukan kejahatan, selain itu

jika sikap saling balas membalas tidak dihentikan maka tidak akan ada ujungnya

yang ada hanya penderitaan dan kerugian yang akan di alami oleh kedua belah

pihak. Untuk itu, mengendalikan kemarahan dan membuang sifat pemarah itu

adalah suatu cara agar konflik tidak terjadi.

4.6 Menanamkan Sifat Pemaaf

Menanamkan sifat pemaaf dalam diri seseorang itu sangatlah penting sebab

akan memberikan manfaat yang sangat besar sekali bagi semua mahluk, baik bagi

individu itu sendiri maupun bagi orang lain, dengan memberikan maaf kepada

mahluk lain kita sudah meringankan beban pikiran mahluk itu dan paling tidak

akan meringankan rasa penyesalan terhadap kesalahan yang telah diperbuatnya

terhadap kita.

Seseorang yang memberikan maaf kepada orang lain sangatlah dianjurkan.

tetapi dengan suatu catatan bahwa maaf itu harus dengan rasa yang ikhlas dan

bukan paksaan dan dengan catatan orang yang telah melakukan kesalahan tersebut

tidak akan mengulangi kesalahn yang sama dikemudian hari, sebab jika kesalahan
78

yang sama dilakukan maka pemberian maaf tersebut sangat tidak berharga dan

percuma saja sebab seseorang yang telah diberikan maaf itu hanya memanfaatkan

kata maaf itu sendiri tanpa mengerti makna dan tujuan pemberian dari maaf itu.

Memberikan maaf kepada seseorang bukan berarti semua akibat dari

kesalahanya telah terhapuskan melainkan memberikan maaf kepada orang

tujuanya adalah, agar individu yang diberikan maaf dapat merubah segala

kekeliruanya dengan sikap yang lebih baik lagi. Karena setiap kesalahan dan

perbuatan pasti akan menimbulkan akibat dikemudian hari apakah itu akibat baik

atau buruk tergantung dari pelakunya, dan perbuatan yang salah yang pernah

dilakukan harus diimbangi dengan perbuatan baik bukanya cukup dibayar dengan

permintaan maaf semata dan perbuatan jahat tersebut sudah dikatakan sirna.

Pasangan yang telah memberikan maaf kepada pasanganya, telah

menentramkan hati pasanganya, menanamkan sifat pemaaf sangatlah penting

sebab dengan memberikan maaf maka kita sudah menyelesaikan satu perkara

yaitu tidak mendendam kepada orang lain, dengan memberikan maaf paling tidak

kita sudah melepaskan rasa dendam dan saling bermusuhan. Karena, bila

seseorang masih menyimpan dendam terhadap orang lain maka akan tetap

menyimpan rasa ingin bermusuhan yang tidak henti-hentinya dimana jika kita

sudah memusuhi orang lain maka pasti ujung-ujungnya adalah konfliklah yang

akan timbul.

4.7 Introspeksi Diri


79

Mengintropeksi diri itu sangatlah penting sebab dengan intospeksi diri

(mawas diri) seseorang tidak akan melimpahkan semua kesalahan kepada orang

lain, karena bila seseorang mau melihat ke dalam dirinya maka sikap egois dan

mementingkan diri sendiri itu akan berkurang. Mengetahui kekurangan dan

kelebihan yang dimiliki oleh diri sendiri. Dengan demikian, sifat sombong,

merasa diri paling benar aatu egoisme akan dapat diminimalkan. Sehingga konflik

dalam rumah tangga dapat diatasi.

Pasangan suami istri hendaknya merenungkan kembali apa yang telah

dilakukan dan apa yang belum dilakuan bagi kesejahteraan rumah tangganya akan

lebih baik dari pada mencari-cari kesalahan yang telah diperbuat oleh pasangan.

Seorang suami atau istri hendaknya lebih merenungkan kembali perbuatanya yang

bermanfaat atau tidak bermanfaat bagi kebahagiaan rumah tangganya. Dengan

melihat dan merenung ke dalam diri masing-masing maka akan menimbulkan

pikiran-pikiran positif untuk memecahkan suatu permasalahan dalam rumah

tangga itu sendiri. Sebab, dengan mengintrospeksi diri akan mengetahui

kekurangan dan kelebihan yang dimiliki untuk kepentingan bersama dalam rumah

tangga.

Jadi beberapa cara untuk mengintropeksi diri adalah dengan

memperaktekan: 1). Merenungkan kembali perbuatan yang bermanfaat, dan 2).

Merenungkan kembali perbuatan yang merugikan.

4.7.1 Merenungkan Kembali Perbuatan yang Bermanfaat


80

Perumah tangga harus mampu merenungkan kembali perbuatan-

perbuatannya apakah sudah cukup atau belum di dalam membantu dan menjaga

keharmonisan rumah tangga, apakah perbuatan-perbuatan yang dilakukan banyak

manfaat atau bahkan sebaliknya banyak merugikannya, jika demikian halnya

individu itu harus mawas diri dengan tidak mencari-cari kesalahan-kesalahan yang

diperbuat maupun yang dimiliki oleh pasangan sehingga rasa rendah diri akan

muncul dan tercipta dalam pribadi yang egois, dengan demikian kebahagiaan

rumah tangga akan tercipta.

Perumah tangga yang telah merenungkan dan menemukan yang mana

perbuatan yang termasuk bermanfaat bagi kehidupan rumah tangganya seharusnya

tetap mempertahankan dan mengembangkan perbuatan yang bermanfaat tersebut

agar watak baik dari individu tersebut menjadi terlatih dan menjadi manusia yang

memiliki moral yang baik. Sehingga, kehidupan berumah tangga akan menjadi

bahagia dan tentram sesuai dengan Sigalovada Sutta.

4.7.2 Merenungkan Kembali Perbuatan yang Merugikan

Pribadi yang hidup berkeluarga harus mampu meninggalkan keegoisannya

sejenak dengan merenungkan kembali perbuatan-perbuatannya yang merugikan.

Seorang perumah tangga harus merenungkan kembali perbuatan-perbuatannya

selama ini dengan cara melihat apakah selama melakukan kewajiban-

kewajibannya di dalam membina rumah tangga perbuatan yang dilakukan lebih

dominan dengan perbuatan yang merugikan, maka individu itu wajib untuk

merenungkan kembali perbuatan-perbuatannya. Dengan merenungkan semua


81

kesalahan yang telah diperbuatnya maka sikap toleransi dan mau mengalah akan

dapat diwujutkan sehingga tidak akan melimpahkan kesalahan kepada pasangan.

Menyadari bahwa dalam dirinya juga terdapat kekurangan-kekurangan yang harus

diperbaiki. Dengan demikian, perumah tangga akan menyadari segala sesuatu

yang berkaitan dengan kekurangannya, sehingga akan mempunyai usaha untuk

memperbaiki kembali kehidupannya yang masih berantakan, sebab dengan

perenungan yang tenang seseorang akan mampu menyadari perbuatannya

bermanfaat atau tidak bermanfaat baik untuk dirinya maupun lingkungannya. Jadi,

pasangan suami istri wajib mengintrospeksi diri masing-masing dengan

merenungkan kembali perbuatan-perbuatan yang telah dilakuakan, baik itu

perbuatan baik maupun buruk sehingga pada akhirnya masing-masing anggota

rumah tangga mampu melepas sifat egoisme pribadinya.

BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Penulis telah melakukan pengkajian secara kritis dan mendalam mengenai

pamahaman tentang eoisme dalam rumah tangga, akibat baik maupun buruk sikap

egois di dalam rumah tangga, upaya-upaya untuk mengatasi sikap egoisme dengan

berpedoman kepada isi sigalovada sutta telah diuraikan. Oleh karena itu untuk
82

memperjelas dan memudahkan pemahaman, maka dapat disimpulkan sebagai

berikut:

a. Bahwa bila dikaji lebih dalam dari berbagai sumber literature serta kandungan

makna secara umum bahwa sikap egoisme dalam rumah tangga, penyebab

dan bentuk-bentuk egoisme itu sendiri adalah

a. Sikap otoriter di dalam mendidik anak.

b. Perjodohan anak.

c. Keuangan rumah tangga.

d. Hubungan seksualitas

e. Persaingan Bisnis.

Jadi, sesungguhnya di dalam rumah tangga masih banyak pasangan yang

egois di dalam bertindak mengahadapi berbagai persoalan hidup, baik rasa egois

itu muncul di sebabkan oleh tingkah laku pasangan maupun rasa egois itu sendiri

di sebabkan oleh keadaan dan kondisi yang menuntut manusia untuk bertindak

egois mementingkan diri sendiri.

a. Egoisme merupakan sifat yang datang dari dalam individu yang disebabkan

oleh:

a. Dosa (kebencian) marah dan benci harus dihilangkan dengan cara

mengembangkan sifat metta dengan cara melaksanakan meditasi cinta

kasih atau metta karena melatih diri mengmbangkan cinta kasih Metta ,

menghindarkan seseorang dari rasa benci dan egoisme. Sikap egoisme

sering muncul dalam kehidupan rumah tangga dalam bentuk kekerasaan

terhadap anggota keluarga diantara suami istri dan anak-anak.


83

b. Moha (Kebodohan Batin) dalam menghadapi masalah harus dihindarkan

dengan cara menumbuhkan Kebijaksanaan (paňňa) sehingga mengetahui

dengan bijaksana mengenai kewajiban masing-masing tanpa adanya rasa

mementingkan diri sendiri.

c. Lobha (keserakahan) melatih diri untuk tidak menghamburkan nafsu

keinginan yang berlebih-lebihan dengan cara yang serakah untuk

mengikuti ego. Perumah tangga harus puas dengan satu istri atau suami.

Banyak akibat buruk dari siakp egois baik ditinjau dari umum maupun

ditinjau dari sigalovada sutta. Kebanyakan sikap egois selalu mengakibatkan

ketidakharmonisan rumah tangga, perceraian, akibat buruk terhadap

perkembangan psikologis anak, penelantaran anak, dan mempengaruhi

kebahagiaan rumah tangga. Sehingga kewajiban-kewajiban yang seharusnya

dilaksanakan oleh pasangan perumah tangga sering dilupakan sehingga pedoman

hidup berumah tangga yang sesuai dengan sigalovada sutta hampir tidak

dilaksanakan.

Sikap egois merupakan sebab dari konflik yang terjadi di dalam rumah

tangga yang mengakibatkan sebuah rumah tangga menjadi berantakan dan tidak

bahagia, oleh sebab itu berpedoman kepada sigalovada sutta agar perumah tangga

menjadi mawas-diri terhadap kewajiban-kewajibannya sangat diperlukan. Untuk

itu perlu upaya-upaya antara lain:

1. Introspeksi diri: masing-masing individu dalam rumah tangga

wajib mengintrospeksi diri dengan cara tidak mencari-cari kesalahan

anggota keluarga.
84

2. Kembali kepada ajaran Sang Buddha dan menyadari bahwa segala

sesuatu adalah tanpa aku roh jiwa yang kekal sehingga sikap egoisme pada

diri individu dapat teratasai.

5.2 Saran

Penulis mengharapkan dengan terselesainya skripsi ini agar dapat

dipergunakan sebagai panduan dalam menghadapi persoalan kehidupan berumah

tangga khususnya dalam menanggani sifat egoisme dalam berkehidupan rumah

tangga. Sehingga akar egoisme seperti Dosa, Lobha, dan Moha bisa diminimalisir.

Selain itu kerjasama yang baik antara orang tua dengan anak, anak dengan orang

tua dalm hal berkomunikasi sangat penting sebelum melakukan tindakan yang

berhubungan dengan kepentingan pribadi agar tidak menjadi suatu tindakan yang

egois. Orang tua dan anak harus memahami benar makna dari sigalovada sutta

agar bisa menjadi anak yang berbakti kepada orang tua, demikian pula orang tua

mengetahui apakah tindakannya sudah benar atau tidak, apakah sudah sesuai

dengan Sigalovada Sutta sehingga kedisiplinan dan tanggung jawab orang tua

tidak rusak hanya karena rasa egois yang otoriter.


85

DAFTAR PUSTAKA

Abhipanno. 2002. Bahagia dalam Dhamm. Cetakan Pertama (Kumpulan Tulisan).


Keluarga Buddhis Brahmavihara (KBBV). Makasar.

Buddhadasa Bhikkhu, 2005. Massages of Truth from Suan Monkkh. Pesan-pesan


Kebenaran. Yayasan Penerbit Karaniya.

Dahlan, M Dkk. 1995. Kamus Induk Istilah Ilmiah. Jakarta. Arkola.

Dhammananda, Sri. 1995. Masalah Dan Tanggung Jawab.

Dhammananda, Sri. 2003. Hidup dan Masalahnya. Ehipasiko Fondation.


86

Ghanim, Shaleh. 1998. Jika Suami Istri Berselisih Bagaimana Mengatasinya.


Jakarta.Gema insani
Goleman, Daniel. 2002. Emotional Intelegence. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama Jaya.

Hariyono, Rudi. 2000. Mengatasi Rasa Cemas. Putra Pelajar. Geresik-Jawa


Timur.

Http://erwin-arianto.blogspot.com/2008/05/melepas-topeng egoisme-pribadi.html
di akses pada hari senin, 05 May 2008 22:35:09-0700

Janakabhivamsa, Ashin dan Sayadaw U Silananda. 2005. Abhidhamma Sehari-


hari. Yayasan penerbit Karaniya.

Jotidhammo. 2007. Bahagia dalam Dhamma. Cetakan Pertama (kumpulan


tulisan-tulisan). Keluarga Buddhis Brahmavihara (KBBV). Makasar.

Liaw, Ponijan. 2007. Bahagia dalam Dhamma. Cetakan Ketiga (kumpulan


tulisan). Keluarga Buddhis Brahmavihara (KBBV). Makasar.

Mar’ah 1998. Membina Keluarga Bahagia. Majalah Sahid edisi 12/TH


VI/dzulqa’dah, 1414 hal. 51

Wong, Mettadewi 1992. Buddha Dhamma Sebagai Pedoman Hidup. Jakarta.


Yayasan Pancaran Dharmma.

Mukhtar, Erna Widodo. 2000. Konstruksi Kearah Penelitian Deskriftif.


Yogyakarta: Avyrouz.

Narada 2004. Brahma Vihara, The Four Divine Abidings.

Pannavaro, Mahathera 2002. Bahagia dalam Dhamma. Cetakan Ketiga


(Kumpulan Tulisan). Makasar. Keluarga Buddhis Brahmavihara.

Pannavaro, Sri, Mahatera dan Dhammananda Sri. 2007. Tanggung Jawab


Bersama. Jakarta. Suwung Widiasena Production.

Priastana, Dhammasukha Jo. 2003. Buddha Dhamma dan Seksualitas. Penerbit


Yasodhara Puteri. Jakarta.

Saukah, Ali, 2000, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah, Universitas Negeri Malang.

Sarumpaet R.I. 2004. Wanita Teladan. Indonesia Publishing House. Bandung.

Suprayogo, Iman. 2001. Metodologi Penelitian Sosial Agama. Bandung: PT


Remaja Rosda Karya.
87

Suryomentaram, Ki Ageng. 2003. Falsafah Hidup Bahagia (Jalan Menuju


Aktualisasi Diri )Jilid 2. Penerbit PT Grasindo. Jakarta.

Tim Penerjemah Kitab Suci Agama Buddha. 2004. Sutta Pitaka Anggutara
Nikaya I. Jakarta: Dewi Kayana Abadi Jakarta.

Tim Penyunsun Kitab Suci Agama Buddha. 1982, Digha Nikaya, Jakarta. Proyek
Pengadaan Kitab Suci Buddha Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat
Hindu dan Buddha Departement Agama RI.

Tim Penyunsun Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua. 1991. Jakarta.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Pustaka.

Visuddhacara, Ven. 1995. Teknik Mengatasi Kemarahan. Bali. PT. Indografika


Utama.

Widiyawati, Endang, S.p.d. 2001. Petikan Angutara Nikaya Kitab Suci Agama
Buddha. Numerical Discourses Of The Buddha. Wisma Meditasi dan
Pelatihan Dhammaguna.

LAMPIRAN :

DAFTAR ISTILAH PALI TEXT

A : Angutara Nikaya
AA : Angutara Nikaya Athakhatha
ABhp : Abhidhanappadika
Ap : Apadana
Av.S : Avadana Satak
Bdhd : Buddhadatta
Bu : Buddhavamsa
Cp : Carya pitaka
Cpd : Compedium
D : Digha Nikaya
DA : Digha Nikaya Atthakatta= Sumangalanivilasini
Davs : Dhatavamsa
Dh : Dhammapada
Dhk : Dathukatha
88

Dhs : Dhammasangani
DhsA : Dhammasangani Athakatha= Atthasalini
DhsAA : Dhammasangani Tika=Mila Tika
Dial : Dialogue
Divy : Divyavadana
Dpvs : Dipavamsa
It : Itivuttaka
Iti : Itivittaka (Visudhimagga)
J : Jataka
JAOS : Jounal Amer. Or. Soc
Jas : Jounal Asiatique
JPTS : Journal Pali Text Society
JRAS : Journal Royal Asiatic Society
Jtm : Jatakamala
Kacca : Kaccayana
Kh : Khuddakapatha
KS : Kindred Sayings
Kvu : Katahavathu
KZ : Khun’ s Zeitsschrift
Lal.V. : Lalita Vistara
M : Majjhima Nikaya
Mhbv : Mahabodhivamsa
Miln : Milindapanha
Mvasthu : Mahavaststhu
Mvyut : Mahavyutpatti
Nd : Mahaniddesa
Nd : Cilaniddesa
Nett : Nettipakarana
Pgdp : Pancagatidipana
Pe : Petakopadesa
Ps : Patisambhidamagga
PsA : Patisambhidamagga Atthakata= Saddhammappkasini
Pug : Puggalapannati
Pv : Petavatthu
S : Samyutta Nikaya
SBE : Sacred Book Of The East
Sdhp : Saddhammopayana
Siks : Siksasamuccaya
Sn : Sutta Nipata
Thag : Theragatha
Thig : Therigatha
Ud : Udana
Vbh : Vibhanga
Vin : Vinaya
Vism : Visuddhimagga
Vv : Vimanavatthu
89

RIWAYAT HIDUP

Giri rahito dilahirkan pada tanggal 07 Juli 1984 di Lombok, putra kedua dari

Bapak Renatha dan Ibu Nusasip. Pendidikan SD ditamatkanya pada tahun 1996 di

SDN I Lendang Bila, Lombok Barat, dan SMP pada tahun 1998 di SMPN I

Tanjung. Dan Pendidikan berikutnya dilanjutkan di SMAN I Tanjung dan tamat

pada tahun 2002, dan Pada tahun 2004 melanjutkan pendidikan ke Sekolah Tinggi
90

Agama Buddha Kertarajasa Batu mengambil jurusan Dhammacariya Program S-

1.

You might also like