You are on page 1of 4

SAAT YANG INDAH UNTUK MATI

“Krinnggg………!!!!!” jam weker berteriak tepat di samping telingaku. Aku masih


bisa bangun nyaman seperti ini. Secara tanpa sadar aku membuka horden jendelaku.
Sinar sang surya langsung menyengat tubuhku. Ternyata sang surya pun masih
tersenyum begitu manis padaku. Tanpa melamun terlalu lama aku bergegas memulai
hari seperti biasa.
Masuk ke kamar mandi, menyiram jiwa raga dengan nikmat Tuhan. Air pun
juga masih bersahabat denganku, memberikan kesegaran jiwa raga yang layu. Segera
aku memakai seragam sekolahku dan menuju ruang makan. Terlihat ayahku dan kedua
kakak tiriku sedang duduk di meja makan menunggu makanan datang.
“Pagii, malaikatku!!” ayah menyapaku dengan senyum yang selalu aku rindukan.
“Pagi juga ayah!!” jawabku sekenanya. Ibu tiriku datang dari dapur membawakan
makanan dengan seulas senyum. Senyum penuh dusta menurutku. Aku melahap saja
apa yang ada di depanku, sepotong Sandwich, sepotong roti bakar isi keju dan
segelas susu. Aku segera berangkat sekolah.
***

“Ting tong...ting tong!!” aku terkejut seketika. Untungnya aku tidak


mempunyai penyakit jantung. Tapi, siapa juga yang bertamu malam hari begini?
Sudah jam 9 pula. Atau mungkin ayah? Ah, mungkin saja ayah. Dia memang selalu
pulang malam. Segera kubuka pintu rumah.
***

“Pak polisi pasti bohong! Tidak mungkin! Setahuku ayah adalah pengemudi
yang handal! Oh tidak! Mengapa seperti ini?” aku membantah dan aku jawab sendiri
layaknya orang gila.
“Sungguh, kami tidak berbohong. Ayah anda menabrak sebuah truk yang
sedang berhenti di pinggir jalan dalam keadaan mabuk bersama…………seorang
wanita.”
“Hah!?”
Aku merasakan mati untuk sebentar.
***

Semua tetangga dan kolega ayah berdatangan kerumahku. Memakai baju


hitam, menyalami ibu tiriku, duduk, makan-makan. Memakai baju hitam, menyalami
ibu tiriku, duduk, makan-makan. Memakai baju hitam, menyalami ibu tiriku, duduk,
makan-makan. Dan seterusnya hanya seperti itu. Sungguh, adat orang ketimuran
yang bermoral dan sopan santun telah diracuni budaya liberalisme. Bayangkan,
ayahku meninggal mereka malah duduk dan makan-makan dengan raut wajah tidak
bersalah. Memang, mereka bukan penyebab kematian ayahku, tapi setidaknya mereka
bisa menunjukkan sedikit kesedihan. Malah aku melihat di antara kolega ayah ada
yang tersenyum berseri-seri menunjukkan kebahagiaan karena salah satu saingan
mereka dalam berbisnis telah mati. Ah, tapi mengapa juga aku harus membela ayah
terus-terusan? Ayah sendiri juga munafik seperti mereka, ayah sendiri juga munafik
seperti ibu tiriku.
***

Sudah empat hari sejak meninggalnya ayah aku masih belum bisa menangis,
entah mengapa aku tidak bisa menangis. Mungkin air mataku terlalu kering untuk
menangis atau mungkin ingin menunggu bangkitnya ayah dari dalam kubur dan
menjelaskan semuanya yang telah terjadi kepadaku. Hatiku masih diliputi hawa
kegelisahan dan penasaran, mungkin juga kebingungan.
Ibu tiriku dan kedua kakak tiriku masih seperti biasa, tidak menunjukkan hal
mencurigakan apapun. Terkadang mereka menangis sendiri. Huh! Tangisan bullshit.
Mungkin hanya tinggal menunggu beberapa waktu saja topeng watak manis mereka
akan mereka buka, dan menunjukkan watak-watak layaknya serigala modern, serigala
yang lapar akan harta, uang, dan kekuasaan.
***

Ini adalah hari ketujuh sejak kematian ayah. Aku masih berharap ayah akan
dengan sukarela bangun dari tidur panjangnya untuk sebentar dan datang padaku lalu
menjelaskan semua yang terjadi. Tapi sepertinya itu hanyalah khayalan yang tak
mungkin. Mungkin ayah sudah nyenyak di sana? Atau malah sekarang sedang disiksa
oleh malaikat kubur? Ah, entahlah! Aku mulai muak dengan semua ini.
“Braaakkk…………!!!” pintu kamarku didorong paksa oleh seseorang.
“Ibu?” aku terbengong.
“Ya, kenapa? Kau takut?”
“Eeee, ttii…ttidakk……… Kenapa ibu mendobrak pintu kamarku? Ibu kan bisa
mengetuk pintu dulu?”
“Hahahahaha……… Mengapa juga aku harus mengetuk pintu? Memangnya kamu
siapa? Putri raja? Oh, bukan…… Tapi, anak haram seorang raja yang telah
mampus!!”
“Ibu!!! Kenapa ibu begitu tega padaku? Kenapa ibu mengatakan hal seperti
itu?! Memang aku bukan terlahir dari rahim ibu, tapi aku selalu berusaha
menganggap ibu adalah ibu kandungku? Memangnya aku berdosa apa? Aku
bukan anak haram!! Aku bukan anak haram! Yang haram adalah perbuatan
mereka!”
“Hahahaha……… Sudah, aku mengantuk mendengarkan ceramahmu yang tidak
jelas itu. Sekarang, karena kau adalah anak haram, maka kau tak pantas
mendapatkan semua fasilitas ini. Sekarang kau menjadi babu untukku dan
untuk anak-anakku juga…………Hahahahahaha………!!”
“Tidaak!! Aku tidak mau! Ini semua warisan ayah yang pasti diberikan hanya
kepadaku seorang!”
“Hahahaha……………… Kata siapa ini semua adalah milikmu, anak haram? Heh?”
ibu menodongku dengan sebuah pistol.
“………Bbba...baik ibu” seketika nyaliku ciut.
“Heii, mulai sekarang kau tidak boleh memanggilku ibu! Sekarang kau harus
memanggilku nyonya besar!! Mengerti?!”
“Baikk, ibu, eh, nyonya besar!”
***

Sejak saat itu aku berubah menjadi babu di rumahku sendiri. Mereka
memperlakukanku dengan sangat kejam. Ketika aku sedang memasak air, ibu tiriku
menyenggol panci berisi air panas tersebut sehingga air panas tumpah ke tubuhku.
Ketika aku sedang mengepel lantai, kedua anaknya bergantian menyiksaku, yang satu
menginjak jemariku yang sedang menggenggam kain pel di atas lantai, sedangkan
yang satunya menendang pantatku sehingga aku terguling-guling di lantai. Sungguh,
kelakuan mereka bagaikan iblis, bukan setan lagi. Aku sungguh tak sanggup menjalani
semua ini. Aku sudah tidak kuat. Bahkan sempat terlintas di benakku bahwa Tuhan
sudah tidak ada. Entahlah………
***

Tanpa terasa, sudah satu kilometer aku berlari. Melarikan diri dari
kekejaman, melarikan diri dari keinginan akan harta. Aku sudah mulai bisa melupakan
satu hal yang bernama harta. Aku sadar ternyata kebahagiaan lebih di atas segala-
galanya daripada sebuah keinginan akan harta.
Setiap rumah yang aku lewati menawarkan pemandangan yang begitu indah.
Pemandangan keharmonisan keluarga, antara anak dengan orangtuanya. Sang anak
berpamitan pergi ke sekolah dengan mencium tangan kedua orangtuanya. Dan, satu
hal yang membuatku iri, sang anak mendapatkan kecupan di keningnya, hal yang tidak
pernah aku dapatkan ketika aku berangkat sekolah, bahkan oleh ayah kandungku
sekalipun.
Hari ini aku ingin pergi, aku tidak sekolah. Entah aku ingin pergi kemana............
Aku rasa tubuhku mulai letih dan capek. Tulang-tulang ingin ingin keluar dari
tempatnya. Aku putuskan untuk berhenti di sebuah ruko yang sedang tutup, mungkin
pemiliknya sedang malas, atau mungkin sakit? Ah, mengapa juga aku memikirkan
urusan orang lain. Aku saja hampir mati dengan semua ini. Aku ingin tidur sejenak.
***

“Anak haram!! Bangun! Bangun, anak haram!!!” suara itu mengagetkanku. Dan
aku bangun dari mimpiku, aku bangun dari tidurku.
“Hah! Ibu?” aku terkejut melihat wajahnya.
Raut wajahnya begitu menyeramkan. Tanpa mengeluarkan sepatah kata pun,
dia langsung menyeretku ke dalam mobil. Dia hanya diam, aku juga diam. Aku masih
belum bisa membayangkan apa yang akan terjadi nanti. Aku sudah menyerah dengan
semua permainan ini. Ketika aku membuka pintu mobil, aku melihat kedua kakak tiriku
masing-masing sedang membawa sebuah balok kayu. Aku merasakan hari ini aku akan
mendapatkan bencana besar. Benar saja, aku langsung diseret ke dalam kamar mandi
dan kepalaku dicelupkan paksa ke dalam bak air sambil dua batang kayu terasa
menghantam keras punggungku. Aku tidak bisa melakukan apa-apa. Mereka akhirnya
berhenti dan meninggalkanku sendirian di kamar mandi. Aku mencoba berdiri, aku
ingin mendatangi ayah.
Aku menangis sejadi-jadinya di makam ayah. Aku curhat padanya.
“Ayah! Ayah sudah tahu kan betapa kejamnya mereka??”
“Apa ayah tidak ingin menolongku?”
“Apa ini semua sebenarnya yang ayah inginkan? Hah?”
“Apa maksud dari semua ini ayah?”
“Aku bingung, ayah! Aku bingung!!”
“Ayah, kenapa dari tadi ayah selalu diam? Hah?”
“Ayah tidak bisa menjawab?”
“Atau ayah tidak punya jawaban?”
“Ya, mungkin ayah memang tidak bisa menjawab dan tidak punya jawaban
tentang itu.”
Aku bersandar di pinggir makam ayah. Aku melihat bayangan ayah yang
melambai-lambaikan tangannya kepadaku. Kurasakan kepalaku menjadi pening dan
mataku berkunang-kunang…………

M. Bagus Alfian
17 / IX D

You might also like