You are on page 1of 6

Bulan ini, tepatnya pada tanggal 4 Juni 2001, adalah tepat 12 Rabi-Al-Awwal

1442H pada penanggalan Islam (Hijriah). Pada hari tersebut, Nabi junjungan
kita Muhammad dilahirkan. Semoga shalawat serta salam selalu tercurahkan
kepada beliau beserta keluarga dan sahabatnya.

Hari tersebut, di Indonesia dikenal dengan Maulid Nabi (Milad an Nabi). Maulid
Nabi memang bukan hari besar Islam kalau dilihat dari pandangan al Quran dan
Hadis. Juga, Nabi sendiri pun tidak menganjurkan harinya diperingati. Tetapi,
merujuk pada sejarah, di era kekhalifan juga pernah diadakan peringatan
kelahiran Nabi. Untuk itu, sebagai penghormatan, pada hari itulah, kita
setidaknya mengingat hari lahirnya Nabi yang kita cintai. Seseorang yang diberi
hidayah Allah sebagai penerang dengan membawa ajaran hinggan akhir jaman.

Di kehidupan masa kini, kita telah mafhum dan mengenal berbagai macam
peringatan hari-hari, baik itu hari kenegaraan (nasional) seperti Hari
Kemerdekaan, mungkin juga hari Ulang Tahun perusahaan tempat kita bekerja,
dan juga sangat banyak yang memperingati hari Ulang Tahun diri sendiri.
Peringatan itu tidak harus mewah, besar, dengan mengundang puluhan hingga
ratusan orang. Banyak pula yang sekedar merenung, mengulang seluruh
kegiatan, baik kegiatan bangsa, kegiatan di perusahaan, atau juga seluruh
pekerjaan yang telah dilakukan selama setahun. Dan seluruh renungan itu tidak
haram, karena dengan merenung dan mengevaluasi segala pekerjaan kita, kita
menjadi manusia yang selalu ingat. Dan apa karunia bagi orang yang ingat? Yaitu
diberikan penerang dan hidayah baginya.

Oleh karena itu, sebagai suatu momen penting 12 Rabiul Awwal H, seperti di
kampung-kampung, bahkan dijadikan sebagai hari penting---dan Indonesia
sendiri pun menjadikan tanggal tersebut sebagai hari libur nasional. Harapan
kita, di hari libur itu, juga hari-hari selanjut, bulan selanjut, dan di seluruh hidup
kita selanjutnya, kita seterusnya dapat meneladani dan menyikapi hidup kita
berdasarkan apa yang diajarkan dan dicontohkan Sang Nabi Kekasih Allah Swt.

"(Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya)
mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang
menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan melarang mereka dari
mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik
dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari
mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka
orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan
mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (al-Qur'an),
mereka itulah orang-orang yang beruntung." (QS. Al-A'raa 7:157)
-----------------------------------------------------------------------------------------------
Tradisi Maulid Nabi Muhammad SAW bermula pada masa pemerintahan Bani Taimiyah,
kemudian dilanjuti pada masa pemerintahan Khalifah Bani Abbas oleh penguasa Al
Haramain (dua tanah suci, Mekah dan Madinah) Sultan Salahuddin Al Ayyubi (Soultan
Saladin).

Salahuddin memerintah para tahun 1174-1193 M atau 570-590 H pada Dinasti Bani
Ayyub, setingkat Gubernur dengan pusat kesultanannya berada di kota Qahirah (Kairo),
Mesir, dan daerah kekuasaannya membentang dari Mesir sampai Suriah dan
Semenanjung Arabia.

Perintah merayakan Maulid ini disampaikan pertama kali pada musim Haji 579 H (1183
Masehi). Sebagai penguasa dua tanah suci kala itu, atas persetujuan Khalifah Bani
Abbas di Baghdad, Sultan mengimbau agar seluruh jamaah haji seluruh dunia jika
kembali ke kampung halaman masing-masing segera mensosialisasikan kepada
masyarakat Islam dimana saja berada. Maksud Sultan Salahuddin merayakan tradisi ini
selain bentuk cintanya pada Rasul juga sebagai cara membangkitkan semangat juang
umat Islam yang kala itu kehilangan semangat juang dan persaudaraan ukhuwah ketika
terjadi perang salib.

Salahuddin ditentang oleh para ulama. Sebab sejak zaman Nabi peringatan seperti itu
tidak pernah ada. Lagi pula hari raya resmi menurut ajaran agama cuma ada dua, yaitu
Idul Fitri dan Idul Adha. Akan tetapi Salahuddin kemudian menegaskan bahwa perayaan
Maulid Nabi hanyalah kegiatan yang menyemarakkan syiar agama, sehingga tidak
dapat dikategorikan bid`ah yang terlarang.

Salah satu kegiatan yang diadakan oleh Sultan Salahuddin pada peringatan Maulid Nabi
yang pertama kali tahun 1184 (580 H) adalah menyelenggarakan sayembara penulisan
riwayat Nabi beserta puji-pujian bagi Nabi dengan bahasa yang seindah mungkin.
Seluruh ulama dan sastrawan diundang untuk mengikuti kompetisi tersebut. Pemenang
yang menjadi juara pertama adalah Syaikh Ja`far Al-Barzanji. Karyanya yang dikenal
sebagai Kitab Barzanji sampai sekarang sering dibaca masyarakat di kampung-
kampung pada peringatan Maulid Nabi.

Penyair Ahmad Syauqi menggambarkan kelahiran Nabi Mulia itu dalam syairnya yang
indah:

“Telah dilahirkan seorang Nabi, alam pun bercahaya, sang waktu pun tersenyum dan
memuji”.

Tradisi Maulid Nabi di Tanah Jawa

Bagi sebagian orang Islam tradisi merayakan Maulid Nabi Muhammad SAW merupakan
sebagai salah satu bentuk pengejewantahan rasa cinta umat kepada Rasul Nya.

Di tanah Jawa sendiri tradisi ini telah ada sejak zaman walisongo, pada masa itu tradisi
Maulid Nabi dijadikan sebagai sarana dakwah penyebaran agama Islam dengan
menghadirkan berbagai macam kegiatan yang menarik masyarakat. Pada saat ini tradisi
Maulid/Mauludan di Jawa disamping sebagai bentuk perwujudan cinta umat kepada
Rasul juga sebagai penghormatan terhadap jasa-jasa Walisongo.
Sebagian masyarakat Jawa merayakan maulid dengan membaca Barzanji, Diba’i atau
al-Burdah atau dalam istilah orang Jakarta dikenal dengan rawi. Barzanji dan Diba’i
adalah karya tulis seni sastra yang isinya bertutur tentang kehidupan Muhammad,
mencakup silsilah keturunannya, masa kanak-kanak, remaja, pemuda, hingga diangkat
menjadi rasul. Karya itu juga mengisahkan sifat-sifat mulia yang dimiliki Nabi
Muhammad, serta berbagai peristiwa untuk dijadikan teladan umat manusia. Sedangkan
Al-Burdah adalah kumpulan syair-syair pujian kepada Rasulullah SAW yang dikarang
oleh Al-Bushiri.

Berbagai macam acara dibuat untuk meramaikan acara ini, lambat laun menjadi bagian
dari adat dan tradisi turun temurun kebudayaan setempat.

Di Cirebon, Yogyakarta, dan Surakarta, perayaan maulid dikenal dengan istilah sekaten.
Istilah ini berasal dari stilasi lidah orang Jawa atas kata syahadatain, yaitu dua kalimat
syahadat. Perayaan umumnya bersifat ritual penghormatan (bukan penyembahan)
terhadap jasa para wali penyebar Islam, misalnya upacara Panjang Jimat yaitu upacara
pencucian senjata pusaka peninggalan para wali.

Di Cirebon upacara Panjang Jimat di fokuskan di dua tempat yaitu Keraton Kasepuhan
dan Astana Gunung Jati. Di Jogjakarta dan Surakarta di masing-masing keraton dengan
acaranya Grebeg Mulud. Pada zaman kesultanan Mataram perayaan Maulid Nabi
disebut Gerebeg Mulud. Kata "Gerebeg" artinya mengikuti, yaitu mengikuti sultan dan
para pembesar keluar dari keraton menuju masjid untuk mengikuti perayaan Maulid
Nabi, lengkap dengan sarana upacara, seperti nasi gunungan dan sebagainya. Di Garut,
terdapat upacara Ngalungsur yaitu proses upacara ritual dimana barang-barang pusaka
peninggalan Sunan Rohmat (Sunan Godog/Kian Santang) setiap setahun sekali
dibersihkan atau dicuci dengan air bunga-bunga dan digosok dengan minyak wangi
supaya tidak berkarat, di fokuskan di desa Lebak Agung, Karangpawitan. Di Banten
kegiatan di fokuskan di Masjid Agung Banten. ditempat lain diantaranya tempat-tempat
ziarah makam para wali.

Di beberapa tempat kadang-kadang perayaan ini dijadikan ajang berkumpulnya para


tokoh masyarakat dan sesepuh setempat, seperti kyai, bangsawan/elang, dan tidak
ketinggalan para jawara dari berbagai paguron untuk saling bersilaturahim, untuk
membicarakan berbagai macam hal yang menyangkut daerah setempat. Tapi hal ini
jarang diekspos karena sifatnya yang non formal, sehingga tidak banyak masyarakat
yang mengikuti.

Pandangan Ulama NU

Para ulama NU memandang peringatan Maulid Nabi ini sebagai bid’ah atau perbuatan
yang di zaman Nabi tidak ada, namun termasuk bid’ah hasanah (bid’ah yang baik) yang
diperbolehkan dalam Islam. Banyak memang amalan seorang muslim yang pada zaman
Nabi tidak ada namun sekarang dilakukan umat Islam, antara lain: berzanjen, diba’an,
yasinan, tahlilan (bacaan Tahlilnya, misalnya, tidak bid’ah sebab Rasulullah sendiri
sering membacanya), mau’izhah hasanah pada acara temanten dan Muludan.
Dalam Madarirushu’ud Syarhul Barzanji dikisahkan, Rasulullah SAW bersabda: "Siapa
menghormati hari lahirku, tentu aku berikan syafa'at kepadanya di Hari Kiamat."
Sahabat Umar bin Khattab secara bersemangat mengatakan: “Siapa yang menghormati
hari lahir Rasulullah sama artinya dengan menghidupkan Islam!”
------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Datangnya bulan Rabi’ul Awwal selalu identik dengan peringatan Maulid Nabi
Muhammad SAW. Peringatan Maulid sendiri pertama kali digelar pada tahun 1187 M
atas prakarsa Sultan Shalahuddin al Ayyubi, Mesir (1138 - 1193), dengan maksud
untuk membangkitkan semangat jihad kaum Muslim merebut kembali Yerussalem dari
kekuasaan pasukan Salib.

Pada tahun 1185 M, ketika menunaikan ibadah haji, Shalahuddin menyerukan perlunya
membangkitkan semangat jihad tersebut. Untuk itu, beliau membuka sayembara menulis
riwayat Rasululllah SAW dalam untaian puisi, yang kemudian dimenangkan oleh Syaikh
Ja’far bin Abdul Karim al Barzanji. Dan syair sang iman itu berperan penting dalam
usaha pembebasan kota Yerussalem.

Hingga kini, tradisi peringatan itu pun tetap berjalan termasuk di Indonesia. Di berbagai
tempat, umat Islam sibuk mempersiapkan perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW. Dari
yang akan menggelar acara besar-besaran dan berdurasi panjang seperti perayaan
tradisional Sekaten di Solo dan Yogya, sampai pengajian kecil-kecilan di rumah.

Dari yang diikuti ribuan jemaah seperti Maulidan di kediaman para habib terkemuka,
sampai yang cuma diikuti belasan orang di langgar kecil di kampung-kampung. Meski
bentuk acaranya beragam, ada satu mata acara yang sama di berbagai tempat: pembacaan
Maulid Nabi. Setiap daerah mempunyai bacaan Maulid favorit masing-masing.

Di komunitas habaib, misalnya, yang biasa dibaca ialah Simthud Durat; karya Al-Habib
Ali bin Muhammad Al-Habsyi. Sementara kalangan pesantren tradisional di Jawa Timur
lebih akrab dengan Maulid Ad-Diba’i karya Syaikh Ali bin Abdurrahman Ad-Diba’i Az-
Zubaidi. Maulid yang sama juga dibaca oleh sebagian habib di Sampang, Madura.

Lain lagi tradisi di sebagian pesisir utara Jawa. Di sana, kalangan pesantren dan majelis
ta’lim kaum ibu menggemari pembacaan Maulid Barzanji, yang digubah oleh Syaikh
Ja’far bin Abdul Karim Al-Barzanji. Ada juga komunitas habaib yang membaca Maulid
Burdah, karya Imam Al-Bushiri, seperti di Kauman, Semarang. Selain membaca
Al-Barzanji, sebagian warga Betawi juga ada yang membaca Maulid Azabi, karya Syaikh
Ahmad Al-Azabi. Belakangan, di beberapa tempat juga dibaca Maulid Adh-Dhiyaul
karya Al-Habib Umar bin Muhammad Bin Hafidz.

Rata-rata, pembacanya alumnus Ma’had Darul Musthafa, Tarim, Hadhramaut, Yaman,


yang memang diasuh oleh sang penggubah Maulid kontemporer tersebut.

Pembacaan Maulid Nabi SAW memang salah satu khazanah kebudayaan Islam yang
luar biasa. Keindahan gaya bahasa karya para ulama ahli sastra yang terdiri dari natsar
(prosa) dan nazham (langgam qashidah) itu, bak rangkaian ratna mutu manikam.
Ungkapan-ungkapannya yang cantik menawan, tak jarang menghanyutkan perasaan
pembaca dan pendengarnya dalam samudera kecintaan kepada Rasulullah SAW.
Tak mengherankan, dalam pembacaan Maulid tersebut kerap kali dijumpai hadirin yang
tersedu-sedu menangis karena terharu. Dan tak jarang, linangan air mata itu juga
dibarengi histeria kerinduan kepada sang Nabi Akhir Zaman tersebut. Pengaruh
psikologis yang dahsyat inilah yang dulu diharapkan oleh Sultan Shalahuddin Al-Ayyubi,
Mesir (1138-1 1 93 M), saat pertama kali mencetuskan penyelenggaraan pembacaan
Maulid Nabi pada tahun 1187 M sehingga dapat menggugah kembali kesadaran semangat

umat Islam. Upaya memelihara semangat dan ghirah keislaman itu jugalah yang akan
ditonjolkan para ulama Nusantara saat memperkenalkan dan melestarikan perayaan
Maulid Nabi.

Dalam kitab Al-Hawi Fatawi, Imam Suyuthi menulis, “Sesungguhnya kelahiran


Rasululluh SAW merupakan nikmat teragung yang dianugerahkan oleh Allah SWT
kepada kita, dan wafatnya beliau adalah musibah terbesar bagi kita. Syariat telah
memerintahkan kita untuk menampakkan rasa syukur atas nikmat yang kita peroleh, dan
bersabar serta tenang dalam menghadapi musibah. Syariat juga memerintahkan kita untuk
melakukan aqiqah bagi bayi yang lahir, sebagai perwujudan rasa syukur. Namun, ketika
kematian tiba, syariat tidak memerintahkan untuk menyembelih kambing atau hewan
lain. Bahkan syariat melarang untuk meratapi mayat dan menampakkan keluh kesah.”

Dalam suatu riwayat, Sayyidina Abbas pernah menyampaikan bait-bait syair pujian di
hadapan Nabi SAW dan sejumlah sahabat. Diriwayatkan bahwa usai Perang Tabuk,
Sayidina ‘Abbas bin Abdul Muthalib, paman Nabi, menemui Rasulullah SAW, yang juga
kemenakannya, ia berkata, “Aku ingin mengucapkan syair pujian bagimu.”

Namun Nabi, yang memang enggan dipuji, berkata, “Semoga Allah menjaga gigimu dari
kerontokan.”

Lalu Sayidina ‘Abbas melantunkan syair yang menceritakan perjalanan hidup Nabi sejak
sebelum lahir hingga saat kelahirannya:

Sebelum terlahir ke dunia


engkau hidup senang di surga
Ketika aurat tertutup dedaunan
engkau tersimpan di tempat aman

Kemudian engkau turun ke bumi


Bukan sebagai manusia
segumpal darah maupun daging
tapi nutfah di perahu Nuh

Ketika banjir menenggelamkan semuanya


anak-cucu Adam beserta keluarganya
engkau pindah dari sulbi ke rahim
dari satu generasi ke generasi
Hingga kemuliaan dan kehormatanmu
berlabuh di nasab terbaik
yang mengalahkan semua bangsawan

Ketika engkau lahir, bumi bersinar


cakrawala bermandikan cahayamu
Kami pun berjalan di tengah cahaya
sinar dan jalan yang penuh petunjuk

Pujian yang melambung bagi Rasulullah SAW, yang memang sudah selayaknya,
mengingat akhlaq beliau yang mulia, sosok kepribadian beliau yang luar biasa sebagai
contoh teladan yang baik (uswatun hasanah). Memang, Rasulullah SAW pernah
melarang umatnya menyanjung dan memuja beliau secara berlebihan. Tapi, larangan itu
dalam konteks yang berbeda.

Dalam sebuah hadits shahih beliau bersabda, “Janganlah kalian memujiku secara
berlebihan seperti kaum Nasrani memuji Isa bin Maryam. Sesungguhnya aku adalah
hamba -ya, maka ucapkanlah, ‘Hamba Allah dan Rasul-Nya’.” (HR Bukhari dan
Ahmad).

Mengenai hadits tersebut, para ulama menjelaskan dalam beberapa kitab bahwa
sesungguhnya Rasulullah SAW tidak pernah melarang umatnya memuji beliau. Yang
beliau larang ialah pujian yang berlebihan, sebagaimana yang dilakukan oleh umat
Nasrani kepada Nabi Isa AS, yaitu menempatkan beliau sebagai “anak Tuhan”. Inilah
jenis pujian
yang dilarang oleh Rasulullah SAW, dan inilah yang dimaksud dengan pujian yang
berlebih-lebihan tersebut.

Dan terbukti, sejak hadits tersebut diucapkan hingga kini, tak seorang pun mereka yang
memuji Rasulullah SAW melebihi batasannya sebagai manusia. Dan tak seorang pun
yang menuhankan beliau. Bahkan, semua pujian yang indah dan berbahasa sastra belum
seberapa dibanding pujian Allah dalam Al-Quran. [infokito]

Wallahu a’lam

You might also like