You are on page 1of 101

Sepuluh Langkah menyambut Ramadhan

1. Berdoalah agar Allah swt. memberikan kesempatan kepada kita untuk bertemu dengan
bulan Ramadan dalam keadaan sehat wal afiat. Dengan keadaan sehat, kita bisa
melaksanakan ibadah secara maksimal di bulan itu, baik puasa, shalat, tilawah, dan dzikir.
Dari Anas bin Malik r.a. berkata, bahwa Rasulullah saw. apabila masuk bulan Rajab selalu
berdoa, ”Allahuma bariklana fii rajab wa sya’ban, wa balighna ramadan.” Artinya, ya
Allah, berkahilah kami pada bulan Rajab dan Sya’ban; dan sampaikan kami ke bulan
Ramadan. (HR. Ahmad dan Tabrani)
Para salafush-shalih selalu memohon kepada Allah agar diberikan karunia bulan Ramadan;
dan berdoa agar Allah menerima amal mereka. Bila telah masuk awal Ramadhan, mereka
berdoa kepada Allah, ”Allahu akbar, allahuma ahillahu alaina bil amni wal iman was
salamah wal islam wat taufik lima tuhibbuhu wa tardha.” Artinya, ya Allah, karuniakan
kepada kami pada bulan ini keamanan, keimanan, keselamatan, dan keislaman; dan berikan
kepada kami taufik agar mampu melakukan amalan yang engkau cintai dan ridhai.
2. Bersyukurlah dan puji Allah atas karunia Ramadan yang kembali diberikan kepada kita.
Al-Imam Nawawi dalam kitab Adzkar-nya berkata, ”Dianjurkan bagi setiap orang yang
mendapatkan kebaikan dan diangkat dari dirinya keburukan untuk bersujud kepada Allah
sebagai tanda syukur; dan memuji Allah dengan pujian yang sesuai dengan keagungannya.”
Dan di antara nikmat terbesar yang diberikan Allah kepada seorang hamba adalah ketika dia
diberikan kemampuan untuk melakukan ibadah dan ketaatan. Maka, ketika Ramadan telah
tiba dan kita dalam kondisi sehat wal afiat, kita harus bersyukur dengan memuji Allah
sebagai bentuk syukur.
3. Bergembiralah dengan kedatangan bulan Ramadan. Rasulullah saw. selalu memberikan
kabar gembira kepada para shahabat setiap kali datang bulan Ramadan, “Telah datang
kepada kalian bulan Ramadan, bulan yang penuh berkah. Allah telah mewajibkan kepada
kalian untuk berpuasa. Pada bulan itu Allah membuka pintu-pintu surga dan menutup pintu-
pintu neraka.” (HR. Ahmad).
Salafush-shalih sangat memperhatikan bulan Ramadan. Mereka sangat gembira dengan
kedatangannya. Tidak ada kegembiraan yang paling besar selain kedatangan bulan Ramadan
karena bulan itu bulan penuh kebaikan dan turunnya rahmat.
4. Rancanglah agenda kegiatan untuk mendapatkan manfaat sebesar mungkin dari bulan
Ramadan. Ramadhan sangat singkat. Karena itu, isi setiap detiknya dengan amalan yang
berharga, yang bisa membersihkan diri, dan mendekatkan diri kepada Allah.
5. Bertekadlah mengisi waktu-waktu Ramadan dengan ketaatan. Barangsiapa jujur kepada
Allah, maka Allah akan membantunya dalam melaksanakan agenda-agendanya dan
memudahnya melaksanakan aktifitas-aktifitas kebaikan. “Tetapi jikalau mereka benar
terhadap Allah, niscaya yang demikian itu lebih baik bagi mereka.” [Q.S. Muhamad (47): 21]
6. Pelajarilah hukum-hukum semua amalan ibadah di bulan Ramadan. Wajib bagi setiap
mukmin beribadah dengan dilandasi ilmu. Kita wajib mengetahui ilmu dan hukum berpuasa
sebelum Ramadan datang agar puasa kita benar dan diterima oleh Allah. “Tanyakanlah
kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui,” begitu kata Allah di Al-
Qur’an surah Al-Anbiyaa’ ayat 7.
7. Sambut Ramadan dengan tekad meninggalkan dosa dan kebiasaan buruk. Bertaubatlah
secara benar dari segala dosa dan kesalahan. Ramadan adalah bulan taubat. “Dan
bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman, supaya kamu
beruntung.” [Q.S. An-Nur (24): 31]
8. Siapkan jiwa dan ruhiyah kita dengan bacaan yang mendukung proses tadzkiyatun-nafs.
Hadiri majelis ilmu yang membahas tentang keutamaan, hukum, dan hikmah puasa.
Sehingga secara mental kita siap untuk melaksanakan ketaatan pada bulan Ramadan.
9. Siapkan diri untuk berdakwah di bulan Ramadhan dengan: 1) buat catatan kecil untuk
kultum tarawih serta ba’da sholat subuh dan zhuhur; 2)membagikan buku saku atau
selebaran yang berisi nasihat dan keutamaan puasa.
10. Sambutlah Ramadan dengan membuka lembaran baru yang bersih. Kepada Allah, dengan
taubatan nashuha. Kepada Rasulullah saw., dengan melanjutkan risalah dakwahnya dan
menjalankan sunnah-sunnahnya. Kepada orang tua, istri-anak, dan karib kerabat, dengan
mempererat hubungan silaturrahmi. Kepada masyarakat, dengan menjadi orang yang paling
bermanfaat bagi mereka. Sebab, manusia yang paling baik adalah yang paling bermanfaat
bagi orang lain.

Kendalikan Nafsu, Itu Jalan Ke Surga


Setiap kali kita berbiacara tentang puasa selalu kita teringat tentang pengendalian nafsu. Sebab
puasa adalah ibadah mengendalikan nafsu. Dalam Al Qur’an masalah pengendalian nafsu adalah
masalah penting. Dan bahkan Allah swt. menegaskan bahwa mengendalikan nafsu adalah jalan
ke surga. Dalam surah An Nazi’at:40-41 Allah berfirman: Dan adapun orang-orang yang takut
kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka
sesungguhnya surgalah tempat tinggal (nya). Ayat ini menunjukkan beberapa makna:
Pertama, bahwa setiap manusia dihadapkan kepada dua kekuatan yang saling tarik-menarik:
kekuatan takut kepada Allah dan kekuatan hawa nafsu. Bila takutnya kepada Allah lebih kuat,
maka ia akan mengendalikan nafsunya. Begitu nafsu dikendalikan, syetan tidak berdaya
menggodanya. Ketika syetan tidak berdaya, maka amalnya akan selalu baik. Karena itu dalam
bulan Ramadhan kita menyaksikan masjid-masjid penuh, siang maupun malam. Dan suasana
seperti itu sulit kita temukan di luar Ramadhan. Sebab begitu nafsu makan dibuka, syetan
kembali berkuasa. Karena itu sebagian ulama mengatakan bahwa dari dibukanya nafsu makan
terbuka otomatis pintu-pintu syetan untuk menguasai manusia. Jelasnya bahwa dengan kuatnya
rasa takut kepada Allah yang pertama kali akan dikendalikan nafsu. Lalu dari sini pintu-pintu
kebaikan akan terbuka lebar. Bila amal baik terus-menerus dilakukan secara istiqamah, maka ia
akan masuk surga.
Kedua, menguatkan rasa takut kepada Allah (khaafa maqaama rabbihi) adalah modal utama
untuk senantiasa istiqamah bermal saleh. Karena itu dalam Al Qur’an Allah swt. Selalu
menekankan pentingnya membangun al kahuf atau al khasyyah ini. Pada ayat sebelumnya di
surat An Nazi’at juga, Allah swt. memerintahkan Nabi Musa agar mengajak Fir’un supaya takut
kepada Allah. Sebab dengan takut kepada Allah Fir’un tidak akan bertindak sombong lagi. Jadi
sikap sombongnya Fira’un mucul karena tidak adanya khasyyah. Dan khasyyah tidak akan
muncul tanpa ilmu, Allah berfirman innama yakhsyallahu min ibaadihil ulamaa’u
(sesungguhnya hanya orang yang punya ilmu yang takut kepada Allah) (QS. Fathir:28). Karena
itu Nabi Musa diutus untuk mengajarkan kepada Fir’aun hakikat kekuasaan Allah swt. Sampai-
sampai Nabi Musa menunjukkan mukjizatnya yang agung (al aayatal kubraa) hanya untuk
meyakinkan Fir’aun, tetapi ternyata Fir’aun tetap bertahan dalam kekafiran. Bahkan Fir’aun
malah mendeklarasikan dirinya sebagai tuhan dengan berkata: ana rabbukumul a’laa (aku
tuhanmu yang paling tinggi). Suatu kenyataan bahwa tanpa rasa takut yang kuat nafsu akan
berkuasa. Puncak gejolak nafsu adalah kesombongan. Allah lalu menjelaskan bahwa dalam
peruistiwa Fir’aun terdapat pelajaran bagi orang yang takut kepada Allah. Lagi-lagi masalah
takut khasyyah dipertagas oleh Allah swt. Menunjukkan betapa pentingnya membangun rasa
takut untuk mecapai ketaatan yang maksimal.
Ketiga, mengendalikan nafsu adalah kata kunci untuk mencapai surga. Karena itu dalam ayat di
atas Allah swt. langsung menegaskan: fainnal jannata hiyal ma’wa. Bahwa hanya dengan
mengendalikan nafsu seseorang akan menjadi baik dan penuh amal saleh. Berbagai kemaksiatan
yang menghancurkan hidup manusia, itu pasti ujung-ujungnya adalah karena ikut nafsu. Dengan
demikian tidak ada kebaikan sama sekali bila ternyata nafsu dibebaskan tanpa kendali. Ibadah
puasa membuktikan bahwa mengendalikan nafsu bukan suatu yang mustahil. Lebih-lebih bahwa
pengendalian nafsu ketika puasa adalah pengendalian dari halal. Maka dengan ibadah puasa
kelak tidak ada alasan untuk berbuat yang haram. Artinya bisa dikatakan kepada mereka: engkau
telah menahan nafsu dari yang halal, maka tidak ada alasan bagimu untuk melaukan yang haram.
Ini suatu bukti, bahwa nafsu sebenarnya sangat lemah. Nafsu tidak akan mampu memaksa
seseorang melakukan dosa. Bisa ada seseorang yang terjerumus dosa itu bukan karena
dahsyatnya nafsu, melainkan kerena lemahnya iman. Dengan demikian jalan satu-satunya untuk
mengendalikan nafsu adalah kuatkan iman, Karena itu Allah panggil yaa ayyuhalladziina
aamanuu (wahai orang yang beriman) dalam perintah puasa pada ayat 183 surah Al Baqarah.
Suatu indikasi bahwa hanya orang-orang yang kuat imannya yang akan bersungguh-sungguh
mengendakikan nafsunya. Wallahu’alm bishshawab.

Khutbah Rasulullah Menyambut Ramadhan

“Wahai manusia, sungguh telah datang pada kalian bulan Allah dengan membawa berkah rahmat
dan maghfirah. Bulan yang paling mulia di sisi Allah. Hari-harinya adalah hari-hari yang paling
utama. Malam-malamnya adalah malam-malam yang paling utama. Jam demi jamnya adalah
jam-jam yg paling utama.

Inilah bulan ketika kamu diundang menjadi tetamu Allah dan dimuliakan oleh-Nya. Di bulan ini
nafas-nafasmu menjadi tasbih, tidurmu ibadah, amal-amalmu diterima dan doa-doamu diijabah.
Bermohonlah kepada Allah Rabbmu dengan niat yang tulus dan hati yang suci agar Allah
membimbingmu untuk melakukan shiyam dan membaca Kitab-Nya.

Celakalah orang yang tidak mendapat ampunan Allah di bulan yang agung ini. Kenanglah
dengan rasa lapar dan hausmu, kelaparan dan kehausan di hari kiamat. Bersedekahlah kepada
kaum fuqara dan masakin. Muliakanlah orang tuamu, sayangilah yang muda, sambungkanlah tali
persaudaraanmu, jaga lidahmu, tahan pandanganmu dari apa yang tidak halal kamu
memandangnya dan pendengaranmu dari apa yang tidak halal kamu mendengarnya. Kasihilah
anak-anak yatim, niscaya dikasihi manusia anak-anak yatimmu.

Bertaubatlah kepada Allah dari dosa-dosamu. Angkatlah tangan-tanganmu untuk berdoa pada
waktu shalatmu karena itulah saat-saat yang paling utama ketika Allah Azza wa Jalla
memandang hamba-hamba-Nya dengan penuh kasih; Dia menjawab mereka ketika mereka
menyeru-Nya, menyambut mereka ketika mereka memanggil-Nya dan mengabulkan doa mereka
ketika mereka berdoa kepada-Nya.

Wahai manusia! Sesungguhnya diri-dirimu tergadai karena amal-amalmu, maka bebaskanlah


dengan istighfar. Punggung-punggungmu berat karena beban (dosa)-mu, maka ringankanlah
dengan memperpanjang sujudmu.

Ketahuilah, Allah Ta’ala bersumpah dengan segala kebesaran-Nya bahwa Dia tidak akan
mengadzab orang-orang yang shalat dan sujud, dan tidak akan mengancam mereka dengan
neraka pada hari manusia berdiri di hadapan Rabbal-alamin.

Wahai manusia, barangsiapa di antaramu memberi buka kepada orang-orang mukmin yang
berpuasa di bulan ini, maka di sisi Allah nilainya sama dengan membebaskan seorang budak dan
dia diberi ampunan atas dosa-dosa yang lalu.

(Seorang sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, tidaklah kami semua mampu berbuat demikian.”
Rasulullah meneruskan khotbahnya, “Jagalah dirimu dari api neraka walau pun hanya dengan
sebiji kurma. Jagalah dirimu dari api neraka walau pun hanya dengan seteguk air.”)

Wahai manusia, siapa yang membaguskan akhlaknya di bulan ini, ia akan berhasil melewati
Sirathal Mustaqim pada hari ketika kaki-kaki tergelincir. Siapa yang meringankan pekerjaan
orang-orang yang dimiliki tangan kanannya (pegawai atau pembantu) di bulan ini, Allah akan
meringankan pemeriksaan-Nya di hari kiamat. Barangsiapa menahan kejelekannya di bulan ini,
Allah akan menahan murka-Nya pada hari ia berjumpa dengan-Nya.
Barangsiapa memuliakan anak yatim di bulan ini, Allah akan memuliakanya pada hari ia
berjumpa dengan-Nya. Barangsiapa menyambungkan tali persaudaraan (silaturahmi) di bulan
ini, Allah akan menghubungkan dia dengan rahmat-Nya pada hari ia berjumpa dengan-Nya.
Barangsiapa memutuskan kekeluargaan di bulan ini, Allah akan memutuskan rahmat-Nya pada
hari ia berjumpa dengan-Nya.

Barangsiapa melakukan shalat sunat di bulan ini, Allah akan menuliskan baginya kebebasan dari
api neraka. Barangsiapa melakukan shalat fardu baginya ganjaran seperti melakukan 70 shalat
fardu di bulan lain.

Barangsiapa memperbanyak shalawat kepadaku di bulan ini, Allah akan memberatkan


timbangannya pada hari ketika timbangan meringan. Barangsiapa di bulan ini membaca satu ayat
Al-Quran, ganjarannya sama seperti mengkhatam Al-Quran pada bulan-bulan yang lain.

Wahai manusia! Sesungguhnya pintu-pintu surga dibukakan bagimu, maka mintalah kepada
Tuhanmu agar tidak pernah menutupkannya bagimu. Pintu-pintu neraka tertutup, maka
mohonlah kepada Rabbmu untuk tidak akan pernah dibukakan bagimu. Setan-setan terbelenggu,
maka mintalah agar ia tak lagi pernah menguasaimu.”

(Aku –Ali bin Abi Thalib yang meriwayatkan hadits ini– berdiri dan berkata, “Ya Rasulullah,
apa amal yang paling utama di bulan ini?” Jawab Nabi, “Ya Abal Hasan, amal yang paling
utama di bulan ini adalah menjaga diri dari apa yang diharamkan Allah”.)

Ramadhan, Antara Generasi Awal dan Generasi Sekarang

Betapa besar perbedaan antara shaumnya –puasanya- kita dengan shaumnya salafus shalih
-generasi awal Islam-.

Generasi awal Islam berlomba meraih nilainya, berkutat dalam naungannya dan mengerahkan
segenap kekuatan fisik dan kekuatan jiwa untuk mengisinya.

Siang hari mereka adalah kesungguhan, produktifitas dan profesional.

Malam hari mereka adalah malam-malam meraih bekalan ruhani, tahajjud dan tilawatul Qur’an.

Sebulan penuh mereka belajar, beribadah dan berbuat baik.

Lisan mereka shaum, jauh dari berkata yang tidak ada manfaatnya, apalagi kata-kata kasar, jorok
dan dusta.

Telinga mereka shaum, tidak mendengarkan pernyataan sesat, negatif dan sia-sia.

Mata mereka shaum, tidak melihat yang diharamkan dan perbuatan tidak senonoh.

Hati mereka shaum, tidak terbersit untuk melakukan kesalahan atau dosa.

Dan tangan mereka, tidak digunakan untuk mengambil yang tidak halal dan tidak menyakiti.

Berbeda dengan muslim sekarang ini.

Di antara mereka ada yang menjadikan Ramadhan sebagai musim ta’at kepada Allah swt. dan
melipatgandakan kebaikan.

Mereka shaum siang harinya dengan sebaik-baiknya. Mereka qiyam Ramadhan –shalat tarawih
dan tahajjud- dengan sebaik-baiknya.
Mereka bersyukur kepada Allah swt. atas nikmat yang diberikan, dan mereka tidak lupa saudara-
saudara mereka yang lemah dan tidak beruntung.

Mereka berusaha meneladani Nabi, sebagai orang yang paling dermawan dan paling banyak
berbuat baik dalam bulan Ramadhan, laksana angin yang tertiup.

Kelompok lain adalah, kelompok yang tidak pernah tahu dan sadar akan kebaikan Ramadhan.
Mereka tidak merasakan manfaat dari bulan Ramadhan. Mereka tidak peduli dengan shiam dan
qiyam. Mereka tidak tahu dan tidak mau tahu keutamaan dan keistimewaan Ramadhan.

Padahal Allah swt. menghidangkan Ramadhan bagi qalbu dan ruh –hati dan jiwa- sekaligus.
Sedangkan mereka malah menjadikan Ramadhan untuk memperturutkan syahwat perut dan mata
(tidur) semata.

Allah swt. menjadikan Ramadhan sebagai upaya menyemai sikap kasih sayang dan kesabaran.
Justeru mereka menjadikannya sebagai ajang amarah dan mengumpat.

Allah swt. menjadikan Ramadhan sebagai wahana meraih sakinah –ketentraman- dan keteduhan.
Mereka malah menjadikannya sebagai bulan pertengkaran dan perselisihan.

Allah swt. menjadikan Ramadhan sebagai momentum perubahan diri, namun mereka hanya
merubah jadwal makan belaka.

Allah swt. menghadirkan Ramadhan untuk menggugah si kaya agar peduli dengan yang tak
berpunya. Namun mereka menjadikannya sebagai ajang memperbanyak makanan dan minuman
dengan aneka ragamnya.

Semoga umat muslim melaksanakan shaum Ramadhan adalah dalam rangka meraih janji Allah
swt. taqwallah, bertaqwa kepada Allah swt. sebagaimana yang diperintahkan Al Qur’an, dengan
demikian mereka akan keluar dari Ramadhan menjadi orang-orang yang suci (fithri) dan dosanya
terhapuskan, biidznillah. Allahu a’lam

7 Spirit Kemenangan Ramadhan

183 ‫ن )البقرة‬
َ ‫ن َقْبِلُكْم َلَعّلُكْم َتّتُقو‬
ْ ‫ن ِم‬
َ ‫عَلى اّلِذي‬
َ ‫ب‬
َ ‫صَياُم َكَما كُِت‬
ّ ‫عَلْيُكُم ال‬
َ ‫ب‬
َ ‫ن َءاَمُنوا ُكِت‬
َ ‫(َياَأّيَها اّلِذي‬

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas
orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa (QS. Al Baqarah: 183).

Ayat ini menggambarkan urgensi ibadah puasa di bulan Ramadhan. Kata kutiba menunjukkan
makna bahwa ibadah puasa di bulan Ramadhan adalah wajib. Wajib karena itu kebutuhan fitrah
manusia. Allah swt. yang meciptakan manusia , Dialah yang lebih tahu hakikat fitrah ini. Dan
Dialah yang lebih tahu rahasia diwajibkannya puasa. Karena itu tidak ada pilihan lain bagi
manusia kecuali harus berpuasa. Karena itu pula Allah berfirman: kamaa kutiba ‘alalladziina
min qablikum. Artinya bahwa manusia terdahulu juga diwajibkan berpuasa.

Sudah pasti bahwa Allah swt. tidak mungkin mensyari’atkan sesuatu yang tidak ada gunanya.
Sebab Allah swt. Maha Bijak, Allah berfirman: alaisallahu bi ahkamil haakimiin. Sudah pasti
bahwa semua ibadah yang Allah swt. ajarkan jika benar-benar dilaksanakan oleh manusia, akan
membawa manfaat yang agung bagi manusia itu sendiri. Dalam berbagai peristiwa sejarah di
zaman Rasulullah saw. kita selalu membaca bahwa kemenangan demi kemenangan justru terjadi
di saat-saat umat sedang berpuasa di bulan Ramadhan. Ada apa dengan Ramadhan? Inilah alasan
mengapa tulisan ini secara khusus akan mengungkap rahasia kemenangan dan hubungannya
dengan Ramadhan. Setidaknya ada tujuh spirit kemenangan Ramadhan yang bisa diangkat dalam
tulisan ini:

Pertama, Kemenangan Atas Nafsu


Dalam kata ashiyam pada ayat di atas terkandung makna alhabsu artinya menahan. Seorang
yang berpuasa pasti sedang menahan nafsu dengan segala dimensinya. Bukan hanya nafsu
makan dan minum, melainkan juga nafsu hubungan seks dan nafsu memandang yang haram.
Perhatikan diri anda ketika sedang berpuasa. Apa yang anda tahan? Bukankah anda sedang
menahan diri dari yang halal? Makan dan minum itu halal bagi anda. Berhubungan seks dengan
istri anda itu juga halal. Tetapi anda tahan. Dan anda mampu menahannya. Apa makna semua
ini? Di sini nampak bahwa anda sedang bertarung dengan nafsu anda. Anda sedang berusaha
mengendalikannya. Sekalipun nafsu itu meronta-ronta memanggil anda untuk makan di siang
hari yang panas, anda tetap mengendalikannya sampai tiba adzan maghrib. Bila ternyata anda
mampu melakukan ini, sungguh tidak ada alasan bagi anda untuk terjatuh kepada yang haram,
hanya karena godaan nafsu.

Tapi sayangnya banyak orang yang hanya menjadikan puasa sekedar ritual yang mati. Mati
karena hakikat puasa yang sebenarnya untuk menahan nafsu, ternyata itu hanya dilakukan di
bulan Ramadhan saja. Begitu habis Ramadhan, tidak sedikit dari mereka yang tadinya berpuasa
kembali merasa bebas untuk berbuat dosa. Akibatnya puasa Ramadhan tidak membawa makna
apa-apa bagi hidupnya. Ibarat seorang yang makan, begitu makanan di telan setelah itu
dimuntahkan lagi. Tentu cara hidup berIslam seperti ini tidak akan memberi buah sama sekali
bagi kehidupan ruhaninya. Karena itulah makna puasa yang seharusnya menjadi titik tolak
kemenangan atas hawa nafsu, itu harus tetap dipertahankan sepanjang hayat, sebab hanya
demikian hakikat ritual akan menjadi seperti air yang disiramkan terhadap sebuah pohon. Maka
pohon itu akan menjadi tumbuh subur, akarnya menghunjam ke bumi dan tangkainya menjulang
ke langit. Setiap orang yang berteduh dibawahnya tidak hanya akan merasa sejuk melainkan juga
akan merasa aman dengan rindangnya.

Kedua, Kemenangan Atas Setan

Dalam sebuah riwayat dikatakan bahwa ketika tiba Ramdhan, syetan-syetan diikat. Nabi saw.
bersabda: “Bila Ramadhan tiba, pintu-pintu surga dibuka, dan pintu-pintu neraka ditutup,
sementara syetan-syetan diikat.” (HR. Bukhari-Muslim). Ini menunjukkan bahwa iman umat
Islam di bulan Ramadhan harus meningkat. Karena itu kita selalu menemukan suasana yang
berbeda di bulan Ramadhan. Orang yang tadinya malas shalat berjemaah di masjid, selama
Ramadhan ia rajin ke masjid. Orang yang tadinya tidak pernah membaca Al Qur’an, selama
Ramadhan selalu membacanya. Orang yang tadinya kikir bersedekah, selama Ramadhan menjadi
dermawan. Orang yang tadinya tidak pernah bangun waktu fajar, selama Ramadhan selalu
bangun fajar dan shalat subuh berjemaah di masjid. Orang yang tadinya tidak pernah shalat
malam, selama Ramadhan rajib shalat malam. Orang yang tadinya mempertontonkan aurtanya,
selama Ramadhan menjadi wanita anggun di balik jilbab yang indah.

Suasana seperti ini menggambarkan betapa Ramadhan benar-benar membawa keberkahan bagi
umat Islam. Terasa bahwa syetan benar-benar diikat. Syetan tidak bisa bergerak secera leluasa.
Mengapa? (a) Nabi saw.: wash shawmu junnatun (puasa adalah penangkal dari dosa dan api
neraka). Lalu nabi melanjutkan : “Maka ketika kalian berpuasa hendaklah jangan berkata kotor
dan tidak mengumpat. Bila ada orang mencaci katakan kepadanya: maaf aku sedang
berpuasa…” (HR. Bukhari-Muslim) (b) Karena nafsu selama bulan puasa dikendalikan. Begitu
nafsu terkendali syetan tidak punya jaringan untuk bergerak. Begitu jaringanya menjadi sempit,
amal-amal shaleh meningkat di mana-mana. Begitu amal shaleh meningkat otomatis iman akan
naik. Sayangnya pemandangan ini hanya berlangsung sekejap. Selama bulan Ramadhan saja.
Setelah itu kehidupan yang penuh kemenangan kembali lenyap dalam gelora nafsu. Dosa-dosa
kembali dilakukan di mana-mana tanpa merasa takut sedikit pun. Jika memang demikian,
benarkah kemenangan atas syetan selama Ramadhan adalah kemenangan sejati? Sampai kapan
umat ini akan terus berpura-pura kepada Allah swt., menjadi hanya seorang muslim yang baik di
bulan Ramadhan saja?

Ketiga, Pahala Dilipatgandakan


Dalam sebuah hadist Rasulullah saw. bersabda: “Setiap amal anak Adam -selama Ramadhan-
dilipatgandakan menjadi sepuluh kali lipat, bahkan sampai tujuh ratus kali lipat. Kecuali puasa,
Allah berfirman: Puasa itu untuk-Ku, dan Aku langsung yang akan memberikan pahala
untuknya.” (HR. Muslim). Maksudnya bahwa pahala puasa bukan hanya dilipatgandakan
melainkan lebih dari itu, Allah swt berjanji akan memberikan pahala tanpa batas. Bayangkan
berapa pahala yang akan didapat seseorang sepanjang hari berpuasa, bersedekah, menegakkan
amal-amal wajib lalu dilanjutkan dengan amal-amal sunnah. Di mana semua itu dilipatgandakan
tujuh ratus kali lipat.

Bagaimana jika seorang muslim membaca Al Qur’an dalam sehari lebih dari satu juz. Rasulullah
saw. menerangkan bahwa pahala membaca Al Qur’an hitungannya perhuruf. Setiap huruf satu
kebaikan, dilipatgandakan menjadi sepuluh kali lipat sampai tujuh ratus kali lipat. Itulah rahasia,
mengapa para ulama terdahulu begitu masuk Ramadhan mereka belomba-lomba
mengkhatamkan Al Qur’an tanpa batas. Ada yang mengkhatamkan sehari sekali. Ada yang
sehari dua kali. Yang selalu saya baca dalam manaqib Imam Syafi’ie adalah bahwa ia selalu
mengkhatamkan Al Qur’an selama Ramadhan 60 kali khatam. Apa yang menarik di sini bukan
logis atau tidaknya, melainkan kesungguhan mereka dalam mengkhatamkan Al Qur’an. Itulah
spirit yang harus kita ambil. Bahwa akan menilai amal shaleh kita dari segi kwantitas melainkan
dari usaha maksimal yang kita lakukan. Inilah makna ayat: “Fattaqullaha mas tatha’tum (maka
bertaqwalah kepada Allah semaksimal kemapuanmu)” (QS. At Taghabun:16)

Keempat, Dosa-Dosa Diampuni

Minimal ada tiga ibadah dalam Ramadhan yang secara tegas Rasulullah saw. mengkaitkan
dengan ampunan dosa-dosa terdahulu: Pertama, ibadah puasa. Nabi saw. bersabda: “Man
shaama Ramadhaan iimaanan wah tisaaban ghufira lahu maa taqaddama min dzambihi. (Siapa
yang berpuasa Ramadhan dengan kesadaran iman dan penuh harapan ridha Allah, akan
diampuni semua dosa-dosa yang lalu.” (HR. Bukhari-Muslim). Kedua, ibadah shalat malam
(baca: tarawih). Nabi saw. bersabda: “Man qaama Ramadhana iimaanan wah tisaaban ghufira
lahu maa taqaddama min dzambihi. (Siapa yang menegakkan shalat malam Ramadhan dengan
kesadaran iman dan penuh harapan ridha Allah, akan diampuni semua dosa-dosa yang lalu.”
(HR. Bukhari-Muslim). Ketiga, Ibadah shalat malam lailatul qadr. Nabi saw. bersabda: “Man
qaama lailatal qadri iimaanan wah tisaaban ghufira lahu maa taqaddama min dzambihi. (Siapa
yang menegakkan shalat malam pada malam lailatul qadr dengan kesadaran iman dan penuh
harapan ridha Allah, akan diampuni semua dosa-dosa yang lalu.” (HR. Bukhari-Muslim).

Perhatikan ketiga hadits di atas, betapa ibadah Ramadhan yang akan menjadi penyebab ampunan
dosa bukan hanya puasa, melainkan ada juga ibadah shalat malam sepanjang Ramadhan
termasuk pada malam lailatul qadr. Tetapi sayangnya banyak orang Islam hanya mengambil
puasanya saja, sementara ibadah-ibadah lain yang tidak kalah pentingnya dengan puasa
diabaikan. Akibatnya tujuan Ramadhan yang sebenarnya merupakan bulan ampunan dosa, tidak
tercapai secara maksimal. Banyak orang beralasan sibuk mencari nafkah dan lain sebaginya,
sehingga tidak sempat memaksimalkan semuanya itu. Perhatikan Rasulullah saw. sekalipun hari-
harinya sibuk berdakwah, pada bulan Ramadhan masih menambah lagi amal-amal ibadah yang
melebihi hari-hari biasanya. Apakah cukup dengan hanya beralasan bahwa mencari nafkah juga
ibadah, lalu mengabaikan membaca Al Qur’an, shalat malam dan lain sebagainya?

Kelima, Doa-doa Dikabulkan

Seorang yang sedang berpuasa doanya mustajab. Sebab ia sedang dalam kondisi menahan nafsu.
Syetan-syetan tidak mendekatinya. Karenanya ia lebih dekat kepada Allah swt. Ketika ia dalam
kondisi sangat dekat kepada Allahswt., maka doanya akan mudah diterima. Karena itu Nabi saw.
menganjurkan agar orang-orang yang sadang berpuasa banyak-banyak berdoa. Para ulama
mengatakan: Disunnahkan bagi orang yang sedang berpuasa selalu mengucapkan dzikir,
memanjatkan doa, sepanjang hari selama berpuasa. Sebab puasa membuat pelakunya semakin
dekat kepada Allah swt. Orang-orang yang dekat kepada Allah swt. doanya mustajab.
Berdzikir dan berdoa selama puasa memang sangat dianjurkan sepanjang hari. Tetapi berdzikir
dan berdoa pada saat menjelang buka puasa sangat ditekankan dan diutamakan. Nabi saw.
bersabda: “Orang yang berpuasa doanya tidak ditolak, terutama menjelang berbuka.” (HR. Ibn
Majah, sanad hadits ini sahih). Ibn Umar ra. meriwayatkan bahwa Nabi saw. menjelang buka
puasa selalu berdoa: “Dzahabazh zhomau wabtallatil ‘uruuq watsabatil ajru insyaa allahu
ta’aalaa. (Dahaga telah pergi, kerongkongan telah basah, semoga Allah memberikan pahala).
Abdullah bin Amru ra. selalu membaca doa berikut ini sebelum buka puasa: “Allahumma
as’aluka birohmatikallati wasi’at kulla syai’ antaghfira lii dzunuubii. (Ya Allah aku mohon
kepada-Mu dengan rahmat-Mu yang mencakup segala sesuatu, agar Kau ampuni aku.”

Imam At Tirmidzi meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Hurairah, Nabi saw. bersabda: “Tiga
orang yang doanya tidak pernah ditolak: Pemimpin yang adil, seorang yang sedang berpuasa
sampai ia berbuka, orang yang dizholimi.” Jelasnya bahwa selama puasa Ramadhan iman
hamba-hamba Allah swt. sedang naik, mereka selalu bangun malam menegakkan shalat, mereka
selalu membaca Al Qur’an, mereka selalu bersedekah, mereka jauh dari dosa-dosa, mereka
bertobat minta ampunan kepada Allah swt. dan sebagianya. Semua itu merupakan suasana yang
dukung-dukung membuat turunnya keberkahan dari Allah swt. Semakin banyak keberkahan
yang turun semakin mudah doa yang kita panjatkan dikabulkan oleh Allah swt.

Keenam, Raih Lailatul Qadr

Dalam surah Al Qadr: 3-5 Allah swt. menerangkan keagungan malam lailatul qadr: “Malam
kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan
malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh)
kesejahteraan sampai terbit fajar.” Inilah malam yang sangat Allah swt. agungkan. Pada malam
lailatul qadr ini Allah swt. pernah menurunkan Al Qur’an. Bukan hanya itu, setiap malam
lailatul qadr Allah memberikan kesempatan kepada hamba-hamba-Nya untuk menutupi
kekurangan masa lalunya dengan beribadah menegakkan shalat, berdzikir dan membaca Al
Qur’an. Bayangkan pahalanya khsusus dan luar biasa. Tidak bisa dibandingkan dengan pahala
beribadah selama 1000 bulan. Kata khirun pada ayat di atas menunjukkan makna lebih baik,
bukan sama. Perhatikan betapa keutamaan ibadah pada malam lailatul qadr hendaklah diraih
dengan sungguh-sungguh.

Perhataikan kata khairun min alfi shahrin (lebih baik dari seribu bulan). Imam Ibn Katsir dalam
tafsirnya, pernah melakukan hitung-hitungan tentang hakikat seribu bulan itu. Beliau
mengatakan: 1000 bulan = 84 tahun 3 bulan. Saya mencoba merenungkan hakikat ini. Saya
menemukan betapa angka tersebut menggambarkan usia terpanjang rata-rata manusia. Artinya,
bila kita pikir-pikir ayat tersebut, kita akan segera mengambil kesimpulan bahwa beribadah pada
malam lailatul qadr masih lebih hebat pahalanya dibanding dengan pahala ibadah sepanjang
hidup. Tetapi maksudnya di sini bukan lantas mencukup dengan ibadah pada malam lailatul
qadr kalau setelah itu tidak beribadah sepanjang hayat? Ini salah. Itu maksudnya adalah (a)
bahwa kita secara normal menyadari bahwa masih banyak ibadah yang kurang maksimal, atau
bahkan sangat kurang. Perlu adanya back up pahala, untuk menutupi kekurangan-kekurangan itu.
(b) Kita seharusnya -selama hidup- selalu beribadah kepada Allah swt. untuk menutupi nikmat-
nikmat-Nya yang tidak pernah putus. Tetapi karena kesibukan yang demikian banyak, serta
kelemahan iman yang kita punya, tentu banyak kondisi yang tidak bisa dipenuhi. Allah swt. yang
Maha Pengasih memberikan peluang agar kita bisa mengimbangi nikmat-nikmat tersebut.
Karenanya dibukalah malam lailatul qadr.

Rasulullah saw. memberikan tuntunan agar lailatul qadr itu diburu pada sepuluh malam terakhir
Ramadhan. Terutama malam-malam ganjil: 21, 23, 25, 27, 29. Banyak para sahabat dan para
ulama yang menekankan secara khusus malam tangga 27 Ramadhan. Tetapi demikian, mereka
menganjurkan agar tidak mencukupkan hanya dengan malam tanggal 27 saja. Sebab tidak
mustahil malam lailatul qadr itu akan terjadi pada malam-malam lainnya. Karena itu handaknya
seorang hamba Allah swt. selalu bangun setiap malam. Karena tidak ada yang tahu pasti kapan
dan tanggal berapa sebenarnya lailatul qadr itu terjadi. Karena itu sebagian sahabat mengatakan:
Siapa yang yang bangun menegakkan shalat setiap malam sepanjang tahun ia pasti dapat
keistimewaan lailatul qadr.

Sebenarnya lailatul qadr ini adalah suatu kesempatan yang sangta istimewa dan sangat mahal.
Seharusnya setiap orang yang beriman bersungguh-sungguh untuk meraihnya. Seharusnya
mereka sejak dini sudah bersiap-siap dengan segala daya upaya untuk mendapatkannya. Seperti
mereka berdaya upaya untuk meraih medali dalam sebuah olimpiade. Seharusnya mereka
menyesal seumur hidupnya ketika tidak terlibat dalam perlombaan ini. Padahal Allah swt. telah
berfirman: “Fastabiqul khairaat (berlomba-lombalah kalian dalam kebaikan.” (QS. Al
Baqarah:148). Tetapi sayangnya banyak orang beriman tidak tertarik dengan perlombaan.
Bahkan banyak dari mereka yang cuek dan tidak terpanggil untuk mempersiapkan diri supaya
mendapatkannya. Pun tidak sedikit yang tidak menyesal karena tidak kebagian keberkahannya.
Apakah mereka telah merasa kebanyakan pahala, sehingga merasa cukup dengan pahala amal
yang selama ini mereka kerjakan? Coba pikirkan seberapa persenkah pahala yang kita dapatkan
dibanding dengan pahala para sahabat Nabi saw.? Nabi saw. bersabda: “Janganlah kau
mengejek sahabat-sahabatku, demi Allah seandainya kau infakkan emas sebasar gunung Uhud,
pahala yang kau dapatkan itu tidak akan mencapai segenggam atau separuhnya dari pahala
yang mereka dapatkan.” Perhatikan sedemikian agungnya pahala para sahabat itu, itu pun
mereka masih berlomba-lomba meraih malam lailatul qadr.

Ketujuh, Kejar Level Taqwa

Ayat tentang puasa di atas, ditutup dengan la’allakum tattaquun (agar kamu bertaqwa). Artinya
bahwa tujuan utama puasa Ramadhan adalah untuk membangun kesadaran taqwa dalam pribadi
seorang muslim. Taqwa seperti yang dikatakan Ubay bin Ka’ab ra. kepada Umar bin Khaththab
adalah: “Bahwa orang yang betaqwa itu seperti orang berjalan di tempat yang banyak durinya.
Kanan-kiri, bawah-atas ada duri.” Bayangkan apa yang dia lakukan? Tentu ia sangat berhat-
hati, jangan sampai duri itu menggores tubuhnya. Begitu juga taqwa. Anda berhati-hati dari
pandangan yang haram seperti anda berhati-hati dari duri, itu taqwa. Anda berhat-hati dari harta
haram, jangan sampai barang itu masuk ke perut anda, atau ke perut istri dan anak anda, seperti
anda berhati-hati dari duri, itu takwa. Anda berhati-hati dari dosa-dosa kecil apalagi besar seperti
anda berhat-hati dari duri, itu taqwa.

Perhatikan betapa taqwa merupakan totalitas kehati-hatian seorang hamba dalam menjalankan
ketaatan kepada Allah swt., jangan sampai sedikit pun dari apa yang dia lakukan dimurkai Allah
swt. Itulah rahasia mengapa Allah swt. mengikat pada ayat di atas antara puasa (ash shiyam)
dengan taqwa. Sebab ketika seseorang berpuasa dia telah mengendalikan nafsunya. Dan hanya
dengan mengendalikan nafsu, seseorang secara bertahap akan naik ke level taqwa. Karena itu
dalam Al Qur’an masalah taqwa merupakan tema sentral. Katika Allah swt. menceritakan
pedihnya siksaan neraka itu sebenarnya supaya orang bertaqwa. Allah berfirman: “Hai orang-
orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya
adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak
mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu
mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At Tahrim: 6). Begitu juga ketika Allah swt.
menceritakan keindahanya surga dan kelezatan makanan dan minuman di dalamnya, itu tidak
lain supaya manusia bertaqwa.

Lebih dari itu, banyak ayat dalam Al Qur’an yang menekankan pentingnya bersikap taqwa: (a)
Di pembukaan surah Al Baqarah, Allah swt. langsung menceritakan sifat-sifat orang yang
bertaqwa. (b) Dalam surah Ali Imran:133, Allah swt. menegaskan bahwa surga dipersipakan
untuk mereka yang bertaqwa: “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan
kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang
bertakwa.” (c) Dalam surah Al Hujuraat: 3, Allah swt. menunjukkan bahwa paling mulainya
manusia adalah orang-orang yang paling bertaqwa. (d) Dalam surah Al Qashash:83, Allah swt.
menerangkan bahwa kemenangan itu hanya milik orang-orang yang betaqwa: “Negeri akhirat
itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat
kerusakan di (muka) bumi. Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang
bertakwa.” Dalam surah Al Qalam:34, lagi-lagi Allah menceritakan indahnya surga yang
dipersipakan untuk mereka yang bertaqwa: “Sesungguhnya bagi orang-orang yang bertakwa
(disediakan) surga-surga yang penuh kenikmatan di sisi Tuhannya.”

Penutup

Jelasnya, Ramadhan adalah nikmat agung, sekaligus tamu agung yang datang setahun sekali. Di
dalamnya banyak kesempatan bagi orang-orang beriman untuk meningkatkan iman dan
mencucikan dosa-dosa dengan memohon ampun kepada Allah swt. tidak hanya puasa, banyak
ibadah Ramadhan yang diajarkan Allah swt. dan Rasul-Nya yang tidak kalah pentingnya dengan
ibadah puasa. Seperti ibadah shalat malam, i’tikaf, banyak bersedekah, mengkhatamkan Al
Qur’an dan lain sebagainya. Siapa yang bersungguh-sungguh melaksanakan semua itu,
kemenangan pasti akan dia capai. Sebaliknya siapa yang mengabaikan semua itu, dia sendiri
yang rugi. Ingat bahwa tidak ada yang bisa menjamin bahwa seseorang bisa hidup sampai ke
Ramadhan tahun depan. Karena itu, ketika ternyata kita diberi kesempatan memasuki Ramadhan
tahun ini, janganlah sekali-kali disia-siakan. Segeralah bergegas untuk beramal. Segeralah
bersungguh-sungguh untuk menggunakan kesempatan ini secara maksimal. Semoga Allah swt.
menerima amal kita semua. Amiin. Wallahu a’lam bishshawab.

8 Proyek Sukses Ramadhan

Muslim yang cerdas mengetahui bagaimana caranya meraih berkah, manfaat dan kebaikan bulan
Ramadhan. Dalam setiap hari, jam, menit dan detiknya. Untuk meraih hal demikian dibutuhkan
proyek yang harus dilaksanakan setiap muslim dalam mewujudkannya di bulan mulia ini.
Dengan proyek ini, diharapkan bisa dievaluasi sejauh mana efektivitas ibadah Ramadhan
berdampak pada peningkatan keimanan dan keshalehan.

Di antara proyek itu adalah :

Pertama, Proyek Jutaan Kebaikan Ramadhan

Adalah dengan Anda membaca Al Qur’an tiga Juz satu hari. Imam At Tirmidzi dalam hadits
Hasan Shahih dari Abdullah bin Mas’ud ra. meriwayatkan, Rasulullah saw. bersabda:

‫ َوِمييٌم‬،‫ف‬
ٌ ‫حيْر‬
َ ‫ َوَلٌم‬،‫ف‬
ٌ ‫حيْر‬
َ ‫ف‬
ٌ ‫ن َأِلي‬
ْ ‫ َوَلِكي‬،‫ف‬
ٌ ‫حيْر‬
َ ‫ ألييم‬:‫ َل َأُقييوُل‬،‫شِر َأْمَثاِلَها‬
ْ ‫سَنُة ِبَع‬
َ ‫ح‬
َ ‫ َواْل‬،‫سَنٌة‬
َ ‫ح‬
َ ‫ل َفَلُه‬
ِّ ‫ب ا‬
ِ ‫ن ِكَتا‬
ْ ‫حْرًفا ِم‬
َ ‫ن َقرََأ‬
ْ ‫” َم‬
.“ ‫ف‬ ٌ ‫حْر‬َ

“Barangsiapa membaca satu huruf dari kitabullah, baginya satu kebaikan, dan satu kebaikan
dilipatgandakan sepuluh kali lipat. Saya tidak mengatakan alif lam mim itu satu huruf, namun
alif satu huruf, lam satu huruf, dan mim satu huruf.”

Sederhananya kita bisa katakan: satu juz Al qur’an kira-kira berjumlah 7000 huruf x satu huruf
dengan 10 kebaikan x pahala 70 kewajiban = 4.900.000 (empat juta sembilan ratus ribu)
kebaikan. Anda bisa membaca satu juz dalam waktu kira-kira 40 menit paling lama.

Jika Anda mampu mengkhatamkan Al Qur’an satu kali saja di bulan Ramadhan, maka Anda
biidznillah meraih 147 juta kebaikan. Jika Anda mengkhatamkan tiga kali : 147 x 3 = 441 juta
kebaikan, padahal Allah swt. melipat gandakan pahala kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya.

Kedua, Proyek Terhindar dari Neraka dan Penyakit Nifaq

Proyek ini akan Anda raih dengan selalu menjaga shalat lima waktu di masjid dengan
mendapatkan takbiratul ihram awal imam. Sebagaimana sabda Rasulullah saw.:

. ”‫ق‬
ِ ‫ن الّنَفا‬
َ ‫ن الّناِر َوَبَراَءٌة ِم‬
َ ‫ َبَراَءٌة ِم‬،‫ن‬
ِ ‫ت َلُه َبَراَءَتا‬
ْ ‫ك الّتْكِبيَرَة اُلوَلى ُكِتَب‬
ُ ‫عٍة ُيْدِر‬
َ ‫جَما‬
َ ‫ن َيْوًما ِفي‬
َ ‫ل َأْرَبِعي‬
ِّ ‫صّلى‬
َ ‫ن‬
ْ ‫“َم‬
“Barangsiapa yang shalat karena Allah empat puluh hari secara berjama’ah dengan
mendapatkan takbiratul ihram pertama imam, maka ia dipastikan akan terhindar dari dua hal:
terhindar dari api neraka dan terhindar dari penyakit nifaq atau munafiq.”

Seorang generasi Tabi’in, Said bin Al Musayyib berkata:

“Tidaklah seorang muadzin mengumandangkan adzan selama tiga puluh tahun, kecuali saya
sudah berada di dalam masjid.”

Ketiga, Proyek 30 Kali Haji dan Umrah

Yaitu dengan menunggu di masjid setelah shalat berjama’ah Subuh sampai terbit matahari
dengan melakukan shalat dua rekaat Dhuha. Imam At Tirmidzi meriwayatkan dengan hadits
Hasan bahwa Rasulullah saw. bersabda:

،‫ تام يّة‬،‫ كانت له كأجر حجة وعمرة تام يّة‬،‫ ثم صلى ركعتين‬،‫” من صلى الفجر في جماعة ثم قعد يذكر ال حتى تطلع الشمس‬
.” ‫تامّة‬

“Barangsiapa yang shalat Shubuh berjama’ah kemudian ia duduk berdzikir kepada Allah
sampai terbit matahari, kemudian ia melaksanakan shalat dua rakaat, maka baginya seperti
pahala haji dan umrah, sempurna, sempurna, sempurna.”

Keempat, Proyek Do’a Tak Tertolak

Dengan cara melaksanakan seruan Allah swt. “Dan Tuhan kalian berfirman: Berdo’alah
kepada-Ku, Pasti Aku kabulkan permintaan kalian.” Ghafir:60

Dan hadits Nabi saw.:

‫ ودعوة المظلوم يرفعها ال فوق الغمييام وتفتيح لهييا أبيواب السييماء‬،‫ والمام العادل‬،‫ الصائم حتى يفطر‬:‫“ثلثة ل ترد دعوتهم‬
(‫ وعزتي وجللي لنصرنك ولو بعد حين ” )رواه أحمد والترمذي‬:‫ويقول الرب‬

“Tiga kelompok yang tidak akan ditolak do’anya: Orang yang berpuasa sampai ia berbuka.
Pemimpin yang adik. Dan do’a orang yang teraniaya. Allah menyibak awan dan membuka
pintu-pintu langit seraya berfirman: “Demi kemulian-Ku dan keagungan-Ku, pasti Aku tolong
kamu, walau setelah beberapa waktu.” Ahmad dan At Tirmidzi

Maka khususkan Anda berdo’a dalam setiap hari sepertiga jam (20 menit) sebelum buka puasa.
Anda menyibukkan diri dengan dirimu sendiri, menghadap kiblat, Anda angkat kedua tangan ke
langit, memohon kepada Tuhanmu dengan penuh ikhlas, rendah diri, penuh harap dan
penerimaan. Kalau perlu Anda menyiapkan runtutan do’a yang akan Anda baca. Anda berdo’a
untuk diri Anda, keluarga Anda, teman Anda serta umat muslim yang tertindas seperti di
Palestina, Iraq, dan Afghanistan dan setiap penjuru umat muslim.

Kelima, Proyek 90 Rumah di Surga

Imam Muslim meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda:

.“ ‫” ما من عبد مسلم يصلي ل تعالى كل يوم اثنتي عشرة ركعة تطوعًا غير الفريضة إل بنى ال له بيتًا في الجنة‬

“Tidaklah seorang hamba muslim yang melaksanakan shalat karena Allah setiap hari
berjumlah 12 rakaat sunnah selain yang wajib, kecuali Allah membangunkan baginya rumah di
surga.”

Ini artinya Anda shalat sunnah sehari semalam 37 rakaat selain shalat wajib. Cara
pelaksanaannya demikian:
• Menjaga melaksanakan shalat sunnah 12 rakaat
• Melaksanakan shalat tarawaih dan witir minimal 11 rakaat
• Melaksanakan shalat sunnah lainnya, seperti:
1. Shalat Dhuha 4 rakaat
2. Shalat tahiyatal masjid 2 rakaat minimal
3. Shalat 2 rakaat setiap kali selesai berwudhu
4. Shalat sunnah qabla Ashar 4 rakaat jika berkenan

Jumlahnya 37 rakaat, jumlah ini sepadan dengan 3 rumah di surga setiap hari, atau 90 rumah
sepanjang bulan.

Keenam, Proyek Penghapusan Dosa

Dengan cara menunaikan umrah dan berziarah ke dua kota suci: Makkah dan Madinah.
Diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim bahwa Rasulullah saw. bersabda:

.“ ‫“العمرة إلى العمرة كفارة لما بينهما إذا اجُتنبت الكبائر‬

“Dari umrah satu ke umrah yang lain, menghapus kesalahan antara waktu keduanya, jika tidak
melakukan dosa besar.”

Apalagi umrah di bulan Ramadhan yang memiliki pahala khusus, Rasulullah saw. bersabda:

”‫ “حجة معي‬:‫“عمرة في رمضان تعدل حجة” أو قال‬

“Umrah di bulan Ramadhan sebanding dengan haji.” Dalam riwayat yang lain: “Sebanding
haji bersamaku.” Bukhari dan Muslim

Ketujuh, Proyek Rumah Masa Depan

Dengan cara Anda membagi anggota keluarga dalam semalam menjadi beberapa kelompok. Satu
orang di antara mereka berjaga satu jam, kemudian membangunkan orang sesudahnya, ia
bergantian untuk tidur. Buatlah jadwal dan pasang di dinding. Sehingga dengan demikian
anggota keluarga sebenarnya shalat semalam suntuk di rumah. Betapa besar keutamaan dan
kemuliaan yang akan diraih. Allah berfirman:

“Dan sebagian malam, maka shalat tahajuddlah sebagai ibadah nafilah kamu. Mudah-mudahan
Allah membangunkan bagimu tempat yang terpuji.” Al Isra’:79

Anas bin Malik ra membagi malamnya menjadi tiga bagian: Ia bangun dan shalat di sepertiga
malam awal. Kemudian ia membangunkan istrinya untuk shalat di sepertiga malam kedua.
Kemudian istrinya membangunkan putrinya satu-satunya untuk melaksanakan shalat di sepertiga
akhir. Ketika istrinya meningggal, Anas membagi malamnya menjadi dua bagian: ia shalat
malam di separuh malam pertama, kemudian ia membangunkan putrinya untuk shalat malam di
separuh malam terkahir. Ketika Anas meninggal dunia, putrinya berjuang untuk menghidupkan
malam seluruhnya.

Kedelapan, Proyek Malam Sepanjang Umur

Yaitu dengan menghidupkan malam lailatul Qadar. Malam di mana Al Qur’an diturunkan di
dalamnya.

Semoga dengan khusus kami bisa ketengahkan kegiatan atau proyek merebut malam lailatul
qadar dalam tulisan berikutnya, insya Allah. Allahu a’lam. (dinukil dari artikel Dr. Al Hammadi)

8 Kemuliaan Ramadhan
Rasulullah saw. memberikan sambutannya menjelang Bulan Suci Ramadhan. “Wahai segenap
manusia, telah datang kepada kalian bulan yang agung penuh berkah bulan yang di dalamnya
terdapat satu malam yang nilainya lebih baik dari seribu bulan. Allah menjadikan puasa di siang
harinya sebagai kewajiban, dan qiyam di malam harinya sebagai sunnah. Barangsiapa
menunaikan ibadah yang difardukan, maka pekerjaan itu setara dengan orang mengerjakan 70
kewajiban.

Ramadhan merupakan bulan kesabaran dan balasan kesabaran adalah surga. Ramadhan
merupakan bulan santunan, bulan yang dimana Allah melapangkan rezeki setiap hamba-Nya.
Barangsiapa yang memberikan hidangan berbuka puasa bagi orang yang berpuasa, maka akan
diampuni dosanya, dan dibebaskan dari belenggu neraka, serta mendapatkan pahala setimpal
dengan orang yang berpuasa tanpa mengurangi pahala orang berpuasa tersebut.” (HR
Khuzaimah)

Sambutan Nabi Muhammad saw. ini merupakan teladan bagi umatnya dalam menghadapi
datangnya Bulan Ramadhan. Sambutan hangat penuh kegembiraan yang Beliau sampaikan
menunjukkan perlunya tarhib Ramadhan seperti khutbah Nabi ini ditradisikan kaum muslimin.
Jika ada satu momen dimana kepala negara menyampaikan pidatonya tentulah momen tersebut
bukan momen biasa. Itu sebuah program superpenting dengan momen paling istimewa.
Demikian pula dengan bulan Ramadhan yang penuh dengan keunggulan dan kemuliaan.

Dari hadits tersebut, Nabi kita menyebutkan 8 keistimewaan Ramadhan dibandingkan bulan-
bulan lainnya, yaitu:

1. Syahrun Azhim (Bulan Yang Agung)

Azhim adalah nama dan sifat Allah Ta’ala. Namun juga digunakan untuk menunjukkan
kekaguman terhadap kebesaran dan kemuliaan sesuatu. Sesuatu yang diagungkan Nabi tentulah
memiliki nilai yang jauh lebih besar dan sangat mulia dengan sesuatu yang diagungkan oleh
manusia biasa. Alasan mengagungkan bulan Ramadhan adalah karena Allah juga mengagungkan
bulan ini. Firman Allah, “Waman yu’azhim sya’iirillah fa-innahha mintaqwal quluub,
barangsiapa mengagungkan syiar-syiar agama Allah, maka itu datang dari hati yang bertakwa.”

Diagungkan Allah karena pada bulan inilah Allah mewajibkan puasa sebagai salah satu dari lima
rukun Islam. Allah Yang Maha Pemurah Penyayang menetapkan dan mensucikan bulan ini
kemudian memberikan segala kemurahan, kasih sayang, dan kemudahan bagi hamba-hamba
yang ingin mendekatkan diri kepada-Nya.

2. Syahrul Mubarak

Bulan ini penuh berkah, berdayaguna dan berhasil guna, bermanfaat secara maksimal. Detik
demi detik di Bulan Suci ini bagaikan rangkaian berlian yang sangat berharga bagi orang
beriman. Pasalnya semua perbuatan kita di saat berpuasa menjadi ibadah berpahala yang
balasannya langsung dari Allah. Amal baik sekecil apapun nilainya
dilipatgandakan sehingga kita menjadi puas dalam melakukannya.

Keberkahan Ramadhan oleh Nabi kita secara garis besar dibagi 3, yaitu 10 malam periode
pertama penuh rahmat Allah, 10 berikutnya diisi dengan ampunan (maghfirah), sedangkan di 10
malam terakhir merupakan pembebas manusia dari api neraka. Keberkahan yang Allah berikan
ini akan optimal jika kita mengelola waktu pendekatan diri kepada Allah sebagaimana arahan
Rasulullah saw.

3. Syahru Nuzulil Qur’an

Allah mengistimewakan Ramadhan sekaligus menyediakan target terbesar, yaitu menjadikan Al-
Qur’an sebagai pedoman hidup. Simaklah firman Allah dalam rangkaian ayat puasa, “Bulan
Ramadhan adalah bulan yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia,
penjelasan bagi petunjuk, dan furqan (pembeda).” (Al-Baqarah: 185)
Ayat di atas menjelaskan bahwa target utama amaliyah Ramadhan membentuk insan takwa yang
menjadikan Kitabullah sebagai manhajul hayat (pedoman hidup). Dapat dikatakan bahwa
Ramadhan tidak dapat dipisahkan dengan Al-Qur’an. Rasulullah saw. mendapatkan wahyu
pertama pada bulan Ramadhan dan di setiap bulan Ramadhan Malaikat Jibril datang sampai dua
kali untuk menguji hafalan dan pemahaman Rasulullah saw. terhadap Al-Qur’an. Bagi ummat
Muhammad, ada jaminan bahwa Al-Qur’an kembali nuzul ke dalam jiwa mereka manakala
mengikuti program Ramadhan dengan benar.

4. Syahrus Shiyam

Pada Bulan Ramadhan dari awal hingga akhir kita menegakkan satu dari 5 rukun (tiang) Islam
yang sangat penting, yaitu shaum (puasa). Kewajiban puasa sebagaimana kewajiban ibadah
shalat 5 waktu. Maka sebulan penuh seorang muslim mengkonsentrasikan diri untuk ibadah
sebagaimana dia mendirikan shalat Subuh atau Maghrib yang memakan waktu beberapa menit
saja. Puasa Ramadhan dilakukan tiap hari dari terbit fajar hingga terbenam matahari
(Magrib). Tidak cukup menilai dari yang membatalkannya seperti makan dan minum atau
berhubungan suami-istri di siang hari saja, tetapi wajib membangun akhlaqul karimah,
meninggalkan perbuatan maksiat dan yang makruh (yang dibenci Allah).

5. Syahrul Qiyam

Bulan Ramadhan menggairahkan umat Islam untuk menjalankan amalan orang-orang saleh
seperti sholat tahajjud dan membaca Al-Qur’an dengan benar di dalam shalat malamnya. Di
Bulan Ramadhan Kitabullah mengisyaratkan bahwa untuk mendapatkan ketinggian derajatnya
setiap mukmin sangat dianjurkan shalat tarawih dan witir agar di luar Ramadhan dia bisa terbiasa
mengamalkan qiyamullail.

6. Syahrus Sabr (bulan sabar)

Bulan Ramadhan melatih jiwa muslim untuk senantiasa sabar tidak mengeluh dan tahan uji.
Sabar adalah kekuatan jiwa dari segala bentuk kelemahan mental, spiritual dan operasional.
Orang bersabar akan bersama Allah sedangkan balasan orang-orang yang sabar adalah surga.

Sabar lahir bersama dengan segala bentuk kerja besar yang beresiko seperti dalam dakwah dan
jihad fi sabilillah. Ramadhan melatih muslim beramal islami dalam berjamaah untuk
meninggikan kalimat Allah.

7. Syahrul Musawwah (Bulan Santunan)

Ramadhan menjadi bulan santunan manakala orang-orang beriman sadar sepenuhnya bahwa
puasanya mendidik mereka untuk memiliki empati kepada fakir miskin karena merasakan lapar
dan haus sebagaimana yang mereka rasakan. Karena itu kaum muslimin selayaknya menjadi
pemurah dan dermawan. Memberi dan berbagi harus menjadi watak yang ditanamkan.

Segala amal yang berkaitan dengan amwal (harta) seperti zakat fitrah sedekah, infak, wakaf, dan
sebagainya, bahkan zakat harta pun sebaiknya dilakukan di bulan yang mulia ini. Memberi
meskipun kecil, bernilai besar di sisi Allah. Siapa yang memberi makan minum pada orang yang
berpuasa meskipun hanya seteguk air, berpahala puasa seperti yang diperoleh orang yang
berpuasa.

8. Syahrul Yuzdaadu fiihi Rizqul Mu’min

Bulan ini rezeki orang-orang beriman bertambah karena segala kemudahan dibuka oleh Allah
seluas-luasnya. Para pedagang akan beruntung, orang yang jadi pegawai dapat kelebihan
pendapatan dan sebagainya. Namun rezeki terbesar adalah hidayah Allah kemudian hikmah dan
ilmu yang begitu mudah diperoleh di bulan mulia ini.

Sisi Lain Ramadhan


Ramadhan mendorong hamba-hamba Allah swt untuk berpacu meningkatkan kuantitas dan
kualitas amal. Sekaligus untuk menghargai waktu dan memanfaatkan secara optimal tempat-
tempat yang di sukai Allah swt. Itulah tiga dimensi yang manusia pasti melalui, menghadapi, dan
mengalaminya dalam kehidupan mereka. Yaitu, dimensi ruang, dimensi waktu dan dimensi
perbuatan. Ketika manusia mampu mengendalikan ketiga dimensi tersebut, pastilah ia menjadi
orang yang sukses, bahagia di dunia dan akhirat. Dan Ramadhan mengkondisikan hamba-hamba
Allah swt. untuk mengendalikan tiga dimensi tersebut sekaligus secara efektif.

Dimensi Waktu

Saudaraku, Ramadhan menyuguhkan kepada kita waktu-waktu yang sangat mahal di mata Allah
swt. Adalah waktu sahur, waktu menjelang berbuka, waktu sepertiga malam, bahkan waktu-
waktu di saat manusia bero’da ketika kondisi shaum dikabulkan oleh Allah swt. Waktu dalam
pandangan Islam sangat urgen dan vital. Allah swt di banyak kesempatan dalam Al Qur’an
bersumpah dengan salah satu makhluk-Nya, yaitu waktu. Misalkan, Wal Ashri –Demi waktu
ashar-, Wal fajri –Demi waktu fajar-, Wadl dluha –Demi waktu dluha- dst. Ketika Allah swt
bersumpah dengan salah satu makhluk-Nya, maka para ahli tafsir sepakat bahwa objek sumpah
itu menjadi sangat penting dan berharga di mata Allah swt.

Dalam konteks Ramadhan pun disebut bilangan waktu, ayyaamam ma’dudaat –hari-hari yang
terhitung, terbatas- yang juga berarti penegasan untuk selalu memperhatikan waktu dan
kesempatan. Allah swt berfirman:

”Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas
orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (Yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu.”
(QS. Al Baqarah: 183-184)

Sehingga penyair Arab mengatakan: Anda adalah rangkaian dari hari-hari Jika lewat satu hari
Maka berkuranglah jatah umur Anda

Saudaraku, tabiat waktu tidak bisa berulang kembali, tidak bisa diputar kembali. Satu hari lewat
berarti itulah amal perbuatan yang Anda lakukan, tidak bisa diganti, ditambah, atau
disempurnakan di hari lain. Maka ketika fajar merekah, berarti Anda menjadi makhluk baru
untuk hari itu. Jatah umur ummat Muhammad adalah antara enam puluh sampai tujuh puluh
tahun. Bilangan yang tidak banyak, jika dibandingkan dengan umur ummat-ummat terdahulu
yang sampai ratusan bahkan ribuan tahun.

Namun kita bisa lebih unggul dalam hal nilai dan keberkahan usia dibanding mereka, ketika kita
mampu mengambil dan meraih keutamaan-keutamaan yang Allah swt suguhkan untuk kita,
diantaranya adalah meraih lailatul Qadar. Saudaraku, Ramadhan men-tarbiyah atau mendidik
kita untuk selalu menghargai jenak-jenak waktu kita. Hari, jam, menit dan detik untuk digunakan
sebanyak-banyak kebaikan dan kemanfaatan, sampai ajal menjelang. Dalam do’a yang ma’tsur
kita diajarkan Nabi saw. bermunajat ”Ya Allah, aku memohon kepada-Mu, agar Engkau
menjadikan sebaik-baik umur kami pada akhirnya.”

Dimensi Ruang

Setiap manusia berasal dari tanah yang suci, akan kembali ke tanah pekuburan, dan akan
dibangkitkan darinya di kemudian hari. QS. Al A’raf: 25. Nabiyullah Muhammad saw. dan
ummatnya memiliki kekhususan yang tidak dimiliki oleh ummat-ummat sebelumnya, yaitu
”Bumi dijadikan Allah swt sebagai tempat sujud –masjid- dan suci.” begitu sabda Rasulullah
saw.

Saudaraku, ketika manusia tidak bisa lepas dari dimensi ruang atau tempat ini, maka kita
dikondisikan untuk selalu dalam kebaikan. Kita dianjurkan untuk pindah tempat ketika
melaksanakan shalat sunnah misalkan, adalah dalam rangka agar tempat yang kita injak,
bersimpuh, bersujud menjadi saksi kebaikan kita di akhirat kelak.
Sebaliknya, bumi, ruang, tempat, dinding di kiri-kanan, dan atap diatas langitan pun akan
menjadi saksi perbuatan dosa atau maksiat. Barang mati itu akan dibuat berbicara oleh Allah swt
di akhirat kelak. Seorang penyair berucap:

Di atas bumi mana


Di bawah langit mana
Aku bisa bermaksiat?
Karena bumi dan langit
Akan menjadi saksi
Apa yang aku perbuat

Ramadhan secara tersirat juga mengkondisikan kepada kita agar kita pandai menghargai dan
mengoptimalkan ruang dan tempat yang di sukai Allah swt. Anjuran i’tikaf adalah dilakukan di
baitullah atau masjid. Allah swt juga sangat mencintai majelis-majelis ilmu, dzikir, dan majelis
taqarrub ilallah. Tempat kerja pun yang di dalamnya ditegakkan kejujuran, keteladanan, amanah,
dan juga untuk kesejahteraan keluarga besar setiap yang bernaung di tempat kerja itu, bahkan
untuk kepedulian sosial masyarakat adalah bagian dari yang disukai Allah swt.

Dimensi Perbuatan

Saudaraku, sanusia menjadi sukses atau bahagia bukan karena keturunan, karena jabatan, harta
melimpah, juga bukan karena memiliki pendukung yang banyak.

Lihatlah Rasulullah saw. Di malam-malam bulan Ramadhan membangunkan putra-putrinya,


Fatimah dan Ali radliyallahu ’anhum, dan dikatakan kepada mereka, ”Bangun, hidupkan malam
dengan taqarrub ilallah, karena aku tidak bisa menolong kalian di akhhirat kelak. Kalian semua
memiliki tanggung jawab sendiri-sendiri.” Yang menentukan sukses dan bahagia adalah amal
perbuatan. Allah swt menyediakan surga-Nya hanya bagi orang-orang yang beriman dan beramal
shalih. Karena sil’ah atau barang dagangan Allah swt itu sungguh sangat mahal. Ketahuilah,
bahwa barang dagangan Allah itu Jannah. Allah swt berfirman:

“Sesungguhnya orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan menyombongkan diri


terhadapnya, sekali-kali tidak akan dibukakan bagi mereka pintu-pintu langit dan tidak (pula)
mereka masuk surga, hingga unta masuk ke lubang jarum. Demikianlah kami memberi
pembalasan kepada orang-orang yang berbuat kejahatan. Mereka mempunyai tikar tidur dari
api neraka dan di atas mereka ada selimut (api neraka). Demikianlah kami memberi balasan
kepada orang-orang yang zalim, Dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal
yang saleh, kami tidak memikulkan kewajiban kepada diri seseorang melainkan sekedar
kesanggupannya, mereka Itulah penghuni-penghuni surga; mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al
A’raf: 40-42)

Saudaraku, Ramadhan begitu menjanjikan banyak bonus dan pahala. Amalan wajib
dilipatgandakan menjadi sepulu sampai tujuh puluh kali lipat. Amalan sunnah dihitung wajib.
Do’a diijabah. Baca Al Qur’an dilipatgandakan kebaikannya, satu huruf senilai sepuluh
kebaikan. Sedekah diterima. Memberi buka puasa mendapatkan pahala persis seperti orang yang
berpuasa tersebut. Berbuka puasa sendiri berpahala. Mengakhirkan sahur berpahala. Berjihad,
berdakwah, mencari ilmu, meringankan orang yang kesusahan dll. berpahala.

Semua kebaikan bernilai pahala. Sehingga dalam bahasa Nabi saw ”Pintu-pintu surga di buka
lebar-lebar”. Sedangkan peluang maksiat dan dosa tereduksi ”Pintu-pintu neraka ditutup rapat-
rapat.”

Saudaraku, sisi lain dari pesan Ramadhan kepada kita adalah bagaimana agar kita menjadi
pemenang dalam mengendalikan usia kita, keberadaan kita dan perilaku kita sehari-hari. Allahu
A’lam.
Ramadhan Cermin Keimanan

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan
atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (Al-Baqarah:183)

Panggilan untuk Mereka yang Beriman

Allah swt memanggil pada permulaan ayat di atas: yaa ayyuhalladziina aamanuu (hai orang-
orang yang beriman), ini bukan sembarang panggilan, sebab yang memanggil adalah Allah swt
Sang Pencipta alam semesta. Semua makhluk bergantung kepada-Nya. Tidak ada yang bisa
independen dari-Nya. Maka siapa yang mengaku diri sebagai hamba-Nya hendaknya segera
bergerak memenuhi panggilan ini. Allah swt dalam panggilan tersebut tidak menyebutkan
kriteria yang bersifat duniawi, dengan kata lain Allah tidak berfirman: yaa ayyuhal aghniyaa’
(hai orang-orang yang kaya), hai orang-orang yang berkedudukan tinggi dan lain sebagainya,
melainkan yang Allah swt panggil adalah mereka yang beriman saja, mengapa?

Di sini ada rahasia yang tersimpan, di antaranya:

(a) Bahwa dengan menyatakan keimanannya seseorang mampunyai posisi tersendiri dari sisi
Allah swt. Allah swt sangat bangga dengan hamba-Nya yang beriman. Karenanya Allah swt
undang mereka secara khusus. Di dalam Al-Qur’an undangan yaa ayyuhal ladziina aamanuu
selalu Allah swt ulang. Menggambarkan betapa yang Allah swt anggap sebagai hamba-Nya
hanya mereka yang beriman. Yang tidak beriman tidak termasuk sebagai hamba-Nya.

(b) Bahwa posisi keduniaan apapun megahnya bila tidak disertai iman, Allah swt tidak bangga
dengannya. Bahkan Allah swt sangat benci kepada seseorang yang setelah diberi kenikmatan
dunia, ia malah berbuat maksiat kepada-Nya. Ingat Allah swt berfirman:

”Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu dia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya
kesenangan, Maka dia akan berkata, “Tuhanku Telah memuliakanku”.

Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rizkinya Maka dia berkata, “Tuhanku
menghinakanku”. (Al-Fajr:15-16)

Disini nampak bahwa ukuran berhasil tidaknya seseorang bukan terletak pada kekayaan atau
kemiskinannya, melainkan terletak pada keimanannya. Karenanya yang Allah swt panggil pada
ayat di atas adalah mereka yang beriman. Sebab kaya dan miskin di mata Allah swt adalah ujian.
Apalah arti seorang kaya jika ia tidak beriman dan mentaati Allah swt, semua itu hanya kesia-
siaan. Sebaliknya sungguh sangat mulia seseorang sekalipun dalam posisi yang sangat miskin
tetapi ia beriman dan mentaati-Nya, dan ia akan tergolong mereka yang Allah swt panggil dalam
ayat di atas.

(c) Bahwa untuk melaksanakan ibadah puasa syaratnya harus beriman terlebih dahulu. Tanpa
iman ibadah puasa seseorang tidak diterima oleh Allah swt. Allah swt hanya mengakui ibadah
puasa hamba-Nya yang beriman. Karenanya dalam banyak hadits Rasulullah saw. Selalu
menyebutkan kata iimaanan wahtisaaban, untuk menunjukkan bahwa ibadah yang Allah swt
terima adalah berdasarkan iman dan harapan atas ridha-Nya.

Simaklah beberapa hadits berikut, ”Siapa yang berpuasa Ramadhan dengan penuh keimanan
dan harapan akan ridha-Nya, Allah akan mengampuni dosa-dosa yang telah lewat.” (HR.
Bukharai dan Muslim)

Dalam hadits lain, ”Siapa yang menegakkan shalat malam Ramadhan dengan penuh keimanan
dan harapan akan ridha-Nya, Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lewat.” HR.
Muslim. Lalu khusus mengenai shalat pada malam lailatul qadar Rasulullah saw bersabda:
”Siapa yang menegakkan shalat malam lailatul qadar dengan penuh keimanan dan harapan
akan ridha-Nya, Alllah akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lewat.” (HR. Bukhari dan
Muslim)

Dengan Iman Shaum Ramadhan Terasa Lezat

Setelah memanggil orang-orang beriman dengan yaa ayyuhalladziina aamanuu Allah swt
menegaskan: Kutiba ’alaikumush shiyaam (diwajibkan atasmu berpuasa), apa hubungan puasa
dengan iman?. Mengapa hanya orang beriman yang diwajibkan berpuasa? Apakah puasa
Ramadhan merupakan bukti keimanan seseorang?

Pertama, Ketika seseorang beriman kepada Allah swt, seharusnya ia sadar bahwa Allah swt
senantiasa bersama-Nya. Di dalam dirinya menggelora hakikat keagungan-Nya. Setiap disebut
nama-Nya hatinya bergetar, penuh ketakutan. Dalam surat Al-Anfal ayat 2 Allah swt berfirman,
”Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah
gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka
(karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal.” karenanya seluruh kegiatan
sehari-harinya selalu dalam rangka mentaati-Nya. Tidak ada perbuatan sekecil apapun yang ia
lakukan kecuali dengan petunjuk-Nya. Ia menjauh sama sekali dari apa saja yang disebut
kemaksiatan. Baginya kemaksiatan adalah bencana, yang tidak hanya menghancurkan harga
dirinya melainkan juga menjadi sumber malapetaka bagi kemanusiaan di muka bumi.

Kesadaran ini membuatnya sangat berhati-hati dalam bersikap, jangan sampai langkahnya
terjerumus dalam kemaksiatan. Sampai yang syubuhat (samar-samar) pun ia hindari, sebab dari
yang syubuhat akan lahir daya tarik kepada yang haram. Puasa adalah ibadah menahan diri dari
yang halal. Dari sini nampak betapa hakikat puasa adalah sebagai benteng supaya pelakunya
terhindar dari yang haram. Sebab kebiasaan menahan dari yang halal, akan membangun lapisan-
lapisan bemper yang menjaganya supaya tidak terjatuh kepada yang Allah swt haramkan.
Perhatikan betapa untuk menegakkan puasa, seseorang harus mempunyai iman. Karena hanya
iman yang jujur seseorang akan benar-benar merasakan lesatnya puasa. Tanpa kesadaran iman
puasa akan menjadi beban. Di saat orang-orang berbahagia dengan puasa, ia malah merasa
sempit hatinya dengan puasa.

Kedua, Ketika seseorang melakukan puasa, ia sedang berjuang menutup segala pintu yang
selama ini syetan selalu masuk darinya. Pintu nafsu makan ia tutup, di mana banyak orang
mengambil yang haram hanya karena nafsu makan. Pintu nafsu bermusuhan juga tutup, dimana
selama ini banya terjadi konflik saling menyakiti, saling menjatuhkan, saling mendzalimi,
bahkan tidak jarang saling membunuh di antara manusia adalah karena nafsu ini. Lidahnya ia
tahan dari perbuatan yang keji. Setiap ada oarang yang mengajaknya bertengkar, ia menjawab:
Maaf saya sedang berpuasa. Pintu nafsu seks pun ia tutup, di mana selama ini banyak orang
terjerembab dalam dosa-dosa karena nafsu ini.

Perhatikan betapa puasa mencerminkan hakikat perlawanan yang dahsyat seorang hamba Allah
swt terhadap syetan. Di dalam dirinya menggelora semangat untuk tidak tunduk kepada syetan,
kapanpun dan di manapun ia berada. Ia sadar bahwa syetan adalah musuhnya. Allah swt
berfirman, ”Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh bagimu, maka anggaplah ia musuh(mu),
karena sesungguhnya syaitan-syaitan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi
penghuni neraka yang menyala-nyala.” (Al-Fathir:6)

Ketika seseorang masuk ke medan pertarungan melawan syetan, berarti ia masuk ke dalam
pertempuran yang tidak akan pernah berakhir. Dalam rangka ini ia harus berbekal iman yang
kokoh. Sebab jika imannya lemah ia tidak bisa istiqamah.

Maka ketika Allah swt memanggil di awal yat ini: yaa ayyuhalladziina aamanuu, itu maksudnya
adalah orang-orang yang benar-benar jujur dalam imannya. Bukan orang-orang munafik yang
pura-pura beriman. Sebab tidak mungkin seseorang yang tidak jujur dalam imannya bisa
melaksanakan ibadah puasa dengan jujur. Dari sini nampak rahasia firman Allah swt dalam
hadits Qudsi:
”Semua amal anak Adam itu untuk dirinya kecuali puasa, itu untuk-Ku dan Aku akan
memberikan langsung pahalanya.” (HR. Bukhari)

Perhatikan betapa puasa merupakan bukti kejujuran iman seseorang, sehingga Allah swt
mengagungkannya, dan terlibat langsung untuk memberikan pahala kepada pelakunya.

Ketiga, Puasa Ramadhan adalah merupakan salah satu pilar ajaran Islam. Untuk menegakkan
pilar ini secara kokoh tidak mungkin dilakukan oleh seseorang yang tidak punya iman atau pura-
pura beriman. Allah swt Maha Mengetahui, benar-benar tahu siapa di antara manusia yang
benar-benar pantas diundang untuk menegakkan pilar ini. Itulah mereka yang benar-benar
beriman kepada Allah swt secara jujur. Karena itu Allah swt panggil mereka dengan: yaa
ayyuhalladziina aamanuu. Perhatikan bentuk panggilan ini, Allah swt memanggil mereka hanya
dengan kualitas keimanannya, bukan yang lain-lain. Ini menunjukkan bahwa yang Allah swt
inginkan dari manusia melalui puasa ini adalah bagaimana ia benar-benar beriman kepada Allah
swt secara kokoh dan jujur. Iman yang menghidupkan jiwanya sehingga ia senantiasa merasa
bersama Allah swt. Bukan iman yang semata diucapkan dengan lisan, diiklankan di spanduk-
spanduk atau tayangan televisi semenatra hatinya tidak pernah menikmati lezatnya iman
tersebut. Allahu ’Alam

Rasa Manis Sebuah Keimanan

Dari Anas bin Malik r.a. dari Nabi saw. bahwa beliau bersabda, “Tiga sifat yang jika dimiliki
orang akan mendapatkan manisnya iman; Orang yang menjadikan Allah dan Rasul-Nya lebih
dicintai dari yang lain; Orang yang mencintai seseorang semata karena Allah; Dan orang yang
tidak suka kembali kepada kekufuran setelah Allah menyelamatkannya seperti ia tidak suka
dilemparkan ke dalam kobaran api.” (H.R. Bukhari-Muslim)

Hadits ini diriwayatkan oleh dua Imam besar, Imam Bukhari dan Imam Muslim. Teks hadits
diambil dari kitab Shahih Bukhari. Selain dua imam ini, hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam
Nasai, Ibnu Majah dan Ahmad. Hadits di atas berbunyi:

‫ب ِإَلْيمِه ِمّمما‬
ّ ‫حم‬
َ ‫سموُلُه َأ‬
ُ ‫لم َوَر‬ُّ ‫ن ا‬َ ‫ن َيُكمو‬ ْ ‫ن َأ‬
ِ ‫ليَمما‬ ِ ‫لَوةَ ْا‬
َ‫ح‬
َ ‫ن‬ّ ‫جمَد ِبِهم‬َ ‫ن ِفيِه َو‬
ّ ‫ن ُك‬
ْ ‫ث َم‬ٌ ‫ل‬ َ ‫ َث‬:‫ل‬
َ ‫سّلَم َقا‬
َ ‫عَلْيِه َو‬
َ ‫ل‬ُّ ‫صّلى ا‬َ ‫ي‬
ّ ‫ن الّنِب‬
ْ‫ع‬َ ‫س‬
ٍ ‫ن َأَن‬
ْ‫ع‬َ
‫ متفق عليه‬-‫ف ِفي الّناِر‬ َ ‫ن ُيْقَذ‬ْ ‫ن َيُعودَ ِفي اْلُكْفِر َكَما َيْكَرُه َأ‬
ْ ‫ن َيْكَرَه َأ‬
ْ ‫ل َوَأ‬
ِّ ‫ل‬
ّ ‫حّبُه ِإ‬
ِ ‫ل ُي‬
َ ‫ب اْلَمْرَء‬ّ ‫ح‬ ِ ‫ن ُي‬
ْ ‫سَواُهَما َوَأ‬
ِ

‫ن ِفيِه‬
ّ ‫ن ُك‬
ْ ‫َم‬, yakni orang yang memiliki tiga sifat tersebut.

ّ ‫جَد ِبِه‬
‫ن‬ َ ‫َو‬, yakni dengan sebab sifat tersebut ia akan mendapatkan.

ِ ‫ليَما‬
‫ن‬ ِ ‫لَوَة ْا‬
َ‫ح‬
َ , yakni manis iman, bukan manis gula atau madu, tetapi sesuatu yang paling manis di
antara yang manis. Rasa manis yang dirasakan manusia pada dadanya, pada hatinya. Suatu
kelezatan yang tidak ada bandingnya, ia mendapatkan rasa lega pada hatinya, rasa ingin
melakukan kebaikan, rasa suka dan cinta kepada orang-orang baik. Rasa manis yang hanya dapat
diketahui hakikatnya oleh orang yang telah merasakannya setelah lama tidak mendapatkan rasa
manis itu.

‫سمَواُهَما‬
ِ ‫ب ِإَلْيمهِ ِمّمما‬
ّ ‫ح‬
َ ‫سوُلُه َأ‬
ُ ‫ل َوَر‬
ُّ ‫ن ا‬
َ ‫ن َيُكو‬
ْ ‫ َأ‬, yakni orang yang menjadikan Allah dan Rasul-Nya lebih
dicintai dari selain keduanya. Dalam hadits tidak digunakan ta’bir, ungkapan ‫ ثم رسوله‬karena
kecintaan kepada Rasulullah saw mengikut kecintaannya kepada Allah. Manusia akan mencintai
Allah sebesar manusia itu mencintai Allah. Ketika kecintaannya kepada Allah bertambah, maka
bertambah pula kecintaannya kepada Rasulullah saw. Kecintaan kepada Rasul mengikuti kadar
kecintaannya kepada Allah.

Yang patut disayangkan adalah ada sebagian orang yang kecintaannya kepada Rasulullah saw
melebihi kecintaannya kepada Allah. Orang seperti ini berarti mencintai Rasulullah saw bersama
mencintai Allah. Jika kecintaan kepada Rasulullah saw melebihi kecintaan kepada Allah, maka
hal ini termasuk salah satu jenis kemusyrikan, karena menjadikan Rasulullah saw sebagai sekutu
dalam kecintaan. Orang ini akan bergetar ketika disebutkan nama Rasulullah saw dan tidak
bergetar ketika disebut nama Allah hatinya tidak ada respon dan tidak ada getar.

Karena itulah dalam surat Ali Imran ayat 31 Allah menyebutkan bahwa jika kita benar-benar
mencintai Allah, maka kita harus mengikuti Rasulullah saw. sehingga Allah akan mencintai kita.
Pusat dan sumber alasan kecintaan kita kepada sesuatu adalah Allah, termasuk juga kecintaan
kepada Rasulullah saw.

Dengan kelemahan manusia seperti disebutkan Allah dalam surat Al-Ahzab ayat 72 bahwa
manusia adalah makhluk yang zhalim dan jahil, terkadang manusia lupa dengan cinta yang
hakiki. Manusia hidup dalam perburuan cinta palsu, terutama di zaman hedonisme ini. Segala
kemajuan materialis sangat meninakbobokan manusia untuk mengenal diri dan penciptanya,
apalagi untuk memahami hakikat hidup dan tujuannya. Itulah kondisi masyarakat di negara-
negara maju dan di sebagian di negara-negara berkembang.

ِّ‫ل ل‬
ّ ‫حّبُه ِإ‬
ِ ‫ل ُي‬
َ ‫ب اْلَمْرَء‬
ّ ‫ح‬
ِ ‫ن ُي‬
ْ ‫َوَأ‬, yakni orang yang mencintai orang lain karena Allah. Mencintai dan
membenci karena Allah. Mencintai orang bukan karena kekerabatan. Juga bukan karena harta
dan jabatan atau alasan duniawi semata. Mencintai orang karena Allah. Sama halnya juga
dengan membenci seseorang semata karena Allah. Nafsu manusia sering menghalangi kita untuk
mencinta dan membenci seseorang karena Allah. Manusia mencintai karena ada sesuatu yang
ingin ia dapatkan dari orang tersebut.

Ada sebagian orang yang ketika mendapatkan jasa seseorang akan membuat dia tidak dapat
mencinta dan membenci karena Allah. Segala pemberian yang ia terima akan membuat dirinya
tidak dapat memposisikan diri apakah harus mencinta atau membenci ketika orang yang pernah
menanamkan jasa tersebut bertentangan dengan syariat Allah. Karena itulah seorang dai harus
memelihara izzahnya untuk tidak dengan mudah menerima segala pemberian yang membuat ia
tidak dapat memberikan nasihat. Kesederhanaan dan kemandirian seorang dai menjadi tuntutan
agar ia tetap dapat menyampaikan kebenaran kepada semua orang.

ِ‫ف ِفي الّنار‬


َ ‫ن ُيْقَذ‬
ْ ‫ن َيُعوَد ِفي اْلُكْفِر َكَما َيْكَرهُ َأ‬
ْ ‫ن َيْكَرَه َأ‬
ْ ‫َوَأ‬, yakni benci untuk kembali kepada kekafiran setelah
kembali kepada Allah sama seperti bencinya dilemparkan ke dalam kobaran api. Orang yang
tidak ingin kembali kepada kekafiran setelah mendapatkan hidayah Islam dan petunjuk yang
benar. Orang yang telah mendapatkan hidayah Islam kemudian kembali kepada kekafiran dan
kemusyrikan disebut dengan murtad. Orang-orang murtad adalah golongan yang boleh diperangi
hingga kembali kepada aqidah Islam.

Orang yang dipaksa mengatakan kalimat kekufuran, tetapi hatinya tenang dengan keimanan,
maka orang ini tidak termasuk orang yang murtad dari hidayah Islam. Allah berfirman,
“Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah),
kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa),
akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah
menimpanya dan baginya azab yang besar. Yang demikian itu disebabkan karena sesungguhnya
mereka mencintai kehidupan di dunia lebih dari akhirat, dan bahwasanya Allah tiada memberi
petunjuk kepada kaum yang kafir.” (An-Nahl: 106-107)

Sebagaimana manusia mendapatkan hidayah secara bertahap, maka orang yang murtad juga
menjadi murtad tentunya dengan suatu tahapan dan proses.

Jika ketiga sifat ini dimiliki oleh seorang muslim, maka ia dapat merasakan manisnya iman. Jika
manisnya gula atau madu semua orang dapat merasakannya dan tidak ada yang mengingkari
bahwa gula dan madu adalah manis. Tapi ketika kita mendengar kata iman, kita tidak serta merta
mengenal bahwa rasa iman itu adalah manis, beda dengan gula dan madu. Karena itulah tidak
semua orang yang mengaku beriman merasa bahwa iman itu manis. Karena keimanan orang itu
bertingkat-tingkat antara satu orang dengan orang lain, maka tidak semua orang dapat merasakan
manisnya iman.
Ketika kita tidak dapat merasakan manisnya iman bukan berarti iman itu tidak manis, tapi kita
belum sampai pada tingkat keimanan yang membuat kita merasakan bahwa beriman itu manis
dan menyenangkan. Senang beramal saleh. Senang berbuat baik. Senang memberikan
kegembiraan kepada orang lain. Senang melihat orang mendapatkan kesenangan. Senang jika
masyarakat mengamalkan Islam. Senang jika kemaksiatan ditumpas. Wallahu a’lam.

22 Tanda Iman Anda Sedang Lemah

Ada beberapa tanda-tanda yang menunjukkan iman sedang lemah. Setidaknya ada 22 tanda yang
dijabarkan dalam artikel ini. Tanda-tanda tersebut adalah:

1. Ketika Anda sedang melakukan kedurhakaan atau dosa. Hati-hatilah! Sebab, perbuatan dosa
jika dilakukan berkali-kali akan menjadi kebiasaan. Jika sudah menjadi kebiasaan, maka segala
keburukan dosa akan hilang dari penglihatan Anda. Akibatnya, Anda akan berani melakukan
perbuatan durhaka dan dosa secara terang-terangan.

Ketahuilah, Rasululllah saw. pernah berkata, “Setiap umatku mendapatkan perindungan afiat
kecuali orang-orang yang terang-terangan. Dan, sesungguhnya termasuk perbuatan terang-
terangan jika seseirang melakukan suatu perbuatan pada malam hari, kemudian dia berada pada
pagi hari padahal Allah telah menutupinya, namun dia berkata, ‘Hai fulan, tadi malam aku telah
berbuat begini dan begini,’ padahal sebelum itu Rabb-nya telah menutupi, namun kemudian dia
menyibak sendiri apa yang telah ditutupi Allah dari dirinya.” (Bukhari, 10/486)

Rasulullah saw. bersabda, “Tidak ada pezina yang di saat berzina dalam keadaan beriman. Tidak
ada pencuri yang si saat mencuri dalam keadaan beriman. Begitu pula tidak ada peminum arak di
saat meminum dalam keadaan beriman.” (Bukhari, hadits no 2295 dan Muslim, hadits nomor 86)

2. Ketika hati Anda terasa begitu keras dan kaku. Sampai-sampai menyaksikan orang mati
terkujur kaku pun tidak bisa menasihati dan memperlunak hati Anda. Bahkan, ketika ikut
mengangkat si mayit dan menguruknya dengan tanah. Hati-hatilah! Jangan sampai Anda masuk
ke dalam ayat ini, “Kemudian setelah itu hatimu menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras
lagi.” (Al-Baqarah:74)

3. Ketika Anda tidak tekun dalam beribadah. Tidak khusyuk dalam shalat. Tidak menyimak
dalam membaca Al-Qur’an. Melamun dalam doa. Semua dilakukan sebagai rutinitas dan refleksi
hafal karena kebiasaan saja. Tidak berkonsentrasi sama sekali. Beribadah tanpa ruh. Ketahuilah!
Rasulullah saw. berkata, “Tidak akan diterima doa dari hati yang lalai dan main-main.”
(Tirmidzi, hadits nomor 3479)

4. Ketika Anda terasas malas untuk melakukan ketaatan dan ibadah. Bahkan, meremehkannya.
Tidak memperhatikan shalat di awal waktu. Mengerjakan shalat ketika injury time, waktu shalat
sudah mau habis. Menunda-nunda pergi haji padahal kesehatan, waktu, dan biaya ada. Menunda-
nunda pergi shalat Jum’at dan lebih suka barisan shalat yang paling belakang. Waspadalah jika
Anda berprinsip, datang paling belakangan, pulang paling duluan. Ketahuilah, Rasulullah saw.
bersabda, “Masih ada saja segolongan orang yang menunda-nunda mengikuti shaff pertama,
sehingga Allah pun menunda keberadaan mereka di dalam neraka.” (Abu Daud, nomor 679)

Allah swt. menyebut sifat malas seperti itu sebagai sifat orang-orang munafik. “Dan, apabila
mereka berdiri untuk shalat, mereka berdiri dengan malas.”

Jadi, hati-hatilah jika Anda merasa malas melakukan ibadah-ibadah rawatib, tidak antusias
melakukan shalat malam, tidak bersegera ke masjid ketika mendengar panggilan azan, enggan
mengerjakan shalat dhuha dan shalat nafilah lainnya, atau mengentar-entarkan utang puasa
Ramadhan.

5. Ketika hati Anda tidak merasa lapang. Dada terasa sesak, perangai berubah, merasa sumpek
dengan tingkah laku orang di sekitar Anda. Suka memperkarakan hal-hal kecil lagi remeh-temeh.
Ketahuilah, Rasulullah saw. berkata, “Iman itu adalah kesabaran dan kelapangan hati.” (As-
Silsilah Ash-Shahihah, nomor 554)

6. Ketika Anda tidak tersentuh oleh kandungan ayat-ayat Al-Qur’an. Tidak bergembira ayat-ayat
yang berisi janji-janji Allah. Tidak takut dengan ayat-ayat ancaman. Tidak sigap kala mendengar
ayat-ayat perintah. Biasa saja saat membaca ayat-ayat pensifatan kiamat dan neraka. Hati-
hatilah, jika Anda merasa bosan dan malas untuk mendengarkan atau membaca Al-Qur’an.
Jangan sampai Anda membuka mushhaf, tapi di saat yang sama melalaikan isinya.

Ketahuilah, Allah swt. berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang
bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya
bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal.” (Al-
Anfal:2)

7. Ketika Anda melalaikan Allah dalam hal berdzikir dan berdoa kepada-Nya. Sehingga Anda
merasa berdzikir adalah pekerjaan yang paling berat. Jika mengangkat tangan untuk berdoa,
secepat itu pula Anda menangkupkan tangan dan menyudahinya. Hati-hatilah! Jika hal ini telah
menjadi karakter Anda. Sebab, Allah telah mensifati orang-orang munafik dengan firman-Nya,
“Dan, mereka tidak menyebut Allah kecuali hanya sedikit sekali.” (An-Nisa:142)

8. Ketika Anda tidak merasa marah ketika menyaksikan dengan mata kepala sendiri pelanggaran
terhadap hal-hal yang diharamkan Allah. Ghirah Anda padam. Anggota tubuh Anda tidak
tergerak untuk melakukan nahyi munkar. Bahkan, raut muka Anda pun tidak berubah sama
sekali.

Ketahuilah, Rasulullah saw. bersabda, “Apabila dosa dikerjakan di bumi, maka orang yang
menyaksikannya dan dia membencinya –dan kadang beliau mengucapkan: mengingkarinya–,
maka dia seperti orang yang tidak menyaksikannya. Dan, siapa yang tidak menyaksikannya dan
dia ridha terhadap dosa itu dan dia pun ridha kepadanya, maka dia seperti orang yang
menyaksikannya.” (Abu Daud, hadits nomor 4345).

Ingatlah, pesan Rasulullah saw. ini, “Barangsiapa di antara kalian yang melihat kemungkaran,
maka hendaklah ia mengubah kemungkaran itu dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka
dengan lisannya. Kalau tidak sanggup, maka dengan hatinya, dan ini adalah selemah-lemahnya
iman.” (Bukhari, hadits nomor 903 dan Muslim, hadits nomor 70)

9. Ketika Anda gila hormat dan suka publikasi. Gila kedudukan, ngebet tampil sebagai
pemimpin tanpa dibarengi kemampuan dan tanggung jawab. Suka menyuruh orang lain berdiri
ketika dia datang, hanya untuk mengenyangkan jiwa yang sakit karena begitu gandrung diagung-
agungkan orang. Narsis banget!

Allah berfirman, “Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong)
dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (Luqman:18)

Nabi saw. pernah mendengar ada seseorang yang berlebihan dalam memuji orang lain. Beliau
pun lalu bersabda kepada si pemuji, “Sungguh engkau telah membinasakan dia atau memenggal
punggungnya.” (Bukhari, hadits nomor 2469, dan Muslim hadits nomor 5321)

Hati-hatilah. Ingat pesan Rasulullah ini, “Sesungguhnya kamu sekalian akan berhasrat
mendapatkan kepemimpinan, dan hal itu akan menjadikan penyesalan pada hari kiamat. Maka
alangkah baiknya yang pertama dan alangkah buruknya yang terakhir.” (Bukhari, nomor 6729)

“Jika kamu sekalian menghendaki, akan kukabarkan kepadamu tentang kepemimpinan dan apa
kepemimpinan itu. Pada awalnya ia adalah cela, keduanya ia adalah penyesalan, dan ketiganya ia
adalah azab hati kiamat, kecuali orang yang adil.” (Shahihul Jami, 1420).
Untuk orang yang tidak tahu malu seperti ini, perlu diingatkan sabda Rasulullah saw. yang
berbunyi, “Iman mempunyai tujuh puluh lebih, atau enam puluh lebih cabang. Yang paling
utama adalah ucapan ‘Laa ilaaha illallah’, dan yang paling rendah adalah menghilangkan sesuatu
yang mengganggu dari jalanan. Dan malu adalah salah satu cabang dari keimanan.” (Bukhari,
hadits nomor 8, dan Muslim, hadits nomor 50)

“Maukah kalian kuberitahu siapa penghuni neraka?” tanya Rasulullah saw. Para sahabat
menjawab, “Ya.” Rasulullah saw. bersabda, “Yaitu setiap orang yang kasar, angkuh, dan
sombong.” (Bukhari, hadits 4537, dan Muslim, hadits nomor 5092)

10. Ketika Anda bakhil dan kikir. Ingatlah perkataan Rasulullah saw. ini, “Sifat kikir dan iman
tidak akan bersatu dalam hati seorang hamba selama-lamanya.” (Shahihul Jami’, 2678)

11. Ketika Anda mengatakan sesuatu yang tidak Anda perbuat. Ingat, Allah swt. benci dengan
perbuatan seperti itu. “Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang
tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa yang tiada
kamu perbuat.” (Ash-Shaff:2-3)

Apakah Anda lupa dengan definisi iman? Iman itu adalah membenarkan dengan hati, diikrarkan
dengan lisan, dan diamalkan dengan perbuatan. Jadi, harus konsisten.

12. Ketika Anda merasa gembira dan senang jika ada saudara sesama muslim mengalami
kesusahan. Anda merasa sedih jika ada orang yang lebih unggul dari Anda dalam beberapa hal.

Ingatlah! Kata Rasulullah saw, “Tidak ada iri yang dibenarkan kecuali terhadap dua orang, yaitu
terhadap orang yang Allah berikan harga, ia menghabiskannya dalam kebaikan; dan terhadap
orang yang Allah berikan ilmu, ia memutuskan dengan ilmu itu dan mengajarkannya kepada
orang lain.” (Bukhari, hadits nomor 71 dan Muslim, hadits nomor 1352)

Seseorang bertanya kepada Rasulullah saw., “Orang Islam yang manakah yang paling baik?”
Rasulullah saw. menjawab, “Orang yang muslimin lain selamat dari lisan dan tangannya.”
(Bukhari, hadits nomor 9 dan Muslim, hadits nomor 57)

13. Ketika Anda menilai sesuatu dari dosa apa tidak, dan tidak mau melihat dari sisi makruh apa
tidak. Akibatnya, Anda akan enteng melakukan hal-hal yang syubhat dan dimakruhkan agama.
Hati-hatilah! Sebab, Rasulullah saw. pernah bersabda, “Barangsiapa yang berada dalam syubhat,
berarti dia berada dalam yang haram, seperti penggembala yang menggembalakan ternaknya di
sekitar tanaman yang dilindungi yang dapat begitu mudah untuk merumput di dalamnya.”
(Muslim, hadits nomor 1599)

Iman Anda pasti dalam keadaan lemah, jika Anda mengatakan, “Gak apa. Ini kan cuma dosa
kecil. Gak seperti dia yang melakukan dosa besar. Istighfar tiga kali juga hapus tuh dosa!” Jika
sudah seperti ini, suatu ketika Anda pasti tidak akan ragu untuk benar-benar melakukan
kemungkaran yang besar. Sebab, rem imannya sudah tidak pakem lagi.

14. Ketika Anda mencela hal yang makruf dan punya perhatian dengan kebaikan-kebaikan kecil.
Ini pesan Rasulullah saw., “Jangan sekali-kali kamu mencela yang makruf sedikitpun, meski
engkau menuangkan air di embermu ke dalam bejana seseorang yang hendak menimba air, dan
meski engkau berbicara dengan saudarmu sedangkan wajahmu tampak berseri-seri kepadanya.”
(Silsilah Shahihah, nomor 1352)

Ingatlah, surga bisa Anda dapat dengan amal yang kelihatan sepele! Rasulullah saw. bersabda,
“Barangsiapa yang menyingkirkan gangguan dari jalan orang-orang muslim, maka ditetapkan
satu kebaikan baginya, dan barangsiapa yang diterima satu kebaikan baginya, maka ia akan
masuk surga.” (Bukhari, hadits nomor 593)
15. Ketika Anda tidak mau memperhatikan urusan kaum muslimin dan tidak mau melibatkan diri
dalam urusan-urusan mereka. Bahkan, untuk berdoa bagi keselamatan mereka pun tidak mau.
Padahal seharusnya seorang mukmin seperti hadits Rasulullah ini, “Sesungguhnya orang
mukmin dari sebagian orang-orang yang memiliki iman adalah laksana kedudukan kepala dari
bagian badan. Orang mukmin itu akan menderita karena keadaan orang-orang yang mempunyai
iman sebagaimana jasad yang ikut menderita karena keadaan di kepala.” (Silsilah Shahihah,
nomor 1137)

16. Ketika Anda memutuskan tali persaudaraan dengan saudara Anda. “Tidak selayaknya dua
orang yang saling kasih mengasihi karean Allah Azza wa Jalla atau karena Islam, lalu keduanya
dipisahkan oleh permulaan dosa yang dilakukan salah seorang di antara keduanya,” begitu sabda
Rasulullah saw. (Bukhari, hadits nomor 401)

17. Ketika Anda tidak tergugah rasa tanggung jawabnya untuk beramal demi kepentingan Islam.
Tidak mau menyebarkan dan menolong agama Allah ini. Merasa cukup bahwa urusan dakwah
itu adalah kewajiban para ulama. Padahal, Allah swt. berfirman, “Hai orang-orang yang beriman,
jadilah kalian penolong-penolong (agama) Allah.” (Ash-Shaff:14)

18. Ketika Anda merasa resah dan takut tertimpa musibah; atau mendapat problem yang berat.
Lalu Anda tidak bisa bersikap sabar dan berhati tegar. Anda kalut. Tubuh Anda gemetar. Wajah
pucat. Ada rasa ingin lari dari kenyataan. Ketahuilah, iman Anda sedang diuji Allah. “Apakah
manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: Kami telah beriman, sedang
mereka belum diuji.” (Al-Ankabut:2)

Seharusnya seorang mukmin itu pribadi yang ajaib. Jiwanya stabil. “Alangkah menakjubkannya
kondisi orang yang beriman. Karena seluruh perkaranya adalah baik. Dan hal itu hanya terjadi
bagi orang yang beriman, yaitu jika ia mendapatkan kesenangan maka ia bersyukur dan itu
menjadi kebaikan baginya; dan jika ia tertimpa kesulitan dia pun bersabar, maka hal itu menjadi
kebaikan baginya.” (Muslim)

19. Ketika Anda senang berbantah-bantahan dan berdebat. Padahal, perbuatan itu bisa membuat
hati Anda keras dan kaku. “Tidaklah segolongan orang menjadi tersesat sesudah ada petunjuk
yang mereka berada pada petunjuk itu, kecuali jika mereka suka berbantah-bantahan.” (Shahihul
Jami’, nomor 5633)

20. Ketika Anda bergantung pada keduniaan, menyibukkan diri dengan urusan dunia, dan
merasa tenang dengan dunia. Orientasi Anda tidak lagi kepada kampung akhirat, tapi pada tahta,
harta, dan wanita. Ingatlah, “Dunia itu penjara bagi orang yang beriman, dan dunia adalah surga
bagi orang kafir.” (Muslim)

21. Ketika Anda senang mengucapkan dan menggunakan bahasa yang digunakan orang-orang
yang tidak mencirikan keimanan ada dalam hatinya. Sehingga, tidak ada kutipan nash atau
ucapan bermakna semisal itu dalam ucapan Anda.

Bukankah Allah swt. telah berfirman, “Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku: ‘Hendaklah
mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar). Sesungguhnya setan itu menimbulkan
perselisihan di antara mereka. Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia’.”
(Al-Israa’:53)

Seperti inilah seharusnya sikap seorang yang beriman. “Dan apabila mereka mendengar
perkataan yang tidak bermanfaat, mereka berpaling daripadanya dan mereka berkata: ‘Bagi kami
amal-amal kami dan bagimu amal-amalmu, kesejahteraan atas dirimu, kami tidak ingin bergaul
dengan orang-orang jahil.’” (Al-Qashash:55)

Nabi saw. bersabda, “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah berkata yang
baik atau diam.” (Bukhari dan Muslim)
22. Ketika Anda berlebih-lebihan dalam masalah makan-minum, berpakaian, bertempat tinggal,
dan berkendaraan. Gandrung pada kemewahan yang tidak perlu. Sementara, begitu banyak orang
di sekeliling Anda sangat membutuhkan sedikit harta untuk menyambung hidup.

Ingat, Allah swt. telah mengingatkan hal ini, ”Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah
di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (Al-A’raf:31).
Bahkan, Allah swt. menyebut orang-orang yang berlebihan sebagai saudaranya setan. Karena itu
Allah memerintahkan kita untuk, “Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang terdekat akan
haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan, dan janganlah kamu
menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.” (Al-Isra’:26)

Rasulullah saw. bersabda, “Jauhilah hidup mewah, karena hamba-hamba Allah itu bukanlah
orang-orang yang hidup mewah.” (Al-Silsilah Al-Shahihah, nomor 353).

20 Cara Menguatkan Iman Anda

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benarnya takwa kepada-Nya
dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan Islam.” (Ali Imran: 102)

“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Rabb-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang
diri, dan daripadanya Allah menciptakan istrinya, dan daripada keduanya Allah
mengembangbiakkan lelaki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang
denan (menggunakan) nama-Nya kami saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah)
hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (An-Nisa:
1)

“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan
yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu
dosa-dosamu. Dan, barangsiapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya dia telah
mendapatkan kemenangan yang besar.”

Begitulah perintah Allah kepada kita agar kita bertakwa. Namun, iman di dalam hati kita
bukanlah sesuatu yang statis. Iman kita begitu dinamis. Bak gelombang air laut yang kadang
pasang naik dan kadang pasang surut.

Ketika kondisi iman kita lemah dan kondisi lemah itu kita masih ada dalam kebaikan, kita
beruntung. Namun, bila ketika kondisi iman kita lemah dan kondisi lemah itu membuat kita ada
di luar koridor ajaran Rasulullah saw., kita celaka. Rasulullah saw. bersabda, “Engkau
mempunyai amal yang bersemangat, dan setiap semangat mempunyai kelemahan. Barangsiapa
yang kelemahannya tertuju pada sunnahku, maka dia telah beruntung. Dan, siapa yang
kelemahannya tertuju kepada selain itu, maka dia telah binasa.” (Ahmad)

Begitulah kondisi hati kita. Sesuai dengan namanya, hati –dalam bahasa Arab qalban—selalu
berubah-ubah (at-taqallub) dengan cepat. Rasulullah saw. berkata, “Dinamakan hati karena
perubahannya. Sesungguhnya hati itu ialah laksana bulu yang menempel di pangkal pohon yang
diubah oleh hembusan angin secara terbalik.” (Ahmad dalam Shahihul Jami’ no. 2365)

Karena itu Rasulullah saw. mengajarkan kepada kita sebuah doa agar Allah saw. menetapkan
hati kita dalam ketaatan. “Ya Allah Yang membolak-balikan hati-hati manusia, balikanlah hati
kami untuk taat kepada-Mu.” (Muslim no. 2654)

Hati kita akan kembali pada kondisi ketaatan kepada Allah swt. jika kita senantiasa
memperbaharui keimanan kita. Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya iman itu dijadikan di
dalam diri salah seorang di antara kamu sekalian sebagaimana pakaian yang dijadikan, maka
memohonlah kepada Allah agar Dia memperbaharui iman di dalam hatimu.” (Al-Hakim di Al-
Mustadrak, 1/4; Al-Silsilah Ash-Shahihain no. 1585; Thabrany di Al-Kabir)
Bagaimana cara memperbaharui iman? Ada 20 sarana yang bisa kita lakukan, yaitu sebagai
berikut.

1. Perbanyaklah menyimak ayat-ayat Al-Quran

Al-Qur’an diturunkan Allah sebagai cahaya dan petunjuk, juga sebagai obat bagi hati manusia.
“Dan Kami turunkan dari Al-Qur’an sesuatu yang menjadi obat dan rahmat bagi orang-orang
yang beriman.” (Al-Isra’: 82).

Kata Ibnu Qayyim, yang seharusnya dilakukan oleh seorang muslim untuk menyembuhkan
hatinya melalui Al-Quran, “Caranya ada dua macam: pertama, engkau harus mengalihkan
hatimu dari dunia, lalu engkau harus menempatkannya di akhirat. Kedua, sesudah itu engkau
harus menghadapkan semua hatimu kepada pengertian-pengertian Al-Qur’an, memikirkan dan
memahami apa yang dimaksud dan mengapa ia diturunkan. Engkau harus mengamati semua
ayat-ayat-Nya. Jika suatu ayat diturunkan untuk mengobati hati, maka dengan izin Allah hati itu
pun akan sembuh.”

2. Rasakan keagungan Allah seperti yang digambarkan Al-Qur’an dan Sunnah

Al-Qur’an dan Sunnah banyak sekali mengungkap keagungan Allah swt. Seorang muslim yang
ketika dihadapkan dengan keagungan Allah, hatinya akan bergetar dan jiwanya akan tunduk.
Kekhusukan akan hadir mengisi relung-relung hatinya.

Resapi betapa agungnya Allah yang Maha Mendengar, Maha Mengetahui, yang memiliki nama-
nama yang baik (asma’ul husna). Dialah Al-’Azhim, Al-Muhaimin, Al-Jabbar, Al-Mutakabbir,
Al-Qawiyyu, Al-Qahhar, Al-Kabiir, Al-Muth’ali. Dia yang menciptakan segala sesuatu dan
hanya kepada-Nya lah kita kembali.

Jangan sampai kita termasuk orang yang disebut ayat ini, “Dan mereka tidak mengagungkan
Allah dengan pengagungan yang semestinya, padahal bumi dan seluruhnya dalam genggaman-
Nya pada hari kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya.” (Az-Zumar: 67)

3. Carilah ilmu syar’i

Sebab, Al-Qur’an berkata, “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya
ialah orang-orang yang berilmu.” (Fathir: 28). Karenanya, dalamilah ilmu-ilmu yang
mengantarkan kita pada rasa takut kepada Allah.

Allah berfirman, “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak
mengetahui?” (Az-Zumar: 9). Orang yang tahu tentang hakikat penciptaan manusia, tahu tentang
syariat yang diturunkan Allah sebagai tata cara hidup manusia, dan tahu ke mana tujuan akhir
hidup manusia, tentu akan lebih khusyuk hatinya dalam ibadah dan kuat imannya dalam aneka
gelombang ujian ketimbang orang yang jahil.

Orang yang tahu tentang apa yang halal dan haram, tentu lebih bisa menjaga diri daripada orang
yang tidak tahu. Orang yang tahu bagaiman dahsyatnya siksa neraka, tentu akan lebih khusyuk.
Orang yang tidak tahu bagaimana nikmatnya surga, tentu tidak akan pernah punya rasa rindu
untuk meraihnya.

4. Mengikutilah halaqah dzikir

Suatu hari Abu Bakar mengunjungi Hanzhalah. “Bagaimana keadaanmu, wahai Hanzhalah?”
Hanzhalah menjawab, “Hanzhalah telah berbuat munafik.” Abu Bakar menanyakan apa
sebabnya. Kata Hanzhalah, “Jika kami berada di sisi Rasulullah saw., beliau mengingatkan kami
tentang neraka dan surga yang seakan-akan kami bisa melihat dengan mata kepala sendiri. Lalu
setelah kami pergi dari sisi Rasulullah saw. kami pun disibukkan oleh urusan istri, anak-anak,
dankehidupan, lalu kami pun banyak lupa.”
Lantas keduanya mengadukan hal itu kepada Rasulullah saw. Kata Rasulullah, “Demi jiwaku
yang ada di dalam genggaman-Nya, andaikata kamu sekalian tetap seperti keadaanmu di sisiku
dan di dalam dzikir, tentu para malaikat akan menyalami kamu di atas kasurmu dan tatkala kamu
dalam perjalanan. Tetapi, wahai Hanzhalah, sa’atah, sa’atan, sa’atan.” (Shahih Muslim no. 2750)

Begitulah majelis dzikir. Bisa menambah bobot iman kita. Makanya para sahabat sangat
bersemangat mengadakan pertemuan halaqah dzikir. “Duduklah besama kami untuk mengimani
hari kiamat,” begitu ajak Muadz bin Jabal. Di halaqah itu, kita bisa melaksanakan hal-hal yang
diwajibkan Allah kepada kita, membaca Al-Qur’an, membaca hadits, atau mengkaji ilmu
pengetahuan lainnya.

5. Perbanyaklah amal shalih

Suatu ketika Rasulullah saw. bertanya, “Siapa di antara kalian yang berpuasa di hari ini?” Abu
Bakar menjawab, “Saya.” Lalu Rasulullah saw. bertanya lagi, “Siapa di antara kalian yang hari
ini menjenguk orang sakit?” Abu Bakar menjawab, “Saya.” Lalu Rasulullah saw. bersabda,
“Tidaklah amal-amal itu menyatu dalam diri seseorang malainkan dia akan masuk surga.”
(Muslim)

Begitulah seorang mukmin yang shaddiq (sejati), begitu antusias menggunakan setiap
kesempatan untuk memperbanyak amal shalih. Mereka berlomba-lomba untuk mendapatkan
surga. “Berlomba-lombalah kamu kepada (mendapatkan) ampunan dari Rabb-mu dan surga yang
luasnya seluas langit dan bumi.” (Al-Hadid: 21)

Begitulah mereka. Sehingga keadaan mereka seperti yang digambarkan Allah swt., “Mereka
sedikit sekali tidur pada waktu malam, dan pada akhir-akhir malam mereka memohon ampunan
(kepada Allah). Dan, pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan
orang miskin yang tidak mendapat bagian.” (Adz-Dzariyat: 17-19)

Banyak beramal shalih, akan menguatkan iman kita. Jika kita kontinu dengan amal-amal shalih,
Allah akan mencintai kita. Dalam sebuah hadits qudsy, Rasulullah saw. menerangkan bahwa
Allah berfirman, “Hamba-Ku senantiasa bertaqarrub kepada-Ku dengan mengerjakan nafilah
sehingga Aku mencintainya.” (Shahih Bukhari no. 6137)

6. Lakukan berbagai macam ibadah

Ibadah memiliki banyak ragamnya. Ada ibadah fisik seperti puasa, ibadah materi seperti zakat,
ibadah lisan seperti doa dan dzikir. Ada juga ibadah yang yang memadukan semuanya seperti
haji. Semua ragam ibadah itu sangat bermanfaat untuk menyembuhkan lemah iman kita.

Puasa membuat kita khusyu’ dan mempertebal rasa muraqabatullah (merasa diawasi Allah).
Shalat rawatib dapat menyempurnakan amal-amal wajib kita kurang sempurna kualitasnya.
Berinfak mengikis sifat bakhil dan penyakit hubbud-dunya. Tahajjud menambah kekuatan.

Banyak melakukan berbagai macam ibadah bukan hanya membuat baju iman kita makin baru
dan cemerlang, tapi juga menyediakan bagi kita begitu banyak pintu untuk masuk surga.
Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa yang menafkahi dua istri di jalan Allah, maka dia akan
dipanggil dari pintu-pintu surga: ‘Wahai hamba Allah, ini adalah baik.’ Lalu barangsiapa yang
menjadi orang yang banyak mendirikan shalat, maka dia dipanggil dari pintu shalat. Barangsiapa
menjadi orang yang banyak berjihad, maka dia dipanggil dari pintu jihad. Barangsiapa menjadi
orang yang banyak melakukan puasa, maka dia dipanggil dari pintu ar-rayyan. Barangsiapa
menjadi orang yang banyak mengeluarkan sedekah, maka dia dipanggil dari pintu sedekah.”
(Bukhari no. 1798)

7. Hadirkan perasaan takut mati dalam keadaan su’ul khatimah


Rasa takut su’ul khatimah akan mendorong kita untuk taat dan senantiasa menjaga iman kita.
Penyebab su’ul khatimah adalah lemahnya iman menenggelamkan diri kita ke dalam jurang
kedurhakaan. Sehingga, ketika nyawa kita dicabut oleh malaikat Izrail, lidah kita tidak mampu
mengucapkan kalimat laa ilaha illallah di hembusan nafas terakhir.

8. Banyak-banyaklah ingat mati

Rasulullah saw. bersabda, “Dulu aku melarangmu menziarahi kubur, ketahuilah sekarang
ziarahilah kubur karena hal itu bisa melunakan hati, membuat mata menangism mengingatkan
hari akhirat, dan janganlah kamu mengucapkan kata-kata yang kotor.” (Shahihul Jami’ no. 4584)

Rasulullah saw. juga bersabda, “Banyak-banyaklah mengingat penebas kelezatan-kelezatan,


yakni kematian.” (Tirmidzi no. 230)

Mengingat-ingat mati bisa mendorong kita untuk menghindari diri dari berbuat durhaka kepada
Allah; dan dapat melunakkan hati kita yang keras. Karena itu Rasulullah menganjurkan kepada
kita, “Kunjungilah orang sakit dan iringilah jenazah, niscaya akan mengingatkanmu terhadap
hari akhirat.” (Shahihul Jami’ no. 4109)

Melihat orang sakit yang sedang sakaratul maut sangat memberi bekas. Saat berziarah kubur,
bayangkan kondisi keadaan orang yang sudah mati. Tubuhnya rusak membusuk. Ulat memakan
daging, isi perut, lidah, dan wajah. Tulang-tulang hancur.

Bayangan seperti itu jika membekas di dalam hati, akan membuat kita menyegerakan taubat,
membuat hati kita puas dengan apa yang kita miliki, dan tambah rajin beribadah.

9. Mengingat-ingat dahsyatnya keadaan di hari akhirat

Ada beberapa surat yang menceritakan kedahsyatan hari kiamat. Misalnya, surah Qaf, Al-
Waqi’ah, Al-Qiyamah, Al-Mursalat, An-Naba, Al-Muththaffifin, dan At-Takwir. Begitu juga
hadits-hadits Rasulullah saw.

Dengan membacanya, mata hati kita akan terbuka. Seakan-akan kita menyaksikan semua itu dan
hadir di pemandangan yang dahsyat itu. Semua pengetahuan kita tentang kejadian hari kiamat,
hari kebangkitan, berkumpul di mahsyar, tentang syafa’at Rasulullah saw., hisab, pahala, qishas,
timbangan, jembatan, tempat tinggal yang kekal di surga atau neraka; semua itu menambah tebal
iman kita.

10. Berinteraksi dengan ayat-ayat yang berkaitan dengan fenomena alam

Aisyah pernah berkata, “Wahai Rasulullah, aku melihat orang-orang jika mereka melihat awan,
maka mereka gembira karena berharap turun hujan. Namun aku melihat engkau jika engkau
melihat awan, aku tahu ketidaksukaan di wajahmu.” Rasulullah saw. menjawab, “Wahai Aisyah,
aku tidak merasa aman jika di situ ada adzab. Sebab ada suatu kaum yang pernah diadzab
dikarenakan angin, dan ada suatu kaum yang melihat adzab seraya berkata, ‘Ini adalah awan
yang akan menurunkan hujan kepada kami’.” (Muslim no. 899)

Begitulah Rasulullah saw. berinteraksi dengan fenomena alam. Bahkan, jika melihat gerhana,
terlihat raut takut di wajah beliau. Kata Abu Musa, “Matahari pernah gerhana, lalu Rasulullah
saw. berdiri dalam keadaan ketakutan. Beliau takut karena gerhana itu merupakan tanda kiamat.”

11. Berdzikirlah yang banyak

Melalaikan dzikirulah adalah kematian hati. Tubuh kita adalah kuburan sebelum kita terbujur di
kubur. Ruh kita terpenjara. Tidak bisa kembali. Karena itu, orang yang ingin mengobati imannya
yang lemah, harus memperbanyak dzikirullah. “Dan ingatlah Rabb-mu jika kamu lupa.” (Al-
Kahfi: 24) “Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah lha hati menjadi tentram.” (Ar-Ra’d: 28)
Ibnu Qayim berkata, “Di dalam hati terdapat kekerasan yang tidak bisa mencair kecuali dengan
dzikrullah. Maka seseorang harus mengobati kekerasan hatinya dengan dzikrullah.”

12. Perbanyaklah munajat kepada Allah dan pasrah kepada-Nya

Seseorang selagi banyak pasrah dan tunduk, niscaya akan lebih dekat dengan Allah. Sabda
Rasulullah saw., “Saat seseorang paling dekat dengan Rabb-nya ialah ketika ia dalam keadaan
sujud, maka perbanyaklah doa.” (Muslim no. 428)

Seseorang selagi mau bermunajat kepada Allah dengan ucapan yang mencerminkan ketundukan
dan kepasrahan, tentu imannya semakin kuat di hatinya. Semakin menampakan kehinaan dan
kerendahan diri kepada Allah, semakin kuat iman kita. Semakin banyak berharap dan meminta
kepada Allah, semakin kuat iman kita kepada Allah swt.

13. Tinggalkan angan-angan yang muluk-muluk

Ini penting untuk meningkatkan iman. Sebab, hakikat dunia hanya sesaat saja. Banyak berangan-
angan hanyalah memenjara diri dan memupuk perasaan hubbud-dunya. Padahal, hidup di dunia
hanyalah sesaat saja.

Allah swt. berfirman, “Maka bagaimana pendapatmu jika Kami berikan kepada mereka
kenikmatan hidup bertahun-tahun, kemudian datang kepada mereka adzab yang telah dijanjikan
kepada mereka, niscaya tidak berguna bagi mereka apa yang mereka selalu menikmatinya.”
(Asy-Syu’ara: 205-207)

“Seakan-akan mereka tidak pernah diam (di dunia) hanya sesaat saja pada siang hari.” (Yunus:
45)

14. Memikirkan kehinaan dunia

Hati seseorang tergantung pada isi kepalanya. Apa yang dipikirkannya, itulah orientasi hidupnya.
Jika di benaknya dunia adalah segala-galanya, maka hidupnya akan diarahkan untuk
memperolehnya. Cinta dunia sebangun dengan takut mati. Dan kata Allah swt., “Kehidupan
dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdaya.” (Ali Imran)

Karena itu pikirkanlah bawa dunia itu hina. Kata Rasulullah saw., “Sesungguhnya makanan anak
keturunan Adam itu bisa dijadikan perumpamaan bagi dunia. Maka lihatlah apa yang keluar dari
diri anak keturunan Adam, dan sesungguhnya rempah-rempah serta lemaknya sudah bisa
diketahui akan menjadi apakah ia.” (Thabrani)

Dengan memikirkan bahwa dunia hanya seperti itu, pikiran kita akan mencari orientasi ke hal
yang lebih tinggi: surga dan segala kenikmatan yang ada di dalamnya.

15. Mengagungkan hal-hal yang terhormat di sisi Allah

“Barangsiapa yang mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu dari ketakwaan
hati.” (Al-Hajj: 32)

“Dan barangsiapa mengagungkan apa-apa yang terhormat di sisi Allah, maka itu adalah lebih
baik baginya di sisi Rabb-nya.” (Al-Hajj: 30)

Hurumatullah adalah hak-hak Allah yang ada di diri manusia, tempat, atau waktu tertentu. Yang
termasuk hurumatullah, misalnya, lelaki pilihan Muhammad bin Abdullah, Rasulullah saw.;
tempat-tempat suci (Masjid Haram, Masjid Nabawi, Al-Aqha), dan waktu-waktu tertentu seperti
bulan-bulan haram.
Yang juga termasuk hurumatullah adalah tidak menyepelekan dosa-dosa kecil. Sebab, banyak
manusia binasa karena mereka menganggap ringan dosa-dosa kecil. Kata Rasulullah saw.,
“Jauhilah dosa-dosa kecil, karena dosa-dosa kecil itu bisa berhimpun pada diri seseornag hingga
ia bisa membinasakan dirinya.”

16. Menguatkan sikap al-wala’ wal-bara’

Al-wala’ adalah saling tolong menolong dan pemberian loyalitas kepada sesama muslim.
Sedangkan wal-bara adalah berlepas diri dan rasa memusuhi kekafiran. Jika terbalik, kita benci
kepada muslim dan amat bergantung pada musuh-musuh Allah, tentu keadaan ini petanda iman
kita sangat lemah.

Memurnikan loyalitas hanya kepada Alah, Rasul, dan orang-orang beriman adalah hal yang bisa
menghidupkan iman di dalam hati kita.

17. Bersikap tawadhu

Rasulullah saw. bersabda, “Merendahkan diri termasuk bagian dari iman.” (Ibnu Majah no.
4118)

Rasulullah juga berkata, “Barangsiapa menanggalkan pakaian karena merendahkan diri kepada
Allah padahal dia mampu mengenakannya, maka Allah akan memanggilnya pada hati kiamat
bersama para pemimpin makhluk, sehingga dia diberi kebebasan memilih di antara pakaian-
pakaian iman mana yang dikehendaki untuk dikenakannya.” (Tirmidzi no. 2481)

Maka tak heran jika baju yang dikenakan Abdurrahman bin Auf –sahabat yang kaya—tidak beda
dengan yang dikenakan para budak yang dimilikinya.

18. Perbanyak amalan hati

Hati akan hidup jika ada rasa mencintai Allah, takut kepada-Nya, berharap bertemu dengan-Nya,
berbaik sangka dan ridha dengan semua takdir yang ditetapkan-Nya. Hati juga akan penuh
dengan iman jika diisi dengan perasaan syukur dan taubat kepada-Nya. Amalan-amalan hati
seperti itu akan menghadirkan rasa khusyuk, zuhud, wara’, dan mawas diri. Inilah halawatul
iman (manisnya iman)

19. Sering menghisab diri

Allah berfirman, “Hai orang-ornag yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah
setiap diri memperhatikan apa yang diperbuatnya untuk hari esok (akhirat).” (Al-Hasyr: 18)

Umar bin Khattab r.a. berwasiat, “Hisablah dirimu sekalian sebelum kamu dihisab.” Selagi
waktu kita masih longgar, hitung-hitunglah bekal kita untuk hari akhirat. Apakah sudah cukup
untuk mendapat ampunan dan surga dari Allah swt.? Sungguh ini sarana yang efektif untuk
memperbaharui iman yang ada di dalam diri kita.

20. Berdoa kepada Allah agar diberi ketetapan iman

Perbanyaklah doa. Sebab, doa adalah kekuatan yang luar biasa yang dimiliki seorang hamba.
Rasulullah saw. berwasiat, “Iman itu dijadikan di dalam diri salah seorang di antara kamu
bagaikan pakaian yang dijadikan, maka memohonlah kepada Allah agar Dia memperbaharui
iman di dalam hatimu.”

Ya Allah, perbaharuilah iman yang ada di dalam dada kami. Tetapkanlah hati kami dalam taat
kepadamu. Tidak ada daya dan upaya kami kecuali dengan pertolonganMu.

Menuju Iman yang Sempurna


Iman itu bukan hiasan bibir dan pemanis kata apalagi sekedar keyakinan hampa. Tapi sebuah
keyakinan yang menghunjam dalam hati, diungkapkan dengan lisan dan dibuktikan dengan
tindak nyata. Pengakuan seorang mukmin akan keimanannya yang tidak disertai dengan bukti
amal shaleh, bisa dikategorikan sebagai pengakuan tanpa makna dan tidak berdasar. Di sini
Allah swt. menjelaskan kepada kita tentang senyawa keimanan dan amal shaleh dalam surat
Al-‘Ashr;

“Demi masa, sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-
orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati agar mentaati
kebenaran dan nasehat menasehati agar tetap sabar.” QS 103:1-3

Ayat-ayat quraniah tentang hal ini banyak sekali, bahkan setiap “khitab ilahi” (panggilan Allah)
yang ditujukan kepada mukminin selalu disertai dengan perintah untuk mengerjakan amal saleh
yang berkaitan dengan ibadah dan larangan untuk meninggalkan hal-hal yang diharamkan Allah
swt.

Iman yang menshibghah -mewarnai- akal, hati dan jasad seorang mukmin niscaya ketika
dihadapkan pada pilihan-pilihan maka pilihannya itu sudah pasti jatuh pada nilai-nilai kebenaran
dan kebaikan. Ia senantiasa memutuskan sesuatu dengan haq dan menghindari hal-hal yang
menjurus kepada kebatilan. Jadi seorang yang telah tershibghah imannya, ia akan menjadi
cahaya bagi dirinya, keluarganya dan masyarakatnya. Allah berfirman;

“Dan apakah orang yang sudah mati, kemudian ia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya
cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat
manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali
tidak dapat ke luar dari padanya?…” QS 6:122

Demikianlah Allah menghidupkan manusia dengan cahaya Islam dan keilmuan. Sehingga hal itu
memberikan manfaat dan kontribusi riel tidak saja bagi lingkungannya bahkan sampai pada
peradaban dunia.

Rasulullah saw. menganalogikan seorang mukmin yang benar-benar memahami keislaman dan
keimanannya seperti lebah. Lebah itu mempunyai sifat tidak pernah melakukan kerusakan,
lihatlah ketika hinggap di dahan-dahan pepohonan atau tangkai-tangkai bunga. Lebah selalu
mengkonsumsi makanan yang terbaik yaitu sari bunga. Dan menghasilkan sesuatu yang paling
bermanfaat yaitu madu. Maka makhluk hidup yang berada di sekitarnya merasa aman dan
nyaman.

Begitulah seharusnya muslim dan mukmin, dia harus mampu menebar pesona Islam. Melukiskan
tinta emas kebaikan dalam kanvas kehidupan secara individu dalam semangat kebersamaan.
Semangat kebersamaan inilah yang seharusnya dimiliki sertiap mukmin. Kepekaan terhadap apa
saja yang sedang menimpa masyarakat harus menjadi bagian kehidupannya. Jangan berpuas diri
dengan urusannya sendiri tanpa memperhatikan dan mempedulikan masyarakat sekitarnya.

Interaksi Sosial

Lezatnya iman apabila sudah mampu dirasakan oleh seorang mukmin dalam ruang
kepribadiannya, maka akan menjelma menjadi pesona sosial yang sangat menawan. Khusyuk
diri yang dimiliki seorang mukmin akan berdampak pada ‘atha ijtima’i (kontribusi sosial) dan
keharmonisan social. Di sini, Nabi kita Muhammad saw. mengajarkan kepada kita dengan tiga
kalimat yang sarat dengan nilai-nilai perbaikan diri. Di saat beliau bersabda; “Takwalah kamu di
manapun kamu berada, ikuti keburukan itu dengan kebaikan, niscaya ia akan menghapuskannya
dan berinteraksilah pada manusia dengan akhlak yang hasan.”

Dan salah satu bentuk interaksi kita pada lingkungan sekitar kita adalah adanya hasaasiah
(kepekaan) yang kuat terhadap permasalahan yang terjadi di dalamnya. Perhatian dan fokus kita
terhadap bi’ah (lingkungan), baik yang berkaitan dengan lingkungan dakwah, lingkungan sosial,
lingkungan pengajaran yang terjadi dalam tataran keluarga maupun masyarakat adalah cerminan
kuat dari keimanan kita yang telah tershibghah dengan nilai-nilai kebenaran Islam. Bagaimana
Rasulullah saw. melakukan hal ini dalam keluarga dan masyarakatnya. Beliau dengan gigih telah
mempengaruhi pamannya, Abu Thalib untuk memeluk Islam sehingga detik-detik akhir hidup
sang paman. Ia telah menyeru bani-bani Quraisy pada waktu itu seraya berkata di atas bukit
shofa: “Wahai Bani Quraisy, selamatkanlah dirimu dari api neraka, wahai Bani ka’ab,
selamatkanlah dirimu dari apai neraka….., wahai Fathimah, selamatkanlah dirimu dari api
neraka..” Imam Muslim.

Begitu juga, beliau telah terlibat langsung dalam peristiwa-peristiwa besar yang terjadi pada
masyarakatnya sebelum nubuwwah -masa Kenabian- seperti berperan aktif dalam perang fijar;
peperangan yang terjadi antara Quraisy bersama Kinanah dengan Ais Qailan, Hilful Fudlul;
kesepakatan untuk melindungi orang-orang yang terdhalimi dan pembangunan Ka’bah.

Sensitifitas Tinggi

Oleh karenanya seorang mukmin apalagi kader dakwah harus terlibat aktif dalam amal-amal
kebaikan yang terjadi di lingkungan keluarga maupun masyarakatnya. Baik yang bersentuhan
dengan daur da’awi (peran dakwah keluarga), daur ta’limi (peran pengajaran) dan daur tarbawi
(peran pembinaan). Janganlah seorang kader yang sibuk dengan perbaikan dirinya, akan tetapi
mengabaikan dakwah keluarganya. Semangat berbisnis, lalu lupa mengajar dan membina anak-
anaknya. Puas dengan kehebatannya, asyik dengan pesona dirinya, akan tetapi terlena dengan
apa yang sedang terjadi di lingkungan keluarga. Bapak asyik dengan dakwah di luar, sementara
anak nyimeng dan ngeganja. Coba kita perhatikan dan merenungkan kembali kembali firman
Allah berikut ini;

“Hai orang-orang mu’min, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang
menjadi musuh bagimu maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka dan jika kamu memaafkan
dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.”

“Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah-lah
pahala yang besar.” 64:14-15

“Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari
mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang
merugi.” 63:9

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang
bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras,
dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada

mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” 66:6

Kepedulian Sosial

Interaksi sosial kita yang berujung pada kepedulian sosial, mengharuskan kita untuk terlibat
penuh dengan suatu yang terjadi di tengah-tengah masyarakat kita. Hal ini bukan hanya
dilakukan seorang mukmin atau bahkan kader dakwah di saat membutuhkan mereka dan ketika
ada kepentingan. Akan tetapi kapanpun dan kondisi apapun seorang mukmin harus menebar
pesona Islam. Ia bekerja dan berkarya sesuai arahan Rabbani. Seluruh waktu dan hidupnya agar
bermanfat bagi manusia lain. Ia ingin menjadi salah satu dari kategori qaumun ‘amaliyyun -kaum
yang aktif bekerja- dan mendambakan identitas mukminiin haqqan -mukmin sejati-.

Oleh karenanya, seorang mukmin harus bisa berperan aktif dalam seluruh dimensi sosial. Baik
dimensi da’awi yang mengharuskan dia sebagai cahaya di tengah masyarakatnya, yang
mengharuskan dia membawa obor tanggungjawab amar ma’ruf nahi munkar dan sebagai agen of
changes. Dimensi ukhawi; yang mengharuskan dirinya mengkristalkan kembali makna ta’aruf,
tafaahum dan takaaful dalam kanvas ukhuwah Islamiah. Benar-benar menjadi kontributor dalam
segala hal, apalagi yang bersentuhan langsung dengan fuqara, masakin dan al-aitam (yatim
piatu). Rasulullah bersabda: “Ya Abu dzar, apabila kamu membikin sayur, perbanyak kuahnya
dan perhatikan tetanggamu.” Imam Muslim

“Tidaklah beriman seorang di antara kamu, hingga ia mencintai saudaranya seperti mencintai
dirinya.” Muttafaqun Alaih

“Saya dan orang yang menanggung anak yatim di surga seperti ini (beliau mengisyaratkan
dengan kedekatan jari telunjuk dan tengah) Imam Al-Bukhari

Dan dimensi ta’limi wa tarbawi -pengajaran dan pengkaderan-; yang mengharuskannya berperan
aktif dalam melakukan pengajaran dan pembinaan masyarakatnya. Sehingga masyarakat
setempat menikmati pencerahan jiwa dan pemikiran. Mereka semakin dekat dengan nilai-nilai
Islam dan akhirnya semangat mengimplementasikannya dalam ruang kepribadiannya dan
lingkungan keluarganya. Allah berfirman:

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan,
menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang
beruntung.” 3:104

“Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang
membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka
Kitab dan Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam
kesesatan yang nyata,” 62:2

Semoga kita senantiasa diberikan kekuatan peduli sosial, dilandasi iman yang hidup dan
produktif dalam diri kita. Allahu a’lam

Iman Dan Kepekaan Sosial

Iman itu bukan hiasan bibir dan pemanis kata apalagi sekadar keyakinan hampa, tapi sebuah
keyakinan yang menghujam ke dalam hati, diungkapkan dengan lisan dan dibuktikan dengan
tindak nyata.

Pengakuan seorang mukmin akan keimanannya yang tidak disertai dengan bukti amal shalih,
bisa dikategorikan sebagai pengakuan tanpa makna dan tidak berdasar. Di sini Allah Taala
menjelaskan kepada kita tentang senyawa keimanan dan amal shalih dalam surat Al-‘Ashr;
“Demi masa, sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang
yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat-menasihati agar mentaati kebenaran dan
nasihat-menasihati agar tetap sabar.” (QS 103:1-3)

Ayat-ayat qur’aniyah tentang hal ini banyak sekali, bahkan setiap “khithab ilahi” (panggilan
Allah) yang ditujukan kepada mukminin selalu disertai dengan perintah untuk mengerjakan amal
saleh yang berkaitan dengan ibadah dan larangan untuk meninggalkan hal-hal yang diharamkan
Allah Taala.

Iman yang menshibghah akal, hati dan jasad seorang mukmin, hingga ketika dihadapkan pada
pilihan-pilihan maka pilihannya itu sudah pasti jatuh pada nilai-nilai kebenaran dan kebaikan. Ia
senantiasa memutuskan sesuatu dengan haq dan menghindari hal-hal yang menjurus kepada
kebatilan. Jadi seorang yang telah tershibghah imannya, ia akan menjadi cahaya bagi dirinya,
keluarganya, dan masyarakatnya. Allah berfirman, “Dan apakah orang yang sudah mati,
kemudian ia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan
cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang
keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat ke luar dari padanya?…” (Al-
An’am: 122)
Demikianlah Allah menghidupkan manusia dengan cahaya Islam dan keilmuan. Sehingga hal itu
memberikan manfaat dan kontribusi riel tidak saja bagi lingkungannya bahkan sampai pada skala
‘alamiah (internasional). Rasulullah saw menganalogikan seorang mukmin yang benar-benar
memahami keislaman dan keimanannya seperti lebah. Lebah itu mempunyai sifat tidak pernah
melakukan kerusakan, lihatlah ketika hinggap di dahan-dahan pepohonan atau tangkai-tangkai
bunga. Lebah selalu mengkonsumsi makanan yang terbaik yaitu sari bunga. Dan menghasilkan
sesuatu yang paling bermanfaat yaitu madu. Maka makhluk hidup yang berada di sekitarnya
merasa aman dan nyaman. Begitulah seharusnya muslim dan mukmin, dia harus mampu
menebar pesona Islam. Melukiskan tinta emas kebaikan dalam kanvas kehidupan secara individu
dalam semangat kebersamaan. Semangat kebersamaan inilah yang seharusnya dimiliki setiap
mukmin. Kepekaan terhadap apa saja yang sedang menimpa masyarakat harus menjadi bagian
kehidupannya. Jangan puas dengan urusannya sendiri tanpa memperhatikan dan mempedulikan
masyarakat sekitarnya.

Interaksi Sosial

Lezatnya iman apabila sudah mampu dirasakan oleh seorang mukmin dalam ruang
kepribadiannya, maka akan menjelma menjadi pesona sosial yang sangat menawan. Khusyuk
diri yang dimiliki seorang mukmin akan berdampak pada ‘atha ijtima’i (kontribusi sosial) dan
keharmonisan sosial. Di sini, Nabi kita Muhammad saw mengajarkan kepada kita dengan tiga
kalimat yang sarat dengan nilai-nilai perbaikan diri. Di saat beliau bersabda;

“Bertaqwalah kamu di manapun kamu berada, ikuti keburukan itu dengan kebaikan, niscaya ia
akan menghapuskannya dan berinteraksilah pada manusia dengan akhlaq yang baik.”

Dan salah satu bentuk interaksi kita pada lingkungan sekitar kita adalah adanya hasasiyah
(kepekaan) yang kuat terhadap permasalahan yang terjadi di dalamnya. Perhatian dan fokus kita
terhadap bi-ah (lingkungan), baik yang berkaitan dengan bi-ah da’wiyah, bi-ah ijtima’iyah, bi-ah
ta’limiyah yang terjadi dalam tataran keluarga maupun masyarakat adalah cerminan kuat dari
keimanan kita yang telah tershibghah dengan nilai-nilai kebenaran Islam. Bagaimana Rasulullah
saw melakukan hal ini dalam keluarga dan masyarakatnya. Beliau dengan gigih telah
mempengaruhi pamannya, Abu Thalib untuk memeluk Islam sehingga detik-detik akhir hidup
sang paman. Ia telah menyeru bani-bani Quraisy pada waktu itu seraya berkata di atas bukit
Shafa:

“Wahai Bani Quraisy, selamatkanlah dirimu dari api neraka, wahai Bani Ka’ab, selamatkanlah
dirimu dari api neraka….., wahai Fathimah, selamatkanlah dirimu dari api neraka..” (H.R.
Muslim)

Begitu juga, beliau telah terlibat langsung dalam peristiwa-peristiwa besar yang terjadi pada
masyarakatnya sebelum nubuwah seperti berperan aktif dalam perang fijar; peperangan yang
terjadi antara Quraisy bersama Kinanah dengan Ais Qailan, Hilful Fudlul; kesepakatan untuk
melindungi orang-orang yang terzhalimi dan pembangunan Ka’bah.

Hasasiyah ‘Ailiyah

Oleh karenanya seorang mukmin apalagi kader-kader dakwah harus terlibat aktif dalam amal-
amal kebaikan yang terjadi di lingkungan keluarga maupun masyarakatnya. Baik yang
bersentuhan dengan daur da’wi (peran dakwah keluarga), daur ta’limi (peran pengajaran) dan
daur tarbawi (peran pembinaan).

Janganlah seseorang hanya sibuk dengan perbaikan dirinya dan mengabaikan dakwah
keluarganya. Semangat berbisnis, lalu lupa mengajar dan membina anak-anaknya. Puas dengan
kehebatannya, asyik dengan pesona dirinya, akan tetapi terlena dengan apa yang sedang terjadi
di lingkungan keluarga. Bapak asyik dengan dakwah di luar, sementara anak nyimeng dan
ngeganja. Coba kita perhatikan dan merenungkan kembali firman Allah berikut ini;
“Hai orang-orang beriman, sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang
menjadi musuh bagimu maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka dan jika kamu memaafkan
dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang. Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan
di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (QS 64:14-15)

“Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari
mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang
merugi.” (QS 63:9)

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan
bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak
mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan
apa yang diperintahkan.” (QS 66:6)

Hasasiyah Ijtima’iyah

Interaksi sosial kita yang berujung pada hasasiyah ijtima’iyah, mengharuskan kita untuk terlibat
penuh dengan suatu yang terjadi di tengah-tengah masyarakat kita. Hal ini bukan hanya
dilakukan seorang mukmin atau bahkan aktivis dakwah di saat membutuhkan mereka dan ketika
ada kepentingan. Akan tetapi kapan pun dan kondisi apapun seorang mukmin harus menebar
pesona Islam. Ia bekerja dan berkarya sesuai manhaj rabbani. Seluruh waktu dan hidupnya agar
bermanfaat bagi manusia lain. Ia ingin menjadi salah satu dari kategori “qaumun ‘amaliyun” dan
mendambakan identitas “mukminin yang sebenarnya”.

Oleh karenanya, seorang mukmin harus bisa berperan aktif dalam seluruh dimensi sosial. Baik
dimensi da’wi yang mengharuskan dia sebagai cahaya di tengah masyarakatnya, yang
mengharuskan dia membawa obor mas’uliyah amar ma’ruf nahi munkar dan sebagai agen of
changes. Dimensi ukhrawi; yang mengharuskan dirinya mengkristalkan kembali makna ta’aruf,
tafahum dan takaful dalam kavas ukhuwah islamiyah. Benar-benar menjadi kontributor dalam
segala hal, apalagi yang bersentuhan langsung dengan fuqara, masakin dan al-aitam (yatim
piatu). Rasulullah bersabda:

“Ya Abu Dzar, apabila kamu membuat sayur, perbanyak kuahnya dan perhatikan tetanggamu.”
(HR Muslim)

“Tidaklah beriman seorang di antara kamu, hingga ia mencintai saudaranya seperti mencintai
dirinya.” (Muttafaqun Alaih)

“Penanggung anak yatim, baik miliknya atau orang lain, aku dan orang itu di surga seperti ini
(Malik mengisyaratkan dengan kedekatan jari telunjuk dan tengah).” (HR Muslim)

Dan dimensi ta’limi wa tarbawi; yang mengharuskannya berperan aktif dalam melakukan
pengajaran dan pembinaan masyarakatnya. Sehingga masyarakat setempat menikmati
pencerahan jiwa dan pemikiran. Mereka semakin dekat dengan nilai-nilai Islam dan akhirnya
semangat mengimplementasikannya dalam ruang kepribadiannya dan lingkungan keluarganya.
Allah berfirman:

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan,
menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang
beruntung.” (QS 3:104)

“Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang
membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab
dan Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan
yang nyata,” (QS 62:2)
Semoga kita senantiasa diberikan kekuatan hasasiyah ijtima’iyah dalam diri kita.

Fiqih Ringkas Tentang Puasa

Shaum atau puasa secara bahasa bermakna al-imsak atau menahan diri dari sesuatu seperti
menahan diri dari makan atau berbicara. Makna shaum seperti ini dipakai dalam ayat ke-26 surat
Maryam. “Maka makan dan minumlah kamu, wahai Maryam, dan tenangkanlah hatimu; dan jika
kamu bertemu seseorang, maka katakanlah saya sedang berpuasa dan tidak mau berbicara
dengan siapapun.”

Sedangkan secara istilah, shaum adalah menahan dari dari dua jalan syahwat, mulut dan
kemaluan, dan hal-hal lain yang dapat membatalkan pahala puasa mulai dari terbit fajar sampai
terbenam matahari.

Keutamaan Bulan Ramadhan

Dari Ibnu Mas’ud, Rasulullah saw. bersabda, “Penghulunya bulan adalah bulan Ramadhan dan
penghulunya hari adalah hari Jum’at.” (Thabrani)

Rasulullah saw. bersabda, ” Kalau saja manusia tahu apa yang terdapat pada bulan Ramadhan,
pastilah mereka berharap Ramadhan itu selama satu tahun.” (Thabrani, Ibnu Khuzaimah, dan
Baihaqi)

Dari Abu Hurairah r.a., Rasulullah saw. bersabda, “Apabila datang bulan puasa, dibuka pintu-
pintu surga dan ditutup pintu-pintu neraka.” (Bukhari dan Muslim)

Rasulullah saw. juga bersabda, “Apabila datang malam pertama bulan Ramadhan, para setan dan
jin kafir akan dibelenggu. Semua pintu neraka ditutup sehingga tidak ada satu pintu pun yang
terbuka; dan dibuka pintu-pintu surga sehingga tidak ada satu pun yang tertutup. Lalu terdengara
suara seruan, “Wahai pencari kebaikan, datanglah! Wahai pencari kejahatan, kurangkanlah. Pada
malam itu ada orang-orang yang dibebaskan dari neraka. Dan yang demikian itu terjadi pada
setiap malam.” (Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Keutamaan Puasa Ramadhan

Dari Abu Hurairah, Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa berpuasa di bulan Ramadhan karena
iman dan penuh harap, akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. Dan barangsiapa yang
shalat malam pada bulan puasa, akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (Bukhari dan
Muslim)

Waktu Berpuasa

Ibadah puasa dimulai sejak masuknya fajar shadiq (waktu shalat Subuh) hingga terbenamnya
matahari (masuk waktu shalat Maghrib). Allah menerangkan di dalam al-Qur’an dengan istilah
benang putih dari benang hitam.

Doa Berbuka Puasa

Jika berbuka puasa, Rasullullah saw. membaca, “Allahumma laka shumtu wa ‘ala rizqika
afthartu.” Artinya, ya Allah, untukmu aku berpuasa dan dengan rezeki yang engkau berikan
kami berbuka. Dan Rasulullah saw. berbuka puasa dengan kurma. Jika tidak ada, cukup dengan
air putih.

Sunnah-sunnah Dalam Berpuasa


Sebelum berpuasa, disunnahkan mandi besar dari junub, haidh, dan nifas. Bagi orang yang
berpuasa, disunnahkan melambatkan makan sahur dan menyegerakan berbuka. Berdo’a sebelum
berbuka.

Agar amalan puasa tidak rusak dan pahalanya tidak gugur, orang yang berpuasa disunnahkan
menjaga anggota badan dari maksiat, meninggalkan obrolan yang tidak berguna, meninggalkan
perkara syubhat dan membangkitkan syahwat.

Disunnahkan memperbanyak tilawah Al-Qur’an, memberi makan orang puasa untuk berbuka,
dan memperbanyak sedekah. Di sepuluh hari terakhir, sangat dianjurkan beri’tikaf.

Yang Dibolehkan Tidak Berpuasa

1. Orang yang safar (dalam perjalanan). Tapi, ada ulama yang memberi syarat. Seseorang boleh
tidak berpuasa di bulan Ramadhan dan menggantinya di bulan lain, jika safarnya menempuh
lebih dari 89 km dan safarnya bukan untuk maksiat serta perjalanannya dimulai sebelum fajar.
Namun Imam Hanbali membolehkan berbuka, walaupun safarnya dimulai pada siang hari.
Alasan dibolehkannya berbuka adalah karena safar mengandung masyaqqah (kesusahan). Jika
seseorang yang safar mengambil rukshah ini, ia wajib mengganti puasanya itu di hari lain
sejumlah hari ia tidak berpuasa.

2. Orang yang sedang sakit. Sakit yang masuk dalam kategori ini adalah sakit yang dapat
menghambat kelangsungan ibadah puasa dan berdampak pada keselamatan fisik jika dia tetap
berpuasa. Untuk memutuskan dan menilainya, diperlukan pendapat dokter. Jika seseorang tidak
berpuasa karena sakit, ia wajib mengganti puasa yang ditinggalkannya di bulan lain ketika ia
sudah sehat.

3. Wanita hamil dan ibu yang menyusui. Wanita hamil atau ibu menyusui boleh tidak berpuasa,
tapi harus menggantinya di hari lain. Jika dia tidak berpuasa karena takut dengan kondisi dirinya
sendiri, maka hanya wajib bayar qadha’ saja. Tapi jika dia takut akan keselamatan janin atau
bayinya, maka wajib bayar qadha’ dan fidyah berupa memberi makan sekali untuk satu orang
miskin. Hal ini diqiyaskan dengan orang sakit dan dengan orang tua yang uzur.

4. Orang yang lanjut usia. Orang yang sudah lanjut usia dan tidak sanggup puasa lagi tidak wajib
puasa, tapi wajib bayar fidyah dengan memberi makan seorang miskin sebanyak hari yang
ditinggalkan.

5. Orang yang mengalami keletihan dan kehausan yang berlebihan. Jika kondisi itu
dikhawatirkan mengganggu keselamatan jiwa dan akal, maka boleh berbuka dan wajib qadha’.

6. Orang yang dipaksa (ikrah) tidak berpuasa. Orang seperti ini boleh berbuka, tapi wajib
mengqadha’.

Permasalahan Sekitar Puasa

1. Untuk puasa Ramadhan, wajib memasang niat berpuasa sebelum habis waktu sahur.

2. Saat berpuasa seorang suami boleh mencium isterinya, dengan syarat dapat menahan nafsu
dan tidak merangsang syahwat.

3. Orang yang menunda mandi besar (janabah) setelah sahur atau setelah masuk waktu subuh,
puasanya tetap sah. Begitu juga dengan orang yang berpuasa dan mendapat mimpi basah di siang
hari, puasanya tetap sah.

4. Dilarang suami-istri berhubungan badan di siang hari ketika berpuasa. Hukuman bagi orang
yang bersenggama di siang hari pada bulan Ramadhan adalah memerdekakan budak. Jika tidak
mampu memerdekakan budak, suami-istri itu dihukum berpuasa dua bulan penuh secaara
berturut-turut. Jika tidak mampu juga, mereka dihukum memberi makan 60 orang miskin sekali
makan. Kalau perbuatannya berulang pada hari lain, maka hukumannya berlipat. Kecuali,
pengulangannya dilakukan di hari yang sama.

5. Orang yang terlupa bahwa ia berpuasa kemudian makan dan minum, maka puasanya tetap sah.
Setelah ingat, ia harus melanjutkan puasanya hingga waktu berbuka di hari itu juga.

6. Hanya muntah yang disengaja yang membatalkan puasa. Ada tiga perkara yang tidak
membatalkan puasa: bekam, muntah (yang tidak disengaja), dan bermimpi (ihtilam). Sikat gigi
atau membersihkan gigi dengan syiwak diperbolehkan. Hal ini biasa dilakukan oleh Rasulullah
saw. Tapi, ada ulama yang memakruhkan menyikat gigi dengan pasta gigi setelah matahari
condong ke Barat.

7. Orang yang mempunyai hutang puasa tahun sebelumnya, harus dibayar sebelum masuk
Ramadhan yang akan berjalan. Jika belum juga ditunaikan, harus dibayar setelah Ramadhan
yang tahun ini. Tapi, ada ulama berpendapat, selain harus diqadha’ juga diwajibkan memberi
makan orang miskin.

8. Para ulama sepakat bahwa orang yang wafat dan punya utang puasa yang belum ditunaikan
bukan karenakan kelalaian tapi disebabkan ada uzur syar’i seperti sakit atau musafir, tidak ada
qadha yang harus ditanggung ahli warisnya. Tapi jika ada kelalaian, ada sebagian ulama
mewajibkan qadha terhadap ahli warisnya dan sebagian lain mengatakan tidak.

9. Bagi mereka yang bekerja dengan fisik dan terkategori berat –seperti pekerja peleburan besi,
buruh tambang, tukang sidang, atau yang lainnya– jika berpuasa menimbulkan kemudharatan
terhadap jiwa mereka, boleh tidak berpuasa. Tapi, wajib mengqadha’. Jumhur ulama
mensyaratkan orang-orang yang seperti ini wajib baginya untuk sahur dan berniat puasa, lalu
berpuasa di hari itu. Kalau tidak sanggup, baru boleh berbuka. Berbuka menjadi wajib, kalau
yakin kondisi ketidak sanggupan itu akan menimbulkan kemudharatan.

Menjaga Tubuh Dari Dosa

Maksud Hifzhul Jawarih Minadz Dzunub

Al-hifzhu berarti menjaga, memelihara. Al-jawarih berarti bagian-bagian tubuh, yaitu anggota
tubuh yang ada dalam tubuh manusia baik yang tampak ataupun yang tidak tampak, yang ada di
luar atau yang ada dalam tubuh, seperti tangan, kaki, telinga, mata, hidung, mulut, perut, dan
hati. Ad-dzunub adalah dosa-dosa.

Jadi, maksud dari hifzhul jawarih min ad-dzunub adalah memelihara dan menjaga anggota tubuh
dari segala dosa, sehingga dirinya dapat terpelihara dari maksiat dan terhindar dari azab Allah
swt.

Manusia diciptakan dalam keadaan sempurna dan istimewa, tidak seperti makhluk-makhluk lain
seperti malaikat, jin, setan, hewan, dan tumbuh-tumbuhan. Hal ini difirmankan Allah swt. dalam
surat At-tiin ayat 4:

‫لقد خلقنا النسان في أحسن التقويم‬

“Sungguh Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sempurna.”

Apa yang membuat manusia diciptakan dalam keadaan sempurna? Paling tidak ada 3 komponen
yang diberikan Allah swt. kepada manusia sehingga menjadi makhluk yang sempurna, yaitu
akal, ruh, dan jasad.

Tiga komponen tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan dan saling
menyempurnakan. Jika salah satu hilang, maka kesempurnaan manusia akan hilang. Akal yang
digunakan untuk berpikir, membedakan manusia dari binatang. Karena itu, jika manusia tidak
mau menggunakan akalnya dengan baik, maka tak ubahnya seperti binatang. Ruh membuat
manusia mampu bergerak dan melakukan aktivitasnya. Jika ruh hilang dalam diri manusia, maka
tak ubahnya seperti mayat yang terbujur kaku. Tidak bisa bergerak. Jangankan bergerak,
menepis sesuatu yang menempel di tubuhnya pun tidak bisa.

Jasad juga sangat dibutuhkan dalam diri manusia. Jika ada tidak jasad, maka dirinya tidak
terlihat; dan ini tak ubahnya seperti jin, setan, atau malaikat. Alangkah baik jika seperti malaikat,
makhluk yang dimuliakan Allah. Namun jika seperti setan? Naudzubillah min dzalik.

Namun demikian kesempurnaan manusia adalah relatif. Dengan 3 komponen yang telah
dianugerahkan Allah ini, diharapkan manusia mampu menjalankan perintah Allah dengan
maksimal dan baik, bersyukur kepada Yang Maha Pemberi, dan beribadah kepada sang Khaliq.

Allah mengingatkan dalam ayat ke 5 surat At-tiin:

‫ثم رددناه أسفل سافلين إل الذين آمنوا وعملوا الصالحات فلهم أجر غير ممنون فما يكذبك بعد بالدين أليس ال بأحكم الحاكمين‬

“Kemudian kami kembalikan mereka ke tempat yang paling rendah, kecuali orang-orang yang
beriman dan beramal shalih, maka bagi mereka ganjaran yang tidak terbatas. Allah tidak
berdusta dengan agama. Bukankah Allah sebaik-baik Hakim?”

Allah akan menghinakan manusia karena mereka tidak mau menggunakan akal untuk
memikirkan segala ciptaan Allah hingga menghasilkan iman yang dalam kepadanya. Allah juga
akan menghinakan manusia yang tidak menggunakan ruhnya untuk beribadah. Allah pasti akan
menghinakan manusia yang tidak menggunakan jasadnya untuk menjalankan segala kewajiban
dan tidak mampu menjaga dari dosa-dosa yang dilarang.

Dalam agama ada dua bagian penting: pertama, melakukan ketaatan terhadap segala perintah
Allah; kedua, menjauhi segala larangan Allah.

Perbuatan taat adalah pekerjaan yang mudah. Setiap orang mampu mengerjakannya. Tapi,
meninggalkan kemaksiatan adalah perbuatan yang paling berat karena terkait dengan
meninggalkan kesenangan dan keinginan, Karena itu meninggalkan kemaksiatan adalah
perbuatan yang tidak bisa dilakukan kecuali hanya oleh shiddiqun (orang-orang yang jujur)
dalam beribadah dan bersungguh-sungguh dalam meninggalkan kemaksiatan.

Rasulullah saw. bersabda:

‫ والمجاهد من جاهد هواه‬،‫المهاجر من هجر السوء‬

“Al-Muhajir (orang yang hijrah) adalah yang meninggalkan keburukan, dan al-mujahid (orang
yang berjihad) adalah yang bersungguh-sungguh menahan hawa nafsunya.”

Makna Adz-Dzunuh dan Pembagiannya

Ad-dzunub –jamak dari kata dzanbun (dosa)– adalah balasan atau ganjaran Allah terhadap
seseorang yang melakukan kemaksiatan. Jika seseorang melakukan kesalahan, maka atasnya
dosa. Jika bertaubat kepada Allah, maka akan dihapus dosa tersebut. Namun jika tidak bertaubat,
maka dosanya akan terus bertambah dalam hatinya dan membuat hati menjadi keras serta sulit
untuk menerima kebaikan, nasihat, dan hidayah Allah.

Rasulullah saw. men-tamtsil-kan dosa seperti noktah hitam. Jika bertaubat, noktah hitam tersebut
akan hapus. Namun jika dibiarkan, akan terus bertambah hitam. Para sahabat Nabi menganggap
dosa –walaupun dosa dari kesalahan yang kecil– seperti gunung besar dan tinggi yang akan
menimpa diri mereka.
Sementara, Imam Al-Ghazali men-tamtsil-kan dosa seperti kaca jendela yang setiap hari tertimpa
debu. Jika kaca tersebut setiap hari dibersihkan, maka akan selalu tetap bersih. Namun jika
dibiarkan dan tidak dibersihkan, debu akan terus bertambah dan lambat laun akan membuat kaca
tertutup oleh debu sehingga cahaya matahari tidak bisa menembus kaca yang tertutup dengan
debu.

Berdasarkan jenisnya, dosa dibagi menjadi dua, yaitu dosa besar dan dosa kecil. Dosa besar
adalah dosa yang dilakukan oleh seseorang karena melakukan kemaksiatan seperti zina,
memakan harta riba, syirik, menyembah kepada selain Allah, dan bersumpah palsu. Sedangkan
dosa kecil yaitu dosa yang dilakukan oleh seseorrang karena melakukan kesalahan atau
pelanggaran.

Sedangkan jika dibagi berdasarkan perbuatan yang dilakukan, dosa juga digolongkan menjadi
dua. Pertama, dosa yang berhubungan dengan Allah; yaitu dosa karena melakukan pelanggaran
atas hak-hak Allah seperti meninggalkan ibadah wajib dan tidak puasa. Dosa ini jika pelakunya
bertaubat kepada-Nya, maka akan diampuni.

Kedua, dosa yang berhubungan dengan manusia; yaitu dosa yang dilakukan oleh seseorang
karena melakukan kesalahan kepada orang lain seperti menyakiti dan mengambil harta orang
lain dengan cara yang tidak dibenarkan. Dosa ini tidak akan diampuni oleh Allah kecuali dengan
mendapat maaf dari orang yang disakiti atau mengembalikan harta yang diambil kepada
pemiliknya.

Jenis-jenis Jawarih

Al-jawarih (anggota tubuh) adalah nikmat yang dianugerahkan Allah kepada manusia. Tanpa al-
jawarih, kesempurnaan manusia akan hilang. Jika salah satu jawarih hilang, maka dianggap
cacat.

Al-jawarih juga merupakan amanah Allah yang harus dipelihara dan tidak boleh dikhianati, tidak
digunakan untuk melakukan kemaksiatan, dan harus dipelihara dari dosa. Siapa yang
melanggarnya, dianggap telah melakukan kezhaliman terhadap jawarih-nya.

Setiap al-jawarih yang dimiliki oleh manusia akan menjadi saksi nanti di hari kiamat. Jawarih-
nya akan berbicara di hadapan Allah guna memberikan kesaksian terhadap apa yang diperbuat
oleh pemilik jawarih tersebut. Allah berfirman:

‫يوم تشهد عليهم ألسنتهم وأيديهم وأرجلهم بما كانوا يعملون‬

“Pada hari itu lisan-lisan, tangan-tangan, dan kaki-kaki mereka akan menjadi saksi terhadap apa
yang mereka lakukan (di dunia).”

Allah juga berfirman:

‫اليوم نختم على افواههم وتكلمنا أيديهم وتشهد أرجلهم بما كانوا يكسبون‬

“Pada hari itu kami kunci mulut-mulut mereka. Tangan-tangan dan kaki-kaki mereka menjadi
saksi terhadap apa yang mereka lakukan.”

Adapun al-jawarih yang khusus kita jaga ada tujuh, yaitu mata, telinga, lidah, perut, kemaluan,
tangan, dan kaki.

Adab Hifzhul Jawarih Minadz Dzunub

Adapun adab-adab menjaga al-jawarih dari dzunub adalah sebagai berikut:

1. Adab mata
Allah berfirman:

ْ‫ن ِممن‬َ ‫ضم‬


ْ ‫ض‬ُ ‫ت َيْغ‬ِ ‫ل ِلْلُمْؤِمَنمما‬
ْ ‫ن َوُقم‬
َ ‫صمَنُعو‬
ْ ‫خِبيمٌر ِبَممما َي‬
َ ‫لم‬
َّ ‫ن ا‬
ّ ‫ك َأْزَكى َلُهْم ِإ‬
َ ‫جُهْم َذِل‬
َ ‫ظوا ُفُرو‬
ُ ‫حَف‬
ْ ‫صاِرِهْم َوَي‬
َ ‫ن َأْب‬
ْ ‫ضوا ِم‬
ّ ‫ن َيُغ‬
َ ‫ل ِلْلُمْؤمِِني‬
ْ ‫ُق‬
ّ ‫جُه‬
‫ن‬ َ ‫ن ُفُرو‬
َ‫ظ‬ْ ‫حَف‬
ْ ‫ن َوَي‬
ّ ‫صاِرِه‬ َ ‫َأْب‬

“Katakanlah kepada orang-orang beriman (laki-laki) hendaknya menjaga pandangan mereka dan
memelihara kemaluan mereka, karena yang demikian itu membersihkan jiwa mereka dan
sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dengan apa yang mereka lakukan. Dan katakanlah
kepada wanita perempuan hendaknya mereka menjaga pandangan mereka dan memelihara
kemaluan mereka.” (An-Nur:30-31)

Mata diciptakan untuk memberikan petunjuk dalam kegelapan, membantu pada kebutuhan-
kebutuhan yang dilakukan oleh anggota tubuh lain, melihat keindahan ciptaan Allah dari langit
dan bumi dan makhluk lainnya, sehingga dapat mengambil pelajaran dari tanda-tanda kekuasaan
Allah.

Memelihara mata dapat dilihat pada empat hal:

1. menggunakannya untuk melihat pada sesuatu yang tidak diharamkan;

2. menggunakannya untuk melihat pada sesuatu yang tidak mengumbar nafsu;

3. menggunakannya untuk melihat pada seorang muslim tidak dengan pandangan hina;

4. menggunakannya untuk melihat pada seorang muslim untuk tidak membuka aib.

2. Adab Telinga

Telinga diciptakan untuk mendengarkan kalam Allah, sunnah Rasulullah saw, dan ceramah-
ceramah yang dapat memberikan faedah mengenal Allah swt., Raja Yang Maha Hidup dan
Pemberi Nikmat Yang tiada henti.

Adapun telinga hendaknya dipelihara dari mendengar sesuatu yang bid’ah, ghibah, maksiat,
batil, dan dari menceritakan aib orang lain.

3. Adab Lisan

Lisan diciptakan untuk memperbanyak menyebut nama Allah, berdzikir kepada-Nya dan
membaca kitab Allah, mengajak manusia pada jalan-Nya, memvisualisasikan apa yang ada
dalam hati dari kebutuhan agama dan dunia.

Jika lisan digunakan bukan pada tempatnya, maka pada hakikatnya telah mengingkari nikmat
Allah. Karena, lisan adalah anggota tubuh yang sangat besar manfaatnya. Manusia tidak
dimasukkan ke dalam neraka, kecuali karena lisannya.

Rasulullah saw. bersabda:

‫إن الرجل ليتكلم بالكلمة ليضحك بها أصحابه فيهوي بها في قعر جهنم سبعين خريفا‬

:‫ صلى ال عليه وسلم‬:‫ فقال‬،‫ هنيئا له الجنة‬:‫وروى أنه قتل شهيد في المعركة على عهد رسول ال صلى ال عليه وسلم فقال قائل‬
‫ ويبخل بما ل يغنيه‬،‫)وما يدريك لعله كان يتكلم فيما ل يعنيه‬.

Diriwayatkan bahwa seseorang mendapatkan syahid dalam kancah perang pada masa Rasulullah
saw, maka seseorang berkata, “Selamat baginya surga.” Rasulullah saw. bersabda, “Kalian tidak
mengetahui bahwa dirinya banyak berbicara sesuatu yang tidak perlu dan kikir pada orang yang
membutuhkan.”
Adapun adab menjaga lisan ada 5, yaitu:

· Jaga lisan dari berdusta

Yaitu menjaganya dari jidal dan canda, tidak membiasakan pada dusta karena dusta merupakan
pangkal dosa besar.

· Jaga lisan pada janji

Jika seseorang berjanji, maka harus ditunaikan janji tersebut, kecuali karena uzdur syar’i atau
darurat, namun sebisa mungkin untuk bisa menepati janji tersebut dan tidak melanggarnya;
karena melanggar janji merupakan akhlak yang paling tercela dan salah satu dari sifat munafik.

Nabi saw bersabda:

‫ وإذا أؤتمن خان‬،‫ وإذا وعد أخلف‬،‫ من إذا حدث كذب‬:‫ثلث من كن فيه فهو منافق وإن صام وصلى‬

“Tiga hal yang jika salah satunya ada dalam diri seseorang maka disebut munafik walaupun
mendirikan shalat dan puasa: jika berbicara berdusta, jika berjanji melanggar, dan jika diberi
amanah mengkhianati.”

· Tidak ghibah

Ghibah adalah menceritakan diri seseorang yang tidak disukai walaupun yang diceritakan
mendengarnya, jika benar maka dirinya telah melakukan ghibah dan zhalim. Maka dari itu
seseorang harus memelihara dirinya dari berbuat ghibah, karena ghibah adalah perbuatan yang
tercela dan paling jahat.

Ghibah juga merupakan perbuatan yang diharamkan Allah, dan biasanya ghibah bersumber dari
prasangka buruk terhadap seseorang lalu tanpa melakukan cek dan ricek terlebih dahulu
diceritakan kepada orang lain. Allah swt. mengecam orang yang berghibah dan menyamakannya
dengan memakan daging saudaranya yang sudah meninggal.

Allah berfirman:

َ‫حمم‬ْ ‫ل َل‬
َ ‫ن َيْأُكم‬
ْ ‫حمُدُكْم َأ‬َ ‫ب َأ‬
ّ ‫حم‬ِ ‫ضمما َأُي‬
ً ‫ضمُكْم َبْع‬
ُ ‫ب َبْع‬ ْ ‫ل َيغَْتم‬
َ ‫سوا َو‬
ُ‫س‬ّ‫ج‬
َ ‫ل َت‬
َ ‫ن ِإْثٌم َو‬
ّ‫ظ‬
ّ ‫ض ال‬
َ ‫ن َبْع‬
ّ ‫ن ِإ‬
ّ‫ظ‬
ّ ‫ن ال‬
ْ ‫جَتِنُبوا َكِثيًرا ِم‬
ْ ‫ن آَمُنوا ا‬
َ ‫َياَأّيَها اّلِذي‬
‫حيٌم‬
ِ ‫ب َر‬ٌ ‫ل َتّوا‬ َّ ‫ن ا‬ ّ ‫ل ِإ‬
َّ ‫خيِه َمْيًتا َفَكِرْهُتُموهُ َواّتُقوا ا‬
ِ ‫َأ‬

“Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah akan buruk sangka, karena buruk sangka
sebagiannya adalah dosa.Jangan mengintai, dan jangan ghibah sebagian kalian dengan yang
lainnya, sukakah diantara kalian memakan daging saudaranya yang sudah meninggal, tentu
kalian tidak akan menyukainya, dan bertakwalah kepada Allah.Sesungguhnya Allah Maha
Penerima taubat dan Maha Penyayang.” (Al-Hujurat:12)

Cukuplah bagi seseorang memikirkan aibnya sendiri ketimbang aib orang lain, sebagaimana
yang diwasiatkan Rasulullah saw.

‫طوبى لمن شغله عيبه عن عيوب الناس‬

“Beruntunglah seseorang yang sibuk dengan aibnya sendiri dari memikirkan aib orang lain.”

Allah swt. memuji orang yang menjadi perisai saudaranya dan menjaga dirinya untuk tidak
menceritakan aib orang lain. Karena dirinya mampu menutupi aib orang, maka Allah akan
menutupi aib dirinya. Namun jika mengumbar aib orang, maka Allah akan mengecamnya dan
dibuka kehormatannya di dunia sementara di akhirat Allah akan mencelanya di hadapan semua
makhluk-Nya.
· Jangan berbantah-bantahan dan jidal

Yaitu berbantah-bantahan dalam bicara di hadapan orang lain dengan tujuan menghinakan orang
tersebut sambil menampakkan dirinya orang yang paling bersih, pintar, dan berwawasan luas.

Rasulullah saw. bersabda:

‫ ومن ترك المراء وهو محق بنى ال له بيتا في أعلى الجنة‬،‫من ترك المراء وهو مبطل بنى ال له بيتا في ربض الجنة‬

“Barangsiapa yang meninggalkan berbantah-bantahan padahal dalam kebatilan, maka Allah akan
bangunkan baginya rumah dalam surga paling bawah. Dan barangsiapa yang meninggalkan
berbantah-bantahan padahal kebenaran, maka Allah akan bangunkan baginya rumah di surga
yang paling tinggi.”

· Tidak mencela ciptaan Allah

Seseorang tidak boleh mencela ciptaan Allah; seperti hewan, makanan atau manusia itu sendiri.
Tidak menuduh orang pada kekafiran atau nifak; karena kufur dan nifak adalah urusan Allah dan
merupakan perbuatan hati. Dan yang berhak membuka perbuatan hati adalah Allah.

Rasulullah saw. tidak pernah mencela makanan yang ada di hadapannya. Sebagaimana yang
diriwayatkan oleh Aisyah r.a., “Rasulullah saw. sama sekali tidak pernah mencela makanan yang
tidak disukainya. Jika beliau menyukai, maka beliau memakannya; dan jika tidak, maka beliau
meninggalkannya.”

4. Adab Perut

Adapun perut harus dipelihara dari memakan makanan yang haram dan syubhat. Berusahalah
mencari yang halal. Bagi seseorang yang telah mendapatkan harta yang halal, maka hendaknya
berusaha menggunakannya dengan sebaik-sebaiknya. Tidak memakannya hingga kekenyangan
karena kekenyangan akan membuat hati keras, merusak akal, melemahkan daya ingat, membuat
anggota tubuh berat untuk beribadah dan membaca Al-Quran, meninggikan nafsu syahwat dan
membuka pintu setan sehingga masuk ke dalamnya.

5. Adab kemaluan

Kemaluan harus dipelihara dari hal-hal yang diharamkan Allah, sebagaimana yang difirmankan
Allah swt:

‫جِهم َأو ما َمَلَكت َأيماُنُهم‬


ِ ‫على َأزوا‬
َ ‫ل‬
ّ ‫ ِإ‬،‫جهم حاِفظون‬
ِ ‫ن ُهم ِلُفرو‬
َ ‫َوالَذي‬

“Dan mereka yang memelihara farj (kemaluannya) kecuali terhadap istri-istri mereka atau
budak-budak mereka.”

Pemeliharaan farj tidak akan bisa diraih kecuali dengan memelihara mata dari pandangan yang
diharamkan, menjaga hati dari mengkhayal dan mengumbar syahwat, dan menjaga perut dari
syubhat dan kekenyangan karena semua itu merupakan pemicu dari syahwat.

6. Adab tangan

Adapun tangan juga harus dipelihara dari melakukan tindakan yang merugikan orang lain;
seperti memukul orang lain tanpa alasan yang dibenarkan, mengambil hak orang lain dengan
cara yang tidak halal, menyakiti setiap makhluk Allah, berkhianat, menulis sesuatu yang tidak
dihalalkan, karena tulisan adalah pengganti lisan.

7. Adab kaki
Adapun kaki harus dipelihara dari berjalan menuju yang haram dan ke tempat yang diharamkan.
Tidak menggunakannya untuk menendang atau melakukan kekerasan, dan berusaha untuk
melangkahkannya ke tempat yang halal dan dibolehkan; seperti masjid, majelis taklim, berziarah
ke tempat saudaranya sesama muslim, dan membantu orang lain.

Demikianlah hifhzul jawarih yang harus dipelihara oleh setiap muslim. Amal jawarih merupakan
cerminan dari kondisi hati. Karena itu, jika seseorang ingin berhasil melakukan hifzhul jawarih,
hendaknya memelihara hatinya agar bersih dari dosa dan kotoran. Baik dan buruknya jawarih
terlihat dari kondisi hati. Sebagaimana yang disabdakan Rasulullah saw.:

‫ وإذا فسدت فسد بها سائر الجسد أل وهي القلب‬،‫أل إن في الجسد مضغة إذا صلحت صلح بها سائر الجسد‬.

“Ketahuilah dalam jasad manusia ada segumpal darah, jika baik maka akan baik pula seluruh
jasadnya, dan jika rusak maka akan rusak pula seluruh jasadnya. ketahuilah, segumpal darah itu
adalah hati. ”

Selalu Ada Debu Dosa

Dosa tak ubahnya seperti tiupan angin di tanah berdebu. Wajah terasa sejuk sesaat, tapi butiran
nodanya mulai melekat. Tanpa terasa, tapi begitu berbekas. Kalau saja tak ada cermin, orang tak
pernah mengira kalau ia sudah berubah.

Perjalanan hidup memang penuh debu. Sedikit, tapi terus dan pasti; butiran-butiran debu dosa
kian bertumpuk dalam diri. Masalahnya, seberapa peka hati menangkap itu. Karena boleh jadi,
mata kepekaan pun telah tersumbat dalam gundukan butiran debu dosa yang mulai menggunung.

Seorang mukmin saleh mungkin tak akan terpikir akan melakukan dosa besar. Karena hatinya
sudah tercelup dengan warna Islam yang teramat pekat. Jangankan terpikir, mendengar sebutan
salah satu dosa besar saja, tubuhnya langsung merinding. Dan lidah pun berucap, “Na’udzubillah
min dzalik!”

Namun, tidak begitu dengan dosa-dosa kecil. Karena sedemikian kecilnya, dosa seperti itu
menjadi tidak terasa. Terlebih ketika lingkungan yang redup dengan cahaya Ilahi ikut
memberikan andil. Dosa menjadi biasa.

Rasulullah saw. bersabda, “Jauhilah dosa-dosa kecil, karena jika ia terkumpul pada diri
seseorang, lambat laun akan menjadi biasa.”

Dalam beberapa kesempatan, Rasulullah saw. mewanti para sahabat agar berhati-hati dengan
sebuah kebiasaan. Karena boleh jadi, sesuatu yang dianggap ringan, punya dampak besar buat
pembentukan hati.

Dari Anas Ibnu Malik berkata, “Rasulullah saw. menyampaikan sesuatu di hadapan para
sahabatnya. Beliau saw. berkata: ‘Telah diperlihatkan kepadaku surga dan neraka, maka aku
belum pernah melihat kebaikan dan keburukan seperti pada hari ini. Jika kalian mengetahui apa
yang aku ketahui niscaya kalian akan sedikit tertawa dan banyak menangis.’ Anas berkata,
“Tidak pernah datang kepada sahabat Rasulullah suatu hari yang lebih berat kecuali hari itu.”
Berkata lagi Anas, “Para sahabat Rasulullah menundukkan kepala-kepala mereka dan terdengar
suara tangisan mereka.” (Bukhari & Muslim)

Sekecil apa pun dosa, terlebih ketika menjadi biasa, punya dampak tersendiri dalam hati, pikiran,
dan kemudian perilaku seseorang. Repotnya, ketika si pelaku tidak menyadari. Justru orang lain
yang lebih dulu menangkap ketidaknormalan itu.

Di antara dampak dosa yang kadang remeh dan tidak terasa adalah sebagai berikut: pertama,
melemahnya hati dan tekad. Kelemahan ini ketika tanpa sadar, seseorang tidak lagi bergairah
menunaikan ibadah sunah. Semuanya tinggal yang wajib. Nilai-nilai tambah ibadah menjadi
hilang begitu saja. Tiba-tiba, ia menjadi enggan beristighfar. Sementara, hasrat untuk melakukan
kemaksiatan mulai menguat.

Kedua, seseorang akan terus melakukan perbuatan dosa dan maksiat, sehingga ia akan
menganggap remeh dosa tersebut. Padahal, dosa yang dianggap remeh itu adalah besar di sisi
Allah ta’ala.

Di antara bentuk itu adalah ucapan-ucapan dusta. Awalnya mungkin hanya sekadar canda agar
orang lain bisa tertawa. Tapi, ucapan tanpa makna itu akhirnya menjadi biasa. Padahal di antara
ciri seorang mukmin selalu menghindar dari perbuatan laghwi, tanpa makna. Allah swt.
berfirman, “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang beriman, (yaitu) orang-orang yang
khusyuk dalam salatnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan
perkataan) yang tiada berguna.” (QS. 23: 1-3)

Seorang sahabat Rasul, Ibnu Mas’ud, pernah memberikan perbandingan antara seorang mukmin
dan fajir. Terutama, tentang cara mereka menilai sebuah dosa. Beliau r.a. berkata,
“Sesungguhnya seorang mukmin ketika melihat dosanya seakan-akan ia berada di pinggir
gunung. Ia takut gunung itu akan menimpa dirinya. Dan seorang yang fajir tatkala melihat
dosanya, seperti memandang seekor lalat yang hinggap di hidungnya, lalu membiarkannya
terbang.” (HR. Bukhari)

Ketiga, dosa dan maksiat akan melenyapkan rasa malu. Padahal, malu merupakan tonggak
kehidupan hati, pokok dari segala kebaikan. Jika rasa malu hilang, maka lenyaplah kebaikan.
Nabi saw. bersabda, “Malu adalah kebaikan seluruhnya.” (HR. Bukhari Muslim)

Keempat, sulitnya menyerap ilmu keislaman. Ini karena dosa mengeruhkan cahaya hati. Padahal,
ilmu keislaman merupakan pertemuan antara cahaya hidayah Allah swt. dengan kejernihan hati.

Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i pernah menuturkan pengalaman pribadinya. Ketika itu, ulama
yang biasa disebut Imam Syafi’i ini merasakan adanya penurunan kemampuan menghafal. Ia
pun mengadukan hal itu ke seorang gurunya yang bernama Waqi’. Penuturan itu ia tulis dalam
bentuk untaian kalimat yang begitu puitis.

Aku mengadukan buruknya hafalanku kepada Waqi’

Beliau memintaku untuk membersihkan diri dari segala dosa dan maksiat

Beliau pun mengajarkanku bahwa ilmu itu cahaya

Dan cahaya Allah tidak akan pernah menembus pada hati yang pendosa

Ada satu dampak lagi yang cukup memprihatinkan. Seseorang yang hatinya berserakan debu
dosa enggan bertemu sapa dengan sesama mukmin. Karena magnit cinta dengan sesama ikhwah
mulai redup, melemah. Sementara, kecenderungan bergaul dengan lingkungan tanpa nilai justru
menguat. Ada pemberontakan terselubung. Berontak untuk bebas nilai.

Perjalanan hidup memang bukan jalan lurus tanpa terpaan debu. Kian cepat kita berjalan,
semakin keras butiran debu menerpa. Berhati-hatilah, karena sekecil apa pun debu, ia bisa
mengurangi kemampuan melihat. Sehingga tidak lagi jelas, mana nikmat; mana maksiat.

Menjauhi Dosa Besar (Bagian 1)

Rasulullah saw. bersabda:

‫ل الّرَبما‬
ُ ‫ل اْلَيِتْيمِم َوَأْكم‬
ِ ‫ل َمما‬
ُ ‫ق َوَأْكم‬
ّ‫ح‬َ ‫ل ِبماْل‬
ّ ‫لم ِإ‬ُ ‫حمّرَم ا‬
َ ‫س اّلِتمي‬
ِ ‫ل الّنْفم‬
ُ ‫حُر َوَقْتم‬
ْ‫س‬ّ ‫ل َوال‬
ِ ‫ك ِبا‬
ُ ‫شْر‬
ّ ‫ ال‬:‫ت ” َفَذَكَر ِمْنَها‬
ِ ‫سْبَع اْلُمْوِبَقا‬
ّ ‫جَتِنُبوا ال‬
ْ‫ا‬
‫عَلْيِه‬
َ ‫ق‬
ٌ ‫ ُمّتَف‬.‫ت‬ِ ‫ت اْلُمْؤِمَنا‬ ِ ‫ل‬َ ‫ت اْلَغاِف‬
ِ ‫صَنا‬
ِ ‫ح‬ ْ ‫ف اْلُم‬
ُ ‫ف َوَقْذ‬
ِ ‫ح‬
ْ ‫َوالّتَوّلي َيْوُم الّز‬
“Jauhilah kalian tujuh dosa besar; syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan
Allah kecuali dengan cara yang benar, memakan harta anak yatim, memakan harta riba, lari
dari medan perang, menuduh berzina terhadap wanita yang suci.” (Muttafaqun alaih)

Hadits ini adalah arahan Rasulullah saw. kepada kita untuk meraih kehidupan baik di dunia
maupun di akhirat. Wasiat ini terkait dengan larangan-larangan Allah yang merupakan dosa
besar. Larangan-larangan tersebut merupakan dasar yang sangat fundamental dan telah
disepakati oleh seluruh agama samawi. Jika kesemua larangan tersebut dapat kita jauhi, maka
akan tercipta kelangsungan hubungan harmonis kita dengan Allah swt., keluarga, dan
masyarakat. Tercipta ketertiban dan keamanan lingkungan. Terjaga kesucian jiwa dan hati; baik
pribadi, keluarga dan masyarakat dari segala kotoran batin dan raga, sehingga kebahagiaan di
dunia dan di akhirat pun dapat dicapai.

Para ulama memberikan parameter tentang dosa besar yang harus dijauhi oleh umat Islam.
Mereka menyebutkannya dengan tujuh dosa bersar, dengan alasan sabda Nabi saw.:

‫ل الّرَبما‬
ُ ‫ل اْلَيِتْيمِم َوَأْكم‬
ِ ‫ل َمما‬
ُ ‫ق َوَأْكم‬
ّ‫ح‬َ ‫ل ِبماْل‬
ّ ‫لم ِإ‬ُ ‫حمّرَم ا‬
َ ‫س اّلِتمي‬
ِ ‫ل الّنْفم‬
ُ ‫حُر َوَقْتم‬
ْ‫س‬ّ ‫ل َوال‬
ِ ‫ك ِبا‬
ُ ‫شْر‬
ّ ‫ ال‬:‫ت ” َفَذَكَر ِمْنَها‬
ِ ‫سْبَع اْلُمْوِبَقا‬
ّ ‫جَتِنُبوا ال‬
ْ‫ا‬
‫عَلْيِه‬
َ ‫ق‬
ٌ ‫ ُمّتَف‬.‫ت‬ِ ‫ت اْلُمْؤِمَنا‬ ِ ‫ل‬َ ‫ت اْلَغاِف‬
ِ ‫صَنا‬
ِ ‫ح‬ ْ ‫ف اْلُم‬
ُ ‫ف َوَقْذ‬
ِ ‫ح‬
ْ ‫َوالّتَوّلي َيْوُم الّز‬

“Jauhilah kalian tujuh dosa besar; syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan
Allah kecuali dengan cara yang benar, memakan harta anak yatim, memakan harta riba, lari
dari medan perang, menuduh berzina terhadap wanita yang suci.” (Muttafaqun alaih)

Disebutkannya hadits ini menunjukkan akan besarnya dosa orang yang melakukan perbuatan
tersebut, sehingga pelakunya mendapat ganjaran di dunia dengan had seperti membunuh, zina
dan mencuri, dan di akhirat mendapat ancaman azab atau murka, celaan atau laknat dari Allah.
Dengan itu semua, umat manusia khususnya umat Islam harus segera menjauhi dan
meninggalkan perbuatan dosa besar.

Dan pada awal dakwah, Rasulullah saw. sangat menekankan kepada para sahabatnya untuk
segera meninggalkan perbuatan haram dan menjauhi dosa besar. Bahkan Rasulullah saw.
menjadikan hal tersebut sebagai prasyarat dalam berbaiat untuk taat kepada Allah swt. dan
Rasulullah saw.

Dalam surat Al-Mumtahanah ayat 12 Allah berfirman:

ٍ ‫ن ِبُبْهَتمما‬
‫ن‬ َ ‫ل َيمْأِتْي‬
َ ‫ن َو‬ ّ ‫لَدُهم‬َ ‫ن َأْو‬
َ ‫ل َيْقُتْل‬
َ ‫ن َو‬َ ‫ل َيْزِنْي‬
َ ‫ن َو‬
َ ‫سِرْق‬
ْ ‫ل َي‬
َ ‫شْيًئا َو‬
َ ‫ل‬ِ ‫ن ِبا‬
َ ‫شِرْك‬ْ ‫ل ُي‬
َ ‫ن‬ ْ ‫عَلى َأ‬ َ ‫ك‬ َ ‫ت ُيَباِيْعَن‬ ُ ‫ك اْلُمْؤِمَنا‬
َ ‫جاَء‬
َ ‫ي ِإَذا‬
ّ ‫َياَأّيَها الّنِب‬
ٌ‫حْيم‬
ِ ‫غُفْوٌر َر‬ َ ‫ل‬ َ ‫نا‬ ّ ‫ل ِإ‬
َ ‫نا‬ ّ ‫سَتْغِفْرَلُه‬
ْ ‫ن َوا‬ ّ ‫ف َفَباِيْعُه‬
ٍ ‫ك ِفي َمعُْرْو‬ َ ‫صْيَن‬
ِ ‫ل َيْع‬
َ ‫ن َو‬ّ ‫جِلِه‬
ُ ‫ن َوَأْر‬
ّ ‫ن َأْيِدْيِه‬
َ ‫َيْفَتِرْيَنُه َبْي‬

“Wahai Nabi, jika datang kepadamu wanita-wanita beriman untuk berbaiat setia kepadamu agar
tidak melakukan syirik kepada Allah dengan sesuatu, tidak mencuri, tidak berzina, tidak
membunuh anak-anak mereka, dan tidak melakukan kejahatan yang dibuat-buat baik di
hadapannya dan di bawah kakinya serta tidak memungkiri terhadap kebaikan, maka baiatlah
mereka dan mohonkanlah ampun untuk mereka kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha
Pengampun dan Maha Penyayang”. (Al-Mumtahanah: 12)

Makna dan hakikat dosa besar:

Sumber dosa:

Sumber dosa berasal dari dua hal, yaitu:

1. Meninggalkan perintah Allah swt.

2. Melanggar larangan Allah swt.


Manusia seakan bertabiat cenderung untuk berbuat dosa sejak manusia pertama, Adam a.s.,
melanggar larangan Allah swt. karena bisikan iblis –kecuali para Rasul yang maksum (terjaga
dari dosa). Meskipun manusia cenderung berbuat dosa, Islam tidak mengenal dosa turunan.
Karena setiap anak Adam lahir dalam keadaan fitrah dan suci. Dan Islam mengajarkan agar
manusia selalu bertakwa dengan melaksanakan perintah Allah dan meninggalkan laranganNya.
Tetapi kemudian manusia masih juga berbuat dosa karena kelemahannya, maka Allah swt.
memberikan jalan-jalan penghapus dosa, dari mulai istighfar sampai kepada taubat nasuha.

Rasulullah saw. Bersabda, “Setiap anak Adam pasti berbuat dosa, dan sebaik-baik pembuat
dosa adalah mereka yang bertaubat.” (HR. Tirmidzi,Hasan)

Bedanya Iblis dari Adam adalah Iblis melanggar perintah Allah swt. dan tidak bertaubat,
sedangkan Adam melanggar larangan Allah swt. tapi menyadari dan bertaubat. Bahkan
Rasulullah bersabda, “Kalau kalian tidak berbuat dosa niscaya Allah swt. akan mengganti kalian
dengan kaum yang lain pembuat dosa, tetapi mereka beristighfar dan Allah mengampuni
mereka.” (HR. Muslim)

Demikian nilai dosa itu. Kalau disadari akan menghantarkan manusia kepada ketaatan. Karena
pendosa itu jiwanya selalu gelisah dan kegelisahan itu yang menghantarkan dia kembali kepada
Allah swt. dengan bertaubat.

Berbeda dengan ahli bid`ah. Karena mereka merasa benar sehingga tidak terasa kalau dia berbuat
dosa. Oleh karena itu Imam Sofyan Atstsani berkata, “Seorang tukang bid`ah itu lebih disukai
oleh setan dari seribu pendosa.”

Suatu bangsa yang berlumuran dosa bisa menjerumuskannya ke jurang malapetaka sebagaimana
terjadi dengan malapetaka yang menimpa bangsa-bangsa terdahulu. Apabila bangsa kita ingin
terhindari dari malapetaka, maka segala bentuk dosa harus diupayakan untuk dijauhkan dari
kehidupan masyarakat kita.

Sebab-sebab manusia cenderung berbuat dosa dan bahaya perbuatan dosa

Sebagaimana orang senang berbuat kebajikan karena dorongan untuk memperoleh pahala dan
balasan serta bertaubat positif dalam diri orang tersebut. Ada pula sebagaian orang cenderung
berbuat dosa. Hal ini karena beberapa sebab seperti berikut ini:

1. Karena dia lupa kepada Allah swt.

Karena lupa bahwa Allah Maha Melihat dan Menyaksikan, membuat seseorang merasa tidak
mendapat penghalang dalam dirinya untuk melakukan perbuatan dosa demi meraih kesenangan
sesaat. Maka dari itu, kalau dia sadar Allah swt. memperhatikannya, niscaya dia akan malu
melakukannya karena merasa diperhatikan Allah swt. Itulah sebabnya kenapa orang cenderung
bersembunyi ketika melakukan maksiat. Allah swt. Mengingatkan lepada kita, jangan lupa
kepada Allah swt. (Al Hasyr: 19).

2. Karena dia lupa bahwa Allah swt. yang telah mengkaruniai segala sesuatu kepadanya

Seharusnya manusia berterima kasih melalui ketaatan-ketaatan yang dilakukan untuk-Nya. Tapi,
manusia justru melakukan yang sebaliknya: memakai semua yang dikaruniai Allah untuk
melanggar larangan-Nya. Hal itu seperti pernah disebutkan oleh Nabi Zakaria kepada Bani Israil;
Bagaimana kalau kalian mempunyai budak atau pegawai yang kalian penuhi segala
kebutuhannya ternyata dia menyeleweng dan bekerja untuk orang lain. Tentu hal itu tidak wajar
dan tidak pantas serta layak diskors atau dihukum. Padahal, nikmat yang diberikan Allah kepada
hamba-Nya tidak terhitung banyaknya. (Ibrahim: 34)

3. Karena dia lupa kalau Allah swt. itu selain Maha Pengasih juga keras siksaan-Nya
Banyak pendosa ketika diingatkan agar berhenti dari maksiatnya serta merta dia menjawab Allah
swt. itu Maha Pengasih dan Maha Penyayang dengan tetap terus bermaksiat ria. Padahal selain
memiliki sifat tersebut, Allah juga memiliki sifat Maha Keras azabnya. (Al Maidah: 98)

4. Bahwa setiap perbuatan manusia ada catatan yang ditulis oleh malaikat

Catatan malaikat ini sebagai bukti baik-buruknya seluruh perbuatan manusia (Qaf: 17-18). Tidak
ada satupun perbuatan kita yang terlepas dari catatan malaikat. Bahkan di hari akhirat kelak
seluruh anggota tubuh kita akan bersaksi: lidah, tangan, kaki, dan lain-lain (An-nur: 4). Kalau
orang merasa bahwa dia telah dijasai, diperhatikan dan bahkan dihadapkan kepada ancaman,
niscaya dia akan berhati-hati untuk tidak terjerumus ke dalam kubangan dosa yang berakibat
sangat fatal di dunia dan apalagi di akhirat.

Macam-macam dosa besar

Terdapat perbedaan pendapat di antara para ulama tentang jumlah macam-macam dosa besar itu.
Ada yang mengatakan 3, ada yang mengatakan 7, ada pula 9 dan ada pula 70 sampai ada 300
macam.

Di antaranya disebutkan Rasulullah saw. seperti yang di riwayatkan oleh Imam Muslim, syirik
kepada Allah, membunuh anak karena takut miskin, men-zinai istri tetangga, durhaka terhadap
kedua orang tua, bersaksi bohong, membunuh, bermain sihir, dan memakan harta anak yatim.

Adapun secara garis macam dosa besar yang dimaksud adalah sebagai berikut :

1. Menyekutukan Allah

Yaitu dengan menjadikan selain Allah sebagai tandingan dan sekutu dalam segala hal dan
sekecil apapun. Ini termaktub dalam ayat di atas: “Janganlah kamu mempersekutukan sesuatu
dengan Dia.” Seluruh manusia harus mengakui bahwa Allah adalah Esa. Tidak ada sesuatupun
yang patut disembah, diminta pertolongan dan dipatuhi kecuali Allah swt. Kadang masyarakat
kita tidak sadar melakukan sesuatu yang menyimpang dalam berdoa dan memohon kepada
Allah. Bahkan ada di antara mereka, karena begitu lama hidup dalam kesulitan dan kemiskinan
lalu lari ke kuburan, tempat-tempat keramat dan perdukunan agar diberikan jalan hidup yang
lebih baik.

Syirik terbagi dua bagian: syirik akbar dan syirik ashgar. Masing-masing memiliki dua bagian:
dzahirun jali (yang tampak nyata) dan bathinun khafi (yang samar tersembunyi). Adapun
maksud dari syirik akbar adalah menjadikan sekutu bagi Allah dalam melakukan sesuatu
perbuatan yang seharusnya perbuatan itu hanya ditujukan kepada Allah, seperti menjadikan
tuhan-tuhan lain bersama Allah, baik secara terang-terangan dengan mentaati, menyembah,
memohon pertolongan selain kepada Allah, dan tersembunyi, seperti sifat sombong, takabbur
dan ujub, yang kesemua hal tersebut merupakan bagian syirik yang tersembunyi, sebagainana
dijelaskan oleh Rasulullah saw bahwa Allah swt. tidak akan memasukkan seorang hamba
kedalam surga apabila di dalam hatinya ada sebesar atom (biji sawi) dari sifat takabbur. Atau
bersumpah dan bernadzar kepada selain Allah. “Kemusyrikan lebih samar ketimbang derap
langkah semut di atas batu hitam di malam yang gelap gulita.” Adapun yang dimaksud dengan
syirik kecil adalah menganggap sesuatu benda memiliki kekuatan gaib, seperti memakai kalung
dan benang sebagai jimat, peramal, dukun atau tenung dan guna-guna.

Kedua bagian dari syirik tersebut di atas merupakan dosa besar yang tidak akan diampuni oleh
Allah swt. Seperti yang telah difirmankan dalam surat An-Nisa ayat 116: “Sesungguhnya Allah
tidak mengampuni dosa mempersekutukkan (sesuatu) dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa
yang selain dari syirik itu bagi siapa yang dikehendaki. Dan barangsiapa mempersekutukkan
(sesuatu) dengan Allah, maka ia telah tersesat sajauh-jauhnya.”
Satu hal yang dianggap syirik oleh Allah adalah melakukan kurban untuk berhala-berhala atau
selain Allah. Bentuknya tidak terbatas hanya pada menyembelih binatang, tetapi juga dengan
mempersembahkan sesajen ke laut dan sejenisnya. Perbuatan ini jelas-jelas berbau syirik.
Namun, setan membungkusnya dengan berbagai hal yang berbau Islami. Sehingga orang-orang
yang tidak mengerti menyangka bahwa apa yang mereka lakukan adalah ajaran Islam. Padahal
tidak sama sekali. Setan tidak hanya masuk melalui pintu-pintu kejahatan untuk menyesatkan
manusia, tetapi ia juga masuk melalui pintu-pintu ibadah dengan menimbulkan ritual baru yang
dibungkus dengan beberapa hal berbau Islam. Tujuannya tak lain adalah menyesatkan kaum
muslimin dan manusia pada umumnya. Di negeri ini ritual-ritual pengorbanan dan persembahan
sesajen masih sangat sering dilakukan di berbagai pelosok. Yang menyedihkan adalah mereka
yang melakukannya notabene adalah kaum muslimin, bahkan mereka menganggap hal itu ajaran
Islam. Na’udzubillah!

Juga sama halnya dengan mengundi nasib, meramal, dan sejenisnya. Nasib adalah perkara gaib
yang tidak diketahui, kecuali oleh Allah. Para peramal itu hanya menerka-nerka dan sebagian
meneruskan bisikan setan kepadanya. Sesuatu yang bersifat spekulatif kadang-kadang memang
mengena, tetapi itu tetap tidak mengubah statusnya dari hal yang spekulatif. Ramalan bintang,
shio, membaca telapak tangan, kartu tarot, dan sejenisnya merupakan variasi bentuk dari
meramal dan mengundi nasib. Bentuk berbeda, tetapi hakikatnya sama. Jadi semua dosa
kemungkinan dapat diampuni oleh Allah swt. kecuali syirik. Sebab, syirik merupakan pangkal
segala kejahatan dan sumber dosa yang dilakukan manusia. Orang musyrik sama dengan orang
yang mengingkari keberadaan Allah swt.

2. Sihir

Sihir adalah perbuatan setan yang disampaikan kepada manusia sehingga dirinya merasa punya
kekuatan, menetahui yang ghaib dan lain sebagainya. Setan mengajarkan sihir untuk
menyesatkan pelaku dan umat manusia, sehingga orang yang melihat sihir seakan suatu
kebenaran.

Sebagaimana firman Allah:

‫حَر‬
ْ‫س‬ّ ‫س ال‬
َ ‫ن الّنا‬
َ ‫ن َكَفُروا ُيَعّلُمْو‬
ُ ‫طْي‬
ِ ‫شَيا‬
ّ ‫ن ال‬
ّ ‫ن َوَلِك‬
ُ ‫سَلْيَما‬
ُ ‫ن َوَما َكَفَر‬
َ ‫سَلْيَما‬
ُ ‫ك‬
ِ ‫عَلى ُمْل‬
َ ‫ن‬
ُ ‫طْي‬
ِ ‫شَيا‬
ّ ‫َواّتَبُعْوا َما َتْتُلو ال‬

“Dan ikutilah apa yang dibacakan oleh setan atas kerajaan Sulaiman, padahal Sulaiman tidak
ingkar (kepada Allah) namun setanlah yang ingkar, mereka mengajarkan kepada manusia sihir.”
(Al-Baqarah: 102)

Dalam keseharian banyak kita temui jenis-jenis sihir, baik dukun, santet, pelet, dan lain
sebagainya. Dan apapun jenisnya sihir adalah bagian dari kafir dan dosa besar.

3. Membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan cara yang benar

Membunuh jiwa yang diharamkan kecuali karena ada sesuatu sebab yang benar. Seperti yang
ditegaskan dalam firman Allah: “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah
(membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar”. Yaitu membunuh orang lain
tanpa ada sebab dan alasan yang dibenarkan Islam seperti mempertahankan akidah dan jiwa
dalam perang, qishas (membunuh pembunuh seseorang secara sengaja), membunuh orang yang
murtad dan terang-terangan memusuhi Islam, dan berzina padahal sudah menikah. Rasulullah
saw. pernah bersabda: “Tidak dihalalkan darah seorang muslim yang bersaksi bahwa tiada Ilah
selain Allah dan aku adalah Rasulullah melainkan dengan salah satu dari tiga sebab: pezina
yang sudah menikah, jiwa dengan jiwa, dan orang yang meninggalkan agama serta memisahkan
diri dari jama’ah.”

Isyarat di atas tidak terbatas pada pengharaman membunuh jiwa, namun mencakup pada
perbuatan yang menjurus pada pembunuhan, seperti permusuhan dan adu domba sehingga orang
lain bertikai dan saling membunuh, dengki dan lain-lain pada perbuatan yang akibatnya
menghilangkan nyawa orang.

Dalam ayat lain Allah swt. banyak mengisyaratkan akan pelarangan tiga perkara; syirik, zina,
dan membunuh jiwa saling beriringan. Ini karena ketiga hal tersebut merupakan tindak kriminal
yang dikategorikan sebagai pembunuhan. Syirik misalnya dapat membunuh fitrah dan hati yang
terdapat dalam diri manusia, zina dapat membunuh kehidupan sosial, sedangkan yang ketiga
merupakan pembunuhan jiwa seseorang secara sengaja tanpa ada alasan yang dibenarkan.

Orang yang membunuh seseorang disebut pembunuh, fasiq, dzalim atau pendurhaka dan kafir.
Sebagaimana disabdakan dalam hadits Rasulullah saw.: “Memaki-maki orang muslim adalah
kefasikan, dan membunuhnya adalah kekafiran.” (HR. Bukhari, Muslim, dan Ibnu majah)

Adapun ganjaran bagi orang yang membunuh adalah dosa besar, walaupun yang dibunuh adalah
musuh Allah atau orang kafir yang memiliki ikatan perjanjian damai dengan negara Islam dan
telah mendapatkan jaminan keamanan. Seperti yang disabdakan Rasulullah saw.: “Barangsiapa
yang membunuh kafir mu’ahad (orang kafir yang tinggal di negeri yang terikat perjanjian
damai dengan negara Islam), maka ia tidak akan dapat mencium bau surga. Ketahuilah bahwa
bau surga itu dapat dicium dari jarak perjalanan empat puluh tahun. (HR. Bukhari, Muslim dan
Ibnu majah)

Sedangkan ganjaran orang yang membunuh orang mukmin dengan sengaja, maka hukumannya
adalah neraka Jahannam (An-Nisa: 93). Dalam hadits disabdakan: “Lenyapnya dunia ini lebih
ringan menurut Allah daripada membunuh seorang mukmin tanpa adanya alasan yang benar.”
(HR. Ibnu majah).

Dan yang termasuk membunuh yang dilarang Allah adalah membunuh anak yang telah
diamanahkan Allah karena takut jatuh miskin dan melarat, karena Allah sendiri yang akan
memberi rizki kepada mereka. Seperti yang telah difirmankan Allah, “Janganlah kamu
membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan. Kami akan memberi rezeki kepadamu dan
kepada mereka.”

Orang-orang Arab semasa jahiliyah biasa membunuh anak putrinya hidup-hidup. Sebagian di
antara mereka ada yang didorong rasa cemburu, ada yang takut miskin, dan mayoritas
melakukannya karena untuk menghindari rasa malu dan aib. Sehingga Allah menurunkan ayat
yang melarang mereka membunuh anak, entah apa pun alasannya. Sebab Allah-lah yang
menciptakan, memberi rezeki dan sudah menjamin bagi hamba-hamba-Nya segala kebutuhan
hidupnya.

Ada seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah saw., “Apakah dosa yang paling besar?”
Beliau menjawab, “Engkau menjadikan tandingan bagi Allah, padahal Dialah yang
menciptakanmu.“ Orang itu bertanya lagi, “Kemudian apa lagi?” Beliau menjawab, “Engkau
membunuh anakmu karena takut dia akan makan bersamamu.”

Larangan membunuh anak mengisyaratkan akan keuniversalan ajaran Islam dan keunikannya.
Dimana setelah Allah menjabarkan hak orang tua dari anaknya dan kewajiban anak terhadap
orang tua, Allah juga tidak mengesampingkan hak anak dari orang tuanya dan kewajiban orang
tua terhadap anaknya. Keduanya harus saling beriringan dan sejalan, saling memberikan
perhatian antara keduanya. Jangan sampai seorang bapak menuntut kepada anaknya untuk
berbuat baik kepadanya sementara ia sendiri tidak melaksanakan kewajibannya sebagai seorang
bapak terhadap anaknya: mendidik dan mengasuhnya serta membimbingnya dengan baik. Patut
disadari bahwa bimbingan, arahan, dan didikan orang tua kepada anaknya akan mempengaruhi
jiwa anak tersebut. Baik dan buruknya seorang anak bergantung pada didikan orang tuanya.

Tentunya pemenuhan kewajiban orang tua terhadap anaknya merupakan langkah pertama
sebelum anak melakukan kewajibannya di hadapan orang tuanya untuk berbuat baik. Orang tua
harus memelihara, memberi makan, mendidik dan mengasuh anaknya, dan memberi sesuatu
yang terbaik kepadanya. Ketika semua kewajiban itu terpenuhi, maka orang tua berhak menuntut
haknya dari si anak. Paling tidak sebagai imbalan atas pemenuhan kewajiban-kewajiban ini,
orang tua berhak mendapat penghormatan, ketaatan, perlakuan baik, kasih sayang, dan perhatian
yang mereka perlukan di hari tua.

4. Berbuat keji, baik secara terang-terangan ataupun sembunyi-sembunyi.

Hal ini diisyaratkan dalam firman-Nya: “Dan janganlah kalian mendekati perbuatan-perbuatan
yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi.”

Para mufassirin menafsirkan maksud dari kalimat “al-fawahis” dengan segala bentuk
kemungkaran dan kekejian. Ini berarti Allah melarang semua kemungkaran dan kekejian, baik
yang tampak maupun yang tersembunyi, agar manusia terjauhkan dari hal-hal yang kotor dan
yang dapat menodai kehormatannya. Sebagian mufassirin lainnya mengartikan makna kalimat
tersebut dengan zina, dan ditulis dalam bentuk jama’ (plural). Karena kemungkaran tersebut
memiliki banyak pendahuluan yang dapat menarik kepada perbuatan keji tersebut, seperti
tabarruj (buka-bukaan), ikhtilath (campur baur antara laki-laki dan wanita), pacaran, pergaulan
bebas, mengumbar senyum dan aurat, dan lain-lain yang menyebabkan orang terjerumus dalam
perzinaan. Pendapat tersebut diperkuat dengan adanya kalimat “la taqrabu” (jangan mendekati).
Karena langkah untuk mencegah terjadinya perbuatan tersebut adalah jangan sekali-kali
mendekati perbuatan yang menjurus kepada perbuatan zina.

Adapun maksud dari kalimat “terang-terangan dan sembunyi-sembunyi” adalah bahwa segala
kemungkaran dan kekejian haram hukumnya tanpa terkecuali baik yang dilakukan dengan
terang-terangan dan sembunyi. Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, Beliau berkata, “Semasa
jahiliyah mereka menganggap zina bukan dosa selagi dilakukan secara tersembunyi, dan mereka
menganggapnya keburukan jika dilakukan terang-terangan dan terbuka.”

5. Memakan harta orang lain dan harta anak yatim dengan cara yang bathil

Allah swt. berfiman:

‫ض ِمْنُكْم‬
ٍ ‫ن َتَرا‬
ْ‫ع‬َ ً‫جاَرة‬
َ ‫ن ِت‬
َ ‫ن َتُكْو‬
ْ ‫ل َأ‬
ّ ‫ل ِإ‬
ِ‫ط‬ِ ‫ل َتْأُكُلوا َأْمَواَلُكْم َبْيَنُكْم ِباْلَبا‬
َ ‫َو‬

“Dan janganlah kalian memakan harta sebagian dari kalian dengan bathil, kecuali melalui jual
beli dan saling ridho.” (An-Nisa: 29)

َ ‫لْثِم َوَأْنُتْم َتْعَلُمْو‬


‫ن‬ ِ ‫س ِبا‬
ِ ‫ل الّنا‬
ِ ‫ن َأْمَوا‬
ْ ‫حّكامِ ِلَتْأُكُلْوا َفِرْيًقا ِم‬
ُ ‫ى اْل‬
َ ‫ل َوُتْدُلوا ِبَها ِإل‬
ِ‫ط‬ِ ‫ل َتْأُكُلوا َأْمَواَلُكْم َبْيَنُكْم ِباْلَبا‬
َ ‫َو‬

“Dan janganlah kalian memakan harta di antara kalian dengan cara yang bathil, kalian
mengambilnya melalui hakim (pengadilan) agar kalian dapat memakan harta sekelompok
manusia dengan dosa sedangkan kalian mengetahui.” (Al-Baqarah: 188)

‫سِعْيًرا‬
َ ‫ن‬
َ ‫صَلْو‬
ْ ‫سَي‬
َ ‫طْوِنِهْم َناًرا َو‬
ُ ‫ن ِفي ُب‬
َ ‫ل اْلَيَتاَمى ظُْلًما ِإّنَما َيْأُكُلْو‬
َ ‫ن َأْمَوا‬
َ ‫ن َيْأُكُلْو‬
َ ‫ن اّلِذْي‬
ّ ‫ِإ‬

“Sesungguhnya orang yang memakan harta anak yatim dengan cara zhalim, mereka
memasukkan api neraka dalam perut mereka, dan mereka akan dimasukkan ke dalam neraka
sa’ir.” (An-Nisa: 10)

‫حْوًبا َكِبْيًرا‬
ُ ‫ن‬
َ ‫ى َأْمَواِلُكْم ِإّنُه َكا‬
َ ‫ل َتْأُكُلوا َأْمَواَلُهْم ِإل‬
َ ‫ب َو‬
ِ ‫طّي‬
ّ ‫ث ِبال‬
َ ‫خِبْي‬
َ ‫ل َتَتَبّدُوااْل‬
َ ‫َوآُتوا اْلَيَتاَمى َأْمَواَلُهْم َو‬

“Dan ambillah harta anak yatim (dengan cara yang baik) dan janganlah kamu ganti keburukan
dengan kebaikan, dan janganlah kamu memakan harta mereka seperti harta kamu sendiri, karena
sesungghnya yang demikian itu adalah merupakan dosa yang besar.” (An-Nisa: 2)

6. Memakan harta riba


Allah berfirman, “Orang-orang yang makan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti
berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian
disebabkan mereka berkata bahwa sesungguhnya jual-beli itu sama dengan riba. Padahal Allah
telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah datang
kepadanya larangan dari Tuhannya, kemudian ia berhenti (dari mengambil riba), maka baginya
apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum turun larangan) dan urusannya (terserahkan)
kepada Allah. Dan barangsiapa yang mengulangi (mengambil riba), maka mereka itu adalah
penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. Allah memusnahkan riba dan
menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekufuran dan
selalu berbuat dosa.” (Al-Baqarah: 275-276)

Riba itu ada dua macam: nasi-ah dan fadhl. Riba nasi-ah ialah pembayaran yang dilakukan oleh
yang berhutang kepada yang memberi utang melebihi jumlah hutang. Riba fadhl adalah
penukaran suatu barang dengan barang sejenis, tetapi yang satu lebih banyak kadar atau
jumlahnya dari yang lain, seperti penukaran emas dengan emas, padi dengan padi dan
sebagainya.

Riba adalah masalah yang selalu muncul di setiap generasi sejarah kehidupan manusia. Bahaya
riba yang sangat memberatkan bagi kaum lemah menjadi momok yang sangat menakutkan.
Yang tentu saja menjadikan kaum lemah akan tetap dalam kemiskinan dan kesulitan. Disamping
itu, memang ada pihak yang diuntungkan secara finansial oleh riba. Keuntungan-keuntungan
inilah yang membuat orang yang telah merasa kesenangan mendapatkan harta riba, sulit untuk
meninggalkannya. Kesenangan yang harus didapat dengan mengabaikan kesulitan saudaranya.
Kesenangan yang tentunya harus mengabaikan jiwa tolong-menolong antar-sesama. Yang tersisa
hanya keinginan mendapatkan keuntungan di atas kesulitan dan penderitaan orang lain.

Negara kita sekarang sedang mengalami bagaimana beratnya tekanan dililit oleh utang yang
merupakan riba. Bahkan, untuk membayar bunganya saja, negara yang kaya ini hampir tidak
mampu, apalagi hutang pokoknya. Memang riba selalu membuat orang yang berhutang
mengalami kesulitan tiada henti selama ia tidak berhenti dari riba. Walaupun ada yang kaya
karena riba, kekayaan itu adalah kekayaan semu yang rapuh pondasinya. Bagaimana dapat kita
saksikan, ketika krisis mulai melanda negeri ini, banyak konglomerat yang rontok habis.
Dulunya mereka kelihatan gagah dan kokoh, tetapi begitu catatan hutang dipaparkan, semua
kejayaan semu itu langsung menguap tak berbekas.

Dengan melibatkan diri dalam hutang dengan sistem riba, secara tak sadar kita telah menjual
negara kita ini sedikit demi sedikit kepada orang asing, sementara kita bersikap masa bodoh
dengan kekayaan yang Allah anugerahkan kepada kita. Bahkan, kita biarkan orang asing
menggarapnya dengan pembagian yang tidak adil dan tidak rata.

Dalam menyikapi riba ada dua macam manusia: yang menerima dan yang menolak. Yang
menerima biasanya beralasan seperti yang diungkapkan ayat di atas, bahwa mereka menyamakan
antara riba dengan jual beli. Padahal, Allah telah menghalalkan jual beli dan telah
mengharamkan riba. Mereka yang tetap mengambil dan memakan riba setelah jelas haramnya
adalah orang-orang yang membangkang dan melanggar perintah Allah. Perumpamaan mereka
adalah seperti orang yang kerasukan setan, berdiri tidak kokoh dan gontai serta linglung. Adapun
orang yang menolak riba setelah diharamkan oleh Allah, maka mereka itu terbagi kepada dua
kelompok, yaitu kelompok yang meninggalkan riba dan menyadari dosanya serta tak mau
kembali terjerumus ke dalam kubangan riba. Yang kedua orang yang sadar sesaat setelah jelas
haramnya riba, namun ia kemudian kembali terjerumus ke dalam riba. Orang yang bersikap
demikianlah yang mendapat ancaman dari Allah dengan siksa neraka dan bahwa mereka kekal di
dalamnya. Karena menolak hukum Allah yang nyata adalah suatu kekufuran, dan orang kafir
kekal di neraka.

Tentunya sikap muslim dan mukmin sejati adalah meninggalkan riba secara total setelah jelas
keharamannya, dan tidak kembali lagi melakukannya setelah itu. Karena meninggalkan total
suatu larangan merupakan wujud dari kesungguhan, sedangkan bersikap angin-anginan
merupakan bukti ketidakseriusan dan main-main.

Selanjutnya Allah menerangkan bahwa Dia menyuburkan sadaqah, dengan pengertian yang
sangat luas, termasuk menambah rezeki orang yang bersedekah dan pahala yang berlipat ganda
baginya, memberi berkah pada sadaqahnya itu sehingga bermanfaat dengan baik. Sadaqah juga
melanggengkan silaturahmi dan hubungan antar manusia, menumbuhkan jiwa tolong-menolong
dan kepedulian akan kepedihan orang lain, dan masih banyak lagi hal-hal positif dari sadaqah.

Sementara riba, maka Allah akan memusnahkannya dengan pengertian hilangnya berkah
darinya, merenggangkan tali silaturahmi dan bahkan memutuskannya. Mengeraskan hati
sehingga tidak peduli nasib orang lain, menumbuhkan kesombongan dan keangkuhan serta
membiasakan diri mempersulit orang yang dalam kesulitan, dan lain-lain. Semua itu adalah
perkara-perkara yang akan membawa pada kehancuran dan kebinasaan.

Islam mempunyai prinsip tolong menolong dalam memberikan hutang kepada sesama manusia.
Adalah tidak bijaksana memaksakan orang yang sedang kesulitan untuk memberi keuntungan
kepada kita. Bahkan, belum tentu dengan uang hutang itu dia bisa mencukupi kebutuhan dirinya
sendiri. Jika seseorang yang berhutang dalam kesulitan pada saat jatuh tempo, Islam
menganjurkan untuk memberi tenggang waktu sampai dia berada dalam kemudahan untuk
melunasi hutangnya itu. Bahkan, yang lebih baik adalah dengan menyedekahkan hutang itu
kepadanya jika diketahui bahwa dia memang tidak mampu mengembalikannya, karena dengan
demikian ia telah memberinya kemudahan. Dan barangsiapa yang memudahkan urusan
saudaranya niscaya Allah akan memudahkan urusannya, di dunia maupun di akhirat.

7. Lari dari medan perang

8. Zina

Allah berfirman, “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu
perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (Al-Israa’: 32)

Membaca, memahami, dan merenungkan ayat ini, kemudian melihat kenyataan dalam hidup
masyarakat kita saat ini sungguh akan membuat kita merinding dan malu. Bagaimana tidak?
Salah satu dosa besar yang dimurkai Allah telah menjadi hal yang biasa dilakukan sebagian
masyarakat kita tanpa malu-malu dan rasa takut. Segala pintu dan sarana pendukung menuju ke
arah perbuatan zina tersebar luas dengan sangat leluasa tanpa hambatan yang berarti.

Alat propaganda zina demikian luas jaringan dan jangkauannya, ditambah lagi dengan harga
yang murah: mulai dari koran harian, mingguan, tabloid, majalah, tayangan televisi, vcd-vcd
nista yang berhamburan di pasar-pasar terbuka, yang kesemuanya itu dapat diakses oleh siapa
pun juga. Protes-protes dan demonstrasi yang sering terjadi yang menentang hal-hal seperti ini
hanya ditanggapi dingin oleh pemerintah beserta aparat berwenang. Mereka lebih sibuk
mengurus diri mereka sendiri. Mereka siap menggadaikan moral bangsa ini dengan segepok
dolar atau sedikit julukan modern.

Bahkan, iklan-iklan yang menyerukan masyarakat untuk menghindari AIDS pun tidak kalah
hebatnya dalam melegalkan perzinaan. Bukannya melarang dan mencegah orang dari zina agar
terhindar dari AIDS, malah dengan gayanya secara tidak langsung telah mengatakan silahkan
berzina tapi pakailah kondom. Apakah kondom memang dapat mencegah AIDS? Tidak, ada
sebagian dokter yang telah meneliti mengatakan bahwa ternyata pori-pori kondom jauh lebih
besar dari virus HIV. Hal ini hanya dapat dilihat dengan alat khusus. Hanya satu cara aman dari
AIDS, yaitu hindari dan jauhi zina.

Ayat di atas melarang kita untuk mendekati zina. Artinya, segala hal yang merupakan jalan
menuju perzinaan harus kita jauhi, apalagi zinanya sendiri, tentunya lebih wajib kita jauhi. Perlu
juga kita sadari bahwa segala keterbukaan dan kebebasan yang salah kaprah ini pasti
menimbulkan akibat yang tidak ringan pada masyarakat kita. Suatu keburukan akan lebih cepat
menular dibanding kebaikan. Sudah sangat banyak terjadi pelecehan seksual terhadap anak-anak,
remaja, dan wanita dewasa yang merupakan dampak dari nafsu birahi yang terpancing oleh
segala hal-hal yang menggiring orang untuk berzina. Betapa banyak rumah tangga yang hancur
berantakan gara-gara zina yang tidak hanya mengorbankan suami istri tetapi juga anak-anak
mereka. Korban-korban perkosaan dan pelecehan akan membawa aib seumur hidup, sementara
pelakunya hanya dihukum dalam hitungan tahun atau bulan yang ringan.

Banyak sekali keburukan dan kerugian zina, baik secara materi, psikologi, agama, moral, sosial,
dan keluarga, serta lain-lainnya. Masalahnya sekarang, apakah kita mau belajar dari peristiwa-
peristiwa yang telah lalu untuk menghindari zina? Bukankah Allah telah menghalalkan
pernikahan? Bahkan, dihalalkan menikah sampai empat orang istri? Tetapi anehnya kebanyakan
masyarakat kita justru memandang jelek terhadap orang yang berpoligami, dan memandang
orang yang berzina, melacur, dan sejenisnya biasa-biasa saja seakan-akan hal itu halal-halal saja.
Kita harus segera introspeksi diri dan taubat sebelum Allah menurunkan azab-Nya. Sekarang
memang sudah serba terbalik. Yang haram dianggap halal dan yang halal dianggap haram.
Na’uudzu billah!

9. Menuduh wanita yang suci melakukan zina

Selain perzinaan yang dilarang Allah, juga kita diperintahkan untuk menjauhi diri dari menuduh
orang lain melakukan perzinaan tanpa bukti yang cukup dan jelas.

Allah berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang keji itu
tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di
akhirat. Dan Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (An-Nuur: 19).

Ayat ini adalah sebagian dari ayat yang mengisahkan tentang peristiwa yang sempat menjadi
angin kencang dalam bahtera kehidupan rumah tangga Nabi Muhammad saw. Fitnah keji yang
disebarkan oleh orang-orang munafik di kalangan kaum muslimin ketika itu, mengguncang hebat
kehidupan Nabi saw. Maka turunlah ayat-ayat surat an-Nuur ini untuk menyatakan bersihnya
‘Aisyah r.a. dari semua fitnah keji itu. Kaum muslimin yang lalai dalam hal ini diperingatkan
oleh Allah agar tidak mengulangi perbuatan yang sama, dan bahwa perkara ini bukanlah perkara
enteng yang tak bermakna. Perkara ini adalah perkara besar yang akan merusak kehormatan dan
kemuliaan Nabi saw. sebagai pembawa risalah. Tentu saja jika hal itu terjadi akan
mempengaruhi penyampaian risalah dan dakwah yang diemban oleh beliau saw.

Orang-orang munafik yang menyebarkan fitnahan ini pasti akan Allah balas dengan siksaan yang
pedih di dunia maupun di akhirat. Allah juga mewanti-wanti kaum muslimin agar berhati-hati
terhadap mereka. Selanjutnya, Allah dalam ayat yang kita kaji kali ini menerangkan akibat dari
orang-orang yang ingin kekejian tersebar di kalangan kaum muslimin, bahwa mereka akan
disiksa di dunia dan di akhirat dengan siksaan yang pedih. Ini sekaligus ancaman bagi yang
belum berbuat agar tidak berbuat fitnahan dan kekejian serta tidak menyebarkannya. Jika
kekejian ini tersebar di masyarakat, banyak yang akan hancur, baik moral, tatanan sosial, garis
keturunan, iman, dan sebagainya. Kalau Allah sudah mengancam orang yang memfitnah Ummul
Mu’minin ‘Aisyah r.a. dengan azab yang pedih, bagaimana kiranya ancaman Allah dan siksa-
Nya terhadap orang yang telah menyebarkan kekejian dan kenistaan itu dengan tindak nyata di
kalangan kaum muslimin?

Selanjutnya mari kita melihat ke dalam masyarakat kita sekarang ini. Sungguh menyedihkan,
kekejian ini mulai dan bahkan sudah dianggap hal biasa. Perzinaan terjadi di mana-mana,
gambar-gambar para penjual tubuh bertebaran di sana-sini, cerita-cerita kotor dipublikasikan
lewat media-media, film-film “binatang” disebarkan dengan harga murah tanpa mengenal rasa
malu. Parahnya, pemerintah dan aparat berwenang yang seharusnya mengatasi hal ini cuma diam
dan berpangku tangan. Paling sekali-sekali mereka mengadakan pemberantasan semu yang tak
berdampak apa-apa. Para pemodal, pembuat, pengedar, dan segala pihak yang terkait dalam
masalah ini begitu ingin hal keji dan kotor ini semakin tersebar di kaum muslimin. Mereka
menikmati keuntungan-keuntungan haram dari rusaknya bangsa dan kaum muslimin. Mereka ini
pasti akan mendapatkan balasan yang setimpal, entah sekarang atau nanti di akhirat.

Ironisnya, kebanyakan mereka juga notabene beragama Islam, mereka tidak mengerti Islam
dengan benar, iman mereka mudah dikikis oleh kilauan dunia yang fana. Mereka jauh lebih buas
dari pada binatang sekalipun. Bukankah dengan perbuatan mereka itu mereka telah
mengorbankan orang banyak untuk segelintir harta yang cepat habis.

Sekarang, kita sebagai kaum muslimin harus bertindak dengan seksama dan membentengi diri,
keluarga dan masyarakat kita dengan iman dan tindak nyata dalam memberantas penyakit ini,
jangan dibiarkan semakin akut, baru bertindak. Bertawakallah dan mohonlah pertolongan Allah
dalam memberantas kenistaan ini, untuk kemudian dapat menegakkan panji-panji dan hukum-
Nya di muka bumi ini. Allahu Akbar!

10. Miras, Judi, Berhala dan Mengundi Nasib

Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (minum) khamr, berjudi,
(menyembah) berhala, mengundi nasib adalah perbuatan keji, termasuk perbuatan setan. Maka,
jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya setan itu
bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu dengan khamr dan
berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan dari salat; maka berhentilah kamu
(melakukannya).” (Al-Maidah: 90–91)

Maraknya produksi dan penjualan minuman keras di negara kita sekarang ini sudah sangat
mengkhawatirkan. Hal ini sepertinya ingin mempertegas bahwa bangsa kita sedang dalam proses
menjadi sebuah bangsa yang teler. Ditambah lagi dengan membanjirnya produk-produk luar
negeri, bahkan sedikit demi sedikit mulai dijual bebas. Belum lagi masalah narkoba yang sulit
ditanggulangi, juga menjadi masalah yang semakin bertambah setiap harinya.

Korbannya tak hanya orang dewasa, tetapi juga pemuda, dan bahkan anak-anak. Bahayanya? O,
banyak sekali. Dapatkah Anda membayangkan apa yang akan dilakukan oleh orang yang sudah
kehilangan akal dan kontrol diri? Banyak hal tak terduga yang akan dilakukannya tanpa beban
sedikit pun. Mulai dari merusak rumah tangga sendiri, membunuh, merampok, menodong, dan
lain sebagainya. Otomatis seseorang akan terhalang dari shalat dan mengingat Allah jika berada
dalam keadaan teler dan mabuk. Inilah yang memang diinginkan setan.

Keyakinan bodoh pengkonsumsi miras bahwa stress bisa hilang, beban pikiran bisa terbang
dengan minuman keras, kadang dijadikan suatu alasan untuk membenarkan perbuatannya.
Belum lagi alasan-alasan lain yang dibuat-buat. Lebih mengherankan lagi adalah apa yang
melandasi pemerintah memberi izin merek tertentu, orang tertentu atau perusahaan tertentu
untuk memproduksi, mengimpor, dan menjual minuman keras. Apakah ada survei bahwa bangsa
ini sedang membutuhkan minuman keras? Atau mungkin mereka sendiri yang membutuhkannya,
lalu melegalkannya untuk memenuhi selera mereka? Wallahu a’lam.

Penyakit lain adalah judi. Mental-mental judi jika sudah merasuki jiwa seseorang niscaya akan
merusak jiwa dan akalnya. Melegalisasikan perjudian dengan melakukan lokalisasi di wilayah
tertentu bukanlah solusi yang tepat. Dulu ada yang namanya SDSB. Tetapi, ternyata para penjudi
itu tidak hanya puas dengan SDSB. Banyak cara-cara judi yang tak masuk akal yang mereka
lakukan. Contohnya, dua pihak yang berjudi sama-sama makan sepotong kecil tebu, setelah itu
mereka lemparkan. Nah, ampas siapa yang lebih dulu dihinggapi oleh lalat, maka dialah yang
menang. Ironinya, mereka rata-rata adalah orang-orang kurang mampu. Kebanyakan mereka
hanya penjual sayuran atau rempah-rempah di pasar mingguan, petani kecil, tukang bendi, dan
sejenisnya. Sebenarnya hanya ada satu kata untuk miras dan judi, yaitu “perang”.

11. Dusta dan bohong


Dalam Alquran kalau kita perhatikan kalimat al-kadzibu, maka kita temukan dalam bentuk yang
berbeda-beda sesuai dengan wazannya, seperti Kaadzibu, Kadzaab, Al-Mukadzibuun, Al-
Mukadzibiin, Kadzaaba, Kadzaabat, Makdzuub, Takdziib, Kdazzabuu. Ini semua sesuai dengan
ayat dan bentuknya.

Kebohongan atau sifat dusta adalah suatu sifat yang timbul dari sebab beberapa faktor yang ada,
antara lain:

· Lemah jiwa dan mentalnya.

· Kegoncangan jiwa.

· Senang dengan perhatian manusia atau pandangan manusia.

· Suka bergurau atau bercanda yang berlebihan.

· Rasa dengki dan iri yang ada.

· Lingkungan yang buruk dan berpengaruh padanya.

Dalam Alquran Allah banyak mengingatkan tentang hal ini, bahkan memberi julukan kepada
mereka yang dusta dengan berbagai julukan yang ada:

1. Al-Mujrimuun

“Maka siapakah yang lebih zalim daripada orang yang mengada-adakan kedustaan terhadap
Allah atau mendustakan ayat-ayat-Nya Sesungguhnya tiadalah beruntung orang-orang yang
berbuat dosa.” (Yunus: 17)

2. Al-Kafiruun

“Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang-orang yang mengada-adakan kedustaan terhadap
Allah atau mendustakan yang hak tatkala yang hak itu datang kepadanya? Bukankah dalam
neraka Jahannam itu ada tempat bagi orang-orang yang kafir.” (Al-Ankabut: 68)

3. Al-Asyqaa

“yang mendustakan (kebenaran) dan (berpaling) dari iman.” (Al-Lail: 16)

4. Al-Mu’tad

“Dan tidak ada yang mendustakan hari pembalasan itu, melainkan setiap orang yang melampui
batas.” (Al-Muthaffifin: 12)

5. Adz-Dzalimuun

“Maka barangsiapa mengada-adakan dusta terhadap Allah sesudah itu, maka merekalah orang-
orang yang zalim.” (Ali Imran: 94)

6. Al-Aatsimuun

“Perhatikanlah, betapakah mereka mengada-adakan dusta terhadap Allah Dan cukuplah


perbuatan itu menjadi dosa yang nyata (bagi mereka).” (An-Nisaa’: 50)

7. Al-Muftaruun
“Apakah dugaan orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah pada hari
kiamat Sesungguhnya Allah benar-benar mempunyai karunia (yang dilimpahkan) atas manusia,
tetapi kebanyakan mereka tidak mensyukuri(nya).” (Yunus: 60)

8. Al-Munafiquun

“Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata: ‘Kami mengakui bahwa
sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Allah.’ Dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya
kamu benar-benar Rasul-Nya dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya orang-orang munafik
itu benar-benar orang pendusta.” (Al-Munafiquun: 1)

9. Al-Musrifun

“Dan seorang laki-laki yang beriman di antara pengikut-pengikut Fir’aun yang menyembunyikan
imannya berkata, ‘Apakah kamu akan membunuh seorang laki-laki karena ia menyatakan:
“Tuhanku ialah Allah” padahal dia telah datang kepadamu dengan membawa keterangan-
keterangan dari Tuhanmu. Dan jika ia seorang pendusta, maka dialah yang menanggung (dosa)
dustanya itu, dan jika ia seorang yang benar niscaya sebagian (bencana) yang diancamkannya
kepadamu akan menimpamu.” Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang
melampaui batas lagi pendusta. (Ghafir: 28)

Kalau kita perhatikan dari ayat-ayat di atas, kata Kadzibu bisa bermakna dusta atau bohong dan
bisa bermakna ingkar, yaitu penolakan pendustaan. Dan setiap keadaan pelaku akan dihukum
sesuai dengan apa yang didustakannya atau apa yang dijadikan kebohongannya.

Pada dasarnya setiap hukum kebohongan mempunyai dosa dan resiko sesuai dengan tingkat
kebohonganya itu. Seperti dusta atas nama Allah dan Nabi-Nya, dusta dalam kehidupan dan lain-
lain.

Dan seseorang apabila dia berdusta atau berbohong, maka pada dasarnya dia harus siap berbuat
kebohongan yang lainnya untuk menutupi kebohongan yang pertama. Dan biasanya kebohongan
memang harus bersambung atau sampai seorang itu mau menyelesaikan kebohongannya dengan
mangaku dan menutup dengan taubat atau minta maaf kalau hal itu bersangutan dengan manusia.
Dan banyak di antara kita yang hampir tidak memperhatikan hal ini, bahkan ada yang
beranggapan kalau bohong sedikit tidak apa-apa atau tidak dosa. Artinya bohong yang diluar
syar’i. Dan Nabi saw. mengancam keras bagi orang yang bohong atau dusta apa lagi
mengatasnamakan beliau. Dalam riwayat Muslim dari Samura r.a., sesungguhnya Nabi saw.
berkata, “Barangsiapa yang berbicara tentang aku, dengan suatu hadis yang hal itu sebenarnya
dusta, maka orang itu dikatakan pendusta.”

Bohong yang secara syar’i dibolehkan dalam tiga kondisi:

1. Bohong dalam medan Perang atau jihad atau peperangan menghadapi musuh, yaitu yang
kita kenal sekarang dengan istilah taktik atau strategi. Hal ini pernah dilakukan oleh Ali r.a.
dalam perang tanding satu lawan satu dengan jagonya kafir quraisy yang berpengalaman.
Singkatnya, ketika dia berhadapan dengan Ali r.a., maka Ali r.a. menoleh kesamping musuhnya
(seolah-oleh orang itu ada kawannya), ketika orang itu menoleh kesamping langsung Ali r.a.
membelah kepala musuh itu. Dan dalam hadis sahih dikatakan “Al-Harbu Khud’ah” (perang itu
tipu daya).

2. Bohong untuk Islah atau memperbaiki hubungan dua orang yang sedang marah atau
bermusuhan.

3. Bohong yang dalam urusan suami istri.

Dalam Riyadhus Sholihin, Imam Nawawi membawakan dalil dari Ummu Kultsum, dari Nabi
saw. bersabda, “Tidaklah dikatakan Al-Kadzibu orang yang mengishlah antara manusia, dan dia
berkata baik pada kedua belah pihak.” Hadis Bukhari no. 2692 atau Muslim no. 2605, dalam
riwayat Muslim berkata, Ummu kultsum diberi keringanan tentang apa yang diucapkan manusia
dalam tiga hal, yaitu dalam perang, ishlah antara manusia, dan ucapan seorang suami pada
istrinya, dan istri pada suaminya.”

Dari sini jelas bahwa kebohongan yang bukan dasar syar’i, hendaknya kita hindari dan jauhi.
Karena, hal ini memang sangat diancam dan dibenci oleh Allah dan RasulNya.

Dalam suatu riwayat Nabi saw. pernah ditanya, “Apakah seorang mukmin bisa penakut?” Nabi
saw. menjawab, ” Ya, seorang mukmin mungkin saja dia penakut.” Apakah seorang mukmin
bakhil, pelit? “Ya, seorang mukmin mungkin bisa pelit.” Apakah seorang mukmin dusta atau
pembohong? Nabi saw. Menjawab, “Tidak!” (HR. Malik)

Dan sebagaimana kita ketahui bahwa bohong adalah salah satu dari tanda-tanda munafik.
Sebagaimana hadis riwayat Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah r.a., sesungguhnya Nabi
saw. Bersabda, “Tanda seorang munafik ada tiga: kalau berbicara bohong, kalau berjanji ingkar,
dan kalau diberi amanah (kepercayaan) khianat.”

Dan dalam riwayat Ahmad Nabi saw. Bersabda, “Sungguh suatu pengkhianatan yang besar
apabila kamu bicara pada saudaramu dan dia membenarkan kamu, padahal kamu dusta.” (HR.
Abu Daud)

Bahaya yang ditimbulkan dari dosa besar

Allah berfirman, “Maka masing-masing (mereka itu) kami siksa disebabkan dosanya, maka di
antara mereka ada yang kami timpakan kepadanya hujan batu kerikil dan di antara mereka ada
yang di timpa suara keras yang mengguntur, dan di antara mereka kami benamkan ke dalam
bumi dan di antara mereka ada yang kami tenggelamkan; dan Allah sekali-kali tidak hendak
menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.” (Al-Ankabut:
40)

Adapun bahaya yang ditimbulkan oleh maksiat atau perbuatan dosa itu seperti di sebutkan oleh
Ibnu Qoyyim rahimullah, sebagai berikut:

1. Terhalangnya ilmu agama karena ilmu itu cahaya yang diberikan Allah di dalam hati, dan
maksiat mematikan itu.

2. Terhalangnya rezeki, seperti dalam hadits riwayat Imam Ahmad, “Seorang hamba bisa
terhalang rezekinya karena dosa yang menimpanya.”

3. Perasaan alienasi pada diri si pendosa yang tiada tandingannya dan tiada terasa kelezatan.

4. kegelapan yang dialami oleh tukang maksiat di dalam hatinya seperti perasaan di kegelapan
malam.

5. Terhalangnya ketaatan.

6. Maksiat memperpendek umur dan menghapus keberkahannya.

7. Maksiat akan melahirkan maksiat lain lagi, demikian kata ulama salaf: Hukum kejahatan
adalah kejahatan lagi sebagaimana kebaikan akan melahirkan kebaikan lagi.

8. Orang yang melakukan dosa akan terus berjalan ke dalam dosanya sampai dia merasa dirinya
hina. Itu pertanda-tanda kehancuran.

9. Kemaksiatan menyebabkan kehinaan. Dan kebaikan melahirkan kebanggaan dan kejayaan.


10. Maksiat merusak akal, sedang kebaikan membangun akal.

Ganjaran orang yang meninggalkan dosa besar

Jika orang yang melakukan dosa besar akan menimbulkan efek negatif pada dirinya, keluarga,
dan masyarakatnya. Sebaliknya, orang yang mampu dan berhasil menahan diri dari melakukan
perbuatan dosa, akan mendapatkan ganjaran yang sangat besar disisi Allah, diantaranya:

1. Terhapusnya dosa-dosa yang pernah dilakukan sebelumnya

2. Digantinya kejahatan dengan kebaikan

3. Dimasukkan ke dalam surga

Kemaksiatan dan Pengaruhnya

Sesungguhnya seorang hamba jika melakukan dosa, maka terbentuklah noda hitam dalam
hatinya. Jika ia melepaskan dosa, istighfar dan taubat, bersihlah hatinya. Ketika mengulangi dosa
lagi, bertambahlah noda hitamnya, sehingga menguasai hati. Itulah Roon (rona) yang disebutkan
dalam Al-Qur’an, “Sekali-kali tidak (demikian), Sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan
itu menutupi hati mereka.” (HR At-Tirmidzi).

Maksiat dan dosa mempunyai pengaruh yang sangat dahsyat dalam kehidupan umat manusia.
Bahayanya bukan hanya berpengaruh di dunia tetapi sampai dibawa ke akhirat. Bukankah Nabi
Adam a.s. dan istrinya Siti Hawwa dikeluarkan dari surga dan diturunkan ke dunia karena dosa
yang dilakukannya? Dan demikianlah juga yang terjadi pada umat-umat terdahulu.

Disebabkan karena dosa, penduduk dunia pada masa Nabi Nuh a.s. dihancurkan oleh banjir yang
menutupi seluruh permukaan bumi. Karena maksiat, kaum ‘Aad diluluhlantakkan oleh angin
puting beliung. Karena ingkar pada Allah, kaum Tsamud ditimpa oleh suara yang sangat keras
memekakkan telinga sehingga memutuskan urat-urat jantung mereka dan mati bergelimpangan.
Karena perbuatan keji kaum Luth, buminya dibolak-balikkan dan semua makhluk hancur,
sampai malaikat mendengar lolongan anjing dari kejauhan. Kemudian diteruskan dengan hujan
bebatuan dari langit yang melengkapi siksaan bagi mereka. Dan kaum yang lain akan
mendapatkan siksaan yang serupa. Jika tidak terjadi di dunia, maka di akhirat akan lebih pedih
lagi. (Al-An’am: 6)

Desember 2005 dunia juga baru menyaksikan musibah yang maha dahsyat terjadi di Asia:
Tsunami menghancurkan ratusan ribu umat manusia. Terbesar menimpa Aceh. Semua itu harus
menjadi pelajaran yang mendalam bagi seluruh umat manusia, bahwa Allah Maha Kuasa.
Disebutkan dalam musnad Imam Ahmad dari hadits Ummu Salamah, Saya mendengar
Rasulullah saw. bersabda, “Jika kemaksiatan sudah mendominasi umatku, maka Allah
meratakan adzab dari sisi-Nya”. Saya berkata, “Wahai Rasulullah, bukankah di antara mereka
ada orang-orang shalih?” Rasulullah menjawab,”Betul.” “Lalu bagaimana dengan mereka?”
Rasul menjawab, “Mereka akan mendapat musibah sama dengan yang lain, kemudian mereka
mendapatkan ampunan dan keridhaan Allah.”

Akar Kemaksiatan

Semua kemaksiatan yang dilakukan oleh manusia, baik yang besar maupun yang kecil, bermuara
pada tiga hal. Pertama; terikatnya hati pada selain Allah, kedua; mengikuti potensi marah, dan
ketiga; mengikuti hasrat syahwat. Ketiganya adalah syirik, zhalim, dan keji. Puncak seseorang
terikat pada selain Allah adalah syirik dan menyeru pada selain Allah. Puncak seseorang
mengikuti amarah adalah membunuh; dan puncak seseorang menuruti syahwat adalah berzina.
Demikianlah Allah swt. menggabungkan pada satu ayat tentang sifat ‘Ibadurrahman, ”Dan
orang-orang yang tidak menyembah Tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa
yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina,
barang siapa yang melakukan yang demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan)
dosa(nya).” (Al-Furqaan: 68)

Dan ciri khas kemaksiatan itu saling mengajak dan mendorong untuk melakukan kemaksiatan
yang lain. Orang yang berzina maka zina itu dapat menyebabkan orang melakukan pembunuhan;
dan pembunuhan dapat menyebabkan orang melakukan kemusyrikan. Dan para pembuat
kemaksiatan saling membantu untuk mempertahankan kemaksiatannya. Setan tidak akan pernah
diam untuk menjerumuskan manusia untuk melakukan dosa dan kemaksiatan. Setan senantiasa
mengupayakan tempat-tempat yang kondusif untuk menjadi sarang kemaksiatan.

Oleh karena itu agar terhindar dari jebakan kemaksiatan, manusia harus melakukan lawan dari
ketiganya, yaitu: pertama; menguatkan keimanan dan hubungan hati dengan Allah swt. dengan
senantiasa mengikhlaskan segala amal perbuatan hanya karena Allah. Kedua; mengendalikan
rasa marah, karena marah merupakan pangkal sumber dari kezhaliman yang dilakukan oleh
manusia. Dan ketiga; menahan diri dari syahwat yang menggoda manusia sehingga tidak jatuh
pada perbuatan zina.

Pengaruh Maksiat

Seluruh manusia mengakui bahwa kesalahan yang terkait dengan hubungan antar manusia di
dunia secara umum dapat mengakibatkan kerusakan secara langsung. Orang-orang yang
membabat hutan hingga gundul akan menyebabkan kerusakan lingkungan, longsor, dan
kebanjiran. Sopir yang mengendalikan mobilnya secara ugal-ugalan dan melintasi rel kereta
yang dilalui kereta, berakibat sangat parah, ditabrak oleh kereta. Orang yang membunuh orang
tanpa hak, maka dia akan senantiasa dalam kegelisahan dan penderitaan. Orang yang senantiasa
bohong, hidupnya tidak akan merasa tenang.

Dan pada dasarnya pengaruh kesalahan, dosa, dan kemaksiatan bukan saja yang terkait antar
sesama manusia, tetapi antara manusia dengan Allah. Siapakah orang yang paling zhalim, ketika
mereka diberi rezki oleh Allah dan hidup di bumi Allah kemudian menyekutukan Allah, tidak
mentaati perintah-Nya, dan melanggar larangan-Nya. Jika kesalahan yang dibuat antar sesama
manusia akan menimbulkan bahaya, maka kesalahan akibat tidak melaksanakan perintah Allah
atau melanggar larangan-Nya, maka akan lebih berbahaya lagi, di dunia sengsara dan di akhirat
disiksa. “Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya
penghidupan yang sempit, dan kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan
buta.”

Beberapa pengaruh maksiat diantaranya:

1. Lalai dan keras hati

Al-Qur’an menyebut bahwa orang-orang yang bermaksiat hatinya keras membatu. “Karena
mereka melanggar janjinya, kami kutuki mereka, dan kami jadikan hati mereka keras membatu.
mereka suka mengubah perkataan (Allah) dari tempat-tempatnya, dan mereka (sengaja)
melupakan sebagian dari apa yang mereka Telah diperingatkan dengannya, dan kamu
(Muhammad) senantiasa akan melihat kekhianatan dari mereka kecuali sedikit diantara mereka
(yang tidak berkhianat), Maka maafkanlah mereka dan biarkan mereka, Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (Al-Ma-idah: 13). Berkata Ibnu Mas’ud r.a., “Saya
menyakini bahwa seseorang lupa pada ilmu yang sudah dikuasainya, karena dosa yang
dilakukan.”

Orang yang banyak berbuat dosa, hatinya keras, tidak sensitif, dan susah diingatkan. Itu suatu
musibah besar. Bahkan disebutkan dalam sebuah riwayat bahwa orang yang senantiasa berbuat
dosa, hatinya akan dikunci mati, sehingga keimanan tidak dapat masuk, dan kekufuran tidak
dapat keluar.

2. Terhalang dari ilmu dari rezeki


Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya seorang hamba diharamkan mendapat rezeki karena
dosa yang dilakukannya” (HR Ibnu Majah dan Hakim)

Berkata Imam As-Syafi’i, “Saya mengadu pada Waqi’i tentang buruknya hafalanku. Beliau
menasihatiku agar meninggalkan maksiat. Dan memberitahuku bahwa ilmu adalah cahaya. Dan
cahaya Allah tidak diberikan kepada orang yang bermaksiat.”

Orang yang banyak melakukan dosa waktunya banyak dihabiskan untuk hal-hal yang sepele dan
tidak berguna. Tidak untuk mencari ilmu yang bermanfaat, tidak juga untuk mendapatkan nafkah
yang halal. Banyak manusia yang masuk dalam model ini. Banyak yang menghabiskan
waktunya di meja judi dengan menikmati minuman haram dan disampingnya para wanita
murahan yang tidak punya rasa malu. Sebagian yang lain asyik dengan hobinya. Ada yang hobi
memelihara burung atau binatang piaraan yang lain. Sebagian lain, ada yang hobi
mengumpulkan barang antik meski harus mengeluarkan biaya tak sedikit. Sebagian yang lain
hobi belanja atau sibuk bolak-balik ke salon kecantikan. Seperti itulah kualitas hidup mereka.

3. Kematian hati dan kegelapan di wajah

Berkata Abdullah bin Al-Mubarak, “Saya melihat dosa-dosa itu mematikan hati dan mewariskan
kehinaan bagi para pelakunya. Meninggalkan dosa-dosa menyebabkan hidupnya hati. Sebaik-
baiknya bagi dirimu meninggalkannya. Bukankah yang menghancurkan agama itu tidak lain para
penguasa dan ahli agama yang jahat dan para rahib.”

Sungguh suatu musibah besar jika hati seseorang itu mati disebabkan karena dosa-dosa yang
dilakukannya. Dan perangkap dosa yang dikejar oleh mayoritas manusia adalah harta dan
kekuasaan. Mereka mengejar harta dan kekuasaan seperti laron masuk ke kobaran api unggun.

Tanda seorang bergelimangan dosa terlihat di wajahnya. Wajah orang-orang yang jauh dari air
wudhu dan cahaya Al-Qur’an adalah gelap tidak enak dipandang.

4. Terhalang dari penerapan hukum Allah

Penerapan hukum Allah berupa syariat Islam di muka bumi adalah rahmat dan karunia Allah dan
memberikan keberkahan bagi penduduknya. Ketika masyarakat banyak yang melakukan
kemaksiatan, maka mereka akan terhalang dari rahmat Islam tersebut. (Lihat Al-Maa-idah: 49
dan Al-A’raaf: 96)

5. Hilangnya nikmat Allah dan potensi kekuatan

Di antara nikmat yang paling besar yang diberikan Allah kepada hamba-Nya adalah pertolongan
dan kemenangan. Sejarah telah membuktikan bahwa pertolongan Allah dan kemenangan-Nya
diberikan kepada hamba-hamba-Nya yang taat. Sebaliknya, kekalahan dan kehancuran
disebabkan karena maksiat dan ketidaktaatan.

Kisah Perang Uhud harus menjadi pelajaran bagi orang-orang beriman. Ketika sebagian pasukan
perang sibuk mengejar harta rampasan dan begitu juga pasukan pemanah turun gunung ikut
memperebutkan harta rampasan. maka terjadilah musibah luar biasa. Korban berjatuhan di
kalangan umat Islam. Rasulullah saw. pun berdarah-darah.

Kisah penghancuran Kota Baghdad oleh pasukan Tartar juga terjadi karena umat Islam
bergelimang kemaksiatan. Khilafah Islam pun runtuh, selain dari faktor adanya konspirasi
internasional yang melibatkan Inggris, Amerika Serikat, dan Israel, karena umat Islam berpecah
belah dan kemaksiatan yang mereka lakukan.

Umar bin Khattab berwasiat ketika melepas tentara perang: ”Dosa yang dilakukan tentara
(Islam) lebih aku takuti dari musuh mereka. Sesungguhnya umat Islam dimenangkan karena
maksiat musuh mereka kepada Allah. Kalau tidak demikian kita tidak mempunyai kekuatan,
karena jumlah kita tidak sepadan dengan jumlah mereka, perlengkapan kita tidak sepadan
dengan perlengkapan mereka. Jika kita sama dalam berbuat maksiat, maka mereka lebih
memiliki kekuatan. Jika kita tidak dimenangkan dengan keutamaan kita, maka kita tidak dapat
mengalahkan mereka dengan kekuatan kita.”

Oleh karena itu umat Islam dan para pemimpinnya harus berhati-hati dari jebakan-jebakan cinta
dunia dan ambisi kekuasaan. Jauhi segala harta yang meragukan apalagi yang jelas haramnya.
Karena harta yang syubhat dan meragukan, tidak akan membawa keberkahan dan akan
menimbulkan perpecahan serta fitnah. Kemaksiatan yang dilakukan oleh individu, keluarga, dan
masyarakat akan menimbulkan hilangnya nikmat yang telah diraih dan akan diraih. Dan
melemahkan segala potensi kekuatan. Waspadalah!

Yang Kembali di Bulan Taubat

Cerita orang yang kembali pada Allah swt di bulan taubat ini sungguh sangat mengagumkan.
Dengarlah seseorang yang taubat di bulan Ramadhan, ia mengungkapkan kegembiraan dan
kebahagiannya:

“Sungguh indah Ramadhan, sungguh nikmat hari-harinya. Subhanallah! Semua kelezatan dan
kenikmatan ini tidak pernah aku rasakan kecuali pada hari ini. Di mana mataku selama bertahun-
tahun? Ya… bahkan diriku, dimana ketika bulan Ramadhan berada?. Sungguh, siapa yang
bersungguh-sungguh dalam mengerjakan kebaikan, pasti akan mendapatkan. Siapa yang mencari
jalan pasti ketemu. Siapa yang lari menuju Allah swt, pasti ditolong oleh-Nya… Sungguh benar
firman Allah swt dalam Hadits Qudsy:”Barangsiapa mendekat kepada-Ku sejengkal, Aku
mendekat padanya sehasta.”

Subhanallah! Saya merasakan bahwa beban berat lenyap dari jiwaku. Dada ini rasanya lapang.
Inilah kali pertama dalam hidupku aku paham ayat yang sering aku dengar di masjid kami:
”Barangsiapa yang dikehendaki Allah petunjuk, maka Allah melapangkan dadanya untuk
mudah menerima petunjuk Islam. Dan siapa yang dikehendaki Allah sesat, maka dijadikan
dadanya sesak, seakan ia menembus langit yang hampa udara.”

Ke mana rasa sempit itu menghilang? Kemana gundah-gulana yang menggelayuti jiwaku,
sampai-sampai aku mau bunuh diri? Kemana keraguan, bisikan dan angan-angan itu? Kemana
dahsyatnya kematian yang menyergap dalam tidurku?

Sungguh, sekarang saya sangat bahagia yang tidak terperi. Lapang dada. Lembut hati. Aku ingin
menangis! Aku ingin munajat pada Tuhanku, mengakui dihadapan-Nya dosa-dosaku yang
menggunung. Sebelumnya aku telah berbuat maksiat dan dosa. Namun aku pun shalat dan
meninggalkan maksiat dan dosa itu. Aku pun merasakan bahagia… senang… dan haru.

Wahai imam, perdengarkan kepadaku Al Qur’an, untuk menghalau tipu daya syetan. Wahai
iman, kenapa Ramadhan begitu cepat berlalu. Padahal aku baru kenal Ar Rahman, aku baru bisa
meninggalkan dosa dan maksiat!!

Demi Allah, kalau bukan karena malu dengan orang yang duduk di sampingku, aku akan
berteriak histeris: ”Aku akui nikmat-nikmat-Mu Ya Allah, aku bersyukur. Aku akui dosa-dosaku
Ya Tawwab, aku bertaubat. Wahai Dzat Penerima taubat, ampunkan segala kesalahan dan
dosaku. Sungguh hanya Engkau yang Menghapus dosa-dosa.”

Aku bergumam: ”Wahai imam, mengapa kamu potong daku lezatnya munajat! Mengapa kamu
selesai sujud, menjadikan daku kehilangan lezatnya pengakuan dan pengaduan pada Dzat Yang
Perkasa. Wahai imam, aku ingin menangis, sungguh kami sudah lama tidak menangis…

Sungguh manis engkau wahai Ramadhan… sungguh hari-harimu sangat indah… aku akan
menyibukkan diri di hari dan malammu, bahkan jam dan detikmu… bagaimana tidak, sungguh
aku menemukan diriku padamu!! Bukankah dalam hadits disebutkan: ”Sungguh celaka
seseorang yang berjumpa dengan Ramadhan sedangkan ia tidak diampuni dosanya.”

Kita berada di depan Ramadhan. Setiap kita mempunyai harapan mendapat ampunan Dzat Yang
Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Kita berjumpa dengannya dengan membawa segunung
dosa yang memberatkan. Kita bertemu dengannya dengan membawa aib dan kesalahan yang tak
terkira. Pada Allah kita berharap dan memohon.

Sungguh, rahmat-Nya, kasih-sayang-Nya, ampunan-Nya kami rindukan. Wahai Dzat Yang


Maha Pengasih dan Penyayang, jangan Engkau jadikan kami termasuk orang-orang yang Engkau
tolak atas pintu maghfirah-Mu. Jua jangan Engkau jauhkan kami dari keutamaan dan kebaikan-
Mu. Ya Allah, kami memohon kepada-Mu keluasan rahmat-Mu.

Sungguh, harapan kami pada-Mu, Ya Allah sangatlah serius. Setiap kami pasti berbuat salah dan
dosa. Akan tetapi harapan kami pada Dzat Yang Mengulurkan Tangan-Nya di malam hari, agar
kembali para pendosa di siang hari. Pada Dzat Yang mengulurkan Tangan-Nya di siang hari,
agar kembali para pendosa di malam hari.

“Wahai anak Adam, walau dosamu melangit, namun kamu beristighfar pada-Ku, pasti Aku akan
ampuni kamu, dan Aku tidak peduli.”

Aku beristighfar, astaghfirullahal Adhiim. Sungguh, Allah Maha Pengampun lagi Penyayang.
Aku buka bulan mulya ini dengan taubatan nashuha. Dan betapa banyak kasih-sayang Allah aku
rasakan pada hari-hari bulan taubat ini. Allahu A’lam.

Taubat Sejati

Hidup tak ubahnya seperti menelusuri jalan setapak yang becek di tepian sungai nan jernih.
Kadang orang tak sadar kalau lumpur yang melekat di kaki, tangan, badan, dan mungkin kepala
bisa dibersihkan dengan air sungai tersebut. Boleh jadi, kesadaran itu sengaja ditunda hingga
tujuan tercapai.

Tak ada manusia yang bersih dari salah dan dosa. Selalu saja ada debu-debu lalai yang melekat.
Sedemikian lembutnya, terlekatnya debu kerap berlarut-larut tanpa terasa. Di luar dugaan, debu
sudah berubah menjadi kotoran pekat yang menutup hampir seluruh tubuh.

Itulah keadaan yang kerap melekat pada diri manusia. Diamnya seorang manusia saja bisa
memunculkan salah dan dosa. Terlebih ketika peran sudah merambah banyak sisi: keluarga,
masyarakat, tempat kerja, organisasi, dan pergaulan sesama teman. Setidaknya, akan ada
gesekan atau kekeliruan yang mungkin teranggap kecil, tapi berdampak besar.

Belum lagi ketika kekeliruan tidak lagi bersinggungan secara horisontal atau sesama manusia.
Melainkan sudah mulai menyentuh pada kebijakan dan keadilan Allah swt. Kekeliruan jenis ini
mungkin saja tercetus tanpa sadar, terkesan ringan tanpa dosa; padahal punya delik besar di sisi
Allah swt.

Rasulullah saw. pernah menyampaikan nasihat tersebut melalui Abu Hurairah r.a. “Segeralah
melalukan amal saleh. Akan terjadi fitnah besar bagaikan gelap malam yang sangat gulita.
Ketika itu, seorang beriman di pagi hari, tiba-tiba kafir di sore hari. Beriman di sore hari, tiba-
tiba kafir di pagi hari. Mereka menukar agama karena sedikit keuntungan dunia.” (HR. Muslim)

Saatnyalah seseorang merenungi diri untuk senantiasa minta ampunan Allah swt. Menyadari
bahwa siapa pun yang bernama manusia punya kelemahan, kekhilafan. Dan istighfar atau
permohonan ampunan bukan sesuatu yang musiman dan jarang-jarang. Harus terbangun taubat
yang sungguh-sungguh.
Secara bahasa, taubat berarti kembali. Kembali kepada kebenaran yang dilegalkan Allah swt.
dan diajarkan Rasulullah saw. Taubat merupakan upaya seorang hamba menyesali dan
meninggalkan perbuatan dosa yang pernah dilakukan selama ini.

Rasulullah saw. pernah ditanya seorang sahabat, “Apakah penyesalan itu taubat?” Rasulullah
saw. menjawab, “Ya.” (HR. Ibnu Majah) Amr bin Ala pernah mengatakan, “Taubat nasuha
adalah apabila kamu membenci perbuatan dosa sebagaimana kamu mencintainya.”

Taubat dari segala kesalahan tidak membuat seorang manusia terhina di hadapan Tuhannya.
Justru, akan menambah kecintaan dan kedekatan seorang hamba dengan Tuhannya. Karena
Allah sangat mencintai orang-orang yang bertaubat dan mensucikan diri. “Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (QS. Al-
Baqarah: 222)

Taubat dalam Islam tidak mengenal perantara. Pintu taubat selalu terbuka luas tanpa penghalang
dan batas. Allah selalu menbentangkan tangan-Nya bagi hamba-hamba-Nya yang ingin kembali
kepada-Nya. Seperti terungkap dalam hadis riwayat Imam Muslim dari Abu musa Al-Asy`ari.
“Sesungguhnya Allah membentangkan tangan-Nya di siang hari untuk menerima taubat orang
yang berbuat kesalahan pada malam hari sampai matahari terbit dari barat.”
Karena itu, merugilah orang-orang yang berputus asa dari rahmat Allah dan membiarkan dirinya
terus-menerus melampaui batas. Padahal, pintu taubat selalu terbuka. Dan sungguh, Allah akan
mengampuni dosa-dosa semuanya karena Dialah yang Maha Pengampun lagi Penyayang.

Orang yang mengulur-ulur saatnya bertaubat tergolong sebagai Al-Musawwif. Orang model ini
selalu mengatakan, “Besok saya akan taubat.” Ibnu Abas r.a. meriwayatkan, berkata Nabi saw.
“Binasalah orang-orang yang melambat-lambatkan taubat (musawwifuun).” Dalam surat Al-
Hujurat ayat 21, Allah swt. berfirman, “Dan barangsiapa yang tidak bertaubat, mereka itulah
orang-orang yang zalim.“

Abu Bakar pernah mendengar ucapan Rasulullah saw., “Iblis berkata, aku hancurkan manusia
dengan dosa-dosa dan dengan bermacam-macam perbuatan durhaka. Sementara mereka
menghancurkan aku dengan Laa ilaaha illaahu dan istighfar. Tatkala aku mengetahui yang
demikian itu aku hancurkan mereka dengan hawa nafsu, dan mereka mengira dirinya
berpetunjuk.”

Namun, taubat seorang hamba Allah tidak cuma sekadar taubat. Bukan taubat kambuhan yang
sangat bergantung pada cuaca hidup. Pagi taubat, sore maksiat. Sore taubat, pagi maksiat. Sedikit
rezeki langsung taubat. Banyak rezeki kembali maksiat.

Taubat yang selayaknya dilakukan seorang hamba Allah yang ikhlas adalah dengan taubat yang
tidak setengah-setengah. Benar-benar sebagai taubat nasuha, atau taubat yang sungguh-sungguh.

Karena itu, ada syarat buat taubat nasuha. Antara lain, segera meninggalkan dosa dan maksiat,
menyesali dengan penuh kesadaran segala dosa dan maksiat yang telah dilakukan, bertekad
untuk tidak akan mengulangi dosa.

Selain itu, para ulama menambahkan syarat lain. Selain bersih dari kebiasaan dosa, orang yang
bertaubat mesti mengembalikan hak-hak orang yang pernah dizalimi. Ia juga bersegera
menunaikan semua kewajiban-kewajibannya terhadap Allah swt. Bahkan, membersihkan segala
lemak dan daging yang tumbuh di dalam dirinya dari barang yang haram dengan senantiasa
melakukan ibadah dan mujahadah.

Hanya Alahlah yang tahu, apakah benar seseorang telah taubat dengan sungguh-sungguh.
Manusia hanya bisa melihat dan merasakan dampak dari orang-orang yang taubat. Benarkah ia
sudah meminta maaf, mengembalikan hak-hak orang yang pernah terzalimi, membangun
kehidupan baru yang Islami, dan hal-hal baik lain. Atau, taubat hanya hiasan bibir yang terucap
tanpa beban.
Hidup memang seperti menelusuri jalan setapak yang berlumpur dan licin. Segeralah mencuci
kaki ketika kotoran mulai melekat. Agar risiko jatuh berpeluang kecil. Dan berhati-hatilah,
karena tak selamanya jalan mendatar.

Istighfar, Pesan Para Nabi

“Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertaubat kepada-Nya. (Jika kamu
mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus menerus)
kepadamu sampai kepada waktu yang telah ditentukan dan Dia akan memberikan kepada tiap-
tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya. Jika kamu berpaling, maka
sesungguhnya aku takut kamu akan ditimpa siksa hari kiamat”. (Hud: 3)

Surat Hud yang pernah membuat Abu bakar terkejut saat melihat rambut Rasulullah saw beruban
yang dijawab oleh Rasulullah dengan sabdanya, “Surat Hud dan saudara2nya telah membuat
rambutku beruban”, ternyata sarat dengan perintah beristighfar yang disampaikan melalui lisan
para nabiyuLlah dari Hud as, sholih dan syu’aib as.

Tercatat ada empat ayat di dalam surat ini yang menyebut perintah beristighfar, yaitu pertama
ayat 3 di atas, ayat 52, 61, dan 90. Bahkan yang menarik, bahwa secara korelatif, perintah
beristighfar pada ayat-ayat tersebut diawali dengan perintah menyembah dan mengabdi semata-
mata kepada Allah, seperti dalam surat Hud: 2 misalnya, “Agar kamu tidak menyembah selain
Allah. Sesungguhnya aku (Muhammad) adalah pemberi peringatan dan pembawa khabar
gembira kepadamu daripada-Nya” (Hud: 2).

Betapa tinggi nilai perintah beristighfar sehingga selalu berdampingan dengan perintah
beribadah kepadanya. Sehingga merupakan satu kewajiban sekaligus kebutuhan seorang hamba
kepada Allah swt karena secara fithrah memang manusia tidak akan bisa mengelak dari
melakukan dosa dan kesalahan sepanjang hidupnya. Peluang ampunan ini merupakan anugerah
rahmat yang terbesar bagi hamba-hamba-Nya yang beriman.

Terkait dengan hal ini, kebiasaan beristighfar mereflesikan kedekatan seorang hamba dengan
Tuhannya dan pengakuan akan Ke-Maha Pengampunan Allah swt. Istighfar juga merupakan
cermin dari sebuah akidah yang mantap akan kesediaan Allah membuka pintu ampunannya
sepanjang siang dan malam. Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Allah senantiasa membuka
tanganNya di siang hari untuk memberi ampunan kepada hambaNya yang melakukan dosa di
malam hari, begitu pula Allah swt senatiasa membuka tangan-Nya di malam hari untuk memberi
ampunan bagi hamba-Nya yang melakukan dosa di siang hari”.

Catatan lain yang bisa dikaji adalah bahwa perintah beristighfar di dalam Al-Qur’an juga selalu
beriringan dengan perintah bertaubat,” Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu
dan bertaubat kepada-Nya. Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili dalam tafsir Al-Munir mengemukakan
rahasia penggabungan perintah beristighfar dan bertaubat pada kebanyakan ayat-ayat Al-Qur’an
bahwa tidak ada jalan untuk meraih ampunan Allah swt melainkan dengan menunjukkan
perilaku dan sikap “taubat” yang diimplementasikan dengan penyesalan akan kesalahan masa
lalu, melepas ikatan-ikatan (jaringan) kemaksiatan dalam segala bentuk dan sarananya serta
tekad yang tulus dan jujur untuk tidak mengulangi kembali perbuatan-perbuatan dosa di masa
yang akan datang. Dalam kaitan ini, taubat merupakan penyempurna dari istighfar seseorang
agar diterima oleh Allah swt.

Secara aplikatif, kebiasaan beristighfar sudah dicotohkan oleh Rasulullah saw. Tercatat dalam
sebuat riwayat Imam Muslim bahwa Rasulullah (memberi pelajaran kepada umatnya) senantiasa
beristighfar setiap hari tidak kurang dari 70 kali. Bahkan di riwayat Imam Bukhari beliau
beristighfar setiap hari lebih dari 100 kali (Bukhari Muslim). Pelajaran yang diambil dari prilaku
Rasulullah ini adalah bahwa beristighfar tidak harus menunggu setelah melakukan kesalahan,
tetapi bagaimana hendaknya aktifitas ini berlangsung senantiasa menghiasi kehidupan sehari-
hari kita tanpa terkecuali.
Para malaikat yang jelas tidak pernah melanggar perintah Allah justru senantiasa beristighfar
memohon ampunan untuk orang-orang yang beriman sebagai sebuah pelajaran yang berharga
bagi setiap hamba Allah yang beriman, “(Malaikat-malaikat) yang memikul ‘Arsy dan malaikat
yang berada di sekelilingnya bertasbih memuji Tuhannya dan mereka beriman kepada-Nya
serta memintakan ampun bagi orang-orang yang beriman (seraya mengucapkan): “Ya Tuhan
kami, rahmat dan ilmu Engkau meliputi segala sesuatu, maka berilah ampunan kepada orang-
orang yang bertaubat dan mengikuti jalan Engkau dan peliharalah mereka dari siksaan neraka
yang menyala-nyala”. (Al-Mu’min: 7)

Berdasarkan kajian terhadap ayat-ayat yang berbicara tentang istighfar, paling tidak terdapat
empat keutamaan dan nilai dari amaliah istighfar dalam kehidupan seorang muslim:

1. Istighfar merupakan cermin akan kesadaran diri orang-orang yang bertakwa. “Dan (juga)
orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka
ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat
mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu,
sedang mereka mengetahui”. (Ali Imran: 135)

2. Istighfar merupakan sumber kekuatan umat. Kaum nabi Hud yang dikenal dengan kekuatan
mereka yang luar biasa, masih diperintahkan oleh nabi mereka agar senantiasa beristighfar untuk
menambah kekuatan mereka. “Dan (dia berkata): “Hai kaumku, mohonlah ampun kepada
Tuhanmu lalu bertobatlah kepada-Nya, niscaya Dia menurunkan hujan yang sangat deras
atasmu, dan Dia akan menambahkan kekuatan kepada kekuatanmu, dan janganlah kamu
berpaling dengan berbuat dosa”. (Hud: 52). Bahkan Rasulullah dalam salah satu haditsnya
menegaskan bahwa eksistensi sebuah umat ditentukan diantaranya dengan kesadaran mereka
untuk selalu beristighfar, sehingga bukan merupakan aib dan tidak merugi orang-orang yang
bersalah lantas ia menyadari kesalahannya dengan beristighfar memohon ampunan kepada Allah
swt.

3. Istighfar dapat menolak bencana dan menjadi salah satu sarana turunnya keberkahan dan
rahmat Allah swt. Ibnu Katsir ketika menafasirkan surat Al-Anfal: 33 “Dan Allah sekali-kali
tidak akan mengazab mereka, sedang kamu berada di antara mereka. Dan tidaklah (pula) Allah
akan mengazab mereka, sedang mereka meminta ampun” menukil riwayat dari Imam Tirmidzi
bahwa Rasulullah saw bersabda, “Allah telah menurunkan kepadaku dua pengaman atau
penyelemat bagi umat dari azab dan bencana, yaitu keberadaanku dan istighfar. Maka ketika aku
telah tiada, masih tersisa satu pengaman hingga hari kiamat, yaitu istighfar”. Bahkan Ibnu Abbas
menuturkan bahwa ungkapan istighfar meskipun keluar dari pelaku maksiat dapat mencegah dari
beberapa kejahatan dan bahaya.

4. Istighfar akan memudahkan urusan seseorang, memudahkan jalan mencari rizki dan
memelihara seseorang. Dalam konteks ini, Ibnu katsir menafsirkan suarat Hud : 52 dengan
menukil hadits Rasulullah saw yang bersabda, “Barangsiapa yang mampu mulazamah atau
kontinyu dalam beristighfar, maka Allah akan menganugerahkan kebahagiaan dari setiap duka
dan kesedihan yang menimpanya, memberi jalan keluar dari setiap kesempitan dan memberi
rizki dengan cara yang tidak disangka-sangka”. (Ibnu Majah)

Demikianlah, pesan yang disampaikan oleh para nabiyuallah kepada kaumnya sebagai salah satu
solusi dari permasalahan mereka. Tentu istighfar yang dimaksud tidak hanya sekedar ucapan
dengan lisan “astaghfirullah”, tetapi secara aplikatif sikap waspada, mawas diri dan berhati-hati
dan bersikap dan berperilaku agar terhindar dari kesalahan. Dan jika terjermus ke dalam
kemaksiatan segera sadar dan mampu bangkit dari kesalahan dengan bersungguh-sungguh
bertaubat dalam arti menyuguhkan pengabdian dan karya yang lebih bermanfaat untuk umat.
Allahu A’lam.

Kepribadian Muslim
Apa yang terbayang di benak kita ketika berbicara mengenai Kepribadian Muslim? Mungkin ada
yang menjawab; Kepribadian muslim itu tercermin pada orang yang rajin menjalankan Islam
dari aspek ritual seperti shalat. Ada yang mengatakan kepribadian muslim itu terlihat dari sikap
dermawan dan suka menolong orang lain atau aspek sosial. Mungkin ada yang berpendapat
kepribadian muslim itu terlihat dari penampilan seseorang yang kalem dan baik hati.

Jawaban di atas hanyalah satu aspek saja dan masih banyak aspek lain yang harus melekat pada
pribadi seorang muslim. Oleh karena itu standar pribadi muslim yang berdasarkan Al Qur’an dan
Sunnah merupakan sesuatu yang harus dirumuskan, sehingga dapat menjadi acuan bagi
pembentukan pribadi muslim.

Ada beberapa karakteristik yang harus dipenuhi seseorang sehingga ia dapat disebut
berkepribadian muslim, yaitu :

1. Salimul ‘Aqidah / ‘Aqidatus Salima (Aqidah yang lurus/selamat)

Salimul aqidah merupakan sesuatu yang harus ada pada setiap muslim. Dengan aqidah yang
lurus, seorang muslim akan memiliki ikatan yang kuat kepada ALLAH SWT, dan tidak akan
menyimpang dari jalan serta ketentuan-ketentuan-Nya. Dengan kelurusan dan kemantapan
aqidah, seorang muslim akan menyerahkan segala perbuatannya kepada ALLAH
sebagaimana firman-Nya yang artinya : “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan
matiku, semua bagi Allah tuhan semesta alam”. (QS. al-An’aam [6]:162). Karena aqidah
yang lurus/selamat merupakan dasar ajaran tauhid, maka dalam awal da’wahnya kepada para
sahabat di Mekkah, Rasulullah SAW mengutamakan pembinaan aqidah, iman, dan tauhid.

2. Shahihul Ibadah (ibadah yang benar)

Shahihul ibadah merupakan salah satu perintah Rasulullah SAW yang penting. Dalam satu
haditsnya, beliau bersabda: “Shalatlah kamu sebagaimana melihat aku shalat”. Maka
dapat disimpulkan bahwa dalam melaksanakan setiap peribadatan haruslah
merujuk/mengikuti (ittiba’) kepada sunnah Rasul SAW yang berarti tidak boleh ditambah-
tambahi atau dikurang-kurangi.

3. Matinul Khuluq (akhlak yang kokoh)

Matinul khuluq merupakan sikap dan perilaku yang harus dimiliki oleh setiap muslim, baik
dalam hubungannya kepada Allah maupun dengan makhluk2-Nya. Dengan akhlak yang
mulia, manusia akan bahagia dalam hidupnya, baik di dunia apalagi di akhirat. Karena
akhlak yang mulia begitu penting bagi umat manusia, maka salah satu tugas diutusnya
Rasulullah SAW adalah untuk memperbaiki akhlak manusia, dimana beliau sendiri langsung
mencontohkan kepada kita bagaimana keagungan akhlaknya sehingga diabadikan oleh
ALLAH SWT di dalam Al Qur’an sesuai firman-Nya yang artinya: “Dan sesungguhnya
kamu benar-benar memiliki akhlak yang agung”. (QS. al-Qalam [68]:4).

4. Mutsaqqoful Fikri (wawasan yg luas)

Mutsaqqoful fikriwajib dipunyai oleh pribadi muslim. Karena itu salah satu sifat Rasulullah
SAW adalah fatonah (cerdas). Al Qur’an juga banyak mengungkap ayat-ayat yang
merangsang manusia untuk berfikir, misalnya firman Allah yang artinya: “Mereka bertanya
kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: ” pada keduanya itu terdapat dosa besar
dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya”.
Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: “Yang lebih
dari keperluan”. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu
berfikir”.(QS al-Baqarah [2]:219)Di dalam Islam, tidak ada satupun perbuatan yang harus
kita lakukan, kecuali harus dimulai dengan aktifitas berfikir. Karenanya seorang muslim
harus memiliki wawasan keislaman dan keilmuan yang luas. Untuk mencapai wawasan yg
luas maka manusia dituntut utk mencari/menuntut ilmu, seperti apa yg disabdakan beliau
SAW : “Menuntut ilmu wajib hukumnya bagi setiap muslim”.(Muttafaqun ‘alaihi).Dan
menuntut ilmu yg paling baik adalah melalui majelis2 ilmu spt yg digambarkan ALLAH
SWT dlm firman-Nya:“Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu:
“Berlapang-lapanglah dalam majlis”, maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi
kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: “Berdirilah kamu”, maka berdirilah,
niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-
orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa
yang kamu kerjakan.(QS. al-Mujadilaah [58]: 11).Oleh karena itu ALLAH SWT
mempertanyakan kepada kita tentang tingkatan intelektualitas seseorang, sebagaimana
firman-Nya yang artinya: Katakanlah: “samakah orang yang mengetahui dengan orang
yang tidak mengetahui?, sesungguhnya orang-orang yang berakallah yang dapat
menerima pelajaran”.(QS. az-Zumar [39]:9).

5. Qowiyyul Jismi (jasmani yg kuat)

Seorang muslim haruslah memiliki daya tahan tubuh sehingga dapat melaksanakan ajaran
Islam secara optimal dengan fisiknya yang kuat. Shalat, puasa, zakat dan haji merupakan
amalan di dalam Islam yang harus dilaksanakan dengan kondisi fisik yang sehat dan kuat.
Apalagi berjihad di jalan Allah dan bentuk-bentuk perjuangan lainnya.Oleh karena itu,
kesehatan jasmani harus mendapat perhatian seorang muslim dan pencegahan dari penyakit
jauh lebih utama daripada pengobatan. Meskipun demikian, sakit tetap kita anggap sebagai
sesuatu yang wajar bila hal itu kadang-kadang terjadi. Namun jangan sampai seorang muslim
sakit-sakitan. Bahkan Rasulullah SAW menekankan pentingnya kekuatan jasmani seorang
muslim spt sabda beliau yang artinya: “Mukmin yang kuat lebih aku cintai daripada
mukmin yang lemah”. (HR. Muslim).

6. Mujahadatul Linafsihi (berjuang melawan hawa nafsu)

Hal ini penting bagi seorang muslim karena setiap manusia memiliki kecenderungan pada
yang baik dan yang buruk. Melaksanakan kecenderungan pada yang baik dan menghindari
yang buruk amat menuntut adanya kesungguhan. Kesungguhan itu akan ada manakala
seseorang berjuang dalam melawan hawa nafsu. Hawa nafsu yang ada pada setiap diri
manusia harus diupayakan tunduk pada ajaran Islam. Rasulullah SAW bersabda yang
artinya: “Tidak beriman seseorang dari kamu sehingga ia menjadikan hawa nafsunya
mengikuti apa yang aku bawa (ajaran Islam)”. (HR. Hakim).

7. Harishun Ala Waqtihi (disiplin menggunakan waktu)

Harishun ala waqtihi merupakan faktor penting bagi manusia. Hal ini karena waktu
mendapat perhatian yang begitu besar dari Allah dan Rasul-Nya. Allah SWT banyak
bersumpah di dalam Al Qur’an dengan menyebut nama waktu seperti wal fajri, wad dhuha,
wal asri, wallaili dan seterusnya.Waktu merupakan sesuatu yang cepat berlalu dan tidak akan
pernah kembali lagi. Oleh karena itu setiap muslim amat dituntut untuk disiplin mengelola
waktunya dengan baik sehingga waktu berlalu dengan penggunaan yang efektif, tak ada yang
sia-sia. Maka diantara yang disinggung oleh Nabi SAW adalah memanfaatkan momentum
lima perkara sebelum datang lima perkara, yakni waktu hidup sebelum mati, sehat sebelum
datang sakit, muda sebelum tua, senggang sebelum sibuk dan kaya sebelum miskin.

8. Munazhzhamun fi Syuunihi (teratur dalam suatu urusan)

Munazhzhaman fi syuunihi termasuk kepribadian seorang muslim yang ditekankan oleh Al


Qur’an maupun sunnah. Dimana segala suatu urusan mesti dikerjakan secara profesional.
Apapun yang dikerjakan, profesionalisme selalu diperhatikan. Bersungguh-sungguh,
bersemangat , berkorban, berkelanjutan dan berbasis ilmu pengetahuan merupakan hal-hal
yang mesti mendapat perhatian serius dalam penunaian tugas-tugas.

9. Qodirun Alal Kasbi (memiliki kemampuan usaha sendiri/mandiri)


Qodirun alal kasbi merupakan ciri lain yang harus ada pada diri seorang muslim. Ini
merupakan sesuatu yang amat diperlukan. Mempertahankan kebenaran dan berjuang
menegakkannya baru bisa dilaksanakan manakala seseorang memiliki kemandirian terutama
dari segi ekonomi. Tak sedikit seseorang mengorbankan prinsip yang telah dianutnya karena
tidak memiliki kemandirian dari segi ekonomi. Karena pribadi muslim tidaklah mesti miskin,
seorang muslim boleh saja kaya bahkan memang harus kaya agar dia bisa menunaikan
ibadah haji dan umroh, zakat, infaq, shadaqah dan mempersiapkan masa depan yang baik.
Oleh karena itu perintah mencari nafkah amat banyak di dalam Al Qur’an maupun hadits dan
hal itu memiliki keutamaan yang sangat tinggi.Dalam kaitan menciptakan kemandirian inilah
seorang muslim amat dituntut memiliki keahlian apa saja yang baik. Keahliannya itu menjadi
sebab baginya mendapat rizki dari Allah SWT. Rezeki yang telah Allah sediakan harus
diambil dan untuk mengambilnya diperlukan skill atau ketrampilan.

10. Nafi’un Lighoirihi (bermanfaat bagi orang lain)

Manfaat yang dimaksud disini adalah manfaat yang baik sehingga dimanapun dia berada,
orang disekitarnya merasakan keberadaan. Jangan sampai keberadaan seorang muslim tidak
menggenapkan dan ketiadaannya tidak mengganjilkan.Ini berarti setiap muslim itu harus
selalu mempersiapkan dirinya dan berupaya semaksimal untuk bisa bermanfaat dan
mengambil peran yang baik dalam masyarakatnya. Rasulullah SAW bersabda yang artinya:
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain”. (HR. Qudhy dari
Jabir).

Untuk meraih kreteria Pribadi Muslim di atas membutuhkan mujahadah dan mulazamah atau
kesungguhan dan kesinambungan. Allah swt berjanji akan memudahkan hamba-Nya yang
bersungguh-sungguh meraih keridloan-Nya. “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari
keridhaan) kami, benar- benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. dan
Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” QS. Al Ankabut :
69. Allahu A’lam

Muhammad, Pribadimu Sungguh Menawan

Siapa di antara Anda yang membaca akhlak Muhammad saw., kemudian jiwanya tidak larut,
matanya tidak berlinangan dan hatinya tidak bergetar? Siapa di antara Anda yang mampu
menahan emosionalnya ketika membaca biografi seorang yang sangat dermawan, mulia, lembut
dan tawadhu’? Siapa yang mengkaji sirah hidup beliau yang agung, perangai yang mulya dan
akhlak yang terpuji, kemudian dia tidak menagis, sembari berikrar, “Saya bersaksi bahwa
Engkau adalah utusan Allah.”?

Duhai, kiranya kita mampu melaksanakan cara hidup, cinta dan akhlak yang mulya dari teladan
mulia ini dalam kehidupan, perilaku dan mentalitas kita. Kita bergaul dengan orang lain,
sebagaimana Muhammad saw. memperlakukan musuh-musuhnya. Beliau bersabda,

‫ وأن أعفو عمن ظلمني‬،‫ وأن أعطي من حرمني‬،‫ »إن ال أمرني أن أصل من قطعني‬:‫»قال‬.

“Sesungguhnya Allah menyuruhku agar menyambung orang yang memutuskanku, memberi


kepada orang yang menahanku, dan memaafkan terhadap orang yang mendzalimiku.”

Duhai, kiranya kita memperlakukan saudara seiman kita, sebagaimana Muhammad saw.
memperlakukan orang-orang munafik, beliau memaafkan mereka, memintakan ampun terhadap
mereka dan menyerahkan rahasia mereka kepada Allah swt.

Duhai, sekiranya kita memperlakukan anak-anak kita, sebagaimana Muhamamd saw.


memperlakukan pembantu dan pekerjanya. Ketika pembantu kecil Muhamamd saw. sedang
sakit, beliau. membesuk dan duduk di dekat kepalanya seraya mengajak untuk masuk Islam.
Pembantu kecil itu masuk Islam, maka Muhammad gembira seraya berkata, “Segala puji bagi
Allah swt yang telah menyelamatkan dirinya dari api neraka.”
‫ ورفممع اليهممودي صمموته علممى الرسممول‬،‫وقام رجل من اليهود يتقاضى الرسول صلى ال عليه وسلم دْينًا في المسجد أمممام النمماس‬
‫ »أشهد أنك رسول ال؛ لننا نقرأ فممي‬:‫ل‬ ً ‫ فلما طال الموقف صرخ اليهودي قائ‬،‫سم ويترّفق به‬ ّ ‫ح بصخب وغضب والرسول يتب‬ ّ ‫وأل‬
‫»التوراة عنك أنك كلما ُأغضبت ازددت حلمًا‬.

“Seorang Yahudi menagih utang kepada Muhamamd saw. dengan marah-marah, kasar, dan
tidak sopan di depan banyak orang. Muhammad saw. tersenyum dan menghadapinya dengan
lembut. Tak disangka si Yahudi itu masuk Islam, mengucapkan syahadat, “Saya bersaksi bahwa
Engkau utusan Allah.” Karena saya baca di Taurat tentang Engkau, yaitu ketika saya tambah
marah, justeru Engkau tambah lembut menghadapiku.” Begitu pengakuan si Yahudi.

Duhai, kiranya kita memperlakukan kerabat kita, meskipun mereka berbuat buruk kepada kita,
sebagaimana Muhammad saw. memperlakukan kerabat dan kaumnya. Karena kerabat dan kaum
Muhamamd saw. menyakitinya, mengusirnya, mengejeknya, menolaknya, memeranginya.
Namun, beliau tetap menghadapinya. Ketika beliau menaklukkan Makkah, posisi beliau sebagai
pemenang, penentu kebijakan, namun beliau berdiri berpidato mengumumkan bahwa beliau
memaafkan semuanya. Sejarah telah mencatat dan momentum telah menjadi saksi sabda beliau,

«‫»عفا ال عنكم اذهبوا فأنتم الطلقاء‬

”Allah telah mengampuni kalian, pergilah, kaliah bebas.”

Sewaktu Penduduk Thaif melempari Muhammad saw. sampai beliau berdarah-darah. Beliau
menghapus darah segar yang mengalir dari tubuhnya sambil berdo’a,

«‫»اللهم اغفر لقومي فإنهم ل يعلمون‬.

”Ya Allah, ampuni kaumku, karena mereka tidak mengetahui.”

Muhammad saw. pernah dicegat oleh seorang Arab badui di tengah jalan, beliau hanya berdiri
lama berhadapan, dan tidak berpaling sampai orang badui itu berlalu dengan sendirinya.

Suatu hari Beliau ditanya oleh seorang nenek tua, beliau dengan tekun, hangat dan penuh
perhatian menjawab pertanyaannya. Muhamamd saw. juga membawa seorang anak kecil yang
berstatus hamba sahaya, beliau menggandeng tanganyya mengajak berjalan-jalan.

Muhammad saw. senantiasa menjaga kehormatan seseorang, memulyakan seseorang,


melaksanakan hak-hak seseorang. Muhammad saw. tidak pernah mengumpat, menjelekkan,
melaknat, menyakiti, dan tidak merendahkan seseorang. Muhammad saw. ketika hendak
menasehati seseorang, beliau berkata, “Kenapa suatu kaum melaksanakan ini dan itu? Artinya,
beliau tidak langsung menyalah orang tersebut. Beliau bersabda, “Mukmin itu tidak mencela,
melaknat dan juga tidak keras perangainya. Beliau juga bersabda,

«‫س يوم القيامة أحسنكم أخلقا‬


َ ‫ي وأقربكم مني مجال‬
ّ ‫»إن أحبكم إل‬.

“Sesungguhnya yang paling saya cintai di antara kalian dan paling dekat tempat duduknya
dengan saya kelak di hari Kiamat adalah yang paling baik akhlaknya di antara kalian.”

Muhamamd saw. merapikan sandalnya, menjahit bajunya, menyapu rumahnya, memeras susu
kambingnya, mendahulukan sahabatnya soal makanan. Muhammad saw. tidak suka pujian.
Muhamamd saw. sangat peduli terhadap fakir miskin, beliau berdiri membela orang yang
terdzalimi, beliau bertandang ke orang papa, menengok orang sakit, mengantarkan jenazah,
mengusap kepala anak yatim, santun terhadap perempuan, memulyakan tamu, memberi makan
yang lapar, bercanda dengan anak-anak, dan menyayangi binatang.

Suatu ketika para sahabat memberi saran kepada Muhammad saw, “Tidakkah Engkau
membunuh gembong kejahatan, seorang pendosa dan otak munafik, yaitu Abdullah bin Ubai bin
Salul? Beliau menjawab, “Tidak, karena manusia nanti mengira bahwa Muhammad telah
membunuh sahabatnya.”

Boleh jadi kita telah membaca biografi orang-orang besar, tokoh terkenal, ilmuwan, reformis,
mujaddid, namun ketika kita membaca sirah kehidupan Muhammad saw. seakan-akan kita tidak
mengenal selain dirinya, kita tidak mengakui selain dirinya. Tokoh-tokoh itu rasaya kecil di mata
kita, hilang dalam ingatan kita, pupus dalam pikiran kita, yang ada hanya kebesaran Muhammad
saw.:

Bayang-bayang Engkau selalu menghampiriku setiap saat


Ketika aku berpikir, pikiranku tertuju kepadamu
Saya berteriak lantang
Zamanmu bak taman indah nan menghijau
Aku mencintaimu, cinta yang tidak bisa ditafsirkan

Sungguh, Engkau tidak akan pernah hilang dari ingatan kami. Engkau ada di hati kami. Engkau
bersemayam dalam jiwa kami. Engkau terukir dalam benak kami. Engkau berada di pendengaran
dan penglihatan kami. Engkau mengalir dalam aliran darah kami. Engkau berada di sendi-sendi
setiap jasad kami. Engkau hidup dalam seluruh anggota badan kami. Yaitu dalam sunnahmu,
petunjukmu, ajaran luhurmu, akhlakmu yang mulya.

Kami bela Engkau dengan jiwa kami. Kami bela Engkau dengan anak-anak dan keluarga kami
semua. Nyawa-nyawa kami sebagai tebusan atas jiwa Engkau. Kehormatan kami, kami
pertaruhkan untuk membela kehormatan Engkau.

‫أتسمممممممممأل عمممممممممن أعمارنممممممممما؟ أنمممممممممت عمرنممممممممما *** وأنمممممممممت لنممممممممما التأريمممممممممخ أنمممممممممت المحمممممممممِرُر‬
ُ‫تذوب رموز الناس مهما تعاظموا *** وفي كل يوم أنت في القلب تكبر‬.

Apakah Engkau bertanya tentang umur kami? Engkaulah umur kami Engkau bagi kami
melegenda, karena Engkau seorang “Pembebas” Luluh lebur ketokohan manusia, sehebat
apapun Karena setiap saat Engkau agung di hati kami

Shalawat dan salam atasmu ketika orang-orang yang berdzikir mengingatmu. Shalawat dan
salam atasmu ketika orang yang lalai tidak pernah mengingatmu. Allahu a’lam

Manajemen Waktu dan Kualitas Diri

Dalam Al-Qur’anul Karim Surat Al-Ashr (103): 1-3, Allah berfirman yang artinya sebagai
berikut.

1. Demi masa.

2. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian,

3. kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih dan nasihat menasihati
supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.

Ayat di atas menjelaskan bahwa manusia memang benar-benar berada dalam kerugian apabila
tidak memanfaatkan waktu yang telah diberikan oleh Allah secara optimal untuk mengerjakan
perbuatan-perbuatan baik. Hanya individu-individu yang beriman dan kemudian
mengamalkannyalah yang tidak termasuk orang yang merugi, serta mereka bermanfaat bagi
orang banyak dengan melakukan aktivitas dakwah dalam banyak tingkatan.
Lebih lanjut, dalam Al-Qur’an surat Al-Imran (3) ayat 104, Allah berfirman, “Dan hendaklah
ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang
ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung.”

Dengan demikian, hanya orang-orang yang mengerjakan yang ma’ruf dan meninggalkan yang
munkarlah orang-orang yang memperoleh keuntungan.

Setiap muslim yang memahami ayat di atas, tentu saja berupaya secara optimal
mengamalkannya. Dalam kondisi kekinian dimana banyak sekali ragam aktivitas yang harus
ditunaikan, ditambah pula berbagai kendala dan tantangan yang harus dihadapi.

Seorang muslim haruslah pandai untuk mengatur segala aktivitasnya agar dapat mengerjakan
amal shalih setiap saat, baik secara vertikal maupun horizontal. Secara vertikal, dirinya
menginginkan sebagai ahli ibadah, dengan aktivitas qiyamullail, shaum sunnah, bertaqarrub
illallah, dan menuntut ilmu-ilmu syar’i. Dalam hubungannya secara horizontal, ia menginginkan
bermuamalah dengan masyarakat, mencari maisyah bagi keluarganya, menunaikan tugas dakwah
di lingkungan masyarakat, maupun di tempat-tempat lainnya.

Semua itu tentu saja harus diatur secara baik, agar apa yang kita inginkan dapat terlaksana secara
optimal, tanpa harus meninggalkan yang lain. Misalnya, ada orang yang lebih memfokuskan
amalan-amalan untuk bertaqarrub ilallah, tanpa bermu’amalah dengan masyarakat. Ada juga
yang lebih mementingkan kegiatan muamalah dengan masyarakat, tetapi mengesampingkan
kegiatan amalan ruhiyahnya.

Dalam hal ini, manajemen waktu untuk merencanakan, mengatur, dan melaksanakan kegiatan-
kegiatan yang ada haruslah memiliki landasan-landasan berikut.

1. Pengetahuan kaidah yang rinci tentang optimalisasi waktu

Setiap muslim, hendaknya memahami dan mengetahui kaidah-kaidah yang rinci tentang cara
mengoptimalkan waktunya. Hal ini bertujuan untuk kebaikan dan kemaslahatan dirinya dan
orang lain. Tokoh-tokoh seperti Imam Ibnul Jauzi, Imam Nawawi, dan Imam Suyuthi adalah
orang-orang yang menjadi teladan bagi orang-orang yang bisa mengoptimalkan waktu semasa
hidupnya.

2. Memiliki manajemen hidup yang baik

Setiap muslim haruslah pandai mengatur segala urusan hidupnya dengan baik, menghindari
kebiasaan yang tak jelas, matang dalam pertimbangan dan mempunyai perencanaan sebelum
melakukan pekerjaan. Ia harus berpikir, membuat program, mempersiapkan, mengatur dan
melaksanakannya.

3. Memiliki Wudhuhul Fikrah


Seorang muslim haruslah memiliki keluasan atau fleksibilitas dalam berpikir, seperti mampu
berpikir benar sebelum bertindak, berpengetahuan luas, mampu memahami substansi pemikiran
dan paham. Hal itu penting sebagai dasar pengembangan berpikir ilmiah.

4. Visioner

Seorang muslim juga harus memiliki pandangan jauh ke depan, bisa mengantisipasi berbagai
persoalan yag akan terjadi di tahun-tahun mendatang.

5. Melihat secara utuh setiap persoalan

Setiap orang yang dapat mengatur waktunya secara optimal, tidak melihat masalah secara
parsial. Karena bisa jadi, persoalan itu memiliki kaitan dengan yang lainnya.

6. Mengetahui Perencanaan dan skala prioritas

Mengetahui urutan ibadah dan prioritas, serta mengklasifikasi berbagai masalah adalah faktor
penting dalam mengatur waktu agar menghasilkan kerja yang optimal. Dengan membuat skala
prioritas, akan menghindarkan dari ketidakteraturan kegiatan.

7. Tidak Isti’jal dalam mengerjakan sesuatu

Mengerjakan sesuatu dengan tidak tergesa-gesa dan berdasar pada ketenangan jiwa yang stabil
merupakan landasan yang penting dalam mewujudkan hidup yang lebih baik.

Sementara, orang yang musta’jil menginginkan agar dalam waktu singkat ia mampu melakukan
hal-hal yang terpuji, sekaligus meninggalkan hal-hal yang tidak terpuji. Hal ini jelas tidak sesuai
dengan sunah kauniyah, yaitu hukum alam dan kebiasaan.

8. Berupaya seoptimal mungkin

Jika kita menginginkan terwujudnya aktivitas amal shalih, maka secara optimal kita harus
mengarahkan diri pada persoalan itu sesuai kemampuan yang ada pada diri kita.

9. Spesialisasi dan pembagian pekerjaan

Setiap muslim haruslah memiliki keahlian tertentu. Ia boleh memiliki pengetahuan luas, tetapi ia
juga perlu memfokuskan pada keahlian tertentu.

Landasan-landasan di atas hanya dapat dipenuhi, jika telah memenuhi syarat sebagai berikut.

1. Disiplin dan Pembiasaan sejak dini

Penanaman disiplin akan waktu, mengahargai waktu sejak kecil merupakan hal penting. Dengan
demikian, ia akan terbiasa untuk mengatur hidupnya secara mandiri dan optimal untuk
merencanakan berbagai macam aktivitas. Disiplin terkait dengan ibadah, tidur, makan, termasuk
senda gurau. Ali bin Abi Thalib mengatakan, “Berilah istirahat hati karena kalau dipaksakan
akan membabi buta.”

2. Memiliki kecerdasan dan kejeniusan

Munculnya indikasi kecerdasan pada seseorang merupakan faktor penting untuk bisa
mewujudkan hal di atas.

3. Memiliki kondisi fisik dan mental yang positif


Untuk melaksanakan manajemen waktu yang optimal, memang perlu ditunjang dengan adanya
keinginan yang kuat, tindakan yang terus menerus, aktif, lapang dada, penuh optimisme,
berpengetahuan luas, mampu memadukan berbagai pemikiran dan mampu mengendalikan
emosi, seperti sedih, berduka dan susah, di samping memiliki budi pekerti dan akhhlak yang
tinggi.

4. Memiliki ketrampilan

Pengetahuan yang luas, tanpa diiringi dengan ketrampilan hanya akan menjadi aksi yang tidak
kongkret. Banyak orang yang pandai berbicara, tetapi hanya sedikit orang yang bisa bekerja dan
menekuni bidang pekerjaannya.

Berhati-hati Dengan Waktu Luang

“Telah dekat kepada manusia hari menghisab segala amalan mereka, sedang mereka berada
dalam kelalaian lagi berpaling.” (Al-Hajj: 1)Maha Kuasa Allah yang menciptakan arena bumi
sebagai sarana ujian. Kekayaan alam yang begitu melimpah. Sungai-sungai jernih yang
melahirkan kehidupan. Hujan yang membangkitkan harapan. Dari situlah, hamba-hamba Allah
membuktikan diri: apakah ia sebagai hamba yang konsisten atau dusta.

Ada baiknya berhati-hati dengan yang boleh. Tak ada yang tanpa batas di dunia ini. Karena
sunnatullah dalam alam, semua tercipta dalam takaran tertentu. Dari takaran itulah,
keseimbangan bisa langgeng. Termasuk keseimbangan dalam diri manusia.

Kalau keseimbangan goyah, yang muncul adalah kerusakan. Dalam diri manusia, ada tiga
keseimbangan yang mesti terjaga: keseimbangan akal, rohani, dan fisik. Satu keseimbangan
terganggu, seluruh fisik mengalami kerusakan.

Ketidakseimbangan bukan cuma dari sudut kekurangan. Berlebih-lebihan pun bisa memunculkan
ketidakseimbangan. Termasuk dalam pemenuhan kebutuhan fisik dan psikis. Di antara urusan
fisik adalah makan dan minum.

Allah swt. berfirman, “….makan dan minumlah dan jangan berlebih-lebihan. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (Al-A’raf: 31)

Berlebih-lebihan dalam makan dan minum, walaupun halal, bisa memunculkan penyakit. Lebih
dari lima puluh persen sumber penyakit berasal dari lambung. Karena itulah, Rasulullah saw.
meminta kaum muslimin untuk mengerem makan. Dan cara yang paling bagus adalah dengan
puasa. Beliau saw. mengatakan, “Berpuasalah, niscaya kamu akan sehat.” (Al-hadits)

Masih banyak hal boleh lain yang mesti pas dengan takaran. Di antaranya, hubungan seksual
suami istri, tidur, dan juga bersantai.

Sayangnya, ada kecenderungan manusia senang bersantai. Sudah menjadi sifat dasar manusia
memilih jalan yang gampang daripada yang sukar. Lebih memilih santai ketimbang banyak
kerja. “Maka tidakkah sebaiknya ia menempuh jalan yang mendaki lagi sukar.” (Al-Balad: 11)

Santai pada timbangan yang proporsional memang bagus. Karena itu bermakna istirahat. Dari
istirahatlah keseimbangan baru bisa lahir. Dengan istirahat, lelah bisa tergantikan dengan
kesegaran baru.

Tapi, ketika santai tidak lagi proporsional, yang muncul hura-hura dan kemalasan. Orang
menjadi begitu hedonis. Orientasi bergeser dari keimanan kepada serba kesenangan. Saat itu,
santai tidak cuma menggusur jenuh, tapi juga kewajiban-kewajiban. Bisa kewajiban sebagai
suami, anak, dan juga sebagai hamba Allah swt.
Di antara ciri orang beriman adalah berhati-hati dengan perbuatan yang sia-sia. Allah swt.
berfirman, “Sungguh beruntung orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyuk
dalam shalatnya, dan yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna.”
(Al-Mu’minun: 1-3)

Rasulullah saw. mewanti-wanti para sahabat agar berhati-hati dengan waktu senggang. Beliau
saw. bersabda, “Ada dua kenikmatan yang membuat banyak orang terpedaya yakni nikmat sehat
dan waktu senggang.” (HR. Bukhari)

Ada banyak cara menggusur letih dan jenuh. Letih dan jenuh kadang tidak cuma bisa disegarkan
dengan santai. Ada banyak cara agar penyegaran bisa lebih bermakna dan sekaligus terjaga dari
lalai.

Para sahabat Rasul biasa mengisi waktu kosong dengan tilawah, zikir, dan shalat sunnah. Itulah
yang biasa mereka lakukan ketika suntuk saat jaga malam. Bergantian, mereka menunaikan
shalat malam.

Bentuk lainnya adalah bermain dengan istri dan anak-anak. Rasulullah saw. pernah lomba lari
dengan Aisyah r.a. Kerap juga bermain ‘kuda-kudaan’ bersama dua cucu beliau, Hasan dan
Husein. Dari sini, santai bukan sekadar menghilangkan jenuh. Tapi juga membangun
keharmonisan keluarga.

Rasulullah saw. mengatakan, “Orang yang cerdik ialah yang dapat menaklukkan nafsunya dan
beramal untuk bekal sesudah wafat. Orang yang lemah ialah yang mengikuti hawa nafsunya dan
berangan-angan muluk terhadap Allah.” (HR. Abu Daud)

Dan harus kita sadari betul, ada pihak lain yang mengintai kelengahan kita. Pertarungan antara
hak dan batil tidak kenal istilah damai. Tetap dan terus berlangsung hingga hari kiamat. Dari
situlah, saling mengintai dan saling mengalahkan menjadi hal lumrah. Dan kewaspadaan
menjadi hal yang tidak boleh dianggap ringan.

Pihak yang jelas-jelas melakukan pengintaian adalah musuh abadi manusia. Dialah iblis dan para
sekutunya. Allah swt. membocorkan itu dalam firman-Nya. “Iblis mengatakan, ‘Karena Engkau
telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan
Engkau yang lurus, kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang
mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka
bersyukur (taat).” (Al-A’raf: 16-17)

Pihak lain adalah kelompok manusia yang tidak suka dengan perkembangan Islam. Mereka
selalu mengintai kelemahan umat Islam, mengisi rumah-rumah umat Islam dengan hiburan yang
melalaikan. Bahkan, mengkufurkan. Masih banyak upaya lain orang kafir untuk menghancurkan
Islam.

Karena itu, berhati-hatilah dengan waktu luang. Kalau tidak bisa diisi dengan yang produktif,
setidaknya, isilah dengan yang tidak melalaikan.

Kendalikan Waktu, Optimalkan Ramadhan

Saudaraku, kami sangat senang sekali bisa mendampingi para pembaca dan kita semua untuk
berusaha menjadi muslim dan muslimah yang kaffah, terutama sekali di Bulan Suci Ramadhan
yang dalam hitungan hari lagi akan menjumpai kita. Menjadi muslim dan muslimah yang sukses
meraih piala dan pahala dari Tuhan semesta.

Oleh karena itu, kami berusaha untuk memberi “acuan” kegiatan dan pengaturan atau
pemanfaatan waktu selama Ramadhan dengan full ibadah. Di antara point-point itu adalah:

Pertama, Memenej Waktu.


Artinya menjadikan waktu yang dua puluh empat jam sehari itu penuh makna dan manfaat.
Paradigma memenej waktu yang efektif dan efesien adalah bagaimana bisa meraih target besar
dengan seminim cara dan sarana yang ada.

Harus diketahui terlebih dahulu, “apa target yang kita inginkan”, dari sini kita berusaha untuk
memenej waktu sebaik mungkin.

Kedua, Menyusun Prioritas

Menyusun “Yang terpenting kemudian yang penting”, karena waktu yang tersedia tidak lah
mencukupi untuk melaksanakan segala sesuatu. Waktu yang tersedia hanya cukup untuk
melaksanakan yang penting saja. Kita harus menyusun daftar kegiatan, kerja, amal dan shedulle
waktunya untuk kemudian dilaksanakan sesuai prioritas. Sudah waktunya kita tinggalkan
rutinitas harian, dan lebih mengedepankan pada skala prioritas.

Ketiga, Gunakan Teknologi

Kita sudah sangat dimanja dengan kemajuan teknologi yang ada. Dalam rangka memenej waktu
gunakanlah teknologi yang ada, seperti HP, komputer, radio, televisi dan lain-lainnya.

Ada beberapa langkah teknis guna membantu kita untuk sukses Ramadhan:

1. Tentukan apa yang Anda inginkan di Bulan Ramadhan secara garis besar, dalam point-
point yang jelas. Seperti, mengkhatamkan Al Qur’an 4 kali. Tahajjud 10 rakaat, silaturrahim
dengan kerabat dan seterusnya.
2. Usahakan target umum di atas dirinci secara detail. Seperti, khatam Al Qur’an 4 kali itu
berarti, 120 Juz dibagi 30 Juz, sehingga sehari harus membaca 4 Juz. 1 Juz misalkan dibaca
setelah shalat Subuh. Dua Juz setelah Ashar sampai Maghrib, dan 1 Juz ketika shalat tahajjud
atau menjelang sahur. Demikian juga dengan kegiatan silaturrahim kerabat dan shalat
malam… rencanakan dan laksanakan.
3. Mulai laksanakan. Jika ada yang harus direvisi, adakan revisi namun harus juga
disertakan target yang jelas dan tahapan yang realistis.
4. Efisiensi setiap menit. Ingat nilai waktu laksana emas. Waktu adalah kehidupan.
Optimalkan waktu di setiap kesempatan dan tempat. Seperti saat-saat menunggu atau antri.
Jauhkan diri dari kebanyakan omong, karena sebaik-baik omongan adalah sedikit tapi berarti.
5. Ramadhan bulan shiam, bukan bulan makanan. Usahakan menggunakan waktu se-efesien
mungkin dalam berurusan dengan makanan. Baik dalam penyajian atau dalam
menyantapnya.
6. Pendelegasian… Jangan lakukan semua, kita hanya punya dua tangan saja. Kita tidak
bisa melaksanakan segalanya. Dengan pendelegasian, menjadikan kita mampu menggunakan
banyak tangan yang bisa merealisasikan banyak hal, seperti pendelegasian terhadap orang
lain, anak kita, teman kita, tetangga kita, istri kita dan seterusnya.
7. Pertama dan terakhir adalah do’a. Do’a keberkahan waktu dalam ta’at, amal shaleh, dan
agar Allah swt. menerima semua amal kita.

Akhirnya, marilah kita rencanakan dengan rapih apa yang kita inginkan di bulan Ramadhan,
kemudian susun strategi pelaksanaannya, yang terbagi dalam setiap waktu dan hari atau shedule,
selanjutnya laksanakan sesuai rencana, kemudian kita evaluasi dan revisi kekurangan untuk
meraih apa yang kita inginkan. Yaitu sukses Ramadhan meraih piala dan pahala dari Allah swt.
Allahu a’lam (ut)

Menjual Waktu dengan Pahala

“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka
mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah
mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al-Kitab kepadanya, kemudian
berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di
antara mereka adalah orang-orang yang fasik.” (Al-hadid: 16)
Maha Suci Allah yang menggantikan malam dengan siang dan sore pun menyongsong malam.
Hari berlalu menyusun pekan. Hitungan bulan-bulan pun membentuk tahun. Tanpa terasa, pintu
ajal kian menjelang. Sementara, peluang hidup tak ada siaran ulang.
Siap atau tidak, waktu pasti akan meninggalkan kita
Sejauh apa pun satu tahun ke depan jauh lebih dekat daripada satu detik yang lalu. Karena waktu
yang berlalu, walaupun satu detik, tidak akan bisa dimanfaatkan lagi. Ia sudah jauh
meninggalkan kita.
Begitu pun dengan berbagai kesempatan yang kita miliki. Pagi ini adalah pagi ini. Kalau datang
siang, ia tidak akan pernah kembali. Kalau kesempatan di pagi ini lewat, hilang sudah
momentum yang bisa diambil. Karena, belum tentu kita bisa berjumpa dengan pagi esok.
Itulah yang pernah menggugah Umar bin Abdul Aziz. Suatu malam, karena sangat lelah, Umar
menolak kunjungan seorang warga. “Esok pagi saja!” ucapnya spontan. Khalifah Umar berharap
esok pagi ia bisa lebih segar sehingga urusan bisa diselesaikan dengan baik.
Tapi, sebuah ucapan tak terduga tiba-tiba menyentak kesadaran Khalifah kelima ini. Warga itu
mengatakan, “Wahai Umar, apakah kamu yakin akan tetap hidup esok pagi?” Deg. Umar pun
langsung beristighfar. Saat itu juga, ia menerima kunjungan warga itu.
Kalau kita menganggap remeh sebuah ruang waktu, sebenarnya kita sedang membuang sebuah
kesempatan. Kalau pergi, kesempatan tidak akan kembali. Ia akan pergi bersama berlalunya
waktu. “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian.” (Al-Ashr: 1-2)
Siap atau tidak, jatah waktu kita terus berkurang
Ketika seseorang sedang merayakan hari ulang tahun, sebenarnya ia sedang merayakan
berkurangnya jatah usia. Umurnya sudah berkurang satu tahun. Atau, hari kematiannya lebih
dekat satu tahun. Dalam skala yang lebih luas, pergantian tahun adalah berarti berkurangnya
umur dunia. Atau, hari kiamat lebih dekat satu tahun dibanding tahun lalu.
Ketika jatah-jatah waktu itu terus berkurang, peluang kita semakin sedikit. Biasanya, penyesalan
datang belakangan. “Dan pada hari itu diperlihatkan neraka Jahannam; dan pada hari itu
ingatlah manusia, akan tetapi tidak berguna lagi mengingat itu baginya. Dia mengatakan:
‘Alangkah baiknya kiranya aku dahulu mengerjakan (amal saleh) untuk hidupku ini.” (Al-Fajr:
23-24)
Tak banyak yang sadar, begitu banyak peluang menghilang
Kadang, seseorang menganggap biasa mengisi hari-hari dengan santai, televisi, dan berbagai
mainan. Bahkan ada yang bisa berjam-jam bersibuk-sibuk dengan video game. Sedikit pun tak
muncul rasa kehilangan. Apalagi penyesalan.
Padahal kalau dihitung, amal kita akan terlihat sedikit jika dibanding dengan kesibukan rutin
lain. Dengan usia tiga puluh tahun, misalnya. Selama itu, jika tiap hari seorang tidur delapan
jam, ternyata ia sudah tidur selama 87.600 jam. Ini sama dengan 3.650 hari, atau selama sepuluh
tahun. Dengan kata lain, selama tiga puluh tahun hidup, sepertiganya cuma habis buat tidur.
Jika orang itu menghabiskan empat jam buat nonton televisi, setidaknya, ia sudah menonton
televisi selama 43.200 jam. Itu sama dengan 1.800 hari, atau lima tahun. Bayangkan, dari tiga
puluh tahun hidup, lima tahun cuma habis buat nonton teve. Belum lagi urusan-urusan lain. Bisa
ngobrol, curhat, ngerumpi, jalan-jalan, dan sebagainya.
Lalu, berapa banyak porsi waktunya buat ibadah? Kalau satu salat wajib menghabiskan waktu
sepuluh menit, satu hari ia salat selama lima puluh menit. Ditambah zikir dan tilawah selama tiga
puluh menit, ia beribadah selama delapan puluh menit per hari. Jika dikurangi sepuluh tahun
karena usia kanak-kanak, ia baru beribadah selama 1.600 jam. Atau, 1,8 persen dari waktu tidur.
Atau, 3,7 persen dari lama nonton teve.
Betapa banyak peluang yang terbuang. Betapa banyak waktu berlalu tanpa nilai. Maha Benar
Allah dalam firman-Nya, “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian.
Kecuali, orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati
supaya mentaati kebenaran dan menetapi kesabaran.” (Al-Ashr: 1-3)
Tak seorang pun tahu, kapan waktunya berakhir
Tiap yang bernyawa pasti mati. Termasuk, manusia. Kalau dirata-rata, usia manusia saat ini
tidak lebih dari enam puluhan tahun. Atau, setara dengan dua belas kali pemilu di Indonesia.
Waktu yang begitu sedikit.
Saatnya buat orang-orang beriman memaknai waktu. Biarlah orang mengatakan waktu adalah
uang. Orang beriman akan bilang, “Waktu adalah pahala!”

Sungguh Merugi

Alhamdulillah.. segala puji hanya bagi-Mu Ya Allah, kepada-Mu seluruh wajah-wajah tertunduk
khusyu’. Ya Allah Engkaulah yang Maha menyelamatkan hamba-hamba-Mu yang terperosok ke
lembah hubbuddunya’ kepada kemuliaan dan indahnya akhirat dengan jannah-Mu.

Subhanaaka…Maha Suci Engkau…, dengan kasih sayang-Mu, Engkau hadirkan Ramadhan ke


tengah hamba-hamba-Mu yang sedang terhimpit dan tertindih berbagai beban dosa dan maksiat,
tantangan dan rintangan, tekanan dan permusuhan dari orang-orang yang ingin mencelakakan
kami dengan hasad dan dengki di hati mereka . Kami sadar Ya Allah, ini semua adalah ujian dan
cobaan hidup untuk kami, yang dengan ujian ini Engkau hendak meninggikan derajat bagi
siapaun yang lulus dari ujian-Mu, dan Engkau hinakan bagi siapapun yang gagal dari segala
ujian-Mu. Ya Rabb… kadang derap langkah kaki ini, dalam menapaki tangga ke dekapan-Mu,
terasa sangat berat, Ya Allah…sungguh tiada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan-
Mu.

Tabaaroka…, Maha Suci Engkau Ya Allah…., Pemberi keberkahan, Engkau berkahi hidup kami
untuk berjumpa dengan Ramadhan-Mu, bulan dengan sejuta makna dari kebaikan. Di bulan ini
Engkau bentangkan kesempatan untuk bertaubat, mendapatkan maghfirah, rahmat dan
kebebasan dari neraka. Engkau kokohkan ruh jihad, Engkau tarbiyah kami untuk memahami
kesejajaran rasa antar sesama hamba dengan jiwa sabar dan ukhuwwah. Engkau beri kesempatan
pada kami untuk lebih banyak menghidupkan sunnah Rasul-Mu. Engkau hidupkan ruhiyah dan
semangat kami untuk selalu bertaqorrub kepada-Mu. Dan Engkau seru hamba-hamba-Mu : Ya
faa’ilal khoir aqbil…( wahai pemburu kebaikan, sambutlah…….)

Pintu ampunan terbuka luas, kesempatan taubat tersedia, pintu-pintu jannah telah terbuka lebar,
adakah kita menyadari itu?, tidakkah kita sambut seruan dari-Nya untuk berlomba-lomba
memasuki Romadhon dengan amal sholeh kita? ataukah kita terlantarkan kebaikan itu?
Bukankah di bulan Ramdahan ini pintu-pintu neraka telah Allah kunci rapat-rapat ? akankah kita
paksa dan kita dobrak dengan kemaksyiatan dan kelacuran serta ghoflah yang tiada henti-
hentinya kita lakukan?. Bukankah setan-setan telah Allah belenggu ? akankah kita terus-menerus
mengikuti seruan-seruannya sambil menutup mata hati dan pendengaran kita…? lalu kita terjang
aturan Allah semau kita? Ya Allah, makhluk macam apakah kami ini, Engkau telah memberikan
kesempatan kepada kami untuk datang kepada-Mu di bulan Ramadhan ini, namun banyak
pelanggaran yang terus kami lakukan dan kami tidak pandai memanfaatkan kesempatan yang
berharga ini? Astaghfirullah… wa atuubu ilaik..

Sungguh tatapan Rabb kita, terhadap mata-mata kita yang nanar dengan seenaknya memandang
kesana kemari tanpa kendali…, yang sedikit menangis karena sesal dosa dan takut dahsyatnya
siksa…, Dia tahu apa yang dikhianati oleh mata-mata kita, Allah sangat jeli dengan apa yang ada
dalam benak kita, Allah Maha Mendengar apa yang didengar oleh telinga-telinga kita yang
dengan leluasa mendengar suara-suara maksiyat, Allah Maha meneropong segala gelimang dan
lumuran dosa hamba-Nya dan Allah sergah : Yaa baaghiyas syarr aqshir…. (wahai pelaku-
pelaku kejahatan berhentilah…..), Ya Allah karuniakan kami rasa takut kepada-Mu yang
menghalangi kami dari bebuat maksiyat kepada-Mu…
Kitab Al Qur’an yang mulia penuh bimbingan kepada kita, penghidup hati dan pikiran kita,
pencerah dan pemompa motivasi kita, penunjuk jalan hidup kita, penyejuk jiwa-jiwa kita,
pemberi info siapa saudara dan musuh kita, Kitab itu ada di hadapan kita, apa yang sudah kita
lakukan ! adakah kita membacanya.? Mentadabburinya? Menghafalkannya? Mengamalkannya.?
Alangkah Ghaflahnya kita ….. mungkinkah kita beroleh syafa’at-Nya?

Qiyamullail jalan yang ditempuh orang-orang shalih, sebagai sarana menggapai dekapan dan
ridha-Allah Swt, sumber inspirasi dan wibawa kita, apakah dengkuran tidur serta selimut
menggelayuti kita lalu melewatkannya?, tidakkah kita ingin merasakan kelezatan rahmat-Nya,
meraih cinta-Nya dan mendapatkan ampunan-Nya, dengan bermunajat kepada-Nya dikala orang
lain terlelap tidur? Merugi…merugilah kita bila kita tidak melaksanakannya….

Mengosongkan perut, tidak makan siang, menahan nafsu biologis siang hari dan obrolan-obrolan
tak ada guna, itukah shiyam kita ? Bagaimana dengan mata, telinga, tangan, kaki, lisan, hati dan
pikiran kita ? apakah masih bermaksiyat dengan leluasa ? Yaa hasrota…. Alangkah meruginya
kita.

Semoga Allah melindungi kita, untuk senantiasa mampu bermujahadah meraih ridha-Nya dan
terhindar dari sabda Rasulullah saw : Roghima ‘anfu man adrokahu Ramadhan falam yughfar
lahu ( celakalah dan menyesal orang yang mendapatkan kesempatan hidup di bulan Ramadhan
dan ia tak beroleh ampunan).

Allahumma nasyku ilaika dhi’afa quwwatina…Ya Arhamar raahimin Anta Rabbul


Mustadh’afiin, irhamna..Amin.

Agar Amal Tidak Sia-Sia

“Hai orang-orang yang beriman, taatlah kalian kepada Allah, juga taatlah kalian kepada
RasulNya, dan janganlah kalian mensia-siakan (pahala) amal kalian“. (Muhammad: 33)

Memang Ramadhan dalam konteks waktu dan salah satu dari bulan Allah sudah berlalu
meninggalkan kita. Namun semangat dan nilai Ramadhan sepatutnya tetap hadir menyertai
keseharian kita. Ramadhan bukan “satu-satunya” bulan untuk beramal dan bertaqarub kepada
Allah. Ramadhan hanya momentum untuk meningkatkan dan memaksimalkan kebaikan kita
sebagai bekal menghadapi sebelas bulan berikutnya. Untuk itu, Ramadhan akan senantiasa hadir
menyambangi kita pada setiap tahunnya. Alangkah rugi dan pelitnya seseorang yang hanya mau
bersemangat beribadah dan beramal shalih hanya di bulan tertentu. Demikian juga tidaklah baik
seseorang yang hanya mampu beribadah dengan baik dan maksimal di tempat tertentu yang
mengandung nilai pahala lebih, seperti di Mekkah misalnya ketika menunaikan ibadah umrah
atau haji, namun setelah pulang ke tanah air, kelesuan beribadah kembali terjadi di mana-mana.

Ayat ini oleh sebagian mufassir dijadikan dasar akan hilangnya pahala amal kebaikan yang
berhasil dilakukan oleh seseorang jika setelah kebaikan itu ia kembali terjerumus ke dalam dosa
dan kemaksiatan, atau jika ia tidak mampu mempertahankan kebaikan tersebut di waktu
berikutnya. Ayat ini juga secara korelatif memiliki hubung kait yang erat dengan ayat
sebelumnya: “Sesungguhnya orang-orang kafir dan (yang) menghalangi manusia dari jalan
Allah serta memusuhi Rasul setelah petunjuk itu jelas bagi mereka, mereka tidak dapat memberi
mudharat kepada Allah sedikitpun. dan Allah akan menghapuskan (pahala) amal-amal
mereka.” (Muhammad: 32).

Kontens kedua ayat tersebut intinya berbicara tentang perilaku yang dapat menyia-nyiakan amal
kebaikan, Perbedaannya, pada ayat 32 ini ancaman Allah ditujukan kepada mereka yang
menghalangi manusia dari jalan Allah dan memusuhi Rasulullah saw, sehingga pada ayat 33
Allah mengingatkan orang-orang yang beriman agar tidak menyia-nyiakan amal ketaatan mereka
dengan apapun bentuknya seperti yang diancamkan oleh Allah kepada golongan yang ingkar
sebelum mereka. Di sini bentuk kasih sayang Allah terhadap kekasih-Nya dari orang-orang
beriman sangat ketara agar mereka tetap ta’at kepad-aNya kapanpun dan di manapun, tanpa ada
batasan waktu dan tempat, apalagi alasan sempat dan tidak sempat.

Ayat ketiga yang berbicara tentang perilaku yang dapat mensia-siakan amal baik seseorang
adalah surah Al-Hujurat: 2 yang bermaksud:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi,
dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara yang keras, sebagaimana kerasnya suara
sebagian kamu terhadap sebagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu,
sedangkan kamu tidak menyadari.” (Al-Hujurat: 2).

Adab kepada Rasulullah saw. dalam berbicara yang disebutkan oleh ayat ini langsung
diperintahkan oleh Allah sawt. yang ditujukan secara langsung juga kepada orang yang beriman,
karena pada hakikatnya taat kepada Rasulullah adalah taat kepada Allah, “Barangsiapa yang
mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling
(dari ketaatan itu), maka kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka.” (An-
Nisa’: 80).

Justeru tidak berakhlak baik kepada Rasulullah dalam segala bentuknya dapat mengakibatkan
hapusnya pahala kebaikan yang dilakukan oleh orang yang beriman.

Terdapat banyak pendapat para ulama tentang sikap dan perilaku yang mengakibatkan
terhapusnya amal baik seseorang.

Imam Ath-Thabari, Ibnu Katsir dan Al-Qurthubi misalnya menyebutkan bahwa mensia-siakan
amal adalah dengan melakukan kaba’ir (dosa-dosa besar. Pendapat seperti ini pernah
dikemukakan oleh Hasan Al-Bashri dengan berhujjah dengan surat Al-Hujurat: 2, bahwa tidak
beradab kepada Rasulullah merupakan dosa besar yang dapat menghapus pahala amal shalih
seseorang.

Imam Qatadah pula berpendapat bahwa amal kebaikan akan sia-sia apabila setelah itu diiringi
dengan kembali melakukan dosa dan kemaksiatan. Sedangkan Ibnu Abbas berpandangan bahwa
amal kebaikan itu dikhawatirkan akan hapus pahalanya jika disertai dengan riya’ dan ‘ujub
(berbangga diri).

Secara umum pendapat mereka berkisar pada segala jenis kemaksiatan dan dosa, apapun
bentuknya dikhawatirkan akan menghapus dan mensia-siakan amal taat yang pernah dilakukan
oleh seseorang.

Pandangan para ulama di atas diperkuat oleh sebab turun ayat ini seperti yang diriwayatkan oleh
Abul Aliyah. Abul Aliyah menukil riwayat tentang sebab turun ayat ini bahwa para sahabat
sebelum turun ayat ini memandang tidak masalah berbuat dosa karena mereka telah beriman,
seperti juga mereka menganggap bahwa tidak ada gunanya amal jika disertai dengan syirik.
Maka turunlah ayat ini yang menegur mereka agar berhati-hati dengan setiap dosa karena dapat
mensia-siakan amal.

Oleh karena itu, seorang muslim “yang cerdas” adalah seorang yang mampu meneruskan musim
ketaatan pasca Ramadhan. Demikian pula, sejatinya orang yang telah mengukir prestasi dengan
beramal dan menjalankan ketaatan yang maksimal di bulan Ramadhan, sangat disayangkan jika
setelah melewatinya kembali masuk dalam kelompok pelaku maksiat. Sebagaimana orang-orang
yang sudah berhasil merasakan lezatnya ketaatan, indahnya ibadah, sangat disayangkan jika
harus kalah dan kembali pada kesengsaraan karena berlumuran dosa dan kemaksiatan. Padahal
di antara tanda diterimanya suatu amal ibadah seseorang adalah jika dia dapat konsisten dan
lebih banyak lagi melakukan amal tanpa melihat waktu atau bulan tertentu dan tempat tertentu
yang memiliki keutamaan. “Jadilah hamba Rabbani, dan bukan hamba Ramadhani.” Dan itulah
makna hakiki dari firman Allah swt, “Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang
diyakini (ajal)”. (Al-Hijr: 99).
So, jangan sia-siakan kebaikan ini dan jadikan “musim Ramadhan” terus mengisi waktu-waktu
kita. Amin

Tiga Catatan di Akhir Ramadhan

“Siapa yang tidak mampu meninggalkan ucapan dan perbuatan dusta (waktu berpuasa), maka
Allah tidak membutuhkan lapar dan hausnya.” (HR. Al-Bukhari)

Maha Agung Allah Yang menggantikan malam kepada siang. Siang pun kembali menuju malam.
Hari-hari beriring membentuk bulan. Dan bulan-bulan pun beredar menjadi tahun. Semua nikmat
dan berkah-Nya seperti berkumpul pada satu puncak bulan: Ramadan. Kini “madu” Ramadhan
tahun ini sudah sampai di tetes terakhir untuk kita nikmati. Ada tiga catatan yang patut kita garis
bawahi selama menikmati Ramdhan tahun ini, (tapi Anda bisa menambahkannya sesuai
perenungan yang Anda dapatkan selama menikmati Ramadhan tahun ini).

Pertama, seliar apa pun nafsu kita, ia bisa didewasakan.

Momentum Ramadan menyediakan tarbiyah khusus buat nafsu kita. Mungkin, nafsu bisa
mendikte apa pun di luar Ramadan. Di balik tuntutan lapar, ia bisa saja menciptakan seribu satu
dalih agar orang mencuri. Ia juga bisa mengelabui orang hingga terjebak pada zina. Dan di balik
tuntutan istirahat, ia pun mampu mengungkung orang menjadi penyantai dan pemalas.

Maha Benar Allah dalam firman-Nya, “…sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada
kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. 12: 53)

Di luar Ramadan, pintu-pintu aliran energi nafsu kerap terbuka lebar. Ia bebas mondar-mandir.
Bisa bertingkah seperti apa pun menurut seleranya. Kekuatan nafsu kian berkembang bersama
energi yang diperoleh tubuh dari makan, minum, dan lain-lain. Bayangkan jika pintu-pintu itu
tak pernah tertutup. Nafsu jadi kian liar.

Allah swt. menghadiahi shaum agar seorang mukmin bisa mendewasakan nafsu. Bisa menutup-
buka pintu-pintu energinya. Hingga, nafsu tidak lagi seperti anak kecil yang bisa dapat apa pun
ketika merengek dan menuntut. Nafsu harus dipaksa. Agar, ia bisa dewasa. Semoga tarbiyah
Rabbaniyah di bulan Ramadhan ini telah memdewasakan nafsu kita. Sehingga, pasca Ramadhan
nanti kita bisa mengendalikan diri.

Kedua, sekotor apa pun jiwa kita, ia bisa dibersihkan.

Jangan pernah membayangkan kalau yang di dalam tak tersentuh kotoran. Alur hidup persis
seperti aliran air dalam pipa-pipa. Ada yang masuk, mengalir dan berproses hingga menjadi
keluaran. Kian kotor masukan, makin banyak endapan yang melekat pada bagian dalam pipa.
Suatu saat, pipa bisa keropos. Ini akan berpengaruh pada keluaran yang dihasilkan.

Selama sebelas bulan, saringan-saringan masukan boleh jadi begitu longgar. Bahkan mungkin,
tidak ada sama sekali. Semua bisa masuk. Mulai dari yang samar, kotor, bahkan beracun. Kalau
saja tidak dipaksa ada saringan, proses pengeroposan menjadi sangat cepat. Jiwa-jiwa yang
keropos akan membutakan mata hati. “Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu
mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami? Atau, telinga yang dengan
itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukan mata itu yang buta, tetapi hati yang
di dalam dada.” (QS. 22: 46)

Jika aliran yang masuk melalui pipa mata, telinga, mulut, pikiran, dan rasa bisa tersaring jernih;
tidak akan ada endapan. Tidak akan ada tumpukan racun si pembuat keropos. Otomatis, keluaran
pun menjadi bersih. Ibadah yang sebelumnya berat menjadi ringan. Sangat ringan!
Maha Benar Allah dalam firman-Nya, “dan jiwa serta penyempurnaannya, maka Allah
mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya, sungguh beruntung yang
mensucikan jiwa itu, dan sungguh merugi yang mengotorinya.” (QS. 91: 7-10)

Semoga kita termasuk orang-orang yang beruntung karena telah berusaha membersihkan jiwa
kita selama sebulan di Ramdhan tahun ini.

Ketiga, sepicik apa pun ego kita, ia bisa dicerdaskan.

Kadang manusia bangga berdiri di atas egonya. Seolah ia mengatakan, “Inilah saya!” Nalar
berikutnya pun bilang, pusatkan semua kekuatan diri demi kepuasan ego. Walau sebenarnya,
keakuan itu sudah melabrak nilai-nilai ketinggian Islam.

Karena ego, orang bisa menganggap kalau dirinyalah yang terbaik. Tak perlu masukan dan
sumbang saran. Karena ego pula, orang menjadi tak perlu berjamaah. Ego menghias kepicikan
diri menjadi prestasi besar.

Ramadan memaksa ego untuk tunduk dengan kenyataan. Bahwa, yang ego banggakan ternyata
tak sekuat yang dibayangkan. Dan kelemahannya begitu sederhana. Semua ada pada energi yang
dihasilkan dari nasi, ikan, telur, dedaunan, dan air. Selebihnya, ego tak punya apa-apa.

Dalam bentuk yang lain, ego bisa ditundukkan dengan memperbanyak sujud. Itulah di antara
makna qiyamul lail. Ketika sendiri, kemuliaan ego melalui simbol kepala secara terus-menerus
disejajarkan dengan bumi. Suatu tempat di mana di situ ada kotoran, tempat berpijak kaki-kaki
hewan, dan tempat berkumpul kotoran manusia. Ego dipaksa untuk melihat kenyataan diri.
Bahwa, ia hanya seorang hamba.

Maha Benar Allah dalam firman-Nya, “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya
menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepadanya...” (QS. 98: 5)

Semoga tarbiyah Rabbaniyah di Ramadhan tahun ini telah mengembalikan kita kepada
kesadaran bahwa kita hanyalah seorang hamba yang tugas utamanya adalah menyembah Allah.
Tidak lebih.

Inilah momentum Ramadan yang begitu mahal. Persis seperti kucuran hujan buat para petani.
Kumpulan airnya akan berlalu begitu saja jika tidak segera dibendung, dialirkan, dan
dimanfaatkan. Agar, benih-benih kebaikan baru bisa tumbuh, besar, dan berbuah. Semoga kita
bukan petani yang lalai menampung hujan rahmat di Ramadhan tahun ini.

Mempersiapkan dan Mengisi Kemenangan

“Sesungguhnya Allah pasti menolong orang-orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya


Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa. (yaitu) orang-orang yang jika Kami
teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan
zakat, menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar dan kepada
Allah-lah kembali segala urusan.” (Al-Hajj: 40-41)

Ibarat dua sisi mata uang, mempersiapkan dan mengisi kemenangan merupakan dua hal yang
padu, saling berkaitan, dan tidak bisa dipisahkan. Program dan aktivitas untuk mempersiapkan
kemenangan adalah juga program dan aktivitas untuk mengisinya. Kesungguhan dan kegigihan
memperkuat hubungan dengan Allah dan seluruh umat harus tetap dipertahankan saat
kemenangan sudah diraih. Jangan sampai terjadi saling berlawanan; sebelum kemenangan begitu
antusias memperjuangkan umat, namun setelah berhasil meraih sukses, justru lupa dan bahkan
cenderung mengabaikan kewajiban terhadap mereka. Apalagi jika sampai lupa terhadap Allah
swt. Na’udzubillahi min dzalik.
Petikan terakhir dari ayat 40 dan keseluruhan ayat 41 di atas bisa dipahami dalam dua dimensi
yang berbeda; pertama, dimensi sebelum peperangan dan perjuangan yang mengundang
pertolongan Allah. Kedua, dimensi pasca peperangan dan kemenangan yang diraih oleh umat
Islam berkat pertolonganNya. Pada dimensi sebelum peperangan, kemenangan itu harus melalui
beberapa syarat, sebab, dan beban-beban yang besar, di antaranya seperti yang tertuang dalam
ayat di atas, yaitu mendirikan shalat, menunaikan zakat, serta aktif bergerak dalam aktivitas amar
ma’ruf dan nahi munkar. Sedangkan pada dimensi pasca kemenangan, umat Islam tetap dituntut
untuk tidak lalai apalagi menjadi malas setelah berhasil meraih kemenangan dalam
merealisasikan beberapa ajaran Allah yang di antaranya termanifestasikan dalam amaliah
mendirikan shalat, menunaikan zakat, serta tetap memberi kepedulian tentang kebaikan dan
kemungkaran yang terjadi di tengah-tengah umat.

Begitulah hikmah dan pelajaran yang bisa dipetik dari dua ayat diatas, bahwa implementasi dari
rasa syukur atas kemenangan yang diberikan oleh Allah adalah yang pertama sekali harus tetap
menjaga komunikasi dan harmonisasi hubungan vertikal dengan Allah swt. yang dibarengi
dengan tetap memberikan kepedulian terhadap masyarakat yang tercermin dari pelaksanaan
zakat yang kemudian disempurnakan dengan semangat menebar kebaikan dan mempersempit
gerak kemungkaran yang terjabarkan dengan aksi amar ma’ruf nahi munkar yang merupakan inti
dari gerak dakwah. Ini berarti bahwa kemenangan adalah kemenangan dakwah dan kemenangan
agama Islam secara sinergi.

Dalam rumusan ayat di atas, mempersiapkan diri untuk menerima kemenangan harus tetap
memperhatikan aspek syariat dan norma agama, demikian juga dalam mengisi kemenangan yang
merupakan anugerah Allah harus tetap konsisten memperjuangkan syariat dan norma agamaNya.
Mengomentari korelasi dua ayat diatas, Sayyid Quthb mengemukakan bahwa kemenangan itu
terkadang datang perlahan-lahan karena Allah hendak menguji sejauh mana syarat dan sebab
kemenangan itu wujud seratus persen dalam sebuah umat. Kemenangan juga terkadang datang
perlahan-lahan karena untuk menguji kesungguhan kita dalam menegakkan syariatNya. Dan
begitu seterusnya. Justru jika kemenangan itu diraih dengan mudah, tanpa usaha yang
sesungguhnya, ia akan segera lenyap, sirna dan tidak memberi dampak kebaikan kepada semua.
Maka secara dzahir -menurut Abu Hayan- ayat ini menepati ciri-ciri yang terdapat pada kaum
muhajirin yang mendapatkan perlakuan dan tindakan keji seperti yang digambarkan pada ayat
40: “(yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang
benar, kecuali karena mereka berkata: “Tuhan kami hanyalah Allah.” Kemudian Allah
menjanjikan ‘tamkin’ (kekuasaan dan kemenangan) setelah segala kesulitan dan penyiksaan
yang mereka rasakan. Ustman bin Affan r.a. berkata: “Demi Allah, sungguh ayat ini merupakan
pujian dan jaminan Allah setelah segala ujian yang menimpa (orang-orang Muhajirin yang
disebut pada ayat sebelumnya).”

Abu Su’ud sependapat dengan Zamakhsyari yang menyimpulkan bahwa ayat ini merupakan
bukti akan kebaikan dan keberhasilan kepemimpinan di era Khulafa’ Rasyidun. Allah tidak
memberikan kekuasaan dan kepemimpinan yang diwarnai dengan perjalanan yang baik dan
mengesankan selain kepada mereka. Melalui ayat ini Allah memuji mereka bahwa mereka akan
tetap komit dengan menegakkan syariat Allah atas kemenangan dan kekuasaan yang akan segera
mereka raih setelah diizinkannya berperang melawan musuh-musuh mereka. Hal ini berdasarkan
dhomir ‘alladzina’ yang dirujuk pada awal ayat 40 merupakan orang-orang yang sama yang
dirujuk oleh dhomir ‘alladzina’ pada ayat 41, yaitu orang-orang Muhajirin.

Secara makna, korelasi dua ayat di atas bisa ditemukan pada surah An-Nashr yang termasuk di
antara surah yang terakhir kali diturunkan Allah swt. Imam Asy-Syaukani dalam Fathul Qadir
coba mengamati kenapa Allah menggabungkan antara tasbih dan tahmid serta istighfar pada ayat
terakhir surah An-Nashr. Tasbih merupakan ungkapan seorang hamba yang kagum terhadap
kemudahan yang diberikan Allah untuk merealisasikan kemenangan yang secara logika manusia
kemengan itu sungguh di luar dugaan dan jauh dari prediksi normal manusia. Sedangkan Tahmid
merupakan ungkapan pujian dan syukur seorang hamba atas anugerah kemenangan yang tiada
terhingga setelah pahit perih perjalanan perjuangan yang dilaluinya. Istighfar pula merupakan
ungkapan sadar hamba Allah bahwa bisa jadi dalam proses meraih kemenangan tersebut terdapat
beberapa hal yang masih jauh dari kehendak dan aturan Allah yang semestinya dipatuhi,
sehingga segala usaha yang dijalankan diserahkan sepenuhnya kepada Allah sambil memohon
ampunanNya.

Surah An-Nashr yang pendek ini menurut Sayyid Quthb selain merupakan berita gembira Allah
akan jaminan kemenangan yang besar bagi mereka yang memperjuangkan agamaNya. Surat ini
juga merupakan arahan ketika kemenangan telah tercapai agar tidak lepas dan putus dari terus
melakukan komunikasi dengan Allah dalam bentuk tasbih, tahmid dan istighfar. Karena tasbih,
tahmid dan istighfar merupakan pengakuan akan kelemahan manusia dan pada masa yang sama
merupakan pengakuan akan kekuatan dan kekuasaanNya yang tidak terbatas untuk melakukan
apapun yang dikehendakiNya meskipun di luar batas logika manusia. Tidak ada sesuatu yang
mustahil bagi Allah dalam konteks kemenangan yang akan diberikan kepada hamba-hambaNya
yang menjunjung tinggi aturan dan ajaran agamaNya.

Sungguh satu contoh keteladanan yang sempurna dalam mengisi kemenangan dari orang-orang
muhajirin; ketika masih dalam kondisi tertindas, mengalami keperihan dan gangguan dalam
kehidupan awal mereka, kemudian Allah memberikan mereka kekuatan dan pertolonganNya
sehingga mereka berhasil meraih kekuasaan dan kemenangan, mereka tetap komit dan istiqamah
dengan sikap terbaik seperti yang ditunjukkan pada kehidupan awal mereka tanpa sedikitpun
bergeming dan bergeser dari ajaran Allah. Satu contoh keteladanan juga dalam mempersiapkan
kemenangan dan pertolongan Allah yang dibuktikan oleh komitmen mereka yang tinggi terhadap
ajaran Allah swt. Semoga kita bisa menjadikan mereka contoh terbaik dalam mempersiapkan
dan mengisi kemenangan yang segera, akan, dan telah kita raih di masa-masa yang akan datang
sesuai dengan janji Allah dalam firmanNya:

“Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-
amal yang shalih bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka
bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh
Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia
benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman
sentausa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun
dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-
orang yang fasik“. (An-Nur: 55)

Kuatkan Barisan, Raih Kemenangan

Suatu saat Rasulullah saw. bertanya kepada para sahabat:

ْ‫ل َممن‬
ُ ‫صم‬ِ ‫ك َوَت‬
َ ‫حَرَم‬
َ ‫ن‬
ْ ‫طى َم‬
ِ ‫ك َوُتْع‬
َ ‫ظَلَم‬
َ ‫ن‬
ْ ‫عّم‬
َ ‫خَرِة؟ َتْعُفو‬
ِ ‫ق الّدْنَيا َوال‬
ِ‫ل‬َ‫خ‬
ْ ‫عَلى َأْكَرِم َأ‬
َ ‫ل َأُدّلُكْم‬
َ ‫ َأ‬:‫ل صلى ال عليه وسلم‬
ِّ ‫ل ا‬
ُ ‫سو‬
ُ ‫ل َر‬
َ ‫َقا‬
َ ‫طَع‬
‫ك‬ َ ‫َق‬

Nabi saw bersabda: “Maukah kalian aku tunjukkan akhlak yang paling mulia di dunia dan
diakhirat? Memberi maaf orang yang menzhalimimu, memberi orang yang menghalangimu dan
menyambung silaturrahim orang yang memutuskanmu.” (H.R. Baihaqi)

‫حَمُه‬
ِ ‫ل َر‬
ْ‫ص‬ِ ‫سَأ َلُه ِفي َأَثِرِه َفْلَي‬
َ ‫ط َلُه ِفي ِرْزِقِه َوُيْن‬
َ‫س‬َ ‫ن ُيْب‬
ْ ‫ب َأ‬
ّ ‫ح‬
َ ‫ن َأ‬
ْ ‫ل َم‬
َ ‫سّلَم َقا‬
َ ‫عَلْيِه َو‬
َ ‫ل‬
ُّ ‫صّلى ا‬
َ ‫ل‬
ِّ ‫ل ا‬
َ ‫سو‬
ُ ‫ن َر‬
ّ ‫َأ‬

“Barangsiapa yang ingin dipanjangkan usianya dan dibanyakkan rezekinya, hendaklah ia


menyambungkan tali persaudaraan.” (H.R. Bukhari-Muslim)

“Maukah kalian aku tunjukkan amal yang lebih besar pahalanya daripada salat dan saum?”
Sahabat menjawab, “Tentu saja!” Rasulullah pun kemudian menjelaskan, “Engkau damaikan
yang bertengkar, menyambungkan persaudaraan yang terputus, mempertemukan kembali
saudara-saudara yang terpisah, menjembatani berbagai kelompok dalam Islam, dan
mengukuhkan ukhuwah di antara mereka, (semua itu) adalah amal saleh yang besar pahalanya.
Barangsiapa yang ingin dipanjangkan usianya dan dibanyakkan rezekinya, hendaklah ia
menyambungkan tali persaudaraan.” (H.R. Bukhari-Muslim)
Saudaraku, dari hadis di atas dapat kita renungkan bahwa betapa besar nilai sebuah jalinan
persaudaraan. Oleh karena itu, memperkokoh pilar-pilar ukhuwah islamiyah merupakan salah
satu tugas penting bagi kita.

Lalu, bagaimanakah agar ruh ukhuwah tetap kokoh? Rahasianya ternyata terletak pada
sejauhmana kita mampu bersungguh-sungguh menata kesadaran untuk memiliki kalbu yang
bening bersih dan selamat. Karena, kalbu yang kotor dipenuhi sifat iri, dengki, hasud, dan buruk
sangka, hampir dapat dipastikan akan membuat pemiliknya melakukan perbuatan-perbuatan
tercela yang justru dapat merusak ukhuwah. Mengapa? Sebab bila di antara sesama muslim saja
sudah saling berburuk sangka, saling iri, dan saling mendengki, bagaimana mungkin akan
tumbuh nilai-nilai persaudaraan yang indah?

Sekali lagi Saudaraku, adakah rasa persaudaraan dapat kita rasakan dari orang yang tidak
memiliki kemuliaan akhlak? Tentu saja tidak! Kemuliaan akhlak tidak akan pernah berpadu
dengan hati yang penuh iri, dengki, ujub, riya, dan takabur. Di dalam qalbu yang kusam dan
busuk inilah justru tersimpan benih-benih tafarruq (perpecahan) yang mengejawantah dalam
aneka bentuk permusuhan dan kebencian terhadap sesama muslim.

Dengan demikian, bila ada dua bangsa yang berperang, sekurang-kurangnya salah satu di antara
mereka adalah sekumpulan manusia bejat akhlak, tamak, dan terbius oleh gejolak nafsu untuk
melemahkan pihak yang lain.

Bila dua suku berseteru, setidaknya satu di antara mereka adalah manusia bermental rendah dan
hina karena (mungkin) merasa sukunya lebih tinggi derajat kemuliaannya. Bila dua keluarga tak
bertegur sapa, sekurang-kurangnya salah satunya telah terselimuti hawa nafsu, sehingga
menganggap permusuhan adalah satu-satunya langkah yang bisa menyelesaikan masalah.

Selanjutnya, tanyakanlah kepada diri masing-masing. Adakah kita saat ini tengah merasa tidak
enak hati terhadap adik, kakak, atau bahkan ayah dan ibu sendiri? Adakah kita saat ini masih
menyimpan kesal kepada teman sekantor karena ia lebih diperhatikan oleh atasan? Adakah kita
saat ini masih menyimpan rasa ghill -dengki- terhadap saudara seiman sesama aktivis dakwah,
lantaran mungkin nasibnya lebih baik dari kita?

Bila demikian halnya, bagaimana bisa terketuk hati ini ketika mendengar ada seorang muslim
yang teraniaya, ada sekelompok masyarakat muslim yang diperangi? Bagaimana mungkin kita
mampu bangkit serentak manakala hak-hak muslim dirampas oleh kaum yang zhalim?
Bagaimana mungkin kita akan mampu menata kembali kejayaan umat Islam?

Nah, dari sinilah seyogianya memulai langkah untuk merenungkan dan mengkaji ulang
sejauhmana kita telah memahami makna ukhuwah islamiyah. Karena, justru dari sini pula
Rasulullah saw. mengawali amanah kerasulannya. Betapa Rasul menyadari bahwa
menyempurnakan akhlak pada hakikatnya adalah mengubah karakter dasar manusia. Karakter
akan berubah seiring munculnya kesadaran setiap orang akan jati dirinya. Oleh karena itu,
menumbuhkan kesadaran adalah jihad karena kesadaran merupakan sebutir mutiara yang hilang
tersapu berlapis-lapis hawa nafsu.

Manakala kesadaran telah tersemai, jangan heran kalau Umar bin Khaththab yang pemberang
adalah manusia paling pemaaf kepada musuhnya yang telah menyerah di medan perang. Seorang
sahabat menempelkan pipinya di tanah dan minta diinjak kepalanya oleh sahabat bekas budak
hitam yang telah dihinanya. Para sahabat yang berhijrah bersama Rasul ke Madinah,
dipertautkan dalam tali persaudaraan yang indah dengan kaum Anshar, sementara kaum
Muslimin Madinah ini rela berbagi tanah dan tempat tinggal dengan saudara-saudaranya seiman
seaqidah tersebut.

Saudaraku, kekuatan ukhuwah memang hanya dapat dibangkitkan dengan kemuliaan akhlak.
Oleh karena itu, tampaknya kita amat merindukan pribadi-pribadi yang menorehkan keluhuran
akhlak. Pribadi-pribadi yang aneka macam buah pikirannya, sesederhana apa pun, adalah buah
pikiran yang sekuat-kuatnya dicurahkan untuk meringankan atau bahkan memecahkan masalah-
masalah yang menggelayut pada dirinya sendiri maupun orang-orang di sekelilingnya sehingga
berdialog dengannya selalu membuahkan kelapangan.

Tatapan matanya adalah tatapan bijak bestari sehingga siapa pun niscaya akan merasakan
kesejukan dan ketenteraman. Wajahnya adalah cahaya cemerlang yang sedap dipandang lagi
mengesankan karena menyemburatkan kejujuran itikad. Sementara itu, senyum yang tak pernah
lekang menghias bibirnya adalah sedekah yang jauh lebih mahal nilainya daripada intan mutiara.
Tak akan pernah terucap dari lisannya, kecuali untaian kata-kata yang penuh hikmah,
menyejukkan, membangkitkan keinsyafan, dan meringankan beban derita siapapun yang
mendengarkannya.

Jabat tangannya yang hangat adalah jabat tangan yang mempertautkan seerat-eratnya dua hati
dan dua jiwa yang tiada terlepas, kecuali diawali dan diakhiri dengan ucapan salam. Kedua
tangannya teramat mudah terulur bagi siapa pun yang membutuhkannya. Sementara itu,
bimbingan kedua tangannya, tidak bisa tidak, selalu akan bermuara di majelis-majelis yang
diberkahi Allah Azza wa Jalla.

Dengan demikian, umat Islam harus berhijrah dari keberpecahbelahan menuju ukhuwah
islamiyah, seraya menepis remah-remah jahiliyah dari hati ini. Memiliki qalbu yang bersih dan
selamat harus di atas segala-galanya agar kita mampu mengevaluasi diri dengan sebaik-baiknya
dan menatap jauh ke depan agar Islam benar-benar dapat termanifestasikan menjadi rahmatan lil
‘aalamiin dan umat pemeluknya benar-benar menjadi “sebaik-baik umat” yang diturunkan di
tengah-tengah manusia. Wallahu a’lam.

Rahasia 1 Syawal

Dengan datangnya 1 Syawal, otomatis bulan Ramadhan telah pergi. Pergi meninggalkan kita,
untuk kemudian datang lagi di tahun yang akan datang. Kita tidak tahu apakah kelak akan
bertemu lagi dengan Ramadhan, atau ternyata ini adalah Ramadhan yang terakhir. Banyak
suadara kita yang sebenarnya ingin menikmati Ramadhan tahun ini, tetapi ternyata ajal segera
menjemptnya beberapa detik sebelum memasukinya. Karenanya kita sangat bersyukur bahwa
Allah swt. telah memberikan kesempatan kepada kita bisa bertemu dengan Ramadhan tahun ini.

Benar 1 Syawal telah tiba. Dan kita tidak serta merta gembira, karena di saat yang sama kita
harus berpisah dengan Ramadhan. Perpisahan yang sangat mengharukan. Bayangkan selama
Ramadhan kita telah mendapatkan suasana yang dalam, di mana kita dihantarkan kepada nuansa
ketaatan yang tak terhingga. Nafsu yang selama ini diagungkan manusia, ternyata dengan
Ramadhan, nafsu ini tidak berdaya. Setan yang selama ini sangat kuat menguasai manusia,
ternyata dengan Ramadhan tersingkirkan. Kita bisa setiap saat membaca Al Qur’an selama
Ramadhan, di mana di luar Ramadhan itu sangat sulit kita lakukan. Di malam hari kita selalu
bangun sebelum fajar dan shalat subuh berjamaah di masjid, padahal itu sangat sedikit yang
melakukannya di luar Ramadhan. Pun tangan kita terasa ringan berinfak selama Ramadhan,
sementara di luar Ramadhan itu sangat berat dilakukan. Lebih jauh, kita bisa beri’tikaf -atau
minimal selalu di masjid sepanjang malam- terutama pada 10 malam terakhir Ramadhan, dan
kita tahu bahwa itu sangat jarang dapat kita lakukan di luar Ramadhan.

Berpisah dengan Ramadhan memang tidak dapat dibandingkan dengan perpisahan yang lain.
Berpisah dengan Ramadhan adalah perpisahan dengan suasana ruhani yang sangat kental dan
menguatkan iman. Itulah yang membuat airmata harus menetes. Menetes bukan karena
kesedihan murahan, yang datang dari sentuhan emosional belaka. Melainkan menetes kerena
kesedihan yang memancar dari gelora iman. Menetes karena takut bila setelah Ramadhan
suasana keimanan itu melemah kembali tergerogoti dosa-dosa. Takut kalau lidah kita ini berat
kembali bertasbih dan membaca Al Qur’an. Takut kalau malam-malam kita kembali diwarnai
tawa dan hiburan yang melalaikan. Takut kalau hati ini kembali keras dan sulit menerima
sentuhan ayat-ayat Al Qur’an. Karena itu kita berdoa, semoga kita bisa bertemu lagi dengan
Ramadhan di tahun yang akan datang.
Tapi apapun, tanggal 1 Syawal telah datang. Kita harus menerima kenyataan. Hari Raya adalah
hari kegembiraan bagi setiap yang beriman. Gembira karena telah berhasil melepaskan dosa-
dosa selama Ramadhan. Gembira karena telah menang terhadap setan dan hawa nafsu. Karena
itu kegembiraan ini jangan disambut dengan gelora nafsu belaka. Ingat bahwa setan seringkali
masuk melalui nafsu makan. Karena itu, bila nafsu makan dibuka, setan selalu menang
menguasai manusia. Oleh sebab itu, begitu Ramadhan pergi, pemandangan durjana seringkali
begitu mudah bermunculan. Allah swt. dalam surah An Nashr mengingatkan, bahwa
kemenangan tidak pantas disambut dengan tawa dan nafsu. Kemenangan harus disambut dengan
tasbih, tahmid, tahlil, dan istighfar. Benar kita harus menyebut kemenagan fitri ini dengan
tasbih tahmid, tahlil dan istighfar. Dengarkan Allah berfirman: fasabbih bihamdika rabbika
wastaggfir, innahuua kaana tawwabaa.

Oleh karena itu, 1 Syawal bukan hari pembebasan sebebas-bebasnya. Melainkan hari pertama
kita mulai terjun ke medan pertarungan melawan hawa nafsu dan setan, seteleh sebulan penuh
kita berbekal iman dan kekuatan ruhani. Karena itu kita harus menang. Kita harus kendalikan
nafsu itu ke arah yang positif, bukan malah dikendalikan nafsu ke arah yang buruk. Kita harus
bergegas dalam kebaikan-kebaikan seperti kita dalam suasana Ramadhan. Bila kita kalah berarti
perbekalan kita selama Ramadhan tidak maksimal. Tidak sungguh – sungguh. Tidak sedikit dari
saudara-saudara kita seiman, yang langsung KO justru pada tanggal 1 Syawal. Artinya, begitu
mereka masuk bulan Syawal seketika itu mereka terperosok dalam gelimang dosa.

Nabi saw. tidak ingin kita kalah lagi. Itulah rahasia mengapa kita disunnahkan menambah puasa
lagi minimal 6 hari di antara bulan Syawal. Nabi bersabda: bahwa siapa yang menambah puasa 6
hari di bulan Syawal, ia akan mendapatkan pahala puasa setahun, seperti pahala puasa yang
didapat umat-umat terdahulu. Mengapa puasa Syawal? Ini suatau isyarat bahwa kita harus terus
mempertahnkan diri seperti dalam suasana Ramadhan. Suasana di mana kita tetap dekat kepada
Allah swt. Sebab seorang yang menahan nafsunya, tidak akan didekati setan. Bila setan menjauh
maka malaikat mendekatinya. Bila malaikat mendekatinya otomatis ia akan semakin dekat
kepada Allah. Ingat bahwa seorang yang dekat kepada Allah, ia akan mendapat keutamaan yang
luar biasa: tidak saja doa-nya mustajab, melainkan lebih dari itu ia akan dijauhkan dari rasa sedih
dan galau. Allah befirman: “alaa inna awliyaa Allahi laa khawfun ‘alaihim walaa hum
yahazanuun (ketahuilah bahwa orang-orang yang dekat kepada Allah mereka tidak akan
mendapatkan rasa takut atau kekhawatiran dan tidak akan pernah dirundung kesedihan).”

Terakhir, pada 1 Syawal kali ini marilah kita sama-sama membuka hati, buang jauh segala
penyakit dengki dan hasud di hati, bersihkan jiwa kita dari berbagai beban penyakit, sayangi diri
kita dengan meningkatkan iman bukan dengan memanjakan diri dalam dosa-dosa. Mari kira
saling mengucapakan: Selamat hari raya, taqabbalahhu minnaa waminkum shaalihal a’maali,
wa kullu ‘aamin wa antum bikhairin (semoga Allah menerima amal-amal baik kita, dan semoga
dalam semua hari-hari sepanjang tahun kita selalu dalam kebaikan). Amin. Wallahu a’lam
bishshowab.

1 Syawal Ujian Kebersamaan Umat

Umat muslim di belahan manapun, tak terkecuali di Indonesia, mengharapkan adanya kesamaan
dalam menentukan 1 Syawal 1429 H, sebagaimana kesamaan dalam menentukan 1 Ramadhan
yang lalu. Terutama kesamaan dalam satu negara.

Salah satu ormas terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama sudah menyatakan komitmen untuk
menuggu hasil sidang itsbat Pemerintah secara resmi. Tentu langkah ini patut diikuti oleh semua
ormas Islam, terutama ulama dan tokoh Islam di nusantara ini, demi kesatuan dan persatuan
umat muslim.

Dalam pernyataannya, Nahdlatul Ulama (NU) berharap Idul Fitri 1429 H dirayakan serentak
bersamaan oleh seluruh umat Islam. Hal itu didasarkan karena NU memulai 1 Ramadhan lalu
secara bersamaan pula dengan organisasi kemasyarakatan Islam lainnya, seperti halnya
Muhammadiyah.
Harapan tersebut diungkapkan Ketua Lajnah Falakiyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama
(PBNU), KH Ghazalie Masroerie, di Kantor PBNU, Jakarta, Kamis (25/9).

Jika awal Ramadhan lalu dilakukan bersamaan, diharapkan penetapan 1 syawal juga bersamaan.

Karena itu, meski sudah dapat menentukan 1 Syawal 1429 H melalui metode hisab (perhitungan
astronomis), NU masih akan menunggu proses sidang itsbat (penentuan) dengan pemerintah.
Setelah itu, baru akan diumumkan kepastian Hari Raya Idul Fitri tahun ini.

“Untuk menciptakan ketenangan bagi umat Islam, NU tidak segera mengumumkan sikapnya
tentang kepastian Idul Fitri 1429 H. Sesudah itsbat pemerintah, kemudian NU mengumumkan,”
jelas Kiai Ghazalie.

Ia mengatakan, NU dan organisasi kemasyarakatan Islam lainnya bersama Departemen Agama,


akan melaksanakan sidang itsbat yang diawali rukyatul hilal terlebih dahulu. Rukyatul hilal
dilakukan pada 29 September 2008.

Proses tersebut diselenggarakan di 55 lokasi strategis di seluruh Indonesia. 99 pelaksana rukyat


nasional bersertifikat dan para ulama ahli rukyat serta ahli hisab telah dipersiapkan. “Rukyat ini
sekaligus menjadi sarana koreksi atas hitungan hisab,” tandasnya (beberapa sumber)

Idul Fitri Mubarak

Bertepatan dengan hari raya idul fitri 1429 H. yang penuh berkah ini, kami keluarga besar
dakwatuna.com berdo’a kepada Allah swt. agar di bulan baru ini Allah swt. mengkaruniai kita
kedewasaan iman dan rasa aman, menguatkan islam dan keselamatan, serta memberikan taufiq
kepada kita agar kita mencintai ketaatan sehingga langkah kehidupan kita diridhoi. Dan agar hari
raya ini menjadi kabar gembira, kebaikan dan keberkahan terhadap setiap umat muslim di
belahan manapun mereka berada. Sekaligus menjadikannya sebagai peringatan, kerugian dan
penyesalan bagi setiap yang memusuhi umat ini.

Selamat Idul Fitri 1429 H. “Taqabbalallah minnaa waminkum shaalihal a’maal, semoga Allah
swt. menerima amal ibadah kita dan semoga kita senantiasa dalam kebaikan selama setahun ke
depan.”

Dakwatuna.com juga mengucapkan mohon ma’af lahir dan batin, atas segala khilaf, kekurangan
selama berkhidmat dalam dunia maya ini. Semoga dalam tahun-tahun ke depan dakwatuna.com
lebih baik lagi dalam memberikan khidmat dan dakwah, tentunya dengan do’a, kesetiaan dan
dukungan para pembaca sekalian. Jazakumullah khaira.

Lebaran ibarat stasiun pemberhentian dalam perjalanan kehidupan, atau laksana tempat singgah
di padang sahara kehidupan. Demikian lah umat-umat memiliki momentum yang berbeda-beda
di mana mereka di dalamnya bergembira, dan merayakan kebahagiaan. Islam datang
menguatkan hal demikian. Oleh karena itu Idul fitri dan Idul Adha adalah hari raya besar Islam.
Allah swt. mengikat hari-hari besar Islam dengan kewajiban-kewajiban besar dan ibadah-ibadah
besar.

Allah swt. mengikat idul fitri dengan kewajiban shaum, maka hari raya idul fitri adalah lebaran
dari sebelumnya tidak makan, minum dan hubungan suami-istri di siang hari menjadi halal lagi
bagi mereka di siang hari maupun malam hari. “Bagi muslim dua kegembiraan: Gembira ketika
berbuka dan gembira ketika berjumpa dengan Tuhannya.”

Berbahagia karena berbuka ada dua makna; yaitu setiap hari, berbuka saat maghrib tiba, bahagia
manusiawi karena di siang hari diharamkan yang sejatinya halal, namun menjadi halal lagi pada
malamnya, sehingga do’a yang dilantunkan adalah “Telah hilang rasa dahaga, telah kering
kerongkongan, dan semoga Allah menetapkan pahala, insya Allah.”
Kebahagiaan kedua adalah bahagia karena mendapat taufiq dari Allah swt. dan dimudahkan
dalam ketaatan dan menunaikan kewajiban di bulan ini, ini juga arti firman Allah swt.:
“Katakanlah, karena keutamaan Allah dan rahmat-Nya, karena itu hendaknya mereka
berbahagia, yang demikian itu lebih baik dari pada apa yang mereka kumpulkan.”

Karena itu, kita lihat di hari raya orang-orang yang melaksanakan shaum Ramadhan wajah-
wajah mereka berseri-seri dan tertawa bahagia.

Hari raya umat muslim diikat dengan dua nilai besar; Nilai Rabbani dan Nilai Insani.

Nilai Rabbani adalah agar setiap manusia tidak lupa pada Tuhannya saat hari raya. Hari raya
bukanlah bebas sebebas-bebasnya di bawah kendali syahwat. Justru hari raya di awali dengan
mengumandangkan takbir, shalat ied dan taqarrub ilallah swt. Hari raya bukan lepas dari ibadah
dan ketaatan, dengan mengerjakan sesuka hati.

Nilai insani bagi hari raya adalah terlihat dari kebahagiaan, kegembiraan, bersenang-senang, dan
pakaian baru, juga karena muslim menyambung tali silaturrahim dengan yang lain. Karena itu
Islam mensyariatkan dalam idul fitri ini perintah menunaikan zakat fitrah. Rasulullah saw.
mewajibkan zakat fitrah atas orang dewasa dan anak-anak, merdeka dan budak, laki-laki dan
perempuan. Rasulullah saw. menjadikan zakat fitrah sebagai pencuci bagi orang yang shaum dari
sendau-gurau, perkataan jorok, sekaligus nilai insaninya adalah sebagai pemenuhan kebutuhan
bagi bagi orang-orang yang tidak berpunya. Jangan sampai orang yang tidak berpunya jadi
minder karena tidak bisa memakai pakaian baru atau melihat orang lain memakan makanan
serba enak, sedangkan dirinya tidak menemukan makanann. Sehingga dengan zakat itu, mereka
juga merayakan kebahagiaan.

Zakat fitrah dikeluarkan di masa Rasulullah saw. setelah shalat fajar, sebelum pelaksanaan shalat
idul fitri, karena jumlah muslim pada waktu itu masih sedikit.

Untuk masa sekarang ini, karena umat muslim sudah demikian banyak, maka zakat fitrah bisa
dikeluarkan di hari kedua atau ketiga sebelum hari raya, ada yang berpendapat di pertengahan
Ramadhan bahkan sebagian membolehkan mengeluarkan zakat di awal Ramadhan, yang pasti
tidak boleh melewati shalat idul fitri, karena nilainya hanya menjadi sedekah biasa, bukan zakat
fitrah yang wajib. Allahu ‘alam

Humanisme Islam; Refleksi di Bulan Syawal

Betapa Rasulullah saw mampu memikat seluruh elemen penduduk Madinah yang terdiri dari
berbagai suku, agama dan latar belakang sosial yang beragam. Di awal kedatangan beliau disana.
Padahal beliau belum pernah bertemu dengan mereka, pun tidak ada hubungan darah dengan
mereka.

Pertama sekali yang Rasulullah saw deklarasikan bagi penduduk Madinah yang sedang menanti-
nanti kedatangan beliau adalah nilai-nilai humanisme dan kepedulian yang dilandasi dengan
sikap mental yang kuat.

Mari kita simak penuturan salah seorang yang sengaja menyempatkan diri bersama khalayak
penduduk Madinah yang sedang menyambut Rasulullah saw. Bagaimana pengakuan tulusnya
akan kepribadian Rasulullah saw. Dan taujih atau arahan Rasulullah saw yang beliau sampaikan
dengan sangat puitis :

‫صيّلى الُّي‬ َ ‫سييوُل الِّ ي‬ ُ ‫س ِإَلْييِه َوِقييَل َقيِدَم َر‬ُ ‫جَفَل الّنا‬ َ ‫سّلَم اْلَمِديَنَة اْن‬
َ ‫عَلْيِه َو‬
َ ‫ل‬ ُّ ‫صّلى ا‬ َ ‫ل‬ ِّ ‫سوُل ا‬ ُ ‫لٍم َقال َلّما َقِدَم َر‬
َ‫س‬ َ ‫ن‬ ِ ‫ل ْب‬
ِّ ‫عْبِد ا‬
َ ‫ن‬ْ‫ع‬ َ
ّ‫س يَتْثَبت‬
ْ ‫ظَر ِإَلْيِه َفَلّمييا ا‬
ُ ‫س َِلْن‬ِ ‫ت ِفي الّنا‬ ُ ‫جْئ‬
ِ ‫سّلَم َف‬
َ ‫عَلْيِه َو‬
َ ‫ل‬ ُّ ‫صّلى ا‬ َ ‫ل‬ ِّ ‫سوُل ا‬ ُ ‫سّلَم َقِدَم َر‬
َ ‫عَلْيِه َو‬
َ ‫ل‬ُّ ‫صّلى ا‬ َ ‫ل‬ ِّ ‫سوُل ا‬ُ ‫سّلَم َقِدَم َر‬
َ ‫عَلْيِه َو‬
َ
‫شييوا‬
ُ ‫س َأْف‬
ُ ‫ن َقيياَل َأّيَهييا الّنييا‬ ْ ‫يٍء َتَكّليَم ِبيِه َأ‬
ْ ‫شي‬َ ‫ن َأّوُل‬ َ ‫ب َوَكا‬ ٍ ‫جِه َكّذا‬
ْ ‫س ِبَو‬
َ ‫جَهُه َلْي‬ ْ ‫ن َو‬ ّ ‫ت َأ‬
ُ ‫عَرْف‬
َ ‫سّلَم‬ َ ‫عَلْيِه َو‬
َ ‫ل‬ ُّ ‫صّلى ا‬
َ ‫ل‬ ِّ ‫سوِل ا‬ ُ ‫جَه َر‬ْ ‫َو‬
‫لٍم‬ َ‫س‬
َ ‫جّنَة ِب‬
َ ‫خُلوا اْل‬ ُ ‫س ِنَياٌم َتْد‬ُ ‫صّلوا َوالّنا‬ َ ‫طَعاَم َو‬ّ ‫طِعُموا ال‬ ْ ‫لَم َوَأ‬َ‫س‬ّ ‫ال‬.
Dari Abdullah bin Salam berkata: Ketika Rasulullah saw hendak datang di Madinah, manusia
pada menunggu-nunggu dan saling memberi kabar: Rasulullah datang, Rasulullah datang. Aku
datangi kerumunan manusia. Ketika aku pastikan bisa melihat wajah Rasulullah saw, maka aku
yakin bahwa raut wajahnya bukan tipe wajah pembohong. Dan pertama kali yang beliau
ucapkan adalah: “Sebarkanlah salam, berilah makan orang yang membutuhkan, sambunglah
persaudaraan dan shalat malamlah ketika manusia pada tertidur. Maka anda akan masuk surga
dengan selamat.” (Sunan Tirmidzi, Jilid 9, Halaman. 25)

Sebarkan Salam

Subhanallah, ajaran agama yang sangat mulia bagi kemanusiaan. Betapa tidak, Islam pertama
dan utama sekali menyuruh pemeluknya untuk menyebarkan salam yang berarti kedamaian,
keselamatan dan kasih sayang. Karena salam Islam adalah penghormatan dari Allah swt.
”Assalamu’alaikum warahmatullahi wabaraktuh. Semoga keselamatan, kasih sayang dan
keberkahan Allah selalu bersama kalian.”

Sering kita dengar cerita orang sedang bepergian di negeri orang atau tempat yang asing lainnya,
mendapatkan pertolongan dari orang lain atau ketemu kenalan baru gara-gara ucapan salam.
Karena salamnya orang Indonesia dengan orang Turki sama, salamnya orang Jepang dengan
orang Amerika sama, demikian juga salamnya orang Arab dengan Afrika sama.

Banyak sekali rahasia dari diperintahkan menyebarkan salam ini. Adalah untuk saling kenal,
cinta, kasih sayang dan mendapatkan keberkahan do’a salam itu sendiri. Bahkan menjadi
prasyarat mendapat tiket masuk surga Allah swt. Inilah rahasia yang pernah diungkap sendiri
oleh Rasulullah saw dalam sabdanya:

‫عَلييى‬ َ ‫حيياّبوا َأوََل َأُدّلُكيْم‬َ ‫حّتى َت‬ َ ‫حّتى ُتْؤِمُنوا َوَل ُتْؤِمُنوا‬
َ ‫جّنَة‬
َ ‫ن اْل‬
َ ‫خُلو‬
ُ ‫سّلَم َل َتْد‬
َ ‫عَلْيِه َو‬
َ ‫ل‬
ُّ ‫صّلى ا‬
َ ‫ل‬
ِّ ‫سوُل ا‬
ُ ‫ن َأِبي ُهَرْيَرَة َقاَل َقاَل َر‬
ْ‫ع‬َ
‫لَم َبْيَنُكْم‬
َ‫س‬ّ ‫شوا ال‬ ُ ‫حاَبْبُتْم َأْف‬
َ ‫يٍء ِإَذا َفَعْلُتُموُه َت‬
ْ ‫ش‬
َ.

Artinya: “Kalian tidak akan masuk surga sampai kalian benar dalam keimanan kalian. Dan
kalian tidak akan sampai meraih keimanan yang benar sampai kalian saling mencintai di antara
kalian. Maukah Aku tunjukkan perkara yang apabila kalian laksanakan kalian akan saling
mencintai? “Sebarkan salam di antara kalian.” (Shahih Muslim, Jilid I, Halaman 180)

Bahkan terhadap orang yang tidak kita kenal sekali pun, sebagaimana sabda Rasulullah saw.
”Berilah salam terhadap orang yang kamu kenal dan yang tidak kamu kenal.”

Pelajaran menarik lain adalah bahwa kita tidak boleh pelit dalam mengucapkan salam dan
menjawab salam. Justru berlomba untuk memberi doa yang terbaik dan terlengkap untuk saudara
kita. Lihatlah taujih Allah swt dalam surat An Nisa’ ayat 86.

”Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, Maka balaslah


penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu
(dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungankan segala sesuatu.” Penghormatan
yang dimaksud disini ialah: dengan mengucapkan assalamu’alaikum dengan tulus ikhlas.

Wujudkan Kepedulian

Langkah berikutnya ketika sudah terbiasa dengan salam, sapa dan saling kenal – sebagai pintu
masuk mengetahui kondisi saudaranya-, ketika kondisi saudaranya sedang membutuhkan
bantuan, pertolongan atau baru mendapat masalah, maka anjuran Rasulullah saw adalah agar kita
peduli dengannya, menolong sesuai dengan yang ia butuhkan.

Ramadhan telah mentraining hamba-hamba Allah swt untuk merasakan penderitaan dan
kesulitan hidup orang yang tidak berpunya. Dengan training itu muncul sikap kepedulian dan
kebersamaan. Orang kaya akan merenung, ”ternyata saudara saya yang belum ketemu nasi dalam
sehari sangat menderita”.
Ith’amuth tho’am atau memberi makan orang yang membutuhkan adalah lambang sikap
kepedulian. Sehingga ia juga bisa berarti upaya sistematik untuk mengentaskan kemiskinan,
mengurangi pengangguran, pelayanan kesehatan yang memadai serta memberi bantuan
pendidikan, bahkan gratis.

Sikap peduli ini sangat penting sehingga Allah swt pun mengecam keras orang yang tidak
memiliki rasa kepedulian padahal ia berkecukupan. Bahkan Allah swt mengkatagorikan mereka
sebagai pendusta agama. Allah swt berfirman dalam sura Al Ma’un : 1-3.

”Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?. Itulah orang yang menghardik anak yatim.
Dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin.”

Kalau umat Islam secara umum mampu menghayati pesan ini, wabil khusus para pemimpin yang
diberi amanah untuk melayani rakyatnya, maka tidak ada lagi yang akhirnya mati kelaparan,
yang putus sekolah dan menderita sakit dan akhirnya meninggal karena tidak punya biaya
berobat, wal iyadzu billah.

Galang Silaturahim

Sungguh, agung agama Islam ini. Setelah menganjurkan ummat Islam untuk saling mendekat
dan saling kenal, mengalakkan sikap peduli terhadap sesama. Ternyata Islam juga mengunci kuat
pintu-pintu konflik dan menutup rapat-rapat potensi permusuhan. Yaitu dengan anjuran
menyambung persaudaraan, silaturahim.

Sesama muslim adalah saudara, bahkan persaudaraan itu kadang lebih kuat dibanding dengan
persaudaraan darah sekalipun. Inilah yang ditegaskan Allah swt dalam firman-Nya:

”Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah


hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat
rahmat.” QS. Al Hujurat 10.

Ternyata ayat ini didahului dengan kisah dua golongan yang sama-sama mukmin yang sedang
bermusuhan. Tapi mereka masih disebut dengan golongan yang beriman. Mereka diperintahkan
untuk ruju’ dan dinyatakan dengan tegas bahwa mereka adalah bersaudara.

”Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu
damaikan antara keduanya! tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain,
hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah
Allah. kalau dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah
kamu berlaku adil; Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.” QS. Al
Hujurat : 9

Orang-orang yang saling bercinta karena Allah swt, saling menyambung persaudaraan fillah,
akan dibanggakan Allah swt di hari kiamat kelak, sehingga para Anbiya’ dan Syuhada’ sekalipun
cemburu dengan mereka. Rasulullah saw bersabda:

”Orang-orang yang saling mencintai karena kebesaran-Ku, pada hari kiamat kelak berada di
atas mimbar yang terbuat dari cahaya, yang menyebabkan para Nabi dan Syuhada cemburu
akan kedudukan mereka.”

Sikap lapang dada, dewasa dan menghormati perbedaan pendapat atau golongan di antara umat
Islam bisa menjadi katup pengikat kesatuan dan persatuan umat Islam.

Sisi lain Islam sangat mengecam permusuhan, persengketaan melebihi tiga hari, apalagi
permusuhan abadi. Rasulullah saw bersabda:
”Barangsiapa yang bertengkar dengan saudaranya melebihi tiga hari, maka Aku tidak butuh
ketaatan dan peribadatan keduanya, sampai keduanya rujuk kembali dan yang pertama rujuk
adalah yang paling baik”.

Tradisi silaturahim tidak hanya dilakukan ketika lebaran atau bulan Syawal saja, apalagi ada
embel-embel kepentingan politis. Namun anjuran silaturahim adalah setiap saat sesuai kadar
yang dibutuhkan.

Menyambung persaudaraan tidak hanya dengan sesama muslim saja, namun juga dengan semua
pemeluk agama lain. Rasulullah swt menjadi bukti konkrit dalam hal ini. Beliau meskipun setiap
hari dicaci maki oleh lawan politiknya, diludahi oleh orang yang beda agama, namun beliau tetap
berbuat manusiawi terhadap mereka. Justru dengan sikap itulah lawan-lawannya menjadi simpati
dan masuk Islam.

Hidupkan Shalat Malam

Ramadhan telah mentarbiyah kita selama sebulan penuh untuk shalat tarawih. Shalat tarawih
sebenarnya adalah istilah lain dari shalat malam di luar bulan Ramadhan. Sehingga bagaimana
akhirnya kita berusaha untuk bisa meneruskan tradisi shalat tarawih atau shalat malam ini di luar
bulan Ramadhan. Allah swt berfirman :

”Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya kamu berdiri (sembahyang) kurang dari dua
pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari
orang-orang yang bersama kamu. Dan Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Allah
mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas waktu-waktu itu, Maka
dia memberi keringanan kepadamu, Karena itu Bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al
Quran. Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-
orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain
lagi berperang di jalan Allah, Maka Bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran dan
dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman
yang baik. Dan kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh
(balasan)nya di sisi Allah sebagai balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya.
Dan mohonlah ampunan kepada Allah; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.” QS. Al Muzzammil : 20

Ada tips yang pernah dicontohkan oleh dua sahabat besar dalam hal pelaksanaan shalat malam
ini yaitu sahabat Abu Bakar dan Umar Radliyallahu anhuma. Model sahabat Umar bin Khattab
ra yang mengerjakan shalat malam setelah melaksanakan shalat Isya’ langsung alias sebelum
tidur dan ditutup dengan witir. Atau model sahabat Abu Bakar ra yang bangun sepertiga malam
akhir untuk qiyamullail dan ditutup dengan witir.

Kesangggupan masing-masing kita berbeda-beda, apakah mau seperti sahabat Umar atau sahabat
Abu Bakar radliyallahuma, tafadldlal saja.

Saudaraku, di Bulan Syawal yang berarti Bulan peningkatan amal kebaikan dan ketaatan ini,
marilah kita tegaskan kembali komitmen kita sewaktu menjalani amaliyah ibadah Ramadhan;
yaitu komitmen untuk menjadi manusia baru, insan taqwa, pemburu pintu Royyan. Dengan
melaksanakan pesan-pesan mulia Rasulullah saw ini.

saudaraku, ketika resep Rasulullah swt itu bisa kita terapkan dalam tataran individu, maka pasti
janji Allah swt berupa tiket Jannah dengan penuh kedamaian pasti akan diraih.

Dan jika konsep Rasulullah saw tersebut dapat diejawantahkan dalam tataran kehidupan
bermasyarakat dan berbangsa, maka kehidupan akan menjadi rukun, sejahtera, damai dan
mendapat ridho Ilahi Rabbi, menjadi baldatun thayyibatun wa Rabbun Ghafur. Insya Allah.
Allahu A’lam.
Memaknai Hari Raya Iedul Fitri (Bagian 1)

‫ن ِفيِهَما‬َ ‫ن َيْلَعُبو‬
ِ ‫سّلَم اْلَمِديَنَة َوَلُهْم َيْوَما‬
َ ‫عَلْيِه َو‬
َ ‫ل‬ُّ ‫صّلى ا‬َ ‫ل‬ ِّ ‫ل ا‬
ُ ‫سو‬ ُ ‫ل َقِدَم َر‬
َ ‫س َقا‬ٍ ‫ن َأَن‬ ْ‫ع‬َ ‫حَمْيٍد‬
ُ ‫ن‬ ْ‫ع‬َ ‫حّماٌد‬َ ‫حّدَثَنا‬ َ ‫ل‬َ ‫سَمِعي‬
ْ ‫ن ِإ‬ُ ‫سى ْب‬ َ ‫حّدَثَنا ُمو‬
َ
‫خْيًرا ِمْنُهَما َيْوَم‬
َ ‫ل َقْد َأْبَدَلُكْم ِبِهَما‬
َّ ‫ن ا‬ّ ‫سّلَم ِإ‬
َ ‫عَلْيِه َو‬
َ ‫ل‬
ُّ ‫صّلى ا‬َ ‫ل‬ ِّ ‫ل ا‬
ُ ‫سو‬ُ ‫ل َر‬ َ ‫جاِهِلّيِة َفَقا‬
َ ‫ب ِفيِهَما ِفي اْل‬
ُ ‫ن َقاُلوا ُكّنا َنْلَع‬
ِ ‫ن اْلَيْوَما‬
ِ ‫ل َما َهَذا‬
َ ‫َفَقا‬
‫طِر‬ ْ ‫حى َوَيْوَم اْلِف‬ َ‫ض‬ْ ‫ل‬ َ ‫ْا‬

Dari Anas bin Malik ra berkata bahwasanya Rasulullah SAW datang ke Madinah sedangkan
mereka (penduduk Madinah) memiliki dua hari untuk bermain dan bergembira ria. Maka
Rasulullah SAW bersabda, ‘Ada apakah dengan dua hari ini?’ Mereka menjawab, ‘Kami biasa
bermain dan bergembira ria pada masa jahiliyah di dua hari tersebut.’ Rasulullah SAW bersabda,
‘Sesungguhnya Allah SWT telah menggantikan dua hari kalian dengan dua hari yang lebih baik
darinya, yaitu Iedul Adha dan Iedul Fitri.’ (HR. Nasa’i)

Muqadimah

Seiring dengan cepatnya waktu berlalu, ternyata tanpa terasa ramadhan begitu cepatnya berjalan
meninggalkan kita. Padahal kita belum maksimal membaca Al-Qur’an, belum maksimal shalat
malam, belum maksimal melaksanakan shiyam dan juga belum optimal untuk melaksanakan
ibadah-ibadah lainnya. Setetes air mata mengalir dari ujung mata, perasaan sedih bergemuruh
dalam kalbu, Ya Allah, akankah Ramadhan tahun depan, kami masih dapat bertemu lagi dengan
bulan Ramadhan?

Dahulu para salafuna shaleh, air mata mereka meleleh membasahi pipi dan lihyah lantaran
Ramadhan pergi meninggalkan mereka. Terkadang dari lisan mereka terucap sebuah doa,
sebagai ungkapan kerinduan akan datangnya ramadhan dan ramadhan :

َ ‫ضا‬
‫ن‬ َ ‫ن َوَرَم‬
َ ‫ضا‬
َ ‫ن َوَرَم‬
َ ‫ضا‬
َ ‫ َوَبّلْغَنا َرَم‬،‫ن‬
َ ‫ضا‬
َ ‫…الّلُهّم َبّلْغَنا َرَم‬

Ya Allah SWT, anugerahkanlah lagi kepada kami bulan Ramadhan, anugerahkanlah lagi kepada
kami bulan Ramadhan, dan bulan Ramadhan, dan bulan Ramadhan…

Suasana seperti ini bahkan berlarut hingga muncul ‘keheningan’ yang demikian heningnya pada
malam hari raya Iedul Fitri. Bahkan suasana seperti ini masih begitu terasa, minimal ketika
penulis mengalaminya di Mesir, selama studi di sana. Betapa malam Iedul Fitri sangat sepi dan
hening, seolah mereka meratapi kepergian ‘tamu istimewa’ mereka, yaitu bulan Ramadhan.
Tidak heran jika beberapa mahasiswa Indonesia yang pada malam tersebut sembab matanya,
lantaran rindu dan teringat dengan suasana malam Iedul Fitri di tanah air, yang suasananya 180
derajat berbeda dengan suasana di Mesir.

Namun akankah kesedihan itu terus berlarut-larut, sementara ajal kita ditentukan oleh Allah
SWT. Dan haruskan kita bersedih, sedangkan Iedul Fitri merupakan hari raya seluruh kaum
muslimin, yang kita dianjurkan untuk bergembira pada hari tersebut? Lantas, amalan apakah
yang seharusnya kita laksanakan menjelang maupun pada saat Iedul Fitri. Berikut penulis
kutipkan beberapa hadits mengenai Iedul Fitri, semoga ada manfaatnya bagi kita semua.

Makna Iedul Fitri

Terdapat beberapa pendapat dalam memaknai Iedul Fitri, yang merupakan hari raya umat Islam
di seluruh alam. Jika dilihat dari segi bahasanya, Iedul Fitri terdiri dari dua kata yaitu ( ‫ ) عيد‬dan (
‫) فطر‬. Dan masing-masing dari kata ini memiliki maknanya tersendiri :

· ( ‫ ) عيد‬Ada yang mengatakan bahwa Ied berasal dari kata ( ‫ ) عاد – يعود‬yang berarti kembali.
Namun ada juga yang menterjemahkan Ied ini sebagai hari raya, atau hari berbuka. Pendapat
yang kedua ini menyandarkan pada hadits :

‫ن )رواه ابن ماجه‬


َ ‫حو‬
ّ‫ض‬
َ ‫حى َيْوَم ُت‬
َ‫ض‬ْ ‫ل‬
َ ‫ن َوْا‬
َ ‫طُرو‬
ِ ‫طُر َيْوَم ُتْف‬
ْ ‫سّلَم اْلِف‬
َ ‫عَلْيِه َو‬
َ ‫ل‬
ُّ ‫صّلى ا‬
َ ‫ل‬
ِّ ‫ل ا‬
ُ ‫سو‬
ُ ‫ل َر‬
َ ‫ل َقا‬
َ ‫ن َأِبي ُهَرْيَرَة َقا‬
ْ‫ع‬َ)
Dari Abu Hurairah ra, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Idul Fitri adalah hari dimana
kalian berbuka, dan Idul Adha adalah hari dimana kalian berkurban.” (HR. Ibnu Majah)

· ( ‫ ) الفطر‬Ada yang menerjemahkan fitri dengan “berbuka” karena ia berasal dari kata ( ‫) أفطر‬
yang memang secara bahasa artinya berbuka setelah berpuasa. Namun disamping itu, ada juga
yang menerjemahkan fitri dengan “fitrah”, yang berarti suci dan bersih. Pendapat kedua ini
menyandarkan pendapatnya pada hadits Rasulullah SAW :

‫ساِنِه )رواه البخاري‬


َ‫ج‬ّ ‫صَراِنِه َأْو ُيَم‬
ّ ‫طَرِة َفَأَبَواهُ ُيَهّوَداِنِه َأْو ُيَن‬
ْ ‫عَلى اْلِف‬
َ ‫ل ُيوَلُد‬
ّ ‫ن َمْوُلوٍد ِإ‬
ْ ‫سّلَم َما ِم‬
َ ‫عَلْيِه َو‬
َ ‫ل‬
ُّ ‫صّلى ا‬
َ ‫ي‬
ّ ‫ل الّنِب‬
َ ‫)َقا‬

Rasulullah SAW bersabda, ‘Tidaklah seorang anak dilahirkan, melainkan ia dilahirkan dalam
keadaan fitrah (bersih/ suci). Orangtuanyalah yang menjadikan ia Yahudi, Nasrani atau Majusi
(HR. Bukhari)

Dari maknanya secara harfiah ini, dapat disimpulkan adanya dua makna dalam menerjemahkan
Iedul Fitri, yaitu :

1. Iedul Fitri diterjemahkan dengan kembali kepada fitrah atau kesucian, karena telah ditempa
dengan ibadah sebulan penuh di bulan ramadhan. Dan karenanya ia mendapatkan ampunan dan
maghfirah dari Allah SWT.

2. Iedul Fitri diterjemahkan dengan hari raya berbuka, dimana setelah sebulan penuh ia berpuasa,
menjalan ibadah puasa karena Allah SWT, pada hari Idul Fitri ia berbuka dan tidak berpuasa
sebagai ungkapan syukur kepada Allah SWT.

Penulis melihat bahwa kedua makna Iedul Fitri di atas adalah benar dan tepat. Dan kedua makna
tersebut saling melengkapi dan tidak bertentangan sama sekali. Sehingga Iedul Fitri adalah hari
raya umat Islam yang dianugerahkan oleh Allah SWT di mana insan dikembalikan pada
fitrahnya dengan mendapatkan ampunan dari Allah SWT, sekaligus sebagai hari bergembiranya
kaum muslimin dimana diperintahkan untuk makan dan minum (baca; berbuka) sebagai
ungkapan syukur kepada Allah SWT. Oleh karena itulah, terdapat doa yang sering dibacakan
sesama kaum muslimin ketika berjabat tangan dan saling memaafkan, yaitu :

‫ل ِمّنا َوِمْنُكْم‬
ُ ‫ َوَتَقّبلَ ا‬،‫ن‬
َ ‫ن اْلَفاِئِزْي‬
َ ‫ن اْلَعاِئِدْي‬
َ ‫ل َوِإّياُكْم ِم‬
ُ ‫جَعَلَنا ا‬
َ

Semoga Allah SWT menjadikan kita semua sebagai hamba-hamba-Nya yang kembali (kepada
fitrah) dan sebagai hamba-hamba-Nya yang menang (melawan hawa nafsu). Dan semoga Allah
SWT menerima seluruh amal ibadah kita semua.[1]

Hanya terkadang, masyarakat kita lebih suka “menyunat” doa di atas, sehingga yang diucapkan
hanya kalimat, ‘Minal Aidin Wal Fa’izin” saja. Bahkan lebih parah lagi ketika Minal Aidin Wal
Faidzin ini diterjemahkan dengan mohon maaf lahir dan batin. Tetapi bisa kita maklumi karena
keterbatasan masyarakat kita pada umumnya, asalkan masih dilandasi dengan niatan yang ikhlas
hanya mengharap ridha Allah SWT, semoga tetap Allah catat sebagai amal ibadah di sisi-Nya.

Menghidupkan Iedul Fitri

Bagi kita semua saat ini, bagaimana kita dapat menghidupkan Iedul Fitri, atau dengan kata lain
memaknai Iedul Fitri sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah SAW. Dari beberapa riwayat,
terdapat beberapa hal yang disunnahkan untuk dilakukan pada malam Ied atau pada hari raya
Iedul Fitri. Diantaranya adalah :

1. Disunnahkan untuk Qiyamul Lail, pada malam hari raya Idul Fitri. Dalam sebuah riwayat
digambarkan :

‫ب )رواه ابمن‬
ُ ‫ت اْلُقُلمو‬
ُ ‫ت َقْلُبمُه َيمْوَم َتُمممو‬
ْ ‫لم َلمْم َيُمم‬
ِّ ‫سمًبا‬
ِ ‫حَت‬
ْ ‫ن ُم‬
ِ ‫ي اْلِعيَدْي‬
ْ ‫ن َقاَم َلْيَلَت‬
ْ ‫ل َم‬
َ ‫سّلَم َقا‬
َ ‫عَلْيِه َو‬
َ ‫ل‬
ُّ ‫صّلى ا‬
َ ‫ي‬
ّ ‫ن الّنِب‬
ْ‫ع‬َ ‫ن َأِبي ُأَماَمَة‬
ْ‫ع‬َ
‫)ماجه‬
Dari Abu Umamah ra, Rasulullah SAW bersabda, ‘Barang siapa yang melaksanakan qiyamullail
pada dua malam Ied (Idul Fitri dan Adha), dengan ikhlas karena Allah SWT, maka hatinya tidak
akan pernah mati di hari matinya hati-hati manusia. (HR. Ibnu Majah).

2. Disunnahkan pada pagi hari raya Idul Fitri, untuk mandi, menggunakan minyak wangi dan
berpakaian yang rapi. Dalam sebuah hadits diriwayatkan :

َ ‫ل َوَكما‬
‫ن‬ َ ‫حمِر َقما‬
ْ ‫طمِر َوَيمْوَم الّن‬ ْ ‫عَرَفمَة َوَيمْوَم اْلِف‬َ ‫جُمَعِة َوَيمْوَم‬
ُ ‫ل َيْوَم اْل‬
ُ‫س‬ِ ‫ن َيْغَت‬
َ ‫سّلَم َكا‬
َ ‫عَلْيِه َو‬
َ ‫ل‬
ُّ ‫صّلى ا‬
َ ‫ل‬
ِّ ‫ل ا‬
َ ‫سو‬
ُ ‫ن َر‬
ّ ‫سْعٍد َأ‬
َ ‫ن‬
ِ ‫ن اْلَفاكِِه ْب‬
ِ‫ع‬َ
ِ‫لّيام‬
َ ‫ل ِفي َهِذِه ْا‬ِ‫س‬ ْ ‫سْعٍد َيْأُمُر َأْهَلُه ِباْلُغ‬
َ ‫ن‬ ُ ‫اْلَفاِكُه ْب‬

Dari Fakih bin Sa’d bahwasanya Rasulullah SAW senantiasa mandi pada hari jum’at, hari
Arafah, hari Idul Fitri dan hari Idul Adha. Dan Fakih (Perawi hadits ini) senantiasa
memerintahkan keluarganya untuk mandi pada hari-hari tersebut. (HR. Ahmad)

Dalam riwayat lain juga digambarkan :

‫صّلى )رواه مالك‬


َ ‫ن َيْغُدَو ِإَلى اْلُم‬
ْ ‫ل َأ‬
َ ‫طِر َقْب‬
ْ ‫سلُ َيْوَم اْلِف‬
ِ ‫ن َيْغَت‬
َ ‫عَمَر َكا‬
ُ ‫ن‬
َ ‫ل ْب‬
ِّ ‫عْبَد ا‬
َ ‫ن‬
ّ ‫ن َناِفٍع َأ‬
ْ‫ع‬َ)

Dari Nafi’, bahwasanya Abdullah bin Umar senantiasa mandi pada hari raya Idul Fitri, sebelum
berangkat ke tempat shalat. (HR. Malik)

3. Mendatangi tempat-tempat dilaksanakannya shalat Ied. Dalam sebuah hadits diriwayatkan :

‫ن )رواه أحمد‬
ِ ‫ن ِفي اْلِعيَدْي‬
َ‫ج‬ْ ‫خُر‬
ْ ‫ن َي‬
ْ ‫ساَءُه َأ‬
َ ‫سّلَم َيْأُمُر َبَناَتُه َوِن‬
َ ‫عَلْيِه َو‬
َ ‫ل‬
ُّ ‫صّلى ا‬
َ ‫ل‬
ِّ ‫ل ا‬
ُ ‫سو‬
ُ ‫ن َر‬
َ ‫ل َكا‬
َ ‫س َقا‬
ٍ ‫عّبا‬
َ ‫ن‬
ِ ‫ن اْب‬
ِ‫ع‬
َ)

Dari Ibnu Abbas ra, bahwasanya Rasulullah SAW memerintahkan anak-anak wanitanya dan
istri-istrinya untuk kelur (mendatangi tempat shalat Ied) pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adha.
(HR. Ahmad)

Dalam riwayat lain dijelaskan :

َ ‫س َفُيَكّبمْر‬
‫ن‬ ِ ‫ف الّنمما‬
َ ‫خْلم‬
َ ‫ن‬ّ ‫ض َفَيُكم‬َ ‫حّيم‬ ُ ‫ج اْل‬
َ ‫خمِر‬ْ ‫حّتممى ُن‬َ ‫خْدِرَها‬ ِ ‫ن‬ْ ‫ج اْلِبْكَر ِم‬
َ ‫خِر‬ ْ ‫حّتى ُن‬
َ ‫ج َيْوَم اْلِعيِد‬
َ ‫خُر‬
ْ ‫ن َن‬
ْ ‫ت ُكّنا ُنْؤَمُر َأ‬
ْ ‫طّيَة َقاَل‬
ِ‫ع‬َ ‫ن ُأّم‬
ْ‫ع‬َ
‫طْهَرَتُه )رواه البخاري‬ ُ ‫ك اْلَيْوِم َو‬
َ ‫ن َبَرَكَة َذِل‬
َ ‫جو‬ ُ ‫عاِئِهمْ َيْر‬
َ ‫ن ِبُد‬
َ ‫عو‬ُ ‫)ِبَتْكِبيِرِهْم َوَيْد‬

Dari Ummu Athiyah ra berkata, kami diperintahkan untuk mendatangi tempat shalat, bahkan
perawan di pingitannya dan wanita yang haid diperintahkan untuk mendatangi tempat shalat Ied.
Hanya mereka berposisi di belakang shaf kaum muslimin. Mereka bertakbir dengan takbir kaum
muslimin, dan berdoa dengan doa kaum muslimin, dengan berharap keberkahan dan kesucian
hari tersebut. (HR. Bukhari)

Mendatangi tempat dilaksanakannya shalat Ied dengan berjalan kaki [1] Dalam hal ini juga perlu
diperhatikan situasi dan kondisinya. Jika tempat shalatnya cukup jauh dan justru menyulitkan
dengan berjalan kaki, maka tidak boleh dipaksakan. Demikian juga dengan orang yang udzur
dan sakit. dan memakan sesuatu sebelum berangkat melaksanakan shalat Ied. Dalam sebuah
riwayat dijelaskan :

‫ج )رواه الترمذي‬
َ ‫خُر‬
ْ ‫ن َت‬
ْ ‫ل َأ‬
َ ‫شْيًئا َقْب‬
َ ‫ل‬
َ ‫ن َتْأُك‬
ْ ‫شًيا َوَأ‬
ِ ‫ج ِإَلى اْلِعيِد َما‬
َ ‫خُر‬
ْ ‫ن َت‬
ْ ‫سّنِة َأ‬
ّ ‫ن ال‬
ْ ‫ل ِم‬
َ ‫ب َقا‬
ٍ ‫طاِل‬
َ ‫ن َأِبي‬
ِ ‫ي ْب‬
ّ ‫عِل‬
َ ‫ن‬
ْ‫ع‬َ)

Dari Ali bin Abi Thalib ra berkata, termasuk sunnah jika kamu keluar mendatangi tempat shalat
Ied dengan berjalan kaki dan memakan sesuatu sebelum pergi ke tempat shalat Ied.” (HR.
Turmudzi)

4. Bertakbir mengagungkan Asma Allah SWT, dalam sebuah riwayat digambarkan :

َ‫س َفُيَكّبمْرن‬
ِ ‫ف الّنمما‬
َ ‫خْلم‬
َ ‫ن‬ّ ‫ض َفَيُكم‬َ ‫حّيم‬ ُ ‫ج اْل‬
َ ‫خمِر‬ْ ‫حّتممى ُن‬َ ‫خْدِرَها‬ ِ ‫ن‬ْ ‫ج اْلِبْكَر ِم‬
َ ‫خِر‬ ْ ‫حّتى ُن‬
َ ‫ج َيْوَم اْلِعيِد‬
َ ‫خُر‬
ْ ‫ن َن‬
ْ ‫ت ُكّنا ُنْؤَمُر َأ‬
ْ ‫طّيَة َقاَل‬
ِ‫ع‬َ ‫ن ُأّم‬
ْ‫ع‬َ
‫طْهَرَتُه )رواه البخاري‬ ُ ‫ك اْلَيْوِم َو‬
َ ‫ن َبَرَكَة َذِل‬
َ ‫جو‬ ُ ‫عاِئِهمْ َيْر‬
َ ‫ن ِبُد‬
َ ‫عو‬ُ ‫)ِبَتْكِبيِرِهْم َوَيْد‬
Dari Ummu Athiyah ra berkata, kami diperintahkan untuk mendatangi tempat shalat, bahkan
perawan di pingitannya dan wanita yang haid diperintahkan untuk mendatangi tempat shalat Ied.
Hanya mereka berposisi di belakang shaf kaum muslimin. Mereka bertakbir dengan takbir kaum
muslimin, dan berdoa dengan doa kaum muslimin, dengan berharap keberkahan dan kesucian
hari tersebut. (HR. Bukhari)

5. Melalui jalan yang berbeda ketika berangkan dan pulang dari tempat dilaksanakannya shalat
Ied. Dalam sebuah hadits diriwayatkan :

‫جَع ِفي )رواه الترمذي‬


َ ‫ق َر‬
ٍ ‫طِري‬
َ ‫ج َيْوَم اْلِعيِد ِفي‬
َ ‫خَر‬
َ ‫سّلَم ِإَذا‬
َ ‫عَلْيِه َو‬
َ ‫ل‬
ُّ ‫صّلى ا‬
َ ‫ي‬
ّ ‫ن الّنِب‬
َ ‫ل َكا‬
َ ‫ن َأِبي ُهَرْيَرَة َقا‬
ْ‫ع‬َ)

Dari Abu Hurairah ra, bahwasanya Rasulullah SAW apabila pergi (ke tempat shalat Ied) pada
hari Ied melalui satu jalan, maka beliau kembali dari tempat tersebut melalui jalan yang
berbeda.”

6. Saling bermaaf-maafan seraya mendoakan semoga Allah SWT menerima seluruh amal ibadah
kita. Dalam sebuah hadits diriwayatkan :

ُ‫ل َواِثَلمٌة َلَقْيمت‬


َ ‫ك َقما‬
َ ‫لم ِمّنما َوِمْنم‬
ُ ‫لا‬ َ ‫ل َنَعْم َتَقّب‬
َ ‫ك َفَقا‬َ ‫ل ِمّنا َومِْن‬ُ ‫لا‬ َ ‫ت َتَقّب‬
ُ ‫عْيٍد َفُقْل‬
ِ ‫ي َيْوِم‬ ْ ‫سَقِع ِف‬
ْ‫ل‬ َ ‫ن ْا‬
َ ‫ت َواِثَلَة ْب‬
ُ ‫ل َلَقْي‬
َ ‫ن َقا‬
ٍ ‫ن َمْعَدا‬
ِ ‫خاِلٍد ْب‬
َ ‫ن‬
ْ‫ع‬َ
‫ك )رواه البيهقي في الكبري‬ َ ‫ل ِمّنا َوِمْن‬ُ ‫لا‬ َ ‫ل َنَعْم َتَقّب‬
َ ‫ك َقا‬
َ ‫ل ِمّنا َوِمْن‬ُ ‫لا‬ َ ‫ت َتَقّب‬
ُ ‫عْيٍد َفُقْل‬
َ ‫سّلَم َيْوَم‬
َ ‫عَلْيِه َو‬
َ ‫ل‬ ُ ‫صّلى ا‬َ ‫ل‬ ِ ‫لا‬ َ ‫سْو‬ُ ‫)َر‬

Dari Khalid bin Ma’dan ra, berkata, Aku menemui Watsilah bin Al-Asqo’ pada hari Ied, lalu aku
mengatakan, ‘Taqabbalallah Minna Wa Minka”. Lalu ia menjawab, ‘Iya, Taqabbalallah Minna
Wa Minka,’. Kemudian Watsilah berkata, ‘Aku menemui Rasulullah SAW pada hari Ied lalu aku
mengucapkan ‘Taqabbalallah Minna Wa Minka’, kemudian Rasulullah SAW menjawab, ‘Ya,
Taqabbalallah Minna Wa Minka’ (HR. Baihaqi Dalam Sunan Kubra).

7. Boleh mengadakan hiburan pada hari raya Ied, dalam sebuah riwayat digambarkan bahwa
Rasulullah SAW bersabda kepada Abu Bakar yang pada waktu itu (Hari Ied) menghardik dua
hamba sahaya perempuan yang mendendangkan syair di ruma Aisyah :

‫عْيُدَنا‬
ِ ‫ن اْلَيْوَم‬
ّ ‫عْيًدا َوِإ‬
ِ ‫ل َقْوٍم‬
ّ ‫ن ِلُك‬
ّ ‫َيا َأَبا َبْكٍر ِإ‬

Wahai Abu Bakar, sesungguhnya setiap kaum mempunyai hari raya, dan sesungguhnya hari ini
adalah hari raya kita.” (HR. Nasa’I)

___

Catatan Kaki:

[1] Namun yang perlu digaris bawahi adalah bahwa ungkapan atau doa ini bukan merupakan
‘hadits’ yang diajarkan oleh Rasulullah SAW. Kecuali pada kalimat ( ‫ ) تقبل ال منا ومنكم‬masih
terdapat riwayat, yaitu dari Khalid bin Ma’dan (seorang Tabi’in) ketika hari raya Ied menemui
Watsilah bin Al-Asqo’, ia mengucapkan ( ‫ ) تقبل ال منا ومنك‬kemudian Watsilah menjawab ( ‫نعم تقبل‬
‫) ال منا ومنك‬. Kemudian Watsilah berkata, Aku menemui Rasulullah SAW pada hari raya Ied, lalu
aku mengatakan ‘Taqabbalallah Minna Wa Minka” kemudian Rasulullah SAW mejawab, ( ‫نعم‬
‫ ) تقبل ال منا ومنك‬Ya Semoga Allah SWT menerima amal ibadah kita. (Sunan Baihaqi Al-Kubra,
Juz III, hal 319). Namun menurut Ibnu Hajar pada sanad hadits ini terdapat Muhammad bin
Ibrahim Asyami, dan ia dha’if (lemah). Jadi hadits ini merupakan hadits dha’if.

Memaknai Hari Raya Iedul Fitri (Bagian 2)

Shalat Iedul Fitri

Shalat Ied (Iedul Fitri dan Adha) hukumnya sunnah mu’akkadah, kecuali madzhab Abu Hanifah
yang mengatakannya fardhu kifayah. Dalam Al-Qur’an Allah berfirman:
‫حْر‬
َ ‫ك َواْن‬
َ ‫ل ِلَرّب‬
ّ َ‫ك اْلَكْوَثَر* َفص‬
َ ‫طْيَنا‬
َ‫ع‬ْ ‫*ِإّنا َأ‬

“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu ni`mat yang banyak. Maka dirikanlah shalat
karena Tuhanmu dan berkorbanlah.” (Al-Kautsar 1 – 2)

Dalam ayat lain Allah SWT berfirman:

‫صّلى‬
َ ‫سَم َرّبِه َف‬
ْ ‫ن َتَزّكى* َوَذَكَر ا‬
ْ ‫ح َم‬
َ ‫*َقْد َأْفَل‬

“Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman). Dan dia ingat
nama Tuhannya, lalu dia sembahyang.” (Al-A’la 14 – 15)

Selain itu, Rasulullah SAW juga senantiasa melaksanakannya dan memerintahkannya termasuk
kaum wanita dan anak-anak. Sebab kedua shalat ini merupakan bagian dari sejumlah syiar Islam,
juga sebagai wujud dan iman dan takwa.

Berbeda dengan shalat biasa, shalat Ied ini dianjurkan untuk dilaksanakan di mushalla. Namun
pengertian mushalla di sini berbeda dengan pengertian mushalla yang menjadi istilah dalam
bahasa Indonesia. Mushalla adalah sebuah tempat (lapangan) yang besar yang dapat menampung
lebih banyak kaum muslimin. Dalam riwayat Rasulullah SAW melaksanakan shalat Ied selalu di
mushalla, kecuali pada suatu ketika saat turun hujan, maka beliau dan sahabatnya
melaksanakannya di dalam masjid. Oleh karenanya jumhur ulama mengatakan lebih afdhal
pelaksanaan shalat Ied di mushalla (lapangan), kecuali di Masjidil Haram. Sedangkan Imam
Syafi’I mengatakan lebih afdhal di masjid, karena masjid merupakan tempat yang paling mulia
di muka bumi. Kesimpulannya shalat Ied boleh dilaksanakan di mushalla ataupun di masjid yang
besar yang dapat menampung banyak jamaah.

Adapun waktu pelasanaannya adalah pada saat matahari setinggi dua panah (menurut riwayat
hadits). Di sunnahkan pada shalat Iedul Fitri dilaksanakan diakhirkan waktunya, sedangkan
untuk Iedul Adha di awalkan. Hal ini agar kaum muslimin yang belum menunaikan zakat
fitrahnya pada hari raya Idul Fitri memiliki kesempatan untuk menunaikannya. Sedangkan pada
Idul Adha di awalkan, agar lebih cepat memotong hewan qurban agar dibagikan kepada kaum
muslimin.

Sedangkan tatacara pelaksanaan shalatnya, dijelaskan oleh Al-Jaza’iri dalam Minhajul Muslim
sebagai berikut:

“Hendaknya kaum muslimin keluar menuju tempat khusus untuk shalat Ied sambil takbir,
sampai matahari meninggi kira-kira beberapa meter. Ketika itu, hendaklah imam berdiri untuk
mengimami shalat Ied (tidak diawali azan maupun iqamat) sebanyak dua rakaat. Pada rakaat
pertama ia takbir tujuh kali, di luar takbiratul ihram dan makmum mengikutinya. Kemudian ia
membaca surat Al-Fatihah dan surat Al’A’la dengan suara keras. Pada rakaat kedua, hendaklah
ia takbir lima kali diluar takbir saat berdiri dari rakaat pertama. Kemudian membaca Al-Fatihah
dan surat Al-Ghasyiyah atau Adhuha. Setelah ia salam, hendaknya ia bangkit berdiri untuk
menyampaikan khutbah kepada jamaah…”

Bagaimana hukumnya dengan orang yang masbuq (terlambat) dalam melaksanakan shalat Ied?
Ibnu Mas’ud mengatakan bahwa ‘Siapa yang tidak mengikuti shalat Ied berjamaah, hendaklah ia
shalat empat rakaat. Adapun bagi orang yang masih dapat mengikuti sebagian daripadanya
bersama imam, sekalipun hanya tasyahud, hendaknya sesudah ia salah ia berdiri dan shalat dua
rakaat sebagaimana lazimnya shalatnya orang yang masbuq dalam shalat-shalat lain.

Setelah selesai pelasanaan shalat, imam bangkit berdiri dan menyampaikan khutbahnya. Hukum
mendengarkan khutbah pada shalat Ied adalah sunnah dan tidak wajib. Namun alangkah
meruginya bagi yang enggan untuk mendengarkan khutbah pada hari raya kaum muslimin ini.
Setelah selesai melaksanakan khutbah, dianjurkan untuk meninggalkan tempat, tanpa shalat
sunnah lagi. Karena tidak disyariatkan untuk melaksanakan shalat sunnah baik sebelum maupun
sesudah shalat Ied. Dan setelah itu dianjurkan bagi kaum muslimin untuk bersitaturahim dan
bermaaf-maafan.

Hal-Hal Yang Dilarang Dan Dimakruhkan Dalam Idul Fitri

Seringkali manusia ‘terlena’ ketika telah mendapatkan suatu kenikmatan atau kesenangan
tertentu. Tak terkecuali pada hari raya Idul Fitri, hari yang seharusnya menjadi ‘bukti’ kefitrahan
jiwa dan hati kita dari perbuatan dosa. Namun terkadang tanpa kita sadari, beberapa hal yang
dilarang atau dimakruhkan justru begitu marak di hari yang fitri ini. Berikut adalah hal-hal yang
seyogianya kita hindarkan:

1. Berlebih-lebihan dalam mengkonsumsi makanan (tabdzir)

Seringkali pada saat hari raya Iedul Fitri, karena begitu banyaknya makanan yang relatif
istimewa, kita lupa dengan ‘kapasitas’ perut kita, sehingga terlalu banyak mengkonsumsi
makanan. Baik makan besar maupun makan kecil. Sementara Allah SWT telah mengingatkan
kita:

َ ‫سِرِفي‬
‫ن‬ ْ ‫ب اْلُم‬
ّ ‫ح‬
ِ ‫ل ُي‬
َ ‫سِرُفوا ِإّنُه‬
ْ ‫ل ُت‬
َ ‫شَرُبوا َو‬
ْ ‫َوُكُلوا َوا‬

Dan makan dan minumlah kalian, tapi janganlah kalian berlebih-lebihan. Karena sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan. (QS. Al-A’raf 31)

2. Berlebih-lebihan dalam berpakaian dan berdandan.

Seringkali pakaian yang bagus dan indah yang memang disunnahkan untuk dikenakan pada hari
raya Iedul Fitri, menjadikan kita terjebak pada sifat berlebihan dalam berpakaian ataupun
berdandan, sehingga terkadang ‘aurat’ tidak terjaga, atau berpakaian terlalu ketat, atau juga
terlalu menyolok (baca; tabarruj). Sehingga dosa-dosa yang telah terampuni kembali masuk
dalam diri kita. Oleh karenanya, sebaiknya dalam berpakaian tidak melanggar batasan-batasan
syar’I, baik bagi pria maupun wanita. Allah SWT berfirman:

‫لوَلى‬
ُ ‫جاِهِلّيِة ْا‬
َ ‫ج اْل‬
َ ‫ن َتَبّر‬
َ‫ج‬ْ ‫ل َتَبّر‬
َ ‫َو‬

“Dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu.”
(Al-Ahzab 33)

3. Berjabat tangan antara pria dan wanita yang bukan mahromnya.

Hal ini juga terkadang sering terlalaikan dalam merayakan Iedul Fitri terhadap sanak saudara,
tetangga atau teman dan kerabat. Padahal berjabat tangan bagi yang bukan mahromnya adalah
termasuk perbuatan yang dilarang. Dalam sebuah hadits digambarkan:

‫ط )رواه مسلم‬
ّ ‫سّلَم ِبَيِدِه اْمَرَأًة َق‬
َ ‫عَلْيِه َو‬
َ ‫ل‬
ُّ ‫صّلى ا‬
َ ‫ل‬
ِّ ‫ل ا‬
ُ ‫سو‬
ُ ‫س َر‬
ّ ‫ت َما َم‬
ْ ‫ساِء َقاَل‬
َ ‫ن َبْيَعِة الّن‬
ْ‫ع‬َ ‫خَبَرْتُه‬
ْ ‫شَة َأ‬
َ ‫عاِئ‬
َ ‫ن‬
ّ ‫عْرَوَة َأ‬
ُ ‫ن‬
ْ‫ع‬َ)

“Dari Urwah ra, bahwasanya Aisyah memberitahukannya tentang bai’at wanita. Aisyah berkata,
Rasulullah SAW tidak pernah menyentuh dengan tangannya seorang wanita sama sekali.” (HR.
Muslim)

4. Berlebih-lebihan dalam tertawa dan bercanda.

Tertawa, bercanda, mendengarkan hiburan termasuk perkara yang dimubahkan terutama pada
Iedul Fitri. Namun yang tidak diperbolehkan adalah ketika perbuatan tersebut berlebihan,
sehingga melupakan kewajiban atau menjerumuskan pada sesuatu yang dilarang. Dalam Al-
Qur’an Allah berfirman:

َ ‫سُبو‬
‫ن‬ ِ ‫جَزاًء ِبَما َكاُنوا َيْك‬
َ ‫ل َوْلَيْبُكوا َكِثيًرا‬
ً ‫حُكوا َقِلي‬
َ‫ض‬
ْ ‫َفْلَي‬
Maka hendaklah mereka tertawa sedikit dan menangis banyak, sebagai pembalasan dari apa
yang selalu mereka kerjakan. (Attaubah 82)

5. Mengulur-ulur waktu shalat.

Dengan alasan silaturahmi atau halal bi halal keluarga besar atau kerabat maupun teman sejawat,
seringkali ‘mengulur-ulur’ waktu pelaksanaan shalat. Hal ini juga bukan merupakan perbuatan
yang baik. Karena seharusnya kita malaksanakan shalat pada waktunya, tanpa mengulur-ulurnya.

6. Boros dalam pengeluaran uang.

Iedul Fitri juga sering menjadi ajang untuk menghambur-hamburkan uang pada sesuatu yang
‘manfaatnya’ kurang. Kecuali jika dalam rangka untuk memberikan santunan kepada kerabat
keluarga yang membutuhkan, namun itupun juga tidak boleh berlebih-lebihan. Dalam Al-Qur’an
Allah mengatakan:

‫ك َقَواًما‬
َ ‫ن َذِل‬
َ ‫ن َبْي‬
َ ‫سِرُفوا َوَلْم َيْقُتُروا َوَكا‬
ْ ‫ن ِإَذا َأْنَفُقوا َلْم ُي‬
َ ‫َواّلِذي‬

Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak
(pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian. (Al-Furqan
67)

Inilah diantara hal-hal yang perlu kita hindarkan bersama, agar kita tidak kembali terjerumus
dalam perbuatan maksiat dan dosa. Dan alangkah baiknya jika sesama muslim kita saling ingat
mengingatkan, agar tercipta kehidupan yang diridhai oleh Allah SWT.

Penutup

Inilah sekelumit hal yang berkaitan dengan Iedul Fitri. Marilah kita mencoba mengamalkannya
sesuai dengan tuntunan sunnah, dan menjauhi dari hal-hal yang dilarang oleh Allah SWT. Agar
makna fitri tersebut benar-benar lekat dengan diri kita. Dan jangan sampai justru ketika Iedul
Fitri, menjadi “ajang” kemaksiatan bagi kita, setelah sekian lama dibersihkan dengan amal
ibadah di bulan Ramadhan. Sehingga peningkatan demi peningkatan akan terealisasikan dalam
diri kita, dan kita benar-benar menjadi insan yang bertakwa. Semoga Allah SWT menerima
seluruh amalan kita, dan Selamat Hari Raya Idul Fitri 1428 H:

‫ل ِمّنا َوِمْنُكْم‬
ُ ‫ َوَتَقّبلَ ا‬،‫ن‬
َ ‫ن اْلَفاِئِزْي‬
َ ‫ن اْلَعاِئِدْي‬
َ ‫ل َوِإّياُكْم ِم‬
ُ ‫جَعَلَنا ا‬
َ

Semoga Allah SWT menjadikan kita semua sebagai hamba-hamba-Nya yang kembali (kepada
fitrah) dan sebagai hamba-hamba-Nya yang menang (melawan hawa nafsu). Dan semoga Allah
SWT menerima seluruh amal ibadah kita semua.

Khutbah Idul Fitri 1429 H: Kembali Ke Fitrah: Titik Tolak Menuju Masyarakat Madani

‫السلم عليكم ورحمة ال وبركاته‬

‫ الحمد ل الذي أرسل رسوله بالهدى ودين الحق ليظهره علممى‬. ، ‫ ال أكبر ول الحمد‬، ‫مرات( ل إله إل ال وال أكبر‬9) ‫ال أكبر‬
، ‫ ونصح المممة‬، ‫ أدى المانة وبلغ الرسالة‬، ‫ وأشهد أن محمدا عبده ورسوله‬، ‫ أشهد أنى إله إل ال وحده ل شريك له‬، ‫الدين كله‬
‫ اللهم صل على محمد وعلى آله‬، ‫ ليها كنهارها ل يزيغ عنها إل هالك‬، ‫ وتركنا على المحجو البيضاء‬، ‫وجاهد في ال حق جهاده‬
‫ } َياَأّيَهمما‬: ‫ قمال تعمالى‬.‫ أصيكم وإياي بتقوى ال وطاعته في كل وقمت لعلكمم تفلحممون‬،‫ فيا أيها المسلمون‬، ‫وصحبه أجمعين وبعد‬
102 ‫ آل عمران‬.{‫سِلُمون‬ ْ ‫ل َوَأْنُتْم ُم‬
ّ ‫ن ِإ‬
ّ ‫ل َتُموُت‬
َ ‫ق ُتَقاِتِه َو‬
ّ‫ح‬
َ ‫ل‬
َّ ‫ن َءاَمُنوا اّتُقوا ا‬
َ ‫اّلِذي‬.

Dari Ramadhan Menuju Titik Fitrah

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, walillahil hamd…

Saudaraku Kaum Muslimin rahimakumullah…


Tidak ada perpisahan yang lebih mengharukan dari pada perpisahan dengan Ramadhan.
Ramadhan adalah bulan yang penuh berkah. Di dalamnya kita semua dihantarkan secara
perlahan menuju titik fitrah. Titik penciptaan kita yang bersih dan suci. Kata fitrah di ambil dari
kata fathara yafthuru artinya menciptakan. Allah Sang Pencipta tidak pernah bermaksud buruk
ketika pertama kali menciptakan manusia. Karena itu tidak mungkin manusia mencapai
kesempurnaan dirinya tanpa kembali ke titik asal diciptakannya. Itulah titik di mana manusia
benar-benar menjadi manusia. Bukan manusia yang penuh lumuran dosa dan kekejaman. Bukan
manusia yang dipenuhi gelimang kemaksiatan dan kedzaliman.

Allah swt. menurunkan Al Qur’an untuk menjadi pedoman agar manusia tetap komitmen dengan
kemanusiaannya. Yaitu manusia yang saling mencintai karena Allah, saling memperbaiki
menuju keimanan sejati, saling tolong menolong menuju peradaban yang kokoh, saling
membantu dalam kebaikan bukan saling membantu dalam dosa dan kemungkaran. Allah
mengutus nabi-nabi sepanjang sejarah sebagai contoh terbaik bagaimana menjalankan kewajiban
kepadaNya. Tidak ada keselamatan kecuali ikut jejak para Nabi. Dan tidak ada keberkahan
kecuali bersungguh-sungguh menjalankan ibadah seperti yang para Nabi ajarkan. Itulah tuntunan
fitrah. Bahwa setiap manusia tidak akan bisa kembali ke titik fitrahnya tanpa mengikuti ajaran
yang disampaikan para Nabi.

Nabi Allah yang terakhir adalah Nabi Muhammad saw. Dialah penutup nabi-nabi dan rasul-rasul
(khaatamun nabiyyiin). Dengan demikian semua tuntunan yang dibawanya pasti seirama dengan
fitrah manusia. Maka dengan ikut Nabi Muhammad secara utuh kita akan menjadi manusia yang
kembali ke fitrah. Karena itu setiap memasuki bulan Ramadhan kita harus berbicara mengenai
bagaimana Nabi Muhammad saw. menjalani ibadahnya selama Ramadhan. Sebab hanya dengan
ikut jejaknya kita bisa mencapai hakikat Ramadhan secara mendalam dan sempurna. Rasulullah
saw. pernah menegaskan bahwa berapa banyak orang yang berpuasa Ramadhan, tetapi tidak
mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali hanya lapar dan haus. Artinya bahwa ia dengan
Ramadhan tidak bisa kembali ke fitrahnya, padahal semua rangkaian ibadah Ramadhan adalah
tangga kembali menuju fitrah. Mengapa?

Mengapa semua ibadah itu tidak mengantarkan mereka ke titik fitrah? Di manakah letak
salahnya? Jawabanya tentu pada manusianya. Sebab ternyata masih banyak orang yang masuk
Ramadhan tidak maksimal menjalankan ibadah-ibadah yang Allah dan rasulNya ajarkan. Banyak
orang masuk Ramadhan sekedar dengan semangat ritual saja, sementara hakikat keilmuan yang
harus dijadikan bekal selama Ramadhan diabaikan. Banyak orang masuk Ramadhan semata
menahan lapar dan haus di siang hari, sementara di malam hari mereka kembali ke dosa-dosa.
Banyak orang masuk Ramadhan bukan untuk meningkatkan ibadah dan keimanan, melainkan
untuk meningkatkan omset-omset maksiat. Pun banyak orang masuk Ramadhan dengan
semangat di awal-awal saja, sementara di akhir-akhir Ramadhan di mana Rasulullah beri’tikaf
dan memburu malam lailatul qadar, malah ia sibuk dengan permainan-permainan. Bahkan yang
sangat menyedihkan adalah bahwa banyak orang yang hanya semangat beribadah di bulan
Ramadhan saja, bagitu Ramadhan pergi, semua ibadah itu lenyap seketika dari permukaan.
Masjid-masjid yang tadinya ramai dengan shalat malam dan shalat berjamaah, setelah
Ramadhan, kembali kosong dan sepi.

Jangan Berbuat Seperti Wanita Pemintal Benang

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, walillahil hamd…

Saudaraku Kaum Muslimin rahimakumullah…

Tidak ada ajaran bahwa kita wajib mentaati Allah dan rasulNya hanya di bulan Ramadhan saja,
setelah itu kita kembali berbuat dosa. Ramadhan sebagai titik tolak kembali ke fitrah sejati.
Bahwa dari Ramadhan kita bangun komitmen ketaatan seumur hidup seperti ketaatan selama
Ramadhan. Dalam surah An Nahl 92, Allah berfirman:

‫ن َبْعِد ُقّوٍة َأْنَكاًثا‬


ْ ‫غْزَلَها ِم‬
َ ‫ت‬
ْ ‫ض‬
َ ‫ل َتُكوُنوا َكاّلِتي َنَق‬
َ ‫َو‬
“Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah
dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali”.

Ini sebuah pelajaran yang sangat mahal. Allah merekam kisah seorang wanita yang hidupnya sia-
sia. Dari pagi sampai sore ia hanya memintal benang. Sore hari ketika pintalan itu selesai, ia
cerai-beraikan kembali. Perhatikan! Allah melarang agar akhlak wanita tersebut tidak terulang
kembali. Bahwa perbuatan sia-sia adalah kerugian yang nyata. Karena itu Nabi saw. selalu
mengingatkan agar kita selalu istiqaamah. Ketika salah seorang sahabatnya minta nasihat yang
bisa dijadikan pegangan seumur hidupnya, Nabi menjawab: qul aamantu billahi tsummastaqim
(katakan aku beriman kepada Allah dan beristiqamahlah).

Dalam hadist lain Nabi saw. juga sering mengingatkan sahabat-sahabatnya: laa takun mitsla
fulaan, kaana yaquumullaili tsumma taraka (jangalah kamu menjadi seperti fulan, tadinya ia
selalu bangun malam, tapi sayang ia kemudian meninggalkannya). Demikianlah, setiap tahun
kita menjalani ibadah Ramadhan dengan penuh semangat siang dan malam: siangnya kita
berpuasa, malamnya kita tegakkan shalat malam, tetapi benarkah nuansa ketaatan itu akan terus
bertahan seumur hidup kita? Atau ternyata itu hanya untuk Ramadhan? Berapa banyak orang
Islam yang selama Ramadhan rajin ke masjid, tetapi begitu Ramadhan habis, seakan tidak kenal
masjid lagi. Berapa banyak orang Islam yang selama Ramadhan rajin membaca Al Qur’an, tetapi
begitu Ramadhan selesai, Al Qur’an dilupakan begitu saja. Mirip dengan kisah wanita yang
Allah ceritakan di atas. Selama Ramadhan ketaatan dirangkai, begitu Ramadhan habis, semua
ketaatan yang indah itu dicerai beraikan kembali.

You might also like