You are on page 1of 5

Teguh Prayogo Sudarmanto.

“Perlunya Psot-Theory dalam Dunia yang ‘Sedang


Mencari’”. The writer can be reached by email on pengelana.kecil@gmail.com
Nama : Teguh Prayogo Sudarmanto
NPM : 0706291432
Bahan Sumber : Der Derian, James. 1996. “Post Theory: The Eternal Return of Ethics in
International Relations”. Dalam Michael W. Doyle dan G. John Ikenberry
(eds.). 1996. New Thinking in International Relations Theory. (Westview
Press, hlm. 54-74).
Tugas Review III Mata Kuliah Teori Hubungan Internasional II
Departemen Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
“Perlunya Post-Theory dalam Dunia yang „Sedang Mencari‟”
Memandang dunia dan apa yang terjadi di dalamnya adalah hal yang sulit. Mengapa
demikian? Apakah memang benar jika dikatakan bahwa dunia ini sulit untuk dipandang dan
ditelaah? Kalau memang benar dunia ini sulit untuk dipelajari, lantas, apakah yang membuat
dunia ini seperti itu?
Dalam artikelnya James Der Derian yang berjudul Post Theory: The Eternal Return of
Ethics in International Relations, pertanyaan-pertanyaan itu muncul. Der Derian banyak
membahas mengenai pendekatan paska-strukturalisme dalam artikelnya itu. Dia
mempertanyakan, mengapa manusia harus menyusahkan dan disusahkan oleh pendekatan
ini? Der Derian seolah terlihat menyodorkan pendekatan ini untuk menjawab pendekatan apa
yang cocok untuk digunakan dalam masa yang dinamakan oleh Lotard, Habermas, Derrida,
Foucault, dan Frankfutters lainnya (yang mengemukakan critical theory), termasuk French
Fries (yang banyak menyinggung paska-strukturalisme) sebagai masa paska-modern.
Der Derian sendiri lebih suka menyinggung masa itu sebagai late modernity atau daripada
postmodernism karena tiga alasan; (1) kata late modernity seolah lebih menggambarkan
keadaan historis dan kondisi sosial daripada postmodern yang dirasa amat berdekatan dengan
jawaban balik teoritis terhadap masa sebelumnya seperti modernism, (2) postmodern dirasa
memiliki arti lebih luas daripada yang dapat dibayangkan, (3) untuk menghindari
kepercayaan yang mengatakan bahwa yang terjadi sekarang ini (disebut sebagai late
modernity) merupakan campuran dari periode sejarah masa lampau-masa sekarang-dan masa
depan. Lebih lanjut, Der Derian mengemukakan definisi dari late modernity sebagai objective
reality changed to textuality (seperti yang dikemukakan oleh Dan Quayle yang mengutip dari
Tom Clancy dalam To Defend anti-Satellite Weapons) yang dapat digambarkan dalam
keadaan berubahnya modes of production to modes of information, blurring of representation
to simulation, dan dunia yang merupakan the empire of signs dari jelmaan imperialisme.
Kembali ke pertanyaan awal, mengapa manusia harus bother and be bothered by this
approach? Der Derian mengemukakan alasannya berdasarkan bangunan dari kritik-kritik

1
Teguh Prayogo Sudarmanto. “Perlunya Psot-Theory dalam Dunia yang ‘Sedang
Mencari’”. The writer can be reached by email on pengelana.kecil@gmail.com
yang menyerang pendekatan ini untuk menunjukkan sikap kehati-hatiannya dalam
mendefinisikan pendekatan ini. (1) Paska-strukturalisme dikritik sebagai pendekatan
antiempiris. Nampaknya Der Derian tidak mau menganggapnya demikian karena pendekatan
ini berbeda dengan pendekatan rasionalis (sebagai salah satu contoh pendekatan empiris)
dimana dia merasa walaupun pendekatan ini memiliki cara pandang yang berbeda dari
rasionalisme dengan mencerminkan kenyataan melalui penggunaan analisis intelektual, tetapi
bukan berarti pendekatan ini tidak empiris. (2) Paska-strukturalisme dianggap tidak bermoral.
Der Derian membantahnya dengan mengemukakan dasar dari moral melalui beberapa
pertanyaan dasar, “apa moral itu? siapa penganutnya? bagaimana sesuatu dapat dikatakan
bermoral?”. Paska-strukturalisme lebih dari relativisme yang merupakan salah satu bagian
dari pendekatan ini melalui respon dari keinginan ber-metaphysics. Ada banyak bentuk dari
pendekatan ini seperti vulgar-Raskolnikov dimana relativitas diijinkan di seluruh bagian
kehidupan sampai refined relativism of Isaiah Berlin dimana relativitas dibatasi. (3) Beberapa
klaim menuduh paska-strukturalisme melakukan praktik mereduksi sisi linguistik hubungan
internasional melalui pemberian label all-is-permitted akibat adanya relativisme. Namun hal
ini dibantah Der Derian melalui pernyataannya tentang all-is-questionable dengan
memberikan ancaman bagi pemikiran yang tidak pernah digugat sebagai pernicious
recognition. Pendekatan ini menghargai setiap perbedaan selama selalu berproses melalui
metode all-is-questionable-nya. Dan (4) mengenai posisi bahasa dalam paska-strukturalisme
yang dirasa sangat tidak sederhana dan rumit. Der Derian menyangkalnya dengan
mengatakan bahwa kesederhanaan bahasa yang diilhami oleh pendekatan empiris disebabkan
adanya dominasi sebagai contoh dominasi realisme yang bergerak dari logika positivis
sampai rational choice. Wittgenstein bahkan menyatakan secara radikal, “everything that can
be put into words can be put clearly”, dimana setiap kata dalam bahasa merefleksikan setiap
fenomena sebagaimana ketidaksesuaian istilah kapitalisme yang kini mulai menyempit ke
arah politik ekonomi saja. Penggunaan bahasa dalam strukturalisme seumpamanya hanya
dilihat sebagai sebuah penanaman secara nirsadar seperti labelling dalam operasi biner tanpa
memperhatikan bahwa pengelolaan labelling adalah sesuatu yang berubah-ubah dan dinamis
yang menghasilkan kerumitan dalam bahasa paska-strukturalisme.
Ada tiga kerangka dasar dalam pendekatan paska-strukturalis yang disinggung Der Derian.
(1) Genealogy, yang dapat diartikan sebagai keperluan untuk memahami sesuatu dalam
hubungan internasional dengan memperhatikan latar belakangnya, melihat secara lebih luas,
dan menggali secara lebih dalam, bukan untuk mencari realitas yang hilang namun untuk

2
Teguh Prayogo Sudarmanto. “Perlunya Psot-Theory dalam Dunia yang ‘Sedang
Mencari’”. The writer can be reached by email on pengelana.kecil@gmail.com
mempertahankan validitas realitas tersebut sebagai dasar untuk berargumentasi. (2)
Semiology, sebagai sebuah proses yang dibutuhkan untuk menggambarkan late modernity
dimana ketika tatanan lama ambruk, tatanan baru belum terkonstitusi; terjadi proses tarik-
menarik yang menunjukkan kebutuhan akan kesalingtergantungan, kekuasaan yang
bercampur, pengertian, dan moral—yang menunjukkan sesuatu yang lebih bila dibandingkan
seumpamanya dengan strukturalisme—tentu saja dengan tidak bermaksud
mengantisintesiskannya dengannya—yang terlihat proses ini sulit dicapai karena kebutuhan
akan besarnya biaya yang harus dikeluarkan. (3) Dromology, dimana kebutuhan akan tools
yang mampu menyesuaikan diri terhadap perubahan yang sedemikian cepat dimana kita
sudah masuk ke jaman substitusi dengan masalah pada tempo bertahannya substitusi tersebut.
Der Derian memberikan arti penting untuk mengamati dunia late modern ini dengan lebih
baik. Penamaan late modern telah memberikan arti bahwa dunia bukanlah postmodern,
dimana dunia masih membutuhkan kerja yang lebih keras lagi untuk membawanya ke
postmodern. Menarik disimak, Der Derian bahkan juga mengeluarkan argumen pendekatan
baru bernama empirico-poststructuralism dengan cara berpikir pragmatisnya beserta
penggunaan etika untuk menentukan bagaimana dia hidup (ethical ways of being). Sesuai
pertanyaan awal di atas, mengapa manusia berusaha untuk memahami tingkah laku dunia?
Misalnya melalui kritikan-kritikan terhadap argumen-argumen yang telah lama muncul jauh
sebelum pendekatan paska-strukturalis muncul. Der Derian menyinggung adanya persamaan
sebagai contoh dalam perdebatan pemikiran Nietzche dan Nicolson mengenai pengulangan
kesalahan (yang ditutupi dengan kebenaran sementara) dalam rangka memahami nature dari
manusia. Ini semua, menurutnya, dalam rangka mewujudkan hubungan internasional ke arah
yang lebih baik, „greatest weight of international relations‟.
Ben Agger dalam artikelnya1 menunjukkan bahwa pemikiran post-theory seperti critical
theory, poststructuralism, dan bahkan postmodernism memiliki kesesuaian dalam
kemampuannya menjelaskan fenomenal di masa sekarang ini. Tengoklah critical theory
dimana pendekatan ini mampu mengkritisi mengapa pendekatan Marxis tidak mampu
dijalankan sebagaimana mestinya.2 Pemikir Sekolah Frankfurt seperti Georg Lukacs
menganalisisnya dengan menghubungkan ekonomi dengan budaya dan ideologi. Walaupun
terlihat seperti positivis (strukturalisme), namun Lukacs telah menggunakan pendekatan post-
theory melalui kesadaran akan adanya hal yang selalu bersifat dinamis untuk terus
mengkritisi apa yang terjadi dalam suatu fenomena dengan memasukkan unsur budaya dan
ideologi yang menjelaskan bahwa ternyata ada sesuatu yang bergerak di luar rasional yang

3
Teguh Prayogo Sudarmanto. “Perlunya Psot-Theory dalam Dunia yang ‘Sedang
Mencari’”. The writer can be reached by email on pengelana.kecil@gmail.com
selama ini berlaku yang memberikan penafsiran statis untuk berpikir rasional berdasarkan
ketentuan yang selama ini tercipta dan dibiasakan.3 Sama halnya dengan poststructuralism
dimana melalui cara berpikirnya yang bersifat dekonstruk akan menghasilkan proses
pendefinisian baru yang senantiasa berubah.4 Lebih luas daripada itu, postmodernisme adalah
pendekatan yang melihat dunia secara pluralis, liberalis, namun tidak radikal. 5 Dunia
dipandang secara kultural dan historis dengan adanya perbedaan yang amat dihargai termasuk
penolakan terhadap representasi karena tidak mencerminkan adanya perbedaan yang
sebenarnya.6 Postmodernism lebih diarahkan untuk menggambarkan keadaan yang ada
seperti dunia yang dekonstruktif (yang ditelusuri secara permukaan bahwa dunia paska-
modern adalah seperti ini, atau seperti itu) sementara itu poststructuralism lebih diarahkan
untuk level pengetahuannya (yang ditelusuri secara mendalam mengenai bagaimana dunia
paska-modern terbentuk).7
Penulis menemukan tantangan dari pemikiran post-theory ini. Salah satunya ditulis oleh
Michael Dear.8 Tampaknya Dear berusaha untuk mengkritisi postmodern dengan
memberikan pertanyaan berupa pentingnya memahami masyarakat tidak hanya dari sisi
waktu (sejarah) yang selama ini banyak disinggung pendekatan ini, namun juga memikirkan
sisi tempat (geografi) karena ternyata tempat memiliki signifikansi yang besar yang secara
dialektik terus-menerus membentuk sistem sosial dalam masyarakat.9 Ini menjadi tantangan
bagi postmodernism dan tentunya post-theory sendiri untuk lebih jauh mampu menerangkan
keadaan yang dimana kita bersama-sama sudah masuk ke dalam (berproses) postmodern.10
Penulis sangat sependapat dengan apa-apa yang telah dibahas dalam review ini mengenai
pentingnya penggunaan post-theory sebagai cara yang lebih baik dalam memandang
bagaimana dunia ini bekerja. Sesuai yang dikatakan oleh Der Derian bahwa dunia ini
membutuhkan etika (moral) dalam berproses yang dapat dijumpai dalam bentuk dekonstruk-
nya Derrida yang menandakan adanya proses pengawasan dan penghindaran terhadap
pernicious recognition. Seperti yang digambarkan dalam beberapa artikel terdahulu Der
Derian seperti Surveillance, Simulation, and Speed, dunia memang sedang berada dalam
ketiga kondisi itu yang menandakan semakin dibutuhkannya pendekatan baru untuk
memandang dunia dengan cara yang lebih baik. Berbagai macam tanda seperti yang
disebutkan—akibat adanya perkembangan teknologi informasi dan transportasi—telah
memaksa manusia untuk menggunakan alam pikiran post-theory. Proses pengembalian etika
merupakan sebuah kebutuhan dan terus terjadi untuk mewujudkan dunia postmodern dalam

4
Teguh Prayogo Sudarmanto. “Perlunya Psot-Theory dalam Dunia yang ‘Sedang
Mencari’”. The writer can be reached by email on pengelana.kecil@gmail.com
semua kondisi, both waktu dan ruang. Kesulitan ini tentunya akan dicarikan solusinya, dan
tampaknya post-theory akan menjadi solusi itu karena sangat memahami nature dari manusia.

Daftar Referensi

1
Ben Agger, “Critical Theory, Poststructuralism, and Postmodernism: Their Sociological Relevance”, dalam
Annual Review of Sociology Vol. 17, (diunduh dari http://www.jstor.org/stable/2083337, 1991), hlm. 105-131.
2
Ibid., hlm. 107.
3
Ibid., hlm. 109-111.
4
Ibid., hlm. 112.
5
Ibid., hlm. 116.
6
Ibid., hlm. 117.
7
Ibid., hlm. 116.
8
Michael Dear, “The Postmodern Challenge: Reconstructing Human Geography”, dalam Transaction of the
Institue of British Geographies Vol. 13 No. 3, (Diunduh dari http://www.jstor.org/stable/622990, 1998), hlm.
262-274.
9
Ibid., hlm. 272.
10
Ibid.

You might also like