You are on page 1of 7

“The Actor Behind the Scene”

Sekelumit Cerita Romantisme Sejarah Pers Mahasiswa1

Hasan Bachtiar
Mantan Redaktur Majalah/Jurnal Mahasiswa UGM Balairung, 1998—2002

Di antara seluruh hiruk-pikuk perpolitikan mahasiswa Indonesia, di manakah dan


bagaimanakah sebenarnya pers mahasiswa (persma) berada, mengambil posisi, atau diposisikan,
sejak dulu hingga kini—dan bagaimana masa depannya? Benarkah persma senantiasa terlibat
(engaged in) dalam pembicaraan tentang masalah-masalah umum, bukan sekadar isu-isu pendidikan
di kampus atau apalagi cuma kegelisahan psikologis mahasiswa? Bukankah sudah banyak
disepakati bahwa persma selalu ingin tampil ke muka untuk mencoba menjawab tantangan
zamannya, tantangan bangsanya, dengan retorika dan visinya sendiri sebagai “kaum intelektual
muda”—yang idealis, tulus, dan “bebas kepentingan” kecuali “semata-mata membela rakyat”?
Berhasilkah persma menjadi “cagar alam kebebasan pers”?
Artikel ini ingin menjawab berondongan pertanyaan di atas melalui analisis sejarah
dinamika pertumbuhan dan perkembangan persma—di samping refleksi personal penulis sebagai
mantan pegiat persma. Meski begitu, segera harus diberi catatan singkat di sini bahwa, selama ini,
setidaknya sejak dua dekade lalu, pembicaraan tentang dinamika persma memang hanya menjadi
“narasi pinggiran”. Di ruang-ruang redaksi persma di semua kampus, topik ini memang
diperdebatkan sebagai, biasanya, materi pelatihan bagi para awak barunya saja. Lebih dari itu, tak
terjadi perkembangan isu yang cukup signifikan, misalnya melalui penelitian yang mendalam
tentang persma ataulah sekadar polemik artikel di media umum—untuk yang terakhir, kadangkala
terjadi namun gaungnya tak berbekas. Maka, penulis berharap, melalui artikel ini, akan muncul
kajian-kajian lain yang lebih serius dan komprehensif tentang “dunia kecil” persma—suatu dunia
yang, terus terang, penulis kesani amat “mengasyikkan”!

Puja-Puji, Haru-Biru
Dalam mengulas dinamika sejarah persma Indonesia, mesti segera ditandaskan di sini
sebuah hipotesis awal: sejarah persma adalah rajutan kisah-kisah romantis, yang amat mempesona!
Selama bertahun-tahun, sejarah persma dibebani romantisme dan mitologisasi akan “kebesaran-
kebesarannya”. Persma kerap dianggap sebagai produsen “orang-orang besar”, “kesuksesan-
kesuksesan gemilang”, dan “lantas peran-peran kesejarahan penting”. Hipotesis ini jelas sekali dari
serentetan “puja-puji” yang mengharu-biru untuk persma berikut ini.
Nugroho Notosusanto, mantan aktivis persma 1950-an yang kemudian menjadi Menteri
Pendidikan Nasional pada awal Orde Baru, pernah menulis: “Di negeri-negeri yang sudah ‘tua’,
yang tidak lagi under-developed, persma sungguh-sungguh merupakan community paper daripada
masyarakat mahasiswa. Ia tidak ambil bagian akan persoalan-persoalan nasional, atau paling tidak:
ia tidak perlu pusing. Tapi di Indonesia, dan juga negeri-negeri lain yang baru lahir (new-born
countries), di mana jumlah kaum inteligensia sangat minim, keadaannya adalah lain. Kaum
inteligensia, sejak ia masih menuntut ilmu, sudah dituntut sumbangan pikiran dan kepandaiannya,
pengetahuannya dan pertimbangannya.”2
Wartawan senior Jacob Oetama, pendiri dan Pemimpin Umum Kompas, juga menandaskan:
“Saya bisa mengerti mengapa koran kampus di negeri kita cenderung mempersoalkan masalah-
masalah umum. Itulah tradisi mahasiswa Indonesia sejak zaman pergerakan. Bahkan di zaman

1
Disiarkan dalam Jurnal Tradem, Edisi V, April 2003 (Yogyakarta: Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia [PMII]
Cabang Sleman).
2
Nugroho Notosusanto, “Peranan Pers Mahasiswa dalam Pembinaan Bangsa”, dalam buku Pers Mahasiswa Indonesia
(Jakarta: SPMI, 1958), hlm. 6—7, dikutip dari Amir Effendi Siregar, Pers Mahasiswa Indonesia: Patah Tumbuh Hilang
Berganti (Jakarta: Karya Unipress, 1983), hlm. 2—3.

Page 1 of 7
pergerakan tempo hari, di sini maupun di Nederland, penerbitan mahasiswa seperti sempat menjadi
bentara kebangkitan nasional yang amat bermutu dan berpengaruh!”3
Wartawan senior Rosihan Anwar pun tak urung ikut menambahi: “Keberanian persma ini
kemudian ‘menulari’ pers nasional yang masih berhati-hati sehingga menjadi berani pula [...]
sehingga dapat dikatakan kiranya bahwa salah satu sumbangan dari pihak persma kepada pihak pers
nasional pada suatu kurun zaman perjuangan bangsa kita ialah suntikan keberanian.”4
Dan, seorang pakar komunikasi, Astrid Susanto, juga ikut-ikutan berkomentar: “Di dalam
negara berkembang, walaupun traditional communication masih merupakan sumber informasi dan
sumber pengaruh yang terbesar, terasa juga bahwa media massa dalam hal ini juga pers mahasiswa
mempunyai peran penting dalam modernisasi, dalam kelancaran komunikasi antara pemerintah dan
masyarakat.”5
Terakhir, bertambah lengkaplah sudah jika rentetan “puja-puji” untuk persma ini penulis
tambahi dengan komentar Howard E. Wilson: “The college newspaper staff is one of the most active
groups on most campuses, and its work has considerable value for informal campus education
about affairs. Its staff ordinarily attracks able students; it is commonly the most widely and
consistently read newspaper on the campus. The newspaper can alert students to facets of world
affairs and add substatially to their sensitivities and understandings in this area.”6

Episode-Episode Romantis7
Apakah semua puja-puji itu memang tepat untuk persma? Tampaknya, penulis menilai,
untuk sebagian itu semua benar. Mari kita simak perjalanan persma berikut (lihat Matriks 1).

Matriks 1: Dinamika Sejarah Pers Mahasiswa Indonesia8


Zaman Masa Tahun Latar Sosial Karakter Persma
Pra- Kolonialisme-Imperialisme
Merdeka Belanda 1914—1941 Eksploitasi alam, penindasan manusia, Sarana penyebaran ide-ide
politik-etis, kebangkitan pergerakan Nasionalisme, pembaruan, dan
nasional; kekerasan Barat terhadap kemerdekaan; cikal-bakal pers
Timur nasional, manajemen amatir
Jepang 1941—1945 Eksploitasi alam, penindasan manusia; Brosur stensilan propagandis
superioritas “Saudara Tua”
Merdeka Orde Lama-Soekarno
Demokrasi 1945—1959 Eksperimentasi demokrasi-liberal Barat; Pers komunitas mulai
Liberal sirkulasi kabinet dan labilitas politik menjamur, sarana penyebaran
ide Modernisme; dinamisator
pers nasional; perintisan
koalisi persma nasional
(IWMI, SPMI)
Demokrasi 1959—1966 Eksperimentasi demokrasi-terpimpin Dinamisator utama pers

3
Jacob Oetama, “Pers Kampus dan Pers Umum”, makalah pada Panel Diskusi “Pers Mahasiswa: Peranan dan
Dilemanya”, HUT I Surat Kabar Salemba, Universitas Indonesia, Januari 1977, dikutip dari Siregar (1983), op. cit.,
hlm. 2—3.
4
Rosihan Anwar, “Sumbangan Pers Mahasiswa bagi Pers Nasional”, ceramah pada Kongres IV & Pertemuan Ilmiah
IPMI, Medan, 1976, dikutip dari Siregar (1983), ibid.
5
Astrid Susanto Komunikasi dalam Teori dan Praktik (Bandung: Binacipta, 1974), hlm. 426, dikutip dari Siregar
(1983), ibid.
6
Howard E, Wilson, American College Life as Education in World Outlook (Washington, DC: American Council on
Education, 1956), hlm. 127, dikutip dari Prisma, No. 12/Desember 1977, hlm. 79.
7
Bagian ini sepenuhnya menyalin ulang, namun dengan sedikit revisi, artikel penulis, “Bekerja dengan Detail:
Mengapa Jurnal Balairung?”, dalam Jurnal Mahasiswa UGM Balairung, Edisi 34/Tahun XVI/2001, hlm. 177—179.
8
Dalam menarasikan sejarah persma, referensi yang penulis rujuk di sini antara lain: Samawi dkk., Garis Besar
Perkembangan Pers Indonesia (Jakarta: SPS Pusat, 1971); Siregar (1983), loc. cit.; Francois Raillon, Politik dan
Ideologi Mahasiswa Indonesia: Pembentukan dan Konsolidasi Orde Baru 1966—1974 (Jakarta: LP3ES, 1985); Ana
Nadhya Abrar, Pers Mahasiswa dan Permasalahan Operasionalisasinya (Yogyakarta: Liberty, 1992); dan Didik
Supriyanto, Perlawanan Pers Mahasiswa: Protes Sepanjang NKK/BKK (Jakarta: Yayasan Sinyal dan Pustaka Sinar
Harapan, 1998).

Page 2 of 7
Zaman Masa Tahun Latar Sosial Karakter Persma
Terpimpin Soekarnoian, konfrontasi kaum komunis nasional; secara ideologis
vs. humanis-liberalis; aksi-konspiratif partisan; muncul IPMI
awal militer (metamorfosis IWMI/SPMI)
Orde Baru-Soeharto
Konsolidasi 1966—1974 Rezim baru naik (berkudeta?), militer Mendukung rezim yang
Rezim I berkuasa; tes soliditas rezim (bentrokan membuka harapan baru,
Malari) sekaligus tetap kritis; oplah
bagus, terus naik
Konsolidasi 1974—1978 Otoritarianisme dimulai, stabilisasi Pembredelan pertama persma,
Rezim II politik dan keamanan sebagai ideologi semua tiarap
demi pembangunanisme-modernis-
industrialis
Korporatisme 1978—1990 Kekuasaan otoritarianisme-birokratis- Kembali ke kampus,
(NKK/BKK) korporatis, implementasi menggedor-gedor
pembangunanisme; depolitisasi kampus, otoritarianisme kekuasaan;
diaspora klub-klub studi penyebaran kian merata di
setiap kampus, kualitas
meningkat seiring inovasi
teknologi
Pembusukan 1990—1998 Akumulasi penderitaan sosial, gejolak Kian lantang protes, tuntutan
Rezim ekonomi, massifikasi protes, anarkisme; reformasi total; media kampus
diaspora gerakan politik mahasiswa kontinu dan temporer, sangat
(state-centric, civil society, kebanyakan leftist
leftist); fragmentasi kekuasaan, militer
gagal; ledakan kebebasan pers
Orde Reformasi
Rezim 1998—1999 Redefinisi dan reformasi kenegaraan Status-quo (disorientasi?) atau
Habibie dan kebangsaan transformasi: pers komunitas
Rezim 1999—2001 dan wacana.
Abdurrahman
Wahid
Rezim 2001—...
Megawati
Catatan: bahan diolah dari Samawi dkk. (1971), Siregar (1983), Raillon (1985), Abrar (1982), dan
Supriyanto (1998). Matriks ini, tidak penulis pungkiri, bersifat bias state-centric-power.

Pada zaman prakemerdekaan Indonesia (1914—1945), tatkala kolonialisme-imperialisme


masih menancap kokoh di sini, persma menjadi sarana penyebaran ide-ide Nasionalisme,
pembaruan, dan kemerdekaan. Propaganda-propaganda dicetak stensilan oleh kaum terpelajar
pribumi. Selain Jong Java (1914), misalnya, yang diterbitkan di dalam negeri, para mahasiswa
Indonesia di Belanda menerbitkan Indonesia Merdeka (1924),9 sedangkan para mahasiswa
Indonesia di Mesir menerbitkan Oesaha Pemoeda (1930). Para pemuda-pelajar yang tergabung
dalam ikatan-ikatan nasional dan lokal masing-masing juga menerbitkan media. Contohnya, Ikatan
Peladjar Indonesia (IPI) Tjabang Blitar menerbitkan Obor, IPI Solo menerbitkan Soeara Moeda,
dll. Kesemuanya dikelola secara swadaya dan nonkomersial.10
Setelah Indonesa merdeka, dan untuk pertama kalinya secara leluasa sistem politik
Demokrasi Liberal diujicobakan (1945—1949), persma merupakan sarana penyebaran ide
modernisme yang amat ampuh. Karena kran kebebasan dibuka lebar-lebar, koran-koran komunitas
menjamur, hidup di kampus-kampus, menyemarakkan gelora baru kebangkitan pribumi—kaum
terjajah. Di samping itu, pers yang diterbitkan oleh kelompok-kelompok pemuda-pelajar yang
berafiliasi pada kekuatan politik, dan karenanya partisan, berjumlah lumayan banyak. Pada zaman
inilah, zaman merdeka, lahir persma generasi pertama. Bahkan, dua lembaga koalisi nasional

9
Cerita tentang Indonesia Merdeka, tampaknya, adalah yang paling “memikat”. Dengan bahan-bahan hampir semua
edisi Indonesia Merdeka-lah Mohammad Hatta menulis pleidoinya di hadapan Pengadilan Den Haag, 9 Maret 1928.
Lihat Mohammad Hatta, Indonesia Merdeka (Jakarta: Bulan Bintang, 1976).
10
Samawi dkk. (1971), hlm. 91—105.

Page 3 of 7
persma pun berdiri: Ikatan Wartawan Mahasiswa Indonesia (IWMI) dan Serikat Pers Mahasiswa
Indonesia (SPMI)—sempat pula dirintis jaringan persma internasional.
Namun, sayangnya, sejenak saja situasi semarak ini berlangsung ketika kemudian kran
kebebasan itu disumbat lagi dengan “selingan” Demokrasi Terpimpin (1959—1966). Faksi komunis
berseteru dengan kaum humanis-liberal, dan militer memulai aksi konspirasi untuk mempersiapkan
suatu gerakan pengambilalihan kekuasaan dalam situasi darurat nanti, yaitu tragedi 1965.
kemerdekaan berpikir dan berpendapat melalui pers menjadi mahal! Meski demikian, gairah persma
di kampus-kampus tak pernah surut. Sejumlah nama generasi kedua persma pada masa ini hingga
awal Orde Baru, yang sempat mencatat prestasi gemilang, ialah Salemba (UI), Kampus (ITB),
Harian KAMI (Jakarta), dan Mahasiswa Indonesia (Bandung).11 Sementara itu, pers-pers yang
diterbitkan golongan pemuda-pelajar dari aliran-aliran politik malahan menyurut.
Dan benarlah kemudian, rezim militer sebagai penguasa Orde Baru, setelah aksi “kudeta”-
nya sukses, segera melakukan konsolidasi kekuasaan tahap pertama (1966—1974). Ruang publik
dibebaskan lagi, kritik kekuasaan tak dilarang. Secara kuantitatif, oplah persma memimpin sirkulasi
pers nasional. Namun, situasi ini pun tak langgeng. Rezim yang despot selalu merasa perlu menguji
soliditasnya: pecahlah tragedi Malari, yang berakibat hampir semua persma “tiarap”. Maka, mulai
saat inilah operasi besar stabilisasi politik dan keamanan digencarkan dalam rangka konsolidasi
kekuasaan tahap kedua (1974—1978). Program raksasa pembangunan(isme)-modern-industrial
mulai dilaksanakan, di bawah payung demokrasi Pancasila.
Mencatat momen-momen ini, Daniel Dhakidae pernah menulis suatu ulasan yang menarik
tentang etos jurnalisme persma. Katanya, persma menganut asas “jurnalisme menantang kekuasaan”
(advisory journalism), “sarat opini ketimbang fakta” (journal of opinion), dan orientasinya terpusat
pada politik-negara (political state-oriented). Watak kekuasaan yang tak mempan dikritik, namun
juga tak secara reaktif-frontal memberangus persma, membuat “[...] suara keras dan keberangan
persma adalah suara yang melengking di padang gurun [...] kebebasannya tak lebih dari kebebasan
di dalam sebuah cagar alam [...] yang sayang kalau dibuang karena dia enak untuk ditonton!”12
Kemudian, selama lebih dari satu dekade (1978—1990), rezim Orde Baru—dengan pilar-
pilar penopang birokrasi Golkar, tentara, konglemerasi, dan teknokrasi—pelan-pelan menampakkan
wajah korporatisnya. Kehidupan politik diresturkturisasi atau “dirampingkan”, negara menjadi kian
represif, dan kampus didepolitisasi melalui kebijakan NKK/BKK untuk menggencarkan
pembangunan. Menyikapi kebuntuan-kebuntuan baru dan gencetan demi gencetan zaman yang kian
runyam ini, rupanya, mahasiswa tak lelah bersiasat. Mahasiswa mendirikan klub-klub studi, dalam
mana pemikiran-pemikiran besar dunia dibongkar. Pada masa ini, tumbuhlah suatu generasi baru
persma untuk menggantikan yang lama yang sudah patah dan hilang. Generasi ketiga persma ini
menjadi corong bagi suara-suara baru hasil godokan klub-klub studi. Meski sayup-sayup suaranya,
persma tetap menggedor-gedor kekuasaan sebagai “pers alternatif”. Secara kuantitas, jumlahnya
juga terus meningkat—meski tak “segemilang” era 1960-an. Hampir di semua kampus, fakultas,
hingga jurusan diterbitkan persma. Secara kualitas pun, tampilan persma membaik akibat
perkembangan dalam teknologi pencetakan, yang juga menjadi gejala industrialisasi pers Indonesia
secara umum.13
Menginjak dekade terakhir abad XX (1990—1998), rezim Orde Baru mengalami
“pembusukan internal” yang dahsyat. Gerakan mahasiswa berdiaspora, baik yang politis maupun
kultural, dan hampir semuanya bercorak leftist. Akumulasi penderitaan sosial akibat mismanajemen
negara menimbulkan massifikasi protes. Tak urung, genderang Reformasi pun mulai ditabuh,
hingga menyebar rata ke seluruh kampus di seluruh penjuru Indonesia. Puncaknya, 21 Mei 1998,
11
Untuk kajian yang komprehensif tentang Mahasiswa Indonesia, baca Raillon (1985). Meski begitu, penulis tak mau
terburu-buru untuk menggolongkannya sebagai persma.
12
Dhakidae membuat riset kecil terhadap Gelora Mahasiswa (UGM, Derap Mahasiswa (IKIP Yogyakarta), dan
Salemba (UI). Periksa laporannya dalam Daniel Dhakidae, “Penerbitan Kampus: Cagar Alam Kebebasan Pers”, dalam
Prisma, No. 10/Oktober 1977, hlm. 62—73.
13
Untuk ulasan tentang perkembangan persma masa NKK/BKK, lihat Supriyanto (1998), op. cit. Di samping itu, David
T. Hill, ahli komunikasi dari Universitas Murdoch, Australia, menyinggung sedikit sejarah persma hingga Orde Baru.
Lihat David T. Hill, The Press in New Order Indonesia (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994), hlm. 114—118.

Page 4 of 7
Soeharto, Bapak Pembangunan, turun dari kursi presiden, yang telah didudukinya selama 30 tahun
lebih, dan meninggalkan Binagraha. Inilah simbol kemenangan gerakan Reformasi yang digalang
mahasiswa. Lantas, kran demokrasi pun ambrol, pers booming, dan situasi anarki tak terelakkan.
Dalam gelombang besar Reformasi itu, persma mem-back-up gerakan mahasiswa, terutama
dalam bentuk terbitan-terbitan temporer (biasa disebut media aksi) yang propagandis, juga
menyuplai selebaran-selebaran gelap untuk provokasi demonstrasi. Dari sini, tak salah jika Majalah
Time edisi 30 Maret 1998 menyebut persma sebagai the actor behind the scene (sang aktor di balik
layar).
Kemudian, ya, banyak orang menganggap “fajar Reformasi” sedang menyingsing. Segenap
tatanan kebangsaan dan kenegaraan sedang diredefinisi dan direformasi. Dan persma, setelah sekian
lama hanya berada di pojokan hiruk-pikuk sejarah, berhadapan dengan situasi mencekik:
disorientasi!

Pasca-21 Mei 1998


Kini, situasi termutakhir menunjukkan perkembangan persma yang kian majemuk. Menurut
basis institusional, ada persma yang diterbitkan dari dalam kampus, baik di tingkat universitas,
fakultas, maupun jurusan, dan luar kampus, terutama oleh kelompok-kelompok mahasiswa yang
berbasiskan aliran politik, agama, etnisitas/kedaerahan, dan minat topik/hobi. Menurut basis
tematis, masih banyak persma yang mengambil pilihan-pilihan isu general, namun yang spesialis
pun terus bertambah. Setidaknya, penulis mencoba membuat peta untuk mengerangkai pengamatan
tentang persma, sebagai berikut (lihat Matriks 2):

Matriks 2: Kategorisasi Pers Mahasiswa


Basis Institusional Basis Tematis Sekadar Contoh
Spesialis Generalis
Intra- Universitas + + Majalah Balairung, UGM
Universiter Fakultas + - Majalah Equilibrium, FE-
UGM
Jurusan + - Majalah Clapeyron, Jurusan
Teknik Sipil, FT-UGM
Unit Kegiatan Mahasiswa + - Buletin Aquarium,
non-Jurnalistik Mapagama-UGM
Ekstra- Aliran Politik - + Buletin Debu, Serikat
Universiter Pengamen Indonesia (PRD),
mahasiswa ISI
Agama + - Jurnal Tradem, PMII Sleman
Etnisitas/Kedaerahan + - Buletin Tabuh, ikatan
mahasiswa Medan di Jogja
Minat Topik/Hobi + - Jurnal Kajian Film Clea,
mahasiswa Komunikasi UGM
di Rumah Sinema
Catatan: dari segi format media, persma kini juga kian bervariasi: majalah (jumlah terbesar),
tabloid, newsletter/buletin, koran dinding, jurnal ilmiah, dan situs di internet.

Lantas, dengan perkembangannya yang kian jauh sekarang, bagaimanakah persma


menghadapi situasi pasca-21 Mei 1998, situasi transisi demokrasi sekarang? Tampaknya,
sebagaimana banyak pengalaman di negeri-negeri lain membuktikan situasi yang sama, transisi
demokrasi seibarat labirin baru bagi Indonesia. Selama pesta kemenangan Reformasi, ada
kegembiraan, kepuasan, harapan baru, atau pendek kata euforia, sekaligus juga seusainya pelan-
pelan mimpi-mimpi buruk ketidakpastian segera menyergap. Ada optimisme, namun segera
dikawani pesimisme yang tak karuan menghantui. Muncul orientasi baru, namun itu cuma akan bisa
digapai jika disorientasi kini dapat dipecahkan.
Page 5 of 7
Lantas, bagaimana persma menghadapi situasi barunya? Bagaimana persma mengevaluasi
dan mengolah sejarahnya, sekaligus patologi romantisme-narsis yang telanjur diidapnya, untuk
merumuskan dan menyiasati tantangan zaman berikutnya, dan memulai langkahnya sekarang?
Padahal, bukankah masih banyak paradoks yang ditanggung persma pula?14
Dalam kegalauan yang akut, yang menuntut segera ditemukannya jawaban yang visioner
dan strategis, Majalah Mahasiswa UGM Balairung pada 2 November 1998 menggelar Sarasehan
Persma se-Jawa-Bali dengan tajuk “Pers Mahasiswa Pasca-21 Mei 1998: Quo Vadis?”. Dalam
sarasehan tersebut, seorang pembicara, Didik Supriyanto, yang juga mantan awak Balairung,
mengajukan saran agar persma “kembali ke kampus”, menjadi community paper, yang memenuhi
kebutuhan pembaca basisnya di kampus.15 Persma, saat ini, realistisnya, tak bakal mampu bersaing
dengan pers umum untuk merebutkan publik pembaca umum. Selama Orde Baru dulu, memang,
persma menyandang predikat “pers alternatif” karena sajian-sajiannya yang kritis dan “menantang
kekuasaan”. Namun, kini, bukankah hampir semua media umum juga demikian? Maka, persma
mesti menyudahi “omong besar” tentang Demokrasi (dengan “D” besar) di aras negara: parlemen,
birokrasi, militer, HAM, dll. Sebaiknya, persma meng-cover demokrasi (dengan “d” kecil) di
kampusnya masing-masing: tentang laboratorium yang tak layak bagi mahasiswa, kekerasan
akademis yang kerap dilakukan dosen terhadap mahasiswa, dll.
Pilihan seperti ini, ternyata, telah mulai dijalankan oleh sejumlah persma. Di UGM sendiri,
sepengamatan penulis, Majalah Balairung menerbitkan buletin berita mingguan bernama Balkon,
selain juga Tabloid Mahasiswa Bulaksumur bertransformasi menjadi mingguan berita Bulaksumur
Pos. Keduanya, berdasarkan pengakuan para pengelolanya kepada penulis, terbukti berhasil hidup
cukup makmur dari hasil iklan lokal yang kontinu. Selain itu, sangat terasa bahwa keduanya telah
menemukan kembali publik pembaca basisnya. Majalah Sintesa, Fisipol UGM, menerbitkan
Indikator, buletin yang mengangkat isu-isu fakultasnya dan kadang kala universitas. Majalah
Ekspresi, UNY, menerbitkan buletin dwimingguan Ekspedisi, yang tak ingin membiarkan
kebijakan-kebijakan kampusnya terlewat tanpa kritik. Penulis rasa, demikianlah pula situasinya
yang melanda kampus-kampus lain.
Namun, apakah menjadi koran komunitas dirasa cukup oleh persma? Bukankah, seperti
disinggung Jacob Oetama di atas, sudah menjadi tradisi sejak zaman pramerdeka bahwa persma
banyak mengulas masalah-masalah umum? Bagaimana mesti memenuhi nafsu membahas masalah-
masalah umum di luar kampus, yang telanjur menjadi “penyakit” namun “enak dinikmati”?
Maka, diskusi masih harus dilanjutkan, dan perdebatan pun dibuka kembali. Salah satu usul
reorientasi itu adalah persma menjadi the press of discourse (pers wacana), dalam bentuk jurnal
ilmiah mahasiswa. Namun, segera pula pertanyaan harus diajukan untuk ini: mengapa jurnal?
Bukankah nasib jurnal-jurnal di negeri ini tak pernah memuaskan, kecuali barangkali Prisma—yang
toh, akhirnya, tewas juga pada tahun 1998? Pilihan persma menjadi jurnal ilmiah mahasiswa
memang lebih berat. Secara material, jurnal digarap dengan pendekatan ilmiah, bukan jurnalistik.
Dan, bukankah mahasiswa kita tak banyak yang kuat menulis serius, panjang, dan ketat secara
teoretis-metodologis? Siapa pula yang mau beriklan untuk jurnal, kecuali “belas kasihan” lembaga-
lembaga donor asing?
Tampaknya, pilihan ini masih harus diuji oleh waktu. Majalah Balairung bertransformasi
menjadi jurnal mahasiswa sejak dua tahun lalu, menampilkan artikel-artikel mahasiswa (S-1)

14
Sedikit saja bisa diulas di sini tentang paradoks-paradoks persma. Pertama, personalitas persma mengalami
keterbelahan (split), antara memenuhi tuntutan dunia gerakan politik mahasiswa ataukah dunia pers umum. Kedua,
persma telanjur menanggung romantisme yang teramat berat, sebagaimana sudah diulas di muka, suatu patologi yang
juga didera gerakan politik mahasiswa yang lantas meninabobokkannya. Dan ketiga, lilitan masalah-masalah internal-
manajerial yang tak pernah benar-benar bisa dijawab tuntas, yaitu bagaimana mengimplementasikan terma suci
“profesionalisme”. Penulis pernah membahas soal ini, lihat Hasan Bachtiar, “Pers Mahasiswa Pasca-21 Mei 1998:
Menuntaskan Romantisme Sejarah!”, makalah pada Sarasehan Nasional Pers Mahasiswa, 18—19 September 2000, di
Cibubur, Jakarta, diselenggarakan oleh Ditjen Dikti.
15
Lihat artikel Didik Supriyanto, “Reorientasi Pers Mahasiswa”, dalam Balairung, Edisi 29/Th. XIV/1998, hlm. 36—
38. Periksa pula artikel tanggapan seorang mantan awak Suara Mahasiswa UI, Bhayu Mahendra, “Pers Mahasiswa Era
Reformasi”, dalam Balairung, Edisi 30/Th. XIV/1999, hlm. 90—92.

Page 6 of 7
sepenuhnya, ditambah sejumlah survei dan polling. Bahkan, Balairung berambisi menjadi
“indikator pemikiran mahasiswa Indonesia termutakhir”, atau “Prisma-nya” mahasiswa.16 Majalah
Justisia IAIN Walisongo, Semarang, pun demikian—namun, sayangnya, penulis menilai Justisia
tidak menjadi jurnal mahasiswa sebab banyak dosen yang menjadi pengisinya. Lantas Jurnal
Basement dari Universitas Pasundan, Bandung, namun masih belum menjadi pilihan transformasi.
Di luar kampus, PMII Cabang Sleman menerbitkan Jurnal Tradem, yang terbukti cukup
berpengaruh khususnya di lingkungan PMII secara nasional, dan kalangan pergerakan politik
mahasiswa umumnya.
Namun, di luar kedua pilihan reorientasi dan transformasi itu, penulis melihat masih banyak
persma yang berada pada status quo. Tak terjadi transformasi, walaupun penulis yakin
reorientasinya banyak yang berubah. Entahlah, pembacaan historis, situasional, dan prospektif
masing-masing persma memang berbeda, dan karenanya semua pilihan masih belum final, masih
akan diuji oleh sejarah. Barangkali pula, kondisi dan pilihan demikian masih cukup relevan bagi
sebagian persma yang lain.
Walhasil, demikianlah cara persma membaca, mengevaluasi, dan lantas mengolah
sejarahnya untuk merumuskan masa depannya. Setiap zaman melahirkan generasinya sendiri, dan
setiap generasi menanggung masalahnya sendiri pula, yang unik, khas, dan seringkali diskontinu.
Generasi yang merdeka, menurut penulis, adalah generasi yang hanya mau dan mampu memaknai
zaman berikut tantangannya secara proporsional. Generasi seperti ini hanya dapat berpikir strategis
tentang tantangan zamannya jika, meminjam ungkapan Ignas Kleden,17 ia sadar bahwa
keberadaannya bukanlah sekadar sebagai “resipien kebudayaan”, namun lebih daripada itu justru
sebagai “agen kebudayaan”.ˆ

16
Untuk ini, lihat lagi Bachtiar (2001), loc. cit.
17
Lihat Ignas Kleden, “Berpikir Strategis tentang Kebudayaan”, dalam Prisma, No. 3, Maret 1987.

Page 7 of 7

You might also like