You are on page 1of 13

Strategi Kemanusiaaan

Peretas Terorisme

Oleh ANTONIUS GALIH PRASETYO

Pengantar: Pertautan Terorisme dengan Agama

Titik zenit yang dinujumkan Fukuyama bahwa—dalam bahasa hegelian—Roh telah


mencapai Kebenaran Mutlaknya dalam bentuk demokrasi liberal sehingga dengannya studi
sejarah boleh tutup buku telah terguncang dan semakin terasa irelevan sejak kejadian kolosal
pada awal abad ini (baca: 9/11).

Sejak kejadian itu frase religious terrorism terdengar semakin nyalang dan banyak penghuni
bumi mempersepsikannya sebagai musuh utama peradaban dan keamanan setelah bangkrutnya
komunisme. Yang membuatnya kontroversial adalah akar tunjang epistemologis dan
“teologisnya” yang semu dan dipaksakan secara unilinear.

Di tengah rasa malunya tatkala lambang supremasi emporium ekonomi Amerika runtuh dan
kebutuhan untuk sesegera mungkin menunjuk hidung, George W. Bush secara serta-merta
mengatakan bahwa serangan didukung oleh orang-orang Muslim dan didukung oleh “negara
Islam” sebelum dipastikan bahwa Osama bin laden dengan Al Qaeda-nya sebagai dalang
(Permata (ed), 2006: ix). Tak pelak, tesis yang mengaiteratkan Islam (radikal) dengan terorisme
tiba-tiba menjadi corak pemahaman yang paling mencolok seiring dengan kredo ”War on
Terrorism”. Posisi politiknya sebagai orang nomor satu di negara adikuasa juga turut membantu
amplifikasi persepsi itu.

Namun dalam perspektif sosiohistoris, tak juga dapat dinafikan bahwa “tanah Islam”
dipandang banyak kalangan sebagai tempat pengeraman terorisme berjubah agama. Pada
mulanya adalah Palestina. Sejak negara Israel didirikan tahun 1948 dengan cara menganeksasi
Palestina secara sepihak dengan dukungan Barat, umat Islam merasa pedih tiada terkira karena
konsep ummah memandang Islam sebagai satu kesatuan tubuh di mana luka di satu pihak akan
dirasakan oleh yang lain. Kemarahan atas peristiwa tersebut ditambah ingatan akan berbagai
peristiwa pahit dari pihak Barat terhadap negara Islam berakumulasi menjadi sebuah amarah.
Amarah yang dalam tesis self-fulfilling prophecy Sam Huntington siap disambut Barat dalam
benturan masif berskala peradaban (Huntington, 1996: 209-218).

Pada titimangsa itulah terasa benar pendapat bahwa manusia adalah animal symbolicum
(Cassirer, 1962). Palestina yang terletak di kawasan Timur Tengah dengan berbagai artefak suci
dan kisah historis yang kuat menyimbolkan Islam, sementara Israel yang merebutnya dengan
pendasaran cara pandang literal atas kitab sucinya yang memandang tanah Palestina sebagai
“Tanah Terjanji” yang menjadi haknya disertai dengan dukungan Barat juga dengan mudah
disimbolkan sebagai Yahudi dan Kristen. Dari pertautan antara simbol dengan realitas historis
inilah kemudian agama secara instrumental turut “dipanggil” dalam wacana terorisme—sebagai
motif, legitimasi, dan tujuan tindakan barbar.

Permainan simbol itu juga terasa pada pola khas terorisme berjubah agama, yaitu fenomena
suicidalisme sebagai alat perlawanan. Karena menggunakan terminologi agama, bunuh diri ini
berbeda dengan kasus klasik yang lebih bermotifkan nasionalisme, pembebasan, dan sentimen
etnik seperti Revolusi Belgia 1830, pilot kamikaze Jepang, orang Vietnam pada masa
pendudukan Perancis, atau Macan Tamil di Sri Lanka. Agama dapat memerankan diri sebagai
pemberi isi persuasi melalui makna hidup, nilai, simbol, atau penggal historis era profetik. Pada
akhirnya internalisasi persuasi tersebut mempu mengukir strukturasi tindakan karena
memancarkan semangat yang berasal dari awal pendirian agama, meyakinkan bahwa dirinya
berada dalam kontak dengan makna terdalam kehidupan (Tuhan), dan memberikan acuan kepada
tujuan akhir kehidupan yang dengannya tindakan (bunuh diri) dilegitimasikan (Haryatmoko,
Basis Edisi September-Oktober 2006).

Demikianlah yang menjelaskan mengapa kelompok paramiliter Basidji pada perang Iran-
Irak (1980-1988) menggunakan cara bunuh diri ini setelah diyakinkan para ulama Syiah Iran
bahwa kematiannya identik dengan perang melawan Bani Umayyah di Padang Karbala ketika
Hussein bin Ali mati dibunuh sehingga kematian mereka akan diganjar dengan status shahid-al-
shuhada (Munajat, “Melawan Teror Bunuh Diri”, Kompas, 25/8 2009). Sebuah analisis atas
naskah manual yang diberikan kepada para pembajak 9/11 menyebutkan bahwa “suasana mitis di
mana para pembajak melihat tindakan mereka adalah masa sepuluh tahun antara hijrah
Muhammad dengan wafatnya” (Permana (ed), op. cit.: 53).
Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk ikut menambah ramai wacana tentang hiruk-pikuk
global terorisme seperti diceritakan di atas, namun berusaha untuk mendaratkannya dalam
konteks Indonesia. Setelah menunjukkan kaitan antara dinamika sosial dan keislaman era
Reformasi dengan timbulnya terorisme di Indonesia, tulisan dilanjutkan dengan argumen
mengenai pentingnya menghambat pergerakan golongan radikal. Tiga pilar strategi kemanusiaan
yang ditawarkan dalam rangka mematikan terorisme merupakan inti dari tulisan ini, untuk
kemudian diakhiri dengan bagian penutup.

Dinamika Pascareformasi

Peristiwa Bom Bali I pada akhir 2002 selain memberikan ketakutan massal juga seolah
menyiratkan pesan bahwa ada “Islam yang lain” yang eksis di negeri ini. Memang Islam—
sebagaimana semua agama yang lain—bukan merupakan sebuah blok monolit karena teks suci
akan selalu menjadi obyek hermeneutik manusia. “Tidak pernah ada satu komunitas Muslim
yang tunggal di dalam dunia Islam,” demikian Fawaz Gerges, “kecuali 23 tahun pertama
sewaktu Muhammad masih hidup” (Hirsh, 2007). Namun yang menjadi masalah dan tidak bisa
dibenarkan adalah ketika komunitas yang baru muncul tersebut tidak memuliakan nilai-nilai
kemanusiaan sebagaimana organisasi-organisasi Islam yang telah ada sebelumnya di Indonesia.

Sejak peristiwa bom Bali I hingga saat ini Polri telah menangkap lebih dari 400 teroris.
Angka tersebut merupakan yang tertinggi di Asia Tenggara, menempatkan Indonesia di bawah
Pakistan (Tobing, ”Patah Tumbuh Hilang Berganti”, Kompas, 12/9 2009). Indonesia pun
mendapatkan stereotipe sebagai salah satu kutub terorisme terkritis di dunia. Ini kenyataan yang
sungguh menyesakkan sekaligus mendesakkan kepada kita untuk mencari jawabnya. Bagaimana
bisa Indonesia yang wajah Islamnya selama berabad-abad penuh raut kedamaian dan toleransi
ikut-ikutan “latah” diserang—meminjam istilah Tom Friedman—sekte kematian (death cult) di
dalam Islam?

Banyak yang beranggapan bahwa kemunculan mereka di Indonesia merupakan ekses dari
Reformasi dan globalisasi yang mensyaratkan kebebasan dan keterbukaan. Agar tidak terjebak
pada simplifikasi, perlu diketahui “biologi” terorisme agar permasalahan dapat dicandra secara
holistik. Di sini perlu dibedakan antara teroris dengan golongan radikal. Meskipun ideologi
mereka tidak jauh berbeda karena sama-sama menolak apa-apa yang serba sekuler, mereka
berbeda dalam keberanian melakukan aksi. Sementara teroris turun ke lapangan merancang atau
meledakkan bom bunuh diri, kaum radikal cukup memberikan perlindungan dengan cara
memberinya tempat tinggal atau menikahi anggotanya—atau setidaknya simpati yang dalam
diberikan kepada perjuangan mereka.

Di Indonesia, kaum teroris aktual ini berasal dari kaum eksil yang pernah berjuang di luar
negeri. Rontoknya Orde Baru diikuti dengan pulangnya alumni Mujahid Afganistan dan
Mindanao Selatan yang sebelumnya selama bertahun-tahun bersembunyi di Malaysia karena
represi yang keras oleh Soeharto terhadap mereka yang dianggap sebagai anasir subversif
penyebab instabilitas pembangunan. Merekalah embrio dari pelaku teror yang marak di
Indonesia pascareformasi; dari konflik komunal Poso Desember 1998, bom Natal 2000, sampai
bom Marriott II pertengahan Juli 2009 lalu. Kelompok ini dipastikan semakin sedikit jumlahnya
dan bisa jadi ke depannya dalam melakukan aksi terornya akan lebih kesulitan akibat makin
tangguhnya Densus 88 menangkap dan membinasakan mereka sehingga satuan ini dipuji sebagai
salah satu unit antiteror terbaik di dunia.

Namun demikian, pendekatan militer-represif tentu tidak mencukupi. Onishi mengatakan


bahwa ada yang keliru dalam upaya Pemerintah Indonesia dalam operasi pemberantasan
terorisme. Meskipun pihak berwenang telah berhasil menangkap dan menahan banyak kaum
militan dan melemahkan jaringan yang selama ini banyak disebut-sebut sebagai penyokong aksi
terorisme di kawasan Asia Tenggara, namun demikian Indonesia masih belum banyak
menyelesaikan urusan lainnya, yaitu terkait dengan pembongkaran kultur yang menyemaikan
ekstremisme (Onishi, “Extremist Idea Survive Crackdown in Indonesia”, New York Times, 22/7
2009). Kultur yang harus dibongkar ini adalah kultur sebagian masyarakat kita yang menganut
ideologi Islam radikal atau permisif terhadapnya.

Atmosfer kebebasan dan keterbukaan memantik semakin lapangnya ruang gerak ormas
keagamaan penganut ideologi radikal yang berasal dari Timur Tengah. Menurut Hairus Salim
dari Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKIS), awal mula terbentuknya jaringan dengan dunia
Islam di Timur Tengah dimulai pada 1920-an. Pengiriman mahasiswa ke Timur Tengah sudah
mulai dilakukan, hanya pada zaman Soeharto mereka tak dapat kesempatan untuk unjuk gigi
sehingga gerakan mereka hanya berada di ranah dakwah dan pendidikan. Mereka telah terbentuk
puluhan tahun di mana semula hanya berbasis di kampus, kemudian melebarkan sayap di
kalangan urban, buruh, pegawai, dan petani. Kelompok ini mengeras belakangan ini sekitar
sepuluh tahun terakhir (Rita dan Sinombor, ”Mencari Akar Teror Berada di Masyarakat”,
Kompas, 5/11 2009).

Melawan Radikalisme

Kepada kelompok-kelompok radikal itulah kini kiranya pemerintah, agamawan, dan


masyarakat mengarahkan perhatiannya bila benar-benar berkomitmen untuk mewujudkan
Indonesia sebagai negara zero terrorism. Pemerintah bekerjasama dengan masyarakat harus
bekerja sama untuk menghambat penyebaran gerakan dan ideologi mereka.

Ada tiga alasan kuat yang mendasarinya. Pertama, apabila pemahaman radikal mereka
semakin mendapatkan simpati, teroris akan mendapatkan ruang gerak yang semakin luas sebab
merekalah yang dalam istilah Hendropriyono disebut sebagai ”tanah subur tempat teroris dapat
berlindung dengan aman” (Hendropriyono, 2009). Malaysia selama ini bebas dari aksi terorisme
karena tidak ada ruang permisif terhadap mereka di masyarakat.

Kedua, apabila jaringan mereka makin mengakar maka anggota baru yang pada mulanya
tidak terlalu ekstrem dapat berayun ke pendulum ekstremitas maksimum karena hasratnya untuk
diakui di dalam kelompok (Sunstein, 2009: 1-21). Pada akhirnya, dapat saja mereka
bertransformasi menjadi teroris aktual apabila muncul pemimpin kharismatis yang mampu
meyakinkannya untuk melakukan tindakan teror.

Ketiga, pesan komunikasi mereka menawarkan nilai dan norma tertentu. Meminjam
pemikiran marxian tentang basis-superstruktur yang disempurnakan Habermas, krisis sosial
dapat terjadi karena perubahan pola komunikasi yang dimotivasi oleh tafsiran nilai dan norma
tertentu (Hardiman, 2009: 113). Maka apabila gerakan ini semakin masif, integrasi sosial yang
merupakan fondasi sistem kesadaran masyarakat dapat mengalami perubahan. Dalam konteks
Indonesia, Pancasila dan demokrasi selain digugat dapat pula disingkirkan ke luar sistem.

Meretas Terorisme

Ada tiga strategi kemanusiaan yang dapat ditawarkan di sini guna mencegah timbulnya aksi
terorisme dan penguatan infrastruktur pendukungnya di Indonesia. Inilah yang merupakan tiga
pilar aksi memperkuat prinsip kemanusiaan guna memusnahkan terorisme di negeri ini. Istilah
kemanusiaan digunakan di sini hanya untuk mengkontraskan perilaku teroris yang tidak
berperikemanusiaan.

Pertama, menguatkan kaum moderat (strenghtening the moderates). Meskipun istilah ini
problematis karena menurut Ahmad Najib Burhani lebih kental aroma politik daripada
pendasaran teologis dan sosiologis—istilah ini dipopulerkan Bush di mana mereka yang
berpihak kepadanya disebut moderat Islam sementara lawannya dianggap teroris (Burhani, “100
Tahun Muhammadiyah”, Kompas, 30/11 2009)—namun demikian istilah ini digunakan penulis
hanya untuk merujuk kecenderungan keberagamaan yang non-radikal, toleran, cinta damai, dan
mengedepankan dialog dalam menghadapi perbedaan.

Dengan berbagai atribusi tersebut, penguatan kalangan ini menjadi semakin vital dan urgen
di tengah semakin giatnya kalangan fundamentalis merekrut kader serta simpatisan (Zuhairi
Misrawi, Basis Edisi Januari-Februari 2007). Meskipun begitu, bukan berarti profil dan postur
organisasi yang selama ini digolongkan sebagai moderat dapat diterima secara taken for granted.
Mereka baru kuat dalam jaringan dan belum menemukan bentuknya yang kukuh. Sebagian di
antara mereka mengalami dinamika internal yang seru demi mendefinisikan dirinya secara
teologis dan menemukan kembali (reinventing) dirinya di tengah gerak perubahan zaman,
sehingga peletakan nilai kemanusiaan dan perdamaian universal sebagai poros menjadi sebuah
never ending process.

Program penguatan ini juga hendaknya dipandang bukan semata secara instrumental yaitu
demi menghambat gerak kaum radikal dan dengan itu mengamankan ketahanan dan ideologi
nasional, namun juga perlu dipandang dengan spektrum lebih luas yaitu demi penegakan harkat
kemanusiaan dan ekonomi umat.

Untuk tujuan itulah dicetuskan solusi kedua, yaitu pemberdayaan. Agama jangan hanya
berhenti pada khotbah di mimbar atau ritual repetitif, namun juga harus bersifat memberdayakan
dan emansipatoris. Bagaimanapun, manusia dalam hidupnya tidak dapat hanya “makan” iman
sementara hidupnya mengalami kesengsaraan dan penindasan. Ekonom Peru, Hernando de Soto,
suatu ketika menyatakan bahwa kemiskinan menjadi sarang yang rawan memunculkan
terorisme.

Dengan demikian, organisasi keagamaan hendaknya menghayati etos seperti masa-masa


kaum agamawan di Amerika Latin mempraktikkan teologi pembebasan. Lebih daripada
memperbanyak amal usaha ekonomi demi peningkatan lapangan kerja atau pendapatan bagi
umat, organisasi keagamaan harus berani menginisiasi perubahan struktur dan sistem yang
menindas. Di sini ada dua prasyarat yang harus diperhatikan, yaitu elite agama jangan sibuk
berpolitik dan modalitas ekonomi yang kuat untuk menyelenggarakan unit, bantuan, dan
advokasi ekonomi. Dari pihak negara, usaha untuk menyelenggarakan ekonomi yang berkeadilan
harus terus diikhtiarkan dan dikonkretkan.

Ketiga, revitalisasi kekuatan budaya. Organisasi keagamaan perlu lebih giat lagi
menyelenggarakan kegiatan-kegiatan kebudayaan melalui reaktivasi dan revitalisasi sayap-sayap
budayanya. Apabila organisasi keagamaan justru bersikap antibudaya karena memandangnya
sebagai pencemar kemurnian akidah, ini menunjukkan stagnasi pemikiran teologis yang belum
beranjak dari abad ke-8 dan 9, di mana agama ditempatkan berhadap-hadapan dengan
kebudayaan (Mulkhan, 1995: 194).

Di negeri ini, keislaman dan keindonesiaan—meminjam istilah Masdar Mas’udi—ibarat


jiwa dan raga sehingga keduanya membentuk satu entitas Islam Indonesia (Mas’udi, “Islam (di)
Indonesia”, Kompas, 11/9 2009). Sudah sejak zaman Islam disebarkan di negeri ini melalui
Walisongo tendensi untuk mengharmoniskan Islam dengan konsep duniawi seperti budaya—
yang kemudian setelah negeri ini merdeka diluaskan ke dalam konsep kebangsaan-keindonesiaan
—terasa kuat. Cerita Sunan Kalijaga yang berdakwah menggunakan media wayang sudah sejak
kecil kita ketahui, demikian juga Menara Kudus yang merupakan monumen Islam Indonesia
masih dapat kita lihat sampai sekarang.

Awal abad lalu, Islam yang “membudaya” dan “menasional” semakin terpatrikan melalui
kelahiran organisasi-organisasi seperti NU dan Muhammadiyah. Selain ikut mengawal “proses
menjadi” negara ini, sumbangan-sumbangan budaya juga diberikan oleh kedua ormas Islam
terbesar di Indonesia ini. Berbagai eksemplar peradaban Islam Indonesia tersebut secara jenial
dibingkai dengan konsep yang disebut Gus Dur sebagai “pribumisasi Islam” (Thoha, 2003)—
menjadi Islam tidak lalu berarti menjadi kearab-araban.

Menjalankan laku budaya justru memfungsikan agama sebagaimana kodratnya, yaitu apa
yang disebut sebagai fungsi justifikasi (Bouma, 1992). Fungsi ini mengandung arti bahwa agama
berfungsi sebagai landasan moral dan justifikasi dari sebuah tindakan atau perilaku yang tidak
terkait dengan hal-hal teknis dan ritual atau dengan agama secara langsung, namun memiliki
tujuan yang dianggap sejalan dengan nilai-nilai dasar agama. Kebudayaan memanusiawikan
kognisi manusia, memperkuat daya afeksinya, memampukan manusia untuk mengolah dimensi
rasa, dan mendekatkan intuisi serta kedekatan kepada Yang Ilahi. Dengan itu, jelas terlihat
bahwa budaya tidak bertentangan dengan agama yang juga memberikan manfaat yang sama
sebagaimana halnya budaya.

Pembacaan lain dilakukan oleh Mulkhan yang merumuskan konsep kebudayaan agama,
yaitu pelembagaan yang tumbuh dalam proses interaktif manusia dengan kitab suci agama. Ia
merupakan hasil daya kreatif pemeluk suatu agama yang dipengaruhi latar belakang sejarah,
geografis, dan berbagai kondisi obyektif kehidupan (Mulkhan, op. cit.: 72). Memang
sesungguhnya setiap pemahaman atas wahyu tidak dapat lain kecuali harus disebut sebagai
kebudayaan (Peursen, 1976: 102-109).

Dalam konstruk yang lebih visioner, kebudayaan sebagai solusi peretas terorisme dan
potensinya sebagaimana dimaksud di sini adalah yang dalam kategorisasi Ignas Kleden
merupakan kebudayaan versi kalangan budayawan dan seniman. Seturut pemahaman mereka,
keprihatinan budaya yang paling menggelisahkan adalah ketika terjadi krisis, kemandekan, atau
impasse kebudayaan. Dengan demikian, proyek dan strategi budaya artinya kreativitas untuk
meredifinisi, merekonfigurasi, merevaluasi, dan memformulasikan kebudayaan secara kontinu
dan kontekstual (Kleden, 1987: 194-213).

Dalam terang tersebut, Pancasila yang sering disebut ”penemuan terbesar kebudayaan kita”
haruslah senantiasa direvitalisasi, disegarkan, dan dikontekstualisasikan sesuai dengan roh
zaman (zeitgeist) agar tidak terjebak menjadi ideologi pelegitimasi penguasa seperti zaman Orde
Baru atau menjadi usang terkurung dalam buku teks pelajaran yang disampaikan secara
menjemukan. Pancasila haruslah diterima sebagai konsep final karena tidak saja menolak
praktik-praktik tidak berperikemanusiaan dan tidak berketuhanan seperti terorisme atau
pandangan-pandangan absolutis dan intoleran seperti yang dianut kaum radikal, namun lebih
daripada itu juga menampung keutamaan-keutamaan (virtues) universal. Kegagalan
penyelenggaraan pemerintahan dan kegamangan menjalankan demokrasi hendaknya tak
disangkutpautkan dengan pernyataan bahwa Pancasila merupakan paham yang gagal dan cacat
sebab itu adalah sebentuk kesesatan pikir. Pancasila juga dapat digunakan sebagai medium
dialog yang konstruktif antara kebudayaan dengan keagamaan (Mulkhan, 2000: 101).

Penutup

Terorisme berjubah agama kini bukan merupakan wacana yang dapat dicari apologianya
atau disangkal sebab realitas empiris memang sungguh secara nyata menunjukkannya.
”Konvergensi” antara konsep terorisme dengan agama terjadi secara aksidental ketika simbol,
tanda, dan kode yang hadir dalam pusaran konflik paling pelik dalam sejarah merepresentasikan
idiom-idiom keagamaan. Selain itu, agama yang mempunyai fungsi justifikasi karena sifatnya
yang merupakan basis nilai yang paling fundamental—dan dengan demikian memiliki cakupan
paling luas dan otoritas paling populer—telah disalahgunakan melalui kecenderungan untuk
melampirkannya secara manasuka (arbitrer) terhadap setiap kepentingan kolektif yang muncul
dalam fenomen sosial (Permata (ed), op. cit.: xix).

Kepentingan kolektif itu kiranya dapatlah dikatakan sebuah kepentingan untuk melakukan
protes, resistensi, dan perlawanan ketika realitas sosial kekinian menunjukkan represi
terselubung terhadap sistem makna dan sumber penghidupan. Karenanya, terorisme berjubah
agama kini menjadi apa yang disebut Marx dan Derrida sebagai spectres (hantu). Ia akan selalu
ada dan membayangi peradaban manusia dan gerak kemajuan zaman tatkala represi dan
ketidakadilan masih dilestarikan (O’Donnell, 2009: 148-149). Ekonomi yang memasukkan
variabel moral dan politik yang beretika dengan demikian menjadi solusi yang diharapkan
meretas terorisme.

Selain itu, fungsi justifikasi agama hendaknya digunakan secara positif dengan cara
mengaplikasikannya dalam laku budaya. Dalam konteks Indonesia, pernyataan ini dapat
ditajamkan dengan kesadaran untuk menghidupi dan merawat Pancasila sebaik-baiknya karena
merupakan sistem falsafah yang mengakomodasi keutamaan universal. Dengannya, setiap
potensi aksi terorisme dapat dihindari dan paham-paham yang tidak menolak terorisme secara
tegas tidak lagi mendapatkan tempat dan simpatinya di dalam masyarakat. Namun lebih daripada
dihayati dan diwacanakan, segenap komponen bangsa terutama pemerintah harus pula
membumikannya ke dalam realitas melalui penciptaan struktur ekonomi yang demokratis dan
penguatan integrasi masyarakat yang berketuhanan, demokratis, dan berkeadilan.

Apabila ini dipegang teguh sebagai komitmen pemerintah dan berhasil diwujudnyatakan,
kita tidak perlu takut lagi terhadap kemungkinan terorisme muncul dan berbiak di Indonesia.
Meskipun praktik terorisme di tingkat global belum menemukan sintesis maupun konsensusnya,
Indonesia tidak perlu takut lagi akan kebobolan sebab ketahanan dan pagar pelindung berbasis
kemanusiaan telah menjadi pintu yang tertututup rapat bagi setiap potensi aksi teroris.
Daftar Pustaka

Bouma, Gary D. 1992. Religion: Meaning, Transcendent and Community in Australia.


Melbourne: Longman Chasire.

Burhani, Ahmad Najib. 30 November, 2009. 100 Tahun Muhammadiyah. Kompas.

Cassirer, Ernst. 1962. An Essay on Man. New Haven: Yale University Press

Hardiman, F. Budi. 2009. Kritik Ideologi: Menyingkap Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan
Bersama Jurgen Habermas (Edisi ke-3, cetakan ke-1). Yogyakarta: Kanisius.

Haryatmoko. 2006. Politik Melirik Agama karena Seks: Panoptisme, Kekuasaan, dan Erotisme.
Basis, September-Oktober 2006.

Hendropriyono, AM. 2009. Terorisme: Fundamentalis Kristen, Yahudi, Islam. Jakarta: Kompas.

Hirsch, Susan F. 2007. In the Moment of Gretaest Calamity: Terrorism, Grief, and a Victim’s
Quest for Justice. New Jersey: Princeton University Press.

Huntington, Samuel. 1996. The Clash of Civilization and Remaking of World Order. New York:
Simon & Chuster.

Kleden, Ignas. 1987. Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan. Jakarta: LP3ES

Mas’udi, Masdar F. 11 September, 2009. Islam (di) Indonesia. Kompas.

Misrawi, Zuhairi. 2007. Ideologi Negara dalam Tantangan. Basis, Januari-Februari 2007.

Mulkhan, Abdul Munir. 2000. Kearifan Tradisional: Agama Bagi Manusia atau Tuhan.
Yogyakarta: UII Press.

____________________. 1995. Teologi Kebudayaan dan Demokrasi Modernitas. Yogyakarta:


Pustaka Pelajar.

Munajat. 25 Agustus, 2009. Melawan Ritual Bom Bunuh Diri. Kompas.

O’Donnell, Kevin. 2003. Postmodernisme. Terjemahan oleh Jan Riberu. 2009. Yogyakarta:
Kanisius.
Onishi, Norimitsu. 22 Juli, 2009. Extremist Idea Survive Crackdown in Indonesia. New York
Times.

Permata, Ahmad Norma (ed). 2005. Agama dan Terorisme. Surakarta: Muhammadiyah
University Press.

Peursen, C.A. Van. 1976. Strategi Kebudayaan. Terjemahan oleh Dick Hartoko. 1988 (Edisi Ke-
2, cetakan ke-1). Yogyakarta: Kanisius.

Rita, Susana dan Sonya Hellen Sinombor. 5 November, 2009. Mencari Akar Teror Berada di
Masyarakat. Kompas.

Sunstein, Cass R. 2009. Going to Extremes: How Like Minds Unite and Divide. New York:
Oxford University Press.

Thoha, Zainal Arifin. 2003. Jagadnya Gus Dur: Demokrasi, Kemanusiaan, dan Pribumisasi
Islam. Yogyakarta: Kutub.

Tobing, Maruli. 12 September, 2009. Patah Tumbuh Hilang Berganti. Kompas.

You might also like