You are on page 1of 5

Kaligrafi Bermasalah

Pembaca yang budiman, mungkin anda sering menemukan kaligrafi di sebagian


tempat-tempat dan fasilitas umum. Kaligrafi ini bertuliskan lafazh jalalah (lafazh
Allah), dengan nama Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-; tertulis dari kanan ke
kiri (‫د‬
‫ )دددد دددد‬. Kaligrafi ini biasa dipasang dalam bentuk stiker poster,
dan lainnya di mobil-mobil, rumah-rumah, dan tempat lainnya. Bahkan kaligrafi
ini banyak ditemukan pada mayoritas masjid-masjid di negeri kita, tanpa ada
pertanyaan dan koreksi sedikitpun. Seakan-akan kaligrafi itu tak bermasalah.
Tapi apakah demikian halnya?! Nah, mungkin ada baiknya jika kita mendengar
dan menyimak dengan seksama fatwa seorang ulama besar dari Timur Tengah, Al-
Allamah Syaikh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin –rahimahullah-.
Beliau pernah ditanya, “Kami sering melihat pada dinding adanya tulisan lafazh
jalalah (kata “Allah”), dan di sampingnya terdapat lafazh “Muhammad”
-Shallallahu alaihi wa sallam-, atau biasa juga kami lihat pada stiker, atau pada
buku-buku, atau pada sebagian mushaf. Apakah membuat tulisan seperti ini
adalah benar?”
Syaikh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin –rahimahullah- berkata dalam
memberikan jawaban, “Membuat tulisan seperti ini adalah tidak benar, karena
perbuatan ini telah menjadikan Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- sebagai
tandingan bagi Allah, dan sesuatu yang menyamai-Nya. Andaikan ada orang yang
melihat tulisan (kaligrafi) ini –sedang ia tak tahu yang punya nama-, maka pasti
orang ini akan meyakini bahwa keduanya adalah sama dan semisal. Lantaran itu,
wajib menghapus nama Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-. Kini tinggal
kata “Allah” yang perlu ditinjau. Sesungguhnya lafazh “Allah” adalah kata yang
biasa didengungkan kaum sufi dan menjadikannya sebagai ganti dzikir (yakni,
sebagai ganti dzikir Laa ilaaha illallah). Mereka mengucapkan, “Allah…Allah…
Allah”. Berdasarkan hal ini, maka lafazh “Allah” juga dihilangkan. Jadi, tak
perlu ditulis lagi lafazh ALLAH dan MUHAMMAD, baik pada dinding, stiker,
maupun yang lainnya”. [Lihat Fatawa Arkan Al-Islam (hal. 192), cet. Dar Ats-
Tsuroyya, 1421 H]
Fatwa yang dinyatakan oleh Syaikh Al-Utsaimin adalah perkara yang dikuatkan
oleh hadits-hadits Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-. Tak heran jika Nabi
-Shallallahu alaihi wa sallam- pernah mengingkari sebagian sahabat yang
mengucapkan kata-kata yang menjurus kepada kesyirikan, karena ucapannya
seakan hampir menyamakan Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- dengan Allah
-Ta’ala- .
Di zaman Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- ada seorang yang pernah berkata,
“Sebagaimana yang Allah dan anda kehendaki”. Serta-merta beliau
mengingkarinya seraya bersabda,
‫حَدُه‬
ْ ‫ل َو‬
ُ ‫شاَء ا‬
َ ‫ل ِنّدا ؟ َبْل َما‬
ِّ ‫ي‬
ْ ‫جعَْلَتِن‬
َ ‫َأ‬
“Apakah engkau hendak menjadikanku sebagai tandingan bagi Allah. Bahkan
sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah saja!” [HR. Ahmad dalam Al-Musnad
(1/214, 224, 283, & 347) Al-Bukhoriy dalam Al-Adab Al-Mufrod (783), An-
Nasa’iy dalam Amal Al-Yaum wa Al-LailahSunan-nya (2117), dan lainnya.
Hadits ini di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Ash-Shohihah (139)]
(988), Ibnu Majah dalam
Jika menggabungkan nama Allah dengan Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-
dalam perkara kehendak adalah terlarang, maka menggabungkan kedua nama
itu dalam kaligrafi semacam itu juga tentunya terlarang, karena bisa
mengantarkan kepada kesyirikan. Apalagi kebanyakan kaligrafi itu terletak di arah
kiblat, sehingga jika orang-orang melaksanakan sholat, maka mereka rukuk dan
sujud menghadap kedua nama itu. Lambat laun hal ini akan menimbulkan opini
yang salah dalam menyamakan Allah dan Rasulullah -Shallallahu alaihi wa
sallam-. Ketahuilah, setan amat lihai dalam mencari celah dan jalan dalam
menjerumuskan manusia ke lembah kesyirikan dan kekafiran. Mungkin hari ini
kaum muslimin yang sholat menghadap kepada kedua nama ini belum
berkeyakinan bahwa ia sujud menghadap kepada kedua pemilik nama itu. Tapi
boleh jadi, setan akan membisikkan ke dalam benak generasi berikutnya bahwa
orang-orang tua kalian dahulu bersujud menghadap kedua nama ini, karena kedua
Pemilik nama ini (yaitu, Allah -Ta’ala- dan Nabi Muhammad -Shallallahu alaihi
wa sallam-) adalah sama.
Sisi lain, perlu kita ingat bahwa Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- dan para
sahabat melarang kita menghiasi masjid sebagaimana yang tercantum dalam
hadits-hadits shohih. Sedang menulis kaligrafi pada dinding termasuk menghiasi
masjid.
Kaligrafi ini dan lainnya merupakan sebab orang tak khusyu’, dan membuat orang
lalai dari jenis dzikir dan jumlahnya, sebab tulisan kaligrafi itu ada di sekitar kita,
bahkan ada di depan mata kita. Berapa banyak orang yang melupakan jenis dzikir
dan jumlahnya, karena adanya kaligrafi-kaligrafi yang terpampang dalam masjid.
Ketika seorang hendak sholat hendaknya ia menyingkirkan segala sesuatu yang
melalaikan dan menarik perhatian agar ia bisa meraih khusyu’ dalam sholat.
Perhatikan manusia yang paling bertqwa, dan bersih hatinya, yaitu Nabi
-Shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Beliau merasa terganggu sholatnya saat ia melihat
gambar yang memiliki tanda atau simbol.
A’isyah -radhiyallahu ‘anha- dia berkata, "Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi
wasallam- berdiri melakukan shalat dengan pakaian khamisah yang memiliki
tanda, lalu beliau melihat kepada tanda itu. Tatkala beliau telah menyelesaikan
shalatnya, beliau bersabda,
ْ ‫لِت‬
‫ي‬ َ‫ص‬َ ‫ي‬
ْ ‫ي آِنًفا ِف‬
ْ ‫جاِنّيَة َفِإّنَها َأْلَهْتِن‬
َ ‫ي ِبَأْنِب‬
ْ ‫حَذْيَفَة َواْئُتْوِن‬
ُ ‫ن‬
ِ ‫جْهِم ْب‬
َ ‫ي‬
ْ ‫صِة ِإَلى َأِب‬
َ ‫خِمْي‬
َ ‫ِاْذَهُبْوا ِبَهِذِه اْل‬
”Pergilah kalian dengan membawa pakaian khamisah ini ke Abu Jahm bin
Khudzaifah dan ambillah pakaian ambijaniyyah untukku. Sesungguhnya pakaian
khamisah tadi telah melalaikan aku dalam shalatku." [HR.Bukhariy (373), dan
Muslim (556)]
Pakaian anbijaniyyah yang diminta Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam-
adalah pakaian kasar yang tidak memiliki tanda (semacam, cap, logo, simbol, dan
lainnya). Berbeda dengan pakaian al-khamishah yang dikembalikan oleh beliau,
pakaian ini bertanda. Nampaknya kata "tanda" lebih dalam maknanya daripada
kata "gambar". Sebab bila tanda dan cap saja dilarang untuk dipakai, dan
dinampakkan di depan orang yang sholat, maka tentunya gambar makhluk
bernyawa lebih layak dilarang, karena menjadi sebab terhalanginya malaikat
untuk masuk ke tempat atau masjid yang di dalamnya terdapat gambar makhluk
bernyawa!!
Ath-Thibiy-rahimahullah- telah berkata, "Dalam hadits ambijaniyyah:
menjelaskan, bahwa gambar dan sesuatu yang nampak (mencolok) memiliki
pengaruh terhadap hati yang bersih dan jiwa yang suci, terlebih lagi hati yang tak
suci". [Lihat Umdatul Qori (4/94), dan Fathul Bari (1/483)]
Jadi, gambar,lukisan, atau kaligrafi dan simbol amatlah memberikan
pengaruh bagi orang yang memiliki hati yang bersih. Adapun hati yang kotor
lagi keras, maka ia tak akan merasakan pengaruh apapun, baik ada gambar
atau tidak !!
Anas -radhiyallahu ‘anhu- dia berkata,
‫ك َهَذا َفِإّنُه َل َتَزاُل‬
ِ ‫ي ِقَراَم‬ْ ‫عّن‬
َ ‫ي‬ْ ‫ط‬ِ ‫ َأِمْي‬:‫سّلَم‬
َ ‫عَلْيِه َو‬
َ ‫ل‬
ُ ‫صّلى ا‬
َ ‫ي‬
ّ ‫ب َبْيِتَها َفَقاَل الّنِب‬
َ ‫جاِن‬
َ ‫ت ِبِه‬
ْ ‫سَتَر‬
َ ‫شَة‬
َ ‫ن ِقَراٌم ِلَعاِئ‬
َ ‫َكا‬
ْ ‫لِت‬
‫ي‬ َ‫ص‬َ ‫ي‬ ْ ‫ض ِف‬ ُ ‫صاِوْيُرُه َتعِْر‬ َ ‫َت‬
"Dahulu ‘Aisyah memiliki kain gorden, yang dia gunakan untuk menutupi sisi
rumahnya. Maka Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- berkata kepadanya,
"Jauhkanlah kain itu dariku, sesungguhnya gambar-gambarnya telah mengganggu
shalatku." [HR. Bukhariy (374), dan (5959)]
Hadits Anas menunjukkan tentang dibencinya shalat dengan pakaian yang
bergambar. Sisi penunjukannya, sebagaimana yang telah dikatakan oleh Al-
Qasthalaniy-rahimahullah-, "Apabila gambar itu melalaikan orang yang shalat
dalam keadaan gambar itu ada di hadapannya, maka terlebih lagi jika orang yang
shalat itu memakainya". [Lihat Irsyad As-Sariy (8/484)]
Intinya , kaligrafi yang kita saksikan tersebar di masjid-masjid kaum muslimin
adalah perkara yang menyalahi sunnah (petunjuk) Nabi -Shallallahu alaihi wa
sallam-, dan para sahabatnya. Jika lambang atau simbol yang menarik perhatian
saja dilarang, maka tentunya kaligrafi yang melalaikan kita dalam sholat dan usai
sholat juga terlarang. Bahkan lebih terlarang, karena mengandung unsur
penyamaan antara Allah -Azza wa Jalla- dengan Nabi -Shallallahu alaihi wa
sallam-, dan termasuk menghiasi masjid yang dilarang dalam agama kita.
Menghiasi tempat ibadah adalah kebiasaan orang-orang Yahudi dan Nasrani. Ibnu
Abbas -radhiyallahu anhu- berkata,
‫صاَرى‬ َ ‫ت اْلَيُهْوُد َوالّن‬ِ ‫خَرَف‬ْ ‫خِرُفّنَها كََما َز‬
ْ ‫َلُتَز‬
“Kalian benar-benar akan menghias-hiasi masjid sebagaimana orang-orang
Yahudi dan Nasrani telah menghias-hiasi (tempat ibadah mereka, -pen.)”. [HR.
Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya secara mu’allaq dengan shighoh jazm : Kitab Ash-
Sholah; bab (62): Bun-yan Al-Masjid (hal. 97), cet. Darul Kutub Al-Ilmiyyah,
1428 H]
Jadi, menghiasi masjid dan tempat ibadah adalah adat kebiasaan jelek orang
Yahudi dan Nasrani. Lantaran itu, perbuatan ini kita harus jauhi, sebab Nabi
-Shallallahu alaihi wa sallam- pernah bersabda,
‫شّبَهبَِقْوٍمَفُهَوِمْنُهْم‬
َ ‫َمْنَت‬
“Barang siapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk kaum tersebut”
(HR. Abu Dawud (4031), Ahmad (5114), Ath-Thobroniy dalam Al-Ausath (8327),
Ibnu Manshur dalam As-Sunan (2370). Di-hasan-kan oleh Al-Albaniy dalam
Takhrij Al-Misykah (4347)
Al-Imam Abul Abbas Al-Harroniy -rahimahullah- berkata, "Hadits ini serendah-
rendahnya mengharuskan pengharaman tasyabbuh (menyerupai orang kafir atau
fasiq)". [Lihat Iqtidho' Ash-Shiroth Al-Mustaqim (83)]
Masjid adalah tempat beribadah, seperti membaca Al-Qur’an, berdzikir,
menyebarkan ilmu, berdoa, dan lainnya. Masjid bukanlah tempat berdekorasi,
dan berbangga-bangga dengan cara menghias-hiasinya dengan berbagai macam
lukisan, kaligrafi, dan gambar Ka’bah, pemandangan atau yang lainnya. Karena,
perkara-perkara ini akan melalaikan ibadah, sholat, dan dzikir.

Berbangga-bangga dengan cara seperti inilah yang pernah dikecam oleh sahabat
Anas bin Malik Al-Anshoriy -radhiyallahu anhu- ketika beliau berkata,
ً ‫ن ِبَها ُثمّ َل َيعُْمُرْوَنَها ِإّل َقِلْي‬
‫ل‬ َ ‫َيَتَباَهْو‬
“Mereka berbangga-bangga dengan masjid-masjid, lalu mereka tidak
memakmurkannya, kecuali jarang”. [HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya secara
mu’allaq dengan shighoh jazm : Kitab Ash-Sholah; bab (62): Bun-yan Al-Masjid
(hal. 97), cet. Darul Kutub Al-Ilmiyyah, 1428 H]
Kebiasaan para salaf (pendahulu) kita dari kalangan sahabat dan tabi’in serta
pengikut-pengikut mereka adalah membangun masjid ala kadarnya, tanpa
dihias-hiasi. Inti dari pembangunan masjid adalah menyatukan ibadah dan
menggalang persaudaraan, bukan berbangga-bangga dengan fisik masjid yang
serba “waaah” dan megah yang dipenuhi dengan kaligrafi, ukiran, pemandangan,
spanduk-spanduk, dan papan informasi. Masjid bukanlah tempat promosi dan
pamer, tapi ia adalah tempat yang dipenuhi dengan ketenangan lahir-batin. Oleh
karenanya, kita amat sesalkan kebanyakan masjid-masjid kita telah dihiasi dengan
berbagai macam assesoris, tulisan dan atribut yang melalaikan dan mengganggu
khusyu’-nya sholat kita. Sehingga kami pernah menyaksikan sebuah masjid yang
dipasangi marmer yang bergambar Ka’bah; usai sholat, maka semua orang
memperhatikan gambar itu. Perkara seperti ini sangat sering melalaikan dzikir,
bahkan sholat kita. Tragisnya lagi, di sebagian masjid terpasang gambar dan foto
sebagian tokoh agama, tokoh politik, dan tokoh masyarakat. Ketahuilah bahwa
gambar dan foto makhluk bernyawa terlarang dalam Islam.
Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- pernah bersabda,
‫صْوَرٌة‬ ُ ‫لِئكَُة َبْيًتا ِفْيِه‬َ ‫خُل اْلَم‬
ُ ‫َل َتْد‬
“Malaikat tidak akan masuk ke dalam rumah yang di dalamnya ada gambarnya”.
[HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (3054), dan Muslim dalam Shohih-nya
(2106)].
An-Nawawiy-rahimahullah- berkata, “Para ulama telah berkata, “Sebab
keengganan para malaikat untuk masuk ke dalam sebuah rumah yang ada
gambarnya, karena gambar itu dianggap sebagai maksiat yang keji. Pada gambar
itu terdapat usaha menandingi ciptaan Allah -Ta’ala-”. [Lihat Syarh Shahih
Muslim (14/84)].
Faedah: Gambar yang dimaksud dalam hadits ini adalah gambar bagi makhluk
memiliki roh, yakni manusia dan hewan atau malaikat dan jin.
Sumber : Buletin Jum’at At-Tauhid edisi 114 Tahun II. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Pesantren
Tanwirus Sunnah, Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel. HP :
08124173512 (a/n Ust. Abu Fa’izah). Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al
Atsary, Lc. Dewan Redaksi : Santri Ma’had Tanwirus Sunnah – Gowa. Editor/Pengasuh : Ust. Abu Fa’izah
Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Layout : Abu Dzikro. Untuk berlangganan/pemesanan hubungi : Ilham Al-Atsary
(085255974201). (infaq Rp. 200,-/exp)
http://almakassari.com/artikel-islam/fatwa/kaligrafi-bermasalah.html#more-678

You might also like