You are on page 1of 4

AKAR KONFLIK MATA AIR PAMOTAN

Oleh: Suhadi Rembang


es_lodheng@yahoo.co.id
085226258170

Kemandirian air di Pamotan?

Pamotan tempo dulu merupakan kawasan ijo royo-royo, gemah ripah loh jinawe.
Masyarakat rembang menyebutnya sebagai dhodho menthoe rembang (lumbung
pangan rembang), seperti halnya kawasan Kecamatan Sale dan Kecamatan
Gunem. Pamotan terkenal adem-ayemnya. Banyak pegawai Negara saat itu yang
betah di kawasan ini, hingga beranak pinak dan bersatu-padu menjadi warga
Pamotan.

Mata air pamotan tempo dulu berlimpah. Air mengalir dari sudut-sudut lokasi
yang rimbun dan asri yang dikelilingi pohon-pohon besar. Masyarakat pamotan
saat itu tidak merasakan kekhawatiran akan kekurangan air. Hal ini jauh dengan
keadaan sekarang, masyarakat pamotan sedang disibukkan kegundahan hati.
Terlihat para petani yang harus berlari mengejar air hujan untuk menggarap
sawahnya, istilahnya petani pamotan sekaran grusa-grusu (jika ada hujan
langsung menggarap sawahnya), kalau dulu angin-anginan (santai, tapi pasti
dapat air). Saat dulu, petani disibukkan menutup mata air (thuk) karena harus
menanam tanaman polowijho setahun sekali, disela-sela panen padi tiga kali.
Sekarang, petani sibuk mencari dan membuka mata air untuk menanam padi.

Potret pamotan tahun 1982-an, merupakan kawasan desa tani yang


menyenangkan. Saluran irigasi masih tampak lebar. Pendangkalan saluran irigasi
masih belum tampak. Debet air juga relatif sangat tinggi. Curah hujan juga
terhitung masing tinggi. Hujan turun pada awal bulan September hingga bulan
Maret. Selebihnya adalah musim kemarau pada bulan April hingga Agustus.
Daerah tangkapa sungai masih sangat luas. Terlebih tingkat perilaku perusakan
alam relatif tidak ada. Komoditi padi, jambu mete, mangga, pisang, dan ragam
buah-buahan menjadi unggulan hasil tani kawasan Pamotan. Namun seiring
berjalannya waktu, problem air untuk irigasi menjadi rendah. Mengapa demikian?
Masalah tersebut di atas berhubungan dengan eksplorasi mata air Pamotan.

Sejarah air perpipaan Rembang

Pada tahun 1928, Belanda membangun jaringan perpipaan air pertama kali di
Rembang, berasal dari mata air Kajar Kecamatan Lasem. Pada saat itu mata air
kajar berjumlah dengan debet 7 liter/detik (sekarang 1 liter/detik). Dengan jumlah
tersebut, dialirkan melalui perpipaan untuk kebutuhan air penduduk di kawasan
Lasem dan Rembang Kota. Dari keterangan tersebut dapat diketahui awal dari
cikal bakal teknologi distribsi air perpipaan di Rembang. Seiring bertambahnya
kebutuhan air, Rembang mendapatkan bantuan dari Pemerintah Pusat untuk
mencukupi kebutuhan air. Pada saat itulah mata air Pamotan dipilih sebagai suplai

1
air. Mata air Pamotan dipilih menjadi suplai kebutuhan air di Rembang Kota,
karena perhitungan kuantitas air yang berlimpah dan jarak yang relatif dekat.
Dengan demikian biaya operasionalya lebih efesiensi dan terjangkau.

Babak awal ekspolitasi mata air Pamotan

Tepatnya pada tahun 1989, mata air Pamotan dimanfaatkan untuk kebutuhan air
baku di kawasan Rembang Kota. Pada saat itu debet mata air Pamotan mencapai
89 liter/detik.

Namun jauh sebelumnya, tepatnya tahun 1976, kecamatan Pamotan mendapatkan


bantuan dari Departemen Kesehatan dalam bentuk Jaringan Perpipaan Air untuk
mencukupi kebutuhan air di PUSKESMAS Pamotan. Saat itu jaringan perpipaan
air dikelola oleh Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Rembang. Hingga tahun
1980, pengelolaan perpipaan air diserahkan PDAM Rembang. Data tersebut dapat
dilihat di Perda No 1 tahun 2008 tentang pendirian PDAM yaitu pda tanggal 31
Januari 1980.

Dahulu PDAM mampu menyedot mata air Pamotan selama 24 jam tanpa henti.
Pada saat itu debet mata air yang diambil oleh PDAM dengan volume 15
liter/detik. Hingga sekarang debet air dinaikkan menjadi 35 liter/detik. Namun
pada saat ini sumber mata ait Pamotan semakin menurun.

Mata Air Pamotan sebagai penyangga kebutuhan air pada 35 desa di Kecamatan
Kota Rembang. Air Pamotan sampai sekarang masih disedot oleh PDAM
Rembang dengan debet air 35 liter/detik. Volume 35 liter/detik tersebut digunakan
untuk kebutuhan air di Kecamatn Pamotan sebesar 10 liter/detik dan untuk
Kecamatan Rembang Kota sebesar 25liter/detik. Daerah Rembang Kota tidak
memiliki mata air, namun kawasan ini menjadi jantung aktivitas pelayanan publik
oleh PEMDA Rembang.

Selain mata air Pamotan PDAM Kabupaten Rembang juga menggunakan mata
air di Kecamatan Sale dengan volume 80 liter/detik. Air dengan volume sebesar
itu digunakan untuk mencukupi kebutuhan air di dua wilayah yaitu wilayah
Lasem dengan volume 40 liter/detik dan wilayah Rembang sendiri sebesar
liter/detik.

Pamotan kekurangan air

Suatu ketika terjadi unjuk rasa yang dilakukan oleh msyarakat Pamotan, yang
disebabkan PDAM memperdalam pipa penyedot, sehingga mengakibatkan sungai
Pamotan untuk irigasi pertanian sekitar, surut. Pada awalnya unjuk rasa ini dipicu
pihak PDAM membersihkan intik. Intik yaitu bak penampungan air. Dari awal
pembangunan intik hingga tahun 2004, belum pernah dibersihkan. Kemudian
PDAM membersihkan lumpur-lumpur di sekitar intik, menata bongkahan-
bongkahan batu di sekitar intik, agar pipa hisap terhindar dari sumbatan. Karena

2
debet air turun, maka pipa hisap PDAM kelihatan panjang. Setelah dibersihkan,
air yang ke arah pipa hisap tidak mengalami hambatan. Dari kejadian tersebut air
yang ke arah sungai cenderung lambat.

Babak lanjutan ekspolitasi mata air pamotan

Pada awalnya mata air Pamotan debetnya mencapai lebih dari 80 liter/detik.
Namun saat ini debet mata airnya tidak lebih dari 40 liter/detik. Keadaan debet air
tersebut semakin menurun pada puncak musim kemarau. Perusakan hutan bagian
hulu Pamotan, pembukaan kawasan hutan Pamotan, dan aktivitas penambangan di
kawasan Pamotan, saat ini menjadi isu sentral kenapa debet air Pamotan menurun.

Dahulu, pamotan adalah daerah rapat hutan. Tetapi kini tidak dapat dijumpai lagi
Banyaknya penjarahan kayu hutan pada tahun 2001 yang disebabkan tidak adanya
kepercayaan rakyat kepada pemerintah. Tragedi besar-besaran itu kemudian
mengakibatkan tanah mudah terbawa air saat hujan turun dan terjadi sedimentasi
pada saluran-saluran air (sungai dan saluran irigasi). Air hujan tidak lagi
bersahabat dengan daerah tangkapan air. Air seakan melenggang di tempat yang
mereka suka. Air tidak dapat dikendalika oleh pepohonan di hutan.

Akibat penjarahan kayu, berpengaruh terhadap populasi tumbuhan. Pohon-pohon


besar hutan di babat habis hingga bongkahan akarnya pun dijadikan kursi mewah
dari sentuhan ahli ukir setempat. Tidak ada lagi pohon-pohon besar dengan akar-
akar yang kuat yang dapat menyerap dan menahan laju air. Kayu hasil jarahan
tersebut di jual ke kota-kota besar secara ilegal. Akibatya, hutan yang dahulu
sangat lebar kini berubah menjadi kebun ketela, lahan padi gogo, dan kebun
sayuran. Tampaknya ada problem kesejahteraan hidup pada masyarakat di sekitar
hutan.

Setelah kayu di hutan habis, untuk mencukupi kesejahteraan hidup masyarakat,


beberapa gelintir orang di Pamotan dan para investor luar, melakukan eksploitasi
tambang kapur, batu, dan bahan tambang lainnya. Sepanjang jalan raya Pamotan
ke arah timur, terlihat jelas aktivitas eksploitasi tersebut. Kegiatan eksploitasi
galian tambang di Pamotan nantinya akan meninggalkan cekungan-cekungan
dengan bntuk tak beraturan. Mungkin saja masyarakat Pamotan harus sabar
menunggu akan akan pindahnya sumber mata air, akibat putusnya mata air dari
aktivitas galian tambang. Sudah tampak sekarang, air cenderung keruh saat hujan.
Hal ini disebabkan karena pori-pori tanah terbuka lebar, ketika ada air hujan air
tidak mengalami proses filtrasi alamiah yang baik.

Menatap kebutuhan air bersih di Rembang

Kebutuhan air di Rembang Kota, diperlukan debet air dengan volume 150
liter/detik. Namun pada kenyataannya hingga sekarang debet air hanya tercukupi
85 liter/detik. Tentu keadaan tersebut mempengaruhi aktifitas ekonomi di
kawasan Rembang Kota. Adapun kekurangan debet air di kawasan Rembang Kota

3
sebesar 65 liter/detik. Kekurangan debet air tersebut hingga sekarang sedang
dalam diupayakan. Adapun upaya mencukupi kebutuhan air di kawasan Rembang
PEMDA Rembang sedang mengadakan pengadaan air baku alternatif dengan cara
membangun embung di Kali Ombo yang letaknya di Kecamatan Sulang, termasuk
akan melakukan konservasi empat darah aliran sungai di Rembang, yaitu sungai
Babagan Lasem, Sungai Randu Gunting, Sungai Karang Geneng, dan Sungai
kalipang. Mudah-mudahan saja, akar konflik mata air Rembang mengalir dengan
santun seperti tatanan daerah aliran sungai besar di Rembang.

You might also like