You are on page 1of 6

Tugas : Resensi Buku yang Berkenaan dengan Logika

Mata Kuliah : Dasar – Dasar Logika


Dosen : Yayak Heriyanto, S.Sos, M.Si
Nama : Akhmad Rizal
NPM : N200820075
Judul Buku : Logika Agama : Kedudukan Wahyu & Batas – Batas Akal
dalam Islam
Pengarang : M. Quraish Shihab
Penerbit : Lentera Hati
Tahun : 2005
Tebal Buku : 233 halaman

Logika Agama
Kedudukan Wahyu & Batas – Batas Akal dalam Islam

Buku ini memiliki kisah yang sangat berkesan di hati penulis.


Kisahnya bermula saat penulis sedang belajar di Fakultas Ushuluddin
Universitas Al – Azhar, Kairo, belajar dan berdialog dengan 2 orang tokoh
yang merupakan gurunya yaitu al-Habib Aldul Qodir bin Ahmad Bilfaqih
dan Syekh Abdul Halim Mahmud. Buku ini berasal dari satu karya yang
penulis susun dan namai Al – Khawathir yang berarti lintasan pikiran.
Dalam bahasa arab khawatir berarti sesuatu yang terlintas dalam benak
menyangkut satu persoalan atau upaya dan berarti juga hati kecil. Dalam
bahasa indonesia khawatir diartikan dengan takut, gelisah, cemas
terhadap sesuatu yang belum diketahui dengan pasti.
Membicarakan hubungan agama dengan akal, mendudukkan
persoalan tersebut dewasa ini bagi penulis sangatlah penting, karena
penggunaan rasio dan akal demikian besarnya sehingga bukan saja
terjadi desakralikasi tetapi juga melampauinya sehingga muncul
despiritualisasi yang mengingkari atau paling sedikit merasionalkan dan
mengabaikan atau paling tidak sangat meminggirkan peranan kalbu
manusia. Rasio kini telah mengambil tempat melebihi porsinya, sehingga
kalbu terpojok, metafisika tersingkir, bahkan Tuhan pun nyaris terabaikan.

1
Rasio memberi peranan melebihi fungsinya sehingga dapat
membinasakan manusia, karena itu dari waktu ke waktu mereka harus
diingatkan. Peranan rasio sangat mengkhawatirkan dalam semua aspek
kehidupan, bisa memasuki wilayah yang bukan wilayahnya, sehingga
perlunya saat ini untuk mengingatkan mereka kembali ke jalan
spiritualisme setelah dahulu dirasakan dengan pentingnya
mengumandangkan perlunya sakralisasi; tetapi dalam konteks anjuran
publikasi “Al – Khawathir”.
Tidak sedikit orang menuntut perubahan segala hal, termasuk nilai
– nilai agama. Hal itu adalah tuntutan zaman. Ada istilah kata mereka
“Agama islam harus juga menyesuaikan diri dengan perubahan” padahal
mereka lupa atau tidak tahu bahwa tidak semua hal berubah.
Pada dialog antara penulis dan gurunya mendapati dua istilah yaitu
“al-Islam mutathawwir / Islam berkembang” dan “al-Islam shalih li kulli
zaman wa makan / Islam baik dan relevan di setiap masa dan tempat”.
Menurut gurunya bahwa kesesuaian ajaran Islam untuk setiap waktu dan
relevansinya untuk setiap tempat, bukanlah berarti bahwa Islam
berkembang. Tathawwur (evolusi) maksudnya taghayyur, yakni
perubahan atau relativitas, menggambarkan suatu bentuk perubahan dari
suatu keadaan / kondisi kepada keadaan / kondisi yang lain. Jika menyifati
islam sebagai mutathawwir / berkembang itu dapat berarti bahwa ajaran
Islam adalah sophisme yang dikumandangkan oleh para filosof Yunani
dahulu kala. Konsekuensi pandangan ini adalah bahwa tidak ada nilai
atau ajaran yang tetap di dalam agama. Jika berkesimpulan demikian, hal
itu berarti telah menghancurkan Islam. Konsep “tathawwur” dengan
makna agama berarti bahwa Islam tidak akan pernah mengalami evolusi
sedikitpun. Islam meliputi akidah yang tercermin dalam iman, syariah yang
berwujudkan islam, dan akhlak sebagai realisasi dari ihsan. Ketiga hal
tersebut tidak akan berkembang / berubah sampai kapanpun. Ketahuilah
bahwa yang baru dan yang lama, kolot dan modern, perubahan dan
perkembangan, kesemuanya hanya menyentuh hal – hal yang tidak
berkaitan dengan ilmu Tuhan, karena tidak ada perubahan atau
perkembangan menyangkut akidah dan syariah. yang berubah adalah
manusianya, dan semata – mata karena anugerahNya saja, maka Dia

2
mengutus nabi dan rosul kepada setiap masyarakat dengan tuntunan –
tuntunan yang sesuai dengan kondisi dan perkembangan mereka, tetapi
tanpa perubahan menyangkut pokok – pokok akidah, syariah, dan akhlak.
Sedangkan proses penetapan hukum – hukum Islam menunjukkan
adanya perkembangan. Salah satu contoh dalam penetapan hukum
minuman keras yang pada mulanya Al-Qur’an menyinggungnya sebagai
anugerah kepada manusia sesuai dengan firmanNya pada surah an-Nahl
ayat 67 yang artinya “dan dari buah kurma dan anggur, kamu membuat
darinya minuman yang memabukkan dan rezeki yang baik”. Kemudian
turun firmanNya lagi sebagai jawaban atas khomer dan perjudian pada
surah al-Baqoroh ayat 219 yang artinya “mereka bertanya kepadamu
tentang khomer dan judi. Katakanlah pada keduannya terdapat dosa
besar dan manfaat buat manusia”, disusul lagi dengan firmanNya surah
an-Nisa ayat 43 yang artinya “janganlah mendekati sholat dalam keadaan
mabuk, hingga kamu menyadari apa yang kamu ucapkan…”, dan akhirnya
dengan tegas turunnya pelarangan hal ini dengan turunnya surah al-
Maidah ayat 90 yang artinya “Hai orang – orang yang beriman,
sesungguhnya khomer, judi, berhala-berhala, panah-panah (yang
digunakan mengundi nasib), adalah kekejian yang termasuk perbuatan
setan. Maka jauhilah ia agar kamu mendapat keberuntungan”.
Turunnya hukum – hukum Islam secara bertahap tidak diragukan
lagi, tetapi setelah proses turunnya ayat ini yaitu surah al-Maidah ayat 3
yang artinya “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agama
kamu, dan telah Ku-cukupkan kepada kamu nikmat-Ku, dan telah Ku-
ridhai Islam itu agama bagi kamu” adalah sebuah ketetapan hukum final
yang tidak dapat digoyahkan oleh siapa pun. Semenjak saat itu wahyu
tidak turun dan hukum – hukum Allah tidak lagi berkembang. Tidak ada
perubahan bagi kalimat – kalimat Allah SWT,sebagai penutup ayat – ayat
hukum, dan ketahuilah bahwa yang halal itu telah jelas, dan yang haram
pun telah jelas pula.
Keberadaan atau ketiadaan satu ketetapan hukum tergantung pada
‘illat hukum itu sendiri, arti ‘illat adalah suatu sifat / substansi yang melekat
pada sesuatu, sehingga atas dasar hukum ditetapkan, apabila sifat
tersebut tidak lagi melekat padanya, maka hukumnnya pun gugur dan

3
lahir hukum yang baru. Salah satu contoh hukum pelarangan mut’ah yang
dilakukan khalifah Umar bin Khottob.
Ilmu merupakan produk pemikiran manusia, ilmu selalu mengalami
perkembangan sejalan dengan perkembangan umat manusia. Dia maju
dengan kemajuan masyarakat manusia dan mundur dengan kemunduran
mereka. Ilmu adalah pengetahuan yang diperoleh manusia tentang wujud
dan pergerakannya, lalu pengungkapannya terhadap aneka sisi wujud.
Islam sangat mendukung dan menganjurkan pengembangan ilmu dan
teknologi, bahkan membuka diri untuk menerima yang baik dalam kedua
bidang tersebut dari siapa pun walau non muslim dan kapanpun. Dunia
Islam tidak mungkin lahir pertentangan antara hakikat ilmiah dan hakikat
keagamaan. Sikap Islam lentur terhadap hal – hal yang bersifat material,
model, dan bentuk. Hal ini merupakan salah satu faktor utama
kesesuaiannya dengan perkembangan ilmu dan zaman.
Akal adalah insting yang diciptakan oleh Allah swt, pada
kebanyakan makhlukNya, yang hakekatnya oleh hamba – hambaNya baik
melalui pengajaran sebagian untuk sebagian yang lain, tidak juga mereka
secara berdiri sendiri (mereka semua ) tidak dapat menjangkaunya
dengan pandangan, indera, rasa, atau cicipan. Allah yang
memperkenalkan (insting itu) melalui akal itu (dirinya sendiri). Akal
merupakan potensi yang membedakan manusia dari binatang dan yang
menjadikan manusia mampu menerima berbagai pengetahuan teoritis
sehingga mampu dengan pikirannya menjangkau dan memahami semua
persoalan. Akal terdiri dari dua macam yaitu akal yang merupakan
anugerah Allah dan akal yang dapat diperoleh dan dikembangkan oleh
manusia melalui penalaran, pendidikan, dan pengalaman hidup.
Dogma keyakinan keagamaan harus diterima walau tidak
dimengerti oleh akal. Apabila semua ajaran Islam dapat dijangkau dan
dipahami oleh nalar, maka ini merupakan sesuatu yang perlu dibimbing
dan diarahkan. Seandainya ajaran agama menetapkan bahwa segala
sesuatu dapat dijangkau oleh akal, maka ini sama saja dengan mengubur
agama, karena ketika itu orang akan meninggalkan para nabi yang
menyampaikan agama dan mengarah kepada para filosof untuk
memperoleh tuntutan, karena para filosof dinilai sebagai orang – orang

4
yang berakal. Akal ini memiliki wilayahnya, begitu juga agama. Keduanya
harus saling mengakui dan tidak boleh dipertentangkan. Begitu dia
bertentangan, maka pasti salah satunya keliru. Wilayah akal adalah alam
fisika, sedang agama berbicara juga tentang alam metafisika. Agama
berbicara tentang wujud yang tidak tampak oleh pandangan mata. Ayat –
ayat Al- Qur’an yang dibaca yang membicarakan tentang penciptaan
langit dan bumi serta fenomena alamnya merupakan wilayah akal,
sehingga akal berarti potensi manusia untuk mencerna sesuatu. Akan
tetapi akal manusia tidak dapat menjangkau seluruh yang disampaikan
oleh agama. Seorang mulim sejati harus bisa menempatkan akal sesuai
dengan proporsinya dengan bekerja dan berusaha sekuat tenaga sambil
berserah diri kepada Allah swt.
Di dalam Islam terdapat rahasia – rahasia yang tersembunyi,
kerahasiaan itu adalah tentang Dzat Allah swt. Ketidakmampuan manusia
mengetahuinya merupakan salah satu yang harus diakui. Dzat Allah
adalah rahasia dari segala rahasia. Nalar tidak dapat membayangkan
betapa alam raya dengan serba keindahan, keserasihan, dan
keharmonisan dapat mewujud tanpa kehadiran-Nya. Islam melarang kita
mengkaji hakikat Dzat-Nya, meskipun akal manusia kendati berusaha,
tidak mungkin akan berhasil menjangkaunya. Inilah batasan – batasan
akal dalam Islam yang membatasi ummatNya tentang agamanya. Sesuai
dengan yang diriwayatkan oleh ath-Thabarani, Ibnu ‘Adi dan al-Baihaqi :
“Berpikirlah tentang nikmat – nikmat Allah dan jangan berpikir tentang
Dzat-Nya, karena itu menyebabkan kamu kamu binasa”.
Ajaran Islam selalu sesuai dengan akal menyangkut hal – hal yang
berada dalam wilayah akal dan yang Allah beri kita potensi untuk
mengetahuinya. Ajaran Islam tidak bertentangan dengan akal menyangkut
hal – hal yang tidak terungkap secara jelas rincian serta sebab –
sebabnya. Kalau nalar tidak dapat menjangkaunya, maka raihlah sebuah
hasil yang pantas dan sesuai dengan jenis usaha yang telah dilakukan,
pahami dan carilah dengan menggunakan akal sekehendak dan sekuat
kemampuan tentang ajaran – ajaran agama selama ajaran –ajaran itu
memang dapat dijangkaunya. Tempuhlah cara ath-Thariq al-Isyraqy (Jalur
Pencerahan Batin), carilah Mursyid (Guru Spiritual), pahami makna Wali

5
(Dekat) dan amalkan, serta ambilah Hikmah dan Pesan Sufi yang
berfaedah untuk agama Islam. Janganlah menuntut kepuasan batin dari
Ilmu Berhitung, jangan pula menanti – nanti alasan konkret dari Ilmu
Ketuhanan. Jangan membawa timbangan untuk mengetahui panjang
ruangan, jangan mengukur dengan meteran untuk mengetahui berat
sesuatu, dan jangan menuntut dari telinga untuk melihat atau dari mata
untuk mendengar. Karena masing – masing ada wilayah operasinya, ada
fungsi yang diembannya dan setiap objek ada cara pendekatannya yang
sesuai dengan jalur – jalur dan kaidahnya.
Buku ini sesungguhnya menjelaskan pemahaman yang seimbang
seputar kedudukan agama pada satu pihak, peranan akal dalam
membangun sikap keberagaman yang benar pada pihak lain,
kemungkinan – kemungkinan yang bisa dijangkau akal untuk
mempertemukan tuntutan agama pada satu pihak dan tuntutan zaman
pada pihak lain, serta bagaimana berbagai perubahan – perubahan yang
terjadi sehinggga harus disikapi dengan sudut pandang dan solusi yang
dibenarkan agama. (Akhmad Rizal)

You might also like