Professional Documents
Culture Documents
dan nilai yang dimilikinya, dapat ditemukan Suku Sunda. Suku Sunda yang mendiami
daerah Jawa Barat terdiri dari berbagai masyarakat yang berbeda (meskipun berasal dari
suku yang sama). Masing-masing masyarakat ini juga memiliki nilai-nilai kearifan lokal
yang berbeda-beda (meskipun semuanya juga memiliki dasar yang sama, dan memiliki
kemiripan satu sama lainnya). Umumnya perbedaan yang ada disebabkan oleh adanya
perbedaan lingkungan dan daerah tempat mereka menetap, dan juga, tang utama,
dipengaruhi oleh kebiasaan dan nilai-nilai yang berlaku dalam warga masyarakat itu
sendiri.
Kampung Naga. Warga Kampung Naga ini merupakan Suku Sunda, sama dengan Suku
Sunda lainnya yang tinggal di daerah perkotaan (seperti Bandung, dll.). Meskipun sama-
sama merupakan Suku Sunda, dapat jelas terlihat perbedaan yang terdapat di antara
kedua masyarakat ini. Khususnya dalam menjaga hubungannya dengan alam. Saat ini,
masyarakat perkotaan cenderung tidak peduli akan alam, dan bahkan seringkali merusak
alam.
Masyarakat kota sudah tidak lagi mematuhi kearifan lokal yang ada dalam suku
mereka sendiri, dan dengan mudah mengotori (dengan membuang sampah sembarangan)
dan merusak alam (dengan melakukan penggalian, penutupan tanah dengan aspal, dll.).
Karena hal ini juga, alam yang telah rusak menjadi tidak stabil, dan “tidak ramah”. Hal
ini ditandai dengan banyaknya bencana yang terjadi, seperti banjir, tanah longsor,
***bbb
1
Di Tanah Sunda ini, bukan hanya Warga Kanekes yang tergolong setia dalam
menjaga kelestarian lingkungannya. Tetapi masih terdapat masyarakat adat dari daerah
lainnya, seperti masyarakat terdapat di Kampung Naga, yang hingga kini masih kokoh
dalam mempertahankan tradisi yang diwariskan oleh leluhur mereka dalam menjaga
sebuah kampung kecil, Kampung Naga memiliki potensi budaya yang besar, sehingga
potensial untuk dijadikan tempat wisata. Karena itu, tidaklah mengherankan nama
Kampung naga yang di sini sebenarnya hanya tercantum dalam peta desa, dapat tersohor
hingga ke luar negri. Setiap bulannya ada saja wisatawan dari mancanegara yang datang
Naga ini juga cukup banyak jumlahnya. Sebagian dari mereka datang secara sengaja, dan
sebagian lainnya mengunjungi Kampung Naga karena mampir (hanya sambil lalu, karena
daerah Kampung Naga terletak pada ruas jalan raya yang menghubungkan Kota
Letak daerah Kampung Naga berada pada hamparan tanah yang menyerupai
lembah, ciri-ciri yang mencolok adalah bentuk bangunannya yang seragam. Atap rumah
di Kampung Naga berwarna hitam, dan terbuat dari bahan ijuk, atap-atap rumah tampak
berjejer teratur menghadap utara-selatan, serta dibatasi oleh sebuah sungai yang bernama
Sungai Ciwulan. Tempat permukiman warga Kampung Naga tersebut tampak seperti
diapit oleh dua buah hutan. Hutan pertama, yang terletak di sisi Sungai Ciwulan disebut
2
Leuweung Biuk, sedangkan hutan lainnya, yang terletak pada daerah yang lebih tinggi
Leuweung dalam Bahasa Sunda berarti hutan. Seperti tempat-tempat lainnya yang
dinamakan hutan, seluruh arealnya ditumbuhi tanaman keras atau pepohonan besar, yang
Yang membedakan kawasan hutan yang terdapat di daerah itu dengan hutan yang
Tumbuhan (pepohonan) yang terdapat di Leuweung Biuk dan Leuweung Larangan tetap
terjaga dengan baik dan utuh. Khususnya di daerah Leuweung Larangan, pepohonan di
Leuweung Larangan tampak tidak tersentuh sama sekali. Kedua kawasan leuweung
tersebut tampak hijau, karena ditumbuhi berbagai jenis tumbuhan yang dengan sengaja
dibiarkan tumbuh secara alami. Tidak ada seorang pun anggota masyarakat Suku Naga
berani merusak tumbuhan di daerah leuweung (hutan) itu, karena kedua areal hutan itu
dikeramatkan.
Leuweung Larangan, yang memiliki luas kurang lebih tiga hektar, menjadi hutan
yang dikeramatkan karena di leuweung itu terdapat makam leluhur masyarakat Suku
Naga, yaitu makam Sembah Dalem Eyang Singaparana. Di sebelah makam leluhur
tersebut masih terdapat tiga makam lainnya, namun tidak diketahui siapakah yang
dimakamkan di sana.
waktu tertentu saja, terutama pada saat diselenggarakannya upacara hajat sasih, yang
dilaksanakan setiap dua bulan sekali. Sebagai upacara ritual, upacara itu hanya diikuti
oleh kaum laki-laki dewasa yang sebelumnya sudah mengikuti ketentuan khusus.
3
Misalnya saja, sudah melakukan beberesih, yakni mandi bersama di Sungai Ciwulan.
Upacara itu dilaksanakan dengan dipimpin oleh kuncen yang bertindak sebagai kepala
pemangku adat. Para peserta biasanya menggunakan pakaian yang menyerupai jubah
warna putih, dan dengan kepala yang diikat totopong, yakni sejenis ikat kepala khas Suku
Naga. Selain itu mereka tidak diperbolehkan menggunakan alas kaki, baik berupa sandal
apalagi sepatu.
Areal hutan lainnya, dikenal dengan nama Leuweung Biuk. Hal ini dikarenakan
oleh letaknya yang dekat dengan dekat Saluran Biuk. Leuweung Biuk terletak pada kaki
bukit curam yang sekaligus menjadi bibir Sungai Ciwulan. Di areal tersebut tumbuh
berbagai jenis tanaman keras yang sudah berumur lebih dari 50 tahun. Berbeda dengan
daerah yang tabu untuk dikunjungi. Bahkan seorang kuncen pernah berkata bahwa Urang
Naga mah euweuh nu wani nincak. Maksudnya, tidak ada seorang anggota masyarakat
Apalagi, jika mereka sampai menebang pohon yang tumbuh di atasnnya. Jika mereka
menebang pohon yang ada di Leuweung Biuk, hal itu adalah hal yang Pamali (dilarang
Pamali memiliki arti yang sama dengan tabu. Ketentuan yang tidak tertulis itu
merupakan dogma yang harus dipatuhi, tanpa dijelaskan lagi alasan-alasannya, apalagi
sampai diperdebatkan. Sesuatu yang dikatakan pamali merupakan ketentuan yang berasal
dari leluhurnya, dan harus dipatuhi. Jika tidak, mereka akan menanggung akibatnya, baik
4
Peristiwa-peristiwa buruk yang terjadi, seperti banjir, kekeringan, serangan hama
dan penyakit tanaman padi yang mengakibatkan gagalnya panen, atau berkurangnya hasil
produksi dari tanah tersebut, misalnya, dianggap sebagai peristiwa yang tidak lepas dari
hukum sebab akibat. Karena itu, ketika terjadi perambahan tanah di daerah hutan yang
terlarang oleh pihak pemerintah, yang kemudian dijadikan hutan industri dan perkebunan,
para anggota masyarakat adat Suku Naga sudah dapat memperkirakan apa yang akan
terjadi selanjutnya.
Tanah adat wilayah dari Suku Naga sebenarnya memiliki wilayah yang cukup
luas, yang daerahnya mencakup wilayah Gunung Sunda, Gunung Satria, Gunung
Panoongan, Gunung Raja, Pasir Halang hingga mencapai batas jalan raya yang
menghubungkan Kota Tasikmalaya dan Garut. Daerah itu juga sekaligus merupakan sub
DAS (Daerah Aliran Sungai) dari Sungai Ciwulan, yang sudah seharusnya dijaga
kelestariannya.
Sayangnya, pada masa pemerintahan Orde Baru, tanah adat tersebut dianggap
tanah telantar, sehingga kemudian dijadikan tanah negara, lalu dijadikan hutan tanaman
industri (HTI) dan perluasan perkebunan teh. Padahal tanah itu bukanlah tanah telantar,
melainkan memang sengaja dibiarkan terlantar. Lebih parahnya, setelah hutan itu selesai
ditanami, tanah di kawasan itu tidak dibiarkan kembali (menjadi hutan lindung atau
sejenisnya), tetapi, setelah tujuh tahun, tanah ini akan dibuka kembali untuk ditanami,
Sebagai nilai lokal, pandangan hidup masyarakat adat Suku Naga yang berkaitan
sayangnya tidak banyak disadari oleh masyarakat kita sekarang ini. Buktinya, hanya
5
dengan kata pamali saja, misalnya, masyarakat adat Suku Naga ternyata telah mampu
menahan diri, sehingga tidak terjadi perambahan di daerah kawasan hutan yang dianggap
terlarang.
Padahal jika dilihat dari tuntutan kebutuhan dan keterbatasan sumber daya alam
yang dimiliki, desakan tuntutan tersebut jauh lebih kuat jika disbandingkan dengan
masyarakat yang berada di sekitarnya. Masyarakat adat Suku Naga menempati wilayah
yang luasnya sekitar 10,5 hektar, di mana sekitar 1,5 hektar di antaranya dijadikan tempat
Larangan, dan sisa dari daerah di luar wilayah pemukiman dan leuweung dipakai untuk
Dilihat dari pola hidup masyarakat Kampung Naga yang banyak menggunakan
bahan-bahan lokal, baik untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari (makan, minum,
dll.) maupun untuk memenuhi kebutuhan lain, seperti untuk tempat tinggal, tingkat
kebutuhannya akan bahan lokal sebenarnya relatif lebih tinggi. Selain itu, rumah-rumah
masyarakat di daerah ini tidak mengenal listrik dan mereka memasak dengan
Masyarakat adat Suku Naga menganggap tabu jika membangun rumah dengan
menggunakan bahan bangunan industri, kecuali paku. Atap rumah di Kampung Naga
terbuat dari ijuk dan dinding-dindingnya terbuat dari bambu yang sudah dianyam.
Seluruh tiang penyangga rumah menggunakan balok kayu. Bahan-bahan lokal tersebut
harus diusahakan untuk dipenuhi sendiri, dan didapatkan tanpa harus merusak kawasan
hutan yang ditabukan. Ini berarti daerah tempat mereka mencari bahan-bahan kebutuhan
6
Jika barang-barang kebutuhan yang mereka cari tidak tersedia, tentunya akan jauh
lebih mudah untuk mereka jika mereka mencarinya atau mengambilnya dari bagian hutan
yang dilarang. Akan tetapi, karena kearifan lokal yang ada dalam masyarakat ini, serta
budaya pamali yang berkembang dengan kuat, perusakan di daerah hutan yang dilindungi
tidak terjadi.
masyarakat sekarang ini kurang diperhatikan lagi, sehingga tidak memberikan pengaruh
apapun yang dapat mencagah terjadinya perusakan hutan (alam). Benturan perbedaan
kepentingan tersebut tampak paling mencolok ketika masyarakat adat Suku Naga dan
sejumlah masyarakat adat lainnya di Jawa Barat yang merasa khawatir akan perusakan
dihentikan. Melalui tokoh-tokohnya mereka mendesak agar kawasan hutan yang kini
Untuk masyarakat adat Suku Naga, permintaan itu terasa sangat mendesak,
mengingat perambahan hutan lindung yang terus berlangsung selama beberapa tahun
terakhir ini. Ironisnya, perambahan terhadap hutan terlarang itu dilakukan bukan oleh
masyarakat Suku Naga, melainkan oleh masyarakat di luar masyarakat Suku Naga
sendiri, yang selama ini menganggap mareka memiliki latar belakang pengetahuan lebih
maju.
Sebaliknya masyarakat adat Suku Naga sendiri tidak ada seorang pun yang berani
memasuki areal kawasan hutan terlarang tersebut, dan mereka terus berusaha menjaga
7
(hutan lindung Gunung Raja) dianggap telah melindas nilai-nilai lokal yang selama ini
mereka anut.
Di daerah hutan lindung tersebut juga terdapat terdapat situs peninggalan sejarah
yang memiliki kaitan erat dengan asal-usul dari masyarakat adat Suku Naga sendiri.
Selain itu, sebagai wilayah bagian dari sub Daerah Aliran Sungai Ciwulan, kawasan
hutan tersebut, seperti halnya daerah bagian DAS lainnya, patut dipertahankan
kondisi tanah dari daerah Kampung Naga secara keseluruhan, mengingat salah satu peran
penting yang dimilikinya sebagai sumber air masyarakat adat Suku Naga.
Selain itu, hutan juga merupakan habitat dari berbagai makhluk hidup, baik
sekitarnya. Jika hutan dirambah, dapat dipastikan keseimbangan ekosistem tersebut akan
terganggu, dan akibatnya akan terlihat jelas pada kehidupan hewan dan tumbuhan
tersebut. Jika hal ini terus terjadi, beberapa spesies di hutan dapat mengalami kepunahan.
Hal ini pun akan memberikan dampak buruk bagi kehidupan masyarakat di daerah itu
sendiri. Contohnya saja jika terdapat kasus tikus yang sangat merajalela dalam merusak
padi. Hal ini biasanya disebabkan karena hilang/punahnya pemangsa alami mereka (ular,
penyediaan air demi kelangsungan hidup makhluk hidup (khususnya manusia), rasanya
bukanlah sesuatu yang mengada-ada. Banyak terdapat contoh-contoh nyata yang selama
ini telah terjadi di berbagai daerah di Indonesia yang mengalami akibat dari perambahan
8
hutan. Terjadinya bencana alam longsor dan banjir sebenarnya sudah merupakan
peringatan, bahwa alam tidak lagi dapat bersahabat dengan manusia. Kawasan hutan
kesulitan bagi manusia sendiri dalam memenuhi kebutuhannya akan air bersih. Tidak
adanya kawasan hutan akibat penebangan dapat juga menyebabkan terjadinya banjir di
musim hujan, meskipun saat musim kemarau persediaan air menjadi sangat sedikit, saat
musim hujan tiba, air hujan yang turun terus mengalir, dan tidak diserap oleh hutan
(karena tidak adanya pohon), serta menimbulkan banjir. Akibat tidak adanya pohon pula,
tidak terdapat air tanah (air yang diserap pepohonan dan disimpan di dalam tanah, dan
Masyarakat adat Suku Naga yang menempati wilayah yang disebut Kampung
Naga tersebut, selama ini diakui memiliki potensi budaya yang besar merupakan bagian
yang tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan Sunda. Mereka hidup berkelompok, tanpa
mengisolasi diri dengan lingkungan dan kehidupan daerah sekitarnya, akan tetapi mereka
dapat dengan kokoh tetap mempertahankan pandangan hidup, tradisinya, serta nilai-nilai
kearifan lokalnya, khususnya di tengah gelombang modernisasi yang masuk pada era
globalisasi seperti saat ini. Sayangnya hal ini tidak terdapat dalam setiap masyarakat di
Indonesia. Padahal jika setiap masyarakat minimal menghayati dan menjalankan kearifan
lokal yang ada, keadaan alam Indonesia tidak akan sampai terpuruk sedemikian parahnya
***bbb
9
Kesimpulanjjf
memiliki adat-istiadat, budaya, dan nilai-nilai yang berbeda satu sama lainnya. Nilai-nilai
lokal yang terdapat dalam setiap suku bangsa memiliki nilai-nilai kearifannya sendiri.
Nilai-nilai kearifan tersebut dapat berhubungan dengan berbagai aspek kehidupan, seperti
nilai kearifan dalam hubungannya dengan relasi sesama manusia, relasi dengan Sang
Dari sekian banyak suku bangsa tersebut, masih terdapat suku-suku yang dapat
mempertahankan kearifan lokal budaya mereka di tengah seruan moderenisasi dalam era
globalisasi ini. Suku-suku seperti suku Sunda pedalaman, Suku Dayak, serta suku-suku
lain di Kalimantan, Sumatera, Papua, dll. juga masih dapat mempertahankan nilai-nilai
kearifan lokal mereka, khususnya dalam relasi mereka dengan alam, yang bagi sebagian
dengan hutan. Beberapa suku dapat menjaga hutan dengan baik, berdasarkan nilai-nilai
mereka, tetapi ironisnya, mereka sering menjadi korban keserakahan perambah hutan,
atau menjadi kambing hitam pemerintah atas masalah-masalah yang terjadi. Padahal,
penyalahan atas suku-suku itu sama sekali tidaklah benar. Pemerintah seringkali merasa
terlalu pandai, sehingga bertindak semau mereka untuk kesuksesan jangka pedek bagi
sekitar hutan.
10
Meskipun sedemikian beratnya, suku-suku seperti Suku Naga masih bertahan dan
bertindak semaksimal mungkin dalam menjaga hutan mereka. Merupakan hal yang buruk
bagi kita jika membiarkan mereka berjuang sendirian dalam menjaga hutannya, karena
secara langsung maupun tidak langsung, hutan yang mereka jaga kelestariannya
11