You are on page 1of 6

PERNIKAHAN (1/3)

Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan kata "nikah" sebagai (1) perjanjian antara
laki-laki dan perempuan untuk bersuami istri (dengan resmi); (2) perkawinan. Al-Quran
menggunakan kata ini untuk makna tersebut, di samping secara majazi diartikannya
dengan "hubungan seks". Kata ini dalam berbagai bentuknya ditemukan sebanyak 23
kali. Secara bahasa pada mulanya kata nikah digunakan dalam arti "berhimpun".

Al-Quran juga menggunakan kata zawwaja dan kata zauwj yang berarti "pasangan"
untuk makna di atas. Ini karena pernikahan menjadikan seseorang memiliki pasangan.
Kata tersebut dalam berbagai bentuk dan maknanya terulang tidak kurang dari 80
kali.

Secara umum Al-Quran hanya menggunakan dua kata ini untuk menggambarkan
terjalinnya hubungan suami istri secara sah. Memang ada juga kata wahabat (yang
berarti "memberi") digunakan oleh Al-Quran untuk melukiskan kedatangan seorang
wanita kepada Nabi Saw., dan menyerahkan dirinya untuk dijadikan istri. Tetapi
agaknya kata ini hanya berlaku bagi Nabi Saw. (QS Al-Ahzab [33]: 50).

Kata-kata ini, mempunyai implikasi hukum dalam kaitannya dengan ijab kabul
(serah terima) pernikahan, sebagaimana akan dijelaskan kemudian.

Pernikahan, atau tepatnya "keberpasangan" merupakan ketetapan Ilahi atas segala


makhluk. Berulang-ulang hakikat ini ditegaskan oleh Al-Quran antara lain dengan
firman-Nya:

Segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan agar kamu menyadari (kebesaran


Allah) (QS Al-Dzariyat [51]:49).

Mahasuci Allah yang telah menciptakan semua pasangan, baik dari apa yang tumbuh di
bumi, dan dan jenis mereka (manusia) maupun dari (makhluk-makhluk) yang tidak
mereka ketahui (QS Ya Sin [36]: 36).

BERPASANGAN ADALAH FITRAH

Mendambakan pasangan merupakan fitrah sebelum dewasa, dan dorongan yang sulit
dibendung setelah dewasa. Oleh karena itu, agama mensyariatkan dijalinnya pertemuan
antara pria dan wanita, dan kemudian mengarahkan pertemuan itu sehingga
terlaksananya "perkawinan", dan beralihlah kerisauan pria dan wanita menjadi
ketenteraman atau sakinah dalam istilah Al-Quran surat Ar-Rum (30): 21. Sakinah
terambil dari akar kata sakana yang berarti diam/tenangnya sesuatu setelah
bergejolak. Itulah sebabnya mengapa pisau dinamai sikkin karena ia adalah alat yang
menjadikan binatang yang disembelih tenang, tidak bergerak, setelah tadinya ia
meronta. Sakinah --karena perkawinan-- adalah ketenangan yang dinamis dan
aktif, tidak seperti kematian binatang. Guna tujuan tersebut Al-Quran antara lain
menekankan perlunya kesiapan fisik, mental, dan ekonomi bagi yang ingin menikah.
Walaupun para wali diminta untuk tidak menjadikan kelemahan di bidang ekonomi
sebagai alasan menolak peminang: "Kalau mereka (calon-calon menantu) miskin, maka
Allah akan menjadikan mereka kaya (berkecukupan) berkat anugerah-Nya" (QS An-
Nur[24]: 31). Yang tidak memiliki kemampuan ekonomi dianjurkan untuk menahan
diri dan memelihara kesuciannya "Hendaklah mereka yang belum mampu (kawin)
menahan diri, hingga Allah SWT. menganugerahkan mereka kemampuan" (QS An-Nur
[24]: 33)

Di sisi lain perlu juga dicatat, bahwa walaupun Al-Quran menegaskan bahwa
berpasangan atau kawin merupakan ketetapan Ilahi bagi makhluk-Nya, dan walaupun
Rasul menegaskan bahwa "nikah adalah sunnahnya", tetapi dalam saat yang sama Al-
Quran dan Sunnah menetapkan ketentuan-ketentuan yang harus diindahkan –lebih
lebih karena masyarakat yang ditemuinya melakukan praktek-praktek yang amat
berbahaya serta melanggar nilai-nilai kemanusiaan, seperti misalnya mewarisi secara
paksa istri mendiang ayah (ibu tiri) (QS Al-Nisa' [4]: 19). Bahkan menurut Al-Qurthubi
ketika larangan di atas turun, masih ada yang mengawini mereka atas dasar suka
sama suka sampai dengan turunnya surat Al-Nisa' [4]: 22 yang secara tegas
menyatakan.

Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita yang telah dinikahi oleh ayahmu tetapi apa
yang telah lalu(dimaafkan oleh Allah).

Imam Bukhari meriwayatkan melalui istri Nabi, Aisyah, bahwa pada masa Jahiliah,
dikenal empat macam pernikahan. Pertama, pernikahan sebagaimana berlaku kini,
dimulai dengan pinangan kepada orang tua atau wali, membayar mahar dan menikah.
Kedua, adalah seorang suami yang memerintahkan kepada istrinya apabila telah suci
dari haid untuk menikah (berhubungan seks) dengan seseorang, dan bila ia telah
hamil, maka ia kembali untuk digauli suaminya; ini dilakukan guna mendapat keturunan
yang baik. Ketiga, sekelompok lelaki kurang dari sepuluh orang, kesemuanya
menggauli seorang wanita, dan bila ia hamil kemudian melahirkan, ia memanggil
seluruh anggota kelompok tersebut --tidak dapat absen-- kemudian ia menunjuk salah
seorang pun yang seorang yang dikehendakinya untuk dinisbahkan kepadanya nama anak
itu, dan yang bersangkutan tidak boleh mengelak. Keempat, hubungan seks yang
dilakukan oleh wanita tunasusila, yang memasang bendera atau tanda di pintu-pintu
kediaman mereka dan "bercampur" dengan siapa pun yang suka kepadanya. Kemudian
Islam datang melarang cara perkawinan tersebut kecuali cara yang pertama.

SIAPA YANG TIDAK BOLEH DINIKAHI?

Al-Quran tidak menentukan secara rinci tentang siapa yang dikawini, tetapi hal
tersebut diserahkan kepada selera masing-masing:

Maka kawinilah siapa yang kamu senangi dari wanita-wanita (QS An-Nisa [4]: 3)
Meskipun demikian, Nabi Muhammad Saw. menyatakan, Biasanya wanita dinikahi
karena hartanya, atau keturunannya, atau kecantikannya, atau karena agamanya. Jatuhkan
pilihanmu atas yang beragama, (karena kalau tidak) engkau akan sengsara (Diriwayatkan
melalui Abu Hurairah).

Di tempat lain, Al-Quran memberikan petunjuk, bahwa


Laki-laki yang berzina tidak (pantas) mengawini melainkan perempuan yang berzina,
atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak pantas dikawini
melainkan oleh laki-laki yang berzina atau 1aki-laki musyrik (QS Al-Nur [24): 3).

Walhasil, seperti pesan surat Al-Nur (24): 26,

Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji dan laki-laki yang keji adalah
untuk wanita-wanita yang keji. Dan Wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang
baik, dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pu1a).

Al-Quran merinci siapa saja yang tidak boleh dikawini seorang


laki-laki.

Diharamkan kepada kamu mengawini ibu-ibu kamu, anak-anakmu yang perempuan


saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan,
saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu
yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-
ibumu yang menyusukan kamu, saudara perempuan sepesusuan, ibu-ibu istrimu (mertua),
anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi
jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak
berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan juga bagi kamu) istri-istri anak
kandungmu (menantu), dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang
bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau. Sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan diharamkan juga mengawini wanita-wanita yang
bersuami (QS Al-Nisa' [4]: 23-24).

Kalaulah larangan mengawini istri orang lain merupakan sesuatu yang dapat dimengerti,
maka mengapa selain itu --yang disebut di atas-- juga diharamkan? Di sini berbagai
jawaban dapat dikemukakan.

Ada yang menegaskan bahwa perkawinan antara keluarga dekat, dapat melahirkan
anak cucu yang lemah jasmani dan rohani, ada juga yang meninjau dari segi
keharusan menjaga hubungan kekerabatan agar tidak menimbulkan perselisihan
atau perceraian sebagaimana yang dapat terjadi antar suami istri. Ada lagi yang
memandang bahwa sebagian yang disebut di atas, berkedudukan semacam anak, saudara,
dan ibu kandung, yang kesemuanya harus dilindungi dari rasa berahi. Ada lagi yang
memahami larangan perkawõnan antara kerabat sebagai upaya Al-Quran memperluas
hubungan antarkeluarga lain dalam rangka mengukuhkan satu masyarakat.
PERKAWINAN ANTAR PEMELUK AGAMA YANG BERBEDA

Al-Quran juga secara tegas melarang perkawinan dengan orang


musyrik seperti Firman-Nya dalam surat Al-Baqarah (2):

Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik


sebelum mereka beriman.

Larangan serupa juga ditujukan kepada para wali agar tidak


menikahkan perempuan-perempuan yang berada dalam perwaliannya
kepada laki-laki musyrik.

Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik


(dengan wanita-wanita Mukmin) sebelum mereka beriman
(QS A1-Baqarah [2]: 221).

Menurut sementara ulama walaupun ada ayat yang membolehkan


perkawinan pria Muslim dengan wanita Ahl Al-Kitab (penganut
agama Yahudi dan Kristen), yakni surat Al-Maidah (51: 5 yang
menyatakan,

Dan (dihalalkan pula) bagi kamu (mengawini)


wanita-wanita terhormat di antara wanita-wanita yang
beriman, dan wanita-wanita yang terhormat di antara
orang-orang yang dianugerahi Kitab (suci) (QS
Al-Ma-idah [5]: 5).

Tetapi izin tersebut telah digugurkan oleh surat Al-Baqarah


ayat 221 di atas. Sahabat Nabi, Abdullah Ibnu Umar, bahkan
mengatakan:

"Saya tidak mengetahui kemusyrikan yang lebih besar dan


kemusyrikan seseorang yang menyatakan bahwa Tuhannya
adaLah Isa atau salah seorang dari hamba Allah."

Pendapat ini tidak didukung oleh mayoritas sahabat Nabi dan


ulama. Mereka tetap berpegang kepada teks ayat yang
membolehkan perkawinan semacam itu, dan menyatakan bahwa
walaupun aqidah Ketuhanan ajaran Yahudi dan Kristen tidak
sepenuhnya sama dengan aqidah Islam, tetapi Al-Quran tidak
menamai mereka yang menganut Kristen dan Yahudi sebagai
orang-orang musyrik. Firman Allah dalam surat A1-Bayyinah
(98): 1 dijadikan salah satu alasannya.

Orang kafir yang terdiri dari Ahl Al-Kitab dan


Al-Musyrikin (menyatakan bahwa) mereka tidak akan
meninggalkan agamanya sebelum datang kepada mereka
bukti yang nyata (QS. Al-Bayyinah [98]: 1).

Ayat ini menjadikan orang kafir terbagi dalam dua kelompok


berbeda, yaitu Ahl Al-Kitab dan Al-Musyrikin. Perbedaan ini
dipahami dari kata "wa" yang diterjemahkan "dan", yang oleh
pakar bahasa dinyatakan sebagai mengandung makna "menghimpun
dua hal yang berbeda."

Larangan mengawinkan perempuan Muslimah dengan pria non-Muslim


--termasuk pria Ahl Al-Kitab-- diisyaratkan oleh Al-Quran.
Isyarat ini dipahami dari redaksi surat Al-Baqarah (2): 221 di
atas, yang hanya berbicara tentang bolehnya perkawinan pria
Muslim dengan wanita Ahl Al-Kitab, dan sedikit pun tidak
menyinggung sebaliknya. Sehingga, seandainya pernikahan
semacam itu dibolehkan, maka pasti ayat tersebut akan
menegaskannya.

Larangan perkawinan antar pemeluk agama yang berbeda itu


agaknya dilatarbelakangi oleh harapan akan lahirnya sakinah
dalam keluarga. Perkawinan baru akan langgeng dan tenteram
jika terdapat kesesuaian pandangan hidup antar suami dan
istri, karena jangankan perbedaan agama, perbedaan budaya,
atau bahkan perbedaan tingkat pendidikan antara suami dan
istri pun tidak jarang mengakibatkan kegagalan perkawinan.
Memang ayat itu membolehkan perkawinan antara pria Muslim dan
perempuan Utul-Kitab (Ahl Al-Kitab), tetapi kebolehan itu
bukan saja sebagai jalan keluar dari kebutuhan mendesak ketika
itu, tetapi juga karena seorang Muslim mengakui bahwa Isa a.s.
adalah Nabi Allah pembawa ajaran agama. Sehingga, pria yang
biasanya lebih kuat dari wanita --jika beragama Islam-- dapat
mentoleransi dan mempersilakan Ahl Al-Kitab menganut dan
melaksanakan syariat agamanya,

Bagi kamu agamamu dan bagiku agamaku (QS Al-Kafirun


[109]: 6).

Ini berbeda dengan Ahl Al-Kitab yang tidak mengakui Muhammad


Saw. sebagai nabi.

Di sisi lain harus pula dicatat bahwa para ulama yang


membolehkan perkawinan pria Muslim dengan Ahl Al-Kitab, juga
berbeda pendapat tentang makna Ahl Al-Kitab dalam ayat ini,
serta keberlakuan hukum tersebut hingga kini. Walaupun penulis
cenderung berpendapat bahwa ayat tersebut tetap berlaku hingga
kini terhadap semua penganut ajaran Yahudi dan Kristen, namun
yang perlu diingat bahwa Ahl Al-Kitab yang boleh dikawini itu,
adalah yang diungkapkan dalam redaksi ayat tersebut sebagai
"wal muhshanat minal ladzina utul kitab". Kata al-muhshnnat di
sini berarti wanita-wanita terhormat yang selalu menjaga
kesuciannya, dan yang sangat menghormati dan mengagungkan
Kitab Suci. Makna terakhir ini dipahami dari penggunaan kata
utuw yang selalu digunakan Al-Quran untuk menjelaskan
pemberian yang agung lagi terhormat. [1] Itu sebabnya ayat
tersebut tidak menggunakan istilah Ahl Al-Kitab, sebagaimana
dalam ayat-ayat lain, ketika berbicara tentang penganut ajaran
Yahudi dan Kristen.

Pada akhirnya betapapun berbeda pendapat ulama tentang boleh


tidaknya perkawinan Muslim dengan wanita-wanita Ahl Al-Kitab,
namun seperti tulis Mahmud Syaltut dalam kumpulan fatwanya.
[2]

Pendapat para ulama yang membolehkan itu berdasarkan


kaidah syar'iyah yang normal, yaitu bahwa suami
memiliki tanggung jawab kepemimpinan terhadap istri,
serta memiliki wewenang dan fungsi pengarahan terhadap
keluarga dan anak-anak. Adalah kewajiban seorang suami
Muslim --berdasarkan hak kepemimpinan yang
disandangnya-- untuk mendidik anak-anak dan keluarganya
dengan akhlak Islam. Laki-laki diperbolehkan mengawini
non-Muslimah yang Ahl Al-Kitab, agar perkawinan itu
membawa misi kasih sayang dan harmonisme, sehingga
terkikis dari hati istrinya rasa tidak senangnya
terhadap Islam. Dan dengan perlakuan suaminya yang baik
yang berbeda agama dengannya itu, sang istri dapat
lebih mengenal keindahan dan keutamaan agama Islam
secara amaliah praktis, sehingga ia mendapatkan dari
dampak perlakuan baik itu ketenangan, kebebasan
beragama, serta hak-haknya yang sempurna, lagi tidak
kurang sebaik istri.

Selanjutnya Mahmud Syaltut menegaskan bahwa kalau apa yang


dilukiskan di atas tidak terpenuhi --sebagaimana sering
terjadi pada masa kini-- maka ulama sepakat untuk tidak
membenarkan perkawinan itu, termasuk oleh mereka yang tadinya
membolehkan.

You might also like