You are on page 1of 16

Mata Kuliah Dosen

Pembimbing
Fiqih Muamalah Khairuddin, M.Ag

PERDAGANGAN JUAL BELI

Disusun Oleh:
MASRIL

Semester III

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM


(STAI) TUANKU TAMBUSAI
PASIR PENGARAIAN KAB. ROKAN
HULU
2009

5
BAB I
PENDAHULUAN

Allah telah berfirman dalam Al-Quran,

‫م الّرَبا‬ ‫ر‬‫ح‬ ‫و‬ ‫ع‬ ‫ي‬ ‫ب‬ْ ‫ل‬ ‫ا‬ ‫ه‬ ّ ‫ل‬‫ال‬ ّ
‫ل‬ ‫ح‬ َ ‫وأ‬
َ
َ ّ َ َ ْ َ ُ َ َ
“Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS. Al-
Baqarah 2:275).

Firman tersebut menjadi dalil bagi kebolehan jual beli secara umum.
Selain itu, para ulama telah membolehkan jual beli secara kredit, di
antaranya adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Imam Ibnul Qoyyim, Syaikh
Abdul Aziz bin Baz, Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin, Syaikh Al Jibrin
dan lainnya. Namun kebolehan jual beli ini menurut para ulama yang
memperbolehkannya harus memenuhi beberapa syarat tertentu. Mereka
berhujjah dengan beberapa dalil berikut yang bisa diklasifikasikan menjadi
beberapa bagian;

1. Pertama, Dalil-dalil yang memperbolehkan jual beli dengan pembayaran


tertunda.
Firman Allah Ta'ala
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara
tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menulisnya” (QS. Al
Baqarah: 282).

Ibnu Abbas menjelaskan, "Ayat ini diturunkan berkaitan dengan jual


beli As Salam saja."

Imam Al Qurthubi menerangkan,


"Artinya, kebiasaan masyarakat Madinah melakukan jual beli salam
adalah penyebab turunnya ayat ini, namun kemudian ayat ini berlaku
untuk segala bentuk pinjam meminjam berdasarkan ijma' ulama"
(Tafsir Al Qurthubi 3/243).

5
BAB II
PERDAGANGAN JUAL BELI

A. PENGERTIAN JUAL BELI


Secara etimologis, jual beli berarti menukar harta dengan harta.
Sedangkan, secara terminologi, jual beli memiliki arti penukaran selain
dengan fasilitas dan kenikmatan.

Dasar Hukum;
Jual beli disyariatkan di dalam Alquran, sunnah, ijma, dan dalil akal. Allah
SWT berfirman:
“Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (Alquran,
2:275)

Menjual adalah memindahkan hak milik kepada orang lain dengan harga,
sedangkan membeli yaitu menerimanya.
Allah telah menjelaskan dalam kitab-Nya yang mulia demikian pula Nabi
shalallahu 'alaihi wasallam dalam sunnahnya yang suci beberapa hukum
muamalah, karena butuhnya manusia akan hal itu, dan karena butuhnya
manusia kepada makanan yang dengannya akan menguatkan tubuh,
demikian pula butuhnya kepada pakaian, tempat tinggal, kendaraan dan
sebagainya dari berbagai kepentingan hidup serta kesempurnaanya.

Dan para ulama telah ijma (sepakat) atas perkara (bolehnya) jual beli,
adapun qiyas yaitu dari satu sisi bahwa kebutuhan manusia mendorong
kepada perkara jual beli, karena kebutuhan manusia berkaitan dengan
apa yang ada pada orang lain baik berupa harga atau sesuaitu yang
dihargai (barang dan jasa) dan dia tidak dapat mendapatkannya kecuali
dengan menggantinya dengan sesuatu yang lain, maka jelaslah hikmah
itu menuntut dibolehkannya jual beli untuik sampai kepada tujuan yang
dikehendaki. .

B. SYARAT DAN RUKUN JUAL BELI


Sahnya suatu jual beli bila ada dua unsur pokok yaitu bagi yang beraqad
dan (barang) yang diaqadi, apabila salah satu dari syarat tersebut hilang
atau gugur maka tidak sah jual belinya. Adapun syarat tersebut adalah
sbb :

5
Bagi yang beraqad :
1. Adanya saling ridha keduanya (penjual dan pembeli), tidak sah bagi
suatu jual beli apabila salah satu dari keduanya ada unsur terpaksa tanpa
haq (sesuatu yang diperbolehkan) berdasarkan firman Allah Ta'ala "
kecuali jika jual beli yang saling ridha diantara kalian ", dan Nabi
shalallahu 'alaihi wasallam bersabda "hanya saja jual beli itu terjadi
dengan asas keridhan" (HR. Ibnu Hiban, Ibnu Majah, dan selain
keduanya), adapun apabila keterpaksaan itu adalah perkara yang haq
(dibanarkan syariah), maka sah jual belinya. Sebagaimana seandainya
seorang hakim memaksa seseorang untuk menjual barangnya guna
membayar hutangnya, maka meskipun itu terpaksa maka sah jual
belinya.
2. Yang beraqad adalah orang yang diperkenankan (secara syariat) untuk
melakukan transaksi, yaitu orang yang merdeka, mukallaf dan orang
yang sehat akalnya, maka tidak sah jual beli dari anak kecil, bodoh, gila,
hamba sahaya dengan tanpa izin tuannya.
(catatan : jual beli yang tidak boleh anak kecil melakukannya transaksi
adalah jual beli yang biasa dilakukan oleh orang dewasa seperti jual beli
rumah, kendaraan dsb, bukan jual beli yang sifatnya sepele seperti jual
beli jajanan anak kecil, ini berdasarkan pendapat sebagian dari para
ulama pent)
3. Yang beraqad memiliki penuh atas barang yang diaqadkan atau
menempati posisi sebagai orang yang memiliki (mewakili), berdasarkan
sabda Nabi kepada Hakim bin Hazam " Janganlah kau jual apa yang bukan
milikmu" (diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Tirmidzi dan dishahihkan
olehnya). Artinya jangan engkau menjual seseuatu yang tidak ada dalam
kepemilikanmu.

Berkata Al Wazir Ibnu Mughirah Mereka (para ulama) telah sepakat bahwa
tidak boleh menjual sesuatu yang bukan miliknya, dan tidak juga dalam
kekuasaanya, kemudian setelah dijual dia beli barang yang lain lagi (yang
semisal) dan diberikan kepada pemiliknya, maka jual beli ini bathil

Bagi (Barang) yang diaqadi


• Barang tersebut adalah sesuatu yang boleh diambil manfaatnya secara
mutlaq, maka tidak sah menjual sesuatu yang diharamkan mengambil
manfaatnya seperti khomer, alat-alat musik, bangkai berdasarkan sabda
Nabi shalallahu 'alaihi wasallam " Sesungguhnya Allah mengharamkan

5
menjual bangkai, khomer, dan patung (Mutafaq alaihi). Dalam riwayat
Abu Dawud dikatakan " mengharamkan khomer dan harganya,
mengharamkan bangkai dan harganya, mengharamkan babi dan
harganya", Tidak sah pula menjual minyak najis atau yang terkena najis,
berdasarkan sabda Nabi " Sesungguhnya Allah jika mengharamkan
sesuatu (barang) mengharamkan juga harganya ", dan di dalam hadits
mutafaq alaihi: disebutkan " bagaimana pendapat engkau tentang lemak
bangkai, sesungguhnya lemak itu dipakai untuk memoles perahu,
meminyaki (menyamak kulit) dan untuk dijadikan penerangan", maka
beliau berata, " tidak karena sesungggnya itu adalah haram.".
• Yang diaqadi baik berupa harga atau sesuatu yang dihargai mampu
untuk didapatkan (dikuasai), karena sesuatu yang tidak dapat didapatkan
(dikuasai) menyerupai sesuatu yang tidak ada, maka tidak sah jual
belinya, seperti tidak sah membeli seorang hamba yang melarikan diri,
seekor unta yang kabur, dan seekor burung yang terbang di udara, dan
tidak sah juga membeli barang curian dari orang yang bukan pencurinya,
atau tidak mampu untuk mengambilnya dari pencuri karena yang
menguasai barang curian adalah pencurinya sendiri..
• Barang yang diaqadi tersebut diketahui ketika terjadi aqad oleh yang
beraqad, karena ketidaktahuan terhadap barang tersebut merupakan
suatu bentuk penipuan, sedangkan penipuan terlarang, maka tidak sah
membeli sesuatu yang dia tidak melihatnya, atau dia melihatnya akan
tetapi dia tidak mengetahui (hakikat) nya. Dengan demikian tidak boleh
membeli unta yang masih dalam perut, susu dalam kantonggnya. Dan
tidak sah juga membeli sesuatu yang hanya sebab menyentuh seperti
mengatakan "pakaian mana yang telah engkau pegang, maka itu harus
engkau beli dengan (harga) sekian " Dan tidak boleh juga membeli
dengam melempar seperti mengatakan "pakaian mana yang engaku
lemparkan kepadaku, maka itu (harganya0 sekian. Hal ini berdasarkan
hadits Abu Hurairah radiallahu anhu bahwa Nabi shalallahu 'alaihi
wasallam melarang jual beli dengan hasil memegang dan melempar"
(mutafaq alaihi). Dan tidak sah menjual dengan mengundi (dengan krikil)
seperti ucapan " lemparkan (kerikil) undian ini, maka apabila mengenai
suatu baju, maka bagimu harganya adalah sekian.

Jadi Rukun jual beli ada 4 (empat) yaitu:


a. Adanya pihak penjual (al-bai’);
b. Pihak pembeli (al-musyfari);

5
c. Barang yang diperjual belikan (al-mabi’) dan
d. Transaksi (’aqd)

Rukun-rukun Akad menurut Fuqaha jumhur terdiri atas tiga hal yaitu
:
1. Al-Aqidain, para pihak yang terlibat langsung dengan akad
2. Mahallul’aqd, yakni obyek akad. Yakni suatu yang hendak diakadkan.
3. Sighat Al-‘Aqd, yakni pernyataan kalimat akad, yang lazimnya
dilaksanakan melalui pernyataan ijab dan perataan qabul.

Sedangkan menurut Fuqaha’ Hanafiyah, rukun akad hanya ada satu,


yakni Sighat al-‘aqd. Menurut mereka al-aqidain dan mahallul’aqd bukan
sebagai rukun akad, melebihkan lebih tepat sebagai syarat akad. Untuk
memahami perbedaan-perbedaan ini penulis perlu menyampaikan uraian
singkat tentang pengertian rukun dan syarat. Rukun menurut pengertian
istilah fuqaha dan ahli ushul adalah:
“Suatu yang menjadi tegaknya dan adanya sesuatu sedangkan ia
bersifat interen dari suatu yang ditegakan”
Berdasarkan pengertian di atas maka rukun akad adalah
kesepakatan dua kehendak, yakni ijab dan kabul . seorang pelaku dapat
dipandang sebagai rukun dari perbuatannya karena pelaku bukan
merupakan bagian internal dari perbuatannya. Sebagai mana yang
berlaku pada ibadah salat, dimana orang yang melakukan shalat tidak
dapat dipandang sebagai rukun shalat.

C. SYARAT SAHNYA IJAB QABUL


Syarat ijab dan qabul antara lain:
Untuk itu, para ulama fiqh mengemukakan bahwa syarat ijab dan qabul
itu adalah sebagai berikut:
1). Jala’ul ma’na, yaitu tujuan yang terkandung dalam pernyataan ijab
dan qabul itu jelas, sehingga dapat dipahami jenis aqad yang
dikehendaki.
2). Tawafuq, yaitu adanya kesesuaian antara ijab dan qabul. Misalnya,
penjual mengatakan: ”saya jual buku ini seharga Rp. 30.000,- lalu
pembeli menjawab: ”saya beli dengan harga Rp. 30.000,-. Apabila antara
ijab dan qabul tidak sesuai, maka jual beli tidak sah.
3). Ijab dan qabul itu bersambung, yaitu:
(a). Ijab dan qabul itu dilakukan dalam satu majelis. Artinya, kedua belah

5
pihak yang melakukan jual beli hadir dan membicarakan topik yang sama.
Kehadiran yang dimaksud dapat berupa kehadiran secara lahir, tetapi
juga dapat diartikan sebagai kehadiran dalam satu situasi dan kondisi
yang sama, sekalipun antara keduanya berjauhan, tetapi topik yang
dibicarakan adalah hal yang sama yakni jual beli.
(b). Tidak disandarkan pada persyaratan tertentu dan tidak berwaktu.
Adapun cara melakukan ijab dan qabul adalah sebagai berikut:
1). Lisan. Para pihak mengungkapkan kehendaknya dalam bentuk
perkataan secara jelas.
2). Tulisan. Hal ini dilakukan oleh para pihak yang tidak dapat bertemu
langsung dalam melakukan akad jual beli.
3). Isyarat. Hal ini dimungkinkan bagi orang yang cacat dalam hal ini tuna
wicara atau orang bisu, asalkan para pihak yang melakukan akad
tersebut memiliki pemahaman yang sama.
4). Perbuatan atau yang disebut dengan ta’ati atau mu’at{ah (saling
memberi dan menerima). Hal ini sering terjadi pada proses tawar
menawar. Pihak pembeli telah mengetahui harga barang yang secara
tertulis dicantumkan pada barang tersebut.
c. Ada barang yang diperjual belikan (al-mabi)
Syarat barang yang diperjual belikan adalah:
1). Bersih barangnya, maksudnya ialah barang yang diperjual belikan
bukanlah benda yang dikualifikasikan sebagai benda najis, atau
digolongkan sebagai benda yang diharamkan syara’.
2). Memberi manfaat menurut syara’, maka dilarang jual beli benda-
benda yang tidak boleh diambil manfaatnya menurut syara’, seperti,
menjual babi, cicak dan yang lainnya.
3). Barang adalah milik pelaku akad atau yang diberikan ijin oleh
pemiliknya.
4). Mampu menyerahkannya. Barang yang diperjual belikan dapat
diserahkan dengan cepat maupun lambat. Tidak sah menjual binatang
yang sudah lari dan tidak dapat ditangkap lagi atau barang-barang yang
sudah hilang dan sulit diperoleh kembali.
5). Jelas barangnya. Barang yang diperjual belikan harus dapat diketahui
kualitasnya, kuantitas, dan sebagainya.
d. Ada nilai tukar pengganti barang
Nilai tukar (harga barang) itu menurut para ulama fiqh adalah as|-s|aman
yaitu harga pasar yang berlaku di tengah-tengah masyarakat secara
aktual (harga antara pedagang dengan konsumen) dan as-si’r yaitu modal

5
barang yang seharusnya diterima para pedagang sebelum dijual ke
konsumen (harga antar pedagang).Akad berasal dari (al-‘aqd, jamaknya
al-‘uqud) secara bahasa berarti al-rabth’ “ ikatan, mengikat”:
“Al-Rabth, yaitu menghimpun atau mengumpulkan dua ujung tali dan
mengikatkan salah satu pada yang lainnya sehingga keduanya
bersambung dan menjadi seutas tali.
Sedangkan pengertian lafdiyah ini sebagaimana terdapat pada surat al-
Maidah ayat 1 ;





 


 


 



”Hai Orang-Orang Yang Beriman Penuhilah Aqad (Perjanjian Atau


Pertalian)Diantara Kamu)
Sedangkan dalam terminologi hukum Islam akad didefinisikan sebagi
berikut :
“Akad adalah pertalian antara ijab dan Qabul yang dibenarkan oleh
Syara’ yang menimbulkan akibat hukum didalamnya”
Yang di maksud ijab dalam definisi akad adalah ungkapan atau
pernyataan kehendak melakukan perikatan (akad) oleh suatu pihak,
biasanya disebut sebagai pihak pertama. Sedangkan Qabul adalah
pernyataan atau ungkapan yang menggambarkan kehendak pihak lain,
biasanya dinamakan pihak kedua. Menerima atau menyetujui pernyataan
ijab. Maksud trem yang dibenarkan oleh syarat (‘al wajhin masyru’in)
adalah bahwasanya setiap berakad tidak boleh bertentangan dengan
ketentuan syari’at Islam.

Adapun syarat-syarat umum untuk terjadinya akad, syarat yang


diperlukan bagi akad : akad terdiri dari Aqidain (dua orang aqidain),
mahallul akad ( tempat akad), maudlu’ul aqd masing-masing dari
pembentukan akad ini, mempunyai syarat yang di tentukan syara yang
wajib disempurnakan, supaya akad itu menjadi sempurna.
Dan disini perlu ditegaskan bahwasanya akad tidak sah jika tidak
ada sighat, yakni suatu perkataan (lafadz) yang diucapkan oleh kedua
belah pihak yang melakukan akad. Yang berlandaskan dengan firman
Allah dalam surat Q.S An-Anisa’: 29 :

  



 
 

 



5
    


 

 

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kami memakan harta


sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
berlaku dengan suka sama suka diantara kamu (Q.S An-Nisa’ :29)”
Dengan demikian segala ketentuan-ketentuan apa syarat dapat
disimpulkan bahwa akad jual beli itu dapat dilakukakan dengan segala
pernyataan yang dapat dipahamkan yang melakukan akad, baik dalam
perkataan, perbuatan, maupun bentuk tulisan bagi orang yang sedang
berjauhan :
Adapun syarat-syarat verbal akad jual beli antara lain :
- Ahliyatul ‘Aqidaini (kedua belah pihak cakap berbuat)
- Qabiliyatul mahallil aqdi li hukmihi (yang dijadikan obyek akad, dapat
menerima hukumnya)
- Al wilyatus syar’I fi maudlu’il ‘aqdi (akad itu diizinkan oleh syara’,
dilakukan oleh orang yang mempunyai hak melakukannya dan
melaksanakannya, walaupun dia bukan si aqid itu sendiri)
- Alla yakunal aqdu au maudlu’uhu mammu’an binasashshin syariiyin
(janganlah akad itu akad yang dilarang)
- Kaunul aqdi mufidan (akad itu memberi faedah)
- Baqaul ijabi shalihan ila mauqu’in qablu (ijab itu berjalan terus, tidak
dicabut, sebelum terjadi Qabul)
- Ottihadu majlisil aqdi (bersatunya najlisa)
Karenanya, ijab menjadi batal apabila sampai kepada berpisah
seorang dengan yang lain, dan belum ada Qabul. Syarat yang ketujuh ini
disyaratkan oleh madzhab-madzhab asy syafi’y, tidak terdapat dalam
madzhab yang lain.
Syarat orang yang berakad, antara lain:
1). Cakap melakukan tindakan hukum yaitu:
(a). Balig atau dewasa.
(b). Berakal, yaitu dapat membedakan atau memilih mana yang terbaik
bagi dirinya. Apabila salah satu pihak tidak berakal maka jual beli yang
diadakan tidak sah.
2). Orang yang melakukan akad itu adalah orang yang berbeda. Artinya,
seseorang tidak dapat bertindak sebagai pembeli dan penjual dalam
waktu yang bersamaan.
3). Keadaan tidak mubazir, maksudnya pihak yang mengikatkan diri
dalam perjanjian jual-beli bukanlah manusia yang boros (mubazir), sebab
orang yang boros di dalam hukum dikategorikan sebagai orang yang
tidak cakap bertindak. Orang boros (mubazir) di dalam perbuatan hukum

5
berada di bawah pengampuan/perwaliannya, yang melakukan perbuatan
hukum untuk keperluannya adalah pengampuan/ perwaliannya.
4). Mukhtar (bebas dari paksaan). Hal ini berarti para pihak melakukan
transaksi atas kehendaknya sendiri bukan karena paksaan dan tekanan
orang lain.

D. MACAM – MACAM JUAL BELI


Jual beli dibedakan dalam banyak pembagian berdasarkan sudut
pandang. Adapun pengklasifikasian jual beli adalah sebagai berikut:

a. Berdasarkan Objeknya
Jual beli berdasarkan objek dagangnya terbagi menjadi tiga jenis, yaitu:
1) Jual beli umum, yaitu menukar uang dengan barang.
2) Jual beli as-Sharf (Money Changer), yaitu penukaran uang dengan
uang.
3) Jual beli muqayadhah (barter), yaitu menukar barang dengan barang

b. Berdasarkan Standardisasi Harga


1) Jual Beli Bargainal (tawar menawar), yaitu jual beli di mana penjual
tidak memberitahukan modal barang yang dijualnya.
2) Jual Beli Amanah, yaitu jual beli di mana penjual memberitahukan
modal barang yang dijualnya. Dengan dasar ini, jual beli ini terbagi
menjadi tiga jenis:
a) Jual beli murabahah, yaitu jual beli dengan modal dan keuntungan
yang diketahui.
b) Jual beli wadhi’ah, yaitu jual beli dengan harga di bawah modal dan
kerugian yang diketahui.
c) Jual beli tauliyah, yaitu jual beli dengan menjual barang sama dengan
harga modal, tanpa keuntungan atau kerugian.

c. Ditinjau dari cara pembayaran, jual beli dibedakan menjadi empat


macam:

1) Jual beli dengan penyerahan barang dan pembayaran secara langsung


(jual beli kontan).
2) Jual beli dengan pembayaran tertunda (jual beli nasi’ah).
3) Jual beli dengan penyerahan barang tertunda.
4) Jual beli dengan penyerahan barang dan pembayaran sama-sama
tertunda.

d. Jual beli ditinjau dari segi hukumnya dibagi menjadi dua macam yaitu :
a. Jual beli yang syah menurut hukum dan batal menurut hukum
b. Dari segi obyek jual beli dan segi pelaku jual beli

5
Ditinjau dari segi benda yang yang dijadikan obyek jual beli dapat
dikemukakan pendapat imam Taqiyuddin bahwa jual beli dibagai menjadi
tiga bentuk :
1. jual beli benda yang kelihatan
maksudnya adalah pada wajtu melakukan akad jual beli benda atyau barang
yang diperjualbelikan ada didepan penjual dan pembeli, seperti membeli
beras dipasar dan boleh dilakukan.
2. Jual beli yang disebutkan sifat-sifatnya dalam janji
Sama dengan jual beli salam (pesanan), ataupun yang dilakukan secara
tidak tunai (kontan). Maksudnya ialah perjanjian sesuatu yang penyarahan
barang-barangnya ditangguhkan hingga masa tertentu.
Dalam salam berlaku semua syarat jual beli dan syarat-syarat tambahannya
ialah :
1. Ketika melakukan akad salam disebutkan sifat-sifatnya yang mungkin
dijangkau oleh pembeli, baik berupa barang yang dapat ditakar,
ditimbang maupun diukur.
2. Dalam akad harus disebutkan segala sesuatu yang bias mempertinggi
dan memperendah harga barang itu.
3. Barang yang akan diserahkan hendaknya barang-barang yang biasa
didapat dipasar.
4. Harga hendakya dipegang ditempat akad berlangsug.
Jual Beli yang dilarang dan batal hukumnya adalah :
a. Barang yang dihukumkan najis oleh agama seperti anjing, babi,
berhala, bangkai dan khamar.
b. Jual beli sperma (mani) hewan, seperti mengawinkan seekor domba
jantan dengan betina agar dapat memperoleh keturunan, jual beli ini
haram hukumnya karena Rasulullah SAW bersabda :
Yang Artinya : Dari Ibn Umar ra berkata : Rasulullah SAW telah melarang
menjual mani binatang. (HR. Bukhari)
c. Jual beli anak binatang yang masih berada dalam perut induknya.
d. Jual beli dengan mukhadharah yaitu menjual buah-buahan yang belum
pantas untuk dipanen.
e. Jual beli dengan munabadzah yaitu jual beli secara lempar-melempar.
f. Jual beli gharar yaitu jual beli yang samar sehingga kemungkinan
adanya penipuan, contoh : penjualan ikan yang masih dikolam.
g. Larangan menjual makanan sehingga dua kali ditakar, hal ini
menunjukkan kurang saling mempercayainya antara penjual dan
pembeli.

5
E. KHIYAR DALAM JUAL BELI

Pengertian Khiyar
Khiyar (memilih) dalam jual beli maknanya adalah memilih yang terbaik dari
dua perkara untuk melangsungkan atau membatalkan akad jual beli. Khiyar
terdiri dari delapan macam :

1. Khiyar Masjlis (pilihan majelis)


Yaitu tempat berlangsungnya jual beli. Maksudnya bagi yang berjual beli
mempunyai hak untuk memilih selama keduanya ada di dalam majelis.
Dalilnya adalah sabda Rasulullah shlallalahu ‘alalihi wasaallam. “Jika dua
orang saling berjual beli, maka masing-masing punya hak untuk memilih
selama belum berpisah dan keduanya ada di dalam majelis” (Shahih, dalam
shahihul Jami : 422)
Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata : Dalam penetapan adanya khiyar majelis
dalam jual beli oleh Allah dan Rasul-Nya ada hikmah dan maslahat bagi
keduanya, yaitu agar terwujud kesempurnaan ridha yang disyaratkan oleh
Allah ta’ala dalam jual beli melalui firman-Nya “Kecuali saling keridhaan di
atara kalian” (An Nisa :29) karena sesungguhnya akad jual beli itu sering
terjadi dengan tiba-tiba tanpa berfikir panjang dan melihat harga. Maka
kebaikan-kebaikan syariat yang sempurna ini mengharuskan adanya sebuah
aturan berupa khiyar supaya masing-masing penjual dan pembeli
melakukannya dalam keadaan puas dan melihat kembali trasnsksi itu
(maslahat dan mandaratnya). Maka masing-masing punya hak untuk memilh
sesuai dengan hadits “selama keduanya tidak berpisah dari tempat jual
beli”.

Kalau keduanya meniadakan khiyar (hanya asas kepercayaan) yaitu saling


berjual beli dengan syarat tidak ada khiyar, atau salah seorang keduanya
merelakan tidak ingin khiyar maka ketika itu harus terjadi jual beli pada
keduanya atau terhadap orang yang mengugurkan hak khiyarnya hanya
dengan sebatas akad saja. (karena khiyar itu merupakan hak dari orang
yang bertransaksi maka hak itu hilang jika yang punya hak
membatalkannya-pent). Sebagaimana sabda rasulullah “Selama keduana
belum berpisah atau pilihan salah seorang dari keduanya terhadap yang
lain”(Shahih, dalam Shahih Al Jami’: 422).

Dan diharamkan bagi salah satu dari kedunya untuk memisahkan


saudaranya dengan tujuan untuk menggugurkan hak khiyarnya berdasarkan
hadits Amr bin Syu’aib yang padanya terdapat perkataan Nabi :“Tidak halal
baginya untuk memisahkannya karena khawatir dia akan menerima hak
khiyar (menggagalkan jual belinya)”. (Hasan, dalam Irwaul Ghalil : 1211)

2. Khiyar Syarat,
Yaitu masing-masing dari keduanya mensyaratkan adanya khiyar ketika
melakukan akad atau setelahnya selama khiyar majelis dalam waktu
tertenu, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam “orang-orang
muslim itu berada di atas syarat-syarat mereka” dan juga karena keumuman

5
firman Allah Ta’ala “Hai orang-orang yang beriman tunaikanlah janji-janji itu”
(Al Maidah :1.). Dua orang yang bertransaksi sah untuk mensyaratkan khiyar
terhadap salah seorang dari keduanya karena khiyar merupakan hak dari
keduanya, maka selama keduanya ridho berarti hal itu boleh.

3. Khiyar Ghobn,
Yaitu jika seorang tertipu dalam jual beli dengan penipuan yang keluar dari
kebiasaan, maka seorang yang tertipu dia diberi pilihan apakah akan
melangsungkan transsaksinya atau membatalkannya. Dalilnya sabda rasul
“Tidak ada madharat dan tidak ada memadharati” (Silsilah As Shahihah :
250) dan sabdanya “Tidaklah halal harta seorang muslim kecuali dengan
kelapangan darinya (dalam menjualnya)” (Irwaul Ghalil : 1761) .
Dan orang yang tertipu tidak akan lapang jiwanya denga penipuan, kecuali
kalau penipuan tersebut adalah penipuan ringan yang sudah biasa terjadi,
maka tidak ada khiyar baginya.

Gambaran Khiyar Ghabn

Orang-orang kota menyambut orang-orang yang datang dari pelosok yang


datang untuk mengambil (memeberikan) barang dagangan mereka di kota,
jika orang-orang kota menyambutnya kemudian membeli dari mereka dalam
keadaan jelas orang-orang yang datang dari pelosok itu tertipu dengan
penipuan yang besar, maka mereka berhak untuk memilih (khiyar) karena
sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam “Jangan kalian sambut orang-orang
yang datang itu, maka barang siapa yang menyambutnya dan membeli
barangnya, jika kemudian mereka datang ke pasar (ternyata dia mengetahui
harganya) maka dia berhak untuk khiyar" (HR. Muslim).

Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasalam merlarang untuk menyambut merkea


di luar pasar yang didalamnya terdapat jual beli barang, dan beliau
memerintahkan jika penjual itu datang ke pasar sehingga dia mengetahui
harga-harga barang maka penjual tersebut berhak untuk melanjutkan jual
beli atau membatalkannya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata “ Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasalam
menetapkan khiyar bagi pendatang jika dia bertemu dengan pembeli (dari
kota), karena padanya ada unsur penipuan.

4 Khiyar Tadlis,
Yaitu khiyar yang disebabkan oleh adanya tadlis. Tadlis yaitu menampakan
barang yang aib (cacat) dalam bentuk yang bagus seakan-akan tidak ada
cacat. Kata tadlis diambil dari kata addalah dengan makna ad dzulmah
(gelap) yaitu seolah-olah penjual menunjukan barang kepada pembeli yang
bagus di kegelapan sehingga barang tersebut tidak terlihat secara
sempurna. Dan ini ada dua macam
Pertama : menyembunyian cacat barang
Kedua : Menghiasi dan memperindahnya dengan sesuatu yang
menyebabkan harganya bertambah.
Tadlis ini haram, karena dia merasa tertipu dengan membelanjakan hartanya
terhadap barang yang ditunjukan oleh penjual dan kalau dia tahu barang

5
yang dibeli itu tidak sesuai dengan harga yang dia berikan maka syariat
memperbolehkan bagi pembeli untuk mengembalikan barang pembeliannya.
Diantara contoh-contoh tadlis yang ada adalah menahan air susu kambing,
sapi dan unta ketika hendak dipajang untuk dijual, sehingga pembeli
mengira ternak itu selalu banyak air susunya. Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda “janganlah kalian membiarkan air susu unta dan
kambing (sehingga tampak banyak air susunya), maka apabila dia tetap
menjualnya maka bagi pembeli berhak untuk khiyar dari dua pilihan apakah
dia akan melangsungkan membeli atau mengembalikannya dengan satu sha
kurma”. (Shahih dalam Shahihul Jami :7347, Al Albany)

5 Khiyar Aib
Yaitu khiyar bagi pembeli yang disebabkan adanya aib dalam suatu barang
yang tidak disebutkan oleh penjual atau tidak diketahui olehnya, akan tetapi
jelas aib itu ada dalam barang dagangan sebelum dijual. Adapun ketentuan
aib yang memperbolehkan adanya khiyar adalah dengan adanya aib itu
biasanya menyebabkan nilai barang berkurang, atau mengurangi harga
barang itu sendri.. Adapun landasan untuk mengetahui hal ini kembali
kepada bentuk perniagaan yang sudah terpandang, kalau mereka
menganggapnya sebagai aib maka boleh adanya khiyar, dan kalau mereka
tidak menganggapnya sebagai suatu aib yang dengannya dapat mengurangi
nilai barang atau harga barang itu sendiri maka tidak teranggap adanya
khiyar. Apabila pembeli mengetahui aib setelah akad, maka baginya berhak
khiyar untuk melanjutkan membeli dan mengambil ganti rugi seukuran
perbedaan antara harga barang yang baik dengan yang terdapat aib. Atau
boleh baginya untuk membatalkan pembelian dengan mengembalikan
barang dan meminta kembali uang yang telah dia berikan..

6 Khiyar Takhbir Bitsaman


Menjual barang dengan harga pembelian, kemudian dia mengkhabarkan
kadar barang tersebut yang ternyata tidak sesuai dengan hakikat dari
barang tersebut.seperti harga itu lebih banyak atau lebih sedikit dari yang
dia sebutkan, atau dia berkata “Aku sertakan engkau dengan modalku di
dalam barang ini” atau dia mengatkaan “Aku jual kepadamu barang ini
dengan laba sekian dari modalku” atau dia mengatkaan “Aku jual barang ini
kepadamu kurang sekian dari harga yang aku beli”. Dari keempat gambaran
ini jika ternyata modalnya lebih dari yang dia khabarkan , maka bagi pembeli
boleh untuk memilih antara tetap membeli atau mengembalikannya menurut
pendapat suatu madzhab. Menurut pendapat yang kedua dalam kodisi
seperti ini tidak ada khiyar bagi pembeli, dan hukum berlaku bagi harga
yang hakiki, sedang tambahan itu akan jatuh darinya (tidak bermakna).
Wallahu a’lam

7 Khiyar bisababi takhaluf


Khiyar yang terjadi apabila penjual dan pembeli berselisih dalam sebagian
perkara, seperti berselisih dalam kadar harga atau dalam barang itu sendiri,
atau ukurannya, atau berselisih dalam keadaan tidak ada kejelasan dari
keduanya, maka ketika itu terjadi perselisihan. Ketika kedunya saling

5
berbeda terhadap apa yang diinginkan maka keduanya boleh untuk
membatalkan jika dia tidak ridha dengan perkataan yang lainnya

8 Khiyar ru’yah
Khiyar bagi pembeli jika dia membeli sesuatu barang berdasarkan
penglihatan sebelumnya, kemudian ternyata dia mendapati adanya
perubahan sifat barang tersebut, maka ketika itu baginya berhak untuk
memilih antara melanjutkan pembelian atau membatalkannya.

5
KESIMPULAN
Jual beli adalah hal yang dibolehkan oleh Allah, karena itu adalah jalan usaha
yang halal. Akan tetapi jual beli juga memiliki unsur-unsur dan syarat-syarat
yang menjadi sah nya jual beli tersebut. Tanpa adanya dua hal tersebut
maka jual beli itu tidak benar atau tidak sah. Sama halnya dengan jual beli
borongan, yaitu jual beli barang yang bisa di takar, ditimbang atau dihitung
secara borongan tanpa ditimbang, ditakar, atau dihitung lagi. Pada
prinsipnya jual beli itu akan sah apabila dua belah pihak, penjual dan
pembeli sama-sama tidak merasa rugi atau tidak ada salah satu yang
dirugikan. System borongan semacam ini lumrah dalam hal ekonomi
muamalah.

DAFTAR PUSTAKA
Buku Paket Fiqih Kelas II Ma Depag
Http://muhammadiyah.com
Http://anakcermai.blogspot.com
Fiqih Muamalah

You might also like