You are on page 1of 24

PROGRAM STUDI MANAJEMEN HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN

Bahan Seminar : Proposal Hasil


Judul : Asosiasi Eboni (Diospyros celebica) dengan berbagai jenis
pohon di Kawasan Hutan Pendidikan Universitas
Hasanuddin, Kecamatan Cenrana, Kabupaten Maros,
Makassar, Sulawesi Selatan
Pembawa Seminar : Arghatama Djuan K.
Stambuk : M. 111 05 043
Pembimbing : 1. Prof. Dr. Ir. Amran Achmad. M.Sc
2. Asrianny S.Hut, M.Si

BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Eboni (Diospyros celebica Bakh) atau yang lebih dikenal dengan nama
kayu hitam merupakan salah satu jenis dari family Ebenaceae, dan tumbuh
endemik di hutan alam Pulau Sulawesi. Di Indonesia eboni sering disebut dengan
kayu hitam, sedangkan masyarakat suku Bugis (Sulawesi Selatan) mengenal
tanaman ini dengan nama daerah aju lotong. Pemberian nama ini berdasarkan
pada warna dan serat kayunya yang berwarna hitam.
Keberadaan eboni di habitat alaminya kini kian tersisihkan, hal ini dapat
dilihat dari jumlahnya di alam yang kian merosot tajam. Sifat ekologis dari Eboni
yang memiliki pertumbuhan lambat merupakan faktor penyebab utama. Maka
untuk mencegah kelangkaan spesies eboni yang mengarah pada kepunahannya,
pemerintah sejak awal tahun 1990-an telah melakukan tindakan perlindungan dan
pelestarian. Departemen Kehutanan telah mengeluarkan surat keputusan (SK)
No. 950/IV-PPHH/1990 yang intinya melarang kegiatan tebang baru terhadap
pohon eboni kecuali mendapatkan ijin khusus. Word Conservation Union (IUCN),
dalam daftarnya juga mencantumkan Eboni ke dalam kategori vulnerable (VU AL
cd) yang artinya berada pada batas beresiko tinggi untuk punah di alam.

1
Tingkat regenerasi Eboni di alam tergolong rendah, hal ini disebabkan
oleh sifatnya yang semitoleran, dimana pada tingkat semai eboni membutuhkan
tanaman penaung dan pada saat percabangan sekundernya terbentuk dia
membutuhkan intensitas cahaya yang secara bertahap bertambah seiring dengan
tingkat pertumbuhannya. Hubungan ketergantungan antara Eboni dan tanaman
penaungnya inilah yang akan membentuk suatu pola asosiasi. Dan dari kekuatan
asosiasi yang terbentuk ini dapat terlihat seberapa besar jenis pohon penaung
memberikan dampak terhadap tingkat pertumbuhan dari Eboni.
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan pada survei awal lokasi
penelitian, maka didapati bahwa kerapatan populasi Eboni dipengaruhi oleh
keberadaan vegetasi jenis tertentu. Hal ini dicirikan oleh jumlah dan tinggi Eboni
yang dipengaruhi oleh keberadaan beberapa jenis vegetasi yang ada. Dapat
terlihat pertumbuhan Eboni yang baik apabila pohon penaungnya adalah Pinang
(Areca catechu) ataupun Aren (Arenga saccharifera).
Dengan melihat adanya hubungan ketergantungan antara Eboni dengan
tanaman penaungnya, maka penelitian mengenai asosiasi Eboni adalah sangat
penting. Penelitian mengenai asosiasi Eboni dengan tanaman penaungnya dapat
digunakan sebagai bahan acuan dalam menentukan jenis tanaman yang menjadi
penaung agar pertumbuhan Eboni menjadi optimal.

B. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui asosiasi jenis Eboni dengan
jenis-jenis pohon lainnya di Kawasan Hutan Pendidikan Universitas Hasanuddin,
Bengo-bengo.
Manfaat penelitian ini adalah merupakan ukuran dasar terhadap asosiasi
Eboni di Kawasan Hutan Pendidikan Universitas Hasanuddin, sehingga dapat
dimanfaatkan oleh stakeholder untuk pengelolaan Eboni di Kawasan Hutan
Pendidikan tersebut.

2
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Sistematika dan Morfologi

Menurut Riswan (2002), klasifikasi jenis Diospyros celebica Bakh, secara


lengkap dapat diuraikan sebagai berikut:
Kerajaan : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledoneae
Sub kelas : Sympetalae
Bangsa : Ebenales
Suku : Ebeneceae
Marga : Diospyros
Spesies : Diospyros celebica Bakh
Eboni adalah pohon yang berukuran sedang sampai besar, tinggi pohon
dapat mencapai 40 m. Bagian batang yang tidak bercabang dapat mencapai 40 m.
Bagian batang yang tidak bercabang dapat mencapai 150 cm atau lebih di atas
akar papan yang tingginya dapat mencapai 4 m di atas permukaan tanah. Batang
bersisik dan berwarna hitam (Riswan, 2002).
Daun tunggal, bentuk memanjang sampai jorong, dengan panjang 12-35
cm dan lebar 2,5-7cm. Bagian dasar daun tumpul sampai agak menjantung dan
ujung daun lancip sampai agak lancip, tulang daun menjala tersier dan nyata jika
di raba baik muka daun atas dan bawah (Riswan, 2002).
Sistem perbungaan berbentuk payung menggarpu, pada bunga jantan ada
3-7, dengan masing-masing 4 petal dan mempunyai 16 benangsari, sedangkan
pada bunga betina, dijumpai 1-3 perbungaan yang seperti payung menggarpu, 4
petal dengan kelopak yang bergelombang dan berkatup, rapat dan kaku di sebelah
luar. Tajuk bunga seperti terbagi dua, bakal buah mempunyai 4-8 ruang bakal biji
yang menyatu (Riswan, 2002).

3
Buah berbentuk bulat telur, dengan ukuran rata-rata 3,5-5cm x 3-3,5 cm,
kulit buah halus seperti sutera, berbulu tipis pada dasar dan ujung buah.
Diospyros celebica mulai berbunga dan berbuah pertama kali pada umur 5-7
tahun. Periode dari bunga betina matang dan dibuahi sampai menjadi buah masak
memerlukan waktu kurang lebih selama 4 tahun (Riswan, 2002).
Sifat fenologi eboni menunjukkan bahwa buah Eboni sudah masak secara
fisiologis pada sekitar bulan November dan Desember. Pengumpulan buah
sebaiknya dilakukan dengan memanjat pohon untuk memilih buah yang baik
karena buah yang sudah jatuh ke lantai hutan biasanya bercampur dengan buah
yang muda dan yang rusak karena terserang hama dan penyakit. Biji Eboni yang
sehat ditandai dengan warna biji cokelat kehitaman dan memiliki radikel
berwarna kuning kecoklatan. Berhubung sifat biji Eboni adalah rekalsitran
maka tidak dapat disimpan dalam waktu lama (Samuel dan Nurkin, 2002).

B. Penyebaran

Eboni (Diospyros celebica Bakh) sesuai dengan nama spesiesnya


merupakan jenis endemik di Pulau Sulawesi (Celebes) terutama di Sulawesi
Utara, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Utara. Di Sulawesi Utara, penyebarannya
terutama di Kabupaten Minahasa dan Kabupaten Bolaan Mongondow. Sulawesi
tengah merupakan tempat sebaran utama jenis ini dan juga di enam
kabupaten yaitu Poso, Donggala, Parigi, Toli-toli, Kolonodale dan Luwu,
sedangkan di Sulawesi Selatan Eboni tersebar di dua kabupaten yaitu Luwu
dan Gowa (Samuel dan Nurkin, 2002).
Eboni dijumpai pada hutan dataran rendah sampai daerah pegunungan
rendah, 400 m di atas permukaan laut. Jenis pohon ini tumbuh alami di hutan
tropika basah dan di hutan monsoon atau hutan yang beriklim musiman, di mana
jenis ini merupakan jenis utama atau jenis paling dominan di tipe-tipe hutan
tersebut. Eboni dapat tumbuh di tanah-tanah latosol, tanah podzol dan tanah
berkapur (Riswan, 2002).

4
Eboni dapat ditemukan di Hutan Pendidikan Universitas Hasanuddin yang
secara administratif terletak di wilayah Desa Limampoccoe, Kec Cenrana Kab
Maros. Ditinjau dari segi astronomis kawasan hutan pendidikan Unhas terletak
pada posisi antara 119˚44’33” - 119˚46’17” BT dan 04˚58’7” - 05˚00’30” LS,
dengan ketinggian antara 300 – 1100 m dari permukaan laut. Kawasan hutan
pendidikan Unhas merupakan bagian dari kawasan Hutan Bulusaraung yang
berada dalam Resort Polisi Hutan (RPH) Bengo, bagian Hutan Lebbo Tengae, sub
dinas kehutanan (Anonim, 2009).

C. Karakteristik

Berdasarkan hasil penelitian regenerasi hutan yang dilakukan oleh Harun


(2002) di kelompok hutan alam Eboni di Sulawesi tengah menunjukkan bahwa
pembukaan tajuk yang terlalu terbuka dan penyinaran yang terlalu kuat tidak baik
untuk perkembangan dan pertumbuhan anakan Eboni. Begitu pula pada daerah
yang naungan berat (kurang cahaya) anakan banyak yang mati. Sedang anakan
yang berada pada naungan ringan menunjukkan pertumbuhan yang baik, namun
demikian setelah anakan mencapai tingkat sapling secara bertahap naungan harus
sudah mendapat cahaya penuh agar pertumbuhannya cepat. Dengan demikian,
Eboni tergolong jenis pohon semi toleran terhadap cahaya.
Dari aspek ekologi, yang paling menarik dari Eboni adalah tipe
tumbuhnya yang mengelompok, sifat kayunya sangat keras, dan tahan terhadap
serangga perusak kayu. Penelitian produksi buah dan pemencaran biji, serta
predator dalam populasi jenis ini merupakan suatu hal yang sangat penting dan
menarik dalam mempelajari populasi dan penyebaran Eboni di hutan alamnya
(Riswan, 2002).

D. Struktur Vegetasi
Struktur vegetasi sebagai suatu organisasi dari kumpulan individu-individu
yang membentuk suatu tegakan (berdasarkan tipe vegetasi atau asosiasi
tumbuhan) dan elemen dasar dari struktur vegetasi itu sendiri adalah bentuk
tumbuh, stratifikasi dan penutupan tajuk (Mueller-Dombois dan Ellenberg, 1974).

5
Mueller-Dombois dan Ellenberg (1974), membagi struktur vegetasi
menjadi lima berdasarkan tingkatannya, yaitu:
1. Fisiognomi vegetasi berupa penampilan fisik dari suatu vegetasi.
merupakan hasil dari struktur biomassa, wujud fungsional (misalnya:
rontoknya daun di hutan), dan karakteristik penyusunnya (misalnya:
kesuburan tanah)
2. Struktur biomassa mengarah pada jarak dan tinggi dari vegetasi
yang membentuk matriks dari penutupan vegetasi
3. Struktur bentuk hidup mengarah pada komposisi dari bentuk
pertumbuhan suatu vegetasi. Konsep struktur benttuk hidup
mengelompokkan individu dari spesies dengan bentuk morfologi yang
sama ke dalam suatu tipe bentuk tumbuh
4. Struktur floristik merupakan gabungan dari struktur horizontal
(penyebaran spasial dari populasi spesies dan individu) dan struktur
kuantitatif (kelimpahan tiap spesies dalam komunitas)
5. Struktur tegakan mengarah kepada penyebaran dari tiap individu
dalam kelas ukuran yang berbeda dari jenis pohon tertentu pada tegakan
hutan.
Stratifikasi sering dihubungkan dengan struktur vertikal dan horizontal
dari vegetasi dan khususnya stratifikasi vertikal atau lapisan-lapisan dari vegetasi.
Penampakan dari beberapa lapisan berurut dari vegetasi yang didasarkan pada
perbedaan tinggi adalah pendekatan struktural dari gambaran tumbuhan dan yang
menjadi ciri pengklasifikasian bentuk kehidupan tumbuhan. Pendekatan
struktural dapat digunakan untuk menyederhanakan dan mendeskripsikan
organisasi dari tipe vegetasi yang kompleks. Masing-masing lapisan
dideskripsikan lewat tinggi total pohon dan informasi floristik lainnya yang dapat
mendukung kelanjutan dari pendeskripsian ini (Moore dan Chapman, 1988).
Tinggi tanaman digunakan sebagai salah satu kriteria dari klasifikasi
bentuk tumbuh. Oleh karena itu, klasifikasi bentuk tumbuh memberikan ide
mengenai stratifikasi dalam komunitas. Bagaimanapun juga, stratifikasi bisa
diindikasikan dalam bentuk diagram, jika tinggi dan penutupan setiap strata turut

6
diambil selama analisis di lapangan. Dengan menggunakan diagram abstrak lebih
memungkinkan dalam memberi gambaran mengenai pembentukan stratifikasi.
Diagram abstrak ini lebih dikenal dengan nama diagram profil (Mueller-Dombois
dan Ellenberg, 1974).

E. Asosiasi

Asosiasi yang digunakan dalam ekologi tak lain sebagai indera semu yang
mengarah ke penggabungan karakteristik yang sama dari dua spesies yang
berbeda yang membentuk suatu komunitas yang sama dari spesies yang berbeda
sebagai satu unit kesatuan vegetasi atau dalam arti yang sebenarnya sebagai suatu
ukuran dari kesamaan kejadian pada dua spesies yang berbeda (Moore dan
Chapman, 1988).
Konsep asosiasi sangat memungkinkan untuk membagi unit vegetasi
menjadi beberapa bagian. Suatu hubungan asosiasi tidak harus memperlihatkan
satu lapisan tajuk yang terdiri dari satu jenis dominan. Sebaliknya dalam setiap
lapisan tajuk terdiri dari lebih dari satu jenis yang dapat digunakan untuk
menetapkan suatu hubungan asosiasi (Mueller-Dombois dan Ellenberg, 1974).
Pada pengertian sebenarnya asosiasi dapat dideskripsikan menggunakan
statistik, misalnya dengan chi_squared (x2). Kehadiran tiap spesies akan direkam
dalam jumlah dari plot yang dibuat dan data yang dimasukkan ke dalam
Contingency table 2x2. Hasilnya dapat diuji kebenarannya dengan menggunakan
tabel x2. Hasilnya dapat mengidentifikasi asosiasi yang terjadi apakah positif atau
negatif. Hasilnya akan bergantung pada ukuran plot karena data yang dihasilkan
berasal dari frekuensi kemunculan (Moore dan Chapman, 1988).
Berdasarkan sebuah resolusi dari Kongres Botani Internasional di Brussel
pada tahun 1910, disepakati bahwa bentuk asosiasi hanya diaplikasikan pada
komunitas dengan: komposisi floristik tertentu, fisiognomi yang seragam dan
ketika terjadi pada kondisi habitat yang seragam. Akan tetapi syarat yang
menyatakan bahwa habitatnya seragam. Sangat susah untuk dipenuhi. Habitat

7
yang seragam dapat ditemukan di beberapa situasi lapangan, akan tetapi sampel
vegetasi yang telah dikelompokkan ke dalam suatu tipe asosiasi tidak pernah
memiliki habitat yang identik, karena tidak ada 2 tempat di muka bumi ini yang
mempunyai kombinasi faktor tempat tumbuh yang benar-benar sama (Mueller-
Dombois dan Ellenberg, 1974).

F. Analisis Komunitas

Analisis komunitas tumbuhan merupakan suatu cara mempelajari susunan


atau komposisi jenis dan bentuk atau struktur vegetasi. Dalam ekologi hutan,
satuan vegetasi yang dipelajari atau diselidiki berupa komunitas tumbuhan yang
merupakan asosiasi konkret dari semua spesies tumbuhan yang menempati suatu
habitat. Oleh karena itu, tujuan yang ingin dicapai dalam analisis komunitas
adalah untuk mengetahui komposisi spesies dan struktur komunitas pada suatu
wilayah yang dipelajari (Indriyanto, 2005).
Beberapa penelitian spesifik tentang vegeasi didasarkan pada gambaran
dan pembelajaran dari komunitas tumbuhan atau tipe vegetasi harus terlebih
dahulu diketahui di lapangan. Kemudian dari masing-masing tipe vegetasi
dilakukan pengambilan sampel yang mewakili tegakan di dalamnya dan dilakukan
analisis. Penelitian secara 100% dari tiap vegetasi untuk tujuan apapun akan
banyak menghabiskan waktu. Oleh karena itu, gambaran dari masing-masing tipe
vegetasi harus berdasarkan pengambilan sampel, juga harus ditentukan apa yang
menjadi parameter yang harus diamati dan ukuran serta bentuk sampel yang harus
diamati (Mueller-Dombois dan Ellenberg, 1974).
Berikut ini empat tahapan yang harus dilakukan untuk menentukan sampel
dari vegetasi, menurut Mueller-Dombois dan Ellenberg (1974):
a. Membagi wilayah berdasarkan penutupan tajuk
b. Mengadakan pilihan atas sampel dari masing-masing tipe vegetasi
c. Menetapkan ukuran dan bentuk sampel yang harus diambil
d. Menetapkan ukuran plot yang akan digunakan

8
Menurut Mueller-Dombois dan Ellenberg (1974), bagaimanapun metode
yang digunakan dalam analisis lapangan, sampel tegakan harus memenuhi
persyaratan di bawah ini:
1. Sampel harus cukup besar untuk mengandung semua spesies yang ada
dalam komunitas tumbuhan
2. Habitat harus seragam pada wilayah tegakan, sedapat mungkin dapat
dibedakan dari habitat yang lain
3. Penutupan tajuk sebisa mungkin homogen. Contohnya: Penutupan
tajuk tidak harus memperlihatkan gap yang besar, atau tidak
didominasi 1 jenis dari setengah luasan areal.
Menurut Indriyanto (2005), dalam mengambil contoh untuk analisis
komunitas tumbuhan dapat dilakukan dengan menggunakan metode petak (plot),
metode jalur, ataupun metode kuadrat.
Prosedur dalam melaksanakan penelitian tentang asosiasi didasarkan pada
kehadiran dan ketidakhadiran dari suatu spesies dalam plot–plot pengamatan.
Kita dapat menunjukkannya dengan mengelompokkan data secara berpasangan.
Unit sampel dapat bersifat alami maupun buatan. Terdapat dua masalah yang
sering didiskusikan dalam meneliti asosiasi, yakni: ukuran dan bentuk dari unit
sampel. Dua masalah tersebut diyakini dapat mempengaruhi hasil analisis
asosiasi. Ketergantungan ini dapat dikurangi jika pemilihan unit sampel dibuat
berdasarkan ukuran, bentuk, penyebaran dari spesies yang pernah diteliti. Unit
sampel harus besar dan berpeluang mengandung sekurangnya satu individu dari
setiap jenis dan tidak harus terlalu besar jika salah satu spesies terdapat dalam
setiap unit sampel (Ludwig dan Reynolds, 1988).

9
BAB III. METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan selama tiga bulan, dimulai pada bulan Oktober
2009 hingga Januari 2009. Pengambilan data dilakukan di Hutan Pendidikan
Universitas Hasanuddin, yang berlokasi pada Laboratorium Alam Konservasi,
Kecamatan Cenrana, Kabupaten Maros.

B. Alat dan Bahan

Alat-alat dan bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah :


1. Meteran roll, digunakan untuk membuat plot
2. Kompas, digunakan untuk mengukur sudut plot
3. Abney level, digunakan untuk mengukur kelerengan plot
4. Tali rafiah, digunakan untuk menandakan batas plot
5. GPS, digunakan untuk menentukan koordinat plot
6. Peta, digunakan untuk menentukan penempatan plot
7. Alat tulis menulis, digunakan untuk mencatat data
8. Tally sheet, digunakan untuk mengisi data hasil pengamatan di lapangan
9. Buku panduan lapangan (Field guides), digunakan untuk mengidentifikasi
spesimen
10. Pita diameter, digunakan untuk menghitung keliling pohon
11. Haga meter, digunakan untuk mengukur tinggi total pohon
12. Alkohol 70%, digunakan untuk membuat herbarium basah.
13. Kertas koran, digunakan sebagai media penyimpanan herbarium basah
14. Trash bag, digunakan untuk menyimpan herbarium basah
15. Etiket gantung, digunakan untuk menandai spesimen
16. Kertas milimeter, digunakan untuk menggambar proyeksi tajuk pohon
17. Kamera digital, dipakai untuk mendokumentasikan kegiatan yang
dilakukan.

10
C. Metode Pengumpulan Data

1. Orientasi Lapangan

Kegiatan orientasi dilakukan untuk menunjang kegiatan pengamatan yang


dilakukan. Orientasi lapangan dilakukan sebagai langkah awal untuk menentukan
vegetasi yang terdapat tegakan Eboni pada berbagai kelas penutupan tajuk
dan kelas ketinggian. Hal ini mempermudah untuk menetapkan di mana kelak plot
sampel akan diletakkan dengan mempertimbangkan faktor tutupan tajuk dan kelas
ketinggian.
Dalam kegiatan tersebut dilakukan pengukuran, penentuan batas – batas
dan pembuatan peta kawasan hutan Eboni. Dan dilakukan perencanaan untuk
menentukan lokasi pengambilan data dengan menggambar perencanaan
penempatan plot secara Purposive Sistematik Sampling di atas peta kawasan hutan
Eboni yang terletak di Hutan Pendidikan Univesitas Hasanuddin. Setelah lokasi
ditentukan di atas peta, maka dilakukan pembuatan plot di lapangan dengan
memberikan tanda berupa tali rafia.

Tabel 1. Model Tally Sheet Hasil Pengukuran Batas Luar Kawasan Hutan Eboni
UTM Keterangan
No. Patok
Koordinat X Koordinat Y
1.
2.
3.
....

2. Pengambilan Data
Metode yang digunakan dalam pengumpulan data adalah Metode
Purposive Sistematik Sampling. Dimana peneliti menentukan titik awal
pembuatan plot dan dari titik awal tersebut dibuat jalur ke arah utara sepanjang
lokasi penelitian, adapun jalur yang dibuat sebanyak 3 jalur dengan jarak antar

11
jalur 100m. Model plot yang digunakan dalam pengambilan data adalah model
jalur berpetak. Dimana pada masing-masing jalur, dibuat plot bujur sangkar
berukuran 20m x 20m secara berkesinambungan tanpa adanya jarak antar plot.
Pengamatan dimulai dari plot satu pada jalur penelitian pertama, kemudian
berlanjut pada plot dua pada jalur penelitian pertama, demikian seterusnya.
Ketika plot pada jalur penelitian pertama telah diselesaikan maka penelitian
dilakukan pada plot pertama jalur penelitian kedua, kemudian plot dua jalur
penelitian kedua, demikian seterusnya. Dalam penelitian, setiap vegetasi yang
berada dalam tahapan tiang dan pohon (diameter >10cm), dilakukan pencatatan
diameter batangnya dan dilakukan pencatatan nama spesies. Sedangkan, setiap
vegetasi yang berada dalam tahapan semai dan pancang (diameter <10cm)
dilakukan pencatatan jumlah masing-masing vegetasi dan dilakukan pencatatan
nama spesiesnya. Jika ada jenis spesies yang tidak diketahui, maka diambil
sampel daun, batang dan buahnya (jika ada) kemudian dibuat menjadi herbarium
basah yang nantinya akan diidentifikasi ketika kembali di laboratorium
Bentuk Purposive Sistematik Sampling pengamatan Eboni diperlihatkan
pada gambar 1.

Jalur penelitian

Gambar 1. Bentuk penempatan jalur penelitian dengan jarak antar jalur 100m
secara Purposive Sistematik Sampling

12
Pengambilan data Eboni dengan metode jalur berpetak diperlihatkan pada
gambar 2.
20m
Plot 1 Plot 2 Plot 3 Plot 4 Plot 5 Jalur penelitian

20m
Gambar 2. Cara pengambilan data Eboni dengan menggunakan metode jalur
berpetak

Untuk mempermudah kegiatan pengamatan maka dibuat tally sheet


pengamatan. Model tally sheet yang dipakai untuk pengambilan data, adalah
sebagai berikut :
Tabel 2. Model Tally Sheet dengan menggunakan metode Purposive Sampling
Blok penelitian/Plot penelitian :
Hal :
Tipe habitat :
Hari/tanggal pengamatan :

Jumlah
No. Nama Tumbuhan Diameter
Semai Pancang
1 …………………… ...../...../...../...../...../...../...../
2 …………………… ...../...../...../...../...../...../...../
3 …………………… ...../...../...../...../...../...../...../
….
.

Kegiatan pengamatan dilakukan pada pagi hari hingga sore hari dimulai
pada pukul 07.30 WITA dan berakhir pada pukul 17.00 WITA.

13
D. Pengolahan Data

Pengolahan data dilakukan untuk menentukan asosiasi eboni dengan jenis


pohon lainnya, dengan menggunakan Tabel Contingency 2 x 2, sebagai berikut:
Tabel 3. Model Tabel Contingency 2 x 2
Spesies B
Ada Tidak Ada Jumlah
Ada a b a+b
Spesies A Tidak Ada c d c+d
Jumlah a+c b+d N= a + b + c + d

Keterangan:
a = Pengamatan jumlah titik pengukuran yang mengandung spesies A dan spesies
B
b = Pengamatan jumlah titik pengukuran yang mengandung spesies A saja
c = Pengamatan jumlah titik pengukuran yang mengandung spesies B saja
d = Pengamatan jumlah titik pengukuran yang mengandung spesies A dan spesies
B
N = Jumlah titik pengamatan

Dalam melakukan penelitian ini, maka ditetapkan terlebih dahulu


hipotesisnya sebagai bahan uji terhadap hasil akhir yang ingin dicapai, sebagai
berikut:
Ho : Tanaman Eboni berasosiasi dangan tanaman lain dalam
pertumbuhannya.
Hi : Tanaman Eboni tidak berasosiasi dengan tanaman lain dalam
pertumbuhannya.

Untuk mengetahui adanya kecenderungan berasosiasi atau tidak,


digunakan Chi-square test dengan formulasi sebagai berikut:
Chi-square hitung = N (ad-bc)2
(a+b) (a+c) (c+d) (b+d)
Keterangan :
a = Jumlah titik pengamatan yang mengandung jenis A dan jenis B
b = Jumlah titik pengamatan yang hanya mengandung jenis A
c = Jumlah titik pengamatan yang hanya mengandung jenis B
d = Jumlah titik pengamatan yang tidak mengandung jenis A dan jenis B
saja
N = Jumlah titik pengamatan

14
Nilai chi square hitung kemudian dibandingkan dengan nilai Chi-square
tabel pada derajat bebas = 1, pada taraf uji 10% (nilai 2,704) dan 5% (nilai 3,841).
Apabila nilai Chi-square hitung > dari nilai Chi-square tabel pada taraf uji 10%
dan < dari nilai Chi-square tabel pada taraf uji 5% , maka asosiasi bersifat nyata.
Dan apabila nilai Chi-square hitung > dari nilai Chi-square tabel pada taraf uji
5%, maka asosiasi bersifat sangat nyata. Sedangkan apabila nilai Chi-square
hitung < dari nilai Chi-square tabel , maka asosiasi bersifat tidak nyata.

Selanjutnya untuk mengetahui tingkat kekuatan asosiasi digunakan rumus


sebagai berikut:
E (a) = (a+b) (a+c)
N
Keterangan :
a = Jumlah titik pengamatan yang mengandung jenis A dan jenis B
b = Jumlah titik pengamatan yang mengandung jenis A saja
c = Jumlah titik pengamatan yang mengandung jenis B saja
N = Jumlah titik pengamatan

Berdasarkan rumus tersebut, maka terdapat dua jenis asosiasi yaitu: (1)
asosiasi positif, apabila nilai a > E (a) berarti pasangan jenis terjadi bersama lebih
sering dari yang diharapkan (2) asosiasi negatif, apabila nilai a < E berarti
pasangan jenis yang terjadi bersama kurang sering dari yang diharapkan. Hasil
perhitungan asosiasi dari jenis – jenis yang diharapkan.
Selanjutnya hasil ini diuji dengan perhitungan Indeks Asosiasi Ochiai
untuk mengetahui nilai kekuatan asosiasinya, dengan rumus berikut ini:
IO = a
v/a+b . v/a+c
Keterangan :
IO = Indeks Ochiai
a = Jumlah titik pengamatan yang mengandung jenis A dan jenis B
b = Jumlah titik pengamatan yang mengandung jenis A saja
c = Jumlah titik pengamatan yang mengandung jenis B saja

15
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

1. Pemetaan lokasi dan jalur penelitian

Pemetaan lokasi penelitian ini dimaksudkan untuk memberi batasan


cakupan wilayah lokasi dan jalur penelitian yang jelas, dan juga sebagai bahan
informasi tentang letak geografis dan luasan wilayahnya. Pemetaan lokasi ini
dilakukan dengan bantuan kepala dusun Bontojai pak Husain, dikarenakan beliau
yang mengetahui persis tentang batas-batas terluar dari kawasan hutan Eboni ini.
Peta kawasan hutan Eboni di Laboratorium Alam Konservasi, Hutan
Pendidikan UNHAS Bengo-bengo, sebagai berikut:

Gambar 2. Peta kawasan hutan Eboni di Hutan Pendidikan Universitas


Hasanuddin, Bengo – Bengo.

16
Berdasarkan peta kawasan hutan Eboni yang ada dan hasil pengamatan
dari orientasi lapangan yang ditemani langsung oleh Prof.Dr.Ir.Amran achmad
M.Sc. Maka, ditetapkanlah penempatan jalur penelitian seperti pada gambar di
bawah ini:

Gambar 3. Peta lokasi penempatan jalur penelitian pada kawasan hutan Eboni
Hutan Pendidikan Universitas Hasanuddin, Bengo – Bengo.

2. Pengamatan Eboni (Diospyros celebica)

17
Dalam Penelitian ini jumlah jalur penelitian yang digunakan sebanyak 3
jalur, dengan total panjang 1.380 m. Dengan total plot yang dibuat sebanyak 69
plot bujur sangkar, berukuran 20m x 20m.
Data yang dikumpulkan meliputi diameter pohon dan tiang, serta jumlah
semai dan pancang masing-masing spesies yang terdapat pada setiap plot
penelitian. Hasil pengukurannya dimasukkan ke dalam tally sheet pengukuran
seperti yang terdapat pada Lampiran 3 hingga Lampiran 7.
Data yang telah terkumpul kemudian diolah menggunakan table
contingency 2x2, sebagai tahapan awal untuk mendapatkan nilai a, b,c, dan d.
Keempat nilai ini akan digunakan untuk mencari chi square hitung pada masing-
masing tingkat pertumbuhan vegetasi. Dimulai dari tingkat semai, pancang, tiang,
pohon dan gabungan dari semua tahapan pertumbuhan.

Berdasarkan pada hipotesis yang telah ditetapkan, maka: apabila nilai Chi-
square hitung > dari nilai Chi-square tabel , maka Ho diterima. Jika, nilai Chi-
square hitung > dari nilai Chi-square tabel pada taraf uji 10% dan < dari nilai
Chi-square tabel pada taraf uji 5% , maka asosiasi bersifat nyata. Dan jika nilai
Chi-square hitung > dari nilai Chi-square tabel pada taraf uji 5%, maka asosiasi
bersifat sangat nyata. Dan, apabila nilai Chi-square hitung < dari nilai Chi-square
tabel , maka Ho ditolak atau asosiasi bersifat tidak nyata. Kemudian dianalis
tingkat kekuatan asosiasinya dan juga nilai indeksnya berdasarkan model Ochiai,
seperti yang terlihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 4. Hasil analisis asosiasi Eboni (Dyospirous celebica Bakh) dengan tanaman
lainnya pada berbagai tahapan pertumbuhan dimana didapati bahwa terjadi
asosiasi

Tahapan semai :

Uji chi-square Tingkat asosiasi Indeks asosiasi Ochiai

Eboni
Nangka 6.18 - 0.44
Pinang 5.86 + 0.86

18
Sp 4 5.18 + 0.71
Sp 16 7.96 + 0.31
Tahapan
pancang :
Tingkat
Uji chi-square asosiasi Indeks asosiasi Ochiai

Eboni
Kemiri 2.83 - 0.17
Petai 5.99 -
Sukun 5.99 - 0.00
Sp 6 5.99 - 0.00
Sp 9 7.20 + 0.20
Sp 12 12.54 - 0.07

Tahapan tiang :

Uji chi-square Tingkat asosiasi Indeks asosiasi Ochiai

Eboni

Kayu manis 2.71 + 0.28


Langsat 2.71 + 0.28

Tahapan pohon :

Uji chi-square Tingkat asosiasi Indeks asosiasi Ochiai

Eboni

Mangga 12.78 - 0.11

Gabungan
tahapan :

Uji chi-square Tingkat asosiasi

Eboni

Angsana 31.97 - 0.26


Aren 5.11 +
Dao 15.19 + 0.12

19
Jambu 3.27 + 0.68
Langsat 3.03 + 0.81
Lento-lento 4.37 + 0.85
Pinang 6.11 + 0.94
Sp 12 6.22 + 0.79
Sp 17 16.65 - 0.22

Keterangan : = Asosiasi bersifat sangat nyata

= Asosiasi bersifat nyata

= Asosiasi bersifat positif

B. Pembahasan

Berdasarkan jumlah Eboni pada tahapan Eboni pada setiap tahapan


pertumbuhan dilihat dari tingkat kelerengan, maka dapat terlihat bahwa Eboni
pada tahapan semai dan pancang tersebar hingga kelas kelerengan sangat curam,
adapun jumlahnya sangat tergantung pada pohon induk dan adanya bukaan (gap)
pada tumbuhan bawah. Sedangkan pada tahapan tiang dan pohon hanya dapat
tumbuh dengan baik hingga kelas kelerengan curam. Pada kelerengan sangat
curam tahapan pohon jarang dijumpai, bahkan tahapan tiang tidak didapati pada
kelas kelerengan sangat curam ini.
Eboni pada tahapan semai berhubungan asosiasi sangat nyata dengan lima
tumbuhan lainnya berdasarkan hasil uji chi-square, yakni: nangka, pinang, sp 4,
dan sp 16. Akan tetapi, tidak semuanya berasosiasi positif, ada juga yang
berasosiasi negatif. Kekuatan asosiasi Eboni pada tingkatan semai, positif dengan
pinang, Sp 4 dan Sp 6, akan tetapi berkekuatan negatif dengan nangka. Dan yang
mempunyai hubungan asosiasi terkuat berdasarkan indeks asosiasi Ochiai adalah
pinang dengan nilai sebesar 0,86.
Eboni pada tahapan pancang berhubungan asosiasi sangat nyata dengan
lima tumbuhan lainnya berdasarkan hasil uji chi-square, yakni: petai, sukun, sp 6,
sp 9, dan sp 12. Dan juga berhubungan asosiasi nyata dengan satu tumbuhan,

20
yakni kemiri. Akan tetapi, tidak semuanya berasosiasi positif, ada juga yang
berasosiasi negatif. Kekuatan asosiasi Eboni pada tingkatan pancang, positif
dengan sp 9, akan tetapi berkekuatan negatif dengan kemiri, petai, sukun, sp 6, sp
9, dan sp 12. Dan yang mempunyai hubungan asosiasi terkuat berdasarkan indeks
asosiasi Ochiai adalah sp 9 dengan nilai sebesar 0,20.
Eboni pada tahapan tiang asosiasi sangat nyata dengan dua tanaman
berdasarkan hasil uji chi-square, yakni kayu manis dan langsat. Keduanya
memiliki kekuatan asosiasi positif terhadap Eboni. Keduanya memiliki nilai yang
sama berdasarkan indeks asosiasi ochiai yakni sebesr 0.28.

Eboni pada tahapan pohon berhubungan asosiasi yang nyata dengan satu
tumbuhan lainnya berdasarkan hasil uji chi-square, yakni: mangga. Dan kekuatan
asosiasinya negatif terhadap Eboni dengan nilai sebesar 0.11 berdasarkan nilai
indeks Ochiai.
Eboni pada semua tahapan pertumbuhan berhubungan asosiasi nyata
dengan jambu dan langsat, serta memiliki hubungan asosiasi sangat nyata dengan
tujuh tanaman lainnya, yakni: angsana, aren, dao, lento-lento, pinang, sp 12 dan sp
17. Akan tetapi, tidak semuanya memiliki kekuatan positif, seperti: aren, dao,
lento-lento, pinang, sp 12 dan sp 17. Sedangkan angsana dan sp 17 memiliki
kekuatan negatif. Berdasarkan nilai indeks asosiasi Ochiai maka didapati bahwa
pada gabungan semua tahapan yang mempunyai hubungan asosiasi tertinggi
dengan Eboni, adalah pinang dengan nilai sebesar 0.94. Disusul oleh aren dengan
nilai sebesar 0.93, dan pada urutan ketiga disusul oleh lento-lento dengan nilai
sebesar 0,85.

21
22
DAFTAR PUSTAKA

Alrasyid, H. 2002. Kajian Budidaya Pohon Eboni. Bogor: Pusat Penelitian


Biologi, LIPI.

Anonim. 2009. Laporan Praktek Umum gelombang XIX. Makassar: Pengelola


Praktek Umum Fakultas Kehutanan, UNHAS.

Chapman, S.B. and P.D. Moore. 1986. Methods in Plant Ecology. London:
Blackwell Scientific Publication, Oxford University.

Indriyanto. 2005. Ekologi Hutan. Jakarta: PT. Bumi Aksara Group.

Ludwig, J.A. and J.F. Reynolds. 1988. Statistical Ecology. United States of
America.

McNaughton, S.J. and W.L. Wolf. 1992. Ekologi Umum. Edisi Kedua.
Penerjemah: Sunaryono P. dan Srigandono. Penyunting: Soedarsono.
Yogyakarta: Gadjah Mada Univ. Press.

Mueller-Dombois, D. and H. Ellenberg. 1974. Aims and Methods of Vegetation


Ecology. New York: John Wiley and Sons.

Paembonan, S.A. dan Baharuddin, N. 2002. Kajian Biologi Ekologi Dan Kajian
Budidaya Eboni. Bogor: Pusat Penelitian Biologi, LIPI.

Riswan, S. 2002. Kajian Biologi Eboni (Dyospyros celebica Bakh). Bogor: Pusat
Penelitian Biologi, LIPI.

23
24

You might also like