You are on page 1of 43

6

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Manajemen

2.1.1. Pengertian Manajemen

Menurut Hasibuan (2000), manajemen adalah ilmu dan seni mengatur

proses pemanfaatan sumber daya manusia dan sumber-sumber daya lainnya secara

efektif dan efisien untuk mencapai suatu tujuan tertentu.

Selanjutnya menurut Handoko (1984), bahwa manajemen didefinisikan

sebagai bekerja dengan orang-orang untuk menentukan dan menginterpretasikan

dan mencapai tujuan-tujuan organisasi dengan pelaksanaan fungsi-fungsi

perencanaan, pengorganisasian, penyusunan personalia, pengarahan dan

kepemimpinan dan pengawasan. Sedangkan menurut Manullang (2001),

manajemen adalah seni dan ilmu perencanaan, pengorganisasian, penyusunan,

pengarahan, dan pengawasan sumber daya untuk mencapai tujuan yang sudah

ditetapkan.

Berdasarkan ketiga pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa tugas

manajemen adalah mengadakan koordinasi dengan sejumlah aktivitas atau

kegiatan orang lain yang meliputi Planning, Organizing, Actuating, dan

Controlling (POAC).
7

2.1.2. Fungsi Manajemen

Pelaksanaan kegiatan akan berjalan lancar apabila pihak manajemen

perusahaan mampu mengaplikasikan unsur/fungsi manajemen. Menurut Terry

(1994), manajemen terdiri dari beberapa fungsi, antara lain:

1) Perencanaan (Planning)

Menurut Siswanto (2005), perencanaan adalah proses dasar yang

digunakan untuk memilih tujuan dan menentukan cakupan pencapaiannya.

Selanjutnya dikatakan bahwa merencanakan berarti mengupayakan penggunaan

sumber daya manusia (human resources), sumber daya alam (natural sources),

dan sumber daya lainnya (other resources) untuk mencapai tujuan. Suatu

perencanaan adalah suatu aktivitas integratif yang berusaha memaksimumkan

efektifitas seluruhnya dari suatu organisasi sebagai suatu system, sesuai dengan

tujuan yang ingin dicapai (Siswanto, 2005).

Berdasarkan definisi tersebut, perencanaan minimum memiliki tiga

karakteristik berikut:

1) Perencanaan tersebut harus menyangkut masa yang akan datang.

2) Terdapat suatu elemen identifikasi pribadi atau

organisasi, yaitu serangkaian tindakan di masa yang akan

datang dan akan diambil oleh perencana.

3) Masa yang akan datang, tindakan dan identifikasi pribadi,

serta organisasi merupakan unsur yang amat penting

dalam setiap perencanaan.


7

Perencanaan dapat dianggap sebagai suatu kumpulan keputusan-keputusan

dimana perencanaan tersebut dianggap sebagai langkah mempersiapkan tindakan-

tindakan untuk masa yang akan datang dengan jalan membuat keputusan

sekarang/saat ini (Winardi, 1979).

Selanjutnya dikatakan bahwa dalam perencanaan diklasifikasikan dalam

tiga waktu antara lain:

1) Perencanaan jangka pendek (Short range), yang mencakup waktu kurang dari

satu tahun.

2) Perencanaan jangka menengah (Intermediate range), yang meliputi waktu

lebih dari satu tahun tapi kurang dari lima tahun.

3) Perencanaan jangka panjang (Long range), meliputi waktu lebih dari lima

tahun.

2) Pengorganisasian (Organizing)

Organisasi dapat didefinisikan sebagai sekelompok orang yang saling

berinteraksi dan bekerja sama untuk merealisasikan tujuan bersama. Berdasarkan

definisi di atas, dapat dikatakan bahwa dalam suatu organisasi minimum

mengandung tiga elemen yang saling berhubungan. Ketiga elemen tersebut adalah

sekelompok orang, interaksi dan kerja sama, serta tujuan bersama (Siswanto,

2005).

Oleh karena itu, organisasi dikatakan sebagai wadah berarti suatu tempat

orang berinteraksi dan bekerja sama. Sedangkan organisasi dikatakan sebagai alat

berarti sebagai alat untuk merealisasikan tujuan bersama di antara orang yang

berinteraksi dan bekerja sama tersebut.


7

Selanjutnya menurut (Siswanto, 2005), bahwa organisasi dapat diartikan dalam

arti dinamis maupun dalam arti statis. Organisasi dalam arti dinamis adalah suatu

proses penetapan dan pembagian kerja yang akan dilakukan, pembatasan tugas

dan kewajiban, otoritas dan tanggung jawab, serta penetapan hubungan di antara

elemen organisasi. Dengan demikian, orang yang bergabung dalam organisasi

tersebut dapat bekerja sama untuk merealisasikan tujuan bersama secara efisien

dan efektif. Organisasi dalam arti statis adalah suatu bagan atau struktur yang

berwujud dan bergerak demi tercapainya tujuan bersama, dalam istilah lain sering

disebut sebagai struktur atau tata raga organisasi. Jadi, struktur organisasi adalah

suatu manifestasi atau perwujudan organisasi yang menunjukkan hubungan antara

fungsi otoritas dan tanggung jawab atas setiap aktivitas. Struktur organisasi dapat

dipandang sebagai desain yang terpadu dan utuh yang menunjukkan hubungan

fungsi dari masing-masing orang yang terikat di dalamnya (Siswanto, 2005).

3) Penggerakan (Actuating)

Menurut Terry (1994), actuating adalah menempatkan semua anggota

daripada golongan untuk mengingini, mencapai dan berjuang untuk mencapai

sesuatu objektif secara sukarela dan sejalan dengan manajerial planning dan usaha

organizing.

Sedangkan menurut Winardi (1979), hal dasar dalam tindakan actuating

adalah manajemen yang berpandangan progresif, maksudnya para manajer harus

menunjukkan melalui perlakuan dan keputusan-keputusan bahwa mereka

mempunyai perhatian yang lebih untuk anggota-anggota organisasi mereka. Lebih


8

lanjut dikatakan bahwa hal yang fundamental bagi suksesnya manajemen adalah

berusaha agar para anggota mau melaksanakan pekerjaannya, kepercayaan dan

keyakinan terhadap masing-masing pegawai, usaha untuk memelihara lingkungan

kerja yang memuaskan semua pihak dan diterimanya fakta bahwa kesediaan serta

kapasitas setiap orang untuk melaksanakan pekerjaan secara antusias membantu

suksesnya usaha (Winardi, 1979).

4) Pengendalian (Controlling)

Controlling dapat didefinisikan sebagai proses penentuan apa yang akan

dicapai yaitu standar, apa yang sedang dihasilkan yaitu pelaksanaan, menilai

pelaksanaan dan bilamana perlu mengambil tindakan korektif sehingga

pelaksanaan dapat berjalan menurut rencana. (Terry, 1994).

Sedangkan Menurut Anoraga (1997), pengendalian adalah suatu proses

untuk memastikan bahwa aktifitas aktual perusahaan sesuai dengan yang telah

direncanakan.

Selanjutnya menurut Winardi (1979), controlling atau pengawasan dapat

dianggap sebagai aktivitas untuk menemukan, mengoreksi penyimpangan-

penyimpangan penting dalam hasil yang dicapai dari aktivitas-aktivitas yang

direncanakan.

Berdasarkan kedua pendapat tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa

pengawasan harus dilaksanakan dengan optimal untuk mengusahakan agar

komitmen-komitmen yang sudah ditentukan dilaksanakan. Kegagalan

pengawasan berarti cepat atau lambat adanya kegagalan perencanaan dan

suksesnya perencanaan berarti suksesnya pengawasan. Apabila pengawasan jelas


9

menunjukkan bahwa perencanaan tersebut tidak diimplementasi maka harus

dilakukan usaha baru.

2.1.3. Tujuan Manajemen

Menurut Anoraga (1997), tujuan dari manajemen adalah mengubah

sumber daya yang ada agar menjadi suatu hasil yang memiliki nilai untuk

mencapai sasaran perusahaan

2.1.4. Peranan Manajemen

Menurut Anoraga (1997), di dalam menyelesaikan fungsi manajemen

seorang manajer mempunyai tiga peran utama untuk dilaksanakan, yaitu:

1) Peranan Interpersonal

Manajer melakukan beberapa kegiatan atas dasar posisi mereka dalam

hierarki manajerial. Bagian dari aktivitas ini adalah mengharuskan manajer

memimpin para bawahan. Kepemimpinan diperlukan untuk mempengaruhi

karyawan agar bekerja lebih keras, memiliki keyakinan terhadap organisasi, atau

melaporkan masalah-masalah kecil sebelum berkembang menjadi masalah yang

lebih besar.

2) Peranan Informasi

Komunikasi yang mengalir ke dan dari manajer membuat manajer perlu

memproses informasi. Manajer merupakan pusat syaraf, atau titik pusat dari suatu

kelompok. Ia harus memiliki gambaran secara menyeluruh dari kelompok itu.

Baik kekuatannya, kelemahannya, maupun kebutuhannya. Dengan pengetahuhan


7

ini, proses informasi yang mengalir ke dan dari kelompok merupakan informasi

yang relevan bagi mereka.

3) Peranan Pengambil Keputusan

Manajer merupakan kunci pembuat keputusan dalam organisasi. Manajer

harus menerima tanggung jawab dalam membuat keputusan. Manajer harus

bertindak sendiri terhadap informasi-informasi dari berbagai sumber, menyisipkan

opini pribadi. Mempertimbangkan situasi saat ini, menganalisis sumber daya-

sumber daya yang ada, dan kemudian menghubungkan semuanya ini bersama-

sama sebelum mencapai suatu keputusan.

2.1.5.. Sarana Manajemen

Sarana atau alat manajemen untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan

adalah men, money, materials, methods, machine dan markets. (Manullang, 2001).

Selanjutnya dikatakan sarana utama dari setiap manajer untuk mencapai

tujuan yang telah ditentukan terlebih dahulu adalah manusia. Untuk melakukan

berbagai aktivitas diperlukan manusia. Tanpa adanya manusia, manajer tidak akan

mungkin mencapai tujuannya. Sarana manajemen yang kedua adalah uang. Untuk

melakukan berbagai aktivitas diperlukan uang. Kegagalan proses manajemen

sedikit banyak dipengaruhi oleh ketelitian dalam menggunakan uang. Dalam

proses pelaksanaan kegiatan, manusia menggunakan bahan-bahan, karenanya

dianggap pula sebagai sarana manajemen untuk mencapai tujuan. Untuk

melakukan kegiatan secara berdaya guna dan berhasil guna, manusia dihadapkan

dengan berbagai alternatif atau cara melakukan pekerjaan. Bagi badan yang

bergerak di bidang industri, maka sarana manajemen penting lainnya adalah pasar.
7

2.1.6. Manajemen Operasi

2.1.6.1. Pengertian Manajemen Operasi

Manajemen operasi merupakan proses pencapaian dan pengutilisasian

sumber-sumber daya untuk memproduksi atau menghasilkan barang-barang atau

jasa yang berguna dalam usaha untuk mencapai tujuan dan sasaran organisasi

(Assauri, 1999).

Selanjutnya Umar (2003), mengatakan bahwa manajemen operasi adalah

suatu fungsi atau kegiatan manajemen yang meliputi perencanaan, organisasi,

staffing, koordinasi, pengarahan dan pengawasan staffing, koordinasi, pengarahan

dan pengawasan terhadap operasi perusahaan.

2.1.6.2. Fungsi Manajemen Operasi

Menurut Assauri (1999), ada empat fungsi terpenting dalam fungsi produksi

dan operasi, yaitu:

1) Proses pengolahan (operasi)

Proses produksi dan operasi merupakan rangkaian kegiatan yang dilakukan

dengan menggunakan peralatan, sehingga masukan atau input dapat diolah

menjadi keluaran berupa barang atau jasa yang akhirnya dapat dijual kepada

pelanggan dengan harapan perusahaan akan mendapatkan keuntungan.

2) Jasa-jasa penunjang
6

Jasa-jasa penunjang produksi dan operasi ini meliputi pengetahuan dan

teknologi yang dibutuhkan untuk diorganisir serta dikomunikasikan agar proses

produksi dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien.

3) Perencanaan

Perencanaan berfungsi agar kegiatan produksi dan operasi yang akan

dilakukan dapat terarah bagi pencapaian tujuan produksi dan operasi, serta fungsi

produksi dapat terlaksana secara efektif dan efisien.

4) Pengendalian dan pengawasan

Pengendalian dan pengawasan merupakan kegiatan yang telah dilakukan

untuk menjamin agar kegiatan operasi dan produksi yang dilaksanakan sesuai

dengan apa yang telah direncanakan, dan apabila terjadi penyimpangan, maka

penyimpangan tersebut dapat dikoreksi sehingga apa yang diinginkan dapat

tercapai.

2.2. Sarana dan Prasarana Penangkapan

2.2.1. Kapal Huhate (Skipjack Pole and Liner)

Skipjack pole and line adalah jenis kapal yang digunakan untuk

menangkap ikan cakalang (Katsuwonus pelamis).. Tipe kapal jenis ini

memerlukan palka ikan, tangki untuk menyimpan umpan hidup serta system

sirkulasi airnya, pipa-pipa dan pompa untuk memercikan air, tempat duduk untuk

pemancing serta geladak kapal untuk tempat menjatuhkan ikan hasil pancingan.

Jenis kapal yang digunakan dalam operasi penangkapan ikan cakalang

adalah pole and line tipe skipjack fishing boat. Kapal ini memiliki persyaratan
7

tertentu yaitu pada haluan kapal dibuat anjungan yang mencuat kedepan untuk

tempat pemancingan (tempat duduk pemancing), memiliki bak tempat umpan

hidup (live bait tank), tempat penyimpanan hasil tangkapan, mempunyai system

penyemburan air/spoit (water pump) dan palka yang dapat menampung ikan hasil

tangkapan.

Huhate (Skipjack Pole and Line) atau umumnya lebih dikenal dengan

“pole and line” adalah cara pemancingan dengan menggunakan pancing yang

dikhususkan untuk menangkap ikan cakalang yang banyak digunakan di perairan

Indonesia.

Menurut Uktolseja et al (1989), penyebaran cakalang di perairan Indonesia

meliputi Samudra Hindia (perairan Barat Sumatra, selatan Jawa, Bali, Nusa

Tenggara), Perairan Indonesia bagian Timur (Laut Sulawesi, Maluku, Arafuru,

Banda, Flores dan Selat Makassar) dan Samudra Fasifik (perairan Utara Irian

Jaya).

Penangkapan dengan pole and line dapat menggunakan kapal motor (kapal

motor khusus cakalang, tuna clipper), tetapi untuk nelayan-nelayan kecil biasanya

menggunakan perahu dayung (rowing boat) yang biasanya disebut “Funai” dan

atau “Rurehe”. Ada keistimewaan-keistimewaan dalam penangkapan cakalang

dengan huhate ini, yaitu pertama harus adanya umpan hidup (life bait fish), dan

kedua ialah adanya bentuk kapal khusus (Subani dan Barus, 1989).

Huhate adalah jenis alat pancing penangkap ikan yang terdiri dari bambu

sebagai joran/tongkat dan tali sebagai tali pancing. Pada tali pancing ini dikaitkan

mata pancing yang tidak berkait. Penggunaan mata pancing yang tidak berkait
8

dimaksudkan agar ikan yang ditangkap dapat mudah lepas (Direktorat Sarana

Perikanan Tangkap, 2003).

Menurut Ayodhoya (1981), pole and line umum digunakan untuk

menangkap ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) sehingga dengan kata perikanan

pole and line sering pengertian kita ke arah perikanan cakalang, sungguhpun

dengan cara pole and line juga dilakukan penangkapan albacore, mackerel dan

lain sebagainya.

2.2.2. Bentuk Kapal

Menurut Subani dan Barus (1989), bentuk kapal cakalang mempunyai

beberapa pengkhususan, antara lain:

1) Di bagian atas dek kapal bagian depan terdapat plataran (plat form) dimana

pada tempat tersebut para pemancing melakukan pemancingan.

2) Dalam kapal harus tersedia bak-bak untuk menyimpan ikan umpan hidup.

3) Kapal cakalang perlu dilengkapi dengan sistem semprotan air (water splinker

system) yang dihubungkan dengan suatu pompa. Kapal cakalang yang

umumnya digunakan mempunyai ukuran 20 GT dengan kekuatan 40 – 60 HP.

Kapal pole and line adalah kapal dengan bentuk yang stream line dan

mempunyai olah gerak kapal yang lincah dan tergolong kapal yang mempunyai

kecepatan service sedang yaitu diatas 10 knot dan gerakan stabilitas yang baik

untuk mengejar segerombolan ikan, yakni kapal tersebut sambil olah gerak

menangkap ikan (Direktorat Sarana Perikanan Tangkap, 2003).


7

Gambar 1. Sketsa kapal Pole and Line

Gambar 1 : Konstruksi kapal huhate (Pole and Line)

(Sumber: Direktorat Jenderal Perikanan,1994)

2.2.3. Alat Tangkap

Berdasarkan sumber yang diperoleh dari Balai Ketrampilan Penangkapan

Ikan Ambon (1981), huhate terdiri dari bagian-bagian sebagai berikut:

a) Joran/galah yang terbuat dari bamboo atau plastik dengan panjang yang

berkisar antara 2 – 3,25 meter.

b) Tali dari bahan sintetis, monofilament atau multi filament dengan panjang

1,5 – 2,5 meter dan diameter tali 0,2 – 0,3 meter.

c) Kawat baja (wire leader) yang panjangnya 5 – 10 cm, terdiri dari 2 – 3 urat

yang disatukan/dipintal dengan diameter 1,2 mm.

d) Mata kail (hook) yang khusus, karena ujungnya tidak memiliki kait.
7

Gambar 2. Kontruksi Pancing Huhate

(Sumber: Badan Riset Kelautan Perikanan, 2006)

2.2.4. Alat Bantu Penangkapan

Menurut Subani dan Barus (1989), berhasil tidaknya tiap usaha

penangkapan ikan di laut pada dasarnya adalah bagaimana mendapatkan daerah

penangkapan (fishing ground), gerombolan ikan dan keadaan potensinya, untuk

kemudian dilakukan operasi penangkapannya. Adapun alat-alat bantu

penangkapan yang digunakan dalam menunjang kegiatan penangkapan adalah

sebagai berikut:

2.2.4.1. Rumpon

Menurut (Sudirman dan Mallawa, 2004) Rumpon biasanya juga disebut

dengan Fish Agregation Device (FAD) yaitu suatu alat bantú penangkapan yang

berfungsi untuk memikat ikan agar berkumpul dalam suatu catchbie area.

Ada beberapa prediksi mengapa ikan senang berada di sekitar rumpon :

1). Rumpon merupakan tempat berkumpulnya plankton dan ikan – ikan kecil

lainnya, sehingga mengundang ikan – ikan yang lebih besar untuk tujuan feedingi,
6

2). Merupakan suatu tingkah laku dari berbagai jenis ikan untuk berkelompok di

sekitar kayu terapung (seperti jenis – jenis tuna dan cakalang). Dengan demikian,

tingkah laku ikan ini dimanfaatkan untuk tujuan penangkapan.

Kepadatan gerombolan ikan pada rumpon diketahui oleh nelayan

berdasarkan buih atau gelembung – gelembung udara yang timbul di permukaan

air, warna air yang gelap kerena pengaruh gerombolan ikan atau banyaknya ikan –

ikan yang bergerak di sekitar rumpon.

Pengunaan rumpon secara tradicional di indonesia telah lama dilakukan

terutama para nelayan dari Mamuju, Sulawesi Selatan dan Jawa Timur, sedangkan

penggunaan rumpon secara medern baru dimulai pada tahun 1980 oleh Lembaga

Penelitian Perikanan Laut (Monintja, 1993).

Menurut Subani dan Barus (1989), dilihat dari kedalaman air dimana

rumpon ditanam (dipasang) dibedakan antara rumpon laut dangkal dan rumpon

laut dalam atau yang dikenal dengan payaos.

Selanjutnya dikatakan rumpon ini umumnya dipasang pada kedalaman

antara 30-75 m. Setelah dipasang kedudukan rumpon yang ada mudah diangkat-

angkat, tetapi ada juga yang bersifat tetap tergantung dari pemberat yang

digunakan. Rumpon yang beratnya antara 25-35 kg biasanya berupa jangkar,

sedangkan rumpon yang beratnya antara 75-100 kg bahkan lebih terdiri dari batu-

batu yang diikat satu sama lain atau dimasukkan di dalam suatu keranjang dari

rotan, atau dapat juga terdiri dari cor-coran semen.

Rumpon laut dalam (payaos) pelampungnya agak istimewa.

Pelampungnya bisa terdiri dari 60-100 batang bambu yang disusun dan diikat

menjadi satu sehingga membentuk rakit. Tali pemberat (tali yang menghubungkan
7

antara pelampung dengan pemberat) dapat mencapai 1000 – 1500 m. Pemberatnya

berkisar 1000-3500 kg terdiri dari batu-batu yang dimasukkan dalam keranjang

rotan atau berupa rangkaian ikatan batu gunung.

2.2.4.2. Pila-pila

Pila-pila digunakan sebagai tempat duduk atau berdiri tempat pemancing,

yang letaknya bisa pada bagian haluan dan buritan antara sepanjang lambung kiri

dan kanan (Ditjenkan, 1994).

2.2.4.3. Pipa Penyemprot

Pipa penymprot digunakan untuk menyemprot air secara percikan ke

permukaan laut. Tujuannya adalah untuk mengelabui ikan-ikan seolah-olah pada

permukaan laut terdapat banyak ikan terutama cakalang (Ditjenkan, 1994).

Pipa penyemprot ditempatkan disepanjang pila-pila. Pipa tersebut bisa

terbuat dari paralon atau dari besi dan pada bagian ujungnya dipasang kran untuk

dipergunakan untuk menyemprot air. Penyemprot kran air terjadi karena

dilengkapi dengan water pump (pompa air) (Direktorat Sarana Perikanan

Tangkap, 2003).

2.2.4.4. Palkah Ikan

Palkah ini fungsinya untuk menempatkan ikan hasil tangkapan (Ditjenkan,

1994).

2.2.4.5. Bak Umpan


8

Bak umpan digunakan sebagai tempat umpan. Pada bak umpan tersebut

sebaiknya diberi warna putih supaya lebih muda dan dengan lampu penerang di

beberapa tempat masing-masing berkekuatan 50 watt. Fungsi dari lampu tersebut

agar dapat memberikan fototaksis positif dari ikan, sehingga ikan-ikan tersebut

dapat membentuk schooling yang baik. Apabila dalam bak umpan tidak dipasang

lampu, maka dapat menyebabkan umpan banyak bergerak secara tidak menentu,

antara umpan yang satu dengan lainnya saling bertubrukan dan membuat umpan

tersebut rusak tidak dapat dipergunakan (Ditjenkan, 1994).

2.2.4.6. Sibu-sibu

Sibu-sibu digunakan untuk menaikkan umpan hidup dari palka umpan ke

dalam bak penebar umpan dan juga untuk menebarkan umpan hidup ke laut. Sibu-

sibu yang berukuran kecil dipakai untuk menebar umpan dari bak penebar ke laut,

sedangkan sibu-sibu besar digunakan untuk memindahkan umpan dari palka ke

dalam bak penebar umpan.

2.2.4.7. Ember

Ember digunakan untuk mengangkat umpan hidup dari bagan nelayan ke

dalam palka umpan, dan juga untuk berbagai keperluan. Ember ini juga menjadi

ukuran dalam menentukan banyaknya umpan yang dimasukkan ke dalam palka

umpan.

2.3. Jenis-jenis Umpan

Penangkapan ikan cakalang dengan huhate atau pole and line biasanya

menggunakan beberapa jenis umpan untuk mengumpulkan ikan cakalang yaitu:

a) Umpan tiruan
7

Umpan tiruan biasanya dibuat dari bulu ayam dan dipasang pada mata

kail. Umpan tiruan untuk huhate dirancang dengan memperhatikan bentuk dan

warna dengan maksud untuk menarik perhatian ikan. Pengaturan warna yang

serasi dan lebih cerah serta bentuk yang menyerupai ikan akan lebih merangsang

ikan untuk menyambar mata pancing. Umpan tiruan ini dibuat untuk menutupi

mata pancing sehingga dapat mengelabui ikan sasaran, bahan umpan tiruan terdiri

dari bulu ayam, tali rapiah, dan juga dapat diberi bahan kelopak insang atau kulit

ijing/kerang yang warnanya mengkilap (Badan Riset Perikanan Tangkap, 2006).

b) Umpan hidup

Jenis umpan hidup yang paling baik digunakan dalam perikanan Pole and

line adalah ikan teri (Subani, 1973; Murdianto, Rosana dan Penturi, 1995 dalam

Simbolon D, 2003). Jenis ikan umpan tersebut sangat disenangi oleh cakalang

karena memiliki sifat – sifat sebagai berikut :

1). Berwarna terang dan memikat atau keputih – putihan sehingga mudah menarik

perhatian ikan cakalang,

2). Tahan terhadap lama di dalam bak penyimpanan pada saat pelayaran dari

daerah penangkapan ikan umpan menuju daerah penangkapan cakalang,

3). Umpan yang disebarkan di antara schooling cakalang memiliki sifat yang

cenderung bergerak mendekati kapal untuk berlindung.

4). Sisi umpan tidak mudah terkelupas, sehingga tingkat kecerahan warna dapat

dipertahankan,

5). Panjang (size) umpan hidup sesuai dengan ukuran yang disenangi oleh

cakalang yang menjadi target penangkapan.


7

Sesuai dengan sifat – sifat tersebut di atas, pemilihan jenis dan ukuran

umpan yang sesuai perlu dilakukan secara seksama. (Subani, 1973 dalam

Sumbolon D, 2003) menyatakan bahwa ukuran umpan yang ideal dengan tipe

badan memanjang (streem line) berkisar antara 7,5 – 10,0 cm. Selanjutnya

disebutkan bahwa ukuran panjang umpan dengan tipe badan melebar sebaiknya

berkisar antara 5,0 – 7,5 cm.

Masalah utama yang sering dialami dalam perikanan pole and line adalah

ketersediaan umpan hidup pada waktu – waktu tertentu dan tingginya tingkat

kematian umpan dalam bak penyimpanan di atas kapal. Di lain pihak, kegiatan

operasi penangkapan cakalang dengan pole and line tidak akan berhasil apabila

umpan hidup tidak tersedia dalam jumlah yang memadai. Dengan demikian,

umpan hidup merupakan salah satu faktor pembatas (limiting factor) paling

penting dalam perikanan pole and line (Gafa dan Merta, 1987 dalam Simbolon D,

2003).

2.3.1. Penangkapan Umpan Hidup

Alat tangkap yang sangat umum digunakan untuk menangkap ikan umpan

hidup adalah jaring yang dioperasikan dari pantai atau kapal, jaring lampara,

purse seine, dan ring net, jaring yang digerakkan (drive in net) dan lift net,

termasuk stickheld dipnet dan jaring kantong (FAO, 1980).

2.3.2. Pemeliharaan Umpan Hidup Di Dalam Tangki Kapal

Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap kelangsungan hidup ikan

umpan di dalam palka umpan dikapal antara lain kandungan oksigen didalam air
8

dan konsumsi oksigen, penyinaran, suhu air dan kualitas air beserta

perubahannya.

Sebagai awal pertimbangan tentunya bagaimana memindahkan umpan

secara aman kedalam tangki umpan bahwa alat yang sebaiknya digunakan adalah

keranjang. Dalam tahap ini diperlukan seorang pembantu yang cermat dalam

menjaga ikan umpan karena memerlukan beberapa perlakuan yang cukup penting

dalam hal pengawasan dan mengarahkan agar pencemaran yang timbul sekecil

mungkin yang diakibatkan kotoran ikan dan sisik ikan yang terlepas.

Selain itu kondisi lingkungan dapat dibuat lebih mendukung dengan cara

meningkatkan sejumlah oksigen kedalam tangki umpan, menurunkan temperatur,

menurunkan salinitas dan pada saat yang sama menghindari kepadatan ikan dan

menghindari rangsangan untuk membantu agar mereka menjadi tenang (FAO,

1980).

2.3.3. Pemberian Pakan Di Kapal

Ikan umpan tentu saja perlu diberi pakan selama ke daerah penangkapan

apabila trip pelayarannya memerlukan beberapa jam. Disarankan agar ikan diberi

makan 3 kali sehari, jumlahnya ditentukan oleh ukuran ikan dan temperatur air.

2.3.4. Pemberian Cahaya

Suatu bukti telah menunjukkan bahwa lampu bawah air (under water

lamp) didalam tangki umpan akan lebih baik karena mortalitas ikan umpan bisa

melebihi 50% apabila keadaan tangki umpan gelap sepanjang waktu. Kegunaan
7

cahaya alam atau buatan bisa mengurangi mortalitas ikan umpan kurang dari

10 %. Tetapi pemberian cahaya yang optimum belum diketahui dengan pasti.

2.3.5. Temperatur

Perlu diingat bahwa sewaktu kapal memancing disuatu daerah dengan

temperatur air yang berbeda, maka sirkulasi air didalam tangki secara perlahan-

lahan perlu diturunkan, untuk mengurangi masuknya air laut dan mempertahankan

derajat perubahan temperatur air. Saran lain ialah ikan yang dimasukkan kedalam

bak dikurangi sehingga lebih banyak oksigen yang tersedia bagi semua ikan, juga

akan lebih praktis apabila caranya dikombinasikan dengan sistem sirkulasi air.

2.2. Deskripsi Cakalang

Deskripsi morfologi dan meristik ikan cakalang dari berbagai samudera

menunjukan bahwa hanya ada satu species cakalang yang terbesar di seluruh

dunia, yaitu Katsuwonus pelamis (Jones and Silas, 1963; Waldron and King, 1963

dalam Simbolon, 2003). Bentuk tubuh cakalang memanjang seperti torpedo dan

padat dengan penampang melintang yang membulat. Bagian bawah gurat sisi

memiliki 4-6 garis-garis hitam tebal yang membujur seperti pita. Bagian bawah

punggung dan perut berwarna keperak – perakan. Punggung berwarna biru

keungu – unguan. Tubuh tidak bersisik kecuali pada bagian gurat sisi dan depan

sirip punggung pertama. Cakalang mempunyai 7 – 9 sirip dubur tambahan dan

terdapat tiga tonjolan pada batang ekor (Puslitbangkan, 1993 dalam Simbolon,

2003).

Ukuran panjang cakalang umumnya bervariasi menurut wilayah perairan.

Collette and Nauen, 1983 dalam Simbolon, 2003) melaporkan bahwa ukuran fork

length maksimum ikan umum tertangkap 40 – 80 cm dengan berat 8 – 10 kg.


7

Selanjutnya dikatakan berdasarkan pengamatan (Radju, 1964 dalam

Simbolon, 2003) ukuran ikan cakalang yang sudah matang gonad berkisar 40 – 50

cm. Ikan cakalang betina yang matang gonad memijah untuk pertama kalinya

pada ukuran 41 cm. Di lain pihak, ikan cakalang jantan biasanya mengalami

matang gonad pada ukuran 40 – 45 cm. Setelah melakukan pemijahan, sisa – sisa

telur matang masih dapat ditemukan pada ikan – ikan yang berukuran lebih besar

dari 40 cm, akan tetapi sisa telur tersebut tidak ditemukan pada ikan – ikan yang

berukuran lebih pendek dari 40 cm.

Kebiasaan makan ikan cakalang adalah aktif pada pagi hari dan kurang

aktif pada siang hari, selanjutnya mulai aktif lagi pada sore hari dan hampir tidak

makan sama sekali pada malam hari. Pada saat mencari makan, ikan cakalang

biasanya membentuk schooling bergerak dengan cepat sambil meloncat – loncat

di permukaan perairan. Puncak kegiatan makan bagi ikan cakalang terjadi sekitar

jam 08.00 hingga 12.00 dan berkurang antara jam 13.00 – 16.00, kemudian

memuncak lagi hingga matahari terbenam (Aprieto, 1994 dalam Simbolon, 2003).

2.4.1. Aspek biologi cakalang (Katsuwonus Pelamis)

Cakalang sering disebut skipjack tuna dengan nama lokal cakalang,

adapun klasifikasi cakalang menurut matsumoto, et al (1984) adalah sebagai

berikut :

Phylum : Vertebrata

Sub phylum : Craniati

Superclass : Gnathostomata

Series : Pisces
7

Class : Telestoid

Subclass : Actinopterygii

Ordo : Perciformes

Subordo : Scombridei

Family : Scombridae

Subfamily : Scombrinae

Tribe :Thunini

Genus : Katsuwonus

Spesies : Katsuwonus pelamis

Gambar 3 : Ikan cakalang (Katsuwonus pelamis)

(Sumber: http//www.fishbase.org)

2.5. Daerah dan Musim Penangkapan Cakalang

Potensi cakalang di indonesia sebagian besar terdapat di perairan kawasan

timur indonesia. Daerah penangkapan yang potensial bagi ikan tersebut di KTI

terdapat di perairan Sulawesi Utara, Halmahera, Maluku dan Irian Jaya dengan
7

basis penangkapan masing – masing di Bitung, Ternate, Ambon dan Sorong.

Wilayah yang memiliki potensi cakalang di kawasan barat indonesia terdapat di

perairan selatan Jawa Barat (Pelabuhan Ratu), Sumatera Barat dan Aceh

(Monintja et al, 2001 dalam Simbolon, 2003).

Musim penangkapan ikan cakalang di perairan indonesia pada umumnya

dapat dilakukan sepanjang tahun, namun puncak musim penangkapan sering kali

bervariasi menurut wilayah perairan, sebagai mana disajikan pada Table 1.

Table 1. Puncak Musim Penangkapan Cakalang Menurut Wilayah Perairan

No. Wilayah Perairan Puncak Musim


Maret s/d Mei; Agustus s/d Nopember; April
1 Sulawesi Utara - Tengah s/d Juni
2 Halmahera September s/d Oktober; Pebruari s/d April
3 Maluku September s/d Desember
5 Irian Jaya Pebruari s/d Juni; Agustus s/d Desember
6 Pelabuhan ratu Agustus s/d September
7 Padang Maret s/d Mei
8 Aceh Belum diperoleh informasi
Sumber : (Monintja et al, 2001 dalam Simbolon, 2003)

Huhate hanya diijinkan pengoperasiannya di wilayah perairan tertentu dan

ZEEI Laut Sulawesi dan ZEEI Samudera Pasifik (Direktorat Jenderal Perikanan

Tangkap, 2005).

Secara garis besarnya, cakalang mempunyai daerah penyebaran dan

migrasi yang luas, yaitu meliputi daerah tropis dan sub tropis dengan daerah

penyebaran terbesar terdapat disekitar perairan khatulistiwa. Daerah penangkapan

merupakan salah satu faktor penting yang dapat menentukan berhasil atau

tidaknya suatu operasi penangkapan. Dalam hubungannya dengan alat tangkap,

maka daerah penangkapan tersebut haruslah baik dan dapat menguntungkan,


7

Dalam arti ikan berlimpah, bergerombol, daerah aman, tidak jauh dari pelabuhan

dan alat tangkap mudah dioperasikan (Waluyo, 1987).

Lebih lanjut Paulus (1986), menyatakan bahwa dalam memilih dan

menentukan daerah penangkapan, harus memenuhi syarat-syarat antara lain :

1) Kondisi daerah tersebut harus sedemikian rupa sehingga ikan dengan mudah

datang dan berkumpul.

2) Daerahnya aman dan alat tangkap mudah dioperasikan.

3) Daerah tersebut harus daerah yang secara ekonomis menguntungkan. Hal ini

tentu saja erat hubungannya dengan kondisi oseanografi dan meteorologist suatu

perairan dan faktor biologi dari ikan cakalang itu sendiri.

2.6. Faktor Oseanografi yang Mempengaruhi Penyebaran Cakalang

Penyebaran ikan dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu penyebaran

horizontal atau penyebaran menurut letak geografis perairan dan penyebaran

vertikal atau penyebaran menurut kedalaman perairan (Nakamura, 1969 dalam

Simbolon, 2003). Ikan cakalang menyebar luas di perairan tropis dan sub tropis

seperti di lautan Atlantik, Samudera Hindia dan Pasifik. Penyebaran ikan tersebut

di perairan Indonesia sebagian besar terdapat di Kawasan Timur Indonesia (KTI).

Stok yang terdapat di perairan KTI ini diduga berasal dari Samudera Pasifik

bagian barat yang beruaya dari sebelah timur Philipina dan sebelum utara Papua

Nugini. Ikan tersebut selanjutnya beruaya dari perairan KTI ke Samudra Pasafik

bagian barat, yaitu ke perairan Zamboanga dan sebelum utara Papua Nugini

(Suhendrata, 1987 dalam Simbolon, 2003).


7

Ikan cakalang secara vertikal dapat menyebar sampai dengan ratusan

meter di bawah permukaan air, bahkan banyak terdapat pada kedalaman renang

20 – 200 meter (Nishimura, 1964 dalam Simbolon, 2003). Penyebaran ikan di

perairan tropis sangat dipengaruhi oleh lapisan termoklim. Ikan cakalang

umumnya ditemukan di atas lapisan termoklim (Laevastu and Hela, 1970 dalam

Simbolon, 2003).

Ikan cakalang merupakan ikan pelagis yang membentuk kelompok

(schooling). Menurut (Nikolsky, 1963 dalam Simbolon, 2003) individu cakalang

dalam suatu schooling mempunyai ukuran (size) yang relatif sama. Ikan – ikan

yang berukuran lebih besar biasanya berada pada lapisan yang lebih dalam dengan

schooling yang lebih kecil. Ikan – ikan yang lebih kecil biasanya berada dekat

permukaan perairan dengan schooling yang lebih besar. Tingkah laku tersebut

umumnya dimanfaatkan oleh para nelayan untuk memudahkan penangkapan.

Ikan cakalang melakukan migrasi karena (1) adanya perubahan beberapa

faktor lingkungan seperti suhu, salinitas dan arus, (2) usaha mencari daerah

perairan yang mengandung bahan makanan yang cukup dan (3) usaha mencari

daerah pemijahan (Nikolsky, 1963 dalam Simbolon, 2003). Hal ini sesuai dengan

pendapatan Laevastu and Hayes, 1981 dalam Simbolon, 2003) yang menyatakan

bahwa pola kehidupan ikan, termasuk cakalang tidak bisa dipisahkan dari

pengaruh faktor – faktor oseanografi. Fluktuasi faktor – faktor oseanografi seperti

suhu, salinitas, arus permukaan, oksigen terlarut mempunyai pengaruh yang besar

terhadap periode migrasi musiman serta terdapatnya ikan di suatu lokasi perairan.

2.6.1. Suhu Perairan


8

Suhu perairan secara langsung berpengaruh terhadap derajat metabolisme

dan siklus reproduksi ikan. Suhu perairan secara tidak langsung berpengaruh

terhadap daya larut oksigen yang digunakan untuk respirasi biota laut. Perubahan

suhu perairan akan berpengaruh terhadap rangsangan syaraf, perubahan proses

metabolisme dan aktivitas tubuh ikan (Laevastus and Hela, 1970 dalam Simbolon,

2003).

Kedalaman renang dari kelompok ikan pelagis, termasuk cakalang banyak

ditentukan oleh distribusi suhu perairan secara vertikal. Cakalang akan berenang

menghindari suhu perairan yang lebih tinggi atau yang lebih rendah dari biasanya

dan menuju ke lapisan perairan tertentu di mana ikan tersebut lebih mudah

beradaptasi. Distribusi vertikal ikan cakalang di perairan tropis sangat dipengaruhi

oleh lapisan termoklin. Adapun kisaran suhu penyebaran dan penangkapan serta

lapisan renang dari cakalang dan beberapa jenis tuna disajikan pada Table 2

(Laevastu and Hela, 1970 dalam Simbolon, 2003).

Table 2. Kisaran Suhu Penyebaran dan Penangkapan Serta Lapisan Renang Ikan

Cakalang dan Beberapa Jenis Tuna

Kisaran Suhu ( C) Lapisan Renang


Jenis Ikan
Penyebaran Penangkapan (meter)
Cakalang 17 - 28 19 - 23 0 - 40
Bluefin 12 - 25 15 - 22 50 - 300
Mata besar 11 - 28 18 - 22 50 - 400
Madidihang 18 - 31 20 - 28 0 - 200
Albacore 14 - 23 15 - 21 20 - 300
Sumber : (Laevastu and Hela, 1970 dalam Simbolon, 2003)

Kisaran suhu penyebaran dan penangkapan cakalang umumnya bervariasi

sesuai dengan wilayah perairan. Ikan cakalang di Samudera Pasifik bagian timur
6

ditemukan pada kisaran suhu permukaan laut (SPL) 17 C – 30 C dengan suhu

optimum 20 C – 28 C (Blackburn, 1965 dalam Simbolon, 2003). (Gunarso, 1985

dalam Simbolon, 2003) menyatakan bahwa suhu perairan optimum untuk

penangkapan cakalang di perairan Indonesia adalah 28 C – 29 C. Adapun kisaran

suhu yang optimum untuk penangkapan cakalang dan tuna pada berbagai perairan

disajikan pada Table 3.

Table 3. Kisaran Suhu Perairan Untuk Penangkapan Cakalang dan Tuna Menurut

Wilayah Perairan

Suhu
No. Wilayah Perairan Sumber Keterangan
Optimum ( C)
1 Pasifik Timur Laut 20 - 26 Blackburn, 1965 Cakalang & Tuna
2 Pasifik Tenggara 20 - 28 Blackburn, 1965 Cakalang & Tuna
3 Pasifik Barat Laut 20 - 28 Blackburn, 1965 Cakalang & Tuna
4 New Zeland 17 - 23 Blackburn, 1965 Cakalang & Tuna
5 Papua New Guinea 28 - 30 Blackburn, 1965 Cakalang & Tuna
6 Indonesia 28 - 29 Blackburn, 1965 Cakalang

2.6.2. Salinitas Perairan

Salinitas perairan merupakan parameter oseanografi yang dapat digunakan

untuk memperkirakan daerah penyebaran ikan cakalang di suatu perairan. Kisaran

salinitas yang menjadikan daerah penyebaran cakalang umumnya bervariasi

menurut wilayah perairan. Cakalang sering terkonsentrasi pada permukaan

perairan dengan kisaran salinitas 23% - 35% (Blackburn, 1965 dalam Simbolon,

2003).

Ikan cakalang mempunyai sifat sensitif terhadap perubahan salinitas. Hal

ini terbukti dengan banyaknya ikan cakalang yang ditemukan di perairan ujung
7

timur Selat Sunda ketika salinitas perairannya tinggi. Di lain pihak, ikan cakalang

tidak ditemukan sama sekali ketika salinitas rendah (Burhanuddin et al, 1984

dalam Simbolon, 2003).

2.6.3. Arus Perairan

Manurung dan Simbolon (1997), menyatakan bahwa penyebaran ikan

pelagis sering mengikuti sirkulasi arus dan kepadatannya sangat berhubungan

dengan kondisi arus. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan di Selat Makassar,

terdapat indikasi bahwa penyebaran berbagi jenis tuna terdapat di sepanjang poros

arus. Sepanjang daerah penyebaran tersebut, kelimpahan ikan cenderung lebih

banyak pada lapisan renang yang lebih dalam.

Ikan cakalang sangat menyenangi daerah pertemuan arus (konvergensi)

yang umumnya dijumpai pada wilayah yang memiliki banyak pulau. Turbulansi

yang terjadi di perairan sekeliling pulau – pulau atau benua berperan merangsang

pertumbuhan plankton. Sebagai konsekuensi logisnya, perairan tersebut relatif

lebih subur dan menjadi daerah penyebaran yang baik bagi cakalang untuk

mencari makan, seperti halnya di daerah upwelling.

Ikan cakalang sering ditemukan pada perbatasan dua massa air yang

berbeda dimana terjadi pertemuan antara massa air panas dan dingin. Daerah ini

diduga memiliki berbagai macam organisme dan merupakan daerah penangkapan

cakalang yang baik (Laevastu and Hela, 1970 dalam Simbolon, 2003).

2.6.4. Respon Ikan Terhadap Cahaya


8

Ikan tertarik pada cahaya melalui penglihatan (mata) dan rangsangan

melalui otak (pineal region pada otak). Peristiwa tertariknya ikan pada cahaya

disebut phototaksis (Ayodhoya, 1976;1981 dalam Malawa dan Sudirman 2004).

Ada beberapa alasan mengapa ikan tertarik oleh cahaya, antara lain adalah

penyesuaian intensitas cahaya dengan kemampuan mata ikan untuk penerimaan

cahaya. Dengan demikian, kemampuan ikan untuk tertarik pada suatu sumber

cahaya sangat berbeda-beda. Ada ikan yang senang dengan pada intensitas cahaya

yang rendah, tetapi ada pula ikan yang senang terhadap intensitas cahaya yang

tinggi. Namun ada ikan yang mempunyai kemampuan untuk tertarik oleh cahaya

mulai dari intensitas yang rendah sampai yang tinggi (Sudirman dan Malawa,

2004).

Rangsangan cahaya terhadap ikan diketahui antara 0,01 – 0,001 lux, sudah

memberikan reaksi. Ambang cahaya tertinggi untuk mata ikan belum banyak

diteliti, walau banyak diketahui bahwa berbagai jenis ikan laut pada umumnya

selalu berusaha untuk meningkatkan sensitifitasnya. Ikan mempunyai

suatu kemampuan yang mengagumkan untuk dapat melihat pada waktu siang hari

dengan kekuatan penerangan ratusan ribu lux dan dalam keadaan gelap sama

sekali (Gunarso, 1985 dalam Sudirman dan Malawa, 2004).

Namun demikian, sensitifitas mata ikan laut pada umumnya tinggi. Kalau

cahaya biru-hijau yang mampu diterima mata manusia hanya sebesar 30% saja,

tetapi mata ikan mampu menerimanya sebesar 75% sedangkan retina dari

beberapa jenis ikan laut dalam menerimanya sampai 90%. Ambang cahaya yang

mampu dideteksi oleh mata ikan jauh lebih rendah daripada ambang cahaya yang

dapat dideteksi manusia, sehingga pada umumnya mata ikan mempunyai tingkat
9

sensitifitas 100 kali mata manusia. Oleh sebab itu, pada beberapa jenis ikan yang

hidup di perairan pantai dapat mengindera mangsanya dari kejauhan 100 meter

sejak pagi sampai sore hari (Gunarso, 1985 dalam Sudirman dan Malawa 2004).

Cahaya yang masuk ke mata ikan akan diteruskan ke otak pada bagian Cone

dan Rod, yang sangat peka terhadap cahaya. Alasan lainnya, adanya cahaya

merupakan suatu indikasi adanya makanan.

2.7. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan

Menurut Ditjen Perikanan (1999) pengelolaan sumberdaya perikanan

merupakan suatu sistem yang terdiri dari 3 subsistem, yaitu :

1. Subsistem eksplorasi sumberdaya perikanan. Diharapkan akan dapat menjawab

keterbatasan informasi, yang terkait dengan besarnya potensi sumberdaya

perikanan yang tersedia menurut jenis dan penyebarannya yang dapat dituangkan

dalam bentuk peta penyebaran, tata ruang wilayah, kawasan konservasi dan

besarnya alokasi sumberdaya yang dapat dimanfaatkan pada periode waktu dan

lokasi tertentu, Penyediaan sarana yang tercakup dalam subsistem eksplorasi

diharapkan akan dapat mendukung rencana lokasi pemanfaatan sumberdaya,

sejalan dengan penyebaran sumberdaya dan tata ruang wilayah, sehingga

diperoleh suatu sistem jaringan prasarana yang memadai dan efisisen.

2. Subsistem pemanfaatan sumberdaya dan pembinaan usaha. Penanganan

subsistem pemanfaatan sumberdaya perikanan diharapkan dapat mengembangkan

usaha pemanfaatan sumberdaya yang produktif, mempunyai nilai tambah yang

tinggi dan dapat memberikan jaminan pendapatan bagi para pelakunya, dalam

rangka peningkatan kesejahteraan. Pemanfaatan sumberdaya dan pembinaan


7

usaha dilakukan berdasarkan potensi sumberdaya wilayah yang tersedia dan

didasarkan pada partisispasi dan keinginan masyarakat setempat sesuai dengan

permintaan pasar.

3. Subsistem pengawasan dan pengendalian pemanfaatan sumberdaya.

Penanganan subsistem pengawasan dan pengendalian pemanfaatan sumberdaya,

diharapkan dapat memberikan jaminan bahwa pemanfaatan sumberdaya dilakukan

secara efisien dan sesuai dengan ketentuan yang ada. Berjalannya subsistem ini

akan dapat menekan pemborosan dan kehilangan akan sumberdaya perikanan,

serta diharapkan akan dapat memberikan jaminan terhadap keberlanjutan usaha

yang dilakukan oleh pelaku usaha, untuk itu diperlukan keterpaduan antara

lembaga pengawasan dan peningkatan koordinasi antara penegak hukum.

2.8. Usaha Perikanan yang Berkelanjutan

Menurut (Kesteven, 1973 dalam Simbolon, 2003), pengembangan usaha

perikanan harus mempertimbangkan aspek-aspek bio-technico-sosio-economic-

approach. Oleh karena itu ada empat aspek yang harus diperhatikan dalam

pengembangan suatu jenis alat tangkap ikan, yaitu :

1. Aspek biologi, alat tangkap tersebut tidak merusak atau mengganggu

kelestarian sumberdaya.

2. Aspek teknis, alat tangkap yang digunakan efektif untuk dioperasikan.

3. Aspek sosial, alat tangkap dapat diterima oleh masyarakat nelayan.

4. Aspek ekonomi, usaha tersebut bersifat menguntungkan.


7

Menurut (Monintja, 2000 dalam Simbolon, 2003), perlu adanya

pertimbangan dalam pemilihan suatu teknologi yang tepat untuk diterapkan di

dalam pengembangan perikanan. Pertimbangan-pertimbangan yang akan

digunakan dalam pemilihan teknologi dapat dikelompokkan dalam tiga kelompok

yaitu teknologi penangkapan ikan ramah lingkungan (TPIRL), teknologi

penangkapan ikan secara teknis, ekonomis, mutu dan pemasaran menguntungkan

serta kegiatan penangkapan ikan yang berkelanjutan. Suatu kegiatan penangkapan

ikan yang ramah lingkungan memiliki ciri-ciri sebagai berikut :

1. Selektivitas tinggi, artinya teknologi yang digunakan mampu meminimalkan

hasil tangkapan yang bukan merupakan target.

2. Tidak destruktif terhadap habitat yang akan membahayakan kelestarian

produksi ikan.

3. Tidak membahayakan nelayan yang mengoperasikan /menggunakan teknologi

tersebut.

4. Produk yang dihasilkan tidak membahayakan terhadap kesehatan konsumen.

5. Hasil tangkapan yang diperoleh bermutu baik.

6. Hasil tangkapan sampingan (by-catch) dan yang terbuang (discard) minimum.

7. Diterima secara sosial, artinya dimasyarakat nelayan tidak menimbulkan

konflik.

Kriteria yang digunakan untuk teknologi penangkapan yang secara teknis,

ekonomis, mutu, dan pemasaran menguntungkan adalah :


6

1. Hemat biaya dan energi.

2. Meningkatkan produksi dan produktivitas.

3. Memperhatikan mutu produk.

4. Produk yang dihasilkan sesuai dengan permintaan pasar.

5. Meningkatkan wirausaha dan investor.

6. Meningkatkan devisa dan pengembangan daerah.

7. Meningkatkan kesejahteraan nelayan.

2.9. Teknik Penangkapan Ikan

Menurut Subani dan Barus (1989), penangkapan dengan pole and line

dilakukan dengan terlebih dahulu mencari gerombolan cakalang. Untuk

mendapatkan kawanan cakalang dapat dilakukan dengan cara berlayar kesana-

kemari (manouvre), memperhatikan kawanan burung laut atau dapat diperoleh

disekitar rumpon (payaos) yang telah dipasang (ditanam) lebih dulu.

Pemancingan dilakukan dengan setiap kali melemparkan ikan umpan

hidup sebagai perangsang agar cakalang lebih mendekat ke kapal sehingga mudah

terjangkau oleh pancing-pancing. Pemancing-pemancing cakalang umumnya

mempunyai ketrampilan khusus. Kegiatan pemancingan dilakukan begitu rupa

yaitu dengan menjatuhkan pancing ke atas permukaan air dan bila disambar oleh

cakalang dengan cepat diangkat melalui atas kepala dan secara otomatis terlempar

ke dalam dek kapal.

Kegiatan pemancingan dilakukan berulang-ulang dalam tempo yang

sangat singkat. Pemancingan dengan cara ini lebih dikenal dengan “cara banting”.

Disamping itu ada cara memancing yang disebut dengan “cara gepe”, yaitu cara
7

pemancingan dengan pole and line dimana setelah ikan terkena pancing dan

diangkat dari dalam air kemudian pengambilannya dari mata pancing dilakukan

dengan cara menjepit ikan diantara tangan dan badan si pemancing.

2.9.1. Persiapan dan Pelaksanaan Operasi Penangkapan

Operasi penangkapan tentunya dimulai dari persiapan-persiapan terutama

perbekalan dan perlengkapan, persiapan itu meliputi : bahan makanan, es, lampu,

dan bahan bakar minyak, alat navigasi, persiapan mesin, persiapan pengaturan alat

tangkap dan bahan lainnya (Sadhori 1985).

Selanjutnya persiapan yang harus dilakukan di laut adalah

mempersiapkan peralatan penangkapan yang menunjang keberhasilan

penangkapan ikan cakalang serta penyediaan umpan hidup. Adanya faktor umpan

hidup membuat cara penangkapan ini menjadi agak rumit. Hal ini disebabkan

karena umpan hidup tersebut harus sesuai dalam ukuran dan jenis tertentu,

disimpan, dipindahkan, dan dibawa dalam keadaan hidup (Malawa dan Sudirman,

2004).

2.9.2. Operasi Penangkapan

Operasi penangkapan dengan huhate dilakukan dengan cara mencari dan

memburu kelompok ikan cakalang. Pencarian gerombolan ikan dilakukan oleh

seorang pengintai yang tempatnya biasa berada di anjungan kapal dan

menggunakan teropong (Mallawa dan Sudirman, 2004).

Keberadaan ikan cakalang dapat dilihat melaui tanda-tanda antara lain:

adanya buih atau cipratan air, loncatan ikan cakalang ataupun gerombolan burung-

burung yang terbang menukik ke permukaan laut dimana gerombolan ikan berada.
7

Setelah menemukan gerombolan ikan, yang harus diketahui adalah arah

renang kemudian mendekati gerombolan ikan tersebut. Sementara pemancing

sudah bersiap masing-masing pada sudut kiri, kanan, dan haluan kapal.

Pelemparan umpan dilakukan oleh boi-boi setelah diperkirakan ikan telah

berada dalam jarak jangkauan lemparan, kemudian ikan dituntun ke arah haluan

kapal. Pelemparan umpan ini diusahakan secepat mungkin sehingga gerakan ikan

dapat mengikuti gerakan umpan menuju haluan kapal. Pada saat pelemparan

umpan tersebut, mesin penyemprot sudah dihidupkan agar ikan tetap berada di

dekat kapal. Pada saat gerombolan ikan berada dekat haluan kapal, maka mesin

kapal dimatikan. Sementara jumlah umpan yang dilemparkan ke laut dikurangi,

mengingat terbatasnya umpan hidup. Selanjutnya, pemancingan dilakukan dan

diupayakan secepat mungkin mengingat kadang-kadang gerombolan ikan tiba-tiba

menghilang terutama jika ada ikan yang berdarah atau ada ikan yang lepas dari

mata pancing dan jumlah umpan yang sangat terbatas. Hal lain yang perlu

diperhatikan pada saat pemancingan adalah menghindari ikan yang telah

terpancing jatuh kembali ke laut. Hal ini akan mengakibatkan gerombolan ikan

yang ada akan melarikan diri ke kedalaman yang lebih dalam dan meninggalkan

kapal, sehingga mencari lagi gerombolan ikan yang baru tentu akan mengambil

waktu. (Mallawa dan Sudirman, 2004).

2.10. Jenis Ikan Hasil Tangkapan

Usaha penangkapan dengan pole and line biasanya ditujukan untuk

menangkap ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) tetapi dalam kenyataannya

sering tertangkap juga beberapa jenis ikan yang lain, diantaranya: yellow fin tuna
8

(Thunnus albacares), little tuna (Auxis thazard), dan lain-lain (Balai Ketrampilan

Penangkapan Ikan Ambon, 1981).

Selanjutnya dalam FAO (1980) mengatakan bahwa para nelayan pole and

line terutama menangkap ikan skipjack (Katsuwonus pelamis), albacore (Thunnus

alalunga), tuna kecil seperti frigate mackerel (Auxis spp), dan ikan dolphin

(Coryphaena spp), juga yellow fin (Thunnus albacares), ikan-ikan muda spesies

ikan tuna yang besar yang lain, bonito (Sarda spp), dan tuna kecil (Euthynnus

spp). Semua jenis tadi tersebar secara luas di lautan dan Samudera di dunia.

2.11. Penanganan Ikan Hasil Tangkapan

Cara penanganan yang dipilh umumnya sesuai kondisi yang dikehendaki

pasar dengan prinsip yang sama yaitu menjaga mutu ikan agar tetap segar, sehat,

aman dan menarik saat disajikan sehingga harganya mampu bersaing saat

dipasarkan dan dapat menguntungkan bagi produsennya.

Selain itu prinsip penanganan ikan lainnya yang harus dilakukan, antara

lain menjaganya dari benturan atau tekanan fisik yang dapat melukai tubuh ikan

atau membuat dagingnya memar, melindungi dari sinar panas matahari langsung

dan mencegahnya dari kontaminasi bahan-bahan yang kotor dan berbahaya.

(Prayitno, 2004-website: www.cofish.net).

Keberhasilan penanganan ikan di atas kapal untuk menjaga mutunya

sangat ditentukan oleh :

1) Kesadaran dan pengetahuan semua ABK untuk melaksanakan cara

penanganan ikan dengan es secara benar.

2) Kelengkapan sarana penyimpana di atas kapal yang memadai, seperti:


6

palkah yang berisi es atau peti wadah ikan yang berisolasi dengan kapasitas

yang cukup sesuai dengan ukuran kapal.

3) Kecukupan jumlah es yang dibawa saat berangkat menangkap ikan di laut.

Prinsip penanganan ikan di atas kapal untuk ikan ukuran besar (kurang

dari 10 kg) menurut Prayitno (2004), adalah sebagai berikut:

1) Ikan-ikan berukuran besar umumnya ditangkap dengan alat tangkap pancing

dan biasanya masih dalam keadaan hidup saat diangkat dari air, untuk ini ikan

harus segera dibunuh dengan memukul kepalanya atau dengan cara lain yang

tidak merusak fisik ikan.

2) Segera mendinginkannya dengan mencelupkan ikan di bak chiling yang telah

diisi air es sambil menunggu saat penyiangannya. Suhu air akan selalu terjaga

pada suhu 0°C.

3) Melakukan penyiangan (buang insang dan isi perut, dan untuk ikan-ikan besar

juga mengiris sebagian operculum dan membuang sirip) dan membuang

darahnya. Pembersihan dilakukan dengan mencucinya memakai air dingin

yang telah didinginkan dengan es.

4) Selanjutnya ikan disusun secara bercampur dan berselang-seling dengan es

curah.

2.12. Analisis Finansial

2.12.1. Perhitungan Laba - Rugi

Pada umumnya laba-rugi usaha digunakan untuk mengukur apakah

kegiatan usaha yang dilakukan pada saat ini berhasil atau tidak. Analisa rugi –
7

laba usaha bertujuan untuk mengetahui besarnya keuntungan yang diperoleh dari

usaha yang dilakukan. Untuk menentukan apakah usaha tersebut untung atau rugi

dapat mengunakan rumus :

П = TR – TC

Keterangan :

П = Keuntungan

TR = Total penerimaan

TC = Total Biaya

Dengan krikteria :

1. Apabila total penerimaan (TR) > total biaya (TC), maka usaha tersebut

mengalami keuntungan, sehingga usaha dapat dilanjutkan.

2. Apabila total penerimaan (TR) < total biaya (TC), maka usaha tersebut

mengalami kerugian, sehingga usaha tidak layak untuk dilanjutkan.

3. Apabila total penerimaan (TR) = total biaya (TC), maka usaha tersebut

tidak mengalami keuntungan maupun kerugian, dengan kata lain usaha

tersebut berada pada titik impas.

2.12.2. Jenis-Jenis Biaya

Analisis laba atau profitbility analisis bermaksud mengetahui besarnya

perubahan laba bila faktor-faktor seperti biaya produksi, volume, dan harga

penjualan berubah. Untuk analisis laba dan titik impas, biaya operasi produksi

dikelompokkan menjadi biaya tetap dan biaya tidak tetap.


7

1. Biaya Tetap ( Fixed Cost)

Biaya tetap merupakan biaya yang besar kecilnya tidak mempengaruhi

produksi. Misalnya biaya pajak gedung, gaji karyawan, dan lain-lain. Jadi

meskipun jumlah produksi yang dihasilkan mengalami peningkatan atau

penurunan, pengeluaran ini jumlahnya tetap.

2. Biaya Variabel (Variable Cost)

Berbeda dengan biaya tetap, biaya veriabel mempunyai hubungan erat

dengan tingkat produksi, atau tergantung dari besar kecilnya volume produksi.

Artinya, bila produksi naik maka biaya variabel juga naik. Biaya variabel

merupakan biaya operasional dalam suatu usaha termasuk biaya teknis

perusahaan. Contoh biaya operasional ini adalah biaya sarana produksi, biaya

panen, biaya angkut dan sebagainya (Soeharto, 1995).

2.12.3. Analisis Titik Impas

Titik pulang pokok adalah volume penjualan di mana penghasilannya

(revenue) tepat sama besar dengan biaya total, sehingga perusahaan tidak

mendapat keuntungan atau kerugian, sedangkan menurut Riyanto (1991), analisa

break-even adalah suatu tehnik analisa untuk mempelajari hubungan antara biaya

tetap, biaya variabel, keuntungan dan volume kegiatan.

Menurut Arifin dan Fauzi (1999), analisis impas (break-even) dapat

diterapkan dalam perusahaan secara efektif, jika :


8

1. Biaya dapat dipisah menjadi biaya tetap (fixed cost) dan biaya variabel

(variable cost).

2. Unit yang terjual sama dengan unit yang diproduksi atau yang dihasilkan.

3. Produk yang dijual terdiri dari satu jenis, atau jika lebih dari satu jenis

komposisi dari masing-masing jenis dianggap tetap.

Titik impas (Break Even Point) dengan pendekatan matematis didapatkan

dalam satuan unit dan satuan mata uang. Untuk titik impas dalam satuan unit

diperoleh dari hasil pembagian antara biaya tetap dengan selisih antara harga jual

terhadap biaya variabel dari setiap unit produk yang dihasilkan. Untuk hasil titik

impas dalam satuan mata uang diperoleh dari pembagian antara biaya tetap

dengan selisih antara satu dengan perbandingan biaya variabel terhadap harga jual

untuk masing-masing unitnya.

Riyanto (1991), mengatakan bahwa perhitungan break-even point dengan

menggunakan rumus aljabar dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu :

1. Atas dasar unit

2. Atas dasar sales dalam rupiah

a) Perhitungan break-even point atas dasar unit (Kg) dapat dilakukan dengan

menggunakan rumus.

BEP (Dalam Kg) =


FC
P -V

Di mana :
6

P = harga jual per Kg

V = biaya variabel per Kg

FC = biaya tetap

b) Perhitungan break-even point atas dasar penjualan dalam rupiah dapat

dilakukan dengan menggunakan rumus aljabar sebagai berikut :

BEP (dalam Rp) =


FC
V
1-
P

Di mana :

FC = biaya tetap

V = biaya variabel per Kg

P = harga jual per Kg.

Salah satu cara untuk menentukan break-even point adalah dengan

membuat gambar break-even. Dalam gambar tersebut akan nampak garis-garis

biaya tetap, biaya total yang menggambarkan jumlah biaya tetap dan biaya

variabel, dan garis penghasilan penjualan.


8

Rp
(Kg,Rp)

Kg

Gambar 4 .Grafik titik impas (Break even point)

Sumber : http://www.12manage.com/methods_break-even_point.html

Besar volume produksi/penjualan dalam unit nampak pada sumbu

horizontal (sumbu X) dan besarnya biaya dan penghasilan penjualan akan nampak

pada sumbu vertikal (sumbu Y).

Break-even dalam Gambar 2 dapat ditentukan pada titik di mana terjadi

persilangan antara garis penghasilan penjualan dengan garis biaya total. Apabila

dari titik tersebut kita tarik garis lurus vertikal ke bawah sampai sumbu X, akan

nampak besarnya break-even dalam unit. Kalau dari titik itu ditarik garis lurus

horizontal ke samping sampai sumbu Y, akan nampak besarnya break-even dalam

Rupiah (Riyanto, 1991).

Analisa titik impas diperlukan dalam mengukur keuntungan dan efisiensi

produksi, menurut Arifin dan Fauzi (1999), perencanaan untuk mendapatkan laba

yang diinginkan dapat dilakukan dalam beberapa cara diantaranya :


6

1. Meminimumkan biaya produksi dan biaya operasional dengan tujuan

mempertahankan tingkat harga jual dan volume penjualan.

2. Menentukan harga jual dengan laba yang direncanakan dan meningkatkan

penjualan secara maksimal.

2.12.4. Margine Of Safety

Tingkat keamanan (Margine of safety) erat hubungannya dengan analisis

break even point, yaitu untuk menentukan seberapa besar berkurangnya volume

penjualan yang boleh turun agar tidak menimbulkan kerugian. Informasi margin

of safety dapat dinyatakan dalam rasio (persentase) antara penjualan yang

dianggarkan dengan penjualan pada tingkat break even point (Arifin dan Fauzi,

1999).

Menurut Arifin dan Fauzi (1999), rumus untuk menghitung margin of

safety (M/S) adalah seperti berikut :

penjualan per budget − penjualanper break even


M /S =
Penjualan per budget

Atau

Penjualan per budget


M /S = x100%
Penjualan per break even

You might also like