You are on page 1of 90

Xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxp;;;;;;;;;;;;;;;;;;;

;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
---------------------

RISALAH SIDANG
PERKARA NOMOR 140/PUU-VII/2009

PERIHAL
PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1
TAHUN 1965 TENTANG PENYALAHGUNAAN
DAN/ATAU PENODAAN AGAMA
TERHADAP
UNDANG-UNDANG DASAR
NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

ACARA
MENDENGARKAN KETERANGAN
SAKSI/AHLI PEMOHON, AHLI PEMERINTAH,
DAN PIHAK TERKAIT
(IV)

JAKARTA
RABU, 10 FEBRUARI 2010
MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
--------------
RISALAH SIDANG
PERKARA NOMOR 140/PUU-VII/2009

PERIHAL

Pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1965 tentang


Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama terhadap Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

PEMOHON

- Perkumpulan Inisiatif Masyarakat Partisipatif untuk Transisi


Berkeadilan (Imparsial) dkk.

ACARA

Mendengarkan Keterangan Saksi/Ahli Pemohon, Ahli Pemerintah, dan


Pihak Terkait (IV)

Rabu, 10 Februari 2010, Pukul 10.00-16.47 WIB


Ruang Sidang Pleno Gedung Mahkamah Konstitusi RI,
Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat.

SUSUNAN PERSIDANGAN

1) Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H. (Ketua)


2) Prof. Dr. Achmad Sodiki, S.H. (Anggota)
3) Prof. Dr. Maria Farida Indrati, S.H., M.H. (Anggota)
4) Drs. Ahmad Fadlil Sumadi, S.H., M.Hum. (Anggota)
5) Dr. H.M. Akil Mochtar, S.H., M.H. (Anggota)
6) Hamdan Zoelva, S.H., M.H. (Anggota)
7) Dr. Muhammad Alim, S.H., M.Hum. (Anggota)
8) Dr. H.M. Arsyad Sanusi, S.H., M.Hum. (Anggota)
9) Dr. Harjono, S.H., MCL. (Anggota)

Fadzlun Budi SN, S.H., M.Hum. Panitera Pengganti

1
Pihak yang Hadir:

Pemohon:

- Syamsuddin Radjab (PBHI)

Kuasa Hukum Pemohon:

- Uli Parulian Sihombing, S.H., LL.M.


- Febi Yonesta, S.H.
- M. Choirul Anam, S.H.
- Totok Yulianto, S.H.
- Siti Aminah, S.H.
- Nurkholis Hidayat, S.H.
- Judianto Simanjuntak, S.H.
- Wahyu Wagiman, S.H.
- Zainal Abidin, S.H.
- Muhammad Isnur, S.H.
- Vicky Silvanie, S.H.
- Adam M. Pantauw, S.H.
- Putri Kanesia, S.H.

Ahli dari Pemohon:

- Prof. Dr. Frans Magnis Suseno

Saksi dari Pemohon:

- Arswendo Atmowiloto

Pemerintah:

- Bahrul Hayat, Ph. D. (Sekjen Kementerian Agama)


- Prof. Dr. HM. Atho Mudzar (Kabalitbang dan Diklat Keagamaan
Kementerian Agama)
- Prof. Dr. H. Nasaruddin Umar (Dirjen Bimas Islam)
- H. Mubarok (Kepala Biro Hukum Departemen Agama)
- Qomaruddin (Direktur Litigasi Dephukham)
- Mualimin Abdi (Kasubdit Dephukham untuk Penyiapan dan
Pendampingan Sidang MK)

Ahli dari Pemerintah:

- KH. Hasyim Muzadi


- Prof. Dr. Amin Suma
- Prof. Dr. Rahmat Syafi’i

2
- Prof. Dr. Nur Syam

Pihak Terkait (PBNU):

- Soleh Amin (Ketua LPBNU)


- Asrul Sani
- KH. Hasyim Muzadi

Pihak Terkait (KWI):

- Benny Susetyo (Pastur)


- Ignasius Ismartono (Pastur)

Pihak Terkait (MATAKIN):

- Uung Cendana Linggaraya (Sekretaris Umum)

Pihak Terkait (Majelis Ulama Indonesia/MUI):

- Drs. H. Amidhan (Koordinator)


- H.M. Lutfi Hakim, S.H., M.H. (Anggota)
- Hj. Aisyah Amini, S.H., M.H. (Anggota)

3
SIDANG DIBUKA PUKUL 10.00 WIB

1. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Bismillahirrahmanirrahim,
Assalamualaikum wr. wb.
Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi untuk mendengarkan
keterangan atau pendapat Pihak Terkait dan keterangan Saksi serta
keterangan Ahli yang sudah dijadwalkan oleh Mahkamah dalam Perkara
Nomor 140/PUU-VII/2009 dinyatakan dibuka dan terbuka untuk umum.

KETUK PALU 3 X

Silakan kepada Pemohon untuk memperkenalkan siapa-siapa yang


hadir dan dihadirkan pada hari ini.

2. KUASA HUKUM PEMOHON : ULI PARULIAN SIHOMBING, S.H.,


LL.M.

Terima kasih, Majelis yang mulia.


Kami akan memperkenalkan Kuasa Hukum Pemohon dan juga
hari ini kebetulan kami juga menghadirkan Ahli dan Saksi Fakta dan juga
Pemohon. Saya Uli Parulian Sihombing, saya Kuasa Hukum Pemohon.

3. KUASA HUKUM PEMOHON : WAHYU WAGIMAN, S.H.

Selamat pagi, Yang Mulia.


Saya Wahyu Wagiman, Kuasa Hukum Pemohon.

4. KUASA HUKUM PEMOHON: SITI AMINAH, S.H.

Assalamualaikum wr. wb.


Saya Siti Aminah, Kuasa Hukum Pemohon.

5. KUASA HUKUM PEMOHON: ADAM M. PANTAUW, S.H.

Nama saya Adam Pantauw, Kuasa Hukum Pemohon.

6. KUASA HUKUM PEMOHON: MUHAMMAD CHOIRUL ANAM, S.H.

Assalamualaikum wr. wb.


Nama saya Muhammad Choirul Anam, Kuasa Hukum Pemohon.

4
7. KUASA HUKUM PEMOHON: FEBI YONESTA, S.H.

Selamat Pagi.
Nama saya Febi Yonesta, Kuasa Hukum Pemohon.

8. AHLI DARI PEMOHON: PROF. DR. FRANS MAGNIS SUSENO

Nama saya Frans Magnis Suseno, saya Ahli.

9. SAKSI DARI PEMOHON: ARSWENDO ATMOWILOTO

Nama saya Arswendo Atmowiloto, saya Saksi Korban.

10. KUASA HUKUM PEMOHON: ZAINAL ABIDIN , S.H.

Saya Zainal Abidin, Kuasa Hukum Pemohon, Yang Mulia.

11. PEMOHON : SYAMSUDIN RAJAB

Yang Mulia, nama saya Syamsuddin Radjab, Pemohon.

12. KUASA HUKUM PEMOHON: VICKY SILVANIE

Selamat pagi.
Saya Vicky Silvanie, Kuasa.

13. KUASA HUKUM PEMOHON: MUHAMMAD ISNUR

Assalamualaikum.
Nama saya Muhammad Isnur, Kuasa Hukum Pemohon.

14. KUASA HUKUM PEMOHON: NURKHOLIS HIDAYAT

Assalamualaikum.
Saya Nurkholis Hidayat, Kuasa Hukum Pemohon.

15. KUASA HUKUM PEMOHON: JUDIANTO SIMANJUNTAK, S.H.

Terima kasih, nama saya Judianto Simanjuntak, Kuasa Hukum


Pemohon.

16. KUASA HUKUM PEMOHON: PUTRI KANESIA, S.H.

Nama saya Putri Kanesia, Kuasa Hukum Pemohon.

5
17. KUASA HUKUM PEMOHON: TOTOK YULIANTO

Selamat pagi, nama saya Totok Yulianto, Kuasa Hukum Pemohon.


Terima kasih.

18. PEMERINTAH : MUALIMIN ABDI (KASUBDIT DEPHUKHAM


UNTUK PENYIAPAN DAN PENDAMPINGAN SIDANG MK)

Terima kasih, Yang Mulia.


Assalamualaikum wr. wb.
Pemerintah yang hadir Pak Menteri Agama dalam perjalanan,
kemudian Pak Sekjen Departemen Agama Pak Bahrul Hayat. Kemudian
ada Prof. Nassaruddin Umar dari Departemen Agama Dirjen Bimas Islam.
Kemudian juga ada Prof. Atho Mudzar, beliau juga Kabalitbang dan
Diklat Departemen Agama. Kemudian ada Pak Mubarok Kepala Biro
Hukum Departemen Agama. Ada Pak Qomaruddin, Direktur Litigasi dari
Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, kemudian saya sendiri
Mualimin Abdi dari Departemen Hukum dan HAM.
Kemudian Yang Mulia, kami juga menghadirkan Ahli yang
sedianya sesuai dengan jadwal yang disampaikan oleh Mahkamah, ada
perubahan, Yang Mulia. Jadi satu yang kami hadirkan adalah Prof. Dr.
Amin Suma, jadi ada perubahan. Yang kedua, Prof. Dr. Rahmat Syafi’i.
kemudian dan yang ketiga, Prof. Dr. Nur Syam. Kemudian yang ke
empat KH. Hasyim Muzadi, Beliau sudah hadir. Kemudian Yang Mulia,
ada sebelum lanjut (…)

19. KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Sebentar ya, itu KH. Hasyim Muzadi itu Ahli yang dihadirkan oleh
Mahkamah, bukan oleh Pemerintah.

20. PEMERINTAH : MUALIMIN ABDI (KASUBDIT DEPHUKHAM


UNTUK PENYIAPAN DAN PENDAMPINGAN SIDANG MK)

Ya, kami sudah bersepakat dengan Kyai, bahwa beliau bersedia


untuk memberikan keterangan ahli dari Pemerintah.
Terima kasih.

21. KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Oke, silakan.

6
22. PEMERINTAH : MUALIMIN ABDI (KASUBDIT DEPHUKHAM
UNTUK PENYIAPAN DAN PENDAMPINGAN SIDANG MK)

Yang Mulia, boleh klarifikasi dulu Yang Mulia, sebelum lanjut. Saya
minta klarifikasi kepada para Pemohon Yang Mulia sebelum nanti
dilanjutkan, kaitannya dengan Ahli Buya Syafi’i Maarif, karena beliau
mantan pemimpin umat dan beliau juga tokoh umat, kiranya perlu
diklarifikasi apakah pengajuan Pemohon Buya Syafi’i ini sudah melalui
prosedur yang benar karena setelah saya kroscek ternyata tidak ada
klarifikasi atau tidak ada permintaan secara resmi. Nah, ini saya kan
mengkhawatirkan sebagai umat bisa merugikan begitu, Yang Mulia.

23. KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Baik, Mahkamah tidak punya urusan dengan itu jadi kalau yang
diajukan ke sini kita terima saja. Urusan yang bersangkutan bersedia
atau tidak bersedia atau mengaitkan dengan instansi atau organisasi
tertentu bukan urusan Mahkamah Konstitusi. Jadi kita tetap kabulkan
bahkan kalau masih mau ngajukan lagi silakan saja, siapa saja boleh
begitu. Baik, sekarang Pihak Terkait. PBNU atau siapa dulu. Kalau di sini
Pihak Terkait ini ada KWI, kemudian PBNU dan MATAKIN.
Silakan KWI.

24. PIHAK TERKAIT : IGNASIUS ISMARTONO (KWI)

Yang Mulia, dari KWI saya Ignasius Ismartono bersama rekan


kami yang juga membawa surat kuasa, Pastur Benny Susetyo.
Terima kasih.

25. KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Ya, silakan.

26. PIHAK TERKAIT: UUNG CENDANA (MATAKIN)

Saya dari MATAKIN, Uung Cendana Linggaraya, ada surat kuasa


juga.
Terima kasih.

27. PIHAK TERKAIT : SOLEH AMIN (KETUA LPBNU)

Assalamualaikum,
Saya Soleh Amin dan Saudara Asrul Sani dari Lembaga
Penyuluhan Bantuan Hukum berdasarkan surat kuasa yang sah dari
pengurus besar Nahdatul Ulama dan kebetulan Prinsipalnya juga hadir
Kyai H. Hasyim Muzadi.

7
28. KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Baik, Pihak Terkait Prinsipal tapi beliau hadir sebagai Ahli, tidak
sebagai Prinsipal. Prinsipalnya adalah PBNU.
Kemudian ada lagi yang belum, Saksi tadi yang disebut oleh
Pemerintah, Prof. Amin Suma mana? Oke. Kemudian Prof. Rahmat
Syafi’i? Oke. Prof. Nur Syam? Oke.
Baik nanti kita ambil sumpah dahulu sesuai dengan ketentuan
undang-undang. Dimohon maju dahulu Pak Prof. Frans Magnis Suseno.
Pak Arswendo bersumpah dalam agama apa Bapak? Katolik, oke,
bersama Pak Magnis ya, silakan maju, Bapak. Saksi dahulu, Pak Magnis
dahulu, Ahli dahulu.
Bu Maria.

29. HAKIM ANGGOTA : PROF. DR. MARIA FARIDA INDRATI, S.H.,


M.H.

Ikuti lafal sumpah yang saya ucapkan.


“Saya berjanji sebagai Ahli, akan memberikan keterangan yang
sebenarnya, sesuai dengan keahlian saya, semoga Tuhan menolong
saya”.
Terima kasih.

30. AHLI DARI PEMOHON: PROF. DR. FRANS MAGNIS SUSENO

“Saya berjanji sebagai Ahli, akan memberikan keterangan yang


sebenarnya, sesuai dengan keahlian saya, semoga Tuhan menolong
saya”.

31. KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Pak Arswendo, ini sebagai Saksi.

32. HAKIM ANGGOTA : PROF. DR. MARIA FARIDA INDRATI, S.H.,


M.H.

Ikuti lafal janji yang saya ucapkan.


“Saya berjanji akan menerangkan yang sebenarnya, tidak lain dari
yang sebenarnya, semoga Tuhan menolong saya”.
Terima kasih.

33. SAKSI DARI PEMOHON : ARSWENDO ATMOWILOTO

“Saya berjanji akan menerangkan yang sebenarnya, tidak lain dari


yang sebenarnya, semoga Tuhan menolong saya”.

8
34. KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Kemudian Ahli dari Departeman Agama Prof. Amin Suma, Prof.


Rahmat Syafi’i, Prof. Nur Syam, kemudian Kyai H. Hasyim Muzadi. Maju
Bapak, untuk diambil sumpah. Sumpah akan diambil oleh Kyai
Muhammad Alim.

35. HAKIM ANGGOTA : DR. MUHAMMAD ALIM, S.H., M.HUM.

Para Ahli yang saya hormati, ikuti lafaz sumpah yang akan saya
tuntunkan.
“Bismillahirrahmanirrahim, demi Allah saya bersumpah akan
menerangkan yang sebenarnya, sesuai dengan keahlian saya”.

36. AHLI DARI PEMERINTAH: PROF. AMIN SUMA, PROF. RAHMAT


SYAFI’I, PROF. NUR SYAM, KYAI H. HASYIM MUZADI.

“Bismillahirrahmanirrahim, demi Allah saya bersumpah akan


menerangkan yang sebenarnya, sesuai dengan keahlian saya”.

37. KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Silakan duduk. Selesai.


Baik, kita mulai urutannya begini, kita akan mendengar dahulu
tanggapan atau keterangan dari Pihak Terkait yaitu KWI, kemudian
MATAKIN, kemudian PBNU.

38. PEMERINTAH : MUALIMIN ABDI (KASUBDIT DEPHUKHAM


UNTUK PENYIAPAN DAN PENDAMPINGAN SIDANG MK)

Yang Mulia, izin Yang Mulia.

39. KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Ya?

40. PEMERINTAH : MUALIMIN ABDI (KASUBDIT DEPHUKHAM


UNTUK PENYIAPAN DAN PENDAMPINGAN SIDANG MK)

Kalau diizinkan, mengingat Kyai H. Hasyim Muzadi ada acara yang


segera juga dimulai, kalau diizinkan beliau memberikan keterangan
terlebih dahulu, Yang Mulia.
Terima kasih.

9
41. KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Kita akan dengarkan…, nanti boleh, Ahlinya boleh lebih dahulu,


tetapi Pihak Terkaitnya dahulu, institusi dahulu kita dengarkan.
Nah, untuk itu kepada KWI, silakan.

42. PIHAK TERKAIT : BENNY SUSETYO (KWI)

Pleno Mahkamah Konstitusi tentang Pengujian Undang-Undang


Nomor 1 Tahun 1965. Majelis Hakim yang mulia (…)

43. KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Sebentar, agar tidak mengulang-ulang hal yang sudah, kalau


sudah menyangkut soal legal standing, saya kira dilewati saja. Legal
standing sudah dibahas, lalu masuk saja ke pokok perkara semuanya,
begitu, ya.

44. PIHAK TERKAIT : BENNY SUSETYO (KWI)

Dengan hormat, pertama-tama kami ucapkan terima kasih atas


undangan ini. Meskipun kami tidak merupakan subjek yang terkena
langsung oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 ini (…)

45. KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Coba interupsi saja sebentar, kalau bisa maju saja di atas biar
bisa dilihat, ini ada podium disediakan untuk Bapak.

46. PIHAK TERKAIT : BENNY SUSETYO (KWI)

Dengan hormat pertama-tama kami ucapkan terima kasih atas


undangan ini. Meskipun kami tidak merupakan subjek yang terkena
langsung oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1965 ini namun kami ikut
merasakan mereka yang terkena karena sebagai satu saudara sebangsa
dan setanah air, penderitaan seorang warga bangsa dan negara
merupakan penderitaan kami juga.
Dalam jangka waktu antara tahun 1965 sampai saat ini Indonesia
telah mengalami perubahan bentuk kehidupan sosial misalnya
perkembangan kesadaran akan harga diri di kalangan masyarakat warga,
pendidikan yang lebih menjangkau banyak orang, hubungan
internasional yang lebih luas, maka mencermati atas rumusan hukum
dan undang-undang yang semakin cocok dengan semangat para Bapak
Bangsa merupakan suatu keharusan agar Bangsa Indonesia semakin
mampu hidup di zaman ini.

10
Sebagai suatu lembaga keagamaan kami menyampaikan hal-hal
yang menyangkut nilai-nilai universal yang juga terdapat juga di dalam
agama kami, termasuk nilai-nilai kemanusiaan dan nilai-nilai taat asas;
a. Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1965, “Setiap orang dilarang
dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan, atau
mengusahakan dukungan umum untuk melakukan penafsiran
tentang suatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan
kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan keagamaan dari
agama itu, penafsiran dan kegiatan agama mana menyimpang dari
pokok-pokok ajaran agama itu’, bertentang dengan Pasal 28E ayat
(2) dan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945. Pasal 28E, “Setiap orang
berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran
dan sikap sesuai dengan hati nuraninya. Pasal 28I, “Hak untuk hidup,
hak untuk tidak disiksa, hak untuk kemerdekaan pikiran dan hati
nurani, hak beragama , hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui
sebagai pribadi di hadapan hukum dan hak untuk tidak dituntut atas
dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak
dapat dikurangi dalam keadaan apapun”.
b. Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1965 ayat (1), “Barang siapa
melanggar ketentuan tersebut dalam Pasal 1 diberi perintah dan
peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya itu di dalam
suatu keputusan bersama Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung
(Menteri Dalam Negeri). Ayat 2, “Apabila pelanggaran tersebut dalam
ayat (1) dilakukan oleh organisasi atau suatu aliran kepercayaan,
maka Presiden Republik Indonesia dapat membubarkan organisasi itu
dan menyatakan organisai atau aliran tersebut sebagai
organisasi/aliran terlarang, satu dan lain setelah presiden mendapat
pertimbangan dari Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri
Dalam Negeri”. Bertentangan dengan Pasal 29 ayat (2) dan Pasal 28I
ayat (2) UUD 1945. Pasal 29 ayat (2), “Negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-
masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya
itu”. Pasal 28I, “Setiap orang bebas dari perlakuan yang bersikap
diskriminatis atas dasar apapun dan berhak mendapatkan
perlindungan terhadap perlakuan yang bersikap bersifat diskriminatif
itu”.
c. Pasal 3, “Apabila setelah dilakukan tindakan oleh Menteri Agama
bersama-sama Menteri/ Jaksa Agung dan Menteri Agama, Menteri
Dalam Negeri atau oleh Presiden Republik Indonesia menurut
ketentuan dalam Pasal 2 terhadap orang, organisasi atau aliran
kepercayaan, mereka masih terus melanggar ketentuan dalam Pasal
1, maka orang, menganut anggota dan/atau anggota pengurus
organisasi yang bersangkutan dari aliran itu dipidana dengan pidana
penjara selama-lamanya lima tahun”. Bertentangan dengan Pasal 28E
ayat (2) dan Pasal 28I ayat (2) dan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945.
Pasal 28E, “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini

11
kepercayaan, menyatakan pikiran dan bersikap, sesuai dengan hati
nuraninya”. Pasal 28I ayat (2), “Setiap orang bebas dari perlakuan
yang bersifat diskriminatis atas dasar apapun dan berhak
mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat
diskriminatif itu. Pasal 29 ayat (2), “Negara menjamin kemerdekaan
tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk
beribadat menurut agamanya dan kepercayaan itu.
d. Pasal 4. Pada kitab Undang-Undang Hukum Pidana diadakan pasal
baru yang berbunyi sebagai berikut, Pasal 156A “Dipidana dengan
pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan
sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan
perbuatan,
a. yang pada sifatnya bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau
penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.
b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama
apapun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa
bertentangan dengan Pasal 28E ayat (2) dan Pasal 28I ayat (2)
dan Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 28E,
“Setiap orang bebas atas kebebasan meyakini kepercayaan,
menyatakan pikiran dan bersikap, sesuai dengan hati nuraninya.”
Pasal 28I ayat (2), “Setiap orang bebas dari perlakuan yang
bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan
perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.”
Pasal 29 ayat (2), “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk
beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”

1. Undang-Undang Nomor 1/1965 latar belakang kelahirannya dan


implementasinya sekarang ini. Lahir dari latar belakang dibuatnya
Undang-Undang Nomor 1/1965 dikarenakan suasana politik dan
keamanan waktu itu, hadirnya gerakan separatis DI/TII, Kahar Muzakar
di Sulawesi Selatan, dan Daud Beureuh di Aceh, yang berlatar belakang
agama) serta dianggap mengancam persatuan dan kesatuan. Hal
tersebut tersurat dalam konsiderans Undang-Undang Nomor 1/1965.
Namun suasana demikian sudah tidak berlaku lagi seiring dengan
perkembangan zaman, sehingga peraturan ini sudah harus sudah
dicabut untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman, mengingat
hukum merupakan suatu instrumen yang harus mengikuti
perkembangan kebutuhan masyarakat. Pada masa ini instrumen
Undang-Undang Nomor 1/1965 bukan dijadikan perlindungan bagi
kelompok agama tetapi cenderung dijadikan alat pembenaran bagi
perilaku penodaan oleh satu agama terhadap agama lain, atau di
lingkungan suatu agama yang didasarkan atas perbedaan paham. Atas
nama undang-undang tersebut untuk beberapa kasus dipakai sebagai
alat mendiskreditkan kelompok agama yang memiliki pemahaman
berbeda.

12
2. Relasi negara dan agama. Pendapat salah satu tokoh pendiri negara,
Agus Salim, berpandangan bahwa Pancasila menjamin setiap warga
negara memeluk agama apapun, bahkan juga menjamin setiap warga
negara untuk memilih tidak beragama sekalipun. Pendapat proklamator
Hatta pernah menyatakan, urusan agama dan negara harus dipisahkan
atau yang dikenal oleh Amerika Serikat sebagai pemisahan antara gereja
dan negara, hal tersebut diungkapkan saat Konstituante
memperdebatkan Indonesia akan berdasarkan Syarikat Islam atau
Pancasila. Pendapat Hatta tersebut oleh beberapa pihak dimaknai
sebagai ide/gagasan negara sekuler. Hatta merupakan orang yang paling
bertanggung jawab terhadap hilangnya tujuh kata dalam Piagam
Jakarta. Sehari setelah Proklamasi, kata-kata “Ketuhanan dengan
Kewajiban Menjalankan Syarikat Islam Bagi Pemeluk-Pemeluknya” yang
tercantum dalam Piagam Jakarta diganti menjadi “Ketuhanan Yang Maha
Esa”, dengan alasan ada keberatan dari masyarakat Indoneisa Timur
yang non-muslin terhadap kata-kata tersebut. Berdasarkan ketentuan
dalam Pasal-Pasal Undang-Undang Dasar 1945 dapat disimpulkan bahwa
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tidak dapat membatasi
agama apapun, keyakinan apa saja yang dapat dipeluk maupun diyakini
oleh para pemeluknya, dan bahwa hak untuk beragama merupakan hak
asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
Dengan demikian NKRI atau negara pun diposisikan sebagai pihak yang
tidak dapat melakukan intervensi terhadap keyakinan maupun hak
beragama seseorang, dan tidak boleh mendiskriminasikan seseorang
karena keyakinan seperti yang dimaknai dalam Pasal 28 ayat (1), Pasal
28I Undang-Undang Dasar 1945.
3. Pemahaman kebebasan beragama. Kebebasan beragama dalam presepsi
HAM dikategorikan bersifat mutlak, dan oleh karenanya berada dalam
freedom to be, dan hak tersebut tidak bisa non deregable. Rujukan
kebebasan beragama pada Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Dasar
1945 yaitu didasarkan, pendasaran atas Ketuhanan Yang Maha Esa,
kemudian dasar itu diikuti dengan ketentuan mengenai kebebasan
beragama dalam menjalankan ibadat menurut agama dan kepercayaan
masing-masing. Dengan demikian kebebasan tersebut, keputusan
beragama dan beribadat merupakan persoalan individu dan bukan
persoalan negara. Negara tidak perlu mengatur (menaksir) mana ajaran
agama yang harus atau tidak harus dilakukan oleh warga negara.
Negara juga tidak berhak mengakui atau tidak mengakui suatu agama,
sama halnya juga bahwa negara tidak berhak untuk menentukan mana
agama resmi dan tidak resmi. Pada tataran implementasi negara tidak
memiliki otoritas untuk mengklaim kebenaran agama berdasarkan
kelompok mayoritas, apa tugas/porsi dari negara dalam konteks
kebebasan beragama, negara hanya sampai/ cukup sebatas menjamin
dan memfasilitasi agar warga negara dapat menjalankan agama dan
peribadatannya. Dengan adanya kebebasan beragama maka seharusnya
tidak ada mengutamakan terhadap ajaran agama yang resmi di

13
Indonesia karena kebebasan mempunyai arti bahwa semua agama dan
keyakinan yang dianut di Indonesia mempunyai kesempatan yang sama
dan tidak boleh ada diskriminasi diantaranya.
4. Mengekspresikan ajaran agama. Apabila kebebasan beragama
dikategorikan bersifat hak mutlak dan oleh karenanya berada dalam
ranah freedom to be, dan hak tersebut bersifat non derogable. Hak
mengekspresikan agama dikatakan sebagai hak bertindak yang dapat
dibatasi melalui sebuah undang-undang. Dalam Pasal 28E Undang-
Undang Dasar 1945 bahwa sehubungan dengan keyakinan yang dimiliki
setiap orang berhak menyatakan pikiran dan sifat yang sesuai dengan
keyakinan tersebut, dengan demikian ditekankan kembali di sini bahwa
kebebasan seseorang untuk menyuarakan keyakinan tidak dapat
diintervensi oleh siapapun termasuk Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
5. Penafsiran tentang suatu agama/ kepercayaan yang dianut. Pasal 1
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1965, “Setiap orang dilarang dengan
sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan, atau
menguasakan dukungan umum untuk melakukan penaksiran tentang
suatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan
agamanya menyerupai kegiatan keagamaan dari agama itu, penaksiran
dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu.”
Pada bagian penjelasan undang-undang tersebut tidak ditemukan
penjelasan apa yang dimaksud dengan kata-kata melakukan penaksiran
dan menyerupai. Penaksiran tidak akan lepas dari subjektivitas dari si
penaksir, apa yang berhak menaksir itu negara, atau minoritas, atau
mayoritas. Demikian pula pertanyaan muncul, siapa pihak yang berhak
menentukan suatu taksir atau kegiatan suatu aliran kepercayaan yang
menyimpang, negara atau tokoh agama? Sesungguhnya negara tidak
dapat menentukan hal itu, karena negara tidak mempunyai otoritas
keagamaan. Kalau alasan negara hal tersebut dilakukan dalam kerangka
menjaga dan melindungi kesucian agama, tentunya tidak sejalan dengan
amanat Pasal 28E ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang eksplisit
menyebutkan, “Setiap orang atas kebebasannya meyakini kepercayaan,
menyatakan pikiran dan sikap sesuai hati nuraninya”. Tokoh agama juga
tidak dapat karena tidak ada otoritas yang tunggal di dalam suatu agama
yang dapat menentukan sesat atau tidaknya suatu agama/
kepercayaannya.
Ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 1/1965 membatasi
kebebasan seseorang dalam menyuarakan keyakinan yang dianggap
tidak sesuai dengan ajaran agama yang resmi yang dengan demikian
juga membatasi kebebasan seseorang dalam beragama. Lebih lanjut lagi
dengan pelarangan terhadap kebebasan seseorang untuk memeluk
keyakinannya tidak sesuai dengan ajaran resmi, juga merupakan suatu
bentuk diskriminasi yang mana dilarang dalam Undang-Undang Dasar
1945, karena Undang-Undang Dasar 1945 tersebut dengan sendirinya
tidak membatasi maupun mengutamakan agama-agama apapun yang

14
dipeluk maupun diyakini oleh setiap orang. Ketentuan dalam Undang-
Undang Nomor 1/1965 yang mempidanakan setiap orang yang
menyarankan keyakinan yang dianggap menyimpang dari ajaran agama
yang resmi merupakan kriminalisasi terhadap agama. Dengan demikian
merupakan ketentuan yang bersifat represif terhadap kebebasan
beragama di setiap orang. Dengan demikian Negara Kesatuan Republik
Indonesia atau negara pun tidak dapat melakukan intervensi dalam hal
ini termasuk melarang seseorang untuk menyuarakan keyakinan baik
dalam bentuk penganut agama maupun tidak menganut agama.
Dapat disimpulkan, bahwa ketentuan dalam Undang-Undang
Nomor 1/1965 ini bertentangan dengan semangat kebebasan beragama
dan kebebasan dalam menyuarakan keyakinan, kebebasan berpendapat,
yang diatur di dalam Undang-Undang Dasar 1945. Karena itu, pertama,
ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1965 tidak sesuai
dengan ketentuan kebebasan beragama dan keyakinan serta
menyuarakan keyakinan yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945
dan cenderung mengkriminalisasikan ajaran agama yang dianggap
menyimpang.
Dua, Negara Kesatuan Republik Indonesia bukan sebuah negara
agama yang dengan demikian negara tidak dapat intervensi dalam
urusan agama karena terdapat pembedaan antar agama dan dengan
agama. Dan nomor tiga, Undang-Undang Nomor 1/1965 sudah tidak
sesuai dengan perkembangan zaman (…)

47. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

KETUK PALU 2X

Sebentar, sebentar, eh siapa yang ribut di luar itu? Ngomongnya


di luar, jangan di situ! Keamanan, diusir keluar saja kalau ribut di situ,
siapa saja!

48. PIHAK TERKAIT : BENNY SUSETYO (KWI)

Tiga, Undang-Undang Nomor 1/1965 sudah tidak sesuai dengan


perkembangan zaman, karena ketentuan ini dibuat ketika pemerintah
masih lemah, sehingga cenderung untuk dengan mudah
mempergunakan kekerasan, demikian juga dengan masyarakat
warganya. Atas dasar keterangan ini, kami berpendapat bahwa
pantaslah Mahkamah Konstitusi memberi perhatian kepada mereka yang
mengusulkan agar dilakukan judicial review terhadap Undang-Undang
Nomor 1/PNPS/1965. Jakarta 10 Februari 2010 Konferensi Wali Gereja
Indonesia.
Terima kasih.

15
49. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H.

Baik, terima kasih.


Saya mau klarifikasi dulu. Tadi Saudara menyebut penaksiran-
penaksiran atau penafsiran maksudnya?

50. PIHAK TERKAIT (KWI) : BENNY SUSETYO

Penaksiran.

51. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Penaksiran?

52. PIHAK TERKAIT (KWI) : BENNY SUSETYO

Ya.

53. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Kalau di dalam undang-undangnya penafsiran. Saudara mau ganti


istilah itu tidak?

54. PIHAK TERKAIT (KWI) : BENNY SUSETYO

Tidak.

55. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Penafsiran. Tolong dicatat PP, bahwa yang dimaksud penaksiran


tadi adalah penafsiran.
Kemudian, dari MATAKIN.

56. PIHAK TERKAIT (MATAKIN ): UUNG CENDANA

Majelis hakim yang saya hormati.


Izinkan kami memberikan keterangan atas uji materi Undang-
Undang Nomor 1/PNPS/1965 dari Majelis Tinggi Agama Konghuchu
Indonesia (MATAKIN). Kami hanya memberikan poin-poin pokok dan
tidak menyebutkan pasal-pasal karena kami menganggap semua sudah
mengetahui. Kami sangat concern atas keadilan dan kesetaraan tanpa
membeda-bedakan termasuk dalam hal pelayanan hak sipil setiap setiap
warga negara terkait keagamaan. Bagi kami hak-hak sipil semua
pemeluk agama dan kepercayaan harus mendapat perlindungan dan
pelayanan yang sama tanpa membeda-bedakan. Apakah dia penganut
agama yang banyak penganutnya atau agama yang sedikit penganutnya

16
di Indonesia. Dalam konteks inilah kita tidak menginginkan adanya istilah
agama resmi dan agama tidak resmi atau agama yang diakui dan tidak
diakui oleh negara.
Pada kenyataannya sekarang ini yang paling rentan diperlakukan
dengan tidak adil dan mengalami penodaan agama adalah justru
kelompok-kelompok agama yang sedikit penganutnya. Bila penodaan
agama dilakukan kepada agama-agama yang banyak penganutnya,
maka penganut agama tesebut dapat melakukan perlawanan baik secara
yuridis maupun aksi-aksi lainya. Hal ini berbeda dengan para penganut
agama “kecil” (dalam tanda kutip kecilnya). Dalam hal inilah kami
mengangap perlunya suatu payung hukum bagi mereka agar hak-hak
sipil mereka dilindungi.
Kami pernah dan di beberapa area kehidupan masih meresakan
perlakuan yang tidak adil dan mengalami masa-masa yang kurang
mengenakkan dalam kehidupan keagamaan kami dan kami tidak ingin
hal ini terjadi kepada umat manusia lainnya. Kami berpegang teguh pada
hukum, jangan lakukan barang sesuatu yang tidak ingin orang lain
lakukan pada dirimu.
Kebebasan yang tanpa batas akan menimbulkan konflik dan
anarkisme serta ekses-ekses negatif lainnya. Maka kebebasan di sini
harus diartikan sebagai kebebasan yang tidak tak terbatas. Karena dari
prinsip inilah justru kita melindungai hak asasi pihak lainnya. Kita bebas
beragama, tetapi kebebasan mengekspresikan agama kita dibatasi oleh
hak-hak pihak lainnya. Bagi tokoh-tokoh agama mungkin saja suatu
penodaan dirasakan bukan suatu penodaan, suatu pelecehan bukan
dianggap suatu pelecehan, tetapi masyarakat kita pada kenyataannya
bukanlah terdiri dari para tokoh agama, melainkan terdiri atas rakyat
kebanyakan yang tidak merata pendidikannya dan tidak merata
pemahaman atas agamanya. Hal inilah yang menimbulkan situasi rentan
tak terkendali bila tidak ada pembatasan oleh hukum dan perundang-
undangan.
Dengan adanya Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965, agama dan
kepercayaan kecil masil sangat rentan terhadap penodaan dan
penistaan. Apakah dengan dicabutnya undang-undang ini akan serta
merta agama-agama dan kepercayaan kecil akan lebih terlindungi dan
mendapat kedudukan yang setara serta mendapat pelayanan yang sama
dengan agama besar lainnya? Atau jangan-jangan justru menjadi
semakin tidak terlindungi dan menjadi pihak yang teraniaya. Kami rasa
jawabannya bisa ya dan juga bisa tidak, karena tidak ada lagi acuan
hukum yang menjadi pegangan. Untuk alasan itulah kami menolak
pencabutan Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 sebelum
diterbitkannya undang-undang baru yang melindungi hak-hak sipil umat
beragama yang dirasakan lebih adil.
Tanpa adanya Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 atau undang-
undang yang menggantikannya, penganut agama di luar 6 (enam)
agama yang paling banyak penganutnya di Indonesia justru paling

17
terancam. Bila Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 ini dicabut, kami
justru merasa khawatir akan timbulnya anarkisme. Dan di lain pihak
penodaan terhadap agama-agama kecil karena tidak adanya
perlindungan hukum bagi mereka. Yang justru kami prihatinkan adalah
tindakan kekerasan yang acap terjadi dan konflik horizontal tanpa peran
tegas dan perlindungan dari negara. Kami mendesak agar aparat
pemerintah lebih aktif, tegas dan adil dalam menegakkan hukum yang
berlaku karena tanpa itu bagaimanapun baiknya suatu undang-undang
atau peraturan maka undang-undang atau peraturan tersebut akan
mandul.
Saya rasa demikian pendapat kami dari Majelis Tinggi Agama
Konghuchu Indonesia, tidak mau berpanjang lebar, mudah-mudahan
bisa dijadikan satu pendapat yang dapat diterima.
Terima kasih atas kesempatannya.

57. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H.

Terima kasih. Selanjutnya dari PBNU.

58. PIHAK TERKAIT : SOLEH AMIN (KETUA LPBNU)

Assalamualaikum wr. wb.


Keterangan pengurus besar Nahdlatul Ulama sebagai Pihak
Terkait sehubungan dengan permohonan Pengujian Undang-Undang
Nomor 1/PNPS/1965 tentang Penyalahgunaan/Penodaan Agama
terhadap Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.
Yang Mulia Bapak Ketua dan Anggota Majelis Hakim Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia, yang kami hormati para Pemohon dan
Pihak Terkait lainnya, Kuasa dari Pemerintah dan DPR, dan kemudian
hadirin dan hadirot yang kami hormati. Syukur Alhamdulillah ingin kami
panjatkan kehadirat Allah SWT Tuhan Yang Maha Kuasa karena dengan
rahmat dan inayah-Nya pada hari ini kita dapat bersama-sama hadir
dalam forum persidangan yang mulia ini.
Selanjutnya memenuhi Ketetapan Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia, perkenankan kami selaku Kuasa Pengurus Besar Nahdlatul
Ulama berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 3 Februari Tahun
2010 untuk memberikan keterangan sebagai berikut :
1. Dalam perspektif kesejahteraan Islam, kebebasan beragama
bukanlah suatu hal yang baru. Jauh sebelum dunia barat
berkampanye mengenai jaminan kebebasan beragama, Islam sejak
15 abad sebelumnya sudah menjamin dengan ayat Al-Quran, Hadits
maupun praktipraktik Rasulullah dan sahabat-sahabatnya sehingga
pemberian kebebasan beragama dalam tatanan masyarakat muslim
adalah religiously compulsory, secara agama adalah wajib.
Selanjutnya dalam tradisi ulama Islam kebebasan beragama yang
menyangkut ajaran Islam dalam bentuk perbedaan pemikiran,

18
pendapat dan sikap serta praktik keberagamaan bukan pula hal yang
baru apalagi dianggap tabu. Tidak terhitung jumlahnya kitab-kitab
yang ditulis ulama Islam yang disusun khusus untuk merangkum,
mengkaji, membandingkan kemudian mendiskusikan berbagai
pandangan yang berbeda-beda dengan argumentasinya masing-
masing. Namun satu hal yang patut digarisbawahi dari kandungan
kebebasan mengekspresikan keyakinan pendapat atau praktik
keragaman tersebut, yakni bahwa hal-hal tersebut terbuka sepanjang
menyangkut masalah-masalah fur’iyah atau persoalan cabang belaka.
Dengan merujuk dengan apa yang dikemukakan di atas maka
PBNU juga ingin menyampaikan bahwa sebagian besar dari uraian
tentang contoh-contoh perbedaan dalam masyarakat atau organisasi
yang disampaikan oleh para Pemohon sesungguhnya merupakan
masalah hilafiyah fur’iyah yang tidak menyangkut pokok-pokok ajaran
agama, sehingga berlebihan jika hal ini dipergunakan sebagai
ketakutan terhadap kemungkinan kriminalisasi.
Posisi dan sikap sahabat nabi dan para ulama adalah jelas dan
tegas terhadap hal-hal yang menyangkut khilafiah usuliyah yaitu
perbedaan pendapat tafsir atau praktik keagamaan yang
berseberangan dengan pokok-pokok ajaran agama apalagi ketika
paham-paham serta gagasan yang berseberangan dengan pokok-
pokok ajaran agama ini dilontarkan secara provokatif dan memancing
situasi anarkis. Bila pada masalah khilafiyah dalam masalah furu’ kita
menyaksikan toleransi dan penghargaan yang tinggi dari para ulama
terhadap pihak yang berbda pandangan, sebaliknya ulama Islam
justru menunjukkan sikap dan tanpa kompromi dalam soal usuliyah.
Khilafiyah usuliyah ini dalam perjalanan secara Islam dihadapi
dengan sikap tegas sebab persoalan-persoalan akidah dan usuludin
mewakili esensi dan pokok dari ajaran Islam. Persoalan-persoalan
tersebut merupakan bagian yang demikian sensitif, krusial, serta khas
ajaran Islam, sehingga penodaan terhadap essensi tersebut sama
dengan menggugat eksistensi Islam itu sendiri. Kita menyapa hati
bahwa dalam tatanan hukum di Indonesia, negara menjamin
kebebasan warganya untuk memeluk agama dan beribadah
disamping juga kebebasan-kebebasan lainnya. Namun pada
kebebasan tersebut juga melekat kewajiban untuk menjaga hak
orang lain agar pokok-pokok ajaran agama yang dipeluk dan
diyakininya tidak disimpangi oleh orang lain atas nama kebebasan
dan hak asasi. Dalam kebebasan tersebut melekat pula kewajiban
untuk menjaga ketertiban umum dengan cara menghindari ucapan
maupun tindakan yang menjadi faktor pemicu situasi anarkis, terlebih
ketika dihadapkan dengan kenyataan bahwa masyarakat di negara ini
mempunyai berbagai derajat perbedaan termasuk dalam soal
pendidikan dan kematangan emosional.
Bagi pengurus besar Nahdlatul Ulama, argumentasi-
argumentasi pokok yang disampaikan oleh para Pemohon tidaklah

19
dapat diterima. Menghadapkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor
1/PNPS/1965 dengan beberapa pasal dalam Undang-Undang Dasar
1945 sebagaimana diuraikan dalam surat permohonan para Pemohon
adalah tidak relevan dan melepaskan konteks hak asasi maupun
kebebasan dalam beragama dengan kewajiban asasi untuk menjaga
pokok dasar atau sendi dari suatu agama yang dianut dan diyakini
oleh sebagian warga negara lainnya. Kewajiban asasi ini
sesungguhnya juga melekat pada hak asasi tersebut sebagaimana
diuraikan di atas. Dari sisi isi atau materi muatannya PBNU tidak
melihat bahwa ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Nomor
1/PNPS/1965 menghalangi kebebasan setiap warga negara Indonesia
untuk memeluk agama dan beribadah menurut agamanya
sebagaimana diatur dalam Pasal 28E ayat (1) UUD 1945, dan/atau
menghalangi hak beragama sebagaimana diatur dalam Pasal 28I ayat
(1) UUD 1945 serta menghilangkan jaminan terhadap kemerdekaan
tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan
beribadat menurut agama dan keyakinannya itu sebagaimana diatur
dalam Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 demikian pula Pasal 1 Undang-
Undang Nomor 1 PNPS 1965 juga tidak mengurangi hak warga
negara atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum
yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagaimana
diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Alasan atau argumentasi para Pemohon terutama ketika
merujuk pada kasus-kasus yang ada sesungguhnya lebih merupakan
permasalahan penerapan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1
PNPS/1965 oleh lembaga peradilan dan atau instansi pemerintah
terkait ketimbang permasalahan materi atau isi dari pasal tersebut.
Dengan demikian seyogianya permohonan yang dimohonkan kepada
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia adalah tafsir penerapan
dan/atau pelaksanaan pasal Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965
baik oleh lembaga peradilan maupun instansi pemerintah yang
bersangkutan agar tidak melanggar hak-hak konstitusional terkait
yang diatur dalam UUD 1945. Adalah tidak tepat apabila Para
Pemohon meminta agar Pasal 1 tersebut dinyatakan bertentangan
dengan beberapa pasal dalam UUD 1945.
Demikian keterangan PBNU yang kami sampaikan, dengan
harapan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia dalam memutus permohonan pengujian
ini.
Wallahul muaifik ilaa wamittariq,
Wassalamualaikum wr. wb.

59. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Baik, terima kasih dari PBNU. Berikutnya kita harus


mendengarkan dulu dari Saksi, dalam hal ini Saksi yang pernah merasa

20
menjadi korban dari PNPS tersebut. Nah untuk itu Saudara Arswendo
dipersilakan maju ke podium. Pemohon, ini apakah ini mau dipandu
dengan pertanyaan atau langsung suruh bicara?

60. KUASA HUKUM PEMOHON: ULI PARULIAN SIHOMBING, S.H.,


LL.M.

Yang Mulia, langsung saja.

61. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Saudara Arswendo, silakan.

62. SAKSI DARI PEMOHON : ARSWENDO ATMOWILOTO

Majelis Hakim yang mulia, izinkanlah saya menarik nafas lega


sendiri, bersyukur dan menyampaikan terima kasih atas kesempatan,
sekaligus kehormatan bisa berada di gedung Mahkamah Konstitusi
dimana saya berharap menemukan keadilan dan bukan hanya ada di
dalam kamus.
20 tahun yang lalu saya tidak pernah membayangkan ada yang
mempersoalkan, dan memperbincangkan, atau Pengujian Undang-
Undang Nomor 1 tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.
20 tahun sudah berlalu sejak perkenalan saya dengan Pasal 156A Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana. Perkenalan yang tidak menyenangkan
walau menambah pengalaman hidup yang belum tentu dialami banyak
orang. Saya melanggar pasal itu pada ayat A dan dijatuhi hukuman
penjara 5 tahun, hukuman maksimal dari pasal itu.
Sekedar untuk menyegarkan, saya kutip bagian A nya, “dipidana
dengan pidana penjara selama-lamanya 5 tahun barang siapa di muka
umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan:
a. Yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau
penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.”

Majelis Hakim yang mulia, pada waktu itu saya menjabat sebagai
Pemimpin Redaksi dan Penanggung Jawab Tabloid Monitor. Dalam
nomor penerbitan mengatakan angket berhadiah dengan pertanyaan,
“Siapa tokoh yang anda kagumi dan apa alasannya memilih?” Angket
diisi oleh pembaca dengan menempelkan kupon dan yang terpilih nanti
dari pengirimnya mendapatkan hadiah uang. Dari hasil angket itu
disusun nama-nama menurut jumlah yang paling banyak sampai yang
paling buncit sebagai pilihan pembaca, lalu diumumkan di Tabloid
Monitor. 50 nama yang teratas yang dikagumi dipasang di situ. Masalah
mulai muncul karena dalam urutan tokoh yang dikagumi itu tercantum
nama Nabi Muhammad pada urutan ke 11. Terjadi demo dan protes.
Saya dan Monitor pada waktu itu meminta maaf melalui TVRI karena TV-

21
nya baru ada itu, melalui Tabloid Monitor itu sendiri dan melalui Harian
Kompas, dan kemudian saya diadili dijatuhi hukuman seperti yang saya
sebutkan tadi. Semuanya saya sudah jalani, semuanya sudah berlalu.
Yang tidak turut berlalu adalah pemaknaan atau memaknai atau
menafsirkan kata penodaan terhadap suatu agama yang dianut di
Indonesia. Ternyata kemudian saya baru tahu bahwa membandingkan
Nabi Muhammad dengan manusia lain adalah termasuk dalam
penodaan. Sebelum itu tidak pernah ada penjelasaan mengenai hal ini.
Sebelum itu, sebuah Majalah Berita Tempo memuat angket yang kurang
lebih hasilnya sama tidak mendapat teguran, tidak mendapat persoalan
apa-apa. Tempo memuat dari hasil riset seorang doktor yang melakukan
riset dengan pengisi angketnya dari kalangan mahasiswa, hasilnya
kurang lebih sama. Ada juga buku terjemahan dari luar negeri yang
memuat juga membandingkan Nabi Muhammad dengan tokoh-tokoh
yang lainnya dan selama itu tidak ada masalah apa-apa. Barangkali saja,
hanya barangkali, kalau saja majalah tersebut dipersoalkan lebih dulu
dan/atau buku itu pernah mendapat peringatan, kisah saya sedikit
berbeda.
Majelis Hakim yang mulia.
Seperti pada pembelaan saya dahulu saya tidak bermaksud
mengajak teman-teman lain di media untuk dikenakan sebagai korban
Pasal 156A ini karena tidak ada gunanya juga meskipun untuk saya pasal
ini terasa agak janggal dan mengganjal terutama kalau tidak disertai
penjelasan-penjelasan yang lebih rinci mengenai pengertian dan/atau
tafsiran penodaan karena ini menyangkut rasa, menyangkut kepekaan
yang ukurannya bisa berbeda satu dengan yang lainnya. Kalau boleh
memakai perumpamaan pasal ini seperti gigi yang sudah mulai goyang,
dia bisa dicabut bisa juga dirawat, dipertahankan dengan penjelasan-
penjelasan yang bisa dipertanggungjawabkan dan mudah dipahami.
Sehingga harapan saya setidaknya 20 tahun yang akan datang ada
kepastian dan tidak mengulang hal-hal yang sama.
Ini yang saya sampaikan, sekali lagi saya mengucapkan terima
kasih atas kesempatan ini dan saya akan berterima kasih sekali lagi
andai saja saya pada kesempatan yang ini saya boleh berjabatan tangan
dengan para Majelis Hakim yang mulia, karena kesempatan saya
barangkali hanya sekali ini bisa di sini.
Terima kasih.

63. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Ya, silakan duduk dulu Bapak, nanti bisa diatur. Jadi ini adalah
Saksi Korban yang memang harus kita dengar lebih dulu sebelum masuk
ke Ahli. Apakah masih ada Saksi Korban yang lain?

22
64. KUASA HUKUM PEMOHON : ULI PARULIAN SIHOMBING, S.H.,
LL.M.

Sudah hari ini, untuk hari ini cukup Pak Arsewendo saja.

65. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Oke, baik.

66. PIHAK TERKAIT : SOLEH AMIN (KETUA LPBNU)

Yang Mulia, interupsi.

67. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Siapa ini yang interupsi? Silakan.

68. PIHAK TERKAIT : SOLEH AMIN (KETUA LPBNU)

Hanya ingin klarifikasi sekaligus menanyakan, apakah Saksi


Korban yang dihadirkan sebagai Saksi di dalam persidangan ini
mempunyai kewenangan untuk berpendapat terhadap apa yang
diinginkan dalam judicial review itu?

69. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Ya, biar, ini kan sidang tentang kebebasan. Jadi bebas juga untuk
berpendapat, soal pendapatnya diterima atau tidak ya nanti saja
Mahkamah. Jadi jangan melanggar kebebasan orang lain juga, ini soal
kebebasan.
Baik, ada lagi tuh?

70. KUASA HUKUM PEMOHON: MUHAMMAD CHOIRUL ANAM, S.H.

Sebelum kita mendengarkan keterangan Ahli apakah boleh


terlebih dahulu kita mengajukan klarifikasi terhadap apa yang telah
disampaikan Pihak-Pihak Terkait yang telah maju itu?

71. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Nggak, nanti sajalah, nanti ada kesempatan untuk bertanya,


bertanya secara silanglah nanti, nanti kita dengarkan dulu, ini kan hari
ini masih jauh, kita masih panjang perjalanannya, jadi tadi kita
dengarkan dari korban, mungkin hari ini korban itu sendiri dan sebelum
ke Ahli barangklali sebelum Ahli menanyakan atau menyampaikan
pandangan-pandangannya, sekarang saya persilakan khusus pertanyaan

23
untuk korban agar nanti pertanyaannya itu nanti nyambung kalau ada.
Ada tidak?

72. KUASA HUKUM PEMOHON: MUHAMMAD CHOIRUL ANAM, S.H.

Ya, terima kasih Yang Mulia.

73. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Baik.

74. KUASA HUKUM PEMOHON: MUHAMMAD CHOIRUL ANAM, S.H.

Yang Mulia, dari Pemohon.

75. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Dari Pemohon? Apa itu?

76. KUASA HUKUM PEMOHON: MUHAMMAD CHOIRUL ANAM, S.H.

Ya, untuk memperjelas apa yang keterangan yang diberikan oleh


Saksi Korban. Pertama kami ingin mempertegas, apakah ketika Anda 20
tahun yang lalu membikin polling dengan pertanyaan siapa tokoh idola
Anda, Anda membayangkan bahwa akan muncul Nabi Muhammad?

77. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Dicatat dulu, Pak Arswendo ya. Ada lagi?

78. KUASA HUKUM PEMOHON: MUHAMMAD CHOIRUL ANAM, S.H.

Ada. Yang kedua, apakah menempatkan Nabi Muhammad sebagai


nomor 11 itu rekayasa ataukah memang faktual sesuai dengan polling?
Yang ketiga, apakah membikin polling itu Anda gunakan sebagai
semangat permusuhan, semangat penodaan?
Terima kasih.

79. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Majelis ulama tadi? Majelis ulama itu Prinsipilnya Pak Amidhan


atau Anda? Pak Amidhan dulu. Coba, silakan Pak Amidhan. Ada mic Pak
di situ? Oh ya ada, silakan.

24
80. PIHAK TERKAIT: DRS. H. AMIDHAN ( MUI)

Bismillahirrahmanirrahim.
Saya ingin menanyakan kepada Korban, apakah pada waktu itu
Sang Korban terpikir atau terasa bahwa kalau memasukkan nama Nabi
Muhammad pada nomor 11 itu akan terjadi atau akan terluka hati dan
perasaan daripada umat Islam Indonesia? Sebab menurut hemat saya
Iwan Fals yang diterangkan di sana nomor 1 itupun dia tidak senang dan
terasa terluka juga karena dia 10 nomor di atas Nabi Muhammad SAW.
Sebagai ilustrasi saya ingin kemukakan bahwa ketika Koran
Jyllands Posten membuat kartun Nabi Muhammad maka terjadi
kerusuhan dan demonstrasi di seluruh dunia Islam, di kota-kota besar,
dan menurut yang saya baca di media-media asing, telah tewas atau
mati lebih dari 200 orang karena kerusuhan itu. Itu karena menghina
Nabi Muhammad. Oleh karena itu kalau pemerintah waktu itu tidak cepat
bertindak dan saya ingat pada masa orde baru itu, masalah SARA itu
memang ditangani betul-betul oleh pemerintah. Kalau tidak cepat
bertindak untuk diadili, entah apa yang terjadi kepada Sang Korban.
Terima kasih.

81. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Cukup, ya? Masih ada? Ya, dari Majelis Ulama ini. Kuasa Hukum.

PIHAK TERKAIT: MUHAMMAD LUTFI HAKIM, S.H., M.H.


(ANGGOTA MUI)

Bukan Kuasa Hukum Yang Mulia. Yang Mulia, saya anggota Tim
dari Majelis Ulama jadi bukan Kuasa Hukum. Ya, baik terima kasih.
Saudara Saksi Korban, tadi Saudara menyebutkan bahwa Saudara
menyatakan, “saya melanggar pasal itu” begitu ya? Tadi saya mencatat
kata-kata seperti itu dimana Saudara juga menyebutkan bahwa tidak
pernah tahu sebelumnya bahwa hal itu akan menimbulkan penodaan
agama. Pertanyaan saya setelah Saudara kemudian menyatakan
melanggar. Kemudian belakangan tahu bahwa hal itu merupakan suatu
penodaan. Apakah ada rasa menyesal pada diri Saudara dan apakah ada
rasa kekhawatiran apabila orang-orang lain melakukan hal yang sama
seperti yang Saudara lakukan itu akan juga bisa berakibat suatu
kerusuhan, suatu chaos seperti yang telah terjadi pada saat Saudara
sendiri alami dimana pada waktu itu reaksi begitu keras? Itu yang
pertama.
Kemudian Saudara tadi juga menyebutkan bahwa PNPS Nomor
1/1965 itu seperti gigi yang mau tanggal, kata Saudara tadi itu ya, yang
bisa dipertahankan, yang bisa dicabut tetapi juga bisa dipertahankan
dengan penguatan atau penjelasan. Apakah dengan Saudara
menyatakan bisa dipertahankan dengan penguatan berarti secara

25
eksplisit Saudara mengatakan memang diperlukan suatu aturan, suatu
undang-undang untuk menghindari orang secara sembarangan
melakukan penodaan agama? Hanya saja Saudara memerlukan suatu
penjelasan atas undang-undang itu saja tapi Saudara menerima pada
kenyataannya kehadiran eksistensi dari undang-undang tersebut.
Terima kasih, Yang Mulia.

82. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Baik, kalau begitu…

PEMERINTAH : MUALIMIN ABDI (KASUBDIT DEPHUKHAM


UNTUK PENYIAPAN DAN PENDAMPINGAN SIDANG MK)

Yang Mulia, saya izin...

83. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Sebentar, saya ingin sampaikan, Saksi itu hanya menyampaikan


yang didengar, dilihat, dialami, dan dirasakan sendiri, tapi tadi saya
bolehkan beropini. Begitupun sekarang tadi penanya banyak yang
menanyakan hal-hal yang tidak relevan dengan kesaksian. Saudara boleh
jawab boleh tidak itu yang menyangkut bukan soal pengalaman itu, yang
bukan soal opini, soal macam-macam itu, soal perasaan menyesal apa
itu kan bukan kesaksian. Masih ada lagi?

84. PIHAK TERKAIT : MUI

Masih dari MUI, Yang Mulia.

85. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Dari MUI lagi, silakan.

86. PIHAK TERKAIT: DRS. H. AMIDHAN ( MUI)

Saudara Saksi, Saudara tadi menyatakan telah meminta maaf.


Apakah Saudara Saksi bisa mengelaborasi, permintaan maaf Saudara itu
bunyinya bagaimana pada waktu itu dan kepada siapa Saudara minta
maaf?
Dan yang kedua, bagaimana Saudara memilih responden untuk
angket tersebut? Pertanyaan saya adalah pada metodologinya
bagaimana Saudara memilih responden? Kepada siapa selain apakah
Saudara juga edarkan pada tempat-tempat hanya Saudara batasi saja?
Jadi pertanyaan saya adalah pada metodologinya.
Terima kasih, Yang Mulia.

26
87. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Baik, pertanyaan pertama sudah dijawab sendiri tadi. Minta maaf


melalui TVRI, melalui “Monitor” dan melalui “Kompas”, jadi tidak usah
dijawab, sudah tercatat di sini.
PBNU?

88. PIHAK TERKAIT : SOLEH AMIN (KETUA LPBNU)

Baik Saudara Saksi, karena Saudara tadi juga berpendapat, terkait


dengan kesaksian Saudara saya ingin menanyakan, jika Saudara tadi
setuju jika PNPS itu di…,yang berkaitan dengan Peraturan Penodaan
Agama itu dicabut, apakah maksudnya termasuk kebebasan yang
dimaksudkan itu diperbolehkan dalam kaitannya dengan penodaan
agama sehingga ini harus dihapus? Itu yang ingin kami tanyakan kepada
Saudara.
Terima kasih.

89. PEMERINTAH : MUALIMIN ABDI (KASUBDIT DEPHUKHAM


UNTUK PENYIAPAN DAN PENDAMPINGAN SIDANG MK)

Izin Yang Mulia, Pemerintah boleh Yang Mulia?

90. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Boleh, silakan.

91. PEMERINTAH : MUALIMIN ABDI (KASUBDIT DEPHUKHAM


UNTUK PENYIAPAN DAN PENDAMPINGAN SIDANG MK)

Terima kasih, Yang Mulia.


Pertama barangkali kepada Saksi, yang hadir di sini kan muda-
muda begitu ya, 20 tahun yang lalu barangkali masih umurnya 3 tahun,
2 tahun atau 5 tahun. Saya minta Saudara mengurut begitu, mengingat,
siapa nomor 1 sampai nomor 11 polling itu.
Yang kedua, saya minta ini agak dalam juga, bagaimana kalau
imam atau taruhlah seperti Nabi Muhammad di agama yang Saudara
yakini, apakah kalau diperlakukan demikian, Saudara tidak ternoda,
Saudara tidak terhina? Itu yang kedua.
Yang ketiga, Saudara dijerat dengan Pasal 156A sebagaimana di
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1965, apakah itu kaitan dengan
kebebasan beragama atau berkaitan dengan penodaan?
Yang keempat, bagaimana kalau undang-undang ini tidak ada,
apakah Saudara juga tidak membayangkan kalau pada saat itu demo

27
yang sedemikian besar mengancam jiwa Saudara? Apa yang Anda
pikirkan? Terima kasih, Yang Mulia.

92. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Baik, pertanyaan dari 4 penanya tadi, nanti lebih banyak bisa


dijawab oleh Ahli sebenarnya, karena bukan apa yang dialami oleh Saksi.
Meskipun begitu, saya persilakan Saksi untuk menanggapi beberapa hal
yang dianggap relevan untuk Saudara jawab.

93. SAKSI DARI PEMOHON: ARSWENDO ATMOWILOTO

Saya coba jawab beberapa yang saya bisa mengerti, karena


apakah tadi pertanyaan pertama, apakah ada semangat penodaan? Ya,
dengan sangat jelas saya mengatakan tentu saja tidak, karena yang ada
di tabloid itu adalah satu angket yang sebelumnya juga sudah ada.
Temanya angket itu pertanyaan makanan apa yang disukai, dan lain
sebagainya, tetapi saya tidak ingin membela diri dalam hal itu. Hanya
kepada Pak Amidhan, waktu itu Iwan Fals tidak nomor 1 Pak, ada sekitar
33.963 kartu pos dan nama yang diusulkan oleh pembaca ada 667
nama, dan Iwan Fals tidak nomor 1, mungkin saya tidak ingat
keseluruhannya, pasti ada di dalam berkas-berkas yang ini.
Tadi sudah dijawab juga tentang menyesal atau tidak, ya sudah
saya utarakan juga menyesal, menyesal terutama karena saya membuat
umat Islam terluka. Itu penyesalan saya yang paling dalam yang di
dalam teks kalau tadi dipertanyakan, ada di situ, pada minggu yang
sama ketika peristiwa itu terjadi. Penerbitan itu tanggal 15 Oktober
tahun 1990, permintaan maaf ralat itu di televisi sebelumnya dan di
nomor berikutnya sudah dimuat di halaman 1 seluruhnya isinya hanya
permintaan maaf. Kepada siapa meminta maaf? Sudah bisa. Metodologi
angket? Saya kira ini bukan opini ya siapa saja bisa mengirimkan, tidak
ada metodologi tertentu yang khusus, mereka mengirimkan kupon
angket seperti juga nomor-nomor sebelumnya.
Yang lainnya saya kira sudah termasuk di sini karena untuk opini
saya boleh tidak menjawab dan saya mungkin juga tidak terlalu punya
jawaban ini, kecuali opini saya yang tentang gigi tadi. Kalau pendapat
saya apakah itu katanya sebenarnya sederhana saja dipahaminya. Saya
menganggap ini sebenarnya ada masalah. Dibiarkan kadang-kadang
masih ada kasus semacam ini, oke. Dicabut, ya bisa. Atau tetap saja
dirawat dengan beberapa perincian yang jelas. Perincian yang jelas ini
terutama untuk masyarakat yang awam yang mungkin tidak terlalu
mengenal syariah-syariah dalam ajaran agama Islam. Mungkin seperti
angket tadi contohnya, kalau saya memperpanjang tadi lagi itu karena
ada Majalah Tempo memuat angket yang kurang lebih sama, Nabi
Muhammad juga tidak nomor 1, tidak pernah ada teguran, tidak pernah
ada persoalan. Nah, hal ini mestinya banyak, apakah tidak boleh

28
menggambar dalam bentuk lukis apakah dan lainnya, ini saja yang ingin
saya sampaikan. Terima kasih, Yang Mulia.

94. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Baik, eh (…)

95. KUASA HUKUM PEMOHON: ADAM M. PANTAUW, S.H.

Maaf (…)

96. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Terima kasih kepada (…)

97. KUASA HUKUM PEMOHON: ADAM M. PANTAUW, S.H.

Yang Mulia, pertanyaan saya soal sangat penting untuk untuk


dijawab , apakah memang menempatkan nomor 11 itu faktual hasil dari
polling ataukah rekayasa?

98. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Tadi kan sudah dijawab, itu hasilnya dari tiga puluh tiga sekian
ribu ya tiga puluh tiga ribu sekian, silakan lah dijawab lagi.

99. SAKSI DARI PEMOHON: ARSWENDO ATMOWILOTO

Kalau boleh menjawab, pada waktu itu dari sekian kartu pos ini
disita polisi buktinya dan itu bukan rekayasa, semuanya ada nomor-
nomor urutnya jumlahnya dan kebetulan tepat semuanya.

100. PEMERINTAH : MUALIMIN ABDI (KASUBDIT DEPHUKHAM


UNTUK PENYIAPAN DAN PENDAMPINGAN SIDANG MK)

Boleh izin Yang Mulia, satu saja, yang tadi nomor 1 sampai 11 nya
coba Saksi sebutkan, satu siapa sampai sebelas yang Nabi Muhammad.
Terima kasih, Yang Mulia.

101. SAKSI DARI PEMOHON: ARSWENDO ATMOWILOTO

Saya tidak begitu ingat, yang nomor satu yang saya ingat
Presiden Suharto, urut-urutan persisnya tidak ingat persis apakah Bung
Karno, apakah mungkin Bung Karno, bisa Saddam Husein nomor tiga
dan lain sebagainya, kemudian sampai nomor 10 saya sendiri, nomor
sebelas Nabi Muhammad itu.

29
102. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Ya baik, ya nanti kan bisa dicari ya nomor urut itu kalau


di,,,,,masih banyak saya kira itu, dari perkara itu juga disebutkan. Ya
baik, kalo tidak ada lagi pertanyaan untuk Saksi (…)

103. KUASA HUKUM PEMOHON: MUHAMMAD CHOIRUL ANAM, S.H.

Yang Mulia, ada satu pertanyaan lagi untuk Saksi, mengenai


putusan pengadilan dari Pengadilan Negeri sampai Mahkamah Agung,
bisa dijelaskan faktanya berapa tahun dihukum dan bagaimana
pertimbangan hakimnya?
Terima kasih

104. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Hukum 5 tahun itu apa berubah ke Pengadilan Tinggi, ke


Mahkamah Agung ?

105. SAKSI DARI PEMOHON: ARSWENDO ATMOWILOTO

Di Pengadilan Tinggi menjadi 4 tahun 6 bulan.

106. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Di Mahkamah Agung?

107. SAKSI DARI PEMOHON: ARSWENDO ATMOWILOTO

Di Mahkamah Agung sama 4 tahun 6 bulan, cuma saya tidak


terlalu pasti, Yang Mulia, waktu itu pertimbangannya apakah kurang
lebihnya dengan pasal itu atau karena bunyinya kurang lebih mengadili
sendiri atau bagaimana itu bahasa persisnya saya tidak tahu persis, tapi
jumlah hukumannya sama 4 tahun 6 bulan.

108. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Ya, baik. Ini dari Majelis Hakim akan tanya, silakan.

109. HAKIM ANGGOTA : DR. H.M. ARSYAD SANUSI, S.H., M.HUM.

Saudara Saksi, angket polling tentang tokoh idola, nah idola ini
apakah bersifat menyeluruh bidang-bidang itu atau juga menyentuh
khusus hanya saja bidang agama? Satu.

30
Yang kedua, memang sebelum atau tatkala sudah masuk polling
itu Saudara melihat urutan nomor 11 Rasulullah SAW ini ya, itu apakah
Saudara memang sudah membaca juga buku bandingan 100 tokoh dunia
ya, saya tidak tahu ya Michael… saya tidak tahu, Pak Ketua yang tahu itu
siapa pengarangnya, dimana nomor 1 itu Rasulullah SAW NAbi
Muhammad, nah itu. Itu satu. Tentu ada penyaringan selaku redaktur
ya. Yang kedua, sebelum hal tersebut Saudara muat, Saudara saring
dengan tokoh-tokoh ini, itu apakah Saudara memaknai apa itu penodaan
agama ataukah apakah Saudara sudah pernah membaca Undang-
Undang Nomor 11 PNPS Tahun 1965 ya? Mulai Pasal 1 sampai Pasal 4
dan Pasal 156A itu? Itu satu. Namun supaya ini ada pencerahan, ini saya
ada kutip sedikit ini barangkali ini juga menjadi bahan nanti bagi
Pemohon supaya memaknai …..memaknai makna tentang penodaan
agama, penghujatan agama, penghinaan agama itu dalam bahasa itu
bahasa Latin maupun bahasa Inggris itu nantinya ini dikatakan sebagai
blessed by me, pernah baca itu? Nah, blessed by me ini oleh Webster
Mirriam Webster dictionary dikatakan blessed by me ini adalah tindakan
menista atau menunjukkan penghinaan atau tiadanya rasa taksim pada
Tuhan, tindakan mengklaim diri memiliki sifat-sifat Ketuhanan, itu yang
kedua. Yang pertama itu maknanya itu. Yang kedua, tidak adanya rasa
hormat terhadap sesuatu yang dianggap suci atau tidak boleh dilanggar.
Nah, ini yang lebih penting lagi ini karena ini masuk juga dalam agama
Kristen, Katolik, ya semuanya ini, ini menyatakan bahwa penghujatan,
penodaan terhadap agama itu adalah tindakan tidak menghormati tokoh-
tokoh suci agama ya, benda-benda peninggalan keagamaan ya, adat
kebiasaan dan keyakinan-keyakinan keagamaan, nah ini. Nah, kalau
Anda memaknai, memahami makna ini tentu Anda akan memberikan
suatu seleksi yang baik sekali di dalam Saudara pada waktu Saudara
membuat polling itu. Ini sekedar tambahan.
Terima kasih, Pak Ketua.

110. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Baik, cukup ya?


Silakan, Pak.

111. SAKSI DARI PEMOHON: ARSWENDO ATMOWILOTO

Terima kasih, Yang Mulia.


Mengenai idola tadi, sebetulnya istilahnya waktu itu adalah tokoh
yang dikagumi, bisa berarti sama. Menyeluruh, tidak hanya…, jadi
pertanyaan itu bebas kita lontarkan siapa tokoh yang anda kagumi, lalu
alasannya apa. Makanya terkumpul ada 667 nama, jadi ada yang
memilih istrinya sendiri, ada yang memilih yang lainnya dan bebas
memang, barangkali memang metedologinya kacau dan tidak benar.
Tapi memang ini hanya majalah semacam itu, tabloid semacam itu,

31
untuk mencari tokohnya. Dan pengerjaannya itu adalah karena itu
adalah urusan redaksi yang membawahi, saya ini bukannya lepas
tangan, tetapi mereka sudah ada yang mengerjakan, dan sebelumnya
sudah terjadi, Yang Mulia. Artinya angket seperti tadi yang saya
sampaikan, makanan kesukaan apa, ternyata nomor satu bakso
misalnya, dan lain sebagainya.
Saya pemimpin redaksi dan saya yang penanggung jawabnya,
saya yang maju, tetapi ada redaksi yang menangani hal-hal semacam
ini. Lalu informasi tambahan tadi, pengetahuan tambahan tadi, sangat
terima kasih, Yang Mulia. Apalagi kalau 20 tahun yang lalu saya sudah
tahu, pasti kisahnya akan lain. Sekali lagi sangat terima kasih.

112. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Saya kira cukup, Saksi. Tadi Saksi ini mau minta bersalaman
dengan Majelis Hakim, saya kira nanti jam 12 saja sesudah sidang ini
ditutup, ya, jangan sekarang [hadirin tertawa].
Tapi begini ini, saya pernah membaca kesaksian lain dari Saudara
Arswendo yang menarik, pada salah satu edisi Majalah Tempo bulan
November tahun 1998, ya. Ketika Beliau ini masih ditahan mau dibawa
ke pengadilan itu, katanya jaksanya suka minta uang begitu ya, minta
uang diperas gitu ya, untuk apa itu? Nanti kalau naik mobil kalau ke
penjara ke persidangan dari penahanan itu naik mobil sedan tarifnya
sekian, kalau naik mobil tahanan sekian, ya betul begitu ya? Lalu Beliau
bayar bahwa tuntutannya akan satu setengah tahun tapi nanti akan
dikurangi. Ternyata dituntut maksimal dan dihukum maksimal, padahal
sudah bayar begitu, kepada jaksa itu. Lalu katanya, Arswendo tanya
pada jaksanya itu, “Lho saya kan sudah bayar, kok masih dituntut sekian
dihukum sekian?” “Saya sudah berusaha tapi tidak bisa.” Tapi kemudian
katanya jaksa yang memeras itu pamitan mau naik haji. Nah, ini dia,
orang memeras orang, korupsi begitu, masih mau naik haji juga [hadirin
tertawa].
Betul itu ya, saya baca kira-kira ceritanya seperti itu tapi tidak
persis angkanya, saya kira, begitu ya?

113. SAKSI DARI PEMOHON: ARSWENDO ATMOWILOTO

Betul, Yang Mulia.

114. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Mudah-mudahan Jaksa Agung mendengar ini, banyak orang yang


diperas itu di tahanan, saya kira, mudah-mudahan sekarang itu sudah
tidak ada. Tapi saya ingin mengatakan melalui mimbar ini, ini salah satu
korban betapa jaksa itu suka memeras orang yang ditahan, apalagi yang
sedang disidik, ini sudah masuk ke pengadilan ini, dimintai uang sekian

32
dan ada buktinya kalau bohong, dan pamit lagi mau naik haji, itu tanpa
malu-malu.
Baik, sekarang kita ke Ahli. Kalau Ahli ini sudah bebas bisa selang-
seling, dari Pemerintah dari ini. Saya persilakan dulu, KH. Hasyim
Muzadi, tetapi meski begitu Ahli itu seharusnya tidak meninggalkan
ruangan sampai masa sidang ini selesai, karena boleh jadi ada
pertanyaan dari floor begitu ya, sehingga disampaikan dulu baru nanti
tanya-jawab seperti ini.
Ya silakan, KH. Hasyim Muzadi, Saksi…. sekarang kita tetapkan
KH. Hasyim Muzadi semula akan diundang sebagai Ahli yang diperlukan
oleh Mahkamah Konstitusi, tapi hari ini Pemerintah menyatakan ini Saksi
yang akan diajukan oleh Pemerintah, Ahli yang akan diajukan oleh
Pemerintah. Oleh karena itu, ini Ahli dari Pemerintah yang pertama, KH.
Hasyim Muzadi.
Silakan.

115. AHLI DARI PEMERINTAH : KH. HASYIM MUZADI

Assalamualaikum wr. wb.


Selamat sejahtera untuk kita semua dan selamat pagi.
Majelis Hakim yang saya muliakan, menurut pemahaman saya,
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1965 tidak menyangkut kebebasan
agama tapi menyangkut penodaan agama, sehingga tidak relevan kalau
dikaitkan dengan kebebasan masing-masing kita beragama. Yang kedua,
di dalam penjelasan dari undang-undang itu, juga ada pada penjelasan
Pasal 1 bahwa tidak menghalangi juga agama-agama yang mungkin
akan ada. Saya baca ini tidak berarti bahwa agama-agama lain misalnya
Yahudi, Zoroasterian, Shinto, Taoisme dilarang di Indonesia. Jadi sudah
jelas, bukan Undang-Undang Kebebasan Agama. Yang kedua, saya
berpendapat bahwa undang-undang ini masih diperlukan di Indonesia,
karena kalau dicabut akan ada tiga akibat yang ditimbulkan.
1. Bisa atau dapat menimbulkan instabilitas Indonesia.
2. Dapat mengganggu kerukunan umat beragama yang sampai hari ini
sudah kita upayakan begitu rupa sehingga sangat baik. Bahkan
kantor PBNU sendiri sekaligus kantor agama-agama di seluruh
Indonesia ini. Ini bisa terganggu.
3. Saya justru kasihan bahwa kalau ini dicabut yang paling rugi adalah
minoritas. Kalau mayoritas dia cukup mempunyai kemampuan untuk
bereakasi, tetapi kalau reaksi itu timbul karena penodaan, kemudian
tidak ada patokan hukumnya maka yang terjadi tentu anarki.

Jadi kita jangan mengambil logika terbalik, seakan-akan tidak ada


aturan menjadi beres.Tapi tidak ada aturan itu masyarakat akan bikin
aturannya sendiri. Saya ingin menyampaikan beberapa sisi dari undang-
undang ini. Menarik undang-undang ini tahun 1965 karena saya
termasuk orang tua yang menangi, apa menangi bahasa Indonesianya ?

33
Ya menangi lah, mengalami pada tahun itu. Tahun itu memang tahun-
tahun penghujatan agama luar biasa baik dari segi media, budaya,
politik, dan juga kekuasaan. Juga ada manpower sehingga orang-orang
yang ada di Blitar, yang di Kediri yang melakukan ibadah dalam Islam
ketika itu diserbu secara membabibuta oleh kelompok-kelompok ateisme.
Hari ini kita melihat ada orang mengaku Nabi, ada orang mengaku
malaikat Jibril, setelah ditahan menangis. Lha ini saya juga heran
bagaimana malaikat bisa menangis? [hadirin tertawa]. Kalau dia diusut
apakah Mikail juga menjadi saksi? Ini semuanya dengan adanya orang-
orang beribadah secara tidak baik merebak di Indonesia. Maka
diperlukan kewaspadaan kita untuk ini.
Modal utama tentu bukan hukum, modal utama adalah saling
menghormati antar agama itu. Mempunyai nilai lebih luhur daripada
sekedar legal formal yang kadang-kadang masih prosedural dan belum
substansial. Selanjutnya yang kedua, penghujatan, penistaan, dan
pembelokan agama tertentu menurut pandangan saya bukan bagian dari
demokrasi tetapi merupakan agresi moral terhadap keluhuran agama itu
masing-masing yang diserang karena tidak pernah ada demokrasi yang
tidak dibatasi oleh demokrasi yang lain dan orang menghormati agama
adalah hak demokrasinya dia dan memeluk pun hak demokrasinya dia,
jangan dibalik penyerangan menjadi hak demokrasi daripada moral itu
sendiri.
Yang ketiga, secara konstitusi bahwa konstitusi tidak menganut
rinci itu menurut saya sudah lazim. Konstitusi cuma mengatakan
kebebasan agama, tapi agama itu apa? Dan berapa? Lalu bagaimana?
Tentu hak undang-undang, tidak bisa dikonfrontir undang-undang ini
dengan pokok konstitusinya. Yang seharusnya undang-undang bertindak
sebagai memorie van toelichting terhadap konstitusi dan undang-undang
itu.
Kemudian, kalau undang-undang ini dicabut sesungguhnya tidak
akan bisa menyurutkan reaksi dari kelompok agama yang merasa
disinggung. Nah, kalau tidak menyurutkan, kemudian tidak ada patokan
yang ada, maka yang terjadi justru kesulitan kita bersama-sama untuk
mengayom di bawah agama-agama dan lintas agama.
Yang selanjutnya, saya ingin menyampaikan fakta. Karena saya
selama ini masih menjadi salah satu Presiden World Conference on
Religion for Peace. Saya mengetahui betul bahwa sebuah eksistensi atau
koeksistensi, multi-eksistensi atau pro-eksistensi lintas agama inilah yang
benar. Bahwa masing-masing agama berusaha menghormati agama lain
tanpa dia harus melepaskan keyakinan yang sesungguhnya dari agama
yang diwakilinya. Sehingga di sini peristiwa yang menyangkut Saudara
saya tercinta Arswendo saya pikir karena hanya apes saja. [hadirin
tertawa] Kenapa? Pertama, karena mungkin respondennya siapa. Coba
respondennya di Al-Hikam atau di pesantren, itu nomor satu semua Nabi
Muhammad. Yang kedua, mungkin tidak tahu bahwa itu menyinggung.
Seperti juga di Thailand misalnya banyak orang tidak tahu bahwa masuk

34
masjid dengan sepatu, itu perkara besar. Padahal di Kristen itu biasa.
Oleh karenanya maka di gereja tidak pernah ada orang kehilangan
sepatu karena sepatunya dipakai[hadirin tertawa], yang kehilangan
sandal adalah di masjid, tapi di gereja yang hilang sepeda motornya
[hadirin tertawa].
Nah, ketidaktahuan ini, ini perlu ada jalan keluar. Saya harus tahu
sebagai orang Islam atau tokoh Islam, hal-hal apa saja yang sangat peka
di dalam agama Katolik. Saya harus tahu hal-hal apa yang peka di dalam
agama Budha. Untuk apa? Untuk supaya saya tidak masuk menyinggung
yang lain. Ketika saya di Vatikan, saya diledek oleh seorang Monsieur,
namanya Monsieur Michael Fitcher, “Pak Hasyim katanya Kyai di
Indonesia itu isterinya banyak”, nah ini nyiindir ini saya bilang. Lalu saya
jawab dengan sindiran pula, “Mungkin karena menampung isterinya
pastur yang tidak jadi” [hadirin tertawa]. Artinya bagaimana
mengemukakan sebuah koreksi tanpa penodaan itu adalah seni untuk
lintas agama ini.
Jadi yang kita perlukan sekarang adalah kehati-hatian yang
pertama, yang kedua yang kita perlukan adalah mengenal orang lain
pada hal yang sangat peka. Saya kira ini lebih luhur dari pada sekedar
legal formalnya. Saya ingin masuk di dalam faktnya. Saya sudah dikenal
di kalangan lintas agama sebagai pemadam kebakaran kalau ada
peristiwa-peristiwa konflik. Suatu ketika ada peristiwa di Batu, dimana
Quran diinjak-injak, lalu berdatanganlah anak-anak dari Pasuruan akan
menyerbu ke Batu, Jawa Timur. Maka saya cegat di tengah, setelah
ketemu saya bilang, “Jangan lakukan sendiri-sendiri karena semuanya
ada aturannya”. Maka berhenti di situ. Seandainya tidak ada aturan,
maka saya tidak bisa lagi mengemukakan argumentasi untuk
menghentikan daripada pertikaian itu.
Demikian juga yang di Marriot, ini bukan hanya menyangkut
masalah nasional tapi juga masalah internasional. Apa yang
dikemukakan bahwa agama Islam menghormati kemanusiaan itu kita
tunjukkan. Pada saat relawan dari Korea Selatan ditangkap oleh Taliban
yang di Afghanistan dan dibunuh satu persatu, maka kita
mengemukakan appeal supaya itu dilepaskan dan alhamdulillah berhasil.
Artinya apa? Artinya dimana letak religi dan dimana letak humanitas, itu
diletakkan pada porsi yang sesungguhnya.
Suasana yang di Denmark, suasana yang di Switzerland, ternyata
juga menggema, bukan hanya di negara mereka, tapi menggema di
seluruh dunia hanya karena kartun Nabi Muhammad yang ada di
Denmark dan hanya karena di Switzerland Manoret itu secara hukum
dan secara konstitusi dilarang mesjid mendirikan menara. Ini sebagai
sebuah pelajaran bahwa kehati-hatian kita terhadap harkat agama yang
lain menjadi kunci dari pada kita semua.
Kuncinya adalah koeksistensi, artinya masing-masing agama
mempunyai eksisitensinya sendiri dan dia dipersilakan untuk beragama
pada tempat itu dengan yang sebaik-baiknya tapi dia punya kooperasi

35
yang setingkat dengan keyakinan dan imannya atau multi eksistensi
maka saya sangat memahami apa yang dikhawatirkan oleh dari
MATAKIN, jadi sebenarnya apa yang ada di dalam undang-undang ini
justru perlindungan bukan hanya kepada mayoritas tapi justru utamanya
kepada minoritas dan saya sebagai warga negara Indonesia cukup
bangga karena perlindungan mayoritas kepada minoritas di Indonesia
jauh lebih baik daripada perlindungan mayoritas kepada minoritas di
negara-negara yang lain.
Terima kasih, wassalamualaikum wr. wb.

116. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Baik, apakah ada yang mau bertanya kepada Kyai Hasyim? Dari
Pemohon, dari Pihak Terkait?
Dari Pemohon dulu.

117. KUASA HUKUM PEMOHON: FEBI YONESTA, S.H.

Terima kasih, Yang Mulia.


Sebelumnya saya mau mengklarifikasi yang dinyatakan oleh KH.
Hasyim Muzadi terkait dengan undang-undang ini tidak melarang
agama-agama lain seperti Tao, Zoroaster, dan Yahudi misalnya. Tapi
apakah Kyai Hasyim Muzadi sebagai Ahli itu mengetahui bahwa undang-
undang ini sesungguhnya hanya diperuntukkan untuk melindungi 6
agama yang disebut di dalam penjelasan? Meskipun tidak dilarang
agama lain selain 6 agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Budha dan
Kong Hu Cu tapi agama-agamaselain 6 ini sesungguhnya hanya
dilindungi oleh Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 dan bukan
oleh undang-undang ini, itu yang pertama.
Yang kedua, saya ingin juga pandangan Saudara Ahli, apakah
ajaran Islam menegasikan ajaran agama lain misalnya Kristen dan
Yahudi dan bukankah negasi demikian dapat dipandang menghina oleh
agama umat agama yang bersangkutan? Selanjutnya, bukankah label
sesat atau menyimpang akan berimplikasi pula sebagai menghina atau
menodai bagi kelompok agama yang dikenakan label sesat itu? Dan bila
dalam situasi ini, dan bila dalam situasi yang tidak diskriminatif maka
sesungguhnya kelompok yang dilabeli sesat atau menyimpang
seharusnya dapat pula menggunakan undang-undang ini untuk diproses
agar yang membuat label sesat itu dikenakan atau dijerat oleh undang-
undang ini. Bagaiama pandangan Ahli mengenai hal itu?

118. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Cukup, ya? Tadi pertanyaan yang pertama apakah Kyai Hasyim


Muzadi mengetahui bahwa undang-undang ini hanya mengakui atau
melindungi 6 agama, begitu ya? Mungkin itu tidak perlu dijawab karena

36
pertanyaan baliknya itu apakah Saudara Pemohon sudah membaca
undang-undang ini? Karena di undang-undang ini di penjelasan itu sudah
jelas agama apapun boleh, ini ada penjelasan Pasal 1. Yang lain boleh
dijawab.
Silakan Majelis Ulama.

119. PIHAK TERKAIT: MUHAMMAD LUTFI HAKIM, S.H., M.H.


(ANGGOTA MUI)

Terima kasih, Bapak Hasyim Muzadi. Selaku Ahli ada beberapa


pertanyaan yang ingin saya ajukan. Yang pertama adalah tadi Pak Kyai
telah menyebutkan kondisi pada saat lahirnya PNPS Nomor 1 Tahun
1965. Kemudian Pak Kyai juga sudah menyebutkan tentang relevansi
PNPS itu dengan kondisi kekinian di Indonesia dimana kondisinya kurang
lebih ada persamaan dengan tahun 1965, itu yang tadi saya tangkap
moga-moga saya tidak keliru menangkapnya. Pertanyaan saya, apabila
tadi Pak Kyai menyebutkan pada tahun 65 itu dimana Pak Kyai masih
menangi atau mengalami pada masa itu, background dari penodaan
agama adalah ateisme. Kemudian pada saat ini selaku Ahli, background
apakah yang melatarbelakangi banyaknya atau maraknya tindakan-
tindakan penodaan agama? Apakah masih sama ataukah ada latar
belakang yang lain selain ateisme?
Kemudian yang kedua, tadi Pak Kyai juga menyebutkan sebagai
Presiden World Conference on Religion for Peace atau WCRP. Pertanyaan
saya, apakah di dalam komunitas WCRP tersebut dibenarkan adanya
kebebasan untuk membikin agama baru sebagai suatu pemahaman
terhadap suatu kebebasan beragama? Artinya apakah kebebasan
beragama itu dapat diartikan, ditafsirkan sebagai hak pula untuk
melahirkan agama-agama baru?
Kemudian yang ketiga, keinginan segelintir anggota masyarakat
yang menginginkan pencabutan PNPS dalam penilaian Pak Kyai karena
ini merupakan concern dari Majelis Ulama Indonesia tentang liberalisasi
agama yang terjadi sekarang ini, apakah keinginan pencabutan itu ada
suatu background berkaitan dengan gerakan liberalisasi di agama yang
sedemikian rupa akan nantinya membahayakan agama itu sendiri, juga
MUI meyakini apabila PNPS ini tidak lagi berkekuatan hukum tetap maka
akan maraklah pluralisme teologis di Indonesia sebagai salah satu
agenda utama gerakan liberalisasi agama tadi itu, ini masih berkaitan
dengan liberalisasi agama yaitu pluralisme teologis.
Menjadi pertanyaan bagi kami kepada Ahli Bapak Kyai Haji,
apakah dalam komunitas WCRP dibenarkan adanya pluralisme teologis
seperti yang sekarang ini marak di kalangan orang muda di Indonesia?
Kemudian seperti apa walaupun kami dari MUI juga sudah
membayangkan bahayanya dalam pandangan Pak Kyai sendiri bahaya
liberalisasi agama ini akan seperti apa bagi agama dan umat beragama?

37
Dan apakah liberalisasi agama ini hanya khas dialami oleh agama Islam
saja? Ataukah itu juga terjadi pada agama-agama selain agama Islam?
Pertanyaan dua terakhir, apakah gerakan liberalisasi agama
memiliki hubungan struktural dengan gerakan liberalisasi yang terjadi di
dunia internasional? Dan apakah sebenarnya misi, tujuan, yang ingin
dicapai oleh gerakan liberalisasi agama itu sendiri?
Terima kasih, Yang Mulia.

120. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Apakah masih ada lagi untuk (…..)

121. KUASA HUKUM PEMOHON: MUHAMMAD CHOIRUL ANAM, S.H.

Majelis Hakim, kami sebenarnya masih punya beberapa


pertanyaan lagi namun sebenarnya kami ingin mengklarifikasi
pertanyaan yang pertama yang diajukan oleh rekan kami di sebelah sana
tentang perlindungan yang diberikan kepada 6 agama sebagaimana
disebutkan. Kami ingin memberikan klarifikasi sebentar bahwa di
undang-undang ini ada dua hal, yang pertama itu dibiarkan, yang kedua
itu dilindungi, dilindungi itu kami anggap membuat memberikan
perlindungan yang sifatnya aktif oleh pemerintah dan undang-undang ini
memberikan hal semacam itu, dan itu berbeda hanya dari sekedar
dibolehkan atau dibiarkan saja. Kalau boleh kita mencermati apa yang
tertulis di dalam undang-undang di dalam penjelasannya karena itu
terlihat dengan jelas dan kalau boleh ini dibacakan oleh kami sekarang
supaya itu menjadi jelas buat kita semua. Boleh? Oke.
Di dalam penjelasan itu disebutkan bahwa karena 6 macam
agama ini adalah agama-agama yang dipeluk hampir seluruh penduduk
Indonesia, maka kecuali mereka yang mendapatkan jaminan seperti
yang diberikan oleh Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 mereka juga
mendapatkan bantuan-bantuan dan perlindungan yang diberikan oleh
pasal ini. Ini tidak berarti bahwa agama-agama lain misalnya Yahudi, ,
Zaratustrian, Shinto, Taoisme dilarang di Indonesia mereka mendapat
jaminan penuh seperti yang didapatkan di dalam Pasal 29 itu dan
mereka itu dibiarkan adanya asal tidak melanggar ketentuan yang
terdapat dalam peraturan ini atau peraturan perundangan lainnya. Jadi
ada dua hal, Majelis Hakim, yang pertama itu bantuan dan perlindungan
yang kedua itu dibiarkan.

122. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Ya oke, sudah jelas (…..)

38
123. KUASA HUKUM PEMOHON: MUHAMMAD CHOIRUL ANAM, S.H.

Sudah jelas. Kami juga masih punya beberapa pertanyaan….

124. KUASA HUKUM PEMOHON: ULI PARULIAN SIHOMBING, S.H.,


LL.M.

Oke, terima kasih yang Mulia.


Yang pertama, sebelum Ahli menjawab pertanyaan dari MUI
tentang liberalisasi agama kami juga mohon sebelum melakukan
penilaian terhadap liberalisasi agama kami minta supaya apa definisi
liberalisasi agama sehingga kita jelas ini arahnya kemana sehingga
jangan sampai berbeda antara dan jangan sampai kita semua selain Ahli
menduga bahwa liberalisasi agama itu persis seperti apa yang akan
dijadikan starting point oleh Ahli, itu yang pertama.
Yang kedua, kami terima kasih sekali kepada Ahli karena
menjelaskan dengan begitu gamblang semangat toleransi yang dalam
permohonan kami juga menjadi semangat kami sebenarnya, toleransi
beragama. Permohonan ini tidak mengamini penodaan agama ya, bahwa
juga tidak mengamini kebebasan mutlak ya jelas dalam permohonan
kami. Karena tadi menjelaskan semangat toleransi namun kami butuh
sesuatu yang jauh lebih luas karena tadi yang dijelaskan secara rinci,
secara bagus, bahkan juga dengan canda yang mengendorkan urat
syaraf ketegangan kita hanya relasi toleransi agama dengan agama,
bagaimana dengan internal di agama? Pasal 1 jelas soal internal agama
bagaimana ada tafsir? Bagaimana kalau ada tafsir yang berbeda? Kreasi,
toleransi yang kayak apa yang harus diciptakan? Apa tugas seorang
tokoh agama dalam menyikapi tafsir tersebut? Apakah dia mengamini
untuk melakukan kekerasan? Ataukah memang membangun dialogis
sebagai suatu semangat toleransi bahwa misalnya dia bisa menerima
dan bisa tidak, atau imannya lebih kuat, atau balik lagi itu soal hidayah,
begitu. Kami mohon penjelasan yang dalam soal bagaimana dengan soal
tafsir. Bagaimana konsepsi, kreasi,toleransi dalam perbedaan tafsir?
Satu.
Yang kedua, dimana posisi negara menyikapi perbedaan tafsir ini?
Apakah dia mengembalikan lagi kepada mekanisme internal agamanya
untuk membangun dialog, membangun sikap toleransi ataukah
menghukum dia, keyakinan dia dihukum? Gimana ini sikap negara?
Kalau saya misalkan masih kecil pernah lihat film Syeh Siti Jenar
misalkan, apakah perbedaan tafsir harus dipenggal? Bagaimana sikap
negara, apakah dikembalikan lagi kepada para ulama, ya sudahlah
silakan ulama menilai dan silakan mengambil sikap untuk dialogis
membangun sikap teloransi? Karena itulah yang sebenarnya dibutuhkan
untuk menjamin stabilitas negara yang tadi juga disinggung oleh Ahli
bahwa ini kalau ini instabilitas, itu yang kedua.

39
Yang ketiga, apakah PNPS ini menjadi jawaban untuk
membangun sikap toleransi dan menjamin dialogis? Bagi kami itu belum
menjamin bahwa kita memerlukan satu konsepsi undang-undang lain
iya, konsepsi hukum lain iya, sehingga meletakkan bagaimana peran
negara dan bagaimana peran tokoh agama, jadi jelas. Di sini tidak jelas,
yang ada adalah semangat penghukuman terhadap perbedaan, penilaian
kami seperti itu. Dan kami sangat apresiasi dengan Kyai Hasyim Muzadi
sebagai seorang Ahli yang menjelaskan bagaimana sikap bertoleransi.
Kami berharap ada penjelasan yang mencerahkan kita semua.
Terima kasih.

125. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Baik, cukup ya? Dari Pemohon? Jadi, lain lagi pertanyaannya?


Kalau cuma sama lain kalimatnya nggak usah, ya?

126. PEMOHON: SYAMSUDDIN RADJAB, S.H., M.H. (PBHI)

Terima kasih, Majelis.


Ada dua, yang pertama tentang klarifikasi tidak adanya aturan jika
undang-undang ini dicabut. Pertama kita sudah jelas bahwa kita sudah
meratifikasi ICCPR hak-hak sipil politik dan dalam Pasal 18 itu adalah
secara gamblang menjelaskan bagaimana sebuah kebebasan beragama
merupakan sebuah solusi bagi masyarakat moder
n demokratis, jadi sangat tidak benar kalau kemudian tidak ada aturan.
Yang kedua, kembali mengingatkan apa yang juga kemarin sudah
disampaikan oleh Anggota Majelis Hakim bahwa undang-undang ini
memang berjudul tentang penodaan agama tapi sesungguhnya tidak
tercermin mengenai definisi, kemudian indikator kriteria apa yang
dimaksud dengan penodaan agama, maka kemudian inti dari undang-
undang ini sesungguhnya adalah Pasal 1 dari undang-undang tersebut
yang tadi disampaikan terkait dengan interpretasi pokok-pokok ajaran
agama. Nah, di sinilah pertanyaan saya kepada Ahli sesungguhnya siapa
yang berhak untuk menentukan pokok-pokok ajaran agama dan
kemudian apakah interprestasi (...)

127. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Itu sama pertanyaannya tadi, siapa yang mengukur. Kalau sudah,


kalau subtansinya sama tidak usah ditanyakan lagi, buang-buang waktu.
Ada yang lain lagi nggak yang lain?

128. PEMOHON: SYAMSUDDIN RADJAB, S.H., M.H. (PBHI)

Jadi itu mohon dijawabnya, Majelis.

40
129. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Kamu juga sama? Saudara juga sama pertanyaannya? Beda?


Sudah? Ok, baik. Jadi begini, Saudara pertanyaan yang pertama tadi itu
kalau Saudara tidak puas juga biar nanti dijawab oleh Ahli yang berlatar
belakang hukum. Jadi di sini sudah jelas, agama lain itu mendapat
jaminan penuh seperti yang diberikan Pasal 29 dan mereka dibiarkan.
Agama lain juga dibiarkan, Islam ya, Kristen, Katolik, sama dibiarkan,
jaminan penuhnya sama, apa masalahnya di sini? Nah, kalau Saudara
mau berdebat soal ini, kalimat yang begini sudah jelas begini itu jangan
ditanyakan kepada Kyai, tanyakan kepada ahli hukum besok yang akan
bisa menjelaskan tafsir-tafsir yang subtantif tentang ini.
Silakan Pak Kyai.

130. AHLI DARI PEMERINTAH : KH. HASYIM MUZADI

Assalamualaikum wr. wb.


Pertanyaan pertama, apakah Islam menegasikan agama lain?
Istilah negasi tidak tepat, karena itu sebuah pilihan. Baru disebut negasi
kalau dia memilih kemudian dia menyerbu atau meniadakan yang lain.
Ketika dia mangambil posisi kemudian dia melakukan kooperasi maka itu
koeksistensi bukan negasi. Kalau tanya bagaimana perasaan orang Islam
kepada Kristen? Sama bagaimana perasaan Kristen kepada Islam, sudah
begitu saja.
Lalu mengenai, dulu tahun 65 semangat untuk menodai agama itu
didorong oleh filsafat ateisme. Jadi menurut pendapat saya teologi
campuran itu sebenarnya sama dengan non teologi, jadi orang yang
beragama banyak sebenarnya tidak beragama. Nah, orang kemudian
yang mengaku dia akan mendirikan agama dia mengambil posisi
sebelumnya sebagai tidak beragama.
Jadi dulu tahun 65 ateisme ini kemudian didukung oleh suasana
politik ketika itu dan kekuasaan negara yang luar biasa absolutnya,
sehingga gerakan-gerakan yang bersifat masif menghujat agama itu
berada pada politik, ekonomi, budaya, media dan juga massa. Saya
masih ingat ketika itu ada sebuah ludruk yang lakonnya itu Gusti Allah
mantu, jadi Tuhan itu mantu, lha ini besannya siapa? Nah, orang pasti
tersinggung. Tapi berani atau tidak dia bereaksi, tapi pasti tersinggung.
Nah, ketika itu karena suasananya revolusioner maka terpaksa dihadapi
dengan suasana revolusioner juga. Nah, sekarang dalam suasana
demokrasi ini, maka kita hendaknya juga bisa meletakkan mana posisi
demokrasi, mana penghormatan kepada orang lain dan mana etika dan
mana hak dan kewajiban, bagaimana dia berjalan bersama-sama dengan
hukum dengan etika, keselematan negara dan sebagainya dalam sebuah
sinergi.
Kemudian tentang WCRP yang berpusat di New York, ini tidak ada
agenda untuk membuat agama baru atau menampung agama baru

41
untuk menjadi pengurus di WCRP, itu saja yang saya tahu. Nah,
pluralisme yang kita kehendaki bukanlah pluralisme teologis tapi
pluralisme sosiologis. Karena pluralisme teologis itu non teologi,
bagaimana seseorang pada satu waktu dan satu orang dia percaya
kepada banyak isme maka isme harus monoteisme sementara di dalam
konteks sosial dan kenegaraan kita lakukan Bhinneka Tunggal Ika yang
kemudian belakang disebut pluralisme yang sesungguhnya itu adalah
unity in diversity. Ini musti harus dijelaskan secara rinci bagaimana
bedanya pluralisme teologis dan pluralisme sosiologis.
Yang selanjutnya adalah tentang liberalisasi. Liberalisasi ini dari
siapa yang mengatakan dia akan mempunyai definisi yang berbeda. Jadi
mungkin ini sebuah open ended discussion yang tidak akan selesai kalau
yang dimaksud definisi. Tetapi menurut pemahaman saya dan lazimnya
agama-agama di Indonesia, ketika seorang yang beragama kemudian
menafsirkan sendiri agamanya sekalipun agamanya sendiri tanpa
paradigma-paradigma yang lazim di situ maka disebut liberalisasi,
sehingga kadang-kadang seorang liberal itu dapat saja memasukkan
demokrasi untuk menegasikan beberapa patokan-patokan pada
agamanya sendiri.
Saya akan mengambil contoh yang terjadi di Eropa. Di sana pada
umumnya adalah umat Katolik dan umat Kristen tetapi Undang-Undang
Perkawinan sama sekali bertentangan dengan norma Katolik itu. Di
Denmark misalnya, Swedia, itu laki-laki boleh kawin dengan perempuan,
orang perempuan boleh kawin dengan perempuan dan orang laki-laki
boleh kawin dengan laki-laki. Nah, Kalau orang perempuan kawin
dengan perempuan saya tidak bisa membayangkan, tapi kalau laki-laki
kawin dengan laki-laki dia mau apa sebenarnya. Dia mau kawin atau
mau olahraga? [hadirin tertawa]
Nah, yang saya ingin sampaikan adalah bahwa ada proses
liberalisasi di situ yang menjurus kepada sekularisasi yang sebenarnya
merugikan semua agama secara bergiliran dan tidak ada agama Katolik
atau Protestan yang memberikan kebolehan terhadap masalah-masalah
seperti yang ada di undang-undang di negara mereka sendiri. Nah,
sehingga dengan demikian kalau ditanya apa bahaya liberalisasi itu?
Adalah bahaya pemisahan nilai luhur agama terhadap prikehidupan
masyarakat dan negara.
Kita tidak ingin negara mencampuri agama terutama di bidang
substansi agama. Negara tidak boleh mengubah orang Sholat Shubuh
menjadi 3 rakaat tetapi negara berkewajiban untuk melindungi
kerukunan semua umat beragama itu di dalam konteks berbangsa dan
bernegara bukan dalam konteks mencampuri teologi serta paradigma-
paradigma di dalam negara itu. Nah, kalau negara tidak campur tangan
maka sedikit ada korek api di masyarakat akan terjadi anarki karena
keyakinan dan demokrasi bagaimanapun juga luhurnya harus tetap
dalam bingkai aturan kenegaraan dan hukum.

42
Nah, tujuan daripada liberalisasi tentu saya kurang faham karena
saya sendiri tidak merasa diri saya liberal. Saya bersama-sama dengan
Romo Magnis Suseno di mana-mana, dengan Romo Benny di seluruh
dunia, saya selalu mengatakan bahwa saya mengikuti moderasi, bukan
ekstremisasi dan bukan liberalisasi. Ekstremisasi adalah orang yang
hanya tahu apa yang dia yakini tetapi tidak pernah mau tahu terhadap
keyakinan orang lain. Dia hanya mengetahui apa yang dia punya tetapi
tidak mau tahu terhadap orang yang punya. Kalau liberalisasi, justru
untuk toleransi dia berani mengorbankan prinsip-prinsip yang
sesungguhnya menjadi prinsip agamanya sendiri. Maka moderasi adalah
koeksistensi itu berimanlah dan beragamalah yang sebaik-baiknya, tetapi
buat bridging / jembatan yang saling menghormati dan itu lebih luhur
dari sekedar legal formal. Kemudian mengenai perlindungan negara
kepada agama dalam konteks perlindungan umat keagamaan dan dalam
konteks menjaga stabilitas negara itu sendiri bukan dalam konteks
intervensi terhadap ajaran agamanya.
Kemudian ini pertanyaan penting, apakah kalau di sebuah agama
terjadi penyimpangan lalu harus dihukum? Nah, itu bisa dilihat dalam 2
konteks, konteks pendekatan legal formal yang di dalam Islam dipakai
hukum fiqih atau konteks guidance and counseling yang dipakai adalah
dakwah. Misalnya ada kelompok di muslim itu yang menurut aturan
umum di dunia dia menyeleweng maka dilihat tingkat penyelewengannya
itu membahayakan atau tidak terhadap stabilitas yang ada. Kalau tidak
maka pendekatan dakwah dan penyadaran harus didahulukan daripada
penetapan legal formal, apakah dia itu keluar dari Islam atau tidak
keluar. Andaikan saja keluar, itu cukup di-declare bahwa dia sudah
bukan bagian dari Islam tetapi sebagai warga negara Indonesia dia
harus tetap dilindungi hak-haknya sebagai orang warga negara
Indonesia. Di sini semuanya diatur dengan jelas, sehingga dimana posisi
negara, apakah negara akan menghukum seorang yang menyeleweng
itu diukur dari seberapa tingkat kerusakan yang ditimbulkan dari
penyelewengan itu.
Nah, ini semuanya sebenarnya ukuran-ukurannya sudah jelas
tetapi saya mengatakan apakah semua kesadaran dari masing-masing
orang beragama dan lintas agama plus demokrasi itu sudah cukup?
Menurut saya masih belum cukup. Dia harus ada kerangka aturan untuk
menjaga supaya demokrasi dan toleransi itu berjalan dengan aman.
Karena moral sekalipun lebih tinggi nilainya dengan legal formal tetapi
moral harus berbaju dan baju itu adalah konstitusi.
Sekian terima kasih, wassalamualaikum wr. wb.

131. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Terima kasih. Persis jam 12 sesuai dengan tata tertib sidang ini
harus ditutup jam 12. Meskipun begitu saya tanya tadi Pak Amidhan
masih mengacung, apa perlu bertanya lagi karena ini kalau tidak ada

43
pertanyaan lagi, Kyai Hasyim tidak usah hadir pada sesi kedua, tetapi
kalau masih ada sidang ini tidak bisa diperpanjang tetapi tergantung Kyai
Hasyim mau datang lagi jam 2 apa tidak nanti kesini.
Bapak masih mau bertanya?

132. PIHAK TERKAIT : AMIDHAN (MUI)

Mau bertanya kepada Pemohon.

133. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Oh tidak, kalau kepada Pemohon nanti saja.


Yang untuk Kyai Hasyim cukup saya kira, sehingga tidak ada
pertanyaan-pertanyaan lagi. Saudara Pemohon, saya tahu Saudara
mungkin masih agak penasaran, tadi soal Pasal 1 itu, Saudara bisa
tanyakan lagi kepada Ahli Hukum ya, Saudara akan menghadirkan Ahli
Hukum di sini, dan kami juga menghadirkan 7 Ahli Hukum. Tanyakan
saja nanti apa agama-agama selain yang 6 itu boleh tidak ada di sini
menurut undang-undang, itu sangat penting, tetapi pertanyaannya nanti
kepada Ahli Hukum dan Konstitusi, sejarah konstitusi kita, ini dihadirkan
di sini nanti banyak.
Baik Saudara sekalian (…)

134. PEMERINTAH : MUALIMIN ABDI (KASUBDIT DEPHUKHAM


UNTUK PENYIAPAN DAN PENDAMPINGAN SIDANG MK)

Yang Mulia, izin kalau dapat 13.30 begitu Yang Mulia, karena
kepentingan koordinasinya kalau sampai jam 2 terlalu lama, Yang Mulia.
Terima kasih.

135. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Tidak, di tata tertib kita jam 2 mulainya. Jadi ya kita jam 2 saja,
jam 14.00, masih sholat, makan, mungkin yang mau pijat begitu. Ada
hakim yang suka pijat ini, Pak Arsyad, nanti tidak bisa turun lagi.
Baik, Saudara sesudah saya mengetuk palu ini, kami di sini akan
mengundang Pak Arswendo untuk bersalaman dengan kami di sini
karena tadi minta, tetapi yang lain tidak usah ya. Soalnya kalau di NU
misalnya Kyai Hasyim ini satu-satu disalami sampai lama, satu orang saja
yang kesini.
Dengan demikian sidang dinyatakan ditutup.

KETUK PALU 3X

SIDANG DISKORS PUKUL 12.05 WIB

44
SKORS DICABUT PUKUL 14.00 WIB

136. KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Dengan mencabut skors untuk Pemeriksaan Perkara Nomor


140/PUU-VII/2009 dengan ini dinyatakan dibuka kembali.

KETUK PALU 3X

Berikutnya, kami undang Profesor Magnis Suseno.

137. AHLI DARI PEMOHON: PROF. DR. FRANS MAGNIS SUSENO

Terima kasih, Mejelis Hakim yang mulia yang saya hormati. Saya
bukan ahli hukum, jadi saya tidak akan berbicara tentang pasal-pasal.
Saya diminta menjelaskan beberapa pertimbangan dasar yang
mendukung permohonan judicial review Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1965.
Saya ingin membahas tiga konsep yang cukup kunci, pertama
penodaan agama. Kedua, hal menyimpang dari pokok-pokok ajaran
suatu agama, dan ketiga beberapa catatan tentang kebebasan
beragama.
Pertama, mengenai penodaan agama itu tadi sudah dijelaskan
oleh Bapak Hakim yang tadi muncul. Jadi, tindakan dengan maksud
menjelekkan, menghina, mengotori, memperlakukan tidak dengan
hormat yang semestinya suatu agama, tokoh-tokoh agama, simbolnya,
ajarannya, ritusnya, ibadatnya, rumah ibadahnya, dan sebagainya. Tapi,
kita juga bisa bertanya apa yang tidak merupakan penodaan agama?
Yang tidak temasuk penodaan agama adalah apabila seseorang atau
sekelompok orang mempercayai sesuatu atau melakukan praktik
kegamaan atau mengajarkan sesuatu yang tidak sesuai atau
bertentangan dengan pokok ajaran, keyakinan, ritus agama lain.
Mengapa bukan penodaan? Karena tidak ada maksud untuk menodai.
Bahwa keyakinan praktik itu bertentangan dengan apa yang diyakini
agama lain semata-mata merupakan implikasi dari apa yang mereka
yakini. Itu sebetulnya tidak kontroversi, umat Kristiani tidak tersinggung
karena umat Islam menolak inti kepercayaan Kristiani yaitu bahwa Yesus
adalah Tuhan, umat Islam tidak terhina karena umat Kristiani tidak
mengikuti kitab suci umat Islam serta nabinya.
Yang penting di sini ialah prinsipnya hanya berbeda keyakinan,
ajaran, praktik keagamaan dengan sendirinya tidak merupakan
penghinaan penodaan. Karena hal itu, karena itu, yang sama berlaku
bagi kelompok yang keyakinan ajaran praktiknya berimplikasi penolakan

45
terhadap ajaran mindstream agamanya sendiri. Sebagai contoh di
lingkup kristiani ada yang namanya saksi “Yehova.” Saksi “Yehova” oleh
98% semua gereja dan aliran Kristiani dianggap sudah di luar
kekristenan karena mereka menolak Ketuhanan Yesus. Padahal saksi
“Yehova” sendiri menganggap diri mereka sebagai Kristiani yang benar
dan gereja-gereja lain sebagai sesat. Fakta bahwa mereka menolak
berdasarkan kitab suci yang sama, inti kepercayaan Kristiani, tetap tidak
merupakan penghinaan.
Butir saya yang kedua, itu hal penafsiran kegiatan menyimpang
dari pokok-pokok ajaran agama. Di situ saya bertolak dari arti kata
menyimpang yang punya nada aktif. Yang menyimpang, maksudnya
menyimpang dari jalan yang benar, jadi tidak benar. Istilah yang netral
adalah berbeda. Di situ kelihatan bahwa istilah menyimpang adalah
istilah yang relatif. Artinya yang memakai kata “menyimpang” adalah
pihak yang merasa benar dan sebaliknya bagi mereka yang tadi disebut
menyimpang, mereka sendiri menganggap diri benar dan mereka
menganggapnya menyimpang sebagai tidak benar. Istilah objektif adalah
dua pihak itu berbeda. Jadi ajaran B yang secara objektif berbeda dari
ajaran A, oleh pihak A dinilai menyimpang, sedangkan bagi pihak B,
ajaran A-lah yang menyimpang.
Istilah menyimpang dengan sendirinya berpihak. Itu mempunyai
dua implikasi. Yang pertama, kata “menyimpang” hanya dapat dipakai
atau boleh dipakai oleh “orang dalam”. Contoh, gereja Katolik dapat dan
juga sering menyatakan ajaran misalnya saksi “Yehova” sebagai
menyimpang dari ajaran Kristiani. Sedangkan “orang luar” tidak dapat
mengatakan demikian, dia hanya dapat mengatakan bahwa ajaran
Kristiani saksi “Yehova” sangat berbeda dari ajaran gereja Katolik, dan
juga berlaku saksi “Yehova” dapat menyatakan gereja Katolik
menyimpang.
Kedua, penilaian bahwa pada suatu ajaran praktik keagamaan
meyimpang tidak pada tempatnya di wilayah publik negara. Penilaian
menyimpang memuat penilaian bahwa yang disebut menyimpang berada
di jalan tidak benar. Padahal penilaian tidak benar hanya masuk akal
atas dasar klaim kebenaran, tetapi negara tidak kompeten sama sekali
untuk memutuskan misalnya apakah gereja katoliklah yang benar atau
malah saksi “Yehova”? Meskipun mungkin Katolik seratus kali lebih
banyak penganut daripada saksi “Yehova”. Dua-duanya mengklaim
dirinya benar dan yang lain menyimpang. Satu-satunya yang betul
objektif atau yang benar itu hanya Tuhan sendiri. Lembaga yang merasa
bisa menentukan mana yang objektif benar, menempatkan diri di tempat
Tuhan alias memuja.
Maka sekarang saya, kebebasan beragama, pertimbangan itu mau
menunjukkan bahwa penilaian bahwa suatu ajaran penafsiran
menyimpang dari pokok-pokok ajaran suatu agama tidak ada dalam
kompetensi negara, itu ada dalam kompetensi agama yang
bersangkutan. Apabila negara memakainya, negara itu melanggar

46
kewajibannya untuk bersikap netral. Itu berarti juga bahwa tidak dapat
dibenarkan suatu ajaran dilarang hanya karena dinilai menyimpang.
Kalau memang mau dilarang ya mestinya dengan membatasi kebebasan
beragama.
Hakikat kebebasan beragama adalah pengakuan bahwa setiap
orang berhak meyakini serta untuk hidup beribadat dan berkomunikasi
sesuai dengan apa yang diyakini sebagai panggilan tuntunan Tuhan yang
mutlak. Jadi inti kebebasan beragama sebetulnya hormat terhadap
kenyataan bahwa setiap manusia wajib mutlak taat kepada Tuhan
terhadap yang baginya mutlak dan di situ dia tidak berhak diganggu oleh
orang lain. Apakah kebebasan beragama tak terbatas? Kebebasan
beragama jelas tidak tak terbatas, juga jelas batasnya. Batasnya adalah
hak-hak orang lain, lalu tentu tata tertib, dan kesusilaan menurut apa
yang umum berlaku dalam masyarakat. Misalnya orang tidak berhak atas
nama agamanya sendiri, jadi atas nama kebebasan beragamanya
mengganggu orang lain. Akan tetapi jelas juga bahwa kebebasan
beragama sama sekali tidak dibatasi atas dasar bahwa orang, kelompok
orang umat lain tidak menyetujui ajaran atau ibadatnya mereka. Justru
itulah inti kebebasan beragama bahwa pihak lain tidak berhak
memperoleh keyakinan, kegiatan religius seseorang, sekelompok orang.
Maka misalnya gereja Katolik tidak dapat, tidak boleh menuntut dari
negara untuk membatasi kebebasan beragama saksi Yehova. Alasan
bahwa menurut gereja Katolik mereka memang menyimpang bukan
alasan untuk negara. Gereja Katolik juga tidak berhak menuntut agar
mereka dilarang menanamkan diri Kristiani, meskipun hampir seluruh
Kristianitas mengatakan keluar kristianitas karena inti kepercayaan
Kristiani mengenai Yesus tidak mereka anut. Tetapi penilaian bahwa
saksi “Yehova” adalah menyeleweng yaitu penilaian satu pihak, umat
Kristiani yang lain baik Katolik maupun hampir semua gereja-gereja lain.
Saksi “Yehova” sendiri menilai diri dalam kebenaran dan gereja Katolik
dan gereja-gereja lain sudah dalam kesesatan. Negara tidak mempunyai
mata Tuhan dan tidak kompeten untuk menilai apakah katoliklah yang
benar atau saksi “Yehova” yang benar?
Tentu gereja Katolik boleh mengajar bahwa saksi “Yehova” tidak
benar, agama boleh menarik batas, agama boleh mengatakan itu di luar
kami. Tidak usah setiap agama menerima ajaran apapun sebagai dirinya.
Tetapi itu atas dasar agama itu sendiri. Secara pragmatis tentu saja bisa
dibayangkan bahwa suatu agama minta namanya di..., misalnya
dilindungi secara hukum seperti misalnya suatu nama “sampuh” juga
bisa dilindungi dan tidak boleh dipakai orang lain. Kalau Katolik misalnya,
kalau mau nama gereja Katolik Roma, misalnya ada gereja Katolik lama,
itu kelompok orang Katolik yang 140 tahun yang lalu menolak Konsil
Vatikan pertama tahun 1870 dan mereka menamakan diri alt katolikus di
Jerman dan di Belanda sampai sekarang ada mungkin, di sini juga ada
sedikit.

47
Mereka juga berhak menamakan diri Katolik tentu tidak Katolik
Roma. Sebagai yang terakhir, itu sesuatu yang memang sulit. Tetapi
saya mau menyinggung itu. Itu menyangkut gerakan-gerakan yang
secara mendadak terbentuk dikelilingi orang-orang berkharisma spiritual
sebagaimana sering terjadi di Indonesia yang lalu mengajarkan sesuatu
yang tidak sesuai dengan ajaran agama induknya.
Memang di sini, sebelum saya masuk ini, perlu diperhatikan
bahwa agama Kristiani maupun juga Islam itu banyak mengenal sudah
ratusan tahun fenomena rahib-rahib, tarekat, kelompok Marabut, dan
sebagainya. Jadi sufi mistik dan sebagainya, dimana sekarang kita
melihat ada kelompok-kelompok kecil buritan dalam agama yang mau
menyingkirkan kelompok-kelompok yang dianggap tidak benar ini.
Menurut saya kebebasan beragama menuntut bahwa mereka itu,
bahwa buritanisme itu, tidak diberi ruang tapi kembali kepada
pertanyaan bagaimana sikap terhadap kelompok-kelompok itu? Situasi
sosial budaya Indonesia harus juga diperhatikan. Kiranya bisa
membenarkan kalau terhadap kelompok-kelompok itu pendekatan
semata-mata atas hak dasar kebebasan beragama tidak mencukupi.
Kalau mereka mau dibatasi, memang tetap perlu diperhatikan bahwa
pada prinsipnya mereka berhak mengikuti keyakinan mereka dan mereka
tidak boleh dikriminalisasikan. Mereka juga tidak boleh dipaksa kembali
ke umat asal tetapi mereka barangkali boleh dibatasi, tidak diizinkan
mendakwahkan ajaran isoteris mereka. Mereka boleh dibikin tidak boleh
muncul secara provokatif dan mungkin juga diizinkan tidak mencari
penganut.
Demikian beberapa catatan, terima kasih.

138. KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Baik terima kasih Prof. Magnis. Kita terus dengar tiga ahli dari
Pemerintah ini, baru nanti sesudah semuanya selesai baru kita bisa
saling bertanya secara silang.
Untuk berikutnya Prof. Amin Suma.

139. AHLI DARI PEMERINTAH: PROF. DR. AMIN SUMA

Majelis Hakim yang mulia dan sekaligus yang saya hormati.


Beberapa hal yang akan saya sampaikan berkenaan dengan
persoalan Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965.
Pertama, saya ingin menggunakan istilah baku yang ada di dalam
konstitusi. Istilah konstitusi bukan kebebasan beragama, yang tepat
kemerdekaan memeluk agama dan itu bisa kita diskusikan panjang lebar
secara akademik, ilmiah.
Yang kedua, secara makro kita mengacu kepada.., kalau agama
rujukannya pasti kitab suci, kalau bernegara pasti konstitusi. Konstitusi
kita, bahkan juga agama kita bisa dibedakan antara keduanya tapi

48
mustahil bisa dipisahkan. Sekurang-kurangnya mengacu kepada
konstitusi sendiri mulai dari alinea ketiga, alinea keempat Pasal 29 ayat
(1) dan (2), itu menyatakan bahwa Negara ini merdeka berkat rahmat
Allah Yang Maha Kuasa, itu alinea ketiga, mustahil bisa dipisahkan.
Selama pembukaan ini dipertahankan dan itu sudah dianggap final oleh
bangsa Indonesia.
Yang kedua, di alinea keempat jelas bahwa negara ini disusun
atas dasar Ketuhaan Yang Maha Esa. Yang menganut paham Ketuhanan
Yang Esa, dipastikan setiap agama punya paham Ketuhanan Yang Maha
Esa, walaupun boleh jadi kepercayaan juga ya. Negara kita memang
bukan negara agama, pasti. Tapi izinkan saya menggunakan negara
Indonesia tetap negara beragama. Dalam konstitusinya itu adalah selain
tadi menyebutkan itu, sumpah pun diatur di konstitusi kita ini.
Setidaknya presiden dan wakil presiden harus bersumpah, sumpahnya
dirumuskan pula menurut ajaran agama, demi Allah bagi mereka yang
beragama Islam. Jadi bisa dibedakan, mustahil bisa dipisahkan selama
konstitusi ini kita pegang.
Yang selanjutnya konstitusi ini lahir pada tahun 1945, tepatnya 17
Agustus 1945. Sebelum NKRI ada, negeri ini sudah dihuni oleh manusia
yang umumnya menganut agama. Jadi dari sudut manapun, sudut
pandang sejarah, sosiologi, antropologis, apalagi hukum dan budaya
jelas tidak mungkin dipisahkan agama itu apapun agamanya.
Selanjutnya berkenaan dengan Undang-Undang Nomor
1/PNPS/1965, dari judul sampai konsideran dan isi. Judulnya saja sudah
jelas Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 1/PNPS/1965
tentang Pencegahan, Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Jadi
tidak relevan dengan urusan kebebasan beragama, kemerdekaan
beragama yang saya maksud. Karena kemerdekaan beragama bukan di
sini diaturnya, dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945 dan sudah
dituangkan ke dalam perilaku keagamaan. Jadi yang diatur di sini adalah
penyalahgunaan dan penodaan agama yang ingin dicegah.
Konsideran a dan b itu walaupun masih menggunakan istilah yang
hdup pada waktu itu. Bahwa dalam rangka pengamanan negara dan
masyarakat, cita-cita revolusi nasional dan pembangunan nasional
semesta menuju masyarakat yang adil dan makmur dan seterusnya itu,
konsideran ini bagian dari undang-undang, tidak bisa diabaikan begitu
saja dan seterusnya.
Dari Pasal 1 ini menarik juga sebenarnya, setiap orang dilarang.
Siapa yang dilarang ini? Kalau saya mencoba mengatakannya pertama,
yang dengan sengaja. Dalam agama Islam itu niat, innama a malu
binniyat. Jadi niat itu hanya perbuatan hati, mulut boleh berbohong.
Kalau ada iklan itu mengatakan mulut bisa berbohong, soal rasa tidak
bisa berdusta.
Satu contoh kasus misalnya yang tehormat Pak Arswendo, sayang
sudah pulang beliau. Tadi sudah mengatakan secara terbuka meminta
minta maaf, tertulis disampaikan melalui media. Kalau kita mau

49
mengamalkan hukum agama dan hukum agama dalam hal ini Pak,
Bapak bisa bebas malahan. Karena Quran mengatakan faman ufiya min
akhikhi syaiun fatiba u bil ma ruf wa adza un bi ihsan. Tapi karena yang
diperlakukan adalah hukum pidana kita yaitu KUHP, Anda dihukum.
Beda, tapi kita tidak menuntut. Hukum agama jelas, jika sudah mengaku
boleh jika perlu dibebaskan, lebih ringan. Kenapa? Karena niat lakunya
tidak mau menodai niatnya, inilah dia dan dasar agamanya jelas innama
a’malu binniyat, dihormati itu, jadi dibedakanlah mana hukum agama
dan mana hukum negara.
Yang kedua di muka umum, artinya kalau sendiri, maaf ngoceh
sendirian di kamarnya tidak ada masalah itu dia dan memang tidak ada
orang tersinggung. Tapi ketika disampaikan di muka umum, nah boleh
jadi tadi itu persepsinya akan berbeda dan seterusnya.
Kemudian yang berikutnya, juga di sini terus masih sekitar itu
saja. Jadi yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan, penodaan kita
buka di kamus bagaimana bermacam-macam. Jadi intinya yang saya
katakan Pnps Nomor 1, Pnps 76 Tahun 1965 ini sama sekali bukan
menghalangi kemerdekaan beragama tapi mengatur, melindungi. Jangan
sampai ada orang dengan sengaja menyalahgunakan agama atau
menodai agama apapun alasannya itu yang pertama.
Lalu yang kedua disebut-sebut penafsiran di sini. Orang boleh
bebas menafsirkan semau dia, dia tidak bisa. Saya biar guru besar
melamar jadi wasit main bola pasti ditolak, tidak berhak untuk
menafsirkan bola. Beda dengan komentator. Jadi siapa saja boleh
menafsirkan itu yang punya ilmunya termasuk ilmu agama yang diakui
oleh negara ini. Buktinya ada sekolah mulai dari taman kanak-kanak
sampai perguruan tinggi dilindungi oleh negara, dijamin sampai sekolah
yang bercirikan khusus agama, termasuk untuk tidak mengatakan
terutama agama Islam termasuk sama saja..., termasuk agama Islam,
Kristen dan seterusnya ini. Artinya negara sudah menyiapkan ahli agama
itu sampai ada gelar akademik sarjana agama. Tidak bisa sembarang
orang boleh menafsirkan agama, dicek dulu dia dimana dia sekolahnya,
bidang keahliannya apa? Ada memang yang dibolehkan, saya kira jadi
politisi itu siapa saja boleh tapi untuk hakim saja sarjana hukum, itu
tidak bisa yang tidak sarjana hukum dijadikan hakim. Kalaupun itu juga
selalu ada kalau sarjana lain yang menguasai hukum, jadi kata-kata
bebas boleh merdeka, menafsirkan tidak sembarang orang. Harus ada
koridor, jangankan untuk agama yang dianggap sakral, pemain bola,
pemain tenis, pemain apa saja ada itu. Jadi kriteria itu menjadi penting.
Nah lalu bagaimana untuk bisa membendakannya? Sulit kalau
agama diminta diatur di dalam undang-undang disebutkan satu persatu.
Apalagi ketika ibadah misalnya fardhu wudhu harus diatur Undang-
Undang Pasal 1, harus niat, Pasal 2 mencuci muka, Pasal 3 mencuci
tangan, ya tidak bisa. Itu sudah tradisi di masyarakat diserahkan kepada
ahlinya dan ajaran agama Islam mengakui. Idza bu idza amru illalghai
alihi fanta yu {sic}, kalau sesuatu persoalan diserahkan kepada orang

50
yang bukan ahlinya apapun bidangnya dia bukan hanya agama,
tunggulah kerusakannya. Jadi penafsiran di sini kalau saya memahami
penafsiran dari orang yang memang ahli dalam bidang itu antara lain
dibuktikan kesarjanaan akademiknya itu dari mana dia, sudah ada di
Indonesia ini tidak sulit lagi. Kalau zaman penjajahan dulu mungkin sulit
mencari itu.
Kemudian yang berikutnya, perlu diperhatikan di sini menurut
hemat saya tadi itu dengan yang berikutnya. Selama ini yang diatur oleh
negara dan melalui pemerintah tentunya berkenaan dengan agama
termasuk hukum agama, hemat saya secara mendasar bukan substansi
agamanya. Yang diatur hanya sifatnya yang substantif, jadi sudah tepat
itu. Undang-undang memberikan keleluasaan dan keluwesan terhadap
umat beragama untuk memahami hukum agamanya, tidak dicampuri
oleh pemerintah. Saya ambil contoh saja yang paling kita gampang
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, itu di sana
Pasal 1 itu menyatakan dengan sangat gamblang, “perkawinan ialah
ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita untuk
membetuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.” Sudah sampai di situ saja.
Pasal 2 ayat (1) menyatakan perkawinan dinyatakan sah apabila
dilakukan menurut hukum agamanya masing-masing, tidak diatur dalam
undang-undang. Nah karena hukum agamanya masing-masing yang
agama Islam silakan Islam, yang agama Katolik silakan Katolik, yang
Hindu, Hindu, yang Budha, Budha, yang Konghucu, Konghucu. Jadi
negara memberi petunjuk sesuai, ini amar undang-undang. Kayak apa
persisnya diserahkan orang yang beragama Islam punya jutaan kitab
fikih yang tidak mungkin diatur dalam undang-undang sampai kiamat
tidak akan bisa mengatur, saking banyaknya itu, khazanah itu. Aman
selama ini tidak ada persolan. Mungkin timbul persolaan ketika timbul
bagaimana perkawinan antar agama, itu kan kasus hukum itu dalam
perspektif Islam, lil alhab, katanya. lil alhab.
Jadi kembali yang tadi itu, kalau yang kurang memahami hukum
Islam lalu mencoba menafsirkan hukum Islam, tidak mungkin, kacau
pasti. Karena itu dalam disiplin hukum Islam ada yang disebut
perbedaan itu ada perbedaan yang disebut ikhtilab attanawud. Artinya,
perbedaan hanya dalam bentuk jenis bukan substantif. Ada ikhtilab
atttabat. Dalam hukum positif kita pun berlaku undang-undang tentang
Peradilan tata Usaha negara itu boleh disebut dua istilahnya. undang-
undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara (TUN) tiba-tiba di dalam
penjelasan penutup itu ada undang-undang ini boleh disebut dengan
Undang-Undang Administrasi Negara, itu namanya perbedaan Tanawu
yang di bolehkan, tetapi kalau coba sampai mengatur substansi merusak
tentang Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara itu tidak boleh
lagi.
Jadi, berbeda itu juga ada tolok ukurnya karena itu saya kira
istilah kemerdekaan di Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang sudah

51
baku, ilmu hukum kita mengajarkan sudah baku, kemerdekaan
beragama. Saya ulang, kemerdekaan beragama. Bukan kebebasan,
kebebasan itu adiknya dari liar. Kalau liar, tidak beraturan.
Nah, kalau itu nanti debatnya debat bahasa saya kira bukan debat
hukum. Yang terakhir dari saya tidak usah banyak-banyak, tinggal lagi
nantinya mungkin secara substantif menurut hemat saya, PNPS Tahun
1965 ini sama sekali tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Tahun 1945. Bukan persoalannya dicabut atau tidak, tetapi amanat
Undang-Undang Dasar Tahun 1945 itu sendiri di aturan Peralihan Pasal
1, segala peraturan perundang-undangan yang belum diatur menurut
Undang-Undang Dasar Tahun 1945 ini, dinyatakan berlaku.
Jadi kalaupun itu dari hirarki undang-undang ini dianggap kurang
tepat di Amerika dengan di Undang-Undang di Indonesia Nomor 10
Tahun 2004 tentang Pembetukan Peraturan Perundang-Undangan, saya
kira ini secara substantif tidak ada yang bertentangan dan dia legal
masih bisa dilaksanakan. Kalau itu dianggap kurang pas secara
peraturan hirarki peraturan perundang-undangan maka ini yang dicabut
bentuk perundang-undangannya yang diubah bukan substansinya.
Karena kalau ini tidak ada, tidak ada sebenarnya yang mengatur,
setidak-tidaknya yang sebanding dengan ini saya kira konsideran ini
betul-betul didasarkan atas kepentingan umum, kepentingan bangsa,
dan kepentingan negara. Bukan kepentingan agama ini. Coba kita lihat
itu bukan kepentingan agama bahwa dalam rangka pengamanan
negara, dan masyarakat, cita-cita revolusi nasional, dan pembangunan
nasional semesta menuju ke masyarakat yang adil dan makmur perlu
mengadakan peraturan untuk mencegah menyalahgunaan dan penodaan
agama. Bukan untuk melindungi agama tertentu sama sekali tidak.
Jadi, itu pertama kesimpulan saya tidak perlu dicabut kalaupun
diperbaiki peraturan perundang-undangan ini bukan substansinya
melainkan hirarkis peraturan perundang-undangan yang mungkin kurang
tepat, istilahnya sama seperti di sini Presiden, sama ada di sini
/Menteri/Kejaksaan Agung, memang ada yang kurang tepat.
Yang kedua, saya kira hukum peraturan perundang-undangan ini,
itu hanya merupakan salah satu panduan buat kita warga negara
sebagai warga negara. Kalau sebagai umat beragama, tadi sudah saya
katakana, cukup sudah dengan kitab sucinya masing-masing diserahkan
sama hadits kalau dalam Islam, kemudian ada kitab ulama tidak perlu
lagi, minta kepada negara dibuatkan hukumnya. Nah, karena itu Cuma
memang tadi saya katakan undang-undang sifatnya normatif
administrative. Tidak substantive. Dan saya baca undang-undang
manapun tidak akan mungkin mampu mengatur agama itu. Nah itu,
untuk meneteki anak saja dalam agama Islam harus 2 tahun, Al
Qurannya jelas tidak ada di undang-undang kita itu. Menyuruh sejahtera,
seperti apa sejahteranya, tidak ada. Jadi tidak akan cukup. Justru akan
lebih senang bagi kami agama Islam kalau bagi kami tidak mencampuri
urusan itu.

52
Yang berikutnya adalah yang perlu kita lakukan itu adalah
bagaimana warga negara ini seperti hanya menguasai makna
kewarganegaraan, apa saja kepada negara ini kewajiban dan haknya?
Juga mustinya masing-masing umat beragama berusaha mendidik
orang-orang beragama ini mengerti benar tentang agama-agamanya,
yakin kalau dia faham benar tentang agamanya tidak akan terlampau
banyak itu persoalan-persoalan terjadi, tetapi karena ketidaktahuan itu
menyebabkan orang seenaknya berbicara, seenaknya menafsirkan,
berlindung selalu demi kebebasan, demi hak, dan segala macam.
Terakhir sebagai ilustrasi, jalan itu ada jalan tol, ada jalan umum,
ada jalan segama macam. Jadi kita dudukkan agama ini kalau hemat
saya satu, kita sebagai orang beragama anutannya kitab suci, sebagai
warga negara pegangannya adalah Konstitusi. Dalam hal-hal yang tidak
tercapai di situ, diselesaikan secara musyawarah, kalau perlu mufakat,
tidak bisa mufakat, bisa voting. Terjadi pelanggaran yang mengarah
kepada tindak pidana sudah ada pengadilan. Pengadilannya bertingkat-
tingkat. Pengadilan pertama, banding, terus sampai kepada kasasi.
Jadi kalau ada persoalan hal-hal yang seperti itu, maaf, itu akan
bisa terkurangi untuk tidak bisa dihilangkan sama sekali, tadi itu
pegangannya apa, tujuan kita menjadi umat beragama apa? Tujuan kita
menjadi warga negara dan apa tujuan kita berprofesi.
Itu saja Pak Hakim, Majeleis Hakim Yang Mulia, terima kasih.
Assalamualaikum wr.wb.

140. KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Terima kasih, Prof. Amin suma, dari UIN Syarif Hidayatullah, ya?

141. AHLI DARI PEMERINTAH: PROF. DR. AMIN SUMA

Betul Bapak, Dekan Fakultas Syariah.

142. KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Dekan Syaraif Hidayatullah, berikutnya Prof. Rahmat Syafi’i.

143. AHLI DARI PEMERINTAH: RAHMAT SYAFI’I

Assalamualaikum wr.wb. Majelis Hakim Yang Mulia, izinkanlah


kami sebagai ahli di bidang hukum Islam dan yang berkaitan dengan
Perundang-undangan. Komentar atau pendapat saya yang berkaitan
dengan masalah yang sedang diajukan pada hari ini, ada kata-kata kunci
yaitu penodaan, penyimpangan, diskriminasi dan hak asasi.
Perbedaan itu rahmat, kasih sayang, tetapi penyimpangan
kezaliman dan laknat. Persoalannya apa yang tadi dibahas, apa itu
penyimpangan dan apa itu perbedaan? Sebab banyak kesimpulan, setiap

53
berbeda itu diskriminatif, sangat keliru. Perbedaan itu rahmat, tidak
diskrimatif. Tidak semua perbedaan itu adalah disimpulkan untuk
diskriminatif.
Oleh karena itu, kalau melihat dari tujuan konsederan serta judul
dari undang-undang yang kita bahas pada hari ini yaitu Undang-Undang
Nomor 1 PNPS Tahun 1965, tadi sudah ditegaskan pencegahan,
penyalahgunaan. Penafsiran yang dilarang adalah karena menyimpang
dari pokok-pokok agama. Di sini, menurut pemahaman saya, tidak ada
bertentangan. Sebab berbeda dalam memahami.
Jadi pencegahan sesauai dengan isi dari undang-undang itu kalau
disimpulkan ada pertentangan, tidak ada bukti-bukti yang ada, yaitu tadi
dipotong penafsiran. Penafsiran yang dilarang itu adalah karena
menyimpang dari pokok-pokok agama. Sebenarnya, setiap agama itu
suci, dan mempunyai prinsip-prinsip, dan mempunyai pokok-pokok itu
dan setiap agama itu terhormat dan harus dihormati.
Di Negara Barat saja dilarang menghina orang Yahudi. Jadi
artinya ini sebenarnya undang-undang ini adalah yang dilarang
penyimpangan, penodaan. Baik, apa itu penyimpangan? Penyimpangan
adalah attajawud annil mabadi al asasiah al mutafak alaih. Menyimpang
dari prinsip-prinsip yang disepakati. agama semua masing-masing agama
mempunyai prinsip. Kalau toh ada ada yang berpandangan bahwa sulit
diukur. Persoalannya bukan sulit atau mudah bisa diukur. Ini dapat
diukur terukur tentang pokok agama. Sungguh pun ada hilafiyah tapi
ada yang di sepakati yaitu jangan sampai pokok-pokok yang disepakati
itu adalah menyimpang.
Jadi menurut saya, istilah penyimpangan dari pokok agama itu
adalah benar. Oleh karena itu, yang menyimpang itu kezaliman, perlu
diatasi yaitu perlu dicegah, perlu bagaimana mengatasi penyimpangan-
penyimpangan itu sendiri. Contoh kasus misalnya, ini akhir-akhir ini,
tanggal 12 Januari kemarin, di Jawa Barat itu ada pemahaaman MI,
Milah Ibrohim. Yang menurut kami sudah menyimpang dari prinsip
agama mengapa? Sebab dia menafsirkan pokok agama yang keliru
berdasarkan akal, hati nurani yang keliru, yang menyimpang dari prinsip
agama.
Sebab kalau sudah beragama, menyimpang dari prinsip itu berarti
dia meninggalkan, bukan mencari agama. Contohnya, karena sholat
misalnya jumat tidak wajib, sudah dalam Al-Quran itu wajib. Ditanya
orang itu, ya kami memahami. Jadi pemahaman seperti itu, itu keliru
menyimpang. Sebab ada setiap agama itu yang absolut. Yang absolut itu
harus dijaga.
Oleh karena itu, umat agama merasa ternodai. Persoalan
perasaan itu bisa diukur walaupun masalah batin. Seperti kita
mengatakan prinsip di dalam transaksi itu ridho, rela. Rela itu urusan
batin, tetapi kenapa mengaitkan keridhoan suatu transaksi, suatu
sumpah itu dinyatakan sudah disumpah. Dia bisa diukur dengan
indikator lahirnya. Jadi, dengan demikian tidak beralasan seandainya

54
tidak terukur masalah penodaan, tidak terukur masalah perasaan itu, itu
dapat diukur secara hukum.
Kemudian, kalau tadi yang berkaitan dengan penodaan atau
penyimpangan diskriminasi sudah, kita ini mau berbicara secara filsafat
akademis atau bernegara? Sebab sudah di dalam Konstitusi kita, tadi
sudah disebut bahwa warga negara Indonesia itu berketuhanan. Jadi, di
sini kalau tadi ada pandangan apakah bebas beragama? Itu juga bebas
tidak beragama, tentu tidak harus berketuhanan. Antara lain apapun
yang ada di bumi Indonesia itu adalah harus berketuhanan Yang Maha
Esa.
Jadi tidak ada anti. Ini bukan diskriminatif, pilihan bahwa bangsa
kita untuk memilih tidak bebas untuk tidak beragama, tetapi beragama
secara bebas. Saya kira tidak jadi persoalan kebebasan atau tadi
kemerdekaan beragama itu sudah diakui. Jadi masalah pokok yang
dihadapi kita ini adalah persoalan aktualisasi dari substansi hak asasi itu
sendiri. Walaupun di rujuk di sini ada hak asasi tentang yang Covenan
itu ya boleh harus menjamin orang menyatakan tidak beragama. Di
Indonesia ini harus beragama. Berarti undang-undang HAM Nomor…,
tentang HAM itu adalah yang telah diterima oleh Indonesia. Jadi, tentang
keagamaan itu tidak diterima, tetap warga Negara itu wajib
berketuhanan Yang Maha Esa. Tidak bisa, tidak karena itu adalah
konstisusi atau Undang-Undang Dasar pembukaan dalam Undang-
Undang Dasar itu sendiri.
Pada akhirnya, mengenai seandainya ada kekurangan-kekurangan
secara konkrit itu adalah di dalam…, kekurangan-kekurangan
kelemahannya sedikit. Tapi, sudah cukup sesuai dengan pencegahan..,
judulnya itu sendiri ini bisa menjamin kehidupan beragama dan
menjamin untuk tidak.., atau tadi mencegah penyalahgunaan sebab
contoh kasus akhir-akhir ini di Jawa Barat marak muncul karena
penafsiran menyimpang dari prinsip agama. Apabila tidak ada undang-
undang ini, tentu anarkis.
Jadi aturan ini untuk menjaga terjadi anarkis. Main hakim sendiri
itu yang di alami dan menurut pandangan kami, jadi kembali tentang
aktualisasi substansi dari HAM itu sendiri sebab tidak ada kebebasan
yang mutlak. Seperti tadi diakui, yang ada hanya kebebasan nisbi ada
sejumlah aturan-aturan karena kita pun hidup teratur dan manusia bisa
hidup teratur.
Oleh karena itu tentang hal ini, tentang undang-undang ini, perlu
diperkuat untuk menghormati agama yang tadi substansinya jangan
sampai agama atau pun kepercayaan itu dinodai. Bukan dicabut, justru
sebaliknya akan terjadi seenaknya seperti pernah terjadi yang masa lalu
seenaknya apalagi kalau dicabut itu adalah kita akan terjadi kekurangan
pijakan tentang bagaimana menjaga kehormatan agama itu.
Jadi pada hakikatnya kalau dikaitlkan dengan HAM, hak asasi
universal itu, sebab hak asasi universal itu juga ada hak asasi
kontekstual. Untuk konteks di Indonesia asasinya adalah tidak

55
bertentangan tapi berbeda dengan apa yang dilaksanakan di dunia luar
karena itu karena demokrasi memilih seperti itu, melihat, menjawab
kondisi kondisi sesuai dengan tujuan dari perundang-undangan itu
adalah mengatur, melindungi agar ada ketertiban, ini sudah mencukupi.
Saya kira itu pokok-pokok pikiran yang berkaitan dengan
kedudukan. Hal ini tidak ada yang bertentangan, tidak ada yang
diskriminatif, tetapi justru mempertahankan esensi kehormatan agama
itu sendiri, yang tetapi bagaimana pelaksanaan itu masalah teknis.
Wallahu Allah hu alam, Assalamualaikum Wr.Wb.

144. KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Prof. Rahmat dari mana Pak? UIN mana Pak?

145. AHLI DARI PEMERINTAH: RAHMAT SYAFI’I

Bandung.

146. KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Bandung. Sunan Gunung Jati?

147. AHLI DARI PEMERINTAH: RAHMAT SYAFI’I

Sunan Gunung Jati.

148. KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Prof. Nur Syam. Silakan.

149. AHLI DARI PEMERINTAH: PROF. NUR SYAM

Assalamualaikum Wr.Wb. Selamat siang…, selamat sore hadirin


yang berbahagia. Bapak Ketua dan Majelis Hakim yang terhormat.
Pada kesempatan kali ini, saya akan berbicara dalam disiplin
keilmuan saya, yakni ilmu-ilmu sosial. Oleh karena itu mungkin dari sisi
hukum, saya mohon maaf tidak terlalu menguasai atau mengetahui
secara mendalam.
Bapak Ibu hadirin yang berbahagia, kalau kita membahas
mengenai persoalan kebebasan ini, saya akan memulai dari beberapa
konsep tentang kebebasan.
Yang pertama adalah pandangan atau konstruksi, yang
menyatakan bahwa ada kebebasan mutlak tanpa pembatasan apapun,
ini adalah konstruksi yang dihasilkan oleh kaum liberatian atau kaum
liberalis.

56
Kemudian yang kedua adalah kebebasan menurut kaum otoriter.
di dalam pandangan otoriterisme ini adalah tidak ada kebebasan, yang
ada adalah pembatasan-pembatasan.
Kemudian yang ketiga adalah kelompok yang menyatakan diri
sebagai kebebasan berbasis tanggung jawab sosial atau social
responsibility system, yang menyatakan bahwa kebebasan hanya terjadi
dalam kenyataan adanya tangggung jawab sosial. Nah oleh karena itu,
maka di Indonesia ini kemudian tidak cocok menggunakan konsep
kebebasan menurut kaum liberatian, juga tidak cocok menggunakan
konsep kebebasan orang-orang otoriter, maka kita pasti akan
menggunakan konsep kebebasan berbasis tanggung jawab sosial itu.
Nah oleh karena itu, maka di dalam kehidupan ini kita perlu
menjunjung tinggi yang namanya kebebasan itu, tetapi dalam konteks
tangggung jawab sosial yang seharusnya menjadi bagian penting dalam
kehidupan kita ini.
Kemudian yang berikutnya adalah kebebasan beragama. Saya
mengutip pendapatnya Bu Musdah Mulia, kemarin di Harian Kompas.
Beliau mengatakan semacam ini, “kebebasan beragama tidak berdiri
sendiri tetapi terkait dengan kebebasan lain, yaitu kebebasan berpikir,
dan berkesadaran, atau berhati nurani, kebebasan agama bersifat
mutlak dan berada di dalam forum internum yang merupakan wujud dari
innerfreedom atau freedom to be dan itu termasuk hak nonderogable,
tak bisa ditangguhkan pemenuhannya oleh negara dalam keadaan
apapun. Sedangkan hak untuk mengekspresikan ajaran agama, atau
keyakinan dalam kehidupan publik, misalnya menyebarkan agama dan
mendirikan tempat ibadah, masuk ke dalam kategori hak bertindak atau
freedom to act. Hak ini bisa ditangguhkan atau dibatasi pemenuhannya.”
Saya ulang lagi kalimat terakhir dari Bu Musdah menyatakan, “…hak ini
bisa ditangguhkan atau dibatasi pemenuhannya.” Ini saya garis bawahi
karena ini menjadi poin penting bagi saya dalam kerangka untuk
menjelaskan persoalan kebebasan ini.
Oleh karena itu maka dalam freedom to act itu harus ada yang
memberikan batasan atau mengatur freedom to act dalam kehidupan
beragama bukan sesuatu yang salah. Jadi kalau kemudian ada yang
mengatur mengenai kahidupan beragama dalam pengertian freedom to
actitu bukan sesuatu yang salah. Sebab memang di dalam kebebasan
berekspresi tentu selalu melibatkan orang lain atau masyarakat. atau
dengan kata lain bahwa perlu ada pedoman atau aturan yang mengatur
akan agar freedom to act itu tidak menjadi ancaman bagi keteraturan
sosial.
Majelis yang berbahagia, oleh karena itu maka kita sudah memiliki
sekian banyak aturan perundang-undangan yang terkait dengan
persoalan Undang-Undang 1945 dan juga PNPS Nomor 1 Tahun 1965 ini.
Artinya bahwa agama memang memberikan jaminan bagi warga
negaranya untuk memilih agama dan sebagainya sebagai sesuatu yang
asasi, akan tetapi dalam hal melakukan tindakan-tindakan agama tentu

57
kemudian ada aturan-aturan yang harus diberikan agar terjadi yang
disebut social order itu.
Nah oleh karena itu, maka kebebasan beragama harus berbasis
aturan, di dalam menjalankan kebebasan beragama maka dibutuhkan
suatu peraturan perundang-undangan yang menjamin adanya
keteraturan sosial dan tetap menjamin akan keberlangsungan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Bapak Ibu hadirin yang berbahagia, kalau kita berbicara nengenai
aliran-aliran keagamaan atau sering kali disebut sekte-sekte keagamaan,
maka saya mencoba melihat sekurang-kurangnya ada tiga hal yang perlu
diperhatikan.
Yang pertama dalah aliran keyakinan asli Indonesia. Ini adalah
kelompok yang lahir secara genuine dari dan oleh manusia Indonesia.
Ajaran-ajarannya relatif bebas dari doktrin agama lain yang berasal dari
luar Nusantara. Ada beberapa hal misalnya, sundawilitan, parmalin dan
sebagainya.
Kemudian yang kedua adalah aliran keagamaan yang
ideteologisnya berasal dari luar Indonesia tetapi berkesempatan
berkembang di Indonesia seperti Ahmadiyah, kemudian Bahaiyah, dan
tentu masih ada yang lain tetapi dua hal ini saya rasa sebagai contoh.
Kemudian yang ketiga adalah aliran keagamaan yang
dimunculkan oleh orang Indonesia namun doktrin teologisnya banyak
dipengaruhi oleh agama-agama yang telah ada bahkan terkadang
rumusan-rumusan teologis dari aliran ini beberapa kali mengutip nama
atau istilah yang telah digunakan oleh agama lain yang lebih dulu,
misalnya adalah Al Qaeda, Lia Eden, Sabda Alam, dan sebagainya.
Bapak ibu sekalian yang berbahagia, kemudian kalau di Indonesia
ini kemudian tidak didapati satu aturan yang mengatur mengenai
freedom to act itu, maka ini bisa menjadi potensi konflik yang luar biasa.
Yang pertama adalah potensi konflik masal. Di Indonesia, respon
kaum beragama dalam menanggapi praktik keyakinan lain sebagai
penodaan agama sangat variatif dan mengarah pada konflik. Ada sekian
banyak contoh misalnya kasus Poso, Ambon, Mataram, Banjarmasin, dan
sebagainya.
Kemudian yang kedua adalah potensi konflik yang terkait dengan
anarkisme atas nama agama. Keyakinan atas kebenaran agama
sebenarnya berada pada ruang lingkup sakral dalam tiap diri manusia.
Namun ketika dimensi ini mengalami ketersinggungan karena faktor
eksternal dari lingkungan atau kejadian di luar sakralitas tersebut maka
akan memungkinkan munculnya reaksi yang sangat luar biasa bahkan
dalam tingkat yang sangat ekstrim dapat mengarah pada anarkisme,
vandalisme, dan barbarisme.
Kemudian juga yang ketiga hagemoni kekuasaan dan mayoritas
ini juga menjadi potensi konflik. Ketika beberapa kelompok umat Islam
menyerbu pemukiman Ahmadiyah pada tanggal 9 Juli 2005 dapat dilihat
betapa mayoritas berhak melakukan apapun menjadi terbukti. Sekali lagi

58
hal ini diawali karena perasaan sebagai mayoritas yang berhak
menentukan apapun juga bahkan pada level kemananan sekalipun.
Nah oleh karena itu, maka Peraturan Perundang-undangan ini
kemudian akan mengatur agar potensi konflik ini tidak ada. Salah satu
contoh misalnya adalah ketika terjadi penyerangan semacam ini maka
Peraturan Perundang-Undangan semacam ini dapat digunakan untuk
melakukan tindakan-tindakan hukum yang terkait dengan ini. Bapak Ibu
sekalian yang berbahagia, pada hari ini kita sedang melakukan satu
kegiatan luar biasa kaitannya dengan pengajuan judicial review yang
beranggapan bahwa Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1965
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar dan juga HAM. Menurutnya
bahwa Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 28E sudah menetapkan
bahwa setiap individu bebas untuk beragama dan mengamalkan ajaran
agamanya.
Menurut para pengusul judicial review bahwa di dalam Penetapan
Presiden Nomor 1 Tahun 1965 Negara memberikan batasan terhadap
keberagamaan warganya yang hanya mengakui beberapa agama saja,
sehingga sejumlah agama yang lain yang diyakini oleh warga negara
tidak masuk di dalamnya. Negara telah melakukan diskriminasi terhadap
berbagai keyakinan yang terjadi di Indonesia. Ini adalah beberapa alasan
yang disampaikan oleh Para Penggugat.
Nah, kalau kita cermati lebih mendalam, maka Penpres itu atau
Penetapan Presiden itu sesungguhnya mengatur tentang pencegahan,
atau penyalahgunaan, atau penodaan agama, atau penghinaan agama.
Karena kita tahu bahwa di dalam pasal-pasalnya dinyatakan jika ada
kesengajaan orang atau warga negara yang melakukan penodaan
agama secara umum, maka dia akan dikenai aturan tentang penodaan
agama dengan hukuman yang jelas. Jadi substansinya itu bukan bebas
atau tidak bebas beragama. Akan tetapi pada persoalan penodaan atau
penghinaan agama.
Seperti kita ketahui bahwa hakikat keaykinan beragama itu adalah
sesuatu yang sangat mendasar. ia mengandung sesuatu yang sangat
sakral dan melibatkan seluruh emosi manusia yang sangat mendalam. Ia
adalah sesuatu yang ultimate concern, keterlibatan pada sesuatu yang
tidak terbatas, sehingga ketika persoalan agama ini diciderai atau
dinodai, maka akan menyebabkan orang marah dan sangat mungkin
menimbulkan konflik.
Bukankah banyak konflik sosial bernuansa agama di Indonesia?
Konflik sosial yang kemudian semakin mengeras, sebab agama terlibat di
dalamnya. Ada beberapa contoh yang saya rasa bisa dijadikan sebagai
pegangan. Misalnya adalah contoh kekerasan bernuansa agama di
Banjarmasin yang bermula dari kampanye yang dilakukan pada waktu
hari Jumat dimana saat orang Islam melakukan sholat dan kemudian
karena pawai dilakukan pada jam-jam itu, maka kemudian terjadi konflik
yang sangat keras.

59
Kerusuhan di Mataram, dipicu oleh aksi solidaritas masyarakat
pada peritiwa konflik Maluku dan kemudian ketika melakukan aksi
solidaritas, maka ketika mereka pulang kemudian melakukan
penyerangan terhadap gereja Protestan di Indonesia bagian barat atau
GPIB, kemudian peristiwa ini menyebabkan konflik antaragama di tempat
itu.
Bapak Ibu sekalian yang berbahagia, oleh karena itu maka satu
hal yang menurut saya sangat penting adalah bahwa kalau kita melihat
berbagai macam konflik yang terjadi di Indonesia sekarang ini, konflik
yang terjadi dan luar biasa banyaknya ini, di tahun 2008 kita lihat ada
1.136 insiden konflik dengan berbagai catatan politik 16%, etnis dan
agama 2%, SDA 10%, ekonomi 11%, penghakiman massa 30%,
tawuran 21%, konflik antaraparat negara 1%, pengeroyokan 4%, dan
kasus lain sekitar 5%. Maka menunjukkan bahwa sesungguhnya potensi
konflik di antara kita ini sungguh luar biasa.
Oleh karena itu, menurut saya bahwa seandainya kemudian
dilakukan pengaturan terhadap kebebasan beragama, maka menurut
saya adalah hal yang sangat penting dan sangat wajar karena memang
arus seperti itu.
Oleh karena itu Bapak ibu sekalian, kebebasan harus dibatasi oleh
aturan. Kebebasan beragama dalam konteks membebaskan setiap warga
negara secara libertarian, terutama adalah freedom of act akan
menyebabkan konflik horisontal yang disebabkan oleh perasaan ternodai
oleh tindakan beragama yang menyimpang tersebut.
Bisa dibayangkan dengan tanpa pengaturan yang jelas maka
setiap orang bisa saja mengaku nabi dengan menciderai agama yang
dianut oleh keyakinan masyarakat lainnya. Di Blitar misalnya, ada nabi
yang menjual surga dengan 4 juta…, di Makassar ada yang menyatakan
bahwa kerasulan nabi-nabi sudah ditutup tahun 2000, sehingga di tahun
2001 harus sudah ada nabi baru dan dialah nabinya. Di Jawa Tengah
tepatnya di Jepara ada salah seorang yang mengaku nabi dan kemudian
menyatakan ashaduannasabdakusuma rasullulah dan ini tentu saja bisa
membuat orang lain marah karena merasa bahwa Nabi Muhammad
kemudian diciderai.
Nah oleh karena itu Bapak Ibu sekalian yang berbahagia, maka ke
depannya harus dilakukannya adalah menjamin adanya kebebasan,
tetapi berbasis kerukunan, kerukunan berbasis kebebasan. Kebebasan
beragama adalah kebebasan yang harus dikaitkan dengan kebebasan
orang lain atau dikatikan dengan hak dan kewajiban, dan bukan
kebebasan mutlak sebagaimana diinginkan sebagian kecil masyarakat
Indonesia. Maka peraturan apa pun akan digunakan untuk mengatur
agar kehidupan menjadi rukun, harmoni, dan selamat. Istilah rukun,
harmoni, dan selamat saya ambil dari bukunya Pak Frans Mark Suseno.
Dan oleh karena itu Bapak Ibu sekalian, maka menurut saya agar
terjamin suatu kehidupan rukun, harmoni, dan selamat terutama dari
perspektif agama ini. Maka menurut saya bahwa peraturan presiden…,

60
Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1965 iniperlu diperhatikan, perlu
dilestarikan, dan perlu dipertahankan. Dan oleh karena itu maka
menurut saya, bahwa hanya dengan cara seperti ini maka kehidupan
beragama akan menjadi semakin baik di masa akan datang.
Saya sangat mengapresiasi terhadap apa yang dinyatakan oleh
Pak Hasyim Muzari tadi bahwa logikanya jangan dibalik. Bahwa
kemudian aturan ini kemudian dianggap mengekang dan kemudian
sehingga muncul berbagai macam hal. Tapi yang jelas menurut saya
yang penting adalah bahwa aturan harus ditegakkan dan kemudian
setelah itu masyarakat menjadi baik.
Jadi oleh karena itu, sekali lagi saya nyatakan bahwa peraturan ini
atau penetapan presiden ini perlu tetap untuk diteruskan. Terima kasih.
Wassalamualaikum, wr. wb.

150. KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Baik, terima kasih. Prof. Nur Syam, Professor Nur Syam dari mana
Bapak?

151. AHLI DARI PEMERINTAH: PROF. NUR SYAM

IAIN, Bapak.

152. KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

IAIN sini?

153. AHLI DARI PEMERINTAH: PROF. NUR SYAM

Sunan Ampel.

154. KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Sunan Ampel Surabaya yah? Baik, kita akan buka sekarang kalau
ada yang mau bertanya silang saja dari Pemohon terhadap…, karena
bahkan juga bisa memperjelas pada ahli yang dihadirkan sendiri begitu
juga Pemerintah bisa bertanya dan minta penjelasan kepada Ahlinya
sendiri maupun kepada Ahli dari Pemohon.
Ya, begini jadi, kami menetapkan tadi bahwa untuk sidang-sidang
berikutnya kita akan mengundang KOMNAS
HAM sebagai Pihak Terkait, terkait jadi tidak diundang sebagai
ahli tapi terkait karena KOMNAS HAM punya kepentingan dengan
masalah ini yaitu menjaga juga Hak Asasi Manusia sesuai dengan
Konstitusi. Kita perlu mendengar pandangannya di dalam keterkaitannya
itu sudah ada juga keahlian jadi tidak perlu dipersoalkan apakah tidak

61
lebih tepat di ahli atau terkait? Tapi, kita tadi menetapkannya sebagai
Pihak Terkait.
Yang kedua pada pertanyaan nanti supaya tidak mempersoalkan
bentuk hukum dari PNPS, seperti dikatakan Professor Amin Suma tadi
bahwa hirarkinya tidak benar dan sebagainya. Karena PNPS ini sudah
menjadi undang-undang yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969.
Jadi tidak dipersoalkan hirarki lagi ya? itu sudah selesai ya?
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1965 PNPS lalu dikuatkan lagi dalam
suatu kelompok pengesahan sekian undang-undang yang tadinya PNPS
di 5 tahun 1969 ini masuk lagi. Jadi sudah. Masuk saja ke substansi
sekarang. siapa sekarang yang mau.., Pak Lutfi? Silakan Pak Lutfi,
silakan.

155. PIHAK TERKAIT: H.M. LUTFI HAKIM, S.H., M.H. (MUI)

Terima Kasih, Yang Mulia. Saya akan ajukan beberapa hal kepada
ahli, Prof. Magnis. Yang pertama masalah nomenklatur, penyimpangan,
dan perbedaan. Tadi Prof. Mengatakan bahwa kalau menggunakan
istilah menyimpang ada nada negatif di dalamnya sehingga lebih prefer
menggunakan istilah perbedaan atau berbeda yang dinilai oleh Prof.
Magnis lebih netral atau lebih objektif.
Dalam hal ini saya berbeda dengan Prof. Magnis, saya tidak
mengatakan prof. Magnis menyimpang dari saya, tapi saya mengatakan
berbeda dari saya. Menurut hemat saya apa yang Prof. katakan itu
sesuatu yang sifatnya subyektif, menurut Prof. Magnis sendiri. mengapa?
Karena pengertian perbedaan dan pengertian penyimpangan di dalam
agama Islam itu memang ada perbedaannya. Di dalam agama Islam
perbedaan itu sering atau sangat kita kenal dengan istilah itilaf,
sementara penyimpangan itu inkhirof .
Memang ada dan masing-masing punya wujudnya sendiri-sendiri
yang tidak bisa dicampuradukkan sehingga ini bukan masalah netral.
Justru menjadi tidak netral, menjadi memihak ketika sesuatu yang
menyimpang dikatakan berbeda. Ketika sesuatu itu berbeda dikatakan
menyimpang. Ini menjadi memihak, tidak netral. Jadi, menurut hemat
saya itu subyektif Prof. Magnis dan saya tidak sependapat.
Kemudian yang berikutnya, didalam agama Islam itu perbedaan
tidak menjadi suatu masalah, ada sebagian orang malah mengatakan
rahmat. Yang menjadi masalah ketika penyimpangan,
Prof. Oleh karena itu, apa yang menjadi pengalaman pribadi Prof.
Magnis dalam konteks perbedaan antara penyimpangan dan perbedaan,
menurut hemat saya, tidak stereotype dengan apa yang kami alami di
dalam dunia Islam. Sehingga, tidak dipaksaakan dalam logika dunia
Islam. Kami memiliki logika yang berbeda dari apa yang telah Anda
sampaikan.
Kedua, masalah kebebasan dan pembatasan. Beberapa
pernyataan yang Anda sampaikan, pertama suatu ajaran yang dinilai

62
menyimpang tidak dibenarkan untuk dilarang. Kemudian Anda
mengintrodusir suatu pembatasan, yaitu pembatasan karena hak-hak
orang lain, tata tertib, dan kesusilaan, jadi ada tiga.
Kemudian yang terakhir, boleh saja negara membatasi terhadap
ajaran yang menyimpang, misalnya tidak boleh dilakukan di muka
umum, tidak mengajak orang lain, dan seterusnya, seperti yang telah
Anda katakan pada penutup dari penryataan Anda.
Tanggapan saya, apa yang Anda katakan pada yang pertama,
suatu ajaran yang dinilai menyimpang, tidak dibenarkan untuk dilarang
itu contradictiointerminis dengan apa yang Anda katakan pada
berikutnya. Boleh saja negara membatasi terhadap ajaran yang
menyimpang, tentu saya lebih pro pada Anda yang kedua, tapi saya
berbeda dengan Anda yang pertama. Saya tidak tahu Anda sebetulnya
yang pertama atau Anda sebetulnya yang kedua?
Kemudian pembatasan tiga hal itu, yang Anda katakan
berdasarkan hak-hak orang lain, tata tertib, dan kesusilaan, kalau saya
boleh berpendapat, itu pembatasan yang sangat primitif, hanya pada
pokok-pokok saja belum modern atau tidak modern.
Pembatasan secara modern sekarang ini, seperti dalam 28J
Undang-Undang Dasar 1945, ada nilai-nilai agama misalnya disitu, dalam
Covenan dikenal pembatasan berdasarkan kesehatan atau health.
Jadi menurut hemat saya, ini pembatasan yang sangat lama,
sangat usang, yang sudah banyak diperbaharui atau ditambahi dengan
pembatasan-pembatasan yang lain.
Dari konteks dua hal yang saya sampaikan tadi itu, yang jelas
saya menarik kesimpulan dari apa yang Prof. katakan terutama berkaitan
dengan adanya penyimpangan yang perlu dibatasi, menurut hemat saya,
sebetulnya Prof. mendukung adanya PNPS ini. Mengapa? Karena PNPS
ini memang memberi larangan bukan pada wilayah pribadi, bukan pada
wilayah private, tetapi ketika orang mengemukakan berdiri di depan
umum, mengajak orang lain, ataupun mempromosikan keyakinannya
yang menyimpang itu kepada orang lain. Demikian Yang Mulia, terima
kasih.

156. KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Baik, dari PBNU?

157. PIHAK TERKAIT: SOLEH AMIN (KETUA LPBNU)

Terima kasih, Yang Mulia. Saya ingin mengajukan pertanyaan


kepada Prof. Magnis selaku Saksi Ahli dengan sebuah uraian terlebih
dahulu.
Sebagai suatu fakta bahwa pengaturan larangan atau pun
pencegahan penodaan agama ini ada dibeberapa negara, dimana ajaran

63
Katolik itu mempunyai pengaruh yang kuat atau tertanam sebagai suatu
tradisi dalam kehidupan masyarakat yang sekarang kuat.
Contohnya sekarang ini dapat kita lihat di Irish republic, Republik
Irlandia. Republik Irlandia pada bulan Juli 2009 justru mengintroduksi
(suara tidak terdengar jelas) yang baru. Dan kemudian di Irlandia ini
dalam konstitusinya tahun 1936, itu juga jelas-jelas memberikan
perlindungan termasuk dari penodaan agama, namun hanya terbatas
kepada agama Katolik saja. (suara tidak terdengar jelas) di Irish
Republic ini mulai berlaku sejak Januari tahun 2010.
Kemudian hal yang sama juga ada dibeberapa negara lain di
Eropa yang mempunyai tradisi Katolik yang kuat. Kemudian kalau kita
ikuti persidangan dari general assembly of united nation, maka pada
tanggal 23 Desember 2009 itu ada resolusi walaupun non binding
resolution tentang definition of religion.
Dalam resolusi ini 80 negara pro atau mendukung resolusi
tersebut dan 80 negara itu bukan semuanya Negara Islam. Banyak
negara-negara yang penduduknya bertradisi christianity. Kalau kita tadi
menjelaskan penjelasan Prof. yang pada intinya bahwa dari segi ajaran
ataupun doktrin Katolik maka tidak bisa orang Katolik atau Gereja Katolik
meminta kepada negara untuk mengkategorikan suatu penyimpangan
seperti dalam kasus Yehopa tadi, bagaimana Prof. Magnis bisa
menjelaskan fakta bahwa di beberapa negara Katolik, termasuk di
negara-nengara Katolik yang mendukung resolusi tadi, juga mempunyai
aspirasi bahkan aspirasi itu menjadi nyata bahwa pengaturan tentang
larangan dan pencegahan penodaan agama itu memang diperlukan?
Terima kasih.

158. KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Tadi ada Pemohon, ya silakan.

159. KUASA HUKUM PEMOHON: M. CHOIRUL ANAM, S.H.

Ya, terima kasih.

160. KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Saudara siapa namanya disebut ya karena nanti mau direkam.

161. KUASA HUKUM PEMOHON: M. CHOIRUL ANAM, S.H.

Nama saya Muhammad Choirul Anam. Yang pertama kami ingin


meminta ketegasan dari Profesor Magnis soal penggunaan kata
‘menyimpang’ dan ‘perbedaan.’ Karena kalau merujuk kepada filsafatnya
Derida, setiap kata selalu membawa makna dan keinginan dari
pemiliknya, jadi dia memang bisa berbeda. Jadi menarik ketika Prof.

64
Magnis mengatakan berbeda bisa dilekatkan kepada negara, tetapi
menyimpang dikembalikan kepada internalnya.
Menyimpang tidak boleh dilekatkan kepada negara. Walaupun
kami tadi sudah sedikit dijelaskan, kami mohon penjelasan yang secara
eksploratif sehingga lebih gamblang karena ini penting sekali.
Yang kedua, kami juga ingin konfirmasi dan penjelasan yang lebih
dalam soal last femmy dan religius definition karena memang ada
resolusi baru kemarin dan kami beberapa NGOHAM juga memberikan
opini kita yang kita kirim kepada united nation waktu itu, waktu
pembahasan pertama trans revolusi dan sebagainya.
Yang pada intinya sebenarnya memang dia forum internum
sangat dihormati dan tidak bisa diintervensi, yang diintervensi adalah
forum externum diatur di situ sehingga forum externum tidak
menimbulkan permusuhan atau tidak menggunakan penyalahgunaan
agama, salah satunya misalkan tidak boleh atas nama agama mencabuli
perempuan, tidak boleh atas nama agama memprovokasi, atas nama
agama tidak boleh melakukan kekerasan dan sebagainya. Ini biar jelas
bagaimana prinsip secara internasional yang kemarin juga baru disahkan
oleh PBB.
Oke, itu untuk Prof. Magnis. Untuk Ahli dari Pemerintah. Yang
pertama untuk Pak Nur Syam. Kami terimakasih sekali untuk selalu
diingatkan bahwa dan ini juga menjadi statement kami dipermohonan ini
bahwa permohonan ini tidak menganjurkan kebebasan mutlak.
Tadi Pak Nur Syam juga meng-quote salah satu statement
Pemohon di Kompas, freedom to act begitu, kami ucapkan terima kasih
untuk mengingatkan forum ini bahwa permohonan kami sekali lagi tidak
menginginkan kebebasan mutlak. Jadi memang harus ada yang diatur.
yang diatur adalah freedom of act-nya saya setuju tadi dijelaskan
bagaimana kok tiba-tiba ada orang yang menjual tiket bias masuk surga
400 ribu dan sebagainya. Penipuan atas nama agama memang harus
diadili, dibuktikan penipuannya dibuktikan dalam mekanisme yang jujur,
adil, dan pengadilan yang kredibel dan saya juga ucapkan terimakasih
bahwa ternyata menurut riset yang beliau sediakan, 2% konflik sosial itu
muncul karena persoalan agama jadi kami mohon tidak lagi
menggunakan fenomena kekerasan, ini ancaman kekerasan dan
sebagainya, dan sebagainya. Seperti maaf, kalau boleh menyinggung
sidang yang kemarin, kalau ini dicabut maka akan menjadi kekerasan.
Riset ini menunjukkan 2%. Dan itu pun juga kalau boleh ditanya
karena saya membaca artikel beliau di web-nya kekerasan-kekerasan ini
muncul konflik-konflik itu muncul juga karena soal kekerasan. Ada
penyerangan ahmadiyah yang tadi disebut ada in, ada itu, yang baik
untuk kita ingat bersama sehingga memang…, ayo dipikirkan way out-
nya.
Pertanyaan saya, apa way out-nya untuk Pak Nur Syam, freedom
of act sebagai pembatasan. Apa kira-kira yang paling penting dibatasi di
situ sehingga memang kita tidak menyalahi kebebasan beragama itu

65
sendiri. Semangatnya kepingin memberikan perlindungan terhadap
orang yang beragama, pemeluk agamanya, tapi impelementasinya atau
karakter hukumnya malah merampas kebebasan beragamanya. Itu jadi
pertanyaan saya apa kira-kira sehingga bisa menjadi rujukan kita ke
depannya way out-nya seperti apa.
Yang berikutnya, untuk Prof. Rahman. Saya sangat setuju bahwa
perbedaan adalah rahmat. Seperti juga kita yakinkan dalam permohonan
kami tulis juga bahwa memang perbedaan sesuatu yang sunatullah yang
susah untuk disamakan. Kami juga sepakat itu jadi pertanyaannya
adalah jadi menarik ketika prof. Rahmat mengatakan bahwa sebenarnya
(suara tidak terdengar jelas) harus pokok-pokok beragama, pokok-pokok
agama itu yang harus disepakati. Mamang susah. Jangan ngomong
susahnya tapi memungkinkan.
Nah, pertanyaan saya apakah dalam pokok-pokok agama itu
dimungkinkan juga karena itu adalah hasil kesepakatan, pokok-pokok
agama tertentu misalkan itu juga bisa lain. Kalau memang dia tidak
sepakat, apakah itu juga dihormati definisi tentang pokok-pokok
beragama? Dalam permohonan kami, kami jelaskan bahwa pokok-pokok
agama juga ternyata di beberapa intelektual muslim karena rujukannya
Islam dipermohonan kami, dikatakan bahwa pokok-pokok agama bisa
berbeda sehingga kalau rujukannya adalah pokok-pokok agama, lah
pokok-pokok agama yang mana? Apakah juga mengakomodir pokok-
pokok agama yang berbeda dari yang disepakati? Kalau misalkan tidak
diakomodir apakah dia boleh dihukum atas nama perbedaan atau atas
nama penodaan agama karena berbeda? Itu untuk Prof. Rahmat.
Semoga perbedaan adalah rahmat juga.
Yang berikutnya untuk Pak Prof. Amin, kami sangat setuju bahwa
tafsir harus dilakukan oleh seorang intelektual karena hasil dari tafsir itu
dipertanggungjawabkan juga kepada publik. Jangan sampai publik juga
merasa ditipu, tapi pertanyaannya adalah…, dan saya sepakat dengan
sarat itu. Kalau misalkan ada tafsir yang dilakukan oleh intelektual yang
memang menguasai betul ilmunya, tapi berbeda dengan tafsir mayoritas,
atau berbeda dengan tafsir yang digunakan oleh negara, apakah dia
boleh dikatakan menyimpang dan sesat? Atau boleh dia dihukum karena
keyakinan dia? Karena bagi kami tafsir yang dilakukan adalah bagian dari
klaim kebenaran dan klaim kebenaran adalah bagian dari keyakinan dan
keyakinan adalah bagian dari keimanan yang paling hakiki. Begaimana
mungkin? Vontoh misalnkan, dalam sejarah Islam kita kenal maaf, kalau
saya kurang menguasai misalkan, contoh Imam Hambali dia dihukum
karena perbedaan pandangan agamanya dengan pandangan agama
otoritas negara waktu itu. Atau Ibnurus yang juga dihukum? Apakah
Ibunurus, apakah Imam Hambali bukan orang yang intelektual?
Ketakutan kami kenapa kami memohonkan Undang-Undang PNPS ini
secara kelam masa lalu jangan sampai terulang lagi di negeri tercinta ini.
Terima kasih.

66
162. KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Sudah ya, dari Pemohon masih ada?

163. KUASA HUKUM PEMOHON: ULI PARULIAN SIHOMBING, S.H.,


LL.M.

Masih ada.

164. KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Silakan.

165. KUASA HUKUM PEMOHON: ULI PARULIAN SIHOMBING, S.H.,


LL.M.

Ya, terima kasih Yang Mulia. Pertanyaan saya untuk Prof. Amin
Suma sebagai ahli di sini. Khusus umtuk menyoroti tadi masalah
kebebasan beragama. Memang di dalam agama dalam Pasal 29
dijelaskan tentang kemerdekaan beragama. Cuma dalam
perkembangannya khususnya dalam Pasal 28E itu ditegaskan tentang
tiap orang bebas memeluk agama. Bukan merdeka untuk memeluk
agama.
Nah, ini memang dalam perkembangannya ada pergeseran, tidak
kemerdekaan tetapi kemudian berkembang jadi bebas.
Nah, menurut pandangan ahli sebagai seorang Profesor, hal ini
seperti apa? Terima kasih.

166. KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Masih ada silakan?

167. KUASA HUKUM PEMOHON: ADAM M. PANTAUW, S.H.

Masih Yang Mulia, pertanyaan yang pertama kepada Profesor


Magnis. Tadi Hakim Konstitusi menyebutkan definisi apa yang disebut
dengan hujat atau (suara tidak terdengar jelas) yaitu mengambil sifat
Tuhan, atau mengaku memiliki sifat-sifat Tuhan, sedangkan tadi Profesor
Magnis mengatakan dengan berpretensi untuk bisa menentukan pokok-
pokok ajaran agama, suatu negara itu dianggap mengambil sifat Tuhan
atau memiliki Mata Tuhan dan apakah dengan demikian negara dalam
hal ini menurut Prof. Magnis melakukan hujat karena mengambil sifat-
sifat Tuhan yang hanya Tuhan miliki dengan menentukan apa yang
benar dan apa yang tidak?

67
Pertanyaan saya selanjutnya kepada Prof. Amin Suma dan Prof.
Nur Syam. Ini mengenai yang tadi disebutkan oleh Prof. Nur Syam
bahwa bukan soal kebebasan atau tidak bebas berarti agama, tetapi soal
menodai. Saya baca tulisan dari Prof. Nur Syam yang menulis tentang
konflik yang terjadi antarumat begarama itu sebenarnya berasal dari
religion, way of knowing yang masing-masing agama punya klaim
sendiri-sendiri.
Nah bagaimana menurut pendapat Prof. Bukankah dengan
demikian mereka yang berbeda atau katakanlah menyimpang meyakini
atau memiliki pokok-pokok mereka sendiri yang mereka anggap penting
dan perlu yakini dan bukankah dengan demikian mereka juga
mendapatkan kebebasan dan perlindungan apa yang mereka yakini itu
dan juga akhirnya tidak bisa dengan begitu gampangnya, dengan yang
lainnya itu? Stau Prof Syam menulis di sini others.
Apakah dengan demikian mereka harus dilindungi dan mereka
bahkan berhak untuk juga menuntut mereka yang mengatakan bahwa
mereka itu menyimpang juga, justru menodai agama mereka sendiri,
dan Profesor tadi juga menyebutkan ada beberapa potensi konflik ada
konflik masal, tetapi ada tulisan Prof. Syam itu sepertinya kalau saya
lihat di website itu ada yang luput Prof. untuk sebutkan yaitu bahwa
sebenarnya Undang-Undang ini tidak memberikan standar yang baku
tentang apa yang disebut tentang Penodaan Agama, dan itu yang
sebenarnya yang menjadi akar dari konflik bukan perbuatan penodaan
itu sendiri tetapi tidak jelasnya tafsir dengan apa yang disebut dengan
penodaan agama itu sendiri, sehingga kalau dalam tulisan Prof. Syam
disebutkan bahwa jangan sampai ada orang yang mengeluarkan tafsir
dari penodaan agama yang akhirnya dikeluarkan itu untuk
menguntungkan si orang yang mengeluarkan tafsir itu sendiri.
Ini berkaitan dengan pertanyaan saya selanjutnya…, dan tafsir itu
biasanya disepakati. Nah apakah dalam hal ini tafsir mengenai penodaan
agama juga bisa kita sepakati? Sedangkan banyak pihak yang sudah
hadir dalam Pihak terkait mengatakan itu sulit atau bahkan juga
mustahil. Demikian, Majelis Hakim.

168. KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Masih ada? Apakah sama pertanyaannya, beda. Silakan.

169. KUASA HUKUM PEMOHON: JUDIANTO SIMANJUNTAK, S.H.

Beda Majelis, terima kasih Majelis. Yang pertama yang saya


tanyakan kepada Prof. Magnis, Prof tadi mengatakan bahwa
penyimpangan itu urusan internal agama, dan perbedaan itu urusan
internal agamanya. Prof. Magnis apakah solusinya jika dalam komunitas
agama tertentu, ada penyimpangan? Apakah yang bisa dilakukan oleh
internal agamnya? Dan kemudian kalau memang negara menyatakan itu

68
berbeda, apa yang bisa dilakukan oleh negara? Kemudian, Prof. magnis
mungkin harus ada ketegasan dalam forum ini, apakah negara dapat
mengadili keyakinan warganya?
Kemudian pertanyaan kepada Pak Amin Suma dan Ahmad Syafi’I,
ada pernyataan yang tidak konsisten dalam hal ini karena di satu sisi
mengatakan kalau tidak salah kebebasan beragama. Pak Amin tadi
bilang kemerdekaan, soal perbedaan kalimat tidak masalah, tetapi
esensinya sama.
Lalu kemudian, Pak Rahmat Syafi’i mengatakan perbedaan itu
rahmat, tetapi ketidakkonsistennya di sini sebenarnya adalah ketika
dikatakan bahwa kalau ada penafsiran yang menyimpang itu, itu menjadi
masalah. Padahal esensi kebebasan beragama itu adalah sekalipun itu
berbeda dengan atau menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama,
sebenarnya tidak menjadi masalah.
Jadi sebenarnya di sini tidak ada konsistenan karena ada
mengatakan di satu sisi mengatakan kebebasan, tetapi di sisi lain
menyatakan bahwa tafsir…, bahwa perbedaan tafsir itulah yang manjadi
masalah.
Kemudian untuk Pak Amin Suma, dikatakan toh, negara tidak bisa
mencampuri urusan agama tapi di sisi lain dikatakan bahwa negara
menyiapkan ahli. Apakah dalam hal ini bukan merupakan bagian dari
campur tangan negara invertensi negara? Terima kasih Majelis.

170. KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Ya, baik saya tegaskan dulu namanya biar dicatat oleh panitera.
Saudara siapa?

171. KUASA HUKUM PEMOHON: ULI PARULIAN SIHOMBING, S.H.,


LL.M.

Saya Uli Parulian Sihombing.

172. KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Saudara, ya?

173. KUASA HUKUM PEMOHON: ADAM M. PANTAUW, S.H.

Saya Adam Pantauw.

174. KUASA HUKUM PEMOHON: JUDIANTO SIMANJUNTAK, S.H.

Saya Judianto Simanjuntak.

69
175. KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Oke. Dicatat Fazdlun. Silakan Pak Alim mau tanya tadi? Ya


sekalian biar ditampung karena waktunya tinggal 25 menit ya. Dengan
jawabannya agak singkat-singkat Bapak.

176. HAKIM ANGGOTA: DR. MUHAMMAD ALIM, S.H., M.HUM.

Sangat singkat Prof. Insya Allah. Barangkali semacam pertanyaan


juga semacam sharing kepada para guru besar. Pertama kepada Prof.
Dr. Amin Suma. Tadi ahli mengatakan bahwa ada hadist Nabi
mengatakan, “Idza usnida al-amru ila ghairi ahlihi fantadhiri as-sa’ah”
kalau suatu urusan diserahkan kepada bukan ahlinya, jangan tunggu
rahmatnya tapi kehancurannya dalam kaitan penafsiran-penafsiran yang
dilakukan orang-orang yang merasa dirinya tahu padahal mungkin tidak
tahu. Saya teringat kepada seorang ekonom Amerika yang jauh di
belakang Islam dia mengatakan yang bernama Frans Webber Taylor, dia
mengatakan begini dalam satu sistem ekonomi itu digunakan istilah the
right man in the right place. Penempatan tenaga sesuai dengan
keahliannya. Itu di dalam ilmu ekonomi biasa disebut spesilisasi atau
tipesasi atau tailorisasi. Kalau kita lihat Islam pada jaman Rasullulah
mengucapkan hadist tadi masih bisa orang berprorfesi sebagai tukang,
profesi sebagai petani, berprofesi sebagi pedagang dan lain-lain. Tapi
kok Nabi sudah mengatakan sedemikian jauhnya. Nah, berarti itu dia
merefleksi suatu keadaan dimana dibutuhkan suatu spesialisasi yang
betul-betul seperti pada saat kini. Kalau saya umpamanya sebagai
seorang sarjana hukum disuruh mengoperasi kepala orang di rumah
sakit, pasti tidak akan membawa rahmat tapi musti kehancuran. Jadi
betapa luar biasanya Islam itu memberi satu solusi untuk melihat
merefleksi mada depan yang jauh dan modern.
Masih kepada Pak Suma, bagaimana pendapat ahli mengenai tadi
ada disebut sila Ketuhanan Yang Maha Esa yang terdapat dalam alinea
keempat pembukann Undang-Undang Dasar 1945, sekedar
mengingatkan kepada ahli dalam putusan pengadilan menurut Undang-
Undang Nomor 4 tahun 2004 bahkan mulai undang-undang (suara tidak
jelas) tentang Kekuasaan Kehakiman itu dikatakan peradilan dilakukan
demi keadilan berdasarkan Ke-Tuhanan Yang Maha Esa. Disamakan
sejalan dengan itu. Ini kaitannya dengan penerapan demi Ke-Tuhanan
Yang Maha Esa Pasal 29 juga negara berdasar atas Ke-Tuhanan Yang
Maha Esa.
Kemudian saya tujukan kepada Prof. Dr. Rahmat Safi’i. Tadi ahli
mengutip satu tulisan dimana dikatakan bahwa tentang pelaksanaan
hak-hak asasi untuk itu bisa ditunda atau bisa dibatasi. Itu barangkali
persis sejalan dengan Pasal 28J ayat (2) saya baca, “Dalam menjalankan
hak dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan

70
yang ditetapkan dengan undang-undang dan seterusnya, semata-mata
itu untuk menghormati kebebasan orang lain berdasarkan pertimbangan
moral, nilai-nilai agama dan seterusnya.” Dikaitkan dengan ketentuan itu
dengan pengujian undang-undang yang membatasi supaya orang jangan
menodai agama, bagaimana pendapat ahli tadi tentang itu?
Kemudian pertanyaan kepada Bapak Prof. Dr. Nursyam, persis
sama pertanyaan kepada bapak tadi mengenai pembatasan yang
ditentukan dalam undang-undang, terima kasih Pak Ketua.

177. KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Silakan Pak Sodiki.

178. HAKIM ANGGOTA: PROF. DR. ACHMAD SODIKI, S.H.

Terima kasih, saya ingin penjelasan dari Prof, dari Pak Frans ya,
barangkali ada latar belakang perbedaan yang tajam tentang kebebasan
beragama ini dari perspektif negara-negara barat yang sekuler dengan
negara Indonesia yang katakanlah religius, saya katakan religius karena
begitulah kira-kira pendapat saya.
Untuk menilai tentang kebebasan beragama di Indonesia tentu
tidak bisa kita menggunakan kacamata dari negara-negara..., Prof. Umar
Senoadji mengatakan, “Mengajarkan agama di sekolah-sekolah negeri di
Amerika adalah inkonstitusional.” Di sini wajib mulai dari kanak-kanak
sampai perguruan tinggi.
Yang kedua. Perdana Menteri Sarkozy dari Prancis melarang guru
memakai hair scraft atau semacam kerudung, jilbab. Dengan alasan
bahwa seseorang yang tam…, pelayan publik itu tidak boleh
menampilkan ciri-ciri keagamaannya. Di Indonesia, kebebasan itu pakai
atau tidak.
Di dalam buku tentang kebebasan beragama yang tebal itu, ada
terjemahnya, saya tadi membaca bahwa blassfemi itu hanya untuk
melindungi agama Kristen. Di inggris, saya baca. Pengadilan menolak
untuk mengadili Salman Rusydi. Padahal undang-undang ini untuk
semua agama. Bagaimana kita bisa menjelaskan ya, perbedaan
pandangan begini dari kacamata Indonesia? Yang saya katakan bahwa
ada perbedaan-perbedaan tentang pandangan bahwa penodaan
terhadap agama itu disikapi yang berbeda dengan yang di sana.
Nah, di sinilah saya ingin mendapatkan suatu penjelasan yang
lebih bersifat filosofis latar belakang, supaya kita bisa tidak memahami
pada sisi-sisi yang lebih dangkal, tetapi lebih pada sisi-sisi yang
menyangkut budaya dan sebagainya. Yang menarik justru pernyataan
Pak Frans bahwa ini kalau ada hal yang demikian itu, itu mereka dibatasi
supaya tidak ada dakwah, tidak mencari penganut, dan sebagainya kalau
ada perbedaan begini.

71
Nah, saya melihat dari pernyataan terakhir ini justru barangkali
ada…, sebetulnya undang-undang ini bukan hanya untuk satu agama,
tapi justru malah lebih luas lagi untuk semua agama.Terima kasih.

179. KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Hakim Harjono.

180. HAKIM ANGGOTA: DR. HARJONO, S.H., M.C.L.

Terima kasih. Saya hanya bertanya kepada Prof. Amin Suma dan
Prof. Syafii karena yang menyinggung persoalan hukum. Tadi Prof.
Magnis Suseno tidak bicara persoalan hukumnya, tapi dua dari
Pemerintah bicara persoalan hukumnya. Kalau kita bicara kebebasan
beragama dijamin, dilindungi, penodaan mestinya juga tidak boleh. Tapi
persoalannya adalah, kita bicara PNPS yang ada Pasal 1-nya. Nah, ada
Pasal 1-nya. Bicara PNPS yang ada Pasal 1-nya. Di dalam Pasal 1 itu ada
hal-hal yang kita coba apakah itu memang melindungi beragama?
Apakah itu juga kemudian melarang orang melakukan penodaan
beragama? Ataukah juga kemudian sudah melebar melangkah ke dalam
persoalan itu menyangkut mengurangi orang berkeyakinan. Itu dulu.
Coba Bapak baca nanti Pasal 1-nya itu bunyinya kan seperti ini, “Setiap
orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan…”. Saya
berhenti menceritakan dulu karena di sini yang paling luas tafsirannya
menceritakan, melakukan penafsiran, menceritakan melakukan
penafsiran ya. Kalau kita lihat ketentuan Pasal 1 ini, bagaimana kalau ini
kemudian diterapkan pada persoalan-persoalan antara mereka yang
beda agama? Menceritakan penafsiran agama itu, ya. Satu itu. Yang
kedua adalah kalau itu kemudian intern satu agama saja. Yang
berikutnya adalah, apakah ini juga sudah menampung kalau sampai ada
klaim-klaim agama baru yang beda? Tempatnya di mana itu?
Jadi, kebebasan beragama kita sudah akui bahwa penodaan itu
juga tidak baik, oleh karena itu tidak boleh. Tetapi Pasal 1 bunyinya
seperti itu yang menyatakan, “Setiap orang…”, siapapun juga tidak
terbatas. Oleh karena itu kemungkinan antar orang yang memeluk
agama lain juga bisa, lalu menceritakan, sangat luas apa yang dimaksud
menceritakan, melakukan penafsiran, lalu masuk dalam pengertian
Pasal 1 yang ada ancaman pidananya, karena Bapak berdua sudah
bicara tentang hukum. Ini hukumnya ada di Pasal 1. Saya kira itu, terima
kasih.

181. KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Arsyad Sanusi.

72
182. HAKIM ANGGOTA: DR. H. M. ARSYAD SANUSI, S.H., M. HUM.

Terima kasih, Pak Ketua. Ini saya tujukan kepada Prof. Magnis,
kalau hukum tadi sudah pada Ahli dari Pemerintah, sekarang ini bicara
tentang filosofis, sosiologis, budaya. Dari catatan saya ini, alasan hukum
daripada Pemohon mengajukan judicial review di Mahkamah Konstitusi
ini, ini ada tujuh macam alasan. Karena tujuh macam alasan ini antara
lain pertama itu diskriminasi agama, bahwa Undang-Undang 1 PNPS
1965 ini mengandung muatan itu diskriminasi.
Yang kedua ada relativisme kebenaran, itu ada dua, nah ini
mungkin bidangnya Pak Magnis ini. Kemudian yang ketiga, ini yang
dipersoalkan tadi Kuasa Pemohon bahwa ini alasan kami ini menyangkut
berkaitan dengan forum privat dan forum publik, yang Saudara
kemukakan di dalam posita Saudara itu berkaitan dengan forum
internum ya, berhadapan dengan forum eksternum. Bahwa keyakinan
beragama memiliki dua dimensi yaitu ruang privat dan ruang publik,
adalah merupakan hak asasi manusia apabila seseorang meyakini
sesuatu secara privat, individu, subjektif, dan selanjutnya melakukan
komunikasi eksistensi spiritual individunya kepada publik. Sehingga
keduanya ini merupakan bentuk ekspresi kebebasan berkeyakinan, itu
alasan yang ketiga daripada permohonan pengujian ini.
Kemudian yang keempat eksistensi PNPS, bahwa secara histories
dibentuk dalam keadaan darurat, ya itu. Kemudian alasan yang kelima
adalah HAM, bahwa ada pembatasan ini larangan. Kemudian
kriminalisasi agama, ya. Kemudian yang ketujuh ini tentang status SKB,
yang saya ingin pertanyakan kepada Prof Magnis. Tadi bahwa
menggambarkan negara ini netral, seharusnya netral dalam kebebasan
atau kemerdekaan beragama. Kemudian ditanggapi Saudara Pengacara,
Penasihat Hukum, Saudara dari Majelis Ulama Indonesia, itu bahwa itu
pemerintah netral. Nah ini yang saya pertanyakan kepada Prof, sejauh
mana legitimate pemerintah di dalam campur tangan mengintervensi
manakala terjadi penghujatan penodaan agama.
Nah kemudian oleh karena Penasihat Hukum Pemohon ini selalu
berbicara tentang apa patokan definisi tentang penghujatan penodaan
agama, undang-undang itu memang tidak secara expresive perbis
menyatakan inilah penodaan agama tetapi undang-undang ini
menjelaskan bentuk-bentuk perbuatan penodaan agama. Diperjelas lagi
di dalam Pasal 156A di situ permusuhan, masih ada lagi kalimat-kalimat
itu. Nah sekali lagi, apakah pemerintah harus tinggal diam kalau ada
penodaan agama, ada penghujatan agama, katakanlah antar agama
atau kemudian agama yang satu dengan agama yang lain, nah itu.
Nah ingin saya jelaskan di sini, salah satu referensi bahwa
penghujatan agama abad ke-21 ini oleh PBB diminta seluruh dunia untuk
mengambil tindakan melawan pencemaran dan penodaan terhadap
agama. Abad ke-21 masalah blassfemi telah menjadi isu penting yang
diperhatikan PBB. Majelis Umum PBB telah mensahkan beberapa resolusi

73
yang menyerukan masyarakat dunia untuk mengambil tindakan melawan
penodaan, pencemaran, penghinaan, penghujatan atas agama. Nah ini,
ini saya ingin bertanya kepada Prof, sejauh mana itu di alam budaya
bangsa Indonesia ini? Kalau di sini ada mayoritas dan minoritas terjadi
penodaan, sejauh mana pemerintah yang notabene pemerintah
tugasnya adalah bagaimana menciptakan ketertiban masyarakat,
ketertiban umum. Terima kasih, Pak Ketua.

183. KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Hakim Akil Mochtar.

184. HAKIM ANGGOTA: DR. H. .M. AKIL MOCHTAR, S.H., .M.H.

Saya menyambung untuk Ahli, Bapak Prof. Frans Magnis. Di


dalam pembukaan Undang-Undang Dasar yang merupakan staats
fundamental norm dari terbentuknya negara ini, secara tegas bahwa
kemerdekaan bangsa Indonesia itu disusunlah atas dasar susunan
Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat, dengan
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Kemudian di dalam Pasal 29,
saya kira tadi sudah berulang-ulang, “Negara berdasarkan atas
Ketuhanan Yang Maha Esa.” Kemudian ayat (2) nya, bentuk daripada
tanggung jawab negara itu adalah memberi jaminan setiap warga
negara itu merdeka untuk…, maksudnya penduduk ya, warga negara
penduduk Indonesia memeluk agamanya masing-masing dan beribadat
menurut agama dan kepercayaannya itu. Saya kira ini, Ketuhanan Yang
Maha Esa ini bukan saja dia menjadi sesuatu dasar moral dari negara
dan pemerintah, tapi juga dia adalah memastikan bahwa Negara
Kesatuan Republik Indonesia itu terbentuk, itu adalah atas dasar
keagamaan, artinya berasaskan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dalam konteks hubungan warga negara atau penduduk dengan
jaminan yang tercantum di dalam konstitusi, yang menjadi dasar
bersama kita dalam meletakkan, melaksanakan kehidupan berbangsa
dan bernegara termasuk ada di dalamnya adalah tatanan nilai yang juga
bagaimana kita mengimplementasikan kebebasan beragama itu. Dalam
konteks kemudian case atau undang-undang atau Penetapan Presiden
Republik Indonesia Nomor 1 Tahun ‘65 ini, dalam konteks hak-hak
kewarganegaraan yang dijamin di dalam Pasal 28 itu berupa kebebasan
maupun pembatasan dari kebebasan itu, artinya di dalam bab yang
berkenaan dengan hak asasi manusia di atas sebelum Pasal 29, ini
secara langsung maupun tidak langsung memang bersinggungan dalam
konteks itu. Artinya kebebasan beragama, memeluk keyakinan itu
memang dijamin sudah.
Dalam konteks mengimplementasikan atau mengekspresikan atau
katakanlah freedom too acts dari kegiatan keyakinan beragama sebagai
sebuah keyakinan dalam kehidupan publik, itu berupa menyebarkan

74
agama, kemudian termasuk tadi juga mendirikan rumah ibadah, itu
dapat ditangguhkan atau dibatasi pemenuhannya. Itu adalah konsep
yang berkaitan dengan kebebasan. Dengan satu undang-undang
tentunya, dengan satu alasan bahwa karena negara juga dalam posisi
yang sama, harus menjamin terjadinya keselamatan publik atau
keselamatan daripada warga negaranya, kemudian ketertiban. Karena
memang satu aturan itu juga harus menjamin kemanfaatan, ketertiban,
kemudian kesusilaan yang juga menjadi bagian atau implementasi dari
sila-sila yang ada di dalam Pancasila sebagai suatu dasar bagi kita dalam
melaksanakan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Nah, dalam konteks ini bahwa, yang ingin saya tanyakan,
kebebasan beragama itu sama dengan kebebasan berdemokrasi dalam
mengaktualisasikan hak-hak dasar warga negara Indonesia itu. Warga
negara, yang saya maksudkan adalah penduduk atau warga negara.
Artinya kedaulatan juga berada di tangan rakyat dan dilaksanakan
sepenuhnya menurut Undang-Undang Dasar, itu juga mengandung
kebebasan. Tetapi juga kebebasan berdemokrasi itu juga diatur dengan
satu tatanan. Nah, kalau kita melihat bahwa Penetapan Nomor 1 Tahun
1965 ini, dimana yang menjadi satu konsen dia tidak memberikan
pelarangan terhadap keyakinan beragama menurut saya tidak ada.
Menurut saya Pak, bahwa nomor satu itu tidak memberi larangan bagi
keyakinan beragama. Yang dilarang itu adalah suatu kegiatan,
perbuatan, atau suatu…, katakanlah mengekspresikan dari ajaran agama
itu yang menyerupai kegiatan keagamaan. Kemudian kegiatan itu
menyimpang dari pokok-pokok ajaran. Kan persoalannya tadi kita, siapa
yang berhak menafsirkan pokok-pokok ajaran itu? Apakah negara yang
mempunyai hak menafsirkan pokok-pokok ajaran agama yang ada?
Tentu menurut saya adalah, yang menjadi tanggung jawabnya adalah
para mereka yang bertanggung jawab atau katakanlah tokoh-tokoh
agama itu. Kemudian karena negara sudah mengatur bahwa kita adalah
negara yang berdasarkan atas Ketuhanan Yang Esa, maka hubungan
antara para pemimpin agama dan negara itu menjadi ada. Karena apa?
Karena negara sebagai penjamin dari keselamatan warga negara itu juga
tindakannya haruslah didasari kepada agama yang diyakini oleh yang
semuanya juga punya pemimpin.
Memang di kita ini kan, saya kira negara yang bukan menyatakan
dirinya negara agama, yang punya Menteri Agama itu cuma Indonesia.
Negara-negara lain tidak ada, atau sekuler sih, ya pastilah. Malaysia itu
tidak ada Menteri Agamanya. Ya Pak ya? Menteri Wakab atau apalah
namanya. Kita Menteri Agama, dan itu ada sejak Republik ini ada. Dan
dalam konteks itu tadi, menyambung pertanyaan Pak Sodiki, bagaimana
kita mengimplementasikan aturan ini dihubungkan dengan Konstitusi
Indonesia? Karena ini dalam konteks bernegara, kemudian konteks
keyakinan kita sebagai pribadi yang tidak bisa dikurangi. Benturan aturan
tata nilai itulah saya kira yang menjadi tugas bagi kita bersama. Saya
mohon pendapat Frans Magnis untuk itu.

75
185. KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Masih ada? Satu menit saja ya.

186. HAKIM ANGGOTA: HAMDAN ZOELVA, S.H., .M.H.

Saya minta Pak Prof. Magnis memberikan tanggapan terhadap


satu soal saja. Sejak zaman Belanda, telah mengadakan pengadilan
agama dalam kaitan dengan penerapan ajaran agama bagi orang-orang
Islam khususnya dalam perkawinan. Bagaimana Prof. Magnis
berpendapat, dalam hal ini negara tidak boleh mencampuri urusan
agama, dalam kaitannya dengan kasus Indonesia yang bahkan sampai
sekarang ini pengadilan agama adalah pengadilan negara. Terima kasih.

187. KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Persis 1 menit. Begini. Kita perpanjang sidang ini sampai jam


16.30, oleh sebab itu kita atur begini, Prof. Magnis kita beri 10 menit
saja Prof., yang lain-lain sisanya 5 menit, karena pertanyaan paling
banyak pada Prof. Magnis.
Silakan.

188. AHLI DARI PEMOHON: FRANS MAGNIS SUSENO

Terima kasih. Saya akan mencoba sedapat-dapatnya menjawab.


Kadang-kadang mungkin ada yang kelupaan, atau kurang saya mengerti.
Yang pertama, mengenai penyimpangan dan perbedaan. Jelas
sekali ada perbedaan antara dua-duanya. Kalau kita mengatakan ini
berbeda itu memang netral, kalau kita mengatakan ini menyimpang
maka itu sesuatu yang seharusnya tidak terjadi. Saya tadi menguraikan
bahwa agama-agama, jelas juga agama saya Katolik, berhak dan
memang perlu memakai istilah menyimpang. Karena kalau ada ajaran
yang, misalnya masih mau Katolik, seperti Katolik lama, tetapi oleh
gereja pada umumnya dianggap sudah keluar yaitu menyimpang. Itu
tidak netral dan itu memang perlu agama harus bisa mengatakan kepada
umatnya mana yang dia anggap benar dan mana yang tidak.
Poin saya adalah bahwa itu tidak menjadi kompetensi negara.
Dan saya ambil contoh sangat ekstrim, Katolik Protestan berhadapan
dengan saksi Yehova kelompok kecil yang bagi Kristen menjengkelkan
ya, menjengkelkan kelompok itu. Katanya pernah mau dilarang, diminta
dilarang juga disini. Oke, saya berpendapat dan mau menegaskan,
negara tidak bisa menilai apa yang benar, kami yang banyak atau
mungkin saksi Yehova yang kecil bisa saja yang banyak itu sudah lama
keluar rel, seperti dulu Protestan mengatakan Gereja Katolik itu sudah
tidak buka kitab suci, maka kami protes, jadi Protestan. Maka dari itu,
saya lalu mau mengatakan, jangan fakta bahwa ada kepercayaan,

76
keyakinan yang berbeda dan yang oleh agama yang mungkin dekat
dianggap menyimpang, menjadi alasan misalnya untuk mengatakan
bahwa itu menghujat. Ya dia punya kepercayaan itu, kita tidak bisa
mengubah itu. Kita bisa geleng kepala, kita bisa bilang sama umat
bahwa itu tidak benar. Tapi kalau mereka yakin, siapa yang berhak
untuk mengatakan bahwa mereka salah dan saya Katolik yang besar di
gereja luar biasa itu, bahwa dia lebih benar?
Maka, di situ lalu…, saya kira itu mengenai hal menyimpang. Jadi
menyimpang lalu juga tidak menjadi alasan untuk, menurut saya untuk
melarang sebuah golongan religius, karena negara yang melarang.
Agama bisa saja mengatakan tidak, tapi negara tidak bisa mengatakan
karena agama itu, misalnya Katolik, menganggap Saksi Yehova
menyimpang, Katolik minta larang saja itu, ganggu kami. Lalu negara
mengambil alih, negara tidak bisa mengatakan itu menyimpang. Dia
harus mengatakan ini dua-duanya berbeda mungkin dia bisa melindungi
nama dan sebagainya. Jadi sesuatu bisa dibuat, tetapi melarang saksi
Yehova menurut saya tidak bisa.
Betul tadi yang dikemukakan oleh yang pertama. Saya
mengatakan, kebebasan beragama itu dalam situasi dan kondisi kita,
bisa dibatasi dalam hubungan dengan kelompok-kelompok yang katakan
saja tadi ada beberapa contoh yang memang aneh-aneh. Dalam negara
sekuler, nah di situ kita melihat perbedaan dalam se…, kalau ada
seorang Lia Aminuddin, maaf kalau saya pakai sebuah contoh,
menganggap diri kombinasi antara Malaikat Jibril dan Maria Ibu Yesus,
orang hanya akan bilang, “biarin saja, apaan itu.” Kalau seribu orang
mengikuti, tidak masuk akal. Tapi saya bisa mengerti bahwa barangkali
meskipun mengapa dia harus ke penjara saya sebetulnya tidak mengerti.
Jelas saya kira kita semua melihat itu bukan sebuah agama serius.
Itu lama-lama akan habis dengan sendirinya. Tapi di situ saya membuat
sebuah kompromi, saya tidak mau mengatakan itu begitu saja sama
sekalian sesamakan dengan sebuah kelompok. Nah, seperti Saksi Yehova
itu kecil, tapi sudah lebih dari seratus tahun. Jadi itu sudah
internasional, mantap. Dimanapun menjengkelkan bagi yang mayoritas.
Tapi ya sudah, menurut saya mereka berhak atas kebebasan beragama.
Lalu mengenai deformation of religion, saya pertama mau
menegaskan, saya tidak pernah mengatakan tidak ada itu penodaan
agama dan bahwa penodaan agama tidak boleh dilarang oleh undang-
undang. Jadi tadi pertanyaan yang hampir terakhir dari Yang Terhormat
Hakim, apakah Pemerintah harus diam saja kalau ada penghujatan
agama? Ya kalau ada undang-undang memang Pemerintah…, bukan
Pemerintah tetapi aparat akan bertindak menurut undang-undang. Yang
mau kami tegaskan, jangan sampai sesuatu dianggap penghujatan yang
kami anggap tidak boleh merupakan penghujatan. Nah, penghujatan
harus ada maksud, minimal meremehkan, mengesampingkan, jadi ada
maksud yang tidak benar, itu namanya penghujatan. Sedangkan bahwa
ada kelompok de facto, mempunyai pandangan agama yang oleh…,

77
misalnya induknya dianggap “kok seperti itu?” persis bertentangan
dengan kami, belum merupakan penghujatan, jadi hanya perbedaan
sekelompok orang dalam kepercayaan dan praktek itu tidak merupakan
penghujatan. Itu merupakan penghujatan kalau dikemukakan dengan
alasan menghujat.
Saya tidak punya waktu banyak masuk ke dalam sejarah, tetapi
misalnya di Inggris itu dibatasi pada ke-Kristenan itu tradisi dan
seharusnya dihapus itu jelas diskriminasi. Dan itu karena Ratu Inggris
masih ada merupakan Kepala Gereja Inggris. Katolik juga menderita dulu
itu, di Inggris. Di banyak negara Eropa masih ada undang-undang anti
penghujatan. Nah, di situ ada perbedaan mengenai sekulerisasi.
Di Amerika Serikat, mereka begitu keras bukan karena mereka
tidak mau pengaruh agama, tetapi supaya agama tidak berkelahi.
Karena itu semua pelarian dari eropa karena penganiayaan agama, maka
mereka mengatakan yang publik jangan masuk di situ.
Di Perancis sebaliknya, itu (suara tidak terdengar jelas) atau
sekulerisme adalah anak kebencian terhadap gereja katolik, memuncak
dalam Undang-Undang Tahun 1905. Yang sekarang kena getahnya
malah Islam.
Dulu, katolik suster pakai jilbabnya suster dan sebagainya itu juga
tidak bisa. Sekarang Islam yang kena. Karena Islam juga punya pakaian
yang lalu,... jadi di Perancis itu memang sesuatu yang menurut saya
tidak tepat. Jadi penghujatan atau penodaan supaya dirumuskan
sedemikian jelas, sehingga tidak sesuatu yang berbeda atau oleh yang
bersangkutan dianggap menyimpang begitu saja bisa menjadi alasan
untuk menghukum seseorang.
Pertimbangan demi keselamatan publik jelas sekali sangat sah.
Tentu saja apapun yang diputuskan harus diputuskan dengan melihat
situasi masyarakat. Tetapi alangkah baiknya kalau masyarakat juga
dididik untuk dengan lebih tenang menerima kalau kalau ada perbedaan
sekarang sudah semakin bagus yang menyangkut enam agama yang
diakui. Tetapi konsep agama yang diakui sendiri sebenarnya tidak bisa
dibenarkan, dari sudut etika politik itu sesuatu yang pragmatis dan
negara tidak mampu untuk mengatakan ini agama dan ini tidak. Jadi di
situ sebetulnya publik perlu dididik juga dengan tegas mencegah segala
kekerasan dan membiasakan orang mengambil jalan hukum.
Barangkali itu saja. Terima kasih.

189. KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Baik, bagus sekali. Tepat sepuluh menit bapak. Karena bapak


temannya Gus Dur itu, Gus Dur ini cerita. Gus Dur itu pernah ceramah di
PBB dikasih lampu kalau hijau mulai, merah berhenti, kuning hati-hati.
Setiap kepala negara pidatonya lima menit. Sesudah Gus Dur pidato itu
semua orang bertepuk lama. Ditanya, ”Gus apa hebatnya pidato tadi kok

78
anda ditepuki?” “Tidak, karena saya buta tetapi bisa pidato lima menit.”
Bisa persis. Ditepuki, karena tepat waktunya itu.
Sekarang Pak Suma

190. AHLI DARI PEMERINTAH: PROF. AMIN SUMA

Terima kasih. Pak Amin Pak. Bukan Pak Suma, kata orang
Indonesia.
Tafsir, saya tidak mengatakan tafsir intelektual, oleh orang yang
mengerti tentang sebuah persoalan. Nah, kalau penafsiran itu siapa saja
boleh dari sisi hak di. Dari sisi hak, boleh tidak ada yang melarang.
Tetapi dari sisi keilmuan, kalau tidak dalam bidangnya ya saya kira tentu,
tadi itu contohnya.
Setiap orang berhak jadi apa saja milih memilih pekerjaan. Tetapi
akan dibatasi khusus untuk hakim, jaksa dan lain sebagainya pengacara
harus sarjana hukum. Itu ada lagi berlapis. Jadi hak tidak begitu saja,
begitu yang saya maksud.
Yang kedua, kemerdekaan beragama. Saya kalau melihat ini, saya
katakan. Dari sejak pembukaan Undang-Undang Dasar itu yang ada
“kemerdekaan”. Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak
segala bangsa yaitu dalam hak kemerdekaan beragama, hak
kemerdekaan berpikiran, hak kemerdekaan berserikat dan seterusnya.
Bahwa kemudian muncul ada kata “bebas” di halaman itu,
Undang-Undang Dasar 1945 tidak sepi dari kekurangan ini. Yang tepat
mestinya “berhak”, itu hak coba. Karena judulnya saja di Bab 10A itu
adalah “Hak Asasi Manusia”. Semua pasal dan ayat bunyinya “setiap
orang berhak, setiap orang berhak”. Kok muncul setiap orang bebas
menurut agama. Lah ini yang rada beda, memang ini. Jangan ke saya
tanyanya, ke perumus Undang-Undang Dasar itu mestinya, ya. Karena
yang tepat itu mestinya “berhak”. Judulnya debat itu juga begitu.
Jadi ini juga tidak lepas dari kekurangan Undang-Undang Dasar
1945 itu. Saya katakan, tidak ada satupun undang-undang yang
sempurna. Nah itu, termasuk Undang-Undang Dasar 1945 ini, makanya
sudah banyak yang ingin yang diamandemen lagi, itu.
Kemudian bagaimana ada pernyataan yang tidak konsisten
konsisten saya kira. Saya lebih senang, lebih puas menggunakan istilah
“kemerdekaan beragama”. Orang lain “kebebasan”, Silakan. Ini saya,
jadi tetap konsisten.
Negara tidak bisa mencampuri urusan agama, tetapi negara
menyiapkan saksi ahli. Ya, jadi saya katakan, negaranya ini memang
bukan negara agama, tetapi negara beragama. Faktanya ada
Departemen Agama, kata “agama” berapa kali disebut di dalam Undang
Undang Dasar 1945. Kalau ini mau tidak sudi dibuang kata agama itu.
Selama ini masih ada, kita konsisten menghormati Undang-
Undang Dasar. Ada Departemen Agama, ada sekolahnya agama
berkhususkan agama, mulai dari Taman Kanak-Kanak sampai Perguruan

79
Tinggi. Dan sekarang yang sedang dibicarakan ini adalah paling tidak
menyangkut persoalan yang ada kaitannya dengan agama, bukan hanya
pemerintah. Siapapun yang membutuhkan dalam bidang itu, sebagai
warga negara yang baik harus, bahkan agama saya juga menyuruh.
Wala ta’tumul syahadah, kalau anda diminta jadi saksi oleh siapapun,
kebetulan saat ini yang meminta pemerintah gitu kan? Besok lusa saya
diminta yang lain tidak boleh mengingkari, gitu.
Kemudian yang berikutnya, Pak Hakim tadi ada Hadits ya. Karena
sebenarnya memang Rasul ini diutus memang untuk memajukan
manusia. Saat itu belum ada boleh dijadikan pakar-pakar atau ahli-ahli
atau spesialis profesionalisme. Maka diturunkanlah nabi itu, dididik. Maka
bunyi ini, kalau anda pengen jadi ini profesinya, silakan ilmunya adalah
ini. Dan Rasul sudah memulai.
Tidak pernah beliau merasa takut dituduh KKN ketika
keponakannya dan mantunya diangkat jadi Kadi, Ali bin Abi Tholib itu.
Kenapa? Karena dia memenuhi syarat. Kadang-kadang masyarakat
melihat itu familinya buruk sangka terus, itu kan? Tidak bisa, manusia itu
tidak boleh buruk sangka. Kalau dalam diri dia sudah ada buruk sangka,
tidak akan baik segala-galanya.
Jadi Rasul memetakan itu sekarang sedang dinikmati oleh dunia
gitu kan? Dunia menikmati. Ternyata benar apa yang dikatakan Rasul.
Kalau orang, maaf dia. Umpama ini, umpama dulu ada kasus di
Indonesia ini, sholat boleh menggunakan bahasa apa saja. Saya diminta
untuk memimpin sebuah rapat di sebuah lembaga keagamaan bahkan
juga di televisi. Saya katakan, yang berhak mengatakan begitu itu, maaf,
tidak setiap orang. Yang dirugikan bukan agama Islam misalnya. Negara
Indonesia pasti akan bangkrut. Karena nanti orang Sumatra tidak mau
jadi makmum kepada orang Jawa. Orang Jawa tidak mau jadi makmum
Orang Bugis. Justru ini negara diuntungkan dengan satu.
Kita makanya punya satu bahasa nasional kesepakatan bersama.
Agama kita menyuruh sampai ada surat perikatan dalam Al-Quran itu,
Surat kelima, Surat Al-Maidah itu dijuluki Surah Al uqud. Ada sampai
kesana. Saya ‘ainal yaqin, agama banyak memberi kepada negara ini.
Nah, itu persoalannya.
Jadi betul Pak Hakim saya setuju, irah-irah putusan pengadilan
benar. Malah saya sudah sebenarnya belasan pak, tapi nggak mungkin
waktu yang singkat ini. Kalau diperlukan, belasan nanti. Argumentasi
jelas negara ini bukan negara agama tapi negara beragama. Dari
penyusun Undang-Undang Dasar 1945 saja panitia sembilan itu saya
pelototi satu demi satu, semuanya beragama. Cuma satu yang non-
muslim yang delapan muslim taat juga , malah dari agama termasuk
orang tuanya Gus Dur kan? Kyai Wahid Hasyim. Mustahil undang-undang
dibuat oleh orang punya keyakinan agama, lalu difahami tidak
beragama.
Jadi sejarah cukup panjang lebar, nah ini. Tidak ada alasan
satupun untuk mengatakan negara ini tidak beragama. Kecuali keinginan

80
yang baru muncul sekarang. Pendiri Republik ini mengatakan begitu.
Masak kita tidak menghormati.
Kemudian bedakan pula, kadang-kadang ini kita membedakan
hakim. Hakim punya wewenang, pejabat punya wewenang. Berarti
pejabat itu hukum, kata ilmu hukum.
Kadang-kadang ilmuwan seperti memaksakan diri dengan
kebebasannya. Contoh soal misalnya, dalam dunia Hukum Islam sering
ilmuwan kita mengatakan Umar bin Khotob pernah tidak menerapkan
hukum Islam katanya. Bahkan tidak menerapkan hukum Al-Qur’an,
ketika tidak menghukum maling. Saya katakan salah besar pandapat itu
menurut saya. Karena Umar itu seorang khalifah, anda ilmuwan tidak
punya wewenang untuk menggetok palu. Umar itu benar, karena orang
itu tidak terpenuhi unsur kemalingannya. Kasusnya pencurian itu apa
dia, menyembelih unta. Untanya tidak dihabiskan semua. Karena
ditinggal oleh tuan rumahnya, dia lalu kemudian tidak ada yang
dimakan. Satu-satunya yang ada adalah unta. Dia mengerti hukum
Islam. Kalau unta ini dibelah kakinya, tidak disembelih, haram untuk
agama Islam. Maka disembelih. Setelah disembelih, halal dia. Dimakan
lah dagingnya, tidak habis. Belum habis, datang pemiliknya. Ditanya
pemiliknya, marah mau dihukum. Kenapa harus dihukum? Apa
sebabnya? “Saya lapar tuan, tidak dikasih makan. Saya budaknya dia,
masak tidak dikasih makan? Yang ada ini, apakah itu pencuri?” Tidak
terpenuhi unsur pencuriannya. Karena tidak mencuri, maka dia tidak
dihukum. Sebaliknya si majikannya yang dihukum karena dia melanggar
Hak Asasi Manusia, tidak memberi makan. Kucing saja harus diberi
makan. Jadi jangan kita menganggap itu karena Umar bin Khotob punya
status sebagai khalifah. kepala negara punya kewenangan untuk
mengambil kebijakan yang berbeda dari hukum tekstualnya itu. Nah ini
pak.
Kemudian yang berikutnya, nah ini. Kita bicara PNPS yang ada
Pasal 1 nya pak. Saya juga kebetulan tadi tu membaca tentang ini.
Justru ini ya di sini yang menariknya itu PNPS ini. Kalau kita
memelototinya dengan anu...,
Pertama saya tadi katakan latar belakang dari ini, apalagi setelah
ada informasi dari Pak Hasyim Muzadi. Dan saya kira siapapun ya bener
lah. Mengetahui situasi tahun 1965 itu rawan, agama itu. Sampai ada
orang, contohnya dikampung saya pun ada oknum memaksakan (suara
tidak terdengar jelas) tidak minta sama Tuhan? Minta tulisan, pulpen,
buku, disuruh berdoa. Tidak muncul dia. Coba Anda minta kepada X,
diberi dia.
Sejauh itu sampai bencinya dia kepada agama. Padahal di
lingkungan desa kami itu jelas, lingkungan santri. Bisa dibayangkan
bagaimana di tempat lain. Ini yang namanya dalam hukum Islam itu
asbabul nuzul, asbabul wurud. Apa background-nya? Kalau bahasa
Undang-Undang Dasar 1945 itu ya, suasana kebatinannya. Kira-kira
kayak apa?

81
Nah, di sini makanya itu setiap orang dilarang. Syaratnya kapan?
Satu, dengan sengaja. Jadi memang nawaitu nya, dia sudah punya rasa
benci tidak suka terhadap pikiran orang lain, pendapat orang lain,
merasa ini orang terus ini yang dianu. Maka kadang-kadang muncul
istilah harus ada multi tafsir, segala macam. Tujuannya pengen
pendapat dia diterima, jangan yang itu saja. Jadi memaksakan hak juga,
bisa jadi saya kira.
Dengan sengaja, tadi saya katakan nawaitu. Jadi kalau niatnya
tidak mencederai, tidak menodai, maaf tadi saya contohkan Pak
Arswendo. Dalam konsep hukum pidana Islam bisa dibebaskan sama
sekali. Karena dia mengaku tidak memiliki niat untuk mencederai,
menodai. Apalagi Beliau bukan seorang muslim, wajar tidak tahu. Nabi
Muhammad juga dituduh tukang sihir, segala macam tidak dihukum itu.
Tapi kenapa ini dihukum? Soal lain, bukan dari hukum..., saya
menyampaikan dari kaca mata agama ini.
Kedua, di muka umum. Nah, di muka umum itu tidak hanya
pidato, tulisan itu di muka umum juga, saya kira. Kemudian
menceritakan, biasanya memang klausulnya dulu menceritakan dulu,
semua agama juga gitu man to man gitu kan? Lalu kemudian baru
terbuka secara umum setelah tidak apa-apa.
Menganjurkan atau mengusahakan. Tapi substansinya di sini,
bagaimana kalau yang intern saja berbeda itu dengan ekstern? Gini pak
tadi itu makanya..., kalau pendapat saya. Jangankan soal agama yang
sampai di.., betul-betul negara memperhatikan ada istilah SARA, yang
lain-lain tidak di urus kasarannya gitu. Karena memang sangat sensitif
sekali.
Di internal umat Islam, itu sudah memiliki aturan tersendiri,
semua cabang ilmu tidak ada yang tidak berbeda itu. Cuma di mana
kelasnya? Kalau di perguruan tinggi misalnya ada mata pelajaran
perbandingan agama, kasarannya ngomong apa pun, tidak mungkin dia
akan diadukan ke Pengadilan. Karena itu tempatnya, pada tempatnya.
Sama dengan sekarang memang karena ini ada Mejelis Persidangan,
tepuk tangan pun tidak boleh. Padahal kalau dasarnya kebebasan,
apainlah. karena ini aturan yang membenarkan, melarang siapa pun
membunyikan alat komunikasi, bertepuk tangan, ini kesepakatan
bersama.
Begitu pula perbandingan agama boleh di kampus. Tapi ketika ini
anak-anak segala macam diajari pendidikan bebas berpendapat, bebas
berekspresi, bebas segala macam, itu yang tidak pada tempatnya. Maka,
tadi saya lebih setuju itu istilah kalau “kemerdekaan” ini saya, rasanya
relatif lebih etika sopan santunnya lebih menunjukkan keadaannya di situ
dari pada di kata-kata yang lain.
Jadi kalau internal selama ini berjalan tidak ada masalah. Cuma
ketika ada orang.., maaf bayangkan Pak, tidak tahu asal usulnya dia
belajar kapan agamanya di mana ? gitu kan? Tiba-tiba pensiun kok jadi
Nabi gitu, ini saja kok harus diterima pendapatnya, kebebasan

82
berekspresi, kebebasan berpikiran. Ya saya kalau sebagai Guru Besar
tidak pernah melayani itu. Masa bodoh amat, kewajibannya saya
mengajar. Tapi kan kisruh membuat keresahan di masyarakat, karena
anak-anak kita harus dididik Pak.
Sama dengan tentara kalau tertembak, mati Pak. Tapi kalau
latihan tentara, orang sipil dipindahkan tidak boleh ikut campur. Tentara
boleh di situ, karena resiko walaupun mati sudah memang itulah tentara.
Walau mati dalam latihan, dalam bahasa agama maaf, ada muktadhol
hal, ada muktadhol maqom. Lha , ini yang saya tidak menemukan istilah
ini dalam anuan kita itu.
Soalnya bebas merdeka itu,apa saja, kapan saja, di mana saja
pasti timbul Pak. Rumah berdampingan tetangga kita bikin apa namanya
itu? Gambus atau gitar, jam dua malam kebebasan berekspresi,
kebebasan ini. Pasti marah, tetangga pengen tidur Pak, karena pengen
hak tidur. Sampai-sampai dalam hadits Nabi itu “...ala inna fi
jasadikahaqqun...” dalam dirimu ada hak, mulutmu punya hak, matamu
punya hak. Jadi maaf, kalau ngadu undang-undang dengan agama
Islam, waduh terlampau sulit, wong wahyu yang satu. Tapi kita
menghormati peraturan itu seperti itu, jadi internal serahkan sama umat
beragama Pak, layak tidak orang itu dijadikan ini? Ini tidak keturunan
apa-apa, tiba-tiba ujug-ujug jadi Nabi, kitab sucinya ketika ditanya kitab
sucinya Qur’an juga, namanya pindah jadi Mushoddiq karena di Qur’an
ada mushoddiq misalnya.
Ini yang penyerupaan agama ya itu Pak, salah menafsiri. Rela
namanya diubah menjadi lain, karena ada dalam Al-Qur’an supaya
diakui. Dari motivasinya sudah terbaca itu Pak. Nah, kira-kira seperti itu
Pak kalau internal.
Eksternal sudah ada forum kerukunan umat beragama. Bahwa
kadang-kadang ada tidak puas, jangan mengatakan “wah, saya
didzolimi, saya di ini,” Enggak. kalau didzolimi oleh satu kelompok umat,
khususnya umat Islam di Indonesia ini, ini sudah berdarah-darah
Indonesia ini karena umat Islam seluruh penjuru dunia itu ada itu 1.6
milyar. Jadi kalau ada umat Islam yang nakal itu satu umpama itu, biar
dia diselesaikan secara hukum di sini, tidak agamanya yang dibawa.
Kalau ada tokoh yang begitu, silakan, jangan itu. Maka dalam Islam
kalau ada perbuatan walaupun dia tokoh sekali pun itu
bertanggungjawab atas dirinya sendiri, walla taziru waziratun wizro ukro.
Nah itu, jadi luar biasa bisa membedakan.
Nah yang terakhir, siapa yang berhak menafsirkan pokok ajaran
agama itu. Ada yang diketahui oleh umum, ada yang oleh khusus.
Contoh bahwa kitab suci umat Islam itu Al Quran saya kira semua orang
tahu itulah itu. Jangan kan untuk Quran itu kan, untuk PNPS saja
penafsirannya masih berbeda Pak, berbeda kan boleh. Cuman nanti
selesai kami di sini Saksi Ahli bisanya hanya memberikan informasi
kepada Majelis atas permintaan. Nanti putusannya kayak apa, kami akan
hormati sepenuh hati. Karena yang punya otoritas untuk memutuskan

83
perkara adalah hakim di persidangan, bukan saya sebagai guru besar.
Tugas saya adalah mencerdaskan anak bangsa. Karena saya memimpin
Fakultas Hukum legal, dilegalkan oleh negara pasti saya mengajar di
bidang hukum, baik hukum Islam maupun perundang-undangan. Bahwa
kadang-kadang ada kekurangan tadi, ternyata PNPS sudah dijadikan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969, ya saya kira di situlah
kealpaannya. Karena duduk sejak jam 8 jadi dosen biasanya sudah 4 jam
duduknya Pak, jalan-jalan begitu. Ini dipaksa oleh kondisi yang ada,
sangat mungkin lah. Nah dengan itikad baik itu tadi, kalau kita betul
beriktikad baik, yuk kita jadikan ini. Kalau berbicara soal penodaan…,
penyalahgunaan agama ya ini kita batasi. Kebebasannya seakan-akan
terkebiri, kebebasannya seakan-akan diambil, jadi berbicara terlalu luas
kemana-mana.Terima kasih, Bapak Majelis Hakim. Wassalamulaikum wr.
wb.

191. KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Baik, Bapak. Bapak berbicara 18 menit, memang tidak ada lampu


yang memberitahu bahwa sudah habis.
Silakan, Bapak Rahmat Syafi’i.

192. AHLI PEMERINTAH: PROF. DR. RAHMAT SYAFI’I

Berapa menit?

193. KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Lima menit, Bapak.

194. AHLI PEMERINTAH: PROF. DR. RAHMAT SYAFI’I

Bissmilahhirrahmannirrohim. Pertama, menyangkut kasus pokok-


pokok agama. Sungguh pun ada perbedaan pendapat keanekaragaman
tapi bisa dirumuskan ada kesepakatan. Sebab ujung-ujungnya pemikiran
itu kalau dijadikan aturan harus ada kesepakatan, bukan suatu hal yang
tidak mungkin. Jadi jangan kukila kola wakila-kola wakila, bukan itu yang
dipegang, setelah itu adalah ada kesepakatan. Jadi ada koridor
ukurannya yang bisa disepakati.
Tadi muncul, apakah ketika dia tidak sepakat dia salah, yaitu
konsekuensi dari suatu putusan itu ada yang memang bisa dinyatakan
salah. Artinya dia…, ya karena ini adalah kesepakatan, ya ujung-
ujungnya itu adalah harus ada kesepakatan walaupun sulit. Kasus
Ahmad bin Hambal, kasus Imam Malik Al Mukmato, itu keadaan politik
bukan karena itu, waktu itu dia dibiarkan, kebebasan, hanya karena
menyangkut…, menggerakkan bukan pemikiran lagi, gerakan untuk
melawan pemerintah yang sah. Ketika itu kan ada pendapat Imam Malik,

84
bahwa mencerai kawin paksa tidak sah. Kalau begitu baiat karena
dipaksa tidak sah, kalau begitu pemerintah tidak sah. Sebetulnya itu
bukan karena pendapatnya. Jadi pendapat apa pun ternyata di sini kita
kembali alma’aslatul ‘amah mukhodamathun alal maslatilkhosoh. Maka
publik yang dibentuk maka ada korban. Maka wajar ketika ada suatu
pernyataan, ketika keadilan itu tinggi maka tinggi pula ketidakadilannya.
Ini karena nanti ada korban tapi demokratis. Ini jalan pada ujung-
ujungnya harus ada keputusan, bukan dibiarkan.
Pemikiran yang diciderai itu karena tadi sekaligus menjawab,
bahwa sebenarnya setiap agama diutamakan hib dudin menjaga
kemurnian, menjaga kehormatan agama itu, jadi kewajiban pemeluknya
masing-masing. Ketika agamanya itu dihina tentu kewajiban menjaga,
maka terusik itulah sebenarnya persoalan-persoalan yang tetap itu
adalah suatu menodai, menurut saya. Jadi hib dudin, tujuan agama
apapun, tujuan pertama hib dudin, kemudian hib dunas, menjaga jiwa.
Ini ada yang seperti itu, maka tadi sekaligus bahwa bagaimana
beda agama ketika menentukan, itu tidak jadi masalah masing-masing
agama. Seperti tadi dikatakan bahwa kalau belajar komunis, belajar
agama lain. Tapi di sini untuk melakukan penafsiran yang menyimpang,
bukan tadi menceritakan, kalau menceritakan tidak untuk melakukan
yang menyimpang, kegiatan yang menyimpang itu tidak bertentangan,
memang itu aturannya apa yang dilarang. Intinya adalah menceritakan,
mendakwakan, gerakan-gerakan, kegiatan yang menyimpang, tadi diakui
memang ada penyimpangan-penyimpangan. Persoalan tadi hak negara
dan tidak, itu ada juga khilafiah.
Ketika mengambil sesuatu pendapat bukan diskriminasi, jadi saya
tidak menerima bahwa ini inkonstitusional antara berbeda dan
menyimpang. Penegasannya, kalau beda itu tahhallu muhtalifah
beraneka ragam, kalau taarut kontradiktif. Kontradiktif pasti berbeda,
tapi tidak semuanya berbeda, itu kontradiktif. Itu makanya saya
konsisten, ada penyimpangan ada perbedaan.
HAM dibatasi pembatasan, ya memang harus ada pembatasan itu
dalam rangka tujuan hukum keadilan dan kemaslahatan umum. Kalau
tidak dibatasi, itu tidak akan mencapai kepada tujuan itu. Jadi ini karena
waktu…, jadi ini kaitannya. Saya membaca bahwa…, itu bahwa hak
untuk tidak beragama, kenapa itu di Indonesia tidak diterima, sebab
dalam Undang-Undang HAM itu yang telah diterima itu memang memilih,
yang seperti tadi pernyataan saya bahwa HAM itu ada nilai universal dan
sekaligus ada kontekstual. Jadi konteksnya di Indonesia harus ber-
Ketuhanan Yang Maha Esa, tidak bebas untuk tidak beragama. Itu
pembatasan seperti itu.
Jadi pertanyaan yang tadi ditanyakan bagaimana menceriterakan
mengajukan, tapi tidak di situ tapi untuk melakukan yang menyimpang.
Kalau tidak menyimpang, menceritakan apa saja tadi sudah dijelaskan,
jelas ukurannya, bagaimana niatnya, dan sebagainya. Jadi pada akhirnya
berkaitan dengan penafsiran yang menyimpang itu sampai…, maaf kalau

85
saya menyampaikan, misalnya hadits Rasulullah dalam penafsiran
terhadap sumber agama manfasaral qur’an biro’I fa asoba fakot
akhtho’a, “Barang siapa yang menafsirkan kitab suci Al-Qur’an dia benar
menurut pemikirannya tetap saja dia keliru.” Maksudnya bukan tidak
boleh menafsirkan, tapi hati-hati, bukan hanya biro ‘i tetapi dengan
aturannya. Penafsiran bertentangan dengan prinsip-prinsip bahasa, tentu
itu kan tafsir mencari Al-Qur-an baru. Jadi artinya karena itu adalah
prinsip-prinsip kebahasaan. Jadi artinya, tadi mendukung bahwa hal-hal
seperti tadi perlu dipahami, saya tetap konsisten ada perbedaan dan ada
penyimpangan. Dan masalah pembatasan itu keharusan, karena kita itu
manusia terbatas maka harus ada pembatasan pula di dalam
melaksanakan aturan itu. Saya kira itu, terima kasih.

195. KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Baik, tujuh menit, Bapak. Jadi sudah hampir tepat tanpa lampu.
Nah, mudah-mudahan ini tepat juga lima menit, Prof. Nur Syam.

196. AHLI DARI PEMERINTAH: PROF. DR. NUR SYAM

Terima kasih, Pak Ketua. Ada beberapa hal yang saya rasa perlu
memperoleh tambahan informasi terkait dengan ini. Yang pertama, saya
ingin melihat bahwa Indonesia ini memang sebuah negara yang sangat
unik, sebab tidak negara sekuler yang membedakan antara agama dan
negara secara ketat, rigid semacam itu, sebagaimana tadi yang saya
tangkap dari pembicaraan Romo Frans Mark Suseno. Kemudian juga
tidak integrated, dimana seperti pikirannya Ayatullah Khomaeni, yang
teodemokratis semacam itu. Tetapi kemudian paradigmanya adalah
simbiosis mutualisme, dimana negara memerlukan agama dan agama
memerlukan negara. Dalam konteks simbiosisme mutualisme inilah,
maka kemudian PNPS itu menemui titik yang sangat penting. Sebab
PNPS ini, Nomor 1 Tahun 1965 ini kemudian menjadi semacam aturan
perundang-undangan atau dasar moralitas dalam hubungan antar umat
beragama itu.
Jadi menurut saya, bahwa PNPS ini adalah semacam feiten for
behavior kalau menggunakan bahasa antropologisnya kira-kira begitu,
jadi menjadi pola bagi tindakan. Jadi bisa kita bayangkan kalau orang
melakukan sesuatu kemudian tanpa pola bagi tindakan itu. Jadi maka
kemudian bahwa PNPS itu menjadi semacam aturan dalam rangka untuk
melakukan relasi antar umat beragama, yang dalam hal ini adalah kalau
tadi dinyatakan batasannya apa, maka orang tidak boleh melakukan
tindakan keagamaan yang dapat menyebabkan ketiadaan keteraturan
sosial. Jadi ini yang paling mendasar. Jadi kalau kemudian orang
melakukan tindakan atau freedom to act tadi yang kemudian
menyebabkan ketidakteraturan sosial apakah bentuknya pelecehan,
penodaan, penghinaan, dan sebagainya maka inilah yang kemudian

86
perlu diatur, sebagai yang saya sebut sebagai feiten for behavior tadi.
Jadi saya rasa di situlah tempatnya itu. Sebab kalau kita melihat dari
cara pandang sekuler pasti tidak kena dan saya rasa Indonesia bukan
tempatnya. Karena negara kita adalah berdasarkan Pancasila dan nomor
satu adalah Ketuhahan Yang Maha Esa, dan itu saya rasa tidak perlu
ditafsirkan lagi, nah ini yang paling penting.
Nah oleh karena itu, maka dalam kerangka menjadi feiten for
behavior itu maka kemudian yang paling penting adalah bahwa negara
itu kemudian terus menjaga dan melindungi ketertiban, ini yang paling
penting. Jadi saya tidak setuju kalau ada orang yang menyatakan bahwa
negara tidak punya peran apa-apa. Sebab kalau negara tidak punya
peran apa-apa dalam kaitannya dengan persoalan agama semacam ini,
maka berarti bahwa tidak ada feiten for behavior, padahal feiten for
behavior itu sesuatu yang tidak bisa dihindarkan dalam kehidupan
bermasyarakat seperti kita ini, termasuk juga dalam hal mengatur
hubungan antar umat beragama.
Nah oleh karena itu, maka menjaga dan melindungi ketertiban
abadi umum dan sebagainya ini, lalu menjadi tugas negara. Dan oleh
karena itu kalau kemudian terjadi pelecehan, penodaan, penghinaan dan
sebagainya maka harus jelas itu ada aturannya. Bagaimana dinyatakan
tidak menodai kalau misalnya orang lalu bersyahadat ashhaduanna
sabda kusuma rasullah, siapapun saya rasa akan menyatakan bahwa ini
adalah penyimpangan.
Jadi kalau tadi tidak ada istilah penyimpangan, saya yakin bahwa
ada istilah penyimpangan itu. Karena ketika orang menyatakan
ashhaduanna sabda kusuma rasullah ini jelas menodai ashhaduanna
Muhammad darrusulullah, pasti itu, dan siapa pun bisa merasakan ini,
umat Islam pasti merasakan. Tadi saya nyatakan di paparan saya,
bahwa agama itu persoalan yang ultimate consul, melibatkan seluruh
perasaan, emosi, keyakinan dan sebagainya ketika ini disentuh orang,
orang bisa marah luar biasa, ini yang saya sebut itu. Kalau tadi kemudian
saya angkat data, hanya ada 2% yang menyatakan..., yang dinyatakan
itu karena faktor agama, tapi jangan lupa bahwa ada data bahwa 30%
adalah terjadi itu..., yang saya sebut sebagai..., apa namanya itu,
penghakiman massa. Dan dalam penghakiman massa itu sangat
mungkin faktor agama pemicunya, dan saya rasa sudah banyak tahu
mengenai ini. Jadi artinya bahwa, kalau seandainya dilakukan penelitian
dan ini mungkin tugasnya Prof. Atho Mudzar saya pikir ini, adalah dalam
kerangka untuk melihat kembali apakah penghakiman massa yang 30%
itu kemudian salah satu fasilitas, atau salah satu variabelnya ini adalah
variabel-variabel mengenai persoalan agama, ini saya rasa yang perlu
dipertegas.
Oleh karena itu, kalau saya nyatakan tadi 2% itu yang terdeteksi
secara jelas. Tapi ada 30% yang saya rasa masih memerlukan
penelitian. Oleh karena itu, saya tadi sampai pada kesimpulan, bahwa
kalau seandainya kemudian ada aturan saja masih muncul nabi-nabi

87
baru yang semacam ini, apalagi kalau tidak ada aturan itu. Ada aturan
saja muncul luar biasa, ada yang Bu Liya Eden, ada yang macam-macam
semacam ini, apalagi kalau tidak ada aturan. Maka feiten for behavior
itulah yang harus menjadi titik tekan di dalam hubungan agama dan
negara ini.
Nah oleh karena itu, juga menurut saya bahwa karena negara itu
punya peran penting terkait dengan menjaga ketertiban abadi dan
sebagainya, melindungi warganya, maka kemudian kita juga tidak hanya
harus melindungi yang mayoritas tetapi juga yang minoritas, tetapi
melindungi yang minoritas juga harus ada aturannya. Tidak semua
kemudian misalnya dia melakukan penodaan, penyimpangan, pelecehan
lalu juga harus dilindungi tidak dihukum, tidak bisa semacam itu, karena
negara kita adalah negara yang memang menganut asas semacam itu.
Jadi siapa pun yang berlaku salah tentu harus..., jadi tadi the others
yang liar itu pun juga harus tahu diri bahwa ini sesuatu yang tidak boleh.
Saya sependapat dengan Pak Hasyim, bahwa kita harus memahami
agama orang lain, kita harus memahami agama sendiri, kita harus
memahami orang lain. Dalam rangka apa, tidak hanya sekedar konsisten
bahkan menurut saya itu, tidak hanya sekedar kita menyakini ada orang
lain, tetapi bahkan kita proesisten, menjalin kerja sama dalam kerangka
untuk kehidupan agama-agama. Problem kemiskinan, rendahnya
pendidikan, rendahnya SDM, itu semua adalah kerja proesisten tidak
hanya sekedar koesisten. Nah oleh karena itu, menurut saya bahwa yang
penting ke depan itu adalah menjaga yang namanya proesisten ini.
Mudah-mudahan itu bisa dilaksanakan, dan ini bisa terjadi jika kemudian
ada aturan yang mengatur mengenai hal ini semua.
Saya rasa mungkin itu Bapak Ketua yang saya hormati, dan
mudah-mudahan penjelasan saya ini sedikit menjadi tambahan penting
dalam persoalan ini. Terima kasih. Wassalamualaikum wr.wb.

197. KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Baik, terima kasih Bapak. Sidang bisa segera diakhiri dengan


pemberitahuan bahwa sidang berikutnya tanggal 17 Pebruari hari Rabu
jam 10, yang akan mendengarkan ahli dan saksi dari Pemohon, Prof.
Sahetapi, Lutfhi Awsokani, dan saksi ya? Sardi itu saksi atau apa ahli?
Saksi korban? Korban juga? Atau saksi saja?

198. KUASA HUKUM PEMOHON: MUHAMMAD CHOIRUL ANAM, S.H.

Saksi korban.

199. KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Saksi korban. Sedangkan ahli dari Pemerintah supaya nanti di...,


karena yang seharusnya Prof. Amin Suma dan Prof. Rahmat Syafi’i itu

88
minggu depan tapi sudah hari ini, tolong nanti yang satu, Pak Mudzakir,
yang dua nanti disampaikan lagi Kepaniteraan agar segera dipanggil.
Sedangkan Pihak Terkait adalah Para Sada Hindu Dharma dan PP Dewan
Dakwah Islamiyah serta Komnas HAM, itu pihak terkait. Nah, Pihak
Terkait yang lain itu setiap sidang itu diundang, artinya dipersilakan
untuk hadir karena tetap saja untuk menanyakan dan sebagainya,
seperti Majelis Ulama itu kan sudah kemarin tapi hari ini hadir, misalnya
NU, Muhammadiyah, KWI, dan sebagainya pada sidang-sidang
berikutnya bisa hadir juga, sebagai Pihak Terkait untuk ikut
menanggapai lah, tapi kalau tidak hadir juga tidak apa-apa. Tapi maksud
saya tidak harus pada saat dijadwalkan untuk bicara khusus itu.
Saya kira sidang ini bisa kita akhiri dan (...)

200. KUASA HUKUM PEMOHON: MUHAMMAD CHOIRUL ANAM, S.H.

Maaf, Yang Mulia.

201. KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Silakan.

202. KUASA HUKUM PEMOHON: MUHAMMAD CHOIRUL ANAM, S.H.

Seandainya boleh kami memohon agar paling lambat hari Jumat


kami juga mengetahui saksi dari Pemerintah sehingga kami juga bisa
mempersiapkan sehingga menggali pikiran-pikiran saksi-saksi ahli dari
Pemerintah biar lebih fokus. Terima kasih.

203. KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Ya.

204. PEMERINTAH: DR. MUALIMIN ABDI (KABAG. PENYAJIAN PADA


SIDANG MK)

Begini, Yang Mulia. Tidak usah hari Jumat besok saya


informasikan.

205. KETUA: PROF. DR. MOH. MAHFUD MD, S.H.

Ya, bagus itu. Jadi nanti besok sudah harus sampai ke sini, nanti
Kepaniteraan akan memberitahu Saudara. Dengan demikian mari kita
akhiri sidang ini.
KETUK PALU 3X

SIDANG DITUTUP PUKUL 16.47 WIB

89

You might also like