Professional Documents
Culture Documents
Secara bahasa: maknanya adalah sesuatu yang baru yang tidak ada contoh sebelumnya,
(( ِ ُ ْ ا
َ ِ ً ِْ
ُ ُْ)) ُْ َ آ
Maknanya adalah: aku bukanlah yang pertama diutus, namun telah diutus sebelumku sekian
banyak rasul".
Secara istilah : Imam Asy Syathibi rahimahullahu Ta'ala mengatakan: "Bid'ah adalah suatu
metode (tatacara) yang diada-adakan dalam agama, menyerupai syari'at yang tujuan
mengamalkannya berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah 'Azza wa Jalla."
Fairuz Abadi dalam "Bashair Dzawit Tamyiiz" menyebutkan:"Bid'ah itu adalah segala
Ada pula yang mengatakan: "Segala sesuatu yang diada-adakan sepeninggal Rasulullah
Dikatakan pula: "Bid'ah adalah mengeluarkan pendapat atau perbuatan, di mana pelaku
atau yang mengatakannya tidak mengambil tuntunan atau contoh dengan pembuat syari'at, atau
hal-hal yang pernah ada sebelumnya yang serupa dengan pebuatan atau pendapat itu serta
Dari sini nampaklah bagi kita perbedaan antara bid'ah secara lughawi dan bid'ah secara
istilahi, dimana pengertian bid'ah secara lughawi lebih umum, sebab secara istilahi dikhususkan
dengan apa yang baru di dalam agama yang tidak ada penunjukannya dalam nash-nash dan
kaidah syariah. Maka terkadang suatu perbuatan tersebut termasuk bid’ah dalam bahasa namun
tidak termasuk bid'ah dalam syari'at. Seperti apabila ada nash yang menganjurkan suatu amalan
namun belum sempat diamalkan melainkan setelah terputusnya syariat, dan meninggalnya
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Apakah karena belum diberikan kemudahan untuk
zaman turunnya syariat. Maka bagi orang yang pertama melakukannya dikatakan bid'ah secara
bahasa sebab merupakan perbuatan yang tidak ada contohnya terdahulu, namun bukan bid'ah
Di antara contoh hal ini banyak dari perbuatan para Sahabat, seperti pengumpulan
Al-Qur’an di zaman Abu Bakar radhiallahu anhu, shalat Tarawih di zaman Umar bin Khattab
Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari hadits Jabir radhiallahu anhu berkata: Bahwa
"Amma Ba'du, sesungguhnya sebaik-baik berita adalah kitabullah, dan sebaik-baik petunjuk
adalah petunjuk Muhammad shallallahu alaihi wasallam, dan sejelek-jelek perkara adalah
(( 4ً ََ8َ9 س
ُ ٌ َوِإنْ َرَ;هَ ا4َ6
َ َ7 4ٍ َ ِْ ُ)) آ
"Setiap bid'ah adalah kesesatan walaupun dianggap baik oleh manusia "
"Ketahuilah rahimakumullah (semoga Allah merahmatimu) bahwa apa yang telah disebutkan
berupa dalil-dalil adalah hujjah secara umum tercelanya (bid'ah) dari beberapa sisi:
Pertama: Bahwa riwayat tersebut datang secara mutlak dan umum, dengan banyaknya riwayat
namun tidak terdapat pengecualian sama sekali, tidak ada riwayat yang menjelaskan bahwa di
antara (bid'ah) ada yang berupa petunjuk, tidak ada pula disebutkan: setiap bid'ah sesat kecuali
ini dan itu dari berbagai macam makna. Ini menunjukkan bahwa seluruh dalil tersebut di atas
Kedua: Bahwa telah ditetapkan dalam prinsip-prinsip yang ilmiah bahwa setiap kaidah
menyeluruh atau dalil syar'i yang bersifat menyeluruh bila berulang-ulang disebutkan di banyak
tempat, dan didatangkan sebagai penguat terhadap makna-makna ushul dan furu' dan tidak
pernah disertai pengkhususan di saat seringnya disebutkan, maka itu merupakan dalil atas
Ketiga: Ijma' para ulama salaf dari kalangan shahabat, tabi'in dan setelah mereka atas
tercelanya bid'ah, dan menjelekkannya, berlari meninggalkan orang yang disifati sebagai ahli
bid'ah, dan tidak ada sedikitpun dari mereka sikap tawaqquf (abstain) atau ragu, maka ini
merupakan ijma' yang ditetapkan yang menunjukkan bahwa setiap bid'ah tidak ada yang benar,
Keempat: Bahwa orang yang memahami bid'ah mengharuskan bersikap demikian (yaitu
meyakini bahwa setiap bid'ah itu sesat) sebab hal tersebut termasuk ke dalam perkara yang
bertentangan dengan syariat, membuang syariat, dan setiap yang keadaannya seperti ini
mustahil terbagi menjadi : yang baik dan yang buruk, ada yang terpuji dan ada pula yang tercela,
karena tidaklah benar baik secara akal maupun secara syar'i menganggap baik apa yang
menyelisihi syari'at. Demikian pula kalau dikatakan bahwa terdapat dalil yang menganggap baik
sebagian bid'ah atau dikecualikan sebagiannya dari celaan, tidaklah bisa tergambarkan. Karena
bid'ah itu adalah metode yang menyaingi syariat dalam keadaan dia tidak termasuk (syariat),
dan bila syariat menganggap baik adalah dalil disyariatkannya hal tersebut, sebab kalau syariat
mengatakan:" bahwa ajaran baru si fulan itu baik" berarti itu disyariatkan".
Tidak Ada Khilaf di Kalangan Ulama Bahwa Semua Bid'ah Dalam Agama
Itu Sesat
Banyak terjadi kesalahpahaman di antara kaum muslimin terhadap apa yang disebutkan oleh
sebagian para ulama dengan istilah bid'ah hasanah, atau pembagian bid'ah menjadi lima
bagian : Wajib, sunnah, makruh, haram dan mubah. Atau membagi bid'ah menjadi dua:
Mahmudah (terpuji) dan madzmumah (tercela). Sehingga tergambarkan oleh mereka bahwa di
dalam agama ada bid'ah yang boleh dikerjakan, bahkan dianjurkan, atau bahkan diharuskan,
lalu setelah itu menjadikan berbagai macam bid'ah yang menyesatkan tersebut sebagai bagian
dari agama yang dianjurkan untuk mengerjakannya, termasuk pula di antaranya bid'ah dholalah
Telah disebutkan oleh salah seorang pendukung dzikir ini bernama Ahmad Dimyathi
Badruzzaman MA bahwa hadits Rasulullah shallallahu alaihi wasallam "kullu bid'atin dholalah"
Sesungguhnya kalau Ahmad Dimyathi –semoga Allah memberikan hidayah kepada kita
semua- memperhatikan secara seksama definisi bid'ah secara istilah, niscaya dia akan
berkesimpulan bahwa sesungguhnya tidaklah perlu adanya takhsis yang di sebutkan itu, dan
akan menyikapi hadits Rasulullah shallalahu alaihi wasallam tersebut secara mutlak. Namun
anehnya, ketika Ahmad Dimyathi memberikan kesimpulan terhadap definisi bid'ah secara
"Ringkasnya, segala sesuatu yang terjadi dalam agama yang belum pernah ada di zaman Nabi
shallallahu alaihi wasallam dan tidak pula di zaman para Shahabatnya, yang tidak bersumber
dari syara', baik dengan dalil yang tegas maupun dengan isyarat, dari Al-Qur’an dan sunnah
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, maka hal itu menurut syariat dinamakan dengan bid'ah"
Dan perhatikan pula yang diucapkan oleh Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah:
ن
َ َ َوأَ َ آ,=ِ ْ'َ>َ َ ُ ل- 4ِ َ1ْ-ِ @ اAِ0 =ُ َ َ ْB َأCَ $ِ ث َ ِ ْ9 َ ُأ4ِ َ ِْEِْ َُا ُد$ٌْ(( وَا4َ6َ َ7 4ٍ َ ِْ ُ)) آ
4ً َGُ 4ً َ ِْ ن
َ َ !َْ ً َوِإنْ آ4ٍ َ ِْEِ Hَ ْ'َ>َ0 =ِ ْ'َ>َ َ ُ ل- ع
ِ ْ@ ا
َ ِ ٌْBَ ُ= َأ
"Kullu bid'atin dholalah : Yang dimaksud dengan bid'ah adalah perbuatan baru yang tidak ada
penunjukannya dalam syariat, adapun yang memiliki asal dalam syari'at penunjukannya maka
Kalau sekiranya Ahmad Dimyathi konsekwen dengan kesimpulan definisi tersebut, niscaya dia
Adapun takhsis yang pertama: "kecuali dalam urusan dunia", takhsis ini tidaklah perlu,
disebabkan karena dalam definisi tersebut telah dikhususkan bid'ah sesat itu dalam perkara
agama.
Adapun takhsis yang kedua: "yang dilakukan khulafaur rosyidin", juga tidaklah perlu.
Disebabkan karena adanya nash yang jelas yang telah disabdakan oleh Rasulullah shallallahu
"Maka hendaklah kalian berpegang teguh dengan sunnahku, dan sunnah para khulafa'ur
Maka di dalam hadits ini terdapat dalil anjuran mengikuti sunnahnya khulafa'ur Rosyidin
bersama dengan sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, sebagai jalan keluar dari
munculnya perpecahan yang akan terjadi. Berkata Ibnu Rajab dalam menjelaskan hadits ini:
"Ini merupakan pemberitaan dari Nabi shallallahu alaihi wasallam tentang apa yang terjadi pada
umatnya berupa perselisihan yang banyak, baik dalam ushuluddin dan furu'nya, dalam
amalan-amalan, perkataan dan keyakinan. Dan ini sesuai dengan yang diriwayatkan dari Beliau
tentang perpecahan umatnya menjadi 73 golongan dan semuanya dalam neraka kecuali satu
golongan, yaitu siapa yang berjalan di atas jalannya dan para Shahabatnya. Oleh karena itu,
dalam hadits ini perintah di saat terjadi perselisihan dan perpecahan agar berpegang teguh
dengan sunnahnya, dan sunnahnya para Khulafa'ur Rosyidin setelahnya. Dan sunnah adalah
jalan yang ditempuh, maka mencakup komitmen dengan apa yang telah ditempuh oleh beliau
shallallahu alaihi wasallam dan para Khulafa'ur Rosyidin berupa aqidah, amalan dan perkataan.
Inilah sunnah yang sempurna, oleh karena itu para ulama salaf tidaklah memutlakkan nama
Lalu beliau berkata: "(Dalam hadits ini) dalil bahwa sunnah Khulafa'ur Rosyidin juga diikuti
seperti diikutinya sunnah berbeda dengan selain mereka dari para khalifah".
Dan yang dimaksud dengan istilah Khulafa'ur Rosyidin adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin
Khattab, Utsman bin Affaan, dan Ali bin Abi Thalib. Dan banyak dari kalangan para imam
menyebutkan bahwa Umar bin Abdil Aziz juga termasuk ke dalam Khulafa'ur Rosyidin
radhiallahu anhum.
Namun perlu diketahui bahwa yang menjadi hujjah yang dimaksud di dalam hadits tersebut
bukan pendapat perseorangan dari mereka, namun yang termasuk hujjah adalah apa yang telah
menjadi kesepakatan mereka dalam suatu urusan. Sebab di antara para Khulafa'ur Rosyidin
tersebut telah terjadi perselisihan di kalangan mereka dalam berbagai masalah, dan bukanlah
ع
ٍ َ$ْR/ِِ H
َ ْ'ٌَ َو4Sُ9 =ُ Tَ أU
ُ ْ'ِVُْْْ ِر وَا$ُSْع ِْ َ ا
ٍ َ$ْR/ِِ H
َ ْ'َ 4ِ َ1َْرWَ َءِ اNَ>ُOْق ا
ُ َNYِا
"Kesepakatan empat khalifah bukanlah termasuk ijma' menurut jumhur ulama, dan yang shahih
Dan apa yang menjadi kesepakatan para Khulafa'ur Rosyidin maka itulah yang disepakati oleh
para shahabat.
Namun jangan disalahpahami bahwa sunnah Khulafa'ur Rosyidin merupakan sunnah yang
berdiri sendiri yang terlepas dari sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, sebab tidak ada
yang haq kecuali dengan sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Namun yang dimaksud
adalah bahwa para Khulafa'ur Rosyidin tersebut senantiasa mengikuti sunnah Rasulullah
sunnahnya para Khulafa'ur Rosyidin tidaklah keluar dari salah satu di antara dua sisi”:
Pertama: Ada kemungkinan bahwa beliau (Rasulullah shallalahu alaihi wasallam) membolehkan
bagi mereka untuk membuat sunnah yang bukan sunnah Beliau. Maka ini tidaklah diucapkan
oleh seorang muslim. Dan siapa yang membolehkan hal ini maka sungguh dia telah kafir,
murtad, halal darahnya dan hartanya. Sebab agama ini secara keseluruhan ada yang wajib, dan
ada yang tidak wajib, ada yang haram dan ada pula yang halal. Maka barangsiapa yang
membolehkan bahwa para Khulafa'ur Rosyidin memiliki sunnah yang tidak disunnahkan
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, maka dia telah membolehkan bagi mereka untuk
menghalalkan yang haram atau mewajibkan apa yang tidak diwajibkan oleh Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam, ataukah menjatuhkan kewajiban yang telah diwajibkan oleh
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, dan beliau tidak menggugurkan (kewajiban tersebut)
hingga beliau wafat. Setiap sisi ini barangsiapa yang membolehkan sesuatu darinya maka dia
kafir musyrik berdasarkan kesepakatan umat seluruhnya tanpa diperselisihkan. Maka sisi ini
sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Dan inilah pendapat kami, dan tidak ada
Adapun pendapat perseorangan dari mereka maka yang demikian bukanlah hujjah, oleh
karenanya para ulama pun dari kalangan para Shahabat dan setelahnya terkadang menyelisihi
pendapat mereka jika mereka melihat bahwa amalan mereka bertentangan dengan sunnah
mengutamakan pendapat Abu Bakar dan Umar radhiallahu anhuma daripada ketetapan
"Aku melihat mereka akan binasa: aku berkata "Bersabda Nabi shallallahu alaihi wasallam,
Masalah pembukuan mushaf Al-Qur’an, bahwa ini termasuk bid'ah yang diperbolehkan
Pertama: Perkara ini terdapat dalilnya di dalam Al-Qur’an, yaitu firman Allah Azza wa jalla:
Maka di dalam ayat ini terdapat isyarat dianjurkannya mengumpulkan Al-Qur’an apakah dengan
cara menghafalnya ataupun membukukannya, berdasarkan keumuman lafadz ayat yang mulia
tersebut.
Kalau ada yang berkata: lalu mengapa di zaman Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tidak
dibukukan? Jawabannya adalah: Di zaman Rasulullah shallallahu alaihi wasallam masih ada
pencegah dibukukannya, yaitu karena Al-Qur’an masih turun secara berangsur-angsur selama
masa hidup beliau, dan terkadang Allah menghapus ayat yang dikehendakinya, maka tatkala
mengumpulkannya disebabkan karena telah sempurnanya agama ini dan wahyu telah terputus.
Kedua: Hal ini adalah merupakan perkara yang telah disepakati oleh seluruh para shahabat dan
tidak ada satupun yang mengingkarinya, dan ijma' adalah salah satu hujjah di dalam islam
(( 4ٍ َ6
َ َ7 \َ>َ ]َ ِ$َ+ْSَ ْ َأنAِ+َُ َر أRََ\ َْ َأ1َ )
َ )) إِن ا
"Sesungguhnya Allah Ta'ala telah melindungi umatku untuk bersepakat di atas kesesatan".
Adapun tentang adzan pertama di hari Jum’at, di zaman Utsman bin Affan radhiallahu
Pertama: Bahwa adzan pertama tersebut merupakan ijtihad dari Utsman bin Affan radhiallahu
anhu, dan beliau adalah salah satu di antara para shahabat radhiallahu anhum ajma'in. Dan
salah seorang Shahabat apabila berijtihad lalu ada yang menyelisihinya dari Shahabat yang lain,
maka pendapat sebagian Shahabat bukanlah hujjah terhadap Shahabat yang lain dan butuh
melihat kepada yang rajih (kuat) di antara apa yang mereka perselisihkan tersebut.
Maka permasalahan inipun termasuk yang diperselisihkan di antara mereka. Telah diselisihi oleh
Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu ketika beliau di Kufah dan beliau hanya mengamalkan yang
disunnahkan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan tidak mengambil tambahan Utsman
radhiallahu anhu.
"Sesungguhnya hanyalah Nabi shallalahu alaihi wasallam apabila naik ke mimbar maka Bilal
mengumandangkan Adzan, apabila Nabi selesai dari khutbahnya (Bilal) menyerukan iqomah,
Oleh karena itu Imam Asy-Syafi'i rahimahullah berkata dalam kitabnya "Al-Umm":
"Dan aku menyukai agar adzan pada hari Jum’at di saat imam masuk ke dalam masjid dan
duduk di atas mimbar. Maka apabila (imam) telah melakukannya, muadzin pun
menambahnya".
Kedua: Bahwa ada dua sebab mengapa Utsman radhiallahu anhu menambah adzan pertama
Berkata Az-Zuhri rahimahullah Ta'ala: telah mengabarkan kepada kami As-Saib bin Yazid :
Bahwa adzan yang disebutkan Allah dalam Al-Qur’an, awalnya adalah di saat imam duduk di
atas mimbar, dan apabila telah ditegakkan shalat pada hari Jum’at di pintu masjid di zaman Nabi
shallallahu laihi wasallam, Abu Bakar dan Umar, maka tatkala di zaman khilafah Utsman dan
pada hari Jum’at adzan yang ketiga (dalam riwayat lain: pertama,dalam riwayat lain: kedua) di
atas rumah di pasar yang disebut "Zaura'". Maka dikumandangkanlah di atas Zaura', sebelum
keluarnya (imam) agar manusia mengetahui bahwa Jum’at telah masuk, maka ditetapkanlah
amalan tersebut. Dan manusia tidak mencelanya atas hal tersebut, padahal mereka telah
Dari riwayat ini nampaklah bagi kita bahwa Utsman tidaklah menambah adzan pada hari Jum’at
Dengan kedua sebab inilah menyebabkan mereka tidak dapat mendengarkan adzan
tersebut.Sehingga sebagian para ulama menggolongkan hal ini termasuk kedalam maslahah
mursalah. Maka apakah kedua illat (sebab) tersebut ada di zaman sekarang??
Berkata Al-Albani rahimahullah Ta'ala: "Kami tidak berpendapat untuk mengikuti apa yang
dilakukan Utsman radhiallah anhu secara mutlak tanpa syarat, sebab telah kita jelaskan bahwa
Utsman hanyalah menambah itu disebabkan karena ada illah ma'qulah (sebab yang masuk
akal) yaitu banyaknya manusia dan berjauhannya tempat tinggal mereka dari masjid nabi. Maka
barangsiapa yang berpaling dari sebab ini, dan berpegang kepada adzan Utsman secara mutlak,
maka dia tidak mengikuti Utsman radhiallahu anhu, bahkan menyelisihinya, karena dia tidak
memperhatikan dengan mata ilmu terhadap sebab yang kalau tidak ada sebab tersebut, maka
tentunya Utsman radhiallahu anhu tidak melakukan penambahan atas sunnah yang ada dan
Adapun tentang shalat tarawih secara berjama'ah di zaman Umar bin Khattab radhiallahu
anhu, maka sungguh sangatlah keliru jika ini termasuk dalam kategori bid'ah di dalam istilah
syar'i, sebab shalat berjama'ah tarawih termasuk sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Sebagaimana yang terdapat dalam shahih Bukhari dari hadits Aisyah radhiallahu anha berkata:
Bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam shalat di masjid pada suatu malam lalu shalatlah
bersama beliau beberapa orang, kemudian shalat di malam berikutnya maka semakin
bertambah manusia (yang shalat), lalu di saat mereka berkumpul pada malam ketiga atau
keempat maka Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tidak keluar bersama mereka, maka
(( ْPُKْ'َ>َ ض
َ َ ْNُ ْ َأن
ُ ْ'ِ@َ( AYT َأCِج إ
ِ ُْ ُوOْ ا
َ ِ Aَْ1َْ$َ- ْPَْ َوPُ+ْ1ََB ِيQ ا
ُ ْ-))َْ َرَأ
"Sungguh aku telah melihat apa yang kalian lakukan, dan tidak ada yang mencegah-ku keluar
Maka hadits ini sangat jelas menunjukkan bahwa berjama'ah di malam hari ramadhon tersebut
adalah hal yang sunnah. Karena telah dikerjakan beberapa malam oleh Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam. Dan beliau meninggalkannya hanya karena khawatir diwajibkan atas umatnya,
sebab zaman beliau adalah zaman turunnya wahyu yang menyebabkan beliau khawatir
diwahyukan sesuatu yang menjadikan kewajiban atas mereka sehingga mereka lemah dalam
telah hilang sebab kekhawatiran tersebut dan agama telah sempurna, maka kembali ke hukum
semula yaitu dianjurkannya hal tersebut. Lalu tiba zaman kekhilafahan Abu Bakar As-Shiddiq
radhiallahu anhu, dan belum ditegakkan sunnah tersebut karena disebabkan salah satu dari dua
perkara:
Pertama: Mungkin beliau melihat bahwa shalat di akhir malam lebih afdhal dari pada
memerangi orang yang murtad dan yang enggan membayar zakat, melanjutkan pengiriman
pasukan yang sempat tertunda di zaman Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan sebagainya.
Maka di saat tiba masa kekhilafahan Umar bin Khattab radhiallahu anhu maka beliau pun
memiliki kesempatan untuk mengumpulkan kaum muslimin pada imam yang satu untuk shalat
iِ Qِ َ ه4ِ َ ِْEْ ا
ُ َ$ْ1ِT
Yang dimaksud adalah bid'ah secara bahasa, bukan secara istilah, maka fahamilah wahai orang
"Ini adalah penamaan secara bahasa, bukan penamaan syar'iyyah. Sebab bid'ah secara bahasa
mencakup seluruh apa yang dilakukan pertama kali tanpa ada contoh sebelumnya.Adapun
bid'ah secara syar'i yaitu apa-apa yang tidak ada penunjukannya dalam syari'at. Maka apabila
nash Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah menunjukkan atas disukainya suatu amalan,
atau diwajibkannya setelah beliau meninggal, atau terdapat penunjukannya secara mutlak, dan
belum dilakukan kecuali setelah meninggalnya beliau seperti kitab sedekah yang dikeluarkan
oleh Abu Bakar radhiallahu anhu. Maka apabila diamalkan hal tersebut setelah beliau meninggal,
benar untuk dikatakan bid'ah secara bahasa, sebab itu adalah amalan yang pertama,
sebagaimana agama yang dibawa oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam juga dikatakan bid'ah
dan dinamakan perkara baru (bid’ah) secara bahasa. Sebagaimana yang dikatakan oleh utusan
Quraisy ke raja Najasyi tentang shahabat Nabi shallallahu alaihi wasallam yang berhijrah ke
Habasyah :"Sesungguhnya mereka ini keluar dari agama nenek moyang mereka, dan tidak
masuk ke dalam agama sang raja, mereka datang membawa agama yang baru yang tidak
diketahui".
Adapun takhsis yang ketiga yang disebutkan oleh Ahmad Dimyathi: Kecuali ijtihad-nya
para imam mujtahid.: adalah pentakhsisan yang sungguh aneh, bagaimana mungkin hadits
Nabi shallallahu alaihi wasallam bisa ditakhsis oleh sesuatu yang datang berikutnya dari ijtihad
para Imam mujtahid? Sepertinya saudara Ahmad Dimyathi tidak bisa membedakan mana
kesalahan yang dimaafkan karena ijtihad, dan mana sesuatu yang dihukumi sebagai bid'ah atau
penyimpangan walaupun berasal dari seorang mujtahid. Berkata salah seorang penyair:
=ِ ْ-ِ ْ$+ِْ H
َ ْ'َ =َ ُُْ َ َل ا) َ َل َرُُْ ُ= َ َل َرPُ ْ>ِ1ا
Ilmu itu adalah berkata Allah, berkata Rasulullah, dan berkata shahabat, tidaklah terkaburkan
Bukanlah ilmu tatkala engkau menjadikan sebagai perselisihan antara perkataan Rasulullah
Perlu kita mendudukkan masalah ini sesuai pada tempatnya, yaitu bahwa seorang mufti
diberikan wewenang dalam syari'at untuk berfatwa sesuai dengan apa yang difahaminya dari
Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dan terkadang tidak sedikit dari mereka yang berfatwa namun fatwa
tersebut menyelisihi yang benar, dengan berbagai macam sebab, apakah karena belum sampai
kepadanya suatu hadits yang telah sampai dan diketahui oleh mujtahid yang lain, atau telah
sampai kepadanya namun beliau memiliki dalil lain yang menyelisihi dalil tersebut yang ternyata
Lihat apa yang dikatakan oleh Ahmad Dimyathi –semoga Allah memberi petunjuk padanya-
ketika dia berkata: "Berijtihad bagi imam mujtahid sudah diberi izin oleh Nabi shallallahu alaihi
wasallam. Karena itu, hasil-hasil ijtihadnya HARUS DITERIMA(??!!) dan tidak boleh dikatakan
sebagai bid'ah dholalah, kalaupun dikatakan bid'ah, itu namanya bid'ah hasanah"
Subhanallah!! Mana dalil yang menunjukkan bahwa hasil ijtihad para imam mujtahid harus
diterima secara mutlak tanpa syarat? Siapa yang mendahuluimu mengatakan hal ini? Lalu
apabila para imam mujtahid tersebut harus diterima, maka yang mana yang harus
"Qadhi (penegak hokum) ada tiga: Dua dalam neraka dan satu dalam syurga:
1.Qadhi yang memutuskan hukum tanpa hak dan dia mengetahui hal itu maka dia dalam neraka.
2.Qadhi yang menetapkan hukum dan dia tidak berilmu maka menyebabkan dia membinasakan
3.Qadhi yang memutuskan (hukum) dengan kebenaran dan dia berilmu tentangnya maka dia
dalam syurga".
AِEَْهQَ َ َُ0 ,
ُ -َِْ اUَB ِإذَا
iُ َTْQَ( َأ
َ ْ-ْ ِْ َأPَ>ْ1َ- ْPَ َ ََِْ[ِ Qَ ُ(َْ- َْ ٍ َأن9َِ َّ َِ- Cَ
"Tidaklah halal bagi seorang pun mengambil pendapat kami selama dia tidak tahu dari mana
kami mengambilnya".
"Aِ6
َ َKِ Aِ+ْNُ- ْ َأنAِ>ْ'ِْ ِفْ َد1َ- ْPَ َْ \َ>َ ٌََام9"
"Haram atas orang yang tidak mengetahui dalilku untuk berfatwa dengan perkataanku".
"Sesungguhnya aku ini hanyalah manusia bisa salah dan bisa benar, maka perhatikanlah
pendapatku, maka setiap apa yang sesuai dengan Al-Kitab dan as-“Sunnah maka ambillah, dan
setiap apa yang tidak mencocoki Al-Kitab dan Sunnah maka tinggalkanlah".
)>\ اB A
ِE اCِك إ
ُ َ ْ+َ- ِْ َِْ ِ= َوQُ َ(ْfُ- َوCِ إP>َ>\ ا) >'= و;= وB A
ِّ ِEْ َ ا1َ ٌَ9 َأH
َ ْ'ََو
P> >'= و;= و
"Tidak seorangpun setelah Nabi shallallahu alaihi wasallam melainkan bisa diterima dan ditolak
"Sepakat kaum muslimin bahwa barangsiapa yang telah jelas baginya sunnah Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam, maka tidak halal baginya meninggalkannya karena perkataan
\>B )
ِ َرُ ِل ا4ِ ُ8ِ َ[ُُْا0 ,P>>\ ا) >'= وB )
ِ َرُْ ِل ا4ِ ُ فَ 6 َ ِ( Aَِ+ِ آAِ0 ْPَُْRَإذَا َو
ُ ْ>ُ َ َو َد ُاP>ا) >'= و
"Jika kalian mendapati di dalam kitabku menyelisihi sunnah Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam, maka ambillah sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan tinggalkan apa
ُواQَ( َأ,
ُ ْ'َ9 ِْ ْQُ( َو,ْرِيq اCَ َوAِ وْزَاWَ اCَ َوAِ1ِ0@ اCَ ً َوKَِ ْY>َ[ُ Cَ َو, AِTْY>َ[ُ Cَ
"Janganlah kamu ber-taqlid kepadaku, dan jangan pula kepada Malik, Syafi'i dan tidak pula
َ ِرs اAِ0 4ُ Sَُ ا$Tِ َوإ,ٌ َوهُ َ ِِْي ََاء,ٌ آُ> ُ= َرأْي4َ َNْ'َِ9 Aِي َأ
ُ ْ َو َرأ,k
ٍ َِ ي
ُ ْ َو َرأ,Aِ وْزَاWَ ي ا
ُ َْرأ
"Pendapat Auza'i pendapat Malik, pendapat Abu Hanifah, semuanya hanyalah pendapat, dan
Dan yang lainnya dari perkataan para imam dan fuqoha' yang mengharuskan seseorang
merujuk kepada sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dalam segala perkara agama,
bukan malah harus menerima pendapat mereka tanpa melihat mana di antara mereka yang
Adapun riwayat yang disebutkan oleh Ahmad Dimyathi itu tidak lebih hanya memberikan izin
kepada seorang ahli ilmu yang telah memiliki kemampuan untuk berijtihad untuk mengeluarkan
pendapatnya dalam suatu perkara ketika tidak mengetahui ada dalilnya dalam Al-Qur’an dan
Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, atau perkataan para ulama salaf dari kalangan
shahabat dan Tabi'in, bukannya memberikan keterangan bahwa ijtihadnya harus diikuti, apalagi
untuk mentakhsis sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam???, bukankah ijtihad hanya
diperbolehkan di saat tidak mendapatkan nash syar'i ??? sungguh aneh pendapatmu wahai
saudara!!
Simaklah apa yang dikatakan oleh Al-Hafidz IBnu Rajab Al-Hambali rahimahullah Ta'ala:
"Yang wajib atas setiap yang sampai kepadanya perintah Rasul shallallahu alaihi wasallam dan
seorang yang agung dari umat ini karena sesungguhnya perintah Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam lebih berhak untuk diagungkan dan diikuti daripada pendapat siapapun yang
diagungkan yang telah menyelisihi perintahnya pada sebagian perkara. Dari sinilah para
shahabat dan setelahnya menolak setiap yang menyelisihi sunnah yang shahihah dan
terkadang mereka bersikap keras dalam menolaknya, bukan karena benci kepada mereka,
namun karena cinta dan diagungkan dalam jiwa mereka. Namun Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam lebih mereka cintai, perintahnya di atas seluruh perintah makhluk, maka apabila
bertentangan antara perintah Rasul dengan perintah yang lainnya, maka perintah Rasul lebih
Adapun pendapat para ulama yang anda nukilkan tentang takhsis (pengkhususan) hadits
tersebut, hal itu disebabkan karena memahaminya secara defnisi bahasa, bukan secara istilah.
Seperti apa yang anda nukilkan dari Imam Nawawi yang menafsirkan hadits "kullu bid'atin
dholalah" yang dimaksud adalah kebanyakan (bukan seluruh) bid'ah.Berikut ini perkataan beliau
secara lengkap:
"(Kullu bid'atin dholalah) (hadits) ini umum yang dikhususkan, yang dimaksud adalah
kebanyakan bid'ah. Berkata ahli bahasa: bid'ah adalah segala sesuatu yang diamalkan tanpa
ada contoh sebelumnya. Berkata para ulama: Bid'ah terbagi menjadi lima bagian ……….."
Begitu pula yang dinukilkan dari Al-Imam Muhammad bin Ismail Al-Amir As-Shan'ani.
"Kullu bid'atin dholalah" Bid'ah secara bahasa adalah apa yang diamalkan tanpa ada contoh
sebelumnya, dan yang dimaksud di sini adalah apa yang diamalkan tanpa didahului amalan
"Dholalah (sesat), sebab kebenaran adalah apa yang dibawa oleh syari'at maka apa yang tidak
kembali kepadanya maka sesat. Sebab tidak ada lagi selain kebenaran melainkan
kesesatan.Yang dimaksud sesat di sini adalah yang tidak ada asalnya dalam syari'at, yang
membawanya melakukan hal tersebut adalah syahwat atau keinginan. Berbeda dengan
perkara baru yang ada asalnya dalam syari'at apakah dengan membawa sesuatu kepada
yang serupa dengannya, atau dengan cara lain, maka hal tersebut baik………………………..lalu
berkata:
maka diketahuilah bahwa sabdanya "kullu bid'atin dhalalah" adalah umum yang dikhususkan".
Dari penukilan ini semua sangatlah jelas bahwa mereka memaksudkan dengan istilah bid'ah
adalah bid'ah secara bahasa, oleh karenanya mereka mengatakan "hadits ini umum yang
dikhususkan" yang maknanya adalah lafadz "bid'ah" adalah lafadz yang umum, karena
mencakup seluruh perbuatan baru yang tidak ada contohnya, baik dalam masalah dunia
maupun syari'at, namun hadits tersebut maksudnya adalah bid'ah istilah yang hanya
menyangkut masalah agama, adapun yang tidak termasuk dalam masalah agama, atau yang
ada asalnya dalam agama, maka yang demikian itu termasuk bid'ah secara bahasa.Oleh karena
itu mereka mencontohkan beberapa bidah tersebut seperti memelihara ilmu dengan cara
menulisnya, membantah para mulhid dengan menegakkan dalil atas mereka, membangun
madrasah, perluasan dalam warna makanan dan pakaian yang bernilai tinggi, dan yang lainnya
yang termasuk bid'ah secara bahasa. Ini menunjukkan bahwa tidak terdapat khilaf dikalangan
para ulama bahwa bid'ah dalam istilah syari'at itu sesat secara mutlak. Wallahul muwaffiq.
1.Lihat pula pembahasan yang terperinci tentang makna bid'ah secara istilah dalam kitab: Mauqif ahlis-sunnah: 1/90-92.
3.HR.Muslim: 867.
5.Lihat Al-I'tishom: 1/187-189.Dan lihat pula kitab :Mauqif ahlis sunnah: 1/ 73-88.
9.HR.Abu Dawud dan Tirmidzi dari hadits Irbadh bin Sariyah radhiallahu anhu.Berkata Tirmidzi: hadits hasan shahih
16.Diriwayatkan oleh Ahmad dan Ibnu Abdil Bar, lihat minhajul firqoh annajiyah. Muhammad Jamil Zainu: 159.
17.Al-Qiyamah: 17
18.Seperti kita ketahui bahwa Al-Qur’an tidak disusun secara urut berdasarkan turunnya ayat. Ayat yang turun lebih dahulu bisa
saja ditaruh di akhir atau di tengah kitab dan sebaliknya. Sehingga = membukukan Al-Qur’an pada waktu itu tentu saja sangat
sulit bahkan tidak mungkin dilakukan selagi wahyu masih terus turun. (Ed)
19.HR.Ibnu Abi Ashim dari Anas bin Malik radhiallahu anhu dan dihasankan oleh Al-Albani dalam Shahihul jami', (lihat kitab: Ilmu
21.diriwayatkan oleh Abu Tohir dalam "fawa'id-nya.Lihat kitab: Al-Ajwibah annafi'ah, oleh Al-Allamah Al-Albani :hal: 11
24.Al-Ajwibatun Nafi'ah: 9.
28.Lihat kitab : rof'ul malam an aimmatil a'laam, Syeikhul islam Ibnu Taimiyyah: 9-34, Lihat pula kitab Muhammad bin Sholeh
30.Hadits shahih riwayat Abu Dawud, Ibnu Majah, At-Tirmidzi, Baihaqi, dari Abu Hurairah radhiallahu anhu.