You are on page 1of 20

MENGENAL APA ITU BID’AH (AJARAN BARU DI DALAM AGAMA)

Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Karimah Askari bin Jamal Hafizhahullah

Secara bahasa: maknanya adalah sesuatu yang baru yang tidak ada contoh sebelumnya,

seperti firman Allah:

(( ِ ُ ْ‫ ا‬
َ ِ ً ْ ِ 
ُ ُْ‫)) ُْ َ آ‬

”Katakanlah: aku bukanlah bid'ah dari kalangan para rasul"

Maknanya adalah: aku bukanlah yang pertama diutus, namun telah diutus sebelumku sekian

banyak rasul".

Secara istilah : Imam Asy Syathibi rahimahullahu Ta'ala mengatakan: "Bid'ah adalah suatu
metode (tatacara) yang diada-adakan dalam agama, menyerupai syari'at yang tujuan
mengamalkannya berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah 'Azza wa Jalla."

Fairuz Abadi dalam "Bashair Dzawit Tamyiiz" menyebutkan:"Bid'ah itu adalah segala

sesuatu yang baru dalam agama sesudah penyempurnaan."

Ada pula yang mengatakan: "Segala sesuatu yang diada-adakan sepeninggal Rasulullah

shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam, baik ucapan maupun perbuatan."

Dikatakan pula: "Bid'ah adalah mengeluarkan pendapat atau perbuatan, di mana pelaku

atau yang mengatakannya tidak mengambil tuntunan atau contoh dengan pembuat syari'at, atau

hal-hal yang pernah ada sebelumnya yang serupa dengan pebuatan atau pendapat itu serta

tidak bersandar kepada ushul yang kokoh.

Dari sini nampaklah bagi kita perbedaan antara bid'ah secara lughawi dan bid'ah secara

istilahi, dimana pengertian bid'ah secara lughawi lebih umum, sebab secara istilahi dikhususkan

dengan apa yang baru di dalam agama yang tidak ada penunjukannya dalam nash-nash dan

kaidah syariah. Maka terkadang suatu perbuatan tersebut termasuk bid’ah dalam bahasa namun

tidak termasuk bid'ah dalam syari'at. Seperti apabila ada nash yang menganjurkan suatu amalan

namun belum sempat diamalkan melainkan setelah terputusnya syariat, dan meninggalnya
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Apakah karena belum diberikan kemudahan untuk

mengumpulkannya atau karena adanya penghalang yang mencegah untuk melakukannya di

zaman turunnya syariat. Maka bagi orang yang pertama melakukannya dikatakan bid'ah secara

bahasa sebab merupakan perbuatan yang tidak ada contohnya terdahulu, namun bukan bid'ah

dalam syari'ah karena adanya dalil yang menunjukkan disyariatkannya.

Di antara contoh hal ini banyak dari perbuatan para Sahabat, seperti pengumpulan

Al-Qur’an di zaman Abu Bakar radhiallahu anhu, shalat Tarawih di zaman Umar bin Khattab

radhiallahu anhu, dan yang lainnya.

Semua Bid'ah Dalam Agama Adalah Sesat

Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari hadits Jabir radhiallahu anhu berkata: Bahwa

sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berkata di saat beliau berkhutbah:

4ٍ َ ْ ِ ُ‫ َوآ‬, ََُ َ ُْ ‫ ٍ َو!َ اُُْْ ِر‬$َُ ‫ي‬


ُ ْ َ‫ي ه‬
ِ ْ َْ‫) َو(َ'ْ َ ا‬
ِ ‫با‬
ُ َ+ِ‫ آ‬,
ِ ْ- ِ َْ‫ِن (َ'ْ َ ا‬/َ0 ُ ْ1َ َ‫)) َأ‬
(( ٌ4َ6 َ َ7

"Amma Ba'du, sesungguhnya sebaik-baik berita adalah kitabullah, dan sebaik-baik petunjuk

adalah petunjuk Muhammad shallallahu alaihi wasallam, dan sejelek-jelek perkara adalah

perkara yang diada-adakan, dan setiap bid'ah adalah kesesatan".

Berkata Abdullah bin Umar radhiallahu anhuma:

(( 4ً ََ8َ9 ‫س‬
ُ ‫ٌ َوِإنْ َرَ;هَ ا‬4َ6
َ َ7 4ٍ َ ْ ِ  ُ‫)) آ‬

"Setiap bid'ah adalah kesesatan walaupun dianggap baik oleh manusia "

Berkat Al-Imam Asy-Syathibi rahimahullah Ta'ala:

"Ketahuilah rahimakumullah (semoga Allah merahmatimu) bahwa apa yang telah disebutkan

berupa dalil-dalil adalah hujjah secara umum tercelanya (bid'ah) dari beberapa sisi:
Pertama: Bahwa riwayat tersebut datang secara mutlak dan umum, dengan banyaknya riwayat

namun tidak terdapat pengecualian sama sekali, tidak ada riwayat yang menjelaskan bahwa di

antara (bid'ah) ada yang berupa petunjuk, tidak ada pula disebutkan: setiap bid'ah sesat kecuali

ini dan itu dari berbagai macam makna. Ini menunjukkan bahwa seluruh dalil tersebut di atas

hakikatnya yang dzahir berupa lafadz "kullu" (seluruhnya).

Kedua: Bahwa telah ditetapkan dalam prinsip-prinsip yang ilmiah bahwa setiap kaidah

menyeluruh atau dalil syar'i yang bersifat menyeluruh bila berulang-ulang disebutkan di banyak

tempat, dan didatangkan sebagai penguat terhadap makna-makna ushul dan furu' dan tidak

pernah disertai pengkhususan di saat seringnya disebutkan, maka itu merupakan dalil atas

ketetapan lafadz tersebut bersifat umum.

Ketiga: Ijma' para ulama salaf dari kalangan shahabat, tabi'in dan setelah mereka atas

tercelanya bid'ah, dan menjelekkannya, berlari meninggalkan orang yang disifati sebagai ahli

bid'ah, dan tidak ada sedikitpun dari mereka sikap tawaqquf (abstain) atau ragu, maka ini

merupakan ijma' yang ditetapkan yang menunjukkan bahwa setiap bid'ah tidak ada yang benar,

bahkan termasuk kebatilan.

Keempat: Bahwa orang yang memahami bid'ah mengharuskan bersikap demikian (yaitu

meyakini bahwa setiap bid'ah itu sesat) sebab hal tersebut termasuk ke dalam perkara yang

bertentangan dengan syariat, membuang syariat, dan setiap yang keadaannya seperti ini

mustahil terbagi menjadi : yang baik dan yang buruk, ada yang terpuji dan ada pula yang tercela,

karena tidaklah benar baik secara akal maupun secara syar'i menganggap baik apa yang

menyelisihi syari'at. Demikian pula kalau dikatakan bahwa terdapat dalil yang menganggap baik

sebagian bid'ah atau dikecualikan sebagiannya dari celaan, tidaklah bisa tergambarkan. Karena

bid'ah itu adalah metode yang menyaingi syariat dalam keadaan dia tidak termasuk (syariat),

dan bila syariat menganggap baik adalah dalil disyariatkannya hal tersebut, sebab kalau syariat

mengatakan:" bahwa ajaran baru si fulan itu baik" berarti itu disyariatkan".

Tidak Ada Khilaf di Kalangan Ulama Bahwa Semua Bid'ah Dalam Agama
Itu Sesat
Banyak terjadi kesalahpahaman di antara kaum muslimin terhadap apa yang disebutkan oleh

sebagian para ulama dengan istilah bid'ah hasanah, atau pembagian bid'ah menjadi lima

bagian : Wajib, sunnah, makruh, haram dan mubah. Atau membagi bid'ah menjadi dua:

Mahmudah (terpuji) dan madzmumah (tercela). Sehingga tergambarkan oleh mereka bahwa di

dalam agama ada bid'ah yang boleh dikerjakan, bahkan dianjurkan, atau bahkan diharuskan,

lalu setelah itu menjadikan berbagai macam bid'ah yang menyesatkan tersebut sebagai bagian

dari agama yang dianjurkan untuk mengerjakannya, termasuk pula di antaranya bid'ah dholalah

model Arifin ilham dengan dzikir jama'inya.

Telah disebutkan oleh salah seorang pendukung dzikir ini bernama Ahmad Dimyathi

Badruzzaman MA bahwa hadits Rasulullah shallallahu alaihi wasallam "kullu bid'atin dholalah"

adalah umum yang telah ditakhsis (dikhususkan) dengan beberapa hal:

Pertama : Kecuali dalam urusan dunia.

Kedua : Kecuali yang dilakukan oleh Khulafaur Rosyidin.

Ketiga : Kecuali bid'ah hasil ijtihad imam-imam mujtahid.

Sesungguhnya kalau Ahmad Dimyathi –semoga Allah memberikan hidayah kepada kita

semua- memperhatikan secara seksama definisi bid'ah secara istilah, niscaya dia akan

berkesimpulan bahwa sesungguhnya tidaklah perlu adanya takhsis yang di sebutkan itu, dan

akan menyikapi hadits Rasulullah shallalahu alaihi wasallam tersebut secara mutlak. Namun

anehnya, ketika Ahmad Dimyathi memberikan kesimpulan terhadap definisi bid'ah secara

terminology (istilah) dia mengatakan:

"Ringkasnya, segala sesuatu yang terjadi dalam agama yang belum pernah ada di zaman Nabi

shallallahu alaihi wasallam dan tidak pula di zaman para Shahabatnya, yang tidak bersumber

dari syara', baik dengan dalil yang tegas maupun dengan isyarat, dari Al-Qur’an dan sunnah

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, maka hal itu menurut syariat dinamakan dengan bid'ah"

Dan perhatikan pula yang diucapkan oleh Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah:
‫ن‬
َ َ‫ َوأَ َ آ‬,=ِ ْ'َ>َ ‫َ ُ ل‬- 4ِ َ1ْ-ِ @‫ ا‬Aِ0 =ُ َ َ ْB‫ َأ‬Cَ $ِ ‫ث‬ َ ِ ْ9‫ َ ُأ‬4ِ َ ْ ِEِْ ‫َُا ُد‬$ْ‫ٌ(( وَا‬4َ6َ َ7 4ٍ َ ْ ِ  ُ‫)) آ‬
4ً َGُ 4ً َ ْ ِ ‫ن‬
َ َ‫ !َْ ً َوِإنْ آ‬4ٍ َ ْ ِEِ Hَ ْ'َ>َ0 =ِ ْ'َ>َ ‫َ ُ ل‬- ‫ع‬
ِ ْ@‫ ا‬
َ ِ ٌْB‫َ ُ= َأ‬

"Kullu bid'atin dholalah : Yang dimaksud dengan bid'ah adalah perbuatan baru yang tidak ada

penunjukannya dalam syariat, adapun yang memiliki asal dalam syari'at penunjukannya maka

bukan bid'ah secara istilah walaupun termasuk bid'ah secara bahasa".

Kalau sekiranya Ahmad Dimyathi konsekwen dengan kesimpulan definisi tersebut, niscaya dia

tidak akan memerlukan adanya pentakhsisan tersebut.

Adapun takhsis yang pertama: "kecuali dalam urusan dunia", takhsis ini tidaklah perlu,

disebabkan karena dalam definisi tersebut telah dikhususkan bid'ah sesat itu dalam perkara

agama.

Adapun takhsis yang kedua: "yang dilakukan khulafaur rosyidin", juga tidaklah perlu.

Disebabkan karena adanya nash yang jelas yang telah disabdakan oleh Rasulullah shallallahu

alaihi wasallam dengan sabdanya:

َْ'َ>َ ‫ْا‬Jَ ‫ُا َِ َو‬K8َ$َ ‫ْ ِي‬1َ ِْ 


َ ْ'ّ- ِ َْ$ْ‫ْ َا‬- ِ ِ!‫َ ِء اْا‬Nَ>ُOْ‫ ا‬4ِ َُ‫ و‬Aِّ+َُ8ِ ْPُKْ'َ>َ1َ0))
((Qِ ِR‫ َِا‬

"Maka hendaklah kalian berpegang teguh dengan sunnahku, dan sunnah para khulafa'ur

Rosyidin setelahku. Peganglah erat-erat dan gigitlah dengan gigi gerahammu".

Maka di dalam hadits ini terdapat dalil anjuran mengikuti sunnahnya khulafa'ur Rosyidin

bersama dengan sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, sebagai jalan keluar dari

munculnya perpecahan yang akan terjadi. Berkata Ibnu Rajab dalam menjelaskan hadits ini:

"Ini merupakan pemberitaan dari Nabi shallallahu alaihi wasallam tentang apa yang terjadi pada

umatnya berupa perselisihan yang banyak, baik dalam ushuluddin dan furu'nya, dalam

amalan-amalan, perkataan dan keyakinan. Dan ini sesuai dengan yang diriwayatkan dari Beliau

tentang perpecahan umatnya menjadi 73 golongan dan semuanya dalam neraka kecuali satu

golongan, yaitu siapa yang berjalan di atas jalannya dan para Shahabatnya. Oleh karena itu,

dalam hadits ini perintah di saat terjadi perselisihan dan perpecahan agar berpegang teguh
dengan sunnahnya, dan sunnahnya para Khulafa'ur Rosyidin setelahnya. Dan sunnah adalah

jalan yang ditempuh, maka mencakup komitmen dengan apa yang telah ditempuh oleh beliau

shallallahu alaihi wasallam dan para Khulafa'ur Rosyidin berupa aqidah, amalan dan perkataan.

Inilah sunnah yang sempurna, oleh karena itu para ulama salaf tidaklah memutlakkan nama

sunnah kecuali bila mencakup hal tersebut secara menyeluruh".

Lalu beliau berkata: "(Dalam hadits ini) dalil bahwa sunnah Khulafa'ur Rosyidin juga diikuti

seperti diikutinya sunnah berbeda dengan selain mereka dari para khalifah".

Dan yang dimaksud dengan istilah Khulafa'ur Rosyidin adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin

Khattab, Utsman bin Affaan, dan Ali bin Abi Thalib. Dan banyak dari kalangan para imam

menyebutkan bahwa Umar bin Abdil Aziz juga termasuk ke dalam Khulafa'ur Rosyidin

radhiallahu anhum.

Namun perlu diketahui bahwa yang menjadi hujjah yang dimaksud di dalam hadits tersebut

bukan pendapat perseorangan dari mereka, namun yang termasuk hujjah adalah apa yang telah

menjadi kesepakatan mereka dalam suatu urusan. Sebab di antara para Khulafa'ur Rosyidin

tersebut telah terjadi perselisihan di kalangan mereka dalam berbagai masalah, dan bukanlah

perkataan sebagian mereka menjadi hujjah terhadap yang lainnya.Maka fahamilah !!

Berkata Syinqithi rahimahullah Ta'ala:

‫ع‬
ٍ َ$ْR/ِِ H
َ ْ'َ‫ٌ َو‬4Sُ9 =ُ Tَ‫ أ‬U
ُ ْ'ِVْ‫ُْْ ِر وَا‬$ُSْ‫ع ِْ َ ا‬
ٍ َ$ْR/ِِ H
َ ْ'َ 4ِ َ1َ ْ‫ر‬Wَ ‫َءِ ا‬Nَ>ُOْ‫ق ا‬
ُ َNY‫ِا‬

"Kesepakatan empat khalifah bukanlah termasuk ijma' menurut jumhur ulama, dan yang shahih

bahwa itu adalah hujjah dan bukan ijma'".

Dan apa yang menjadi kesepakatan para Khulafa'ur Rosyidin maka itulah yang disepakati oleh

para shahabat.

Namun jangan disalahpahami bahwa sunnah Khulafa'ur Rosyidin merupakan sunnah yang

berdiri sendiri yang terlepas dari sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, sebab tidak ada

yang haq kecuali dengan sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Namun yang dimaksud
adalah bahwa para Khulafa'ur Rosyidin tersebut senantiasa mengikuti sunnah Rasulullah

shallallahu alaihi wasallam.

Berkata Abu Muhammad Ibnu Hazm rahimahullahu Ta'ala:

"Sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam di saat memerintahkan untuk mengikuti

sunnahnya para Khulafa'ur Rosyidin tidaklah keluar dari salah satu di antara dua sisi”:

Pertama: Ada kemungkinan bahwa beliau (Rasulullah shallalahu alaihi wasallam) membolehkan

bagi mereka untuk membuat sunnah yang bukan sunnah Beliau. Maka ini tidaklah diucapkan

oleh seorang muslim. Dan siapa yang membolehkan hal ini maka sungguh dia telah kafir,

murtad, halal darahnya dan hartanya. Sebab agama ini secara keseluruhan ada yang wajib, dan

ada yang tidak wajib, ada yang haram dan ada pula yang halal. Maka barangsiapa yang

membolehkan bahwa para Khulafa'ur Rosyidin memiliki sunnah yang tidak disunnahkan

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, maka dia telah membolehkan bagi mereka untuk

menghalalkan yang haram atau mewajibkan apa yang tidak diwajibkan oleh Rasulullah

shallallahu alaihi wasallam, ataukah menjatuhkan kewajiban yang telah diwajibkan oleh

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, dan beliau tidak menggugurkan (kewajiban tersebut)

hingga beliau wafat. Setiap sisi ini barangsiapa yang membolehkan sesuatu darinya maka dia

kafir musyrik berdasarkan kesepakatan umat seluruhnya tanpa diperselisihkan. Maka sisi ini

adalah batil walhamdu lillah.

Kemungkian kedua: Diperintahkannya mengikuti mereka karena mereka senantiasa mengikuti

sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Dan inilah pendapat kami, dan tidak ada

kemungkinan lain (dari makna hadits tersebut) melainkan ini".

Adapun pendapat perseorangan dari mereka maka yang demikian bukanlah hujjah, oleh

karenanya para ulama pun dari kalangan para Shahabat dan setelahnya terkadang menyelisihi

pendapat mereka jika mereka melihat bahwa amalan mereka bertentangan dengan sunnah

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.


Bahkan ketika Abdullah bin Abbas radhiallahu anhuma melihat sebagian kaum muslimin lebih

mengutamakan pendapat Abu Bakar dan Umar radhiallahu anhuma daripada ketetapan

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, beliau pun marah dan berkata:

(( ُ َ$ُ ‫ْ ٍ َو‬Kَ ُ ‫ َ َل َأ‬: ‫ن‬


َ ُُْْ[َ-‫ َو‬P>‫>\ ا) >'= و;= و‬B A
 ِEْ‫ َ َل ا‬:‫ن َأُ ُل‬
َ ُْKِ>َْ'َ ْPُ‫)) َأرَاه‬

"Aku melihat mereka akan binasa: aku berkata "Bersabda Nabi shallallahu alaihi wasallam,

mereka mengatakan : berkata Abu Bakar berkata Umar".

Masalah pembukuan mushaf Al-Qur’an, bahwa ini termasuk bid'ah yang diperbolehkan

adalah tidak benar, karena beberapa sebab:

Pertama: Perkara ini terdapat dalilnya di dalam Al-Qur’an, yaitu firman Allah Azza wa jalla:

(( =ُ َT;ُْ‫َ ُ= َو‬1ْ$َR َْ'َ>َ ‫)) إِن‬

"Dan atas Kamilah mengumpulkan Al-Qur’an (di dadamu) dan membacanya".

Maka di dalam ayat ini terdapat isyarat dianjurkannya mengumpulkan Al-Qur’an apakah dengan

cara menghafalnya ataupun membukukannya, berdasarkan keumuman lafadz ayat yang mulia

tersebut.

Kalau ada yang berkata: lalu mengapa di zaman Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tidak

dibukukan? Jawabannya adalah: Di zaman Rasulullah shallallahu alaihi wasallam masih ada

pencegah dibukukannya, yaitu karena Al-Qur’an masih turun secara berangsur-angsur selama

masa hidup beliau, dan terkadang Allah menghapus ayat yang dikehendakinya, maka tatkala

meninggalnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, maka mereka pun baru

mengumpulkannya disebabkan karena telah sempurnanya agama ini dan wahyu telah terputus.

Kedua: Hal ini adalah merupakan perkara yang telah disepakati oleh seluruh para shahabat dan

tidak ada satupun yang mengingkarinya, dan ijma' adalah salah satu hujjah di dalam islam

berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:

(( 4ٍ َ6
َ َ7 \َ>َ ]َ ِ$َ+ْSَ ْ‫ َأن‬Aِ+ُ‫َ َر أ‬R‫ََ\ َ ْ َأ‬1َ )
َ ‫)) إِن ا‬
"Sesungguhnya Allah Ta'ala telah melindungi umatku untuk bersepakat di atas kesesatan".

Adapun tentang adzan pertama di hari Jum’at, di zaman Utsman bin Affan radhiallahu

anhu, maka jawabannya dari beberapa sisi:

Pertama: Bahwa adzan pertama tersebut merupakan ijtihad dari Utsman bin Affan radhiallahu

anhu, dan beliau adalah salah satu di antara para shahabat radhiallahu anhum ajma'in. Dan

salah seorang Shahabat apabila berijtihad lalu ada yang menyelisihinya dari Shahabat yang lain,

maka pendapat sebagian Shahabat bukanlah hujjah terhadap Shahabat yang lain dan butuh

melihat kepada yang rajih (kuat) di antara apa yang mereka perselisihkan tersebut.

Maka permasalahan inipun termasuk yang diperselisihkan di antara mereka. Telah diselisihi oleh

Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu ketika beliau di Kufah dan beliau hanya mengamalkan yang

disunnahkan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan tidak mengambil tambahan Utsman

radhiallahu anhu.

Dan demikian pula Abdullah bin Umar berkata:

='> )‫>\ ا‬B A


 ِE‫غ ا‬
َ َ َ0 ‫ذَا‬/َِ0 ,ٌ‫ل‬6
َ ِ ‫ن‬
َ ‫َ َ أَذ‬Eِْ$ْ‫ِ َ ا‬1َB ‫ ِإذَا‬P>‫>\ ا) >'= و;= و‬B A  ِE‫ن ا‬
َ َ‫َ آ‬$Tِ‫إ‬
(( ٌ4َ ْ ِ ‫َو ُل‬W‫ن ا‬ُ ‫ذَا‬Wَ ْ‫ َوا‬,‫ َة‬6
َ Vْ‫ِ ِ= َأَ َم ا‬+َEْbُ( ِْ P>‫و‬

"Sesungguhnya hanyalah Nabi shallalahu alaihi wasallam apabila naik ke mimbar maka Bilal

mengumandangkan Adzan, apabila Nabi selesai dari khutbahnya (Bilal) menyerukan iqomah,

dan adzan pertama adalah bid'ah".

Oleh karena itu Imam Asy-Syafi'i rahimahullah berkata dalam kitabnya "Al-Umm":

Qَ َ(‫َ َ َأ‬1َ0 ‫ذَا‬/َِ0 ِ َEِْ$ْ‫ َ>َ\ ا‬H


ُ ِ>ْSَ-‫ِ َ َو‬Sْ8َ$ْ‫َ ُم ا‬cِ ‫َ ْ(ُ ُ ا‬-  َ ْ'ِ9 4ِ َ1ْ$ُSْ‫َْمَ ا‬- ‫ن‬ُ ‫ذَا‬Wَ ‫ن ا‬ َ ُْKَ- ْ‫ َأن‬d ِ9‫َوُأ‬
(( =ِ ْ'َ>َ ُ ْ-eِ َ- Cَ dَ َbَOَ0 ‫غ َ َم‬
َ َ َ0 ‫ذَا‬/َِ0 ‫ن‬
ِ ‫ذَا‬Wَ ‫ ا‬Aِ0 ‫ن‬ُ ‫ذ‬Y fَ ُ$ْ‫ا‬

"Dan aku menyukai agar adzan pada hari Jum’at di saat imam masuk ke dalam masjid dan

duduk di atas mimbar. Maka apabila (imam) telah melakukannya, muadzin pun

mengumandangkan adzannya. Bila selesai berdirilah imam berkhutbah, jangan dia

menambahnya".
Kedua: Bahwa ada dua sebab mengapa Utsman radhiallahu anhu menambah adzan pertama

tersebut. Berikut ini riwayatnya:

Berkata Az-Zuhri rahimahullah Ta'ala: telah mengabarkan kepada kami As-Saib bin Yazid :

Bahwa adzan yang disebutkan Allah dalam Al-Qur’an, awalnya adalah di saat imam duduk di

atas mimbar, dan apabila telah ditegakkan shalat pada hari Jum’at di pintu masjid di zaman Nabi

shallallahu laihi wasallam, Abu Bakar dan Umar, maka tatkala di zaman khilafah Utsman dan

semakin banyak manusia,dan berjauhan rumah-rumah mereka, maka Utsman memerintahkan

pada hari Jum’at adzan yang ketiga (dalam riwayat lain: pertama,dalam riwayat lain: kedua) di

atas rumah di pasar yang disebut "Zaura'". Maka dikumandangkanlah di atas Zaura', sebelum

keluarnya (imam) agar manusia mengetahui bahwa Jum’at telah masuk, maka ditetapkanlah

amalan tersebut. Dan manusia tidak mencelanya atas hal tersebut, padahal mereka telah

mencela beliau ketika menyempurnakan shalat (di waktu safar) di Mina.

Dari riwayat ini nampaklah bagi kita bahwa Utsman tidaklah menambah adzan pada hari Jum’at

melainkan disebabkan dua perkara:

Pertama : Semakin banyaknya manusia

Kedua : Berjauhannya rumah mereka

Dengan kedua sebab inilah menyebabkan mereka tidak dapat mendengarkan adzan

dikumandangkan, sehingga beliau menganggap kemaslahatan dengan ditambahnya adzan

tersebut.Sehingga sebagian para ulama menggolongkan hal ini termasuk kedalam maslahah

mursalah. Maka apakah kedua illat (sebab) tersebut ada di zaman sekarang??

Berkata Al-Albani rahimahullah Ta'ala: "Kami tidak berpendapat untuk mengikuti apa yang

dilakukan Utsman radhiallah anhu secara mutlak tanpa syarat, sebab telah kita jelaskan bahwa

Utsman hanyalah menambah itu disebabkan karena ada illah ma'qulah (sebab yang masuk

akal) yaitu banyaknya manusia dan berjauhannya tempat tinggal mereka dari masjid nabi. Maka

barangsiapa yang berpaling dari sebab ini, dan berpegang kepada adzan Utsman secara mutlak,

maka dia tidak mengikuti Utsman radhiallahu anhu, bahkan menyelisihinya, karena dia tidak

memperhatikan dengan mata ilmu terhadap sebab yang kalau tidak ada sebab tersebut, maka
tentunya Utsman radhiallahu anhu tidak melakukan penambahan atas sunnah yang ada dan

sunnahnya dua khalifah setelahnya."

Adapun tentang shalat tarawih secara berjama'ah di zaman Umar bin Khattab radhiallahu

anhu, maka sungguh sangatlah keliru jika ini termasuk dalam kategori bid'ah di dalam istilah

syar'i, sebab shalat berjama'ah tarawih termasuk sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

Sebagaimana yang terdapat dalam shahih Bukhari dari hadits Aisyah radhiallahu anha berkata:

Bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam shalat di masjid pada suatu malam lalu shalatlah

bersama beliau beberapa orang, kemudian shalat di malam berikutnya maka semakin

bertambah manusia (yang shalat), lalu di saat mereka berkumpul pada malam ketiga atau

keempat maka Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tidak keluar bersama mereka, maka

tatkala di pagi hari beliau berkata:

(( ْPُKْ'َ>َ ‫ض‬
َ َ ْNُ ْ‫ َأن‬
ُ ْ'ِ@َ( AYT‫ َأ‬Cِ‫ج إ‬
ِ ْ‫ُ ُو‬Oْ‫ ا‬
َ ِ Aَْ1َْ$َ- ْPَ‫ْ َو‬Pُ+ْ1ََB ‫ِي‬Q‫ ا‬
ُ ْ-‫))َ ْ َرَأ‬

"Sungguh aku telah melihat apa yang kalian lakukan, dan tidak ada yang mencegah-ku keluar

melainkan khawatir diwajibkan atas kalian".

Dan itu terjadi di bulan Ramadhan".

Maka hadits ini sangat jelas menunjukkan bahwa berjama'ah di malam hari ramadhon tersebut

adalah hal yang sunnah. Karena telah dikerjakan beberapa malam oleh Rasulullah shallallahu

alaihi wasallam. Dan beliau meninggalkannya hanya karena khawatir diwajibkan atas umatnya,

sebab zaman beliau adalah zaman turunnya wahyu yang menyebabkan beliau khawatir

diwahyukan sesuatu yang menjadikan kewajiban atas mereka sehingga mereka lemah dalam

mengamalkannya. Adapun setelah meninggalnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam maka

telah hilang sebab kekhawatiran tersebut dan agama telah sempurna, maka kembali ke hukum

semula yaitu dianjurkannya hal tersebut. Lalu tiba zaman kekhilafahan Abu Bakar As-Shiddiq

radhiallahu anhu, dan belum ditegakkan sunnah tersebut karena disebabkan salah satu dari dua

perkara:

Pertama: Mungkin beliau melihat bahwa shalat di akhir malam lebih afdhal dari pada

mengumpulkannya di awal malam.


Kedua: Kesibukan beliau menghadapi berbagai perkara dalam pemerintahannya, seperti

memerangi orang yang murtad dan yang enggan membayar zakat, melanjutkan pengiriman

pasukan yang sempat tertunda di zaman Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan sebagainya.

Maka di saat tiba masa kekhilafahan Umar bin Khattab radhiallahu anhu maka beliau pun

memiliki kesempatan untuk mengumpulkan kaum muslimin pada imam yang satu untuk shalat

berjama'ah di malam Ramadhan tersebut. Sehingga apa yang beliau katakan:

iِ Qِ َ‫ ه‬4ِ َ ْ ِEْ‫ ا‬
ُ َ$ْ1ِT

"Ini adalah sebaik-baik bid'ah"

Yang dimaksud adalah bid'ah secara bahasa, bukan secara istilah, maka fahamilah wahai orang

–orang yang diberi akal!

Berkata Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah Ta'ala:

"Ini adalah penamaan secara bahasa, bukan penamaan syar'iyyah. Sebab bid'ah secara bahasa

mencakup seluruh apa yang dilakukan pertama kali tanpa ada contoh sebelumnya.Adapun

bid'ah secara syar'i yaitu apa-apa yang tidak ada penunjukannya dalam syari'at. Maka apabila

nash Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah menunjukkan atas disukainya suatu amalan,

atau diwajibkannya setelah beliau meninggal, atau terdapat penunjukannya secara mutlak, dan

belum dilakukan kecuali setelah meninggalnya beliau seperti kitab sedekah yang dikeluarkan

oleh Abu Bakar radhiallahu anhu. Maka apabila diamalkan hal tersebut setelah beliau meninggal,

benar untuk dikatakan bid'ah secara bahasa, sebab itu adalah amalan yang pertama,

sebagaimana agama yang dibawa oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam juga dikatakan bid'ah

dan dinamakan perkara baru (bid’ah) secara bahasa. Sebagaimana yang dikatakan oleh utusan

Quraisy ke raja Najasyi tentang shahabat Nabi shallallahu alaihi wasallam yang berhijrah ke

Habasyah :"Sesungguhnya mereka ini keluar dari agama nenek moyang mereka, dan tidak

masuk ke dalam agama sang raja, mereka datang membawa agama yang baru yang tidak

diketahui".

Adapun takhsis yang ketiga yang disebutkan oleh Ahmad Dimyathi: Kecuali ijtihad-nya

para imam mujtahid.: adalah pentakhsisan yang sungguh aneh, bagaimana mungkin hadits
Nabi shallallahu alaihi wasallam bisa ditakhsis oleh sesuatu yang datang berikutnya dari ijtihad

para Imam mujtahid? Sepertinya saudara Ahmad Dimyathi tidak bisa membedakan mana

kesalahan yang dimaafkan karena ijtihad, dan mana sesuatu yang dihukumi sebagai bid'ah atau

penyimpangan walaupun berasal dari seorang mujtahid. Berkata salah seorang penyair:

=ِ ْ-ِ ْ$+ِْ H
َ ْ'َ =َ ُُْ‫ َ َل ا) َ َل َرُُْ ُ= َ َل َر‬Pُ ْ>ِ1‫ا‬

=ٍ ْ'ِ[َ0 ‫ َْ ِل‬


َ ْ'َ ‫ اُْ ِل َو‬
َ ْ'َ 4ً َ‫َه‬Nَ ‫ف‬
ِ 6
َ ِOْ>ِ k
َ ُEْVَT Pُ ْ>ِ1ْ‫َا‬

Ilmu itu adalah berkata Allah, berkata Rasulullah, dan berkata shahabat, tidaklah terkaburkan

Bukanlah ilmu tatkala engkau menjadikan sebagai perselisihan antara perkataan Rasulullah

dengan perkataan seorang yang faqih karena kebodohan.

Perlu kita mendudukkan masalah ini sesuai pada tempatnya, yaitu bahwa seorang mufti

diberikan wewenang dalam syari'at untuk berfatwa sesuai dengan apa yang difahaminya dari

Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dan terkadang tidak sedikit dari mereka yang berfatwa namun fatwa

tersebut menyelisihi yang benar, dengan berbagai macam sebab, apakah karena belum sampai

kepadanya suatu hadits yang telah sampai dan diketahui oleh mujtahid yang lain, atau telah

sampai kepadanya namun beliau memiliki dalil lain yang menyelisihi dalil tersebut yang ternyata

riwayat tersebut lemah, atau dengan sebab yang lainnya.

Lihat apa yang dikatakan oleh Ahmad Dimyathi –semoga Allah memberi petunjuk padanya-

ketika dia berkata: "Berijtihad bagi imam mujtahid sudah diberi izin oleh Nabi shallallahu alaihi

wasallam. Karena itu, hasil-hasil ijtihadnya HARUS DITERIMA(??!!) dan tidak boleh dikatakan

sebagai bid'ah dholalah, kalaupun dikatakan bid'ah, itu namanya bid'ah hasanah"

Subhanallah!! Mana dalil yang menunjukkan bahwa hasil ijtihad para imam mujtahid harus

diterima secara mutlak tanpa syarat? Siapa yang mendahuluimu mengatakan hal ini? Lalu

apabila para imam mujtahid tersebut harus diterima, maka yang mana yang harus

diterima di saat terjadi perselisihan di antara mereka?


Telah bersabda Rasulullah shallallahu alaiahi wasalla:

Aِ0 k َ ِQَ َ0 Pُ َ>ْ1َ- َ ُ‫ َوه‬l


ِّ َْ‫َ'ْ ِ ا‬Gِ \َJَ ‫ض‬
ٍ َ ,4ِ َSْ‫ ا‬Aِ0 ‫ض‬ ٍ َ‫ْ ا ِر َو‬Aِ0 ‫ن‬ ِ َ'ِ7َ : ٌ4َ6َ َ ‫َ ُة‬Jُ[‫ا‬
Pُ َ>ْ1َ- َ ُ‫ َوه‬l ِّ َِْ \َJَ ‫ض‬ ٍ َ‫ َو‬,‫ ا ِر‬Aِ0 kَ ِQَ َ0 ‫س‬
ِ ‫ق ا‬
َ ُْ[ُ9 k
َ َ>ْ‫ََه‬0 Pُ َ>ْ1َ- Cَ َ ُ‫َ\ َوه‬Jَ ‫ض‬ ٍ َ‫ َو‬,‫ا ِر‬
4ِ َSْ‫ ا‬Aِ0 k َ ِQَ َ0

"Qadhi (penegak hokum) ada tiga: Dua dalam neraka dan satu dalam syurga:

1.Qadhi yang memutuskan hukum tanpa hak dan dia mengetahui hal itu maka dia dalam neraka.

2.Qadhi yang menetapkan hukum dan dia tidak berilmu maka menyebabkan dia membinasakan

hak-hak manusia, maka dia dalam neraka.

3.Qadhi yang memutuskan (hukum) dengan kebenaran dan dia berilmu tentangnya maka dia

dalam syurga".

Berkata Imam Abu Hanifah rahimahullah:

AِEَ‫ْه‬Qَ َ َُ0 ,
ُ -ِ َْ‫ ا‬UَB ‫ِإذَا‬

"Apabila telah shahih suatu hadits, maka itulah madzhabku".

Beliau juga berkata:

iُ َTْQَ(‫ َأ‬
َ ْ-‫ْ ِْ َأ‬Pَ>ْ1َ- ْPَ َ ََِْ[ِ Qَ ُ(َْ- ْ‫َ ٍ َأن‬9َِ َّ َِ- Cَ

"Tidaklah halal bagi seorang pun mengambil pendapat kami selama dia tidak tahu dari mana

kami mengambilnya".

Beliau juga berkata:

"Aِ6
َ َKِ Aِ+ْNُ- ْ‫ َأن‬Aِ>ْ'ِ‫ْ ِفْ َد‬1َ- ْPَ َْ \َ>َ ٌ‫ََام‬9"

"Haram atas orang yang tidak mengetahui dalilku untuk berfatwa dengan perkataanku".

Berkata Imam Malik rahimahullah Ta'ala:


ْPَ َ  َ‫ َوآ‬,iُ ْ‫و‬Qُ ُOَ0 4َ ُ8‫ب وَا‬
َ َ+ِK‫ ا‬l
َ َ0‫ُ  َ وَا‬Kَ0 ,Aِ-ْ‫ َرأ‬Aِ0 ‫ُُوا‬oْTَ0 ,d
ُ 'ِB‫ َوُأ‬n ُ ِbْ(‫َ َ@ٌَ ُأ‬T‫َ َأ‬$Tِ‫)) إ‬
(( iُ ُ‫َْ ُآ‬0 4َ ُ8‫ب وَا‬
َ َ+ِK‫ْ ا‬l0ِ‫ُ َا‬-

"Sesungguhnya aku ini hanyalah manusia bisa salah dan bisa benar, maka perhatikanlah

pendapatku, maka setiap apa yang sesuai dengan Al-Kitab dan as-“Sunnah maka ambillah, dan

setiap apa yang tidak mencocoki Al-Kitab dan Sunnah maka tinggalkanlah".

Beliau juga berkata:

)‫>\ ا‬B A
 ِE‫ ا‬Cِ‫ك إ‬
ُ َ ْ+َ-‫ ِْ َِْ ِ= َو‬Qُ َ(ْfُ-‫ َو‬Cِ‫ إ‬P>‫َ>\ ا) >'= و;= و‬B A
ِّ ِE‫ْ َ ا‬1َ ٌ َ9‫ َأ‬H
َ ْ'َ‫َو‬
P>‫ >'= و;= و‬

"Tidak seorangpun setelah Nabi shallallahu alaihi wasallam melainkan bisa diterima dan ditolak

perkataannya kecuali Nabi shallallahu alaihi wasallam".

ْPَ ,P>‫َ>\ ا= >'= و;= و‬B )


ِ ‫ٌ َْ َرُْ ِل ا‬4ُ ُ=َ َْTَEَ+ْ‫ ِا‬
ِ َ ‫ن َ>َ\ أَن‬ َ ُْ$ِ>ْ8ُ$‫َ َ] ا‬$ْR‫)) َأ‬
(( ٍ َ9‫َ َ ََ ِ[َْ ِل َأ‬- ْ‫َِ َ ُ= َأن‬-

"Sepakat kaum muslimin bahwa barangsiapa yang telah jelas baginya sunnah Rasulullah

shallallahu alaihi wasallam, maka tidak halal baginya meninggalkannya karena perkataan

seseorang (dari manusia)".

Dan beliau juga berkata:

\>B )
ِ ‫ َرُ ِل ا‬4ِ ُ8ِ ‫َ[ُُْا‬0 ,P>‫>\ ا) >'= و‬B )
ِ ‫ َرُْ ِل ا‬4ِ ُ ‫ف‬َ 6 َ ِ( Aِ َ+ِ‫ آ‬Aِ0 ْPُْ َR‫َإذَا َو‬

ُ ْ>ُ َ ‫ َو َد ُا‬P>‫ا) >'= و‬

"Jika kalian mendapati di dalam kitabku menyelisihi sunnah Rasulullah shallallahu alaihi

wasallam, maka ambillah sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan tinggalkan apa

yang aku katakan".

Dan berkata Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah Ta'ala:

‫ُوا‬Qَ(‫ َأ‬,
ُ ْ'َ9 ِْ ْQُ(‫ َو‬,‫ْرِي‬q‫ ا‬Cَ ‫ َو‬Aِ ‫وْزَا‬Wَ ‫ ا‬Cَ ‫ َو‬Aِ1ِ0@‫ ا‬Cَ ‫ً َو‬Kَِ ْ Y>َ[ُ Cَ ‫ َو‬, AِTْ Y>َ[ُ Cَ
"Janganlah kamu ber-taqlid kepadaku, dan jangan pula kepada Malik, Syafi'i dan tidak pula

Ats-Tsauri dan Al-Auza'i, dan ambillah dari mana mereka mengambilnya".

Dan beliau berkata pula:

‫َ ِر‬s‫ ا‬Aِ0 4ُ Sُ‫َ ا‬$Tِ‫ َوإ‬,ٌ‫ َوهُ َ ِْ ِي ََاء‬,ٌ‫ آُ> ُ= َرأْي‬4َ َNْ'َِ9 Aِ ‫ي َأ‬
ُ ْ‫ َو َرأ‬,k
ٍ َِ ‫ي‬
ُ ْ‫ َو َرأ‬,Aِ ‫وْزَا‬Wَ ‫ي ا‬
ُ ْ‫َرأ‬

"Pendapat Auza'i pendapat Malik, pendapat Abu Hanifah, semuanya hanyalah pendapat, dan

menurutku semuanya sama. Hujjah hanyalah dengan riwayat (atsar)".

Dan yang lainnya dari perkataan para imam dan fuqoha' yang mengharuskan seseorang

merujuk kepada sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dalam segala perkara agama,

bukan malah harus menerima pendapat mereka tanpa melihat mana di antara mereka yang

lebih mendekati kebenaran.

Adapun riwayat yang disebutkan oleh Ahmad Dimyathi itu tidak lebih hanya memberikan izin

kepada seorang ahli ilmu yang telah memiliki kemampuan untuk berijtihad untuk mengeluarkan

pendapatnya dalam suatu perkara ketika tidak mengetahui ada dalilnya dalam Al-Qur’an dan

Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, atau perkataan para ulama salaf dari kalangan

shahabat dan Tabi'in, bukannya memberikan keterangan bahwa ijtihadnya harus diikuti, apalagi

untuk mentakhsis sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam???, bukankah ijtihad hanya

diperbolehkan di saat tidak mendapatkan nash syar'i ??? sungguh aneh pendapatmu wahai

saudara!!

Simaklah apa yang dikatakan oleh Al-Hafidz IBnu Rajab Al-Hambali rahimahullah Ta'ala:

"Yang wajib atas setiap yang sampai kepadanya perintah Rasul shallallahu alaihi wasallam dan

mengetahuinya agar menjelaskannya kepada umat, dan menasehati mereka, dan

memerintahkan mereka untuk mengikuti perintahnya (Rasul), walaupun menyelisihi pendapat

seorang yang agung dari umat ini karena sesungguhnya perintah Rasulullah shallallahu alaihi

wasallam lebih berhak untuk diagungkan dan diikuti daripada pendapat siapapun yang

diagungkan yang telah menyelisihi perintahnya pada sebagian perkara. Dari sinilah para

shahabat dan setelahnya menolak setiap yang menyelisihi sunnah yang shahihah dan

terkadang mereka bersikap keras dalam menolaknya, bukan karena benci kepada mereka,
namun karena cinta dan diagungkan dalam jiwa mereka. Namun Rasulullah shallallahu alaihi

wasallam lebih mereka cintai, perintahnya di atas seluruh perintah makhluk, maka apabila

bertentangan antara perintah Rasul dengan perintah yang lainnya, maka perintah Rasul lebih

utama diikuti dan didahulukan".

Adapun pendapat para ulama yang anda nukilkan tentang takhsis (pengkhususan) hadits

tersebut, hal itu disebabkan karena memahaminya secara defnisi bahasa, bukan secara istilah.

Seperti apa yang anda nukilkan dari Imam Nawawi yang menafsirkan hadits "kullu bid'atin

dholalah" yang dimaksud adalah kebanyakan (bukan seluruh) bid'ah.Berikut ini perkataan beliau

secara lengkap:

َ ِ$ُ ‫ْ ٍء‬Aَ!  ُ‫ آ‬A


َ ِ‫ ه‬:4ِ َGُ>ْ‫ع َ َل َأهْ ُ ا‬
ِ َ ِEْ‫ ا‬d
ُ َِt ‫َُا ُد‬$‫ُْصٌ وَا‬VْOَ ٌ‫َا َم‬Qَ‫ٌ( ه‬4َ6 َ َ7 4ٍ َ ْ ِ  ُ‫) َوآ‬
..... ‫َ ٍم‬8ْ‫ َأ‬4َ َ8ْ$َ( 4ُ َ ْ ِE‫ ا‬: ‫َ ُء‬$َ>ُ1ْ‫َ َل ا‬.l
ٍ ِ َ ‫َ ٍل‬qِ ِ ْ'َt \َ>َ

"(Kullu bid'atin dholalah) (hadits) ini umum yang dikhususkan, yang dimaksud adalah

kebanyakan bid'ah. Berkata ahli bahasa: bid'ah adalah segala sesuatu yang diamalkan tanpa

ada contoh sebelumnya. Berkata para ulama: Bid'ah terbagi menjadi lima bagian ……….."

(syarah muslim, Nawawi: 6/154-155)

Begitu pula yang dinukilkan dari Al-Imam Muhammad bin Ismail Al-Amir As-Shan'ani.

Selengkapnya beliau berkata:

ِْ َ ِ$ُ َ ََُ‫َُا ُد َِ ه‬$‫ وَا‬,l


ٍ ِ َ ‫َ ٍل‬qِ ِ ْ'َt \َ>َ َ ِ$ُ َ : 4ً َGُ 4ُ َ ْ ِE‫ٌ (( ا‬4َ6
َ َ7 4ٍ َ ْ ِ  ُ‫)) َوآ‬
ٌ‫ٌ (( َم‬4َ6 َ َ7 4ٍ َ ْ ِ  ُ‫َ[َُْ ُ= ))آ‬0 : ‫ َ َل‬Pُ..........4ٍ ُ Cَ ‫ب َو‬ ٍ َ+ِ‫ٌ ِْ آ‬4ً'ِ َْ! =ُ َ l َ ِEْ8َ- ْ‫ن َأن‬ ِ ْ‫ُدو‬
ٌ‫ُْص‬VْOَ

"Kullu bid'atin dholalah" Bid'ah secara bahasa adalah apa yang diamalkan tanpa ada contoh

sebelumnya, dan yang dimaksud di sini adalah apa yang diamalkan tanpa didahului amalan

syar'i dari kitab dan sunnah……………lalu beliau berkata:

maka sabdanya "kullu bid'atin dholalah" adalah umum yang dikhususkan".


Demikian pula yang dinukil dari Muhammad bin Allan As-Shiddiqi rahimahullah.Beliau berkata

setelah menyebutkan definisi bid'ah secara bahasa dan istilah:

Cِ‫ إ‬l Y َ‫ْ َ ا‬1َ H َ ْ'َ ْ‫ ِإذ‬,4ً َ6


َ َ7 ‫ن‬
ُ ُْKَ- =ِ ْ'َ‫ِ ُ] ِإ‬Rَْ- Cَ َ$َ0 ‫ع‬
ُ ْ@‫َ َء ِ ِ= ا‬R َ$ْ'ِ0 lَْ‫َن ا‬Wِ ((ٌ4َ6 َ َ7 ))
‫ ُد ا@ْ َ ِة َأ ِو‬Sُ =ِ ْ'َ>َ َ َ$َ9 َ$Tِ‫ع َوإ‬ ِ ْ@‫ ا‬Aِ0 ٌْB‫ َ ُ= َأ‬H َ ْ'َ َ َُ‫ ه‬4ِ َ6 َ Jِ ‫َُا ُد‬$‫ وَا‬,‫ ُل‬6 َ َJ‫ا‬
=ُ Tِ/َ0 k َ ِ‫َ'ْ ِ َذ‬Gِ ْ‫ِ'ْ ِ َأو‬o‫ِ'ْ ِ َ>َ\ ا‬o‫ْ ِ ا‬$َِ ِ‫ع إ‬ ِ ْ@‫ ا‬Aِ0 ٌْB‫ث َ ُ= َأ‬ ٍ َ ُْ ‫ف‬ ِ 6َ ِOِ ,‫رَا َد ِة‬cِ ‫ا‬
.ٌ‫ْ َ ِ ِ= (َص‬-‫ٌ (( َمٌ ُأ ِر‬4َ6 َ َ7 4ٍ َ ْ ِ  ُ‫ أَن ََْ ُ= )) َوآ‬Pَ ِ>ُ1َ0 : ‫ َ َل‬Pُ.........ٌَ8َ9

"Dholalah (sesat), sebab kebenaran adalah apa yang dibawa oleh syari'at maka apa yang tidak

kembali kepadanya maka sesat. Sebab tidak ada lagi selain kebenaran melainkan

kesesatan.Yang dimaksud sesat di sini adalah yang tidak ada asalnya dalam syari'at, yang

membawanya melakukan hal tersebut adalah syahwat atau keinginan. Berbeda dengan

perkara baru yang ada asalnya dalam syari'at apakah dengan membawa sesuatu kepada

yang serupa dengannya, atau dengan cara lain, maka hal tersebut baik………………………..lalu

berkata:

maka diketahuilah bahwa sabdanya "kullu bid'atin dhalalah" adalah umum yang dikhususkan".

Dari penukilan ini semua sangatlah jelas bahwa mereka memaksudkan dengan istilah bid'ah

adalah bid'ah secara bahasa, oleh karenanya mereka mengatakan "hadits ini umum yang

dikhususkan" yang maknanya adalah lafadz "bid'ah" adalah lafadz yang umum, karena

mencakup seluruh perbuatan baru yang tidak ada contohnya, baik dalam masalah dunia

maupun syari'at, namun hadits tersebut maksudnya adalah bid'ah istilah yang hanya

menyangkut masalah agama, adapun yang tidak termasuk dalam masalah agama, atau yang

ada asalnya dalam agama, maka yang demikian itu termasuk bid'ah secara bahasa.Oleh karena

itu mereka mencontohkan beberapa bidah tersebut seperti memelihara ilmu dengan cara

menulisnya, membantah para mulhid dengan menegakkan dalil atas mereka, membangun

madrasah, perluasan dalam warna makanan dan pakaian yang bernilai tinggi, dan yang lainnya

yang termasuk bid'ah secara bahasa. Ini menunjukkan bahwa tidak terdapat khilaf dikalangan

para ulama bahwa bid'ah dalam istilah syari'at itu sesat secara mutlak. Wallahul muwaffiq.
1.Lihat pula pembahasan yang terperinci tentang makna bid'ah secara istilah dalam kitab: Mauqif ahlis-sunnah: 1/90-92.

2.Mauqif ahlus sunnah: 1/ 93.

3.HR.Muslim: 867.

4.Diriwayatkan oleh Al-Lalaka'i dalam syarah ushul I'tiqod ahlissunnah :1/126.

5.Lihat Al-I'tishom: 1/187-189.Dan lihat pula kitab :Mauqif ahlis sunnah: 1/ 73-88.

6.Zikir berjamaah, sunnah atau bid'ah, tulisan Ahmad Dimyathi: 49-54.

7.Dzikir berjama'ah, sunnah atau bid’ah : 31

8.Jami'ul ulum walhikam:252.

9.HR.Abu Dawud dan Tirmidzi dari hadits Irbadh bin Sariyah radhiallahu anhu.Berkata Tirmidzi: hadits hasan shahih

10.Jami'ul ulum wal hikam: 249.

11.Jami'ul ulum :249.

12.Jami'ul ulum: 249

13.Mudzakkiroh fii ushuul alfiqh,karangan Syinqithi:181.

14.Lihat :Ahkamul Jum'ah wa Bida'uha, tulisan Syeikhuna Yahya al-Hajuri : 166-168.

15.Lihat :jamiul ulum wal hikam: 251

16.Diriwayatkan oleh Ahmad dan Ibnu Abdil Bar, lihat minhajul firqoh annajiyah. Muhammad Jamil Zainu: 159.

17.Al-Qiyamah: 17

18.Seperti kita ketahui bahwa Al-Qur’an tidak disusun secara urut berdasarkan turunnya ayat. Ayat yang turun lebih dahulu bisa

saja ditaruh di akhir atau di tengah kitab dan sebaliknya. Sehingga = membukukan Al-Qur’an pada waktu itu tentu saja sangat

sulit bahkan tidak mungkin dilakukan selagi wahyu masih terus turun. (Ed)

19.HR.Ibnu Abi Ashim dari Anas bin Malik radhiallahu anhu dan dihasankan oleh Al-Albani dalam Shahihul jami', (lihat kitab: Ilmu

Ushul bida', karangan Ali Alhalabi, 232).


20.Lihat Al-Muwafaqoot, karangan Asy-Syathibi,3/251).

21.diriwayatkan oleh Abu Tohir dalam "fawa'id-nya.Lihat kitab: Al-Ajwibah annafi'ah, oleh Al-Allamah Al-Albani :hal: 11

22.Al-ajwibah An-Nafi'ah: 11-12.

23.HR.Bukhari, Abu Dawud, An-Nasaai, Tirmidzi,dll

24.Al-Ajwibatun Nafi'ah: 9.

25.Shahih Bukhari, kitab At-Tahajjud: 1129.

26.Lihat: mauqif ahlissunnah:1/109-110).

27.Iqtidho' ash-shirotol mustaqim.syeikhul islam Ibnu Taimiyyah: 1/593

28.Lihat kitab : rof'ul malam an aimmatil a'laam, Syeikhul islam Ibnu Taimiyyah: 9-34, Lihat pula kitab Muhammad bin Sholeh

Al-Utsaimin, alkhilaf bainal ulama

29.Dzikir Berjama'ah, Ahmad Dimyathi: 52.

30.Hadits shahih riwayat Abu Dawud, Ibnu Majah, At-Tirmidzi, Baihaqi, dari Abu Hurairah radhiallahu anhu.

31.Lihat kitab:sifat shalat Nabi, Al-Albani: 46-54

32.Sifat shalat Nabi, Al-Albani: 54.

33.Lihat kitab : Subulussalam, As-Shan'ani: 2/103-104.

34.Lihat kitab: dalil al-falihin, Ibnu Allan :1/308-309

You might also like