Professional Documents
Culture Documents
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Krisis moneter yang terjadi di Indonesia sejak Juli 1997 telah berkembang
menjadi krisis likuiditas, krisis kebangkrutan dunia usaha, krisis perbankan, dan akhirnya
krisis ekonomi total. Hal ini terlihat bahwa setelah krisis berlangsung sekian lama,
kondisi ekonomi Indonesia terus memburuk, padahal Korea dan Thailand sudah dalam
proses membaik. Dalam kondisi demikian, semua perusahaan mengalami penurunan
yang amat signifikan, yang akan menyebabkan kebangkrutan, sehingga motif perusahaan
tidak lagi mencari keuntungan, tetapi untuk bertahan hidup, karena ongkos yang amat
tinggi tidak dapat ditutup oleh keuntungan yang dapat dicapai.
B. Rumusan Masalah
PEMBAHASAN
A. Kajian Teori
Empat pilar yang mendukung prestasi dan berdampak pada keahlian yang dimiliki
sebuah perusahaan sehingga dapat lepas dari krisis dan mengangkat perekonomian
adalah:
B. Analisis
Pada situasi persaingan dan perubahan yang bergerak begitu cepat ini perusahaan
ditekan oleh faktor-faktor eksternal seperti perubahan teknologi, ekonomi, sosial kultural
dan pasar. Di sisi lain, secara internal perusahaan menghadapi perubahan organisasi yang
tak kalah peliknya, seperti masalah budaya perusahaan, struktur, karyawan, pemegang
saham. Dalam situasi seperti ini konsep pemasaran tidak lagi cukup hanya berbicara
tentang penjualan, periklanan atau bahkan konsep bauran pemasaran 4P (product, place,
pricing, dan promotion).
Pemasaran harus dilihat sebagai suatu konsep bisnis strategi (strategic business
concept). Artinya pemasaran tidak lagi sekadar marketing as it is, melainkan harus
diintegrasikan dengan strategi perusahaan secara keseluruhan.
Definisi baru dalam pemasaran ini dituangkan dalam model Sustainable Market-
ing Enterprise (SME). Market-ing di sini ditafsirkan sebagai hal yang berurusan dengan
pasar (dealing with the market) dan berorientasi kepada pasar (market oriented) karena
entitas bisnis akan selalu berurusan dengan pasar yang terus berubah. Untuk itu
pemasaran harus menjadi jiwa dari setiap model strategi bisnis.
Bagian kedua adalah model Market-ing yang terdiri dari: Outlook, Architecture,
dan Scorecard. Di dalam sub-model outlook dilakukan peninjauan terhadap berbagai
perubahan di lingkungan bisnis saat ini dan kecenderungannya di masa mendatang.
Selanjutnya sub-model architecture yang terbagi menjadi tiga komponen, yaitu: strategy,
tactic, dan value.
Sedangkan bagian ketiga dari SME model adalah sub-model enterprise. Sub-
model enterprise memiliki tiga komponen utama, yaitu: inspiration, culture, dan
insititution. Sub-model inspiration yang digambarkan sebagai jam pasir merupakan
komponen visi dan misi perusahaan yang dijabarkan di dalam lingkup bisnis dan tujuan
perusahaan dalam 3 sampai 5 tahun ke depan. Sub-model berikutnya adalah budaya
perusahaan (Corporate culture) yang digambarkan sebagai yin-yang. Budaya perusahaan
merupakan keseimbangan antara nilai-nilai bersama (share values) dan perilaku yang
tampak (common behaviour) pada setiap orang di dalam organisasi.
KESIMPULAN
Ada tiga sudut pandang cara memahami kemampuan perusahaan bersaing pada
pasar global dan memasuki pasar asing. Cara pertama didasarkan atas teori
keunggulan komparatif (comparative advantage). Penganut teori ini mendasarkan
argumennya berdasarkan keunggulan komparatif suatu negara dan prinsip spesialisasi.
Negara tertentu memiliki keunggulan untuk memproduksi barang atau jasa tertentu
karena mampu menyediakannya sampai ke tangan konsumen dengan biaya yang lebih
rendah, yang berarti juga dengan harga jual yang lebih murah.
Keunggulan kedua, stabilitas, juga sudah hilang dan belum kembali. Karena
stabilitas terkait dengan tingkat risiko, semakin bergejolak Indonesia menyebabkan
semakin besar tingkat diskonto investasi di Indonesia. Artinya, aset-aset Indonesia
mengalami penurunan nilai yang semakin besar. Perusahaan dibeli dengan harga murah,
barang dan jasapun ditawar dengan harga rendah.
Dari beberapa kasus yang pernah saya temui, banyak terjadi keluhan partner
domestik karena mereka merasakan ketidakseimbangan pembagian hasil. Akumulasi
tunai yang diterima oleh partner asing lebih besar dibandingkan dengan akumulasi tunai
yang diterima partner domestik. Sekalipun proporsional dalam pembagian dividen,
banyak komponen penerimaan yang dinikmati asing tetapi tidak oleh partner domestik.
Penerimaan non-dividen tersebut terdiri dari dua kategori, penerimaan langsung dan
penerimaan konsesi. Penerimaan langsung antara lain mencakup biaya manajemen
(management fee) dan lisensi. Sedangkan penerimaan konsesi berasal dari hak pembelian
produk perusahaan hasil aliansi oleh partner asing dengan harga di bawah harga pasar
dunia. Selisih tersebut menjadi penerimaan parner asing.
Dalam kondisi tidak ada partner domestik yang mumpuni, pengusaha asing dapat
secara langsung mendirikan perusahaan di Indonesia. Selama tidak ada persyaratan
kewajiban harus berpartner dengan pengusaha lokal, hal tersebut sangat mungkin terjadi.
Untuk menciptakan kondisi yang lebih baik bagi pengusaha Indonesia, diperlukan
bukan saja keunggulan dalam hal akses lisensi tetapi juga dalam bidang lain. Misalnya,
kualitas SDM, keunggulan teknologi tepat guna, dan akses pasar. Lagi-lagi, pencapaian
ini bukan saja pekerjaan pengusaha tetapi diperlukan campur tangan aktif pemerintah
untuk menciptakan kebijakan dan sistem yang kondusif.
Konsep ketiga, yaitu siklus hidup produk, mampu menjelaskan mengapa suatu
perusahaan mampu melakukan ekspor, mendirikan cabang, sampai mendirikan anak
perusahaan di negara lain. Konsep ini sering diaplikasikan untuk produk-produk
teknologi tinggi atau memiliki tingkat keunikan yang tinggi. Pemasaran suatu produk
dimulai dari pasar domestik. Setelah muncul permintaan dari negara lain tetapi pada skala
yangf relatif kecil, mulailah dengan ekspor. Pada saat permintaan meningkat,
diperlukanlah pengawasan yang lebih baik dan perwakilan di pasar lokal untuk
penyelesaian transaksi dan administrasi. Berdirilah kantor cabang di pasar lokal. Pada
saat permintaan terus meningkat dan melewati batas minimum (critical mass) maka
diperlukan pendirian anak perusahaan (subsidiary) di pasar lokal. Pendirian anak
perusahaan tersebut bisa melalui akuisisi perusahaan domestik yang sudah ada, bisa juga
dengan cara pendirian perusahaan dari awal.
Oleh karena konsep siklus hidup produk cocok untuk produk teknologi tinggi atau
yang memiliki tingkat keunikan tinggi, konsep inipun dapat menjelaskan mengapa sulit
mencari perusahaan Indonesia yang mampu mendirikan anak perusahaan di negara lain.
Berdasarkan analisis di atas, bila kita ingin mengembangkan dan mendorong perusahaan
Indonesia untuk melakukan ekspansi ke luar negeri, kita musti melacak keunggulan-
keunggulan dengan pendekatan dua konsep, keunggulan komparatif dan
ketidaksempurnaan pasar.
Untuk mencapainya, ada beberapa hal yang perlu dibenahi secara makro.
Pertama, teknologi perlu diperbaharui khususnya dalam rangka peningkatan
produktivitas. Harapannya, biaya produksi turun. Kedua, SDM musti diperkuat. Tanpa
kekuatan ini, sulit untuk meningkatkan kemampuan berkompetisi dan inovasi sebagai
syarat penting dalam meningkatkan daya tawar dalam membentu aliansi strategis. Ketiga,
stabilitas makro perlu dipulihkan secepatnya untuk menurunkan tingkat risiko dan
otomatis tingkat diskonto.
DAFTAR PUSTAKA
Hermawan Kartajaya dan Philip Kotler, 2002, Rethinking Marketing; Sustainable Marketing
Enterprise in Asia. Jakarta: Prenhallindo.
Keegan, Warren J. 1996, Manajemen Pemasaran Global: Alih Bahasa, Alexander Sindoro Jilid
1, Jakarta: Prenhallindo.
Keegan, Warren J. 1996, Manajemen Pemasaran Global: Alih Bahasa, Alexander Sindoro Jilid
2, Jakarta: Prenhallindo.