You are on page 1of 7

Pemasaran Global

(Faktor Sukses Dalam Meningkatkan Pertumbuhan Ekonomi)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Krisis moneter yang terjadi di Indonesia sejak Juli 1997 telah berkembang
menjadi krisis likuiditas, krisis kebangkrutan dunia usaha, krisis perbankan, dan akhirnya
krisis ekonomi total. Hal ini terlihat bahwa setelah krisis berlangsung sekian lama,
kondisi ekonomi Indonesia terus memburuk, padahal Korea dan Thailand sudah dalam
proses membaik. Dalam kondisi demikian, semua perusahaan mengalami penurunan
yang amat signifikan, yang akan menyebabkan kebangkrutan, sehingga motif perusahaan
tidak lagi mencari keuntungan, tetapi untuk bertahan hidup, karena ongkos yang amat
tinggi tidak dapat ditutup oleh keuntungan yang dapat dicapai.

Kebangkrutan sebuah perusahaan menyebabkan kehancuran ekonomi yang


berdampak pada penurunan taraf hidup masyarakat. Lima tahun lalu, produk-produk
industri menghadapi resesi yang cukup parah. Namun, masa itu sudah lewat.
Pertumbuhan ekonomi global yang semakin cepat dan bangkitnya aktivitas manufaktur
mengarah pada permintaan pasar atas barang yang tahan lama (durables) di seluruh
dunia. Tentu saja, ini merupakan kabar baik bagi usahawan yang bisnis intinya mengisi
fasilitas manufaktur dunia.

Namun, tantangan tidaklah mudah. Tekanan-tekanan biaya karena globalisasi


cukup mengganggu para pembuat produk industri. Walau memperlihatkan peluang besar,
pertumbuhan infrastruktur yang terjadi di Cina dan India juga memunculkan tantangan
baru. Tantangan itu terletak pada mata rantai persediaan untuk mengimbangi biaya,
kualitas dan layanan pelanggan di tengah lingkungan yang tidak begitu dikenal.

B. Rumusan Masalah

1. Apakah krisis memacu praktek bisnis profesional dengan stategi pemasaran


yang terfokus memasuki pasaran global atau justru menarik diri dari
persaingan global?

2. Bagaimana Strategi Pemasaran Global Dalam Krisis Moneter dalam


meningkatkan pertumbuhan ekonomi?
BAB II

PEMBAHASAN

A. Kajian Teori

Adanya kesempatan pasar yang menjadi faktor pendorong perusahaan untuk


memperluas jangkauannya kepasar internasional. Tentu saja perusahaan internasional
sendiri memberikan kontribusi pada proses perkembangan dan penciptaan kesempatan
pasar pada negara tuan rumah.

Empat pilar yang mendukung prestasi dan berdampak pada keahlian yang dimiliki
sebuah perusahaan sehingga dapat lepas dari krisis dan mengangkat perekonomian
adalah:

Fleksibilitas global. Dengan adanya perbedaan harga di berbagai kawasan,


perusahaan berkinerja tinggi mampu memanfaatkan percepatan di negara-negara yang
tengah tumbuh. Caranya, mengintegrasikan mata rantai persediaan, pengelolaan agen dan
distribusi, didukung sistem informasi dan proses bisnis yang profesional. Contohnya,
Cooper Industries. Produsen produk dan perkakas kelistrikan ini mengembangkan Cooper
Connection untuk mengelola hubungan dengan para distributor yang merupakan
kontributor 83% pendapatannya. Program mereka: memberi insentif bagi distributor yang
dapat menambah atau memperluas produk yang didistribusikan dengan sistem pull,
bukan push.

Kekuatan harga. Memahami kebutuhan pelanggan merupakan hal penting.


Namun di dalam industri seperti ini, pemahaman tentang pelanggan bisa dikatakan
terlambat implementasinya. Mereka yang dapat membuat analisis pasar untuk
meningkatkan portofolio pelanggan dan inovasi, dengan sendirinya menciptakan produk
dan jasa yang sesuai dengan tuntutan pelanggan. Contohnya, Kone Corporation,
pembuat elevator dan eskalator dari Finlandia. Mereka membuat kontrak pemeliharaan
sebagai garansi produk, dengan harga premium.

Produktivitas plus. Operational excellence adalah cikal bakal kinerja tinggi


untuk industri ini. Inisiatif berdasarkan six-sigma merupakan indikasi program efisiensi
operasional yang saling mendukung. Melakukan alih daya untuk aktivitas non-inti
dengan menggunakan jasa berbiaya rendah juga merupakan pilihan strategis.

Kinerja manusia. Pilar terakhir adalah menciptakan suasana pembelajaran yang


terus-menerus dan memberi komitmen tinggi untuk pengembangan karyawan.
Kepemimpinan serta pengembangan keahlian memang diselaraskan dengan nilai-nilai
dan strategi bisnis perusahaan yang diterapkan dengan menggunakan pengukuran dan
sistem remunerasi yang kompetitif. Danaher Corporations, pengembang teknologi
inovatif, menuntut para eksekutifnya menjalankan program pelatihan 7 tahap, yang dapat
diselesaikan dalam dua tahun, sehingga mereka dapat tetap bekerja dan sekaligus
meningkatkan kualitas kepemimpinan mereka.

B. Analisis

Pada situasi persaingan dan perubahan yang bergerak begitu cepat ini perusahaan
ditekan oleh faktor-faktor eksternal seperti perubahan teknologi, ekonomi, sosial kultural
dan pasar. Di sisi lain, secara internal perusahaan menghadapi perubahan organisasi yang
tak kalah peliknya, seperti masalah budaya perusahaan, struktur, karyawan, pemegang
saham. Dalam situasi seperti ini konsep pemasaran tidak lagi cukup hanya berbicara
tentang penjualan, periklanan atau bahkan konsep bauran pemasaran 4P (product, place,
pricing, dan promotion).

Pemasaran harus dilihat sebagai suatu konsep bisnis strategi (strategic business
concept). Artinya pemasaran tidak lagi sekadar marketing as it is, melainkan harus
diintegrasikan dengan strategi perusahaan secara keseluruhan.

Definisi baru dalam pemasaran ini dituangkan dalam model Sustainable Market-
ing Enterprise (SME). Market-ing di sini ditafsirkan sebagai hal yang berurusan dengan
pasar (dealing with the market) dan berorientasi kepada pasar (market oriented) karena
entitas bisnis akan selalu berurusan dengan pasar yang terus berubah. Untuk itu
pemasaran harus menjadi jiwa dari setiap model strategi bisnis.

Bagian pertama dari SME adalah model sustainable yang menggambarkan


bagaimana perusahaan mampu bertahan dengan kondisi lingkungan bisnis yang terus
berubah apalagi dalam masa krisis. Agar dapat bertahan menghadapi perubahan,
perusahaan perlu melakukan apa yang disebut siklus transformasi. Pada saat siklus
transformasi inilah dilakukan political, technical, dan cultural change, yang
membutuhkan seorang pemimpin perubahan dapat berjalan dengan baik. Tanpa
melakukan transformasi, perusahaan akan hancur tergilas oleh perubahan lingkungan
bisnis.

Bagian kedua adalah model Market-ing yang terdiri dari: Outlook, Architecture,
dan Scorecard. Di dalam sub-model outlook dilakukan peninjauan terhadap berbagai
perubahan di lingkungan bisnis saat ini dan kecenderungannya di masa mendatang.
Selanjutnya sub-model architecture yang terbagi menjadi tiga komponen, yaitu: strategy,
tactic, dan value.

Pada komponen strategy dilakukan eksplorasi pasar dengan melakukan


segmentasi, targeting dan positioning. Selanjutnya tactic terdiri dari tiga komponen yaitu
diferensiasi, marketing-mix dan selling. Pada bagian value terdiri dari brand yang harus
dibangun oleh perusahaan sebagai value indikator dan harus ditingkatkan secara kontinyu
melalui elemen servis, dan didukung oleh proses (process) yang berperan sebagai value
enabler. Selanjutnya arsitektur bisnis yang didesain sebelumnya haruslah dipasarkan
secara tepat kepada tiga stakeholder yang utama yaitu karyawan, pelanggan, dan
pemegang saham. Pada sub-model scorecard inilah yang diukur keberhasilan interaksi di
antara ketiga sasaran utama dari perusahaan.

Sedangkan bagian ketiga dari SME model adalah sub-model enterprise. Sub-
model enterprise memiliki tiga komponen utama, yaitu: inspiration, culture, dan
insititution. Sub-model inspiration yang digambarkan sebagai jam pasir merupakan
komponen visi dan misi perusahaan yang dijabarkan di dalam lingkup bisnis dan tujuan
perusahaan dalam 3 sampai 5 tahun ke depan. Sub-model berikutnya adalah budaya
perusahaan (Corporate culture) yang digambarkan sebagai yin-yang. Budaya perusahaan
merupakan keseimbangan antara nilai-nilai bersama (share values) dan perilaku yang
tampak (common behaviour) pada setiap orang di dalam organisasi.

Model SME ini kemudian dibuktikan dengan kasus-kasus perusahaan besar di


Asia seperti Sony Corporation, Samsung, Proton, dan Bank BCA yang tetap survive dari
masa krisis.
BAB III

KESIMPULAN

Ada tiga sudut pandang cara memahami kemampuan perusahaan bersaing pada
pasar global dan memasuki pasar asing. Cara pertama didasarkan atas teori
keunggulan komparatif (comparative advantage). Penganut teori ini mendasarkan
argumennya berdasarkan keunggulan komparatif suatu negara dan prinsip spesialisasi.
Negara tertentu memiliki keunggulan untuk memproduksi barang atau jasa tertentu
karena mampu menyediakannya sampai ke tangan konsumen dengan biaya yang lebih
rendah, yang berarti juga dengan harga jual yang lebih murah.

Kemampuan memproduksi barang dan jasa dengan murah karena adanya


kekayaan (endowment) yang telah tersedia di negara tersebut, misalnya sumber daya
alam, tenaga kerja yang murah, dan sebagainya. Bisa juga murahnya ongkos produksi
disebabkan oleh tersedianya bahan masukan hasil ciptaan, misalnya teknologi yang maju,
akumulasi modal, kekayaan informasi, dan sebagainya. Kemampuan menggunakan
kekayaan tersebut dengan baik meningkatkan daya saing secara komparatif dibandingkan
negara lain.

Spesialisasi menyebabkan terjadi overproduction untuk barang dan jasa tertentu


dan underproduction untuk barang dan jasa lainnya. Itulah sebabnya konsep keunggulan
komparatif membantu kita memahami mengapa terjadi transaksi ekspor-impor.

Keunggulan kedua, stabilitas, juga sudah hilang dan belum kembali. Karena
stabilitas terkait dengan tingkat risiko, semakin bergejolak Indonesia menyebabkan
semakin besar tingkat diskonto investasi di Indonesia. Artinya, aset-aset Indonesia
mengalami penurunan nilai yang semakin besar. Perusahaan dibeli dengan harga murah,
barang dan jasapun ditawar dengan harga rendah.

Dengan demikian kemampuan bersaing berdasarkan konsep keunggulan


komparatif perusahaan-perusahaan Indonesia dapat diperoleh lagi bila secara nasional
kita mampu meningkatkan produktivitas tenaga kerja dan sekaligus menciptakan
stabilitas secara makro. Perusahaan-perusahaan tentu saja dapat berkontribusi terhadap
kedua faktor tersebut melalui pemilihan strategi usaha yang tepat. Namun peran
penyelenggara negara jauh lebih penting karena produktivitas nasional dan stabilitas
merupakan hasil kebijakan nasional dan perilaku para penyelenggara negara.

Bila konsep keunggulan komparatif membantu kita mengevaluasi dan memahami


pengembangan usaha ekspor-impor. Konsep yang kedua, ketidak sempurnaan pasar
(imperfect market concept) membantu kita memahami mengapa suatu perusahaan asing
ada di negara lain. Konsep ketidaksepurnaan pasar menyatakan, oleh karena pasar tidak
sempurna maka harga-harga bahan baku dan masukan industri berbeda-beda di lokasi
yang berbeda.

Berdasarkan kondisi saat ini, keunggulan perusahaan Indonesia masih


mengandalkan pada endoment berupa kekayaan alam. Oleh karena itu perusahaan-
perusahaan ekstraksi/pertambangan banyak dibanjiri oleh perusahaan asing. Dalam hal
kerjasama (partnership), pengusaha lokal lebih banyak mengandalkan akses lisensi
pengusahaan areal, termasuk HPH, ke pemerintah.

Dari beberapa kasus yang pernah saya temui, banyak terjadi keluhan partner
domestik karena mereka merasakan ketidakseimbangan pembagian hasil. Akumulasi
tunai yang diterima oleh partner asing lebih besar dibandingkan dengan akumulasi tunai
yang diterima partner domestik. Sekalipun proporsional dalam pembagian dividen,
banyak komponen penerimaan yang dinikmati asing tetapi tidak oleh partner domestik.
Penerimaan non-dividen tersebut terdiri dari dua kategori, penerimaan langsung dan
penerimaan konsesi. Penerimaan langsung antara lain mencakup biaya manajemen
(management fee) dan lisensi. Sedangkan penerimaan konsesi berasal dari hak pembelian
produk perusahaan hasil aliansi oleh partner asing dengan harga di bawah harga pasar
dunia. Selisih tersebut menjadi penerimaan parner asing.

Dalam kondisi tidak ada partner domestik yang mumpuni, pengusaha asing dapat
secara langsung mendirikan perusahaan di Indonesia. Selama tidak ada persyaratan
kewajiban harus berpartner dengan pengusaha lokal, hal tersebut sangat mungkin terjadi.

Konsep ketidaksempurnaan pasar juga sekaligus mampu menjelaskan mengapa


perusahaan Indonesia tidak mampu masuk ke negara asing melalui pendirian aliansi
maupun anak perusahaan. Kelemahan SDM, teknologi, dan pemasaran menjadi titik
utama sulitnya bermitra dengan mitra asing di negara lain.

Untuk menciptakan kondisi yang lebih baik bagi pengusaha Indonesia, diperlukan
bukan saja keunggulan dalam hal akses lisensi tetapi juga dalam bidang lain. Misalnya,
kualitas SDM, keunggulan teknologi tepat guna, dan akses pasar. Lagi-lagi, pencapaian
ini bukan saja pekerjaan pengusaha tetapi diperlukan campur tangan aktif pemerintah
untuk menciptakan kebijakan dan sistem yang kondusif.

Konsep ketiga, yaitu siklus hidup produk, mampu menjelaskan mengapa suatu
perusahaan mampu melakukan ekspor, mendirikan cabang, sampai mendirikan anak
perusahaan di negara lain. Konsep ini sering diaplikasikan untuk produk-produk
teknologi tinggi atau memiliki tingkat keunikan yang tinggi. Pemasaran suatu produk
dimulai dari pasar domestik. Setelah muncul permintaan dari negara lain tetapi pada skala
yangf relatif kecil, mulailah dengan ekspor. Pada saat permintaan meningkat,
diperlukanlah pengawasan yang lebih baik dan perwakilan di pasar lokal untuk
penyelesaian transaksi dan administrasi. Berdirilah kantor cabang di pasar lokal. Pada
saat permintaan terus meningkat dan melewati batas minimum (critical mass) maka
diperlukan pendirian anak perusahaan (subsidiary) di pasar lokal. Pendirian anak
perusahaan tersebut bisa melalui akuisisi perusahaan domestik yang sudah ada, bisa juga
dengan cara pendirian perusahaan dari awal.

Oleh karena konsep siklus hidup produk cocok untuk produk teknologi tinggi atau
yang memiliki tingkat keunikan tinggi, konsep inipun dapat menjelaskan mengapa sulit
mencari perusahaan Indonesia yang mampu mendirikan anak perusahaan di negara lain.
Berdasarkan analisis di atas, bila kita ingin mengembangkan dan mendorong perusahaan
Indonesia untuk melakukan ekspansi ke luar negeri, kita musti melacak keunggulan-
keunggulan dengan pendekatan dua konsep, keunggulan komparatif dan
ketidaksempurnaan pasar.

Untuk mencapainya, ada beberapa hal yang perlu dibenahi secara makro.
Pertama, teknologi perlu diperbaharui khususnya dalam rangka peningkatan
produktivitas. Harapannya, biaya produksi turun. Kedua, SDM musti diperkuat. Tanpa
kekuatan ini, sulit untuk meningkatkan kemampuan berkompetisi dan inovasi sebagai
syarat penting dalam meningkatkan daya tawar dalam membentu aliansi strategis. Ketiga,
stabilitas makro perlu dipulihkan secepatnya untuk menurunkan tingkat risiko dan
otomatis tingkat diskonto.

Dengan mengejar ketertinggalan faktor-faktor tersebut melalui kebijakan yang


tepat, perusahaan Indonesia tidak saja mengandalkan ekspor tetapi juga bebagai bentuk
usaha lain dalam persaingan global.

DAFTAR PUSTAKA

Hermawan Kartajaya dan Philip Kotler, 2002, Rethinking Marketing; Sustainable Marketing
Enterprise in Asia. Jakarta: Prenhallindo.

Keegan, Warren J. 1996, Manajemen Pemasaran Global: Alih Bahasa, Alexander Sindoro Jilid
1, Jakarta: Prenhallindo.

Keegan, Warren J. 1996, Manajemen Pemasaran Global: Alih Bahasa, Alexander Sindoro Jilid
2, Jakarta: Prenhallindo.

Subhash C. Jain, 2001, Manajemen Pemasaran Internasional: Alih Bahasa Imam


Nurmawan, Jakarta: Erlangga

You might also like