You are on page 1of 22

Partisipasi Sosial-Politik Kristen di Indonesia bagian Timur

Pembicara: Ir. Nick Tunggul Wiratmoko, M.Si.


Tanggal 19 Juni 2008.
Tempat: Ruang rapat Pusat Studi Kawasan Timur Indonesia
Universitas Kristen Satya Wacana

Susunan Acara:

I. Pengantar moderator: Theo Litaay.


Memperkenalkan topik diskusi dan pembicara hari ini, semua yang hadir sudah sangat mengenal
pak Nick Tunggul Wiratmoko, yang adalah peneliti dan staf advokasi serta editor berbagai publikasi
yang diterbitkan oleh LSM Percik Salatiga. Topik ini sangat menarik karena berkaitan dengan salah
satu ciri khas masyarakat di Indonesia bagian timur dan ada kaitannya dengan materi diskusi
sebelumnya mengenai peran politik gereja di Timor Leste yang sedang diteliti oleh Roy Siahainenia.
II. Presentasi Pembicara: Nick Tunggu Wiratmoko, M.Si.
III. Diskusi.
Lihat paper, materi presentasi dan prosiding diskusi

IV. Penutup.
Diskusi ditutup tanpa adanya satu kesimpulan khusus, selain bahwa dari diskusi ini muncul berbagai
gagasan untuk penelitian lebih lanjut oleh para peneliti yang lain.

1
V. Paper yang dipresentasikan.

Partisipasi Sosial-Politik Kristen di Indonesia bagian Timur1


Nick T Wiratmoko2

Pengantar
Latar belakang yang dikemukakan dalam kerangka acuan menggambarkan sebuah pergeseran rezim
otoritarian ke era transisi menuju demokrasi yang lebih baik. Transisi menuju demokrasi tak lagi
bisa dihadapi hanya dengan kapasitas kolektif masyarakat warga yang selama ini telah dibungkam
rezim lama. Promosi good governance (tata kepemrintahan yang baik) menuntut kapasitas
partisipasi masyarakat warga lebih maju. Hampir bisa dipastikan bahwa para pemangku hak dalam
proses menuju demokrasi yang baik menjadi tergagap-gagap ketika reformasi di bidang
desentralisasi digulirkan. Gereja yang menjadi barisan dari masyarakat warga di luar negara
termasuk dalam entitas yang tergagap-gagap dalam mengantisipasi perubahan regulasi politik pada
awal tahun 2000-an. Gereja, sebagai sebuah entitas yang cenderung menafikan wilayah politik, kini
diperhadapkan pada pilihan yang tidak bisa tidak perlu dipertimbangkan lagi secara serius. Kata
“teologi politik”, merupakan sebuah tawaran pintu masuk yang memungkinkan apakah gereja atau
LSM Kristen dapat melakukan pembinaan/pembekalan pada masyarakat warga Kristen.

Kawasan Indonesia bagian Timur yang memang selama ini menjadi produk pembangunan yang bias
Jawa-Bali, juga mulai menyadari bahwa “perebutan kue pembangunan” selama ini juga sudah mulai
diantisipasi dengan hadirnya sejumlah wilayah pemekaran. Dinamika pemekaran wilayah ini
kemudian menyadarkan bahwa ketersediaan fiscal yang tidak disertai dengan penguatan kapasitas,
maka yang terjadi adalah ketergagapan dalam tata kepemerintahan yang baru.

Sebagai bagian untuk mengantisipasi perubahan di atas, maka tulisan berikut adalah bagian untuk
mencoba memberikan kontribusi tentang: [1] pemaknaan atas kosa kata “teologi politik”, [2] ruang
publik dan kedaulatan rakyat, [3] Teologi Politik: tantangan pluralitas, toleransi, dan penegakan
hukum, [4] perencanaan politik anggaran

Teologi Politik, Pilihan Tak Terhindarkan


Tak mudah menterjemahkan kata: Teologi Politik. Kosa kata ini mungkin bisa diterjemahkan
sebagai ilmu tentang ketuhanan yang bersentuhan dengan agenda aspirasi masyarakat warga (civil
society).3 Bisa jadi, kosa kata ini juga dekat dengan adagium: Vox Populi Vox Dei – Suara rakyat
adalah suara Tuhan. Kosa kata teologi politik dan adagium di atas sebenarnya menyiratkan pesan
bahwa: aspirasi rakyat tak bisa dipisahkan dari keberpihakan Tuhan kepada masyarakat kebanyakan.
Diskusi tentang kosa di atas di dalam lingkup gereja bisa jadi juga merupakan agenda yang jarang

1
Disampaikan pada Lokakarya mengenai partisiasi Sosial-Politik di Indonesia bagian Timur yang diselenggarakan oleh
yayasan OASE Intim, Hotel Grandd Wisata,, Makassar, 25-29 Maret 2008. Posisi makalah masih merupakan working
paper.
2
Peneliti dan Staf Advokasi di Lembaga Percik, Salatiga.
3
Konsepsi civil society (masyarakat warga) tidak diterjemahkan sebagai masyarakat sipil yang posisinya diametral
dengan entitas militer dan juga bukan diterjemahkan sebagai masyarakat madani yang ginealoginya merujuk pada
Piagam Madinah pada era pemerintahan Nabi Muhammad SAW. Pada posisi konsep seperti ini, rujukan konsep
masyarakat warga dapat dilihat pada konstruksi masyarakat warga yang bertolak dari Alexis d’tocquiville.

2
dipercakapkan. Banyak alasan untuk itu. Namun, jika menilik lebih jauh bagaimana tri panggilan
gereja dikemas sebagai panduan umat untuk hidup bukan saja dalam lingkup diri sendiri, tetapi juga
dalam usaha saling melayani (secara internal), tetapi juga yang bersentuhan dengan bagaimana
buah-buah iman tersebut diaktualisasikan dalam ranah publik (free public sphere). Wilayah ruang
publik ini nyata ada di hadapan kita. Arena ruang publik dalam banyak hal juga dikaitkan dnegan
arena politik. Arena politik ini yang semula menjadi sebuah wilayah yang tabu, tetapi kini dirasakan
sebagai sebuah kebutuhan yang dalam waktu ke depan perlu menjadi sebuah pertimbangan yang
serius dalam menterjemahkan kredo marturia (kesaksian) - koinonia (persekutuan) - diakonia
(pelayanan). Meski dalam hal ini aspek koinonia menjadi yang lebih ditekankan.
Jika wilayah pemaknaan koinonia-marturia-diakonia selama ini lebih menjadi sebuah
wilayah khas Kristen, maka kini ruang pemaknaan itu perlu dipertimbangkan kembali.
Dipertimbangkan kembali karena wilayah ruang publik yang bersentuhan dengan tanggung jawab
masyarakat warga (civil society) adalah wilayah yang disebut oleh negara sebagai: [1] sarana-
prasarana; [2] usaha ekonomi produktif; [3] sosial-budaya.4 Ketiga kata kunci pembangunan yang
sekaligus menjadi arena untuk pemberdayaan masyarakat ini pun sekaligus juga (sebenarnya) secara
normatif memberikan ruang kepada komunitas marginal seperti kaum miskin dan sekaligus
pengarusutamaan gender. Secara ideal, konsep-konsep yang dikemukakan oleh negara tidaklah
salah. Pada titik kritis inilah, selama ini lembaga-lembaga yang dekat dengan gereja pada umumnya
(di luar yang memang luar biasa), cenderung mengabaikan sejulah potensi akses ke ruang publik
untuk memberdayakan masyarakat marginal. Wilayah-wilayah teknikal, teknokratis, birokratis, dan
politis ini sebenarnya menjadi pilihan yang secara etika politik sah untuk diakses masyarakat warga
(CS-civil society) dan organisasi masyarakat warga (CSO-civil society organization)) utuk
memanfaatkannya. Hanya, karena untuk memasuki wilayah ini memerlukan modal intelektual,
modal keberanian, modal lobi, modal sosial lainnya, sementara tradisi pemanfaatan ruang publik
selama ini didominasi negara saja, maka usaha untuk memaksimalkan akses demokrasi prosedural
ini menjadi sebuah ganjalan. Kesan kuat yang munsul kalaupun toh ini hendak direalisasikan masih
cenderung bernuansa top-down, seolah-olah partisipasi tetapi lebih kuat nuansa mobilisasinya.
Dalam hal ini, jika kita berbicara demokrasi atau kedaulatan rakyat yang utuh, di sinilah wilayah
yang masih terbuka untuk memasuki wilayah praksi penyadaran dan pemberdayaan masyarakat
dalam pembangunan.
Namun, berbeda dengan konseptualisasi negara, wilayah ruang publik yang ideal tidak
secara otomatis menjadi sebuah ruang publik yang ideal, tidak semua stakeholder (pemangku hak)
pada aras yang sama. Ruang publik yang ada ternyata telah menghadirkan sebuah ruang yang
timpang, orang masih banyak yang tidak tahu apa yang dimaksud ruang publik, konstruksi wilayah
ini sudah direduksi kepada representasi terhadap elite yang sebenarnya tidak juga mewakili basis
konstituennya. Komunitas gereja yang sebenarnya juga bisa memasuki wilayah sosial-budaya
ternyata masih mengidap budaya apolitis terhadap arena ruang publik yang disediakan negara
dengan dalih
“oh, itu wilayah praktis yang penuh intrik, penuh muatan dosa, penuh dengan perebutan yang
melahirkan ketidakdamaian, dan sebab itu perlu ditabukan untuk bermain di arena ini.”

4
Periksa dokumen perencanaan pembangunan kota/kabupaten yang diproses melalui mekanisme musrenbang
(musyawarah perencanaan pembangunan). Musrenbang ini sendiri merupakan sebuah mekanisme demokrasi
instrumental-prosedural yang memungkinkan masyarakat warga dilibatkan. Meskipun pelibatan ini sendiri masih bisa
diperdebatkan prosesnya apakah lebih berorientasi pada mobilisasi, terseleksi, dan masih jauh dari esensi partisipasi.

3
Jika benar klaim gereja terhadap ranah politik memang demikian, bukankah itu merupakan
sebuah ladang yang menjadi sasaran untuk disemai dan kemudian dituai? Apakah lebih etis ketika
kita membiarkan wilayah itu tetap berada dalam kegelapan? Apa yang kemudian menjadi landasan
iman Kristen untuk memasuki wilayah ini? Argumentasi dari kubu gereja ini dapat dipahami karena
beberapa alasan: [1] penegasan adanya wilayah urusan gereja dan negara yang telah diletakkan
dalam ranah sekuler; [2] praktik [per-]politik[-an] yang selama ini telah mengkristal sebagai wilayah
stigma karena peran aktor politik yang mereduksi artikulasi politik; [3] hierarkhi gereja yang
mendukung pemakanaan politik yang telah direduksi; [4] kegagalan gereja dalam memahami ranah
dialektika gereja-negara yang memungkinkan warga gereja berperan secara optimal sebagai warga
negara (citizenship); [4] sikap apriori gereja dalam memandang ruang publik sebagai ranah marturia
(kesaksian); [5] standar ganda gereja terkait dengan posisi warga gereja yang telah menjadi politisi
yang kemudian dijadikan rujukan “orientasi proposal” kegiatan gereja; [6] pada gereja tertentu,
posisi politisi, eksekutif (birokrat, teknokrat) justru dijadikan sebagai subyek trade-off, baku tukar
peran yang saling menguntungkan.5
Sementara jika kita melihat secara kritis makna marturia (kesaksian), jika diterjemahkan
secara bebas dapat diartikulasikan sebagai pengekspresian iman percaya (Kristen) dalam wilayah
plural, wilayah publik, wilayah yang diperebutkan, wilayah yang menegaskan identitas siapa yang
dapat dipertimbangkan sebagai pilihan kesepakatan publik, yang dengan demikian menjadi sah saja
jika orang Kristen memberikan kontribusi dalam wilayah publik. Wilayah publik ini, misalnya, yang
akan mempertegas kebutuhan publik apa saya yang terkait dengan elemen sarana-prasarana,
kegiatan ekonomi produktif, dan sosial-budaya, yang didialektikakan. Bersama-sama dengan umat
beragama lain sesama masyarakat warga (civil society) ketiga arena inilah yang sebenarnya perlu
dimaknai kembali marturia (kesaksian) yang sebelumnya tidak pernah dikaji dalam tata gereja dan
sekaligus pemahaman iman.

Ruang Publik dan Kedaulatan Rakyat


Dengan mengandaikan bahwa membangun diskursus (discourse) ruang publik sebenarnya dapat
diletakkan dalam dataran perpotongan antara lingkaran masyarakat warga (civil society), negara
(state), komunitas bisnis (business community), dan komunitas politik (policial community), maka
ruang publik sendiri sebenarnya merupakan percampuran (cross-cutting) dari keempat komponen
tersebut. Di dalam wilayah ini, gereja dapat dimasukkan dalam ranah masyarakat warga tetapi pada
saat yang sama arena tersebut juga tidak bisa menghindarkan diri dari ranah percampuran (melting-
pot) antar-elemen di atas. Dengan ilustrasi tersebut sulit rasanya membayangkan posisi (warga)
gereja steril dari agenda politik.

Warga gereja, sebagai bagian dari keseluruhan masyarakat warga, memiliki kedaulatan yang di
dalam bahasa lain disebut sebagai demokrasi (demos, rakyat; kratos, kedaulatan). Di dalam
mengekspresikan kedaulatan (rakyat) ini, rakyat memiliki hak untuk mengutarakan atau
mengemukakan aspirasinya, baik secara langsung atau melalui representasi, untuk dapat mengakses
hak atas kesejahteraan. Mekanisme ini pun telah diatur melalui regulasi yang menjadi preferensi
untuk mengoperasionalisasikan aturan yang telah dibuat oleh negara. Negara sendiri sebenarnya
dan seharusnya berupaya melindungi warga negaranya melalui sejumlah regulasi dan praktik
teknokratis-instrumental. Jika di dalam wilayah ini ternyata negara gagal dan tidak mampu

5
Disebut menguntungkan karena dari sisi eksekutif, politisi, dengan mengambil peran dalam aktivitas kegerejaan akan
menjadikan gereja sebagai ajang pencitraan diri. Sementara, bagi gereja, pelibatan aktor politisi dan birokrat,
memberikan dukungan bagi aktivitas kegiatan berjemaat di gereja.

4
memuaskan kehendak dari masyarakat warga, maka dari ruang publik inilah masyarakat dapat
memanfaatkannya untuk membuat argumentasi tandingan atas negara. Pada titik ini, maka kebijakan
publik bisa didorong untuk bisa direvisi atau diperbaiki lagi.

Mengapa kata demokrasi menjadi begitu penting dipercakapkan? Terkesan klise memang jika bicara
demokrasi, karena yang paham kata ini hanyalah segelintir orang, taruhlah itu hanya dari kalangan
menengah ke atas. Itupun hanya berlaku bagi yang sungguh-sungguh menaruh perhatian pada arena
perpolitikan secara praktis. Kalau memang yang memperhatikan kata demorkasi hanyalah kaum ini,
mengapa pemaknaan ini menjadi begitu penting bagi kebanyakan CSO? Kata ini ternyata
merupakan sebuah arena yang disediakan dan dijamin melalui mekanisme regulasi negara, bahkan
di tingkat lokal sekalipun. Celakanya, penjaminan kata demokrasi ini hanya diketahui dengan baik
oleh segelitir aktor. Jadinya, banyak peluang untuk membangun arena dialektika untuk akses
pembangunan. Sebenarnya, ada beberapa hal yang perlu diketahui terkait dengan pemaknaan
demokrasi.

Kata demokrasi yang bermakna kedaulatan rakyat (demos) selama ini bisa saja berarti jamak.
Disebut jamak lantaran demokrasi bisa berarti: [a] sekadar dimaknai sebagai kedaulatan rakyat,
semua memiliki kesetaraan yang sama, memiliki aras platform yang sama, [b] demokrasi bisa
berarti bahwa tidak secara otomatis kedaulatan hadir dalam wilayah begitu mudah hadir dalam
konstruksi masyarakat modern, tetapi harus melalui sebuah transisi, [c] demokrasi juga dimaknai
sebagai sebuah pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dalam pelaksanaannya harus melalui perwakilan,
[d] dalam berbagai pertimbangan, kosa kata artikulasi demokrasi kemudian juga bisa diperhadapkan
secara diametral sebagai demokrasi yang prosedural-formal6 vis-a-vis demokrasi yang deliberatif.7
Daftar pemaknaan demokrasi ini masih bisa diperpanjang lagi

Ketika berbicara demorkasi pada dataran praktik, apa yang sebenarnya kini terjadi? Pertama,
demokrasi yang seharusnya menjadi otoritas masyarakat warga dan warga berhak mendapat akses
untuk mendapatkan kemaslahatan, tetapi dalam praktik demokrasi yang seharusnya menjadi hak

6
Demokrasi prosedural adalah praktik demokrasi yang telah diatur secara prosedural dan protokoler. Ujung dari
demokrasi seperti ini adalah hitungan suara warga negara yang dihimpun melalui pemilihan umum (legislatif, eksekutif,
presiden, gubernur, dan kepala daerah). Prinsip dari demokrasi seperti ini pun dalam beberapa hal masih mencerminkan
prinsip demokrasi yang representatif (perwakilan) dan dalam beberapa hal masih juga terkait dengan hierarkhi. Melalui
praktik demokrasi seperti ini, maka pemimpin (eksekutif, legislatif, gubernur,bupati/walikota) memiliki legitimasi warga.
7
Demokrasi deliberatif adalah jenis demokrasi yang dijumpai dalam kehidupan sesehari, tidak selalu diatur dalam
regulasi negara, merupakan cermin dialektika di ruang publik yang begitu cair. Tetapi, jika tipe demokrasi ini tidak bisa
berjalan, maka yang kemudian muncul ke permukaan adalah ruang publik yang beku, arena komunikasi yang monolitik,
suasana kepemimpinan kharismatis-otoritarian. Dalam konteks Indonesia, demokrasi deliberiatif adalah sebuah peluang
untuk menghidupkan praksis pluralisme. Bandingkan dengan konsepsi yang dikemukakan Antje Gimmler (2001),
dalam tulisannya “Deliberative democracy, the public sphere and the internet,” menyebutkan demokrasi deliberatif
adalah demokrasi dengan “model dua jalur” (two-track model), yang digambarkan sebagai: [1] demokrasi representasi
dengan topangan ruang publik dan pengembangan masyarakat warga; [2] dukungan konsep normatif ruang publik dan
ide dasarnya, yakni komunikasi yang bebas dari kekerasan dari warga yang setara terhadap akses dan hak untuk
mengintervasi atau mengajukan prakarsa; [3] posisi internet dapat mewujudkan konsep ruang publik dan pengaruh dari
kualitas debat politik, dan penekanan peran penting yang dapat digunakan dalam proses politik. Periksa Antje Gimmler,
dalam Philosophy & Social Criticism, Vol. 27, No. 4, 21-39 (2001), Institute for Philosophy, Philipps-University
Marburg, Germany

5
masyarakat warga telah dibajak oleh elite politik dan elite birokrasi melalui sejumlah korupsi yang
sistematis. Kedua, jika CSO yang selama ini banyak merambah ranah demokrasi deliberatif sebagai
tandingan atas praktik demokrasi formal yang dipimpin oleh teknokrasi. Ketiga, posisi CSO
dan/atau aktor pro-demokrasi atau pendukung pembangunan alternatif, ketika tiba musim hajatan
demokrasi, ternyata aktor pro-demokrasi tidak mau terlibat dalam ranah ini. Padahal ranah
demokrasi formal ini pun memiliki sebuah peluang untuk mempromosikan demokrasi berbasis
“politik anggaran”. 8 Dalam hal ini, komunitas ini sering mendapatkan julukan “demokrat
mengambang.” Keempat, praktik demokrasi yang terjadi di banyak pemerintahan daerah masih
didominasi oleh praktik bosisme lokal ketimbang mengedepankan demokrasi prosedural-
intrumental-teknokratis. Artinya, mekanisme demokrasi (semu) berjalan karena kebaikan hati
pemimpin.9

Teologi Politik: tantangan pluralitas, toleransi, dan penegakan hukum


Teologi politik yang diterangkan di atas pun bukan lahir dalam konteks orang Kristen ada belahan
bumi Eropa atau Amerika yang didominasi oleh komunitas Kristen. Sebaliknya, komunitas kristen
di Indonesia ada dalam ranah yang didominasi oleh komintas muslim. Soal mayoritas dan minoritas
dalam konteks hukum memang tidak dibedakan. Semua sama di hadapan hukum. Namun, apakah
memang demikian dalam praktiknya? Sebagai ilustrasi, teologi kekristenan di Indonesia dapat
dicirikan dalam stereotipe: [1] masih berkecenderungan meletakkan asumsi bahwa komunitras
kristen Indonesia identik dengan komunitas kristen di belahan Eropa dan Amerika. Sementara,
secara riil konstruksi statistik komunitas Kristen di Indonesia memang minoritas; [2] meski ruang
konstitusi yang dibangun di negeri ini telah membuka ruang yang setara bagi berbagai agama.
Namun pada saat yang sama, sentuhan teologi kerukunan dari komunitas kristen tidak lagi
mempertimbangkan posisi Pancasila sebagai perekat ideologis dari komunitas plural di Indonesia; [3]
praksis teologi gereja yang mengapresiasi pluralitas ke ruang publik belum cukup digarap sebagai
bekal jemaat; [4] teologi gereja sudah begitu berjarak terhadap praktik hidup kenegaraan. Dalam hal
ini, seolah hendak diasumsikan bahwa posisi gereja dan negara tak ada irisan kepentingan (cross-
cutting). Masing-masing menjadi menjadi asing, tak ada ruang dialektika.

Soal jumlah mayoritas dan minoritas sebenarnya bisa diberlakukan sama di depan hukum jika
mengandaikan negara kuat. Negara bisa menjadi rujukan salah-benar bisa ditakar. Negara juga
sudah semestinya meletakkan diri sebagai sebuah negara sekuler dan memastikan bahwa hukum
yang diberlakukan bisa ditegakkan (law enforcement), tetapi bukan dipermainkan. Ketika hukum
tak lagi bisa ditegakkan, maka klaim kebenaran yang menjadi sebuah preferensi yang baku
kemudian akan menjadi sebuah preferensi yang tak bermakna.

Ketika di beberapa kawasan di pemerintahan lokal di Indonesia mendorong diberlakukannya


Peraturan Daerah (Perda) Syariah (sic), maka argumentasi yang pada umumnya dikemukakan atas
pemberlakukan perda tersebut karena: [1] regulasi negara tak bisa dijadikan preferensi penagakan
nilai-nilai kebenaran. Regulasi negara ibarat macan kertas, indah di rumusan, tak berdaya dalam
penegakan; [2] agama merupakan suatu preferensi yang bisa diandalkan sebagai preferensi klaim

8
Politik anggaran (political budgeting) adalah sebuah arena untuk memperebutkan akses kebijakan publik yang
berorientasi pada sumber keuangan negara.
9
Local Bossism (bosisme lokal) ini akan bekerja tidak berbasis rambu-rambu demokrasi yang telah diregulasikan, tetapi
yang dilakukan adalah dengan praktik potong kompas regulasi dan dalam beberapa hal sangat diwarnai dengan praktik
kongkalikong. Bdk tulisan John T. Sidel yang menguopas praktik local bossism di Filipina.

6
nilai-nilai hitam-putih; [3] pemimpin yang kuat dalam aspek [ke]agama[an] tertentu akan merasa
terjamin jika perda berbasis religius (shariah) diberlakukan.

Jika perda ini diberlakukan, maka implikasi yang akan muncul kemudian adalah: [1] kaum
perempuan akan menjadi korban yang pertama jika yang bersangkutan adalah para pekerja yang
pulangnya malam hari; [2] penerapan perda shariah seharusnya dalam penegakannya akan dikawal
oleh polisi shariah. Praktiknya? Yang mengawal masih juga satpol PP; [3] Jika benar Perda Shariah
diberlakukan, maka seharusnya hal tersebut mengatur hal-hal bagaimana sebuah peribadahan atau
kehidupan keberagamaan diatur, padahal yang diatur lebih banyak hal-hal yang bersentuhan dengan
misalnya soal minuman keras, ketertiban umum. Sementara, seharusnya hal-hal tersebut sudah dan
bisa diatur dalam regulasi yang sekuler; [4] wilayah syariah, seharusnya yang memiliki otoritas
dalam mengatur regulasi adalah tokoh religius, bukan birokrat. Dengan pengaturan syariah oleh
birokrasi, maka telah terjadi pengambilalihan peran tokoh agama oleh birokrasi untuk mengatur
kehidupan beragama; [5] sebagai bukti bahwa negara lemah. Posisi perda syariah dari mekanisme
hukum yang ada, karena berkaitan dengan agama sebagai urusan negara (pusat), maka ketika prisip
konstitusional negara ini masih sebagai negara sekuler, maka perda-perda syariah tersebut
bertentangan dengan ketentuan di atasnya. Karena tak ada law-enforcement maka wajar jika
kemudian bermunculan sejumlah perda sejenis. Ringkasnya, dengan argumentasi seperti ini, maka
bisa dimaknai bahwa pilihan kemasan “perda shariah” adalah pilihan yang secara substantif tidak
pas dengan semangat shariah itu sendir, tetapi juga bertentangan dengan regulasi di atasnya.

Ilustrasi di atas tentu dapat dikembalikan pada hakikat keberadaan Indonesia semagai masyarakat
yang diangankan (imagined community), 10 masyarakat plural, masyarakat majemuk, tetapi juga
menekankan esensi persatuan. Bukan itu saja. Masih ditambah dengan masyarakat majemuk tetapi
tetap bersatu, meski berbeda-beda tetap satu, bhinneka tunggal ika (E Pluribus Unum). Impian ini
masih memiliki imperatif yang tak bisa dinafikan, yakni toleransi. Esensi toleransi mengisyaratkan
bagaimana elemen-elemen plural tersebut harus bisa hidup dalam habitat yang sama, berdampingan,
saling tolong, tidak ada pilihan lain. Wilayah masyarakat warga inilah yang harus dikembangkan,
dipraktikkan dan kalaupun ada konflik, maka diperlukan keterampilan untuk melakukan rekonsiliasi
konflik. Selama ini, promosi tentang pluralitas hanya menjadi monopoli negara, klaim rezim
Soeharto, tak cukup waktu masyarakat pada aras akar rumput memaknai Bhinneka Tunggal Ika.
Masyarakat warga seperti ini harus banyak belajar bagaimana hidup dalam sebuah ruang publik.
Masyarakat ini juga harus belajar bahwa dalam percaturan perebutan klaim kebenaran dapat saja
diberlakukan dalam ranah publik yang jauh dari kekerasan.

Perencanaan Politik Anggaran


Dalam mekanisme yang dituangkan dalam UU No 25/2004, menegaskan bahwa Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional (UUSPPN) bertujuan untuk:
mendukung koordinasi antarpelaku pembangunan; menjamin tercipyanya integrasi, sinkronisasi,
dan sinergi baik antardaerah, Antarru ng, Antarwaktu, Antarfungsi pemerintah maupun antara
Pusat dan daerah; menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perancanaan, penganggaran,
pelaksanaan, dan pengawasan; mengoptimalkan partisipasi masyarakat; dan menjamin
tercapainya penggunaan sumber daya secara efisien, efektif, berkeadilan, dan berkelanjutan

10
Benedict Anderson, Imagined Community

7
Kutipan regulasi di atas tentu dapat dipandang sangat bagus. Disebut bagus, karena masih
dilengkapi dengan rencana tahunan daerah (RKPD), dan RPJMD, serta RPJMN. Pada sisi lain, kata
bagus sendiri dapat saja menjadi subyek yang masih bisa diperdebatkan.

Terkait dengan mekanisme (politik) penganggaran ini setidaknya dapat dicatat tiga hal, yakni:
Pertama, dalam regulasi penganggaran seperti ini, mekanisme Musrenbang sebenarnya juga
mengandaikan mekanisme anggaran jangka menengah dan panjang. Sudah barang tentu khusus
untuk perencanaan jangka menengah ini juga dilengkapi dengan jangka pendek yang
diimplementasikan secara tahunan.

Kedua, dalam kebijakan tahunan ini, musrenbang selalu dilakukan dan ini pada prinsipnya lebih
melihat kembali mekanisme musrenbang yang pertama kali dilakukan dengan mekanisme RPJM.
Pertimbangannya, adalah bahwa dalam proses awal seperti inilah hampir seluruh skenario aspirasi
sudah diakomodasikan pada tahun pertama yang kemudian akan sangat berpengaruh pada proses
musrenbang selanjutnya.

Ketiga, prinsip penerapan kebijakan pro-poor sendiri sebenarnya tak bisa dilepaskan dari
pendekatan yang lintas sektoral. Sementara, dalam praktik, kebijakan yang pro-poor masih
didominasi dengan pendekatan sektoral. Catatan ini sendiri masih menyisakan pertanyaan: [a] Di
mana sebenarnya posisi orang miskin sendiri? Pertanyaan ini perlu dibedakan dengan suara
kebijakan pro-poor berbasis representasi oleh ORNOP, DPR, Walikota, SKPD; [b] Apakah tidak
perlu membandingkan angka “incidence poverty” dlm tahun-tahun sebelumnya dan apakah ada
pengurangan jumlah yang miskin? Atau hanya sebatas akses kesehatan dan pendidikan saja?
Bagaimana dengan kebijakan (jangka pendek) untuk subsidi pada orang miskin yang diatur secara
khusus di bawah koordinasi Bap[p]eda?

Pengarusutamaan Gender (Gender Maintreaming)


Meski secara statistik, jumlah perempuan dan laki-laki berbanding sama, namun jika berbicara
dalam ranah (keputusan) politik yang terjadi hampir bisa dipastikan bahwa peran perempuan sangat
marginal, kalau tak mau disebut begitu terpinggirkan. Mengapa bisa begitu? Jawabnya sederhana
bahwa : [1] bercokolnya kultur patrarkhi, yang membelenggu partisipasi kaum perempuan; [2]
terkonstruksinya dominasi laki-laki dalam ranah riil legislatif kota/kabupaten; [3] implikasi dalam
realisasi program pembangunan; [4] implikasi dari ketiadaan hak politik perempuan secara penuh
akan bermuara pada kurangnya akses, keterjangkauan dan sekaligus kadar partisipasi kaum
perempuan bukan itu saja; [5] Menurut catatan UNDP, mengapa angka partisipasi perempuan di
parelemen seharusnya mencapai angka sekitar 30 persen? Pertimbangannya adalah, bahwa dengan
angka kuantitatif 30 persen ini, suara kaum perempuan secara politik mulai diperhitungkan. Bukan
itu saja, karena yang direpresentasi kaum perempuan adalah juga hak (suara) anak; [6] untuk bisa
membentuk angka partisipasi perempuan di parlemen bisa mencapai angka 30 persen, maka pihak
negara, dari pengalaman di negara-negara Skandinavia, angka tersebut bisa diijangkau dalam waktu
sekitar 20-an atahun atau setara dengan 4 kali pemilu dengan asumsi bahwa per sekali pemilu
berjeda 5 tahun. Indonesia, . Kebijakan ini berlaku masih melalui otoritas negara, memberikan ruang
affirmative action. Meski begitu, tahun 2004 Indonesia sudah memulai dengan himbauan bahwa 30
calon legislatif diharapkan berasal dari representasi perempuan; [7] Kebijakan dalam bentuk inpres
yang mengatur betapa strategisnya meletakkan dimensi gender menjadi sebuah program yang
kemudian dikanl dengan PUH (pengarusutamaan gender) atau gender mainstreaming. Sayangnya

8
lebijakan ini, yang seharusnya dimakanai sebagai bagian lintas sektoral dan diurusi oleh eselon
tertinggi, pada praktiknya masih dipandang urusan sektoral dan diurusi oleh eselon 3.

Terkait dengan pendekatan penganggaran berbasis sensitif gender, beberapa catatan dapat
dikemukakan: Pertama, setara dengan paradigma penganggaran yang pro-poor, maka pendekatan
yang sensitif gender pun sebenarnya juga bisa dimasukkan ke dalam pertimbangan pro-poor. Nasib
pendekatan gender sensitive pun juga kebanyakan masih diletakkan pada dimensi sektoral
ketimbang lintas sektoral. Nampaknya tak mudah menterjemahkan prinsip gender mainstreaming
(pengarusutamaan gender) ke dalam pengalokasian anggaran. Secara regulatif, PUG (Pengarus
Utamaan Gender) telah diatur dalam Keputusan Presiden.

Kedua, penting dipertanyakan dalam proses investigasi dalam penelitian ini adalah representasi
kaum perempuan dan kaum miskin. Selama ini, dalam setiap aras musrenbang kelompok-kelompok
yang [di-]hadir[-kan] lazimnya merupakan tokoh-tokoh masyarakat yang tidak secara otomatis bisa
mewakili komunitas subaltern, seperti kaum miskin dan perempuan. . lebih celaka lagi, justru ketika
musrenbang berproses maju ke arah yang lebih tinggi tingkatnya, derajat keterwakilan ini semakin
kian mengecil saja.

Ketiga, kebijakan PUG karena diatur secara langsung melalui mekanisme Menteri Pemberdayaan
Perempuan, maka mekanisme penganggarannya pun selain ada pada aras kota/kabupaten, kebijakan
ini ada pula pada aras provinsi. Persoalannya kemudian adalah: [a] bagaimana CSO
menterjemahkan paradigma PUG ini dalam jajaran SKPD, atau hanya berhenti di salah satu
badan/kantor pemerintah kota?; [b] Apakah paradigma PUG identik dengan usaha untuk melakukan
affirmative action terhadap keterwakilan hak perempuan dan anak? Bagaimana pula dengan agenda
kemiskinan, apakah juga diangkat dengan pintu masuk PUG ini?; [c] Bagaimana pula komunitas
CSO melobikan rumusan PUG ke dalam APBD; [d] Dengan mempertimbangkan PUG, kebijakan
pro-poor spt apapun akan membantu dalam menjamin akses penganggaran bg kaum perempuan dan
anak-anak

Kebijakan Pro-Poor
Kebijan publik yang memberikan perhatian pada orang miskin terlihat begitu banyak, ada yang
sifatnya kharitatif, subsidi, ada yang sifatnya pemberdayaan. Bebertapa catatan tentang kebijakan
uyang bersentuhan dengan agenda pengentasan/pengurangan angka kemiskinan. Dua catatan penting
perlu dikemuakakn di sini: Pertama, kebijakan pro-poor sendiri sebenarnya tak bisa dipisahkan
dengan Strategi Penanggulangan Kemiskinan Nasional dan Strategi Penanggulangan Kemiskinan
Daerah. Untuk aras nasional, maka bantuan alokasi keuangan diatur dari pusat dan daerah tinggal
mendisktribusikannya. Biasanya, mekanisme penataan distribusi paket kemiskinan lebih banyak
dikoordinasi oleh Bapeda khususnya bagian sosekbud. Yang menarik, meskipun di daerah memiliki
apa yang disebut dengan dokumen SPKD (Strategi Penanggulangan Kemiskinan Daerah), status
dokumen ini sebatas disimpan sebagai produk kerja konsultan. Semestinya, produk dokumen itu
karena mengatur hajat hidup orang banyak perlu ditingkatkan menjadi produk semacam perda
(partisipasi/transparansi/akuntabilitas).

9
Kedua, ada sejumlah skenario penanggulangan kemiskinan yang dikembangkan oleh mekanisme
Millenium Development Goals (MDGs), 11 subsidi raskin, definisi tentang kemiskinan yang
berimplikasi beda antara rumusan statistik pusat/nasional dan rumusan statistik daerah
Beberapa hal yang bisa dielaborasi lagi terkait dengan kebijakan yang berpihak pada orang miskin
(pro-poor) adalah:
Apakah ada mekanisme kebijakan penghematan anggaran (APBD) untuk disisihkan bagi
penanggulangan kemiskinan?
Bagaimana daerah selain telah menetapkan kebijakan pendidikan gratis di pendidikan dasar
dan menengah serta di bidang pelayanan kesehatan, mengelola kebijakan “alokasi
kemiskinan (MDGs, raskin, subsidi bahan bakar), pengalokasian anggaran pendidikan yang
terkait dengan alokasi 20% APBD untuk pendidikan? Jika sempat dipertanyakan ini akan
menjadi sebuah perdebatan/kontestasi antar-SKDP, DPR, CSO. Beberapa catatan yang
mendasar adalah sebesarapa besar alokasi anggaran untuk pendidikan (yang digratiskan) dan
pelayanan kesehatan (yang digratiskan) dari total anggaran APBD? Sekadar ilustrasi, jika
pada awal 2000-an rata-rata alokasi biasa pendidikan berkisar 3-4% dari total APBD dan
pada era ketika pemda/pemkot dihimbau mengalokasikan 20% APBD untuk pendidikan kini
maksimal baru bisa terrealisasi sekitar 11%. Dengan catatan SKPD lain sudah harus
mengetatkan ikat pinggang.
Apakah dokumen semacam SPKD12 juga dipertimbangkan dalam konsolidasi SKPD? Atau
karena sebagian kebijakan dikendalikan dari pusat sehingga tidak perlu dipertimbangkan
dalam proses penganggaran?

Implementasi Anggaran
Mekanisme penganggaran, sebagai bagian dari instrumentasi teknokrasi demokrasi memiliki
imperatif yang sebenarnya memang mengandaikan kehadiran masyarakat warga yang rasional dan
tumbuhnya ruang publik yang memungkinkan semua pihak duduk bersama. Secara teoretik,
misalnya,

11
Terdapat 8 indikator MDGs yaitu: [1] menghapuskan angka ekstrem kemiskinan dan kelaparan; [2] pencapaian
pendidikan dasar secara universal; [3] mempromosikan kesetaraan gender dan memberdayakan perempuan; ;[4]
mengurang angka kematian anak; [5] perbaikan kesehatan ibu; [6] memerangi HIV/AIDS, malaria, dan penyakit lainnya;
[7] memastikan keberlanjutan lingkungan; [87] pengembangan sebuah kemitraan global untuk pembangunan.
12
Dokumen Strategi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (SPKD) merupakan turunan dari kebijakan Strategi
Penanggulangan Kemiskinan Nasional. Proses penyiapan dokumen SPKD diharapkan melewati mekanisme yang
partisipatoris, tapi dalam praktik, di Salatiga, lebih mobilitatif.

10
Sumber: Sugeng Bahagijo & Darmawan Triwibowo, 2008. Lord of the Arena – Analyzing the
Power Play among Actors that shapes the Proo Poor Reform in Eastern
Indonesia’s Two District After Decentralisation. Jakarta: Prakarsa-Oxfam GB 2008.

Bagan di atas meski nampak pada suatu susunan yang begitu rapi dan mengalir, ketika masuk dalam
wilayah implementasi, beberapa hal yang bisa diinventarisasi adalah: [1] mekanisme penganggaran
sebelumnya sudah “diijonkan” dengan pihak kontraktor. Meskipun dalam mekanisme realisasi
perencanaan pembangunan telah diatur dengan mekanisme tender untuk nilai proyek di atas Rp 50
juta, ternyata list proyek untuk 50 jutaan pun sudah menjadi target rent seeker dari para politisi
pendukung. Mekanisme tender untuk nilai angka budget Rp 50 juta meski diatur dengan mekanisme
Kepres tentang mekanisme pelelangan dalam praktik proses penginformasian, kriteria siapa yang
dimenangkan, siapa yang ditunjuk sebagai panitia lelang, patut dijadikan obyek investigasi. Dalam
ranah inilah kebanyakan telah diterapkan mekanisme yang sifatnya “non-kepress”. Artinya, kalau
kemudian ada mekanisme “kepres” yang diterapkan, maka mekanisme tersebut lebih merupakan
formalitas belaka; [2] Dalam banyak daerah, dengan menyebut Salatiga misalnya, list proyek di
bawah 50 jutaan oleh Walikota untuk pendistribusian dikonsultasikan dengan aktor elite partai
pendukung. Yang dapat akses adalah orang-orang yang dekat dengan aktor elite partai tersebut.13 [3]
dalam proses tender yang tengah berlangsung, bahkan sebagian peserta tender ada yang membawa
“pasukan preman” untuk menakut-nakuti proses lelang tersebut.

Alur kritis mekanisme pengaliran anggaran terjadi pada sekuens: [1] apakah proses lelang telah
melalui proses yang transparan dan akuntabel?; [2] Apakah dalam mekanisme pelalangan juga
masih terjadi semacam pemberian komisi yang nota bene adalah bentuk mencari rente (rent
seekers)?

Modal Sosial , sebuah Peluang untuk Penyadaran dan Pemberdayaan

13
Masih kasus Salatiga, untuk proyek-proyek tender yang dipersiapkan oleh panitia lelang, ternyata ada fenomena
menarik. Bahwa yang dimenangkan adalah yang nilai penawarannya yang paling tinggi, bukan yang relatif paling
rendah dan kompettitf. Selain itu, yang menang pun pada saat yang sama diketahui bahwa rival terdekatnya pun ternyata
merupakan CV rekaan pemenang tender.

11
Meminjam istilah Normn Uphoff (2000), modal sosial (social capital) takbisa dibayangkan sebagai
sekadar modal berbasis fisik. Dengan modal sosial yang penting diperhatikan adalah pada fokus
komponen, relasi, dan hubungan yang dapat dievaluasi dalam pengalaman riil sesehari. Sebab itu,
modal sosial seyogyanya perlu dirunut dalam kaitan (a) apa yang membangun konstituen kelompok,
(b) apa bentuk hubungan yang terjali di antara relasi-relasi tersebut, dan (c) apa akibat yang akan
ditimbulkan di dalam elemen ini dan di dalam interaksi mereka.

Modal sosial seperti ini bisa menjadi bekal bagi lembaga advokasi untuk mulai mempertimbangkan
hal-hal seperti:
[1] menekankan kerja yang juga memberi perhatian pada pengolahan data, baik diupayakan secara
sendiri maupun secara kolaboratif
[2] perlu membangun jejaring untuk menyebarkan isu yang bisa digarap secara berjejaring, baik
secara intern agama ataupun lintas agama
[3] memanfaatkan media komuniasi cetak, elektronik, maupun mekanisme ruang cyber
[4] pentingnya penguasaan kerangka kebijakan (publik) yang dikeluarkan baik olaeh negara pada
aras lokal, regional maupun nasional.
[5] tidak menabukan wilayah politik formal sebagai bagian yang perlu diberi perhatian lebih dalam
[6] perlunya konsolidasi CSO-Negara-Komunitas bisnis dalam merumuskan kembali modal sosial
yang bermuara pa pada peningkatan kemaslahatan umat, khususnya bagi akses orang miskin dan
kaum perempuan.
[7] pentingnya koalisi CSO mengkritisi regulasi yang mengatur partisipasi warga dalam mekanisme
penganggaran, bahkan jika perlu mengawal institusionalisasi mekanisme partisipasi.
[8] Model penganggaran yang partisipatoris telah diwujudkan dengan signifikan di Porto Allegre.
Sedangkan model penganggaran yang melibatkan prinsip pengawasan (pengeluaran) anggaran
(expenditure tracking) telah terbukti menunjukkan efisiensi yang signifikan di Uganda. Dan, di
Bengalore dan Kernataka prakarsa untuk mendorong akuntabilitas melalui mekanisme pelaporan
melalui kartu (report cards) telah memungkinkan pemerintah berdialog bersama dengan NGO
melakukan pemecahan masalah atas beberapa hal yang terkait dengan prioritas masalah dalam
pelayanan publik.14 Dengan diagram tersebut dapat dipahami kemungkinan mengkombinasikan
faktor-faktor determinan yang ke depan bisa diinstitusionalisasikan dalam mekanisme
penganggaran. Agak berbeda dengan model yang dikembangkan oleh Ragner et al yang mash
menyisakan alur yang terbuka. Mungkin baik juga dipertimbangkan / diperdebatkan pendekatan
yang mempertimbangkan aspek siklis (periksa dua bagan di bawah).

Siklus Anggaran: peluang advokasi penyadaran dan pemberdayaan

14
Periksa Swarnim Wagle and Parmesh Shah (January 1992), Participation in Public Expendituyre Systems – An Issue
Paper dalam The Participation and Civic Engagement Group Social Development Department, The World Bank, 1818
H Street, N.W. Washington, D.C. 20433, http://www.worldbank.org/participation

12
Dengan melihat kerangka konseptual tentang pengelolaan pengeluaran berbasis partipasi publik di
atas dan memperbandingkan dengan formulasi mekanisme penganggaran yang telah digariskan oleh
negara (Indonesia), sebenarnya kita bisa melihat sejumlah peluang atau celah di mana saja advokasi
penyadaran dan pemberdayaan oleh CSO mau dipilih. Ruang koinonia atau wilayah dialektikan
dengan publik yang plural di atas setidaknya dapat dicatat empat arena besar yang dapat disentuh
dengan advokasi, yakni: perumusan anggaran (budget formulation), analisis penganggaran (budget
analysis), pelacakan pengeluaran anggaran (budget expenditure tracking), dan kinerja monitoring
(performance monitoring). Dari keempat arena ini, sebenarnya terdapat muatan yang
memungkinkan nilai-nilai yang memihak komunitas marginal untuk diperjuangkan. Nilai-nilai yang
dimaksud adalah: partisipasi, keberpihakan pada kaum miskin, dan kesetaraan gender, akuntabilitas
dan transparansi.

Hanya saja, sekali lagi, untuk memasuki wilayah ruang publik di atas, tetap saja mengandaikan
kesetaraan rasionalitas para pemangku hak. Faktanya, ternyata masih saja ruang publik tersebut
menyisakan ketimpangan pengetahuan atas siklus tersebut. Sebab itu, bahwa jika kemudian
Indonesia pun mengadopsi spirit siklus proses penganganggaran di atas, pada praktiknya masih juga
menyisakan sejumlah asumsi yang belum bisa dipenuhi, misalnya:

13
VI. Diskusi
Sebelum diskusi, moderator mengajak peserta untuk mengamati foto berita di bawah ini.
Foto ini adalah bagian dari berita tentang
peresmian gedung “Perluasan” kantor
Sinode Gereja Protestan Maluku (GPM),
yang dihadiri oleh Gubernur Maluku,
Ketua DPRD Maluku, Sekda Provinsi
Maluku, Ketua DPRD Provinsi Maluku,
Uskup Amboina, dan para tokoh penting
lainnya di provinsi Maluku. Demikian
banyak tokoh, hanya untuk meresmikan
“Perluasan” kantor Sinode GPM.
Para peserta diskusi PSKTI memberikan
impresi terhadap foto tersebut, bahwa
pengaruh gereja pada satu sisi cukup besar di masyarakat dan di sisi lain para elite politik
merasa perlu untuk merangkul gereja untuk kebutuhan kepemimpinan politik mereka.

Marthen Ndoen:
Peran gereja-gereja di Indonesia sebagai satu institusi terkesan sangat elitis. saya tidak
melihat mereka berpihak kepada kelompok miskin. Untuk gereja-gereja di wilayah

14
minoritas Kristen seperti di pulau Jawa, alasannya adalah karena minority complex.
Untuk gereja-gereja di wilayah-wilayah Indonesia Timur mentalnya sama meskipun
mereka mayoritas, tetapi berpihak kepada elite (sesama kristen) karena gereja sendiri
hidup dari sana dan mereka mendapatkan keuntungan ekonomi dari sana. Gereja tidak
mungkin bebas dari pengaruh-pengaruh kekuasaan. Ada khotbah tentang orang miskin
tapi sulit diharapkan.
Di kasus Timor Tengah Selatan yang dicontohkan Nick, gereja sendiri tidak bersikap
sama sekali pada waktu itu, mereka sangat tergantung dari para elite.
Gereja mungkin kadang-kadang mau melakukan kebijakan pro-poor untuk
mengembangkan ekonomi jemaat. Masalahnya training para pendeta memiliki
kemampuan yang terbatas, padahal pendeta adalah motor penggerak. Wibawa pendeta
bisa hilang juga. Untuk itu dibutuhkan pendeta yang memiliki wawasan luas dan tidak
takut kehilangan wibawa.

Roy Siahainenia:
Dulu waktu Timor Timur masih bagian dari Indonesia, ada skenario menempatkan gereja
pada ruang publik yang dikenal sebagai tiga pilar indonesia yaitu TNI, Pemerintah dan
Gereja. Konsep ini gagal lalu gereja berkembang sendiri kontra terhadap dua tungku yang
lain.
Pertanyaannya bagaimana keadaan itu terjadi? Dalam paper ada sinyal tentang konsep
etika yang perlu dikembangkan.
Meskipun wawasan para pendeta terbatas, tetapi yang substansial adalah konsep etika.
Pendeta kebanyakan bicara tentang sejarah gereja, ini yang dikritik John Titaley bahwa
yang dibutuhkan justru teologi kontekstual.
Masalahnya bagaimana mewadahi dalam organisasi gereja? Di Islam ada Muhammadiyah,
NU, dan satu lagi, meskipun juga ada yang radikal seperti FPI. Dalam konteks ini Suharto
punya konsep mengenai representasi dan kepemimpinan, sekarang tidak ada.
Gereja berlomba-lomba masuk dalam ranah politik tapi gereja tidak mampu. Lalu
"mengutus" pendeta menjadi anggota legislatif. apakah benar ini konsep pengutusan?
Dari diskusi dengan Randy dan Manaf, memang ada kebingungan karena banyak pendeta
ingin jadi anggota DPRD. Lalu untuk kepentingan apa? dan untuk melayani masalah apa?
sebagai pribadi atau sebagai pendeta? Padahal dia memiliki jemaat dan pengikut. Di
gereja Katolik sangat jelas, kalau mau jadi anggota DPRD maka harus keluar, tapi di
gereja Protestan tidak jelas.
Persoalannya menjadi rumit. Apakah kita mencoba diskusikan agenda-agenda penelitian
ke depan? karena sangat banyak yang bisa dibicarakan. atau tentang gereja memberikan
ruang kepada warga jemaat untuk terlibat. Belum lagi memanfaatkan ruang di luar gereja.
Apakah di gereja ada demokrasi? Kalau menurut pak Kutut, di Protestan lebih demokratis,
tapi sekarang saya rasa sudah terbalik karena sekarang banyak pendeta protestan takut
kepada sinodenya agar tidak dimutasi ke tempat jauh.
Karena posisi gereja sangat penting makanya saya memilih juga untuk penelitian ini di
Timor Leste.

15
Nick T. Wiratmoko:
Pernah ada diskusi tentang migrasi dari Buton, Bugis dan Makasar yang kuat lalu
menggusur pedagang lokal. Ini menggejala di semua Indonesia Timur, apakah hal ini
tidak perlu menjadi perhatian gereja karena terjadi di wilayah publik.
Indonesia timur khususnya Papua, soal sirih-pinang. biasanya dipakai untuk wilayah yang
sangat private. masalahnya sekarang pohon pinang-pun sudah diijonkan. kalau konteks
lokal yang tidak balance ini, bisa tergusur.
Khusus Papua ada kasus HIV-AIDs dan prostitusi yang sangat luar biasa, berasal dari para
pekerja asing lalu terkena kepada orang lokal lalu terinfeksi kepada istri dan karena terjadi
dalam jangka panjang. Gereja pun masih terlambat mengurus wilayah-wilayah seperti ini
yang ditabukan. Seolah-olah gereja agak apriori melihat gejala kesehatan publik ini,
apalagi ada tradisi istri banyak.
Di Papua posisi leadership sangat berpengaruh ketimbang negara. Karena itu jika tidak
direspons maka akan tergusur.

Marthen Ndoen:
Bukan Kristen saja yang tersingkir tapi orang Islam lokal juga tersingkir. Oleh karena itu
mereka juga mengidenfikasi diri migran sebagai orang luar. Fenomena Maluku juga
seperti itu, dalam konflik dan damai terjadi jarak sebagai orang Maluku, demikian pula di
Maluku.
Akhirnya agama tidak berperan penting ketimbang etnisitas. Hanya pada momen-momen
tertentu saja agama menjadi lebih di atas etnisitas.

Manaf Tubaka:
Perbandingan Clifford Geertz membandingkan pola Indonesia dan Maroko. Secara
sosiologis menurutnya membentuk pranata-pranata lokal.
Dalam diskusi dengan teman-teman muslim ada komentar "ketua sinode juga bermain
politik." Jadi politik dinilai negatif dan nampaknya belum siap sehingga muncul resistensi.
Sekarang kalau ada sengketa tanah antara desa muslim dan kristen, mengganggu ruang
publik. Bagaimana peran gereja dalam hal ini? apakah mereka akan menggunakan
perannya.
Jika peran publik itu bersifat universal, gereja bisa memberikan kontribusi yang bagus
jika berperan secara legal. Di ambon Ketua Sinode bergerak dengan baik pada peran ini.
Namun dalam peran individual baik di kristen maupun di muslim muncul hal-hal yang
tidak bagus. misalnya dalam hal mutasi jabatan, petanya muncul antara muslim dan
kristen. Sehingga tiba-tiba orang bicara tentang kepentingan kita dan mereka gara-gara
tergusur. Kita perlu bicara tentang peran-peran bersama sehingga partikularittas peran itu
bisa diangkat. Isu yang dibawa ke ruang publik harus mengedepankan sensibilitas dari
yang lain.

Roy Siahainenia:
Siapa yang mengkonstruksikan soal mutasi jabatan itu? apakah terbentuk sendiri ataukah
dihembuskan? karena ada beda ada pesan antara rakyat dan elite.

16
Manaf Tubaka:
Kita memang tidak mengalami transformasi pasca kolonial yang bagus sehingga sedikit
muncul masalah timbul pemetaan kelompok. Masalahnya karena diskusi tidak dibawa ke
ruang publik. ini terpendam dan bisa muncul pada saat terjadi ketegangan.

Marthen Ndoen:
Dalam kasus FPI melawan Ambon, pada sisi FPI diangkat isu agama padahal pada sisi
preman Ambon merupakan campuran antara yang islam dan kristen. demikian pula dalam
kasus preman Kupang dan Batak. Jadi dalam tataran tertentu etnisitas jauh lebih kuat
untuk mengikat orang.
Tapi kalau kita pakai, maka kita kembali pada kesadaran politik tahun 1950an. Ini lucu,
karena pernah dihancurkan pemerintah lalu masuk ke agama padahal agama sangat
destruktif.

Piet Soegijono:
Foto tadi ini membawa kesan kepada kawasan timur, khususnya GPM.
Dari materi muncul pengertian bahwa gereja harus independen terhadap kekuasaan negara,
tapi gereja justru terjebak pada kekuasaan negara.
Dari makna gereja, dikaitkan dengan gereja sebagai institusi dimana di Ambon mereka
sangat otoriter dan sangat masuk di wilayah politik.
Dalam sistem presbyterial sinodal keputusan tertentu diambil tidak kolektif tapi oleh
pimpinan. Misalnya dalam keuangan keputusan sangat individual pada diri para ketua
yang memiliki hak sebagai otoritas mengatur uang keluar dan uang masuk. Di luar itu
diurus secara kolegial. Artinya struktur butuh keuangan yang kuat, lalu dibuat sistem
keuangan yang tidak konvensional.
Di GPM anggaran disusun dari pengeluaran program, setelah tersusun dan mengetahui
jumlah kebutuhan, lalu disusunlah rencana penerimaan. Keuangan gereja tidak bisa
diduga dan pemberian orang tidak bisa diukur secara kontinyu. Karena itulah logika
penyusunannya dibalik. Rasionalitas dalam perencanaan ini tidak bisa menerima lagi
pemberian jemaat. Pos- pos penerimaan diarahkan kepada penguatan struktur khususnya
belanja pegawai. jemaat hanya mendapat bagian yang kecil. Struktur diperkuat dengan
memanjakan jemaat dengan dogma-dogma yang sangat abstrak.
Akibatnya implementasi terhadap nilai-nilai iman tidak diterima. Pemberdayaan berjalan
asal- asalan yang penting ada dalam dokumen gereja.

Marthen Ndoen:
Pendeta harus sadar akan keterbatasan wilayah kekuasaannya, jangan campur tangan di
wilayah-wilayah lainnya. Pendeta tidak perlu berpretensi tahu semua, dan jangan jemaat
berikan peluang untuk itu.

17
Piet Soegijono:
Di ruang politik ada pertentangan keras antara umat dan pemimpin gereja. Umat tidak
mau pendeta di politik, tapi pendeta menganggap ini wujud marturia dan pengabdian
masyarakat. Rent seeker juga. Lalu di-non-aktifkan tetapi jabatan pendeta tetap melekat.
Pertentangan ini yang terus menguat dan banyak jemaat kristen tidak ingin pendeta
berpolitk praktis. menggunakan hak politik dibolehkan tetapi berpolitik praktis
seharusnya tidak dibolehkan.
Gereja sendiri kadang-kadang menjadi oposan, tapi pada waktu butuh dana maka
mendekati penguasa. Sehingga wajar bahwa ada anggapan bahwa pendeta juga pemain
politik dan pemain yang terbuka.

Nick T. Wiratmoko:
Kesan-kesan yang muncul tadi seakan-akan bahwa keberadaan pendeta di ranah politik
lebih sebagai rent seeker. Namun, adakah pendeta yang benar-benar memperjuangkan
agenda-agenda deliberatif yang memberdayakan kaum miskin? Karena pendeta juga
berpotensi menjadi pemimpin dengan etika moral yang kuat.

Marthen Ndoen:
Training pendeta itu di bidang teologi namun kemudian dia masuk ke politik, ada
kesenjangan. Kalau bisnis kita bisa berikan legitimasi jika dia belajar manajemen
misalnya. Tapi kalau dalam politik, saya tidak melihatnya karena training mereka tidak
kesana. Kecuali seperti orang batak (Gunung Mulia) yang pernah menjadi menteri itu
karena dia sudah matang melalui training-training di organisasi Kristen. Orang seperti ini
langka.
Mungkin bagus kalau bisa ketemu pendeta seperti orang seperti itu karena dari sisi moral
bagus. Tapi jaman sekarang sulit, karena banyak pendeta yang menjadi anggota DPRD
juga ikut korupsi.

Piet Soegijono:
Hanya satu orang pendeta yang pernah saya temukan sangat konsisten pada idealisme,
yaitu almarhum pendeta Piet Tanamal. Dia bahkan berani menolak imbalan-imbalan
politik.

Nick T. Wiratmoko:
Bisakah informasi tentang pak Piet Tanamal ini didiseminasikan? karena mungkin dia
punya pengalaman yang tersendiri yang bisa menjadi contoh good practices bagi orang
lain.

Roy Siahainenia:
Dulu LPM pernah lakukan pembinaan kepemimpinan kepada para utusan gereja, tapi
kemudian selesai dari UKSW mereka tidak diwadahi oleh sinodenya. Di Katolik lebih
maju dan serius serta diwadahi. Dari peternakan sapi saja bisa dan dikelola oleh pastor.

18
Rupanya ada juga bantuan khusus dari Roma. Sinode harus berpikir seperti itu, bukan
malah meminta dari jemaat. di GPIB bahkan ada yang menjual asset gereja.

Marthen Ndoen:
Di Ende itu para pastor punya mikroskop untuk belajar ilmu alam. Ada yang ahli kertas,
di percetakannya hal ini dipraktekan. Ada yang ahli pertanian bekerja dengan jemaat.
Misi di daerah-daerah terpencil inilah yang kuat. Di protestan sangat tertinggal.

Roy Siahainenia:
Di Islam yang kuat adalah Muhammadiyah dengan lembaga-lembaga pendidikan dan
kesehatannya.

Nick T. Wiratmoko:
Muhammadiyah juga belajar dari kristen dengan konsentrasi pada pendidikan dan
kesehatan. Ini yang sangat diberikan perhatian oleh Dien Syamsudin saat ini.

Manaf Tubaka:
Beberapa waktu lalu saya minta waktu untuk wawancarai pak Dien Syamsudin. Waktu
ditanya soal Ahmadiyah, Dien Syamsudin bilang no comment dulu saat ini.
Untuk pak Nick, gereja pada satu sisi punya tujuan untuk bermain pada ranah publik
secara total? ataukah hanya pada sisi spiritual saja.
Ada kawan pendeta di Kalimantan yang didekati bupati dalam rangka pilkada. Mereka
rapat membahas posisi gereja, dia keberatan jika gereja harus ikut mendukung calon
bupati. Saya bilang gimana gereja kalian berpolitik nggak?
Kalau di Ambon, di Maluku Tengah, ada kandidat bupati yang didukung karena
kandidatnya berpasangan dengan calon wakil bupati yang adalah seorang pendeta.

Nick T. Wiratmoko:
Sebagai calon dalam pilkada, tentu masuk wilayah politik formal yang sudah diatur
regulasinya. Tapi yang saya bayangkan lebih jauh daripada sekedar jadi rent-seekers,
sehingga komitmen membangun masyarakat itulah yang lebih penting.
Dari catatan diskusi yang muncul adalah rent seeker dan trade off. Yang saya bayangkan
dia tidak perlu menjadi aktor politik formal tapi dibayangkan dia berproses dengan lsm
dan aktif.
Tidak harus dalam bentuk pendeta tetapi juga anggota gereja. kadang-kadang mereka
tergagap juga.
Yang saya pahami tadi dengan tri panggilan, dia mengurus diri sendiri tapi dengan adanya
panggilan ketiga maka ada aspek kemanusiaan yang utuh. Tapi ini tidak mudah. dalam
kasus TTS, jemaat bisa mengkritik kredo gereja dan kesadaran kolektif.

19
Marthen Ndoen:
Di So’e itu perlawanan kultural, bukit marmer itu kadang dipandang sebagai totem. Pada
waktu gereja masuk tidak menghancurkan kepercayaan ini. Lalu waktu investor dan
pemerintah masuk, mereka terancam identitasnya lalu bersekutu dengan pemerintah.
Muncul penolakan terhadap gereja. Muncul agama lokal. Kasus di ambon, ada tradisi
pukul sapu lidi dan minyak obatnya, itu bukan agama Islam tapi tradisi lokal. Di Kupang
juga ada kasus gereja dilawan jika melawan tradisi lokal.

Nick T. Wiratmoko:
Soal politis dan apolitis tidak bisa didikotomi. Karena ada perbedaan antara gereja dan
jemaat.
Realitas kehidupan gereja yang berhubungan dengan jemaat kadangkala berkaitan dengan
agenda identitas, ada intervensi kapitalisasi yang mengancam identitas yang sudah
dibangun dengan modal sosial sehingga membahayakan aparatus gereja sendiri. Kadang
gereja tidak tanggap.
Catatan gugatan terhadap aktor teolog profesional. Kalau fokus pada bidangnya, jangan
masuk di wilayah yang sangat berbeda. Dalam kaitan seperti itu ada perkecualian untuk
belajar secara otodidak.

Marthen Ndoen:
Dalam kasus TH Sumartana yang teolog tapi dalam pengalaman belajarnya dia belajar
banyak hal di politik.
Dia pernah jadi esais terbaik indonesia. ini kualitas yang lain yang perlu diperbanyak juga
untuk mengamankan gereja. Seperti katolik, ada pastor ritus tapi ada yang bermain di
wilayah publik, dengan komitmen kemanusiaan yang sangat kuat tanpa melihat agama.
Kalau seperti itulah yang kita inginkan.

Nick T. Wiratmoko:
Memang berpolitik ini adalah wilayah publik, kemanusiaan, tanpa memandang agama.
Dari catatan-catatan spesifik, diperlukan pendeta cum politisi. Yang mengawal realitas.

Theo Litaay:
Ada kasus TTS yang lain, yaitu penolakan terhadap pembangunan dua markas militer di
So’e. Aksi ini dipimpin oleh para pendeta dan pemuda gereja. Mereka sampai menduduki
kantor bupati. Mereka khawatir bahwa kehadiran militer justru membawa banyak konflik
dan faktor-faktor konflik, padahal selama ini mereka sangat menikmati ketenangan hidup.

Marthen Ndoen:
Nampaknya mereka belajar dari kasus Rote. Dimana banyak kerusakan lingkungan terjadi
khsuusnya populasi rusa yang menurun drastis. belum lagi ketegangan dan konflik dengan
penduduk lokal.

20
Roy Siahainenia:
Soal shariah dalam paper pak Nick, ini kesannya negara mengkooptaasi agama. persoalan
kita dalam konteks kristen, apa itu perlu?

Nick T. Wiratmoko:
Pemetaan ini bukan untuk didiametralkan, tapi karena dalam kasus teman-teman muslim
sendiri menyebetukan bahwa perda shariah itu muncul karena pusat tidak tegas. Karena
agama adalah urusan pusat jadi sudah jelas, tapi tidak ada law enforcement. kalau muncul
di wilayah seperti itu, bukan tidak ada persoalan. Selain dengan para ustad yang spesifik,
tidak bisa oleh aparat negara. Tokoh agama sendiri yang harus mengurus agama. pada
saat munciul ke permukaan, makna agama menjadi hilang.
Di Sulsel ada tradisi minum alkohol lokal. lalu ada buka baju. perda shariah itu
membongkar identitas suku tadi. ada semacam baku tabrak. bisa merebak di mana2.
gereja mungkin tidak terkait, tapi kalau secara agregat bisa memunculkan benturan
budaya.

Marthen Ndoen:
dasar pemahaman konstitusi sudah cukup kuat, jadi tidak perlu bikin perda injili itu.

Manaf Tubaka:
dalam komite di makasar ada HTI memang tidak heran. ada NU juga, kolaborasi. kalau
cenderung menanyakan apakah perda ini bisa? tentu orang makasar itu islam? jadinya
salah, konstitusi yang harus menjadi acuan. ini sebenarnya keinginan elite juga, dari sisi
kultural justru berbenturan.

Satria Anindita:
kalau ada teologi politik dan teologi bisnis dan teologi jurnalisme dan teologi tanah,
apakah mungkin?

Nick T. Wiratmoko:
Soal teologi itu mau dibangun teologi politik atau tidak, yang pasti gereja punya tiga
panggilan tadi. kesaksian sebagai panggilan harus paham apa yang namanya politik
karena wilayah kemanusiaan yang harus dibelain itu warga negara tanpa melihat agama/.
tapi bukan pendeta cum politisi yang rent seekers namun yang seperti romo mangun,
romo sandyawan. struktur itu yang menjadi masalah justru pemahaman iman, yang
mengatur tata gereja. gpib itu masih impor, itu sebabnya pak John Titaley masih terus
mengingatkan kita akan konteks Indonesia. Untuk menterjemahkan maka harus masuk
wilayah-wilayah kemanusiaan yang tidak ada di barat.

21
Marthen Ndoen:
kalau melihat kristen di Indonesia timur saja, ada perasaan mayoritas. Dalam keadaan
sekarang muncul perasaan minoritas.

VII. Daftar nama peserta diskusi:


- Nick T Wiratmoko. nicktwiratmoko@gmail.com
- Marthen Ndoen. mndoen@yahoo.com
- Pieter Soegijono. pietersoegiyono@yahoo.com
- A Manaf Tubaka. mtubaka@yahoo.com
- Royke R Siahainenia. roysiahainenia@yahoo.com
- Satria Anandita. str@nedw.org
- Saam Fredy. fredy_saam@yahoo.com
- Theo Litaay. theolitaay@gmail.com

22

You might also like