You are on page 1of 22

Wakaf

Pendahuluan
Dalam Islam, wakaf merupakan ibadah yang bercorak sosial
ekonomi yang cukup penting. Menurut sejarah Islam klasik, wakaf
telah memainkan peran yang sangat signifikan dalam
meningkatkan kesejahteraan kaum muslimin, baik di bidang
pendidikan, pelayanan kesehatan, pelayanan sosial dan
kepentingan umum, kegiatan keagamaan, pengembangan ilmu
pengetahuan serta peradaban Islam secara umum. [1] Indonesia
termasuk negara muslim yang banyak memiliki tanah waqaf. Menurut data
Departemen Agama (sampai dengan September 2005) jumlah
seluruh tanah wakaf di Indonesia sebanyak 358.791 dengan luas
818.742.341,86 M. Namun waqaf sebanyak itu belum mampu
meningkatkan kesejahteraan ummat pada khususnya dan bangsa
Indonesia pada umumnya. Hal itu disebabkan karena pemanfatan
harta waqaf masih dominan bersifat konsumtif dan belum dikelola
secara produktif. Wakaf-wakaf ini kebanyakan dipergunakan untuk
pembangunan mesjid, musholla, sekolah, panti asuhan, dan
makam, sehingga bila dilihat dari segi sosial ekonomi, waqaf yang
ada belum dapat berperan dalam menanggulangi permasalahan
ummat, khususnya dalam meningkatkan kesejahteraan ekonomi
ummat. Hal ini juga disebabkan karena pengeloaan waqaf belum
optimal dan upaya pengembangan waqaf produktif belum dilakukan
sebagaimana yang terjadi dalam sejarah Islam. Tulisan ini akan
menguraikan kajian pengembangan waqaf produktif untuk
meningkatkan kesejahteraan ekonomi ummat.Wakaf memiliki
manfaat yang luar biasa dari sekedar sedekah biasa. Hal ini
dikarenakan harta wakaf yang sifatnya abadi, tidak boleh dijual atau
diwarisi dan dihibahkan agar wakaf dapat dimanfaatkan terus
menerus untuk kepentingan masyarakat. Sayangnya, kemanfaatan
wakaf ini belum optimal didapatkan, khususnya di Indonesia . Wakaf
selama ini masih berada seputar di rumah ibadah, kuburan dan
madrasah. Jika dilihat dari segi keagamaan, semangat ini tentunya
baik, karena wakaf yang ada dimanfaatkan sebagai rumah ibadah
dan dapat meningkatkan keimanan dari masyarakat. Namun, jika
dilihat dari sisi ekonomis, potensi itu masih jauh dari yang
diharapkan. Idealnya, wakaf dapat dikelola secara produktif dan
dikembangkan menjadi lembaga Islam yang dapat meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Idealnya, bersama dengan zakat, wakaf
dapat menjadi instrumen dalam pengentasan kemiskinan.
Krisis ekonomi yang berkepanjangan di Indonesia secara faktual telah
melipatgandakan jumlah penduduk miskin dari ± 25 juta jiwa di akhir
tahun 1997 menjadi ± 100 juta jiwa di tahun 1999. Berbagai cara
dilakukan untuk mengatasi masalah ini antara lain melalui JPS
(Jaringan Pengaman Sosial) serta berbagai sumbangan dari dalam dan
luar negeri. Pemerintah sendiri tampaknya cukup kesulitan untuk
mengatasi masalah ini mengingat terbatasnya dana yang tersedia
dalam APBN. Selain itu mengingat Pinjaman Luar Negeri (PLN)
Indonesia yang sangat besar, maka alternatif PLN untuk mengatasi
masalah menjadi kurang dipertimbangkan.[2]
Salah satu alternatif yang masih memiliki harapan untuk mengatasi
masalah ini adalah adanya partisipasi aktif dari pihak non pemerintah,
yang dalam hal ini adalah masyarakat. Masyarakat, khususnya
golongan kaya, memiliki kemampuan untuk membantu meringankan
penderitaan masyarakat miskin. Apabila potensi masyarakat (kaya) ini
dapat dikoordinasikan serta dikelola dengan baik, maka hal ini dapat
memberikan alternative kontribusi penyelesaian positif atas masalah
kemiskinan tersebut di atas. Di Bangladesh, upaya non pemerintah
untuk menjawab masalah kemiskinan telah dicoba dijawab melalui
keberadaan lembaga yang bernama Social Investment Bank Limited
(SIBL). Lembaga ini beroperasi dengan menggalang dana masyarakat
(kaya), khususnya melalui dana wakaf tunai, untuk kemudian dikelola
dimana hasil pengelolaannya disalurkan untuk masyarakat miskin.
Untuk kasus Indonesia , upaya seperti yang dilakukan oleh SIBL
tersebut, merupakan satu alternatif yang menarik. Dengan jumlah
penduduk muslim yang mayoritas, maka upaya penggalangan serta
pengelolaan dana wakaf (tunai) seperti halnya di atas, diharapkan
dapat lebih ter-apresiasi-kan oleh masyarakat (muslim), minimal
secara kultural.
Di sisi lain, keberadaan institusi-institusi syariah (khususnya
perbankan) merupakan alternatif lembaga yang representatif untuk
mengelola dana-dana amanah tersebut. Di samping itu dana–dana
tersebut juga merupakan salah satu sumber dana bagi perbankan
(lembaga keuangan) syariah, dimana secara prinsip telah
terakomodasikan di dalam ketentuan perbankan syariah.

B. Waqaf Produktif dalam Sejarah

Telah banyak penelitian historis yang dilakukan oleh para


pakar tentang fungsi wakaf dalam berbagai sektor kehidupan umat.
Michael Dumper juga menyimpulkan bahwa di Timur Tengah, pada
masa kalsik Islam dan pertengahan, institusi wakaf telah
memainkan peran yang sangat penting dalam sejarah kaum
muslimin dalam membangun kesejahteraan rakyat.Penelitian lain
dilakukan oleh R.D McChesney (1991) yang telah menulis buku
sebagai hasil penelitiannya tentang Kegiatan Wakaf di Asia Tengah
selama lebih kurang 400 tahun. Dalam deskripsi bukunya
disebutkan bahwa wakaf dalam rentang waktu yang cukup lama
telah berada pada pusat paling penting dari kehidupan umat Islam
sehari-hari, membangun lembaga-lembaga keagamaan, cultural
dan kesejahteraan. Wakaf juga menjadi sarana yang sah untuk
menjaga keutuhan kekayaan keluarga dari satu generasi ke
generasi berikutnya. Bahkan penelitian ini menunjukkan betapa
pentingnya peran lembaga wakaf dalam kehidupan masyarakat
muslim dan ini berfluktuasi sejalan dengan sikap penguasa
pemerintah.Selanjutnya, penelitian yang dilakukan oleh Timur
Kuran tentang wakaf di kalangan umat Islam menyebutkan bahwa
wakaf Islam telah muncul sebagai sarana komitmen yang dapat
dipercaya untuk memberikan keamanan bagi para pemilik harta
sebagai imbangan dari layanan sosial. Penelitian ini memberikan
hasil bahwa wakaf telah lama berfungsi sebagai instrumen penting
untuk memberikan public goods dengan cara yang tidak
sentralistik. Pada prinsipnya manajer (nazhir) wakaf harus
mematuhi persyaratan yang digariskan oleh pemberi wakaf (wakif).
Dalam praktiknya tujuan atau arahan waqif seringkali harus
disesuaikan dengan berbagai faktor yang berkembang dalam
masyarakat. (Kuran, 2001) Beberapa penelitian di atas
menunjukkan bahwa selama ratusan tahun bahkan lebih dari
seribuan tahun, institusi wakaf telah berhasil menjadi instrumen
yang penting dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat, baik
pendidikan, layanan sosial, ekonomi, keagamaan dan layanan
publik lainnya. Keberadaan wakaf dan perannya yang demikian
besar, seringkali mengkhawatirkan penguasa pemerintahan Barat
atau pemerintaha nasional pasca kemerdekaan dari penjajahan.
Kekhawatiran akan semakin menonjolnya peran masyarakat dengan
institusi wakaf, melahirkan sejumlah pandangan negatif terhadap
sistem wakaf dari para penguasa, karena wewenang pemerintah
bisa disaingi atau malah dikalahkan oleh lembaga-lembaga wakaf.
Contohnya antara lain, ketika bala tentara Perancis menduduki Al-
jazair pada 1831, penguasa kolonial menguasai dan mengawasi
harta wakaf untuk menekan tokoh-tokoh keagamaan yang berjuang
melawan penjajahan (Abu al-Afjan, 1985:325). Dalam berbagai
penelitian lainnya tentang sejarah wakaf disebutkan, bahwa
sepanjang sejarah Islam, wakaf telah memberikan kontribusi yang
cukup besar bagi pembangunan masyarakat, di antaranya:
Hampir 75% seluruh lahan yang dapat ditanami di Daulah Khilafah
Turki Usmani merupakan tanah wakaf
Setengah (50 %) dari lahan di Aljazair, pada masa penjajahan
Perancis pada pertengahan abad ke 19 merupakan tanah wakaf
Pada periode yang sama, 33 % Tanah di Tunisia merupakan tanah
wakaf
Di Mesir sampai dengan tahun 1949, 12,5 persen lahan pertanian
adalah tanah wakaf
Pada Tahun 1930 di Iran, sekitar 30 persen dari lahan yang
ditanami adalah lahan wakaf.
Sebuah penelitian yang meliputi 104 yayasan Wakaf di Mesir,
Suriahm Turki, Palestina dan Anatoly land, menyebutkan bahwa
dalam kurun waktu 1340-1947, bagian terbesar dari asset wakaf
adalah dalam benytuk real estate, yaitu mencapai 93 % dengan
rincian sebagai berikut :
58 % dari wakaf, terkonsentrasi di kota-kota besar yang terdiri dari
toko, rumah dan gedung.
35 % dari wakaf terdapat di desa-desa yanag terdiri dari lahan
pertanian, perkebunan dan tanaman lainnya.
7 % sisanya merupakan dalam bentuk uang (wakaf tunai). Namun
informasi terkini berdasarkan hasil kajian yang dilakukan oleh
Departemen Agama, perolehan wakaf tunai di Timur Tengah
mencapai 20 persen. Menurut Ridwan El-Sayed, wakaf dalam
bentuk uang tunai dan dalam bentuk penyertaan saham telah
dikenal pada zaman Bani Mamluk dan Turki Usmani dan saat ini
telah diterima luas di Turki modern , Mesir, India, Pakistan, Iran,
Singapura dan banyak negara lainnya.

C. Sertifikat Dana Wakaf Produktif


Wacana pemberdayaan ekonomi umat melalui sertifikasi
wakaf dengan uang tunai yang lazim dikenal Sertifikat Wakaf Tunai
(Cash Waqf Certificate) tidak terlepas dari pendekatan konseptual,
sistematika dan metodologinya. Prof. Volker Nienhaus, peneliti
senior non muslim dan ahli ekonomi Islam dari Universitas Bochum
Jerman dalam artikelnya berjudul Islamic Economics: Policy
between Pragmatism and Utopia (1982) mengungkapkan empat
formula pendekatan kajian ekonomi Islam: pragmatis, resitatif,
utopian, dan adaptif.

Menurutnya, dari keempat pendekatan itu, yang paling


banyak dipakai adalah pendekatan resitatif. Berasal dari kata kerja
recitation (pembacaan, imlak, hafalan dan pengajian), adalah
pendekatan mengacu pada teks ajaran Islam Secara khusus,
pendekatan ini di antaranya mengacu pada hukum Fiqih Mu’amalah
kalangan fuqaha yang disebutnya the orthodox jurist. Termasuk
kategori pendekatan ini, kajian yang berorientasi teologis dan
analisis moral yang pada perkembangan selanjutnya melahirkan
formula etika ekonomi seperti yang ditulis oleh Dr. Yusuf Al-
Qardhawi dalam Daurul Qiyam wal Akhlaq fi al-Iqtishad al-Islami
(1995). Dalam litaratur klasik pendekatan teologi akhlak tersebut
dikenal dengan Adab Al-Kasb wal Ma’asy seperti dikenalkan Imam
Al-Ghozali (w.505H) dalam Ihya’ Ulumuddinnya.
Wakaf memasuki wilayah sistem ekonomi dapat dipahami bila
disertai kajian kritis mengenai paradigma ekonomi yang
kesejatiannya membawa kepada kemaslahatan (kesejahteraan
sosial). Paradigma ekonomi yang berlaku selama dua abad, bukan
saja menunjukkan kerapuhan dasar teoritisnya itu sendiri, bahkan
asumsi-asumsi yang mendasarinya dan kemampuannya untuk
memprediksi perilaku di masa datang. Itulah yang diungkap Dr.
Khurshid Ahmad ketika memberi pengantar buku terbaru Chapra
The Future of Economics; An Islamic Perspective (2000). Diskusi
tidak lagi terbatas pada perubahan-perubahan di dalam paradigma;
perdebatan mengarah kepada kebutuhan akan adanya perubahan
paradigma itu sendiri. Tantangan ini, tulis Amitai Etzioni dalam The
Moral Dimension; Towards a New Economics (1988) adalah
paradigma utilitarian, rasionalistik, individualistik, neo-klasik yang
diterapkan bukan saja pada perekonomian, bahkan meningkat pada
berbagai aturan hubungan sosial.

Senada dengan pandangan itu, Critovan Buarque, ekonom


dari Universitas Brasil dalam bukunya The End of Economics: Ethics
and the Disorder of Progress (1993), melontarkan sebuah gugatan
terhadap paradigma ekonomi modern yang mengabaikan nilai-nilai
sosial dan etika. Hal tersebut menimbulkan efek negatif dalam
bentuk yang disebut Fukuyama “kekacauan dahsyat” dalam
bukunya yang paling anyar, The End of Order (1997) berkaitan
dengan runtuhnya solidaritas keluarga dan sosial. Oleh karena itu,
wakaf menjadi jawaban tepat atas kekisruhan paradigma ekonomi
tersebut. Karena, wakaf membuktikan fenomena semangat
solidaritas sosial.

Wakaf tidak akan valid sebagai amal jariyah kecuali setelah


benar-benar pemiliknya menyatakan aset yang diwakafkannya
menjadi aset publik dan ia bekukan haknya untuk kemaslahatan
umat. Dan wakaf tidak akan bernilai amal jariyah (amal yang
senantiasa mengalir pahala dan manfaatnya) sampai benar-benar
didayagunakan secara produktif sehingga berkembang atau
bermanfaat tanpa menggerus habis aset pokok wakaf.

Menurut A.Mannan (1998), unsur esensial wakaf berupa


keputusan penahanan diri dari menggunakan asset miliknya yang
telah diwakafkan (refraining) yang disertai penyerahannya kepada
kemasalahaatan publik menyiratkan tujuan pemanfaatannya secara
optimal untuk kesejahteraan masyarakat luas secara permanen dan
kontinyu sebagaimana doktrin amal jariah. Oleh karena itu, sangat
relevan, terlepas dari perdebatan fiqih, bolehnya wakaf dengan
dana tunai (cash) dan bukan harta tetap. Bahwa, gagasan sertifikat
wakaf tunai dengan pola sertifikasi sebagai bukti ‘share holder’
proyek wakaf guna pengawasan dan wasiat pemanfaatan dari hasil
(return) investasi dan pengelolaannya secara produktif.

Substansi wacana wakaf tunai sebenarnya telah lama muncul.


Bahkan, dalam kajian fiqih klasik sekalipun seiring dengan
munculnya ide revitalisasi fiqih mu’amalah dalam perspektif
maqashid syariah (filosofi dan tujuan syariah) yang dalam
pandangan Umar Chapra (1992) bermuara pada Al-Mashalih Al-
Mursalah (kemashlahatan universal) termasuk upaya mewujudkan
kesejahteraan sosial melalui keadilan distribusi pendapatan dan
kekayaan.

Dalam konteks ini, melalui pembahasan awal di Dewan


Syariah Nasional (DSN)-MUI yang ditindaklanjuti oleh keputusan
rapat Komisi Fatwa - MUI dalam mengakomodir kemaslahatan
sejalan dengan maqashid asy-syari’ah yang terdapat pada konsep
wakaf tunai berdasarkan pendapat Az-Zuhri, ulama madzhab
Hanafi, Maliki dan Hanbali seperti Ibnu Taimiyah dan Ibnu
Qudamah, para ulama Indonesia telah memutuskan untuk
membolehkan wakaf tunai.

Isu kesejahteraan sosial dan ekonomi kerakyatan ternyata


secara empiris telah gagal dimanivestasikan sistem Sosialis maupun
Kapitalis. Bahkan, Keynes (1930) dengan menyerabot secara
sepotong gagasan Ibnu Khaldun berusaha mengusung slogan dan
wacana kesejahteraan sekalipun melalui gagasan model Negara
Sejahtera (Welfare State) di Inggris dan modifikasinya model New
Deal yang dikembangkan oleh Franklin Delano Rosevelt mengalami
kemandulan. Pasalnya, format eksperimental tersebut tidak
menyentuh inti persoalan yang sesungguhnya. Yaitu, keadilan
ekonomi yang universal.

Sungguhpun dalam kajian utopian dunia Barat berusaha


mengkongkretkan cita-cita keadilan sosial, tapi tetap saja terjadi
kerancuan dalam pelaksanaannya. Kemandulan yang dihasilkan
elaborasi teori dan praktek yang dilakukan Filsuf sosial Amerika,
John Rawls, dalam bukunya The Theory of Justice (1971) yang
ditanggapi oleh Robert Nozik dalam bukunya Anarchy, State and
Utopia (1974) telah menjadi contoh yang merepresentasikan
kegagalan teori keadilan perspektif Barat dalam tataran impelentasi
historis.

Sayyid Quthb (1964) pemikir Islam dari Mesir dengan gaya


pendekatan komprehensif dalam bukunya Al-‘Adalah Al-Ijtima’iyah
fil Islam berhasil memformulasikan teori keadilan sosial dalam Islam
dan instrumen pendukungnya termasuk wakaf yang bukan sebatas
teori utopis belaka melainkan kajiannya berangkat dari fakta
sejarah peradaban Islam. Setelah mengupas pandangan Islam
mengenai kasih sayang, kebajikan, keadilan dan jaminan sosial
yang menyeluruh antara orang yang mampu dan yang tidak, antara
kelompok yang kaya dan yang miskin, antara individu dan
masyarakat, antara pemerintah dan rakyat, bahkan antara segenap
umat manusia, Quthb selalu membeberkan fakta historis
bagaimana konsep tersebut membumi dalam perjalanan
kesejarahan generasi terbaik Islam.

Sebagai contoh, Quthb mengisahkan sepenggal fragmen


sejarah solidaritas kalangan sahabat; Abu Bakar, Umar, Utsman dan
Ali. Di antara impelementasi keadilan sosial melalui prakarsa wakaf
dalam pengalaman kesejarahan awal Islam telah dibuktikan Umar
bin Khathab sebagai warga sederhana bersedia secara ikhlas atas
petunjuk Nabi saw. untuk mewakafkan satu-satunya aset berharga
yang dimilikinya berupa sebidang tanah di Khaibar untuk
kemaslahatan umat. Dengan menukil pandangan Gibb untuk
mendukung kritik sosialnya, Quthb menawarkan sebuah tantangan
bagi umat Islam untuk mengulang pengalaman sejarah dalam
mewujudkan kembali cita-cita keadilan sosial dengan modal
populasi umat yang begitu besar di wilayah Afrika , Pakistan dan
Indonesia . Menurutnya, hal itu sangat potensial memberi kontribusi
bagi kesejahteraan sosial secara luas.

Gagasan Wakaf Tunai yang dipopulerkan oleh M.A. Mannan


melalui pembentukan Social Investment Bank Limited (SIBL) di
Banglades yang dikemas dalam mekanisme instrumen Cash Waqf
Certificate juga telah memberikan kombinasi alternatif solusi
mengatasi krisis kesejahteraan yang ditawarkan Chapra. Model
Wakaf Tunai adalah sangat tepat memberikan jawaban yang
menjanjikan dalam mewujudkan kesejahteraan sosial. Ia juga
mampu mengatasi krisis ekonomi Indonesia kontemporer di tengah
kegalauan pemberian insentif Tax Holiday untuk merangsang
masuknya modal asing. Model wakaf tunai juga bisa mengalahkan
kontroversi seputar policy pemerintah pada UKM yang belum
mengena sasaran dan menyentuh inti permasalahan. Wakaf Tunai
sangat potensial untuk menjadi sumber pendanaan abadi guna
melepaskan bangsa dari jerat hutang dan ketergantungan luar
negeri sebagaimana disoroti ekonomi UI, Mustafa E. Nasution
(2001) dan menjadi keprihatinan kalangan pengamat semisal Dr.
Tulus Tambunan dalam Krisis Ekonomi dan Masa Depan Reformasi
(1998).

Wakaf Tunai sekaligus sebagai tantangan untuk mengubah


pola dan preferensi konsumsi umat dengan filter moral kesadaran
akan solidaritas sosial. Sehingga, tidak berlaku lagi konsep pareto
optimum yang tidak mengakui adanya solusi yang membutuhkan
pengorbanan dari pihak minoritas (kaya) guna meningkatkan
kesejahteraan pihak yang mayoritas (kaum miskin). Sebagaimana,
gugatan Chapra dalam berbagai tulisannya.

Berdasarkan laporan yang ditulis Maurice Allais peraih Nobel


tahun 1988 dalam bidang ekonomi, dari sebanyak US$ 420 M uang
yang beredar di dunia per hari, hanya sebesar US$ 12,4 M (2,95%)
saja yang digunakan untuk keperluan transaksi. Sisanya, untuk
keperluan spekulasi dan judi. Sedangkan situasi yang diharapkan
adalah bila terjadi keseimbangan antara sektor moneter dan sektor
riil. Sektor moneter semestinya tidak berjalan sendiri meninggalkan
sektor riil.

Oleh karena itu, sangat tepat bila penyaluran dana dalam


bentuk pembiayaan produktif ke sektor riil dimobilisir. Salah
satunya, dengan memberikan kredit mikro melalui mekanisme
kontrak investasi kolektif (KIK) semacam reksadana syariah yang
dihimpun Sertifikat Wakaf Tunai (SWT) kepada masyarakat
menengah dan kecil agar memiliki peluang usaha.

Pemberian skim kredit mikro ini cukup mendidik. Ibarat


memberi kail, bukan hanya ikan kepada rakyat. Hal itu diharapkan
mampu menumbuhkan kemandirian. Porsi bagi hasil untuk fund
manager setelah dikurang biaya oprasional dapat disalurkan untuk
kebutuhan konsumtif dalam menunjang kesejahteraan kaum fuqara
melalui wasiat wakif ataupun tanpa wasiatnya.

Dalam perkembangan kekinian di Indonesia , wacana wakaf


tunai telah muncul dan menjelma secara nyata dalam produk-
produk funding lembaga keuangan syariah dan Lembaga Amil
zakat. Contohnya, Wakaf Tunai Dompet Dhua’fa Republika, Wakaf
Tunai PKPU dan Waqtumu (Waqaf Tunai Muamalat) yang
diluncurkan Baitul Muamalat - BMI.

Dalam sebuah konferensi yang dihadiri oleh para pemimpin


negara anggota PBB yang kategori termiskin dan maju di Brussel,
Belgia pada tanggal 14 Mei 2001, diangkatlah topik “Melebarnya
Jurang antara Kaya dan Miskin”. Pada konferensi itu Presiden
Perancis Jacques Chirac menyatakan bahwa lebih separuh dari 630
juta penduduk di negara miskin hidup dengan pendapatan kurang
dari US$ 1 sehari. Meskipun terjadi pertumbuhan global serta
adanya bantuan pembangunan, namun jumlah negara yang
digolongkan PBB sebagai negara ‘paling terbelakang’ malah
meningkat dari 25 negara pada tahun 1971 menjadi 49 negara
tahun 2001. Yang dimaksud sebagai negara “paling terbelakang”
adalah negara yang angka pendapatan perkapitanya kurang dari
US$ 900 per tahun.

Negara Indonesia saat ini hampir memenuhi semua ciri-ciri


negara miskin. Antara lain, pendapatan perkapita rendah, tingkat
pertumbuhan populasi tinggi, produktivitas rendah, pengangguran
tinggi, penggunaan sumber daya rendah, kelembagaan dan
infrastruktur tidak memadai. Karena itu, untuk mengurangi beban
pemerintah dan rakyat, model Wakaf Tunai sangat tepat untuk
melancarkan ketersumbatan fungsi financial intermediary.
Sehingga, terjadi arus lancar penyaluran dana ke seluruh anggota
masyarakat. Sebagaimana, disebutkan Alquran terhadap pantangan
konsentrasi kekayaan (dulah bainal aghniya’) pada segelintir
anggota masyarakat serta resistensi terhadap status idle
(nganggur) bagi segenap sumber daya dan asset yang
bertentangan dengan kosep syukur. (Lihat, QS.Al-Hasyr:7)

Dalam rangka mobilisasi dana masyarakat dan optimalisasi


potensi finansial umat untuk kemaslahatan perekonomian, gagasan
Wakaf Tunai akan dapat melengkapi UU No.17 tahun 2000 tentang
perubahan ketiga atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983
tentang pajak penghasilan. Di mana, zakat dimasukkan sebagai
faktor pengurang pajak. Di samping itu, juga dapat mendukung
lembaga-lembaga pengelola zakat dengan diberlakukannya UU
Pengelolaan Zakat Nomor 38 tahun 1999. Departemen Agama
sebagai otoritas keagamaan dan saat ini juga otoritas administrasi
wakaf secara proaktif telah memintakan fatwa kepada DSN
mengenai status hukum wakaf tunai guna penyempurnaan PP No.
28 Th 1977 agar lebih akomodatif dan ekstensif.

Selama ini sudah terdapat beberapa instrumen pendanaan


seperti Zakat, Infak dan Sedekah (ZIS). Masing-masing mempunyai
kelebihan dan kelemahan sendiri-sendiri. Selain instrumen yang
telah ada tersebut, tentunya sangat mendesak dan krusial
dibutuhkan suatu pendekatan baru dan inovatif sebagai
pendamping mobilisasi dana umat lebih optimal. Bukankah Nabi
saw bersabda bahwa selain zakat ada kewajiban lain dalam harta
kita.

Dalam konteks ini, Indonesia saatnya belajar dari negara


Bangladesh . Melalui Social Investment Bank Limited (SIBL),
Bangladesh menggalang dana dari orang-orang kaya untuk dikelola
dan disalurkan kepada rakyat dalam bidang pendidikan, kesehatan,
kesejahteraan sosial, melalui mekanisme produk funding baru yang
berupa sertifikat wakaf tunai (Cash Waqf Certificate) yang akan
dimiliki oleh pemberi dana tersebut. Dalam Instrumen keuangan
baru ini, sertifikat wakaf tunai merupakan alternatif pembiayaan
yang bersifat sosial dan bisnis.

Penerapan instrumen sertifikat wakaf tunai ini mampu


menjadi salah satu alternatif sumber pendanaan sosial
(M.A.Mannan, 1999). Efek kemaslahatan SWT sudah mulai terasa di
Bangladesh . Memang, negara ini tergolong miskin. Tapi, fasilitas
pendidikan dan kesehatannya jauh lebih baik dari Indonesia .

Selama ini, sumber dana pengentasan kemiskinan bersumber


antara lain dari :

1. Pemerintah pusat, yang disalurkan melalui departemen-


departemen dan pemerintah daerah (pemda) masing-masing.

2. Pihak luar negeri, yang disalurkan melalui pemerintah,


organisasi-organisasi kemasyarakatan, LSM dan ada yang
disalurkan secara langsung kepada pihak yang membutuhkan.

3. Perusahaan swasta, yang disalurkan melalui badan-badan


amal, yayasan-yayasan, dll.
4. Masyarakat, dikumpulkan melalui BAZIS (Badan Amal Zakat,
Infak dan Sedekah) berupa zakat, infak dan sedekah masyarakat.
Selain itu, ada dana yang disalurkan langsung kepada
masyarakat yang membutuhkan. Masyarakat Islam juga
mengkenal Wakaf, yaitu pemberian tanah atau bangunan yang
digunakan sepenuhnya untuk masyarakat sekitar
tanah/bangunan dimana wakaf tersebut berdiri. (Masyitha, 2001)

Dengan keterbatasan kemampuan pemerintah saat ini, timbul


ide untuk mencari alternatif sumber pendanaan yang lebih bersifat
non formal. Yaitu, dengan menggalang dana dari masyarakat
Indonesia itu sendiri. Partisipasi aktif segenap rakyat Indonesia
yang mempunyai kelebihan rezeki sangat diharapkan memperbaiki
keadaan sekarang ini.

Berdasarkan fenomena di atas, dapat dikatakan bahwa


potensi dana masyarakat sangat besar. Berbagai badan amal
tersebut, selain mempunyai kelebihan masing-masing, juga
mempunyai banyak kelemahannya, seperti;

1. Badan amal tersebut biasanya didirikan secara sporadis dan


kurang terkoordinasi meskipun sekarang sudah ada badan
akreditasi nasional untuk lembaga penghimpun dana sosial.

2. Kurang sistematis dan koordinasinya pendistribusian bantuan,


antara badan amal yang satu dengan yang lain. Sehingga
menimbulkan ketidakmerataan bantuan tersebut yang pada
akhirnya dapat menimbulkan ketidakadilan.

3. Bila berwakaf dalam bentuk properti, hanya masyarakat di


sekitar properti itu saja yang dapat menikmati dan kurang
menyebar.
4. Perangkap kemiskinan di Indonesia ini hanya dapat diatasi
dengan meningkatkan pendapatan dan kemampuan
masyarakat/sumber daya manusia. Sehingga kalau hanya ikan
yang diberikan bukan kail-nya, jangan harap kemiskinan ini akan
dapat dientaskan di bumi Indonesia .

5. Bantuan dari badan sosial di atas kebanyakan efektif untuk


membantu dalam jangka pendek saja, tetapi kurang terprogram
untuk jangka panjang (long term).
Dari berbagai paparan di atas, keberadaan model wakaf tunai
dirasakan perlu sebagai instrumen keuangan alternatif yang dapat
mengisi kekurangan-kekurangan badan sosial yang telah ada.
Umumnya kita mengenal wakaf berupa properti seperti tanah
dan bangunan, namun demikian dewasa ini telah disepakati secara
luas oleh para ulama bahawa salah satu bentuk wakaf dapat berupa
uang tunai. Secara umum definisi wakaf tunai adalah penyerahan
asset wakaf berupa uang tunai yang tidak dapat dipindahtangankan
dan dibekukan untuk selain kepentingan umum yang tidak
mengurangi ataupun menghilangkan jumlah pokoknya (substansi
esensial wakaf).
Sertifikat wakaf tunai merupakan semacam dana abadi yang
diberikan oleh individu maupun lembaga muslim yang mana
keuntungan dari pengelolaan dana tersebut akan digunakan untuk
pengentasan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan
masyarakat miskin. Secara teknis, sertifikat wakaf tunai ini dapat
dikelola oleh suatu badan investasi sosial tersendiri seperti halnya
Social Investment Bank Limited (SIBL) di Bangladesh atau dapat
juga menjadi salah satu produk dari institusi/perbankan syariah
yang ada.
Untuk lebih jelasnya tujuan sertifikat wakaf tunai adalah sebagai
berikut:
1. Membantu dalam pemberdayaan tabungan sosial.
2. Melengkapi jasa perbankan sebagai fasilitator yang
menciptakan Wakaf Tunai serta membantu pengelolaan wakaf
yang mentransformasi tabungan sosial menjadi modal sosial.
3. Keuntungan pengelolaannya untuk masyarakat miskin.
4. Menciptakan kesadaran di kalangan orang-orang kaya
mengenai tanggung jawab sosial mereka terhadap masyarakat
miskin.
5. Untuk membantu mengembangkan sumber modal sosial.
6. Untuk membantu pengembangan negara secara umum dan
untuk menciptakan integrasi yang unik antara keamanan sosial
dan kedamaian sosial.

D. Pengertian dan Landasan Syariah Sertifikat Wakaf Tunai


Wakaf yang terambil dari kata kerja bahasa Arab ‘waqafa’ itu
menurut bahasa berarti menahan atau berhenti. Dalam hukum
Islam, wakaf berarti menyerahkan suatu hak milik yang tahan lama
(zatnya) kepada seseorang atau nadzir (penjaga wakaf), baik
berupa perorangan maupun badan pengelola, dengan ketentuan
bahwa hasil atau manfaatnya digunakan untuk hal-hal yang sesuai
dengan ajaran syari’at Islam. Harta yang telah diwakafkan keluar
dari hak milik yang mewakafkan, dan bukan pula menjadi hak milik
nadzir, tetapi menjadi hak milik Allah dalam pengertian hak
masyarakat umum. Dasar Hukum Wakaf diambil dari al-Qur’an,
Sunnah dan Ijma’ ulama:
Firman Allah: ” Kamu sekali-kali tidak sampai kepada
kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan
sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu
nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (QS. Ali
Imran [3]: 92)
Sabda Rasul: “apabila manusia wafat, terputuslah amal
perbuatannya, kecuali dari tiga hal, yaitu sedekah jariyah, ilmu
pengetahuan yang dimanfaatkan atau anak yang shaleh.” (HR.
Muslim). Para ulama menafsirkan sabda rasul ‘sedekah jariyah’
sebagai wakaf, bukan sebagai wasiat memanfaatkan harta. Wakaf
mulai dipraktekkan dalam masyarakat Islam sejak masa Rasulullah
saw. diantara buktinya ialah wakaf Umar bin Khattab r.a.:
“Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar, bahwa Umar bin Khattab
mendapat sebidang tanah di Khaibar. Lalu Umar bin Khattab
menghadap rasulullah untuk memohon petunjuk beliau tentang apa
yang sepatutnya dilakukannya terhadap tanahnya tersebut. Umar
berkata kepada rasulullah: ‘ya rasulullah, saya mendapat sebidang
tanah di Khaibar dan saya belum pernah mendapat harta lebih baik
dari tanah di Khaibar itu. Karena itu saya memohon petunjuk
rasulullah tentang apa yang sepatutnya saya lakukan pada tanah
itu’. Rasulullah menjawab, ‘jika anda mau, tahanlah tanahmu itu
dan anda sedekahkan’. Lalu Umar mensedekahkannya dan
mensyaratkan bahwa tanah itu tidak boleh diwariskan. Umar
salurkan hasil tanah itu buat orang-orang fakir, ahli familinya,
membebaskan budak, orang orang yang berjuang fi sabilillah,
orang-orang yang kehabisan bekal dalam perjalanan dan tamu.
Pengurus wakaf itu sendiri, boleh makan dari hasil wakaf tersebut
dalam batas-batas yang ma’ruf (biasa). Ia juga boleh memberi
makan orang lain dari wakaf tersebut dan tidak bertindak sebagai
pemilik harta sendiri”. Sumber-sumber menyebutkan bahwa wakaf
Umar bin Khattab itu adalah wakaf yang pertama dalam Islam. (Al-
Malibary, Fathul Mu’in, bersama Syarahnya Al-Bakri,
I’anatuththalibin, Kairo: Isa al-Halabi, III, hal. 158).
Imam Nawawi menarik beberapa kesimpulan penting dari
hadits di atas, diantaranya:
a. Hadits ini menjadi dasar sahnya wakaf dalam Islam.
b. Harta wakaf tidak boleh dijual atau dihibahkan atau
diwariskan
c. Syarat-syarat wakif (pemberi wakaf) perlu diperhatikan
d. Pentingnya memberikan dana melalui wakaf kepada kaum
muslimin.
e. Pentingnya mengadakan musyawarah dengan orang yang
pandai untuk menetapkan pemanfaatan suatu harta atau cara
pengelolaan suatu kekayaan.

E. Ketentuan Wakaf dan Persyaratan Nadzir Pengelola Wakaf


Terdapat empat syarat sahnya wakaf atau disebut juga sebagai
rukun wakaf yaitu :
1. Mengenai orang yang melakukan perbuatan wakaf (al-wakif)
hendaklah dalam keadaan sehat rohaninya dan tidak dalam
keadaan terpaksa atau dalam keadaan di mana jiwanya
tertekan.
2. Mengenai harta benda yang akan diwakafkan (al-mawquf)
harus jelas wujudnya atau dzatnya, di samping harta itu bersifat
tidak cepat habis. Artinya, bahwa harta itu tidak habis sekali
pakai. Ia harus bersifat kekal dan dapat diambil manfaatnya
untuk jangka waktu yang kekal pula.
3. Mengenai sasaran yang berhak menerima hasil atau manfaat
wakaf (al-mawquf ‘alaih) dapat dibagi menjadi dua macam:
wakaf khairy dan wakaf dzurry. Wakaf khairy adalah wakaf di
mana wakifnya tidak membatasi sasaran wakafnya untuk pihak
tertentu tetapi untuk kepentingan umum. Sedangkan wakaf
dzurry adalah wakaf di mana wakifnya membatasi sasaran
wakafnya untuk pihak tertentu, yaitu keluarga keturunannya.
4. Mengenai bentuk yang perlu diperhatikan dalam menyatakan
harta yang bersangkutan sebagai wakaf disebut sighah.
Selanjutnya persoalan yang menyangkut siapa yang akan
melakukan perawatan, pengurusan dan pengelolaan aset wakaf
yang dalam istilah fikih dikenal dengan nadzir wakaf, atau
mutawalli wakaf termasuk hal yang sangat krusial. Hal itu karena
aset wakaf adalah amanah Allah yang terletak di tangan nadzir.
Oleh sebab itu, nadzir adalah orang
yang paling bertanggungjawab terhadap harta wakaf yang
dipegangnya, baik terhadap harta wakaf itu sendiri maupun
terhadap hasil dan upaya-upaya pengembangannya. Setiap
kegiatan nadzir terhadap harta wakaf harus dalam pertimbangan
kesinambungan harta wakaf untuk mengalirkan manfaatnya untuk
kepentingan mawquf ‘alaih. Manfaat yang akan dinikmati oleh wakif
sangat tergantung kepada nadzir, karena di tangan nadzirlah harta
wakaf dapat terjamin kesinambungannya. Oleh karena begitu
pentingnya kedudukan nadzir dalam perwakafan, maka pada diri
nadzir perlu terdapat beberapa persyaratan yang harus dipenuhi
yaitu : telah baligh/berakal, mempunyai kepribadian yang dapat
dipercaya (amanah), serta mempunyai keahlian dan kemampuan
untuk memelihara dan mengelola harta wakaf.

F. Tugas dan Tanggung Jawab Lembaga Pengelola Wakaf


Institusi atau lembaga pengelola wakaf pengertiannya
berkaitan langsung dan tidak dipisahkan dari upaya-upaya produktif
dari aset wakaf. Inti ajaran yang terkandung dalam
amalan wakaf itu sendiri menghendaki agar harta wakaf itu
tidak boleh hanya dipendam tanpa hasil yang akan dinikmati oleh
mawquf ‘alaih. Semakin banyak hasil harta wakaf yang dapat
dinikmati orang, akan semakin besar pula pahala yang akan
mengalir kepada pihak wakif. Berdasarkan hal tersebut, dari sisi
hukum fikih, pengembangan harta wakaf secara produktif
merupakan kewajiban yang harus dilakukan oleh pengelolanya
(nadzir).
Dalam kitab Mughnil Muhtaj, oleh Syams al-Dien Muhammad
bin Ahmad al-Syarbaini dijelaskan tugas nadzir sebagai berikut:
“kewajiban dan tugas nadzir wakaf adalah: membangun,
mempersewakan, mengembangkannya agar berhasil dan
mendistribusikan hasilnya itu kepada pihak-pihak yang berhak,
serta kewajiban memelihara modal wakaf dan hasilnya.”
Dalam kitab Syarh Muntaha al-Adaab oleh Manshur bin Yunus
al-Bahuty (hal. 504- 505) dijelaskan: “tugas nadzir wakaf adalah
memelihara harta wakaf, membangunnya, mempersewakannya,
menanami lahannya dan mengembangkannya agar mengeluarkan
hasil yang maksimal seperti hasil sewa, hasil pertanian dan hasil
perkebunan.”
Dr. Idris Khalifah, Ketua Forum Ilmiyah di Tethwan Magribi,
dalam hasil penelitiannya yang berjudul ‘Istitsmar Mawarid al-
Awqaf’ membeberkan sepuluh tugas nadzir wakaf sebagai berikut:
a. Memelihara harta wakaf
b. Mengembangkan wakaf, dan tidak membiarkan terlantar
sehingga tidak mendatangkan manfaat.
c. Melaksanakan syarat dari wakif yang tidak menyalahi hukum
syara’.
d. Membagi hasilnya kepada pihak-pihak yang berhak
menerimanya tepat waktu.
e. Membayarkan kewajiban yang timbul dari pengelolaan wakaf
dari hasil wakaf itu sendiri.
f. Memperbaiki aset wakaf yang rusak sehingga kembali
bermanfaat.
g. Mempersewakan harta-harta wakaf tidak bergerak, seperti
bangunan dan tanah, dengan sewa pasaran.
h. Menginvestasikan harta wakaf untuk tambahan
penghasilannya.
i. Nadzir bertanggungjawab atas kerusakan harta wakaf yang
disebabkan kelalaiannya dan dengan itu ia boleh diberhentikan
dari jabatannya itu.

G. Manajemen Kontemporer Dana Wakaf Produktif


Terdapat dua macam praktek wakaf yaitu Wakaf Mutlaq dan
Wakaf Muqayyad. Wakaf mutlaq adalah praktek wakaf di mana
wakif menyerahkan sepenuhnya kepada si wakif untuk
mengelolanya tanpa batas. Adapun wakaf muqayyad adalah wakaf
di mana wakif mensyaratkan agar harta yang diwakafkan itu hanya
boleh dikelola dengan cara tertentu dan diberikan kepada pihak
tertentu. Dalam praktek wakaf mutlaq, nadzir lebih leluasa
melakukan upaya-upaya produktif sehingga harta wakaf bisa
berhasil lebih maksimal. Secara historis, cara yang banyak
ditempuh, sesuai dengan informasi dalam buku-buku fikih, adalah
dengan jalan mempersewakan harta wakaf. Hal ini sejalan dengan
kenyataannya bahwa kebanyakan harta wakaf adalah dalam bentuk
al-‘iqar (harta tak bergerak, seperti lahan pertanian dan bangunan).
Ada beberapa bentuk penyewaan yang terdapat dalam
konsep fikih:
1. Sewa biasa (ijarah). Dengan pertimbangan kemaslahatan
harta wakaf, para ulama mazhab yang empat sepakat
membolehkan mempersewakan harta wakaf, meskipun mereka
berbeda dalam beberapa hal.
2. Akad sewa menyewa ganda (‘aqd al-ijaratain). Akad sewa
ganda ini dilakukan untuk mengatasi kekurangan modal untuk
membangun bangunan di atas sebidang tanah wakaf. Untuk
memperoleh modal, diadakan kontrak sewa dengan seorang
penyewa untuk jangka waktu lama, dengan dua tingkat sewa
menyewa. Sewa pertama dibayar lebih dulu sejumlah yang
memungkinkan untuk membangun bangunan dimaksud.
Sedangkan sewa kedua merupakan sewa bulanan dengan harga
yang lebih murah yang harus dibayar selama menghuni rumah.
Sewa kedua ini masih diperlukan untuk menghindarkan
kemungkinan ada klaim dari penyewa bahwa rumah itu telah
dibelinya.
3. Al-Hikru, yaitu sebuah akad sewa menyewa tanah wakaf untuk
masa waktu yang lama, serta memberi hak kepada penyewa
untuk mendiami tanah itu, untuk membangun atau bercocok
tanam di atas lahan pertanian dan memberinya hak untuk
memperpanjang masa sewa setelah kontrak pertama habis,
selama ia masih mampu membayar sewa pasaran.
4. Al-Marshid, yaitu sebuah kesepakatan dengan calon penyewa
yang bersedia meminjami nadzir sejumlah dana untuk
memperbaiki bangunan wakaf sebagai hutang yang kemudian
akan dibayar dengan sewa harta wakaf itu sendiri.
5. Pengembangan hasil sewa wakaf dengan membelikannya
kepada benda yang bias menghasilkan, misalnya dengan
memodali pembangunan gedung yang kemudian dapat
disewakan lagi.
6. Dengan melakukan kerja sama dalam pengelolaan lahan
pertanian wakaf di samping dengan mempersewakannya kepada
pihak yang punya modal, juga mungkin dengan kerjasama
muzara’ah.

H. Masalah Wakaf dengan Uang Tunai


Hukum mewakafkan uang tunai merupakan permasalahan
yang diperdebatkan di kalangan ulama fikih. Seperti kita
kemukakan di atas, cara yang lazim dipakai oleh masyarakat dalam
mengembangkan harta wakaf berkisar pada penyewaan harta
wakaf. Oleh karena yang lazim dilakukan dalam pengembangan
harta wakaf adalah mempersewakannya, maka sebagian ulama
merasa sulit menerima ketika ada diantara ulama yang
berpendapat sah hukumnya mewakafkan uang dirham dan dinar.
Yang lebih membuat mereka sulit menerima dengan pendapat itu
adalah karena pola umum pengelolaan ast wakaf adalah dengan
mempersewakankan. Dengan uang sebagai aset wakaf, maka
pendayagunaannya akan terbentur dengan larangan riba.
Dalam ‘Al-Is’af fi Ahkam al-Awqaf, Al-Tharablis menyatakan:
“Sebagian ulama klasik merasa aneh ketika mendengar fatwa yang
dikeluarkan oleh Muhammad bin Abdullah al-
Anshori, murid dari Zufar, sahabat Abu Hanifah, tentang
bolehnya berwakaf dalam bentuk uang kontan dirham atau dinar,
dan dalam bentuk komoditas yang dapat ditimbang atau ditakar,
seperti makanan gandum. Yang membuat mereka merasa aneh
adalah karena tidak mungkin mempersewakan benda-benda seperti
itu, oleh karena itu mereka segera mempersoalkannya dengan
mempertanyakan apa yang dapat kita lakukan dengan dana cash
dirham? Atas pertanyaan ini Muhammad bin Abdullah al-Anshori
menjelaskan dengan mengatakan: ‘kita investasikan dana itu
dengan cara mudharabah dan labanya kita sedekahkan. Kita jual
benda makanan itu, harganya kita putar dengan usaha mudharabah
kemudian hasilnya disedekahkan.”
Di kalangan Malikiyah populer pendapat yang membolehkan
berwakaf dalam bentuk uang kontan seperti dilihat dalam kitab al-
Majmu’ oleh Imam Nawawi (15/325) yang mengatakan: “dan para
sahabat kita berbeda pendapat tentang berwakaf dengan dana
dirham dan dinar. Orang yang membolehkan mempersewakan
dirham dan dinar membolehkan berwakaf dengannya dan yang
tidak memperbolehkan mempersewakannya tidak membolehkan
mewakafkannya.”Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al-Fatawa
(31/234-235), meriwayatkan satu pendapat dari kalangan Hanabilah
yang membolehkan berwakaf dalam bentuk uang, dan hal yang
sama dikatakan pula oleh Ibnu Qudamah dalam bukunya al-Mughni
(8/229-230).
Di samping ada yang membolehkan berwakaf dengan uang
seperti di atas, terdapat pula banyak ulama yang tidak
memperbolehkannya. Alasan mereka adalah:
1. bahwa uang bisa habis zatnya sekali pakai. Sedangkan inti
ajaran wakaf adalah pada kesinambungan hasil dari modal dasar
yang tetap lagi kekal, tidak habis sekali pakai. Oleh karena itu ada
persyaratan agar benda yang akan diwakafkan itu adalah benda
yang tahan lama, tidak habis dipakai.
2. uang seperti dirham dan dinar diciptakan untuk alat tukar
yang memudahkan orang melakukan transaksi jual beli, bukan
untuk ditarik manfaatnya dengan mempersewakan zatnya.
I. Upaya Ekstensifikasi Sumber Wakaf
Adanya wacana bolehnya wakaf dengan uang tunai seperti di
atas, memperlihatkan adanya upaya yang terus menerus untuk
memaksimalkan sumber dana wakaf. Karena semakin banyak dana
wakaf yang dapat dihimpun, berarti semakin banyak pula kebaikan
yang mengalir kepada pihak yang berwakaf. Dengan demikian,
pendapat ulama yang membolehkan berwakaf dalam bentuk uang,
membuka peluang bagi aset wakaf untuk memasuki berbagai
macam usaha investasi seperti syirkah, mudharabah dan lainnya.
Dari berbagai pandangan ulama tentang wakaf tunai tersebut
menunjukkan adanya kehati-hatian para ulama dalam memberikan
fatwa sah atau tidak sahnya suatu praktek wakaf. Hal ini
disebabkan harta wakaf adalah harta amanah yang terletak di
tangan nadzir. Sebagai harta amanah, maka nadzir hanya boleh
melakukan hal-hal yang mendatangkan kemaslahatan bagi harta
wakaf. Berdasarkan pertimbangan ini, jika kita akan memilih
pendapat yang membolehkan berwakaf dalam bentuk tunai, maka
yang perlu dipikirkan adalah bagaimana langkah yang mungkin
mengantisipasi adanya resiko kerugian yang akan mengancam
eksistensi dan kesinambungan aset wakaf.
J. Wakaf Sebagai Sumber Dana Abadi
Tujuan wakaf ialah rai’/hasil dari manfaat wakaf yang
diusahakan. Al-Malibary mengatakan: “penyaluran hasil wakaf
kepada yang diberi wakaf itulah yang menjadi tujuan wakaf.” Jadi
wakaf pertama-tama ialah membuahkan hasil yang dalam istilah
fiqh disebut rai’.
Pengertian rai’ ialah: “semua faedah (hasil) dari yang
diwakafkan seperti upah (sewa) susu, anak hewan yang baru
dikandung induknya sesudah diwakafkan, buah yang baru timbul
setelah diwakafkan dan dahan yang biasa dipotong.” Jika tujuan
wakaf itu merupakan hasil dari suatu kumpulan aset wakaf, maka
substansi esensial wakaf adalah suatu sistemasi upaya
pengakumulasian dana abadi masyarakat (yang hasil kelolaannya
untuk masyarakat).
Dasar kesimpulan ini ada dua prinsip, yaitu:
1. Hendaklah yang diwakafkan berupa aset.
Tujuan wakaf ialah menjadi sumber dana yang berlangsung
lama. Ketentuan ini tidak dapat terwujud kecuali pada benda
yang dapat diambil manfaatnya, sementara wujud bendanya
tetap ada, tidak hilang.
2. Tidak boleh dijual, diwariskan dan dihibahkan
Ini adalah syarat yang harus berlaku pada harta yang
diwakafkan. Larangan menjual, mewariskan dan menghibahkan
harta wakaf adalah untuk mencegah perubahan status pada
harta wakaf dari milik umum (public property) menjadi milik
pribadi. Sehingga wakaf akan tetap selamanya menjadi sumber
dana masyarakat secara umum.

K. Wakaf sebagai Dana Publik


Pengelolaan dana wakaf ini juga harus disadari merupakan
pengelolaan dana public yang manfaatnya pun akan disalurkan
kembali kepada publik. Untuk itu tidak saja pengelolaaannya yang
harus dilakukan secara profesional, akan tetapi juga budaya
transparansi serta akuntabilitas merupakan satu faktor yang harus
diwujudkan. Pentingnya budaya ini ditegakkan karena di satu sisi
hak wakif atas aset (wakaf tunai) telah hilang, sehingga dengan
adanya budaya pengelolaan yang profesional, transparansi serta
akuntabilitas, maka beberapa hak konsumen (wakif) seperti :
a. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai
kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
b. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang
dan/atau jasa yang digunakan;
c. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan
konsumen; sedikit banyak akan dapat dipenuhi.

L. Mengalirkan Surplus Wakaf


Wakaf adalah sedekah khusus dan istimewa. Para wakifnya
dijanjikan akan memperoleh pahala abadi, yang tidak putus karena
kematiannya di dunia. Secara khusus Rasulallah SAW menyatakan
bahwa ada tiga hal yang tak terputus karena kematian seseorang,
yaitu “ilmu pengetahuan yang diamalkan, anak-anak yang saleh,
dan sedekah jariah”. Rasulallah SAW mendorong kita agar
meninggalkan harta demi keberlanjutan Islam dan menopang
keberlangsungan umat yang masih hidup di dunia.
Dalam haditsnya yang lain, secara lebih khusus, Rasulallah
SAW, memberikan panduannya tentang sedekah jariah ini, yakni
dengan cara “menahan pokoknya dan mengalirkan hasilnya”.
Karakteristik wakaf, atau sedekah jariah, karenanya adalah
keswadayaan, keberlanjutan, dan kemanfaatannya untuk
kemaslahatan umum. Untuk memperoleh pahala yang abadi, maka
manfaat yang dapat diambil dari wakaf pun haruslah lestari. Dalam
metafor lain mengelola wakaf dapat dilukiskan sebagai
“memelihara angsa yang bertelor emas”.
Bila memahami prinsip sedekah jariah tersebut maka para
nadhir bukan saja harus meningkatkan kemampuan dan kualitas
kerjanya, tetapi juga mengubah cara pandang (paradigma)
terhadap harta wakaf yang dikelolanya. Keutuhan aset wakaf tidak
perlu dipahami secara harfiah berarti tidak boleh berubah sedikit
pun. Keutuhan aset, perlu dipahami dalam konteks yang diajarkan
oleh Rasulallah SAW di atas, yakni dalam pengertian “menahan
pokok dan mengalirkan hasil”. Maka, justru peran para nadhir
adalah untuk mengembangkannya, atau “mengutuhkannya”, dalam
pengertian untuk selalu diperbarui.
Dengan kata lain aset wakaf haruslah aset berputar, berfungsi
produktif, hingga menghasilkan surplus, dan darinya ada yang terus
dapat dialirkan – yakni surplusnya tersebut – tanpa mengurangi
modalnya. Atau, ketika barang modal itu aus, atau habis terpakai,
dapat diperbarui kembali, dari hasil surplus tersebut. Ibarat sang
angsa yang bertelor emas, kita bisa selalu memanfaatkan telor-telor
emasnya, tanpa menyembelih induk angsanya.
Dalam kondisi tertentu, tentu saja, wakaf dapat langsung
dimanfaatkan untuk kebutuhan konsumtif. Tetapi wakaf konsumtif
relatif terbatas jenisnya, seperti untuk keperluan pembangunan
masjid, kuburan, jembatan, jalan, serta sarana-sarana umum
lainnya. Tetapi, bentuk-bentuk sarana umum ini pun, pada
gilirannya tetap harus ditopang untuk pemeliharaannya. Lagi-lagi
kita memerlukan sumber dana yang terus mengalir, dan di sinilah
wakaf produktif, yang menghasilkan telor emas secara terus-
menerus, menjadi lebih utama dan bermanfaat.
Tentu, harus pula dipahami secara tepat, berproduksi, apalagi
menggunakan aset-aset wakaf sebagai modalnya, tidaklah berarti
semata-mata mengembangkan dan mengakumulasikan modal demi
pengamulasian modal itu sendiri. Bila itu yang dilakukan, maka
yang terjadi adalah justru melawan perintah Allah SWT sendiri,
untuk tidak “menumpuk-numpuk harta” atau “memutarkan hanya
pada orang-orang kaya”. Bahkan, bila kita mengalirkan surplusnya
sekali pun, tetapi surplus yang didapatkan dengan cara yang tidak
mengikuti kaidah syariat, misalnya melalui cara-cara bisnis
kapitalistik, maka yang akan kita peroleh bukanlah kesuburan
sedekah.

Maka, tugas para nadhir dalam mengembalikan paraktek wakaf


yang tepat, akan berarti juga mengembalikan muamalah.
Beroperasinya wakaf secara tepat akan ditandai dengan
berjalannya secara bersamaan kontrak-kontrak muamalat, seperti
qirad, shirkat, qardul hasan, berkembangnya tijarah, dan
sebagainya.
M. Penutup
Indonesia saat ini mulai mengembangkan waqaf produktif,
walaupun dampaknya belum terlihat karena masih tahap
permulaan. Undang-Undang Waqaf dan PP Waqaf telah dikeluarkan
oleh pemerintah. Badan Waqaf Indonesia (BWI) juga mulai dibentuk
pemerintah. Dengan dukungan pemerintah tersebut diharapkan
gerakan waqaf produktif dapat membuahkan hasil secara bertahap
untuk membangun dan meningkatkan kesejahteraan umat Islam
Indonedia yang sekian lama terpuruk dalam keterbelakangan dan
kebodohan
Studi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta (2006), menunjukkan bahwa
harta wakaf di Indonesia secara nasional sangatlah besar. Jumlah unit wakaf yang terdata
mencapai hampir 363 ribu bidang tanah, dengan nilai secara nominal diperkirakan
mencapai Rp 590 trilyun! Ini setara dengan lebih dari 67 milyar dolar AS (kurs Rp
9.250/dolar). Jumlah ini tentu saja sangat besar. Andai saja seluruh harta wakaf ini dijual,
hasilnya dapat menutupi 100% total utang luar negeri Pemerintah Republik Indonesia
saat ini (awal 2008), yang besarnya ’cuma’ 60 milyar dolar AS. Untuk memahami betapa
besarnya harta wakaf ini, dalam konteks lain, bandingkan nilainya yang setara dengan
sekitar 85% APBN RI sekarang ini, yang besarnya sekitar Rp 700 triliun/tahun.
Tapi, menjuali aset wakaf tentu tidak dapat kita lakukan begitu saja, karena itu berarti
menyalahi prinsip wakaf: mengelola aset pokoknya, dan memanfaatkan hasilnya. Dengan
kata lain, kemungkinan yang dapat kita peroleh dari pengelolaan wakaf, justru jauh lebih
hebat lagi. Bukan saja aset-pokok triliunan rupiah itu tetap dapat kita pertahankan, dan
tidak dijuali seperti yang terjadi pada aset-aset Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang
kini satu-per-satu berpindah ke tangan kapitalis asing, sumber utama persoalan bangsa
kita (utang luar negeri) akan dapat kita selesaikan.
Tetapi mengapa saat ini wakaf yang begitu besar itu tidak
memperlihatkan kontribusi sosialnya pada kehidupan umat, yang
justru semakin terpuruk dalam kesulitan hidup? Mengapa kita,
sebagai bangsa, masih juga harus terus-menerus mengemis utang
kepada para kapitalis internasional?
Marilah kita tengok data-data kita dengan lebih rinci lagi.
Ratusan ribu aset wakaf di atas tersebar di seluruh Indonesia ,
dengan luasan lahan yang sangat bervariasi, dari sekadar puluhan
meter persegi sampai ratusan hektar. Kalau diambil rata-ratanya,
luas lahan wakaf di Indonesia sekitar 0.5 hektar per unit, memang
tidaklah luas. Namun, kalau diuangkan, nilainya sekitar Rp 1.6
milyar/unit, sebuah angka yang sebenarnya tidak terlalu gurem.
Persoalan yang lebih mendasar tampaknya adalah pada
pemanfaatannya: 79% dari perwakafan tersebut digunakan untuk
pemebangunan masjid/mushola, 55% untuk lembaga pendidikan,
9% untuk pekuburan, dan 3% atau kurang untuk fasilitas umum
lainnya (sarana jalan, sarana olah raga, WC umum, dan sejenisnya).

Data tersebut merupakan jawaban multiple dari survei UIN di atas,


yang dapat kita simpulkan bahwa pemanfaatan wakaf di Indonesia
hampir sepenuhnya untuk keperluan konsumtif. Tentu ada contoh-
contoh pengelolaan wakaf yang lebih produktif, dan karenanya
kontribusi sosialnya sangat dinikmati oleh umat. Ambilah kasus
wakaf Pondok Modern Gontor, sebuah lembaga pendidikan yang
sama-sama kita kenal mumpuni. Pondok Gontor ditopang oleh
sekitar 320 hektar lahan wakaf, 212 hektar di antaranya adalah
sawah produktif. Dari sini Pondok Gontor memperoleh hasil panen
senilai Rp 726 juta, tiap dua musim panen (data 2003). Selain dari
sawah padi, Pondok Pesantren Gontor juga memperoleh
pendapatan dari kebun cengkeh dan kegiatan niaga lain di
lingkungannya, meski relatif lebih kecil. Dengan dukungan dana
wakaf ini, Pondok Gontor mampu menyediakan jasa pendidikan
bermutu, bagi sekitar 35 ribu siswa, dengan relatif murah.
Dengan bercermin pada kasus Pondok Gontor kita dapat
melihat bahwa pengelolaan wakaf di Indonesia umumnya mengikuti
paradigma yang tidak tepat, yakni seperti mengelola sedekah biasa,
dana wakaf dipakai untuk kegiatan cost center. Sumberdaya yang
disumbangkan langsung dibelanjakan. Dalam bahasa finansial inilah
yang acap disebut sebagai liability management, yang memang
merupakan tujuan dari bentuk-bentuk sedekah umumnya, tapi
bukan wakaf. Sedang wakaf, sebagaimana diajarkan oleh Rasul
Sallallahualaihiwassalam dalam hadisnya yang terkenal, adalah
‘menahan pokoknya dan hanya memanfaatkan buah’-nya. Dalam
bahasa finansial ini dikenal sebagai asset management. Dalam
tradisi wakaf aset ini dapat berupa sawah, perkebunan, toko,
pergudangan, serta aneka bentuk usaha niaga – intinya segala jenis
kegiatan produktif.

Di zaman modern ini kita memang menghadapi situasi yang


berbeda, ketika umumnya aset tidak lagi berada di tangan
masyarakat, tapi dikuasai segelintir elit, khususnya para pemilik
modal. Jutaan hektar tanah (untuk real estate), perkebunan, sawah,
bahkan hutan-hutan kita; serta aset lain berupa pabrik-pabrik dan
usaha perdagangan, hampir sepenuhnya kini mereka kuasai.
Sementara milyaran umat manusia hanya mendapatkan jatah gaji
bulanan, sebagai buruh upahan, yang menjadikannya sulit bagi
seseorang untuk mendapatkan aset, berupa sebuah rumah tipe 36
sekalipun, apalagi aset untuk diwakafkan.
Dalam konteks inilah kita perlu memahami peran penting
wakaf, dan khususnya yang kini diperkenalkan sebagai ‘wakaf
tunai’. Penghimpunan wakaf tunai, dari ribuan atau jutaan orang,
adalah jalan bagi umat Islam untuk mengubah aset yang kini
dikuasai segelintir orang tersebut, sedikit-demi-sedikit, kembali
menjadi milik umum. Pengelolaan wakaf tunai harus mengikuti
kaidah dasar wakaf, dalam paradigma asset management,
sebagaimana diteladankan oleh Pondok Pesantren Gontor, dan
bukan dibelanjakan langsung bagi sedekah sosial. Dengan kata lain,
dana-dana wakaf tunai yang dimobilisasi para nadhir, pertama-tama
haruslah dijadikan aset, dikelola secara produktif, barulah
surplusnya digunakan sebagai sedekah.
Jadi, memanfaatkan dana wakaf untuk langsung membangun
sebuah masjid, tentu tidak salah, tapi kurang tepat. Asas-asas
wakaf yaitu keswadayaan, keberlanjutan, dan kemandirian, tidak
dapat kita penuhi di sini. Dengan kata lain ‘ke-jariah-annya’ tidak
kita peroleh. Kemaslahatannya menjadi berkurang, bahkan
sebaliknya, alih-alih memberikan kemaslahatan, acap kali harta
wakaf tersebut justru menjadi beban bagi umat Islam secara
keseluruhan, yang terus-menerus harus mengelola dan
memeliharanya.
Semestinya dana-dana wakaf tersebut dipakai untuk
membangun kompleks pertokoan, atau mengoperasikan sebuah
pompa bensin, atau perkebunan kelapa sawit, dan dari hasilnya,
barulah dibangun masjid-masjid atau sekolah-sekolah. Inilah
tantangan dan tugas para nadhir kita saat ini. Peran para nadhir
bukanlah cuma memobilisasi dana wakaf lalu langsung
membelanjakannya sebagai sedekah, tetapi mewujudkannya
terlebih dahulu menjadi aset, lalu mengelolanya secara produktif
baru memanfaatkan hasilnya sebagai sedekah. Hal ini bukan saja
memerlukan wawasan, tapi juga kemampuan, para nadhir dalam
bernivestasi secara halal. Insya Allah Tabung Wakaf Indonesia
(TWI), yang sekarang hampir genap tiga tahun umurnya, akan
menjadikannya sebagai paradigma dalam mengoptimalkan wakaf di
Indonesia. Dengan dukungan kita semua, para wakif, tentunya.

You might also like