Discover millions of ebooks, audiobooks, and so much more with a free trial

Only $11.99/month after trial. Cancel anytime.

Simbol-Simbol Artefak Budaya Sunda: Tafsir-Tafsir Pantun Sunda
Simbol-Simbol Artefak Budaya Sunda: Tafsir-Tafsir Pantun Sunda
Simbol-Simbol Artefak Budaya Sunda: Tafsir-Tafsir Pantun Sunda
Ebook415 pages5 hours

Simbol-Simbol Artefak Budaya Sunda: Tafsir-Tafsir Pantun Sunda

Rating: 3.5 out of 5 stars

3.5/5

()

Read preview

About this ebook

In his study of early Sundanese poetic art, Jakob Sumardjo invites us to understand the way Old Sundanese society think and see the world.

Since many ethnic groups in Indonesian Archipelago share common history and culture, it is likely that this understanding of old Sundanese society can also help us to gather a better comprehension about these groups in Indonesia.

This book is written in Indonesian (Bahasa Indonesia).

LanguageBahasa indonesia
Release dateNov 7, 2012
ISBN9781301304318
Simbol-Simbol Artefak Budaya Sunda: Tafsir-Tafsir Pantun Sunda
Author

Jakob Sumardjo

Jakob Sumardjo is a freelance writer of literary criticism and cultural articles for several mass media. A historian and lecturer in The Indonesian Dance Institute (Bandung, West Java), he has written more than 20 books, most of them about Indonesian literature.

Related to Simbol-Simbol Artefak Budaya Sunda

Related ebooks

Reviews for Simbol-Simbol Artefak Budaya Sunda

Rating: 3.3125 out of 5 stars
3.5/5

16 ratings2 reviews

What did you think?

Tap to rate

Review must be at least 10 words

  • Rating: 1 out of 5 stars
    1/5
    good
  • Rating: 4 out of 5 stars
    4/5
    bahasa indonesia

    1 person found this helpful

Book preview

Simbol-Simbol Artefak Budaya Sunda - Jakob Sumardjo

Masih banyak orang bertanya, mengapa para sarjana dan cendekiawan suka mengkaji hal-hal yang kuno atau langka? Lebih-lebih pertanyaan seperti itu akan ditujukan dalam hubungan dengan Jakob Sumardjo, yang bukan saja dengan penuh gairah mengkaji barang lama, akan tetapi barang lama itu juga berasal dari kebudayaan suku Sunda, yang nota bene bukan suku Jakob Sumardjo sendiri, seorang Jawa. Pertanyaan seperti itu muncul dari pemahaman awam tentang ilmu-pengetahuan. Ada kecenderungan pada pemahaman awam, bahwa kajian atau penelitian ilmiah tentang sesuatu harus senantiasa memiliki nilai pragmatis langsung, artinya dengan serta merta bermanfaat. Sementara hal yang langka dan kuno, menurut pemahaman ini tidak memiliki nilai praktis, apalagi ekonomis. Pragmatisme awam ini diperkuat pula, setelah dalam tiga dasawarsa – yaitu di era Orde Baru – seluruh bangsa berada di bawah apa yang dinamakan Arief Budiman sebagai ideologi ekonomisme. Oleh karena itu dapatlah difahami kalau banyak kaum awam terheran-heran, mengapa seorang Jakob Sumardjo mengkaji dengan sungguh-sungguh seni pantun Sunda.

Tidaklah demikian halnya di antara para pengkaji, peneliti, dan sarjana (sosial). Apa yang dilakukan oleh Jakob Sumardjo adalah bukan saja wajar tetapi terpuji. Pengkajian yang bersemangat terhadap seni pantun Sunda membuktikannya sebagai ilmuan sejati, yang bekerja tanpa pamrih eksternal, melainkan semata-mata keinginan tahu ilmiah terhadap sasaran yang dikaji. Disamping itu, pengkajian yang dilakukannya memperkuat pula sifat universal dari ilmu pengetahuan, dalam arti bahwa apapun yang ditemukan dari suatu bidang dari kebudayaan apa pun, akan punya hubungan dengan hasil penelitian di bidang yang sama dari kebudayaan lain. bahwa apa yang ditemukannya dalam seni pantun Sunda akan ikut menjelaskan berbagai segi di bidang yang sama di dalam kebudayaan-kebudayaan suku lain, bahkan bangsa lain.

Mengenai kekunoan seni pantun Sunda, juga tidak dapat dijadikan alasan untuk menganggap bahwa pengkajian itu berlebihan. Sama sekali tidak. Terdapat pemeo yang menyatakan bahwa masyarakat yang tidak memiliki masa lampau tidak akan punya masa depan. Artinya, masyarakat yang tidak mengenal masa lampaunya, yaitu kekeliruan dan keberhasilan di masa lampaunya, tidak akan mengambil pelajaran dari sejarahnya itu dan tidak berbekal dalam menghadapi masa sekarang. Tidak ada pengetahuan yang sia-sia, termasuk tentang sejarah, yang justru sangat penting sebagai guru di dalam menghadapi masalah-masalah dewasa ini. Seperti akan ditemukan banyak uraian Jakob Sumardjo, pantun Sunda banyak mengandung kearifan lama, kearifan yang intisarinya dapat kita pelajari dan kita manfaatkan untuk menghadapi zaman kita ini. Dengan kata lain, kita harus memiliki masa lampau itu, agar kita dapat memiliki – atau menangkap – masa depan. Agar masa depan itu tidak lolos sebagai akibat ketidaksiapan kita.

Dalam kajian Jakob Sumardjo tentang seni pantun Sunda, kita akan diajak memahami tentang cara berfikir dan cara suku Sunda lama memandang dunia. Karena suku-suku di Nusantara memiliki banyak persamaan sejarah dan kebudayaan, niscaya pengetahuan tentang salah satu sisi suku Sunda ini akan pula menjelaskan tentang sisi tertentu dari suku-suku lain di Indonesia.

Tradisi dengan T-Besar

Sebelum lebih lanjut membicarakan hasil kajian Jakob Sumardjo tentang seni pantun Sunda, perlu terlebih dulu dijelaskan apa dan bagaimana seni pantun Sunda itu. Seni pantun ini adalah ciptaan masyarakat Sunda sebelum Islam, yang juga lebih banyak mengandung unsur-unsur kebudayaan sebelum datangnya pengaruh Hindu-Budha. Seni pantun adalah seni bercerita dan bernyanyi dengan iringan kecapi (yang juga disebut pantun). Seni pantun lebih dekat dengan minstrelsy di Eropah Zaman Pertengahan daripada seni sastra pantun Melayu, misalnya. Juru pantun atau tukang pantun yang sekarang hampir punah, biasanya seorang buta. Dia bukan saja hafal banyak cerita pantun, pandai bernyanyi, dan memetik kecapi, namun juga pandai membacakan doa dan mantera. Hal itu tidaklah mengherankan karena seni pantun di zaman dulu tidak semata-mata bersifat hiburan, melainkan juga (terutama) bagian dari upacara dan kepercayaan. Sampai sebelum Perang Dunia II, seni pantun bukan saja masih banyak berpentas, akan tetapi juga sering berpentas dalam rangka ruatan (upacara keselamatan) baik bagi kampung, rumah ataupun keluarga. Sampai sekarang, di masyarakat Baduy sebagai komunitas Sunda Lama yang masih utuh, seni pantun masih tetap merupakan bagian dari upacara dan kepercayaan. Dapat pula dimengerti, mengapa pertunjukan seni pantun senantiasa dilengkapi dengan sajen dan baik pada bagian pembukaan maupun penutupannya mempunyai doa khusus.

Baik ditinjau dari segi seni sastra maupun dari seni musik (karawitan), seni pantun sangat bermutu. Karena mutunya itu seni pantun menjadi ilham dan sumber bagi penciptaan berbagai cabang seni Sunda dewasa ini. Tembang Sunda, sebagai cabang seni Sunda yang diciptakan abad XIX, bersumber pada seni pantun. Seniman Sunda dewasa ini seperti Wahyu Wibisana memanfaatkan seni pantun bagi karya-karya gending-karesmen atau operanya; koreografer Enoch Atmadibrata bagi karya-karya tarinya; Sayudi bagi puisi Sunda modernnya. Demikian juga seniman-seniman Sunda lainnya yang karena jumlahnya tidak dapat disebutkan satu persatu. Bahkan ada sastrawan nasional yang bersuku Sunda yang mencipta bersumber kepada cerita pantun, seperti Ajip Rosidi dan Utuy T. Sontani, misalnya.

Kenyataan seperti diuraikan di atas menunjuk kepada suatu hal, yaitu bahwa kebudayaan Sunda memiliki Tradisi (T-besar). Apa yang dimaksud dengan Tradisi dalam hal ini sesuai dengan definisi yang diajukan oleh Mohammed Arkoun. Menurut dosen Universitas Sorbonne, Paris, dan penasihat spiritual Agha Khan itu, Tradisi adalah wacana yang hidup dalam suatu masyarakat yang merujuk kepada moment-moment kreatif di dalam sejarah masyarakat tersebut. Khususnya di dalam kesenian, para seniman Sunda telah memelihara Tradisinya itu, misalnya dengan merujuk kepada seni pantun di dalam praktek berkesenian yang mereka lakukan.

Timbul pertanyaan, mengapa justru seni pantun yang dirujuk? Di atas sudah disinggung bahwa sebagai seni, pantun sangat tinggi mutunya, baik dari segi sastra maupun dari segi musiknya. Namun lebih daripada itu, seni pantun pun merupakan salah satu seni milik masyarakat Sunda yang menggarap masalah-masalah besar (eksistensial) sebagai tema. Karena merupakan hasil ciptaan masyarakat agraris, seni pantun banyak memberikan informasi tentang ilmu pertanian dan perikanan. Namun seni pantunpun mengungkapkan jawaban mitis masyarakat Sunda Lama (buhun) terhadap pertanyaan-pertanyaan dasar tentang kehidupan ini. Dari mana manusia datang? Untuk apa manusia ada di dunia? Ke mana manusia setelah kehidupannya berakhir? Apa yang harus dilakukannya agar ia mendapat tempat yang baik setelah mati? dsb. Semua itu dijawab, terutama dalam cerita-cerita yang paling penting dan paling bermutu, misalnya Lutung Kasarung, Mundinglaya Di Kusumah, dan Ciung Wanara. Ketiga cerita yang paling bermutu itu di zamannya disakralkan dan tidak boleh dimainkan sembarang waktu dan oleh sembarang juru pantun. Dengan kata lain, hanya juru pantun yang sudah memiliki kearifan suku yang memadailah yang boleh memainkan cerita-cerita itu.

Kalau masyarakat Sunda, khususnya para senimannya sering merujuk kepada seni pantun di dalam kegiatan mencipta, hal itu menunjukkan tidak semata-mata karena tingginya mutu seni pantun, melainkan juga karena secara intuitif para seniman terdorong untuk mempergunakan Tradisi agar ciptaan mereka sendiri bermutu tinggi. Dengan demikian terjadilah symbiose mutualistis antara kreativitas seniman dengan Tradisi itu, di dalam suatu proses yang menguntungkan baik bagi seni sendiri maupun bagi masyarakat (Sunda) secara keseluruhan.

Karena kedudukannya dalam Tradisi seni (Sunda) itu, tidaklah mengherankan kalau penelitian dan pengkajian telah banyak dilakukan terhadap seni pantun itu. Kajian Jakob Sumardjo akan menempati kedudukan yang panting dan terhormat. Hal itu disebabkan oleh pendekatannya yang khas, yaitu pendekatan hermeneutic yang telah berhasil menjelaskan berbagai segi yang selama ini ‘gelap’ bagi banyak orang, bahkan orang Sunda sendiri. Hal itu berkat pengetahuan Jakob Sumardjo yang luas di bidang sejarah, sosiologi, antropologi, khususnya Kebudayaan Sejarah Indonesia.

Masyarakat seni Sunda khususnya, masyarakat ilmu sosial umumnya patut memberikan penghargaan kepada Jakob Sumardjo yang telah melakukan pengkajian sebegitu tekun dengan hasil yang sangat berharga itu. Dan penghargaan yang paling baik secara ilmiah ialah dengan menyimak karyanya itu dan menjadikannya rujukan bagi kajian-kajian yang akan datang.

Bandung, Juli 2003

Saini K.M.

Pengantar Penulis

Buku ini lebih merupakan esai dari pada kajian ilmiah yang ketat. Sebagai esai ia mengandung opini penulisnya yang subyektif. Meskipun demikian, opini itu didasari oleh pengamatan terhadap artefak budayanya, yakni pantun-pantun Sunda. Opini itu juga dibangun atas bacaan-bacaan teoritik dan temuan-temuan ilmiah beberapa pakar di bidangnya. Subyektivitas di sini lebih menunjukkan kemampuan saya dalam mengolah bahan bacaan dan artefaknya.

Penafsiran juga merupakan subyektivitas. Dan buku ini merupakan esai dalam menafsirkan makna pantun-pantun Sunda. penafsiran mencoba mendekati pantun dari budayanya sendiri, yakni cara berpikir primordial Sunda – sedikit banyak bersifat hermeunetik.

Buku ini juga merupakan rekaman suatu proses. Proses yang mana? Yaitu proses keingintahuan untuk memahami makna pantun-pantun Sunda. Motivasi saya tidak lain hanya secara murni ingin memahami teks melalui konteksnya. Konteksnya berupa bacaan-bacaan hasil telaah para pakar antropologi, bukan hanya di Sunda saja, tetapi juga masyarakat etnis yang lain di Indonesia.

Sebagai proses tentu saja sering dijumpai hal-hal tak terduga yang berselisih dengan dugaan-dugaan semula, meskipun ada pandangan dasar yang membangun totalitas makna pantun, yakni faham mandala. Pandangan totalitas makna dapat tereduksi atau terebolarisasi oleh temuan-temuan baru dalam proses. Hal inilah yang mungkin membuat buku ini kurang konsisten. Apa boleh buat, untuk itu diperlukan waktu khusus dan mungkin juga masih menunggu sampai keyakinan diperoleh. Mengharap yang demikian membuat buku ini tidak akan diterbitkan.

Inilah potret ketelanjangan saya, kejujuran saya, tanpa disertai intensi-intensi tertentu kecuali hanya kebenaran apa adanya. Penulisan ini sama sekali merupakan usaha bebas dan sukarela untuk lebih dalam memahami gejala pantun yang menurut saya istimewa ini. Sekitar 3-4 tahun saya menekuni obyek ini. Dan semakin terbuka mata saya adanya berbagai rahasia di balik teksnya. Dan semuanya itu juga belum selesai. Proses ini masih akan berlanjut setelah terbitnya buku ini.

Yang saya kerjakan selama ini masih jauh dari harapan saya sendiri. Pengamatan atas sejumlah cerita pantun Sunda baru sampai pada struktur cerita pantun saja. usaha close reading atas transkripsi pementasan pantun, baru dua-tiga saya lakukan. Bahan-bahan itu berasal dari kerja keras Ajip Rosidi pada tahun 1970 yang berhasil mentranskripsi sekitar 11 cerita pantun hasil rekaman dari pementasan aslinya. Penelitian lebih lanjut atas pantun-pantun Sunda, sudah semestinya menyertakan hasil-hasil rekaman langsung itu sendiri, dan bukan sekedar sastra lisannya. Sebab, vokal juru pantun dan kecapi pengiringnya, akan sangat membantu memperkuat makna dari pantun. Dimanakah kita dapat memperoleh hasil rekaman pementasan pantun semacam itu?

Saya tertarik pada pantun yang sampai sekarang saya masih penasaran dibuatnya. Ketika, saya diminta oleh Bapak Saini KM untuk mengulas naskah drama beliau yang akan dipentaskan oleh Actors unlimited Bandung, yakni naskah Pangeran Sunten Jaya, yang beliau tulis tahun 1960-an, dan kini telah menjadi salah satu naskah drama klasik modern kita. Saya bersedia mengulasnya, tetapi saya minta kepada pak Saini agar saya dapat membaca cerita pantunnya yang asli. Dan beliau memberikan tulisan beliau sendiri atau pantun Mundinglaya Di Kusumah. Akhirnya, justru perhatian saya tercurah pada cerita Mundinglaya, yang pada perkiraan saya mengandung sesuatu yang harus dijelaskan lebih jauh secara arketif budaya.

Penafsiran pantun selama ini dilakukan secara signifikansi. Pemaknaan berdasarkan pengetahuan manusia zaman sekarang dan untuk kepentingan manusia sekarang. Kadang pemaknaan demikian itu berdasarkan pengetahuan filsafat Barat. Bukannya tidak penting, tetapi telah terjadi dekonstruksi makna atasnya. Dekonstruksi makna seyogyanya dilakukan setelah terjadi pemahaman rekonstruksi makna aslinya. Dan penelitian-penelitian pantun semacam itu memang dimaksudkan untuk mengembalikan pantun pada budayanya sendiri, pada filosofi aslinya.

Pekerjaan ini tidak mudah. Dibutuhkan seperangkat ilmu-ilmu bantu, seperti sejarah kebudayaan Sunda, pemahaman religi asli Sunda dan religi Hindu-Budha-Tantra, antropologi budaya suku-suku Indonesia. Pantun, meskipun merupakan produk masyarakat Sunda di zaman Hindu-Budha, tetapi mengandung unsur-unsur budaya lokal Sunda sebelumnya. Untuk menggali hal ini diperlukan studi antropologi atas masyarakat Sunda masa kini, dan ilmu perbandingan antropologi suku-suku lain di Indonesia. Pengetahuan tentang sejarah Sunda mutlak diperlukan, karena pantun kadang menyangkut peristiwa sejarah Sunda. Beberapa pantun, menurut pendapat saya, mengandung semacam babad atau mitos peneguhan kekuasaan raja-raja Sunda. Meskipun kita tidak dapat memakai pantun sebagai sumber sejarah, tetapi pantun berhubungan dengan sejarah raja-raja dan kerajaan Sunda di zaman Hindu-Budha.

Masyarakat Sunda adalah bagian dari masyarakat-masyarakat lain di Indonesia. Dengan demikian, studi budaya Sunda dapat dikerjakan dengan jalan membandingkan dengan budaya-budaya suku lain di Indonesia yang sejenis. Masyarakat Sunda terbagi dua, yakni masyarakat gunung atau huma, dan masyarakat air atau persawahan. Pantun seperti Nyai Sumur Bandung, Panggung Karaton, Sulanjana, dengan mudah dapat difahami berdasarkan infrastruktur budaya sawahnya. Sedangkan pantun semacam Kidang Panandri, Kuda Wangi, Mundinglaya, lebih menunjukkan ciri-ciri budaya ladang.

Kajian pantun, dengan demikian, lebih cocok dilakukan secara hermeneutik. Subyek peneliti zaman modern ini harus melepaskan untuk sementara nilai-nilainya sendiri, dan memasuki dunia pantun dengan tata nilai masyarakat yang dahulu menghasilkannya. Dengan cara demikian, kita dapat memahami alam pikiran masyarakat Sunda zaman pantun, dan memahami perjalanan transformasinya secara diakronis. Pemaknaan pantun dilakukan sebagai kenyataan diakronis zaman Hindu-Budha-Sunda masa lampau. Dari temuan-temuan atasnya, kita dapat kembali kepada zaman kita sendiri dan menyaksikan masih hidup tidaknya nilai-nilai lama itu dalam masyarakat Sunda sekarang (sinkronis).

Apa yang terhidang merupakan tulisan-tulisan lepas yang sebagian besar pernah dimuat di surat kabar Pikiran Rakyat, Bandung. Sebagian lagi di jurnal seni pertunjukan, dan sebagian lagi belum pernah diumumkan, dan yang terakhir berupa kelengkapan khusus ditulis demi buku ini. Jadi ada gado-gado alamat. Inilah sebabnya saya cenderung menyebut buku ini sebagai kumpulan esai-esai mengenai pantun Sunda. Dan sebagai esai ia bermaksud dapat dibaca oleh semua kalangan, akademis, maupun bukan.

Kembali tentang proses tadi, saya minta maaf kepada para pembaca kalau dibuat jemu oleh adanya pengulangan-pengulangan yang terdapat di dalamnya.

Bandung, Juli 2003,

Jakob Sumardjo

DAFTAR ISI

Pengantar Saini KM

Pengantar Penulis

Daftar Isi

I. Pendahuluan

II. Pertunjukan Pantun

III. Latar Sejarah Budaya Pantun

IV. Sebuah Pandangan Dasar

Logika Mitis Budaya Pantun

Pantun Sebagai Mitos

Kosmologi Sunda Dalam Pantun

Konsep Mandala Dalam Pantun

Dasar-dasar Filsafat Pantun Sunda

Rajah

V. Tafsir Kosmologis Pantun

Mundinglaya Di Kusumah

Ciung Wanara

Nyai Sumur Bandung

Panggung Karaton

Lutung Leutik

Kuda Wangi

Kidang Panandri

Gajah Lumantung

Lutung Kasarung

Sri Sadana: Genesis Sunda

VI. Tafsir Budaya Pantun

Sebuah Siloka Pantun

Sang Hyang Tunggal

Guriang Tunggal

Sunan Ambu

Pohaci

Lengser

Asas Tritangtu Budaya Sunda

Konsep Wadah-Isi Budaya Sunda

Asas Dalam-Luar Budaya Sunda

Arketip Kepemimpinan Sunda

Kosmologi Rumah Runda

Kraton Sunda dalam Pantun

Perempuan Dalam Masyarakat Sunda Lama

Kuburan Kosong di Pasundan

VII. Membaca Budaya Primordial Sunda

Topografi Sunda

Habitat dan Budaya Primordial

Pola Kampung dan Rumah Sunda

Religiositas Sunda

Sunda dan Islam

Humor Sunda

Mencari Akar Budaya

Alam Pikiran Mitis-Spiritual

VIII. Penutup

Kesimpulan

Pemanfaatan

Daftar Pustaka

Riwayat Hidup

Untuk

Para Kerabat Sunda

Yang Baik Hati

I. Pendahuluan

Banyak hal mengundang pertanyaan dari fenomena pantun Sunda. Mengapa cerita pantun banyak melibatkan tokoh-tokoh dari kahyangan dalam peristiwa manusia? Mengapa banyak nama-nama, tokoh pantun memasang nama-nama binatang, seperti Ciung Wanara, Mundinglaya, Badak Pamalang, Kidang Pananjung, Lutung Kasarung? Mengapa banyak didapatkan bilangan-bilangan tertentu dalam pantun, seperti tujuh, empat puluh, sepuluh, delapan? Mengapa cerita pantun berkisar pada raja-raja, pangeran, puteri, patih dari masa kerajaan Galuh dan Pajajaran? Mengapa juru pantun kebanyakan buta? Mengapa pantun harus diiringi kecapi atau alat-alat musik tunggal atau duo, tetapi bukan suatu orkestra gamelan lengkap? Mengapa selalu harus ada rajah yang diucapkan? Mengapa juru pantun di Baduy selalu menentukan arah hadap ke mata angin tertentu pada hari tertentu, jika memantun? Mengapa tidak boleh ada penonton yang meninggalkan pertunjukan sebelum pertunjukan pantun selesai? Dan masih banyak pertanyaan lain yang dapat diajukan.

Pertanyaan-pertanyaan semacam itu wajar diajukan oleh manusia modern Jawa Barat sekarang ini. Pantun, seperti halnya banyak produk seni lain di Jawa Barat, telah ada sebelum modernisme memasuki Jawa Barat. Pantun adalah produk budaya masyarakat Sunda di zaman lampau yang berbeda dengan paradigma hidup modern sekarang. Paradigma budaya modern adalah ilmu pengetahuan yang rasionalistik, obyektif, sistematik. Paradigma budaya pantun adalah pengetahuan spiritual keagaman. Memahami gejala pantun tidak tepat kalau mempergunakan peralatan paradigma modern, misalnya kaidah-kaidah filsafat Barat. Pantun hanya dapat difahami kalau dikembalikan kepada habitat budaya aslinya yakni budaya mitis-spiritual masyarakat Sunda Lama. Inilah sebabnya terdapat kejanggalan-kejanggalan dalam fenomena pantun.

Pertunjukan pantun adalah sebuah ritus. Terlalu banyak persyaratan yang harus dilakukan sebelum, selama, dan sesudah pertunjukan. Tak ada juru pantun yang bersedia berpantun kalau persyaratan yang sudah ditetapkan oleh kebudayaan tidak tersedia. Pertunjukan pantun bukan pertunjukan teater modern berupa monolog, yang kapan saja, di mana saja, dengan cara apa saja dapat dilakukan. Pertunjukan pantun hanya dilakukan oleh juru pantun. Sayang sekali, belum ada penelitian tentang syarat-syarat rekruitmen atau pendidikan seorang juru pantun. Pertunjukan distruktur dalam penyajian cerita dan musik pengiringnya. Harus ada seorang ahli musik Sunda yang dapat menjelaskan makna struktur musik dalam pantun. Banyak Pertunjukan seni tradisional yang hanya dapat difahami maknanya lewat struktur musik pengiringnya, seperti Sintren, Seblang, Wayang dan lain-lain. Pertunjukan juga harus didahului dengan pembacaan mantra, sesajian tertentu, rajah pamunah, dan rajah pamungkas. Selama berpantun, juru pantun dan penonton tidak boleh begini dan begitu. Semua itu sudah tertata dan pantang dilanggar seperti lazimnya sebuah laku ibadah.

Kalau pantun disetujui sebagai laku ritus, bukan semata-mata tontonan, maka dasar kepercayaan mana yang mendasarinya? Saya belum pernah menonton pertunjukan pantun, hanya membaca beberapa cerita pantun dan transkripsi pantun. Pengalaman seni dan pengalaman religi dalam pertunjukan pantun tak pernah saya miliki, saya hanya mengetahui beberapa cerita pantun yang telah banyak beredar dan mencoba menafsirkan kandungan budaya masyarakat yang dahulu memproduksinya. Telah saya utarakan bahwa pantun adalah produk budaya masyarakat yang paradigma berpikirnya mitis-spiritual, jauh dari paradigma berpikir modern. Gejala pantun, sekurang-kurangnya telah ada di masyarakat Sunda sebelum tahun 1518, seperti ditunjukkan oleh naskah lama Siksa Kandang Karesian. Jadi, sekitar tahun 1400, pantun diduga telah dikenal oleh masyarakat Sunda. Zaman itu adalah berkembangnya budaya Hindu-Budha di Jawa Barat, sehingga cara berpikir agama-agama tersebut diduga telah masuk dalam pantun pula. Tetapi, pantun, seperti yang akan saya tafsirkan, Banyak mengandung pemikiran mitis-spiritual dari zaman sebelumnya, yakni zaman primordial Sunda sendiri. Pantun mengandung unsur-unsur budaya lokal, atau lokal genius, atau cerlang budaya, menurut Ayat Rohaedi, yang dalam banyak hal mirip dengan lokal genius suku-suku lain di Indonesia, bahkan boleh jadi di lingkungan bangsa-bangsa Austronesia.

Pokok pemikiran asli religi budaya mitis-spiritual Sunda dan suku-suku Indonesia umumnya adalah dualisme-antagonistik. Semua keberadaan ini selalu terdiri sari dua unsur yang saling bertentangan. Keberadaan itu sendiri terdiri dari keberadaan spiritual, rohani, dan keberadaan kebendaan atau material. Keduanya memiliki karakteristik yang berbeda dan bertentangan. Kalau kedua modus keberadaan itu ada sendiri-sendiri, maka tidak ada kehidupan yang disebut mengada itu. Hidup ini, mengada ini, merupakan harmoni, kesatuan, antara dua modus keberadaan tersebut. Begitulah, hidup ini, kalau mau hidup dalam kesejahteraan, keselamatan, kebahagiaan, kedamaian, kehidupan, maka harus selalu diusahakan adanya kesatuan dasar antagonistik tersebut. Kesatuan dari dasar-dasar yang saling bertentangan dalam sistem keberadaan itu akan menuju ke suatu kondisi tertib, damai, stabil, dan tak terganggu oleh perubahan-perubahan. Asas kesatuan atau harmoni ini berlaku untuk semesta ini, untuk kehidupan bernegara, kehidupan pribadi, kehidupan bermasyarakat, kehidupan religi, dan lain-lain.

Dengan dasar berpikir dalam logika budaya mitis-spiritual ini, maka masyarakat Sunda dan suku-suku lain membagi keberadaan ini menjadi Dunia Atas yang spiritual dan Dunia Manusia yang material. Keduanya harus merupakan suatu kesatuan agar kehidupan ini terus berproses. Lazimnya, klasifikasi kosmologis ini hanya mengenal Dunia Atas dan Dunia Bawah, sesuai dengan kaidah dualisme- antagonistik. Tetapi, karma hidup ini merupakan kesatuan keduanya, maka tentu ada dunia yang lain, yang baru, yakni Dunia Tengah.

Begitulah logika budaya mitis-spiritual ini memainkan dirinya. Bagi kebudayaan dengan cara berpikir demikian itu, maka tidak aneh kalau Mundinglaya dapat terbang, kalau orang mati dihidupkan, kalau seorang tokoh berubah dari wujud manusia, menjadi binatang, makhluk kahiyangan hadir dalam pertikaian manusia, pusaka sakti menyelesaikan segalanya. Dalam cara berpikir modern yang serba logika-empirik ini, serba percaya pada material ini, cerita-cerita pantun hanyalah nonsens, cerita anak kecil. Cerita orang dewasa itu Agatha Christie.

Dunia Atas dan Dunia Bawah adalah antagonistik. Kalau Dunia Atas itu bersifat lelaki, maka Dunia Bawah adalah perempuan. Dan Dunia Tengah adalah laki-laki dan perempuan. Kalau Dunia Atas itu matahari, Dunia Bawah adalah bulan. Kalau Dunia Atas itu tanah, maka Dunia Bawah adalah air, atau sebaliknya. Kalau Dunia Atas dilambangkan dalam bentuk burung, maka Dunia Bawah bentuk ular. Burung sebagai lambang Dunia Atas banyak didapatkan di lingkungan suku-suku Indonesia, yang seringkali juga digantikan oleh lambang kuda, harimau, tongkat atau batu berdiri. Sedangkan lambang Dunia bawah yang berbentuk ular atau naga sering diganti pula dengan bentuk kerbau, laut, air atau segala makhluk air. Di sini jelaslah, mengapa banyak tokoh pantun mengambil nama kerbau, burung, kuda, lutung, atau yang mengisyaratkan matahari dan bulan, kelurusan dan kebundaran, karena nama-nama itu mengacu kepada salah satu Dunia Atas atau Dunia Bawah. Hal ini juga nampak dalam cerita rakyat Jawa, misalnya Kebo Ijo, Gajah Mada, yang bukan produk budaya istana Jawa.

Dalam cerita pantun, selalu disebut adanya Buana Pancatengah. Tak lain adalah Dunia Tengah dalam kosmologi etnik Indonesia. Mengapa disebut Panca Tengah? Panca adalah bilangan lima. Mengapa lima? Karena antagonisme semesta itu memang demikian, yakni ada atas ada bawah, ada kiri ada kanan, ada depan ada belakang, ada utara ada selatan, ada barat ada timur. Dan kesempurnaan itu terdapat di antara antagonisme-antagoniame tadi. Tengah. Ibu kota Pajajaran atau Galuh adalah Tengah, kesempurnaan, keselarasan, keselamatan itu. Di situlah hukum-hukum Dunia Atas bertemu dengan hukum-hukum Dunia Bawah. Kalau utara itu merah, maka selatan adalah hitam. Kalau barat itu adalah angin, maka timur adalah bumi. Kalau utara itu besi, maka selatan adalah tembaga. Pola berpikir kosmologis primordial ini, bahkan diisi dengan pengetahuan Islam, yakni utara itu Abubakar, selatan Usman, barat Umar, dan timur Ali, di tengah-tengah adalah Nabi Muhammad.

Dari kenyataan ini dapatlah kita fahami, mengapa dalam pantun selalu ada nama-nama negeri yang membawa nama angin, bumi, air atau laut. Itu pertanda menunjukkan arah negeri berdasarkan tipografi Pajajaran atau Galuh. Dalam pantun Budak Manyor, misalnya, Manyor dan Si Genjru oleh Sunan Ambu digodok dalam kuali yang mendidih berisi timah, kuningan, besi baja, emas, intan, dan lain-lain, yang kalau dihitung merupakan sepuluh campuran logam. Inilah logika mitis-spiritual, bagaimana antagonisme kosmos yang dilambangkan logam melebur menjadi satu. Empat mata angin dan satu pusat lebur menjadi kesatuan yang berarti kesempurnaan. Lelaki membutuhkan perempuan. Air membutuhkan tanah. Emas membutuhkan perak.

Dalam Carita Parahiyangan, disebutkan, bahwa raja Galuh, Sang Kandiawan mempunyai pancaputera alias lima anak penjelmaan dewa-dewa. Ini memiliki makna kosmologis. Dari lima anak tersebut, Sang Wretikandayun yang akhirnya diangkat menjadi raja Galuh, sedangkan keempat saudaranya disebut sebagai pemburu, petani huma, penyadap nira, dan pedagang. Sebab dalam kosmologi lama, pekerjaan pemburu atau penjagal hewan berada di utara, petani di timur, penyadap di barat, dan pedagang di selatan; sedangkan Raja ada di tengah-tengah. Raja adalah peleburan dari kegiatan-kegiatan produktif ekonomi negara, yang waktu itu masih terdiri dari empat profesi tersebut. Kalau sang raja hidupnya harmonik dengan segala antagonisme semesta, maka negara akan tidak kekurangan apa pun, karena perdagangan lancar, pertanian oke, persediaan gula dan tuak beres-beres saja, dan kebutuhan daging melimpah ruah.

Inilah sebabnya, penyebutan angka-angka dan jumlah amat penting dalam pantun. Itu semua berhubungan dengan masalah makna kosmologi yang akan menentukan terciptanya keselarasan hidup pribadi maupun negara. Jumlah sepuluh, dua puluh, dan empat puluh adalah penggandaan dari kosmologi Pancatengah atau mancapat, papat keblat kalimo pancer dalam kosmologi etnik Jawa. Semua itu dimaksudkan sebagai lambang kesempurnaan kesatuan kosmos. Raja beristeri empat puluh. Apa maknanya? Raja beristeri lima dikalikan delapan. Jadi setiap kiblat kosmos memiliki kesempurnaannya sendiri, artinya tiap kiblat memiliki lima kesatuan kesempurnaan. Dan kiblat itu jumlah lengkapnya delapan, yakni barat-timur, utara-selatan, tenggara-barat daya, barat laut-timur laut. Dengan demikian, logika mitis-spiritual ini, bermakna bahwa kesatuan antagonistik lelaki-perempuan, dengan Lelaki-Raja sebagai pusat segalanya, harus memiliki pasangannya secara lengkap di setiap sudut kosmos negaranya. Maka, Raja harus memiliki empat puluh pasangan perempuannya. Kalau tidak demikian, kesatuan kosmis akan terganggu.

Lalu bagaimana dengan bilangan tujuh? Jumlah tujuh ini merata di Indonesia dalam logika mitis. Sesajian dalam bentuk tujuh macam bunga, tujuh macam penganan, tujuh macam daun, tujuh malam-tujuh hari. Sesajian adalah pemberian. Apa

Enjoying the preview?
Page 1 of 1