Professional Documents
Culture Documents
KHILAFAH
Entry Point
Para fuqaha’ berbeda pendapat tentang syarat manjadi imam pada sholat
dalam hal mengutamakan antara orang yang lebih baik bacaan al-Qur’annya dan
ada yang lebih baik pemahaman fiqihnya. Menurut Iman Abu Hanifah dan Imam
Ahmad bin Hanbal, diutamakan orang yang lebih baik bacaannya. Sedangkan
Imam Syafi’i berpendapat bahwa orang yang lebih dalam pengetahuannya tentang
fikih lebih diutamakan sebagai Imam.
Seorang imam dalam sholat berjama’ah harus berada di depan makmum.
Wanita, menurut Jumhur Ulama’, tidak boleh diangkat menjadi imam shalat bagi
kaum laki-laki sebagaimana hal itu dilarang dalam hadis, “ janganlah sekali-kali
seorang perempuan mengimami laki-laki……”(HR.Ibn Majah) akan tetapi
perempuan boleh mengimami perempuan dalam sholat.
Anak-anak sebagai imam sholat, yang dimaksud anak-anak disini adalah
yang belum akil balig atau belum dibebani kewajiban sholat, tetapi sudah
mumayyiz. Anak-anak yang telah mumayyiz dan memiliki bacaan fasih, menurut
sebagian ulama fikih termasuk Imam Abu Daud dan Ahmad bin Hanbal, boleh
diangkat menjadi imam.
Menurut Ibnu Abbas, anak-anak yang belum akil balig tidak boleh
diangkat menjadi imam dalam sholat berdasarkan hadis : “Janganlah anak-anak
menjadi imam, sehingga sampai usia dikenal hukum had” (HR. al Asram). Yang
dimaksud usia yang dikenal hukum had dalam hadits itu adalah yang sudah akil
balig atau sudah dikenal hukuman atas tindakannya. Menurutnya juga bahwa
orang yang tidak wajib shalat tidak boleh dijadikan imam bagi orang yang wajib
sholat.
Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, rangkaian antara kata ahlu sunnah dan
jama’ah sudah pernah diucapkan oleh Nabi Muhammad saw, di dalam salah satu
sabdanya yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, at-Tirmidzi, al-Hakim, Ibnu
Hibban. Keempat perawi tersebut memandang sabda Nabi ini shahih. Hadits
tentang perpecahan umat ini diriwayatkan dalam redaksi yang berbeda-beda. Ada
yang berbunyi : “Kulluhum finnari illa wahidah.” Adapula yang dengan redaksi
:”kulluhum fil jannati illa wahidah”, yang jelas golongan yang selamat adalah
ahlu sunnah wal jama’ah. Pada zaman Nabi ungkapan ahlu sunnah wal
jama’ahbelum dikenal sebagaimana suatu aliran atau firqah umat Islam baik aliran
ilmu kalam atau ilmu yang lain beberapa waktu sesudah itu lapadz ahlu sunnah
(tanpa jama’ah) dengan arti ahlu hadis dipergunakan untuk ulama-ulama yang
apabila mereka menamakan sesuatu yang baru, dicari hukumnya di dalam al-
Qur’an dan hadis. Jika tidak menemukan ketentuan hukumnya, mereka diam saja
tidak mau melampaui nash. Sikap mereka ini merupakan kebalikan dari
pendahuluan ahlu ra’yi.
Syi’ah, secara harfiah berarti pengikut, partai kelompok, rekanan,
pendukung. Secara teknis, istilah ini merajuk pada orang-orang muslim yang
mengambil aturan agama dan inspirasi spiritualnya setelah Nabi Muhammad, dari
keturunan beliau, ahl al-bait. Titik tolak yang membedakan Islam Syi’ah dengan
sunni, didasarkan pada dua faktor penting : satu bersifat sosial budaya dan yang
alain diturunkan dari konsep al-Qur’an tentang sifat keagungan dan kesalehan
Nabi.
Untuk memahami faktor sosial budaya, kita harus memperhatikan sifat
dan komposisi komunitas muslim di Madinah di bawah kepemimpinan Nabi
Muhammad. Komunitas ini tidak bersifat homogen dengan latar belakang
4
sosiokultural dan tradisinya dan tidak pula homogen dalam lembaga sosial
politiknya. Oleh karena itu persoalan penggantian Nabi menjadi terkait dengan
visi kepemimpinan yang dimiliki oleh komunitas muslim dengan
berbagaipendekatan-pendekatan dan tingkat penekanan yang berbeda-bedapada
aspek politis dan keagamaannya. Bagi sebagian komunitas muslim,
kepemimpinan itu lebih bersifat politis dari pada keagamaan, bagi sebagian yang
lain, ia lebih bersifat keagamaan daripada politis.
Disamping tradisi-tradisi sosial budaya ini, faktor lain yang diturunkan
dari konsep al-Qur’an tentang kedudukan agung keluarga Nabi memainkan
peranan yang sangat signifikan dalam menentukan proses pergantian itu.
Ada beberapa periode pada masa Islam Syi’ah, antara lain :
a. Khulafa Al Rasyidin
b. Umayyah
c. Abbasiyah
d. Buwaihiyah