You are on page 1of 16

Orientasi Pembaharuan Pendidikan

Dalam Tantangan Modernitas

oleh: H. Irsyad Syafar Buan Lc, Dpl.Ed.


Dipublikasikan di Jurnal OASE edisi 16 Th.2000

Pengantar

Pendidikan dalam sejarah peradaban anak manusia adalah salah satu komponen kehidupan
yang paling urgen. Aktifitas ini telah dan akan terus berjalan semenjak manusia pertama
ada di dunia sampai berakhirnya kehidupan di muka bumi ini. Bahkan kalau ditarik mundur
lebih jauh lagi, kita akan dapatkan bahwa pendidikan telah mulai berproses semenjak Allah
swt. menciptakan manusia pertama Adam di sorga dimana Allah telah mengajarkan kepada
beliau semua nama-nama yang oleh para malaikat belum dikenal sama sekali (QS Al
Baqarah: 31-33).

Semenjak manusia berinteraksi dengan aktifitas pendidikan ini semenjak itulah manusia
telah berhasil merealisasikan berbagai perkembangan dan kemajuan dalam segala lini
kehidupan mereka. Bahkan pendidikan adalah suatu yang alami dalam perkembangan
peradaban manusia (1).

Dan secara paralel proses pendidikan pun mengalami kemajuan yang sangat pesat, baik
dalam bentuk metode, sarana maupun target yang akan dicapai. Karena hal ini merupakan
salah satu sifat dan keistimewaan dari pendidikan, yaitu selalu bersifat maju
(taqaddumiyyah). Sehingga apabila sebuah pendidikan tidak mengalami serta tidak
menyebabkan suatu kemajuan atau malah menimbulkan kemunduran maka tidaklah
dinamakan pendidikan. Karena pendidikan adalah sebuah aktifitas yang integral yang
mencakup target, metode dan sarana dalam membentuk manusia-manusia yang mampu
berinteraksi dan beradabtasi dengan lingkungannya, baik internal maupun eksternal demi
terwujudnya kemajuan yang lebih baik (2).

Sebagai contoh nyata dari argumen di atas dapat kita lihat dari dua kenyataan berikut:

Pertama, ketika Uni Sovyet meluncurkan pesawat luar angkasanya yamg pertama spotnic
pada 4 oktober 1957, Amerika Serikat tergoncang dengan dahsyatnya. Demam spotnic
melanda seantero Amerika. Betapa tidak, karena Amerika adalah negara besar pemenang
perang dunia II telah kedahuluan oleh Uni Sovyet. Sampai-sampai presiden AS ketika itu
membentuk tim khusus untuk merespon kejadian besar ini. Tim tersebut bukan bertugas
menyelidiki kenapa Uni Sovyet berhasil mendahului mereka dalam meluncurkan pesawat
luar angkasa, melainkan mereka mendapat intruksi lansung dari presiden untuk melakukan
suatu tugas yang tidak disangka-sangka oleh para pengamat politik waktu itu. Tugas
mereka adalah meninjau kembali kurikulum pendidikan AS mulai dari jenjang pendidikan
dasar sampai tingkat perguruan tinggi. Dengan bekerja keras dan dalam waktu yang singkat
tim tersebut berhasil mengeluarkan statement yang menyatakan bahwa kurikulum
pendidikan AS dari semua jenjang pendidikan sudah tidak layak lagi dan harus direvisi.
Sebuah keputusan yang teramat berani waktu itu. Tapi itulah sebuah konsekuensi kalau
hendak berkompetisi dalam kemajuan peradaban.

Amerika pun mulai melakukan pembaharuan pendidikan dalam segala segi dan
dimensinya. Mulai dari kurikulum, mata pelajaran, tenaga pengajar, sarana pendidikan
sampai kepada sistem evaluasi pendidikan. Usaha mereka dengan sangat cepat
membuahkan hasil yang sangat luar biasa. Pada tanggal 14 juli 1969 mereka berhasil
meletakkan manusia pertama di permukaan bulan. Hanya dalam kurun waktu 12 tahun
mereka berhasil mengungguli teknologi Uni Sovyet. Waktu yang relatif singkat, kurang
dari masa pendidikan seorang anak dari tingkat dasar sampai jenjang perkuliahan (3)

Hasil lain dari itu tentunya dapat disaksikan oleh dunia semuanya dimana AS sekarang
telah menjadi kekuatan tunggal setelah runtuhnya US.

Kedua, kejadian yang hampir serupa sebenarnya pernah terjadi di Jepang seusai kekalahan
mereka dalam perang dunia II dengan dibom atomnya kota Hiroshima dan Nagasaki.
Jepang praktis lumpuh dalam segala segi kehidupan. Bahkan kaisar Jepang waktu itu
menyatakan bahwa mereka sudah tidak punya apa-apa lagi kecuali tanah dan air. Belum
lagi hukuman sebagai orang yang kalah perang yang melarang Jepang untuk membangun
angkatan bersenjata. Semua itu merupakan hambatan yang sangat besar untuk dapat bangkit
dan membangun sebuah peradaban baru. Tapi perkiraan akal manusia tidak selamanya
benar. Jepang bangkit perlahan-lahan dengan memperbarui sistem pendidikan mereka
dalam semua jenjang pendidikan. Dalam masa yang relatif singkat Jepang berhasil
membangun negara mereka menjadi negara yang kuat dalam bidang ekonomi dan
pendidikan. Bahkan merupakan negara ekonomi terkuat yang menjadi ancaman bagi AS
sendiri. Coba kita bandingkan dengan Indonesia yang mulai membangun diri pada waktu
yang sama dengan Jepang (kita merdeka 1945 dan Jepang di bom atom 1945). Jepang telah
berlari jauh di depan, kita malah masih tertatih-tatih bahkan jalan di tempat dan kadang
kala juga mundur ke balakang. Contoh nyata dari kemajuan pendidikan di Jepang adalah
berobahnya pengertian buta huruf dikalangan rakyat Jepang. Buta huruf yang sudah tidak
ada lagi di Jepang mempunyai pengetian "tidak bisa menggunakan komputer". Betapa
jauhnya pengertian ini dengan pengertian aslinya di kalangan dunia ketiga, yang berarti
tidak bisa tulis dan baca.

Dua fenomena di atas merupakan gambaran nyata dari urgensi pendidikan yang telah
dipahami dan diaplikasikan dengan baik oleh AS dan Jepang. Langkah yang mereka ambil
telah membuktikan kepada dunia bahwa kemajuan pendidikan berarti kemajuan sebuah
bangsa. Dan bangsa manapun di dunia ini yang mengabaikan pendidikan maka tunggulah
kehancurannya.

Pembaruan Pendidikan Indonesia Sebuah Keharusan

Kalau kita mengamati pendidikan di Indonesia maka kita akan mendapatkan beberapa
fenomena dan indikasi yang sangat tidak kondusif untuk mewujudkan Indonesia menjadi
negara maju dalam bidang pendidikan apalagi dalam bidang ekonomi. Fenomena dan
indikasi tersebut antara lain:

1. Rendahnya mutu dan tingkat pendidikan para tenaga pengajar di semua jenjang
pendidikan.

Fenomena ini dapat ditangkap dengan mudah oleh siapa saja yang memiliki sedikit
wawasan mengenai kependidikan. Walaupun tentunya penelitian ilmiah mengenai masalah
ini sangat perlu dilakukan agar kesimpulan yang diambil lebih bernilai objektif. Namun
secara sederhana dapat kita ketengahkan beberapa indikasi umum yang diketahui oleh
banyak orang. Berdasarkan jenjang pendidikan yang telah diselesaikan oleh para pendidik,
dapat kita temukan kondisi berikut ini: para guru di tingkat pendidikan dasar di Indonesia
sangat jarang diantara mereka yang memiliki ijazah strata satu (S1). Rata-rata adalah
tamatan sekolah menengah atau sarjana muda. Untuk tingkat pendidikan menengah
pertama dan atas, maka akan kita temukan juga kondisi yang hampir sama. Tenaga
pengajar ditingkat ini kebanyakan sarjana muda dan sedikit sekali yang merupakan sarjana
penuh. Dan bisa dikatakan tidak ada diantara mereka yang tamatan S2. Selanjutnya untuk
tingkat perguruan tinggi secara umum, dan jenjang S1 secara khusus, masih banyak sekali
dosen yang hanya tamatan S1. Dalam waktu yang sama sangat jarang dosen yang bergelar
Doktor mengajar di tingkat ini. Bahkan diantara dosen-dosen yang hanya memiliki ijazah
S1 tersebut kadang kala tidak mengisi mata kuliahnya, tetapi digantikan oleh asistennya
yang biasanya adalah mahasiswa/ mahasiswi tahun terakhir yang berprestasi atau sarjana
baru.

Sementara itu kalau ditinjau dari segi kesiapan mereka secara ilmiah dalam aktifitas belajar
mengajar, maka mayoritas dari sarjana atau tenaga pengajar yang terjun kebidang
pendidikan ini tidak memiliki spesialisasi dalam bidang pendidikan. Artinya bukan lulusan
dari fakultas pendidikan dan sejenisnya. Terutama untuk tingkat pendidikan menengah ke
bawah. Padahal ilmu-ilmu pendidikan sangat perlu dimiliki oleh siapa saja yang menggeluti
aktifitas mendidik. Karena mendidik bukanlah sekedar transfer ilmu pengetahuan dari guru
kepada murid atau siswa, tetapi ia merupakan aktifitas yang komplek dan integral yang
mempunyai metode dan seni tersendiri.

Kalau kita adakan studi komparatif secara kasar dengan sebagian negara-negara arab yang
nota bene negara ketiga seperti negara kita, maka kita akan sedikit tertinggal dari mereka.
Padahal sering ejekan dari mulut kita bahwa orang-orang arab tidak lebih maju dari kita. Di
Mesir saja tidak ada sarjana S1 yang mengajar di tingkat S1. Minimal tenaga pengajarnya
adalah S2, tapi kebanyakan adalah Doktor (S3). Untuk tingkat sekolah menengah tidak ada
tenaga pengajar yang lulusan sekolah menengah juga, kebanyakan lulusan S1, bahkan tidak
jarang yang sudah magister ataupun lulusan Diploma Khusus (tingkatan setelah S1). Dan
tidak jarang pula guru-guru pada tingkat pendidikan dasar pemilik ijazah diploma khusus
tadi. Sementara itu di negara teluk terutama Kuwait dan Emirat Arab, mewajibkan tenaga
pengajar untuk pendidikan tingkat menengah pertama ke bawah adalah lulusan dari
fakultas-fakultas pendidikan. Ini baru perbandingan kasar dengan sebagian negara Arab,
apalagi kalau kita bandingkan dengan negara maju seperti Amerika dan Inggris, maka kita
akan sangat jauh tertinggal.

2. Rendahnya kemampuan sarjana-sarjana Indonesia


Gejala yang kedua ini merupakan akibat logis dari fenomena yang kita sebutkan di atas.
Karena kapasitas dan kapabilitas para pendidik (dosen) akan berakibat lansung terhadap
mutu yang mahasiswanya, baik secara positif maupun secara negatif. Dengan arti kata
apabila seorang dosen memiliki tingkat akademis yang tinggi kemudian ia juga memiliki
wawasan yang cukup dalam ilmu pendidikan maka besar peluang ia akan menghasilkan
mahasisiwa dan mahasisiwi yang yang unggul dan lebih baik dibandingkan dengan dosen
lain yang tidak memilki kriteria tersebut. Ini dapat kita ambil contoh pada beberapa
perguruan tinggi baik negeri maupun swasta yang memilki kemampuan finansial yang kuat
yang memungkinnya untuk mendatangkan tenaga dosen yang qualified. Dibandingkan
dengan perguruan tinggi yang lain yang kebanyakan para dosennya hanya lulusan S1, maka
prestasi mahasisiwanya akan sangat jauh berbeda. Apalagi ketika bersaing dalam
mendapatkan peluang kerja. Hal yang sama juga terjadi pada jenjang pendidikan yang lebih
rendah, baik pendidikan tingkat menengah maupun pendidikan dasar.

Indikasi lain dari gejala di atas adalah minimnya karya ilmiyah yang dihasilkan oleh para
sarjana Indonesia. Contoh sederhana adalah masih jarangnya karya tulis dari penulis-
penulis Indonesia. Yang ramai memenuhi pasar adalah buku-buku terjemahan, baik dari
bahasa Arab, Inggris maupun bahasa lainnya. Kalaupun ada karya tulis dari penulis-penulis
terkenal Indonesia, namun belum mampu menjadi rujukan di kawasan Asia tenggara
apalagi untuk level Internasional. Coba kita bandingkan dengan karya Buya Hamka, tafsir
Al Azhar yang menjadi rujukan bagi kebanyakan negara asia tenggara. Begitu juga karya
Pak Natsir, fiqh dakwah yang juga tersebar di daratan melayu (Indonesia, Malaysia dan
Thailand) bahkan dicetak dengan bahasa arab melayu karena mayoritas muslimin di selatan
Thailand (Fathani) menggunakan arab melayu untuk menulis bahasa melayu.

3. Dekadensi moral dikalangan mahasiswa dan pelajar

Gejala yang ketiga ini sudah menjadi rahasia umum. Bahkan tidak dapat lagi dikatakan
sebagai gejala. Tapi telah menjurus kepada fenomena. Kalau dulu di awal-awal 90-an kita
sudah terbiasa mendengar tawuran antara sesama pelajar dan mahasisiwa. Baik antara
sekolah dan perguruan yang sama atau pun yang berbeda. Kadang penyebab dari tawuran
tersebut adalah hal yang sangat sepele, seperti persaingan nama, persaingan cinta (pacaran),
kesenggol di bis atau di jalan dan lain sebagainya. Semua sebab tersebut mengindikasikan
betapa bodohnya mereka. Lebih jauh lagi betapa tidak adanya efek positif dari apa yang
mereka pelajari. Pada hal kalau kita cermati pada masa-masa tersebut sangat gencar
diadakan penataran P4 untuk semua jenjang pendidikan. Bahkan merupakan salah satu
syarat untuk mendapatkan ijazah. Namun semua itu tidak menjadikan mereka lebih baik.

Kerusakan moral para mahasisiwa dan pelajar dengan segala jenis dan bentuknya adalah
sebuah ancaman yang berbahaya tidak saja terhadap para pelakunya, tapi merupakan
ancaman yang serius terhadap stabilitas sosial, ekonomi dan keamanan serta kesatuan
bangsa. Atau dengan kata lain dapat merongrong integritas suatu bangsa (4).

Beberapa fenomena di atas kiranya cukup menjadi alasan yang kuat untuk melakukan
reformasi pendidikan dalam berbagai bidang. Jika pendidikan di negara-negara maju yang
telah memberikan banyak kontribusi positif untuk kehidupan manusia di seluruh dunia
tidak lepas dari pembaruan dari waktu ke waktu, maka pendidikan di Indonesia yang pada
masa belakangan ini masih belum menemukan format yang produktif tentunya sangat
mendesak sekali untuk diperbaharui.

Beberapa Faktor Penyebab

Sesungguhnya asap tidak akan ada kalau tidak ada api. Begitu juga sesuatu tidak akan
terjadi tanpa ada sebab. Fenomena yang kita paparkan di atas sangat pasti ada
penyebabnya. Kita akan coba melihat secara ringkas beberapa faktor yang kemungkinan
besar menjadi penyebabnya:

1. Kemampuan ilmiah

Yang kita maksud kemampuan ilmiah di sini adalah kapabilitas seseorang untuk melakukan
sebuah aktifitas yang memenuhi syarat-syarat ilmiah. Seperti penguasan terhadap
metodologi riset, perangkat-perangkat riset baik yang berupa perangkat lunak (software)
seperti referensi maupun perangkat keras (hardware) seperti mesin dan sebagainya. Semua
komponen ini jarang terpenuhi karena faktor ekonomi, waktu dan kesempatan dan skill
para sarjana dalam menggunakannya. Disamping itu kemampuan dan minat baca rakyat
Indonesia secara umum masih sangat rendah dan jauh dari rata-rata. Indonesia masih
termasuk negara yang paling rendah dalam mengkonsumsi buku pertahunnya. Padahal
membaca adalah salah satu faktor yang paling urgen dalam kemampuan ilmiah seseorang.
Belum lagi harga buku yang relatif sangat mahal yang menjadi penghalang terwujudnya
masyarakat yang minat bacanya tinggi.

Itu yang berkaitan dengan kemampuan ilmiah, sementara itu yang berkaitan dengan krisis
moral besar kemungkinan adalah tipisnya nilai-nilai moral dan akhlak dalam diri
mahasiswa tersebut. Karena kebanyakan mereka sudah tidak lagi mendapatkan pendidikan
moral yang memadai pada jenjang pendidikan yang semakin tinggi. Sementara gerogotan
dari luar terhadap moral mereka sangat gencar sekali, seperti koran, majalah, radio dan
televisi dan lingkungan tempat mereka berinteraksi. Sehingga seseorang lebih menjadi
murid lingkungannya dibanding murid sekolahnya.

2. Kesempatan

Kebanyakan para mahasiswa atau sarjana terlanjur sibuk dengan banyak aktifitas rutin
harian yang menyita hampir seluruh waktu yang dimilikinya. Sehingga sangat sulit untuk
mencari peluang dan kesempatan untuk mengembangkan kemampuan ilmiahnya. Apalagi
peluang untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi tidaklah mudah.
Persaingan dan biaya yang tinggi sering penjadi penghalang dihadapan para sarjana untuk
melanjutkan studi mereka. Sementara itu peluang untuk mengganti spesialisasi lain ataupun
menambah spesialisasi lebih dari satu baik di tingkat S1 maupu ditingkat S2 dan S3 sangat
kekecil kemungkinannya karena batasan umur yang mengikat, biaya yang mahal dan
peraturan yang kurang mendukung. Kalau kita bandingkan dengan kondisi di Mesir
misalnya, banyak sekali mahasiswa yang belajar pada tingkat S1 di suatu bidang, tapi ia di
bidang yang lain sudah S3 atau S2. Atau adanya mahasiswa yang menyandang lebih dari 5
gelar S2 tapi masih mau mengambil spesialisasi yang lain di tingkat S1 atau S2.

3. Faktor ekonomi

Kondisi ekonomi rakyat baik sebelum krisis apalagi setelah krisis merupakan faktor yang
dominan yang menyebabkan timbulnya fenomena di atas. Apalagi pendidikan telah
menjadi ladang bisnis yang menggiurkan. Sehingga banyak konglomerat menginvestasikan
uangnya di bidang ini. Sementara itu anggaran pendidikan nasional tidak mampu mengatasi
problema ini karena jumlahnya yang masih jauh dari cukup. Maka kita lihat semua sarana
pendidikan milik pemerintah mulai dari tingkat SLTP sampai perguruan tinggi tidak ada
yang gratis. Apalagi yang milik swasta. Padahal kalau dibandingkan dengan Sudan yang
lebih miskin dari kita malah mampu menyediakan pendidikan gratis bagi rakyatnya.

Gejala di atas berakibat banyaknya rakyat yang tidak mendapatkan pendidikan sampai
ketingkat yang lebih tinggi. Kalaupun ada, kebanyakan hanya bertahan sampai jenjang S1.
Rata-rata terbentur oleh kondisi finansial mereka yang sangat tidak mendukung. Padahal
dari segi kecerdasan banyak yang potensial.

4. Faktor politik

Dalam masa orde baru ada kecendrungan para penguasa untuk mempolitisir pendidikan
demi kesinambungan kekuasan mereka, dengan mengabaikan kemajuan rakyat. Contoh
sederhana dapat kita lihat pada penanaman nilai-nilai nasionalisme. Nasionalisme perlahan-
lahan berubah dari loyalitas kepada bangsa menjadi loyalitas kepada penguasa betapa pun
jeleknya. Slogan nasionalisme dijadikan alat untuk menekan dan mengelabui rakyat.
Padahal mereka yang berkoar-koar dengan slogan nasionalisme tersebut tidak jarang
merekalah orang yang paling tidak nasionalisme. Terbukti setelah runtuhnya rezim orde
baru terungkap berbagai bentuk penyelewengan harta dan kekayaan bangsa, baik dalam
bentuk korupsi, kolusi maupun nepotisme. Kalau seandainya semua harta yang dipegang
oleh "bandit-bandit" nasionalisme tersebut niscaya akan sangat mencukupi untuk
menanggulangi krisis yang berlarut-larut sekarang ini, bahkan bisa berlebih. Semakin
semrawutnya masalah ini sampai sekarang menjadi bukti berikutnya bahwa sebenarnya
mereka tidak memiliki nasionalisme sama sekali melainkan egoisme belaka.

Contoh lain dari mempolitisir pendidikan adalah adanya mata pelajaran yang pada intinya
pengulangan dari mata pelajaran yang lain, seperti PSPB yang seharusnya sudah cukup
dengan pelajaran PMP dan sejarah. Namun karena pelajaran tersebut menguntungkan
penguasa maka harus dipelajari.

5. Sistem penerimaan mahasiswa baru

Sistem pendidikan di Indonesia sebenarnya sudah cukup baik dibandingkan dengan


sebagian negara ketiga lainnya. Seperti pemakaian sistem SKS disemua perkuliahan
merupakan sebuah nilai positif. Masih banyak negara-negar ketiga yang belum mampu
merealisasikan sistem ini. Namun ada sedikit kekurangan yang menyangkut sistem
peneriamaan mahasiswa baru. Karena sering sistem ini yang menyebabkan tidak masuknya
siswa/siswi yang bernilai agak bagus ke perguruan tinggi (PT) negeri. Akibat selanjutnya
PT swasta menjadi solusi. Namun kondisi inilah yang menyebabkan pendidikan menjadi
ladang bisnis. Apa artinya diadakan EBTANAS untuk siswa kelas 3 SMU kalau setelah itu
mereka harus ikut ujian lagi untuk masuk PT? Kenapa nilai EBTANAS murni mereka tidak
dijadikan sebagai standar penerimaam mahasiswa baru?. Apabila siswa yang bernilai
rendah banyak yang berhasil lolos sebaliknya yang bernilai di atas rata-rata tidak masuk,
maka akibat berikutnya tentu dapat diduga yaitu ketidak mampuan untuk melanjutkan
ketingkat yang lebih tinggi disamping juga prestasi studinya yang kurang memuaskan.

Reformasi Pendidikan dalam Tantangan Modernitas

Uraian di atas mengantarkan kita kepada perlunya reformasi dalam pendidikan Indonesia.
Karena bangsa kita tidak saja dihadapkan kepada masalah-masalah internal, tetapi juga
tantangan eksternal untuk dapat terus mengiringi kemajuan zaman. Bahkan seharusnya
tidak saja mengiringi, tetapi ikut andil dalam modernisasi kehidupan manusia. Oleh sebab
itu reformasi (pembaharuan) yang diinginkan hendaklah memiliki orientasi yang jelas.
Bukan dengan menggunakan politik tambal sulam yang selama ini sering diperankan oleh
siapa saja yang menjadi menteri pendidikan. Sehingga berkibat compang-campingnya
pendidikan Indonesia. Pada kesempatan ini penulis memberikan beberapa ide yang
mungkin dapat dipertimbangkan dalam mereformasi pendidikan Indonesia.

1. Pohon pendidikan bukan jenjang pendidikan

Dalam dunia pendidikan kita mendengar istilah jenjang pendidikan (Educational Ladder)
yaitu tangga atau tingkat yang harus dilalui seseorang dalam menggeluti pendidikan secara
berturut-turut. Sistem ini memiliki permulaan yang terbatas, kemudian lanjutan yang
terbatas dan ujung yang terbatas juga. Contohnya mulai dari SD, kemudian SMP, lalu
Jurusan fisika (IPA) di SMU, selanjutnya fakultas tekhnik di perkuliahan dan seterusnya.
Dan akan berakhir pada satu titik (puncak tangga). Tidak ada peluang dengan sistem ini
untuk mengembangkan diri kebagian yang lain. Karena ia berurutan seperti tangga. Sistem
semacam ini perlu ditinjau kembali. Karena ia sangat tidak relefan dengan perkembangan
zaman serta kemajuan ilmu dan teknologi.

Untuk mengikuti tuntutan zaman sistem ini sudah semestinya diganti dengan sistem yang
lebih fleksibel dan membuka peluang untuk selalu maju dan berkembang. Sistem yang
cocok sebagai alternatif adalah sistem Pohon Pendidikan (Educational Tree). Sesuai dengan
namanya sistem ini seperti sebuah pohon yang memiliki beberapa unsur yang
menjadikannya layak dikatakan sebagai sebuah pohon yang rindang dan berdiri kokoh
diatas tanah yang kuat. Unsur tersebut adalah:

1. Tanah yang subur


2. Batang pohon yang kokoh dan menghujam jauh ke dalam tanah
3. Cabang pohon yang bisa tumbuh di mana saja dan dalam jumlah yang tidak
terbatas.
4. Dahan dan ranting yang juga dapat tumbuh di bagian mana saja dari pohon.

Pengertiannya adalah sebatang pohon pendidikan memiliki hubungan yang sangat kuat dan
erat dengan tanah, kemudian dapat terus tumbuh dan berkembang tanpa batas yang berarti
pertumbuhan yang berkesinambungan yang selalu tumbuh dan bergerak secara dinamis tak
ubahnya seperti makhluk hidup, dan ia terdiri dari batang yang satu yaitu pendidikan dasar
yang harus dilalui oleh setiap orang, kemudian terdiri dari cabang dan ranting yang banyak
sekali yang memungkinkan bagi siapa saja untuk bergantung di cabang dan ranting tersebut
sesuai dengan kemampuan dan kecenderungan yang dimiliki, kemudian ia memiliki
keistimewaan peluang yang tak terhingga untuk tumbuh dan berkembang, dalam waktu
yang sama juga terbuka peluang untuk pindah dari satu cabang kecabang yang lain dan dari
satu ranting ke ranting yang lain tanpa batasan umur dan tan pa memandang latar belakang
pendidikan sebelumnya.

Secara ringkas pengertian sistem ini dalam pendidikan adalah sebagai berikut:

a. Tanah yang subur

Ia merupakan sumber dan tempat berdirinya semua proses pendidikan yang


menggambarkan suatu bangsa dan negara. Dari padanyalah batang pohon mengambil
segala makanannya. Apabila tanahnya subur dan memiliki komponen-komponen yang
sehat dan kuat maka batang pohon tersebut juga akan menjadi kuat dan kokoh. Begitu juga
sebaliknya, pohon akan keropos apabila tanah tempat erpijaknya banyak memgandung
racun, penyakit virus dan sebagainya. Oleh sebab itu didalamnya harus terdapat agama,
falsafah hidup, adat kebiasaan yang baik, dan wawasan kebangsaan (nasionalisme) dengan
arti yang sebenarnya. Semua unsur ini harus menjadi inti dan prioritas dalam membuat
sebuah kurikulum pendidikan dasar. Dengan menjadikan semua unsur di atas sebagai
bagian terpenting dalam pembuatan kurikulum, maka berarti pohon pendidikan tersebut
telah mengambil makanannya dengan lengkap. Sebaliknya mengabaikan salah satu dari
unsur di atas berarti pohon tersebut akan sangat mudah diserang penyakit dan hama, tidak
akan berbuah, atau buahnya dimasuki ulat, atau buahnya pahit dan tidak tertutup
kemungkinan akan mati seketika.

Dengan konsep ini penulis menekankan bahwa pelajaran agama mesti menjadi pelajaran
wajib bagi setiap siswa pendidikan dasar, dan harus dalam persentasi yang proposional,
bukan pelajaran tambahan tapi menjadi syarat lulus dalam ujian dan dengan nilai minimal
yang lebih tinggi dari mata pelajaran lainnya. Pelajaran agama yang hanya dua jam dalam
sepekan dan hanya satu mata pelajaran di semua sekolah pemerintah sangatlah tidak
proposional. Karena sama artinya dengan mencabut atau memisahkan batang pohon dari
tanahnya. Penulis tidak bermaksud hanya untuk agam Islam, tapi semua agama yang resmi
di Indonesia. Setiap siswa/siswi harus mempelajari agamanya dengan baik semenjak
pendidikan dasar.

b. Batang pohon

Batang pohon adalah pendidikan dasar yang harus dilalui oleh setiap warga negara. Dalam
aplikasinya adalah pendidikan dari usia sekolah (6 tahun) sampai usia 15 tahun atau yang
populer dengan nama tingkat SD dan SLTP (usia wajib belajar). Karena batang adalah
bagian pertama dari pohon yang menghujam lansung ke tanah maka pendidikan di masa ini
harus berangkat dari tanah yang sama. Artinya kurikulum di tingkat ini harus sama. Dengan
pengertian tidak ada lagi istilah sekolah agama dan sekolah umum. Semua harus menjadi
sekolah agama dan umum, mempelajari kurikulum yang sama. Bagi yang beragama Islam
harus mempelajari agamanya dengan porsi yang lebih banyak dari apa yang dipelajari
sekarang. Begitu juga yang beragama Kristen, Hindu dan Budha. Masing-masing harus
mengenal agamanya dengan baik dan matang. Dengan cara ini semua warga negara
memiliki wawasan beragama yang matang dan mantap yang semakin memperkecil konflik
antar agama. Karena semua agama mengajarkan kebaikan, walaupun tentunya penulis
sebagai seorang muslim harus tetap komitmen dengan Islam yang dianut. Dan penulis
melihat pada level ini tidak ada lagi yang namanya pesantren atau ibtidaiyah, karena semua
telah mempelajari agama dengan baik dan lengkap dengan kurikulum yang baru.

c. Cabang pohon

Dengan kondisi Indonesia yang sekarang ini yang membutuhkan perbaikan di segala
bidang dengan biaya yang seminim mungkin dan perlunya menyediakan tenaga terampil
yang murah sebanyak-banyaknya, maka penulis melihat mulainya cabang pohon dari
tingkat SLTA. Artinya pada level ini siswa sudah mulai kepada spesialisasi yang
memungkinkan mereka untuk lansung terjun ke medan kerja seandainya tidak mampu
melanjutkan pendidikannya. Pada kondisi ekonomi yang mapan dan stabil bisa saja cabang
pohon baru di mulai pada tingkat perkuliahan.

Untuk mengaplikasikan hal ini penulis mengusulkan dibuatnya SLTA yang integral dalam
satu jenis disiplin ilmu. Dimana SLTA tersebut mencakup beberapa spesialisasi yang
hampir sama. Contohnya SLTA IPA, SLTA Sosial, SLTA tekhnik, SLTA Agama dan lain
sebagainya.. Bentuknya hampir sama dengan jurusan yang ada sekarang di SMU dan STM,
tapi lebih menjurus dan mendalam. Setamatnya dari pendidikan ini siswa dapat memilih
antara melanjutkan atau lansung terjun ke lapangan kerja, karena mereka sudah memiliki
ketrerampilan yang memadai. Bahkan ini juga peluang untuk memperbaiki mutu dan
kapasitas tenaga kerja Indonesia, baik di dalam maupun yang dikirim ke luar negeri sebagai
TKI, dan mereka telah terampil dan harganya tidak terlalu mahal yang membuka peluang
banyaknya negara asing yang mengontrak mereka (dari pada kita hanya mampu mengirim
pembantu dan cleaning servis).

Pada tingkat inilah peluang untuk membuat pesantren yang merupakan SLTA Agama.

d. Dahan dan ranting

Pada level ini setiap orang memiliki peluang untuk masuk tanpa batasan umur, yang
penting memenuhi syarat-syarat ilmiah. Sehingga siapa saja dapat memperluas wawasan
dan kemapuannya sesuai dengan keinginan dan kesempatan yang dimilikinya. Dengan
sistem ini seorang ahli ekonomi bisa saja masuk fakultas syariah di sebuah universitas, atau
seorang sarjana kedokteran mengambil spesialisasi lain dibidang arsitektur dan seterusnya.
Karena diantara keistimewaan dahan dan ranting adalah dapat tumbuh di mana-mana di
batang pohon dan siapa saja dapat berpindah-pindah dari satu dahan ke dahan yang lain dan
dari satu ranting ke ranting yang lain (5)

2. Integral bukan parsial

Pembaharuan yang diharapkan hendaklah pembaharuan yang integral bukan parsial. Karena
pembaharuan parsial tidak obahnya dengan tambal sulam, akibatnya pendidikan Indonesia
menjadi compang-camping. Apalagi kalau memang ingin merealisasikan sistem pohon
pendidikan seperti yang penulis gambarkan di atas

Oleh sebabitu pembaharuan harus mencakup semua segi pendidikan, baik dari segi tujuan
pendidikan, kurikulum dan mata pelajaran, teknis dan metode serta srategi pengajaran,
sarana dan fasilitas pendidikan, sistem evaluasi dan lain sebagainya. Pada kesempatan ini
penulis menekankan perlunya pengembangan proses pendidikan dengan menggunakan
tekhnologi pendidikan. Disini tidak cukup dengan adanya internet di sebuah sekolah (baik
SLTP ataupun SLTA dst) tapi bagaimana agar kemajuan teknologi tersebut betul-betul
dalam rangka mendukung proses belajar dan mengajar.

Disamping itu untuk mendukung penerapan sistem pohon pendidikan penulis melihat
perlunya perubahan pada model atau tipe universitas yang ada. Model yang ada sekarang
adalah sebuah universitas terdiri dari beberapa fakultas yang mewakili sebuah spesialisasi
besar, kemudian fakultas tersebut terdiri dari beberapa jurusan yang merupakan spesialisasi
yang lebih kecil lagi. Kondisi ini kurang mendukung untuk pelaksanaan sistem pohon
pendidikan. Akan sangat ideal apabila fakultas yang ada berubah menjadi universitas.
Artinya universitas tersebut hanya terdiri dari satu spesialisasi induk, maka akan muncul
universitas kedokteran, universitas tekhnik, universitas syariah dan seterusnya.

Model semacam ini telah diterapkan dengan sukses di Jepang seperti: Universitas Studi-
Studi Asing Osaka, Universitas Perdagangan Otaro,Universitas Kedokteran dan Kedokteran
Gigi Tokyo, Universitas Pertanian Tokyo dan lain sebagainya. Di Prancis Universitas
Sorbon di pecah menjadi 13 universitas sesuai dengan spesialisasi yang ada. Begitu juga di
negara-negara maju lainnya seperti: Amerika, Jerman, Australia dan Austria, sistem ini
telah diterapkan dengan baik sekali (6).

3. Kerja bukan teori

Sejalan dengan ide pembentukan SLTA yang integral serta sistem pohon pendidikan maka
orientasi pembaharuan haruslah kepada kerja bukan kepada berapa banyak yang teori yang
dipelajari. Karena kenyataan menunjukkan banyaknya mata pelajaran yang dipelajari di
satu tingkat, lalu pada tingkat berikutnya pelajaran tersebut tidak ada gunanya sama sekali,
atau belum bisa di bawa ke lapangan kerja. Bahkan ini terjadi dalam bidang yang hampir
sama. Contohnya seorang siswa yang belajar di jurusan IPA di SLTA mempelajari
beberapa mata pelajaran yang kalau mereka melanjutkan ke jurusan yang sama pada tingkat
perkuliahan, pelajaran tersebut tidak ada gunanya bagi mereka atu lebih detail lagi tidak
dapat mereka praktekkan ketika mereka masuk ke lapangan kerja. Sehingga sudah
merupakan fenomena umum apabila seorang sarjana tekhnik yang baru bekerja di sebuah
perusahaan tekhnik harus melalui beberapa kursus dan training baru dapat bekrja dengan
semestinya pada perusahaan tersebut. Apa gunanya empat tahun atau lebih kuliah di fak.
Teknik lalu ketika masuk bekerja belum dapat langsung bekerja?

Oleh sebab itu pembaharuan pendidikan harus mengarah kepada pembentukan tenaga-
tenaga terampil yang siap pakai dalam berbagai disiplin ilmu. Target ini menghendaki
adanya kolerasi antara apa yang dipelajari di bangku perkuliahan dengan kenyataan yang
ada di lapangan kerja. Kalau perlu setiap perusahaan besar (BUMN misalnya) seharusnya
membuat SLTA dan perkuliahan tersendiri yang mampu melahirkan tenaga-tenaga terampil
di perusahaan tersebut. Sehingga betul-betul ada jalinan yang kuat antara pendidikan dan
kerja.

4. Mengurangi tekanan internal dan eksternal

Seharusnya pendidikan terbebas dari tekanan-tekanan internal dan eksternal, agar


pendidikan betul-betul untuk mendidik dan untuk mencerdaskan bangsa. Bukan untuk
kemaslahatan pihak-pihak tertentu ataupun untuk kepentingan penguasa. Dengan
kebebasan pendidikan dari segala tekanan luar dan dalam, persatuan dan kesatuan bangsa
dapat terwujud. Karena rakyatnya memiliki tingkat ilmu pengetahuan yang hampir sama
dan merata, sehingga tidak ada satu pihakpun mampu mengelabui pihak lain yang lebih
bodoh.

Diantara bentuk tekanan internal sebagai contoh adanya sekolah yang di bawah kontrol
departemen pendidikan, lalu yang lain di bawah kontrol departemen agama, kemudian yang
satu lagi dibawah departemen pertahanan dan keamanan, dan yang lain lagi di bawah
departemen kepemudaan. Kondisi ini hanya akan menyebabkan perbedaan bentuk wawasan
dan cara berfikir yang pada kemudian hari merupakan faktor pemicu pertikaian. Dengan
menyatukan kurikulum pada tingkat wajib belajar (6-15 tahun) maka kesatuan wawasan
dan pemikiran akan semakin terjaga.

Adapun faktor eksternal adalah tekanan-tekanan pihak luar untuk menerapkan satu sistem
tertentu dalam pendidikan Indonesia. Karena bagaimana pun juga negara dan bangsa
Indonesia memiliki wawasan, adat kebiasaan, pola hidup yang jelas tidak sama dengan
negara lain yang memaksakan satu sistem tersebut.

5. Prioritas skill pendidikan

Sebagaimana yang telah diisyaratkan di atas, setiap orang yang terjun kedunia mendidik
haruslah memiliki spesialisasi pendidikan. Apapun yang menjadi spesialisasinya, namun
bila ingin menjadi guru atau dosen maka hendaklah lebih dulu mempelajari ilmu-ilmu
pendidikan. Ide ini dapat direalisasikan dengan membuka diploma pendidikan, sekurang-
kurangnya satu tahun dan selama-lamanya dua tahun. Setiap sarjana S1 yang akan
mengajar di SLTA misalnya harus mengambil diploma pendidikan satu tahun. Dan yang
akan menjadi dosen harus mengambil diploma dua tahun. Dengan cara ini tingkat
kemahiran dan wawasan seorang guru dalam mengajar dapat ditingkatkan dan selanjutnya
prestasi siswa/mahasiswanya juga akan lebih baik.

6. Perbaikan status sosial guru

Di Indonesia gaji guru di tingkat SD, SLTP dan SLTA sangatlah minim dibandingkan
dengan seorang dosen. Padahal tugas dan usaha yang harus mereka lakukan lebih urgen.
Karena dari peran merekalah diharapkan lahirnya warga negara yang berloyalitas tinggi
kepada bangsa dan negara, berkemauan keras untuk maju. Dan pada hakekatnya merekalah
yang menjadi batang pohon. Sementara pendidikan di tingkat universitas adlah dahan dan
ranting. Apabila dahan dan ranting patah, pohon masih akan berpeluang untuk hidup. Tapi
apabila batangnya yang patah dan keropos maka pohon akan mati dan dahan beserta
rantingnya tidak akan dapat berbuat apa-apa.

Penulis melihat kiranya Indonesia perlu melihat dan meniru sistem Jepang yang sangat
berhasil. Di Jepang piramida gaji para tenaga pengajar di berbagai jenjang pendidikan
terbalik dari piramida yang biasa. Dimana gaji yang paling tinggi adalah guru-guru pada
tingkat pendidikan dasar, kemudian menengah, atas dan seterusnya. Sehingga pendidikan
dasar mereka sangat kuat, karena gurunya betul-betul berkonsentrasi dan mengerahkan
segala kemampuannya untuk mendidik.

Tentunya pada waktu sekarang ini kurang ideal bagi negara kita untuk mewujudkan hal
tersebut, tapi kita harus mengacu kearah itu secara perlahan-lahan. Dari sekarang sudah
seharusnya di mulai dengan menjadikannya sama atau di bawah sedikit dari gaji seorang
dosen.

Penutup

Di akhir tulisan ini penulis mengakui bahwa ide-ide yang telah di sampaikan membutuhkan
sebuah riset yang detail dan terperinci dan harus dilakukan para pakar yang berkompeten
dalam hal ini dengan syarat semua beri'tiqad baik untuk kemajuan bangsa dan negara
Indonesia, terlepas dari tekanan internal dan eksternal. Walaupun mungkin ada diantara
ide-ide tersebut yang kurang relevan dan signifikan dengan realita bangsa Indonesia,
penulis yakin bahwa sesuatu yang sulit untuk direalisasikan sebagian besarnya, tidak mesti
ditinggalkan keseluruhannya. Semoga Allah SWT memberi kita taufiq dan hidayah-Nya.

You might also like