You are on page 1of 13

Proses Pendidikan di Dunia Islam

Menyambut Gejolak Sains & Teknologi


Oleh Budiman Musthopa, Lc.

Kemajuan sains dan teknologi yang sangat pesat mempunyai dampak yang serius
dalam berbagai segi kehidupan. Dampak itu menuntut kita agar menentukan sikap
yang tepat dan sesuai dengan nilai 'insaniyatul -insan' dengan menciptakan three
balance; ruh, akal (rasio) dan jasad. Ketiga unsur tersebut merupakan integritas
utuh (setali seikat) yang menolak tindakan dikotomi. Jika benar dikotomi itu
terjadi, maka akan hadir karakteristik keilmuan yang justru semakin
dipertanyakan timbangan komitmennya ; komitmen ilmiah, komitmen moral dan
komitmen spiritual. Dan akhirnya kita semakin yakin dan optimis bahwa profil
yang demikian akan kewalahan mengantarkan ummat ketingkat mature of
civilization yang bisa dipersaksikan (syuhada 'ala naas) proyek kerjanya. Tidak
ada yang mengingkari bahwa gejolak sains juga ikut meramaikan khazanah
peradaban manusia, baik dalam format teori atau karya kemanusiaan. Namun
karena ia adalah amal manusia maka tidak lepas dari evaluasi. Dalam sebuah
kesempatan Dr. Munawar Ahmad Anees, seorang pakar biologi yang telah banyak
menulis tentang masalah-masalah etika dan moral dalam bidang sains dan
teknologi, mencoba mengevaluasi fenomena ini mengatakan "... kemudian
diterjemahkan dalam tindakan sosial, maka masyarakat apakah yang akan
terbentuk?"

Benar apa yang diungkapkan beliau bahwa potret-potret peradaban pada zaman
interplaniter ini belum bisa mewakili idealisme kemanusiaan yang kita harapkan.
Negara sosialis dan kapitalis yang notabene beraliansi material dan menerapkan
praktek sekularisme, mulai berguguran menunggu lahirnya pelaku baru. Kondisi
mereka telah disinyalir oleh QS. Al Nahl:26 "Maka Allah Swt hancurkan sendi-
sendi dan fondasi bangunan mereka dan runtuhlah atap bangunannya serta
hancurlah apa yang mereka bangun, kemudian datanglah adzab kepada mereka
tanpa mereka rasakan."
Sebagai reformasi orientasi pendidikan sains, khusus untuk dunia Islam, maka
Ismail Roji al Faruqi beserta kawan-kawannya di IIIT mencoba mencipta kilas
balik dalam bentuk Proyek Islamisasi Pengetahuan yang dimulai dari
pembenahaan dan penataan kembali pola berfikir ummat Islam. Reorientasi
pendidikan sains dirasa sangat perlu mengingat sains merupakan salah satu
perangkat terpenting untuk maju dan bangkit.

Tentang Visi Pendidikan Islam

Pendidikan ibarat sebuah rahim yang didalamnya terdapat gen-gen dengan


komposisi yang rapi dan dengan segala benih-benih kapabilitas yang ada. Ia juga
merupakan sebuah iklim yang memenuhi syarat untuk memelihara dan
menumbuh-kembangkan segala potensi dan kapabilitas yang diperlukan oleh
masyarakat yang terpendam pada setiap individu. Maka dari itu perlu adanya
usaha penggalian potensi, pengarahan (orientasi) dan perencanaan yang baik.
Dikarenakan masih terlalu banyak pos-pos yang kosong yang sangat
membutuhkan sebuah profesionalisme (spesialisasi kerja). Dan agaknya memang
disini kelemahan kita, kurang berani mengeksploitasi sumber daya, kemudian
mengarahkannya kebidang dunia spesialisasi. Kemudian perlu diyakini bahwa
proses pendidikan adalah kerja kombinasi, tidak bisa berdiri sendiri. Tidak
mungkin ada orang yang berbicara tentang pendidikan tanpa memiliki kecakapan
yang cukup dalam bidang agama, sirah (sejarah hidup Nabi Saw) dan sejarah
Islam. Karena pada hakekatnya ia merupakan sebuah konfigurasi dari berbagai
spesialisasi dan dari rahimnya akan terlahir produk pendidikan. Tanpa adanya
faktor-faktor ini tidak mungkin akan terjadi sebuah kelahiran, karena 'rahim'
pendidikan saat itu sudah masuk fase 'monophause'.(1) Kita juga terhenyak ketika
Amerika, sebagai policy tunggal dunia dan mendahului Uni Soviet berlayar ke
angkasa luar, menemukan sebuah tantangan besar yaitu rusaknya UU pendidikan
dan pengajaran serta mengalami defisit sumber daya manusia (para inovator) yang
kapabel. Maka dibentuklah sebuah komite yang spesifik menangani fenomena
bahaya ini yang mereka sebut dengan "Ummat yang dilanda Krisis." Karena
rusaknya UU yang mengatur pendidikan dan pengajaran. Bahkan Presiden George
Bush (dahulu) dalam setiap kampanye selalu mengatakan bahwa ia akan menjadi
tokoh pendidikan dan pengajaran. Bahkan Robert D Hormats, ahli dan
penanggung jawab bidang ekonomi AS, ketika ditanya tentang problem ekonomi
AS yang paling urgen mengatakan: "Bahwa UU pengajaran belum mendapat
perhatian yang cukup," (koran Al Bayan 10/11/1990).

Lebih lagi Prof. Alan Slome, dosen pengajar di Chicago, membeberkan secara
gamblang dalam salah satu bahasan dibukunya yang banyak tersebar dengan tema
"Intelektualitas Bangsa Amerika yang Tumpul," yang pada tahun 1988 banyak
meributkan kalangan civitas akademika AS tentang tertutupnya 'kebebasan' bagi
kalangan pendidikan tingkat tinggi dan gagalnya sekolah serta perguruan tinggi
dalam menanamkan pengetahuan dasar kepada peserta didik, beliau
mengatakan:"Lembaga-lembaga pendidikan saat ini sedang ditimpa penyakit
kelesuan berfikir, sehingga akibatnya hanya melahirkan generasi yang jauh dari
karakter sense of civilization (rasa peradaban)."(2)

Jadi, pendidikan yang sebenarnya adalah yang mampu mengkoordinasikan segala


keinginan, menggali segala potensi, mengenali kapabilitas dan kecenderungan
yang ada, kemudian membekalinya dengan ketrampilan sehingga mampu
berinteraksi dengan realita yang ada dan ikut bangkit mencapai idealisme dan
sasaran-sasaran yang memungkinkan untuk di capai.(3) Ini merupakan tujuan
pendidikan secara umum, adapun pendidikan Islam sendiri kiranya tidak jauh dari
kenyataan pahit semacam itu. Semboyan bahwa risalah Islam itu abadi dan
relevan di setiap waktu dan tempat kiranya perlu diterjemahkan secara intensif
dalam kerja pendidikan dan pengajaran.

Tidak seringnya kita mengulang-ulang semboyan itupun juga tidak akan


mengurangi bahwa Risalah Islam abadi dan selalu relevan. Kondisi pendidikan
Islam saat ini yang kurang mampu mencetak profil yang ideal diantaranya karena
kita selalu berdalih dengan keabadian Risalah (Khulud al Risalah) yang
mengesankan tidak ada kilas balik dari ummat ini. Kemudian juga karena pikiran
kita yang mengklaim bahwa sarana-sarana pendidikan itu harus 'Islami' masih
sangat terbatas penafisrannya, dan perlu pengkayaan kembali maknanya dan
pengembangannya hingga mampu menjad 'syuhud al had hari' dan sesuai dengan
sifat khulud al risalah.(4) Karena memang benar adanya bahwa: "Al bayan minal
sama wa al dalil mina al ardh," (penjelasan/juklak itu dari langit, adapun
pembuktian dalam kerja dari bumi).

Kemudian visi pendidikan tentang ilmu pengetahuan juga perlu dievaluasi dan
diperkokoh jika memang telah benar. Sebab ilmu sendiri merupakan sarana yang
mengantarkan manusia untuk membangun sebuah peradaban yang lebih matang.
Bangunan ideal yang diharapkan tegak itu tidak akan eksis kecuali jika subyek
pembangunan itu sendiri menempatkan dirinya secara profesional sebagai mana
yang diharapkan Islam dalam memandang sarana tersebut. Yang perlu ditekankan
lagi dalam proses pendidikan Islam bahwa hubungan antara ilmu dan iman adalah
hubungan yang dibina secara dinamis dan bukan dua kutub yang paradoksal. Visi
yang keliru tentang hubungan antara ilmu dan iman memang pernah merebak luas
di benua Eropa pada abad-abad pertengahan. Ketika itu lembaga spiritual gerejani
mandul dalam memegang perannya, berbalik mendukung pemahaman khurafat
dan memerangi ilmu pengetahuan. Selain itu juga menciptakan kondisi yang
jumud (ortodox) dan taklid, memborgol kebebasan berpikir dan berkarya. Mereka
bahu-membahu dengan para tuan tanah dan penguasa menciptakan jurang
pemisah antara mereka dan masyarakat marginal. Semboyan yang mereka agung-
agungkan adalah: "Iman dahulu baru ilmu (berpengetahuan)," atau "Berkeyakinan
dengan apa adanya (dalam kondisi buta)," dan semboyan yang disambung lewat
lidah pastur:"Pejamkanlah matamu kemudian ikutilah aku." (5)

Adagium-adagium seperti ini sangat tidak sejalan dengan semangat Islam yang
mempunyai konsep ilmiah dalam segala aksi-aksi menolak keyakinan (aqidah)
berdasarkan taklid buta, seperti yang telah disitir dalam QS Al Maidah:104.
"Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati dari bapak-bapak kami
mengerjakannya," dan QS Al Ahzab:67:"Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami
telah mentaati pemimpin dan pembesar kami," atau perkataan: " Sesungguhnya
diriku ini tergantung pada manusia." (6) Dan masih banyak lagi bantahan-
bantahan Al Qur'an tentang hal serupa sebagaimana ia menolak bahwa tidak
cukup bagi seorang muslim hanya berakidah belaka tanpa 'Al Ilmu & al
Yakin,'(lihat QS al Nisa:157). Al Qur'an menempatkan 'al Ilmu al Haq' sebagai
penyeru dan petunjuk ke kawasan iman (lihat QS. Al Hajj:54). Ilmu yang benar
akan diikuti proses selanjutnya dengan iman, kemudian ia akan diikuti gerak hati
(wujdan) dengan tunduk dan khusyuk kepada Dzat Yang Maha Tinggi. Ilmu
merupakan dalil amal, sebagaimana ia juga dalil iman. Imam Bukhari juga turut
meletakkan konsep dasar keilmuan dalam bukunya "Al Jami al Shohih" beliau
mengatakan,"Ilmu ibarat pintu, sebelum berucap dan beramal." (7) Dalam arti
kecepatan kata dan tindakan seyogyanya tidak melebihi kualitas dan kuantitas
keilmuan seseorang, sehingga tidak terbentuk profil split personality (kepribadian
yang terpecah-pecah). Bahkan menurut Ibnu al Munir jika muatan kata dan
tindakan lebih berat ketimbang muatan ilmu maka ia dianggap sebagai
kepribadian yang tak bernilai. Dalam konsep Imam Bukhari dapat ditarik kesan
bahwa kekuatan ilmu apapun tidak akan memberikan keuntungan yang berarti
pada jajaran kemanusiaan jika tidak menyeberangi jembatan amal dan ini
merupakan Islam mainstream, sekaligus sebagai warning bagi mereka yang
mengabaikan urgensinya posisi ilmu dan menganggap remeh dalam proses
pencariannya. (8)

Dan kondisi ummat akan lebih terpuruk jika kawasan rasionalitas atau
intelektualitasnya di bawah kendali ideologi-ideologi yang bertolak belakang
dengan proyek rekonstruksi 'Insaniyatul-insan. Apalagi daerah-daerah yang
menyentuh lapisan aqidah. Sebab daerah tersebutlah yang menuntun manusia
dalam memandang wujud, kehidupan, tindakan manusia, situasi dan kondisi
sekitar, nilai/norma, etika, adat-istiadat dan dan semua substansi yang ada
korelasinya dengan kejiwaan manusia dan pola hidupnya. (9)

Maka dengan demikian pendidikan masyarakat (makro) tidak akan berhasil jika
tidak diperhatikan sarana efektif dan intensif pendidikan mikronya (keluarga dan
individu). Dan proses kematangan sosial akan lebih terhambat jika muncul,
berkembang dan dipelihara sikap otoritas pendidikan sosial oleh penguasa yang
diktator. Dan benar apa yang diriwayatkan dari Rasulullah Saw; "Pemimpin
kalian adalah cerminan dari kepribadian kalian." Jadi, penguasa dan pemimpin
tidak lain hanyalah barang warisan sebuah masyarakat (komunitas): pola pikirnya,
iklim pendidikannya dan pengetahuannya. Dengan demikian, berarti hubungan
antara individu dan jama 'ah (masyarakat) dalam proses pendidikan dan
pengajaran dimungkinkan sekali keduanya dalam satu waktu menjadi premis dan
outcome. Sebab kenabian, misalnya, tidak lain hanyalah gerakan individu-
individu yang merubah wajah masyarakat dan lingkungan. Akan tetapi yang
menjadi catatan penting bahwa gerakan pembaha ruan tidak mungkin berhasil
tanpa adanya pembinaan group (educational group). Maka semakin solid
perkataan yang berbunyi "Manusia tergantung kepada ideologi penguasanya."
Betapa banyak tindakan tirani seorang penguasa menular kepada rakyatnya,
mematikan ruh rakyat disebabkan bercokolnya faham Fir'aunisme pada diri
penguasa. (11)

Penguasa juga, dilain faktor, yang menentukan jarak imaginasi pada kepribadian
rakyat antara dunia dan akhirat. Sebab siapa yang mengerahkan suatu negara
beraliran sekuler, atheis, kapitalis, sosialis atau gado-gado, siapa lagi kalau bukan
penguasa?

Tentang Referensi Pendidikan Islam

Kalau poros pendidikan (central reference) hanya terpaku pada kemampuan


manusia, sementara kekuatan manusia --baik lahir maupun batin-- nisbi kemana
lagi akan disandarkan? Disinilah perlu merujuk kepada konsep penyatuan antara
kekuatan 'bayan samawi' dengan 'dalil ardhi', atau kekuatan 'al fikru' dengan
sumber 'al dzikru' (Allah Swt). Hal tersebut sangat urgen dikarenakan beberapa
alasan (12):

1. Agar tidak terjerumus kepada substansi-substansi yang lemah dan mengancam


tegaknya nilai-nilai 'insaniyatul-insan', dikarenakan keterbatasan pemahaman kita.
Rasulullah Saw mengingatkan agar kita: "Tidak menghancurkan Ka'bah kemudian
membangunnya." Padahal kaum Quraisy saat itu menginginkan agar ka'bah
dihancurkan kemudian dibangun oleh mereka, agar mereka bisa berkata bahwa
hanya mereka yang membangun ka'bah. Menurut Imam Bukhari hadits-hadits
menerjemahkan hadits ini dengan suatu bab yaitu "Bab orang yang meninggalkan
sebagian pilihan karena khawatir akan terbatasnya pemahaman sebagian manusia
tentang hal itu, sehingga mereka akan terjerumus pada realita yang lebih
membahayakan."

2. Agar tidak terjadi fenomena pemubadziran ilmu. Karena setiap disiplin suatu
ilmu ada pintu masuknya (ujungnya) dan ada pintu keluarnya ( ekornya). Ini
sejalan dengan konsep Imam Mawardi yang mengatakan: "Ketahuilah bahwa
setiap ilmu ada permulaannya (preambule) yang mengantrakan ke hulu suatu ilmu
dan pengantarnya yang menunjukkan pada hakekatnya. Maka hendaklah mereka
yang mencari ilmu memulai studinya dari permulaan agar sampai pada akhir. Dan
mulai dari pengantar suatu ilmu agar sampai pada hakikatnya. Janganlah mencari
'akhir' sebelum 'permulaan.' Begitu juga mencari hakikat sebelum pengantarnya,
sehingga 'akhir' tidak tercapai begitu juga hakikatnya. Karena sesungguhnya
bangunan tanpa fondasi tidak akan tegak berdiri. Dan mengharapkan buah tanpa
menanam tidak akan menuainya.

3. Agar ilmu tersebut tidak membuat peserta didik semakin menjauh dan menjaga
jarak dengannya, dikarenakan kita tidak menimbang kekuatan rasio mereka.(14)
Karena si pencari ilmu jika menjumpai suatu masalah yang tidak ia kuasai akan
mengakibatkan kerusakan keseimbangan (equibilirium), atau bahkan membuatnya
tersesat di tengah hutan belantara tidak mengetahui dimana ada jalan selamat.

4. Tidak terjebak pada gaya berpikir 'wah'. Karena jika para pemula yang telah
menyerap beberapa informasi ilmu pengetahuan kemudian tidak divisualisasikan
dalam amal, akan membuatnya terjebak menjadi tukang menjual teori. Mungkin
seperti filosof yang menolak konsekuensi iman.

5. Agar kita selamat dari tindak kesalahan. Karena, "Jika setiap orang
menceritakan segala hal yang ia dengar maka akan ditemukan banyak salahnya,
sehingga ia kaan ditinggalkan oleh manusia dan tidak dijadikan sandaran
perkataannya." (15)

6. Untuk menghindari adanya tindakan mengada-ada dalam agama (al Ibtida' fi al


din). Seperti berbicara kepada kaum awam yang tidak bisa dipahami dan tidak
rasional. Hal itu sering disebabkan karena seseorang tidak menapaki tangga-
tangga ilmiah di masa pencariannya, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam
Syatibi dalam bukunya Al I'tisham, sehingga orang tersebut dijauhkan pribadinya
dari kata-kata hikmah, bahkan kemungkinan besar menjadi fitnah.

7. Menjaga agar para penuntut ilmu tidak mencapai titik jenuh sehingga mereka
lari meninggalkan sumber ilmu, sekaligus hal tersebut akan mengurangi kharisma
seseorang. Luqman al Hakim mengabstraksikan kondisi ini dengan
berkata,"Sesungguhnya orang yang alim dan bijak ia akan mengajak manusia
kepada ilmunya dengan diam dan merendah diri, sedang orang yang alim tapi
pandir ia akan menjauhkan manusia dari ilmunya dengan memperbanyak igauan
dan pembicaraan yang tidak jelas arahnya."

8. Menghindari ketidak-seimbangan antara aktivitas ilmu dan aktivitas amal


(praktek). Pengalaman para alim yang bijak menunjukkan ketidak-senangan
(makruh) mereka jika terjadi ketidakseimbangan antara logika (manthiq) dan rasio
(akal). Sebagaimana yang dituturkan oleh Sulaiman Ibnu Abdul Malik,"Kelebihan
bobot logika atas rasio adalah penipuan. Dan kelebihan bobot rasio atas logika
adalah aib." Bahkan Ahnaf bin Qais mengatakan, "Kematian seseorang
tersembunyi di bawah lidahnya."

Sudah sejauh itu Islam telah mengantisipasi 'fitnah' yang akan terjadi jika muncul
fenomena yang tidak sejalan dengan semangat Islam. Langkah-langkah antisipasi
itu merupakan bingkisan Islam terhadap dunia pendidikan sehingga usaha
menciptakan pendidikan yang 'Rabbani-Oriented' (Rabbaniyat al Taklim). Hal
tersebut bertujuan mengembalikan posisi ilmu pengetahuan secara proporsional
dengan menyatukan unsur-unsur dalam (fitrah) manusia ; ruh, akal dan jiwa. Al
Qur'an telah memberikan sinyal-sinyal positif bagi para cendekiawan yang
berjuang dalam pengembaraan ilmu agar tidak masuk dalam kategori ilmuwan
(experts) yang hanya tahu dan peduli terhadap fenomena keduniaan dengan
mendeskreditkan permasalahan metafisik (akhirat/ghaib). (lih. QS al Rum:7).
Diharapkan juga mampu menempatkan diri pada posisi yang ideal yang mampu
menyatukan antara kekuatan fikir dan dzikir. Atau menyatukan proses natural
(ilmi) dengan supernatural (metafisik). Imam Syafi'i sendiri dalam kisah
perjalanan ilmiahnya membagi kehidupannya sehari-hari menjadi tiga bagian ;
sepertiga untuk aktivitas keilmuwan, sepertiga untuk ibadah (dengan cakupannya
yang universal) dan sepertiga untuk istirahat. Bahkan Al Rabi' menuturkan bahwa
Imam Syafi'i sendiri --rahimullah-- menamatkan bacaan Al Qur'annya pada bulan
ramadhan sebanyak 60 kali, semuanya pada waktu shalat (16), padahal begitu
deras dan tajam ujung pena beliau dalam menghasilkan karya-karya yang
monumental dan dijadikan pedoman dalam rujukan oleh semua ulama di dunia
Islam.

Kearah Strategi Pengembangan

Keabadian risalah dan penutup kenabian (Khatm al Nubuwah) merupakan


jaminan samawi yang memerlukan jaminan ardhi (tindak nyata dari bumi). Maka
perputaran roda peradaban tetap berjalan sesuai dengan sunnahnya, meskipun
ummat ini mempunyai jaminan samawi bahwa mereka akan memimpin
peradaban. Tapi bukankah hal itu juga dengan prasyarat 'in kuntum mukminin?'
(penterjemahan nilai-nilai iman dalam segala aspeknya). Aspek kausalitas inilah
yang sering dipendam dalam-dalam oleh kita, sambil berbangga bahwa kita
mempunyai 'guarantee' dari langit. Dengan demikian pada hakikatnya kitalah yang
mempunyai tanggung jawab mengemban konsep nubuwwah (al risalah) dengan
segala jaminan yang ada.

Diantara jaminan samawi yang disambung lewat lidah Rasulullah Saw, sebagai
stimulus umat ini untuk selalu mengupayakan aktivitas peradaban dan mencapai
sebuah kemajuan dan kebangkitan adalah perkataan beliau,"Ummatku tidak
berkumpul dalam hal kesesatan." Ia merupakan jaminan tekstual dan praktekal
bahwa ummat ini memiliki kemampuan untuk bangkit dan maju. Ini bukan berarti
tanpa hambatan dan tantangan. Diantara tantangan yang menjadi penyakit dalam
tubuh ummat ini adalah lesunya instansi-instansi pendidikan untuk menciptakan
kantong-kantong pergerakan ummat saat ini yang sehat dan lemahnya instansi-
instansi konvensional untuk membaca setengah bagian lagi dari dimensi
kehidupan ini, seperti dimensi ilmu-ilmu kemanusiaan dan kemampuan untuk
membaca sunnah-sunnah sosial yang terbentang luas dalam kejiwaan manusia dan
alam ini. Dua kelesuan ini; lesunya memahami wacana alam ( kitab al kaun) dan
sosial (al ijtima' al basyari), mempunyai kilas balik terhadap kemampuan
membaca al kitab dan al sunnah yang rendah. Inilah yang barangkali membuat
perputaran roda ummat ini diluar orbit peradaban dunia saat ini. Dus,ditambah
dengan kesalah-pahaman ummat ini terhadap konsep fiqih tentang fardhu kifayah.
Penafsiran fardhu kifayah yang telah beredar di kalangan kita adalah 'kalau ada
sebagian ummat (orang) yang melaksanakannya maka terlepaslah dosa bagi
mereka yang tidak melaksanakan nya,' padahal yang dimaksud dengan 'qama bihi'
(melaksanakannya) adalah melaksanakan suatu perintah dengan profesional
(sempurna) hingga mencukupi prosentase sosial (kebutuhan sosial) bukan hanya
sekedar melaksanakan. (17) Ini diantara hal yang menjadi evaluasi bagi para
perancang kurikulum pendidikan yang berprinsip asal jadi. Dengan demikian,
dunia pendidikan Islam sangat membutuhkan langkah-langkah strategis untuk
menyambut kebangkitan sains dan teknologi di abad ini. Diantara strategi itu (18):

1. Diperlukan kode etik dalam bidang pemikiran Islam dan penge tahuan Islam
yang disandarkan pada konsep-konsep Al Qur'an. Dan dipahami dengan bahasa
Arab sebagaimana Rasulullah Saw dan generasi Islam pertama. Poin ini sangat
urgen untuk mengantarkan kaum muslimin unutk mencapai produk-produk
teknologi yang pernah dicapainya pada abad pertengahan. Ini bukan berarti kita
ingin bernostalgia dengan kejayaan kita saat itu. Akan tetapi yang kita inginkan
adalah metode pemikiran Islam yang orisinil. Tujuannya untuk menghindari pola
pikir yang tunggal material-oriented dalam menyikapi gejolak sains dan teknologi.
Konsekuensinya, menuntut dicantumkannya materi ilmu-ilmu alam, hitung dan
teknologi menurut visi Islam dalam kurikulum pendidikan Islam konvensional,
baik disekolah-sekolah pemula atau perguruan tinggi dengan menanamkan
persepsi bahwa semua adalah ilmu Islam.

Sebaliknya, dalam kurikulum pendidikan ketrampilan praktis (bidang ilmu dan


teknologi) juga tidak bisa menganaktirikan pendidikan ilmu-ilmu kemanusiaan
dan sosial visi Islam. Tujuannya tidak lain untuk menghindari adanya split antara
dua metode pengajaran ; yang bersifat kontemporer (ilmi) dan syar'i.
2. Perlu adanya dukungan dari siyasah syar'iyah (al Daulah). Karena pada
hakekatnya ialah motor utama menuju kebangkitan. Institusi Syariah dan hukum-
hukumnya merupakan syarat yang sangat vital dalam menyongsong kebangkitan
ilmu dan teknologi Islam modern. Dipihak lain menunjukkan bahkan instabilitas
politik, chauvisme sosial dan segala tindakan diktator dan otoriter pen guasa
mengakibatkan fenomena 'brain-drain' (pemerasan kekuatan intelektualitas),
disamping juga atau menghancurkan asas-asas dan basis-basis teknologi dan
pemikiran suatu bangsa. Diantara syarat-syarat yang sangat mendukung ke arah
pencapaian kemajuan dan kebangkitan ilmu dan teknologi adalah memberantas
rasa iri dan dengki, menegakkan prinsip egaliter atau prinsip insaniyatul insan,
menciptakan keadilan (termasuk adil di depan hukum) dan membuka kran-kran
kebebasan berpikir dan mengungkapkan pendapat (dalam bidang sosial, politik
dan pemikiran Islam). Kecemerlangan karya Ibnu Rusyd tidak menutup
kemungkinan karena didukung oleh kondisi sosial dan politik saat itu.

3. Perlu adanya kerjasama regional dan internasional diantara kaum muslimin,


baik instansi pemerintah atau non-pemerintah. Ini berarti memberi kesempatan
semua kalangan, pemerintah dan sipil, untuk turut berkiprah dalam pengembangan
sains dan teknologi. Akan tetapi semua itu masih tetap dalam bingkai etika Iptek
Islam.

4. Perhatian terhadap pengembangan dan penguasaan bahasa Arab juga sangat


urgen untuk mencapai sains dan teknologi Islam. Ia bertujuan agar kaum muslim
mampu menguasai dasar-dasar Islam dengan baik dan benar. Selain itu juga
sangat diperlukan penguasaan bahasa dunia lainnya demi menjalin hubungan
internasional.

5. Perlu adanya perhatian khusus untuk mendirikan pusat-pusat penelitian dan


penemuan ilmiah di dunia Islam yang didalamnya terdapat para ilmuwan muslim
yang profesional. Adanya para pakar muslim dalam pusat-pusat kegiatan tersebut
sangat penting karena merekalah yang akan mengontrol,mengarahkan dan
meletakkan petunjuk pelaksanaan kerjanya sesuai dengan prinsip-prinsip Islam
yang universal dan sesuai dengan prioritas kerja yang dibutuhkan. Begitu juga
diperlukan adanya tunjangan khusus bagi mereka yang berbakat dan berprestasi.
Semua ini membutuhkan sebuah kepercayaan diri yang dalam bahwa dunia Islam
saat ini sangat membutuhkan Tatanan Dunia Ilmu dan Peradaban Islam yang baru.

6. Mengharuskan adanya usaha dari pihak khusus untuk mengembalikan para


petualang intelektual dan profesionalis yang lari ke negara-negara industri, baik
mereka itu menjadi penduduk setempat atau sekedar imigran. Baik itu muslim
atau bukan. Demi memenuhi kebutuhan keperluan proyek pembangunan,
kemajuan dan kebangkitan. Mungkin dengan menempatkan mereka pada posisi
atau jabatan penting dalam negara, atau memberikan gaji yang sesuai dengan
status ilmiahnya.

7. Adanya tanggung jawab khusus yang dipikul diatas pundak ilmuwan dan
profesionalis muslim di dunia Islam manapun. Apalagi dalam kondisi ummat
Islam ini yang minim para ahli sains dan teknologi. Mereka seharusnya
mempunyai tanggung jawab untuk mengadakan kontak dan tukar pikiran lintas
disiplin ilmu. Sejarah Islam mencatat betapa pentingnya peran para utusan
Rasulullah Saw dan khalifah ke seluruh negeri Islam saat itu.

Penutup

Memahami dan menangkap suatu pesan dengan benar adalah nikmat yang
terbesar yang diberikan Allah Swt pada hambanya. Bahkan tidak ada suatu nikmat
yang lebih utama, setelah Islam yang Allah Swt berikan kepada hambanya
daripada nikmat 'al fahmu al shalih', bahkan kedua-duanya merupakan soko-guru
Islam (19). Permasalahan pendidikan di dunia Islam sangatlah kompleks. Ia
memerlukan pemetaan kerja kembali secara arif dan bijak. Penyatuan konsep
orisinalitas dan kontemporer merupakan jalan yang baik. Selain juga
membutuhkan skala prioritas kerja yang selaras, serasi dan seimbang sejalan
dengan semangat Islam. Tulisan ini tentunya belum mewakili sepenuhnya untuk
mengobati kelesuan dunia pendidikan Islam dalam mencapai kemajuan dan
kebangkitan yang kita harapkan. Namun penulis berdo'a semoga Allah Swt
menggugah para hamba -Nya yang berkompeten dalam masalah ini untuk lebih
jauh melangkah ke depan demi kejayaan ummat Islam. Amien

You might also like