You are on page 1of 39

01.

Sistem Penanggalan Jawa

Sistim Penanggalan Jawa lebih lengkap dan komprehensif apabila dibandingkan


dengan sistim penanggalan lainnya, lengkap dan komprehensifnya adalah suatu
pembuktian bahwa ketelitian Jawa dalam mengamati kondisi dan pengaruh seluruh
alam semesta terhadap planet bumi seisinya termasuk pengaruh kepada pranatan
kehidupan manusia, dapat disampaikan antara lain adanya rumusan tata penanggalan
jawa sebagai berikut :

1. Pancawara – Pasaran;
Perhitungan hari dengan siklus 5 harian :

01. Kliwon / Kasih


02. Lagi / Manis
03. Pahing / Jenar
04. Pon / Palguna
05. Wagé / Kresna / Langking

2. Sadwara – Paringkelan,
Perhitungan hari dengan siklus 6 harian :

01. Tungle / Daun


02. Aryang / Manusia
03. Wurukung / Héwan
04. Paningron / Mina / Ikan
05. Uwas / Peksi / Burung
06. Mawulu / Taru / Benih

3. Saptawara – Padinan,
Perhitungan hari dengan siklus 7 harian :

01. Minggu / Radite


02. Senen / Soma
03. Selasa / Anggara
04. Rebo / Budha
05. Kemis / Respati
06. Jemuwah / Sukra
07. Setu / Tumpak / Saniscara

http://ki-demang.com/index.php?option=com_content&view=category&layout=blog&id=50&Itemid=333 1
4. Hastawara – Padewan,
Perhitungan hari dengan siklus 8 harian :

01. Sri 05. Rudra


02. Indra 06. Brahma
03. Guru 07. Kala
04. Yama 08. Uma

5. Sangawara – Padangon,
Perhitungan hari dengan siklus 9 harian :

01. Dangu / Batu 06. Wogan / Ulat


02. Jagur / Harimau 07 Tulus / Air
03. Gigis / Bumi 08. Wurung / Api
04. Kerangan / Matahari 09. Dadi / Kayu
05. Nohan / Rembulan

6. Wuku,
Perhitungan hari dengan siklus mingguan dari 30 wuku :

01. Sinta 11. Galungan 21. Maktal


02. Landhep 12. Kuningan 22. Wuyé
03. Wukir 13. Langkir 23. Manahil
04. Kurantil 14. Mandhasiya 24. Prangbakat
05. Tolu 15. Julungpujud 25. Bala
06. Gumbreg 16. Pahang 26. Wugu
07. Warigalit 17. Kuruwelut 27. Wayang
08. Warigagung 18. Marakèh 28. Kulawu
09. Julungwangi 19. Tambir 29. Dhukut
10. Sungsang 20. Medhangkungan 30. Watugunung

7. Sasi Jawa – ada 12 :

01. Sura 05. Jumadilawal 09. Poso


02. Sapar 06. Jumadilakhir 10. Dulkangidah
03. Mulud 07. Rejeb 11. Manahil
04. Bakdomulud 08. Ruwah 12. Besar

8. Tahun Jawa – ada 8 :

01. Alip 05. Dal


02. Ehé 06. Bé
03. Jimawal 07. Wawu
04. Jé 08. Jimakir

http://ki-demang.com/index.php?option=com_content&view=category&layout=blog&id=50&Itemid=333 2
9. Windu – umurnya 8 tahun :

01. Adi / Linuwih


02. Kuntara
03. Sengara / Panjir
04Sancaya / Sarawungan

10. Lambang – umurnya 8 tahun jumlahnya ada 2 :

01. Lambang Langkir


02. Lambang Kulawu

11. Kurup – umurnya 15 windu atau 120 tahun,


ada 7 kurup (menurut tanggal 1 Suro tahun Alip) :

01 Senen/Isananiyah 05 Jumuwah/Jamngiyah
02 Selasa/Salasiyah 06 Setu/Sabtiyah
03 Rebo/Arbangiyah 07 Akad/Akdiyah
04 Kemis/Kamsiyah

12. Mangsa- jumlahnya 12 :

01. Kasa / Kartika 07. Kapitu / Palguna


02. Karo / Pusa 08. Kawolu / Wisak
03. Katika / Manggasri 09. Kasanga / Jitha
04. Kapat / Setra 10. Kasepuluh / Srawana
05. Kalima / Manggala 11. Kasewelas/ Sadha
06. Kanem /Maya 12. Karolas / Asuji

Sistim Penanggalan Jawa disebut juga Penanggalan Jawa Candrasangkala atau


perhitungan penanggalan bedasarkan peredaran Bulan mengitari Bumi.
Petungan penanggalan Jawa sudah dicocokkan dengan penanggalan Hijriah.
Namun demikian pencocokkan ini bukanlah menjiplak sepenuhnya juga
memperhunakan perhitungan yang rumit oleh para leluluhur kita.
Ada perbedaan yang hakiki antara sistim perhitungan penanggalan Jawa dengan
penanggalan Hijriah, perbedaan yang nyata adalah pada saat penetapan pergantian hari
ketika pergantian sasi/bulan.
Candrasangkala Jawa menetapkan bahwa pergantian hari ketika pergantian sasi
waktunya adalah tetap yaitu pada saat matahari terbenam (surup – antara pukul 17.00
sampai dengan 18.00), sedangkan pergantian hari ketika pergantian sasi/bulan pada
penanggalan Hijriah ditentukan melalui Hilal dan Rukyat.

http://ki-demang.com/index.php?option=com_content&view=category&layout=blog&id=50&Itemid=333 3
02 Kalender Masehi

Tiap tanggal 1 Januari orang-orang di berbagai belahan dunia akan bersorak sorai
merayakan pergantian tahun.
Setelah 365 hari yang telah kita lalui, kita akan menyambut 365 hari yang baru.
Harapan-harapan dilambungkan untuk menyongsong hari yang baru.
Doa-doa diucapkan. Tahun baru telah tiba!
Namun, di balik kegembiraan tahun baru, pernahkah terlintas di benak kita pertanyaan-
pertanyaan seputar kalender?
Misalnya, tahukah anda mengapa satu tahun lamanya 365 hari dan setelah itu datang
tahun baru membawa 365 hari yang baru, atau tahukah anda sejak kapan kalender yang
kita gunakan sekarang ini mulai digunakan pertama kalinya dan siapa yang
menciptakannya?
Setiap tahunnya kita lalui 365 kali pergantian hari (dan 366 hari jika tahun kabisat)
yang terbagi ke dalam 12 bulan.
Dimulai dengan Januari, diakhiri dengan Desember. Diantaranya terdapat Februari,
Maret, April, Mei, Juni, Juli, Agustus, September, Oktober dan November.
Pada duabelas bulan tersebut, setiap harinya istimewa.
Hari-hari tertentu merupakan sebuah perayaan atau peringatan bagi sekelompok orang.
Di negara kita misalnya, setiap tanggal 17 Agustus diperingati sebagai hari
kemerdekaan negara kita.
Setiap tanggal 25 Desember umat Kristiani di seluruh dunia merayakan Natal.
Pada tanggal 1 Januari, tahun baru kita rayakan.
Jika digabungkan hari perayaan atau hari peringatan di seluruh dunia, kemungkinan
besar setiap harinya merupakan hari perayaan atau peringatan.
Tanggal-tanggal seperti ini adalah bagian dari sistem penanggalan Gregorian atau lebih
kita kenal di Indonesia sebagai sistem penanggalan masehi.
Selain resmi digunakan sehari-hari di negara kita, sistem penanggalan Gregorian ini
merupakan sistem penanggalan internasional.
Sistem penanggalan Gregorian adalah sistem penanggalan yang berdasarkan pada
siklus pergerakan semu Matahari melewati titik vernal equinok dua kali berturut-turut,
yang lamanya rata-rata adalah 365, 242199 hari.
Revolusi Bumi mengelilingi Matahari tiap tahunnya mengakibatkan Matahari terlihat
dari Bumi bergerak melintasi bola langit.
Padahal, sebenarnya Bumi bergerak mengitari Matahari maka kita melihat Matahari
diproyeksikan pada medan bintang yang berbeda-beda.
Lintasan Matahari semu selama setahun ini kemudian disebut ekliptika.
Mudahnya, bayangkan saja bintang-bintang di langit.
Bintang-bintang tampak terbit dan tenggelam setiap harinya.
Hal ini tidak lain diakibatkan oleh rotasi Bumi terhadap sumbunya, bukan karena Bumi
yang diam dan dikelilingi oleh bintang-bintang, seperti yang dikira orang-orang zaman
dahulu selama berabad abad.
Titik vernal equinok adalah titik semu pada lintasan ekliptika tempat Matahari
melewati atau tepat berada pada garis ekuator langit (perpanjangan garis ekuator
Bumi), yang terjadi sekitar tanggal 21 Maret.
Sistem penanggalan dengan acuan Matahari seperti ini disebut juga solar calendar atau

http://ki-demang.com/index.php?option=com_content&view=category&layout=blog&id=50&Itemid=333 4
kalender syamsiah.
Oleh karena penyesuaian dengan pergerakan semu Matahari inilah, satu tahun dalam
kalender Gregorian lamanya 365 hari.
Tetapi, sistem penanggalan Gregorian dengan 365 hari seperti sekarang ini sebetulnya
merupakan reformasi dari sistem penanggalan yang digunakan sebelumnya.
Kalender Gregorian pada mulanya adalah kalender yang digunakan oleh bangsa
Romawi kuno dan bukan berdasarkan pada siklus Matahari (solar calendar) seperti
sekarang ini.
Kalender aslinya dulu tidak terdiri dari duabelas bulan seperti sekarang, tetapi terdiri
dari sepuluh bulan (Martius, Aprilis, Maius, Junius, Quintilis, Sextilis, September,
October, November, December) dengan jumlah hari sepanjang tahun adalah 304 hari.
Permulaan tahun dalam kalender Romawi kuno dihitung sejak pendirian kota Roma
pertama kalinya atau “from the founding of the city (of Rome)”, yang diterjemahkan
dari bahasa Romawi “ab urbe condita”.
Selain itu awal tahun atau tahun baru dirayakan setiap tanggal 1 Maret, bukan 1 Januari
seperti sekarang.
Kemudian kalender ini dimodifikasi menjadi kalender yang terdiri dari 12 bulan dengan
jumlah hari tiap bulannya masih menyesuaikan dengan siklus peredaran Bulan
mengitari Bumi, rata-rata adalah 29,5 hari.
Raja Romawi, Numa Pompilius kemudian memperkenalkan Februari dan Januari
diantara bulan Desember dan Maret.
Dengan demikian didapat tahun yang lamanya 354 hari. Kemudian pada tahun 450 SM
Februari dipindahkan ke posisinya sekarang ini, di antara Januari dan Maret.
Tetapi, tahun dengan 354 hari tidak sesuai dengan periode Bumi mengelilingi Matahari
yang telah diketahui waktu itu, yaitu 365,242199 hari.
Pada setiap akhir tahun kalender yang dimodifikasi tersebut tidak sesuai sekitar sebelas
hari dengan pergantian musim, dan setelah tiga tahun perbedaan dengan musim ini
menjadi sekitar sebulan.
Untuk mengakali hal ini, kalender segera dikoreksi dengan menambahkan satu bulan
setiap dua tahun sekali.
Tidak berapa lama kalender yang dikoreksi menimbulkan kebingungan dalam
masyarakat Romawi kuno.
Pada 46 SM, Julius Caesar mereformasi kalender dengan memerintahkan bahwa
panjang satu tahun haruslah 365 hari dan terdiri dari 12 bulan, berdasarkan
pertimbangan dari seorang ahli astronomi dari Alexandria bernama Sosigenes.
Ini mengakibatkan beberapa hari harus ditambahkan pada beberapa bulan agar panjang
tahun yang semula 354 hari dapat menjadi 365 hari.
Ia juga menetapkan bahwa bulan-bulan yang berada pada urutan ganjil memiliki 31 hari
dan bulan yang berada pada urutan genap memiliki 30 hari, dengan bulan Februarinya
berjumlah 29 hari.
Selain itu, pada tahun 44 SM bulan Quintilis diubah namanya menjadi Juli untuk
menghormati Julius Caesar.
Dengan demikian, jumlah hari dalam beberapa bulan tidak lagi bersesuaian dengan
siklus Bulan mengelilingi Bumi yang lamanya rata-rata 29,5 hari.
Kalender Julian, demikian kalender ini disebut, tidak lagi bersifat lunar calendar
(kalender Qamariyah) karena ketidak sesuaiannya dengan siklus Bulan.

http://ki-demang.com/index.php?option=com_content&view=category&layout=blog&id=50&Itemid=333 5
Tetapi permasalahan tidak serta merta selesai setelah reformasi kalender Julian.
Masih ada perbedaan sekitar seperempat hari antara kalender Julian dengan panjang
tahun sebenarnya (pergerakan semu Matahari sepanjang tahun).
Jika dibiarkan terus, dalam kurun waktu empat tahun kalender Julian akan mengalami
akumulasi perbedaan sebesar satu hari.
Dalam waktu beberapa puluh tahun, kalender Julian akan mengalami akumulasi
perbedaan dengan musim lebih besar lagi.
Dengan demikian, kalender Julian tidak lagi sesuai dengan pergantian musim, padahal
tujuan utama reformasi Julian adalah menyesuaikan dengan musim.
Reformasi Julian jadinya hanya menunda ketidak sesuaian tersebut, seperti yang terjadi
pada kalender Romawi kuno, lebih lama saja.
Untuk mengakali perbedaan dengan musim tersebut, dengan pertimbangan lain lagi
dari Sosigenes, setiap empat tahun sekali akan ditambahkan satu hari pada bulan
Februari.
Tahun seperti inilah yang kemudian kita kenal sebagai tahun kabisat.
Maka, pada tahun kabisat tersebut Februari akan terdiri dari 30 hari sehingga jumlah
hari satu tahunnya menjadi 366 hari.
Dengan begitu, panjang rata-rata tiap tahunnya adalah 365,25 hari dan menjadi cukup
dekat dengan tahun sebenarnya yang panjang rata-ratanya 365,242199 hari.
Namun, Februari yang kita kenal sekarang terdiri dari 28 hari. Terdapat cerita menarik
mengenai perubahan Februari dari 29 hari menjadi 28 hari, meskipun tidak diyakini
kebenarannya.
Tahun 8 SM bulan Sextilis diganti namanya menjadi Augustus untuk menghormati
kaisar Augustus yang memerintah Romawi setelah Julius Caesar.
Pada masa kekuasaannya, ia mengambil satu hari dari bulan Februari untuk
ditambahkan ke bulan Agustus, sehingga bulan Agustus pun kemudian terdiri dari 31
hari, bukan 30 hari lagi seperti sebelumnya.
Dengan jumlah hari yang sama antara Juli dan Agustus, walaupun namanya dijadikan
nama bulan setelah bulan Juli, ia tidak lagi merasa inferior terhadap Julius Caesar.
Setelah didapat panjang tahun rata-rata yang cukup dekat dengan panjang tahun
sebenarnya dengan solusi tahun kabisat, rupanya panjang tahun ini belumlah cukup
sangat akurat sehingga dalam kurun waktu yang cukup lama dapat tetap mengakibatkan
ketidaksesuaian dengan musim.

Dengan “kesalahan” yang besarnya hanya 0,007801 hari tiap tahunnya, dalam kurun
waktu 128 tahun akan terdapat ketidaksesuaian dengan musim (panjang tahun
sebenarnya) sekitar satu hari.
Pada tahun 1582 kalender Julian telah memiliki ketidak sesuaian dengan musim sebesar
10 hari.
Untuk mengatasi hal ini, Paus Gregorius XIII mengambil dua langkah.

Pertama,
ia memutuskan bahwa tanggal 4 Oktober tahun 1582 akan langsung diikuti dengan
tanggal 15 Oktober 1582, bukan tanggal 5 Oktober 1582.

http://ki-demang.com/index.php?option=com_content&view=category&layout=blog&id=50&Itemid=333 6
Kedua,
untuk mencegah ketidak sesuaian dengan musim ini kembali terjadi, ia juga
menetapkan bahwa tiga dari empat tahun abad (tahun yang berakhiran dengan 00,
misalnya tahun 1600, 1700, dst) bukanlah tahun kabisat.
Dengan peraturan tahun kabisat yang dulu, setiap empat tahun sekali, tahun yang habis
dibagi empat akan menjadi tahun kabisat.
Tetapi, dengan peraturan yang dikeluarkan oleh Paus Gregorius ini maka tahun abad
yang tidak habis dibagi 400 tidak akan menjadi tahun kabisat.
Dengan demikian, tahun 1700, 1800, 1900 bukan tahun kabisat, sedangkan tahun 2000,
yang habis dibagi 400, merupakan tahun kabisat.
Tetapi, peraturan dari Paus Gregorius ini tidak langsung diterapkan.
Memang negara-negara dengan mayoritas umat Katholik dengan segera mengubah
penanggalannya ke sistem penanggalan yang telah direformasi Paus Gregorius, tetapi
tidak demikian pada negara-negara dengan mayoritas umat Kriten Protestan dan
lainnya.
Pada banyak negara kalender Julian masih digunakan, bahkan sampai tahun 1918 masih
digunakan oleh Rusia.
Sehingga dalam kurun waktu 1582-1918 tersebut, harus jelas penanggalan yang mana
yang digunakan, yang Julian atau Gregorian.
Demikianlah kisah kalender yang kita gunakan sehari-hari kini.
Menarik mengetahui bahwa manusia dapat “mensiasati waktu".

Posted under Sistem Kalender by pramesti on June 8th, 2007


Sumber : www.langitselatan.com

http://ki-demang.com/index.php?option=com_content&view=category&layout=blog&id=50&Itemid=333 7
03 Menghitung Hari dengan Sistem Penanggalan Hijriah

Kita perhatikan bahwa hari raya Islam setiap tahunnya tidak pernah jatuh pada tanggal
yang sama, pada kalender yang kita gunakan sehari-hari.
Bulan puasa tahun ini lebih cepat sekitar sebelas hari daripada tahun lalu. Bulan puasa
tahun ini juga akan lebih lambat sekitar sebelas hari dari pada bulan puasa tahun depan.
Dari tahun ke tahun dengan akumulasi perbedaan sekitar sebelas hari tiap tahunnya,
misalnya, hari raya haji tidak selalu datang pada musim yang sama.
Kadang hari raya haji terjadi pada musim panas dengan sinar matahari yang terik,
kadang terjadi pada musim dingin yang menggigil.
Mengapa terjadi perbedaan sekitar sebelas hari antara penanggalan Islam dengan
penanggalan yang kita gunakan sehari-hari, yang resmi digunakan oleh dunia
internasional?
Perbedaan ini bukan karena jumlah bulan yang berbeda antara penanggalan Islam
dengan penanggalan sehari-hari.
Pada prinsipnya jumlah bulan dalam kedua sistem penanggalan adalah sama.
Keduanya memiliki duabelas bulan dalam satu tahunnya. Tahun dalam kalender yang
digunakan sehari-hari atau penanggalan masehi diawali dengan Januari dan berakhir
dengan Desember.
Tahun dalam penanggalan Islam atau Hijriah diawali dengan bulan Muharram dan
diakhiri dengan bulan Dzulhijjah.
Diantaranya terdapat bulan Shafar, Rabiul Awwal, Rabiul Akhir, Jumadil Awwal,
Jumadil Akhir, Rajab, Sya’ban, Ramadhan, Syawal, dan Dzulko’dah.
Lantas apa yang membuat penanggalan Islam lebih cepat daripada penanggalan
masehi?
Pada penanggalan Islam pergantian bulan barunya adalah berdasarkan pada
penampakan hilal, yaitu bulan sabit terkecil yang dapat diamati dengan mata telanjang.
Hal ini tidak lain disebabkan penanggalan Islam adalah penanggalan yang murni
berdasarkan pada siklus sinodis bulan dalam sistem penanggalannya (lunar calendar),
yaitu siklus dua fase bulan yang sama secara berurutan.
Satu bulan dalam sistem penanggalan Islam terdiri antara 29 dan 30 hari, sesuai dengan
rata-rata siklus fase sinodis Bulan 29,53 hari.
Satu tahun dalam kalender Islam adalah 12 x siklus sinodis bulan, yaitu 354 hari 8 jam
48 menit 36 detik.
Itulah sebabnya kalender Islam lebih pendek sekitar sebelas hari dibandingkan dengan
kalender masehi dan kalender lainnya yang berdasarkan pada pergerakan semu tahunan
matahari (solar calendar).
Karena ini pula bulan-bulan dalam sistem penanggalan Islam tidak selalu datang pada
musim yang sama.
Selain itu, dalam jangka waktu satu tahun masehi bisa terjadi dua tahun baru hijriah.
Contohnya seperti yang terjadi pada tahun 1943, dua tahun baru hijriah jatuh pada
tanggal 8 Januari 1943 dan 28 Desember 1943.
Perbedaan antara penanggalan hijriah dengan penanggalan masehi yang kita gunakan
sehari-hari tidak berhenti disitu saja.
Terdapat pula perbedaan pada pergantian harinya.
Kita ketahui bahwa hari baru pada penanggalan masehi berawal pada jam 00.00 malam

http://ki-demang.com/index.php?option=com_content&view=category&layout=blog&id=50&Itemid=333 8
hari.
Itu pula sebabnya orang sering mengucap selamat ulang tahun pada tengah malam jam
00.00 saat pergantian hari, dengan harapan ucapan tersebut menjadi ucapan pertama
pada awal hari jadinya seseorang.
Dalam penanggalan Hijriah hari baru berawal setelah Matahari terbenam dan
berlangsung sampai saat terbenamnya Matahari keesokan harinya.
Misalnya, hari pertama dimulai sejak matahari terbenam hari sabtu dan berakhir sampai
matahari terbenam pada hari minggu.
Hari kedua dimulai sejak matahari terbenam hari minggu sampai matahari terbenam
keesokan harinya, hari senin. Begitu seterusnya.
Ketujuh hari dalam penanggalan Hijriah memang tidak dinamai, melainkan dinomori.
Ketujuh hari tersebut adalah:
Yawm al ‘ahad : hari pertama
Yawm al ‘ithnayn : hari kedua
Yawm ath thalatha : hari ketiga
Yawm al ‘arba’a : hari keempat
Yawm al khamis : hari kelima Yawm al jum’a : hari keenam Yawm as sabt : hari
ketujuh.
Untuk keperluan sipil sehari-hari, misalnya untuk negara-negara Islam yang memakai
penanggalan Hijriah sebagai kalender resminya, penanggalan ini didasarkan pada
perhitungan (hisab).
Bulan terdiri dari 29 dan 30 hari secara bergantian.
Dimulai dengan bulan Muharram yang terdiri dari 30 hari, disusul dengan Shafar 29
hari, kemudian Rabiul awal 30 hari dan seterusnya secara bergantian sampai bulan
Dzulhijjah.
Tetapi khusus untuk bulan terakhir ini jumlah hari bisa 29 atau 30 hari. Untuk tahun
kabisat, bulan Dzulhijjah terdiri dari 30 hari. Untuk tahun basithoh (biasa), bulan
Dzulhijjah terdiri dari 29 hari.
Sehingga jumlah hari dalam tahun kabisat akan menjadi 355 hari.
Untuk keperluan keagamaan, misalnya untuk menentukan awal hari puasa atau hari
raya, pergantian bulan pada penanggalan Hijriah tetap diwajibkan dengan dasar
pengamatan hilal (rukyah).
Pengamatan hilal ini pun harus dilakukan dengan sangat hati-hati dan dengan sumpah
suci pengamat berikut saksi.
Di Indonesia kita kenal Badan Hisab Rukyat, bersama-sama dengan Departemen
Agama, yang bertugas mengamat hilal di suatu tempat khusus.
Ilmuwan, dalam hal ini ahli ilmu falak dan astronom, tidak ketinggalan.
Karena dapat atau tidak terlihatnya hilal dapat diprediksi dengan perhitungan yang
sudah menjadi santapan sehari-hari mereka.
Tetapi kadang suatu organisasi Islam punya acuannya sendiri dalam persoalan hilal ini.
Satu dengan lainnya kadang tidak sejalan.
Oleh karena itu tidak mengherankan sering terdapat perbedaan dalam memulai ibadah
puasa dan hari raya Idul Fitri, misalnya.
Hal yang seringkali terjadi di tanah air. Walaupun demikian, hendaknya persoalan ini
tidak menjadi pembeda yang dapat meresahkan umat.

http://ki-demang.com/index.php?option=com_content&view=category&layout=blog&id=50&Itemid=333 9
Sistem penanggalan Islam (1 Muharram 1 Hijriyah) dihitung sejak peristiwa hijrahnya
Nabi Muhammad SAW beserta para pengikutnya dari Mekkah ke Madinah, atas
perintah Tuhan.
Oleh karena itulah kalender Islam disebut juga sebagai kalender Hijriah.
Di barat kalender Islam biasa dituliskan dengan A.H, dari latinnya Anno Hegirae.
Peristiwa hijrah ini bertepatan dengan 15 Juli 622 Masehi. Jadi penanggalan Islam atau
Hijriah (1 Muharram 1 Hijriah) dihitung sejak terbenamnya Matahari pada hari Kamis,
15 Juli 622 M.
Walaupun demikian, penanggalan dengan tahun hijriah ini tidak langsung diberlakukan
tepat pada saat peristiwa hijrahnya nabi saat itu.
Kalender Islam baru diperkenalkan 17 tahun (dalam perhitungan tahun masehi) setelah
peristiwa hijrah tersebut oleh sahabat terdekat Nabi Muhammad sekaligus khalifah
kedua, Umar bin Khatab.
Beliau melakukannya sebagai upaya merasionalisasikan berbagai sistem penanggalan
yang digunakan pada masa pemerintahannya.
Kadang sistem penanggalan yang satu tidak sesuai dengan sistem penanggalan yang
lain sehingga sering menimbulkan persoalan dalam kehidupan umat.
Kalender dengan 12 bulan sebetulnya telah lama digunakan oleh Bangsa Arab jauh
sebelum diresmikan oleh khalifah Umar, tetapi memang belum ada pembakuan
perhitungan tahun pada masa-masa tersebut. Peristiwa-peristiwa penting biasanya
hanya dicatat dalam tanggal dan bulan.
Kalaupun tahunnya disebut, biasanya sebutan tahun itu dikaitkan dengan peristiwa
penting yang terjadi pada masa itu. Misalnya tahun gajah, dan lain sebagainya.
Setelah banyak persoalan muncul akibat tidak adanya sistem penanggalan yang baku,
dan atas prakarsa Khalifah Umar, diadakanlah musyawarah dengan tokoh-tokoh
sahabat lainnya mengenai persoalan penanggalan ini.
Dari sini disepakati bahwa tahun hijrahnya Nabi Muhammad SAW beserta para
pengikutnya dari Mekkah ke Madinah adalah tahun pertama dalam kalender Islam.
Sedangkan nama-nama keduabelas bulan tetap seperti yang telah digunakan
sebelumnya, diawali dengan bulan Muharram dan diakhiri dengan bulan Dzulhijjah.
Peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad beserta para pengikutnya dari Mekkah ke
Madinah yang dipilih sebagai titik awal perhitungan tahun, tentunya mempunyai makna
yang amat dalam bagi umat Islam.
Peritiwa hijrah dari Mekkah ke Madinah merupakan peristiwa besar dalam sejarah awal
perkembangan Islam. Peristiwa hijrah adalah pengorbanan besar pertama yang
dilakukan nabi dan umatnya untuk keyakinan Islam, terutama dalam masa awal
perkembangannya.
Peristiwa hijrah ini juga melatarbelakangi pendirian kota muslim pertama. Tahun baru
dalam Islam mengingatkan umat Islam tidak akan kemenangan atau kejayaan Islam,
tetapi mengingatkan pada pengorbanan dan perjuangan tanpa akhir di dunia ini

Posted under Sistem Kalender by pramesti on September 13th, 2007 Sumber :


www.langitselatan.com

http://ki-demang.com/index.php?option=com_content&view=category&layout=blog&id=50&Itemid=333 10
04 Mangenai Hilal

Penentuan awal bulan Puasa dan Idul Fitri ditentukan oleh adanya pengamatan Hilal,
yaitu sesaat ketika Bulan melewati fase konjungsi (dalam bahasa Arab: Ijtimak), yaitu
ketika Matahari-Bumi-Bulan berada pada satu garis lurus.
Pada saat sekitar ijtimak, Bulan tidak dapat terlihat dari bumi, karena permukaan bulan
yang nampak dari Bumi tidak mendapatkan sinar matahari, sehingga dikenal istilah
Bulan Baru.
Pada petang pertama kali setelah ijtimak, Bulan terbenam sesaat sesudah terbenamnya
matahari. Ijtimak merupakan pedoman utama penetapan awal bulan dalam Kalender
Hijriah.
Hilal itu sendiri, saat bulan teramati, tepat sesaat setelah ijtimak,

Bagaimana hilal ditentukan?


Hilal ditentukan menggunakan dua metode, yaitu Hisab dan Rukyat.
01. Hisab,
adalah menentukan posisi berdasarkan perhitungan, yaitu
dari menghitung posisi Matahari dan Bulan terhadap
Bumi.
Posisi Bulan Baru penting karena menjadi penanda
dimulainya penanggalan pada bulan yang baru (Tanggal 1
Kalender Hijriah).
02. Rukyat
adalah penentuan posisi Bulan Baru berdasarkan
pengamatan, yakni bulan sabit pertama tampak sesaat
setelah ijtimak.
Rukyat dapat dilakukan dengan pengamatan.
Rukyat dilakukan pada saat menjelang terbenamnya
Matahari, pertama kali sesaat setelah ijtimak (Pada
waktu Bulan di ufuk Barat dan terbenam sesaat setelah
terbenamnya Matahari).
Apabila hilal terlihat, maka pada saat tersebut di lokal tersebut memasuki tanggal 1.
Tetapi bisa terjadi selang waktu ijtimak dengan terbenamnya Matahari terlalu pendek,
sehingga secara teori, pendaran iluminasi cahaya Bulan tidak cukup teramati, karena
masih terlalu suram dibandingkan semburat cahaya sekitar (pendaran cahaya Matahari
terbenam).

Posted under Kalender by nggieng on October 6th, 2007


Sumber : www.langitselatan.com

http://ki-demang.com/index.php?option=com_content&view=category&layout=blog&id=50&Itemid=333 11
05 Pênanggalan Jåwå (Båså Jåwå)

Étungan ing pênanggalan Jåwå luwíh rumít lan pêpak bangêt mênåwå dibandhingaké
karo pênanggalan liyané.
Pêpaké étungan mbúktèkaké sêtitiné Jåwå anggóné ngamati kahanan sêmèsta lan
pêngaruhé ånå ing bumi sartå pêngaruhé marang kahanan uríp lan panguripané
manungså.
Pêpaké étungan tåtå pênanggalan Jåwå bisa diatúraké, mangkéné:
1. Pasaran (Påncåwårå) : étungan dinå cacah 5 (limå) :
1.1. Kliwón (Kasih),
1.2. Lêgi (Manis),
1.3. Pahíng (Jênar),
1.4. Pón (Palgunå),
1.5. Wagé (Cêmêngan, Krêsnå, Langkíng).
2. Paringkêlan (Sadwårå) : étungan dinå cacah 6 (ênêm) :
2.1. Tunglé,
2.2. Aryang,
2.3. Warukúng,
2.4. Paningrón,
2.5. Uwas,
2.6. Mawulu.
3. Padinan (Saptåwårå) : étungan dinå cacah 7 (pitu) :
3.1. Ahad utåwå Minggu (Dhité, Radhité, Radhityå),
3.2. Sênèn (Somå),
3.3. Sêlåså (Anggårå),
3.4. Rêbo (Budhå),
3.5. Kêmís (Rèspati, Wrahaspati),
3.6. Jêmuwah (Sukrå),
3.7. Saptu (Tumpak, Saniscårå).
4. Padéwan (Haståwårå) : étungan dinå cacah 8 (wolu):
4.1. Sri,
4.2. Indrå,
4.3. Guru,
4.4. Yåmå,
4.5. Rudrå,
4.6. Bråmå,
4.7. Kålå,
4.8. Umå.
5. Padangón (Nåwåwårå) : étungan dinå cacah 9 (sångå) :
5.1 Dangu,
5.2. Jagúr,
5.3. Gigís,
5.4. Kérangan,
5.5. Nohan,

http://ki-demang.com/index.php?option=com_content&view=category&layout=blog&id=50&Itemid=333 12
5.6. Wogan,
5.7. Tulús,
5.8. Wurúng,
5.9. Dadi.
6. Wuku (minggu) ånå 30 (têlúng pulúh) :
Sintå, Landhêp, Wukír, Kuranthil, Tolu, Gumbrêg, Warigalít,
Warigagúng, Julúngwangi, Sungsang, Galungan, Kuningan, Langkír,
Måndhåsiyå, Julúngpujúd, Pahang, Kuruwêlút, Marakèh, Tambír,
Madhangkungan, Maktal, Wuyé, Manahíl, Prangbakat, Bålå, Wugu,
Wayang, Kulawu, Dhukút, Watugunúng.
7. Sasi ånå 12 (rolas) :
Surå, Sapar, Mulúd, Bakdåmulúd, Jumadilawal, Jumadilakir, Rêjêb,
Ruwah, Påså, Sawal, Dulkaidah, Bêsar.
8. Tahun ånå 8 (wolu) :
Alip, Éhé, Jimawal, Jé, Dal, Bé, Wawu, Jimakír.
9. Windu (umúr 8 tahun) cacahé ånå 4 (papat) :
9.1. Windu Adi (Linuwíh),
9.2. Windu Kuntårå (UIah),
9.3. Windu Sêngårå (Panjír), lan
9.4. Windu Sancåyå (Sarawungan).
Lakuníng Windu saubêngan ånå 32 taún.
10. Lambang (umúr 8 tahún) cacahé ånå 2.
Jênêngé urút jênêngé Wuku manut tumibané tanggal 1 Surå taun Alip
ånå ing dinå kang klêbu ing Wuku síng kanggo jênêng.
Lakuníng Lambang saubêngan ana 16 taun.
11. Kurup (umur 15 windu = 120 tahún).
Jênêngé Kurúp ånå (7) pitu, manút tibané dinå tanggal 1 Sura taun
Alip : Tibå dinå :
11.1. Jêmuwah - Jamngiyah,
11.2. Kêmís- Kamsiyah,
11.3. Rêbo - Arbangiyah,
11.4. Sêlåså - Salasiyah,
11.5. Sênèn - Isnaniyah,
11.6 Akad - Akadiyah, lan
11.7 Sabtu - Sabtiyah.

12. Mångså (sasi manút Suryåsangkålå, Tahún Såkå) :


12.1. Kåså = Karttikå,
12.2. Karo = Puså,
12.3. Katêlu = Manggasri,
12.4. Kapat = Citrå,
12.5. Kalimå = Månggåkålå,

http://ki-demang.com/index.php?option=com_content&view=category&layout=blog&id=50&Itemid=333 13
12.6. Kanêm = Nåyå,
12.7. Kapitu = Palgunå,
12.8. Kawolu = Wisåkå,
12.9. Kasångå = Jitå,
12.10. Kasapulúh = Srawånå,
12.11. Dhastå (Kasêwêlas) = Pådråwånå,
12.12. Såddhå (Karolas) = Asuji

Sumbêr : Yayasan Sêkarjagad

http://ki-demang.com/index.php?option=com_content&view=category&layout=blog&id=50&Itemid=333 14
06 Pênanggalan Cåndråsêngkålå (Båså Jåwå)

Pênanggalan Jåwå Cåndråsångkålå utåwå pênanggalan kang anút lakuníng rêmbulan


ngubêngi bumi nganti saiki isíh lumaku, disêbút Taún Jåwå.
Pétungan Taún Jåwå wís dijumbúhaké karo Taún Hijriyah (Arab) nalikané Súltan
Agúng jumênêng nåtå ing Mataram.
Sênajan mangkono, panjumbuhé ora nurún utåwå njiplak, nangíng ugå migunakaké
étungan-étungan kang njlimêt déníng pårå ahliné.
Jalaran pancèn ånå bédané ing antarané étungan Cåndråsangkålå Jåwå karo étungan
taún Hijriyah.
Prabédané síng cêthå ånå ing panêtêpan surupíng dinå nalika ganti sasi.
- Cåndråsångkålå Jåwå nêtêpaké surupíng dinå gantining sasi
ajêg ing wanci surupíng suryå (antarané jam 17.00-18.00).
Déné surupíng dinå gantiníng sasi cårå Hijriyah ditêmtókaké
- hilal (kahanan dêrajat êndhèk dhuwuré rêmbulan).
- rukyah (nóntóni langsúng) utåwå hisab (ngétúng) biså
dingêrtèni hilal banjúr ditêtêpaké gantiníng sasi.
Cårå mangkono iku kanggoné Jåwå ing jaman Súltan Agúng, ora gampang. Jalaran
Jåwå iku mapan ing wilayah tropís kang langité ora rêsík kåyå ing Arab kang wujúd
gurún pasír.
Mênåwå kudu mêruhi hilal rêmbulan dadi kangèlan mênåwå ing masa rêndhêng.
Kêjåbå iku, Jåwå duwé étungan putêrané dinå sing luwíh pêpak kang kudu kamót ing
pênanggalané.
Mênåwå ora kamót, pênanggalan síng digawé anyar mêsthi ora payu kanggoné
masyarakat umúm.
Kang mangkono iku ora dikêrsakaké panjênêngané Súltan Agúng.
Mulå sênajan dijumbúhaké karo pênanggalan Hijriyah, Cåndråsångkålå Jåwå ora
ngowahi étungan-étungan kang wís lumaku ing masyarakat Jåwå.
Lakuné rêmbulan kang ngubêngi bumi, saubêngan suwéné 29,25 dinå, mula umuré taún
Cåndråsångkåla ora biså ajêg pêrsis 30 dinå sabên wulané.
Krånå iku umuré taún dipérang dadi wêrnå loro (2). yaiku :
- taún Wastu (cêndhak) umúr 354 dinå lan
- taún Wuntu (dåwå) umúr 355 dinå.
Síng kanggo mbédakaké Wuntu utåwå Wastu ånå ing umuré sasi Bêsar (kåyå taún
kabisat Masèhi ing sasi Pébruari).
Sasi Bêsar ing taún Wastu umuré 29 dinå,
déné Taún Wuntu sasi Bêsar umuré 30 dinå.
Umuring sasi siji-sijiné mangkéné :
01. Surå: 30 dinå,
02. Sapar 29 dinå,
03. Mulúd : 30 dinå,
04. Bakdamulúd : 29 dinå,
05. Jumadilawal : 29 dinå,
06. Jumadilakír : 30 dinå,
07. Rêjêb : 29 dinå,
08. Ruwah : 29 dinå,

http://ki-demang.com/index.php?option=com_content&view=category&layout=blog&id=50&Itemid=333 15
09. Påså : 30 dinå,
10. Sawal : 29 dinå,
11. Dulkaidah : 30 dinå,
12. Bêsar : 29 dinå (taún Wastu) lan 30 dinå (taún Wuntu).
Taún Wuntu (355 dinå) sabên sêwinduné (8 taún) ånå 3.
Étungan lawas (sadurungé dijumbúhaké karo pênanggalan Hijriah/Arab) tibå taún:
01. Éhé,
02. Dal, lan
03. Jimakír.
Déné étúngan anyar (sawisé dijumbúhaké karo pênanggalan Hijriyah/Arab) tibå taún :
01. Éhé,
02. Jé, lan
03. Jimakír.
Jênêngé taún Jåwå lan umuré sabên sêwindu :
01. Alip: 354 dinå,
02. Éhé 355 dinå (lawas) 354 dinå (anyar),
03. Jimawal :354 dinå,
04. Jé: 354 dinå (lawas) 355 dinå (anyar),
05. Dal : 355 dinå,
06. Bé : 354 dinå,
07. Wawu : 354 dinå,
08. Jimakír : 355 dinå.
Sêwindu umuré 2.835 dinå, nalikå dijumbúhaké karoPawukón kang umuré 210 dinå
durúng pêthúk.
Bisané pêthúk yèn wís róng windu, 5.670 dinå.
Têgêsé sabên róng windu, wuku lan wêtóné pêthúk manèh.
Biså ugå såkå étungan iku, kanggoné Jåwå, matêngé manungsa (biologís) diwiwiti
nalikå umúr 2 windu.
Pênanggalan Jåwå duwé étungan kang disêbút Kurúp.
Umuré 15 windu utåwå 120 tahún.
Pétungan kurúp iki kanggo njumbúhaké Cåndråsangkålå Jåwå karo pênanggalan
Hijriyah.
Carané sabên ganti Kurúp (120 tahún), tibané tanggal 1 Surå ing taún Alip diajóké
sêdinå.
Diwiwiti ing taún Jåwå 1555, wêktu panjumbuhé Cåndråsangkålå Jåwå karo
pênanggalan Hijriyah.
Wóndéné katrangan gantining Kurúp kasêbút ing ngisór iki:
Taún Jåwå Jênêngé Kurúp Tanggal 1 Surå Alip
01. 1555 - 1674 (120 taún) Jamngiyah Jêmuwah Lêgi
02. 1675 - 1746 (72 taún) Kamsiyah Kêmis Kliwón
03. 1747 - 1866 (120 taún) Arbangiyah Rêbo Wagé
04. 1867 - 1986 (120 taún) Salasiyah Sêlåså Pón
05. 1987 - 2106 (120 taún) Isnaniyah Sênèn Pahing
06. 2107 - 2286 (120 taún) Akadiyah Minggu Lêgi
07. 2227 - 2346 (120 taún) Sabtiyah Sabtu Kliwón
Sabên gantiné Kurúp ngakibataké owah-owahané taún wuntu (dåwå).

http://ki-demang.com/index.php?option=com_content&view=category&layout=blog&id=50&Itemid=333 16
Nalikå Kurúp Jamngiyah, tahún wuntuné kang owah :
01. Éhé,
02. Dal,
03. Jimakír.
Barêng ganti Kurúp Kamsiyah taún wuntu Dal diganti tiba Jé.
Sabanjuré ganti Kurúp Arbangiyah umuríng sasi ing taún Dal diowahi dadi : 30, 30, 29,
29, 29, 29, 30, 29, 30, 29.
Pêrluné owah-owahan iku supåyå tibané Grêbêg Muludíng tahún Dal lêstari tibå dinå:
Sênèn Pón.
Mangkono satêrusé sabên ganti Kurúp ånå owah-owahan tibané tahún wuntu (dåwå)
lan umuré sasi ånå ing taún Dal.
Pamrihé supåyå tibané Grêbêg Muludíng tahún Dal ajêg ing dinå Sênèn Pón.
Kanthi mangkono, biså dimangêrtèni mênåwå Jåwå pancèn luwíh ‘pintêr’ ing babagan
yåså pênanggalan.
Nyatané ora múng anggêr madhakaké pênanggalan Cåndråsangkålå Jåwå karo
pênanggalan Hijriyah.
Ånå wêwatón sing kudu dianggo pathókan yaiku Grêbêg Mulúd, kang sêjatiné mèngêti
kêlahiran lan sédané Kanjêng Nabi Muhammad kang sabên tahún Dal kudu tibå dinå
Sênèn Pón.

Sumbêr : Yayasan Sêkarjagad

http://ki-demang.com/index.php?option=com_content&view=category&layout=blog&id=50&Itemid=333 17
07 Pênanggalan Suryåsêngkålå (Båså Jåwå)

Wiwitané pênanggalan Jåwå ånå sing anút lakuné srêngéngé (Pênanggalan Såkå) lan
ånå síng anút lakuníng rêmbulan.
Loro-loroné pådhå dianggo déníng masyarakat Jåwå.
Banjúr kalêbón pênanggalan Hijriyah (Arab) síng ugå digunakaké déníng masyarakat
Jåwå muslím.
Mulå déníng Kanjêng Súltan Agúng banjúr disawijèkaké muríh rukún.
Síng rêsmi banjúr pênanggalan síng anút lakuníng rêmbulan.
Déné pênanggalan síng anút lakuníng srêngéngé sêtêngah dilalèkaké.
Nangíng gandhèng pênanggalan síng anút lakuníng srêngéngé dadi pandómíng
masyarakat kanggo ngêrtèni mångså (musím / kahanan iklím) mulå yå têtêp lêstari
dianggo déníng warganíng masyarakat.
Pangêrtèné mångså mono bédå karo sasi ing pênanggalan síng anút lakuníng rêmbulan.
Umuré mångså béda-béda.
Sêtahún umuré 365 dinå yèn tibå taún Wastu (cêndhak), lan 366 yèn tibå taún Wuntu
(dåwå).
Déné síng dianggo dhasar yaiku prênahé srêngéngé.
Ing wêktu sêtahún. srêngéngé mapan pênêr garís Khatulistiwa kapíng pindho yaiku ing
tanggal 21 Marêt lan tanggal 23 Sèptèmbêr.
Nalikå tanggal 2 Juni, srêngéngé pantóg lór déné pantóg kidulé ing tanggal 21
Désèmbêr.
Krånå nusa Jåwå mapan ing sisíh kidulé garís Katulistiwa, mulå prênahé srêngéngé
sabên sêtahuné luwíh akèh síng ånå sisíh lór katimbang kidúl.
Jumbúh karo owah-owahan prênahé srêngéngé ing dalêm sêtahún iku síng dianggo
dhasar nêmtókaké umuré mångså.
Pratélané mangkéné:
1. Mångså Kaså (1) = Karttikå,
umuré ing taún Wastu : 41 dinå, taún Wuntu : 41 dinå.
Candrané Sêsotyå murcå ing êmbanan.
Mangsané gêgódhóngan pådhå gógróg, kayu-kayu pådhå pruthíl.
Wiwitané mångså kêtigå (kêmarau).
2. Mångså Karo (2) = Puså,
umuré ing taún Wastu : 23 dinå, taún Wuntu : 23 dinå.
Candrané : Bantålå rêngkå.
Mangsané lêmah lêmah nêlå (bênthèt).
Sajroné mångså kêtigå.
3. Mångså Katêlu (3) = Manggasri,
umuré ing taún Wastu : 24 dinå, taún Wuntu: 24 dinå.
Candrané : Sutå manut ing båpå.
Mangsané wít lung-lungan nurút lanjaran.
Wêkasané mångså kêtigå.
4. Mångså Kapat (4) = Citrå,
umuré ing taún Wastu : 25 dinå, taún Wuntu : 25 dinå.
Candrané : Waspå kumêmbêng jroníng kalbu.
Mangsané sumbêr pêpêt, wiwít ånå udan nangíng durúng akèh,

http://ki-demang.com/index.php?option=com_content&view=category&layout=blog&id=50&Itemid=333 18
sawènèhíng wit-witan pådhå sêmi, wóh randhu pådhå garíng kapuké
mabúl, pålåwijå pådhå tuwå, manúk Glathík nêbå ing têgalan.
5. Mångså Kalimå (5) = Månggåkålå,
umuré ing taún Wastu :27 dinå, taún Wuntu: 27 dinå.
Candrané: Pancuran mas sumawúr ing jagad.
Mangsané akèh udan, akèh larón mêtu såkå lèngé, thukulé jamúr têrík,
lêmpuyang sartå kunci mêtu bungé.
Manúk Sriguntíng (Jathithót) pådhå muni sadurungé srêngéngé mlêthèk.
6. Mångså Kanêm (6) = Nåyå,
umuré ing taún Wastu : 43 dinå, taún Wuntu :43 dinå.
Candrané : Råså mulya kasuciyan.
Mangsané wóh-wóhan nêdhêng matêng.
Wanciné nyêbar winíh, ungsúm udan dêrês lan êmbún upas.
7. Mångså Kapitu (7) = Palgunå,
umuré ing taún Wastu : 43 dinå, taún Wuntu :43 dinå.
Candrané : Wiså kéntír ing marutå.
Mangsané akèh lêlårå, wanciné ndhaút lan nandúr pari.
8. Mångså Kawolu (8) = Wisåkå,
umuré ing taún Wastu : 26 dinå, taún Wuntu : 27 dinå.
Candrané: Anjrah jroníng kayún.
Mangsané kucíng gandhík (kawín), ungsúm banjír, glagah pådhå
kêmbang.
9. Mångså Kasångå (9) = Jitå,
umuré ing taún Wastu : 25 dinå, taún Wuntu : 25 dinå.
Candrané: Wêdharíng wacånå mulyå.
Mangsané Gangsír ngénthír lan Garèngpúng muni, banjír wêkasan,
kêmbang glagah rêntah.
10. Mångså Kasapulúh (10) = Srawånå,
umuré ing taún Wastu : 24 dinå, ing taún Wuntu :24 dinå.
Candrané : Gêdhóng minêb jroníng kalbu.
Mangsané kéwan pådhå mêtêng, wiwít panèn génjah.
11. Mångså Dhastå (11) = Pådråwånå,
umuré ing taún Wastu :23 dinå, taún Wuntu : 23 dinå.
Candrané: Sêsotyå sinåråwèdi.
Mangsané manúk pådhå nglólóh anaké, wanci panèn génjah, wóh
randhu pådhå mlêthèk sigar.
12. Mångså Såddhå (12) = Asuji,
umuré ing taún Wastu : 41 dinå, taún Wuntu :41 dinå.
Candrané : Tirtå sah sakíng sasånå.
Mangsané bêdhidhíng adhêm saénggå arang wóng kringêtên.
Wanciné nandúr kêdhêlé, jarak, kapas, lan wiwít nggarap têgal
kanggo nandúr jagúng.
Pênanggalan Suryåsangkålå diuripaké manèh ing tahún Masèhi 1855.
Wiwité mångså Kåså (1) tiba tanggal 22 Juni 1855 Masèhi, nganti pungkasané måså
Sådhå (12) tibå tanggal 20 Juni 1856 Masèhi.
Ånå ing pênanggalan Suryåsangkålå taún Wuntu (dåwå) ditêmtókaké sabên 4 taún

http://ki-demang.com/index.php?option=com_content&view=category&layout=blog&id=50&Itemid=333 19
sêpisan.
Pangêtungé mênåwå angkané taún dipårå 4 kêtêmu pas, tibå taún Wuntu (dåwå).
Déné supåyå pétungan taun Suryåsangkålå mau lêstari cócóg karo lakuné srêngéngé,
katêmtókaké sabên 400 tahún sêpisan.
Tauné Wuntu dibuang 3.
Déné mbuwangé mênåwå angkané taún tiba atusan sing dudu kêlipatané 400.
Síng pênêr kêlipatané 400 ora ånå taún Wuntuné síng dibuwang.
Ing pênanggalan Suryåsangkålå iki, Jåwå katón “pintêr” manèh.
Yaiku nglêbókaké Pawukón lan Wêtónan ing étungan pênanggalan kang anút lakuné
bumi ngubêngi srêngéngé.
Contoné wís kasêbút ing tulisané P.J. Zoetmulder.
Mulané sênajan dianggêp pênanggalan Suryåsangkålå lan Cåndråsangkålå iku nurún
utawa njiplak såkå India lan Arab, kanyatané malah bisa diarani luwíh “pintêr”.
Biså ugå, malah sêjatiné síng dijumbúhaké iku pênanggalan Såkå lan Hijriyah.
Jalaran dianggêp isíh mêntah mênåwå dianggo kêpêntingan Jåwå.
Têgêsé, pênanggalan Såkå lan Hijriyah amúng mligi nêmtókaké wêktu.
Ora kênå kanggo mangêrtèni kahanan alam lan pêngaruhé marang uripé manungså uríp.
Jåwå pancèné luwíh unggúl ånå ing pangêrtèn sêsambungané jagad gêdhé (alam
sêmêsta) lan jagad cilík (manungså).
Têgêsé, kanyatané Jåwå luwíh nduwèni kêsadaran kósmís katimbang liyané.
Kêsadaran kósmís pancadané kêsadaran réligius utåwå kêbêr-Tuhan-an.

Sumbêr : Yayasan Sêkarjagad.

http://ki-demang.com/index.php?option=com_content&view=category&layout=blog&id=50&Itemid=333 20
08 Pawukón - Wêtónan lan Warigagêmêt (Båså Jåwå)

Pênanggalan gêdhé bangêt kagunané ing falsafah uripé wóng Jåwå, ora múng kanggo
ngêrtèni wêktu, nangíng ugå ånå pêngaruhé marang tåtå uríp lan panguripané
manungså.
Panganggêp síng mangkono pancèn klêbu nalar, jalaran tåtå uríp lan panguripané
manungså manggón ing planèt bumi.
Kanyatané planèt bumi iku ora mênêng antêng, nangíng mubêng anút jantrané, saénggå
adhêpé marang srêngéngé mahanani anané awan (rainå) lan wêngi.
Kêjåbå mubêng pribadi, bumi ugå lumaku ngubêngi srêngéngé síng mahanani étungan
taún.
Sêmono ugå rêmbulan rak yå ngubêngi bumi anút jantrané.
Têrus tåtå-surya ing ngêndi planèt bumi manggón, bêbarêngan lumaku manút jantrané.
Lumakuné kabèh kang ing ngangkåså cêthå mênåwå sabên wêktu ndadèkaké owah-
owahan adhêpé siji lan sijiné.
Owah-owahan adhêp iku síng banjúr dititèni lan digolèki (diobsèrvasi) sawabé
(pêngaruhé) marang tataníng uríp lan panguripané manungså.
Anané têngêr utawa jênêng dinå, pasaran, wuku lan sapituruté yaiku kanggo mbédak-
mbédakaké pêngaruhé sawijiníng wêktu marang tåtå uríp lan panguripan.
Déné dhasar pamikiré, mênåwå sabên wêktu kahanan "médan kosmís” sêmèsta alam
kang nglingkupi planèt bumi owah gingsír kanthi dinamís.
Sabên owah-owahan médan kosmís ånå dåyå pangaribawané dhéwé-dhéwé marang
isiníng donyå (planèt bumi).
Pangaribawané ora múng ing tåtå lair wujúd gilír gumantiné mångså (iklím) , nangíng
ugå marang kahanan kosmís kang ånå pêngaruhé marang tumitah uríp síng manggón
ing donyå (planèt bumi).
Krånå pamêsu budiné pårå lêluhúr Jåwå ing jaman biyèn, banjúr biså paríng pandóm
(pêdoman) munggúh sawabé (pêngaruhé) wêktu marang tåtå uríp lan panguripané
manungså.
Pêngaruhé wêktu marang tåtå uríp lan panguripané manungså diarani Kawruh Pawukón
lan Wêtónan.
Pangêrtèn mangkéné iki pancèn ora gampang ditåmpå.
Nangíng mênåwå kêrså mênggalíh síng jêro, kanyatané mênåwå manungså karo Gusti
Kang Múrbèng Dumadi dipapanaké ånå ing planèt bumi síng múng pérangan cilík såkå
anané Jagad Raya iki.
Lha rak yå nalar mênåwå kahanan owah gingsiré (dinamikané) Jagad Raya iki ånå dåyå
pangaribawané marang uripé manungsa?
Pawukón lan Wêtónan ing bêbrayan Jåwå baku bangêt, amargå tansah ajêg umuré.
Bédå karo Pênanggalan (sasi lan taún) síng ånå owah-owahan umuré.
Pawukón lan Wêtónan ora pêduli karo owah-owahan, tansah ajêg.
- 1 dinå = 24 jam,
- 1 wuku = 7 dinå wiwít Ngahad (Akad) têkan Saptu.
- Saubêngan (sak dór) wuku ånå 210 dinå.
Sabên dinå ing étungan wuku ngêmót pêpak sawêrnané étungan dinå:
1). Padinan (ubêngan dinå cacah 7),
2). Pasaran (ubêngan dinå cacah 5), lan

http://ki-demang.com/index.php?option=com_content&view=category&layout=blog&id=50&Itemid=333 21
3). Paringkêlan (ubêngan dinå cacah 6).
Wóndéné gunané Pawukón lan Wêtónan ora mung kanggo nêmtókaké wêktu, nangíng
ugå digunakaké:
1. Kanggo nyumurupi ålå lan bêciké wêktu tumrap wóng síng
arêp duwé pêrlu, kåyådéné: mantu, supitan, ngêdêgaké
omah, pindhahan, lêlungan adóh, lan liyå-liyané.
2. Kanggo nyumurupi watêk lan kadhar nasibé siji-sijiníng
pawóngan miturút wêktu lairé.
Biså diarani kayadéné astrologi utawa horoscoop, andharané dåwå lan muyêk bangêt.
Kanggo nyumurupi kapêrluwan róng pêrkårå iku, Pawukón lan Wêtónan dipêpaki
manèh prabóté.
Kêjåbå ingkang wujúd arané wêktu (Padinan, Pasaran, lan Paringkêlan), uga ditambahi
étungan ubêngan dinå kang dudu pênanggalan, yaiku kang disêbút :
01. Padéwan (ubêngan dinå cacah 8) lan
02. Padangón (ubêngan dinå cacah 9).
Ubêngan dina wêrna loro iki dudu pênanggalan, nangíng dibutúhaké kanggo
mangêrtèni watakíng dinå.
Mula anggóné nglêbókaké ing étungan Pawukón lan Wêtónan kang cacahé 210 dinå,
dijumbúhaké karo watakíng wuku.
Kanggo mangêrtèni watakíng dina isíh ånå tambahan prabóté Pawukón lan Wêtónan:
1. Pétúng Bincilan, cacahé ånå 3:
1). Bincíl Påncåsudå,
2). Bincíl Rakam, lan
3). Bincíl Paarasan.
2. Luluri, cacahé ånå 6 :
1). Sampar Wangké,
2). Taliwangké,
3). Sarík Agúng,
4). Kaladhité,
5). Dhêndhan Kukudan, lan
6). Séngkan Turunan.
Såkå kabèh prabóté wuku kang ånå, siji-sijiné diwènèhi watak.
Kanthi nggabúngaké kabèh watakíng Prabót Pawukón mau banjúr biså ditêmtókaké
watak siji-sijiné dinå ing dalêm saubêngan Pawukón lan Wêtónan ingkang disêbút
Warigå Gêmêt.
Ånå ing Bali kang nyatané uga ‘tunggal pêradaban” karo Jåwå, Warigå Gêmêt iku
disêbút Pêwarigaan.

Sumbêr : Yayasan Sêkarjagad.

http://ki-demang.com/index.php?option=com_content&view=category&layout=blog&id=50&Itemid=333 22
09 Wataké Prabót Pawukón lan Wêtónan 01 (Båså Jåwå)

A. Wataké Dinå Pênanggalan

Salah sijiníng kanyatan síng tan biså disélaki, mênåwå uríp iku dipanggónaké ånå ing
alam (tata surya).
Luwíh khusus manèh ånå ing donya (planèt bumi). Saénggå kanthi mangkono owah
gingsiré kahanan ing planèt bumi kagawa såkå laku jantraníng alam sêmèsta mêsthi ånå
pêngaruhé marang tataníng uríp lan panguripané titah.
Owah gingsiré kahanan ing bumi yå såkå kadayan déníng dinamikané alam sêmèsta
(Sunatullah).
Jåwå nduwèni kawrúh kanggo mangêrtèni owah gingsiré kahanan sabên wêktu kang
sabanjuré ditêngêri kanthi mènèhi watêkíng wêktu utåwå disêbút ciriwanci.
Ciriwanci mono dhasaré såkå owah-owahané médan kósmís kang dumadi ing sabên
wêktu.
Êmbúh kêpriyé biyèn-biyèné pårå winasís lêluhúr Jåwå bisané nêmókaké ciriwanci-
ciriwanci kasêbút.
Biså ugå krånå mangêrtèni sawabé såkå prabaníng (médan kósmís) kabèh kang gumêlar
ing jagad (bênda angkasa) marang kahanané planèt bumi.
Saénggå biså dikawruhi pêngaruhé marang watak lan nasibé manungså kang lair manút
wuku lan wêtóné.
Månggå sêsarêngan disêtitèkaké paringé watak wêktu (ciriwanci) kasêbút ing ngisór
iki.
A. Wataké Dinå Pênanggalan Padinan (dinå pétúng 7):
1. Akad = Radhité (Srêngéngé),
sasmitå båså kawiné : Mawi såtå kadaluwarså
waluyålåyå,
têgêsé: Wóng lêlungan kalungsé ing taún mulih mati.
Watêké : ajêg, madhangi, panas, mêrbawani, nguripi.
2. Sênèn = Soma (Rêmbulan),
sasmitå båså kawiné : Waktrå kanisanri nétrå awindé
budåyå,
têgêsé: Mukå kélangan mripat ngélingi budi.
Watêké : owah gingsír, éndah gawé sêngsêm.
3. Sêlåså = Anggårå (Gêni),
sasmitå båså kawiné: Séwå ritayé sogatå babanggånå urå,
têgêsé : Sakabat kélangan guru pancabakah dadi urå.
Watêké : mangalad-alad panas, mbêsmi.
4. Rêbo = Buddhå (Bumi),
sasmitå båså kawiné: Sakathanirå darukipangirå dalayún,
têgêsé : Pêdhati tanpå kusír pangiringé salèwèngan.
Watêké : mómót, antêng, nrimå.
5. Kêmís = Wrahaspati/Rèspati (Gêlap/Thathít),
sasmitå båså kawiné: Mamingkå rênggadikårå karanånyå
tunå,
têgêsé :Wóng ninggal pagawèn baku iku dadi dalané

http://ki-demang.com/index.php?option=com_content&view=category&layout=blog&id=50&Itemid=333 23
atunan.
Watêké : gawé girís.
6. Jumuwah = Sukrå (Banyu/Udan),
sasmitå båså kawiné : Katènti nuti jugayå múrkå ma
dúrhåkå,
têgêsé : Anuruti karså iku múrkå.
Watêké : awèh kasêgêran lan kasuburan, mbandhang
samubarang.
7. Saptu = Saniscårå (Angín),
sasmitå båså kawiné: Samadi måså såyå lano palaksånå,
têgêsé: Sêmaya mangsané têkan jangji têtêp kêlakón.
Watêké: Sumilír sêgêr nangíng nggåwå lêlårå.

Pasaran (dinå pétúng 5):


Pårå lêluhúr biyèn anggóné maringi têngêr watak Pasaran nganggo pasêmón wujúd
têmbúng utåwå ukara ngêmu suråså.
Ugå nganggo pasêmón wataké kéwan. Kanthi mangkono anggóné biså mêruhi watak
wantuné Pasaran kudu biså nyuråså têmbúng lan ngirå-irå watak wantuné kéwan síng
dianggo nyêmóni:
1. Kliwón,
ukårå pasêmóné: wiså martå dúrjånå têngah, ånå bêciké
lan ånå alané, pintêr micårå, titís panitèné marang ålå lan
bêcík.
Pasêmón watakíng kéwan : munyúk lan asu.
Wataké munyúk: dhêmên pènèkan, galak ora biså tutút,
såbå dharatan / kêkayón / banyu, sênajan wís dipakani isíh
gêlêm nyakót lan ngiwi-iwi sing makani, ora kênå
dicêdhaki lan dibêciki.
Wataké asu : sêtiyå tuhu marang bêndarané nanging crobo
pangané, nalaré ajêg sukåwiryå, gêdhé kêkarêpané, akèh
slamêt lan pujiné.
2. Lêgi,
ukårå pasêmóné : sumêndhi ngibaraté Ratu utawa Bupati,
mêngku, sagúh, lêgå, pradhah.
Pasêmón watakíng kéwan : kucíng lan tikús.
Wataké kucíng : awas, tutút, bungah atiné tan duwé
sanggarunggi, bilahiné dipaékå, sawisé dipaékå lagi mêtu
curigané, biså amór sugíh lan mlarat.
Wataké tikús : yèn bêngi mêlèk, awas, akèh pangati-atiné,
bingúng atiné såkå awaké dhéwé, sathithík pangané, mandi
cakótané, samubarang síng dicakót gêlís mati, nitèni
panggawé ålå lan bêcik, sêríng diwisåyå (disalahi) liyan,
gêdhé bêgjané nangíng yå gêdhé bilahiné.
3. Pahíng,
pasêmóné têmbúng : cêndhånå, mélikan barang, pradhah,
têmêné muríh misíl (éntúk bathi/untúng).

http://ki-demang.com/index.php?option=com_content&view=category&layout=blog&id=50&Itemid=333 24
Pasêmón watakíng kéwan: macan.
Wataké macan : adóh sabané, lunggúh dhéwé, arang
mangané (wani luwé) kêjåbå yèn dadi ingón- ingóné ratu,
akèh satruné, yèn didhisiki (dijalari) mbilahèni, yèn
ndhisiki ora dadi åpå, yèn duwé gêgaman rêsikan, nêpsuné
såkå wóng wadón, kêrêp diapusi, barangé kang ilang
arang kang biså bali.
4. Pón,
ukårå pasêmóné : samahita lakuníng Nabi budiné tutút,
pituturé akèh digugu, nguthúh.
Pasêmón watakíng kéwan : wêdhús.
Wataké wêdhús: sabané ora adóh, síng dipangan tanduran
têgêsé múng duwèké dhéwé, asríng muríng-muríng marang
bojo lan anak batihé, nalaré kuwúr, sênêng bijikan (bêrík),
wani marang síng ngingu, yèn wani ora kênå dipênggak,
sêdhêng kayané.
5. Wagé,
ukårå pasêmóné : prabuanóm lakuníng dhandhang, singgíh
nangíng angkúh.
Pasêmón watakíng kéwan : sapi.
Wataké sapi : tutút sakarêpé síng ngêrèh dadi, pangané
kudu diingoni, dhoso, yèn dipêcút sók ngamúk, sabarang
tinubrúk, sêthithík amburu pangan, yèn mêmangan lali
wóng tuwå lan sanak sêduluré, pêtêng pikiré, asríng kênå
pitênah.
Paringkêlan (dinå pétúng 6):
1. Tunglé (ujungan, gódhóng), watêké : sagúh lan kumbi.
2. Aryang (tiyang, uwóng), watêké: lalèn.
3. Warukúng (kéwan), watêké : lénå.
4. Paningrón (iwak lóh), watêké : kênå apús.
5. Uwas (manúk), watêké : takabúr.
6. Mawulu (wiji), watêké: ngirå-irå.

Sumbêr : Yayasan Sêkarjagad.

http://ki-demang.com/index.php?option=com_content&view=category&layout=blog&id=50&Itemid=333 25
10 Wataké Prabót Pawukón lan Wêtónan 02 (Båså Jåwå)

01. Wataké Dina Dudu Pênanggalan


1. Sri, watêké : wêlasan lan kinasihan.
2. Indrå, watêké: nastiti, angkúh, sugíh kawrúh.
3. Guru, watêké sinêbå, angganjar, lèmèr mblubút.
4. Yåmå, watêké : lumúh, agúng maklumé.
5. Rudrå, watêké: galak, sangar mêrbawani.
6. Bråmå, watêké: panasbaran (kêras lan gampang nêsu).
7. Kålå, watêké : candhålå, múrkå, góróh.
8. Umå, watêké : wêlasan, susah, jail.

02. Padangón (dina pétúng 9):


1. Dangu têgêsé watu, watêké: mênêng, cublúk, abót, atós.
2. Jagúr têgêsé macan, watêké: galak, awas, luwês, roså.
3. Gigís têgêsé bumi, watêké : jêmbar, ngrêkså, mómót.
4. Kérangan têgêsé srêngéngé, watêké : kêras, titi, ajêg, ngawruhi ålå
lan bêcík, padhang.
5. Nohan têgêsé rêmbulan, watêké : sukå bungah lan sêngsêm,
wêlasan, kênå pitênah.
6. Wogan têgêsé ulêr, watêké : mugên, antêpan.
7. Tulús têgêsé banyu, watêké : têmên, rosa, jêmbar, diérami, lêmbút
pangarahé.
8. Wurúng têgêsé gêni, watêké : panasbaran ing sabarang karêpé.
9. Dadi têgêsé kayu, watêké: luhúr lumúh kaungkulan.
Prabót Pawukón lan Wêtónan Bincilan
Bincíl utawå bincilan ugå pétungan dinå nangíng dudu pétungan wêktu.
Amargå bincíl ora ngétúng pirang dinå lawasé utåwå tibå dinå åpå.
Bincíl iku milah - milah ålå bêciké dinå srånå mènèhi kêrtåaji marang
dinå lan pasaran.
Digunggúng têrús dipårå pirå lan malang utåwå turahé pirå, tiba
unèn-unèn åpå.
Gunggungé kêrtåaji dinå lan pasaran diarani nêptu.
Wóndéné jinisíng pétungan bincíl akèh, sêmono ugå unèn-unèn
pralambangé ugå wêrnå - wêrnå.
Síng kaaturaké múng síng wis kalumrah dimót ing buku primbón lan
unèn unèné wís pådhå dikawruhi wóng akèh.

03. Bincíl Påncåsuda


Kanggo ngétúng Bincíl Påncåsudå, dinå lan pasaran diwènèhi kêrtåaji:
Dinå :
01. Akad = 6,
02. Sênèn = 4,
03. Sêlåså = 3,
04. Rêbo = 6,
05. Kêmís = 5,

http://ki-demang.com/index.php?option=com_content&view=category&layout=blog&id=50&Itemid=333 26
06. Jumuwah = 7,
07. Saptu = 8.
Pasaran :
01. Kliwón = 8,
02. Lêgi = 5,
03. Pahíng = 9,
04. Pón = 7,
05. Wagé = 4
Gunggúng kêrtåaji dinå lan pasaran têrús dipårå 7, mênåwå:
01. Turah 1, - Waséså Sêgårå :
sugíh pangapurå, pradhah, jêmbar budiné, mrêbawani.
02. Turah 2, - Tunggak Sêmi :
lumintu rêjêkiné.
03. Turah 3, - Satriyå Wibåwå :
nåmpå kamulyan lan kaluhuran.
04. Turah 4, - Sumúr Sinåbå :
sugíh kawrúh biså dadi pangungsèn lan diguróni.
05. Turah 5, - Satriyå Wirang :
tansah nêmu pakéwúh lan kêwirangan.
06. Turah 6, - Bumi Kapêtak :
tabêri nyambút gawé, kuwat nandhang gêlå lan lårå låpå, rêsikan,
putungan ati.
07. Pêrsís 0, - Lêbu Katiyúb Angín :
nandhang susah lan sial, síng digayúh ora kêlakón, angèl bisané
kêklumpúk.

04. Bincíl Rakam


Pangétungé Bincíl Rakam nganggo mènèhi kêrtåaji dinå lan pasaran:
Dinå :
01. Ahad = 3,
02. Sênèn = 4,
03. Sêlåså = 5,
04. Rêbo = 6,
05. Kêmís = 7,
06. Jumuwah = 1,
07. Saptu = 2.
Pasaran :
01. Kliwón = 1,
02. Lêgi = 2,
03. Pahíng = 3,
04. Pón = 4,
05. Wagé = 5.
Gunggúng kêrtåajiné dina lan pasaran dipårå 6, mênåwå:
01. Turah 1, - Kålå Tinantang :
kadúk wani, akèh mungsuhé
02. Turah 2, - Dêmang Kandhuruwan :

http://ki-demang.com/index.php?option=com_content&view=category&layout=blog&id=50&Itemid=333 27
ngiringaké dhahuru, sênêng gawé pêrkårå.
03. Turah 3, - Sanggar Waringín :
ngayómi.
04. Turah 4, - Mantri Sinarojå :
bêgjå tan mulyå.
05. Turah 5, - Macan Katawan :
nêlangså, susah nangíng kêcukupan.
06. Pêrsís 0, - Nuju Pati :
apês, nangíng nduwèni kawigatèn ing babagan kêbatinan

05. Bincíl Parasan


Pangétungé nganggo mènèhi kêrtåaji dinå lan pasaran:
Dinå :
01. Akad = 5,
02. Sênèn = 4,
03. Sêlåså = 3,
04. Rêbo = 7,
05. Kêmis = 8,
06. Jemuwah = 6,
07. Setu = 9
Pasaran :
01. Kliwón = 8,
02. Lêgi = 5,
03. Pahíng = 9,
04. Pón = 7,
05. Wagé = 4.
Gunggúng kêrtåajiné dinå lan pasaran dipårå 10, mênåwå:
01. Turah 1, - Aras Tudíng :
tansah kêtiban sampúr ing samubarang åpå baé.
02. Turah 2, - Aras Kêmbang :
nduwèni “pêsona / dåyå tarík” tumrap lawan jênís.
03. Turah 3, - Lakuníng Lintang :
lumúh sêpi mandhitå mlarat.
04. Turah 4, - Lakuníng Rêmbulan :
gawé sêngsêm lan rêsêp.
05. Turah 5, - Lakuníng Srêngéngé :
padhang sêmbådå mrêbawani
06. Turah 6, - Lakuníng Banyu :
adhêm, lomå, gampang rêjêkiné.
07. Turah 7, - Lakuníng Bumi :
mêngku, mómót, ngêmóng.
08. Turah 8, - Lakuníng Gêni :
panasbaran.
09. Turah 9, - Lakuníng Angin :
pintêr gawé sênêng nangíng ugå mêdèni yèn nêsu.
10. Pêrsís 0, - Aras Pêpêt :

http://ki-demang.com/index.php?option=com_content&view=category&layout=blog&id=50&Itemid=333 28
sial, apês, angèl rêjêkiné, landhêp panggraitané
Prabót Luluri
Diarani luluri jalaran kawruhé ora nganggo ngétúng.
Múng såkå asilíng nitèni siji-sijiníng dinå sajroné 210 dinå, pådhå
karo saubêngan wuku (30 minggu).
Mbókmênåwå baé biyèn-biyèné pårå lêluhúr múng ndhasaraké såkå
pêngalaman.
Sênajan mangkono, kanyatané isíh disêtitèkaké bangêt déníng pårå-
pårå kang mumpuni ing babagan pawukón lan wêtónan.
Jinisíng Prabót Pawukón Luluri mangkéné:

06. TaliWangké
Têgêsé nalèni wangké (mayít, bathang).
Wataké ing dinå iku akèh bêbåyå kang gêdhé.
Munggúh ing wataké manungså : mbrêngkélé lan nylêkít ómóngané
saénggå gampang gawé prêkårå lan påncåkårå.
Cacahé ånå 6 :
01. Sênèn ing wuku Wuyé,
02. Sêlåså ing wuku Wayang,
03. Rêbo ing wuku Landhêp,
04. Kêmís ing wuku Warigalit,
05. Jumuwah ing wuku Kuningan,
06. Saptu ing wuku Kuruwêlut.

07. Sampar Wangké


Nyampar wangké (mayít, bathang).
Wataké ing dinå iku akèh nêmóni kasusahan kang ora ngêpénakaké ati.
Munggúh kanggo wataké manungså : asríng nêmóni kasusahan kang
ora kanyånå-nyånå.
Cacahé ånå 5 :
01. Sênèn ing wuku Sintå,
02. Sênèn ing wuku Warigalít,
03. Sênèn ing wuku Langkír,
04. Sênèn ing wuku Tambír,
05. Sênèn ing wuku Bålå.

08. Sarik Agúng


Têgêsé sirikan gêdhé.
Wataké ing dinå iku kudu disirík, kåyådéné wêwalêr (larangan).
Munggúh kanggo wataké manungså: angèl srawúng karo wóng liyå.
Cacahé ånå 4:
01. Rêbo ing wuku Kurantíl,
02. Rêbo ing wuku Galungan,
03. Rêbo ing wuku Marakèh,
04. Rêbo ing wuku Bålå.

http://ki-demang.com/index.php?option=com_content&view=category&layout=blog&id=50&Itemid=333 29
09. Kålå Dhité
Têgêsé bêbåyå kang ngênggóni dinå Akad (Radhité).
Wataké ing dinå iku akèh sambékålå.
Munggúh kanggo wataké manungså: nduwèni watak wantu sênêng
nyusahaké liyan.
Cacahé ånå 3:
01. Akad ing wuku Warigagúng,
02. Akad ing wuku Kuruwêlút,
03. Akad ing wuku Dhukút.

10. Dhêndhan Kukudan


Têgêsé anané dhêndhå kang bisa marakaké kukúd ludhês.
Wataké ing dinå iku akèh kang kadhêndhå lan kukúd ing samubarangé.
Munggúh kanggo wataké manungså : nduwèni watak sênêng mêrês
marang liyan.
Cacahé ånå 3 urut-urutan :
01. Akad,
02. Sênèn,
03. Sêlasa kabèh ing wuku Galungan.

11. Séngkan Turunan


Têgêsé sumêngkå (lunga)-né lan tumurún (tumêka)-né kahanan ålå
bêciké dinå manút wêrnané Séngkan Turunan iku.
Cacahé wêrnå 5, ing sajroné 30 dinå siji-sijiné sumêngkå sêpisan
tumurún sêpisan, ajêg lêt 15 dinå.
Kanthi mêngkono sumêngka lan tumuruné mêsthi pådhå pasarané.
Ing sajroné saubêngan wuku (210 dina) siji-sijiné sumêngkå kapíng 7,
tumurún kapíng 7 mangkéné
1. Asu Ajag
Pralambang kahanan bêbåyå marang kasarasan lan kaslamêtané
jiwå rågå.
Mênåwå sumêngkå atêgês bêbayané wis lungå, kanggo wataké
manungså : bisa kasinungan mrantasi bêbåyå.
Mênåwå tumurún bêbayané iku tumêkå, kanggo wataké manungså :
kanthi ora sêngåjå nuwúhaké bêbåyå marang liyané.
Sumêngka ing dinå : pasaran Paíng paringkêlan Mawulu
Tumurún ing dinå : pasaran Paíng paringkêlan Wurukúng
2. Sapi Gumarang
Pralambang dåyå kabirahèn.
Mênåwå sumêngkå kahanan ing dinå iku lêsu lungkrah, munggúh
kanggo wataké manungså : kurang nduwèni grêgêt ing kabirahèn.
Mênåwå tumurún kahanan ing dinå iku nyêngsêmaké lan
gawé sêmangat, munggúh kanggo wataké manungså: gêdhé
kabirahèné.
Sumêngkå ing dinå : pasaran Pón paringkêlan Paningrón
Tumurún ing dinå pasaran Pón paringkêlan Tunglé

http://ki-demang.com/index.php?option=com_content&view=category&layout=blog&id=50&Itemid=333 30
3. Cèlèng Dêmalúng
Pralambang anané gangguwan wóng golèk rêjêki sandhang pangan.
Mênåwå sumêngkå kahanan dinå iku slamêt tulús kanggo golèk
rêjêki sandhang pangan, kanggoné wataké manungså :
tansah gampang sandhang pangané ora ånå síng ngrêribêti.
Mênåwå tumurún kahanan ing dinå iku akèh sambékålå kanggo
golék rêjêki sandhang pangan, mênåwå kanggo wataké manungså:
anggoné golèk rêjêki sandang pangan tansah nêmu rubédå.
Sumêngka ing dinå pasaran Wagé paringkêlan Tunglé.
Tumurún ing dina : pasaran Wagé paringkêlan Paningrón
4. Kuthilapas
Pralambang kahanan kang gumyak nyênêngaké nangíng asríng
salah kêdadèn dadi ribút.
Mênåwå sumêngkå kahanan ing dinå iku ayêm têntrêm sêpi,
munggúh kanggo wataké manungså : angèl srawúng nangíng ya ora
nåtå ngrusuhi liyan.
Mênåwå tumurún kahanan ing dinå iku gumyak nangíng akèh
kêdadéyan sêlíng surúp, munggúh kanggo wataké manungså :
akèh kancané nangíng ugå asríng diganggu karo mitrå kancané iku.
Sumêngka ing dinå: pasaran Kliwón paringkêlan Uwas
Tumurún ing dinå : pasaran Kliwón paringkêlan Aryang
5. Sri (Srigati)
Pralambang larang murahé rêjêki lan kabêgjan.
Mênåwå sumêngka kahanan ing dinå iku larang rêjêki lan akèh
kapitunan, munggúh kanggo wataké manungså : angèl rêjêkiné lan
tansah sial.
Mênåwå tumurún kahanan ing dinå iku akèh rêjêki lan kabêgjan,
munggúh kanggo wataké manungså : gampang rêjêki lan bêgjané.
Sumêngkå ing dinå : pasaran Lêgi paringkêlan Warukúng
Tumurún ing dinå : (pasaran, paringkêlan, dinå 7)
1. Lêgi Mawulu Ngahad tumurún ing taman
2. Lêgi Mawulu Sênèn tumurún ing pawón
3. Lêgi Mawulu Sêlåså tumurún ing kandhang
4. Lêgi Mawulu Rêbo tumurún ing paturón
5. Lêgi Mawulu Kêmís tumurún ing lumbúng
6. Lêgi Mawulu Jumuwah tumurún ing pêdaringan
7. Lêgi Mawulu Saptu tumurún ing lêsúng

Sumbêr : Yayasan Sêkarjad.

http://ki-demang.com/index.php?option=com_content&view=category&layout=blog&id=50&Itemid=333 31
11 Wataké Prabót Pawukón lan Wêtónan 03 (Båså Jåwå)

É. Wårigå Gêmêt

Watêké pétungan dinå minångkå prabóté pawukón kåyå síng diandharaké iku
dikarêpaké kanggo mangêrtèni watêkíng dinå ing pétúng pawukón kang disêbút Warigå
Gêmêt.
Kanthi nggabúngaké watêkíng pétúngpétung dinå iku biså disumurupi anané dinå kang
bêcík lan ålå mênåwå kanggo pakaryan, utåwå kanggo mangêrtèni watêkíng manungså
síng kêlaír ing dinå kasêbút.
Anangíng pétúng pawukón múng kanggo pandóm garís bêsaré.
Bakuné pådhå dimangêrtèni mênåwå kanggoné pangêrtèn Jåwå, kahanan ing sabên
dinané iku tansah owah gingsír.
Owah gingsiré kahanan iku sabdå dhawuhing Gústi kang nitahaké alam sêmèsta iki.
Klêbu sunatullah munggúh ing pangêrtèn Islam.
Têgêsé Warigå Gêmêt iku kêsimpulan ålå bêcikíng siji-sijiníng dinå ing saubêngan
wuku.
Cacahé ånå 210 dinå.
Sabên siji-sijiníng dinå ing sajroné saubêngan wuku duwé watak ålå utawa bêcík
(rahayu).
Carané nêmtókaké ålå bêcikíng dinå nganggo nggabúngaké kabèh watak-wataké prabót
Pawukón lan Wêtónan kang wís diaturaké.
Mênåwå bakal kanggo ngadani pakaryan gêdhé kåyådéné duwé gawé lan
sapanunggalané pêrlu digatèkaké sirikan-sirikan kasêbút ing ngisór iki

Dinå pênanggalan:
01. Dinå pétungan 7 (Saptåwårå),
kabèh dianggêp bêcik ora ånå síng disirík.
02. Dina Pasaran (Påncåwårå),
kabèh ora ånå síng disirík.
03. Dinå Paringkêlan (Sadwårå),
síng disirík siji paringkêlan Aryang.

Dinå kang dudu pênanggalan:


01. Dinå Padéwan (Aståwårå), síng disirík siji : padéwan Kålå.
02. Dina Padangón (Sångåwårå), síng disirík siji : padangón Wurúng.

Prabóté Pawukón Bincilan (pétúng nêptu):


Pancasudå ånå 7 warnå, kang disirík 3, yaiku :
01. Satriyå Wirang,
02. Bumi Kapêtak, lan
03. Lêbu Katiyúb Angín.

Rakam ånå 6 warnå, sing disirík 3, yaiku :


01. Kålå Tinantang,
02. Dêmang Kandhuruwan, lan

http://ki-demang.com/index.php?option=com_content&view=category&layout=blog&id=50&Itemid=333 32
03. Nuju Pati.

Paarasan ånå 10 warnå, síng disirík 2, yaiku :


01. Aras Tudíng lan
02. Aras Pêpêt.

Prabóté Pawukón Luluri:


01. Tali Wangké, ånå 6 disirík kabèh.
02. Sampar Wangké, ånå 5 disirík kabèh.
03. Sarik Agúng, ånå 4 disirík kabèh.
04. Kala Dhité, ånå 3 disirík kabèh.
05. Dhêndhan Kukudan, ånå 3 urut-urutan disirík kabèh.
06. Séngkan Turunan, ånå 10 síng disirík 5, yåiku :
01. Asu Ajag Tumurún,
02. Sapi Gumarang Tumurún,
03. Cèlèng Dêmalúng Tumurún,
04. Kuthilapas Sumêngkå, lan
05. Srigati Sumêngkå.
Warigå Gêmêt (kêsimpulan ålå bêcikíng dinå), katúr ing kutipan Primbón Pawukón.
Warigå Gêmêt lumrahé isíh diganêpi nganggo watón-watón liyané nalikané golèk dinå
bêcik kanggo sawijiníng kapêrluwan.
Jalaran manút panêmuné wóng Jåwå pancèn ånå watón-watón síng kudu diênggóni
tumrapíng sasi, tanggal, lan dinå.

Sasi :
1. Siji-sijiníng sasi iku ånå sing dianggêp bêcík kanggo kêpêrluwan.
2. Siji-sijiníng sasi ånå dina sing diarani “sangar” lan “larangan”
sing pêrlu disirík.
3. Sasi kang ora ånå dinané Anggårå Kasíh (Sêlåså Kliwón) bêciké
disirík.

Tanggal:
1. Ånå tanggal sabên sadhêngah sasi síng dianggêp ålå kanggo
kapêrluwan.
2. Ånå tanggal na’as lan bangas síng pêrlu disirík.

Dinå:
1. Dinå lan pasaran síng padha karo dinå lan pasaran wiwitaning
tahún bêciké disirík.
2. Dinå lan pasaran síng pådhå karo dinå lan pasaran pungkasaníng
tahún bêciké disirík.
3. Dinå lan pasaran kang pådhå karo dinå lan pasaran tanggal 3 Surå
bêciké disirík.

Panampané sabên wóng marang anané Wariga Gêmêt ingkang nêngêri dinå ålå lan
bêcík ora pådhå.

http://ki-demang.com/index.php?option=com_content&view=category&layout=blog&id=50&Itemid=333 33
Biså pêrcåyå biså ora.
Ånå síng nganggêp kabèh dinå bêcík ora pêrlu wêdi mênåwå arêp nindakaké åpå baé.
Nangíng kanggoné pangêrtèn Jawa síng gêgayutan antarané Jagad Gêdhé lan Jagad
cilík, ora biså mênåwå nggêgampang kang kåyå mangkono.
Mbédakaké ålå bêcík, bênêr lupút lan luhúr asór wís kaparingaké Gústi marang titah
manungså.
Måså iyå ora digunakaké kanggo mangêrtèni kahanan ålå lan bêcikíng wêktu?
Babagan nêmtókaké watak lan laku jantrníng uripé manungsa nganggo pétúng wuku
lan wêtón ugå akèh kang nganggêp ómóng kósóng.
Panganggêp kang kåyå mangkono iku mêsthi mêtu såkå tutuké wóng kang ora nduwèni
kêsadaran kósmís.
Lali mênawa uripé mapan manggón ånå ing bumi kang múng sapérangan cilík såkå
jagad råyå.
Salaginé marang posisiné dhéwé nèng donyå baé lali, åpå manèh dikóngkón mbêciki
liyané. Uripé múng kanggo awaké dhéwé.
Salaginé ubêngé bumi síng ndadèkaké awan lan bêngi baé wís ånå pêngaruhé marang
kabèh tumitah uríp.
Klêbu manungså kang lumrahé yèn awan mêlèk bênginé turu.
Måså iyå bisa maido anané pêngarúh owah gingsiré aurora alam marang watak lan
panguripané manungså?
Pawukón lan Wêtónan dudu karangan síng ngawúr lan ngåyåwårå.
Nangíng mujudaké kawrúh utåwå ngèlmu mangêrtèni owah gingsiré aura lan aurora
(médan kósmís) alam sêmèsta.
Sawijiníng ngèlmu karyå ciptané lêluhúr Jåwå kang sipat univêrsal.
Biså ditrapaké ing papan ngêndi baé anggêré isíh ånå ing planèt bumi.
Ugå bisa dianggo “sêpanjang jaman’. Éman bangêt mênåwå wóng Jåwå ora gêlêm
nyinau lan nguri-uri.

Sumbêr : Yayasan Sêkarjagad.

http://ki-demang.com/index.php?option=com_content&view=category&layout=blog&id=50&Itemid=333 34
12 Sengkalan

Tembung “sengkalan” asalé saka tembung “saka” lan “kala”


Saka utawa çaka iku jenengé bangsa Indhu, kala utawa kala ateges wektu.
Sakakala yaiku kalané ana ratu golongan çaka kang jumeneng ing tanah Indhu sisih
kidul, lan wektu iku wiwitan\é tahun saka, yaiku taun 1 utawa taun 78 masèhi.
Mungguh kang dikarepaké “sengkalan”, yaiku unèn unèn kang nduwèni teges
angkaning taun.
Jaman biyèn kang kanggo pétungan ing Tanah Jawa taun Saka.
Nanging saiki ana kang migunakaké taun rembulan, yaiku kang pétungan sasiné manut
lakuning rembulan, diarani: “Candrasengkala”.
Sengkala kang adhedhasar taun srengéngé, diarani: “Suryasengkala”

Adhedhasar wujud lan dhapukané, sengkalan ana warna loro;


1. Sengkalan lamba,
yaiku sengkalan kang awujud kumpulaning tembung utawa wujud ukara.
2. Sengkalan memet,
yaiku sengkalan kang awujud gegambaran utawa pepethan.

Mungguh carané nyurasa utawa maca sengkalan iku kawiwitan saka ékané, banjur
dasan, yèn ana atusan lan éwoné.
Tuladha : Rupa sirna retuning rumi
Rupa = 1 (ékan)
sirna = 0 (dasan)
retu = 6 (atusan)
bumi = 1 (éwon) dadi taun : 1601

Mungguh carané nggoléki aji utawa wataking tembung miturut Candra Sangkala
karangané Ki Bratakésawa, kena migunakaké wewaton sawetara, yaiku:
1. Guru Dasa nama,
Tembung tembung kang padha tegesé dianggep padha ajiné.
Tembung: ratu, naréndra, nata, katong, pamasé, aji, iki kabèh watak
siji.
2. Guru sastra,
Tembung tembung kang sastrané utawa panulisé padha, ajining uga
padha.
Tembung: êsthi, kang ateges gajah, èsthi kang ateges sedya utawa pikir
ajiné padha yaiku: wolu.
3. Guru wanda,
Tembung tembung nduwèni wanda kang padha, ajiné dianggep padha.
Tembung: wanita, ajiné padha karo tembung wani, tembung buja ajiné
padha karo tembung bujana, lsp.
4. Guru warga,
Tembung tembung kang mratélakaké jeneng kang nunggal bangsa utawa
warga, ajiné padha, kayata: ula, baya, bulus, tekèk, cecak, kadhal iku
kabèh kalebu kéwan ingkang rumangkang, dadi padha ajiné, yaiku:
wolu.

http://ki-demang.com/index.php?option=com_content&view=category&layout=blog&id=50&Itemid=333 35
5. Guru karya,
Tanduking sawijining tembung, kaanggep padha ajiné karo tembung iku.
Kayata : tangan ajiné padha karo nyekel, mripat padha ajiné karo
tembung ndeleng utama mandeng, lsp.
6. Guru sarana,
Jenengé piranti kang kanggo nindakaké sawijining kriyané, kaanggep
padha ajiné karo tembung iku.
Kayata : ilat karo rasa, padha ajiné yaiku nenem.
7. Guru darwa,
Tembung kaanan, kaanggep padha ajiné karo tembung kang kadunungan
kaanan iku.
Kayata : tembung galak padha ajiné karo tembung danawa, bentèr
padha karo latu, lsp.
8. Guru Jarwa,
Tembung tembung kang jarwané padha utawa mèh padha ajine uga
padha.
Tembung rasa padha karo raras, basu padha karo sawer, lsp.

Tembung tembung kang dianggep nduwèni watak utawa ajining wilangan :


I. Kang awatak siji.
1. Tembung tembung kang cacahé mung siji:
nabi, wudel, bumi, buntut, iku, sirah, ratu, aji, nata, wiji, ati, tyas,
badan, lsp.
2. Tembung tembung araning barang kang wanguné bunder:
rembulan, bumi, jagad, rupa, srengéngé, rai, lèk, candra, wulan, lsp.
3. Tembung tembung kang ateges siji:
tunggal, éka, iji, juga, lsp.
4. Tembung tembung liyane:
urip, gusti, janma, kenya, prawan, nyata, putra, sunu, lsp.
II. Kang awatak loro:
1. Tembung tembung kang cacahé loro:
mripat, kuping, tangan, asta, suku, dresthi, buja, athi athi, swiwi, lsp.
2. Tembung tembung kang nuduhaké kriyané tembung ing ndhuwur:
ndeleng, ngrungu, ndulu, nembah, myat, lsp.
3. Tembung tembung kang teges loro:
dwi, kalih, lsp.
4. Tembung tembung liyané:
gandhèng, kanthi, kanthèt, lsp.
III. Kang awatak telu:
1. Kang nduwèni sesipatan telu:
geni, bahni, pawaka, siking, dahana, anala, utawaka, puji, lsp.
2. Tembung tembung kang kanggo wanda tri utawa teges telu:
mantri, tiga, hantelu, lsp.
3. Tembung tembung: ula, lintah, ujel, welut, nalincing, lir, kaya,
wignya, wrin, guna, kukus, panas, lsp.
IV. Kang Awatak papat:

http://ki-demang.com/index.php?option=com_content&view=category&layout=blog&id=50&Itemid=333 36
1. Bangsané banyu utawa kang ngemu banyu:
hèr, sindang, suci, tirta, wédang, bun, udan, sagara, waudadi,
jalanidhi, bening, nadi, sumber, sumur, wasuh, lsp.
2. Tembung kang ateges papat, catur, pat, lsp.
3. Tembung kang ateges gawé: karta, karya, kirti, lsp.
V. Kang awatak lima:
1. Araning barang kang cacah lima: indri, indriya, dhawa, lsp.
2. Bangsané buta: danawa, jaksa, diyu, wil, raseksa, lsp.
3. Bangsané gegaman: panah, warajang, bana, sara, lsp.
4. Bangsané angin: bayu, samirana, maruta, anila, sindung, lsp.
5. Tembung tembung liyané: wisikan, wisaya, pancawara, lungit,
landhep, galak, lsp.
6. Tembung kang teges lima: gangsal, panca, lsp.
VI. Kang awatak enem:
1. Tembung tembung kang mratélakaké rasa: pedhes, amla, kecut, tikta,
pait, kyasa, gurih, dura, asin, legi, lsp.
2. Tembung tembung kang nduwèni sipat kang gegayuhan tembung
tembung ing ndhuwur : gendhis, gula, uyah, lsp.
3. Tembung tembung jeneng kéwan kang asikil enem: tawon, bramara,
kombang, anggang anggang semut, lsp.
4. Tembung tembung liyané: raras, retu, ojag, obah, prabatang, wayang,
sedhih, ilat, kilat, lsp.
VII. Kang awatak pitu:
1. Bangsané kang amaratapa: wiku, biksu, resi, dwija, dhita,
yogiswara, muni, suyati.
2. Dasanamané jaran: kuda, wajik, aswa, turangga, lsp.
3. Dasanamané gunung: ardi, prawata, giri, ancala, wukir, lsp.
4. Tembung tembung liyané: angsa, gora, swara, wulang, weling,
sabda, suka, lsp.
VIII. Kang awatak wolu:
1. Tembung tembung kang kagolong kéwan rumangkang: baya, bajul,
slira, menyawak, tanu, bunglon, murti, basu, tekèk, cecak, ula, naga,
bujangga, taksaka, lsp.
2. Dasnananing gajah: dwipangga, liman, èsthi, dirada, matengga,
kunjara, lsp.
3. Tembung tembung liyané: samadya, brahman, manggala, lsp.
IX. Kang awatak sanga:
1. Barang barang kang wujudé bolong: gapura, guwa, dwara, wiwara,
gatra, wilasita, rong, trusta, trusthi, song, babahan, lsp.
2. Tembung tembung liyané: ganda muka, butul, déwa, ambuka, wangi,
lsp.
X. Kang awatak sapuluh utawa das:
1. Yaiku tembung tembung kang ngemu teges ora ana utawa suwung:
sunya, boma, gegana, wijat, nir, tanpa, ilang, mletik, sirna, musna,
adoh, antariksa, rusak, luhur, dhuwur, muksa, ngumbara, muluk,

http://ki-demang.com/index.php?option=com_content&view=category&layout=blog&id=50&Itemid=333 37
mumbul, das, awang awang, angles, méntar, oncat, asat, surut,
sempal, tumenga, mesat, lsp.

A. Sengkalan Lamba.
Kang diarani sengkalan lamba yaiku sengkalan kang awujud ukara
utawa kumpulaning tembung, sengkalan lamba kang akèh tinemu ing
layang layang.
Ana manèh kang tinemu ing yayasan, pasareyan, padusan, gapura, lsp.
Tuladha:
1. Yama sunya surya = taun 1202.
2. Sapta yana surya = taun 1217.
3. Indu bana dwi rupa = taun 1254.
4. Dwi gaya rawi = taun 1282.
5. Dwara adri pana indu = taun 1279.
6. Sanga kuda cuddha candrama = taun 1079.
Tinemu ing layang Bharatayudha – Mpu sedhah – Mpu Panuluh.
7. Panerus tingal tataning nabi = tahun 1529
Tinemu ing layang Suluk Wujil – Sunan Bonang.
B. Sengkala Memet.
1. Ing Tratagrambat kraton Ngayohyakarta sisih lor ana gambar tawon
cacahé lima lan slira (menyawak) siji, iku kena diwaca : Panca gana
salira tunggal = taun 1865.
2. Ing magangan kraton Ngayogyakarta, ana pepethan wujud ula naga
loro, pethité padha pepuletan, iku kena diwaca: Dwi naga ngrasa
tunggal = tahun 1682.
3. Ing kratosn Surakarta ana pepethan naga kang ditumpaki manungsa,
iku kena diwaca: Naga muluk tinitihan janma = taun 1708.
Ana uga warana kang digawé saka walulang kebo kang direngga
rengga, iku kena diwaca: Walulang kebo siji utawa Wolu ilang kebo
siji = taun 1708
4. Ana pepethan wujdé bunderan pepindhaning jagad kang dicekeli
déning buta cacahé telu, iku kena diwaca : Buta telu ngojag jagad
utawa Tri jaksa ngojag buwana = taun 1635.
5. Ana gegambaran wujud sula cacahé telu lan ing tengah ana gambar
kembang, iku kena diwaca : Tri sula kembang lata = taun 1953,
C. Pangrakiting ukara.
Tembung sapada kudu kaangkah mujudaké ukara wutuh, isi pangertèn
ganep.
Aja nganti wujud ukara kang durung rampung.
Manawa gatra wekasan isih kudu disambung ukara ing pada candhaké
ana ing rasa ora kepénak.
Tembung kang becik, saben sagatra kudu mengku surasa wutuh, lan
rakitaning gatra siji lan sijiné dalem tembang sapada, mengku isi wutuh.
Manawa arep ngarang tembang sadurungé prelu ngélingi prakara
prakara kang prelu,
Kayata:

http://ki-demang.com/index.php?option=com_content&view=category&layout=blog&id=50&Itemid=333 38
1. Prelu migatèkaké dasanamaning tembung tembung.
Upama tembung: ratu iku duwé dasanama: katong, nata, narpati,
pamasé, dhatu, raja, aji, lsp.
Iku prelu banget kanggo nemtokaké tibaning swara ing pungkasaning
gatra.
2. Kena ngowahi susunaning ukara, lumrah kasebut baliswara.
Tuladha : Anoman sampun malumpat, diowahi: Anoman malumpat
sampun.
3. Kena ngowahi swara, kayata:
brangta dadi karti
prapta dadi prapti
brangta dadi brangti
marang dadi maring
dipati dadi dipatya, lsp.

Kanggo ngoyak guru wilangan:


1. Kena ngulur utawa ngungkret wanda:
sru dadi asru
prang dadi perang
tan dadi datan
trus dadi terus
lumaku dadi mlaku
gelebyar dadi glebyar
kerelip dadi krelip
sinerang dadi sinrang, lsp.
2. Kena mancah tembung:
puniku dadi niku
pijer dadi jer
déné dadi dé
ingkang dadi kang
3. Kena nggarba tembung loro utawa luwih:
ana + ing dadi anèng
lagi + antuk dadi lagyantuk
kadya + iku dadi kadyèku
sira + arsa dadi sirarsa.

http://ki-demang.com/index.php?option=com_content&view=category&layout=blog&id=50&Itemid=333 39

You might also like