Professional Documents
Culture Documents
1. Gambang Kromong
Budaya Betawi dari Tiongkok
Puncak kejayaan kesenian ini sendiri memasuki babak baru saat beberapa perusahaan rekaman
berdiri dan menampilkan musik ini dalam bentuk piringan hitam.
Umumnya sebutan Gambang Kromong hanya terbatas pada musik yang dimainkan. Sedangkan
untuk gerak-tari serta lagu, masyarakat masa itu menyebutnya dengan istilah Lenong atau Cokek.
Antara Gambang Kromong dan Lenong terdapat satu bentuk kesenian yang tak terpisahkan, meski
Gambang Kromong dapat dimainkan tanpa menghadirkan Lenong di dalamnya.
Sementara, alat-alat musik yang dipakai dalam kesenian ini hampir sepenuhnya menggunakan alat
musik tradisional etnis Tionghoa dengan sedikit perubahan tanpa mengurangi fungsi dari alat itu
sendiri.
Sedangkan Cokek adalah sebuah kata yang berasal dari Melayu-Tionghoa yakni Chiou-Khek yang
berarti menyanyi, lebih sering dipentaskan pada pesta-pesta perkawinan keturunan Tionghoa yang
diiringi oleh musik Gambang Kromong.
Adapun alat-alat musik yang biasa diperdengarkan di kesenian Gambang Kromong ini adalah The-
Hian, yakni alat musik gesek yang bentuknya seperti biola berukuran sedang. Untuk yang
berukuran kecil disebut Kong-a-Hian dan yang lebih besar disebut Su-Kong.
Sedangkan Gambang adalah alat musik utama dalam kesenian Gambang Kromong yang terbuat
dari bilah-bilah kayu yang disusun dalam satu kotak persegi panjang dan dimainkan dengan cara
dipukul mengikuti irama lagu.
Istilah Kromong dimaksudkan pada alat musik seperti gambang, tapi pada bagian tengahnya diisi
dengan tabung-tabung besi berbentuk seperti gong yang berukuran kecil dan terbuat dari logam
campuran yang cara memainkannya sama seperti gong, dengan cara dipukul.
Gong juga dipakai dalam kesenian ini, dan biasanya ada sepasang gong berukuran besar dan kecil
yang biasa disertakan dalam pertunjukkan. Gong ini sendiri merupakan alat musik yang diyakini
sarat dengan unsur magis-nya. Di mana suara gaungnya dipercayai bisa menembus hati dan dapat
membawa para pendengarnya ke alam lain.
Alat musik lainnya adalah suling atau seruling yang merupakan alat musik tambahan yang terbuat
dari bambu dengan diberi lubang-lubang kecil di bagian atas yang berfungsi sebagai tempat
keluarnya nada yang berbeda. Sedangkan kendang atau gendang yang dipakai pada kesenian ini
umumnya digunakan terdiri dari satu gendang besar dan yang kecil.
Alat musik kecil yang turut menyumbang suara pada kesenian ini adalah kecrek. Jangan salah,
kecrek juga alat musik yang wajib dipakai dalam pertunjukan Gambang Kromong. Biasanya kecrek
terbuat dari lempengan besi tipis dalam wadah yang menyerupai gambang atau Kromong, yang
berbunyi bila dipukul.
Kini, seiring perkembangan jaman, Gambang Kromong juga mengalami banyak perubahan,
terutama dalam peralatan tambahan yang sudah modern seperti sound system untuk lebih riuh dan
meriahnya pertunjukkan kesenian ini.
Keunikan yang bisa kita dapati di kesenian Gambang Kromong, biasanya pada setiap pementasan
Gambang Kromong tak lupa digelar ritual khusus dengan menyertakan sesaji lengkap yang terdiri
dari kopi pahit dan manis, makanan kecil, air putih serta kembang beberapa jenis yang diyakini
berfungsi untuk melancarkan pertunjukkan kesenian ini.
Kalau sesaji ini tidak disertakan ada kekhawatiran para pemainnya ada yang kesurupan. Sesaji ini
biasanya selalu diletakkan dekat Gong (yang memang diyakini memiliki unsur magis yang kuat).
Berbeda dengan angklung yang dimainkan dengan cara digoyangkan, cara memainkan calung
adalah dengan memukul-mukul batang (wilahan, bilah) dari ruas-ruas (tabung bambu) yang telah
tersusun menurut titi laras (tangga nada) pentatonik (da-mi-na-ti-la). Jenis bambu untuk pembuatan
calung begi khas, yaitu dari awi wulung (jenis bambu hitam), namun ada pula yang dibuat dari awi
temen (bambu yang berwarna putih).
Terdapat dua jenis calung Sunda yang dikenal, yakni calung rantay dan calung jinjing.
a. Calung Rantay
Calung rantay tersusun dengan bilah tabungnya dideretkan menggunakan tali kulit waru (lulub) mulai
dari yang terbesar sampai yang terkecil, 7 wilahan (7 ruas bambu) atau lebih. Komposisi alatnya ada
yang satu deretan dan ada juga yang dua deretan (calung indung dan calung anak/calung rincik).
Adapun cara memainkan calung rantay dipukul dengan dua tangan sambil duduk bersilah, biasanya
calung tersebut diikat di pohon atau bilik rumah (calung rantay Banjaran-Bandung), ada juga yang
dibuat ancak “dudukan” khusus dari bambu/kayu, misalnya calung tarawangsa di Cibalong dan
Cipatujah, Tasikmalaya, calung rantay di Banjaran dan Kanekes/Baduy.
b. Calung Jingjing
Adapun calung jinjing berbentuk deretan bambu bernada yang disatukan dengan sebilah kecil bambu
(paniir). Calung jinjing terdiri atas empat atau lima buah, seperti calung kingking (terdiri dari 12 tabung
bambu), calung panepas (5 /3 dan 2 tabung bambu), calung jongjrong(5 /3 dan 2 tabung bambu), dan
calung gonggong (2 tabung bambu). Kelengkapan calung dalam perkembangannya dewasa ini ada
yang hanya menggunakan calung kingking satu buah, panempas dua buah dan calung gonggong
satu buah, tanpa menggunakan calung jongjrong Cara memainkannya dipukul dengan tangan kanan
memakai pemukul, dan tangan kiri menjinjing/memegang alat musik tersebut. Sedangkan teknik
menabuhnya antar lain dimelodi, dikeleter, dikemprang, dikempyung, diraeh, dirincik, dirangkep
(diracek), salancar, kotrek dan solorok.
3. Gambang
Sebutan Gambang Kromong di ambil dari nama dua buah alat perkusi,
yaitu gambang dan kromong. Bilahan Gambang yang berjumlah 18 buah, biasa terbuat dari kayu
suangking, huru batu atau kayu jenis lain yang empuk bunyinya bila dipukul. Kromong biasanya
dibuat dari perunggu atau besi, berjumlah 10 buah (sepuluh pencon).
Orkes Gambang Kromong merupakan perpaduan yang serasi antara unsur-unsur pribumi dengan
unsur Tionghoa. Secara fisik unsur Tionghoa tampak pada alat-alat musik gesek yaitu Tehyan,
Kongahyan dan Sukong, sedangkan alat musik lainnya yaitu gambang, kromong, gendang, kecrek
dan gong merupakan unsur pribumi. Perpaduan kedua unsur kebudayaan tersebut tampak pula pada
perbendarahaan lagu-lagunya.
Disamping lagu-lagu yang menunjukan sifat pribumi seperti Jali-jali, Surilang, Persi, Balo-balo,
Lenggang-lenggang Kangkung, Onde-onde, Gelatik Ngunguk dan sebagainya, terdapat pula lagu-
lagu yang jelas bercorak Tionghoa, baik nama lagu, alur melodi maupun liriknya seperti Kong Jilok,
Sipatmo, Phe Pantaw, Citnosa, Macuntay, Gutaypan dan sebagainya.
Ketika melintasi daerah perbukitan menuju Dusun Bangle, sayup-sayup mengalun suara gamelan
yang sangat khas dan unik. Ketika sumber suara gamelan itu didekati, tampaklah sejumlah anak
riang gembira belajar menabuh alat-alat musik berbentuk aneh.“Ini gamelan Terompong Beruk,” ujar
seorang lelaki paruh baya yang bernama I Nengah Suparwata alias Pak Wati.
Pak Wati adalah pelatih Terompong Beruk yang hanya satu-satunya ada di Bali, yakni di Dusun
Bangle, Desa Bunutan, Kecamatan Abang, Karangasem, Bali. Bangle terletak di sebelah utara Pura
Lempuyang Luhur, di perbukitan dengan ketinggian 400 meter di atas permukaan laut, dimana
pemukiman penduduk berada pada kemiringan 37 derajat.
Terompong Beruk merupakan alat musik tradisional yang sangat sederhana. Gamelan langka dan
unik itu menggunakan bilah-bilah kayu, berbeda dengan terompong pada gamelan gong yang
menggunakan perunggu. Ciri khas Terompong Beruk terletak pada alat resonansi suaranya yang
menggunakan beruk (batok kelapa). Besar kecil beruk diatur dan disesuaikan dengan nada bilah-
bilah kayu di atasnya untuk memunculkan nada suara yang berbeda-beda. Karena menggunakan
sumber gema dari beruk (batok kelapa) itulah gamelan ini dinamai Terompong Beruk. Hal ini berbeda
dengan terompong perunggu pada gamelan gong kebyar yang umumnya berbentuk bulat dan
terdapat benjolan di tengah-tengahnya.
Satu barung atau satu set lengkap gamelan Terompong Beruk terdiri dari Terompong Beruk, Gangsa,
Curing, Riong, Jublag, Kemplung, Kempil, dan sejumlah alat lainnya. Semua alat itu juga dibuat dari
bilah-bilah kayu yang resonansi suaranya berasal dari beruk. Sedangkan untuk Gong dibuat dari
waluh (buah labu besar) yang telah dikeringkan.
Untuk menambah semarak suara gamelan, Terompong Beruk dilengkapi dengan Suling, Kendang,
Cengceng, dan lain sebagainya. Namun kini Terompong Beruk telah diganti dengan bilah-bilah besi,
meski sumber gemanya masih menggunakan beruk. Mungkin untuk mendapat suara yang lebih keras
dan alunannya panjang.
Sejarah Terompong Beruk
Sejak kapan Terompong Beruk dikenal di Bangle? Belum ditemukan peninggalan tertulis (prasasti)
yang menyebutkan sejarah kelahiran Terompong Beruk. Pak Wati (1955) sebagai pelatih Terompong
Beruk pun tidak mengetahui sejarah keberadaan alat musik unik itu. “Saya kurang tahu sejak kapan
Terompong Beruk ada di dusun kami. Menurut orang tua, itu warisan leluhur kami,” jelas Pak Warti.
Bahkan Pak Sanu (1938), seorang pinisepuh Bangle, juga mengatakan tidak tahu kapan Terompong
Beruk pertama kali dibuat. “Leluhur kami yang dulu membuatnya, kami hanya mewarisi apa yang ada
sekarang,” kata Sanu.
Secara sekilas, kisah keberadaan Terompong Beruk bisa ditelusuri dari cerita para tokoh masyarakat
dan pinisepuh Bangle. Cerita tersebut diwariskan secara turun temurun hingga generasi sekarang.
Ida Made Giur Dipta, tokoh masyarakat dari Desa Culik yang pernah lama mengajar di sebuah SD di
Bunutan, telah menyusun sekelumit sejarah kelahiran Terompong Beruk berdasarkan cerita
pinesepuh Bangle.
Giur menuliskan bahwa keberadaan Terompong Beruk berkaitan dengan pembangunan Pura
Pemaksan Bangle. Ketika pura selesai dibangun, digelarlah Upacara Dewa Yadnya, diantaranya
Melaspas, Ngenteg Linggih, berlanjut Pujawali atau Piodalan. Pada saat melaksanakan upacara
tersebut tentu tidak bisa dilepaskan dari pementasan tari sakral sebagai persembahan kepada Hyang
Widhi. Namun tari tanpa gamelan belumlah sempurna. Kebetulan saat itu ada seorang warga Bangle
memiliki sebuah Terompong Beruk yang dipakai hiburan di waktu senggang.
Terompong Beruk itu kemudian dilengkapi dengan suling, sejenis kendang (berupa dua ruas bambu
yang dipukulkan di tanah), ricik atau cengceng dari besi bekas singkal dan kejen (alat membajak
sawah). Dari alat-alat itu terbentuklah sebuah perangkat gamelan yang masih sangat sederhana
namun sangat bermakna dalam mengiringi pementasan tarian sakral pada saat itu.
Seusai upacara besar itu, para pinisepuh Bangle kemudian berembug dengan para prajuru Pura.
Mereka mulai berpikir membuat seperangkat gamelan Terompong Beruk yang lebih lengkap dengan
bahan-bahan yang ada di dusun mereka. Sebab mereka belum mampu membeli satu perangkat
gamelan perunggu yang harganya sangat mahal.
Seperangkat gamelan Gong Beruk pun dibuat oleh warga Bangle. Terompong Beruk itu kemudian
dilengkapi dengan Gangsa, Curing, Jublag, Jegog, yang semuanya dibuat dari bilah-bilah kayu
lengkap dengan beruk sebagai resonansi suara dan nada. Sedangkan gongnya dibuat dari bilah
bambu petung atau kayu lekukun, sedangkan pelawahnya dibuat dari waluh (labu besar) agar
menghasilkan suara yang mengalun panjang. Cengcengnya dibuat dari besi bekas singkal dan kejen
(alat membajak tradisional).
Menurut Pak Wati, ada beberapa tabuh atau gending yang sering dimainkan dengan menggunakan
perangkat Gong Beruk. Nama-nama tabuhnya juga khas dan unik, seperti: Tabuh Gelagah Manis,
Tabuh Nem Cenik, Tabuh Nem Gede, Tabuh Kutus Cenik, Tabuh Kutus Gede. Jenis-jenis tari yang
sering diiringi dengan Gong Beruk adalah Tari Pendet, Gandrung, Legong Sambeh Bintang, Rejang
Lilit, dan Igel Desa.
Sekretaris Desa Bunutan, I Nyoman Sija, menjelaskan Gong Beruk itu selalu dipakai untuk mengiringi
tari-tarian saat piodalan atau Pujawali di Pura Pemaksan Bangle yang berlangsung bertepatan
dengan purnamaning Sasih Ketiga.
Melestarikan Warisan Leluhur
Pada mulanya tidak banyak orang yang mengetahui keberadaan Gong Beruk, hanya dikenal di
sekitar Dusun Bangle. Bahkan dusun-dusun di sekitar Bangle pun tidak mengetahui atau mengenal
gamelan unik itu. Terompong Beruk mulai dikenal masyarakat luas pada tahun 1979. Saat itu Sekaa
(Grup) Terompong Beruk Bangle mewakili Kabupaten Karangasem tampil untuk pertama kalinya
dalam Pesta Kesenian Bali di Denpasar.